Laporan tutorial 3 THT.docx

April 3, 2018 | Author: Sitha A. Puspitasari | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

asto...

Description

BAB I PENDAHULUAN SKENARIO III Seorang anak laki-laki usia 5 tahun datang bersama ibunya ke poliklinik THT, dengan keluhan sudah 2 hari tidak mau makan, karena sakit untuk menelan. Badan demam, benjolan pada leher dan nyeri saat ditekan disertai suara serak. Keluhan yang sama sering dirasakan sejak usia 3 tahun, dan pasien kalau tidur mengorok, tetapi riwayat sesak napas disangkal. Pasien juga mempunyai riwayat sering batuk pilek. Pada pemeriksaan pharing didapatkan: Mukosa pharing terdapat granuloma dan hiperemi, tonsil fibrosis dan terdapat detritus, plika vokalis oedema dan hiperemis. Pemeriksaan laboratorium didapatkan ASTO : (+)

1

BAB II DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Seven jump I. Langkah 1 : Klarifikasi istilah dan konsep Dalam skenario ini, kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut: a. Fibrosis, yaitu pembentukan berlebihan jaringan ikat fibrosa pada organ, dan biasanya terjadi pada saat proses penyembuhan. b. Detritus, yaitu bercak atau kotoran putih di permukaan tonsil yang terdiri dari leukosit, epitel yang terlepas akibat inflamasi dan sisa makanan yang tersangkut. Tidak cuma terdiri dari bahan organik tetapi bisa juga bahan anorganik. c. Mengorok atau mendengkur, yaitu suara bising akibat aliran udara yang turbulensi karena ada sumbatan jalan napas. d. ASTO (Anti Streptolycin-O), yaitu pemeriksaan darah untuk menghitung Streptolycin-O yang dihasilkan oleh bakteri Streptococcus, (+) menandakan adanya infeksi, sampel dapat diambil dari pungsi vena. e. Serak atau disfonia, yaitu kelainan pada organ laring yaitu suara parau karena ada gangguan getaran. Bisa terjadi karena radang, neoplasma, paralisis otot laring. f. Sakit untuk menelan atau odinofagia, yaitu luka pada orofaring yang menimbulkan nyeri saat menelan.

2. Langkah II : Menetapkan/mengidentifikasi permasalahan Permasalahan pada skenario ini yaitu sebagai berikut:

2

a. Bagaimana anatomi, fisiologi, dan histologi dari faring, laring, dan oesophagus dan tonsil? b. Bagaimana patofisiologi dari keluhan pada skenario? c. Apa differential diagnosis nya? d. Bagaimana hubungan antara keluhan dahulu dengan keluhan sekarang? e. Apa saja epidemiologi dan faktor resiko? f. Apa saja komplikasinya? g. Bagaimana penatalaksanaan dan pencegahan kasus pada skenario?

3. Langkah III: Analisis masalah Berikut analisa dan pernyataan sementara dari masalah yang ditetapkan: a. Anatomi, fisiologi, dan histologi laring, faring, dan oesophagus

Anatomi Faring, Laring, Oesophagus, dan Tonsil

Anatomi Faring Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung dengan koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui additus laring, dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lender, fasia faringobasiler, pembungkus otot, dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasifaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring).

3

Otot-otot faring tersusun dalalm lapisan melingkat (sirkuler) dan memanjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkuler terdiri dari m.konstriktor faring superior, media, dan inferior. Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat yang disebut “rafe faring” (raphe pharynges). Kerja otot kontriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini dipersarafi oleh n. vagus (n.X). Otot-otot yang longitudinal adalah m. stilofaring dan m. palatofaring. Letak otot-otot ini di sebelah dalam. M. stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring, sedangkan m. palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai elevator. Kerja kedua otot itu penting pada waktu menelan. M. stilofaring dipersarafi oleh n. IX sedangkan m. palatofaring dipersarafi oleh n. X (Soepardi et al, 2012)

Bagian-bagian penting faring 1. Nasopharynx a. Ostium Pharyngeum Tubae Auditivae Eustachii, merupakan lubang yang menghubungkan antara nasopharynx dengan cavum tympani Auris Media. b. Torus Tubarius, merupakan pendesakan dari pars cartilagine tubae. Bangunan ini terletak pada superior dari Ostium Pharyngeum Tubae Auditivae Eustachii. c. Plica

salpyngipharyngea,

salpingopharyngeus.

4

merupakan

pendesakan

dari

m.

d. Torus Levatorius, merupakan pendesakan dari m. levator velli palatine. Bangunan ini terletak di inferios dari Ostium Pharyngeum Tubae Auditiva Eustachii. e. Recessus pharyngeus (Fossa rossenmulleri), terletak di bagian belakang dari nasopharynx. Bangunan ini merupakan tempat sering terjadinya perubahan epitel kolumner menjadi skuamous sehingga merupakan predisposisi terjadinya Ca nasopharynx. f. Tonsila

pharyngea,

merupakan

jaringan

limfoid

terletak

di

nasopharynx bagian superoposterior.

2. Oropharynx a. Tonsila palatina, merupakan jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris. Tonsila palatine, tonsila lingualis, dan tonsila pharingea membentuk suatu bangunan yang disebut annulus waldeyer’s. b. Plica

salpingopalatina,

merupakan

pendesakan

dari

m.

salpingopalatina. c. Membrana glossoepiglottica. Bangunan ini menghubungkan epiglottis dengan glossus. Bangunan ini akan menebal menjadi plica glossoepiglottica mediana dan laterale dimana diantaranya terdapat suatu cekungan yang disebut vallecula epiglottica yang berfungsi sebagai tempat menampung benda-benda tumpul. Oropharynx dihubungkan dengan cavum oris melalui isthmus faucium.

3. Laringopharynx a. Adytus laryngis, merupakan celah yang menghubungkan pharynx dengan larynx. b. Fossa piriformis, merupakan tempat yang berfungsi menampung benda-benda tajam.

5

Vaskularisasi Faring Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang a. karotis eksterna (cabang faring ascendens dan cabang fausial) serta cabang a. maksila interna yakni cabang palatine superior (Rusmarjono et al, 2007).

Anatomi Laring Larynx merupakan organ yang tersusun atas cartilage-cartilago. Ada yang bersifat tunggal dan berpasangan. Cartlag tyroidea, epiglottica, dan crycoidea merupakan cartilage tunggal sedangkan cartilage arytenoidea, corniculata dan cuneiforme merupakan cartilage yang berpasangan.

Bangunan-bangunan penting di larynx: a. Adytus laryngis, merupakan celah yang menghubungkan larynx dengan pharynx. b. Vestibulum laryngis, merupakan ruangan yang terletak dibelakang adytus laryngis. 6

c. Plica ventricularis/plica vestibuli, merupakan pita suara palsu d. Rima vestibule merupakan celah diantara plica vestibule atau ventriculi e. Ventricularis laryngis, merupakan ruangan dibelakang plica vestibule yang didalamnya terdapat suatu kantung yang disebut sacculus ventriculi yang berfungsi untuk lubrikasi saat fonasi. f. Plica ovale, berfungsi sebagai pita suara sejati. g. Rima glottidis merupakan celah diantara plica ovale. h. Cavitas infraglottica merupakan ruangan dibawah plica ovale.

Larynx ini nanti akan berlanjut menjadi trachea.

7

Anatomi Oesophagus Oesophagus merupakan saluran dari systema digestive yang berfungsi menyalurkan makanan dari mulut ke gaster, pada oesophagus terdapat 3 penyempitan yaitu pada faringoesophageal junction, kemudian pada saat menyilangi arcus aorta dan pada gastrooesophageal junction (Moore, 2010)

Histologi Faring dan Laring Histologi Faring Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringfaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia. Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam system retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan. Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lender yang terletak di atas silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lender ini berfungsi untuk menangkap partikel kotoran y ang terbawa oleh udara yang diisap. Palut lender ini mengandung enzim lysozyme yang penting untuk proteksi (Soepardi et al, 2012) Faring dilapisi oleh sel psudokompleks kolumner dengan silia dan sel goblet, silia dari laring akan bergerak menuju ke orofaring, sedankan silia dari nasofaring bergerak turun ke orofaring (Eroschenko, 2010).

8

Histologi Laring Laring merupakan saluran kaku penghubung antara laringofaring dengan trakea. Dindingnya diperkuat oleh kartilago hialin (pada tiroid, cricoidea, dan arytenoidea inferior) dan kartilago elastis (corniculata, cuneiforme, arytenoid superior dan epiglottis). Dinding bagian lateralnya terdapat lipatan yang disebut plica vestibularis. Plica ini memiliki epitel respiratorik dan dikelilingi banyak kelenjar seromukous. Selain itu, terdapat sistem pertahanan tubuh berupa MALT (Mucous Associated Lymphoid Tissue). Di bagian bawahnya, terdapat lipatan lagi yang disebut plica vocalis, merupakan pita suara sejati yang dilapisi epitel skuamous kompleks dengan serat elastis parallel sebagai ligamentum vocalis. Di sekitarnya terdapat musculus vocalis. Epiglotis memiliki dua permukaan: (1) facies lingualis dan bagian apeks facies trakealis dengan epitel skuamous kompleks non-kornifikasi, yang nantinya masih terdapat kontak dengan makanan; (2) bagian basal facies trakealis dilapisi epitel pseudokompleks kolumnair dan banyak terdapat kelenjar mukosa dan serosa di lamina proprianya (Mescher, 2009).

Fisiologi Faring dan Laring Fisiologi Menelan Deglutisi atau menelan menurut Guyton dan Hall (2007) terdiri dari tiga tahap: 1. Tahap volunter: secara sadar, makanan ditekan dan digulung ke posterior faring oleh tekanan lidah ke atas dan belakang terhadap palatum. 2. Tahap faringeal: secara involunter, membantu jalan makanan melalui faring ke esophagus. Daerah epitel reseptor menelan terletak di

9

sekeliling pintu faring dan akan menimbulkan kontraksi otot faringeal, sebagai berikut: a.

palatum mole tertarik ke atas menutupi nares posterior untuk

mencegah refluks ke hidung b.

plica palatopharyngeus tertarik ke medial dan membentuk

celah untuk lewatnya makanan yang sudah cukup terkunyah. c.

plica vocalis berdekatan dan laring tertarik ke atas dan anterior

oleh otot leher sehingga epiglottis ke arah bawah dan mencegah makanan masuk ke hidung dan trakea. Selain itu, epiglottis mencegah makanan agar tidak mendekati pita suara sehingga tidak terjadi kerusakan. d.

laring ke atas sehingga esophagus melebar, kemudian sfingter

esophagus atas (sfingter faringoesofageal) relaksasi sehingga makanan dapat masuk ke dalam esophagus. e.

laring ke atas dan sfingter relaksasi kemudian otot faring

berkontraksi dari superior ke inferior menimbulkan gerakan peristaltik. 3. Tahap esofageal: berupa peristaltik primer kelanjutan dari peristaltik faring ataupun peristaltik sekunder yang dihasilkan oleh peregangan esophagus dan relaksasi reseptif dari gaster.

Menelan adalah suatu aksi fisiologis yang kompleks, terutama karena faring pada hampir setiap saat melakukan beberapa fungsi lain di samping menelan dan hanya diubah dalam beberapa detik ke dalam traktus untuk mendorong makanan. Yang terutama penting adalah bahwa respirasi tidak terganggu akibat menelan. Pada umumnya menelan dapat dibagi menjadi (1) tahap volunter, yang mencetuskan proses menelan, (2) tahap faringeal, yang bersifat involunter dan membantu jalannya makanan melalui faring ke dalam esofagus, dan (3) tahap esofageal, fase involunter lain yang mempermudah jalannya makanan dari faring ke lambung (Guyton, 2002). 10

Proses menelan secara otomatis diatur dalam urutan yang teratur oleh daerah-daerah neuron di batang otak yang didistribusikan ke seluruh substantia retikularis medula dan bagian bawah pons. Impuls motorik dari pusat menelan ke faring dan esofagus bagian atas yang menyebabkan penelanan dijalarkan oleh saraf kranial ke-5 (n. Trigeminus), ke-9 (n. Glossofaringeus), ke-10 (n. Vagus), dan ke-12 (n. Hypoglossus) serta bahkan beberapa saraf servikal superior seperti tampak pada Gambar 1. Ringkasnya tahap faringeal dari penelanan pada dasarnya merupakan suatu refleks (Guyton, 2002).

Gambar : Innervasi Proses Menelan.

Sewaktu gelombang peristaltik esofagus berjalan ke arah lambung, timbul suatu gelombang relaksasi, yang dihantarkan melalui neuron penghambat mienterikus, mendahului peristaltik. Selanjutnya seluruh lambung 11

akan sedikit lebih luas, bahkan duodenum menjadi terelaksasi sewaktu gelombang ini mencapai bagian akhir esofagus dan dengan demikian mempersiapkan lebih awal untuk menerima makanan yang akan didorong ke bawah esofagus selama proses menelan (Guyton, 2002).

Fungsi Faring dalam Proses Bicara Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke arah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat melibatkan mula-mula m. salpingofaring dan m. palatofaring, kemudian m. levator veli palatine bersama-sama m. kontriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m levator veli palatine menarik palatum mole ke atas belakang hamper mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring (Soepardi et al, 2012). Fisiologi Laring Laring memiliki banyak fungsi terutama dalam respirasi. Dalam respirasi laring merupakan jalur utama dalam perlewatan udara pernapasan. Selain itu fungsi laring yaitu sebagai pertahanan dalam respirasi. Dalam laring terdapat bangunan plica vocalis yang berperan utama dalam proses terjadinya batuk. Sebelum terjadinya batuk plica vocalis menutup dan menahan udara pada saluran di bawahnya. Setelah itu terjadi pembukaan secara tiba-tiba dari plica vocalis dan menyemburkan udara keluar dari saluran napas. Terjadinya batuk ini merupakan salah satu sistem pertahanan yang dimiliki oleh sistem pernapasan. (Soepardi et al., 2012)

12

Anatomi dan Fisiologi Tonsil Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal (Ruiz JW, 2009).

Gambar : Anatomi Tonsil

Tonsil Palatina Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa 13

tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh: Lateral – muskulus konstriktor faring superior Anterior – muskulus palatoglosus Posterior – muskulus palatofaringeus Superior – palatum mole Inferior – tonsil lingual (Wanri A, 2007) 


Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal (Anggraini D, 2001).

Tonsil Faringeal (Adenoid) Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang

14

nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi (Hermani B, 2004).

Tonsil Lingual Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata (Kartosoediro S, 2007).

15

4. Langkah IV: Menginventarisasi secara sistematis penjelasan yang didapatkan pada langkah 3 Sistematika permasalahan : Etiologi: Sering batuk pilek

Faktor resiko: Sering batuk pilek

Keluhan: odinof agia, demam, be njolan nyeri tek an, disfonia, me ngorok kalau ti dur

Pemeriksaan faring: mukosa t erdapat granulma dan hipere mis, tonsil fibrosis dan detritu s, plika vokalis edema dan hi peremis Pemeriksaan Lab: ASTO (+)

Pemeriksaan

Anamnesis

Pemeriksaan fi sik

Pemeriksaan penunjang

diagnosis Faringitis

Laringitis

Tonsilitis akut

Tonsilitis kronik

Diagnosis banding komplikasi

Diagnosis kerja

penatalaksanaan

pencegah an

invasif

Follow up 16

medikame ntosa

5. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran Tujuan pembelajaran pada skenario ini yaitu sebagai berikut: a. Bagaimana patofisiologi dari keluhan pada skenario? b. Bagaimana sifat Streptococcus Beta-Haemoliticus? c. Bagaimana hubungan antara keluhan dahulu dengan keluhan sekarang? d. Apa differential diagnosis dan bagaimana cara penegakan diagnosisnya? e. Apa saja epidemiologi dan faktor resiko? f. Apa saja komplikasinya? g. Bagaimana penatalaksanaan dan pencegahan kasus pada skenario?

6. Langkah VI: Belajar mandiri Mahasiswa mengumpulkan informasi dari sumber-sumber ilmiah

7. Langkah VII: Melakukan sintesis dan pengujian informasi yang telah terkumpul Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari sumber-sumber ilmiah, maka penyelesaian dari masalah pada tujuan pembelajaran adalah sebagai beri kut:

a. Patofisiologi keluhan pada skenario, dan hubungan dengan keluhan dahulu Secara fisiologis, adenoid akan membesar pada usia 3 tahun dan kemudian akan mengecil dan hilang sendiri pada usia 14 tahun. Anak yang berusia 5 tahun, menjadi predisposisi kejadian hipertrofi adenoid (tonsilla pharyngea). Pada mulanya anak tersebut mengalami infeksi saluran nafas atas (ISPA) disebabkan oleh berbagai etiologi, seperti virus, bakteri, dan alergi. Kemudian sitokin proinflamasi yang dirilis oleh tubuh mengakibatkan terjadinya badan panas, nyeri menelan disebabkan oleh edema mukosa tonsilla

17

palatina dan pharynx, danpembesaran kelenjar leherterjadi akibat penjalaran infeksi melalui jalur limfogen ke kelenjar limfe terdekat. Keluhan tersebut kumat-kumatan dan diderita sejak umur 3 th, berarti radang tonsil dan pharynx tersebut termasuk proses radang kronis. Penderita sudah berobat ke puskesmas setempat beberapa kali, tapi belum ada perbaikan mungkin dikarenakan ISPA yang berulang sehingga inflamasi pada tonsil dan pharynx juga kembali terjadi secara berulang. Suara serak yang kemudian muncul menandakan bahwa plica vocalis yang hiperemis dan edema terjadi sebagai akibat penjalaran proses inflamasi yang telah sampai pada larynx. Pasien kalau tidur mengorok menandakan adanya sumbatan pada jalan pernapasan. Mukosa edem, hiperemi merupakan tanda inflamasi pada faring yang terjadi akibat ISPA berulang. Pada tonsil terlihat adanya pelebaran kripte yang merupakan tanda dari tonsillitis, kemudian pada mukosa faring juga terlihat hiperemis dan disertai dengan adanya nyeri saat menelan menunjukkan adanya faringitis akut (Mansjoer, 2001) Pemeriksaan ASTO= (+) ,menunjukkan bahwa infeksi terjadi akibat bakteri Streptococcus beta haemolyticus yang sering menyebabkan tonsillitis.

b. Sifat Streptococcus Beta-Haemoliticus Infeksi Streptococcus Grup A Infeksi Streptococcus pyogens, bakteri β-hemolitik yang tergolong dalam serogrup A menurut klasifikasi Lancefield dan sering dikenal sebagai

18

Group A streptocci (GAS), dapat menyebabkan berbagai penyakit pada manusia. S pyogens merupakan bakteri tersering yang menyebabkan akut faringitis pada anak-anak (15-30%) dan dewasa (5-10%). S. pyogenes, juga dikenal sebagai Grup A Streptococcus (GAS), adalah agen penyebab dalam berbagai Grup A infeksi streptokokus. Infeksi ini mungkin non-invasif atau invasif. Infeksi non-invasif cenderung lebih umum dan kurang parah. Yang paling umum dari infeksi ini termasuk streptokokus faringitis (radang tenggorokan) dan impetigo. Scarlet demam juga merupakan non-invasive infection, tapi belum sebagai umum dalam beberapa tahun terakhir. Infeksi invasif menyebabkan oleh Grup A streptokokus β-hemolitik cenderung lebih berat dan kurang umum. Hal ini terjadi ketika bakteri dapat menginfeksi daerah di mana tidak biasanya ditemukan, seperti darah dan organ. Penyakit yang mungkin disebabkan sebagai akibat dari ini termasuk streptokokus toxic shock syndrome (STSS), necrotizing fasciitis (NF), pneumonia, and bacteremia. Streptococcus merukan suatu grup besar dari coccus gram positif, non motil, tidak memproduksi spora, yang berukuran 0.5-1.2µm. Bakteri ini sering tumbuh berpasangan dan dalam bentuk rantai dan menunjukkan reaksi negatif dengan oksidase dan katalase. Antigen dinding sel bateri ini mengandung polisakarida kapsul (subtansi C), peptidoglikan dan asam lipoteikoat, protein R dan T, dan beberapa protein permukaan seperti protein M, protein fimbria, fibronektin terikat protein (protein F), streptokinase terikat sel. Substansi C tersusun oleh polimer bercabang dari L-rhamnose dan Nacetyl-D-glucosamine yang berperan dalam peningkatan kapasitas invasif dari bakteri sedangkan protein R dan T digunakan sebagai epidemiologic marker dan belum diketahui secara pasti perannya dalam infeksi. Protein M, faktor virulensi utama, merupakan makromolekul yang 19

tergabung dengan fimbria yang nampak pada membran sel dan terproyeksi pada dinding bakteri. Hal ini merupakan antigenic shift dan antigenic drift pada GAS. Protein M mengikat fibrinogen host dan melakukan blokade pada pengikatan komplemen dengan peptidoglikan utama. Hal ini menyebabkan bakteri mampu bertahan dari fagositosis neutrofil maupun makrofag. Karakteristik spesial lain yang dimiliki oleh bakteri ini adalah kemampuannya untuk menginvasi sel epitel. Menurut studi yang telah dilakukan, kegagalan penicillin untuk mengeradikasi S pyogens dari tenggorokan pasien terutama mereka yang merupakan carrier dari bakteri ini adalah kurang efektifnya penicillin untuk masuk ke dalam sel epitel (Khan, 2012).

Produk toksin streptococcus Streptococcus memiliki beberapa toksin dan produk ekstrasel menurut Khan (2013), yaitu: 1. Hemolisin: terdapat dua jenis, yaitu streptolisin O dan streptolisin S. Streptolisin O berperan dalam kerusakan jaringan dan berbagai macam sel, termasuk miokardium. Toksin ini sangat imunogenik sehingga digunakan dalam pemeriksaan titer ASTO (Anti-Streptococcus O). Streptolisin S berperan dalam kerusakan leukosit polimorfonuklear dan organela subsel, sifatnya kurang imunogenik. 2. Eksotoksin pirogenik atau Streptococcal Pyrogenic Exotoxins (SPEs), terdapat 4 tipe yaitu A, B, C, dan F. Toksin ini berperan dalam timbulnya bercak-bercak pada demam Scarlett. SPE B merupakan prekusor dari protease sistein, yang menjadi salah satu faktor virulensi bakteri ini. Toksin pirogenik dapat menginduksi respon febril, proliferasi limfosit T, dan sintesis dan pelepasan berbagai macam sitokin (TNF, IL-1, IL-6). 20

3. Nuklease (A, B, C, D) berperan dalam membantu mencairkan pus dan menghasilkan substrat untuk tumbuh.

Komplikasi tambahan mungkin disebabkan oleh GAS, yaitu demam rematik akut dan glomerulonefritis akut. Demam rematik, penyakit yang mempengaruhi sendi, ginjal, dan katup jantung, merupakan konsekuensi dari radang diobati infeksi A bukan disebabkan oleh bakteri itu sendiri. Demam rematik disebabkan oleh antibodi yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh untuk melawan infeksi silang bereaksi dengan protein lain dalam tubuh. Ini "reaksi silang" menyebabkan tubuh dasarnya serangan itu sendiri dan menyebabkan kerusakan di atas. Secara global, GAS telah diperkirakan menyebabkan lebih dari 500.000 kematian setiap tahun, membuatnya menjadi salah satu patogen terkemuka di dunia.

Grup A Streptococcus infeksi

umumnya didiagnosis dengan Strep Rapid Test atau budaya. (Cohen-Poradosu et al., 2007)

c. Differential Diagnosis dan cara penegakan diagnosis Faringitis Faringitis

merupakan

peradangan

dinding

faring

yang dapat

disebabkan oleh virus, bakeri, alergi, trauma, toksin, dan lain-lain (Soepardi et al, 2007). a)

Faringitis Akut Faringitis Viral Gejala dan Tanda
 Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. Faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza,

coxzachievirus

dan

cytomegalovirus

tidak

menimbulkan eksudat. Coxzachievirus dapat menimbulkan lesi 21

vasikular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash. Adenovirus juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak selain faringitis.

Epstein Barr

Virus (EBV)

menyebabkan faringitis disertai eksudat yang banyak, pembesaran kelenjar limfe, terutama retroservikal dan hepatosplenomegali (Soepardi et al 2007). Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual dan demam, faring tampak hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher, dan pasien tampak lemah.
 Terapi istirahat dan minum yang cukup, kumur dengan air hangat, analgetika jika perludan tablet isap. Dapat diberi juga antivirus metisoprinol (Soepardi et al 2007).
 Faringitis Bakterial Infeksi grup A Streptococcus β hemolitikus penyebab faringitis akut pada dewasa (15%) dan anak (30%) (Soepardi et al 2007).
 Gejala dan Tanda Nyeri kepala hebat, muntah kadang demam tinggi, jarang disertai batuk. Tonsil tampak membesar, faring dan tonsil hiperemis terdapat eksudat. Kemudian timbul petechiae pada palatum dan dasar faring. Kelenjar limfe leher anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan. Terapi

antibiotik

penicillin,

amoksisilin, atau eritromisin.

Kortikosteroid dexamethason, analgetika, dan kumur dengan air hangat atau antiseptic (Soepardi et al, 2007).

22

Laringitis Laringitis Akut Radang akut laring umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis, yang disebabkan oleh bakteri (menyebabkan peradangan lokal) atau virus (menyebabkan peradangan sistemik) (Hermani et.al, 2007). Gejala dan Tanda
 Terdapat gejala radang umum, seperti demam, malaise, serta gejala lokal seperti suara parau sampai afoni, nyeri menelan atau bicara, serta gejala sumbatan laring. Selain itu terdapat batuk kering dan kemudian disertai dengan dahak kental (Hermani et.al, 2007). Pada pemeriksaan mukosa laring hiperemis, membengkak, terutama diatas dan dibawah pita suara. Biasanya juga terdapat tanda radang akut di hidung atau sinus paranasal atau paru (Hermani et.al, 2007).
 Terapi Istirahat bicara dan bersuara 2-3 hari. Menghindari udara lembab dan iritasi pada faring dan laring. Antibiotik diberikan bila peradangan berasal dari paru. Bila terdapat sumbatan laring dilakukan pemasangan pipa endotrakeal atau trakeostomi (Hermani et.al, 2007).


Laringitis Kronis Sering disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip hidung atau bronkitis kronis, atau oleh penyalahgunaan suara seperti berteriak atau berbicara keras (Hermani et.al, 2007). Gejala dan tanda seluruh mukosa laring hiperemis dan menebal, permukaannya tidak rata dan hiperemis, dan terkadang terdapat metaplasi skuamosa. Terdapat gejala suara parau menetap, rasa tersangkut di tenggorok, sehingga pasien sering mendehem tanpa mengeluarkan sekret karena mukosa yang menebal (Hermani et.al, 2007).
 Terapi yaitu mengobati peradangan di hidung, faring, serta bronkus yang mungkin menjadi penyebab laringitis kronis itu. Pasien diminta untuk tidak banyak berbicara (vocal rest) (Hermani et.al, 2007). 23

Tonsilitis Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang termasuk dalam cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual, tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak (Soepardi et al, 2007). a)

Tonsilitis akut Tonsillitis Viral Gejalanya lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab paling sering adalah virus Epstein-Barr. Hemofilus Influenza merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Gejala: Common cold disertai nyeri tenggorok. Pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil. Tonsilitis Bakterial Etiologi nya kuman grup A Streptococcus β haemolitikus yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus, Streptokokus viridian, dan Streptococcus pyogenes. Patofisiologi
 Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit PMN sehingga terbentuk detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri mati, dan epitel yang terlepas. Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis folikularis. Bila bercak menjadi satu membentuk alur akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak detritus juga dapat melebar membentuk pseudomembran yang menutup tonsil (Soepardi et al, 2007). Gejala dan Tanda
 Masa inkubasi 2-4 hari. Sering ditemukan

24

nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam tinggi, rasa lesu, nyeri sendi, tidak nafsu makan dan otalgia. Otalgia terjadi karena nyeri alih melalui N. IX. Tonsil tampak membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh pseudomembran. Kelenjar submandibula bengkak dan nyeri tekan. Terapi
 Antibiotika

spektrum

lebar

penisilin,

eritromisin.

Antipiretik dan obat kumur yang mengandung desinfektan (Soepardi et al, 2007).

b)

Tonsilitis Kronik Proses radang berulang menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga diganti dengan jaringan parut yang mengalami pengerutan sehingga kripti melebar, yang kemudian diisi dengan detritus. Proses ini berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan melekat dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak disertai dengan pembengkakan kelenjar submandibular. Gejala dan tanda, tonsil membesar, permukaan tidak rata, kriptus melebar, diisi oleh detritus. Rasa tenggorok mengganjal, kering, napas berbau. Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur atau obat isap. Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma (Soepardi et al 2007).

25

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan ASTO Streptokokus

grup

A

(Streptokokus

beta

hemolitik)

dapat

menghasilkan berbagai produk ekstraseluler yang mampu merangsang pembentukan antibodi. Antibodi itu tidak merusak kuman dan tidak memiliki daya perlindungan, tetapi adanya antibodi tersebut dalam serum menunjukkan bahwa di dalam tubuh baru saja terdapat Streptokokus yang aktif. Antibodi yang terbentuk adalah Antistreptolisin O, Antihialuronidase (AH), antistreptokinase (Anti-SK), anti-desoksiribonuklease B (AND-B), dan anti nikotinamid adenine dinukleotidase(anti-NADase).Demam rematik merupakan penyakit vascular kolagen multisystem yang terjadi setelah infeksi Streptokokus grup A pada individu yang memiliki faktor predisposisi. Penyakit ini masih merupakan penyebab terpenting penyakit jantung didapat (acquired heart disease)pada anak dan dewasa muda di banyak negara terutama Negara berkembang. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh adanya inflamasi endokardium dan mmiokardium melalui suatu proses autoimun yang menyebabkan kerusakan jaringan.Serangan pertama demam reumatik akut terjadi paling sering antara umur 5 –15 tahun.Demam reumatik jarang menyerang anak dibawah umur lima tahun. Demam reumatik akut menyertai faringitis Streptokokus beta hemolitik grup A yang tidak diobati. Pengobatan yang tuntas terhadap faringitis akut hampir meniadakan risiko terjadinya demam reumatik.Diperkirakan hanya 3 % dari individu yang belum pernah menderita demam reumatik akan menderita komplikasi ini setelah menderita faringitis Streptokokus yang tidak diobati.ASTO (Anti Streptolisin O) merupakan antibodi yang paling banyak dikenal dan paling sering digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi Streptokokus. Lebih kurang 80 % penderita demam reumatik menunjukan peningkatan titer antibodi terhadap Streptokokus. Penelitian menunjukkan bahwa komponen

26

Streptokokus yang lain memiliki rekativitas bersama dengan jaringan lain. Ini meliputi reaksi silang imunologik di antara karbohidrat Streptokokus dan glikoprotein

katup,

diantaranya

membran

protoplasma

Streptokokus

dan jaringan saraf subtalamus serta nuclei kaudatus dan antara hialuronat kapsul dan kartilagoartikular. Ada dua prinsip dasar penetuan ASTO, yaitu: a)

Netralisasi/penghambat hemolisis Streptolisin O dapat menyebabkan hemolisis dari sel darah merah, akan tetapi bila Streptolisin O tersebut di campur lebih dahulu dengan serum penderita yang mengandung cukup anti streptolisin O sebelum di tambahkan pada sel darah merah, maka streptolisin O tersebut akan di netralkan oleh ASO sehingga tidak dapat menibulkan hemolisis lagi. Pada tes ini serum penderita di encerkan secara serial dan di tambahkan sejumlah streptolisin O yang tetap (Streptolisin O di awetkan dengan sodium thioglycolate). Kemudian di tambahkan suspensi sel darah merah 5%. Hemolisis akan terjadi pada pengenceran serum di mana kadar/titer dari ASO tidak cukup untuk menghambat hemolisis tidak terjadi pada pengencaran serum yang mengandung titer ASO yang tinggi.

b)

Aglutinasi pasif Streptolisin

O

merupakan

antigen

yang

larut.

Agar

dapatmenyebabkan aglutinasi dengan ASO. Maka Streptolisin O perlu

disalutkan

pada

partikel-partikel

tertentu.

Partikel

yangsering dipakai yaitu partikel lateks.Sejumlah tertentu Streptolisin O (yang dapat mengikat 200 IU/ml ASO) di tambahkan pada serum penderita sehingga terjadi ikatan Streptolisin O – anti Strepolisin O (SO – ASO).

27

Bila dalam serum penderita terdapat ASO lebih dari 200 IU/ml, maka sisa ASO yang tidak terikat oleh Streptolisin O akan menyebabkan aglutinasi dari streptolisin O yang disalurkan pada partikel – partikel latex . Bila kadar ASO dalam serum penderita kurang dari 200 IU / ml , maka tidak ada sisa ASO bebas yang dapat menyebabkan aglutinasi dengan streptolisin O pada partikel-partikel latex. Tes hambatan hemolisis mempunyai sensitivitas yang cukup baik , sedangkan tes aglutinasi latex memiliki sensitivitas yang sedang. Tes aglutinasi latex hanya dapat mendeteksi ASO dengan titer di atas 200 IU/ml (Barrett, 1991).

Pemeriksaan Laboratorium Kultur adalah kriteria standar untuk mendeteksi grup A Streptococcus pyogenes beta-hemolitik (GABHS). GABHS adalah organisme utama yang menggunakan terapi antibiotik (sensitivitas 90-95%). Kekhawatiran atas resistensi bakteri mengakibatkan pemantauan tonsilitis akut dengan swabs tenggorokan untuk dikultur dan mengetahui sensitivitasnya. Mengandalkan hanya pada kriteria klinis, seperti adanya eksudat, eritema, demam, dan limfadenopati, bukan merupakan metode yang akurat untuk membedakan antara tonsilitis karena GABHS dengan tonsilitis karena virus. Tes serum Monospot, hitung CBC (Complete Blood Count), dan uji tingkat elektrolit serum dapat digunakan sebagai diagnosis (Bisno et al., 1997). Tes Rapid Antigen Detection (RADT), juga dikenal sebagai rapid streptococcal test, dapat mendeteksi karbohidrat pada dinding sel GABHS dengan metode swab dan dianggap kurang sensitif dibandingkan kultur tenggorokan. Namun, tes RAD memiliki spesifisitas 95% atau lebih dan memerlukan waktu yang lebih singkat daripada kultur. Hasil negatif pada tes RAD mengharuskan kultur dilalukan sebelum termasuk mengeliminasi 28

diagnosis infeksi GABHS. Kultur atau tes RAD tidak diindikasikan pada kebanyakan kasus setelah terapi antibiotik untuk faringitis GABHS akut (Bisno et al., 1997). Serum dapat diperiksa untuk antibodi antistreptococcal, termasuk antibodi antistreptolysin-O dan antibodi antideoxyribonuclease (anti-DNAse) B. Titer dapat digunakan sebagai diagnosis infeksi primer sebelumnya pada orang yang terdiagnosis demam akut rematik, glomerulonefritis, atau komplikasi lain dari GABHS faringitis (Bisno et al., 1997).

Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi tidak terlalu diperlukan pada kasus tonsilitis akut. Untuk pasien yang tonsilitis akut dan diduga telah menyebar ke dalam struktur leher (misal melebihi fasia pada orofaring) dapat dilakukan pemeriksaan foto polos leher posisi lateral atau CT scan dengan kontras. Pada kasus abses peritonsillar, CT scan dengan kontras biasa dilakukan secara umum pada presentasi yang tidak biasa (abses posisi inferior) dan pada pasien dengan risiko tinggi untuk dilakukan prosedur drainase (seperti pasien dengan koagulopati atau risiko anestesi) (Bisno et al., 1997).

Diagnosis Kerja Tonsilitis kronis eksaserbasi akut adalah tonsillitis kronis yang mengalami peradangan akut sehingga terjadi pelebaran pada kripte kripte tanpa disertai dengan tanda inflamasi akut (Mansjoer, 2001)

d. Epidemiologi dan Faktor Resiko Epidemiologi Faringitis lebih sering disebabkan oleh virus (rhinovirus atau adenovirus) dan bakteri (Streptococcus pyogenes). Puncak insidensinya adalah

29

pada usia 4-7 tahun dan apabila disebabkan oleh Streptococcus grup A jarang terjadi pada usia di bawah 3 tahun (Acerra, 2013). Tonsilitis jarang terjadi pada anak usia kurang dari 2 tahun. Sedangkan, tonsillitis yang disebabkan Streptococcus banyak terjadi pada usia 5-15 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh virus lebih sering terjadi pada anak-anak yang lebih muda (Shah, 2013). Faktor Resiko Faktor resiko dari faringitis dan tonsillitis adalah: a)

Merokok atau terpapar asap rokok

b)

Alergi

c)

Infeksi sinus berulang

d)

Usia

e)

Hygiene oral

f)

Jenis makanan

g)

Cuaca

h)

Terapi yang tidak adekuat (Rusmarjono et al, 2007)

e. Komplikasi Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut : a)

Komplikasi sekitar tonsil i.

Peritonsilitis Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan abses.

ii.

Abses Peritonsilar (Quinsy)

30

Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami

supurasi,

menembus

kapsul

tonsil

dan

penjalaran dari infeksi gigi. iii.

Abses Parafaringeal Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus.

iv.

Abses Retrofaring Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.

v.

Krista Tonsil Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.

vi.

Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil) Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan tonsil yang membentuk bahan keras seperti kapur.

b)

Komplikasi Organ jauh i.

Demam rematik dan penyakit jantung rematik

ii.

Glomerulonefritis

iii.

Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis

iv.

Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura

v.

Artritis dan fibrositis (Efiaty, 2001).\ 31

Selain itu, komplikasi dari infeksi streptococcus dapat dibedakan menjadi berikut: Upper respiratory tract:

Tonsillopharyngitis Otitis media Sinusitis

Lower respiratory tract:

Pneumonia Empyema

Skin and soft tissue

Impetigo Cellulitis Erysipelas

Cardiovascular

Endocarditis Myocarditis Pericarditis Phlebitis

Musculoskeletal

Septic arthritis Osteomyelitis Pyomyositis

Lymphatic

Lymphadenitis

Central nervous system

Meningitis Brain abscess

Systemic

Septicemia

(Pichichero, 2003)

f. Penatalaksanaan dan Pencegahan Penatalaksanaan Penatalaksanaan tonsilitis secara umum, menurut Firman S :

32

a)

Jika penyebabnya bakteri, diberikan antibiotik peroral (melalui mulut) selama 10 hari, jika mengalami kesulitan menelan, bisa diberikan dalam bentuk suntikan.

b)

Pengangkatan tonsil (tonsilektomi) dilakukan jika : i.

Tonsilitis terjadi sebanyak 7 kali atau lebih / tahun.

ii.

Tonsilitis terjadi sebanyak 5 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 2 tahun.

iii.

Tonsilitis terjadi sebanyak 3 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 3 tahun.

iv.

Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik.

Menurut Mansjoer, A penatalaksanan tonsillitis adalah: a)

Penatalaksanaan tonsilitis akut i.

Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur atau obatisap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau klindomisin.

ii.

Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid untuk mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik.

iii.

Pasien

diisolasi

karena

menular,

tirah

baring,

untuk menghindari komplikasi kantungselama 2-3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3x negatif. iv.

b)

Pemberian antipiretik.

Penatalaksanaan tonsilitis kronik i.

Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur / hisap yaitu antibiotik dan analgesik

33

Indikasi Tonsilektomi Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi : a)

Indikasi absolut i.

Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,disfagia berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal.

ii.

Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.

iii.

Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.

iv.

Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi.

b)

Indikasi relatif i.

Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan pengobatan medik yang adekuat.

ii.

Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik.

iii.

Tonsilitis

kronik

atau

berulang

pada

pembawa

streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-laktamase (Efiaty, 2011).

Pencegahan Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari satu penderita ke orang lain. Resiko penularan dapat diturunkan dengan mencegah terpapar dari penderita tonsilitis atau yang 34

memiliki keluhan sakit menelan. Gelas minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat gigi yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi berulang. Orang – orang yang merupakan karier tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk mencegah penyebaran infeksi pada orang lain.

35

BAB III KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik kami membuat diagnosis banding: faringitis, laryngitis, tonsillitis akut, dan tonsillitis kronis. Diagnosis kerja yang dipilih adalah tonsillitis kronis eksaserbasi akut. Tonsillitis kronis eksaserbasi akut adalah tonsillitis kronis yang mengalami peradangan akut sehingga terjadi pelebaran kripte-kripte tanpa disertai tandatanda inflamasi akut, kemudian pada mukosa faring juga terlihat hiperemis dan disertai dengan adanya nyeri saat menelan menunjukkan adanya faringitis akut. Suara serak yang kemudian muncul menandakan bahwa plica vocalis yang hiperemis dan edema terjadi sebagai akibat penjalaran proses inflamasi yang telah sampai pada laring. Jadi bias disimpulkan bahwa pasien menderita faringitis akut yang kemudian menyebabkan terjadinya tonsillitis kronik eksaserbasi akut yang kemudian menyebabkan laringitis. Selain itu, hasil pemeriksaan ASTO: (+) menandakan telah terjadi infeksi bakteri Streptococcus Beta-Haemoliticus. Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan radiologi dan kultur.

36

BAB IV SARAN Saran untuk pasien adalah mengutamakan tindakan preventif dalam berbagai masalah kesehatan sehingga penyakit yang sudah ada tidak menyebabkan penyakit yang baru. Penatalaksanaan pasien dalam kasus dapat berupa terapi kausatif, simtomatik, dan suportif atau rehabilitatif. Terapi kausatif dapat berupa antibiotik sesuai dengan bakteri penyebab dan tonsilektomi. Terapi simtomatik berupa analgesik untuk keluhan nyeri dan antipiretik untuk demam, serta terapi suportif berupa obat kumur untuk menjaga kebersihan oral. Kegiatan diskusi tutorial kelompok kami telah berjalan dengan lancar, namun beberapa anggota kelompok terlihat kurang aktif dalam mengeluarkan pendapat. Selain itu, mahasiswa masih membuka buku pada pertemuan kedua. Tutor sudah baik dalam mengarahkan mahasiswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, dalam kegiatan tutorial selanjutnya diharapkan mahasiswa memahami benar tentang informasi yang akan disampaikan sehingga tidak perlu membuka buku lagi pada saat tutorial berlangsung. Mahasiswa juga sebaiknya aktif dalam menjawab tujuan pembelajaran yang telah ditentukan saat diskusi tutorial.

37

DAFTAR PUSTAKA Acerra JR (2013). Pharyngitis. http://emedicine.medscape.com/. Diakses pada: September 2013

Adams, G.L. (1997). Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring dalam Harjanto, E. dkk (ed) Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi ke6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Barrett, J.T. 1991. Medical Immunology : Text and Review. F.A. Davis Company

Bisno AL, Gerber MA, Gwaltney JM Jr, Kaplan EL, Schwartz RH. 1997. Diagnosis and Management of Group Astreptococcal Pharyngitis: a practice guideline. Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 25(3):574-83.

Cohen-Poradosu R., Dennis L. Kasper. 2007. Group A Streptococcus Epidemiology and Vaccine Implications. Clinical Infectious Diseases.

Efiaty, Soepardi, 2001, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Eroschenko, Viktor P. 2010. Atlas Histologi Di Fiore dengan korelasi fungsional. Jakarta : EGC

Guyton AC, Hall JE (2007). Buku ajar fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC.

Hermani, Bambang. Abdurrachman, Hartono. Cahyono, Arie. 2007. Kelainan Laring

38

dalam Soepardi, Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Indratni, Sri. Kuliah Anatomi “Systema Respiratorius”. Dilaksanakan pada: Agustus 2012 di FK UNS

Khan ZZ. Group A Streptococcal Infections. http://emedicine.medscape.com/article/228936-overview#a0104. Diakses pada: September 2013

Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta kedokteran JIlid 1. Media Aeusculapius : FK UI Jakarta

Mescher AL (2009). Histologi dasar junqueira teks & atlas. Edisi 12. Jakarta: EGC

Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. 2010. Clinically Oriented Anatomy. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins. 6th ed.p. 889-909.

Pichichero M E. 2003. Pediatric in review: Group A Beta-hemolytic Streptococcal Infections. Pediatrics in Review19;291.

Shah UK (2013). Tonsillitis and Peritonsillar Abscess. http://emedicine.medscape.com/. Diakses pada: September 2013

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2007. Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

39

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2012. Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

40

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF