Laporan Tutorial L4 Blok 13
March 27, 2018 | Author: Mentari Indah Sari | Category: N/A
Short Description
Download Laporan Tutorial L4 Blok 13...
Description
LAPORAN TUTORIAL BLOK 13
Disusun Oleh : KELOMPOK 4 ANGGOTA KELOMPOK : Adiguna Darmanto
04111001064
Bellinda Dwi Priba
04111001098
Cahyo Purnaning Tyas
04111001097
Dwi Jaya Sari
04111001056
Lidya Kartika
04111001051
Mentari Indah Sari
04111001024
Mia Hayati Khairunnisa
04111001045
Muhammad Rizki
04111001061
Nyimas Inas Mellanisa
04111001067
Riski Miranda Putri
04111001072
Sellita Seplana
04111001054
Zhazha Savira Herprananda 04111001081 Tutor : dr. Susilawati
PENDIDIKAN DOKTER UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2012
1
PESERTA DISKUSI
Moderator
: Dwi Jaya Sari
Sekretaris
: Mentari Indah Sari Bellinda Dwi Priba
Anggota
: Nyimas Inas Mellanis Lidya Kartika Mia Hayati Khairunnisa Muhammad Rizki Adiguna Darmanto Sellita Seplana Riski Miranda Putri Cahyo Purnaning Tyas Zhazha Savira Herprananda
2
DAFTAR ISI
Halaman judul
1
Daftar Isi
3
Kata Pengantar
4
Hasil Tutorial dan Belajar Mandiri 1. Skenario.................................................................................................................
5
2. Klarifikasi Istilah...................................................................................................
5
3. Identifikasi Masalah..............................................................................................
6
4. Analisis Masalah....................................................................................................
7
5. Keterkaitan Antar Masalah.................................................................................
48
6. Restrukturisasi Masalah dan Penyusunan Kerangka Konsep.........................
48
7. Sintesis....................................................................................................................
49
Kesimpulan
81
Daftar Pustaka
82
3
KATA PENGANTAR Puji syukur penyusun haturkan kepada Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya laporan tutorial blok 13 ini dapat terselesaikan dengan baik. Laporan ini bertujuan untuk memaparkan hasil yang didapat dari proses belajar tutorial, yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penyusun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak- pihak yang terlibat dalam pembuatan laporan ini, mulai dari tutor pembimbing, anggota kelompok 3 tutorial, dan juga teman- teman lain yang sudah ikut membantu dalam menyelesaikan laporan ini. Tak ada gading yang tak retak. Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik akan sangat bermanfaat bagi revisi yang senantiasa akan penyusun lakukan.
Palembang, 20 Desember 2012
Penyusun
4
1. SKENARIO A BLOK 13 Nn. Fanny, 22 tahun, datang ke poli bedah RSMH dengan keluhan utama terdapat benjolan di kiri dan kanan sejak 6 bulan yang lalu. Benjolan makin lama makin besar, tidak disertai nyeri. Benjolan mula-mula terjadi di leher kiri, 1 bulan terakhir teraba juga di leher kanan. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum : tampak sakit sedang, sensorium compos mentis, BB 43 kg, TB 156 cm, sedikit anemis, RR : 20x/menit, Nadi : 72x/menit, pada auskultasi paru tidak didapati ronchi. Status Lokalis : pada colli sinistra teraba 2 buah nodul ukuran 4x3 cm dan 2x1 cm batas tegas, dan colli dextra 1 buah nodul ukuran 2x1 cm. Hasil Laboratorium : Hb : 11,2%, Leukosit : 10.800/mm3 , LED : 43 mm/jam, Diff. count : 0/1/4/46/44/5 Oleh dokter bedah dilakukan biopsy pada kelenjar limfe leher kiri dan specimen dikirim ke Lab Patologi Anatomi untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi. Hasil Pemeriksaan Histopatologi : Tampak kelenjar getah bening berkapsul jaringan ikat tipis, bagian korteks tampak folikel limfoid hyperplasia, berbagai ukuran, dengan germinal center aktif. Tampak bagian kelenjar getah bening yang mengalami nekrosis perkijuan dikelilingi oleh sel-sel limfosit, makrofag, epiteloid, 1-2 sel datia langhans dapat dijumpai. Tidak dijumpai tanda-tanda ganas. Jelaskan apa yang terjadi pada Nn.Fanny ? Jelaskan pathogenesis kelainan yang terjadi.
2. KLARIFIKASI ISTILAH 1. Ronchi
: Suara pernapasan yang kasar dan kering
2. Colli
: Leher
3. Nodul
: Tonjolan/nodus kecil yang padat dan dapat disentuh
4. Biopsi
: Pengambilan jaringan tubuh untuk pemeriksaan labor
5. Nekrosis Perkijuan : Nekrosis dimana jaringan menjadi lembek, kering dan seperti keju 6. Datia Langhans
: Sel-sel epiteloid yang menyatu 5
7. Epiteloid
: Kumpulan atau gabungan sel makrofag yang bertransformasi menjadi sel epitel
8. Hiperplasia
: Peningkatan jumlah sel dan volume sel
9. Makrofag
: Setiap sel MN yang besar dan sangat fagositik, merupakan turunan monosit
10. Limfosit
: Leukosit MN dan tidak bergranula mempunyai inti berwarna gelap yang mengandung kromatin tebal dan sitoplasma berwarna biru pucat
11. Germinal Center
: Area pada pusat kelenjar getah bening yang mengandung agregasi limfosit yang aktif berproliferasi (sel B pembentuk antibodi);tampak sebagai suatu massa sferis dikelilingi oleh suatu kapsul sel memanjang yang sebagian dimasuki oleh limfosit kecil berbentuk topi bulan sabit, disebut juga Flemming center dan secondary nodule
12. Benjolan
: Bagian tubuh yang mengalami pembengkakan
13. Histopatologi
: Studi mikroskopis sel dan jaringan berkaitan dengan penyakit
14. Kelenjar Limfe
: Organ tubuh yg menghasilkan getah atau sekret (tertentu) dalam hal ini cairan (getah) bening yang menyerupai plasma darah dan mengandung sel darah putih sebagai sistem pertahanan limfoid
15. Limfoid Hiperplasi : Bentuk limfadenitis kronik yang terjadi sebagai respon imun, sering diinduksi oleh obat-obatan dan ditandai oleh transformasi sel T menjadi limfoblast, hipertofi sel endotel, dan adanya infiltrasi leukosit campur
3. IDENTIFIKASI MASALAH 1. Nn. Fanny 22 tahun mengeluh adanya benjolan pada leher kiri sejak 6 bulan yang lalu dan mulai teraba di leher kanan 1 bulan yang lalu. Benjolan makin lama makin besar dan tidak nyeri
6
2. Pemeriksaan fisik keadaan umum : Tampak sakit sedang, sensorium compos mentis, BB 43 kg, TB 156 cm, sedikit anemis, RR : 20x/menit, Nadi : 72x/menit, pad auskultasi paru tidaak didapati ronchi 3. Status lokalis : Pada colli sinistra teraba 2 buah nodul ukuran 4x3 cm dan 2x1 cm batas tegas, dan colli dextra 1 buah nodul ukuran 2x1 cm 4. Hasil laboratorium : Hb : 11,2 g%, Leukosit : 10.800/mm3 , LED : 43 mm/jam, Diff. Count : 0/1/4/46/44/5 5. Hasil pemeriksaan histopatologi : Tampak kelenjar getah bening berkapsul jaringan ikat tipis, bagian korteks tampak folikel limfoid hiperplasia, berbagai ukuran, dengan germinal center aktif. Tampak bagian kelenjar getah bening yang mengalami nekrosis perkijuan dikelilingi oleh sel-sel limfosit, makrofag, epiteloid, 1-2 sel datia langhans dapat dijumpai. Tidak dijumpai tanda-tanda ganas
4. ANALISIS MASALAH Masalah 1 Nn. Fanny 22 tahun mengeluh adanya benjolan pada leher kiri sejak 6 bulan yang lalu dan mulai teraba di leher kanan 1 bulan yang lalu. Benjolan makin lama makin besar dan tidak nyeri a. Bagaimana struktur anatomi secara umum dari leher ? Leher adalah bagian tubuh dimana sebelah superior dibatasi oleh sisi bawah mandibula,garis lurus yang diambil dari angulus mandibula ke mastoid, dan garis lengkung superior darioccipital. Di sebelah inferior dibatasi oleh suprasternal notch, batas atas klavikula dan garislurus yang diambil dari sendi akromioklavikularis ke prosesus spinosus vertebra servikalis VII. Kontur leher bervariasi bergantung dari umur dan jenis kelamin. Pada wanita dan anak-anak berbentuk lebih bundar sedangkan pada laki-laki bentuknya lebih angular dan landmark daerah leher lebih nyata pada laki-laki. Terdapat beberapa kontur penting yang menjadi landmark pada daerah leher, yaitu : M. Sternocleidomastoideus, bagian anterior M. Trapezius, korpus os. Hyoid, Adam‟s Apple, Jugular Notch, M.platysma, glandula salvarius, dansymphysis menti. Bagian anterior leher berisi saluran pernafasan, saluran pencernaan, pembuluh-pembuluh darah yang besar serta serabut-serabut saraf, sedangkan daerah posterior berisi segmen vertebra servikalis yang diliputi oleh otot-otot. 7
Otot pada Leher
Kelenjar getah bening Kelenjar getah bening adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh kita. Tubuh kita memiliki kurang lebih sekitar 600 kelenjar getah bening, namun hanya didaerah submandibular (bagian bawah rahang bawah; sub: bawah;mandibula:rahang bawah), ketiak atau lipat paha yang teraba normal pada orang sehat. Terbungkus kapsul fibrosa yang berisi kumpulan sel-sel pembentuk pertahanan tubuh dan merupakan tempat penyaringan antigen (protein asing) dari pembuluh-pembuluh getah bening yang melewatinya. Pembuluh-pembuluh limfe akan mengalir ke KGB sehingga dari lokasi KGB akan diketahui aliran pembuluh limfe yang melewatinya. Oleh karena dilewati oleh aliran pembuluh getah bening yang dapat membawa antigen (mikroba, zat asing) dan memiliki sel pertahanan tubuh maka apabila ada antigen yang menginfeksi maka kelenjar getah bening dapat menghasilkan sel-sel
8
pertahanan tubuh yang lebih banyak untuk mengatasi antigen tersebut sehingga kelenjar getah bening membesar. Pembesaran kelenjar getah bening dapat berasal dari penambahan sel-sel pertahanan tubuh yang berasal dari KBG itu sendiri seperti limfosit, sel plasma, monosit dan histiosit,atau karena datangnya sel-sel peradangan (neutrofil) untuk mengatasi infeksi di kelenjar getah bening (limfadenitis), infiltrasi (masuknya) sel-sel ganas atau timbunan dari penyakit metabolit makrofag (gaucher disease). Dengan mengetahui lokasi pembesaran KGB dapat diketahui lokasi kemungkinan terjadinya infeksi atau penyebab pembesaran KGB.
Saluran limfe Terdapat dua batang saluran limfe utama, ductus thoracicus dan batang saluran kanan. Ductus thoracicus bermula sebagai reseptakulum khili atau sisterna khili di depan vertebra lumbalis. Kemudian berjalan ke atas melalui abdomen dan thorax menyimpang ke sebelah kiri kolumna vertebralis, kemudian bersatu dengan vena-vena besar di sebelah bawah kiri leher dan menuangkan isinya ke dalam vena-vena itu. Ductus thoracicus mengumpulkan limfe dari semua bagian tubuh, kecuali dari bagian yang menyalurkan limfenya ke ductus limfe kanan (batang saluran kanan). Ductus limfe kanan ialah saluran yang jauh lebih kecil dan mengumpulkan limfe dari sebelah kanan kepala dan leher, lengan kanan dan dada sebelah kanan, dan menuangkan isinya ke dalam vena yang berada di sebelah bawah kanan leher. Sewaktu suatu infeksi pembuluh limfe dan kelenjar dapat meradang, yang tampak pada pembengkakan kelenjar yang sakit atau lipat paha dalam hal sebuah jari tangan atau jari kaki terkena infeksi. Fungsi 1. Mengembalikan cairan dan protein dari jaringan ke dalam sirkulasi darah. 2. Mengangkut limfosit dari kelenjar limfe ke sirkulasi darah. 3. Untuk membawa lemak yang sudah dibuat emulsi dari usus ke sirkulasi darah. Saluran limfe yang melaksanakan fungsi ini ialah saluran lakteal. 4.
Kelenjar
limfe
menyaring
dan
menghancurkan
mikroorganisme
untuk
menghindarkan penyebaran organism itu dari tempat masuknya ke dalam jaringan, ke bagian lain tubuh.
9
5. Apabila ada infeksi, kelenjar limfe menghasilkan zat anti (antibodi) untuk melindungi tubuh terhadap kelanjutan infeksi.
10
Kelenjar tiroid dan paratiroid
Kelenjar tiroid adalah salah satu dari kelenjar endokrin terbesar pada tubuh manusia. Kelenjar ini dapat ditemui di bagian depan leher, sedikit di bawah laring. Kelenjar ini berfungsi untuk mengatur kecepatan tubuh membakar energi, membuat protein, dan mengatur sensitivitas tubuh terhadap hormon lainnya. Kelenjar paratiroid adalah sebuah kelenjar endokrin di leher yang memproduksi hormon paratiroid. Manusia biasanya mempunyai empat kelenjar paratiroid, yang biasanya terdapat di bagian belakang daripada kelenjar tiroid atau kelenjar yang dekat dengan kelenjar tiroid sehingga disebebut dengan "paratiroid", atau, di kasus yang langka, didalam kelenjar tiroid itu sendiri atau di dada. b. Apa kemungkinan penyebab dari benjolan di leher dan jelaskan mekanismenya secara umum ? Secara umum benjolan di daerah leher, disebabkan oleh lima kelainan atau penyebab utama yaitu: 1. Kelainan kongenital : Benjolan di Leher dapat berupa benjolan yang timbul sejak lahir atau timbul pada usia kanak-kanak bahkan terkadang muncul setelah usia dewasa. Pada kelainan ini, benjolan yang paling sering terletak di leher samping bagian kiri atau kanan di sebelah atas, dan juga di tengah-tengah di bawah dagu. Ukuran benjolan bisa kecil beberapa cm tetapi bisa juga besar seperti bola tenis. Hygroma colli adalah kelainan bawaan lahir akibat adanya gangguan saluran limfe, biasanya muncul sejak lahir dan makin bertambah besar dengan bertambahnya usia, bahkan bisa sampai ukuran bola tenis atau lebih, biasanya benjolannya agak lunak.
11
Kista ductus thyroglosus ,benjolannya umumnya di garis tengah leher diantara bawah dagu sampai kelenjar thyroid atau kelnjar gondok. Pada jenis kelainan ini bisa muncul pada masa kanak-kanak atau setelah usia dewasa. Benjolannya berisi cairan. Kista branchial, seperti kista ductus thyroglosus, juga berisi cairan , namun letaknya paling sering di samping leher.
2. Infeksi Infeksi pada daerah leher dapat berupa infeksi akut. Biasanya infeksi acut disertai adanya gejala panas badan, rasa sakit dan adanya warna kemerahan pada benjolan tersebut. Infeksi menahun atau kronis yang paling sering ditemukan adalah benjolan akibat penyakit TBC kelenjar. Pada TBC kelenjar benjolan dapat berupa benjolan kecil ukuran beberapa milimeter sampai ukuran beberapa centimeter, bisa hanya satu buah namun dapat juga langsung beberapa buah dan paling sering terletak di samping leher kiri atau kanan, bahkan kadang di samping leher kiri dan kanan sekaligus.
3. Neoplasma : Neoplasma adalah penyakit pertumbuhan sel. Neoplasma terdiri dari sel-sel baru yang mempunyai bentuk,sifat dan kinetika berbeda dari sel normal asalnya. Pertumbuhannya liar, autonom dan terlepas dari kendali pertumbuhan sel normal. Neoplasma inilah sebenarnya yang biasa disebut tumor sebenarnya, ada yang bersifat jinak dan ada yang bersifat ganas atau biasa disebut kanker. Tumor jinak di daerah leher yang paling sering adalah tumor jinak kelenjar gondok. Tumor ini berupa benjolan atau massa yang bisa diraba pada leher tengah bagian depan. Ciri khasnya adalah benjolan ini dapat ikut bergerak ketika menelan. Bisa terasa nyeri ataupun tidak, nyeri apabila dikarenakan oleh peradangan.
Kanker pada daerah leher bisa dibedakan tiga macam berdasarkan asal pertumbuhannya yaitu: Kanker yang asal pertumbuhannya memang berawal dari daerah leher itu sendiri, misalnya yang paling sering adalah kanker kelenjar gondok, kanker jaringan lunak yang berasal dari otot dan jaringan lunak lainnya di leher. Kanker yang terjadi di daerah leher, namun sebenarnya kanker induknya atau asalnya ada di tempat lain , dengan kata lain merupakan metastasis tumor dari kanker di tempat 12
lain yang letaknya bukan di leher. Contoh pada kanker jenis ini adalah kanker nasofaring, kanker di daerah kepala, kanker di rongga mulut, yang umumnya menyebabkan metastasis berupa adanya benjolan di leher samping atas sedikit dibawah telinga kiri atau kanan. Juga kanker-kanker dari organ yang jauh seperti kanker paru, kanker saluran pencernaan, kanker saluran kemih ,kanker payudara, kanker alat genitalia wanita yang dapat memberikan metastasis berupa adanya benjolan diatas tulang selangka atau supraclavicula, terutama di sebelah kanan. Kanker di daerah leher yang sebenarnya merupakan penyakit sistemik yang dapat terjadi di seluruh tubuh, yaitu kanker kelenjar getah bening.
4. Trauma : Trauma di daerah leher bisa terjadi akibat benturan benda tumpul sehingga terjadi bekuan darah atau hematom dan membentuk benjolan seperti tumor.
5. Kelainan lainnya : Kelainan lain di daerah leher dapat disebabkan misalnya oleh kelainan pembuluh darah di daerah leher. Ada juga kelainan di leher yaitu pada kelenjar gondok yang disebabkan kekurangan yodium di tubuh terutama terjadi di daerah endemis gondok.
c. Mengapa benjolan makin lama makin besar dan tidak disertai nyeri ? Benjolan makin lama makin besar karena hilangnya atau inaktivasi tumor suppressor genes (p53) hilangnya regulasi pertumbuhan sel. Benjolan tidak disertai nyeri karena dalam skenario, radang telah memasuki fase kronik. Nyeri hanya karena infeksi sekunder, berkoinsidensi dengan HIV, terjadi pembesaran kelenjar yang cepat. Mekanisme nyeri itu sendiri pada reaksi radang disebabkan penekanan ujung-ujung saraf akibat eksudasi ke area radang. Alasan lain disebabkan adanya mediator kimia seperti bradikinin dan prostaglandin. Sedangkan hipotesis lain menyatakan adanya peningkatan suhu, gangguan fungsi enzim dan penuruna pH juga berperan. Pada skenario, Nn. Fanny tidak merasakan nyeri karena bengkaknya KGB tidak sampai menekan ujung-ujung saraf. Selain itu ada yang namanya mediator analgesik, yang melawan rasa sakit, juga diproduksi di jaringan meradang. inflamasi
sitokin dan
peptida opioid.
diturunkan dari peptida opioid penghambatan klinis yang
dan
reseptor opioid
relevan dari nyeri
hadir pada ujung perifer dari neuron 13
Interaksi antara leukosit yang dapat menyebabkan ampuh,
(analgesik). sensorik.
Ini termasuk anti-
Reseptor opioid
yang
Peptida opioid
disintesis dalam sirkulasi leukosit,
yang
jaringan meradang disutradarai oleh kemokin dan
molekul
Dalam kondisi stres atau dalam menanggapi melepaskan agen releasing factor,
sitokin,
noradrenalin),
Mereka mengaktifkan reseptor opioid
bermigrasi ke adhesi.
(misalnya kortikotropin-
leukosit dapat mengeluarkan opioid.
perifer dan
menghasilkan analgesia
dengan menghambat rangsangan saraf sensorik atau pelepasan neuropeptida rangsang. Se lain itu pada granuloma tuberkulosis, terjadi nekrosis sentral sehingga kelenjar melunak dan tidak nyeri. Memang limfadenitis TB ini merupakan radang kronis yang ditandai antara lain nyeri tapi nyeri disini bisa berupa nyeri tekan.
d. Mengapa benjolan mula-mula di leher kiri dan satu bulan yang lalu teraba di leher kanan ? Karena kebanyakan orang mengganggap pembesaran kelenjar pada leher (apalagi yang tidak nyeri) adalah hal yang biasa maka proses infeksi akan terus meluas. Karena itu ketika telah terjadi pembesaran kgb di kanan dan kiri seseorang baru akan memeriksakan ke dokter. Tuberkulosis sekunder lokal mungkin asimptomatik. Jika muncul, manifestasi penyakit biasanya perlahan, secara perlahan timbul gejala sistemik dan lokal. Gejala sistemik yang mungkin berkaitan dengan sitokin yang dikeluarkan oleh makrofag aktif (misal TNF dan IL-1), sering muncul pada awal perjalanan dan mencakup malaise, anoreksia, penurunan berat dan demam. Umumnya demam ringan dan hilang timbul (muncul setiap malam dan kemudian mereda) dan timbul keringat malam. 6 -12 bulan : periode kritis timbulnya gejala klinis atau saat KGB berperan stelah infeksi bakteri M. Tuberculosis.
Masalah 2
Pemeriksaan fisik keadaan umum : Tampak sakit sedang, sensorium compos mentis, BB 43 kg, TB 156 cm, sedikit anemis, RR : 20x/menit, Nadi : 72x/menit, pad auskultasi paru tidaak didapati ronchi Apa interpretasi dari pemeriksaan fisik umum dan bagaimana mekanisme abnormal ? Tampak sakit sedang 14
Dilihat dari cara berjalan, keadaan pasien saat datang berobat, ekspresi wajah, dll. Sensorium compos mentis Sadar sepenuhnya (normal) IMT: BB/TB(M)2 = 43/(1,56)2 = 17,67 (under weight) severely underweight less than 15 Severely underweight from 15.0 to 16.0 Underweight from 16.0 to 18.5 Normal (healthy weight) from 18.5 to 25 Overweight from 25 to 30 Obese Class I (Moderately obese) from 30 to 35 Obese Class II (Severely obese) from 35 to 40 Obese Class III (Very severely obese) over 40 Dari berat badan dan tinggi badan Nn. Fanny didapatkan IMT sebesar 17,67 yang berarti berat badannya dibawah normal. Hal ini dapat terjadi karena ada hubungan antara infeksi tuberculosis dengan penurunan berat badan yang mekanismenya dapat dijelaskan sebagai berikut : Infeksi Mycobacterium tuberculosis ↓ Aktifasi makrofag oleh IFN-γ produksi pirogen endogen IL -1, IL-4, IL-6, TNF-α ↓ Pirogen endogen bersirkulasi sistemik & menembus masuk hematoencephalic barrier bereaksi terhadap hipotalamus. ↓ Efek sitokin pirogen endogen pada hipotalamus menyebabkan produksi prostaglandin. ↓ Prostaglandin merangsang cerebral cortex ( respon behavioral) → nafsu makan menurun & leptin meningkat menyebabkan stimulasi dari hipotalamus → nafsu makan disupresi ↓
15
Pada masa yang sama terjadi peningkatan metabolisme tubuh pada pasien TB karena peningkatan penggunaan energi metabolik. ↓ Penurunan nafsu makan dan peningkatan metabolisme tubuh pasien TB menyebabkan penurunan BB
RR (Respiration Rate) 20 x / menit (normal) Normal range = 16-24x/menit Denyut nadi 72x/menit Normal range = 60-100x/menit Sedikit anemis Respon imun yang muncul karena reaksi infeksi dan inflamasi menyebabkan dilepasnya protein yang disebut sitokin. Protein ini membantu dalam proses penyembuhan dan melawan infeksi, tetapi juga dapat mempengaruhi fungsi tubuh yang normal. Sitokin mengganggu kemampuan tubuh dalam mengabsorbsi dan menggunakan Fe. Sitokin juga dapat mengganggu kegiatan normal dari erythropoietin dalam pembentukan sel darah merah. Sitokin dan sel Reticulo Endothelial System (RES) menyebabkan perubahan homeostasis Fe, proliferasi sel progenitor eritroid, produksi eritropoietin, dan juga mempengaruhi masa hidup eritrosit, dimana semua proses ini berkontribusi pada terjadinya anemia
Ronchi Pada auskultasi Paru-paru tidak ditemukan Ronchi (Suara pernapasan yang kasar dan kering) (pada keadaan normal tidak ditemukan suara ronchi)
16
Masalah 3
Status lokalis : Pada colli sinistra teraba 2 buah nodul ukuran 4x3 cm dan 2x1 cm batas tegas, dan colli dextra 1 buah nodul ukuran 2x1 cm a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal status lokalis ? Interpretasi : seharusnya pada colli normal tidak ditemukan nodul (tidak ada pembesaran kelenjar getah bening). Nodul pada kasus ini menandakan terjadinya radang kronik karena tidak terasa nyeri. Mengenai ukurannya maka menandakan lamanya waktu terinfeksi seseorang oleh bakteri. Mekanisme gangguan yang dialami ini merupakan akibat dari infeksi mycrobacterium tuberculosis. Bakteri ini masuk dengan 2 cara, yang pertama masuk ke paru-paru kemudian di paru-paru terjadi 2 kemungkinan yang pertama bakteri ini mati oleh makrofag atau yang kedua bakteri ini tetap bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama kali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus, dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional (limfadenitis). Basil yang pergi menuju limfe regional tadi salah satunya di colli. Dia menempel dan membuat radang. Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di leher. Dengan adanya basil TB membuat folikel-folikel di limfe berhiperplasia sehingga sel-sel semakin membesar dan menyebabkan benjolan pada leher. b. Bagaimana cara pemeriksaan status lokalis ? Cara pemeriksaan status lokalis pada leher dilakukan dengan inspeksi dan palpasi. Pada inspeksi dilakukan pengamatan apakah terdapat massa atau benjolan pada bagian leher. Inspeksi dilakukan untuk mencari adanya asimetris, denyutan yang tidak lazim, tumor, atau keterbatasan gerak. Dengan cara melakukan ekstensi dan deviasi ke samping secara sederhana pada leher, regangan m. Sternokleidomastoideus 17
akan memperlihatkan batas antara trigonum anterior dan posterior. Pembesaran kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening atau kelainan struktur pembuluh darah dapat terlihat. Pada palpasi, cari tulang hyoid, tulang rawan tiroid, kelenjar tiroid, m. Sternokleidomastoideus, prosesus mastoideus, tulang rawan krikoid dan a. Karotis. Palpasi kelenjar getah bening menggunakan ujung jari untuk melakukan tekanan ringan. Fiksasi kepala penderita dapat dilakukan dengan penempatan satu tangan di belakang oksiput; sementara tangan yang lain melakukan palpasi. Mula-mula pemeriksaan dilakukan di trigonum anterior kemudian di trigonum posterior dan terakhir di submental.
Ketika memeriksa nodus submental dan submandibular, letakkan ujung jari di bawah mandibular pada sisi yang terdekat dengan tangan yang melakukan palpasi, lalu tarik kulit dan jaringan subkutaneus secara lateral pada permukaan mandibular sehingga jaringan nodus terlihat. Ketika
mempalpasi
nodus
supraklavikula,
penderita
diminta
untuk
menundukkan kepala ke depan untuk relaksasi jaringan leher anterior an relaksasi
18
bahu sehingga klavikula turun. Kaitkan jari tengah dan telunjuk pada klavikula di samping otot sternokleidomastoideus. Ketika mempalpasi nodus servikal anterior dan nodus servikal posterior, gerakkan ujung jari perlahan dengan gerakan memutar ke depan pada otot sternokleidomastoideus dan trapezius, secara berturut-turut. Untuk mempalpasi nodus servikal dalam, tekuk dan kaitkan jari perawat di sekitar otot sternokleidomastoideus.
Masalah 4 Hasil laboratorium : Hb : 11,2 g%, Leukosit : 10.800/mm3 , LED : 43 mm/jam, Diff. Count : 0/1/4/46/44/5 Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal hasil laboratorium ?
Hb : 11,2 g% ( 12,0-15,0 g/dl untuk wanita ) : kadar hemoglobin yang kurang dari nilai rujukan merupakan salah satu tanda dari anemia dan bisa juga akibat streptolisin yang terdapat pada micobacterium tuberculosis yang bisa menyebabkan lisis pembuluh darah.
Leukosit : 10.800 / mm3 ( 4,0-5,0 juta/µl darah untuk wanita ) : tinggi / leukositosis Menunjukkan adanya infeksi atau peradangan .
LED : 43 mm/jam ( 0-15 mm/jam atau 0-20 mm/jam untuk wanita ) : Laju endap darah mencerminkan perubahan protein plasma yang terjadi pada infeksi akut maupun kronik, proses degenerasi dan penyakit limfoproliferatif. Peningkatan laju endap darah merupakan respons yang tidak spesifik terhadap kerusakan jaringan dan merupakan petunjuk adanya penyakit. Bila dilakukan secara berulang laju endap darah dapat dipakai untuk menilai perjalanan penyakit seperti tuberkulosis, demam rematik, artritis dan nefritis. Laju endap darah yang cepat atau meningkat menunjukkan suatau lesi yang aktif dan
menunjukkan terjadinya infeksi di dalam tubuh.
Diff count : 0/1/4/46/44/5 -
Basofil : 0 ( 0-1%) = normal
-
Eosinofil : 1 ( 1-3%) = normal
-
N.batang : 4 ( 2-6%) = normal 19
-
N.segmen : 46 ( 50-70%) = rendah
-
Limfosit : 44 ( 20-40%) = tinggi Limfosit merupakan sel-sel dari system imun yang membantu tubuh melawan penyakit dan bertindak sebagai penyaring menangkap organisme yang menyebabkan infeksi seperti bakteri dan virus. Sehingga kadar limfosit yang tinggi di dalam darah menunjukkan terjadinya infeksi di dalam tubuh.
-
Monosit : 5 ( 2-8%) = normal
Masalah 5
Hasil pemeriksaan histopatologi : Tampak kelenjar getah bening berkapsul jaringan ikat tipis, bagian korteks tampak folikel limfoid hiperplasia, berbagai ukuran, dengan germinal center aktif. Tampak bagian kelenjar getah bening yang mengalami nekrosis perkijuan dikelilingi oleh sel-sel limfosit, makrofag, epiteloid, 1-2 sel datia langhans dapat dijumpai. Tidak dijumpai tanda-tanda ganas a. Apa indikasi dari biopsi ? Indikasi: Gangguan darah,malignansi, kista, polip, proses infeksius, penyakit progresif (sirosis, nefrosis, lupus nefritis), defek ovulatif, penolakan organ. Biopsi biasanya dilakukan untuk:
Menindentifikasi jaringan abnormal dari berbagai sisi tubuh
Mendeteksi keberadaan proses penyakit
Mendiagnosis penyakit
Mencocokkan jaringan organ sebelum melakukan transplantasi organ Biopsi sering dilakukan pada sumsum tulang, payudara, endometrium, ginjal, hati.
b. Bagaimana prosedur pembuatan dan pengiriman spesimen ? Teknik Biopsi a.
FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy) atau Si Bajah (Sitologi Biopsi Aspirasi
Jarum Halus) → Menggunakan alat yang terdiri dari tabung suntik plastik ukuran 10 ml, jarum halus, gagang pemegang tabung suntik, kaca objek dan desinfektan alkohol
20
atau betadin. Tumor dipegang lembut lalu jarum diinsersi segera ke dalam tumor. Piston di dalam tabung suntik ditarik ke arah proksimal; tekanan di dalam tabung menjadi negatif; jarum manuver mundur-maju. Dengan cara demikian sejumlah sel massa tumor masuk ke dalam lumen jarum suntik. Piston dalam tabung dikembalikan pads posisi semula dengan cara melepaskan pegangan. Aspirat dikeluarkan dan dibuat sediaan hapus, dikeringkan di udara dan dikirimkan ke laboratorium. Sering terjadi false negative karena kemungkinan jarum tidak tepat mengambil sel yang terkena kanker. b.
Stereotactic Needle Biopsy (Core Biopsy) → Dilakukan pada suatu gumpalan
(bengkak) yang sulit untuk dilihat atau dirasakan. Jarum akan dituntun ke area yang dicurigai dengan bantuan mammography atau ultrasound, dan X-ray akan memastikan area yang ingin dibiopsi. c.
Incisional Biopsy → Seperti operasi pembedahan pada umumnya. Pengambilan
irisan dari benjolan. Pada umumnya tipe ini dilakukan pada pembengkakan di jaringan ikat seperti otot. d.
Excisional Biopsy → Keseluruhan benjolan diambil. Sering dilakukan pada
benjolan di dada. False negative jarang terjadi. Biopsi jarum termasuk metode biopsi yang tidak membahayakan bagi pasien, Keuntungan dari biopsi jarum adalah : Tidak membutuhkan anestesi umum Luka yang ditimbulkan kecil bahkan tak tampak Rasa tidak nyaman yang ditimbulkan lebih kecil Biopsi memakan waktu singkat 10-15 menit dengan efek samping minimal dan akurat.
Sampel : Aspirasi Jarum Halus (AJH), Endapan cairan yang telah disentrifuge Bahan : - Larutan pewarna giemza - Larutan Phosfat buffer (ph 6,8) - Methanol Prosedur kerja : 1) Sediaan apus telah benar-benar kering di udara 2) Fiksasi dengan methanol minimal 5 menit 21
3) Cuci dengan aquadest, biarkan kering di udara 4) Tetesi dengan pewarna Giemsa dengan perbandingan (GZ : Bufer phosfat = 1:4) 5) Cuci dengan aquadest, kering diudara 6) Tutup EZ Mount processing Jaringan Untuk prosessing jaringan memakai alat tissue prosessor automatic yang bekerja ± 18,5 jam(bisa diubah sesuai kebutuhan). Tahapan prosessing jaringan yaitu, Fiksasi, Dehidrasi, clearing, dan infiltrasi paraffin. Fiksasi Tujuan : Untuk mempertahankan struktur sel sehingga menjadi stabil secara fisik dan kimiawi dan mencegah terjadi dialysis atau pembengkakan pada rupture. Dehidrasi Tujuan : untuk menghilangkan/menarik air dalam jaringan dengan cara mulai konsentrasi terendah sampai konsentrasi tinggi. Clearing Tujuan : Menarik keluar kadar alcohol yang berada dalam jaringan, memberi warna yang bening pada jaringan dan juga sebagai perantara mesuknya kedalam paraffin. Zat yang sering dipakai Xylol, tapi bisa juga dipakai : benzol, benzene, toluol,dll. Untuk jaringan otak dan limfonoid lebih baik menggunakan koloform. Infiltrasi paraffin Tujuan : Mengisi rongga atau pori-pori yang ada pada jaringan setelah setelah ditinggal cairan sebelumnya(xylol). Jumlah waktu : 18,5 Jam 4. . Pengeblokkan Tujuan : Agar mudah dipotong menggunakan mikrotom untuk mendapatkan irisan jaringan yang sangat tipis (sesuai yang diharapkan). Cara Kerja : 1) Hangatkan paraffin cair, pinset, dan penutup cetakan 2) Parafin cair dituangkan kedalam cetakan 3) Jaringan dari prosessing dimasukan kedalam cetakan yang telah disi paraffin cair, tekan jaringan agar semakin menempel di dasar cetakan. 4) Tutup cetakan diambil, letakkan diatas cetakan dan di tekan.Pasang etiket di pinggir. 5) Biarkan sampai membeku
22
6) Setelah beku, keluarkan dari cetakan. Rapikan sisi-sisi blog. Ganti etiket dengan yang permanen
Foto : cetakan yang telah diisi jaringan dan paraffin
Foto
Foto : Blok jaringan 5. Pemotongan dengan Mikrotom
23
:
Blok
jaringan
Foto : Mikrotom
Foto
:
Mikrotom
dengan
blok
jaringan
1) Sebelum pemotongan Masukan kedalam plastik yang diisi air dan letakkan di freezer ±15 menit atau diberi batu es. 2) Blok dijepit pada mikrotom kemudian dipotong dengan pisau mikroto. Kemiringan : ±300 , Tebal blok paraffin ±2-5mikron. 3) Hasil pemotongan (berupa pita/irisan tipis yang saling bersambung) dimasukkan kedalam waterbath yang diisi air yang sudah dihangatkan 50 0 C, kemudian diambil dengan kaca objek (Meletakkan potongan di waterbath tidak boleh terbalik). 24
Patologi Anatomi Adalah spesialis medis yang melakukan diagnosis penyakit berdasarkan pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, molekul atas organ, jaringan, dan sel. Yang melakukan diagnosis penyakit berdasarkan patologi anatomi adalah Spesialis patologi anatomi Spesialis patologi anatomi mendiagnosis penyakit seseorang berdasar pemeriksaan laboratorium. Ada beberapa teknik pemeriksaan di laboratorium patologi anatomi diantaranya pemeriksaan Histologi (morfologi jaringan) atau Sitologi (Morfologi sel). Pada pemeriksaan lab analis kesehatan(teknisi laboratorium) bertugas membuat sediaan/preparat jaringan atau sel yang didapat dari si pasien. Sediaan harus dibuat sebaik mungkin agar spesialis dapat melakukan diagnosis yang akurat. Disini akan diuraikan secara singkat teknik pembuatan sediaan pemeriksaan sitologi dan pemeriksaan histologi dilaboratorium Patologi Anatomi.
A. Sediaan untuk Pemeriksaan Sitologi Pada pemeriksaan sitologi yang diperiksa morfologi sel-sel cairan tubuh. Sediaan atau disebut duga preparat dibuat berupa apusan pada objek glass yang diwarani dengan pewarnaan tertentu. 1. Sediaan/preparat dengan pewarnaan metode Giemza Tujuan : Terutama yang diperiksa adalah detail dari morfologi untuk memeriksa intisel, untuk melihat apakah sel tersebut sel normal, sel noeplasma jinak atau ganas. Sampel : Aspirasi Jarum Halus (AJH), Endapan cairan yang telah disentrifuge Bahan : - Larutan pewarna giemza - Larutan Phosfat buffer (ph 6,8) - Methanol Prosedur kerja : 1) Sediaan apus telah benar-benar kering di udara 2) Fiksasi dengan methanol minimal 5 menit 3) Cuci dengan aquadest, biarkan kering di udara 4) Tetesi dengan pewarna Giemsa dengan perbandingan (GZ : Bufer phosfat = 1:4) 5) Cuci dengan aquadest, kering diudara 6) Tutup EZ Mount 2. Sediaan/preparat dengan pewarnaan metode Papaniculo
25
Metode ini umumya digunakan untuk pewarnaan Papsmear (tapi terkadang ada juga selain papsmear diwarnai dengan metode ini). Papsmear digunakan untuk mendignosis Kanker serviks. Melihat ada tidaknya sel ganas Sampel : apusan daerah peralihan endoserviks. Bahan: -Haematoksilin mayer -EA (Eosin alkohol) 65/EA 36 - Alkohol 95% dan Alkohol absolut Untuk EA 65 isinya: Eosine Y, Phospotung stic acid, light green, alk. Absolute Prosedur Kerja : 1) Sedian apusan difiksasi dengan alcohol 95% 15 menit 2) Air mengalir sampai bebas alkohol 5 menit (rak preparat diletakan di wadah yang di beri air mengalir) 3) Mayer haematoksilin 3-5 menit 4) Air Mengalir 15 menit 5) –Alkohol 95% 10 kali celup -Alkohol 95% 10 kali celup 6) EA 3-5 menit 7) –Alkohol 95% 5 kali celup -Alkoho 95% 5 kali celup - Alkohol absolute 5 kali celup 8) Keringkan diudara 9) Xylol/clearing 10) Tutup dengan EZ mount
Foto : peralatan pengecatan
26
Hal-hal yang harus diperhatikan untuk pembuatan sediaan/preparat papsmear : - Pengambilan sampel harus mendapat sel-sel endoserviks sel-sel metaplasia dan sel-sel skuamosa (komponen daerah peralihan), harus harus sedikit mungkin mengandung darah. - Sediaan harus segera difiksasi dengan alkohol 95%. Preparat yang kering belum difiksasi akan menyebabkan sel-sel rusak. Apabila tempat pengecatan jauh,setelah difiksasi keringkan dan masukkan kewadah yang dapat menjaga keamanan sediaan. - Jika menggunakna hairspray tidak boleh terlalu dekat, karena akan menghapus atau tidak terfiksasi dengan baik. *Kesalahan pada kriteria yang diatas bisa menyebabkan negatif palsu. *Kesalahan pada pewarnaan dan screening dapat menyebabkan positif palsu. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan sediaan sitologi dan fiksasinya: 1. Objek glass harus benar-benar bersih, terus beri nomor sesuai data biar tidak tertukar, 2. ¾ luas kaca objek memanjang, kita apus merata,tidak terlalu tebal dan terlalu tipis 3. Segera fiksasi sesuai dengan pewarnaan yang akan digunakan 4. Untuk cairan, disentrifuge dahulu dan kemudian diambil untuk diproses 5. Untuk bahan sputum diambil bagian berwarna dan kental untuk dibuat pulasan. Bagian yang lain bisa gunakan sebagai sel blog.
B. Sediaan untuk Pemeriksaan Histologi 1. Tahap periksaan dimulai dari penerimaan sampel di tata usaha. Petugas penerima harus mengecek kembali sampel tidak boleh asal terima. - Jaringan atau organ yang diterima harus dalam keadaan terfiksasi dengan formalin buffer 10%(perbandingan jaringan dan cairan fiksasi, 1:9 ) dan ditutup rapat. * Buffer formalin 10% : 1. formaldehid 40% H.CHO = 100 ml 2. Sodium Phospat monobasic NaH2PO4.H2O = 4 gram 3. Sodium Phopat dibasic Na2HPO4 = 6.5 gram 4. Aquadest = 900 ml - Identitas pasien harus dilengkapi seperti, nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan,riwayat penyakit, Dibagian yang ingin diperiksa. - Jenis sampel sampel harus di Cross check, apa sama jenis sampel yang ditulis dengan yang diterima - Dan harus di tanya bagai mana menyampaian hasil pemeriksaan, Jika pasien ingin mengambil sampel sendiri harus ada surat pengantar. 27
- Nama dan alamat dokter pengirim sampel harus ada, Dokter pengirim harus diingatkan jika ada yang tidak sesuai kriteria. 2. Pemeriksaan Makroskopis Pemeriksaan makaroskopis dilakukan oleh dokter tugas analis kesehatan/teknisi laboratorium mendampingi dokter, melakukan pencatatan hasil pemeriksaan dokter. Pada tahap ini dokter juga akan memotong jaringan yang dicurigai
3. Foto : Jaringan yang sudah dipotong Processing Jaringan Untuk prosessing jaringan memakai alat tissue prosessor automatic yang bekerja ± 18,5 jam(bisa diubah sesuai kebutuhan). Tahapan prosessing jaringan yaitu, Fiksasi, Dehidrasi, clearing, dan infiltrasi paraffin.
28
Foto : Tissue Automatics Prosessor Tahapan kerja pada Tissue Automatics Prosessor 1) Fiksasi Botol 1. Buffer Formalin 10% 2 jam 2) Dehidrasi Botol 2. Alkohol 70% 1,5 jam Botol 3. Alkohol 80% 1,5 jam Botol 4. Alkohol 95% 1,5 jam Botol 5. Alkoho absolute I 1,5 jam Botol 6. Alkoho absolute II 1,5 jam Botol 7. Alkoho absolute III 1,5 jam 3) Clearing Botol 8. Xylol I 1 Jam Botol 9. Xylol II 1,5 Jam Botol 10. Xylol III 1,5 Jam 4) Infiltrasi paraffin Botol 11. Paraffin cair I 1,5 jam Botol 12. Paraffin cair II 2 jam Jumlah 18,5 jam Fiksasi Tujuan : Untuk mempertahankan struktur sel sehingga menjadi stabil secara fisik dan kimiawi dan mencegah terjadi dialysis atau pembengkakan pada rupture. 29
Rumus yang digunakan untuk memonitor fiksasi baik atau buruk diuji dengan rumus: d = k √t d = ketebalan jaringan (mm) t = waktu yang dibutuhkan/tersedia k = ketetapan daya fiksir dari atas dan bawah (2 X ketetapan masing-masing fiksasi) Ketetapan fiksasi formalin 10% = 0.78
Dehidrasi Tujuan : untuk menghilangkan/menarik air dalam jaringan dengan cara mulai konsentrasi terendah sampai konsentrasi tinggi.
Clearing Tujuan : Menarik keluar kadar alcohol yang berada dalam jaringan, memberi warna yang bening pada jaringan dan juga sebagai perantara mesuknya kedalam paraffin. Zat yang sering dipakai Xylol, tapi bisa juga dipakai : benzol, benzene, toluol,dll. Untuk jaringan otak dan limfonoid lebih baik menggunakan koloform.
Infiltrasi paraffin Tujuan : Mengisi rongga atau pori-pori yang ada pada jaringan setelah setelah ditinggal cairan sebelumnya(xylol). Jumlah waktu : 18,5 Jam 4. . Pengeblokkan Tujuan : Agar mudah dipotong menggunakan mikrotom untuk mendapatkan irisan jaringan yang sangat tipis (sesuai yang diharapkan).
30
Foto : Cetakan Cara Kerja : 1) Hangatkan paraffin cair, pinset, dan penutup cetakan 2) Parafin cair dituangkan kedalam cetakan 3) Jaringan dari prosessing dimasukan kedalam cetakan yang telah disi paraffin cair, tekan jaringan agar semakin menempel di dasar cetakan. 4) Tutup cetakan diambil, letakkan diatas cetakan dan di tekan.Pasang etiket di pinggir. 5) Biarkan sampai membeku 6) Setelah beku, keluarkan dari cetakan. Rapikan sisi-sisi blog. Ganti etiket dengan yang permanen
Foto : cetakan yang telah diisi jaringan dan paraffin
31
Foto
Foto : Blok jaringan 5. Pemotongan dengan Mikrotom
32
:
Blok
jaringan
Foto : Mikrotom
Foto
:
Mikrotom
dengan
blok
jaringan
1) Sebelum pemotongan Masukan kedalam plastik yang diisi air dan letakkan di freezer ±15 menit atau diberi batu es. 2) Blok dijepit pada mikrotom kemudian dipotong dengan pisau mikroto. Kemiringan : ±300 , Tebal blok paraffin ±2-5mikron. 3) Hasil pemotongan (berupa pita/irisan tipis yang saling bersambung) dimasukkan kedalam waterbath yang diisi air yang sudah dihangatkan 50 0 C, kemudian diambil dengan kaca objek (Meletakkan potongan di waterbath tidak boleh terbalik).
Foto : Waterbath Cttn : Pisau dan waterbath bisa diberi alcohol 50% untuk menurunkan tegangan permukaan yang membantu merentangkan pita.
33
Objek glass jangan diolesi albumin gliserin karena biasanya albumin bila diinkubasi akan mengeras.menjaga agat jangan lepas saat pengecatan 6. Inkubasi Tujuan : Menguapkan air yang terbawa oleh hasil potongan hingga jaringan menempel lebih kuat. Cara kerja : inkubasi preparat di atas hot plate dengan suhu±500 C(dibawah titik cair paraffin) selama 15 menit · Sebaiknya dialasi dengan kertas merang. · Untuk pengecatan imunnohistokima inkubasi 390C selama 1 malam 7. Pengecatan Umumnya dalam pengecatan histopatologi digunakan cat Hetatoxylin-Eosin (HE) disamping cat khusus (PAS, gomori, ZN, Malory, dll) dan cat yang lebih khusus yaitu immunohistokimia (ER, PR, CD20, LMP, dll)
Prosedur pengiriman bahan histopatologi a. Formalin 10% buffer b. Sediaan dimasukkan ke dalam cairan fiksasi dengan kondisi seluruh jaringan terendam dalam cairan (vol cairan 10 kali vol jaringan) c. Bila jaringan besar sebaiknya dilakukan irisan/lamelasi dengan jarak 1 cm agar cairan masuk ke dalam jaringan
Prosedur pengiriman bahan sitologi 1. pap smear alkohol 95% Setelah sediaan apus dibuat, sewaktu sekret masih segar masukkan segera sediaan ke dalam cairan fiksasi 95% dan waktu fiksasi minimal selama 30 menit 2. sputum - fiksasi alkohol 95% dikirim 3 kali, 3 hari berturut-turut - dapat dikirim dalam bentuk sediaan apus dengan prosedur seperti sitologi pap smear 3. urine/cairan rongga tubuh (cairan pleura, ascites) - dapat dikirim dalam bentuk sediaan apus endapan dari hasil centrifuge cairan dan dimasukkan dalam botol berisi cairan fiksasi alkohol 95% - urine/cairan pleura/ascites sebanyak 100-200 cc
dengan fiksasi alkohol 50% aa
3. FNAC (fine needle aspiration cytology) Fiksasi kering : sediaan apus dikeringkan di udara terbuka tanpa fiksasi, lalu kirim ke lab 34
Fiksasi basah : sedian apus direndam dalam fiksasi alkohol 95% kemudian dikirim
c. Sebutkan dan jelaskan pemeriksaan penunjang diagnosis dari skenario ini ? a. Pemeriksaan Histopatologi Aplikasi histopatologi merupakan suatu cara membuat preparat dengan menipiskan sel jaringan dari organ-organ tubuh. Untuk itu jaringan halus dapat ditanam pada parafin dengan pembekuan, selanjutnya jaringan dipotong. Prasyarat untuk mendapatkan histopatologi dan histokimia yang tepat dapat diperoleh dengan mengamati preparat dibawah mikroskop elektron. Preparat dari histopat mempunyai tanda spesifik yang terlihat dari jaringan sel dan struktur jaringan akibat serangan patogenisitas. Prosedur dari aplikasi histopatologi organ. Menurut Suntoro (1983), histopatologi jaringan bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya mikroorganisme yang bersifat patogen dalam jaringan hewan atau manusia. Histopatologi juga bermanfaat untuk membedakan luka akibat racun atau bakteri dengan struktur normal. Pengamatan hasil untuk diagnosis dengan metode komparasi dibawah mikroskop cahaya pada pembesaran 100- 1000 x: a. Preparat menunjukkan positif WSSV apabila ditemukan cirri perubahan sebagai berikut hiperthropi inti sel, adanya benda asing (inclusion body) tunggal bersifat eosinofilik di dalam inti sel, serta kromatin menepi kearah membran inti. b. Preparat menunjukkan positif HPV apabila ditemukan cirri perubahan sebagai berikut abnormal hepatopankreas berupa benda inklusi tunggal dalam inti sel yang bersifat eosinofilik. c. Preparat menunjukkan positif MBV apabila ditemukan cirri perubahan sebagai berikut abnormal hepatopankreas berupa kumpulan benda oklusi dalam inti sel yang menyerupai kumpulan buah anggur yang bersifat basofil.
35
d. Preparat menunjukkan positif YHV apabila ditemukan ciri sebagai berikut abnormal berupa benda inklusi di tepi inti atau perinuklea yang bersifat basofil. Kelenjar Getah Bening (Limfoid hiperplasia)
Germinal center aktif
Berbagai ukuran Folikel limfoid
TBC
36
b. Pemeriksaan mikrobiologi Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan kultur. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Spesimen untuk pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau biopsi aspirasi. Dengan pemeriksaan ini kita dapat memastikan adanya basil mikobakterium pada spesimen, diperlukan minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan dapat positif. Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis limfadenitis TB. Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur positif. Hasil kultur positif hanya pada 10-69% kasus. Berbagai media dapat digunakan seperti Petregnani, Trudeau, Middle-brook, dan Bactec TB. Diperlukan waktu beberapa minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Pada adenitis tuberkulosa, M.tuberculosis adalah penyebab tersering, diikuti oleh M.bovis (Bayazit, 2004).
c. Tes Tuberkulin Pemeriksaan intradermal ini (Mantoux Test) dilakukan untuk menunjukkan adanya reaksi imun tipe lambat yang spesifik untuk antigen mikobakterium pada seseorang. Reagen yang digunakan adalah protein purified derivative (PPD). Pengukuran indurasi dilakukan 210 minggu setelah infeksi. Dikatakan positif apabila terbentuk indurasi lebih dari 10 mm, intermediat apabila indurasi 5-9 mm, negatif apabila indurasi kurang dari 4 mm.
d. Pemeriksaan Sitologi Spesimen untuk pemeriksaan sitologi diambil dengan menggunakan biopsi aspirasi kelenjar limfe. Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan sitologi dengan biopsi aspirasi untuk menegakkan diagnosis limfadenitis TB adalah 78% dan 99%. CT scan dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan biopsi aspirasi kelenjar limfe intratoraks dan intraabdominal. Pada pemeriksaan sitologi akan terlihat Langhans giant cell, granuloma epiteloid, nekrosis kaseosa.
e. Pemeriksaan Radiologis Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan untuk membantu diagnosis limfadenitis TB. Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang konsisten dengan TB paru pada 14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus. USG kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular atau multipel hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal. Pemeriksaan dengan USG juga dapat 37
dilakukan untuk membedakan penyebab pembesaran kelenjar (infeksi TB, metastatik, lymphoma, atau reaktif hiperplasia). Pada pembesaran kelenjar yang disebabkan oleh infeksi TB biasanya ditandai dengan fusion tendency, peripheral halo, dan internal echoes. Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi sentral, adanya cincin irregular pada contrast enhancement serta nodularitas didalamnya, derajat homogenitas yang bervariasi, adanya manifestasi inflamasi pada lapisan dermal dan subkutan mengarahkan pada limfadenitis TB. Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi, dan konfluens. Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer dibandingkan sentral, dan hal ini bersama-sama dengan edema jaringan lunak membedakannya dengan kelenjar metastatik.
d. Apa diagnosis dari pemeriksaan histopatologi ? Dari pemeriksaan histopatologis ditemukan bahwa Nn. Fanny menderita Limfadenitis Tuberculosis Granulomatous Chronic Specific.
e. Bagaimana patogenesis dari diagnosis tersebut ? Tuberkulosis Ekstrapulmoner Istilah TB ekstrapulmoner digunakan pada tuberkulosis yang terjadi selain pada paru-paru, misalnya pada pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Berdasarkan epidemiologi TB ekstrapulmoner merupakan 15-20% dari semua kasus TB pada pasien HIV-negatif, dimana limfadenitis TB merupakan bentuk terbanyak (35% dari semua TB ekstrapulmoner). Sedangkan pada pasien dengan HIV-positif TB ekstrapulmoner adalah lebih dari 50% kasus TB, dimana limfadenitis tetap yang terbanyak yaitu 35% dari TB ekstrapulmoner. Limfadenitis TB lebih sering terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 1,2:1 (Dandapat, 1990). Etiologi Limfadenitis
tuberkulosis
disebabkan
oleh
infeksi
Mycobacterium
tuberculosis. Mycobacteria tergolong dalam famili Mycobactericeae dan ordo Actinomyceales. Spesies patogen yang termasuk dalam Mycobacterium kompleks, yang merupakan agen penyebab penyakit yang tersering dan terpenting adalah Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong dalam Mycobacterium tuberculosae 38
complex adalah : 1. M. tuberculosae, 2. M. bovis, 3. M. caprae, 4. M. africanum, 5. M. Microti, 6. M. Pinnipedii, 7. M.canettii Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan epidemiologi (Raviglione, 2010). Basil TB adalah bakteri aerobik obligat berbentuk batang tipis lurus berukuran sekitar 0,4 x 3 μm dan tidak berspora. Pada media buatan berbentuk kokoid dan filamentous tampak bervariasi dari satu spesies ke spesies lain. Mycobacteria termasuk M.tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan Gram dan hanya dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus serta sangat kuat mengikat zat warna tersebut sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun menggunakan asam alkohol, sehingga
dijuluki
bakteri
tahan
asam
(Raviglione,
2010;
Jawetz,
2004).
M.tuberculosis mudah mengikat pewarna Ziehl-Neelsen atau karbol fuksin (Kumar, 2004). Bakteri ini mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen karbon sederhana. Penambahan CO2 meningkatkan pertumbuhan. Aktivitas biokimia tidak khas dan laju pertumbuhannya lebih lambat daripada kebanyakan bakteri. Waktu replikasi basil tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih cepat, berproliferasi dengan baik pada temperatur 22-23°C, dan tidak terlalu bersifat tahan asam bila dibandingkan dengan bentuk patogennya (Brooks, 2004).
Patogenesis Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer sering terjadi pada anak-anak sehingga sering disebut child-type tuberculosis, sedangkan TB postprimer (sekunder) disebut juga adult-type tuberculosis karena sering terjadi pada orang dewasa, walaupun faktanya TB primer dapat juga terjadi pada orang dewasa (Raviglione, 2010). Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium. TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil tuberkulosis (Raviglione, 2010). Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag alveolus dan akan 39
mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus, dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, 3 – 4 minggu setelah infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional disebut dengan kompleks Ghon. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit (Datta, 2004). Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer. Adanya imunitas seluler akan membatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada TB primer, basil TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ (Datta, 2004). Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru (Mohapatra, 2009). Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di leher (Datta, 2004).
Klasifikasi tuberculosis : 1. Dari sistem lama diketahui beberapa klasifikasi seperti : a. Pembagian secara patologis : - Tuberculosis primer ( Child hood tuberculosis ) 40
- Tuberculosis post primer ( Adult tuberculosis ) b. Pembagian secara aktifitas radiologis : - Tuberculosis paru ( Koch pulmonal ) aktif, non aktif dan quiesent ( batuk aktif yang mulai sembuh ) c. Pembagian secara radiologis ( Luas lesi ) - Tuberculosis minimal Terdapat sebagian kecil infiltrat non kapitas pada satu paru maupun kedua paru, tapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru. - Moderateli advanced tuberculosis Ada kapitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak lebih dari satu pertiga bagian satu paru. - For advanced tuberculosis Terdapat infiltrat dan kapitas yang melebihi keadaan pada moderateli advanced tuberculosis. 2. Berdasarkan aspek kesehatan masyarakat pada tahun 1974 American Thorasic Society memberikan klasifikasi baru: a. Karegori O : tidak pernah terpajan dan tidak terinfeksi, riwayat kontak tidak pernah, tes tuberculin negatif. b. Kategori I : Terpajan tuberculosis tetapi tidak tebukti adanya infeksi, disini riwayat kontak positif, tes tuberkulin negatif. c. Kategori II : Terinfeksi tuberculosis tapi tidak sakit d. Kategori III : terinfeksi tuberculosis dan sakit.
3. Klasifikasi yang sering dipakai di Indonesia adalah berdasarkan kelainan klinis, radiolis dan mikrobiologis. a. Tubercolosis paru b. Bekas tuberculosis paru c. Tuberculosis paru tersangka - Tuberculosis paru yang terobati. Disini sputum BTA ( negatif ) tetapi tanda-tanda lain positif
.
- Tuberculosis paru tersangka yang tidak diobati.Disini sputum negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.
4. Berdasarkan terapi WHO membagi tuberculosis menjadi 4 kategori : 41
a. Kategori I : ditujukan terhadap kasus baru dengan sputum positif dan kasus baru dengan batuk TB berat. b. Kategori II : ditujukan terhadap kasus kambuh dan kasus gagal dengan sputum BTA positf c. Kategori III : ditujukan terhadap kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas dan kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I. d. Kategori IV : ditujukan terhadap TB kronik.
Manifestasi Klinis Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner. Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Pasien biasanya datang dengan keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang lambat. Pada pasien limfadenitis TB dengan HIV-negatif, limfadenopati leher terisolasi adalah manifestasi yang paling sering dijumpai yaitu sekitar dua pertiga pasien. Oleh karena itu, infeksi mikobakterium harus menjadi salah satu diagnosis banding dari pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa minggu sampai beberapa bulan (Mohapatra, 2004). Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis, kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis (Mohapatra, 2004). Berdasarkan penelitian oleh Geldmacher (2002) didapatkan kelenjar limfe yang terlibat yaitu: 63,3% pada kelenjar limfe servikalis, 26,7% kelenjar mediastinal, dan 8,3% pada kelenjar aksila, dan didapatkan pula pada 35% pasien pembengkakan terjadi pada lebih dari satu tempat. Menurut Sharma (2004), pada pasien dengan HIV-negatif maupun HIV-positif, kelenjar limfe servikalis adalah yang paling sering terkena, diikuti oleh kelenjar limfe aksilaris dan inguinalis. Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau bilateral, tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan paling sering berlokasi di regio servikalis posterior dan yang lebih jarang di regio supraklavikular (Mohapatra, 2004). Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit. Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali (i) terjadi infeksi sekunder bakteri, (ii) pembesaran kelenjar yang cepat atau (iii) koinsidensi dengan infeksi HIV. Abses kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian kadang-kadang dapat terjadi sinus yang tidak menyembuh secara kronis dan pembentukan ulkus. Pembentukan fistula terjadi pada 10% dari limfadenitis TB servikalis (Mohapatra, 2004). 42
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran ≥ 2 cm biasanya disebabkan oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm biasanya disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup kemungkinan pembengkakan tersebut disebabkan oleh M.tuberculosis.
f. Bagaimana patofisiologi dari : 1. Folikel limfoid hyperplasia Hiperplasia folikel berkaitan dengan infeksi atau proses peradangan yang mengaktifkan sel B. Sel B dalam berbagai tahap diferensiasi berkumpul di dalam pusat germinativum besar yang bulat atau oblong (folikel sekunder). Temuan yang menunjang diagnosis hiperplasia folikel adalah (1) dipertahankannya arsitektur kelenjar getah bening dengan jaringan limfoid normal di antara pusat germinativum; (2) nodus limfoid yang ukuran dan bentuknya sangat bervariasi; (3) populasi campuran limfosit pada tahap diferensiasi yang berbeda; dan (4) aktivitas fagositik dan mitotik yang menonjol di pusat germinativum.
2. Nekrosis perkijuan Perjalanan infeksi tuberculosis melalui 5 tahap. Pada tahap 3 terjadi nekrosis kaseosa, jumlah kuman tuberculosis menetap karena pertumbuhan kumannya dihambat oleh respon imun tubuh terhadap tuberculin-like antigen. Padastage ini, DTH merupakan respon imun utama yang mampu menghancurkan makrofag yang berisi kuman. Respon ini terbentuk 4-8 minggu dari saat infeksi.Dalam solid caseous center yang terbentuk, kuman ekstraseluler tidak dapat tumbuh, dikelilingi non-activated makrofag yang tidak aktif dan partly activated macrofag. Pertumbuhan kuman TB secara logaritmik terhenti, namun respon imun DTH ini menyebabkan perluasan caseous center dan progresifitas penyakit. Kuman tubekulosis masih dapat hidup dalam solid caseous necrosis tapi tidak dapat berkembang biak karena keadaan anoksia, penuruna pH dan adanya inhibitory fatty acid. Pada keadaan dorman ini metabolism kuman minimal sehingga tidak sensitive terhadap terapi. Caseous necrosis ini merupakan reaksi DTH yang berasal dari limfosit T, khususnya T yang melibatkan clotting factor, sitokin TNF-alfa, nitrogen intermediate, kompleks antigen antibody,
43
komplemen dan produk-produk yang dilepaskan kuman yang mati. Pada reaksi inflamasi, endotel vascular menjadi aktif menghasilkan molekul-molekul adhesi (ICAM-1, ELAM-1, VCAM-1), MHC kelas I dan II.
g. Bagaimana respon imun pada skenario ini ? Pada dasarnya ketika pertahanan primer yang dapat berupa leukosit,makrofag (nonspesifik) tidak berhasil menghancurkan suatu jejas maka akan terjadi pertahanan sekunder/spesifik dimana akan terjadi pengenalan situs antigen. Pengenalan ini diawali oleh APC (dapat berupa sel dendritik / makrofag yang membawa epitop ke jaringan tymus tempat limposit T berkembang) ketika TCR (reseptor T) dibantu protein CD4 mengikat epitop yang berlekatan dengan MHC II APC maka akan terjadi pengenalan situs dimana akan terbentuk memory cell dan kemudian T CD4 akan berubah menjadi Th2 yang menghasilkan IL-4 yang merangsang pembentukan limposit B dan akan menjadi sel plasma (matur) yang melawan antigen di tempat peradangan. Selain itu akan terbentuk Th1 yang menghasilkan IL-2 untuk meningkatkan kerja Th1 sendiri dan merangsang Ts untuk membunuh sel yang terinfeksi setelah terjadi pengenalan antara CD8 dengan epitop pada MHC1 sel. Th1 juga akan menghasilkan interferon-Y yang merangsang percepatan makrofag aktif ke jaringan yang terinfeksi sehingga terjadi proses radang. Peningkatan sel plasma dan makrofag akan membentuk pola khusus berupa granuloma. Makrofag akan memperkuat kerjanya (disetimulasi IL-4 dan INF-Y dari limposit) dengan berfusi menjadi epiteloid dan giant sell. Pembentukan jaringan fibrosis ( mekanisme radang kronis) untuk melokalisir reaksi radang agar tidak meluas dan melokalisir reaksi komunikasi sistem imun. h. Bagaimana tatalaksana yang dilakukan ? Penatalaksanaan limfadenitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian, farmakologis dan non farmakologis. Terapi non farmakologis adalah dengan pembedahan, sedangkan terapi farmakologis memiliki prinsip dan regimen obatnya yang sama dengan tuberkulosis paru. Pembedahan tidaklah merupakan suatu pilihan terapi yang utama, karena pembedahan tidak memberikan keuntungan tambahan dibandingkan terapi farmakologis biasa. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengklasifikasikan limfadenitis TB kedalam TB di luar paru dengan paduan obat 2RHZE/10RH. British Thoracic Society Research 44
Committee and Compbell (BTSRCC) merekomendasikan pengobatan selama 9 bulan dalam regimen 2RHE/7RH. Ada 2 (dua) kategori Obat Anti Tuberkulosa (OAT): 1. OAT Utama (first-line Antituberculosis Drugs), yang dibagi menjadi dua (dua) jenis berdasarkan sifatnya yaitu: a. Bakterisidal, termasuk dalam golongan ini adalah INH, rifampisin, pirazinamid, dan streptomisin. b. Bakteriostatik, yaitu etambutol. Kelima obat tersebut di atas termasuk OAT utama. 2. OAT
sekunder
(second
aminosalicylicAcid
Antituberculosis
(PAS),
ethionamid,
Drugs), sikloserin,
terdiri
dari
Para-
kanamisin,
dan
kapreomisin. OAT sekunder ini selain kurang efektif juga lebih toksik, sehingga kurang dipakai lagi.
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-- prinsip yang dipakai adalah:
Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikandalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepatsesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.
Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed
Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Dengan kemajuan teknik imaging sekarang ini seperti USG, CT atau MRI banyak halhal yang bersifat invasif dapat digantikan seperti laprotomi untuk staging. Stadium Klinik dibedakan : Stadium I : Bila tumor terdapat pada satu kelompok kelenjar getah bening (I) atau pada satu organ ekstralimfatik selama masih soliter (IE). Stadium II : Bila tumor didapat pada dua atau lebih grup kelenjar getah benig pada pihak yang sama dari diafragma (II) atau bila terdapat pada satu atau lebih kelompok klenjar getah
45
bening disertai tumor soliter ekstralimfatik namun masih dalam satu pihak diafrgma ( IIE). Stadium III : Bila terkena kelenjar getah bening pada dua pihak diafragma (III) dan apabila ada organ ekstralimfatik terkena, masih soliter (IIIE). Stadium VI : Bila penyakit ditemukan difuse pada satu organ atau lebih dengan atau tanpa terserangnya kelenjar getah bening. Tatalaksana I. Radiasi Untuk stadium I dan II secara mantel radikal Untuk stadium IIIA/Bsecara total nodal radioterapi. Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation. Untuk stadium IV secara total body irradiation..
II. Kemoterapi untuk stadium III dan IV Untuk stadium I dan II dapat pula diberi khemoterapi preradiasi atau pasca radiasi. Khemoterapi yang sering dipakai adalah kombinasi : COP untuk Limfoma Non Hodgkin C : Cyclophosphamide 800 mg/m2 hari pertama. O : Oncovin 1,4 mg/m2 i.v.hari pertama P : Prednison 60 mg/m2 hari 1 s/d 7 lalu tapering off.
MOPP ( untuk limfoma Hodgkin) M. : Nitrogen mustard 6 mg/m2 hari 1 dan 8 O : Oncovin 1,4 mg/m2 hari1 dan 8 P : Prednison 60 mg/m2 hari 1 s/d 14 P : Procarbazin 100 mg/m2 hari 1 s/d 14 Peranan pembedaan pada penatalaksanaan limfoma malignum terutama hanya untuk diagnostik (biopsi) dan laparotomi splenektomi bila ada indikasi. Tata laksana pembesaran kelenjar getah bening leher didasarkan kepada penyebabnya. Banyak kasus dari pembesaran kelenjar getah bening leher sembuh dengan sendirinya dan tidak membutuhkan pengobatan apa pun selain dari observasi. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6 minggu dapat menjadi indikasi untuk dilaksanakan biopsy kelenjar getah bening. Biopsy dilakukan bila terdapat tanda dan gejala yang mengarahkan kepada keganasan,
46
kelenjar getah bening yang menetap atau bertambah besar dengan pengobatan yang tepat, atau diagnosis belum dapat ditegakkan. Pembesaran kelenjar getah bening biasanya disebabkan oleh virus dan sembuh sendiri, walaupun pembesaran kelenjar getah bening dapat berlangsung mingguan. Pengobatan pada infeksi kelenjar getah bening oleh bakteri (limfadenitis) adalah anti-biotic oral 10 hari dengan pemantauan dalam 2 hari pertama flucloxacillin 25 mg/kgBB empat kali sehari. Bila ada reaksi alergi terhadap antibiotic golongan penicillin dapat diberikan cephalexin 25 mg/kg (sampai dengan 500 mg) tiga kali sehari atau erythromycin 15 mg/kg (sampai 500 mg) tiga kali sehari.
i. Bagaimana hubungan jenis kelamin dan umur dengan penyakit pada skenario ? Jenis Kelamin : Berdasarkan laporan dari WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB. Pada jenis kelamin lakilaki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agen penyebab TB Paru (Roebiono. PS, 2009). Namun bukan berarti laki-laki yang tidak merokok tidak dapat terkena tuberculosis, hal ini juga bergantung pada sistem imun dan insidensial paparan bakteri. Umur : Penyakit TB paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif (15 – 50) tahun. Namun pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB Paru (Roebiono. PS, 2009). Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun (Depkes RI, 2001). Hasil penelitian Gustafon, P et al (2004) (dikutip dalam Desmon, 2006) membuktikan bahwa ada efek dosis respon yaitu semakin tua umur akan meningkatkan risiko untuk menderita penyakit tuberkulosis dengan OR pada usia 25-34 tahun adalah 1,36 (95% Cl 0,91-2,04) dan pada kelompok umur lebih dari 55 tahun OR sebesar 4,08 (95% Cl 2,664-6,31). Artinya bahwa hasil penelitian gustafon menunjukkan usia diatas 55 tahun berisiko 4,08 kali menderita penyakit tuberkulosis daripada umur kurang dari 55 tahun.
47
5. KETERKAITAN ANTAR MASALAH
Nn. Fanny (22 th) 6 bulan yll mengeluh benjolan di leher kiri dan kanan Datang ke poli bedah RSMH Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum Sakit sedang, Compos Mentis, BB 43 Kg, TB 156 cm, Sedikit anemis, RR : 20x/menit, Nadi : 72x/menit, Tidak terdapat ronchi
Pemeriksaan Laboratorium
Status Lokalis
Hb : 11,2 g%, Leukosit : 10.800/mm3 , LED : 43 mm/jam, Diff. Count : 0/1/4/46/44/5
Pada colli sinistra teraba 2 buah nodul ukuran 4x3 cm dan 2x1 cm batas tegas, dan colli dextra 1 buah nodul ukuran 2x1 cm
Pemeriksaan Histopatologi Kelenjar getah bening berkapsul jaringan ikat tipis, bagian korteks tampak folikel limfoid hiperplasia, berbagai ukuran, dengan germinal center aktif. Bagian kelenjar getah bening yang mengalami nekrosis perkijuan dikelilingi oleh sel-sel limfosit, makrofag, epiteloid, 1-2 sel datia langhans. Tidak dijumpai tanda-tanda ganas
6.KERANGKA KONSEP
Nn. Fanny (22 th) inhalasi droplet mycobacterium tuberculosis
Lolos di pertahanan mukosa siliaris
Bersarang di bagian terminal alveoli (bentuk focus GOHN)
Infeksi laten Reaktifasi
Reinfeksi Basil menuju KGB
Pembentukan imun spesifik
Reaksi DTH (Delay Type Hypersensitivity)
Lymphadenitis Granulomatous Chronic Specific 48
7.SINTESIS
1. TB kelenjar (Limfadenitis TB) Definisi Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening. Jadi, limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis (Ioachim, 2009). Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula (Dorland, 1998). Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya paling sering terjadi (Kumar, 2004). Istilah scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan kelenjar. Hippocrates (460-377 S.M.) menyebutkan istilah tumor skrofula pada sebuah tulisannya (Mohaputra, 2009). Penyakit ini juga sudah dikenal sejak zaman raja-raja Eropa pada zaman pertengahan dengan nama “King’s evil”, dimana dipercaya bahwa sentuhan tangan raja dapat menyembuhkannya (McClay, 2008). Infeksi M.tuberculosis pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung tuberkulosis ke kulit dari struktur dasar atau terpajan melalui kontak dengan tuberkulosis disebut dengan scrofuloderma (Dorland, 1998). Epidemiologi Selama beberapa abad tuberkulosis merupakan salah satu penyakit terparah pada manusia. Dari semua penyakit infeksi, tuberkulosis masih merupakan penyebab kematian tersering. WHO memprediksikan insidensi penyakit tuberkulosis ini akan terus meningkat, dimana akan terdapat 12 juta kasus baru dan 3 juta kematian akibat penyakit tuberkulosis setiap tahun. Sepertiga dari peningkatan jumlah kasus baru disebabkan oleh epidemi HIV, dimana tuberkulosis menyebabkan kematian pada satu orang dari tujuh orang yang menderita AIDS (Ioachim, 2009). Indonesia pada tahun 2009 menempati peringkat kelima negara dengan insidensi TB tertinggi di dunia sebanyak 0,35-0,52 juta setelah India (1,6-2,4 juta), Cina (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,40-0,59 juta), dan Nigeria (0,37-0,55 juta) (WHO, 2010). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menempatkan TB sebagai penyebab kematian terbesar ketiga setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernapasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi (Depkes, 2007).
49
Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ di tubuh. Meskipun TB pulmoner adalah yang paling banyak, TB ekstrapulmoner juga merupakan salah satu masalah klinis yang penting. Istilah TB ekstrapulmoner digunakan pada tuberkulosis yang terjadi selain pada paru-paru. Berdasarkan epidemiologi TB ekstrapulmoner merupakan 15-20% dari semua kasus TB pada pasien HIV-negatif, dimana limfadenitis TB merupakan bentuk terbanyak (35% dari semua TB ekstrapulmoner). Sedangkan pada pasien dengan HIV-positif TB ekstrapulmoner adalah lebih dari 50% kasus TB, dimana limfadenitis tetap yang terbanyak yaitu 35% dari TB ekstrapulmoner (Sharma, 2004). Limfadenitis TB lebih sering terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 1,2:1 (Dandapat, 1990). Berdasarkan penelitian terhadap data demografik 60 pasien limfadenitis TB didapat 41 orang wanita dan 19 orang pria dengan rentang umur 40,9 ± 16,9 (13 – 88) (Geldmacher, 2002). Penelitian lainnya terhadap 69 pasien limfadenitis TB didapat 48 orang wanita dan 21 orang pria dengan rentang umur 31,4 ± 13,1 (14 – 60) (Jniene, 2010). Etiologi Limfadenitis
tuberkulosis
disebabkan
oleh
infeksi
Mycobacterium
tuberculosis. Mycobacteria tergolong dalam famili Mycobactericeae dan ordo Actinomyceales. Spesies patogen yang termasuk dalam Mycobacterium kompleks, yang merupakan agen penyebab penyakit yang tersering dan terpenting adalah Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong dalam Mycobacterium tuberculosae complex adalah : 1. M. tuberculosae, 2. M. bovis, 3. M. caprae, 4. M. africanum, 5. M. Microti, 6. M. Pinnipedii, 7. M.canettii Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan epidemiologi (Raviglione, 2010). Basil TB adalah bakteri aerobik obligat berbentuk batang tipis lurus berukuran sekitar 0,4 x 3 μm dan tidak berspora. Pada media buatan berbentuk kokoid dan filamentous tampak bervariasi dari satu spesies ke spesies lain. Mycobacteria termasuk M.tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan Gram dan hanya dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus serta sangat kuat mengikat zat warna tersebut sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun menggunakan asam alkohol, sehingga
dijuluki
bakteri
tahan
asam
(Raviglione,
2010;
Jawetz,
2004).
M.tuberculosis mudah mengikat pewarna Ziehl-Neelsen atau karbol fuksin (Kumar, 2004).
50
Dinding bakteri Mikobakterium kaya akan lipid yang terdiri dari asam mikolat, lilin, dan fosfat. Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan asam mikolat dapat menyebabkan pembentukan granuloma. Lipid inilah yang bertanggung jawab pada sifat tahan asam bakteri Mikobakterium. Penghilangan lipid dengan menggunakan asam yang panas menghancurkan sifat tahan asam bakteri ini (Brooks, 2004). Bakteri ini mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen karbon sederhana. Penambahan CO2 meningkatkan pertumbuhan. Aktivitas biokimia tidak khas dan laju pertumbuhannya lebih lambat daripada kebanyakan bakteri. Waktu replikasi basil tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih cepat, berproliferasi dengan baik pada temperatur 22-23°C, dan tidak terlalu bersifat tahan asam bila dibandingkan dengan bentuk patogennya (Brooks, 2004). Patogenesis Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer sering terjadi pada anak-anak sehingga sering disebut child-type tuberculosis, sedangkan TB postprimer (sekunder) disebut juga adult-type tuberculosis karena sering terjadi pada orang dewasa, walaupun faktanya TB primer dapat juga terjadi pada orang dewasa (Raviglione, 2010). Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium. TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil tuberkulosis (Raviglione, 2010). Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus, dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, 51
3 – 4 minggu setelah infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional disebut dengan kompleks Ghon. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit (Datta, 2004). Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer. Adanya imunitas seluler akan membatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada TB primer, basil TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ (Datta, 2004). Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru (Mohapatra, 2009). Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di leher (Datta, 2004). Manifestasi Klinis Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner. Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Pasien biasanya datang dengan keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang lambat. Pada pasien limfadenitis TB dengan HIV-negatif, limfadenopati leher terisolasi adalah manifestasi yang paling sering dijumpai yaitu sekitar dua pertiga pasien. Oleh karena itu, infeksi mikobakterium harus menjadi salah satu diagnosis banding dari pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa minggu sampai beberapa bulan (Mohapatra, 2004). Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis, kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris, 52
mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis (Mohapatra, 2004). Berdasarkan penelitian oleh Geldmacher (2002) didapatkan kelenjar limfe yang terlibat yaitu: 63,3% pada kelenjar limfe servikalis, 26,7% kelenjar mediastinal, dan 8,3% pada kelenjar aksila, dan didapatkan pula pada 35% pasien pembengkakan terjadi pada lebih dari satu tempat. Menurut Sharma (2004), pada pasien dengan HIVnegatif maupun HIV-positif, kelenjar limfe servikalis adalah yang paling sering terkena, diikuti oleh kelenjar limfe aksilaris dan inguinalis. Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau bilateral, tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan paling sering berlokasi di regio servikalis posterior dan yang lebih jarang di regio supraklavikular (Mohapatra, 2004). Keterlibatan multifokal ditemukan pada 39% pasien HIV-negatif dan pada 90% pasien HIV-positif. Pada pasien HIV-positif, keterlibatan multifokal, limfadenopati intratorakalis dan intraabdominal serta TB paru adalah sering ditemukan (Sharma, 2004). Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala sistemik yaitu seperti demam, penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam. Lebih dari 57% pasien tidak menunjukkan gejala sistemik (Mohapatra, 2004). Terdapat riwayat kontak terhadap penderita TB pada 21,8% pasien, dan terdapat TB paru pada 16,1% pasien (Mohapatra, 2004). Menurut Jones dan Campbell (1962) dalam Mohapatra (2004) limfadenopati tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu: 1. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret. 2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan sekitar oleh karena adanya periadenitis. 3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat pembentukan abses. 4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess. 5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.
Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit. Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali (i) terjadi infeksi sekunder bakteri, (ii) pembesaran kelenjar yang cepat atau (iii) koinsidensi dengan infeksi HIV. Abses kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian kadang-kadang dapat terjadi sinus yang tidak menyembuh secara kronis dan pembentukan ulkus. Pembentukan fistula terjadi 53
pada 10% dari limfadenitis TB servikalis (Mohapatra, 2004). Berdasarkan penelitian oleh Jniene (2010) dari 69 pasien limfadenitis TB didapat 11 orang dengan pembengkakan kelenjar yang nyeri dan 6 orang dengan adanya pembentukan fistula. Terdapat juga 10 orang dengan pembengkakan kelenjar yang disertai adanya tandatanda inflamasi tetapi tidak disertai oleh adanya fistula. Secara klasik, sinus tuberkulosis mempunyai pinggir yang tipis, kebiru-biruan, dan rapuh dengan pus cair yang sedikit. Skrofuloderma adalah infeksi mikobakterial pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung infeksi TB ke kulit dari struktur dibawahnya atau oleh paparan langsung terhadap basil TB (Mohapatra, 2004). Limfadenitis TB mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak. Pada dewasa limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala. Manifestasi yang jarang terjadi pada pasien dengan keterlibatan kelenjar limfe mediastinal termasuk disfagia, fistula oesophagomediastinal, dan fistula tracheo-oesophageal. Pembengkakan kelenjar limfe mediastinal dan abdomen atas juga dapat menyebabkan obstruksi duktus toraksikus dan chylothorax, chylous ascites ataupun chyluria. Pada keadaan tertentu, obstruksi biliaris akibat pembesaran kelenjar limfe dapat menyebabkan obstructive jaundice. Tamponade jantung juga pernah dilaporkan terjadi akibat limfadenitis mediastinal (Mohapatra, 2004). Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran ≥ 2 cm biasanya disebabkan oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm biasanya disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup kemungkinan pembengkakan tersebut disebabkan oleh M.tuberculosis (Narang, 2005). Diagnosis Untuk mendiagnosa limfadenitis TB diperlukan tingkat kecurigaan yang tinggi, dimana hal ini masih merupakan suatu tantangan diagnostik untuk banyak klinisi meskipun dengan kemajuan teknik laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, pewarnaan BTA, pemeriksaan radiologis, dan biopsi aspirasi jarum halus dapat membantu dalam membuat diagnosis awal yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam memberikan pengobatan sebelum diagnosis akhir dapat dibuat berdasarkan biopsi dan kultur (Bayazit, 2004). Juga penting untuk membedakan infeksi mikobakterium tuberkulosis dengan non-tuberkulosis. Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa limfadenitis TB :
a. Pemeriksaan mikrobiologi 54
Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan kultur. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Spesimen untuk pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau biopsi aspirasi. Dengan pemeriksaan ini kita dapat memastikan adanya basil mikobakterium pada spesimen, diperlukan minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan dapat positif (Mohapatra, 2009; Bayazit, 2004). Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis limfadenitis TB. Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur positif. Hasil kultur positif hanya pada 10-69% kasus (Mohapatra, 2009). Berbagai media dapat digunakan seperti Petregnani, Trudeau, Middle-brook, dan Bactec TB. Diperlukan waktu beberapa minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Pada adenitis tuberkulosa, M.tuberculosis adalah penyebab tersering, diikuti oleh M.bovis (Bayazit, 2004).
b. Tes Tuberkulin Pemeriksaan intradermal ini (Mantoux Test) dilakukan untuk menunjukkan adanya reaksi imun tipe lambat yang spesifik untuk antigen mikobakterium pada seseorang. Reagen yang digunakan adalah protein purified derivative (PPD). Pengukuran indurasi dilakukan 2-10 minggu setelah infeksi. Dikatakan positif apabila terbentuk indurasi lebih dari 10 mm, intermediat apabila indurasi 5-9 mm, negatif apabila indurasi kurang dari 4 mm (Mohapatra, 2009).
c. Pemeriksaan Sitologi Spesimen untuk pemeriksaan sitologi diambil dengan menggunakan biopsi aspirasi kelenjar limfe. Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan sitologi dengan biopsi aspirasi untuk menegakkan diagnosis limfadenitis TB adalah 78% dan 99% (Kocjan, 2001). CT scan dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan biopsi aspirasi kelenjar limfe intratoraks dan intraabdominal (Sharma, 2004). Pada pemeriksaan sitologi akan terlihat Langhans giant cell, granuloma epiteloid, nekrosis kaseosa. Muncul kesulitan dalam pendiagnosaan apabila gambaran konvensional seperti sel epiteloid atau Langhans giant cell tidak ditemukan pada aspirat. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2008), bahwa gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik dapat digunakan sebagai tambahan karakteristik tuberkulosis selain gambaran epiteloid dan Langhans giant cell. Didapati bahwa
55
aspirat dengan gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik, dapat memberikan hasil positif tuberkulosis apabila dikultur.
d. Pemeriksaan Radiologis Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan untuk membantu diagnosis limfadenitis TB. Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang konsisten dengan TB paru pada 14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus (Bayazit, 2004). USG kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular atau multipel hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal (Bayazit, 2004). Pemeriksaan dengan USG juga dapat dilakukan untuk membedakan penyebab pembesaran kelenjar (infeksi TB, metastatik, lymphoma, atau reaktif hiperplasia). Pada pembesaran kelenjar yang disebabkan oleh infeksi TB biasanya ditandai dengan fusion tendency, peripheral halo, dan internal echoes (Khanna, 2011). Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi sentral, adanya cincin irregular pada contrast enhancement serta nodularitas didalamnya, derajat homogenitas yang bervariasi, adanya manifestasi inflamasi pada lapisan dermal dan subkutan mengarahkan pada limfadenitis TB (Bayazit, 2004). Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi, dan konfluens. Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer dibandingkan sentral, dan hal ini bersama-sama dengan edema jaringan lunak membedakannya dengan kelenjar metastatik (Bayazit, 2004).
2. Radang akut dan kronis RADANG Radang (bahasa Inggris: inflammation) adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi. Radang atau inflamasi adalah satu dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam sistem kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi. 56
Radang mempunyai tiga peran penting dalam perlawanan terhadap infeksi:[1]
memungkinkan penambahan molekul dan sel efektor ke lokasi infeksi untuk meningkatkan performa makrofaga
menyediakan rintangan untuk mencegah penyebaran infeksi
mencetuskan proses perbaikan untuk jaringan yang rusak. Respon peradangan dapat dikenali dari rasa sakit, kulit lebam, demam dll, yang disebabkan karena terjadi perubahan pada pembuluh darah di area infeksi:
pembesaran diameter pembuluh darah, disertai peningkatan aliran darah di daerah infeksi. Hal ini dapat menyebabkan kulit tampak lebam kemerahan dan penurunan tekanan darah terutama pada pembuluh kecil.
aktivasi molekul adhesi untuk merekatkan endotelia dengan pembuluh darah.
kombinasi dari turunnya tekanan darah dan aktivasi molekul adhesi, akan memungkinkan sel darah putih bermigrasi ke endotelium dan masuk ke dalam jaringan. Proses ini dikenal sebagai ekstravasasi. Bagian tubuh yang mengalami peradangan memiliki tanda-tanda sebagai berikut:
tumor atau membengkak
calor atau menghangat
dolor atau nyeri
rubor atau memerah
functio laesa atau daya pergerakan menurun dan kemungkinan disfungsi organ atau jaringan.
Perbedaan Radang Akut dan Radang Kronis Radang akut ditandai dengan perubahn vaskuler, edema, dan inflitrasi neutrofil dalam jumlah besar. Sedangkan radang kronik ditandai oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis dan fibrosis)
RADANG AKUT Radang akut merupakan reaksi segera jaringan terhadap berbagai macam agen penyebab yang merugikan, dan dapat berakhir dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Proses tersebut biasanya diterangkan dengan akhiran “-itis”, yang didahului
57
dengan nama organ atau jaringan yang terkena. Respon radang akut adalah sama, apa pun yang menjadi agen penyebabnya. Penyebab: -
Infeksi mikrobial, misalnya bakteri piogenik, virus Virus menyebabkan kematian sel dengan cara multiplikasi intraseluler. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yang spesifik atau endotoksin.
-
Reaksi hipersensitivitas, misalnya parasit, basil tuberkulosis Terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan.
-
Agen fisik, misalnya trauma, radiasi pengion, panas, dingin
-
Kimiawi, misalnya korosif, asam, basa, agen pengurang, toksin bakteri
-
Jaringan nekrosis, misalnya infark iskemik.
Radang Akut Menjadi Radang Kronis Apabila agen penyebab radang akut tidak dihilangkan, radang akut dapat tumbuh menjadi radang kronis. Sebagai tambahan pada organisasi jaringan, sifat eksudat seluler berubah, dengan limfosit, sel plasma, dan makrofag (kadang termasuk sel datia berinti banyak) menggantikan neutrofil polimorf. Meskipun demikian, radang kronis sering merupakan proses primer, tanpa didahului periode radang akut.
RADANG KRONIS Istilah kronis digunakan untuk menjelaskan suatu proses yang telah berlangsung dalam waktu yang lama. Pada keadaan tersebut, jenis reaksi seluler yang terlihat berbeda dengan yang terlihat pada radang akut. Radang kronis mungkin dapat didefinisikan sebagai proses radang dimana limfosit, sel plasma dan makrofag lebih banyak ditemukan, dan biasanya disertai pula dengan pembentukan jaringan granulasi, yang menghasilkan firbosis. Radang kronis umumnya primer (radang kronis ab initio), tetapi ada kalanya sebagai lanjutan dari radang akut. Penyebab: Terdapat 3 kelompok besar yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil tuberkel, Treponema palidum, dan jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang tidak dapat hancur (misalnya silika), penyakit autoimun.
58
Pada umumnya benda asing mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan radang kronis yang spesifik, disebut radang granulomatosa, dan menyebabkan terbentuknya sel datia berinti banyak yang berasal dari makrofag, yang disebut sel datia benda asing.
Mekanisme: Mekanisme reaksi inflamasi kronis umum dimulai dari suatu agen pencidera yang akan menghasilkan antigen yng mana antigen ini akan merangsang pembentukan proses perubahan Limfosit T yang menjadi sel T efektor yang berakumulasi membentuk respon sel T sitotoksik yang berperan dalam lisis sel (selular imuniti). Sel T tersebut juga berpengaruh dalam pembentukan granuloma epiteloid dirangsang oleh sitokin. Sel T sitotoksik juga berpengaruh dalam perubahan limfosit B menjadi sel plasma, yang akhirnya berpern dalam pembentukan antibodi untuk melemahkan antigen (humoral imuniti). Makrofag yang telah memakan antigen, dalam proses kronis akan membentuk granuloma awal, yang dalam keadaan infeksius membentuk jaringan granuloma epiteloid kaseosa, dan pada keadaan noninfeksius menghasilkan granuloma epitoloid nonkaseosa. Yang pada proses penyembuhan membentuk jaringan fibrosis.
3. Respon imun Terdapat dua macam respon imun pertahanan tubuh terhadap infeksi tuberkulosis yaitu respon imun selular (sel T dan makrofag yang teraktivasi) bersama sejumlah sitokin dan pertahanan secara humoral (anti bodi-mediated). Respon imun seluler lebih banyak memegang peranan dalam pertahan tubuh terhadap infeksi tuberkulosis. Pertahanan secara humoral tidak bersifat protektif tetapi lebih banyak digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis. Untuk menimbulkan respons antibodi maka sel B dan sel T harus saling berinteraksi. Antigen yang berada di dalam makrofag atau yang berfungsi sebagai antigen presenting cell (APC) menyajikan antigen mikroba kepada sel Th. Aksi pengenalan itu sel Th bersama-sama ekspresi MHC kelas II kepada sel Th, mengaktivasi sel B untuk memproduksi antibodi spesifik terhadap antigen. Aktivasi sel T menyebabkan terjadinya diferensiasi B menjadi sel plasma yang kemudian menghasilkan antibodi. Sel B menerima signal dari sel T untuk berbagi dan berdiferensiasi menjadi antibodi forming cells (APC) dan sel memori B. 59
Respon imun primer terjadi sewaktu antigen pertama kali masuk ke dalam tubuh, yang ditandai dengan munculnya IgM beberapa hari setelah pemaparan. Kadar IgM mencapai puncaknya pada hari ke-7. Pada 6-7 hari setelah pemaparan, barulah bisa di deteksi IgG pada serum, sedangkan IgM mulai berkurang sebelum kadar IgG mencapai puncaknya yaitu 10-14 hari setelah pemaparan anti gen. Respon imun sekunder terjadi apabila pemaparan anti gen terjadi untuk yang kedua kalinya, yang di sebut juga booster. Puncak kadar IgM pada respon sekunder ini umumnya tidak melebihi puncaknya pada respon primer, sebaliknya kadar IgG meningkat jauh lebih tinggi dan berlangsung lebih lama. Perbedaan dalam respon ini di sebabkan adanya sel B dan sel T memory akibat pemaparan yang pertama (Kardjito, 1996). Ketika Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam paru – paru, proteksi utama respon imun spesifik terhadap bakteri intaseluler berupa imunitas selular. Imunitas seluler terdiri dari sel CD4+ yang mengaktifkan makrofag yang memproduksi IFN-γ dan CD8+ yang memacu pembunuhan mikroba serta lisis sel terinfeksi. Makrofag yang diaktifkan sebagai respon terhadap mikroba intraseluler dapat pula membentuk granuloma dan menimbulkan kerusakan jaringan. Bakteri intraseluler dimakan makrofag dan dapat hidup dalam fagosom dan masuk dalam sitoplasma. CD4+ memberikan respon terhadap peptide antigen MHC-II asal bakteri intravesikular,
memproduksi
IFN-γ
yang
mengaktifkan
makrofag
untuk
menghancurkan mikroba dalam fagosom. CD4+ naif dapat berdeferensiasi menjadi sel Th1 yang mengaktifkan fagosit untuk membunuh mikroba yang dimakan. Beberapa jenis kuman, seperti kuman tuberkulosis (TB), lepra (morbus hansen), listeria dan brusela dapat hidup terus serta melanjutkan pertumbuhannya di dalam sitoplasma makrofag setelah mereka difagositosis. Induksi respons kekebalan spesifik sekunder terhadap sejenis mikroba dapat merangsang tubuh untuk serentak memberikan kekebalan nonspesifik pada mikroba lain yang mempunyai sifat pertumbuhan yang sama. Bukti secara eksperimental menunjukkan bahwa pertahanan anti mikobakteri adalah makrofag dan limfosit T. Sel fagosit mononuklear atau makrofag berperan sebagai efektor utama sedangkan limfosit T sebagai pendukung proteksi atau kekebalan. Menurut Andersen (1994) M. tuberculosis di inhalasi sehingga masuk ke paruparu, kemudian di telan oleh makrofag. Makrofag tersebut mempunyai 3 fungsi utama, yakni : 60
-
Memproduksi enzim proteolitik dan metabolit lainnya yang memperlihatkan efek mycobactericidal.
-
Memproduksi sitokin sebagai respon terhadap M. tuberculosis yakni IL-1, IL-6, IL-8, IL-10, TNF-a TGF-b. Sitokin mempunyai efek imunoregulator yang penting.
-
Untuk memproses dan menyajikan anti gen terhadap limfosist T. Sitokin yang dihasilkan makrofag mempunyai potensi untuk menekan efek imunoregulator dan menyebabkan manifestasi klinis terhadap tuberkulosis.IL-1 merupakan pirogen endogen menyebabkan demam sebagai karakteristik tuberkulosis. IL-6 akan meningkatkan produksi imunoglobulin oleh sel B yang teraktivasi, menyebabkan hiperglobulinemia yang banyak dijumpai pada pasien tuberkulosis. TGF berfungsi sama dengan IFN untuk meningkatkan produksi metabolit nitrit oksida dan membunuh bakteri serta diperlukan untuk pembentukan granuloma untuk mengatasi infeksi mikobakteri. Selain itu TNF dapat menyebabkan efek patogenesis seperti demam, menurunnya berat badan dan nekrosis jaringan yang merupakan ciri khas tuberkulosis. Akibat adanya akumulasi makrofag maka terjadi penimbunan pada daerah yang terdapat antigen dan terjadi granuloma yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Lesi jaringan oleh basil TBC pada dasarnya ada dua tipe, tipe eksudatif dan tipe produktif. Tipe eksudatif adalah suatu reaksi radang akut; terjadi udema sel leukosit polimorfonuklear, kemudian monosit terkumpul di sekeliling basil TBC yang bersarang di tempat itu.Lesi ini kemungkinan sembuh sempuma, nekrosis jaringan, atau berkembang menjadi tipe produktif. Tipe produktif ditandai timbunan sel radang di sekitar basil. Lesi ini tersusun atas banyak tuberkel yang kemudian membesar, atau mengelompok, atau mencair dan mengalami proses kaseasi. Pada tuberkulosis primer, perkembangan infeksi M. tuberculosis pada target organ tergantung pada derajat aktivitas anti bakteri makrofag dari sistem imun alamiah serta kecepatan dan kualitas perkembangan sistem imun yang di dapat. Oleh sistem imun alamiah, basil akan di eliminasi oleh kerja sama antara alveolar makrofag dan NK sel melalui sitokin yang dihasilkannya yakni TNF-a dan INF-g. Mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi ini terutama dilakukan oleh sel-sel pertahanan (sel T dan makrofag yang teraktivasi) bersama sejumlah sitokin. Pada limfonodi regional, terjadi perkembangan respon imun adaptif, yang akan mengenali basil tuberkulosis. Tipe respon imun ini sangat tergantung pada sitokin yang dihasilkan oleh sistem imun 61
alamiah. Dominasi produksi sitokin oleh makrofag yang mensekresikan IL-12 akan merangsang respon sel Th 1, sedangkan bila IL-4 yang lebih banyak disekresikan oleh sel-T maka akan timbul respon oleh sel Th 2. Tipe respon imun ini akan menentukan kualitas aktivasi makrofag untuk mempresentasikan anti gen kepada sel-T khususnya melalui jalur MHC kelas-II (langumaran, 1994).
Tahapan
respon
Selama
kekebalan
imunitas
adaptif
terhadap
berkembang
Mycobacterium
untuk
tuberculosis.
mempercepat
aktivasi
makrofag/monosit, terjadilah bakteremia. Basil menggunakan makrofag sebagai sarana untuk menyebar dan selanjutnya tumbuh dan menetap pada sel-sel fagosit di berbagai organ tubuh. Peristiwa ini akan terjadi bila sel-T spesifik yang teraktivasi pada limfonodi mengalami resirkulasi dan melewati lesi yang meradang yang selanjutnya akan membentuk granuloma. Pada peristiwa ini TNF memegang peranan yang sangat vital. Bila respon imun adaptif berkembang tidak adekuat maka akan timbul manifestasi klinis akibat penyebaran basil yang berupa tuberkulosis milier atau tuberkulosis meningen (Zeiss, 1984). 62
Granuloma merupakan mekanisme pertahanan utama dengan cara membatasi replikasi bakteri pada fokus infeksi. Granuloma terutama terdiri atas makrofag dan sel-T. Selama interaksi antara anti gen spesifik dengan sel fagosit yang terinfeksi pada berbagai organ, sel-T spesifik memproduki IFN-g dan mengaktifkan fungsi anti mikroba makrofag. Dalam granuloma terjadi enkapsulasi yang di picu oleh fibrosis dan kalsifikasi serta terjadi nekrosis yang menurunkan pasokan nutrien dan oksigen, sehingga terjadi kematian bakteri. Akan tetapi sering terjadi keadaan di mana basil tidak seluruhnya mati tapi sebagian masih ada yang hidup dan tetap bertahan dalam bentuk dorman. Infeksi yang terlokalisir sering tidak menimbulkan gejala klinis dan bisa bertahan dalam waktu yang lama (Kardjito, 1996). Pada tuberkulosis post primer, pertahanan tubuh di dominasi oleh pembentukan elemen nekrotik yang lebih hebat dari kasus infeksi primer. Elemenelemen nekrotik ini akan selalu dikelurkan sehingga akhirnya akan terbentuk kavitas. Limfadenitis regional jarang terjadi, M. tuberculosis menetap dalam makrofag dan pertumbuhannya di kontrol dalam fokus-fokus yang terbentuk. Pembentukan dan kelangsungan hidup granuloma di kontrol oleh sel-T, di mana komunikasi antara sel-T dan makrofag di perantarai oleh sitokin. IL-1b, TNF-a, GM-CSF, TGF-b, IL-6, INF-g dan TNF-b merupakan sitokin yang mengontrol kelangsungan granuloma, sebaliknya IL-4, IL-5 dan IL-10 menghambat pembentukan dan perkembangan granuloma (Kardjito, 1996). Proses aktivasi makrofag oleh sitokin merupakan faktor sentral dalam imunitas terhadap tuberkulosis. Pada sistem ini, IFN-g telah di identifikasikan sebagai sitokin utama untuk mengaktivasi makrofag, yang selanjutnya dapat menghambat pertumbuhan patogen ini. Pembentukan granuloma dan kavitas di pengaruhi oleh berbagai macam sitokin sebagai hasil interaksi antara sel-T spesifik, makrofag yang teraktivasi dan berbagai macam komponen bakterial (Alfiano, 1998). 63
Peran Subset Sel T dan Sitokin Proses fagositosis makrofag alveolar terhadap kuman TB terjadi melalui berbagai reseptor antara lain karbohidrat non spesifik, imunologlobulin Fc, sistem komplemen pada permukaan sel kuman dan sel fagositik. Mekanisme lain melalui peranan fibronectin binding protein pada proses fagositosis oleh sel fagositik mononuklerar. Dalam endosomal sel fagositik mononuklear kumam TB hidup bertahan hidup dengan jalan sebagai berikut: 1. Netralisasi fagosomal pada pH yang rendah 2. Interferensi fusi fagolisomone 3. Resisten terhadap enzim lisosomal 4. Inhalasi dari gugusan aksigen reaktif intermediate 5. Sintesa heat shock protein (HSP) 6. Menghindari dari masuk ke dalam sitoplasma
Kuman TB mati dan diluncurkan melalui proses aktivasi makrofag oleh sitokin sel T dan berbagai gugusan oksigen reaktif, nitrogen intermediate dan pengaturan level zat besi intraseluler. Antigen dari protein kuman TB yang didegradasikan bersama endosom diproses dan dipresentasikan kepada CD4+ sel T melalui MHC kelas II. Sedangkan antigen protein kuman TB yang berada dalam sitoplasma di presentasikan kepada CD8+ sel T melalui MHC kelas I. Limfosit T perifer memiliki reseptor sel T (TCR) dipermukaan sel dan berikatan secara non kovalen dengan CD3 berguna untuk transuksi signal antigenik ke sitoplasma. Didarah perifer dan organ limfoid 90% ekspresi sel T sebagai a/b TCR ekspresi sel T sebagai a/b TCR dan 10%g/s TCR.Peranan a/b TCR SC4+ cell adalah mengenal berbagai fragmen antigen yang berasal dari endosomal bersama molekul MHC kelas II untuk menghasilkan berbagai sitokin pada respons imun.
Pada kasus tertentu CD4+ sel T memiliki efektorlisis seperti pada CD8 + sel T, selanjutnya a/b TCR CD8+ cell berfungsi untuk mengenal fragmen antigen kuman TB dari sitosolik bersama MHC kelas I yang besar kemungkinan berasal dari kompartemen endosomal untuk kemudian ditransfer ke retikulum endoplasmik. Fungsi a/b TCR adalah mengenal antigen kuman TB melalui undertermited presenting molecules pada APC dan menghasilkan berbagai sitokin yang mirip dengan a/b TCR cell untuk tujuan efek sitotoksik pada sel target. Setelah proses pengenalan antigen 64
selanjutnya T cell precursor mensekresi IL-2. sel T CD4+ terdiri dari 2 sub populasi yaitu sel CD4 + Th 1 mensekresi IL-2 dan IFN g serta sel CD4+ Th2 mensekresikan II-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Kedua subpopulasi Th 1 dan Th 2 mensekresi IL-3, GMCSF da TNF a. Sel CD4+ Th-0 memiliki kemampuan untuk berdifrensiasi menjadi sel Th-1 atau Th-2. Sel Th-1 berperan untuk mengaktivasi makrofag melalui IFN-g dan DTH.Sel Th-2 berperan dalam hal produksi antibodi dan inhalasi aktivasi makrofag (IL-10). Selanjutnya IFN-g yang dihasilkan oleh sel Th-1 menghambat profilerasi sel Th-2 sementara IL-4 yang dihasilkan Th-2 menghambat peningkatan sel Th-1. Peranan TNF-a adalah sebagai sitokin utama dalam proses pembentukan granuloma dan banyak ditemukan pada cairan pleura penderita pleuritis TB eksudativa. Sitokin IL-12 dihasilkan oleh makrofag dan sel B yang berperan untuk mengaktivasi Th-1. Fungsi utama CD4+ cell effector adalah untuk aktivasi sitolitik pada infeksi M. tuberkulosis. Sedangkan CD8+ T cell berfungsi pada mekanisme a/b TCR mediatedlysis sel terinfeksi dan mekanisme apoptosis sel target. Sehingga CD8+ T cell berperan untuk proteksi pada fase awal infeksi. Peranan g/s TCR cell adalah untuk memperoleh efek sitolitik monosit bersama antigen kuman TB dengan tujuan mensekresi sitokin pembentuk granuloma.
65
4. Biopsi Biopsi adalah pengambilan sejumlah kecil jaringan dari tubuh manusia untuk pemeriksaan patologis mikroskopik. Dari bahasa latin bios:hidup dan opsi: tampilan. Jadi secara umum biopsi adalah pengangkatan sejumlah jaringan tubuh yang kemudian akan dikirim ke laboratorium untuk diperiksa. Biopsi kebanyakan dlakukan untuk mengetahui adanya kanker. Bagian apapun dari tubuh, seperti kulit, organ tubuh maupun benjolan dapat diperiksa. X-ray, CT scan ataupun ultrasound dapat dilakukan terlebih dahulu untuk mengalokasikan area biopsi. Biopsi dapat dilakukan juga dengan proses pembedahan. Dengan demikian biopsi adalah pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosa dokter bukan untuk terapi kanker kecuali biopsi eksisional dimana selain pengambilan sampel juga
mengangkat
semua
massa
atau
kelainan
yang
ada.
Tujuan 1. Mengetahui morfologi tumor
Tipe histologic tumor
Subtipe tumor
Grading sel
2. Radikalitas operasi 3. Staging tumor (Besar specimen dan tumor dalam centimeter, luas ekstensi tumor, bentuk tumor )
66
Syarat Biopsi
1. Tidak boleh membuat flap 2. Dilakukan secara tajam 3. Tidak boleh memasang drain 4. Letaknya dibagian tumor yang dicurigai 5. Garis insisi harus memperhatikan rencana terapi definitif (diletakkan dibagian yang akan diangkat saat operasi definitif)
Kontra indikasi operasi
Biopsi insisional pada tumor kecil yang dapat diangkat secara keseluruhan
Infeksi pada lokasi yang akan dibiopsi (relatif)
Gangguan faal hemostasis berat (relatif)
Biopsi diluar daerah yang direncanakan akan dieksisi saat operasi
Jenis Biopsi Bentuk yang paling sederhana dari biopsi adalah pengambilan sebagian potongan tumor yang viable seperti pads kulit atau permukaan lain yang mudah dijangkau dengan tang pemotong yang sesuai. Prosedur semacam ini umumnya tidak menimbulkan rasa sakit dan biasanya dilakukan tanpa pemberian Novocain selama kanker tidak disuplai oleh saraf. Namun, kadang diperlukan biopsi yang melibatkan jaringan sehat serta yang dicurigai sakit untuk mendapatkan sel yang hidup. Dalam hal ini , tentu diperlukan anastesi lokal. Ada beberapa jenis biopsi yaitu:
Biopsi insisional yaitu pengambilan sampel jaringan melalui pemotongan dengan pisau bedah. Anda akan dibius total atau lokal tergantung lokasi massa, lalu dengan pisau bedah, kulit disayat hingga menemukan massa dan diambil sedikit untuk diperiksa.
67
Biopsi eksisional yaitu pengambilan seluruh massa yang dicurigai untuk kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Metode ini dilakukan di bawah bius umum atau lokal tergantung lokasi massa dan biasanya dilakukan bila massa tumor kecil dan belum ada metastase atau penyebaran tumor.
Biopsi jarum yaitu pengambilan sampel jaringan atau cairan dengan cara disedot lewat jarum. Biasanya cara ini dilakukan dengan bius lokal (hanya area sekitar jarum) dan bisa dilakukan langsung atau dibantu dengan radiologi seperti CT scan atau USG sebagai panduan bagi dokter untuk membuat jarum mencapai massa atau lokasi yang diinginkan. Bila biopsi jarum menggunakan jarum berukuran besar maka disebut core biopsi, sedangkan bila menggunakan jarum kecil atau halus maka disebut fine needle aspiration biopsi.
68
Biopsy jarum dengan bantuan endoskopi. Prinsipnya sama yaitu pengambilan sampel jaringan dengan aspirasi jarum, hanya saja metode ini menggunakan endoskopi sebagai panduannya. Cara ini baik untuk tumor dalam saluran tubuh seperti saluran pernafasan, pencernaan dan kandungan. Endoskopi dengan kamera masuk ke dalam saluran menuju lokasi kanker, lalu dengan jarum diambil sedikit jaringan sebagai sampel.
Punch biopsy. Biopsi ini biasa dilakukan pada kelainan di kulit. Metode ini dilakukan dengan alat yang ukurannya seperti pensil yang kemudian ditekankan pada kelainan di kulit, lalu instrument tajam di dalamnya akan mengambil jaringan kulit yang ditekan. Anda akan dibius lokal saja dan bila pengambilan kulit tidak besar maka tidak perlu dijahit.
69
Jaringan yang diperoleh dari hasil biopsi difiksasi, dan dikirim untuk pemeriksaan patologi dan atau imunohistokimia. Tujuan pemeriksaan patologi ini adalah untuk menentukan apakah lesi tersebut ganas atau jinak, dan membedakan jenis histologisnya. Pada beberapa keadaan, biopsi dari kelenjar getah bening menentukan staging dari keganasan. Tepi dari specimen (pada biopsi eksisional) juga diperiksa untuk mengetahui apakah seluruh lesi sudah terangkat (tepi bebas dari infiltrasi tumor). Satu jenis biopsi khusus yang dapat mengetahui sitologi dari lesi adalah FNAB (fine needle aspiration biopsy). Untuk beberapa jenis keganasan, sensitifitas dan spesifisitas FNAB sama atau lebih baik dari biopsi konvensional. Persiapan Biopsi
Selama 1 minggu sebelumnya Anda harus menghentikan segala macam konsumsi obat yang membuat pembekuan darah terganggu seperti aspirin, Coumadin dan nonsteroidal anti-inflammatory Drugs (NSAIDs).
Konsultasikan pada dokter apakah Anda harus tetap menkonsumsi obat-obatan yang diresepkan untuk Anda
Selama Pemeriksaan
Anda akan dibaringkan di atas meja periksa dengan memakai gaun rumah sakit.
X-ray, CT scan atau ultrasonografi mungkin akan dilakukan terlebih dahulu untuk menentukan lokasi biopsi.
Lokasi biopsi dibersihkan.
Obat bius dimasukkan ke dalam tubuh. Anda akan merasakan sakit menyengat ringan.
Saat area biopsi sudah terbius, jarum kecil akan dimasukkan ke area yang akan diteliti.
70
Sebagian jaringan-jaringan atau sel-sel diambil. Dalam beberapa kasus, pembedahan kecil dapat dilakukan agar jaringan atau benjolan dapat diambil untuk diperiksa.
Beritahu dokter anda jika Anda merasa tidak nyaman.
Setelah itu jarum akan diangkat.
Daerah biopsi akan ditekan lalu akan dipasang kassa kecil. Jika dilakukan pembedahan , maka akan dilakukan penjahitan. Setelah Pemeriksaan
Kemungkinan akan ada memar, rasa tidak nyaman ataupun bengkak di tempat biopsi dilakukan.
Jika perlu, pakailah obat penghilang rasa sakit yang tidak mengandung aspirin.
Letakkan es batu secukupnya di atas luka untuk mengurangi memar dan bengkak.
Hindari aktivitas berat ataupun mengangkat beban lebih dari 2,5 kg selama 24 jam. Perlahan-lahan Anda dapat melakukan aktivitas normal kecuali ada pemberitahuan sebelumnya dari dokter.
Hasil tes akan dikirim langsung ke dokter Anda. Dokter Anda akan memberitahukan hasilnya kepada Anda.
Hal lain yang perlu diketahui :
Bila anda dibawah pengaruh bius umum, maka tindakan biopsi tidak akan menimbulkan rasa sakit. Tapi bila biopsi dilakukan dengan bius lokal seperti pada biopsi jarum, maka anda mungkin akan merasakan sensasi nyeri tajam akibat tusukan jarum sesaat saja.
Biasanya dibutuhkan waktu 2-3 hari, tapi ini tergantung keadaan jaringan dan teknologi laboratorium yang ada.
Bila hasil biopsi dinyatakan normal, maka tidak ada kelainan atau keganasan pada jaringan yang diambil. Tapi bila hasil biopsi dinyatakan abnormal, bukan berarti anda terkena kanker. Hasil abnormal berarti ada kelainan pada jaringan yang bisa berarti jinak atau ganas jadi tanyakan pada dokter anda intrepetasi yang lengkap. Bila hasil biopsi anda adalah inconclusive atau tidak dapat disimpulkan, maka kemungkinan sampel jaringan yang diambil tidak representative dan mungkin biopsi harus diulang.
Bila pengambilan sampel tepat dan pemeriksaan sampel jaringan dilakukan oleh ahlinya, maka biopsi insisional dan biopsi eksisional hampir 100% tepat. Tetapi khusus untuk 71
biopsi jarum, maka kemungkinan meleset hanya 2-5 kasus dari 100 kasus kanker. Bila hasil biopsi jarum meragukan, maka dokter biasanya akan mengambil tindakan biopsi jaringan.
Efek samping yang mungkin timbul adalah perdarahan, lebam, dan infeksi. Bila anda mengalami tanda-tanda tersebut segeralah ke dokter.
Menurut penelitian, biopsi jaringan bila dilakukan oleh ahlinya maka kemungkinan penyebaran sel kanker melalui darah menjadi minimal.
5. Pemeriksaan PK 1. HEMOGLOBIN Penetapan kadar hemoglobin dapat ditentukan dengan bermacam-macam cara yang banyak dipakai di laboratorium klinik ialah cara fotoelektrik dan kalorimetrik visual. Kadar hemoglobin dinyatakan dalam gr/dl darah. Pada pria memiliki rata-rata sedikit lebih tinggi dari pada wanita. Pada pria kadar hemoglobin antara 13-18 gr/dL, sedangkan wanita antara 12-16 gr/dL. Kadar hemoglobin dapat diukur dengan menggunakan dua cara terbaik ialah dengan teknik kalorimetri atau fotometri (Anonim, 2004). Macam-macam cara penetapan kadar hemoglobin: 1. Cara Tallquist Prinsip
: Membandingkan darah asli dengan suatu skala warna yang bertingkattingkat mulai dad warna merah muda sampai warna merah tua. Cara ini hanya mendapat kesan dari kadar hemoglobin saja, sebagai dasar diambil adalah 100%=15,8 gram hemoglobin per 100 ml darah. Tallquist mempergunakan skala warna dalam satu buku mulai dari merah muda 10%. Ditengah-tengah ada lowong di mana darah yang akan dibandingkan secara langsung sehingga kesalahan dalam melakukan pemeriksaan antara 25-50%.
2. Cara Sahli
72
Prinsip
: Hemoglobin diubah menjadi hematin asam, kemudian warna yang terjadi dibandingkan secara visual dengan standar dalam alat. Cara sahli ini banyak dipakai di Indonesia, walaupun cara ini tidak tepat 100%, akan tetapi masih dianggap cukup baik untuk mengetahui apakah seseorang kekurangan darah. Kesalahan dalam melakukan pemeriksaan ini kirakira 10%. Kelemahan cara sahli ini adalah hematrin asam itu bukan merupakan larutan sejati dan juga alat hemoglobinometer sukar distandarisasi. Selain itu, tidak semua macam hemoglobin dapat di ubah menjadi hematin, misalnya karboxy hemoglobin, methemoglobin dan suffhemoglobin (Anonim, 1989).
3. Cara cupri sulfat Prinsip
: Cara ini hanya dipakai untuk menetapkan kadar hemoglobin dari donor yang diperlukan untuk transfuse darah. Hasil metode ini adalah persen hemoglobin. Kadar hemoglobin dari seorang donor cukup kira-kira 80% hemoglobin. Kadar minimum ini ditentukan dengan setetes darah yang tenggelam dalam larutan cupri sulfat dengan berat jenis 1,053 (Anonim, 1989).
4. Cara Photo Elektrik kalorimetri Prinsip
: Hemoglobin diubah menjadi sianmethemoglobin dalam larutan drabkin yang berisi kalium sianida dan kalium ferisianida. Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 540 nm. Larutan drabkin dipakai untuk mengubah hemoglobin. Cara ini sangat bagus untuk laboratorium rutin dan sangat dianjurkan untuk penetapan kadar hemoglobin dengan teliti karena standar sianmethemoglobin kadamya stabil dan dapat dibeli. Larutan drabkin terdiri dari natrium biokarbonat 1 gram, kalium sianida
73
50 mg, kalium ferisianida 200 mg, aquadest 1000 ml (Gandasoebrata, 1999). Nilai Normal Hb menurut Dacie: Dewasa laki-laki 12,5 – 18,0 gr% Dewasa Wanita 11,5 – 16,5 gr % Bayi < 3 bulan 13,5 – 19,5 gr % Bayi >3 bulan 9,5 – 13,5 gr% Umur 1 tahun 10,5 – 13,5 gr% Umur 3-6 tahun 12,0 – 14,0 gr% Umur 10 – 12 tahun 11,5 – 14,5 gr%
-
2. LEUKOSIT Hitung leukosit menyatakan jumlah sel-sel leukosit perliter darah (System International Units = SI unit) atau per satu mmk darah. Nilai normalnya 4000 - 11000 / mmk.Untuk penerapan hitung leukosit ada dua metode, manual dan elektronik. Pada umumnya metode elektronik belum digunakan secara umum, mungkin baru di laboratorium besar, sehingga cara manual masih memegang peranan penting. Metode elektronik tidak dibicarakan. a. Dasar Darah diencerkan dengan larutan asam lemah, yang menyebabkan sel-sel erotrosit hemolisis serta darah menjadi encer, sehingga sel-sel leukosit mudah dihitung. b. Peralatan : 1. haemocytometer
bilik hitung
pipet leukosit
pipet eritrosit (untuk menghitung eritrosit)
Bilik Hitung adalah bilik hitung Neubauer Improve atau Burker karena mempunyai daerah perhitungan yang luas. Burker : luas seluruh bilik : 3x 3 mm2. di dalam bilik terdapat :
kotak besar : 1 x 1 mm2
kotak sedang : 1/5 x 1/5 mm2
kotak kecil : 1/20 x 1/20 mm2 74
Neubauer Improve : luas seluruh bilik 3 x 3 mm2. tinggi/dalam 0,1 mm. di dalam bilik terdapat :
kotak besar : 1 x 1 mm2
kotak sedang ada 2 macam :
o
di tengah : 1/5 x 1/5 mm2
o
di empat sudut : 1/4 x 1/4 mm2
kotak kecil : 1/20 x 1/20 mm2
pipet leukosit didalamnya terdapat bola berwarna putih, mempunyai garis 0,5 - 1 - 11 2. kaca penutup 3. mikroskop
c. Larutan pengencer yang dapat digunakan salah satunya larutan truk
asam asetat glacial 2 ml
gentian violet 1 ml
aquades 100 ml
d. Spesimen Darah vena atau darah kapiler e. Cara Kerja
Bilik hitung dicari dengan menggunakan mikroskop, cari kotak sedang di tempat ujung bilik hitung
hisap darah dengan pipet leukosit sampai angka 1 (pengenceran = 10x) atau sampai angka 5 (pengenceran = 20x)
hapus darah yang melekat pada ujung pipet
kemudian dengan pipet yang sama hisap larutan truk sampai angka 11
campur (kocok) secara horisontal
buang tetesan pertama
tuangkan dalam bilik hitung yang telah ditutup dengan kaca penutup dan diletakkan di mikroskop 75
lakukan perhitungan sel leukosit dengan perbesaran obyektif 10 atau 40 x.
f. Perhitungan jumlah leukosit : rata-rata jumlah leukosit tiap kotak X pengenceran volume tiap kotak
g. Nilai Normal menurut Dacie dewasa pria : 4 - 11 ribu/mmk dewasa wanita : 4 - 11 ribu/mmk bayi : 10 -25 ribu/mmk 1 tahun: 6 - 18 ribu/mmk 12 tahun : 4,5 - 13 ribu/mmk
3. LED Pemeriksaan Laju Endap Darah (LED)
Prinsip (cara Westergreen) darah EDTA didiamkan dalam waktu tertentu, maka sel-sel darah akan mengendap
Tujuan : untuk mengetahui kecepatan eritrosit mengendap dalam waktu tertentu
Alat yang digunakan :
1.
Tabung Westergreen
2.
Rak Westergreen
3.
Penghisap
4.
Pencatat waktu
5.
Pipet berskala
6.
Spuit 5 cc
7.
Botol kecil
8.
Reagen : Natrium sitrat 3,8%
Cara pemeriksaan : 1.
Sediakan botol yang telah diberi 0,4 cc Na sitrat 3,8% 76
2.
Hisap darah vena 1,6 cc dan masukkan ke dalam botol yang telah diisi Na sitrat 3,8%, campur baik-baik
3.
Hisap campuran tersebut ke dalam tabung Westergreen sampai tanda 0
4.
Biarkan pipet tegak lurus dalam rak Westergreen selama 60 menit
5.
Baca tingginya plasma.
Nilai normal Laki-laki : 0-10 mm/jam Perempuan : 0-20 mm/jam
4. DC
Prinsip: terdapat perbedaan daya serap terhadap zat asam
Tujuan: menghitung jumlah tiap-tiap jenis leukosit dalam darah
Alat yang digunakan :
1.
Mikroskop
2.
Obyek glass
3.
Lancet steril
4.
Pencatat waktu
5.
Rak pengecatan
6.
Rak pengering
7.
Minyak imersi
8.
Kaca penggeser
9.
Pinsil kaca
Reagen : 1.
Larutan Wright
2.
Larutan buffer pH 6,4
Cara Pemeriksaan : 1.
Buat hapusan darah tepi
2.
Cat hapusan dengan lar. Wright → 2 menit
3.
Tetesi dengan lar buffer sama banyak → selama 5 menit
4.
Siram dengan aquadest
5.
Keringkan dan baca dengan mikroskop
Nilai Normal: Eosinofil : 1 – 3 % 77
Basofil : 0 – 1 % Neutrofil Batang : 2 – 6 % Neutrofil Segmen : 50 – 70 % Limfosit : 20 – 40 % Monosit : 2 – 8 %
6. Pemeriksaan Histopatologi CARA PENGAMBILAN BAHAN DAN PEWARNAAN DALAM PX
Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang didapat dengan cara biopsi dengan pisau atau plong/punch
Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi, kulit normal tidak perlu diikutsertakan
Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi adalah lesi primer yang belum mengalami garukan atau infeksi sekunder
bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu
Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/ banyak, lebih baik biopsi lebih dari satu
potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan jaringan subkutis
Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan fiksasi, misanya formalin 10% atau formalin buffer, supaya menjadi keras dan sel-selnya mati
Lalu dikirm ke laboratorium
pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin-Eosin(HE). Ada pula yang menggunakanperwarnaan oersein dan Giemsa.
Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X volume jaringan
Agar cairan fiksasi dapat dnegan abik masuk ke ajringan hendaknya tebal jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal dibelah dahulu sebelum dimasukkan ke dalam cairan fiksasi Berikut Perubahan Histopatologi Yang Mungkin Muncul
Hiperkeratosis Penebalan stratum korneum. Kalau inti masih terlihat pada penebalan stratu korneum tsb disebut para-keratosis, bila tidak telrihat disebut orto-keratosis
78
Hiperplasia
Epidermis yang menjadi lebih tebal, penambahan jumlah sel
Hipoplasia
Epidermis yang menipis, jumlah sel berkurang
Hipertrofi
Epidermis yang menebal, selnya bertambah besar
Atrofi
Penipisan epidermis, selnya mengecil dan berkurang
Spongiosis
Penimbunan cairan di antara sel-sel epidermis sehingga celah diantara sel meregang
Akantolisis
Hilangnya daya kohesi antar sel-sel epidermis sehingga menyebabkan terbentuknya celah, cesikel, atau bula di epidermis
Sel diskeratotik Sel epidermis yang mengalami keratinisasi lebih awal Nekrosis
Kematian sel atau jaringan setempat
Fibrosis
Jumlah kolagen bertambah
Limfadenitis TB disebabkan oleh infeksi kronis. Infeksi kronis nonspesifik misalnya pada keadaan seseorang dengan faringitis kronis akan ditemukan pembesaran kelenjar getah bening leher ( limfadenitis ). Pembesaran di sini ditandai oleh
tanda
radang
yang
sangat
minimal
dan
tidak
nyeri.
Pembesaran kronis yang spesifik dan masih banyak di Indonesia adalah akibat tuberkulosa. Limfadenitis tuberkulosa ini ditandai oleh pembesaran kelenjar getah benng, padat / keras, multiple dan dapat berkonglomerasi satu sama lain. Dapat pula sudah terjadi perkijuan seluruh kelenjar, sehingga kelenjar itu melunakseperti abses tetapi tidak nyeri seperti abses banal. Apabila Abses ini pecah ke kulit, lukanya sukar sembuh oleh karena keluar secret terus menerus sehingga seperti fistula. Limfadenitis tuberculosa pada kelenjar getah bening dapat terjadi sedemikian rupa, besar dan konglomerasi sehingga leher penderita itu disebut seperti bull neck. Pada keadaan seperti ini kadang – kadang sukar dibedakan dengan limfoma malignum. Limfadenitis tuberkulosa diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi,
terutama
yang
tidak
disertai
oleh
tuberkulosa
paru.
Pada gambaran histopologi yang spesifik adalah perkijuan dan sel datia Langhan „s.
Makroskopik Sediaan berasal dari kelenjar getah bening yang mengalami tuberkulosa.
79
Mikroskopik Terlihat kelenjar getah bening yang mengandung tuberkel yaitu suatu granuloma (kumpulan makrofag yang berubah seperti sel epitel dan disebut sel epiteloid serta dikelilingi terutama oleh sel limfosit dan kadang-kadang sel plasma yang khas, dimana di bagian pusatnya dijumpai adanya nekrosis kaseosa. Tampak pula pada tuberkel tersebut adanya sel datia langhanz. Sel datia langhanz merupakan gabungan dari beberapa sel epiteloid yang menjadi satu. Merupakan sel yang besar berbentuk bulat atau lonjong dengan inti banyak dan tersusun di perifer. Letak inti bermacam-macam, ada yang membentu susunan seperti cincin, huruf U (tapal kuda), lingkaran, terkumpul pada satu kutub, terkumpul pada 2 kutub. Pembentukan sel datia ini karena fusi sel makrofag, dalam hal ini sel epiteloid. Selain itu pada sediaan terdapat pula perkijuan atau nekrosis kaseosa. Perkijuan adalah suatu jenis nekrosis dimana semua struktur jaringan tidak terlihat lagi, sehingga menghasilkan bahan amorf, granular kering seperti keju. Perkijuan tampak sebagai daerah yang amorf, granular, berwarna merah dan kotor karena adanya sisa-sisa nucleus yang hancur.
Perbesaran 10x
Perbesaran 40x
80
KESIMPULAN
Nn. Fanny 22 tahun, mengalami benjolan di leher kanan dan kiri akibat limfadenitis kronis granulomatous spesifik yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium Tuberculosis.
81
DAFTAR PUSTAKA
Berman, Audrey, dkk. 2003. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Kozier & Erb, Ed 5. Jakarta: EGC Delp & Manning. 1986. Major Diagnosis Fisik. Jakarta: EGC. Fauci, Anthony S, et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine Seventeenth Edition. United States: McGraw-Hill Companies, Inc. Fischbach, Frances dan Marshall B. Dunning III. 2009. A Manual of Laboratory and Diagnostic Test 8th ed. Wisconsin: Lippincott Williams & Wilkins Guyton, Arthur C dan John E. Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta: EGC Katzung, Bertram G. 2004. Basic & Clinical Pharmacology, Ninth Edition. San Francissco: McGraw-Hill Companies, Inc. Townsend Jr , Courtney M, et al. 2007. Sabiston Textbook of Surgery, 18th ed. United States: Saunders Elsavier http://books.google.co.id/books?id=PgTdKvlAnoC&pg=PA17&lpg=PA17&dq=gambaran+mikroskopis+nekrosis+kaseosa&source=bl&ots =aO5g2zcbLl&sig=r2K1NJ8gaWKAC3DypJiRpLJ3L4&hl=id&sa=X&ei=klPSUMGLKYTqrAf0oIDoDA&ved=0CFAQ6AE wBw#v=onepage&q=gambaran%20mikroskopis%20nekrosis%20kaseosa&f=false
http://easthomas.blogspot.com/2010/10/pemeriksaan-kelenjar-getahbening.html#ixzz2FW84H2Kx http://id.wikipedia.org/wiki/Kelenjar_tiroid http://www.japi.org/august_2009/article_06.pdf http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html http://www.scribd.com/doc/96823031/BAB-v-Finale
82
View more...
Comments