Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

November 20, 2017 | Author: Rizky Saraswati Indraputri | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

laporan...

Description

LAPORAN TUTORIAL BLOK KEDARURATAN MEDIK SKENARIO 2

KEDARURATAN DIABETIK DAN KRISIS HIPERTENSI PADA PASIEN YANG DISERTAI KOMPLIKASI

KELOMPOK II

AKHMAD M F

G0010011

ANINDITA RATNA G

G0010021

ANNISA WARDHANI

G0010025

DENDY RAHARJO

G0010053

HAJAR KUSUMASTUTI

G0010089

IFANEMAGASARO M

G0010097

NARULITA ANGGASARI

G0010135

RIFNI ARNESWARI

G0010161

RIZKY SARASWATI

G0010167

TARA KEN WITA

G0010187

TUTOR: dr. Bulan Kakanita

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bapak Kabul 49 tahun diantar keluarga ke IGD RSDM. Anamnesis didapat kurang lebih 4 jam sebelumnya pasien tiba-tiba tidak sadar, saat dipanggil dan digoyang badannya, pak Kabul tidak membuka mata. Pak Kabul penderita DM dan hipertensi tidak pernah kontrol tapi rutin minum Gibenclamid. Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 240/140 mmHg suhu 39,9, laju pernapasan 40 kali/menit Kussmaull. Nadi 130 kali/menit lemah. Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil Hb 10,99 gr%, leukosit 20.100/µL, trombosit 173.000/µL, GDS 432 mg/dL, ureum 40 mg/dl, creatinin 1,5 mg/dl, kalium 3,3 mmol/L. Pada saat di UGD diberikan infus RL tetesan cepat, pasien selanjutnya di rawat di HCU melati 1 dan diberi insulin.

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah patofisiologi dari manifestasi klinis dalam skenario? 2. Apa yang menyebabkan pasien tiba-tiba tidak sadar? 3. Adakah hubungan penyakit DM dan hipertensi dengan keadaan tibatiba tidak sadar selama 4 jam sebelumnya? 4. Adakah hubungan antara tidak kontrol dan rutin glibenclamid dengan manifestasi klinis yang terjadi pada pasien? 5. Bagaimanakah epidemiologi penyakit pada kasus? 6. Apakah efek samping dari konsumsi obat glibenclamid tanpa pernah kontrol pada skenario serta, indikasi, kontraindikasi, farmakokinetik, dan farmakodinamik dari glibenclamid?

7. Apakah interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium pada kasus skenario? 8. Apakah indikasi serta kontra indikasi dari pemberian infus ringer laktat pada kasus? 9. Apakah indikasi dan kontraindikasi dilakukannya perawatan di HCU? 10. Apakah indikasi, kontraindikasi, serta efek samping dari pemberian insulin? 11. Apakah diagnosis banding dan penatalaksanaan yang tepat untuk pasien tersebut?

C. Tujuan Pembelajaran 1. Menjelaskan patofisiologi dari manifestasi klinis dalam skenario. 2. Menjelaskan penyebab keadaan pasien yang tiba-tiba tidak sadar. 3. Menjelaskan hubungan penyakit DM dan hipertensi dengan keadaan tiba-tiba tidak sadar selama 4 jam sebelumnya pada pasien. 4. Menjelaskan hubungan antara tidak kontrol dan rutin glibenclamid dengan manifestasi klinis yang terjadi pada pasien. 5. Menjelaskan epidemiologi penyakit pada kasus. 6. Menjelaskan efek samping dari konsumsi obat glibenclamid tanpa pernah

kontrol

pada

skenario

serta,

indikasi,

kontraindikasi,

farmakokinetik, dan farmakodinamik dari glibenclamid. 7. Menjelaskan interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium pada kasus skenario. 8. Menjelaskan indikasi serta kontra indikasi dari pemberian infus ringer laktat pada kasus. 9. Menjelaskan indikasi dan kontraindikasi dilakukannya perawatan di HCU. 10. Menjelaskan indikasi, kontraindikasi, serta efek samping dari pemberian insulin.

11. Menjelaskan diagnosis banding dan penatalaksanaan yang tepat untuk pasien tersebut.

D. Manfaat Pembelajaran 1. Mampu menjelaskan patofisiologi dari manifestasi klinis dalam skenario. 2. Mampu menjelaskan penyebab keadaan pasien yang tiba-tiba tidak sadar. 3. Mampu menjelaskan hubungan penyakit DM dan hipertensi dengan keadaan tiba-tiba tidak sadar selama 4 jam sebelumnya pada pasien. 4. Mampu menjelaskan hubungan antara tidak kontrol dan rutin glibenclamid dengan manifestasi klinis yang terjadi pada pasien. 5. Mampu menjelaskan epidemiologi penyakit pada kasus. 6. Mampu menjelaskan efek samping dari konsumsi obat glibenclamid tanpa pernah kontrol pada skenario serta, indikasi, kontraindikasi, farmakokinetik, dan farmakodinamik dari glibenclamid. 7. Mampu menjelaskan interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium pada kasus skenario. 8. Mampu menjelaskan indikasi serta kontra indikasi dari pemberian infus ringer laktat pada kasus. 9. Mampu menjelaskan indikasi dan kontraindikasi dilakukannya perawatan di HCU. 10. Mampu menjelaskan indikasi, kontraindikasi, serta efek samping dari pemberian insulin. 11. Mampu menjelaskan diagnosis banding dan penatalaksanaan yang tepat untuk pasien tersebut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Epidemiologi Penyakit Pada Kasus Insidensi KAD berdasarkan suatu penelitian population-based adalah antara 4.6 sampai 8 kejadian per 1,000 pasien diabetes. Adapun angka kejadian SHH 79 tahun .Untuk kasus SHH mortalitas berkisar antara 10% pada mereka yang berusia < 75 tahun, 19% untuk mereka yang berusia 75-84 tahun, dan 35% pada mereka yang berusia >84 tahun (Gaglia et al., 2004).

B. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 240/140 mmHg, penderita mengalami krisis hipertensi, dimana tekanan diastoliknya sudah diatas 120-130 mmHg. Suhu 39,9° C, penderita mengalami demam, hal ini mungkin disebabkan proses inflamasi di dalam tubuh penderita. Laju pernapasan 40 kali/menit Kusmaull, hal ini menandakan adanya kompensasi tubuh penderita untuk menarik napas akibat tertimbunnya asam metabolik berlebihan dalam tubuh, normalnya laju pernapasan pada orang dewasa adalah 15-20 kali/menit.

Pada pemeriksaan laboratorium, didapatakan penurunan kadar hemoglobin, yaitu pada pasien sekitar 10 g/dl, kadar hemoglobin normal pria dewasa adalah 13 g/dl. Leukosit pada skenario juga mengalami kenaikan yaitu 20.100 / µL, dimana kadar normal leukosit adalah 3500-10000 / µL, hal ini mungkin disebabkan pasien mengalami infeksi. Kadar trombosit pada skenario dalam batas normal, dimana nilai normal kadar trombosit adalah 150000-390000 / µL. Kadar gula darah sewaktu pasien termasuk sangat tinggi, karena kadar GDS normal adalah 120 mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau

lebih

penyakit/kondisi

akut

(tabel

I).

Keterlambatan

pengobatan

akanmenyebebabkan timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU). 2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24 jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (tabel II). Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain : 1. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD > 200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien. 2. Hipetensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai dengan kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna. 3. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik > 120 – 130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema, peniggian tekanan intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapat pengobatan. Hipertensi maligna, biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi pada penderita yang sebelumnya mempunyai TD normal. 4. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversible bila TD diturunkan. Ada 2 teori yang dianggap dapat menerangkan timbulnya hipertensi ensefalopati yaitu : 1. Teori “Over Autoregulation”

Dengan kenaikan TD menyebabkan spasme yang berat pada arteriole mengurangi aliran darah ke otak (CDF) dan iskemi. Meningginya permeabilitas kapiler akan menyebabkan pecahnya dinding kapiler, udema di otak, petekhie, pendarahan dan mikro infark. 2. Teori “Breakthrough of Cerebral Autoregulation” bila TD mencapai threshold tertentu dapat mengakibtakan transudasi, mikroinfark dan oedema otak, petekhie, hemorhages, fibrinoid dari arteriole. Tujuan pengobatan pada keadaan darurat hipertensi ialah menurunkan tekanan darah secepat dan seaman mungkin yang disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Pengobatan biasanya diberikan secara parenteral dan memerlukan pemantauan yang ketat terhadap penurunan tekanan darah untuk menghindari keadaan yang merugikan atau munculnya masalah baru. Obat yang ideal untuk keadaan ini adalah obat yang mempunyai sifat bekerja cepat, mempunyai jangka waktu kerja yang pendek, menurunkan tekanan darah dengan cara yang dapat diperhitungkan sebelumnya, mempunyai efek yang tidak tergantung kepada sikap tubuh dan efek samping minimal. 1. Diazoxide Adalah derivat benzotiadiazin, obat ini menurunkan tekanan darah secara kuat dan cepat dengan mempengaruhi secara langsung pada otot polos arterial, sehingga terjadi penurunan tekanan perifer tanpa mengurangi curah jantung atau aliran darah ke ginjal. Tetapi menurut beberapa penulis, diazoxide juga menaikkan isi sekuncup, isi semenit dan denyut jantung permenit, sehingga tidak dianjurkan pada krisis hipertensi yang disertai aorta diseksi atau kelainan coroner. Efek samping dari diazoxide adalah : hipoglikemi, hiperurikemi dan dapat menembus plasenta sehingga mempengaruhi metabolisme janin sehingga tidak direkomendasikan untuk krisis hipertensi pada kasus eklamsia. Diazoxide diberikan dengan intravena 75-300 mg selama 10-30 detik, penurunan tekanan darah akan tampak dalam waktu 1-2 menit, pengaruh

puncak dicapai antara 2-3 menit, dan bertahan 4-12 jam. Untuk penderita dengan perdaraham otak, dianjurkan pemberian intra vena sebesar 5001.000 mg. Pemberian dapat diulang setiap 10-15 menit sampai didapat tekanan diastolik 100-105 mmHg. 2. Sodium Nitropusid Sodium nitropusid merupakan vasodilator pada arteri dan vena. Obat ini dapat menurunkan isi sekuncup dan isi semenit jantung. Untuk menghindari hipotensi, pengawasan ketat harus dilakukan pada pemberian obat ini. Dosis : 0,3-0,6 ug/kgBB/menit, dinaikkan pelanpelan sampai tercapai penurunan tekanan darah yang cukup. Penurunan tekanan darah terjadi dalam beberapa detik dan puncak tercapai dalam 12 menit, hanya berlangsung 3-5 menit. Efek samping : takikardi dan sakit kepala. 3. Trimetapan (Artonad) Merupakan penghambat ganglion, bekerja dengan cara menurunkan isi sekuncup jantung dan isi semenit jantung. Obat ini baik digunakan pada kasus krisis hipertensi dengan payah jantung atau diseksi aorta anerisma. Dosis : 500 mg/500 cc Dextrosa 5% dengan kecepatan 0,25 mg%/menit, kemudian dinaikkan perlahan sampai dicapai penurunan tekanan yang dikehendaki, yaitu tekanan diastolik 110 mmHg dalam waktu 1 jam. Jangka waktu kerja 5-15 menit. Infus diberikan dengan posisi duduk, untuk menghindari efek hipotensi yang berlebihan. 4. Hidralazin (Apresolin) Obat ini bekerja langsung pada otot polos arterial dan menimbulkan vasodilatasi perifer, tanpa menurunkan aliran darah ke ginjal. Tetapi hidralazin menaikkan denyut jantung permenit, isi sekuncup dan isi semenit jantung. Hidralazin direkomendasikan untuk diberikan pada toksemia gravidarum dan krisis hipertensi dengan ensefalopati Dosis : 520 mg diberikan intramuskular setiap 2-4 jam, atau ecara intra vena (1

ampul dari 20 mg/ml dilarutkan dalam 300 cc NaCl 0,9%) dengan kecepatan 10-60 tetes/menit. Penurunan tekanan darah terjadi dalam 1020 menit, berlangsung sampai 1 jam. Apabila selama 30 menit tidak berhasil, dapat diulang tiap 3-6 jam. 5. Klonidin (Catapres) Merupakan derivat imidazolin, yang merangsang reseptor alfa adrenergik pada batang otak, mengakibatkan penurunan discharge symphatis, sehingga menurunkan tekanan vaskular sistemik, juga menekan pengeluaran renin oleh ginjal. Klonidin diberikan intravena 1 ampul (150 ug) diencerkan dalam 10 ml NaCl 0,9% dalam waktu 10 menit. Efek penurunan tekanan terjadi dalam waktu 5-10 menit. Pemberian intramuskular, 1-2 ampul dan dulang dalam 3-4 jam, terjadi penurunan tekanan dalam waktu 10-15 menit. Pemberian IM dinilai lebih aman dan terkontrol, tetapi kurang dalam kekuatan dan kecepatan dibanding dengan Diazoxide, Sodium Nitroprusid dan Trimetapan. Efek samping yang muncul biasanya adalah mulut kering dan kantuk yang hebat. Obat ini direkomendasikan dipakai untuk krisis hipertensi dengan eklamsia dan aorta anerisma. 6. Kaptopril (Kapoten) Obat ini cukup memberikan harapan karena menaikkan kecepatan filtrasi glomeruli dengan menhambat pembentukan vaso konstriktor yang sangat kuat (angiotensin II) dan juga menghambat perusakan vasodilator yang kuat (bradikinin). Dosis awal 12,5 mg, dinaikkan pelan-pelan sampai dosis optimal. Diuretik dapat memberikan efek potensiasi. 7. Pentolamin dan Penoxi Benzamin Kedua obat merupakan penghambat alfa adrenergik, diberikan terutama untuk feokromositoma atau karena hambatan MAO (mono amino oksidase). Dosis : 5-15 mg IV, akan menurunkan tekanan darah dalam 10-15 menit.

8. Antagonis Kalsium (Nifedipin) Antagonis kalsium (Nifedipin, Diltiazem dan Verapamil) bekerja dengan menghambat pemasukan ion kalsium ke dalam sel dan merupakan vaso dilatator kuat yang mempunyai daya aksi jangka panjang. Nifedipin mempunyai harapan dalam pengobatan darurat dengan cara menurunkan tahanan perifer dengan melemaskan otot polos pembuluh darah, tidak menimbulkan depresi pada miokard dan tidak mempunyai sifat antiaritmia. Dosis : 1-2 tablet (10-20mg) dosis tunggal. Pemberian sublingual dapat memberikan efek yang lebih cepat, yaitu beraksi dalam 3 menit setelah pemberian. Apabila penderita tidak sadar dapat diberikan lewat pipa lambung (Sya’bani dan Sucitro, 1982)

3. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik adalah suatu komplikasi akut dari diabetes melitus di mana penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma. Ini terjadi pada penderita diabetes tipe II. Hyperglikemia Hiperosmolar Non Ketogenik adalah sindrom berkaitan dengan kekurangan insulin secara relative, paling sering terjadi pada panderita NIDDM. Secara klinik

diperlihatkan

dengan

hiperglikemia

berat

yang

mengakibatkan

hiperosmolar dan dehidrasi, tidak ada ketosis/ada tapi ringan dan gangguan neurologis Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketosis adalah keadaan koma akibat dari komplikasi diabetes melitus di mana terjadi gangguan metabolisme yang menyebabkan: kadar gula darahsangat tinggi, meningkatkan dehidrasi hipertonik dan tanpa disertai ketosis serum, biasa terjadi pada DM tipe II. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik NonKetotik ialah suatu sindrom yang ditandai dengan hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoasidosis, disertai penurunan kesadaran (Mansjoer, 2000).Menurut Hudak dan Gallo (edisi

VI) koma hiperosmolar adalah komplikasi daridiabetes yang ditandai dengan :1. Hiperosmolaritas dan kehilangan cairan yang hebat, 2. Asidosis ringan, 3. Sering terjadi koma dan kejang lokal.4. Kejadian terutama pada lansia.5. Angka kematian yang tinggi (Isselbacher, 1995) Beberapa etiologi hiperglikemia hiperosmolar non ketotik adalah insufisiensi insulin (DM, pankreatitis, pankreatomi), tindakan terapeutik (dialisis peritonial), obat-obatan (diuretik, steroid, imunosupresan) (Isselbacher, 1995). Pasien datang dengan hiperglikemi berat, hiperosmolalitas dan pengurangan volum disertai tanda SSP mulai dari kesadaran berkabut hingga koma. Aktivitas kejang kadang tipe Jackson dan dapat terlihat hemiplegi sesaat. Infeksi terutama pneumonia dan sepsis gram negatif umumnya dan menunjukkan prognosis jelek. Pneumonia sering disebabkan kuman gram negatif. Pada anamnesa biasanya pada keluarga tentang riwayat diabetesnya, serta kontrol dan penggunaan insulin yang telah dilakukannya. Apakah ada riwayat gagal ginjal yang telah dihemodialisa. Sering masuk rumah sakit dan mendapat perawatan invasif. Riwayat penggunaan obat seperti diuretik, phenitoin, thiazid, manitol, urea, steroid, obat imunosupresif. Pemeriksaan dengan melihat keadaan umum pasien, memeriksa kesadarannya, dan melakukan pemeriksaan darah lengkap serta analisis gas darah (Isselbacher, 1995). Tindakan paling penting adalah pemberian cairan intravena dalam jumlah besar untuk memulihkan sirkulasi dan aliran urin. Defisit cairan rata-rata adalah 10-11 L. Terapi awal harus berupa alarutan garam isotonik, 2-3 L harus diberikan dalam 1 sampai 2 jam pertama. Kemudian salin separuh kekuatan dapat digunakan. Begitu kadar glukosa mencapai normal, dapat diberikan dekstrose 5%. Jika koma hiperosmoler dapat dipulihkan dengan cairan saja, insulin harus diberikan untuk mengendalikan hiperglikemia lebih cepat. Garam kalium biasanya diperlukan lebih awaldalam terapi HHNK dibandingkan KAD

karena pergeseran K+ plasma intraseluler selama peningkatan terapi tanpa asidosis. Jika terdapat asidosis laktat, natrium bikarbonat harus diberikan sampai perfusi jaringan dapat dipulihkan. Antibiotik diperlukan jika infeksi merupakan penyulit. (Isselbacher, 1995).

BAB III PEMBAHASAN Seorang Bapak, berusia 49 tahun dibawa ke Instalasi Gawat Darurat dengan keluhan tidak sadar. Diketahui Bapak ini memiliki riwayat diabetes melitus dan hipertensi, selama ini hanya konsumsi obat glibenclamid. Glibenclamid merupakan obat antidiabetik kuat yang dapat menurunkan glukosa dalam darah melalui efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel β pankreas. Akan tetapi apabila dosis obat ini tidak terkontrol dengan baik bisa menyebabkan hipoglikemik. Ada beberapa kegawatdaruratan medik yang mungkin dialami oleh pasien yang berhubungan dengan penyakit yang dialaminya yaitu DM dan hipertensi. Komplikasi dari penyakit – penyakit tersebut apabila tidak ditangani dengan cepat dan baik bisa menimbulkan kematian (Casqueiro et al, 2012). Salah satu kegawatan yang mungkin dialami Bapak ini adalah Koma Hiperglikemik, ditandai dengan penurunan kesadaran yang berhubungan dengan peningkatan konsentrasi gula dalam darah. Koma Hiperglikemik pada penderita DM ada dua manifestasi klinis yaitu DKA (Diabetic Ketoasidosis) dan HONK (Hiperosmolar Non-Ketotik Koma ). Pada pasien ini, kemungkinan yang terjadi adalah DKA yang ditandai dengan kadar gula (GDS) 432 mg/dl dengan nafas 40 kali/menit tipe kusmaull yang khas pada asidosis metabolik. Terjadinya DKA dapat dicetuskan oleh berbagai faktor seperti infeksi, stres, trauma, dan pembedahan. Adanya infeksi pada pasien ini ditandai dengan suhu tubuh yang tinggi yaitu 39,90C dan jumlah hitung leukosit yang tinggi mencapai 20.100/ul. Infeksi pada pasien DM lebih mudah terjadi dibandingkan dengan orang normal. Hal tersebut dikarenakan kecenderungan penurunan imunitas pada pasien DM. Pada pasien DM terjadi penurunan respon sel limfosit T, penurunan fungsi netrofil, gangguan imunitas humoral, depresi sistem antioksidan, penurunan sekresi sitokin inflamasi, apoptosis PMN, dan gangguan motilitas GIT (Casqueiro et al, 2012).

Infeksi yang terjadi biasanya akan disertai dengan demam. Pada saat demam terjadi peningkatan metabolisme tubuh yang akan membutuhkan banyak energi untuk mengeluarkan panas. Namun yang terjadi pada pasien DM karena insulin dalam darah rendah ataupun karena terjadi resistensi insulin, sehingga pada berbagai jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan hati tidak dapat memanfaatkan glukosa untuk sintesis ATP. Akhirnya untuk menghasilkan energi maka terjadi pemecahan lemak dan asam amino. Saat terjadi infeksi, bakteri maupun kuman akan memproduksi zat hasil metabolisme yang juga akan menurunkan pH darah (Soewondo, 2009). Pada kasus ini, pasien sering minum glibenclamid tanpa resep dokter. Glibenclamid adalah obat antidiabetik oral golongan sulfonilurea yang mekanisme kerjanya dengan merangsang sekresi granula sel β pankreas. Waktu paruhnya 10-24 jam sehingga dosis yang diberikan hanya sekali sehari (Katzung, 2010). Sel β tidak selamanya mensekresi insulin pada pasien DM oleh karena amilin yang disekresi akan mengendap dalam jaringan dan merusak sel-sel sehingga sel β pankreas tidak mampu lagi mensekresi hormon insulin. Oleh karena itu, mungkin pada pasien ini didapatkan hiperglikemi walaupun sudah minum glibenclamid secara teratur (Soewondo, 2009). Pada DKA patofisiologi yang mendasari adalah akibat penurunan insulin baik secara relatif maupun absolut. Penurunan insulin secara absolut mengakibatkan terjadinya lipolisis dan ketogenesis. Asam acetoacetat yang merupakan hasil pemecahan lemak akan menumpuk menyebabkan terjadinya asidosis metabolik. Untuk mengatasi asidosis ini, tubuh pasien akan merespon mengeluarkan CO2 dengan hiperventilasi (pernafasan yang cepat dan dalam) tipe kusmaull. Sedangkan penimbunan badan keton

menyebabkan keseimbangan

elektrolit

terganggu

(Soewondo, 2009). Penurunan insulin secara relatif menyebabkan meningkatnya hormon kontraregulator seperti glukagon, epinefrin dan katekolamin. Peningkatan hormon kontraregulator menyebabkan peningkatkan pemecahan glukosa dihati sehingga terjadi hiperglikemi. Peningkatan gula darah juga bisa terjadi akibat glukoneogenesis

yang meningkat, glikogenolisis dipercepat, gangguan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer dan pengaruh hormon anti insulin yang meningkat. Secara klinis hiperglikemik menyebabkan diuresis osmotik karena ginjal mempunyai ambang terhadap kadar gula darah ( 600mg/dl dan tidak disertai adanya nafas kusmaull. Sehingga diagnosis pada pasien ini lebih mengarah ke DKA (Roesma, 2009). Tekanan darah pasien juga sangat tinggi, yaitu 240/ 140 mmHg. Tekanan darah yang dimana tekanan diastolik > 120 bisa digolongkan sebagai Krisis Hipertensi. Pada pasien ini krisis hipertensi digolongkan menjadi krisis hipertensi emergensi karena adanya resiko terhadap organ-organ vital seperti otak, jantung, dan ginjal. Krisis hipertensi pada pasien ini bisa berkomplikasi ke organ penting apabila tidak segera ditangani dengan baik. Peningkatan tekanan darah ke otak dapat menyebabkan meningginya permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan pecahnya dinding kapiler, oedem di otak, peningkatan tekanan intrakranial

sehingga bisa

pasien tidak sadar. Apabila tidak ditangani < 24 jam akan menyebabkan kelainan yang irreversibel. Pada jantung, dapat menyebabkan pecahnya arteri coronaria hingga terjadi iskemik dan infark myokard. Sedangkan pada ginjal bisa menyebabkan gagal ginjal. Pada pasien ini resiko terjadinya komplikasi meningkat karena pasien juga menderita DM dan hipertensi yang tidak terkontrol (Roesma, 2009). Pada pemeriksaan Laboratorium selain leukosit dan GDS yang mengalami peningkatan, trombosit masih dalam batas normal. Sedangkan ureum dan kreatinin dalam batas normal meskipun pada batas tertinggi dari ambang normal. Apabila ada peningkatan, maka bisa dikatakan adanya gangguan pada ginjal. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya penurunan kalium. Hal ini disebabkan adanya diuresis osmotik sehingga menimbulkan kehilangan air dan elektrolit.

Penanganan DKA menurut Soewondo (2009) dalam buku ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI, memerlukan pemberian tiga agen berikut: 

Cairan: pasien penderita DKA biasanya mengalami deplesi cairan yang hebat dan adalah penting untuk mengekspansi nilai ECF nya dengan saline untuk memulihkan sirkulasinya. Untuk mengatasi dehidrasi digunakan larutan garam fisiologis dengan perkiraan hilangnya cairan pada DKA mencapai 100 ml per kg BB, maka pada jam pertama diberikan 1 sampai 2 liter, jam kedua diberikan 1 liter. Keuntungan rehidrasi pada DKA yaitu untuk memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan hormon kontraregulator insulin. Bila konsentrasi glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu diberikan larutan mengandung glukosa (dekstrosa 5% atau 10%). Pada pasien ini cairan rehidrasi yang diberikan adalah ringer laktat. Cairan ini diindikasikan untuk mengganti elektrolit yang hilang akibat diuresis osmotik yang dialami pasien.



Insulin: terapi insulin harus segera diberikan sesaat setelah diagnosis DKA dan rehidrasi yang memadai. Pemberian insulin akan menurunkan konsentrasi hormon glukagon sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati,pelepasan asalm lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot, dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Tujuan pemberian insulin bukan hanya untuk mencapai konsentrasi glukosa normal, tetapi untuk mengatasi ketonemia. Oleh karena itu jika kadar insulin
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF