Laporan Skenario B Blok 14 2014
January 15, 2018 | Author: fellaniella | Category: N/A
Short Description
Laporan Skenario B Blok 14 tahun 2014...
Description
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO B BLOK 14
Disusun Oleh: Kelompok A2 Tutor: dr. Subandrate, M.Biomed. Moulya Halisyah Cempaka (04011381320053) Dwina Yunita Marsha (04011381320051) Ummi Rahmah (04011181320073) Nigaot Nur Madya (04011181320073) Stefanie Angeline (04011381320005) Yuventius Odie Devanda (04011381320055) Hasna Mujahidah (04011381320025) Nina Vella Rizky (04011181320051) Nurul Rizki Syafarina (04011181320105) Fellani (04011181320061) M. Rizky Rasyadi (04011381320023) Jason Liando (04011381320013) Nina Mariana (04011381320059)
PENDIDIKAN DOKTER UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
1|Page
TUTORIAL BLOK 14 SKENARIO A Kelompok 2 Petugas Kelompok Tutor
: dr. Subandrate, M.Biomed.
Moderator
: Stefanie Angeline
(04011381320005)
Sekretaris
: Jason Liando
(04011381320013)
Anggota
: Moulya Halisyah Cempaka
(04011381320053)
Dwina Yunita Marsha
(04011381320051)
Ummi Rahmah
(04011181320073)
Nigaot Nur Madya
(04011181320073)
Stefanie Angeline
(04011381320005)
Yuventius Odie Devanda
(04011381320055)
Hasna Mujahidah
(04011381320025)
Nina Vella Rizky
(04011181320051)
Nurul Rizki Syafarina
(04011181320105)
Fellani
(04011181320061)
M. Rizky Rasyadi
(04011381320023)
Jason Liando
(04011381320013)
Nina Mariana
(04011381320059)
2|Page
KATA PENGANTAR
Pertama-tama marilah kita mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya lah kami dapat meyusun laporan tutorial ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Laporan ini merupakan tugas hasil kegiatan tutorial skenario A dalam blok 14 Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya tahun 2014. Di sini kami membahas sebuah kasus kemudian dipecahkan secara kelompok berdasarkan sistematikanya mulai dari klarifikasi istilah, identifikasi masalah, menganalisis, meninjau ulang dan menyusun keterkaitan antar masalah, serta mengidentifikasi topik pembelajaran. Bahan laporan ini kami dapatkan dari hasil diskusi antar anggota kelompok dan bahan ajar dari dosen-dosen pembimbing. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, orang tua, tutor dan para anggota kelompok yang telah mendukung baik moril maupun materil dalam pembuatan laporan ini. Kami mengakui dalam penulisan laporan ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami memohon maaf dan mengharapkan kritik serta saran dari pembaca demi kesempurnaan laporan kami di kesempatan mendatang. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Terima kasih.
Palembang, 21 Desember 2014
Kelompok 2
3|Page
DAFTAR ISI
Daftar Isi…………………………………….............................................. ............ 4 Skenario .................................................................................................................... 5 I.
Klarifikasi Istilah ........................................................................................... 6
II.
Identifikasi Masalah ..................................................................................... 7
III.
Analisis Masalah ........................................................................................... 8
V.
Hipotesis ........................................................................................................ 42
VI. Learning Issue .............................................................................................. 43 VII. Kerangka Konsep ........................................................................................ 69 VIII. Kesimpulan .................................................................................................. 70 Daftar Pustaka ....................................................................................................... 71
4|Page
SKENARIO B BLOK 14 2014 Nn. SS, 22 tahun, karyawan honorer disebuah perusahaan swasta, diantar ke IGD sebuah RS karena penurunan kesadaran sejak 4 jam yang lalu. Dari alloanamnesis, sejak 1 minggu yang lalu pasien mengalami demam tinggi, batuk pilek, dan sakit tenggorokan, sering mengalami diare, frekuensi 3-4 kali/hari, tanpa disertai darah dan lendir Dalam beberapa bulan terakhir pasien juga sering gugup, keluar keringat banyak, mudah cemas, sulit tidur dan bila mengerjakan sesuatu selalu terburu-buru Pemeriksaan Fisik Kesadaran : delirium; TD 100/80 mmHg, Nadi 140x menit/regular, RR 24x/menit, suhu 39C. Kepala : exophthalmos (+), Mulut : faring hiperemis, oral hygiene buruk. Leher : struma diffusa (+), kaku kuduk (-). Jantung : Takikardia; paru : bunyi nafas normal. Abdomen : dinding perut lemas; hati dan limpa tidak teraba, bising usus meningkat. Ekstremitas : telapak tangan lebab, tremor (+), reflex patologis (-) Pemeriksaan Lab Darah rutin : Hb; 12g%; WBC : 17.000/mm3 Kimia darah : Glukosa darah, test fungsi ginjal dan hati normal, elektrolit serum normal. Test fungsi tiroid : TSH 0,001 mU/L (menurun), T4 bebas 7,77 ng/dL (meningkat)
5|Page
I. KLARIFIKASI ISTILAH 1) Diare
: Pengeluaran tinja berair berkali-kali yang tidak normal
2) Delirium
:
Gangguan
mental
yang
mencerminkan keadaan keracunan, yang biasanya
berlangsung
singkat
biasanya
ditandai ilusi, halusinasi, delusi,
kegirangan, kegelisahan, gangguan memori dan inkoheren.
3) Exophthalmus
: Penonjolan bola mata ke arah depan
4) Faring Hiperemis
: Pelebaran pembuluh darah disekitar faring sebagai respon terhadap
inflamasi akibat infeksi local pada faring atau penyebaran infeksi dari daerah disekitarnya
5) Struma Diffusa
: Pembesaran yang menyebar ke seluruh tiroid tanpa batasan tegas
6) Takikardia
: Denyut jantung yang lebih cepat daripada denyut jantung normal
7) Tremor
: Gerakan otot ritmis bolak-balik yang tidak disengaja pada satu atau
lebih bagian tubuh.
8) T4 bebas
6|Page
: Tetraiodothironine yang aktif secara metabolic
II. IDENTIFIKASI MASALAH 1. Nn. SS, 22 tahun, diantar ke IGD sebuah RS karena penurunan kesadaran sejak 4 jam yang lalu. 2. Dari alloanamnesis, sejak 1 minggu yang lalu pasien mengalami demam tinggi, batuk pilek, dan sakit tenggorokan, sering mengalami diare, frekuensi 3-4 kali/hari, tanpa disertai darah dan lendir. 3. Dalam beberapa bulan terakhir pasien juga sering gugup, keluar keringat banyak, mudah cemas, sulit tidur dan bila mengerjakan sesuatu selalu terburu-buru. 4. Pemeriksaan Fisik Kesadaran : delirium; TD 100/80 mmHg, Nadi 140x menit/regular, RR 24x/menit, suhu 39C. Kepala : exophthalmos (+), Mulut : faring hiperemis, oral hygiene buruk. Leher : struma diffusa (+), kaku kuduk (-). Jantung : Takikardia; paru : bunyi nafas normal. Abdomen : dinding perut lemas; hati dan limpa tidak teraba, bising usus meningkat. Ekstremitas : telapak tangan lebab, tremor (+), reflex patologis (-). 5. Pemeriksaan Lab Darah rutin : Hb; 12g%; WBC : 17.000/mm3 Kimia darah : Glukosa darah, test fungsi ginjal dan hati normal, elektrolit serum normal. Test fungsi tiroid : TSH 0,001 mU/L (menurun), T4 bebas 7,77 ng/dL (meningkat)
7|Page
III. ANALISIS MASALAH 1. Nn. SS, 22 tahun, diantar ke IGD sebuah RS karena penurunan kesadaran sejak 4 jam yang lalu.
a. Apa penyebab dan bagaimana mekanisme penurunan kesadaran ? Penurunan keasadaran yang dialami Nn. SS diawali dari hipertiroidisme yang dialami sebulan yang lalu. Kemudian, terjadi komplikasi menjadi krisis tiroid. Krisis tiroid ini menyebabkan dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormone tiroid. Ini menyebabkan hipermetabolisme berat yang diantaranya meningkatkan kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate dan juga penurunan kepadatan dari reseptor alfa. Mekanisme : krisis tiroid ini merangsang saraf simpatik. Berikutnya , peningkatan hormon tiroid meningkatkan keadaan reseptor beta-adrenergik sehingga menambah efek katekolamin . Pelepasan neutransmiter katekolamin yang berlebihan itu menyebabkan depolarisasi Na dan K yang cepat, kemudian terjadi disosiasi pikiran sehingga terjadi delirium. Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel – sel tubuh dalam merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel – sel tubuh. Pada derajat tertentu , respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi sehingga menyebabkan penurunan kesadaran (delirium). Hormon tiroid menyebabkan peningkatan Na chanel , K chanel dan ATP fase chanel. Dan juga efinefrin yang berkaitan dengan reseptor alfa 2 di otak sehingga konduksi yang cepat pada sistem saraf pusat yang berlebihan sehingga timbul disosiasi pikiran dan penuruna kesadaran. b. Apa dampak dari penurunan kesadaran ? 1. Edema otak 2. Gagal ginjal 8|Page
3. Kelainan asam basa 4. Hipoksia 5. Gangguan faal hemoestasis dan perdarahan 6. Gangguan metabolisme atau hipoglikemia dan gangguan keseimbangan elektrolit atau hipokalsemia. 7. Kerentanan terhadap infeksi 8. Gangguan sirkulasi c. Bagaimana penatalaksanaan dari penurunan kesadaran ? Langkah pertama pada tata laksana pasien dengan delirium adalah melakukan pemeriksaan yang hati-hati terhadap riwayat penderita, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium. Informasi dari pasien tentang riwayat pasien terdahulu maupun status penderita sekarang sangat membantu para praktisi medis untuk melakukan tata laksana yang baik untuk mengobati delirium. Anamnesa terbaik dari pasien delirium dapat menyingkirkan differensial diagnose lain terutama hasil laboratorium juga dapat memperjelas etiologi dari delirium. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan antara lain : 1. Darah rutin ; untuk mendiagnosa infeksi dan anemia 2. Elektrolit ; untuk mendiagnosa low atau high elektrolit level 3. Glukosa ; untuk mendiagnosa hipoglikemi,ketoasidosis diabetikum, atau keadaan hiperosmolar non ketotic 4. Test hati dan ginjal ; untuk mendiagnosa gagal ginjal atau hati 5. Analisis urine ; untuk mendiagnosa URTI 6. Test penggunaan pada urin dan darah 7. HIV test 8. Thiamine dan vit B12 level 9. Sedimentasi urine
2. Dari alloanamnesis, sejak 1 minggu yang lalu pasien mengalami demam tinggi, batuk pilek, dan sakit tenggorokan, sering mengalami diare, frekuensi 3-4 kali/hari, tanpa disertai darah dan lendir. a. Bagaimana mekanisme dari : 9|Page
– Demam Tinggi a. Demam akibat infeksi, bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit. b. Demam akibat faktor non infeksi, dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis,
systemic lupus erythematosus,
vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma nonhodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan (antibiotik,
difenilhidantoin,
dan antihistamin)
(Kaneshiro & Zieve, 2010) Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen. Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua yaitu pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh dari pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen klasik adalah endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN. Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya adalah monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga dapat mengeluarkan pirogen endogen jika terstimulasi (Dinarello & Gelfand, 2005). .Dalam hal ini oral hygine yang buruk menunjukkan adanya suatu infeksi yang terjadi. Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005). Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan set point termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu set point yang baru sehingga ini memicu mekanisme10 | P a g e
mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke set point yang baru tersebut (Sherwood, 2001). -
batuk pilek : batuk : Pada jaringan epitel tenggorokkan terdapat reseptor batuk yang peka terhadap rangsangan. Saat benda asing masuk ke saluran pernafasan akan menempel di mucus selanjutnya akan terjadi iritasi pada reseptor tersebut dan mengaktifasi reseptor batuk dan medulla spinalis yang dihubungkan oleh serat aferen non myelin. Medulla spinalis kemudian akan perintah balik berupa kontraksi pada otot abductor, kartilago aritnoidea yang menyebabkan glottis terbuka karena medulla spinalis juga merespon terjadinya inspirasi. Pilek Alergen yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells (APC). Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen dipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1) mengaktifkan sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasthma dan membentuk IgE. IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk IgE. Sel eosinofil, makrofag dan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
11 | P a g e
Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah obstruksi oleh histamin. Histamin menyebabkan Vasodilatasi, penurunan tekanan kapiler & permeabilitas, sekresi mucus. Sekresi mukus yang berlebih itulah yang menghasilkan pilek. -
Sakit tenggorokan Sepertinya hal ini tidak ada kaitannya dengan hipertiroid Ny. SS. Melainkan ini merupakan gejala tersendiri yang mengisyartkan bahwa Ny. SS sedang dalam keadaan infeksi. Keadaan infeksi ini mungkin saja ini disebabkan oleh oral hygiene yang buruk dari Ny. SS, sehingga mekanisme pertahanan tubuh untuk melawan bakteri yang masuk adalah inflamasi sehingga terjadi sakit tenggorokan. Penurunan daya tahan tubuh secara sistemik atau gangguan mikrobial lokal, misalnya kebersihan mulut buruk, maka bakteri dan produknya yang merupakan faktor virulen (lipopolisakaraida=LPS) akan melakukan interaksi dengan sel-sel tertentu di rongga mulut. Pertama-tama Tonsil yang bertindak sebagai mekanisme pertahanan tubuh di mulut akan berespons terhadap stimulasi bakteri dan tubuh melakukan respons imunologis
dengan
mengaktivasi
sel-sel
mediator
inflamasi
yang
dapat
menyebabkan gangguan metabolism jaringan ikat sebagai tanda klinis awal radang pada tonsil. Fungsi tonsil adalah sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh baik melalui hidung atau mulut. Kuman yang masuk disitu akan dihancurkan oleh makrofag yang merupakan sel-sel polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena infeksi akibat dari penjagaan higiene mulut yang tidak memadai serta adanya faktorfaktor lain, maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh kuman-kuman semuanya, akibat kuman yang bersarang di tonsil dan akan menimbulkan peradangan tonsil yang kronik. Tonsilitis kronik dapat menimbulkan gejala lokal ataupun sistemik. Gejala yang bisa terjadi adalah mulut berbau, badan lesu, sering 12 | P a g e
mengantuk, nafsu makan menurun, sakit kepala dan badan terasa meriang akibat daripada gejala sistemik tonsilitis kronik. Gejala lokal pula termasuklah nyeri tenggorok atau merasa tidak enak di tenggorok, nyeri telan ringan kadang-kadang seperti benda asing (pancingan) di tenggorok.
Intinya: Sakit tenggorokan biasanya disebabkan adanya infeksi yang
menyebabkan iritasi atau inflamasi pada tenggorokan. Biasanya disebabkan oleh agen mikroorganisme ataupun polutan seperti debu dan sebagainya. Hal ini megakibatkan respon nyeri pada ujung saraf bebas pada tenggorokan sehingga terasa sakit.
- Diare tanpa darah dan lendir : nurul, dwina Pengaruh
hormon
tiroid
yang
meninggi
menyebabkan
tonus
traktus
gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik, sehingga sering terjadi diare. Hormon tiroid merangsang motillitas usus, yang dapat menimbulkan peningkatan motilitas terjadi diare pada hipertiroidisme. Hal ini juga menyumbang pada timbulnya penurunan berat badan yang sedang pada hipertiroidisme. Diare tanpa darah dan lendir karena bukan disebabkan oleh virus. b. Apa dampak dari keluhan yang dialami Nn. SS selama seminggu terakhir ? nina mariana, nina vela, fellani Diare Dehidrasi Demam tinggi Kejang dan penurunan kesadaran Batuk Pilek Sumbatan jalan nafas, pneumonia, bronchitis. c. Bagaimana hubungan keluhan satu minggu yang lalu dengan penurunan kesadaran? Hyperthiroidisme yang dialami Nn.SS menyebabkan terjadinya hipermetabolisme, dan juga proliferasi reseptor katekolamin. Akibat dari hiperaktivitas dari reseptor adrenergic dan juga peningkatan hormone thyroid menyebabkan peningkatan kecepatan reaksi kimia sehingga konsumsi nutrient dan O2 oleh jaringan tubuh pun akan meningkat. Apabila tidak di tatalaksana secara cepat, stok konsumsi nutrisi dan oksigen oleh jaringan tubuh akan berkurang, dan dapat menyebabkan penurunan kesadaran. 13 | P a g e
3.
Dalam beberapa bulan terakhir pasien juga sering gugup, keluar keringat banyak, mudah cemas, sulit tidur dan bila mengerjakan sesuatu selalu terburu-buru. a. Bagaimana mekanisme dari Sering gugup , mudah cemas dan bila mengerjakan sesuatu sering terburuburu Hypertiroid
T3 dan T4 akan meningkatkan kepadatan B andregenik, yg
selanjutnya akan mengaktifkan reseptor B adregenik yg merangsang kelenjar adrenal dan ujung syaraf melepas katekolamine (epinephrine, norepinephrine) yg membuat syaraf simpatik lebih peka. Syaraf yg lebih peka menyebabkan hyperaktivitas syaraf anxious (meningkatnya tonus otot) yg berdampak pada tremor, selalu terburu-buru dan mudah cemas. Keluar keringat banyak : Tingginya hormon tiroid menyebabkan terjadinya hipermetabolisme pada pasien yang menyebabkan produksi panas yang berlebihan sehingga pasien mengeluarkan banyak keringat. Hipertiroid metabolisme meningkat peningkatan jumlah reseptor adrenergik beta otot skelet vasodilatasi perifer keluar keringat banyak Sulit tidur : Sulit tidur yang dialami Nn.SS terjadi karena terjadinya hipersekresi dari hormone tiroid yang akibtanya adalah meningkatnya metabolism seluler sehingga tubuh menjadi panas. Thermoregulator di hipotalamus merespon dengan berusaha menurunkan suhu dengan mengeluarkan keringat. Selain itu, hipersekresi dari hormone tiroid ini juga meningkatkan katekolamin dan aktivitas dari CNS sehingga menyebabkan gugup dan mudah cemas. Jantung yang berdebar dan pernafasan yang meningkat juga menyebabkan gangguan sirkulasi . Hal-hal inilah yang menyebabkan Nn.SS suah untuk tidur.
14 | P a g e
b. Apa hormone yang berperan dalam keluhan Nn. SS dan bagaimana cara kerja hormone tersebut? Kelenjar tiroid memproduksi dua jenis hormon aktif, yaitu levotiroksin (T4) and triiodotironin (T3). Kedua hormon tiroid tersebut disintesis oleh kelenjar tiroid akibat stimulasi hormon penstimulasi tiroid (TSH). Sebagian besar (±85%) hormon tiroid yang disekresikan dalam peredaran darah oleh kelenjar tiroid adalah T4, selebihnya (±15%) adalah T3. Di dalam hepar, ginjal dan otot rangka, T4 diubah oleh 5’-monodeiodinase menjadi T3. Selain T4 dan T3, baru-baru ini diidentifikasi adanya derivat hormon tiroid yang disebut tironamin (TAM) yang juga mempunyai aktivitas fisiologis. TAM merupakan hormon tiroid hasil proses dekarboksilasi T4 yang berlangsung dalam sitoplasma. Hormon tiroid memengaruhi irama jantung melalui efeknya pada saluransaluran ion kardiomiosit. (Anggoro Budi Hartopo, 2013) Peran hormone tiroksin (T4): 1. Pengaturan metabolism tubuh 2. Regulasi pertumbuhan fisik maupun mental 3. Perkembangan organ reproduksi dan pertahanan terhadap infeksi Peran hormone triiodotironin (T3): Pematangan dan pertumbuhan jaringan dengan cara meningkatkan metabolism protein, lemak, dan glukosa, selain itu juga mensintesis protein kontraktil seperti myosin dan membran reseptor. Fungsi tiroid diatur oleh hormone perangsang tiroid (TSH) yang disekresikan oleh hipofisis, dibawah kendali hormon-hormon pelepasan tirotropin (TRH) yang disekresikan oleh hypothalamus melalui sistem umpan balik dari hipofisis ke hypothalamus. Faktor utama yang memengaruhi laju sekresi TRH dan TSH adalah kadar hormon tiroid yanga bersikulasi dan laju metabolik tubuh.(Bloom dan Fawcett, 2002) c. Bagaimana korelasi antar gejala ? Sulit tidur yang dialami Nn.SS terjadi karena terjadinya hipersekresi dari hormone tiroid yang akibatnya adalah meningkatnya metabolism seluler sehingga tubuh menjadi
15 | P a g e
panas. Thermoregulator di hipotalamus merespon dengan berusaha menurunkan suhu dengan mengeluarkan keringat. Selain itu, hipersekresi dari hormone tiroid ini juga meningkatkan katekolamin dan aktivitas dari CNS sehingga menyebabkan gugup dan mudah cemas dan suka terburuburu. Jantung yang berdebar dan pernafasan yang meningkat juga menyebabkan gangguan sirkulasi . Hal-hal inilah yang menyebabkan Nn.SS suah untuk tidur. 4. Pemeriksaan Fisik Kesadaran : delirium; TD 100/80 mmHg, Nadi 140x menit/regular, RR 24x/menit, suhu 39C. Kepala : exophthalmos (+), Mulut : faring hiperemis, oral hygiene buruk. Leher : struma diffusa (+), kaku kuduk (-). Jantung : Takikardia; paru : bunyi nafas normal. Abdomen : dinding perut lemas; hati dan limpa tidak teraba, bising usus meningkat. Ekstremitas : telapak tangan lebab, tremor (+), reflex patologis (-).
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik ?
Kesadaran : Delirium → gangguan fungsi otak yang menyebabkan kebingungan dan perubahan dalam kewaspadaan, perhatian, pikiran dan penalaran, ingatan, emosi, pola tidur dan koordinasi ( tidak normal ).
16 | P a g e
TD 100/80 : tidak normal ( normal 120/80mmHg)
Nadi 140x menit/regular : Takikardi (tidak normal) normal 60-80x/menit
RR 24x/menit : Normal (16-24 x/menit)
Suhu 39◦C : Tidak normal ( normal 36,6 – 37,2 ◦C)
Kepala exophthalmus (+) : Tidak normal ( Normal (-))
Mulut : Faring hiperemis : Tidak normal ( Normal : tidak hiperemis )
Leher : Struma diffusa (+) : Tidak normal (Normal : (-) )
Jantung : Takikardi : tidak normal ( Normal : 60-80x/menit)
Abdomen : Dinding perut lemas : Tidak normal
Bising usus meningkat : Tidak normal ( Normal : 3x terdengar dalam 1 menit)
Ekstremitas : telapak tangan lembab : Tidak normal
Tremor (+) : Tidak normal ( Normal : (-) )
b. Bagaimana mekanisme abnormal dari : Delirium Hipertiroidisme→krisis tiroid→dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormone tiroid→ hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak system organ→meningkatkan
kepadatan
reseptor
beta
+
cyclic
adenoisme
monophospate + penurunan kepadatan reseptor alfa → hipotensi disertai syok →penurunan kesadaran Tekanan darah Dalam kondisi hipermetabolisme seperti yang dialami Nn. SS, maka tubuh akan beradaptasi dengan cara mengeluarkan panas tubuh dengan cara mengeluarkan keringat yang banyak. Untuk mengeluarkan keringat maka pembuluh darah perifer akan vasodilatasi agar aliran darah ke kulit meningkat. Hal ini lah yang akan menyebabkan tekanan darah Nn. SS jadi menurun walaupun takikardia. Nadi meningkat Hormon katekolamin.
tiroid Jumlah
merangsang
medulla
adrenal
epinefrine
normal
tetapi
untuk ada
mensekresikan
peningkatan
pada
noreepinefrine yang bekerja pada sistem saraf simpatis. Saraf simpatis berjalan di dalam traktus saraf spinalis torakalis menuju korteks adrenal dengan melepaskan neurotransmiter noreepinefrine ke sirkulasi untuk membantu aksi regulasi jantung ke nodus SA. Noreefineprine berikatan dengan reseptor spesifik yang disebut reseptor adrenergik B1 yang terdapat di sel-sel nodus SA. Setelah berikatan terjadi pengaktifan sistem perantara kedua menyebabkan peningkatan kecepatan lepas muatan nodus dan peningkatan denyut jantung. Pada hipertiroidisme, perangsangan sekresi katekolamin akan meningkat, sehingga curah jantung meningkat yang mengakibatkan frekuensi nadi juga meninggi. Suhu meningkat Pada keadaan hipertiroid, terjadi peningkatan metabolism tubuh. Seperti yang kita
tau,
kegiatan
metabolism
tubuh
adalah
sumber
utama
dari
pembentukan/pemberian panas tubuh. Pada kasus ini, metabolism yang berlebih berarti akan meningkatkan suhu tubuh pula. 17 | P a g e
Exophthalmus Exopthalmus adalah terjadinya pembengkakan jaringan diorbit, memproduksi penonjolan bola mata. Sebuah sub populasi fibroblast diorbit pada akhirnya berkembang menjadi adipocytes dan preadiposit fibroblast ini mengandung protein reseptor TSH. Tentang perkembangan exopthalmus adalah ketika dirangsang oleh TSH reseptor stimulating antibodi dalam sirkulasi, sel-sel ini melepaskan sitokin yang mempromosikan peradangan dan edema. Faring hiperemis Oral hygiene yang buruk akan memperbesar peluang terjadinya infeksi rongga mulut, serta penyakit gigi dan mulut lainnya. Hal ini dibuktikan dengan faring yang hiperemis, dimana faring hiperemis menunjukkan terjadinya infeksi. Faring hiperemis terjadi karena vaskularisasi di area faring tinggi untuk memudahkan transpor leukosit untuk melawan infeksi. Infeksi yang terjadi inilah yang memungkinkan terjadinya hipertiroid pada kasus ini. Oral hygiene Jawabannya sama dengan mekanisme abnormal faring hiperemi. Pada kasus ini, oral hygiene dilihat sebagai penyebab hipertiroidisme. Oral hygiene akan memperbesar kemungkinan terjadinya infeksi dalam mulut, yang dapat kita buktikan seperti faring hiperemi. Struma Diffusa Struma diffusa yang timbul karena terjadinya morbus graves yang merupakan suatu gangguan autoimun. Pada keadaan tersebut, ditemukan berbagai macam antibody didalam serum. Antibodi yang ditemukan mencakup terhadap reseptor TSH, periksoksom tiroid dan tiroglobulin. Dari ketiganya, reseptor TSH yang paling berperan dari terbentuknya antibody. Thyroid growth stimulating immunoglobulin (TSI), mengikat reseptor TSH untuk merangsang jalur adenilat siklase/ AMP siklik yang menyebabkan peningkatan pembebasan dari hormone tiroid. Akibatnya, terjadi proliferasi epitel folikel tiroid yang akan menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid yang tersebar merata. Keadaan patologis ini disebut sebagai struma difussa +.
18 | P a g e
Takikardia Dalam keadaan hipertiroid menyebabkan peningkatan pelepasan katekolamin sehingga kadar katekolamin dalam plasma meningkat (merangsang saraf simpatis). Hal ini menyebakan adanya peningkatan stimulasi reseptor betaadrenergik yang menyebabkan denyut jantung meningkat (takikardi) Bising usus meningkat Bising usus merupakan suara yang terjadi saat peristaltic yang disebabkan oleh perpindahan gas atau makanan sepanjang mediastinum. Banyak atau sedikitnya bising usus yang didengarkan saat auskultasi tergantung dari pergerakan motalitas usus, normalnya bising usus adalah 5-12 kali per menit Telapak tangan lembab Hipersekresi T3 oleh sel folikel tiroid pada pasien hipertiroid juga mengakibatkan peningkatan jumlah Reseptor adrenergik. Oleh karena itu, terjadi Respon terhadap reseptor adrenergik berlebih saat hormon T3 dilepaskan ke
jaringan.
Dan
saat
terjadi stimulasi terhadap medula adrenal untuk
biosintesis katekolamin oleh hormon T3
dan saat hormon katekolamin itu
dilepaskan, maka berikut adalah efeknya : Saat hormon Epinefrin dan Norepinefrin dilepaskan ke jaringan dan berikatan dengan reseptor α1 dan β2, mengakibatkan telapak tangan lembab :
Pada kulit akan terasa hangat dan
lembab sebagai hasil dari dilatasi pembuluh darah kulit, dan keringat banyak akibat keadaan hiperdinamik. Tremor Hormoni tiroid meningkat peningkatan pelepasan catecolamin kadar catecolamin dalam plasma meningkat (saraf simpatis) sensitifitas β andregenik reseptor meningkat dilatasi arteri ke otot skeletal aliran O2 ke otot meningkat peningkatan Tonus otot +
peningkatan Aktivitas medulla
spinalis pengatur tonus otot tremor c. Apa saja klasifikasi dari tingkat kesadaran ? a. Kompos mentis : Sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik. 19 | P a g e
b. Apatis : Pasien tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya. c. Delirium : Penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik. Gaduh gelisah, kacau, disorientasi, meronta-ronta. d. Somnolen : Mengantuk yang masih pulih bila dirangsang. Tidur kembali bila rangsangan berhenti. e. Sopor (stupor) : Keadaan mengantuk yang dalam. Dapat bangun dgn rangsangan yg kuat. Tidak dapat memberi jawaban verbal yang baik. f. Koma : Penurunan kesadaran berat. Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada respons terhadap rangsangan nyeri.
d. Mengapa TD Nn. SS turun sedangkan ia mengalamai takikardia ? Tekanan darah sistolik biasanya meningkat sedangkan tekanan darah diastolic menurun sehingga menimbulkan tekanan nadi yang besar (wide pulse pressure.) Pada penderita hipertensi sistolik yang tidak jelas penyebabnya, perlu dicurigai adanya tirotoksikosis. Hipertensi ini terjadi akibat ketidakmampuan jaringan vascular untuk mencukupi peningkatan curah dan volume jantung.
e. Bagaimana cara pemeriksaan dari Leher : struma diffusa a) Inspeksi Pemeriksa berada di depan penderita. Penderita posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher terbuka sedikit hiperekstensi agar m. sternokleidomastoideus relaksasi sehingga tumor tiroid mudah dievaluasi.
20 | P a g e
Apabila terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen berikut :
Lokasi : lobus kanan, lobus kiri, ismus
Ukuran : besar/kecil, permukaan rata/noduler
Jumlah : uninodusa atau multinodusa
Bentuk : apakah difus (leher terlihat bengkak) ataukah berupa
noduler
lokal
Gerakan : pasien diminta untuk menelan, apakah pembengkakannya ikut bergerak
Pulsasi : bila nampak adanya pulsasi pada permukaan pembengkakan
b) Palpasi Pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi, pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan kedua tangan. Beberapa hal yang perlu dinilai pada pemeriksaan palpasi :
Perluasan dan tepi
Gerakan saat menelan, apakah batas bawah dapat diraba atau tidak dapat diraba trachea dan kelenjarnya.
Konsistensi, temperatur, permukaan, dan adanya nyeri tekan
Hubungan dengan m. sternocleidomastoideus (tiroid letaknya lebih dalam daripada musculus ini.
Limfonodi dan jaringan sekitar
c. Auskultasi Pada auskultasi perlu diperhatikan adanya bising tiroid yang menunjukkan adanya hipertiroid. Kaku kuduk Pasien telentang, bila lehernya ditekuk secara pasif terdapat tahanan sehingga dagu tidak dapat menempel pada dada
21 | P a g e
Refleks patologis
Reflek hoffmann tromer Tangan pasien ditumpu oleh tangan pemeriksa, kemusian ujung jari tangan pemeriksa yang lain disentilkan ke ujung jari tengah tangan penderita. Kita lihat respon jari tangan penderita, yaitu fleksi jari-jari yang lain, aduksi dari ibu jari. Reflek positif bilateral bisa dijumpai pada 25 % orang normal, sedangkan unilateral hoffmann indikasi untuk suatu lesi UMN .
Grasping reflek Gores palmar penderita dengan telunjuk jari pemeriksa diantara ibujari dan telunjuk penderita. Maka timbul genggaman dari jari pendeirta, menjepit jari pemeriksa. Jika reflek ini ada maka penderuta tidak dapat membebaskan jari pemeriksa. Normal masih terdapat pada anak kecil. jika positif ada pada dewasa, maka kemungkinan terdapat lesi di area premotorik cortex.
Reflek palmomental Garukan pada telapak tangan pasien menyebabkan kontraksi muskulus mentali ipsilateral. Reflek patologis ini timbul akibat kerusakan lesi UMN di atas inti saraf VII kontralateral.
Reflek snouting / menyusu Ketukan hammer pada tendo insertio m. Orbicularos oris, maka akan menimbulkan reflek menyusu. Menggaruk bibir dengan tingue spatel maka akan timbul reflek menyusu. Normal pada bayi, jika positif pada dewasa menandakan lesi UMN bilateral.
Mayer reflek Fleksikan jari manis di sendi metacarpophalangeal, cecara firmly normal akan timbul adduksi dan aposisi dai ibu jari. Absennya respon ini menandakan lesi di tractus pyramidalis.
Reflek Babinski Lakukan goresan pada telapak kaki dari arah tumit ke arah jari melalui sisi lateral, orang noramla akan memberikan respon fleksi jari-jari kaki dan penarikan tungkai. Pada lesi UMN maka akan timbul respon jempol kaki akan dorsofleksi, sedangkan jari-jari lain akan menyebar atau membuka. Normal pada bayi masih ada.
22 | P a g e
Reflek Oppenheim Lakukan goresan pada sepanjang tepi depan tuilang tibia dari atas ke bawah, dengan kedua jari telunjuk dan tengah., jika posistidf maka akan timbul reflek seperti babinski
Reflek gordon Lakukan goresan / memencet otot gastrocnemius. Jika posistif maka akan timbul reflek seperti babinski
Reflek schaefer Lakukan pemencetan pada tendo achiles. Jika positif maka akan timbul reflek seperti babinski
Reflek chaddock Lakukan goresan sepanjang tepi lateral punggung kaki di luar telapak kaki, dari tumit ke depan. Jika posistif maka akan timbul reflek seperti babinski
Reflek Rossolimo Pukulkan hammer reflek pada dorsal kaki pada tulang cuboid. Reflek akan terjadi fleksi jari-jari kaki.
Reflek Mendel-Bacctrerew Pukulan telapak kaki bagian depan akan memberikan respon fleksi jari-jari kaki.
f. Bagaimana anatomi dan histologi dari kelenjar tiroid ? Anatomi: Tiroid berarti organ berbentuk perisai segi empat. Kelenjar tiroid merupakan organ yang bentuknya seperti kupu-kupu dan terletak pada leher bagian bawah di sebelah anterior trakea (Gambar 1). Kelenjar ini merupakan kelenjar endokrin yang paling banyak vaskularisasinya, dibungkus oleh kapsula yang berasal dari lamina pretracheal fascia profunda. Kapsula ini melekatkan tiroid ke laring dan trakea. Kelenjar ini terdiri atas dua buah lobus lateral yang dihubungkan oleh suatu jembatan jaringan isthmus tiroid yang tipis dibawah kartilago krikoidea di leher, dan kadang- kadang terdapat lobus piramidalis yang muncul dari isthmus di depan laring.
23 | P a g e
Kelenjar tiroid terletak di leher depan setentang vertebra cervicalis 5 sampai thoracalis 1, terdiri dari lobus kiri dan kanan yang dihubungkan oleh isthmus. Setiap lobus berbentuk seperti buah pear, dengan apeks di atas sejauh linea oblique lamina cartilage thyroidea, dengan basis di bawah cincin trakea 5 atau 6.Kelenjar tiroid mempunyai panjang ± 5 cm, lebar 3 cm, dan dalam keadaan normal kelenjar tiroid pada orang dewasa beratnya antara 10 sampai 20 gram. Aliran darah kedalam tiroid per gram jaringan kelenjar sangat tinggi (± 5 ml/menit/gram tiroid).
24 | P a g e
Tiroid terdiri dari nodula-nodula yang tersusun dari folikel-folikel kecil yang dipisahkan satu dengan lainnya oleh suatu jaringan ikat. Setiap folikel dibatasi oleh epitel kubus dan diisi oleh bahan proteinaseosa berwarna merah muda yang disebut koloid. Sel-sel epitel folikel merupakan tempat sintesis hormon tiroid dan mengaktifkan pelepasannya dalam sirkulasi. Zat koloid, triglobulin, merupakan tempat hormon tiroid disintesis dan pada akhirnya disimpan. Dua hormon tiroid utama yang dihasilkan oleh folikel-folikel adalah tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Sel pensekresi hormon lain dalam kelenjar tiroid yaitu sel parafolikular yang terdapat pada dasar folikel dan berhubungan dengan membran folikel, sel ini mensekresi hormon kalsitonin, suatu hormon yang dapat merendahkan kadar kalsium serum dan dengan demikian ikut berperan dalam pengaturan homeostasis kalsium. Tiroksin (T4) mengandung empat atom yodium dan triiodotironin (T3) mengandung tiga atom yodium. T4 disekresi dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dengan T3, tetapi apabila dibandingkan milligram per milligram, T3 merupakan hormon yang lebih aktif daripada T4.
Histologi Unit struktural daripada tiroid adalah folikel, yang tersusun rapat, berupa ruangan bentuk bulat yang dilapisi oleh selapis sel epitel bentuk gepeng, kubus sampai kolumnar. Konfigurasi dan besarnya sel-sel folikel tiroid ini dipengaruhi oleh aktivitas fungsional daripada kelenjar tiroid itu sendiri. Bila kelenjar dalam keadaan inaktif, sel-sel folikel menjadi gepeng dan akan menjadi kubus atau kolumnar bila kelenjar dalam keadaan aktif. Pada keadaan hipertiroidism, sel-sel folikel menjadi kolumnar dan sitoplasmanya terdiri dari vakuol-vakuol yang mengandung koloid. Folikel-folikel tersebut mengandung koloid, suatu bahan homogen eosinofilik. Variasi densiti dan warna daripada koloid ini juga memberikan gambaran fungsional yang signifikan; koloid eosinofilik yang tipis berhubungan dengan aktivitas fungsional, sedangkan koloid eosinofilik yang tebal dan banyak dijumpai pada folikel dalam 25 | P a g e
keadaan inaktif dan beberapa kasus keganasan. Pada keadaan yang belum jelas diketahui penyebabnya, sel-sel folikel ini akan berubah menjadi sel-sel yang besar dengan sitoplasma banyak dan eosinofilik, kadang-kadang dengan inti hiperkromatik, yang dikenal sebagai oncocytes (bulky cells) atau Hürthle cells.
g. Bagaimana histopatologi dari struma diffusa ? Makroskopis : kelenjar membesar akibat hipertrofi dan hiperplasia difus, biasanya simetris. Kelenjar menjadi lunak dan kapsulnya intak. Pada potongan parenkim kelenjar menjadi padat seperti potongan daging. Mikroskopis :
Graves’ disease(low magnification) -
Penuh oleh acini yang bervariasi dalam ukuran
-
Dilapisi kolumner tinggi,lebih ramai dari pada biasanya,berisi koloid dengan tepi berenda-renda
26 | P a g e
-
Jaringan limfoid banyak
-
Kadang membentuk papil ke dalam lumen acini , koloid didalam lumen folikel tampak pucat, dengan tepi belekuk-lekuk
-
Hipertrofi dan hiperplasia sel – sel epitel folikel tiroid
5. Pemeriksaan Lab Darah rutin : Hb; 12g%; WBC : 17.000/mm3 Kimia darah : Glukosa darah, test fungsi ginjal dan hati normal, elektrolit serum normal. Test fungsi tiroid : TSH 0,001 mU/L (menurun), T4 bebas 7,77 ng/dL (meningkat) a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan lab ?
27 | P a g e
NO
PEMERIKSAAN
KEADAAN NORMAL
INTERPRETASI
1.
Hb : 12 g%
12-15 g%
Normal
2.
WBC : 17.000/mm3
5.000-10.000 mm3
Tinggi
3.
Glukosa darah
-
Normal
4.
Fungsi ginjal dan hati
-
Normal
5.
Elektrolit serum
-
Normal
6.
TSH : 0,001 mU/L
0,5-5 mU/L
Rendah
7.
T4 bebas 7,77 ng/dl
1,0-2,3 ng/dl
Tinggi
b. Bagaimana mekanisme abnormal dari : WBC meningkat : Adanya TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin), suatu antibodi perangsang yang secara sembarangan diciptakan oleh tubuh pada keadaan autoimun Grave’s disease, berikatan dengan reseptor TSH di kelenjar tiroid akan membuat tubuh merespon dengan mengaktivasi TBII sehingga terbentuklah kompleks antigen antibodi. Selain itu Nn. SS juga mengalami infeksi akibat oral hygienenya yang buruk, sehingga bakteri yang berhasil masuk ke dalam tubuh akan mengaktifkan makrofag. Kedua hal ini lah yang menyebabkan terjadinya leukositosis pada Nn. SS. TSH menurun Hipertirodisme → stimulasi hormon tiroid →peningkatan sekresi hormone tiroid dalam sirkulasi →hormon T4 meningkat dalam darah → konvensasi T4 menjadi T3 oleh enzim 5’-deiodinase → efek regulasi negative T3 pada hypothalamus → inhibisi trankripsi gen subunit alpha dan beta dari TSH→ penurunan kadar TSH T4 bebas meningkat Pada penyakit graves, tiroktosikosis karena kelebihan produksi T4 Mekanisme : Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. c. Mengapa Nn.SS elektrolit serumnya normal sedangkan ia mengalami diare ? Diare Sekretori ditandai oleh volume feses yang besar oleh karena abnormalita cairan dan transport elektrolit yang tidak selalu berhubungan dengan makanan yang dimakan. Diare ini biasanya terjadi bila puasa. Pada keadaan ini tidak ada malabsorbsi larutan. Osmolalitas feses dapat diukur dengan unsure ion normal tanpa adanya osmotic gap pada feses.
28 | P a g e
d. Bagaimana regulasi normal dari hormon tiroid ? Hormon tiroid, tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) dibentuk pada tiroglobulin, suatu glikoprotein besar yang disintesis dalam sel tiroid. Iodida inorganik memasuki sel folikel tiroid dan dioksidasi oleh tiroid peroksidase dan terikat secara kovalen ke residu tirosin dari tiroglobulin. Residu tiroid teriodinase, monoiodotirosin (MIT) dan diioditirosin (DIT) bergabung membentuk iodotironin dalam reaksi yang dikatalisa oleh tiroid peroksidase. DIT dan DIT membentuk T4, sedang MIT dan DIT membentuk T3. Hormon tiroid dilepaskan ke aliran darah dengan proteolisis dalam sel tiroid. T4 dan T3 ditranspor ke aliran darah oleh tiga protein: thyroid-binding globulin (TBG), thyroidbinding prealbumun (TBPA), dan albumin. Hanya hormon tiroid bebas (tak terikat) yang mampu masuk ke sel, menimbulkan efek biologis, dan mengatur sekresi thyroid stimulating hormone (TSH) dari kelenjar pituitari. T4 disekresi hanya pada kelenjar tiroid, tapi Cushing Syndrome
o
Hipersekresi GH --> Akromegali
o
Hipersekresi TSH --> yang menyebabkan hipertiroid (sebagai diagnosis banding pada penyakit hipertiroid)
o
Ketidakseimbangan sekresi Gonadotropin dan Estrogen menyebabkan amenorhea pada wanita.
2. Bagaimana cara menegakkan diagnosis dari penyakit Nn. SS ? Anamnesa pasien dengan hipertiroidisme: a. Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas peningkatan kadar metabolic dalam badan. b. Pasien lebih memilih suhu yang dingin karena merasa lebih nyaman. c. Kulit basah akibat keringat yang berlebihan d. Peristaltic lambung juga meningkat sehingga mengakibatkan terjadinya diare dan steatorrhea yang ringan e. Perasaan seperti palpitasi gangguan pada system kardiovaskuler atas akibat sinus takikardi (supraventrikular takikaria). f. Cardiac output yang meningkat nadi yang kuat, memanjang, dan aortic murmur dan dapat mengakibatkan angina maupun gagal jantung yang sudah terdeteksi sebelumnya menjadi lebih parah. g. Tremor
Pemeriksaan fisik Palpasi pada kelenjar tiroid dilihat: ukuran, konsistensi, nodul, mobilitas dan fiksasi. Pada keadaan normal, biasanya ukuran tiroid dapat mencapai 12-20g dan hasil dari palpasi dapat dipindahkan kedalam bentuk gambaran secara kasar. Pemeriksaan USG Memastikan ukuran kelenjar tiroid yang membesar dengan lebih tepat. 32 | P a g e
Auskultasi Auskultasi dilakukan dengan tujuan mencari adanya bunyi bruit disekitar kelenjar tiroid yang membesar dan hal ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan vaskularisasi seperti yang terjadi pada kasus hipertiroidisme. TSH menjadi marker utama dalam rangka menentukan nilai hormone tiroid yang berkurang, normal, maupun meningkat karena adanya perubahan terhadap kadar T3 dan T4 (Harrison, 2004). Krisis tyroid Belum ada satu indikator biokimiawi pun yang mampu meramalkan terjadinya krisis tiroid, sehingga tindakan didasarkan pada kecurigaan atas tanda-tanda krisis tiroid membakat, dengan kelainan yang khas maupun yang tidak khas.
Kecurigaan akan
terjadi krisis apabila terdapat triad yaitu menghebatnya tanda tiroksitosis, kesadaran menurun, dan hipertermia.
3. Bagaimana klasifikasi dari penyakit hipertiroid ? Dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi 2, yaitu : a. Hipertiroid Primer : Terjadinya hipertiroid karena berasal dari kelenjar tiroid itu sendiri, contohnya : - Penyakit grave - Functioning adenoma - Toxic multinodular goiter - Tiroiditis b. Hipertiroid Sekunder : Jika penyebab hipertiroid berasal dari luar kelenjar tiroid,contohnya : - Tumor hipofisis 33 | P a g e
- Pemberian hormone tiroid dalam jumlah besar - Pemasukan iodium berlebihan
4. Bagaimana etiologi dan factor resiko dari penyakit Nn. SS ? Berdasarkan etiologinya hipertiroidisme dapat dibagi menjadi beberapa kategori, secara umum hipertiroidisme yang paling banyak ditemukan adalah Graves’ Disease, toxic adenoma, dan multinodular goiter. a. Graves’ Disease
Graves’ disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme karenasekitar 80% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh Graves’ disease. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia 20 – 40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga, dan adanya penyakit autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus tipe 1 (Fumarola et al, 2010). Graves’ disease merupakan gangguan autoimun berupa peningkatan kadar hormon tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid. Salah satu faktor risiko penyebab timbulnya Graves’ Disease adalah HLA. Pada pasien Graves’ Disease ditemukan adanya perbedaan urutan asam amino ke tujuh puluh empat pada rantai HLA-DRb1. Pada pasien Graves’ Disease asam amino pada urutan ke tujuh puluh empat adalah arginine, sedangkan umumnya pada orang normal, asam amino pada urutan tersebut berupa glutamine (Jacobson et al, 2008). b. Toxic Adenoma Pada pasien toxic adenoma ditemukan adanya nodul yang dapat memproduksi hormon tiroid. Nodul didefinisikan sebagai masa berupa folikel tiroid yang memiliki fungsi otonom dan fungsinya tidak terpengaruhi oleh kerja TSH (Sherman dan Talbert, 2008). Sekitar 2 – 9% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan karena hipertiroidisme jenis ini. Menurut Gharib et al (2007), hanya 3–7% pasien dengan nodul tiroid yang tampak dan dapat teraba, dan 20 – 76% pasien memiliki nodul tiroid yang hanya terlihat dengan bantuan ultra sound. Penyakit ini lebih sering muncul pada wanita, pasien berusia lanjut, defisiensi asupan iodine, dan riwayat terpapar radiasi. 34 | P a g e
Pada pasien dengan toxic adenoma sebagian besar tidak muncul gejala atau manifestasi klinik seperti pada pasien dengan Graves’ disease. Pada sebagian besar kasus nodul ditemukan secara tidak sengaja saat dilakukan pemeriksaan kesehatan umum atau oleh pasien sendiri. Sebagian besar nodul yang ditemukan pada kasus toxic adenoma bersifat benign (bukan kanker), dan kasus kanker tiroid sangat jarang ditemukan. Namun apabila terjadi pembesaran nodul secara progresif disertai rasa sakit perlu dicurigai adanya pertumbuhan kanker. Dengan demikian perlu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap kondisi pasien untuk memberikan tatalaksana terapi yang tepat. c. Toxic Multinodular Goiter Selain Grave’s Disease dan toxic adenoma, toxic multinodular goiter merupakan salah satu penyebab hipertiroidisme yang paling umum di dunia. Secara patologis toxic multinodular goiter mirip dengan toxic adenoma karena ditemukan adanya nodul yang menghasilkan hormon tiroid secara berlebihan, namun pada toxic multinodular goiter ditemukan beberapa nodul yang dapat dideteksi baik secara palpasi maupun ultrasonografi. Penyebab utama dari kondisi ini adalah faktor genetik dan defisiensi iodine. d. Hipertiroidisme Subklinis Selain ketiga jenis di atas, sekitar 1% kasus hipertiroidisme disebabkan hipertiroidisme subklinis. Pada hipertiroidisme sub klinis, kadar TSH ditemukan rendah disertai kadar T4 dan T3 bebas atau total yang normal. Menurut Ghandour (2011), 60% kasus hipertiroidisme subklinis disebabkan multinodular goiter. Pada pasien yang menderita hipertiroidisme subklinis dapat ditemukan gejala klinis yang tampak pada pasien overt hyperthyroidism -
35 | P a g e
Faktor Resiko terjadinya Hipertiroid (krisis tiroid)
Turunan/genetik
Gender. Perempuan lebih berisiko terkena hipertiroid dari pada laki – laki
Tindakan operatif , baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain .
Terapi yodium radioaktif
Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara adekuat.
Stress yang berat akibat penyakit – penyakit seperti diabetes , trauma , infeksi akut , alergi obat yang berat atau infark miokard.
Stop obat anti tiroid pada pemakaian obat antitiroid
Infeksi
Stroke
Trauma . pada kasus trauma , dilaporkan bahwa pencekikan pada leher dapat memicu terjadinya krisis tiroid , meskipun tidak ada riwayat hipertiroidisme sebelumnya.
5. Bagaimana epidemiologi dari penyakit Nn. SS ? Grave disease merupakan penyebab terbanyak kasus hiperthyroid di Amerika dan Eropa, terutama di daerah pegunungan yang kurang mengonsumsi iodium. Di Indonesia sendiri, daerah-daerah yang rentan penyakit ini misalnya Pagaralam. Penyakit ini paling sering terjadi pada wanita dibanding laki-laki (7:1). Grave disease juga paling sering terjadi pada usia pertengahan, tetapi tidak lazim terjadi saat remaja, ibu hamil, wanita yang sudah menopause atau di atas usia 50 tahun.
6. Bagaimana patofisiologi dari penyakit Nn. SS ? Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone (TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan thyroidstimulating hormone (TSH) dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar pituitari anterior.
36 | P a g e
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian. Dapat disimpulkan bahwa patofisiologi dari krisis tiroid adalah:
Tidak ada bukti bahwa peningkatan produksi T3 dan T4 dapat menyebabkan krisis tiroid
Peningkatan reseptor katekolamin (peningkatan sensitivitas terhadap katekolamin) memainkan peranan penting
Penurunan ikatan dengan TBG (Thyroid Binding Globulin) sehingga meningkatkan kadar T3 dan T4 bebas. Pasien yang rentan terhadap krisis tiroid, kemungkinan memiliki peningkatan
sensitivitas terhadap katekolamin, sehingga setiap keadaan stes yang dapat menyebabkan peningkatan kadar katekolamin, krisis tiroid dapat muncul.
7. Bagaimana gejala klinis dan mekanisme yang ditimbulkan dari penyakit Nn. SS ? Hormon tiroid memiliki peranan yang vital dalam mengatur metabolisme tubuh. Peningkatan kadar hormon tiroid dalam darah memacu peningkatan kecepatan metabolisme di seluruh tubuh. Salah satu gejala yang umum ditemui pada penderita hipertiroid adalah intoleransi panas dan berkeringat berlebihan karena peningkatan kadar tiroid memacu peningkatan basal metabolic rate. Selain itu hipertiroidisme juga mempengaruhi sistem kardiorespiratori menyebabkan kondisi palpitasi, takikardi dan dyspnea umum ditemukan pada pasien hipertiroidisme. Akibat stimulasi sistem saraf adrenergik berlebihan, muncul gejala- gejala psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan, mudah tersinggung dan insomnia. Peningkatan kecepatan metabolisme menyebabkan pasien hipertiroidisme cepat merasa lapar dan nafsu makan bertambah, namun demikian terjadi penurunan berat badan secara signifikan dan peningkatan frekuensi defekasi.Pada pasien wanita dapat terjadi gangguan menstruasi berupa oligomenorrhea, amenorrhea bahkan penurunan libido. 37 | P a g e
Pada pasien Graves’ disease, gejala klinis juga dapat berupa inflamasi dan edema di otot mata (Graves’ ophtalmopathy) dan gangguan kulit lokal (myxedema). Mekanisme terjadinya Graves’ ophtalmopathy dan myxedema belum diketahui secara pasti namun diperkirakan pada keduanya terjadi akumulasi limfosit yang disebabkan oleh aktivasi sitokin pada fibroblast.
8. Apa saja pemeriksaan penunjang yang di perlukan untuk menegakkan diagnosis ? o Pemeriksaan laboratorium : T4, T3, FT4, FT3 dan TSHs. Pada hipertiroid T4, T3, FT4, FT3 akan meningkat dan TSHs akan menurun. o Radioactive iodine uptake test. Tingginya uptake menandakan ada hipertiroid. o Radioscan tiroid.
9. Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit Nn. SS ? Hipertiroidisme diterapi dengan prinsip utama yaiutu menurunkan kadar sintesis hormone tiroid, dengan menggunakan obat anti-tiroid, radioiodine, atau dengan tehnik operasi kelenjar tiroid. Belum ada pendekatan tunggal yang dapat mengatasi hipertiroid secara optimal dan pasien mugkin memerlukan multiple terapi dalam mencapai remisi (Harrison, 2004). Obat anti-tiroid yang sering digunakan adalah dari golongan thionamides, seperti prophylthiouracil (PTU), carbimazole, dan methimazole yang merupakan sejenis metabolit yang aktif. Obat-obat tersebut bekerja dengan menghambat fungsi TPO, megurangi oksidasi dan organifikasi iodida. Obat-obat ini juga derajat aktifitas tiroid dengan mekanisme yang masih belum jelas namun dapat meningkatkan kadar remisi. PTU bekerja dengan menghambat deiodinasi T3 dan T4. Efek obat tersebut hanya memberikan keuntungan yang kecil sekali, melainkan pada kasus seperti tiroitoksikosis, dimana PTU mempunyai paruh hidup yang sangat singkat (90menit) berbanding metrhimazole (6jam) (Harrison, 2004). Fungsi tiroid dan manifestasi klinis harus diperiksa setelah 3-4 minggu pemberian obat dan dosis awal dilakukan titrasi berdasarkan kadar unbound T4. 38 | P a g e
Kebanyakan pasien tidak mencapai eutiroid setelah 6-8minggu pemberian obat anti tiroid. Kadar TSH masih berkurang dalam jangka waktu beberapa bulan dan oleh karena itu, tidak menunjukan index terapi yang memuaskan. Biasanya, titrasi yang dilakukan pada obat anti-tiroid adalah sebanyak 2.5-10mg (carbimazole atau methimazole) dan 501oomg (PTU). Kadar remisi yang maximal ditemukan hamper 30-50% dari populasi dalam kurun waktu 18-24 bulan. Pasien dengan severe hipertiroidisme dan goiter yang besar biasanya akan mengalami relaps apabila terapi diberhentikan. Oleh sebab itu, semua pasien harus dilakukan follow-up setidaknya 1 tahun setelah terapi atau seumur hidup (Harrison, 2004). Efek samping yang biasanya dialami pasien dengan terapi obat anti-tiroid adalah kemerahan, utrikaria, demam dan atralgia. Hal ini dapat membaik secara spontan atau dengan menggantikan obat alternatif anti-tiroid yang lain. Propanolol dengan dosis 2040mg tiap 6jam atau penghamat beta yang lebih panjang waktu kerjanya seperti atenolol dapat membantu dalam menagontrol efek adrenergic terutamanya pada tahap awal pemberian obat anti-tiroid (sebelum anti-tiroid dapat memberikan efek yang optimal). Pemberian obat anti-koagulasi harus dipikirkan pada pasien dengan atrial fibrilasi. Jika digoxin akan digunakan sebagai regimen yang dipilih, peningkatan dosis harus dilakukan pada kondisi tirotoksikosis (Harrison, 2004). Terapi pada pasien ini meliputi pemberian PTU 400 mg dalam jangka waktu tiap 8 jam dan propanolol 10 mg tiap 6 jam. Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme (menghambat produksi hormone, menghambat pelepasan hormone dan menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid penyekat beta dan plasmaferesis),dan normalisasi dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan mengatasi factor pemicu. Pengobatan harus segera diberikan rawat diruangan dengan control yang baik. Pengobatan yang diberikan antara lain adalah membaiki keadaaan umum dengan memberikan cairan NaCl 0.9% utuk koreksi elektrolit. Mengoreksi hipertiroidisme dengan cepat yaitu dengan a) memblok sintesis hormone baru : PTU dosis besar (6001000 mg) diikuti dosis 200 mg PTU tiap 4 jam dengan dosis sehari total 1000-1500 mg; b) memblok keluarnya bakal hormone dengan solusio lugol (10 tetes setiap 6-8 jam) atau larutan kalium iodide jenuh 5 tetes setiap 6 jam. Jika ada, berikan endoyodin (NaI) IV, 39 | P a g e
kalau tidak ada solusio Lugol/ larutan kalium iodide jenuh tidak memadai; c) menghambat konversi perifer dari T4 menjadi T3 dengan propanolol, ipodat, penghambat beta dan/atau kortikosteroid. Pemberian hidrokortison dosis stess (100mg tiap 8 jam atau deksametason 2 mg tiap 6 jam). Rasional pemberiannya adalah karena defisiensi steroid relative akibat hipermetabolisme dan menghambat konversi perifer T4. Untuk antipiretik digunakan asetaminofen, jangan aspirin karena akan melepas ikatan protein-hormon tiroid sehingga freehormon meningkat. Propanolol dapat mengurangi takikardia dan meghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer dengan dosis 20-40 mg tiap 6 jam. Dan yang terakhir adalah mengobati factor pencetus misalnya infeksi.
10. Bagaimana komplikasi dari penyakit Nn.SS ? o Hipertiroidisme Komplikasi hiperiroidisme yang dapat mengancam nyawa adalah krisis tirotoksik (thyroid storm). Hal ini dapat berkernbang secara spontan pada pasien hipertiroid yang menjalani terapi, selama pembedahan kelenjar tiroid, atau terjadi pada pasien hipertiroid yang tidak terdiagnosis. Akibatnya adalah pelepasan HT dalam jumlah yang sangat besar yang menyebabkan takikardia, agitasi, tremor, hipertermia (sampai 106°F), dan, apabila tidak diobati, kematian. Penyakit jantung Hipertiroid, oftalmopati Graves, dermopati Graves, infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan obat antitiroid. o Krisis Tiroid Krisis tiroid : mortalitas
11. Bagaimana prognosis dari penyakit Nn. SS ? Prognosis penyakit-penyakit yang berhubungan dengan keadaan hipertiroid tidak sebaik keadaan hipertiroid. Kemampuan dan pengetahuan seorang pemeriksa sangat dibutuhkan untuk menentukan prognosis penyakit ini. Kegagalan terapi memberikan prognosis yang buruk terhadap penyakit hipertiroidisme.
40 | P a g e
Dubia ad bonam. Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat adalah 10-15% (Rani., et.al.,2006). Individu dengan tes fungsi tiroid normal-tinggi, hipertiroidisme subklinis, dan hipertiroidisme klinis akan meningkatkan risiko atrium fibrilasi. Hipertiroidisme juga berhubungan dengan peningkatan risiko gagal jantung (6% dari pasien), yang mungkin menjadi sekunder untuk atrium fibrilasi atau takikardia yang dimediasi cardiomyopathy.Gagal jantung biasanya reversibel bila hipertiroidisme diterapi. Pasien dengan hipertiroidisme juga berisiko untuk hipertensi paru sekunder peningkatan cardiac output dan penurunan resistensi vaskuler paru. Pada pasien dengan penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya, hipertiroidisme meningkatkan risiko kematian (rasio hazard [HR] = 1,57), dan bahkan mungkin pada pasien tanpa jantung. Hal ini juga meningkatkan risiko stroke iskemik (HR = 1,44) antara dewasa usia 18 sampai 44 years. Hipertiroidisme tidak diobati juga berpengaruh terhadap kepadatan mineral tulang yang rendah
12. Bagaimana kompetensi dokter umum dalam kasus ini ? 3B. Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
41 | P a g e
IV. HIPOTESIS Nn. SS, 22 tahun menderita hipertiroidisme primer dengan komplikasi krisis tiroid.
42 | P a g e
V. LEARNING ISSUE I.
Hormon Tiroid
A. Fisiologi hormon dan kelenjar tiroid Hormon tiroid mempengaruhi replikasi sel dan sangat penting bagi perkembangan otak. Adanya hormon tiroid dalam jumlah yang adekuat juga diperlukan untuk pertumbuhan normal. Melalui efeknya yang luas terhadap metabolisme seluler, hormon tiroid mempengaruhi setiap sistem organ yang penting. Kelenjar tiroid berfungsi untuk mempertahankan tingkat metabolisme di berbagai jaringan agar optimal sehingga mereka berfungsi normal. Hormon tiroid merangsang konsumsi O2 pada sebagian besar sel di tubuh, membantu mengatur metabolisme lemak dan karbohidrat, dan penting untuk pertumbuhan dan pematangan normal. Dua hormon tiroid utama yang dihasilkan oleh folikel-folikel adalah tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Sel pensekresi hormon lain dalam kelenjar tiroid yaitu sel parafolikular yang terdapat pada dasar folikel dan berhubungan dengan membran folikel, sel ini mensekresi hormon kalsitonin, suatu hormon yang dapat merendahkan kadar kalsium serum dan dengan demikian ikut berperan dalam pengaturan homeostasis kalsium. Hormon tiroid mempunyai keunikan karena mengandung 59 – 65 % unsur iodin. Tironin yang diiodinisasi diturunkan dari iodinisasi cincin fenolik dari residu tirosin dalam tiroglobulin membentuk mono dan diiodotirosin, yang digabungkan membentuk T3 dan T4. Gambar 3. (Greenspan F S MD, Baxter J D MD, 1994 ). Sekitar 70% dari yodium di dalam tiroglobulin terdapat sebagai prekusor pengaktif yaitu Monoiodotirosin (MIT) dan Diiodotirosin (DIT), sementara 30% lagi berada dalam residu yodotironil, T3 dan T4. Asupan yodium haruslah mencukupi rasio T3:T4 adalah sekitar 7 : 1. Pada keadaan defisiensi yodium, rasio ini akan menurun sebagaimana halnya pula rasio DIT : MIT. (Murray Robert K, et al, 2000).
B. Tiroksin (T4) Hormon tiroksin (T4) mengandung empat atom iodium dalam setiap molekulnya. Hormon ini disintesis dan disimpan dalam keadaan terikat dengan protein di dalam sel-sel kelenjar tiriod; pelepasannya ke dalam aliran darah terjadi ketika diperlukan. Kurang lebih 75% hormon tiroid terikat dengan globulin pengikat-protein (TBG; thyroid-binding globulin). Hormon tiroid yang lain berada dalam keadaan terikat dengan albumin dan prealbumin pengikat tiroid. Bentuk T4yang terdapat secara alami dan turunannya dengan atom karbon asimetrik adalah isomer L. D-Tiroksin hanya memiliki sedikit aktivitas bentuk L. Hormon tiroid yang bersirkulasi dalam plasma terikat pada protein plasma, diantaranya : 43 | P a g e
(1) globulin pengikat tiroksin (TBG). (2) prealbumin pengikat tiroksin (TBPA). (3) albumin pengikat tiroksin (TBA). Dari ketiga protein pengikat tiroksin, TBG mengikat tiroksin yang paling spesifik. Selain itu, tiroksin mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap protein pengikat ini di bandingkan dengan triiodotironin. Secara normal 99,98% T4 dalam plasma terikat atau sekitar 8 μg/dL (103 nmol/L); kadar T4 bebas hanya sekitar 2 ng/dL (Gambar 2). Hanya terdapat sedikit T4 dalam urin. Waktu paruh biologiknya panjang (6-7 hari), dan volume distribusinya lebih kecil jka dibandingkan dengan cairan ekstra seluler (CES) sebesar 10L, atau sekitar 15% berat tubuh.
C. Triiodotironin (T3) Hormon yang merupakan asam amino dengan sifat unik yang mengandung molekul iodium yang terikat pada asam amino ini hanya mengandung tiga atom iodium saja dalam setiap molekulnya. Hormon tiroksin juga di bentuk di jaringan perifer melalui deiodinasi T4. Hormon triiodotironin (T3) lebih aktif daripada hormon tiroksin (T4). T4 dan T3disintesis di dalam koloid melalui iodinasi dan kondensasi moleku l-molekul tirosin yang terikat pada linkage peptida dalam triglobulin. Kedua hormon ini tetap terikat pada triglobulin sampai disekresikan. Sewaktu disekresi, koloid diambil oleh sel-sel tiroid, ikatan peptida mengalami hidrolisis, dan T3 serta T4 bebas dilepaskan ke dalam kapiler. 44 | P a g e
Triiodotironin mempunyai afinitas yang lebih kecil terhadap protein pengikat TBG dibandingkan dengan tiroksin, menyebabkan triiodotironin lebih mudah berpindah ke jaringan sasaran. Faktor ini yang merupakan alasan mengapa aktivitas metabolik triiodotironin lebih besar. T3 mugkin dibentuk melalui kondensasi monoidotirosin (MIT) dengan diidotirosin (DIT). Dalam tiroid manusia normal, distribusi rata-rata senyawa beriodium untuk T3 adalah 7%. Kelenjar tiroid manusia mensekresi sekitar 4 μg (7 nmol) T3. Kadar T3 plasma adalah sekitar 0,15 μg/dL (2,3 nmol/L), dari 0,15 μg/dL yang secara normal terdapat dalam plasma, 0,2% (0,3 ng/dL) berada dalam keadaan bebas. Sisa 99,8% terikat pada protein, 46% pada TBG dan sebagian besar sisanya pada albumin, dengan pengikatan transtiretin sangat sedikit (Tabel 1).
D. Sintesis hormon tiroid Proses pembentukan hormon tiroid melibatkan beberapa tahapan (Gbr.4) : (Murray Robert K, et al, 2000, Satyanarayana U,Dr ).
1) Konsentrasi yodida (I-): kelenjar tiroid bersama dengan beberapa jaringan epitel lainnya, mampu memekatkan I- dengan melawan gradien elektrokimia yang kuat. Proses ini tergantung pada energi dan berkaitan dengan pompa Na+/ K+ yang tergantung ATP ase. Aktivitas pompa I- tiroid dapat dipisahkan dari tahap bio sintesis hormon berikutnya melalui penghambatan organifikasi I- dengan obat-obat golongan tiourea. Rasio yodida dalam tiroid terhadap yodida dalam serum (rasio T : S) pada manusia dengan diet yodium yang normal adalah sekitar 25 : 1 yang merupakan pencerminan aktivitas pompa atau mekanisme pemekatan. Aktivitas ini terutama dikendalikan oleh TSH. 2) Oksidasi I- : Kelenjar tiroid merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi Ihingga mencapai status valensi yang lebih tinggi. Proses oksidasi ini merupakan suatu tahapan yang wajib ada dalam organifikasi I- dan biosintesis hormon tiroid. Tahapan ini 45 | P a g e
melibatan enzim peroksidase yang mengandung hem dan terjadi pada permukaan lumen sel folikuler. Sejumlah senyawa akan menghambat oksidasi I- dan dengan demikian menghambat pula proses penyatuan selanjutnya kedalam MIT serta DIT.
3) Yodinasi Tirosin : Yodida yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu tirosil dalam tiroglobulin di dalam suatu reaksi yang mungkin pula melibatkan enzim tiroperoksidase. Posisi 3 pada cincin aromatik merupakan bagian yang pertama kali mengalami yodinasi dan kemudian baru posisi 5-nya hingga terbentuk masing-masing MIT dan DIT. Reaksi ini yang kadang-kadang disebut organifikasi, terjadi dalam waktu beberapa detik saja di dalam tiroglobulin luminal. Begitu yodinasi terjadi, yodium tidak segera meninggalkan kelenjar tiroid. Tirosin bebas dapat mengalamiyodinasi tetapi tidakdisatukan ke dalam protein mengingat tidak adanya tRNA yang mengenali tirosin teryodinasi itu.
4) Perangkaian Yodotirosil : Perangkaian dua molekul DIT untuk membentuk T4 atau perangkaian MIT dengan DIT untuk membentuk T3 akan terjadi di dalam molekul tiroglobulin, sekalipun hal ini tidak berarti bahwa kemungkinan penambahan MIT dan DIT bebas pada DIT yang terikat sudah bisa disingkirkan. Enzim tersendiri untuk perangkaian tersebut masih belum ditemukan, dan karena reaksi perangkaian ini merupakan proses oksidasi, kita memperkirakan bahwa enzim tiroperoksidase yang sama mengkatalisasi reaksi ini dengan merangsang pembentukan radikal bebas yodotirosin.
46 | P a g e
E. Sekresi hormon tiroid Pada kelenjar Thyroid T3 dan T4 terikat pada thyroglobulin, tempat berlangsungnya biosintesa hormon ini. Pembebasan T3 dan T4 dari thyroglobulin di atur oleh mekanisme umpan balik dari pituitary. Proses ini memerlukan enzim proteolitik yang distimulasi oleh TSH yang mengaktivasi adenilat siklase. Gambar 5. Pelepasan hormon ini dihambat oleh Iodium dan oleh Litium seperti Litium Karbonat yang digunakan untuk terapi manik depresif. Efek ini dimanfaatkan dengan penggunaan Kalium Iodida untuk terapi hiperthyroidisme. (The Medicine Journal, 2000, Greenspan F S MD, Baxter J D MD, 1994 ). Sekitar 99,5 % T3 dan 99,9 % T4 yang berada di sirkulasi diangkut dalam ikatan serum dengan protein carrier. Terdapat tiga protein transport utama untuk hormon tiroid yaitu : globulin pengikat tirksin (TBG), prealbumin pengikat tiroksin ( TBPA), atau transtiretin dan albumin. Pengikatan dengan protein ini mengantarkan hormon pada target selnya serta jalan bagi hormon untuk dapat diekskresikan melalui ginjal.
47 | P a g e
F. Mekanisme Kerja Hormon T3 dan T4 bersifat lipofilik dan dapat berdifusi lewat membran plasma semua sel, menjumpai reseptor spesifiknya di dalam sel sasaran. Reseptor hormon tiroid manusia terdapat paling tidak dalam tiga bentuk: hTR- α1 dan 2 serta hTR-β1. : hTR- mengandung asam amino 410 asam amino , mempunyai BM sekitar 47.000, dan gennnya terletak pada kromosom 17. hTR-βmengandung 456 asam amino dengan BM sekitar 52.000, gennnya terletak pada kromosom 3. Setiap reseptor mengandung tiga daerah spesifik 1.Suatu daerah amino terminal yang meningkatkan aktivitas reseptor 2.Suatu daerah pengikat DNA sentral dengan dua jari-jari sistein – seng. 3 (Greenspan F S MD, Baxter J D MD,1994)
Ada kemungkinan bahwa hTR-β1dan hTR- α1 merupakan bentuk reseptor yang aktif secara biologik. hTR- α2 tidak mempunyai kemampuan mengikat hormon tetapiberikatan dengan unsur respon hormon tiroid (TRE) pada DNA dengan demikian dapat bertindak pada beberapa kasus untuk menghambat T3. Mutasi titik pada gen hTR-β yang menimbulkan reseptor T3 abnormal merupakan penyebab dari sindroma resistensi generalisata terhadap hormon tiroid ( sindroma refetotoff ). (Greenspan F S MD, Baxter J D MD,1994)
Kompleks Hormon Reseptor selanjutnya menjalani reaksi aktivasi yang tergantung pada suhu serta garam dan reaksi ini akan mengakibatkan perubahan ukuran, bentuk, muatan permukaan yang membuat kompleks hormon tersebut mampu berikatan dengan kromatin pada inti sel. Kompleks hormon reseptor berikatan pada suatu regio spesifik DNA yang dinamakan unsur respon hormon/HRE dan membuat aktif dan inaktif gen spesifik. Dengan memberi pengaruh yang selektif pada transkripsi gen dan produksi masing-masing mRNA, pembentukan protein spesifik.Protein ini kemudian memperantarai respon hormon tiroid dan mempengaruhi proses metabolik Hormon tiroid dikenal sebagai modulator tumbuh kembang →penting pada usia balita. (Gambar 8. Murray Robert K, et al, 2000, Greenspan F S MD, Baxter J D MD,1994, Gilbert Hiram F, 2001 )
48 | P a g e
II.
Hipertiroidisme, Krisis Tiroid dan Tirotoksikosis I. Hipertiroidisme Menurut American Thyroid Association dan American Association of Clinical Endocrinologists, hipertiroidisme didefinisikan sebagai kondisi berupa peningkatan kadar hormon tiroid yang disintesis dan disekresikan oleh kelenjar tiroid melebihi normal (Bahn et al, 2011). Hipertiroidisme merupakan salah satu bentuk thyrotoxicosis atau tingginya kadar hormon tiroid, T4, T3 maupun kombinasi keduanya, di aliran darah. Peningkatan kadar hormon tiroid menyebabkan paparan berlebihan pada jaringan-jaringan tubuh yang menyebabkan munculnya berbagai manifestasi klinik yang terkait dengan fungsi hormon tiroid dalam berbagai proses metabolisme tubuh (Bartalena, 2011).
Faktor Risiko a. Terjadinya hipertiroidisme
Menurut Anonim (2008), faktor-faktor risiko seseorang untuk
terkena hipertiroidisme sebagai berikut: 1) Memiliki riwayat gangguan tiroid sebelumnya seperti goiter atau
pernah menjalani operasi kelenjar tiroid. 2) Memiliki riwayat penyakit autoimun seperti diabetes mellitus dan
gangguan hormonal. 3) Adanya riwayat gangguan tiroid di keluarga. 4) Mengkonsumsi iodine dalam jumlah berlebihan secara kronik. 5) Menggunakan obat-obatan yang mengandung iodine seperti
amiodarone. 6) Berusia lebih dari 60 tahun. b. Kambuh (relapse)
Terjadinya kekambuhan setelah pengobatan hipertiroidisme
terutama dengan obat antitiroid cukup tinggi dengan persentase 30 – 70% (Bartalena, 2011). Kekambuhan pada pasien hipertiroidisme dapat terjadi satu tahun setelah pengobatan dihentikan hingga bertahun-tahun setelahnya. Secara umum faktor-faktor risiko terjadi kekambuhan hipertiroidisme adalah sebagai berikut: 1) Berusia kurang dari 40 tahun. 2) Ukuran goiter tergolong besar. 3) Merokok.
49 | P a g e
4) Serum TSH-receptor Antibody (TSAb) masih terdeteksi di akhir
pengobatan dengan obat anti tiroid. 5) Faktor psikologis seperti depresi.
Etiologi Berdasarkan etiologinya hipertiroidisme dapat dibagi menjadi beberapa kategori, secara umum hipertiroidisme yang paling banyak ditemukan adalah Graves’ Disease, toxic adenoma, dan multinodular goiter. a. Graves’ Disease
Graves’ disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme karena sekitar 80% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh Graves’ disease. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia 20 – 40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga, dan adanya penyakit autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus tipe 1 (Fumarola et al, 2010). Graves’ disease merupakan gangguan autoimun berupa peningkatan kadar hormon tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid Kondisi ini disebabkan karena adanya thyroid stimulating antibodies (TSAb) yang dapat berikatan dan mengaktivasi reseptor TSH (TSHr). Aktivasi reseptor TSH oleh TSAb memicu perkembangan dan peningkakan aktivitas sel-sel tiroid menyebabkan peningkatan kadar hormon tiroid melebihi normal. TSAb dihasilkan melalui proses respon imun karena adanya paparan antigen. Namun pada Graves’ Disease sel-sel APC (antigen presenting cell) menganggap sel kelenjar tiroid sebagai antigen yang dipresentasikan pada sel T helper melalui bantuan HLA (human leucocyte antigen). Selanjutnya T helper akan merangsang sel B untuk memproduksi antibodi berupa TSAb. Salah satu faktor risiko penyebab timbulnya Graves’ Disease adalah HLA. Pada pasien Graves’ Disease ditemukan adanya perbedaan urutan asam amino ke tujuh puluh empat pada rantai HLA-DRb1. Pada pasien Graves’ Disease asam amino pada urutan ke tujuh puluh empat adalah arginine, sedangkan umumnya pada orang normal, asam amino pada urutan tersebut berupa glutamine (Jacobson et al, 2008). Untuk membantu menegakkan diagnosis pasien menderita Graves’ disease perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Menurut Baskin et al (2002), pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis Graves’ disease yaitu TSH serum, kadar hormon tiroid (T3 dan T4) total dan bebas, iodine radioaktif, scanning dan thyrotropin receptor antibodies (TRAb). Pada pasien Graves’ disease, kadar TSH ditemukan rendah disertai peningkatan kadar hormon tiroid. Dan pada pemeriksaan dengan iodine radioaktif ditemukan uptake tiroid yang melebihi normal. Sedangkan pada teknik scanning iodine terlihat menyebar di semua bagian kelenjar tiroid, dimana pola penyebaran iodine pada Graves’ disease berbeda pada hipertiroidisme lainnya. TRAb ditemukan hanya pada penderita Graves’ disease dan tidak ditemukan pada penyakit hipertiroidisme lainnya 50 | P a g e
sehingga dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis Graves’ Disease. Selain itu TRAb dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi dan tercapainya kondisi remisi pasien (Okamoto et al, 2006). Menurut Bahn et al (2011), terapi pada pasien Graves’ disease dapat berupa pemberian obat anti tiroid, iodine radioaktif atau tiroidektomi. Di Amerika Serikat, iodine radioaktif paling banyak digunakan sebagai terapi pada pasien Graves’ disease. Sedangkan di Eropa dan Jepang terapi dengan obat anti tiroid dan operasi lebih banyak diberikan dibandingkan iodine radioaktif. Namun demikian pemilihan terapi didasarkan pada kondisi pasien misalnya ukuran goiter, kondisi hamil, dan kemungkinan kekambuhan. Selain pemberian terapi di atas, pasien Graves’ disease perlu mendapatkan terapi dengan beta-blocker. Beta-blocker digunakan untuk mengatasi keluhan seperti tremor, takikardia dan rasa cemas berlebihan. Pemberian beta-blocker direkomendasikan bagi semua pasien hipertiroidisme dengan gejala yang tampak (Bahn et al, 2011).
b. Toxic Adenoma Pada pasien toxic adenoma ditemukan adanya nodul yang dapat memproduksi hormon tiroid. Nodul didefinisikan sebagai masa berupa folikel tiroid yang memiliki fungsi otonom dan fungsinya tidak terpengaruhi oleh kerja TSH (Sherman dan Talbert, 2008). Sekitar 2 – 9% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan karena hipertiroidisme jenis ini. Menurut Gharib et al (2007), hanya 3–7% pasien dengan nodul tiroid yang tampak dan dapat teraba, dan 20 – 76% pasien memiliki nodul tiroid yang hanya terlihat dengan bantuan ultra sound. Penyakit ini lebih sering muncul pada wanita, pasien berusia lanjut, defisiensi asupan iodine, dan riwayat terpapar radiasi. Pada pasien dengan toxic adenoma sebagian besar tidak muncul gejala atau manifestasi klinik seperti pada pasien dengan Graves’ disease. Pada sebagian besar kasus nodul ditemukan secara tidak sengaja saat dilakukan pemeriksaan kesehatan umum atau oleh pasien sendiri. Sebagian besar nodul yang ditemukan pada kasus toxic adenoma bersifat benign (bukan kanker), dan kasus kanker tiroid sangat jarang ditemukan. Namun apabila terjadi pembesaran nodul secara progresif disertai rasa sakit perlu dicurigai adanya pertumbuhan kanker. Dengan demikian perlu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap kondisi pasien untuk memberikan tatalaksana terapi yang tepat. Munculnya nodul pada tiroid lebih banyak ditemukan pada daerah dengan asupan iodine yang rendah. Menurut Paschke (2011), iodine yang rendah menyebabkan peningkatan kadar hidrogen peroksida di dalam kelenjar tiroid yang akan menyebabkan mutasi. Hal ini sesuai dengan Tonacchera dan Pinchera (2010), yang menyatakan pada penderita hipertiroidisme dengan adanya nodul ditemukan adanya mutasi pada reseptor TSH. 51 | P a g e
Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis toxic adenoma adalah pemeriksaan TSH, kadar hormon tiroid bebas, ultrasonography dan fineneedle aspiration (FNA). Pemeriksaan TSH merupakan pemeriksaan awal yang harus dilakukan untuk mengevaluasi fungsi kelenjar tiroid, serta perlu dilakukan pemeriksaan kadar hormon tiroid (T4 dan T3). Ultrasonography merupakan pemeriksaan yang menggunakan gelombang suara frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambar dan bentuk kelenjar tiroid. Dengan pemeriksaan ini dapat diidentifikasi bentuk dan ukuran kelenjar tiroid pasien. Sedangkan pemeriksaan dengan fine-needle aspiration digunakan untuk mengambil sampel sel di kelenjar tiroid atau biopsi. Dari hasil biopsi dengan FNA dapat diketahui apakah nodul pada pasien bersifat benign (non kanker) atau malignant (kanker) (Gharib et al, 2010). Tata laksana terapi bagi pasien hipertiroidisme akibat toxic adenoma adalah dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi. Sebelum dilakukan tindakan dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi pasien disarankan mendapat terapi dengan obat anti tiroid golongan thionamide hingga mencapai kondisi euthyroid (Bahn et al, 2011). Setelah terapi dengan iodine radioaktif dan tiroidektomi perlu dilakukan evaluasi setiap 1-2 bulan meliputi evaluasi kadar TSH, T4 bebas dan T3 total. Serta dilakukan tes ultrasonography untuk melihat ukuran nodul (Gharib et al, 2010).
c. Toxic Multinodular Goiter Selain Grave’s Disease dan toxic adenoma, toxic multinodular goiter merupakan salah satu penyebab hipertiroidisme yang paling umum di dunia. Secara patologis toxic multinodular goiter mirip dengan toxic adenoma karena ditemukan adanya nodul yang menghasilkan hormon tiroid secara berlebihan, namun pada toxic multinodular goiter ditemukan beberapa nodul yang dapat dideteksi baik secara palpasi maupun ultrasonografi. Penyebab utama dari kondisi ini adalah faktor genetik dan defisiensi iodine. Tatalaksana utama pada pasien dengan toxic multinodular goiter adalah dengan iodine radioaktif atau pembedahan. Dengan pembedahan kondisi euthyroid dapat tercapai dalam beberapa hari pasca pembedahan, dibandingkan pada pengobatan iodine radioaktif yang membutuhkan waktu 6 bulan.
d. Hipertiroidisme Subklinis Graves’ Disease, toxic adenoma, dan toxic multinodular goiter merupakan penyebab utama hipertiroidisme utama di seluruh dunia dan termasuk dalam jenis overt hyperthyroidism. Pada hipertiroidisme jenis ini, kadar TSH ditemukan rendah atau tidak terdeteksi disertai peningkatan kadar T4 dan T3 bebas (Bahn et al, 2011). Selain ketiga jenis di atas, sekitar 1% kasus hipertiroidisme disebabkan 52 | P a g e
hipertiroidisme subklinis. Pada hipertiroidisme sub klinis, kadar TSH ditemukan rendah disertai kadar T4 dan T3 bebas atau total yang normal. Menurut Ghandour (2011), 60% kasus hipertiroidisme subklinis disebabkan multinodular goiter. Pada pasien yang menderita hipertiroidisme subklinis dapat ditemukan gejala klinis yang tampak pada pasien overt hyperthyroidism. Menurut Bahn et al, 2011 prinsip pengobatan hipertiroidisme sub klinis sama dengan pengobatan overt hyperthyroidism.
PATOFISIOLOGI Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone (TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan thyroid-stimulating hormone (TSH) dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar pituitari anterior. Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya tirotoksikosis ini melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan pada 4 antigen dari kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase, simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH. Reseptor TSH inilah yang merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit ini. Kelenjar tiroid dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH dan berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan produksi hormon tiroid. Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan dari subkelas imunoglobulin (Ig)-G1. Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan TBG yang diperantarai oleh 3,5-cyclic adenosine monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga merangsang uptake iodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid. Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian. Diduga bahwa hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor alfa. Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis. Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori berikut ini telah diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid dilaporkan memiliki kadar hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien dengan tirotoksikosis tanpa komplikasi 53 | P a g e
meskipun kadar hormon tiroid total tidak meningkat. pengaktifan reseptor adrenergik adalah hipotesis lain yang muncul. Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan katekolamin merangsang sintesis hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan hormon tiroid meningkatkan kepadatan reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah efek katekolamin. Respon dramatis krisis tiroid terhadap beta-blockers dan munculnya krisis tiroid setelah tertelan obat adrenergik, seperti pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan mengapa beta-blockers gagal menurunkan kadar hormon tiroid pada tirotoksikosis. Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat terjadi pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar hormon tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama palpasi saat pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi radioactive iodine (RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk perubahan toleransi jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip katekolamin yang unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari hormon tiroid sebaai akibat kemiripan strukturnya dengan katekolamin.
Diagnosis Diagnosis hipertiroidisme ditegakkan tidak hanya berdasarkan gejala dan tanda klinis yang dialami pasien, tetapi juga berdasarkan hasil laboratorium dan radiodiagnostik. Menurut Ghandour dan Reust (2011), untuk menegakkan diagnosis hipertiroidisme, perlu dilakukan pemeriksaan kadar TSH serum, T3 bebas, T4 bebas, dan iodine radioaktif seperti pada gambar I.
54 | P a g e
II.
Krisis Tiroid
A. Definisi Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa dan ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf, dan sistem saluran cerna. Awalnya, timbul hipertiroidisme yang ketika jumlahnya menjadi sangat berlebihan, terjadi kumpulan gejala yang lebih berat, yaitu tirotoksikosis. Krisis tiroid dicetuskan oleh tindakan operatif, infeksi, atau trauma. B. Etiologi Etiologi krisis tiroid antara lain penyakit Graves, goiter multinodular toksik, nodul toksik, tiroiditis Hashimoto, tiroiditas deQuevain, karsinoma tiroid folikular metastatik, dan tumor penghasil TSH. Etiologi yang paling banyak menyebabkan krisis tiroid adalah penyakit Graves (goiter difus toksik). Meskipun tidak biasa terjadi, krisis tiroid juga dapat merupakan komplikasi dari operasi tiroid. Faktor pencetus lain termasuk: Trauma dan tekanan Infeksi, terutama infeksi paru-paru Pembedahan tiroid pada pasien dengan overaktivitas kelenjar tiroid Mengentikan obat-obatan yang diberikan pada pasien hipertiroidisme Dosis penggantian hormone tiroid yang terlalu tinggi Pengobatan dengan radioaktif yodium Kehamilan Serangan jantung atau kegawatdaruratan jantung C. Epidemiologi
Frekuensi Frekuensi tirotoksikosis dan krisis tiroid pada anak-anak tidak diketahui. Insiden tirotoksikosis meningkat sejalan dengan pertambahan usia. Tirotoksikosis mempengaruhi sebanyak 2% pada wanita yang lebih tua. Pada anak-anak frekuensinya kurang dari 5% dari semua kasus tirotoksikosis. Penyakit graves merupakan penyebab umum terjadinya tirotoksikosis pada anak-anak. Dan dilaporkan mempengaruhi 0,2-0,4% populasi anak dan remaja. Sekitar 1-2% neonatus yang lahir dari ibu dengan penyakit graves menderita tirotoksikosis.
Tingkat mortalitas dan morbiditas Krisis tiroid bersifat akut, merupakan kegawatdaruratan dan mengancam jiwa. Angka mortalitas pada dewasa sangat tinggi (90%) jika diagnosa dini tidak ditegakkan atau pada pasien yang telambat terdiagnosa. Dengan kontrol tirotoksikosis yang baik, dan pengelolaan krisis tiroid yang tepat, tingkat mortalitas pada dewasa berkurang hingga 20%.
Jenis kelamin Tirotoksikosis 3-5 kali lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki, khususnya pada dewasa muda. Krisis tiroid berpengaruh terhadap sebagian kecil persentase pasien
55 | P a g e
tirotoksikosis. Insiden ini lebih tinggi pada wanita. Namun tidak ada data spesifik mengenai insiden jenis kelamin tersebut.
Usia Tirotoksikosis pada neonatal terjadi 1-2% dari neonatus yang lahir dari ibu yang menderita graves disease. Bayi usia kurang dari 1 tahun hanya 1% yang menderita tirotoksikosis. Lebih dari dua per tiga dari semua kasus tirotoksikosis terjadi pada anak-anak berusia 10-15 tahun. Secara keseluruhan tirotoksikosis umumnya terjadi pada decade ke tiga dan ke empat kehidupan. Karena pada kanak-kanak, tirotoksikosis lebih mungkin terjadi pada remaja. Krisis tiroid lebih umum terjadi pada kelompok usia ini. Meskipun krisis tiroid dapat terjadi di segala usia.
D. Patofisiologi Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone (TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan thyroid-stimulating hormone (TSH) dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar pituitari anterior. Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya tirotoksikosis ini melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan pada 4 antigen dari kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase, simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH. Reseptor TSH inilah yang merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit ini. Kelenjar tiroid dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH dan berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan produksi hormon tiroid. Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan dari subkelas imunoglobulin (Ig)-G1. Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan TBG yang diperantarai oleh 3,’5′-cyclic adenosine monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga merangsang uptake iodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid. Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian. Diduga bahwa hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor alfa. Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis. Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori berikut ini telah diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid dilaporkan memiliki kadar hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien dengan tirotoksikosis tanpa komplikasi meskipun kadar hormon 56 | P a g e
tiroid total tidak meningkat. pengaktifan reseptor adrenergik adalah hipotesis lain yang muncul. Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan katekolamin merangsang sintesis hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan hormon tiroid meningkatkan kepadatan reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah efek katekolamin. Respon dramatis krisis tiroid terhadap beta-blockers dan munculnya krisis tiroid setelah tertelan obat adrenergik, seperti pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan mengapa beta-blockers gagal menurunkan kadar hormon tiroid pada tirotoksikosis. Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat terjadi pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar hormon tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama palpasi saat pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi radioactive iodine (RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk perubahan toleransi jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip katekolamin yang unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari hormon tiroid sebaai akibat kemiripan strukturnya dengan katekolamin. E. Gambaran klinis Riwayat penyakit dahulu pasien mencakup tirotoksikosis atau gejala-gejala seperti iritabilitas, agitasi, labilitas emosi, nafsu makan kurang dengan berat badan sangat turun, keringat berlebih dan intoleransi suhu, serta prestasi sekolah yang menurun akibat penurunan rentang perhatian. Riwayat penyakit sekarang yang umum dikeluhkan oleh pasien adalah demam, berkeringat banyak, penurunan nafsu makan dan kehilangan berat badan. Keluhan saluran cerna yang sering diutarakan oleh pasien adalah mual, muntah, diare, nyeri perut, dan jaundice. Sedangkan keluhan neurologik mencakup gejala-gejala ansietas (paling banyak pada remaja tua), perubahan perilaku, kejang dan koma. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan demam dengan temperatur konsisten melebihi 38,5oC. Pasien bahkan dapat mengalami hiperpireksia hingga melebihi 41oC dan keringat berlebih. Tandatanda kardiovaskular yang ditemukan antara lain hipertensi dengan tekanan nadi yang melebar atau hipotensi pada fase berikutnya dan disertai syok. Takikardi terjadi tidak bersesuaian dengan demam. Tanda-tanda gagal jantung antara lain aritmia (paling banyak supraventrikular, seperti fibrilasi atrium, tetapi takikardi ventrikular juga dapat terjadi). Sedangkan tanda-tanda neurologik mencakup agitasi dan kebingungan, hiperrefleksia dan tanda piramidal transien, tremor, kejang, dan koma. Tanda-tanda tirotoksikosis mencakup tanda orbital dan goiter. Karena tingkat mortalitas krisis tiroid amat tinggi, maka kecurigaan krisis saja cukup menjadi dasar mengadakan tindakan agresif. Kecurigaan akan terjadi krisis apabila terdapat triad :
Menghebatnya tanda tirotoksikosis Kesadaran menurun Hipertermia
F. Gambaran laboratoris 57 | P a g e
Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium atas tirotoksikosis. Pada pemeriksaan status tiroid, biasanya akan ditemukan konsisten dengan keadaan hipertiroidisme dan bermanfaat hanya jika pasien belum terdiagnosis sebelumnya. Hasil pemeriksaan mungkin tidak akan didapat dengan cepat dan biasanya tidak membantu untuk penanganan segera. Temuan biasanya mencakup peningkatan kadar T3, T4 dan bentuk bebasnya, peningkatan uptake resin T3, penurunan kadar TSH, dan peningkatan uptake iodium 24 jam. Kadar TSH tidak menurun pada keadaan sekresi TSH berlebihan tetapi hal ini jarang terjadi. Tes fungsi hati umumnya menunjukkan kelainan yang tidak spesifik, seperti peningkatan kadar serum untuk SGOT, SGPT, LDH, kreatinin kinase, alkali fosfatase, dan bilirubin. Pada analisis gas darah, pengukuran kadar gas darah maupun elektrolit dan urinalisis dilakukan untuk menilai dan memonitor penanganan jangka pendek. G. Penatalaksanaan Pengobatan harus segera diberikan,jangan tunda pengobatan jika dicurigai terjadinya krisis tiroid. Kalau mungkin dirawat di Intensiv Care Unit untuk mempermudah pemantauan tanda vital, untuk pemasangan monitoring invasive, pemberian obat-obat inotropik jika diperlukan. Penatalaksanaan krisis tiroid :
Perawatan suportif Atasi factor pencetus segera Koreksi gangguan cairan dan elektrolit Kompres atau pemberian antipiretik, asetaminofen lebih dipilih Atasi gagal jantung dengan oksigen, diuretik, dan digitalis.
Mengoreksi hipertiroidisme dengan cepat, dengan cara: a. Memblok sintesis hormone baru : PTU dosis besar (loading dose 600-1000mg) diikuti dosis 200 mg PTU tiap 4 jam dengan dosis sehari total 1000-1500 mg. atau dengan metimazol dosis 20 mg tiap 4 jam bisa tanpa atau dengan dosis inisial 60-100mg. b. Memblok keluarnya cikal bakal hormone dengan solusio lugol ( 10 tetes tiap 6-8 jam) atau SSKI ( Larutan Iodida jenuh, 5 tetes setiap 6 jam), diberikan 2 jam setelah pemberian PTU. Apabila ada, berikan endoyodin (NaI) IV, kalau tidak solusio lugol/SSKI tidak memadai c. Menghambat konversi perifer dari T4 menjadi T3 dengan propanolol, ipodat, penghambat beta dan/atau kortikosteroid. propanolol dapat digunakan, sebab disamping mengurangi takikardi juga menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer. Pemberian propanolol 6080mg tiap 6 jam per oral atau 1-3 mg IV. Pemberian hidrokortison dosis stress (100mg tiap
58 | P a g e
8 jam atau deksametason 2mg tiap 6 jam). Rasional pemberiannnya adalah karena defisiensi steroid relative akibat hipermetabolisme dan menghambat konversi perifer T4
Untuk antipiretik digunakan asetaminofen jangan aspirin ( aspirin akan melepas ikatan proteinhormon tiroid, hingga free hormone meningkat)
Mengobati factor pencetus (misalnya infeksi) dengan pemberian antibiotic bila diperlukan.
Respon pasien (klinis dan membaiknya kesadaran) umumnya terlihat dalam 24 jam, meskipun ada yang berlanjut hingga seminggu. Tujuan dari terapi medis yang diberikan adalah untuk memblokade efek perifer, inhibisis
sintesis hormone, blokade pelepasan hormone, dan pencegahan konversi T4 menjadi T3. Pemulihan keadaan klinis menjadi eutiroid dapat berlangsung hingga 8 minggu. Beta bloker mengurangi hiperaktivitas simpatetik dan mengurangi konversi perifer T4 menjadi T3.Guanetidin dan Reserpin juga dapat digunakan untuk memblokade simpatetik jika adanya kontraindikasi atau toleransi terhadap beta bloker. Iodide dan lithium bekerja memblokade pelepasan hormone tiroid. Thionamid mencegah sintesis baru hormone tiroid. a. Menghambat sintesis hormon tiroid Senyawa anti-tiroid seperti propylthiouracil (PTU) dan methimazole (MMI) digunakan untuk menghambat sintesis hormon tiroid. PTU juga menghambat konversi T4 menjadi T3 di sirkulasi perifer dan lebih disukai daripada MMI pada kasus-kasus krisis tiroid. Sedangkan MMI merupakan agen farmakoogik yang umum digunakan pada keadaan hipertiroidisme. Keduanya menghambat inkorporasi iodium ke TBG dalam waktu satu jam setelah diminum. Riwayat hepatotoksisitas atau agranulositosis dari terapi tioamida sebelumnya merupakan kontraindikasi kedua obat tersebut. PTU diindikasikan untun hipertiroidisme yang disebabkab oleh penyakit Graves. Laporan penelitian yang mendukungnya menunjukkan adanya peningkatan risiko terjadinya toksisitas hati atas penggunaan PTU dibandingkan dengan metimazol. Kerusakan hati serius telah ditemukan pada penggunaan metimazol pada lima kasus (tiga diantaranya meninggal). PTU sekarang dipertimbangkan sebagai terapi obat lini kedua kecuali pada pasien yang alergi atau intoleran terhadap metimazol atau untuk wanita dengan kehamilan trimester pertama. Penggunaan metimazol selama kehamilan dilaporkan menyebabkan embriopati, termasuk aplasia kutis, meskipun merupakan kasus yang jarang ditemui. Awasi secara ketat terapi PTU atas kemungkinan timbulnya gejala dan tanda kerusakan hati, terutama selama 6 bulan pertama setelah terapi dimulai. Untuk suspek kerusakan hati, hentikan bertahap terapi PTU dan uji kembali hasil pemeriksaan kerusakan hati dan berikan perawatan suportif. PTU tidak boleh digunakan pada pasien anak kecuali pasien alergi atau intoleran terhadap metimazol dan tidak ada lagi pilihan obat lain yang tersedia. Berikan edukasi pada pasien agar menghubungi dokter jika terjadi gejala-gejala berikut: kelelahan, kelemahan, nyeri perut, hilang nafsu makan, gatal, atau menguningnya mata maupun kulit pasien.
59 | P a g e
b. Menghambat sekresi hormon tiroid Setelah terapi anti-tiroid dimulai, hormon yang telah dilepaskan dapat dihambat dengan sejumlah besar dosis iodium yang menurunkan uptake iodium di kelenjar tiroid. Cairan lugol atau cairan jenuh kalium iodida dapat digunakan untuk tujuan ini. Terapi iodium harus diberikan setelah sekitar satu jam setelah pemberian PTU atau MMI. Perlu diketahui bahwa iodium yang digunakan secara tunggal akan membantu meningkatkan cadangan hormon tiroid dan dapat semakin meningkatkan status tirotoksik. Bahan kontras yang teiodinasi untuk keperluan radiografi, yaitu natrium ipodat, dapat diberikan untuk keperluan iodium dan untuk menghambat konversi T4 menjadi T3 di sirkulasi perifer. Kalium iodida dapat menurunkan aliran darah ke kelenjar tiroid dan hanya digunakan sebelum operasi pada tirotoksikosis. Pasien yang intoleran terhadap iodium dapat diobati dengan litium yang juga mengganggu pelepasan hormon tiroid. Pasien yang tidak dapat menggunakan PTU atau MMI juga dapat diobati dengan litium karena penggunaan iodium tunggal dapat diperdebatkan. Litium menghambat pelepasan hormon tiroid melalui pemberiannya. Plasmaferesis, pertukaran plasma, transfusi tukar dengan dialisis peritoneal, dan perfusi plasma charcoal adalah teknik lain yang digunakan untuk menghilangkan hormon yang berlebih di sirkulasi darah. Namun, sekarang teknik-teknik ini hanya digunakan pada pasien yang tidak merespon terhadap penanganan lini awal. Preparat intravena natrium iodida (diberikan 1 g dengan infus pelan per 8-12 jam) telah ditarik dari pasaran. c. Menghambat aksi perifer hormon tiroid Propranolol adalah obat pilihan untuk melawan aksi perifer hormon tiroid. Propranolol menghambat reseptor beta-adrenergik dan mencegah konversi T4 menjadi T3. Obat ini menimbulkan perubahan dramatis pada manifestasi klinis dan efektif dalam mengurangi gejala. Namun, propranolol menghasilkan respon klinis yang diinginkan pada krisis tiroid hanya pada dosis yang besar. Pemberian secara intravena memerlukan pengawasan berkesinambungan terhadap irama jantung pasien. Sekarang, esmolol merupakan agen beta-blocker aksi ultra-cepat yang berhasil digunakan pada krisis tiroid. Agen-agen beta-blocker non-selektif, seperti propranolol maupun esmolol, tidak dapat digunakan pada pasien dengan gagal jantung kongestif, bronkospasme, atau riwayat asma. Untuk kasus-kasus ini, dapat digunakan obat-obat seperti guanetidin atau reserpin. Pengobatan dengan reserpin berhasil pada kasus-kasus krisis tiroid yang resisten terhadap dosis besar propranolol. Namun, guanetidin dan reserpin tidak dapat digunakan pada dalam keadaan kolaps kardiovaskular atau syok. d. Penanganan suportif Terapi cairan dan elektrolit yang agresif diperlukan untuk mengatasi dehidrasi dan hipotensi. Keadaan hipermetabolik yang berlebihan dengan peningkatan transit usus dan takipnu akan membawa pada kehilangan cairan yang cukup bermakna. Kebutuhan cairan dapat meningkat menjadi 3-5 L per hari. Dengan demikian, pengawasan invasif disarankan pada pasien-pasien lanjut usia dan dengan gagal jantung kongestif. Agen yang meningkatkan tekanan darah dapat digunakan saat hipotensi menetap setelah penggantian cairan yang adekuat. Berikan pulan cairan intravena yang mengandung glukosa untuk mendukung kebutuhan gizi. Multivitamin, terutama vitamin B1, dapat ditambahkan untuk mencegah ensefalopati Wernicke. Hipertermia diatasi melalui aksi sentral 60 | P a g e
dan perifer. Asetaminofen merupakan obat pilihan untuk hal tersebut karena aspirin dapat menggantikan hormon tiroid untuk terikat pada reseptornya dan malah meningkatkan beratnya krisis tiroid. Spons yang dingin, es, dan alkohol dapat digunakan untuk menyerap panas secara perifer. Oksigen yang dihumidifikasi dingin disarankan untuk pasien ini. Penggunaan glukokortikoid pada krisis tiroid dikaitkan dengan peningkatan angka harapan hidup. Awalnya, glukokortikoid digunakan untuk mengobati kemungkinan insufisiensi relatif akibat percepatan produksi dan degradasi pada saat status hipermetabolik berlangsung. Namun, pasien mungkin mengalami defisiensi autoimun tipe 2 dimana penyakit Graves disertai oleh insufisiensi adrenal absolut. Glukokortikoid dapat menurunkanuptake iodium dan titer antibodi yang terstimulasi oleh hormon tiroid disertai stabilisasi anyaman vaskuler. Sebagai tambahan, deksametason dan hidrokortison dapat memiliki efek menghambat konversi T4 menjadi T3. Dengan demikian, dosis glukokortikoid, seperti deksametason dan hidrokortison, sekarang rutin diberikan. Meskipun seringkali muncul pada pasien lanjut usia, dekompensasi jantung juga dapat muncul pada pasien yang muda dan bahkan pada pasien tanpa penyakit jantung sebelumnya. Pemberian digitalis diperlukan untuk mengendalikan laju ventrikel pada pasien dengan fibrilasi atrium. Obat-obat anti-koagulasi mungkin diperlukan untuk fibrilasi atrium dan dapat diberikan jika tidak ada kontraindikasi. Digoksin dapat digunakan pada dosis yang lebih besar daripada dosis yang digunakan pada kondisi lain. Awasi secara ketat kadar digoksin untuk mencegah keracunan. Seiring membaiknya keadaan pasien, dosis digoksin dapat mulai diturunkan. Gagal jantung kongestif muncul sebagai akibat gangguan kontraktilitas miokardium dan mungkin memerlukan pengawasan dengan kateter Swan-Ganz. Keadaan hiperadrenergik telah dilaporkan pada pasien hipertiroid. Hilangnya tonus vagal selama tirotoksikosis dapat memicu iskemia miokardial transien dan pengawasan jangka panjang elektrokardiogram (EKG) dapat meningkatkan deteksi takiaritmia dan iskemia miokardial tersebut. Blokade saluran kalsium mungkin merupakan terapi yang lebih cocok dengan melawan efek agonis kalsium yang terkait hormon tiroid pada miokardium dan memperbaiki ketidakseimbangan simpatovagal. e. Efek samping Efek samping PTU yang pernah dilaporkan adalah perdarahan atau gusi mudah berdarah, kerusakan hati (anoreksia, pruritus, nyeri perut kanan atas, peningkatan kadar transaminase hingga tiga kali nilai normal), infeksi (terjadi akibat agranulositosis), pruritus hingga dermatitis eksfoliatif, vaskulitis maupun ulkus oral vaskulitik, dan pioderma gangrenosum. Meskipun termasuk rekomendasi D, beberapa pendapat ahli masih merekomendasikan bahwa obat ini harus tetap dipertimbangkan sebagai lini pertama terapi penyakit Graves selama kehamilan. Risiko kerusakan hati serius, seperti gagal hati dan kematian, telah dilaporkan pada dewasa dan anak, terutama selama enam bulan pertama terapi. Agranulositosis adalah efek samping yang jarang terjadi pada penggunaan obat anti-tiroid dan merupakan etiologi atas infeksi yang didapat dari komunitas dan mengancam jiwa pasien yang menggunakan obat-obat ini. Manifestasi klinis yang sering muncul adalah demam (92%) dan sakit tenggorokan (85%). Diagnosis klinis awal biasanya adalah faringitis akut (46%), tonsilitis akut (38%), pneumonia (15%) dan infeksi saluran kencing (8%). Kultur darah positif untuk Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Capnocytophaga 61 | P a g e
species. Kematian disebabkan oleh infeksi yang tidak terkendali, krisis tiroid dan gagal organ yang multipel. Basil Gram negatif, seperti Klebsiella pneumoniae dan P. aeruginosa, merupakan patogen yang paling sering ditemui pada isolat klinis. Antibiotik spektrum luas dengan aktifitas antipseudomonas harus diberikan pada pasien dengan agranulositosis yang disebabkan oleh obat antitiroid yang menampilkan manifestasi klinis infeksi yang berat. H. Komplikasi Komplikasi dapat ditimbulkan dari tindakan bedah, yaitu antara lain hipoparatiroidisme, kerusakan nervus laringeus rekurens, hipotiroidisme pada tiroidektomi subtotal atau terapi RAI, gangguan visual atai diplopia akibat oftalmopati berat, miksedema pretibial yang terlokalisir, gagal jantung dengan curah jantung yang tinggi, pengurangan massa otot dan kelemahan otot proksimal.1 Hipoglikemia dan asidosis laktat adalah komplikasi krisis tiroid yang jarang terjadi. Sebuah kasus seorang wanita Jepang berusia 50 tahun yang mengalami henti jantung satu jam setelah masuk rumah sakit dilakukan pemeriksaan sampel darah sebelumnya. Hal yang mengejutkan adalah kadar plasma glukosa mencapai 14 mg/dL dan kadar asam laktat meningkat hingga 6,238 mM. Dengan demikian, jika krisis tiroid yang atipik menunjukkan keadaan normotermi hipoglikemik dan asidosis laktat, perlu dipertimbangkan untuk menegakkan diagnosis krisis tiroid lebih dini karena kondisi ini memerlukan penanganan kegawatdaruratan. Penting pula untuk menerapkan prinsip-prinsip standar dalam penanganan kasus krisis tiroid yang atipik. I. Prognosis Krisis tiroid dapat berakibat fatal jika tidak ditangani. Angka kematian keseluruhan akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-20% tetapi terdapat laporan penelitian yang menyebutkan hingga 75%, tergantung faktor pencetus atau penyakit yang mendasari terjadinya krisis tiroid. Dengan diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan baik. J. Pencegahan Pencegahan dilakukan dengan melakukan terapi tirotoksikosis yang ketat setelah diagnosis ditegakkan. Operasi dilakukan pada pasien tirotoksik hanya setelah dilakukan blokade hormon tiroid dan/atau beta-adrenergik. Krisis tiroid setelah terapi RAI untuk hipertiroidisme terjadi akibat: 1) penghentian obat anti-tiroid (biasanya dihentikan 5-7 hari sebelum pemberian RAI dan ditahan hingga 5-7 hari setelahnya); 2) pelepasan sejumlah besar hormon tiroid dari folikel yang rusak; dan 3) efek dari RAI itu sendiri. Karena kadar hormon tiroid seringkali lebih tinggi sebelum terapi RAI daripada setelahnya, banyak para ahli endokrinologi meyakini bahwa penghentian obat anti-tiroid merupakan penyebab utama krisis tiroid. Satu pilihannya adalah menghentikan obat anti-tiroid (termasuk metimazol) hanya 3 hari sebelum dilakukan terapi RAI dan memulai kembali obat dalam 3 hari setelahnya. Pemberian kembali obat anti-tiroid yang lebih dini setelah terapi RAI dapat menurunkan efikasi terapi sehingga memerlukan dosis kedua. Perlu pula dipertimbangkan pemeriksaan fungsi tiroid sebelum prosedur operatif dilakukan pada pasien yang berisiko mengalami hipertiroidisme (contohnya, pasien dengan sindroma McCune-Albright).
62 | P a g e
III. Tirotoksikosis Definisi Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis dari kelebihan hormone tiroid yang beredar didalam sirkulasi.sedangkan hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif.tirotoksikosis dapat dengan atau tanpa hipertiroidisme. Etiologi 1. Ikatan T3 dengan reseptor T3 inti yang makin penuh. 2. Rangsangan TSH sehingga aktivitas kelenjar tiroid meningkat 3. Destruksi kelenjar akibat radang atau inflamasi, radiasi menyebabkan kerusakna sel sehingga hormone yang tersimpan didalam folikel keluar ke dalam darah. 4. Konsumsi hormone tiroid yang berlebihan Dapat disimpulkan bahwa penyebab diatas adalah Autoimun, radang, dan tumor dan penyakit tersering yang menyebabkan tirotoksikosis adalah 70% disebabkan grave dan sisanya adalah gondok multinoduler, adenoma toksik. Gejala dan Tanda Gejala dan tanda Hipertiroidisme umumnya dan pada penyakit grave Sistem Umum
Gejala dan tanda 1. Tak tahan hawa panas
Sistem Psikis dan Saraf
Gejala dan tanda 1. Labil
2. Hiperkinesis
2. Tremor
3. Cape
3. Psikosis
4. BB menurun
4. Iritabel
5. Tumbuh cepat
5. Nervositas
6. Toleransi obat
6. Paralisis
7. Youthfulness
7. Periodic dispneu
8. Hiperdefekasi 9. Lapar dan haus 10. Makan banyak
Gastrointestinal
1. Disfagia
Jantung
1. Hipertensi
2. Muntah
2. Aritmia
3. Splenomegali
3. Palpitasi 4. Gagal jantung
63 | P a g e
1. Rasa lemah
Muskular
Genitourinaria
1. Oligomenoria
Darah Dan
1. Limfositosis
Limfatik
2. Anemia
Skelet
1. Leher membesar
2. Amenorea
2. Osteoporosis
3. Libido turun
3. Epifisis cepat
4. Infertile
menutup dan
5. ginekomastia
nyeri pada tulang
1. Rambut rontok
Kulit
2. Berkeringat 3. Kulit basah 4. Silky hair 5. onikolisis
IV.
Tirotoksikosis dan Hipertiroidisme
Perlu dibedakan antara pengertian tirotoksikosis dengan hipertiroidisme. Tirotoksikosis ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar di sirkulasi. Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif Hipertiroidisme Primer
Tirotoksikosis
tanpa Hipertiroidisme Sekunder
Hipertiroidisme Penyakit Graves
Hormon
tiroid
berlebih TSH-secreting
(tirotoksikosis faktisia) Gondok multinodula toksis
tumor
secreting tumor
Tiroiditis subakut (viral atau De Tirotoksoikosis Quervain
(trimester pertama)
Adenoma toksik
Silent thyroiditis
Resistensi hormon tiroid
Obat : Yodium lebih, litium
Destruksi kelenjar : amiodaron
Karsinoma tiroid
l-131, radiasi, adenoma, infark
Struma ovarii (ektopik) Mutasi TSH-r, Gs a
64 | P a g e
chGH
gestasi
Gejala serta tanda hipertiroidisme umumnya dan pada penyakit Graves Sistem
Gejala dan Tanda
Umum
Tak tahan hawa panas, Psikis
Labil, iritabel, tremor, psikosis,
hiperkinesis, capek, BB dan saraf
nervositas,
turun, toleransi obat
dispneu
Gastrointestinal Lapar, haus,
makan muntah
Sistem
Gejala dan Tanda
banyak, Jantung
Hipertensi,
disfagia,
gagal jantung
paralisis
periodik
aritmia,
palpitasi,
splenomegali Muskular
Rasa lemah
Darah
Limfositosis,
anemia,
dan
splenomegali, leher membesar
Limfatik Genitourinaria
Oligomenorea, amenorea, Skelet
Osteoporosis,
libido
menutup dan nyeri tulang
turun,
infertil,
ginekomasti Kulit
Rambut
rontok,
berkeringat, kulit basah, silky hair, onikolisis
65 | P a g e
epifisis
cepat
III. Anatomi dan histologi kelenjar tiroid Kelenjar tiroid terdiri atas dua lobus yang berada di kanan dan kiri trakea anterior dan dihubungkan oleh suatu ismus. Ismus kelenjar tiroid terletak tepat di bawah kartilago tiroid, dipertengahanan antara apeks kartilago tiroid (Adam’s Apple) dan insisura suprasternum. Berat kelenjar pada orang normal, seperti yang ditentukan oleh pemeriksaan ultrasonik, bervariasi tergantung pada asupan iodin dari makanan, umur dan berat badan, tetapi pada orang dewasa beratnya sekitar 15-25 g (Jurnal,2000,Greenspan F S MD, Baxter J D MD,1994 ). Pada sekitar 48 % orang , lobus kanan dari kelenjar tirois ini didapati lebih besar dari kiri, sedang pada 12 % orang didapati lobus kiri lebih besar dari kanan. (Gambar 1) (The Medicine Journal, 2000) Kelenjar tiroid mempunyai suplai darah yang kaya. Aliran darah ke kelenjar tiroid adalah sekitar 5 ml/g/menit dan pada penderita hipertiroidisme aliran darah ke kelenjar ini meningkat dengan nyata, dan suatu suara siulan atau bruit pada permukaan kutub bawah dari kelenjar.( Greenspan F S MD, Baxter J D MD, 1994 ) GAMBAR 1. Anatomi kelenjar tiroid
66 | P a g e
Pada pemeriksaan mikroskopis, kelenjar tiroid terdiri dari rangkaian folikel dengan ukuran yang bervariasi. Sel-sel folikel ini menjadi kolumner jika dirangsang oleh TSH dan gepeng saat istirahat. Sel-sel folikel mensintesis tiroglobulin, yang dikeluarkan ke dalam lumen folikel. Biosintesis T4 dan T3 berlangsung di dalam tiroglobulin pada interaksi sel koloid. Banyak mikrovili menonjol dari permukaan folikel dalam lumen, mikrovili ini berperan dalam endositosis dari tiroglobulin, yang kemudian dihidrolisis dalam sel untuk melepaskan hormon tiroid . Gambar 2. (The Medicine Journal, 2000, Greenspan F S MD, Baxter J D MD, 1994, Illingworth J, Dr )
V.
GAMBAR 2. Tiroglobulun sintesis hormon tiroid
Histologi Unit struktural daripada tiroid adalah folikel, yang tersusun rapat, berupa ruangan bentuk bulat yang dilapisi oleh selapis sel epitel bentuk gepeng, kubus sampai kolumnar. Konfigurasi dan besarnya sel-sel folikel tiroid ini dipengaruhi oleh aktivitas fungsional daripada kelenjar tiroid itu sendiri. Bila kelenjar dalam keadaan inaktif, sel-sel folikel menjadi gepeng dan akan menjadi kubus atau kolumnar bila kelenjar dalam keadaan aktif. Pada keadaan hipertiroidism, sel-sel folikel menjadi kolumnar dan sitoplasmanya terdiri dari vakuol-vakuol yang mengandung koloid. Folikel-folikel tersebut mengandung koloid, suatu bahan homogen eosinofilik. Variasi densiti dan warna daripada koloid ini juga memberikan gambaran fungsional yang signifikan; koloid eosinofilik yang tipis berhubungan dengan aktivitas fungsional, sedangkan koloid eosinofilik yang tebal dan banyak dijumpai pada folikel dalam keadaan inaktif dan beberapa kasus keganasan. Pada keadaan yang belum jelas diketahui penyebabnya, sel-sel folikel ini akan berubah menjadi sel-sel yang besar dengan 67 | P a g e
sitoplasma banyak dan eosinofilik, kadang-kadang dengan inti hiperkromatik, yang dikenal sebagai oncocytes (bulky cells) atau Hürthle cells.
68 | P a g e
VI.
KERANGKA KONSEP
69 | P a g e
VII.
KESIMPULAN Nn. SS 22 tahun menderita Grave disease dengan komplikasi akut krisis tiroid yang dipicu oleh infeksi.
70 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA Guyton dan Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran (Edisi 9). Jakarta : EGC. Hamdan, H. 2013. (Online, http://hamdan-hariawan-fkp13.web.unair.ac.id/artikel_detail88249askep%20endokrinaskep%20kri sis%20tiroid.html, diakses pada 2 Januari 2014). Mescher, Anthony L. 2011. Histologi Dasar Junqueira edisi 12. Jakarta : EGC. Misra
M, Singhal A, Campbell D. Thyroid http://emedicine.medscape.com/article/394932-print.
storm.
Available
at:
Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M. 2003. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Schraga ED. Hyperthyroidism , thyroid storm , and Graves disease. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/324556-print. Tim Penyusuan Panduan Skill Lab Blok 3.1. 2011. PENUNTUN SKILLS LAB, Edisi Ke-1. Padang : Fakultas Kedokteran Universitas Andalas [Online] (diakes dalam http://repository.unand.ac.id/15476/4/Penuntun_Skill_Lab_3.pdf pada 1 Januari 2014) Kamus Kedokteran Dorland. 2011. Jakarta: EGC. Murray R K, et al. Harper’s Biochemistry 25th ed. Appleton & Lange. America 2000: 545 - 552 Greenspan F S MD, Baxter J D MD. Basic and Clinical Endocrinology 4th.1994, 206 - 289 Thyroid Gland: An Overview. Geneeskunde The Medicine Journal – November /Desember Illingwort J, Dr. Thyroid hormone, Thermoregulation and Basal Metabolic Rate. /Google Image Result for http--www_bmb_leeds_ac_uk-teaching-icu3-lecture-23-.html Satyanarayana U,Dr. Biochemistry. Books And Allied (P) Ltd, Calcutta. 2002. 485 - 489 Gilbert Hiram F, Basic Concepts in Biochemistry 2nd. McGraw-Hill5. 2001: 126 -130
71 | P a g e
View more...
Comments