Laporan Tutorial Skenario a Blok 13
March 27, 2018 | Author: David Wijaya | Category: N/A
Short Description
Download Laporan Tutorial Skenario a Blok 13...
Description
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada laporan tutorial kali ini, laporan membahas blok mengenai struktur makro dan mikro sistem tubuh yang berada dalam blok 13 pada semester 3 dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Pada kesempatan ini, dilakukan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. Adapun maksud dan tujuan dari materi praktikum tutorial ini, yaitu: Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
KBK
di
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis dan pembelajaran diskusi kelompok. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami konsep dari skenario ini.
1
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Data Tutorial Tutor
: Dra. Enny Kusumastuti
Moderator
: Muhammad Mukhlis
Sekretaris Papan
: Dwi Juanita Putri
Sekretaris Meja
: David Wijaya
Hari, Tanggal
: Selasa, 18 Desember 2012
Peraturan
: 1. Alat komunikasi di nonaktifkan 2. Dilarang makan dan minum
2.2 Skenario kasus Nn. Fanny, 22 tahun, datang ke poli bedah RSMH dengan keluhan utama terdapat benjolan di leher kiri dan kanan sejak 6 bulan yang lalu. Benjolan makin lama makin besar, tidak disertai nyeri. Benjolan mula – mula terjadi di leher kiri, 1 bulan terakhir teraba juga di leher kanan. Pemeriksaan Fisik : Keadaan Umum : tampak sakit sedang, sensorium kompos mentis, BB 43 kg, TB 156 cm, sedikit anemis, RR : 20x/menit, Nadi 72x/menit, pada auskultasi tidak didapati ronchi Status Lokalis : pada colli sinistra teraba 2 buah nodul ukuran 4x3 cm dan 2x1 cm batas tegas, dan colli dextra 1 buah nodul ukuran 2x1 cm. Hasil laboratorium Hb: 11,2 g% ,Leukosit : 10.800/ mm3 , LED : 43 mm/jam , Diff.count : 0/1/4/46/44/5 Oleh dokter bedah dilakukan biopsi pada kelenjar limfe leher kiri dan spesimen dikirim ke Lab Patologi Anatomi untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi. Hasil pemeriksaan histopatologi : Tampak kelenjar getah bening berkapsul jaringan ikat tipis, bagian korteks tampak folikel limfoid hiperplasia, berbagai ukuran, dengan germinal center aktif. Tampak bagian kelenjar getah bening yang mengalami nekrosis perkijuan dikelilingi oleh sel-sel limfosit, makrofag, epitelioid, 1-2 sel datia langhans dapat dijumpai. Tidak dijumpai tanda-tanda ganas.
3
2.3 Paparan Klarifikasi Istilah 1. Ronchi : Suara yang dihasilkan saat udara melewati jalan yang penuh cairan dan mucus, bernada rendah dan sangat kasar terdengar baik saat inspirasi maupun saat ekspirasi
2. Colli : Regio di antara kepala dan dada.
3. Nodul : tonjolan kecil yang padat dengan batas tegas dan dapat dikenali melalui sentuhan.
4. Biopsi : Pengambilan dan pemeriksaan, biasanya mikroskopik, dari jaringan tubuh yang hidup yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis yang pasti.
5. Diff.count : Tes untuk menentukan proporsi dari jenis-jenis leukosit dalam sampel darah
6. Spesimen : sampel kecil atau bagian yang diambil untuk menunjukkan sifat keseluruhan, seperti sejumlah kecil urin untuk analisis atau sejumlah kecil jaringan untuk pemeriksaan mikroskopik.
7. Histopatologi : Studi tentang sitologi dan histologi dari jaringan yang abnormal atau sakit.
8. Hiperplasia : meningkatnya jumlah sel-sel yang ada di suatu jaringan / organ.
9. Germinal center: bagian di dalam kelenjar getah bening di mana limfosit B matang berproliferasi secara cepat, berdiferensiasi, dan memproduksi antibodi mereka sebagai respon imun normal terhadap infeksi.
10. Epiteliod : makrofag teraktivasi menyerupai sel epitel: panjang, dengan
granula halus, pucat, sitoplasma eosinofilik (merah muda) dan di tengah terdapat inti ovoid (oval atau memanjang), yang kurang padat dibandingkan limfosit
11. Datia Langhans : fusi dari sel epithelioid (makrofag yang teraktivasi), dan mengandung inti tersusun dalam pola yang berbentuk tapal kuda di pinggiran sel
12. Nekrosis Perkijuan: nekrosis dimana jaringan menjadilembek, kering dan lembut seperti keju lembut, paling banyak ditemukan pada tuberculosis dan siphilis.
Identifikasi Masalah
NO KENYATAAN KESESUAIAN 1. Nn. Fanny, 22 tahun, dengan keluhan utama terdapat TSH
KONSEN VVV
benjolan di leher kiri dan kanan sejak 6 yang lalu. Benjolan makin lama makin besar, tidak disertai nyeri. Benjolan mula – mula terjadi di leher kiri, 1 bulan terakhir teraba juga di leher kanan. 2.
Pemeriksaan Fisik :
TSH
V
-
-
Keadaan Umum : tampak sakit sedang, sensorium kompos mentis, BB 43 kg, TB 156 cm, sedikit anemis, RR : 20x/menit, Nadi 72x/menit, pada auskultasi tidak didapati ronchi Status Lokalis : pada colli sinistra teraba 2 buah nodul ukuran 4x3 cm dan 2x1 cm batas tegas, dan colli dextra 1 buah nodul ukuran 2x1 cm. Hasil laboratorium : Hb: 11,2 g% , Leukosit : 10.800/ mm3, LED : 43 mm/jam, Diff.count : 0/1/4/46/44/5 3
Oleh dokter bedah dilakukan biopsi pada kelenjar limfe 5
leher kiri dan spesimen dikirim ke Lab Patologi Anatomi untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi. 4.
Hasil pemeriksaan histopatologi : Tampak kelenjar getah
TSH
V
bening berkapsul jaringan ikat tipis, bagian korteks tampak folikel limfoid hiperplasia, berbagai ukuran, dengan germinal center aktif. Tampak bagian kelenjar getah bening yang mengalami nekrosis perkijuan dikelilingi oleh sel-sel limfosit, makrofag, epitelioid, 1-2 sel datia langhans dapat dijumpai. Tidak dijumpai tanda-tanda ganas
Analisis Masalah Nn. Fanny, 22 tahun, dengan keluhan utama terdapat benjolan di leher kiri dan kanan sejak 6 yang lalu. Benjolan makin lama makin besar, tidak disertai nyeri. Benjolan mula – mula terjadi di leher kiri, 1 bulan terakhir teraba juga di leher kanan. Etiologi dari benjolan pada leher? Beberapa penyebab yang mungkin untuk suatu temuan berupa benjolan pada leher : Limfadenitis Limfoma Karsinoma tiroid Karsinoma laring Karsinoma nasofaring Pembesaran kelenjar saliva submandibularis akibat infeksi atau kanker
Mekanisme terjadinya benjolan pada kasus ? Penderita TB batuk → droplet terhirup → masuk lewat hidung → saluran nafas → paru-paru → alveoli → bertemu makrofag alveoli → fagositosis
Intrapulmonary: Jika makrofag menang → kuman mati Jika makrofag kalah → kuman bermultiplikasi → menyebar ke seluruh paru → TBC primer Paparan terhadap bakteri akan mengaktifkan germinal center. Tujuannya untuk meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel limfosit guna meningkatkan pertahanan tubuh terhadap patogen. Akibatnya, ukuran germinal center dan lymphoid folikel membesar (mengalami hiperplasia). Membesarnya lymphoid folikel akan mengakibatkan ukuran kelenjar getah bening ikut membesar (teraba sebagai benjolan). Keadaan ini dikenal sebagai folikuler limfoid reaktif hiperplasia. Mekanisme lain : Bakteri tuberkulosis, terutama yang berhasil berproliferasi dalam makrofag, masuk ke cairan limfe (menyebar secara limfogenik) dan terbawa ke kelenjar getah bening terdekat. Pada kelenjar getah bening, kuman akan mengakibatkan peradangan (limfadenitis kronik spesifik). Limfadenitis mengakibatkan benjolan pada KGB
Mengapa benjolan tidak terasa nyeri ? Karena benjolan tersebut merupakan akibat infeksi yang sifatnya kronik , bukan akut. Dalam buku patologi Robbins and Kumar juga disebutkan bahwa benjolan akibat peradangan kronik tidak menyebabkan rasa nyeri.
Ciri radang akut : Dolor (nyeri), Kalor (panas), Rubor (kemerahan), Tumor (bengkak), Functio laesa (fungsi menurun atau hilang).
Pemeriksaan Fisik : Keadaan Umum : tampak sakit sedang, sensorium kompos mentis, BB 43 kg, TB 156 cm, sedikit 7
anemis, RR : 20x/menit, Nadi 72x/menit, pada auskultasi tidak didapati ronchi Status Lokalis : pada colli sinistra teraba 2 buah nodul ukuran 4x3 cm dan 2x1 cm batas tegas, dan colli dextra 1 buah nodul ukuran 2x1 cm. Hasil laboratorium Hb: 11,2 g% , Leukosit : 10.800/ mm3, LED :
43 mm/jam, Diff.count :
0/1/4/46/44/5 Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan keadaan umum dan mekanisme terjadinya keadaan yang abnormal (pada kasus)? Tampak sakit sedang : Abnormal. Hal ini menandakan bahwa penyakit yang dialami Nn. Fanny sudah cukup parah. Sensorium kompos mentis : normal
BB : 43 kg, Tinggi : 156 cm à IMT = 17,669 à kurus (normal IMT : 18,5 - 25). Nn. Fanny memiliki badan yang kurus karena pada pasien dengan infeksi kronis biasanya akan mengalami anoreksia. Hal ini disebabkan keberadaan mediator sistemik yang diproduksi oleh T lymphocytes, monocytes, dan macrophages yang teraktivasi. Mediator sistemik tersebut misalnya tumor necrosis factor-alpha /TNFα (reaksi inflamasi), interleukin 1 (membantu regulasi sistem imun dan inflamasi) dan interleukin 6 (B-cell stimulatory factor-2 /BSF-2) dapat mempengaruhi nafsu makan secara negatif. Sitokinsitokin ini bekerja dengan menambah jumlah serotonin (5-hidroksitriptofan atau 5-HT) di hipotalamus. Kadar serotonin yang meninggi ini pada gilirannya akan merangsang sistem melanocortin dan bersama – sama menyebabkan anoreksia. Hal ini membuat input nutrisi dan kalori berkurang. Selain itu, dalam keadaan infeksi, tubuh akan membutuhkan lebih banyak
protein (berguna bagi sistem imun) sehingga turn over rate protein tubuh akan meningkat. Hal ini membuat tubuh lebih banyak memecah protein (terutama
dari
otot)
untuk
mencukupi
kebutuhan
asam
amino.
Tubuh juga membutuhkan lebih banyak energi (output energi meningkat) dalam keadaan terinfeksi. Kurangnya asupan nutrisi akibat tidak nafsu makan, peningkatan katabolisme protein dan peningkatan kebutuhan energi tubuh akan membuat tubuh kita mengalami penurunan berat badan. Nadi 72x/menit à normal (normal : 60-100x) RR : 20x/menità normal (normal 16-14x/menit)
Tidak didapati ronchi à normal (ronchi kering menandakan penyempitan lumen saluran napas dan asthma; ronchi basah terdapat pada fibrosis paru, edema paru, emfisema dan adanya infiltrat paru)
Bagaimana cara pemeriksaan fisik pada KGB ? KGB yang dapat dipalpasi dan sering digunakan dalam pemeriksaan biasanya terletak pada regio kepala dan leher (preauriculer, posterior cervical, anterior cervical, submandibular, dan supraclavicula), aksila (ketiak) dan lipat paha. Pemeriksaan fisik pada KGB biasanya dilakukan dengan observasi dan palpasi. Pertama, KGB dan daerah sekitarnya harus diperhatikan, apakah tambah membesar atau tidak,apakah tampak kemerahan atau tidak. Selanjutnya, dilakukan palpasi dan harus diukur besarnya KGB, ada tidaknya nyeri tekan, rasa hangat pada perabaan, dapat bebas digerakkan atau tidak dapat digerakkan, apakah ada fluktuasi, konsistensi apakah keras atau kenyal. Ukuran : normal bila diameter 0,5cm dan pada lipat paha < 1,5cm Nyeri tekan : umumnya diakibatkan peradangan atau proses perdarahan Konsistensi : keras seperti batu mengarahkan kepada keganasan, padat seperti 9
karet mengarahkan kepada limfoma; sedang – keras mengarahkan kepada proses infeksi menahun seperti tuberkulosis; fluktuatif mengarahkan telah terjadinya abses/pernanahan Penempelan/bergerombol : beberapa KGB yang menempel dan bergerak bersamaan bila digerakkan. Dapat akibat tuberkulosis, sarkoidosis, keganasan. Bagaimana interpretasi pemeriksaan status lokalis dan kaitan dengan kasus ? Hampir semua struktur yang ada pada leher dapat mengalami benjolan/nodul entah itu kelenjar tiroid, paratiroid dan getah bening, maupun benjolan yang berasal dari struktur jaringan lain seperti lemak, otot dan tulang. Batas tegas nodul menandakan bahwa nodul tersebut bukan tumor ganas yang bersifat invasive dimana pada tumor ganas, lesi yang terbentuk tidak berbatas tegas. Beberapa penyebab yang mungkin untuk suatu temuan berupa benjolan pada leher : Limfadenitis Karsinoma tiroid Karsinoma laring Karsinoma nasofaring Pada kasus ini, benjolan adalah akibat limfadenitis kronik spesifik. Differential diagnose untuk limfadenitis pada regio colli: Mononucleosis Upper respiratory viral/bacterial infection Mycobacterial infection Toxoplasma Cytomegalovirus Dental disease Rubella Squamous cell carcinoma (pada regio kepala dan leher) Limfoma Leukimia
Bagaimana interpretasi pemeriksaan laboratorium dan kaitannya dengan kasus? Hb: 11,2 g% à anemia ringan. (normal ♀ :12-15 g/dl, ♂:13-18 g/dl) Anemia ini dapat terjadi karena beberapa mekanisme berikut ini : Penekanan (supresi) eritropoiesis pada sum – sum tulang melalui mediator inflamasi. Defisiensi nutrisi (terutama bila yang mengalami defisiensi adalah zat besi, asam folat dan vitamin B12). Defisiensi asam folat dapat terjadi karena berkurangnya nafsu makan pada pasien dengan infeksi kronis sehingga asupan nutrisi tidak baik atau akibat peningkatan pemakaian folat sebagai akibat aktivitas bakteri tuberkulosis. Defisiensi vitamin B12 lebih jarang terjadi dan dapat ditemui pada penderita TB dengan tuberkulosis ileum dimana terjadi gangguan penyerapan vitamin B12. Defisiensi asam folat dan vitamin B12 mengakibatkan anemia makrocyter dimana ukuran sel darah merah menjadi lebih besar akibat pematangan yang tidak sempurna.
Mekanisme pertahanan tubuh dimana zat besi akan diretensi di sistem RES karena zat besi merupakan salah satu faktor pertumbuhan yang penting bagi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Hal terjadi karena adanya pengikatan zat besi oleh laktoferin yang dihasilkan granulosit akibat inflamasi, kemudian terjadi sekuestrasi zat besi di limpa. Sitokin yang memediasi sistem imun atau respons inflamasi, seperti tumor necrosis factor, interleukin 1 and interferon dapat mengakibatkan pemendekan masa hidup RBC dan insensitivitas tubuh terhadap eritropoietin sehingga RBC cepat hancur dan produksinya berkurang. Ini mengakibatkan jumlah RBC dalam darah berkurang. Leukosit : 10.800/ mm3 à leukositosis (normal 5000-10000/mm3) Peningkatan jumlah sel darah putih ini menandakan ada proses infeksi di dalam tubuh.
11
LED : 43 mm/jam à LED meningkat (normal ♀ :0-20 mm/jam, ♂:0-10 mm/jam) LED dapat meningkat karena : • Jumlah eritrosit kurang dari normal sehingga proporsi plasma dan fibrinnogen di dalam darah meningkat • Ukuran eritrosit yang lebih besar dari ukuran normal, sehingga lebih mudah/cepat membentuk rouleaux → LED ↑. • Peningkatan jumlah leukosit (sel darah putih) → biasanya terjadi pada proses infeksi akut maupun kronis Diff.count : 0/1/4/46/44/5 à Neutropenia dan limfositosis, normalnya : (Basofil: 0-1 %, Eosinofil: 1 – 3 %, Neutrofil batang: 2 – 6 %, Neutrofil
segmen
: 50 – 70 %, Limfosit: 20 – 40 %, Monosit: 2 – 8 %)
DC : Shift to the right à menandakan infeksi kronis Netropenia biasanya merupakan bagian dari anemi dan disebabkan karena fibrosis atau supresi sumsum tulang atau sekuestrasi neutrofi di sistem RES. Defisiensi folat dan vitamin B12 juga dapat menyebabkan netropenia. Dalam keadaan infeksi, tubuh membutuhkan neutrofil untuk menghancurkan penyebab infeksi (terutama bakteri). Neutrofil akan ditarik dari darah dan dikirim ke tempat terjadinya infeksi lalu neutrofil meng-fagositosis bakteri, kemudian mendestruksi bakteri sebelum akhirnya mati. Penarikan neutrofil dari darah ini juga dapat menyebabkan menurunnya kadar neutrofil di dalam darah. Limfositosis merupakan salah satu ciri khas terjadinya infeksi. Pada kasus infeksi, tubuh membutuhkan antibodi yang lebih banyak untuk mengatasi penyebab infeksi. Antibodi dihasilkan oleh sel plasma, yaitu sel limfosit B yang telah teraktivasi. Selain itu, tubuh juga membutuhkan sel limfosit T sebagai mediator imunitas terhadap infeksi tuberkulosis. Akibatnya, tubuh kita akan membuat lebih banyak limfosit sehingga terjadilah limfositosis. Oleh dokter bedah dilakukan biopsi pada kelenjar limfe leher kiri dan spesimen dikirim ke Lab Patologi Anatomi untuk dilakukan pemeriksaan
histopatologi. Bagaimana cara melakukan biopsi pada kelenjar limfe ? Cara melakukan biopsi Pasien dibaringkan di atas meja periksa dengan memakai gaun rumah sakit. X-ray, CT scan atau ultrasonografi mungkin akan dilakukan terlebih dahulu untuk menentukan lokasi biopsi. Lokasi biopsi dibersihkan. Obat bius dimasukkan ke dalam tubuh. Anda akan merasakan sakit menyengat ringan. Saat area biopsi sudah terbius, jarum kecil akan dimasukkan ke area yang akan diteliti. Sebagian jaringan-jaringan atau sel-sel diambil. Dalam beberapa kasus, pembedahan kecil dapat dilakukan agar jaringan atau benjolan dapat diambil untuk diperiksa. Beritahu dokter anda jika Anda merasa tidak nyaman. Setelah itu jarum akan diangkat. Daerah biopsi akan ditekan lalu akan dipasang kassa kecil. Jika dilakukan pembedahan , maka akan dilakukan penjahitan. Bagaimana menegakkan diagnosis TBC dari segi histopatologi? Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi, yaitu : · Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH)/ fine needle aspiration biopsy (FNAB) kelenjar getah bening (KGB) · Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman) · Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans thoracal biopsy/TTB, biopsi paru terbuka). Pemeriksaan patologi anatomik dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid. Granuloma tersebut mempunyai karakteristik nekrosis perkijuan atau nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya adalah ditemukannya multinucleated giant cell (sel datia Langhans). Diagnostik histopatologik 13
dapat ditegakkan dengan menemukan perkijuan (kaseosa), sel epiteloid, limfosit, dan sel datia Langhans. Gambaran nekrosis kaseosa :
Gambaran sel Langhans :
Hasil pemeriksaan histopatologi : Tampak kelenjar getah bening berkapsul jaringan ikat tipis, bagian korteks tampak folikel limfoid hiperplasia, berbagai ukuran, dengan germinal center aktif. Tampak bagian kelenjar getah bening yang mengalami nekrosis perkijuan dikelilingi oleh sel-sel limfosit, makrofag, epitelioid, 1-2 sel datia langhans dapat dijumpai. Tidak dijumpai tanda-tanda ganas
Bagaimana struktur KGB normal dan abnormal? (makroskopis & mikrokospis beserta gambar ) Kelenjar getah bening adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh kita. Nodus limfa/kelenjar getah bening memiliki bentuk seperti kacang dan cenderung terkumpul dalam cluster berbentuk seperti anggur. Tubuh kita memiliki kurang lebih sekitar 600 kelenjar getah bening, namun hanya didaerah submandibular (bagian bawah rahang bawah), ketiak atau lipat paha yang teraba normal pada orang sehat dengan diameter 10 BTA dalam 1 lp, disebut +++ atau (3+) Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis limfadenitis TB. Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur positif. Hasil kultur positif hanya pada 10-69% kasus. Berbagai media dapat digunakan seperti Petregnani, Trudeau, Middle-brook, Ogawa, Lowenstein-Jansen, dan Bactec TB. Diperlukan waktu beberapa minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Pada adenitis tuberkulosa, M.tuberculosis adalah penyebab tersering, diikuti oleh M.bovis.
Uji tuberkulin Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk
menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam "Screening TBC". Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, dengan menyuntikkan PPD (Purified Protein Derivate) 5 IU sebanyak 0,1 cc secara intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi. Interpretasi hasil test Mantoux 1 Indurasi 0–5mm
: uji
.
mantoux
negatif.
Arti klinis : tidak ada infeksi M. tuberculosis.
2 Indurasi 5–9mm
: uji
.
mantoux
meragukan.
Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan M. atipik atau setelah vaksinasi BCG.
3 Indurasi ≥ 10mm
:
.
uji
mantoux
positif.
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi M. tuberculosis.
Uji tuberculin positif dapat dijumpai pada 3 keadaan sebagai berikut : Infeksi TB alamiah Infeksi TB tanpa sakit Infeksi TB dan sakit TB Pasca terapi TB Imunisasi BCG ( infeksi TB buatan ) Infeksi mikrobakterium atipik / M. leprae.
31
Uji tuberculin negatif pada 3 kemungkinan keadaan berikut : Tidak ada infeksi TB Dalam masa inkubasi infeksi TB Anergi
Anergi adalah keadaan penekanan system imun oleh berbagai keadaan sehingga tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberculin walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TB. Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan anergi adalah gizi buruk, keganasan, penggunaan steroid jangka panjang, sitostatika, penyakit campak, pertusis, varisela, influenza ( bukan batuk-pilek-panas biasa, yang biasanya disebabkan oleh rhinovirus ), TB yang berat, serta pemberian vaksinasi dengan vaksin virus hidup.
Pemeriksaan Sitologi Spesimen untuk pemeriksaan sitologi diambil dengan menggunakan biopsi aspirasi kelenjar limfe. Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan sitologi dengan biopsi aspirasi untuk menegakkan diagnosis limfadenitis TB adalah 78% dan 99%. CT scan dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan biopsi aspirasi kelenjar limfe intratoraks dan intraabdominal. Pada pemeriksaan sitologi akan terlihat Langhans giant cell, granuloma epiteloid, nekrosis kaseosa. Muncul kesulitan dalam pendiagnosaan apabila gambaran konvensional seperti sel epiteloid atau Langhans giant cell tidak ditemukan pada aspirat. Pada penelitian, diperoleh bahwa gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik dapat digunakan sebagai tambahan karakteristik tuberkulosis selain gambaran epiteloid dan Langhans giant cell. Didapati bahwa aspirat dengan gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik, dapat memberikan hasil positif tuberkulosis apabila dikultur.
Pemeriksaan Radiologis Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan untuk membantu diagnosis limfadenitis TB. Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang konsisten. dengan TB paru pada 14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus . USG kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular atau multipel hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal. Pemeriksaan dengan USG juga dapat dilakukan untuk membedakan penyebab pembesaran kelenjar (infeksi TB, metastatik, lymphoma, atau reaktif hiperplasia). Pada pembesaran kelenjar yang disebabkan oleh infeksi TB biasanya ditandai dengan fusion tendency, peripheral halo, dan internal echoes. Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi sentral, adanya cincin irregular pada contrast enhancement serta nodularitas didalamnya, derajat homogenitas yang bervariasi, adanya manifestasi inflamasi pada lapisan dermal dan subkutan mengarahkan pada limfadenitis TBC. Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi, dan konfluens. Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer dibandingkan sentral, dan hal ini bersama-sama dengan edema jaringan lunak membedakannya dengan kelenjar metastatik (Bayazit, 2004).
Terapi Isoniazid (INH) INH adalah obat antituberkulosis yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap bakteri dalam keadaan metabolik aktif yaitu bakteri yang sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap bakteri . Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel bakteri. INH cukup murah dan sangat efektif untuk mencegah multiplikasi basil tuberkulosis. Terdapat dalam sediaan oral dan intramuskuler (i.m). Dalam sediaan oral, kadar obat dalam plasma, sputum dan 33
cairan seresrospinal dapat dicapai dalam beberapa jam saja dan bertahan minimal 6 – 8 jam. INH diberikan secara oral, dosis harian yang biasa diberikan (5 – 15 mg/kgbb/hari), maksimal 300 mg/hari, diberikan satu kali pemberian. Efek toksik: Neuritis perifer, ini terjadi karena inhibisi kompetitif pada piridoksin. Pada orangorang malnutrisi dan orang-orang dengan diit tidak adekuat perlu diberikan supplemen piridoksin. Dosis supplemen piridoksin adalah 25 – 50 mg/hari atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg INH. Hepatotoksik, jarang terjadi pada anak-anak. Sebaiknya kita memantau kadar transaminase dari hepar (SGOT & SGPT). Intoleransi traktus digestivus; ini akan menimbulkan rasa mual dan ingin muntah.
Rifampisin Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ektrasel, dapat memasuki semua jaringan, dapat membunuh bakteri semi-dormant yang tidak dapat dibunuh oleh INH. Obat ini diserap tubuh saat lambung kosong. Ekskresi yang utama lewat traktus biliaris. Pada kebanyakan pasien yang memakai rifampisin, air mata, ludah, urin, faeces akan menjadi berwarna merah. Ini disebabkan oleh metabolit dari rifampisin. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10 – 20 mg/kgbb/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis pemberian satu kali perhari. Efek toksik: Hepatitis Leukopenia Trombositopenia
Perlu diingat bahwa ketiga efek toksik rifampisin di atas sangat jarang terjadi. Jika
menghendaki memberikan Rifampisin bersama dengan INH, maka salah satu dosis dari obat diatas harus dikurangi menjadi ½ dosis agar tidak mengganggu fungsi hepar (hepatotoksik).
Pirazinamid Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh termasuk SSP, LCS, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, diresorbsi baik pada saluran pencernaan. Obat ini juga resisten terhadap bakteri Mycobacterioum bovis. Obat ini juga dapat mencapai cairan serebrospinal. Efek dari pirazinamid sudah dapat dilihat pada awal bulan ke 2 menjalani terapi. Hepatotoksisitas dapat terjadi pada pemakaian dosis tinggi tetapi jarang pada dosis normal. Pirazinamid juga dapat mengakibatkan meningkatnya asam urat serum. Pemberian secara oral denga dosis 15 – 30 mg/kgbb/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari.
Efek toksik: Flushing Hipersensitivitas pada kulit Athralgia Gout Iritasi saluran cerna
Etambutol Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Peran utama dari obat ini adalah untuk mencegah resistensi obat lain. Dengan dosis 15 – 20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1,25 gram/hari. Sifat etambutol adalah bakteriostatik dan bakterisidal. Toksisitas utama adalah neuritis optika 35
berupa kebutaan terhadap warna merah-hijau ( red-green color blindness). Efek ini cukup sering dijumpai pada orang dewasa. Insidensi dari toksisitas optalmologika cukup rendah. Oleh karena pemeriksaan lapang pandang dan warna pada anakanak cukup sulit dilakukan maka etambutol tidak direkomendasikan untuk terapi rutin pada anak-anak.
Streptomisin Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik bakteri ekstraselular pada keadaan basa atau netral, jadi efektif membunuh bakteri intraseluler. Streptomisin dapat diberikan secara intramuskular dengan dosis 15 – 40 mg/kgBB/hari, maksimal dosis 1 gram/hari. Obat ini dapat melewati selaput otak yang meradang, berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, diekskresi melalui ginjal. Toksisitas utama dari streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran berupa tinismus dan pusing.
Dosis Obat Antituberkulosis (OAT)
Obat
INH
Dosis harian
Dosis 2x/minggu
Dosis 3x/minggu
(mg/kgbb/hari)
(mg/kgbb/hari)
(mg/kgbb/hari)
5-15 (maks 300 mg)
15-40 (maks. 900 mg)
15-40 (maks. 900 mg)
Rifampisin
10-20 (maks. 600 mg)
10-20 (maks. 600 mg)
15-20 (maks. 600 mg)
Pirazinamid
15-40 (maks. 2 g)
50-70 (maks. 4 g)
15-30 (maks. 3 g)
Etambutol
15-25 (maks. 2,5 g)
50 (maks. 2,5 g)
15-25 (maks. 2,5 g)
Streptomisin
15-40 (maks. 1 g)
25-40 (maks. 1,5 g)
25-40 (maks. 1,5 g)
Pengobatan TBC pada anak-anak jika INH dan rifampisin diberikan bersamaan, dosis maksimal perhari INH tidak melebihi 10 mg/kgbb dan rifampisin 15 mg/kgbb. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal dua macam obat dan diberikan dalam waktu relatif lama (6 – 12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam dua fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Pemberian panduan obat ini ditujukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh bakteri intraseluler dan ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh bakteri juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya relaps.
Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1996 dan telah diimplementasikan secara meluas dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat. Sampai dengan tahun 2001, 98% dari populasi penduduk dapat mengakses pelayanan DOTS di puskesmas. Strategi ini diartikan sebagai "pengawasan langsung menelan obat jangka pendek oleh pengawas pengobatan" setiap hari. Indonesia adalah negara high burden, dan sedang memperluas strategi DOTS dengan cepat, karenanya baseline drug susceptibility data (DST) akan menjadi alat pemantau dan indikator program yang amat penting. Berdasarkan data dari beberapa wilayah, identifikasi dan pengobatan TBC melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif, dan lebih banyak lagi untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas, maka banyak pasien yang 37
didiagnosis oleh RS memiliki risiko tinggi dalam kegagalan pengobatan, dan mungkin menimbulkan kekebalan obat. Akibat kurang baiknya penanganan pengobatan penderita TBC dan lemahnya implementasi strategi DOTS. Penderita yang mengidap BTA yang resisten terhadap OAT akan menyebarkan infeksi TBC dengan bakteri yang bersifat MDR (Multi-drugs Resistant). Untuk kasus MDR-TB dibutuhkan obat lain selain obat standard pengobatan TBC yaitu obat fluorokuinolon seperti siprofloksasin, ofloxacin, levofloxacin (hanya sangat disayangkan bahwa obat ini tidak dianjurkan pada anak dalam masa pertumbuhan.
Respons Immunologi terhadap TBC Mycobacterium tuberculosis yang masuk ke dalam tubuh akan difagosit oleh makrofag (terutama pada alveolus mengingat port d’entree Mycobacterium tuberculosis adalah hidung dan saluran pernapasan). Masuknya Mycobacterium tuberculosis ini diperantarai oleh reseptor manosa makrofag dan selubung glikolipid-manosa pada Mycobacterium tuberculosis lalu bakteri ini akan masuk dan memanipulasi endosom makrofag.
Setelah strain virulen Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam endosom makrofag, terjadi manipulasi berupa penghentian pematangan makrofag dan penghentian pembentukan fagolisosom yang efektif untuk membunuh Mycobacterium tuberculosis. Akibatnya, bakteri ini bebas berproliferasi di dalam makrofag dan dapat menyebar ke berbagai organ lain Setelah lebih dari 3 minggu sejak pajanan, terbentuk imunitas seluler terhadap antigen Mycobacterium tuberculosis yang telah diproses pada kelenjar getah bening regional. Imunitas seluler ini disajikan dalam bentuk Major Histocompatibility Complex 39
(MHC) kelas II, yaitu suatu molekul yang terletak di permukaan sel leukosit (dalam kasus ini makrofag). MHC kelas 2 ini kemudian akan dipresentasikan ke sel TH0 CD4+. Dengan bantuan interleukin 12, sel TH0 CD4+ mengalami pematangan menjadi sel T CD4+ subtipe TH1 yang mampu mengeluarkan gammainterferon (IFN-γ). Sel ini juga mengakibatkan timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin yang menandakan hipersensitivitas tubuh terhadap antigen bakteri penyebab TB. IFN-γ berperan penting dalam mengaktivasi makrofag, yang kemudian akan mengeluarkan mediator penting berupa Tumor Necrosis Factor (TNF). TNF akan merekrut monosit yang kemudian akan berdiferensiasi menjadi “histiosit epiteloid” yang kemudian membentuk respons granulomatosa sebagai
usaha
melokalisasi
infeksi.
Akibatnya
terbentuklah
radang
granulomatosa (termasuk reaksi hipersensitivitas tipe IV / lambat) dengan necrosis caseosa di bagian sentralnya. IFN-γ bersama dengan TNF akan mengaktifkan gen inducible nitric oxide synthase (iNOS) yang menyebabkan peningkatan kadar nitrat oksida di tempat infeksi. Nitrat oksida adalah oksidator kuat dan dapat membentuk zat nitrogen reaktif dan radikal bebas yang mampu menimbulkan kerusakan oksidatif pada dinding sel Mycobacterium tubrculosis sampai DNA bakteri tersebut. Selain mengaktivasi makrofag, sel T CD4+ subtipe TH1 mampu merangsang pembentukan sel T sitotoksik CD8+ yang dapat membantu membunuh Mycobacterium tubrculosis Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa sel T γδ (T-gamma delta) juga mampu berperan sebagai sel efektor sitotoksik yang dapat
merusak
makrofag
yang
telah
terinfeksi
oleh
Mycobacterium tuberculosis. Bila terjadi pajanan sekunder atau reaktivasi Mycobacterium tuberculosis,
Fagolisosom tdk efektif MTB difagosit makrofag Aktivasi GC KGB Produksi leukosit ? padaleukositosis aktivasi Proliferasi + diferensiasi limfosit pd GC Pembentukan imunitas seluler, > minggu Limfositosis sel CD4+ subtipe TAktivasi 1 Limfoid Hiperplasia sel THMTB 0 Presentasi CD4+ Manipulasi endosom Mati MHC kelas 2 3 IL sel T sitotoksik CD8+ Nn . Fanny, 22 th inhalasiMTB H Infeksi Mediasi 12
Proliferasi MTB dalam makrofag
penjamu yang telah tersensitasi ini akan merespons dengan mobilisasi cepat sistem pertahan namun disertai dengan peningkatan pembentukan jaringan nekrosis.
Kerangka konsep
41
Produksi IFN-? Destruksi bakteri
Re-aktivasi
Aktivasi makrofag
BAB III
Re-infeksi disertai penyebaran MTB ke berbagai organ
PENUTUP
Sekresi TNF
TB Milier
3.1 Kesimpulan
TBC terlokalisir
Intrapulmoner
TB Meningeal
Sekresi IL 1, IL 6
Rekrutment monosit
Seratonin ?
Nn. Fanny 22 tahun mengalami limfadenitis kronik spesifik karena Diferensiasi monosit menjadi histiosit epiteloid dan datia Langhans terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
Ekstrapulmoner
TB tulang
Ke KGB
Nafsu makan ?
BB ? granulomatosa + nekrosis kaseosa Asupan nutrisi kurang TB pleuritis
Limfadenitis Kronik Spesifik
et :
Supresi sumsum tulang
Eritropoiesis ?
RBC ? anemia
Proporsi plasma dan fibrinogen ?
MTB = Mycobacterium Tuberculosis LED ?
DAFTAR PUSTAKA Dorland, W. A Newman. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 28. Jakarta : EGC Katzung, Bertram G. 2007. Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta : EGC. Lee SW, Kang YA, Yoon YS, Um SW, Lee SM, et al. The prevalence and evolution of anemia associated with tuberculosis. J Korean Med Sci. 2006;21:1028–1032 Price. A,Wilson. L. M. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta: EGC, 2004 : 85264. Robbins, Vinay Kumar dan Cotran, Ramzi S. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC http://ilmubedah.info/onkologi-umum-20110208.html, Diakses tanggal 19 Desember
2012 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26585/4/Chapter%20II.pdf,
Diakses tanggal 19 Desember 2012 http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003098.html, Diakses tanggal 19
Desember 2012 http://chealth.canoe.ca/channel_condition_info_details.asp? channel_id=12&relation_id=1619&disease_id=263&page_no=2, Diakses tanggal
19 Desember 2012 http://infosehat09hartonoprasetyo.wordpress.com/2011/12/09/laju-endap-darah-led-darahkental/, Diakses tanggal 19 Desember 2012 http://www.copewithcytokines.de/cope.cgi?key=Langhans%20cells, Diakses tanggal 19 Desember 2012
43
View more...
Comments