Laporan Tutorial Skenario A blok 16.docx
March 22, 2018 | Author: gunnasundary | Category: N/A
Short Description
Download Laporan Tutorial Skenario A blok 16.docx...
Description
KATA PENGANTAR
Penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besar nya kepada Dosen pembimbing yang telah membimbing tutorial pada blok 16 ini sehingga proses tutorial dapat berlangsung dengan sangat baik. Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua, yang telah memberi dukungan baik berupa materil dan moril yang tidak terhitung jumlah nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan tutorial skenario A di blok 16 ini hingga selesai. Ucapan terima kasih juga kepada para teman-teman sejawat di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya atas semua semangat dan dukungannya. Penyusun menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata mendekati sempurna. Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan di penyusunan laporan berikutnya. Mudah-mudahan laporan ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan yang bermanfaat bagi kita semua.
Palembang, 01 April 2013
Penyusun Kelompok 4
1
DAFTAR ISI Kata Pengantar ……………………………………………………………………………. 1 Daftar Isi ………………………………………………………………………………..… 2 BAB I
BAB II
: Pendahuluan 1.1
Latar Belakang……………………………………………………….. 3
1.2
Maksud dan Tujuan……………………………………………….….. 3
: Pembahasan 2.1
Data Tutorial…………………………………………………………. 4
2.2
Skenario Kasus ………………………………………….…………..... 5
2.3
Paparan I.
Klarifikasi Istilah. ............……………………...…………...... 6
II.
Identifikasi Masalah...........……………………….………….... 7
III.
Analisis Masalah ...............................…………………........ 8
IV.
Learning Issues ...………………...………...………….............35
V.
Kerangka Konsep..................………………………………......57
BAB III : Penutup 3.1
Kesimpulan ....................................................................................58
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................59
2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Blok 16 adalah blok mengenai respirasi pada semester 4 dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. Penulis memaparkan kasus yang diberikan mengenai TBC yang disebabkan oleh HIV.
1.2 Maksud dan Tujuan Adapun maksud dan tujuan dari materi praktikum tutorial ini, yaitu : 1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. 2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis dan pembelajaran diskusi kelompok. 3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami konsep dari skenario ini.
3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Data Tutorial Tutor
: dr. Suly Auline Sp.PA
Moderator
: Achmad Dodi Meidianto
Sekretaris Meja : Ni Made Restianing Rimadhanti Sekretaris Papan : Ahmad Rifky Rizaldi Hari, Tanggal
: Senin, 1 April 2013 Rabu, 3 April 2013
Rule Peraturan
: 1. Alat komunikasi di nonaktifkan 2. Semua anggota tutorial harus mengeluarkan pendapat (aktif) 3. Dilarang makan dan minum
4
2.2 Skenario Kasus Mr. X, a 30-year old truck driver, was admitted to hospital with massive hemoptoe. He complained that 6 hours ago he had a severe bout of coughing with fresh blood of about 3 glasses. He also said that in the previous month he had had productive cough with a lot of phlegm, mild fever, loss of appetite, rapid loss of body weight, and shortness of breath. Since a week ago, he felt his symptoms were worsening. Physical examination: General appearance: he looked severly sick and pale. Body height: 170cm, body weight: 50 kg, BP: 100/70 mmHg, HR: 100x/minute, RR: 36x/minute, temp 37,8oC. There was a tattoo on the left arm and enlargement of the right neck lymph node, and stomatitis. In chest auscultation there was an increase of vesicular sound at the right upper lung with moderate rales.
Additional Information: Laboratory: Hb:8 g%, WBC: 7.000/µL, ESR: 70 mm/hr, diff count: -/3/2/7515/5, Acid Fast Bacilli: (-), HIV test (+), CD4 140//µL Radiologi: Chest radiograph showed infiltrate at right upper lung.
5
2.3 Paparan I. Klarifikasi Istilah 1. Massive hemoptoe: pengeluaran darah/dahak dari saluran pernafasan bawah yang “banyak” atau ≥3 gelas atau ≥600cc dalam 24 jam, yang keluar melalui mulut. 2. Productive cough: batuk yang disertai dengan pengeluaran bahan-bahan dari bronkus 3. Phlegm: sputum atau mukus kental yang diekresikan dari saluran pernafasan dalam jumlah yang abnormal 4. Stomatitis: Inflamasi pada mukosa membrane dalam mulut 5. Pale: Pucat seperti kulit 6. Vesicular sound: Bunyi nafas pada paru normal dimana suara inspirasi lebih keras dan lebih tinggi daripada ekspirasi 7. Moderate rales: (sedang) suara pernafasan abnormal yang terdengar pada saat auskultasi 8. HIV: Human Immuno-deficiency Virus: replikasi retro-virus yang menyebabkan AIDS 9. CD4: sel darah putih atau limfosit yang digunakan untuk test HIV 10. Infiltrate: diffuse atau penimbunan substansi yang secara normal tidak terdapat pada sel atau jaringan dalam jumlah yang berlebihan.
6
II. Identifikasi Masalah 1. Mr. X, a 30-year old truck driver, was admitted to hospital with massive hemoptoe. He complained that 6 hours ago he had a severe bout of coughing with fresh blood of about 3 glasses. 2. He also said that in the previous month he had had productive cough with a lot of phlegm, mild fever, loss of appetite, rapid loss of body weight, and shortness of breath. 3. Since a week ago, he felt his symptoms were worsening. 4. Physical examination: General appearance: he looked severly sick and pale. Body height: 170cm, body weight: 50 kg, BP: 100/70 mmHg, HR: 100x/minute, RR: 36x/minute, temp 37,8oC. There was a tattoo on the left arm and enlargement of the right neck lymph node, and stomatitis. In chest auscultation there was an increase of vesicular sound at the right upper lung with moderate rales. 5. Additional Information: Laboratory: Hb:8 g%, WBC: 7.000/µL, ESR: 70 mm/hr, diff count: -/3/2/7515/5, Acid Fast Bacilli: (-), HIV test (+), CD4 140//µL Radiologi: Chest radiograph showed infiltrate at right upper lung.
7
III. Analisis Masalah 1. Mr. X, a 30-year old truck driver, was admitted to hospital with massive hemoptoe. He complained that 6 hours ago he had a severe bout of coughing with fresh blood of about 3 glasses. a. Etiologi dari massive hemoptoe. Definisi, ekspektorasi darah atau dahak mengandung darah dengan jumlah darah lebih dari 600 ml/24 jam Klasifikasi Bercak (streaking)
Keterangan Volume darah < 15-20 ml/24 jam Biasanya terjadi karena bronchitis
Hemoptisis
Volume darah 20-60ml/24 jam Biasanya disebabkan oleh: Kanker paru,Pneumonia (necrotizing pneumonia),TB
Hemoptisis massif
Kriteria Hemoptisis Masif (Busroh, 1978) sebagai berikut: Batuk darah sedikitnya 600 mL/24 jam Batuk darah < 600 mL/24 jam, tapi lebih dari 250 mL/24 jam, Hb < 10 g% dan masih terus berlangsung Batuk darah < 600 mL/24 jam, tapi lebih dari 250 mL/24 jam, Hb > 10 g% dalam 48 jam tidak berhenti,
Angka kematian 75 % karena kekurangan oksigen karena terlalu banyak darah dalam saluran pernafasan.
Biasanya disebabkan oleh: Kanker paru,Kavitas pada TB, Bronkiektasis Pseudohemoptisis
Batuk darah dari saluran napas atas (di atas laring),atau Dari saluran cerna atas, Atau Perdarahan buatan seperti luka yang sengaja dibuat di mulut, faring, dan ronga hidung
8
Penyebab utama hemoptisis masiv adalah infeksi atau radang kapiler paru yang menimbulkan nekrose pada parenkim paru, misalnya pada TB Paru dan bronkiektase. 1. Infeksi TB paru Bronkiektasis Abses paru Pneumonia Bronkitis 2. Neoplasma Karsinoma paru Adenoma 3. Lain – lain Hipertensi vena pulmonalis (LV heart failure, MS, Pulmonary emboli) Mitral stenosis Trauma Diatesis hemoragik Idiopathic Selain itu, hemoptosis pada kasus ini dapat disebabkan karena: a. Pecahnya aneurisma yang terdapat pada dinding kavitas (rasmussen‟s aneurysm) b. Pecahnya dinding tipis dari kavitas yang mengandung banyak pembuluh darah kecil c. Ulserasi dari jaringan parenkim paru atau bronkus/bronkiolus d. Proses eksudasi dan kaseosa pada parenkim paru yang merusak pembuluh darah kapiler paru e. Fibrosis paru pada bekas tb paru yang mengenai pembuluh darah f. Adanya kalsifikasi yang menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah.
9
b. Patofisiologi dari massive hemoptoe. Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas. Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna tuberkulosis yang merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe. Teori terjadinya perdarahan akibat pecahnya aneurisma dari Ramussen, akan tetapi beberapa laporan autopsi membuktikan bahwa terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe. perdarahan kavitas tuberkulosa Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal dengan aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasal dari cabang pembuluh darah bronkial. Perdarahan pada bronkiektasis disebabkan pemekaran pembuluh darah cabang bronkial. Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya anastomosis pembuluh darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat menimbulkan hemoptisis masif.
c. Makna klinis dari batuk dalam 6 jam yang lalu dan darah segar sebanyak 3 gelas. Hal tersebut menjelaskan bahwa pasien benar mengalami massive hemoptoe dimana penderita dapat dikatakan massive hemoptoe dengan ketentuan batuk darah 200-600 ml atau lebih dalam 24 jam.
d. Keterkaitan usia dan pekerjaan dengan keluhan. Usia produktif yaitu 20-49 tahun. Jenis kelamin Sebenarnya, tidak terdapat korelasi secara langsung antara penyakit pada kasus ini dengan jenis kelamin tertentu, seperti pada kasus ini, yaitu pria. Namun, beberapa data statistik menunjukkan penderita pria lebih banyak jumlahnya daripada penderita wanita. Hal ini mungkin disebabkan karena kebanyakan pria lebih dekat dengan faktor-faktor risiko tertentu.
10
Tbc lebih tinggi terjadi pada orang yang bekerja di daerah yang tinggi prevalensi Tuberkulosis, pada pekerjaan yang mengharuskan melakukan perjalanan yang selalu berkontakan dengan iritan saluran nafas.
2. He also said that in the previous month he had had productive cough with a lot of phlegm, mild fever, loss of appetite, rapid loss of body weight, and shortness of breath. Since a week ago, he felt his symptoms were worsening. a. Patofisiologi dari (pada kasus): 1. Productive cough with a lot of phlegm Batuk dapat terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk mulai dari kering (non produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lebih lanjut adalah berupa batuk darah (hemoptoe) karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronchus.
2. Mild fever Respon inflamasi terhadap M.Tuberculosis produksi sitokin (Il-1, IL-6 dan TNF-alfa) pembentukan asam arakhidonat pembentukan PGE 2 peningkatan set point di hipotalamus demam.
3. Loss of appetite and Rapid loss of body weight Penurunan berat badan dalam kasus ini terjadi akibat pasien mengalami anorexia. Pada infeksi M. Tbc, system imun akan menghasilkan TNF alpha dan IL-2 yang pada akhirnya akan menyebabkan anorexia dan penurunan berat badan, selain itu M. Tbc akan menghasilkan cachexin yang juga akan menekan nafsu makan sehingga berat badan turun dan BMI jatuh di b awah normal. Mr X memiliki badan yang kurus karena pada pasien dengan infeksi kronis biasanya akan mengalami anoreksia. Hal ini disebabkan keberadaan mediator sistemik yang diproduksi oleh T lymphocytes, monocytes, dan macrophages yang teraktivasi. Mediator sistemik tersebut misalnya tumor necrosis factor-alpha /TNFα (reaksi inflamasi), interleukin 11
1 (membantu regulasi sistem imun dan inflamasi) dan interleukin 6 (B-cell stimulatory factor-2 /BSF-2) dapat mempengaruhi nafsu makan secara negatif. Sitokin-sitokin ini bekerja dengan menambah jumlah serotonin (5hidroksitriptofan atau 5-HT) di hipotalamus. Kadar serotonin yang meninggi ini pada gilirannya akan merangsang sistem melanocortin dan bersama - sama menyebabkan anoreksia. Hal ini membuat input nutrisi dan kalori berkurang. Selain itu, dalam keadaan infeksi, tubuh akan membutuhkan lebih banyak protein (berguna bagi sistem imun) sehingga turn over rate protein tubuh akan meningkat. Hal ini membuat tubuh lebih banyak memecah protein (terutama dari otot) untuk mencukupi kebutuhan asam amino. Tubuh juga membutuhkan lebih banyak energi (output energi meningkat) dalam keadaan terinfeksi. Kurangnya asupan nutrisi akibat tidak nafsu makan, peningkatan katabolisme protein dan peningkatan kebutuhan energi tubuh akan membuat tubuh kita mengalami penurunan berat badan.
4. Shortness of breath.
Reaksi peradangan terhadap M. Tuberculosis akumulasi makrofag alveolar di alveolus konsolidasi di alveolar pertukaran O2 dan CO2 terganggu hipoksia sel mekanisme tubuh untuk mengatasi hipoksia peningkatan frekuensi napas sesak nafas.
Infeksi Mycobacterium tuberculosis terbentuknya kavitas terjadi perdarahan pada kavitas yang ruptur darah yang dikeluarkan >> hipovolemi >
nekrosis(pengkijuan) terbentuk kavitas
reflex batuk
erosi p.darah bronkus
mengeluarkan pengkijuan
batuk berdarah
infiltrsasi jar.fibroblas kavitas menebal sclerotik
sesak nafas
vesikuler sound
d. Apa keterkaitan CD4 pada kasus? Sel CD4 adalah jenis sel darah putih atau limfosit. Sel tersebut adalah bagian yang penting dari sistem kekebalan tubuh kita. Sel CD4 kadang disebut sebagai sel-T. Ada dua macam sel-T. Sel T-4, yang juga disebut CD4 dan kadang kala sel CD4+, adalah sel „pembantu‟. Sel T-8 (CD8) adalah sel „penekan‟, yang mengakhiri tanggapan kekebalan. Sel CD8 juga disebut sebagai sel „pembunuh‟, karena sel tersebut membunuh sel kanker atau sel yang terinfeksi virus. Sel CD4 dapat dibedakan dari sel CD8 berdasarkan protein tertentu yang ada di permukaan sel. Sel CD4 adalah sel-T yang mempunyai protein CD4 pada permukaannya. Protein itu bekerja sebagai „reseptor‟ untuk HIV. HIV mengikat pada reseptor CD4 itu seperti kunci dengan gembok.
19
HIV umumnya menulari sel CD4. Kode genetik HIV menjadi bagian dari sel itu. Waktu sel CD4 menggandakan diri (bereplikasi) untuk melawan infeksi apa pun, sel tersebut juga membuat tiruan HIV. Setelah kita terinfeksi HIV dan belum mulai terapi antiretroviral (ART), jumlah sel CD4 kita semakin menurun. Ini tanda bahwa sistem kekebalan tubuh kita semakin rusak. Semakin rendah jumlah CD4, semakin mungkin kita akan jatuh sakit. Infeksi dapat sangat memengaruhi jumlah CD4. Jika tubuh kita terserang infeksi, jumlah sel darah putih (limfosit) naik. Jumlah CD4 juga naik. Ada jutaan keluarga sel CD4. Setiap keluarga dirancang khusus untuk melawan kuman tertentu. Waktu HIV mengurangi jumlah sel CD4, beberapa keluarga dapat diberantas. Kalau itu terjadi, kita kehilangan kemampuan untuk melawan kuman yang seharusnya dihadapi oleh keluarga tersebut. Jika ini terjadi, kita mungkin mengalami infeksi oportunistik. Pada skenario ini CD4 yang rendah menujukkan infeksi HIV dan hal ini juga yang menjadi predisposisi infeksi oportunis Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan TBC. Hasil tes CD4 biasanya dilaporkan sebagai jumlah sel CD4 yang ada dalam satu milimeter kubik darah (biasanya ditulis mm3). Jumlah CD4 yang normal biasanya berkisar antara 500 dan 1.600. Karena jumlah CD4 begitu berubah-ubah, kadang lebih cocok kita lihat persentase sel CD4. Jika hasil tes melaporkan CD4% = 34%, ini berarti 34% limfosit kita adalah sel CD4. Persentase ini lebih stabil dibandingkan jumlah sel CD4 mutlak. Angka normal berkisar antara 30-60%. Setiap laboratorium mempunyai kisaran yang berbeda. Belum ada pedoman untuk keputusan pengobatan berdasarkan CD4%, kecuali untuk anak berusia di bawah lima tahun. Jumlah CD4 mutlak di bawah 200 menunjukkan kerusakan yang berat pada sistem kekebalan tubuh. Walau CD4% mungkin lebih baik meramalkan perkembangan penyakit HIV dibandingkan CD4 mutlak, jumlah CD4 mutlak tetap dipakai untuk menentukan kapan ART sebaiknya dimulai. 20
Jumlah CD4 adalah ukuran kunci kesehatan sistem kekebalan tubuh. Semakin rendah jumlahnya, semakin besar kerusakan yang diakibatkan HIV. Jika kita mempunyai jumlah CD4 di bawah 200, atau persentase CD4 di bawah 14%, kita dianggap AIDS, berdasarkan definisi Kemenkes.
5. Mr.X a. Diagnosis banding pada kasus Indikator
Kasus
Tb paru
Pneumonia
Bronkietaksis
(typical)
Karsinoma bronkogenik
Hemoptisis
+
+
+
+
+
Demam
Ringan
Ringan
Tinggi
Tinggi,
Ringan
(subfebris)
(subfebris)
Sesak napas
+
+
+
+
+
BB , anoreksia
+
+
+
+
+
Productive
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
WBC
-
-
+
+
-
Gambaran
Infiltrate
infiltrat
Konsolidasi
Kista-kista
Nodul
Radiologi
pada lobus biasanya
berulang
cough Pembesaran kelenjar limfe
biasanya
pada kecil
seperti sirkumskripta
kanan atas pada apeks basis paru
gambaran
paru
sarang tawon,
paru
bronchovascul ar marking
b. Diagnosis kerja pada kasus Diagnosis kerjanya adalah Tuberkulosis dan HIV
21
soliter
atau coin lesion
c. Patogenesis (pada TBC & HIV) (Penjelasan lengkap di kerangka konsep)
22
Pathogenesis of TB Infection and Disease.
d. Cara menegakkan diagnosis pada kasus 1.
Anamnesis
Identitas pasien Nama, usia (balita atau orang tua), pekerjaan, tempat tinggal (sosioekonomi rendah) Keluhan utama Batuk darah massive. Keluhan tambahan Sesak napas, demam ringan, penurunan berat badan dan nafsu makan menurun. Riwayat penyakit lain HIV. 2. Pemeriksaan fisik Inspeksi :
Sakit berat, pucat, pembesaran limfa nodul di leher
kanan. Auskultasi :
Ronki basah, vesikular meningkat
3. Pemeriksaan laboratorium Untuk tuberculosis paru pada orang dewasa, maka perlu dilakukan : Pemeriksaan dahak mikroskopis (cara diagnosis utama) BTA (-) Pemeriksaan darah rutin Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan proses kronis dan disertai LED yang tinggi (salah satu tanda infeksi). Pembiakan BTA 4. Pemeriksaan penunjang Foto toraks Infiltrat dengan lokasi dilapangan atas paru (apeks) kanan.
23
e. Pemeriksaan tambahan yang diperlukan
Mantoux Tuberculin Skin Test Digunakan untuk menilai infeksi tuberculosis. Tes ini dilakukan dengan menyuntikkan sedikit cairan tuberculin intradermal pada bagian lengan bawah. Selanjutnya tes dianalisis setelah 48 – 72 jam mulai dari penyuntikan.
Pemeriksaan sputum secara mikroskopik langsung Pemeriksaan sputum secara mikroskopis merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah dan murah. Pemeriksaan bersifat spesifik dan cukup sensitive. Mycobacterium tuberculosis: »
Berbentuk batang
»
Sifat tahan terhadap penghilangan warna dengan asam dan alkohol karena itu disebut Basil Tahan Asam (BTA)
24
»
Dapat dilihat di mikroskop bila jumlah kuman paling sedikit 5000/ml sputum. Sputum yang baik diperiksa adalah sputum kental dan purulen warna hijau kekuningan. Volume 3-5 ml tiap pengambilan. Tujuan pemeriksaan sputum:
»
Menegakkan diagnosis dan menentukan klafikasi/tipe
»
Menilai kemajuan pengobatan
»
Menentukan tingkat penularan
Pengumpulan sputum Sputum ditampung dalam pot sputum yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm, tutup berulir tidak mudah pecah dan bocor. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan 3 spesimen sputum Sewaktu Pagi Sewaktu(SPS). Dikumpulkan dalam 2 hari kunjungan yang berurutan. Pelaksanaan pengumpulan sputum SPS : »
S (sewaktu), sputum dikumpulkan pada saat suspek TB datang pertama kali. Pada saat pulang suspek membawa sebuah pot sputum untuk sputum hari kedua
»
P (pagi), sputum dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua segera setelah bangun tidur
»
S (sewaktu), sputum dikumpulkan di UPK pada hari kedua saat menyerahkan sputum pagi
Pewarnaan Kuman BTA »
Metode pewarnaan Ziehl-Neelsen :
»
Pewarnaan fluoresensi dengan larutan auramin-rodamin
Setelah pewarnaan, sediaan diperiksa dibawah mikroskop dan dinilai interpretasi : + : Terdapat 10 kuman > 15 menit ++ : 20 kuman / 10 lapangan penglihatan +++
: 60 kuman / 10 lapangan penglihatan
++++
: 120 kuman / 10 lapangan penglihatan
+++++
: > 120 kuman / 10 lapangan penglihatan
25
dengan
Pembacaan hasil »
Basil tahan asam berwarna merah
»
Basil tidak tahan asam berwarna biru
»
SPS. Menurut Depkes bila 2 dari 3 spesimen tersebut hasilnya BTA (+) TB
»
Pembacaan hasil dengan menggunakan skala IUATLD:
Negatif (-), tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang Meragukan (ditulis jumlah kuman yang ditemukan), 1-9 BTA dalam 100 lapangan pandang Positif 1 (+), 10 – 99 BTA dalam 100 lapangan pandang Positif 2 (++), 1-10 dalam 1 lapangan pandang minimal dibaca 50 lapang pandang Positif 3 (+++), >10 BTA dalam 1 lapangan pandang minimal dibaca 20 lapang pandang Catatan: Bila ditemukan 1 – 3 BTA dalam 100 lapang pandang, pemeriksaan harus diulang dengan spesimen dahak yang baru. Bila hasilnya tetap 1-3 BTA hasilnya dilaporkan negatif. Bila ditemukan 4-9 BTA dilaporkan positif.
Pembiakan Kultur Kuman Diagnosis yang paling pasti dari penyakit tuberkulosis ialah dengan pembuatan kultur/biakan kuman. Bahan spesimen dapat berupa dahak segar, cairan lambung, urin, cairan pleura, cairan olah, cairan sendi, bahan biopsy, dll. Kultur
»
Sputum ditanam pada medium Lowenstein Jensen
»
Inkubasi selama 6-8 minggu
»
Ada pertumbuhan dilakukan pemeriksaan resistensi antibiotik
Tes Resistensi Tes kepekaan kuman tuberkulosis terhadap obat-obatan antituberkulosis. Penting dilakukan untuk pengobatan yang tepat.
Tes Serologi Tes serologi yang dapat membantu diagnosis tuberkulosis adalah tes takahashi. Tes ini merupakan reaksi aglutinasi fosfatida kaolin pada seri pengenceran serum 26
sehingga dapat ditentukan titernya. Titer lebih dari 128 dianggap positif yang berarti proses tuberkulosis masih aktif. Pada kasus TBC, curigai adanya penyakit-penyakit yang memberikan gejala oportunistik TB diantaranya HIV. Adapun diagnosis HIV dapat ditegakkan seperti berikut: gejala
Karakteristik
Mayor
BB meurun lebih dari 70% dalam 1 bulan Demam lebih dari 1 bulan Penurunan kesadaran dan gangguan saraf Ensefalopati HIV
Minor
Batuk menetap lebih dar satu bulan Dermatitis generalisata Herpes zooster Hespes simpleks Limadenopati generalisata Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita Retinitis karena virus sitomegalo
Selain gejala-gejala diatas perlu juga dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan serologi ELISA dan pemeriksaan CD4 untukmenegakkan diagnosis HIV pada pasien TB.
f. Penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi Non farmakologi Memberikan penyuluhan dan penjelasan mengenai penularan penyakit, faktorfaktor resiko, dan cara untuk mencegahnya.
27
Farmakologi Pada pasien HIV dengan TB, diprioritaskan pengobatan TB terutama BTA +. Namun, pasien HIV dengan TB dapat diberikan terapi antiretroviral (ARV) dan pengobatan TB dalam waktu bersamaan. Kondisi
Rekomendasi
TB paru, CD4 < 50, atau TB ekstrapulmonal
Mulai terapi OAT, Segera mulai ARV jika toleransi terhadap OAT telah tercapai
TB paru, CD4 50-200, atau hitung limfosit Mulai terapi OAT, terapi ARV dimulai total 200, atau hitung limfosit Mulai terapi TB, jika mungkin monitor total >1200
hitung CD4. Mulai ARV sesuai indikasi setelah terapi TB selesai
TB paru, CD4 >350
Mulai terapi TB, tunda ARV
CD4 tidak mungkin diperiksa
Mulai terapi TB, pertimbangkan ARV
OAT (Obat Anti Tuberkulosis) Petunjuk pengobatan TB :
Minimal 2 OAT
Regimen jangka pendek
Pengobatan dibagi 2: o Fase initial
: bakterisidal (membunuh kuman)
o Fase continous
: sterilisasi dan mencegah relaps
Resistance test pada kasus TB yang lama
Dosis berdasarkan BB (mg/ kg BB) Obat-obat yang digunakan untuk mengobati TBC digolongkan ke dalam
obat baris pertama dan baris kedua. OAT baris pertama adalah yg paling efektif dan dianggap sangat penting untuk tiap regimen terapi jangka pendek. Dua obat dalam kategori ini adalah isoniazid dan rifampicin. Obat tambahan baris pertama dapat memperpendek kemoterapi (pirazinamid) atau dengan toksisitas yang jarang (etambutol dan streptomisin).
28
Isoniazid (INH – hidrazida asam isonikotinat) o Sediaan oral atau IM o Obat ini adalah obat TB terbaik yang ada sekarang, INH harus tercakup pada semua regimen TB kecuali organismenya resisten. o Obat ini tidak mahal dan mudah disintesis dan ada di seluruh dunia, sangat selektif untuk mikobakterium, dan ditoleransi dengan baik o Cara kerja : menghambat sintesis dinding sel asam mikolat
Rifampicin o Sediaan oral atau IV o Efek bakterisidal intraseluler dan ekstraseluler o Cara kerja : menghambat sintesis RNA dengan mengikat dan menghambat RNA polimerase
Pirazinamid (PZA) o Sediaan oral o Cara kerja belum diketahui
Etambutol o Pemberian oral o Obat ini paling sering digunakan bersamaan dengan rifampisin pada pengobatan TB pada pasien yang tidak dapat mentoleransi INH/ resisten INH o Cara kerja : arabynosyl transferase, lipid metabolisme
Streptomisin o Hanya untuk pemberian IM o Cara kerja : streptomisin menghambat sintesis protein dengan mengacau fungsi ribosom.
29
Regimen Berdasarkan Kategori (WHO / Depkes RI)
OAT baris kedua secara klinis kurang efektif dan insidensi reaksi obat yang berat juga jauh lebih tinggi. Obat-obat ini jarang digunakan pada terapi dan anya diberikan oleh individu yang berpengalaman. Obat-obat ini antara lain asam para-aminosalisilat, etionamida, sikloserin, kanamisin, amikasin, kapreomisin, dan tiasetazon. ART (Terapi Antiretroviral) Terapi antiretroviral (ART) berarti mengobati infeksi HIV dengan beberapa obat. Karena HIV adalah retrovirus, obat ini biasa disebut sebagai obat antiretroviral (ARV). ARV tidak membunuh virus. Namun, ART melambatkan pertumbuhan virus. Waktu pertumbuhan virus dilambatkan, begitu juga penyakit HIV. Setiap tipe atau „golongan‟ ARV menyerang HIV dengan cara berbeda. Saat ini ada lima golongan obat disetujui di AS. Golongan
obat
anti-HIV
pertama
adalah
nucleoside reverse
transcriptase inhibitor atau NRTI, disebut juga analog nukleosida. Obat golongan ini menghambat perubahan bahan genetik HIV dari bentuk RNA menjadi bentuk DNA.
30
Obat dalam golongan ini yang disetujui di AS dan masih dibuat adalah:
3TC (lamivudine)
Abacavir (ABC)
AZT (ZDV, zidovudine)
d4T (stavudine)
ddI (didanosine)
Emtricitabine (FTC)
Tenofovir (TDF; analog nukleotida) Golongan obat kedua menghambat langkah yang sama dalam siklus hidup
HIV, tetapi dengan cara lain. Obat ini disebut non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor atau NNRTI. Lima NNRTI disetujui di AS:
Delavirdine (DLV)
Efavirenz (EFV)
Etravirine (ETV)
Nevirapine (NVP)
Rilpivirine (RPV)
Golongan ketiga ARV adalah protease inhibitor (PI). Obat golongan ini menghambat bahan virus baru dipotong sesuai untuk membuat virus baru. Sembilan PI disetujui dan masih dibuat di AS:
Atazanavir (ATV)
Darunavir (DRV)
Fosamprenavir (FPV)
Indinavir (IDV)
Lopinavir (LPV)
Nelfinavir (NFV)
Ritonavir (RTV)
Saquinavir (SQV)
Tipranavir (TPV)
31
Golongan ARV keempat adalah fusion inhibitor. Obat golongan ini mencegah pengikatan HIV pada sel. Dua obat golongan ini sudah disetujui di AS:
Enfuvirtide (T-20)
Maraviroc (MVC) Golongan ARV terbaru adalah integrase inhibitor (INI). Obat golongan
ini mencegah pemaduan kode genetik HIV dengan kode genetik sel. Obat INI pertama adalah:
Raltegravir (RGV)
Penggunaan ARV Obat ARV umumnya dipakai dalam gabungan dengan tiga atau lebih ARV dari lebih dari satu golongan. Hal ini disebut sebagai terapi kombinasi, atau terai antiretroviral (ART). ART bekerja jauh lebih baik daripada hanya satu ARV sendiri. Cara penggunaan obat ini mencegah munculnya resistansi. Resistansi Waktu HIV menggandakan diri, sebagian dari bibit HIV baru dapat menjadi sedikit berbeda dengan aslinya. Jenis berbeda ini disebut mutan. Kebanyakan mutan langsung mati, tetapi beberapa di antaranya terus menggandakan diri, walaupun kita tetap memakai ART – mutan tersebut ternyata kebal terhadap obat. Jika ini terjadi, obat tidak bekerja lagi. Hal ini disebut sebagai „mengembangkan resistansi‟ terhadap obat tersebut. Jika hanya satu jenis ARV dipakai, virus secara mudah mengembangkan resistansi terhadapnya. Oleh karena itu, penggunaan satu jenis ARV (disebut monoterapi) tidak dianjurkan. Tetapi jika dua jenis obat dipakai, virus mutan harus unggul terhadap dua obat ini sekaligus. Dan jika tiga jenis obat dipakai, kemungkinan munculnya mutan yang dapat sekaligus unggul terhadap semuanya sangat kecil. Penggunaan kombinasi tiga jenis ARV berarti membutuhkan jauh lebih lama untuk mengembangkan resistansi.
32
g. Pencegahan Beberapa cara untuk mencegah penluaran penyakit HIV AIDS yaitu : 1. Tidak melakukan hubungan seks pra nikah atau hubungan seks bebas. 2. Saling setia, hanya melakukan hubungan seks dengan pasangan yang sah. 3. Menggunakan kondom bila melakukan hubungan beresiko. 4. Tolak penggunaan narkoba ,khususnya narkoba suntik. 5. Jangan memakai jarum suntik bersama.
Pencegahan Penyebaran TBC Yang menjadi sumber penyebaran TBC adalah penderita TBC, hal yang paling efektif adalah mengurangi penderita TBC. Ada dua cara yang dilakukan pada saat ini dalam mengatasi penyebaran, yaitu terapi dan imunisasi. Untuk terapi, WHO merekomendasikan strategi DOTS. Dalam hal ini ada tiga tahapan penting, yaitu mendeteksi pasien, melakukan pengobatan dan melakukan pengawasan
langsung.
Cara kedua adalah imunisasi. Imunisasi akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit TBC. Vaksin TBC, yang dikenal dengan nama BCG (Bacillus Calmette Guerin) terbuat dari bakteri Mycobacteria Tubercolusis strain BCG. Bakteri ini menyebabkan TBC pada sapi, tapi tidak pada manusia. Vaksin BCG hanya diperlukan sekali seumur hidup. Di Indonesia diberikan kepada balita sebelum berumur dua bulan.
h. Komplikasi Komplikasi HIV Pulmonary complications
Pneumonia
Tuberculosis
Mycobacterium avium complex
Fungal infection (Cryptococcus) CNS complication
Cryptococcal meningitis 33
Cerebral toxoplasmosis
Peripheral neuropathy and myelopathy Ocular disease
CMV retinitis Tumors
Caposi sarcoma
Non-Hodgkins lymphoma Oesophageal candidiasis
Komplikasi TB TB paru yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, poncet‟s arthropathy
Komplikasi lanjut : obstruksi jalan nafas SOFT, kerusakan parenkim berat fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal nafas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.
Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut : Hemoptisis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru. Pneumotorak (adanya udara didalam rongga pleura) spontan : kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian. ginjal dan sebagainya. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
i. Prognosis Berdasarkan keluhan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan. Prognosis untuk mr.X adalah : -
Vitam: malam
-
Fungsionam: dubia et malam
34
j. Kompetensi Dokter Umum Kemampuan 4 yaitu, mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya: pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan mampu menangani problem itu secara mandiri hingga tuntas.
IV. Learning Issues 1. Anatomi dan Fisiologi Saluran Nafas Bawah Saluran Nafas Bagian Bawah
a. Trachea atau Batang tenggorok Merupakan tabung fleksibel dengan panjang kira-kira 10 cm dengan lebar 2,5 cm. trachea berjalan dari cartilago cricoidea kebawah pada bagian depan leher dan dibelakang manubrium sterni,
berakhir
setinggi
angulus
sternalis (taut manubrium dengan corpus sterni) atau sampai kira-kira ketinggian vertebrata torakalis kelima dan di tempat ini bercabang mcnjadi dua bronckus (bronchi). Trachea tersusun atas 16 - 20 lingkaran tak- lengkap yang berupan cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh jaringan fibrosa dan yang melengkapi lingkaran disebelah belakang trachea, selain itu juga membuat beberapa jaringan otot.
b. Bronchus Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian kira-kira vertebrata torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea dan dilapisi oleh.jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu berjalan ke bawah dan kesamping ke arah tampuk paru. Bronckus kanan lebih pendek dan lebih lebar, dan lebih vertikal daripada yang kiri, sedikit lebih tinggi darl arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang utama lewat di bawah arteri, disebut bronckus lobus bawah.
35
Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan, dan berjalan di bawah arteri pulmonalis sebelurn di belah menjadi beberapa cabang yang berjalan kelobus atas dan bawah. Cabang utama bronchus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronchus lobaris dan kemudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronchus yang ukurannya semakin kecil, sampai akhirnya menjadi bronkhiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantong udara). Bronkhiolus terminalis memiliki garis tengah kurang lebih I mm. Bronkhiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan. Tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkiolus terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya adalah sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru yaitu alveolus.
a. Paru-Paru Merupakan sebuah alat tubuh
yang
sebagian besar terdiri atas gelembunggelembung kecil ( alveoli ). Alveolus yaitu tempat pertukaran gas assinus terdiri dari bronkhiolus
dan
respiratorius
yang
terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya. Ductus alveolaris
seluruhnya
dibatasi
oleh
alveoilis dan sakus alveolaris terminalis merupakan
akhir
paru-paru,
asinus
atau.kadang disebut lobolus primer memiliki tangan kira-kira 0,5 s/d 1,0 cm. Terdapat sekitar 20 kali percabangan mulai dari trachea sampai Sakus Alveolaris. Alveolus dipisahkan oleh dinding yang dinamakan pori-pori kohn. Paru-paru dibagi menjadi dua bagian, yaitu paru-paru kanan yang terdiri dari 3 lobus ( lobus pulmo dekstra superior, lobus pulmo dekstra media, lobus pulmo dekstra inferior) dan paru-paru kiri yang terdiri dari 2 lobus ( lobus sinistra superior dan lobus sinistra inferior). 36
Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang lebih kecil yang bernama segmen. Paru-paru kiri memiliki 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior dan lima lobus inferior. Paru-paru kiri juga memiliki 10 segmen, yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, 2 buah segmen pada lobus medialis, dan 3 segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus. Letak paru-paru di rongga dada datarnya menghadap ke tengah rongga dada / kavum mediastinum.. Pada bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selapus tipis yang pernama pleura . Pleura dibagi menjadi dua yaitu pleura visceral ( selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru-paru dan pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar. Antara kedua lapisan ini terdapat rongga kavum yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini vakum/ hampa udara. Suplai Darah Setiap arteria pulmonalis, membawa darah deoksigenasi dari ventrikel kanan jantung, memecah bersama dengan setiap bronkus menjadi cabang-cabang untuk lobus, segmen dan lobules. Cabang-cabang terminal berakhir dalam sebuah jaringan kapiler pada permukaan setiap alveolus. Jaringan kapiler ini mengalir ke dalam vena yang secara progresif makin besar, yang akhirnya membentuk vena pulmonalis, dua pada setiap sisi, yang dilalui oleh darah yang teroksigenasi ke dalam atrium kiri jantung. Artheria bronchiale yang lebih kecil dari aorta menyuplai jaringan paru dengan darah yang teroksigenasi.
37
2. HIV HIV yang merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus adalah Virus penyebab AIDS.
HIV terdapat di dalam cairan tubuh seseorang yang telah terinfeksi seperti di dalam darah, air mani atau cairan vagina
Sebelum HIV berubah menjadi AIDS, penderitanya akan tampak sehat dalam waktu kira-kira 5 sampai 10 tahun.
Walaupun tampak sehat, mereka dapat menularkan HIV pada orang lain melalui hubungan seks yang tidak aman, tranfusi darah atau pemakaian jarum suntik secara bergantian. HIV dapat ditularkan melalui 3 cara, yaitu :
Hubungan seks (anal, oral, vaginal) yang tidak terlindungi dengan orang yang telah terinfeksi HIV.
Transfusi darat atau penggunaan jarum suntik secara bergantian.
Melalui Alat Suntik. HIV tidak ditularkan melalui jabatan tangan, sentuhan, ciuman, pelukan, menggunakan peralatan makan/minum yang sama, gigitan nyamuk, memakai jamban yang sama atau tinggal serumah.
Etiologi Penyebab penyakit HIV/AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus, yaitu virus yang menyebabkan penurunan daya kekebalan tubuh. HIV termasuk genus retrovirus dan tergolong ke dalam family lentivirus. Infeksi dari family lentivirus ini khas ditandai dengan sifat latennya yang lama, masa inkubasi yang lama, replikasi virus yang persisten dan keterlibatan dari susunan saraf pusat (SSP). Sedangkan ciri khas untuk jenis retrovirus yaitu : dikelilingi oleh membran lipid, mempunyai kemampuan variasi genetik yang tinggi, mempunyai cara yang unik untuk replikasi serta dapat menginfeksi seluruh jenis vertebra.
38
Struktur HIV
Gambar 1 : Struktur HIV Envelope berisi: a. lipid yang berasal dari membran sel host. b. mempunyai 72 semacam paku yang dibuat dari gp 120 dan gp 41, setiap paku disebut trimer dimana terdiri dari 3 copy dari gp 120, gp 41. c. Protein yang sebelumnya terdapat pada membran sel yang terinfeksi. d. gp 120 : glikoprotein yang merupakan bagian dari envelope (sampul) yang tertutup oleh molekul gula untuk melindungi dari pengenalan antibodi, yang berfungsi mengenali secara spesifik reseptor dari permukaan target sel dan secara tidak langsung berhubungan dengan membran virus lewat membran glikoprotein. e. gp 41 : transmembran glikoprotein yang berfungsi melakukan trans membran virus, mempercepat fusion (peleburan) dari host dan membran virus dan membawa HIV masuk ke sel host. f. RNA dimer dibentuk dari 2 single strand dari RNA. g. Matrix protein : garis dari bagian dalam membran virus dan bisa memfasilitasi perjalanan dari HIV DNA masuk ke inti host. h. Nukleocapsid : mengikat RNA genome. i. Capsid protein : inti dari virus HIV yang berisikan 2 kopi dari RNA genom dan 3 macam enzim (reverse transcriptase, protease dan integrase).
39
Siklus Replikasi Virus Virus hanya dapat bereplikasi dengan menggunakan atau memanfaatkan sel hostnya. Siklus replikasi dari awal virus masuk ke sel tubuh sampai menyebar ke organ tubuh yang lain melalui 7 tahapan, yaitu: 1) Sel - sel target mengenali dan mengikat HIV
HIV berfusi (melebur) dan memasuki sel target
gp 41 membran HIV merupakan mediator proses fusi
RNA virus masuk kedalam sitoplasma
Proses dimulai saat gp 120 HIV berinteraksi dengan CD4 dan ko-reseptor 2) RNA HIV mengalami transkripsi terbalik menjadi DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptase 3) Penetrasi HIV DNA ke dalam membran inti sel target 4) Integrasi DNA virus ke dalam genom sel target dengan bantuan enzim integrase 5) Ekspresi gen-gen virus 6) Pembentukan partikel-partikel virus pada membran plasma dengan bantuan enzim protease 7) Virus-virus yang infeksius dilepas dari sel, yang disebut virion
Gambar 2 : Siklus Replikasi HIV
40
Transmisi HIV HIV terdapat dalam cairan tubuh ODHA, dan dapat dikeluarkan melalui cairan tubuh tersebut. Seseorang dapat terinfeksi HIV bila kontak dengan cairan tersebut. Meskipun berdasarkan penelitian,virus terdapat dalam saliva, air mata, cairan serebrospinal dan urin, tetapi cairan tersebut tidak terbukti berisiko menularkan infeksi karena kadarnya sangat rendah dan tidak ada mekanisme yang memfasilitasi untuk masuk ke dalam darah orang lain, kecuali kalau ada luka. Cara penularan yang lazim adalah melalui hubungan seks yang tidak aman (tidak menggunakan kondom) dengan mitra seksual terinfeksi HIV, kontak dengan darah yang terinfeksi (tusukan jarum suntik, pemakaian jarum suntik secara bersama, dan produk darah yang terkontaminasi) dan penularan dari ibu ke bayi (selama kehamilan, persalinan dan sewaktu menyusui). Cara lain yang lebih jarang seperti, tato, transplantasi organ dan jaringan, inseminasi buatan, tindakan medis semi invasif. Cara penularan yang tersering di dunia adalah secara seksual melalui mukosa genital dengan angka kejadian sampai 85%. Risiko penularan tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya adanya ulkus genital atau infeksi menular seksual (IMS) dan faktor genetik. Tidak ada risiko penularan pada hubungan sosial, kontak nonseksual seperti, berciuman, pemakaian bersama alat makan (misalnya gelas), tubuh yang bersentuhan, atau penggunaan toilet umum. HIV tidak disebarkan oleh nyamuk atau serangga lainnya.
Perjalanan penyakit HIV/AIDS Perjalanan infeksi HIV ditandai dalam tiga tahap: penyakit primer akut, penyakit kronis asimtomatis dan penyakit kronis simtomatis.
41
Infeksi Primer (sindrom retroviral akut) Setelah terjadi infeksi HIV mula-mula bereplikasi dalam kelenjar limfe regional. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah virus secara cepat di dalam plasma, biasanya lebih dari 1 juta copy/μl. Tahap ini disertai dengan penyebaran HIV ke organ limfoid, saluran cerna dan saluran genital. Setelah mencapai puncak viremia, jumlah virus atau viral load menurun bersamaan dengan berkembangnya respon imunitas seluler. Puncak viral load dan perkembangan respon imunitas seluler berhubungan dengan kondisi penyakit yang simptomatik pada 60 hingga 90% pasien. Penyakit ini muncul dalam kurun waktu 3 bulan setelah infeksi. Penyakit ini menyerupai ‘glandular fever’ like illness dengan ruam, demam, nyeri kepala, malaise dan limfadenopati luas. Sementara itu tingginya puncak viral load selama infeksi primer tidak menggambarkan perkembangan penyakit tapi terkait dengan beratnya keluhan yang menandakan prognosis yang jelek. Fase ini mereda secara spontan dalam 14 hari.
Infeksi HIV Asimptomatis/ dini Dengan menurunnya penyakit primer, pada kebanyakan pasien diikuti dengan masa asimptomatis yang lama, namun selama masa tersebut replikasi HIV terus berlanjut, dan terjadi kerusakan sistem imun. Beberapa pasien mengalami limfadenopati generalisata persisten sejak terjadinya serokonversi (perubahan tes antibodi HIV yang semula negatif menjadi positif) perubahan akut (dikenal dengan limfadenopati pada dua lokasi non-contiguous dengan sering melibatkan rangkaian kelenjar ketiak, servikal, dan inguinal). Komplikasi kelainan kulit dapat terjadi seperti dermatitis seboroik terutama pada garis rambut atau lipatan nasolabial, dan munculnya atau memburuknya psoriasis. Kondisi yang berhubungan dengan aktivasi imunitas, seperti purpura trombositopeni idiopatik, polimiositis, sindrom GuillainBarre dan Bell’s palsy dapat juga muncul pada stadium ini.
42
Infeksi Simptomatik Komplikasi kelainan kulit, selaput lendir mulut dan gejala konstitusional lebih sering terjadi pada tahap ini. Meskipun dalam perjalanannya jarang berat atau serius, komplikasi ini dapat menyulitkan pasien. Penyakit kulit seperti herpes zoster, folikulitis bakterial, folikulitis eosinofilik, moluskum kontagiosum, dermatitis seboroik, psoriasis dan ruam yang tidak diketahui sebabnya, sering dan mungkin resisten terhadap pengobatan standar. Kutil sering muncul baik pada kulit maupun pada daerah anogenital dan mungkin resisten terhadap terapi. Sariawan sering juga muncul pada stadium ini. Seperti juga halnya kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, dan eritema ginggivalis (gusi) linier. Gingivitis ulesartif nekrotik akut, merupakan komplikasi oral yang sulit diobati. Gejala
konstitusional
yang
mungkin
berkembang
seperti
demam,
berkurangnya berat badan, kelelahan, nyeri otot, nyeri sendi dan nyeri kepala. Diare berulang dapat terjadi dan dapat menjadi masalah. Sinusitis bakterial merupakan manifestasi yang sering terjadi. Nefropati (kelainan ginjal) HIV dapat juga terjadi pada stadium ini.
Stadium Lanjut Penyakit stadium lanjut ditandai oleh suatu penyakit yang berhubungan dengan penurunan imunitas yang serius. Keadaan tersebut disebut sebagai infeksi oportunistik.
Kecepatan Perkembangan Infeksi HIV Kecepatan perkembangan penyakit bervariasi antar individu, berkisar antara 6 bulan hingga lebih 20 tahun. Waktu yang diperlukan untuk berkembang menjadi AIDS adalah sekitar 10 tahun, bila tanpa terapi antiretroviral. Dalam 5 tahun, sekitar 30% ODHA dewasa akan berkembang menjadi AIDS kecuali bila diobati dengan ARV.
Pertanda perkembangan HIV Jumlah CD4 Kecepatan penurunan CD4 (baik jumlah absolut maupun persentase CD4) telah terbukti dapat dipakai sebagai petunjuk perkembangan penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurun secara bertahap selama perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu ke waktu rata-rata 100 sel/tahun. Jumlah CD4 lebih menggambarkan 43
progresifitas AIDS dibandingkan dengan tingkat viral load, meskipun nilai prediktif dari viral load akan meningkat seiring dengan lama infeksi. Viral Load Plasma Kecepatan peningkatan Viral load (bukan jumlah absolut virus) dapat dipakai untuk memperkirakan perkembangan infeksi HIV. Viral load meningkat secara bertahap dari waktu ke waktu. Pada 3 tahun pertama setelah terjadi serokonversi, viral load berubah seolah hanya pada pasien yang berkembang ke arah AIDS pada masa tersebut. Setelah masa tersebut, perubahan viral load dapat dideteksi, baik akselerasinya maupun jumlah absolutnya, baru keduanya dapat dipakai sebagai petanda progresivitas penyakit. Testing HIV Diagnosis infeksi HIV biasanya dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan menunjukkan adanya antibodi spesifik. Berbeda dengan virus lain, antibodi tersebut tidak mempunyai efek perlindungan. Pemeriksaan secara langsung juga dapat dilakukan, yaitu antara lain dengan melakukan biakan virus, antigen virus (p24), asam nukleat virus. Pemeriksaan adanya antibodi spesifik dapat dilakukan dengan Rapid Test, Enzime Linked Sorbent Assay (ELISA) dan Western Blot. Sesuai dengan pedoman nasional, diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan 3 jenis pemeriksaan Rapid Test yang berbeda atau 2 jenis pemeriksaan Rapid Test yang berbeda dan 1 pemeriksaan ELISA. Setelah mendapat infeksi HIV, biasanya antibodi baru terdeteksi setelah 3 – 12 minggu, dan masa sebelum terdeteksinya antibodi tersebut dikenal sebagai “periode jendela”. Tes penyaring (antibodi) yang digunakan saat ini dapat mengenal infeksi HIV 6 minggu setelah infeksi primer pada sekitar 80% kasus, dan setelah 12 minggu pada hampir 100% kasus. Sehingga untuk mendiagnosis HIV pada periode jendela dapat dilakukan dengan pemeriksaan antigen p24 maupun Polymerase Chain Reaction (PCR).
44
STADIUM KLINIS HIV/AIDS WHO telah menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS untuk dewasa maupun anak yang sedang direvisi. Untuk dewasa maupun anak, stadium klinis HIV/AIDS masingmasing terdiri dari 4 stadium. Jika dilihat dari gejala yang terjadi pembagian stadium klinis HIV/AIDS adalah sebagai berikut :
Stadium Klinis HIV/AIDS Untuk Dewasa Dan Remaja Stadium Klinis HIV/AIDS Untuk Dewasa dan Remaja adalah sebagai berikut : 1. Infeksi primer HIV a) Asimptomatik b) Sindroma retroviral akut
2. Stadium Klinis 1 a) Asimptomatik b) Limfadenopati meluas persisten
3. Stadium Klinis 2 a) Berat badan menurun yang sebabnya tidak dapat dijelaskan b) Infeksi saluran napas berulang (sinusitis, tonsilitis, bronkitis, otitis media, a) faringitis) b) Herpes zoster c) Cheilits angularis d) Ulkus mulut berulang e) Pruritic papular eruption (PPE) f) Dermatitis seboroika g) Infeksi jamur kuku
45
4. Stadium Klinis 3 a) Berat badan menurun yang tidak dapat dijelaskan sebabnya ( > 10%) b) Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan sebabnya lebih dari 1 bulan c) Demam yang tidak diketahui sebabnya (intermiten maupun tetap selama a) lebih dari 1 bulan) d) Kandidiasis oral persisten e) Oral hairy leukoplakia f) Tuberkulosis (TB) paru g) Infeksi bakteri yang berat (empiema, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, b) meningitis, bakteriemi selain pneumonia) h) Stomatitis, gingivitis atau periodontitis ulseratif nekrotikans yang akut i) Anemia (Hb < 8 g/dL), netropeni (< 500/mm3), dan/atau trombositopeni kronis c) (< 50.000/mm3) yang tak dapat diterangkan sebabnya
5. Stadium Klinis 4 a) HIV wasting syndrome (berat badan berkurang >10% dari BB semula, disertai d) salah satu dari diare kronik tanpa penyebab yang jelas (>1 bulan) atau e) kelemahan kronik dan demam berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas). b) Pneumonia pneumocystis c) Pneumonia bakteri berat yang berulang d) Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial, anorektal atau genital lebih dari f) sebulan atau viseral dimanapun) e) Kandidiasis esofagus (atau di trakea, bronkus atau paru) f) Tuberkulosis ekstra paru g) Sarkoma Kaposi h) Infeksi Cytomegalovirus (retinistis atau infeksi organ lain) i) Toksoplasmosis susunan saraf pusat j) Ensefalopati HIV k) Kriptokokus ekstra paru termasuk meningitis l) Infeksi mikobakterium non-tuberkulosis yang luas (diseminata) m) Progressive multifocal leucoencephalopathy n) Kriptosporidiosis kronis o) Isosporiosis kronis p) Mikosis diseminata (histoplasmosis, koksidioidomikosis, penisiliosis ekstra 46
g) paru) q) Septikemi berulang (termasuk salmonella non-tifoid) r) Limfoma (otak atau non-Hodgkin sel B) s) Karsinoma serviks invasif t) Leishmaniasis diseminata atipikal
3. TBC Terdapat dua macam respon imun pertahanan tubuh terhadap infeksi tuberkulosis yaitu respon imun selular (sel T dan makrofag yang teraktivasi) bersama sejumlah sitokin dan pertahanan secara humoral (anti bodi-mediated). Respon imun seluler lebih banyak memegang peranan dalam pertahan tubuh terhadap infeksi tuberkulosis. Pertahanan secara humoral tidak bersifat protektif tetapi lebih banyak digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis. Untuk menimbulkan respons antibodi maka sel B dan sel T harus saling berinteraksi. Antigen yang berada di dalam makrofag atau yang berfungsi sebagai antigen presenting cell (APC) menyajikan antigen mikroba kepada sel Th. Aksi pengenalan itu sel Th bersama-sama ekspresi MHC kelas II kepada sel Th, mengaktivasi sel B untuk memproduksi antibodi spesifik terhadap antigen. Aktivasi sel T menyebabkan terjadinya diferensiasi B menjadi sel plasma yang kemudian menghasilkan antibodi. Sel B menerima signal dari sel T untuk berbagi dan berdiferensiasi menjadi antibodi forming cells (APC) dan sel memori B. Respon imun primer terjadi sewaktu antigen pertama kali masuk ke dalam tubuh, yang ditandai dengan munculnya IgM beberapa hari setelah pemaparna. Kadar IgM mencapai puncaknya pada hari ke-7. pada 6-7 hari setelah pemaparan, barulah bisa di deteksi IgG pada serum, sedangkan IgM mulai berkurang sebelum kadar IgG mencapai puncaknya yaitu 10-14 hari setelah pemaparan anti gen. Respon imun sekunder terjadi apabila pemaparan anti gen terjadi untuk yang kedua kalinya, yang di sebut juga booster. Puncak kadar IgM pada respon sekunder ini umumnya tidak melebihi puncaknya pada respon primer, sebaliknya kadar IgG meningkat jauh lebih tinggi dan berlangsung lebih lama. Perbedaan dalam respon ini di sebabkan adanya sel B dan sel T memory akibat pemaparan yang pertama (Kardjito, 1996). Ketika Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam paru – paru, proteksi utama respon imun spesifik terhadap bakteri intaseluler berupa imunitas selular. Imunitas seluler terdiri dari sel CD4+ yang mengaktifkan makrofag yang 47
memproduksi IFN-γ dan CD8+ yang memacu pembunuhan mikroba serta lisis sel terinfeksi. Makrofag yang diaktifkan sebagai respon terhadap mikroba intraseluler dapat pula membentuk granuloma dan menimbulkan kerusakan jaringan. Bakteri intraseluler dimakan makrofag dan dapat hidup dalam fagosom dan masuk dalam sitoplasma. CD4+ memberikan respon terhadap peptide antigen MHC-II asal bakteri intravesikular,
memproduksi
IFN-γ
yang
mengaktifkan
makrofag
untuk
menghancurkan mikroba dalam fagosom. CD4+ naif dapat berdeferensiasi menjadi sel Th1 yang mengaktifkan fagosit untuk membunuh mikroba yang dimakan. Beberapa jenis kuman, seperti kuman tuberkulosis (TB), lepra (morbus hansen), listeria dan brusela dapat hidup terus serta melanjutkan pertumbuhannya di dalam sitoplasma makrofag setelah mereka difagositosis. Induksi respons kekebalan spesifik sekunder terhadap sejenis mikroba dapat merangsang tubuh untuk serentak memberikan kekebalan nonspesifik pada mikroba lain yang mempunyai sifat pertumbuhan yang sama. Bukti secara eksperimental menunjukkan bahwa pertahanan anti mikobakteri adalah makrofag dan limfosit T. Sel fagosit mononuklear atau makrofag berperan sebagai efektor utama sedangkan limfosit T sebagai pendukung proteksi atau kekebalan. Menurut Andersen (1994) M. tuberculosis di inhalasi sehingga masuk ke paruparu, kemudian di telan oleh makrofag. Makrofag tersebut mempunyai 3 fungsi utama, yakni : -
Memproduksi enzim proteolitik dan metabolit lainnya yang memperlihatkan efek mycobactericidal.
-
Memproduksi sitokin sebagai respon terhadap M. tuberculosis yakni IL-1, IL-6, IL-8, IL-10, TNF-a TGF-b. Sitokin mempunyai efek imunoregulator yang penting.
-
Untuk memproses dan menyajikan anti gen terhadap limfosist T. Sitokin yang dihasilkan makrofag mempunyai potensi untuk menekan efek imunoregulator dan menyebabkan manifestasi klinis terhadap tuberkulosis.IL-1 merupakan pirogen endogen menyebabkan demam sebagai karakteristik tuberkulosis. IL-6 akan meningkatkan produksi imunoglobulin oleh sel B yang teraktivasi, menyebabkan hiperglobulinemia yang banyak dijumpai pada pasien tuberkulosis. TGF berfungsi sama dengan IFN untuk meningkatkan produksi metabolit nitrit oksida dan membunuh bakteri serta diperlukan untuk pembentukan granuloma untuk mengatasi infeksi mikobakteri. Selain itu TNF dapat menyebabkan efek patogenesis 48
seperti demam, menurunnya berat badan dan nekrosis jaringan yang merupakan ciri khas tuberkulosis. Akibat adanya akumulasi makrofag maka terjadi penimbunan pada daerah yang terdapat antigen dan terjagi granuloma yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Lesi jaringan oleh basil TBC pada dasarnya ada dua tipe, tipe eksudatif dan tipe produktif. Tipe eksudatif adalah suatu reaksi radang akut; terjadi udema sel leukosit polimorfonuklear, kemudian monosit terkumpul di sekeliling basil TBC yang bersarang di tempat itu.Lesi ini kemungkinan sembuh sempuma, nekrosis jaringan, atau berkembang menjadi tipe produktif. Tipe produktif ditandai timbunan sel radang di sekitar basil. Lesi ini tersusun atas banyak tuberkel yang kemudian membesar, atau mengelompok, atau mencair dan mengalami proses kaseasi. Pada tuberkulosis primer, perkembangan infeksi M. tuberculosis pada target organ tergantung pada derajat aktivitas anti bakteri makrofag dari sistem imun alamiah serta kecepatan dan kualitas perkembangan sistem imun yang di dapat. Oleh sistem imun alamiah, basil akan di eliminasi oleh kerja sama antara alveolar makrofag dan NK sel melalui sitokin yang dihasilkannya yakni TNF-a dan INF-g. Mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi ini terutama dilakukan oleh sel-sel pertahanan (sel T dan makrofag yang teraktivasi) bersama sejumlah sitokin. Pada limfonodi regional, terjadi perkembangan respon imun adaptif, yang akan mengenali basil tuberkulosis. Tipe respon imun ini sangat tergantung pada sitokin yang dihasilkan oleh sistem imun alamiah. Dominasi produksi sitokin oleh makrofag yang mensekresikan IL-12 akan merangsang respon sel Th 1, sedangkan bila IL-4 yang lebih banyak disekresikan oleh sel-T maka akan timbul respon oleh sel Th 2. Tipe respon imun ini akan menentukan kualitas aktivasi makrofag untuk mempresentasikan anti gen kepada sel-T khususnya melalui jalur MHC kelas-II (Ilangumaran, 1994).
49
Tahapan respon kekebalan terhadap Mycobacterium tuberculosis. Selama
imunitas
adaptif
berkembang
untuk
mempercepat
aktivasi
makrofag/monosit, terjadilah bakteremia. Basil menggunakan makrofag sebagai sarana untuk menyebar dan selanjutnya tumbuh dan menetap pada sel-sel fagosit di berbagai organ tubuh. Peristiwa ini akan terjadi bila sel-T spesifik yang teraktivasi pada limfonodi mengalami resirkulasi dan melewati lesi yang meradang yang selanjutnya akan membentuk granuloma. Pada peristiwa ini TNF memegang peranan yang sangat vital. Bila respon imun adaptif berkembang tidak adekuat maka akan timbul manifestasi klinis akibat penyebaran basil yang berupa tuberkulosis milier atau tuberkulosis meningen (Zeiss, 1984).
50
Granuloma merupakan mekanisme pertahanan utama dengan cara membatasi replikasi bakteri pada fokus infeksi. Granuloma terutama terdiri atas makrofag dan sel-T. Selama interaksi antara anti gen spesifik dengan sel fagosit yang terinfeksi pada berbagai organ, sel-T spesifik memproduki IFN-g dan mengaktifkan fungsi anti mikroba makrofag. Dalam granuloma terjadi enkapsulasi yang di picu oleh fibrosis dan kalsifikasi serta terjadi nekrosis yang menurunkan pasokan nutrien dan oksigen, sehingga terjadi kematian bakteri. Akan tetapi sering terjadi keadaan di mana basil tidak seluruhnya mati tapi sebagian masih ada yang hidup dan tetap bertahan dalam bentuk dorman. Infeksi yang terlokalisir sering tidak menimbulkan gejala klinis dan bisa bertahan dalam waktu yang lama (Kardjito, 1996). Pada tuberkulosis post primer, pertahanan tubuh di dominasi oleh pembentukan elemen nekrotik yang lebih hebat dari kasus infeksi primer. Elemenelemen nekrotik ini akan selalu dikelurkan sehingga akhirnya akan terbentuk kavitas. Limfadenitis regional jarang terjadi, M. tuberculosis menetap dalam makrofag dan pertumbuhannya di kontrol dalam fokus-fokus yang terbentuk. Pembentukan dan kelangsungan hidup granuloma di kontrol oleh sel-T, di mana komunikasi antara sel-T dan makrofag di perantarai oleh sitokin. IL-1b, TNF-a, GM-CSF, TGF-b, IL-6, INF-g dan TNF-b merupakan sitokin yang mengontrol kelangsungan granuloma, sebaliknya IL-4, IL-5 dan IL-10 menghambat pembentukan dan perkembangan granuloma (Kardjito, 1996). Proses aktivasi makrofag oleh sitokin merupakan faktor sentral dalam imunitas terhadap tuberkulosis. Pada sistem ini, INF-g telah di identifikasikan sebagai sitokin utama untuk mengaktivasi makrofag, yang selanjutnya dapat menghambat pertumbuhan patogen ini. Pembentukan granuloma dan kavitas di pengaruhi oleh berbagai macam sitokin sebagai hasil interaksi antara sel-T spesifik, makrofag yang teraktivasi dan berbagai macam komponen bakterial (Alfiano, 1998). Peran Subset Sel T dan Sitokin Proses fagositosis makrofag alveolar terhadap kuman TB terjadi melalui berbagai reseptor antara lain karbohidrat non spesifik, imunologlobulin Fc, sistem komplemen pada permukaan sel kuman dan sel fagositik. Mekanisme lain melalui peranan fibronectin binding protein pada proses fagositosis oleh sel fagositik mononuklerar.
51
Dalam endosomal sel fagositik mononuklear kumam TB hidup bertahan hidup dengan jalan sebagai berikut: 1. Netralisasi fagosomal pada pH yang rendah 2. Interferensi fusi fagolisomone 3. Resisten terhadap enzim lisosomal 4. Inhalasi dari gugusan aksigen reaktif intermediate 5. Sintesa heat shock protein (HSP) 6. Menghindari dari masuk ke dalam sitoplasma Kuman TB mati dan diluncurkan melalui proses aktivasi makrofag oleh sitokin sel T dan berbagai gugusan oksigen reaktif, nitrogen intermediate dan pengaturan level zat besi intraseluler. Antigen dari protein kuman TB yang didegradasikan bersama endosom diproses dan dipresentasikan kepada CD4+ sel T melalui MHC kelas II. Sedangkan antigen protein kuman TB yang berada dalam sitoplasma di presentasikan kepada CD8+ sel T melalui MHC kelas I. Limfosit T perifer memiliki reseptor sel T (TCR) dipermukaan sel dan berikatan secara non kovalen dengan CD3 berguna untuk transuksi signal antigenik ke sitoplasma. Didarah perifer dan organ limfoid 90% ekspresi sel T sebagai a/b TCR ekspresi sel T sebagai a/b TCR dan 10%g/s TCR.Peranan a/b TCR SC4+ cell adalah mengenal berbagai fragmen antigen yang berasal dari endosomal bersama molekul MHC kelas II untuk menghasilkan berbagai sitokin pada respons imun. Pada kasus tertentu CD4+ sel T memiliki efektorlisis seperti pada CD8 + sel T, selanjutnya a/b TCR CD8+ cell berfungsi untuk mengenal fragmen antigen kuman TB dari sitosolik bersama MHC kelas I yang besar kemungkinan berasal dari kompartemen endosomal untuk kemudian ditransfer ke retikulum endoplasmik. Fungsi a/b TCR adalah mengenal antigen kuman TB melalui undertermited presenting molecules pada APC dan menghasilkan berbagai sitokin yang mirip dengan a/b TCR cell untuk tujuan efek sitotoksik pada sel target. Setelah proses pengenalan antigen selanjutnya T cell precursor mensekresi IL-2. sel T CD4+ terdiri dari 2 sub populasi yaitu sel CD4 + Th 1 mensekresi IL-2 dan IFN g serta sel CD4+ Th2 mensekresikan II-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Kedua subpopulasi Th 1 dan Th 2 mensekresi IL-3, GMCSF da TNF a. Sel CD4+ Th-0 memiliki kemampuan untuk berdifrensiasi menjadi sel Th-1 atau Th-2. Sel Th-1 berperan untuk mengaktivasi makrofag melalui IFN-g dan DTH.Sel Th-2 berperan dalam hal produksi antibodi dan inhalasi aktivasi makrofag (IL-10). 52
Selanjutnya IFN-g yang dihasilkan oleh sel Th-1 menghambat profilerasi sel Th-2 sementara IL-4 yang dihasilkan Th-2 menghambat peningkatan sel Th-1. Peranan TNF-a adalah sebagai sitokin utama dalam proses pembentukan granuloma dan banyak ditemukan pada cairan pleura penderita pleuritis TB eksudativa. Sitokin IL-12 dihasilkan oleh makrofag dan sel B yang berperan untuk mengaktivasi Th-1. Fungsi utama CD4+ cell effector adalah untuk aktivasi sitolitik pada infeksi M. tuberkulosis. Sedangkan CD8+ T cell berfungsi pada mekanisme a/b TCR mediatedlysis sel terinfeksi dan mekanisme apoptosis sel target. Sehingga CD8+ T cell berperan untuk proteksi pada fase awal infeksi. Peranan g/s TCR cell adalah untuk memperoleh efek sitolitik monosit bersama antigen kuman TB dengan tujuan mensekresi sitokin pembentuk granuloma.
53
4. Imunologi sistem pernafasan Respons Immunologi terhadap TBC a. Mycobacterium tuberculosis yang masuk ke dalam tubuh akan difagosit oleh makrofag (terutama pada alveolus mengingat port d‟entree Mycobacterium tuberculosis adalah hidung dan saluran pernapasan). b. Masuknya Mycobacterium tuberculosis ini diperantarai oleh reseptor manosa makrofag dan selubung glikolipid-manosa pada Mycobacterium tuberculosis lalu bakteri ini akan masuk dan memanipulasi endosom makrofag.
c. Setelah strain virulen Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam endosom makrofag, terjadi manipulasi berupa penghentian pematangan makrofag dan penghentian pembentukan fagolisosom yang efektif untuk membunuh Mycobacterium tuberculosis. Akibatnya, bakteri ini bebas berproliferasi di dalam makrofag dan dapat menyebar ke berbagai organ lain d. Setelah lebih dari 3 minggu sejak pajanan, terbentuk imunitas seluler terhadap antigen Mycobacterium tuberculosis yang telah diproses pada kelenjar getah bening regional. e. Imunitas seluler ini disajikan dalam bentuk Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II, yaitu suatu molekul yang terletak di permukaan sel leukosit (dalam kasus ini makrofag). MHC kelas 2 ini kemudian akan dipresentasikan ke sel TH0 CD4+. f. Dengan bantuan interleukin 12, sel TH0 CD4+ mengalami pematangan menjadi sel T CD4+ subtipe TH1 yang mampu mengeluarkan gammainterferon (IFN-γ). Sel ini juga mengakibatkan timbulnya respons positif
54
terhadap uji tuberkulin yang menandakan hipersensitivitas tubuh terhadap antigen bakteri penyebab TB. g. IFN-γ berperan penting dalam mengaktivasi makrofag, yang kemudian akan mengeluarkan mediator penting berupa Tumor Necrosis Factor (TNF). h. TNF akan merekrut monosit yang kemudian akan berdiferensiasi menjadi “histiosit epiteloid” yang kemudian membentuk respons granulomatosa sebagai
usaha
melokalisasi
infeksi.
Akibatnya
terbentuklah
radang
granulomatosa (termasuk reaksi hipersensitivitas tipe IV / lambat) dengan necrosis caseosa di bagian sentralnya. i. IFN-γ bersama dengan TNF akan mengaktifkan gen inducible nitric oxide synthase (iNOS) yang menyebabkan peningkatan kadar nitrat oksida di tempat infeksi. Nitrat oksida adalah oksidator kuat dan dapat membentuk zat nitrogen reaktif dan radikal bebas yang mampu menimbulkan kerusakan oksidatif pada dinding sel Mycobacterium tubrculosis sampai DNA bakteri tersebut. j. Selain mengaktivasi makrofag, sel T CD4+ subtipe TH1 mampu merangsang pembentukan sel T sitotoksik CD8+ yang dapat membantu membunuh Mycobacterium tubrculosis k. Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa sel T γδ (T-gamma delta) juga mampu berperan sebagai sel efektor sitotoksik yang dapat merusak makrofag yang telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. l. Bila terjadi pajanan sekunder atau reaktivasi Mycobacterium tuberculosis, penjamu yang telah tersensitasi ini akan merespons dengan mobilisasi cepat sistem pertahan namun disertai dengan peningkatan pembentukan jaringan nekrosis.
55
56
V. KERANGKA KONSEP
57
BAB III PENUTUP
I.
KESIMPULAN
Mr.X, 30 tahun seorang supir truck diduga menderita HIV disertai TBC BTA negative (-)
58
DAFTAR PUSTAKA
o Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : EGC o Kamus Kedokteran Dorland. 2011. Jakarta: EGC. o Robbin, Kumar. 2012. Buku ajar Patologi. Jakarta: EGC o Yuwono. 2012. Palembang : Departemen Mikrobiologi FK Unsri o http://www.medicinesia.com/kedokteran-dasar/respirasi/tuberkulosis-danaspek-imunopatologinya/
59
View more...
Comments