Laporan Tutorial Blok Neurologi Skenario 2
November 13, 2017 | Author: qonitasj | Category: N/A
Short Description
Download Laporan Tutorial Blok Neurologi Skenario 2...
Description
Laporan Tutorial Blok 12 Skenario 2
MEMPELAJARI BERBAGAI JENIS KEJANG DARI ETIOLOGI, FAKTOR RESIKO, MANIFESTASI KLINIS, PATOGENESIS, PATOFISIOLOGI, CARA PENEGAKAN DIAGNOSIS, BESERTA PENATALAKSANAANYA
Disusun oleh: KELOMPOK 14
Aryo Seno
G0010030
Fitroh Annisah
G0010084
Asih Anggraini
G0010032
Himmatul Fuad
G0010094
Damar Dyah Mentari
G0010048
Rizqi Ahmad Nur D.
G0010168
Erma Malindha
G0010074
Wahyu Aprillia
G0010194
Fariz Edi Wibowo
G0010078
Pembimbing: dr. Novan Adi Setyawan NIP 198311072009121005
UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER 2011
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kejang adalah kelainan yang ditandai oleh kelebihan atau oversinkronasi muatan dari neuron otak. Kejang dapat terjadi akibat lepas muatan paroksimal (kejadian berulang dan muncul tiba-tiba) yang berlebihan dari sebuah neuron. Salah satu insiden kejang yang paling tinggi pada masa kanak-kanak adalah epilepsi. Tujuh puluh lima persen kasus ini sebelum usia 20 tahun. Insidens epilepsi sesungguhnya tidak diketahui. Diperkirakan jumlah penderita epilepsi sekitar 0.5 persen penduduk. Epilepsi sendiri merupakan gangguan neurologik yang relatif sering terjadi dan ditandai oleh aktivitas serangan yang berulang. Serangan kejang yang merupakan gejala atau manifestasi utama epilepsi dapat diakibatkan kelainan fungsional (motorik, sensorik, atau psikis). Serangan tersebut tidak lama, tidak terkontrol serta timbul secara episodik. Serangan ini mengganggu kelangsungan kegiatan yang sedang dikerjakan pasien dan berkaitan dengan pengeluaran impuls neuron serebral yang berlebihan dan berlangsung fokal (Harsono, 2007). Berikut permasalahan dalam skenario kedua. Seorang anak perempuan berumur 10 tahun dibawa ke poliklinik saraf setelah mengalami serangan kejang untuk kedua kalinya. Kedua serangan kejang tersebut bentuk kejangnya sama dimana keempat alat geraknya kaku, mata melirik ke atas, tidak sadar, keadaan tersebut terjadi tiba-tiba dan berlangsung kira-kira selama 3 menit. Setelah berhenti kejang anak tersebut tertidur. Setelah bangun anak tersebut sadar kembali. Sebelum kejang anak tersebut bermain game di depan komputer sekitar 1 jam. Di poliklinik dokter mengusulkan pemeriksaan EEG. Tiga bulan kemudian anak tersebut dibawa ke IGD karena kejang timbul lagi dan tidak berhenti selama setengah jam. Saat diruang IGD, di sebelah pasien anak tersebut ada seorang wanita yang tiba-tiba pingsan setelah mendapat informasi bahwa orang tuanya
meninggal dunia. Di ruang pojok IGD juga ada anak pelajar SMA yang teriak histerik dan kejang-kejang setelah ditinggal pacarnya.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana anatomi dan fisiologi kesadaran? 2. Apa saja kausa dan faktor resiko kejang? 3. Bagaimana patofisiologi kejang? 4. Apa saja macam-macam kejang dan sinkop ? 5. Bagaimana patogenesis dari gejala klinis pada kasus? 6. Bagaimana cara menegakkan diagnosis pada kasus? 7. Apa saja differential diagnosis dari skenario tersebut? 8. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus tersebut? 9. Bagaimana prognosis kasus tersebut?
C. Tujuan Penulisan 1. Mampu menjelaskan anatomi dan fisiologi pusat kesadaran. 2. Mampu menjelaskan segala manifestasi yang terjadi pada pasien yang mengalami kejang, histerik, dan sinkop. 3. Mampu menyusun symptom, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis pasien. 4. Mampu menjelaskan terapi, pencegahan, maupun pengobatan yang harus diberikan pada penderita di skenario. 5. Mampu menjelaskan prognosis pada pasien.
D. Manfaat Penulisan 1.
Mampu menggunakan teknologi mutakir untuk menambah ilmu mengenai system saraf.
2.
Mampu mengklasifikasi, kausa, patogenesis, patofisiologi, dari kelainan system saraf pusat dan tepi.
3.
Mampu menjelaskan berbagai penyakit dan mekanismenya pada susunan saraf pusat dan susunan saraf tepi.
BAB II DISKUSI DAN STUDI PUSTAKA
Permasalahan pada skenario 3 ini berawal dari seorang anak perempuan berumur 10 tahun dibawa ke poliklinik saraf setelah mengalami serangan kejang untuk kedua kalinya. Kedua serangan kejang tersebut bentuk kejangnya sama dimana keempat alat geraknya kaku, mata melirik ke atas, tidak sadar, keadaan tersebut terjadi tiba-tiba dan berlangsung kira-kira selama 3 menit. Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau otonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak. Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut diduga disebabkan oleh: 1. kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan, 2. berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat (GABA), atau 3. meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi yang berulang. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang (fokus epileptik). Lepas muatan listrik neuron yang berlebihan ini disebabkan oleh gangguan metabolisme neuron, yaitu gangguan dalam lalu lintas K+ dan Na+ antara ruang ekstra dan intraseluler sehingga konsentrasi K+ dalam sel turun dan konsentrasi Na+ naik. Gangguan metabolisme dapat disebabkan oleh berbagai proses patologik yang mengubah permeabilitas membran sel, misalnya trauma, iskemia, tumor, radang, keadaan toksik, dan sebagainya atau perubahan patofisiologik membran sendiri akibat kelainan genetik (Mardjono, 1979; Price, 2006).
Dalam
keadaan
patologik,
gangguan
metabolisme
neuron
akan
menurunkan ambang lepas muatan listrik sehingga neuron-neuron dengan mudah secara spontan dan berlebihan melepaskan muatan listriknya. Dalam klinik, hal ini menjelma sebagai serangan kejang atau serangan suatu modalitas perasa. Berbeda dengan lepas muatan listrik yang terjadi secara teratur dalam susunan saraf pusat normal, pada serangan epilepsi terjadi lepas muatan berlebihan yang merupakan lepas muatan listrik sinkron beribu-ribu atau berjuta neuron yang menderita kelainan. Lepas muatan tersebut mengakibatkan naiknya konsentrasi K+ di ruang ekstraseluler sehingga neuron-neuron sekitarnya juga melepaskan muatan listriknya. Dengan demikian terjadi penyebaran lepas muatan listrik setempat tadi. Setelah pelepasan muatan listrik secara masif sejumlah neuron, bagian otak yang bersangkutan mengalami masa kehilangan muatan listrik sehingga untuk sementara tidak dapat dirangsang. Lambat laun, neuron-neuron kembali ke keadaan semula, yaitu kembali mencapai potensial membran semula (Mardjono, 1979). Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat dan lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah ke otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis selama dan setelah kejang. Asetilkolin merupakan neurotransmitter terpenting yang diketahui mempunyai sifat mempermudah pelepasan muatan listrik. Fokus epileptik tampaknya sangat peka terhadap asetilkolin. Fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin (Mardjono, 1979; Price, 2006). Asetilkolin dilepaskan oleh bagian terminal presinaptik neuron dan akan meningkatkan permeabilitas membran sel untuk Na+ dan K+. Dalam keadaan fisiologik, proses ini dapat membatasi diri karena asetilkolin cepat dinonaktifkan oleh asetilkolinesterase. Sebaliknya, bila proses inaktivasi terganggu sehingga konsentrasi asetilkolin makin meningkat, maka terjadilah depolarisasi masif yang menyebabkan neuron-neuron berlepas muatan dan timbullah suatu serangan epilepsi (kejang) (Mardjono, 1979; Price, 2006).
Neurotransmitter yang mempunyai sifat menahan pelepasan muatan listrik terutama ialah GABA. GABA mempunyai sifat inhibisi dan gangguan pada sintesis aminoacid ini akan menyebabkan gangguan pada keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi sehingga terjadi suatu serangan (Mardjono, 1979). Menurut Lombardo (2007), kejang diklasifikasikan menjadi 2 macam, yaitu kejang parsial dan kejang generalisata berdasarkan apakah kesadaran utuh atau lenyap. 1. Kejang parsial adalah kejang dengan kesadaran utuh walaupun mungkin berubah; fokus di satu bagian tetapi dapat menyebar ke bagian lain. Kejang parsial masih dibagi menjadi 2 macam, yaitu kejang parsial sederhana (kesadaran utuh) dan kejang parsial kompleks (kesadaran berubah tetapi tidak hilang). Kejang parsial, diklasifikasikan menjadi berikut: a. Kejang parsial sederhana Karakteristik kejang ini dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral), sensorik (merasakan, membaui, mendengar sesuatu yang abnormal), autonomik (takikardia, bradikardia, takipneu, kemerahan, rasa tidak enak di epigastrium), psikik (disfagia, gangguan daya ingat). Kejang ini biasanya berlangsung kurang dari 1 menit. b. Kejang parsial kompleks Merupakan jenis kejang yang dimulai sebagai kejang parsial sederhana dan berkembang menjadi perubahan kesadaran yang disertai oleh gejala motorik , gejala sensorik otomatisme (mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, menarik-narik baju). Beberapa kejang parsial kompleks mungkin berkembang menjadi kejang generalisata. Kejan ini biasanya berlangsung 1-3 menit. 2. Kejang generalisata adalah kejang yang melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon serta ditandai dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi di kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang fokal. Kejang ini memiliki karakteristik tertentu, seperti hilangnya kesadaran, tidak ada awitan fokal, bilateral dan simetrik, serta tidak ada aura. Kejang generalisata diklasifikasikan sebagai berikut: a. Kejang tonik-klonik
Kejang ini memiliki karakteristik spasme tonik-klonik otot, inkontinensia urin dan alvi, menggigit lidah, dan fase pascaiktus. b. Kejang absence Kejang ini sering salah didiagnosis sebagai melamun. Kejang ini memiliki karakteristik khusus, seperti menatap kosong, kepala sedikit lunglai, kelopak mata bergetar, atau berkedip secara cepat, tonus postural juga tidak hilang. Kejang absence berlangsung dalam beberapa detik. c. Kejang mioklonik Kejang ini memiliki karakteristik seperti kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas di beberapa otot atau tungkai dan durasinya cenderung singkat. d. Kejang atonik Adalah bentuk kejang generalisata yang hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh (drop attacks). e. Kejang klonik Merupakan suatu bentuk kejang generalisata dengan gerakan menyentak, repetitive, tajam, lambat, dan tunggal atau multiple di lengan, tungkai, atau torso. f. Kejang tonik Merupakan peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas; fleksi lengan dan ekstensi tungkai. Karakteristik lain, misalnya mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi, serta kejang ini mungkin dapat menyebabkan henti napas. Cara membedakan kejang dengan kelainan neurologi lain yang menyerupai kejang dengan melihat gejala yang muncul pada pasien:
Kriteria
Kejang
Menyerupai Kejang
Onset
Tiba-tiba
Mungkin gradual
Lama serangan
Detik/menit
Beberapa menit
Kesadaran
Sering terganggu
Jarang terganggu
Sianosis
Sering
Jarang
Gerakan ekstremitas
Sinkron
Asinkron
Stereotipik serangan
Selalu
Jarang
Lidah tergigit atau luka Sering
Sangat jarang
lain Gerakan abnormal bola Selalu
Jarang
mata Fleksi pasif ekstremitas
Gerakan tetap ada
Gerakan hilang
Dapat diprovokasi
Jarang
Hampir selalu
Tahanan
terhadap Jarang
Selalu
gerakan pasif Bingung pasca seranga
Hampir selalu
Tidak pernah
Iktal EEG abnormal
Selalu
Hampir tidak pernah
Pasca
iktal
EEG Selalu
Jarang
abnormal
Kesadaran dapat didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan pengintegrasian impuls afferen (input) dan impuls efferen (output). Jumlah (kuantitas) input SSP menentukan derajat kesadaran. Input SSP dapat dibedakan dalam input yang bersifat spesifik dan non spesifik. Julukan spesifik merujuk pada perjalanan impuls afferen yang khas. Hal ini berlaku bagi semua lintasan afferen impuls perasaan protopatik, proprioseptif, dan perasaan panca indera. Lintasan yang digunakan impuls-impuls tersebut dapat dinamakan dengan lintasan yang menghubungkan suatu titik pada tubuh dengan suatu titik di korteks perseptif primer. Setibanya impuls afferent spesifik di tingkat korteks, terwujudlah suatu kesadaran akan modalitas perasaan yang spesifik (Mardjono, 2008). Kesadaran tidak hanya membutuhkan afferen spesifik yang ditransmisikan ke korteks cerebri, tetapi juga embutuhkan pengaktifan yang tidak spesifik dari Ascending Reticular Activating System (ARAS) yang terletak di medulla spinalis dan batang otak. Di ARAS ini, neuron dari formasio reticularis akan mengsktifkan sebagian besar area korteks cerebri melalui nuclei intralaminar thalamus. Input yang bersifat non spesifik ini aalah sebagian dari impuls afferen spesifik yang
disalurkan melaui lintasan afferen non spesifik. Jadi, lintasan spesifik (jaras spinotalamik, lemniskus medialis, jaras genikulo-kalkarina, dan sebagainya) menghantarkan impuls dari satu titik pada alat reseptor ke satu titik pada korteks perseptif primer. Sebaliknya, lintasan afferen non spesifik menghantarkan setiap impuls dari titik manapun pada tubuh ke titik-titik pada seluruh korteks cerebri kedua sisi (Mardjono, 2008). Pusat kesadaran manusia secara anatomi terletak pada serabut transversal retikularis dari batang otak sampei thalamus dilanjutkan dengan formasio activator reticularis, menghubungkan thalamus dengan korteks cerebri. Formasio reticularis terletak di substansia grisea otak dari daerah medulla oblongata sampai midbrain dan thalamus. Neuron formasio reticularis menunjukkan hubungan yang menyebar.
Perangsangan
formatio
reticularis
midbrain
membangkitkan
gelombang beta, individu menjadi dalam keadaan bangun dan terjaga. Lesi pada formasio reticularis midbrain mengakibatkan orang dalam stadium koma., dengan gambaran EEG gelombang delta. Jadi formasio reticularis midbrain merangsang ARAS ( Ascending Reticular Activating System), suatu proyeksi serabut difus yang menuju bagian area di forebrain. Nuclei reticular thalamus juga masuk dalam ARAS, yang juga mengirimkan serabut difus ke semua korteks cerebri (Mardiati, 1996). Formasio reticularis secara difus menerima dan menyebarkan rangsang, menerima input dari korteks cerebri, ganglia basalis, hipothalamus, sistem limbik, cerebellum, medulla spinalis, dan semua sistem sensorik. Sedangkan serabut efferens formasio reticularis yaitu ke medulla spinalis, cerebellum, hipothalamus, sistem limbik, dan thalamus yang lalu akan berproyeksi ke korteks cerebri dan ganglia basalis (Price, 2006). ARAS juga mempunyai proyeksi non spesifik dengan depolarisasi global di korteks, sebagai kebalikan dari proyeksi sensasi spesifik dari thalamus yang mempunyai efek eksitasi korteks secara khusus untuk tempat tertentu. Eksitasi ARAS umum memfasilitasi respon kortikal spesifik ke sinyal sensori spesifik dari thalamus. Dalam keadaan normal, sewaktu perjalanan ke korteks, sinyal sensorik dari serabut sensori aferens menstimulasi ARAS melalui cabang-cabang kolateral akson. Jika system afferens terangsang
seluruhnya, proyeksi ARAS memicu aktivasi kortikal umum dan terjaga (Mardiati, 1996). Neurotransmitter yang berperan dalam ARAS yaitu neurotransmitter kolinergik,monoaminergik, dan GABA. Korteks cerebri merupakan bagian yang terbesar dari susunan saraf pusat dimana korteks ini berperan dalam kesadaran akan diri sendiri terhadap lingkungan atau input-input saraf sensoris (awareness). Jadi kesadaran akan bentuk tubuh, letak berbagai bagian tubuh, sikap tubuh, dan kesadaran diri sendiri merupakan fungsi area asosiasi somatic (area 5 dan 7 brodmann) pada lobus parietalis superior meluas sampai permkaan medial hemisfer (Price, 2006; Tjokronegoro, 2004). Jaras kesadarannya: masukan impuls dari pusat sensorik pada korteks cerebri menuju ARAS diproyeksikan kembali di korteks cerebri terjadi peningkatan aktivitas korteks dan kesadaran (Price, 2006). Hilangnya kesadaran pada saat kejang tidak dapat diterima sebagai manifestasi lepas muatan listrik neuron-neuron kortikal. Dalam hal ini yang secara primer melepaskan muatan listriknya adalah nuklei intralaminer talami, yang dikenal juga sebagai centrecephalic. Inti tersebut merupakan terminal dari lintasan asendens ekstralemniskal. Input korteks serebri melalui lintasan aferen aspesifik itu menentukan derajat kesadaran. Bilamana sama sekali tidak ada input maka timbullah koma. Perangsangan talamokortikal yang berlebihan menghasilkan kejang otot seluruh tubuh dan sekaligus menghalangi neuron-neuron pembina kesadaran menerima impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang. Setelah berhenti kejang, anak tersebut tertidur. Setelah bangun anak tersebut sadar kembali. Umumnya setelah kejang, anak akan tidur dengan “nyenyak”. Periode ini merupakan suatu periode yang dikenal sebagai periode postictal. Hal ini merupakan hal yang normal, dan sebaiknya anak tidak usah berusaha dibangunkan. Jangan memberikan makan atau minum kepada anak bila anak belum benar-benar terbangun dan sadar. Sebelum kejang, anak tersebut bermain game di komputer sekitar 1 jam. Seperti yang kita ketahui, kejang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor pencetus, seperti:
1. Faktor sensoris (cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan, dan air panas) 2. Faktor sistemis (demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu, hiperglikemi, kelelahan fisik) 3. Faktor mental (stress dan gangguan emosi) (Mansjoer, 2007). Kemungkinan besar terjadinya kejang pada anak tersebut adalah karena faktor pencetus, yaitu faktor sensoris berupa cahaya dari komputer ketika ia sedang bermain game. Adapun beberapa penyebab yang dapat menimbulkan kejang antara lain: 1. Kejang demam 2. Infeksi: meningitis, ensefalitis 3. Gangguan metabolik: hipoglikemia, hiponatremia, hipoksemia, hipokalsemia, gangguan elektrolit, defisiensi piridoksin, gagal ginjal, gagal hati, gangguan metabolik bawaan 4. Trauma kepala 5. Keracunan: alkohol, teofilin 6. Penghentian obat anti epilepsi 7. Lain-lain: enselopati hipertensi, tumor otak, perdarahan intrakranial, idiopatik Saat diruang IGD, di sebelah pasien anak tersebut ada seorang wanita yang tiba-tiba pingsan setelah mendapat informasi bahwa orang tuanya meninggal dunia. Di ruang pojok IGD juga ada anak pelajar SMA yang teriak histerik dan kejang-kejang setelah ditinggal pacarnya. Sinkop atau pingsan adalah kehilangan kesadaran dan keadaan postural tubuh yang tiba-tiba dan bersifat sementara, dengan konsekuensi terjadi pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran tersebut terjadi akibat penurunan aliran darah ke sistem aktivasi retikular yang berlokasi di batang otak, dan akan membaik tanpa membutuhkan terapi kimiawi maupun elektrik. Berikut ini adalah klasifikasi sinkop berdasarkan penyebab. 1. Sinkop vascular 2. Sinkop kardiak 3. Sinkop neurologik/serebrovaskular 4. Sinkop metabolik
5. Sinkop psikogenik Perbedaan sinkop dan hysteria adalah sinkop merupakan kehilangan kesadaran dimana denyut jantung tidak normal, sedangkan histeris adalah seolaholah kehilangan kesadaran, namun denyut jantung masih dalam batas normal. Untuk menegakkan diagnosis pada kasus tersebut, perlu dilakukan beberapa langkah sebagai berikut. 1. Anamnesis Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu. Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi: -
Pola / bentuk serangan
-
Lama serangan
-
Gejala sebelum, selama dan paska serangan
-
Frekuensi serangan
-
Faktor pencetus
-
Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
-
Usia saat serangan terjadinya pertama
-
Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
-
Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
-
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2005).
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebabsebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral. 3. Pemeriksaan laboratorium darah Pemeriksaan
laboratorium
darah
rutin
diindikasikan
untuk
mengidentifikasi penyebab metabolik yangb umumdari serangan kejang seperti ketidaknormalan dalam elektrolit, glukosa, kalsium atau magnesium serta penyakit hepar atau renal. 4. Pemeriksaan penunjang a. Elektro ensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis
epilepsi.
Adanya
kelainan
fokal
pada
EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Pemeriksaan EEG dilakukan dengan indikasi dan kegunaan, antara lain: 1) Pasien yang mengalami kejang atau yang diduga mengalami kejang. 2) Mengevaluasi efek serebral dari berbagai penyakit sistemik (misalnya keadaan ensefalopati metabolik karena diabetes, gagal ginjal). 3) Melakukan studi untuk mengetahui gangguan tidur (sleep disorder) atau narkolepsi. 4) Membantu menegakkan diagnosa koma. 5) Melokalisir perubahan potensial listrik otak yang disebabkan trauma, tumor, gangguan pembuluh darah (vaskular) dan penyakit degeneratif. 6) Membantu
mencari
berbagai
gangguan
serebral
yang
dapat
menyebabkan nyeri kepala, gangguan perilaku dan kemunduran intelektual. Selain itu EEG juga dapat dilakukan untuk mendiagnosa dan mengetahui lokalisasi tumor otak, infeksi otak, perdarahan otak, dan parkinson, mendiagnosa lesi desak ruang yang lain, mendiagnosa cedera kepala, periode keadaan pingsan atau dementia, memonitor aktivitas otak saat seseorang
sedang menerima anestesi umum selama perawatan, dan mengetahui kelainan metabolit dan elektrolit. Sebelum melakukan pemeriksaan EEG, berikut ini adalah beberapa persiapan yang diperlukan, yaitu: 1) Sebelum melakukan prosedur rekaman, rambut pasien harus dicuci, agar elektroda dapat melekat dengan baik dan jangan memakai minyak rambut / gel atau conditioner . 2) Satu hari sebelum rekaman, pasien diberitahu untuk mengurangi tidur, sehingga pada saat rekaman diharapkan pasien dapat tidur. 3) Tidak perlu puasa. Rekaman EEG dikatakan abnormal apabila: 1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak. 2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding seharusnya misal gelombang delta. 3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron) (Braunwald, 2001; Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2005). b. Rekaman video EEG Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta
bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi. c. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri (Mansjoer, 2007). Dari langkah-langkah tersebut, didapatkan beberapa differential diagnosis, antara lain: 1. Petit Mal Epilepsi Yaitu kejang yang ditandai dengan hilangnya kesadaran secara singkat, jarang berlangsung lebih dari beberapa detik. Kejang ini hampir selalu terjadi pada anak, jarang dijumpai ketika usia sudah memasuki 20 tahun. Selama serangan kejang petit mal, keadaan mental si anak hilang terhadap lingkungan di sekitarnya. Tidak menyadari apa yang terjadi di sekitarnya untuk beberapa saat. Selama beberapa detik, si anak berhenti melakukan aktivitasnya, tatapannya lurus ke depan dan tidak memberikan respons terhadap perintah orang lain. Sementara kejang berlangsung, kelopak matanya berkedip-kedip secara cepat, lengan atau kakinya berkedutan, tersentak-sentak atau bergerak tanpa tujuan. Bangkitan mioklonus, bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi lengan yang teijadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik. Bangkitan akinetik, bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut. Spasme infantile, timbul pada bayi 3-6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan
pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau tangisan, miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat. Setelah serangan usai, si anak tidak menyadari serangan yang baru dialaminya dan biasanya melanjutkan aktivitasnya seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Serangan kejang ini mungkin menghilang setelah pubertas atau diganti dengan kejang tipe lain, terutama Grand Mal Epilepsi (Price, 2006). 2. Grand Mal Epilepsi Pada Grand Mal Epilepsi, kejang diawali dengan hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin bersuara menangis, akibat ekspresi paksa yang disebabkan spasme toraks dan abdomen. Pasien kehilangan posisi berdirinya, mengalami gerakan tonik, kemudian klonik, dan inkontinensia urin atau alvi (atau keduanya), disertai disfungsi otonom. Pada fase tonik,otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik. Fase klonik memperlihatkan kelompok-kelompok otot yang berlawanan bergantian berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakangerakan menyentak. Jumlah kontraksi secara bertahap berkurang tetapi kekuatannya tidak berubah. Lidah mungkin tergigit, hal ini terjadi sekitar separuh pasien (spasme rahang dan lidah). Keseluruhan kejang berlangsung 3 sampai 5 menit dan diikuti periode tidak sadar yang mungkin berlangsung beberapa menit sampai berlangsung selama 30 menit. Setelah sadar, pasien tampak kebingungan, agak stupor, atau bengong. Tahap ini disebut sebagai periode pascaiktus. Umumnya pasien tidak dapat mengingat kejadian kejangnya (Price, 2006). a. Patofisiologi 1) Berhubungan dengan PDS (Paroxysmal Depolarization Shift) 2) PDS adalah depolarisasi potensial pasca sinaps yang berlangsung lama (50 ms). Keadaan ini dapat menyebabkan lepasnya muatan listrik yang berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. 3) PDS disebabkan oleh:
a) Kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan b) Berkurangnya inhibisi oleh GABA c) Eksitasi sinaptik transmiter glutamat dan aspartat secara berulang 4) Gejala klinik tergantung pada luasnya sel neuron yang tereksitasi b. Faktor resiko 1) Kelainan neurologis 2) Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung 3) Usia anak-anak dan usia lanjut 3. Status Epileptikus Status Epileptikus merupakan bangkitan epilepsi yang berlangsung terus menerus atau berulang dengan tanpa pemulihan kesadaran, selama periode > 30 menit. Status epileptikus terjadi karena proses eksitasi yang berlebihan berlangsung terus menerus, di samping akibat inhibisi yang tidak sempurna. Faktor Pencetus Status Epileptikus antara lain: a. Kelelahan. b. Menderita penyakit lain yang berat. c. Penggunaan obat anti epilepsi yang tidak sesuai aturan. d. Penggunaan obat-obatan, minum alkohol ( Drislane FW et al.,2009). 4. Kejang demam Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. a. Patofisiologi Temperatur mempengaruhi banyak proses dalam otak,juga yang berhubungan dengan eksitabilitas otak. Mekanisme yang memungkinkan terjadinya bangkitan kejang antara lain efek pada saluran ion sampai pada sistem kompleks. Kinetik akibat perubahan dari aktivasi dan deaktivasi saluran ion Na+ dan K+ dapat meningkatkan eksitabilitas jaringan. Dengan mekanisme kompleks, temperatur akan mempengaruhi sistem neurotransmitter. Aktivitas asam glutamat dekarboksilase, enzim yang penting untuk sintesis GABA akan mengalami penurunan seiring dengan peningkatan temperatur.
b. Manifestasi klinis Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama demam, berlangsung singkat, sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tak memberi reaksi apapun untuk sejenak, setelah itu terbangun sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf. c. Klasifikasi 1) Kejang Demam Sederhana Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam. 2) Kejang Demam Kompleks Kejang demam dengan salah satu ciri berikut: a) Kejang lama > 15 menit b) Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial c) Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam d. Faktor resiko 1) Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama 2) Kejang demam kompleks 3) Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung 4) Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-49% (Level II-2). Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam. 5) Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah: a) Riwayat kejang demam dalam keluarga
b) Usia kurang dari 12 bulan c) Temperatur yang rendah saat kejang d) Cepatnya kejang setelah demam Beberapa komplikasi yang dapat muncul dari serangan kejang berupa epilepsi adalah: 1. Pernapasan a. Aspirasi b. Obstruksi jalan napas c. Hipoventilasi d. Edema pulmonal neurogenik 2. Hipertermi a. Akibat aktivitas otot yang berlebihan b. Gangguan irama jantung, aritmia 3. Rhabdomyolisis a. Nekrosis otot akut b. Myoglobinuria gagal ginjal akut c. Hiperkalemia aritmia Setelah diagnosis ditegakkan, perlu dilakukan penatalaksanaan yang tepat. Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan angka kesakitan dan kematian. Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi yakni: 1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut. 2. Terapi dimulai dengan monoterapi
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap samapai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat. 4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan. 5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak terkontorl dengan pemberian OAE pertama dan kedua. Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya. 1. Karbamazepin: Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga pada reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin. 2. Fenitoin: Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida dan neurotransmitter yang voltage dependen 3. Fenobarbital: Meningkatkan aktivitas reseptor GABAA , menurunkan eksitabilitas glutamate, emnurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium. 4. Valporat: Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang konduktan kalsium (T) dan kalium. 5. Levetiracetam: Tidak diketahui 6. Gabapetin: Modulasi kalsium channel tipe N 7. Lamotrigin: Blok konduktan natrium yang voltage dependent 8. Okskarbazepin: Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium, modulasi aktivitas chanel. 9. Topiramat: Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-Mediated chloride, modulasi efek reseptor GABA. 10. Zonisomid: Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi glutamate. Berikut ini adalah pemilihan obat berdasarkan jenis kejangnya. Kejang umum (generalized seizures) Kejang parsial
Tonic-clonic
Abscense
Myoclonic, atonic
Drugs choice
of Karbamazepin, Fenitoin,
Valproat,
Etosuksimid,
Karbamazepin,
Valproat
Valproat
Alternative
Valproat
Fenitoin
Lamotrigin,
Lamotrigin,
Clonazepam,
Klonazepam,
Gabapentin,
Topiramat,
Lamotrigin
Lamotrigin,
Topiramat,
Primidon,
Topiramat,
Tiagabin,
Fenobarbital
Felbamat
Primidon, Fenobarbital
Prognosis penderita dengan pengobatan lengkap dapat bebas dari kejang selama 2 tahun. Bila telah bebas dari kejang selama 5 tahun dapat disebut remisi. 1/3 pasien dengan pengobatan lengkap tidak mengalami remisi. Sebagian besar terjadi remisi pada anak-anak. 1. Prognosis Medik a. Prevalensi epilepsi kronik ± 1/200 orang: mayoritas epilepsi tidak menjadi kronik. b. Jika remisi lama (≥24 bulan) sudah tercapai, maka terjadi penurunan resiko mengalami serangan berikutnya. c. Jika serangan terkendali sejak dini oleh obat, maka prognosis sangat baik. 2. Prognosis Psikososial a. Umumnya pasien dapat hidup secara normal. b. Komunikasi antara dokter, orang tua dan lingkungan sangat penting. c. Salah anggapan dari masyarakat tentang epilepsi tekanan dan stres penyandang epilepsi.
BAB III PENUTUP
A.
KESIMPULAN 1. Perangsangan formasio reticularis midbrain membangkitkan gelombang beta, individu menjadi dalam keadaan bangun dan terjaga. Jaras kesadarannya : masukan impuls dari pusat sensorik pada korteks cerebri menuju ARAS diproyeksikan kembali di korteks cerebri terjadi peningkatan aktivitas korteks dan kesadaran. 2. Faktor pencetus kejang meliputi faktor sensoris, sistemis, dan mental. 3. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang (fokus epileptik). 4. kejang diklasifikasikan menjadi 2 macam, yaitu kejang parsial dan kejang generalisata berdasarkan apakah kesadaran utuh atau lenyap. Sedangkan sinkope diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya. 5. Differential diagnosis dari kasus pada skenario 1 ini meliputi kejang demam, petit mal epilepsy, grand mal epilepsy, generalized epilepsy, dan status epilepticus. 6. Prosedur penegakan diagnosis epilepsi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis, pemeriksaan penunjang (EEG, pemeriksaan radiologis : MRI, CT-scan). Namun pemeriksaan EEG hanya sebagai pemeriksaan penunjang bukan sebagai Gold Standar dari epilepsi. 7. Komplikasi dari kasus pada skenario ini meliputi komplikasi pernapasan, hipertermi, rhabdomyolisis. 8. Penatalaksanaan secara umum menggunakan Obat Anti Epilepsi (OAE). Prognosis penderita dengan pengobatan lengkap dapat bebas dari kejang selama 2 tahun. Bila telah bebas dari kejang selama 5 tahun dapat disebut remisi. 1/3 pasien dengan pengobatan lengkap tidak mengalami remisi. Sebagian besar terjadi remisi pada anak-anak. 9. Kejang dapat merupakan suatu tanda dari keadaan patologis yang diderita seorang pasien. Mengenal bentuk kejang yang muncul pada seorang pasien
sangatlah penting untuk mengetahui penatalaksanaan yang tepat. Epilepsi adalah salah satu penyakit yang sering menimbulkan kejang. 10. Kejang, pingsan maupun histeria adalah bentuk dari gangguan kesadaran. Gangguan kesadaran dapat muncul karena beberapa faktor. Pencegahan dan penanganan yang tepat sangatlah penting untuk mengurangi komplikasi yang mungkin terjadi.
B. SARAN 1. Mahasiswa perlu menyebutkan sumber data yang digunakan pada saat didkusi. 2. Mahasiswa seharusnya jangan hanya membaca tetapi menerangkan pada saat menyampaikan pendapat dalam diskusi. 3. Tutor sebaiknya memberikan feedback yang baik setelah diskusi usai.
DAFTAR PUSTAKA Berg AT, Berkovic SF, Brodie MJ, Buchhalter J, Cross JH, van Emde Boas W. 2010. Revised terminology and concepts for organization of seizures and epilepsies: Epilepsia. Feb 26 2010;51(4):676-685. [Medline]. Report of the ILAE Commission on Classification and Terminology, 2005-2009. Drislane FW, Blum AS, Lopez MR, Gautam S, Schomer DL. 2009. Duration of refractory status epilepticus and outcome: Loss of prognostic utility after several hours. Epilepsia. Jan 19 2009;[Medline] Glauser TA, Cnaan A, Shinnar S, Hirtz DG, Dlugos D, Masur D.2010. Ethosuximide, valproic acid, and lamotrigine in childhood absence epilepsy. N Engl J Med. Mar 4 2010;362(9):790-9. [Medline]. Haan de GJ, van der Geest P, Doelman G, Bertram E, Edelbroek P. 2010. A comparison of midazolam nasal spray and diazepam rectal solution for the residential treatment of seizure exacerbations. Epilepsia. Mar 2010;51(3):478-82. [Medline]. Harsono. 2007. Epilepsi edisi 2. Jogjakarta: UGM Press. Iyer VN, Hoel R, Rabinstein AA.2009. Propofol infusion syndrome in patients with refractory status epilepticus: an 11-year clinical experience. Crit Care Med. Dec 2009;37(12):3024-30. [Medline]. Kania, Nia. 2007. Kejang pada Anak.(Disampaikan pada acara Siang Klinik Penanganan Kejang Pada Anak di AMC Hospital Bandung, 12 Februari 2007) Mardjono, Mahar dan Sidharta, Priguna. 1979. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta:Dian Rakyat Mustarsid. 2006. “Kuliah: Konsensus Kejang Demam”. Surakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/RS Dr. Muwardi. Price, Sylvia A dan Willson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed. 6. Jakarta:EGC
Ropper AH, Samuels MA. 2009. Adams and Victor's Principles of Neurology. 9th. McGraw Medical;. Wheless, James W.2009. Managing Severe Epilepsy Syndromes of Early Childhood. Journal of Child Neurology. 8s Aug 2009;24:24s-32s. Zupanc ML.2009. Clinical evaluation and diagnosis of severe epilepsy syndromes of early childhood. J Child Neurol. Aug 2009;24(8 Suppl):6S14S. [Medline].
View more...
Comments