LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

August 28, 2017 | Author: Muh Aditya Manulusi | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

laporan tutor, sebagai pra-syarat memasuki pleno kasus yang didiskusikan...

Description

LAPORAN TUTORIAL BLOK KEDOKTERAN TROPIS MODUL I : LESU

OLEH: KELOMPOK VI Ivana Yusuf Andi As’as Mubarak Reskiyani Ashar Nur Ismiastuty Alimuddin Dewi Sartika Azhar Fauzan Miftahulhaq H. Ali Ahmad Yani Sahfirani Harry Murdi Abbas

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2013

SKENARIO Seorang anak perempuan berumur 8 tahun diantar ibunya ke puskesmas dengan keluhan lesu. Gejala ini juga disertai dengan penurunan nafsu makan dan tidak mempunyai keinginan belajar dan bermain. Keadaan ini dialami oleh anak tersebut sejak 8 bulan yang lalu sejak pulang dari berlibur di kampungnya di kabupaten Mamuju selama 1 bulan. ANALISIS KUNCI •

Anak perempuan



Usia 8 tahun



Lesu, sejak 8 bulan lalu



Kabupaten Mamuju

PERTANYAAN 1. Apa saja yang dapat menyebabkan lesu? 2. Bagaimana patomekanisme lesu? 3. Penyakit apa saja yang memiliki gejala lesu? 4. Bagaimana menegakkan diagnosisnya? 5. Bagaimana penatalaksanaannya? 6. Bagaiman pencegahannya? 7. Bagaimana prognosisnya? PEMBAHASAN 1. Terjadinya suatu penyakit dapat disebabkan oleh dua hal yaitu penyebab infeksi dan non-infeksi. Pada diskusi kelompok, kami hanya membahas Lesu dari aspek kausa infeksi. Definisi lesu atau malaise itu sendiri adalah ... Penyakit infeksi, khususnya Penyakit parasitik yang merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia antara lain : a. Malaria b. Toksoplasmosis c. Penyakit yang disebabkan cacing yang ditularkan melalui tanah(soil transmitted helmints) d. Filariasis e. mikosis superfisialis Walaupun begitu, berdasarkan data dari kasus yaitu :

• • •

Anak perempuan berumur 8 tahun Keluhan utama Lesu sejak 8 bulan lalu Setelah berlibur di Mamuju

Maka arah diskusi kami hanya menuju pada penyakit Malaria, Penyakit yang disebabkan cacing yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helmints) dan Filariasis. 2. Patomekanisme Lesu Petomekanisme gejala

Infeksi parasit

Hemolisis

Mengambil nutrisi

Menghisap darah

Gangguan tidur

Defisiensi bahan2 pembentuk darah

Anemia

LESU

Penjelasan bagan 1. Infeksi parasit yang dapat menyebabkan terjadinya hemolisis eritrosit adalah adanya infeksi plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina(hospes definitif). Seperti kita ketahui, habitat yang paling disukai oleh plasmodium dalam tubuh manusia adalah eritrosit, yang digunakan sebagai tempat untuk reproduksi aseksual . Sehingga, apabila plasmodium menginfeksi, dan menyebabkan eritrosit pecah sehingga mengeluarkan plasmodium dalam darah, maka akan terjadi interaksi antigen (plasmodium) dan antibodi yang menyebabkan dilepaskannya sitokin(IL-1, TNF α) yang dapat merangsang pusat thermoregulator tubuh (hipothalamus) sehingga menyebabkan gejala demam. Gejala demam ini merupakan gejala utama dari penyakit malaria. Anemia terjadi apabila jumlah eritorit yang pecah sangat banyak sehingga menyebabkan berkurangnya kemampuan darah untuk mengangkut oksigen. Anemia ini bila berlangsung terus-menerus akan memberikan manifestasi lesu pada anak.

2. infeksi parasit yang mengambil nutrisi pada tubuh manusia. Nutrisi yang dimaksud dalam hal ini adalah bahan-bahan pembentuk darah seperti : a. asam folat, dan vitamin B12 yang merupakan bahan pokok pembentuk inti sel b. Fe : sangat diperlukan dalam pembentukan hemoglobin c. cobalt,magnesium, Cu, Zn, asam amino, dll. Apabila terjadi defisiensi salah saru darii zat-zat tersebut, maka akan mengganggu pembentukan eritrosit yang baru juga mempengaruhi pembentukan hemoglobin. Sehingga apabila terus terjadi dapat mengakibatkan terjadinya anemia. Parasit yang hidup dengan menyerap zat-zat makanan yang terdapat pada mukosa usus apabila menginfeksi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Taenia saginata, Taenia solium , Schistosoma japonicum,dll. 3. infeksi parasit yang dapat menghisap darah. Pada infeksi kronik parasit penghisap darah seperti jenis cacing tambang dan Strongyloides stercoralis, dapat terjadi anemia hipokrom mikrositer. 4. infeksi Enterobius vermicularis dapat memberikan gejala berupa pruritus ani yang khususnya bermenifestasi saat malam hari. Sehingga, akan mengganggu tidur penderita yang akhirnya dapat menyebabkan lesu.

3. Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan lesu Berdasarkan epidemiologi dan prevalensi terjadinya penyakit khususnya di daerah Sulawesi Barat (Kab. Mamuju) maka differensial diagnosisnya yaitu : o Penyakit yang disebabkan

cacing yang ditularkan

melalui

tanah(soil

transmitted helminths) Alasannya : Pada kasus ini, pasien sebelumnya pernah berlibur ke Kab. Mamuju selama 1 bulan. Menurut laporan epidemiologi dari Dinkes Polewali Mandar tahun 2009 disebutkan bahwa prevalensi kecacingan pada anak SD di tahun 2009 kembali tinggi yaitu sekitar 64,5 % setelah pada dua tahun sebelumnya (2007) prevalensi kecacingan ini hanya sekitar 13,26 %. Penurunan prevalensi pada tahun 2007 tersebut terjadi karena pada tahun 2005 dimana angka kecacingan pada daerah ini mencapai angka 35-45 %, mendapat intervensi dari pemerintah yaitu pemberian obat cacing pada anak SD (pirantel pamoat dan Albendazole) serta pengembangan Perilaku

Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan perbaikan sarana air bersih serta sanitasi. Intervensi ini telah memberikan hasil yang sangat signifikan dittahun 2006-2007. Pada tahun 2008 intervensi tersebut tidak dilakukan lagi secara maksimal bahkan cenderung diabaikan, dengan alasan prevalensi kecacingan di tahun 2007 telah turun sampai batas indikator yang dikatakan sebagai kategori ringan. Hal iniah yang mengakibatkan mulai tahun 2009 kembali terjadi peningkatan prevalensi kecacingan di daerah tersebut . (Sumber : Laporan Epidemiologi Epidemiologi dinkes Polewali Mandar 2009) Walaupun tidak ada data mengenai prevalensi kecacingan khususnya di kab. Mamuju, akan tetapi data dari Kab. Polewali Mandar yang memiliki daerah geografis yang sama dengan Kab. Mamuju sudah dapat menggambarkan tentang angka kejadian kecacingan yang masih tinggi di Sulawesi barat sampai pada data tahun 2009. Atas dasar itulah mengapa Penyakit yang disebabkan cacing yang ditularkan melalui tanah ini menjadi salah satu diferensial diagnosis kelompok kami. o Malaria Alasannya : karena daerah Mamuju masih merupakan daerah endemis kejadian Malaria. Akan tetapi, jika dilihat dari keluhan utama pasien yaitu lesu, maka penyakit Malaria ini tidak dapat dimasukkan sebagai Diferensial diagnosis, kecuali ada data yang menyebutkan bahwa pasien sebelumnya pernah mengalami demam. o Filariasis Alasannya : Dalam modul eliminasi penyakit kaki gajah yang diterbitkan oleh Depkes RI melalui Ditjen PPM dan PL direktorat P2B2 subdit Filariasis dan Scistosomiasis (2002) endemisitas kejadian filariasis salah satunya juga terdapat di Kab. Mamuju, Sulawesi Barat. Terbukti sampai pada tahun 2010 pemerintah setempat(berkoordinasi dengan Subdit filariasis & schistomiasis, Direktorat P2B2, ditjen PP&PL Kementerian Kesehatan Republik Indonesia) masih memberikan obat anti filaria secara massal pada warganya. Hal ini menunjukkan bahwa masih tingginya kejadian Filaria di daerah tersebut.

4. Differensial diagnosis I.

Ascariasis A. Definisi Ascariasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing Ascaris lumbricoides biasa disebut “round worm of man ” yaitu suatu penyakit parasit usus pada manusia yang terbesar, disebut juga cacing gelang. Penyebarannya luas dan

merata di daerah tropik, sub-tropik dan lebih banyak ditemukan di daerah pinggiran dibandingkan di kota. Cacing ini hidup di rongga usus halus. Di Indonesia, penderita Askariasis didominasi oleh anak-anak.

B. Etiologi Ascaris lumbricoides merupakan cacing bulat besar yang biasanya bersarang dalam usus halus. Adanya cacing didalam usus penderita akan mengadakan gangguan keseimbangan fisiologi yang normal dalam usus, mengadakan iritasi setempat sehingga mengganggu gerakan peristaltik dan penyerapan makanan.

C. Morfologi Cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat (conical), berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor lurus tidak melengkung. Cacing betina mempunyai panjang 22 - 35 cm dan memiliki lebar 3 -6 mm. Sementara cacing jantan dewasa mempunyai ukuran lebih kecil, dengan panjangnya 12 - 13 cm dan lebarnya 2 - 4 mm, juga mempunyai warna yang sama dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung kearah ventral Kepalanya mempunyai tiga bibir pada ujung anterior (bagian depan) dan mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup atau dipanjangkan untuk memasukkan makanan. Pada potongan melintang cacing mempunyai kutikulum tebal yang berdampingan dengan hipodermis dan menonjol kedalam rongga badan sebagai korda lateral. Sel otot somatik besar dan panjang dan terletak di hipodermis; gambaran

histologinya

merupakan

sifat

tipe

polymyarincoelomyarin.

Alat

reproduksi dan saluran pencernaan mengapung didalam rongga badan, cacing jantan mempunyai dua buah spekulum yang dapat keluar dari kloaka dan pada cacing betina, vulva terbuka pada perbatasan sepertiga badan anterior dan tengah, bagian ini lebih kecil dan dikenal sebagai cincin kopulasi.

Telur Ascaris lumbocoides Telur yang di buahi (fertilized) berbentuk ovoid dengan ukuran 60-70 x 0-50 mikron. Bila baru dikeluarkan tidak infektif dan berisi satu sel tunggal. Sel ini dikelilingi suatu membran vitelin yang tipis untuk meningkatkan daya tahan telur cacing tersebut terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga dapat bertahan hidup sampai satu tahun. Di sekitar membran ini ada kulit bening dan tebal yang dikelilingi lagi oleh lapisan albuminoid yang permukaanya tidak teratur atau berdungkul (mamillation). Lapisan albuminoid ini kadang-kadang dilepaskan atau hilang oleh zat kimia yang menghasilkan telur tanpa kulit (decorticated). Didalam rongga usus, telur memperoleh warna kecoklatan dari pigmen empedu. Telur yang tidak

dibuahi

(unfertilized) berada dalam tinja, bentuk telur lebih lonjong dan mempunyai ukuran 88-94 x 40-44 mikron, memiliki dinding yang tipis, berwarna coklat dengan lapisan albuminoid yang kurang sempurna dan isinya tidak teratur. D. Daur Hidup Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides, jika tertelan telur yang infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur akan pecah dan melepaskan larva infektif dan menembus dinding usus masuk kedalam vena porta hati yang kemudian bersama dengan aliran darah menuju jantung kanan dan selanjutnya melalui arteri pulmonalis ke paru-paru dengan masa migrasi berlangsung selama sekitar 15 hari. Dalam paru-paru larva tumbuh dan berganti kulit sebanyak 2 kali kemudian keluar dari kapiler, masuk ke alveolus dan seterusnya larva masuk sampai ke bronkus, trakhea, laring dan kemudian ke faring, berpindah ke oesopagus dan tertelan melalui saliva atau merayap melalui epiglottis masuk kedalam traktus digestivus. Terakhir larva sampai kedalam usus halus bagian atas, larva berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Umur cacing dewasa kira-kira satu tahun, dan kemudian keluar secara spontan.

Siklus hidup cacing ascaris mempunyai masa yang cukup panjang, dua bulan

sejak

infeksi

pertama

terjadi,

seekor

cacing

betina

mulai

mampu

mengeluarkan 200.000 – 250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang diperlukan adalah 3 – 4 minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif. Menurut penelitian stadium ini merupakan stadium larva, dimana telur tersebut keluar bersama tinja manusia dan diluar

akan mengalami perubahan dari

stadium larva I sampai stadium III yang bersifat infektif. Telur-telur

ini tahan terhadap

berbagai desinfektan dan dapat tetap hidup

bertahun-tahun di tempat yang lembab. Didaerah hiperendemik, anak-anak terkena infeksi secara terus-menerus sehingga jika beberapa cacing keluar, yang lain menjadi dewasa dan menggantikannya. Jumlah telur ascaris yang cukup besar dan dapat hidup selama beberapa tahun maka larvanya dapat tersebar dimanamana, menyebar melalui tanah, air, ataupun melalui binatang. Maka bila makanan atau minuman yang mengandung telur ascaris infektif masuk kedalam tubuh maka siklus hidup cacing akan berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing. Jadi larva cacing ascaris hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan yang tidak dimasak ataupun melalui kontak langsung dengan kulit.

Life Circle of Ascaris lumbricoides. E. Epidemiologi Pada umumnya frekuensi tertingi penyakit ini diderita oleh anak-anak sedangkan orang dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena kesadaran anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun mereka tidak berpikir sampai ke tahap itu. Sehinga anak-anak lebih mudah diinfeksi oleh larva cacing Ascaris misalnya melalui makanan, ataupun infeksi melalui kulit akibat kontak langsung dengan tanah yang mengandung telur Ascaris lumbricoides. Faktor host merupakan salah satu hal yang penting karena manusia sebagai sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi ataupun pencemaran tanah oleh telur dan larva cacing, selain itu manusia justru akan menambah polusi lingkungan sekitarnya. Di pedesan kasus ini lebih tinggi prevalensinya, hal ini terjadi karena buruknya sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban sehingga tinja manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing mudah menyebar. Hal ini juga terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat social ekonomi yang rendah, sehingga memiliki kebiasaan membuang hajat (defekasi) ditanah, yang kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing yang infektif dan larva cacing yang seterusnya akan terjadi reinfeksi secara terus menerus pada daerah endemik Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropik dengan suhu optimal adalah 23oC sampai 30oC. Jenis tanah liat merupakan tanah yang

sangat cocok untuk perkembangan telur cacing, sementara dengan bantuan angin maka telur cacing yang infektif bersama dengan debu dapat menyebar ke lingkungan F. Penularan Penularan Ascariasis dapat terjadi melalui bebrapa jalan yaitu masuknya telur yang infektif kedalammulut bersama makanan atau minuman yang tercemar, tertelan telur melalui tangan yang kotor dan terhirupnya telur infektif bersama debu udara dimana telur infektif tersebut akan menetas pada saluran pernapasan bagian atas, untuk kemudian menembus pembuluh darah dan memasuki aliran darah. G. Gejala Klinis Kelainan-kelainan

yang terjadi pada tubuh penderita terjadi akibat

pengaruh migrasi larva dan adanya cacing dewasa. Pada umumnya orang yang kena infeksi tidak menunjukkan gejala, tetapi dengan jumlah cacing yang cukup besar (hyperinfeksi) terutama pada anak-anak akan menimbulkan kekurangan gizi, selain itu cacing itu sendiri dapat mengeluarkan cairan tubuh yang menimbulkan reaksi toksik sehingga terjadi gejala seperti demam typhoid yang disertai dengan tanda alergi seperti urtikaria, odema diwajah, konjungtivitis dan iritasi pernapasan bagian atas. Cacing dewasa dapat pula menimbulkan berbagai akibat mekanik seperti obstruksi usus, perforasi ulkus diusus. Oleh karena adanya migrasi cacing ke organ-organ misalnya ke lambung, oesophagus, mulut, hidung dan bronkus dapat menyumbat pernapasan penderita. Ada kalanya askariasis menimbulkan manifestasi berat dan gawat dalam beberapa keadaan sebagai berikut : 1. Bila sejumlah besar cacing menggumpal menjadi suatu bolus yang menyumbat rongga usus dan menyebabkan gejala abdomen akut. 2. Pada migrasi ektopik dapat menyebabkan masuknya cacing kedalam apendiks, saluran empedu (duktus choledocus) dan ductus pankreatikus. Bila cacing masuk ke dalam saluran empedu, terjadi kolik yang berat disusul

kolangitis

supuratif

dan

abses

multiple.

Peradangan

terjadi

karena

desintegrasi cacing yang terjebak dan infeksi sekunder. Desintegrasi betina menyebabkan dilepaskannya telur dalam jumlah yang besar yang dapat dikenali dalam pemeriksaan histologi. Untuk menegakkan diagnosis pasti harus ditemukan cacing

dewasa dalam tinja atau muntahan penderita dan telur cacing dengan bentuk yang khas dapat dijumpai dalam tinja atau didalam cairan empedu penderita melalui pemeriksaan mikroskopik.

H. Diagnosis Anamnesis tambahan yang bisa diajukan sesuai kasus : 1. Selain lesu, apakah pasien pernah menderita demam? 2. Apakah pasien pernah mengeluh sesak nafas? 3. apakah sebelumnya pernah ada gejala berupa muntah, nyeri perut, ataupun diare? Untuk mendiagnosis pasti  Ditemukan telur pada tinja /ditemukan cacing dewasa pada anus, hidung, atau mulut

I. Pencegahan dan Upaya Penanggulangan Berdasarkan kepada siklus hidup dan sifat telur cacing ini, maka upaya pencegahannya dapat dilakukan sebagai berikut : 1. Penyuluhan kesehatan Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna, Hygiene keluarga dan hygiene pribadi seperti 

Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.



Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci terlebih dahulu dengan menggunkan sabun.



Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat. Karena telur cacing Ascaris dapat

hidup

dalam

tanah

selama

bertahuntahun,

pencegahan

dan

pemberantasan di daerah endemik adalah sulit. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah sebagai berikut : 1. Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis. 2. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan. 3. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup cacing misalnya memakai jamban/WC.

4. Makan makanan yang dimasak saja. 5. Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang menggunakan tinja sebagai pupuk

J. Pengobatan Bila mungkin, semua yang positif sebaiknya diobati, tanpa melihat beban cacing karena jumlah cacing yang kecilpun dapat menyebabkan migrasi ektopik dengan akibat yang membahayakan. Untuk pengobatan tentunya semua obat dapat digunakan untuk mengobati Ascariasis, baik untuk pengobatan perseorangan maupun pengobatan massal. Pada waktu yang lalu obat yang sering dipakai seperti : piperazin, minyak chenopodium, hetrazan dan tiabendazol. Oleh karena obat tersebut menimbulkan efek samping dan sulitnya pemberian obat tersebut, maka obat cacing sekarang ini berspektrum luas, lebih aman dan memberikan efek samping yang lebih kecil dan mudah pemakaiannya Adapun obat yang sekarang ini dipakai dalam pengobatan adalah : 1. Mebendazol. Obat ini adalah obat cacing berspektrum luas dengan toleransi hospes yang baik. Diberikan satu tablet (100 mg) dua kali sehari selama tiga hari, tanpa melihat umur, dengan menggunakan obat ini sudah dilaporkan beberapa kasus terjadi migrasi ektopik. 2. Pirantel Pamoat. Dosis tunggal sebesar 10 mg/kg berat badan adalah efektif untuk menyembuhkan kasus lebih dari 90 %. Gejala sampingan, bila ada adalah ringan dan obat ini biasanya dapat diterima (“welltolerated”). Obat ini mempunyai keunggulan karena efektif terhadap cacing kremi dan cacing tambang. Obat berspekturm luas ini berguna di daerah endemik dimana infeksi multipel berbagai cacing Nematoda merupakan hal yang biasa.

3. Levamisol Hidroklorida. Obat ini agaknya merupakan obat anti-askaris yang paling efektif yang menyebabkan kelumpuhan cacing dengan cepat. Obat ini diberikan dalam dosis tunggal yaitu 150 mg untuk orang dewasa dan 50 mg untuk orang dengan berat badan
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF