laporan skenario 2 geriatri
March 19, 2017 | Author: Nurlatifah Febriana | Category: N/A
Short Description
Download laporan skenario 2 geriatri...
Description
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Geriatri merupakan lanjut usia (lebih dari 60 tahun) dengan penyakit kronik. Dalam penanganan masalah pada geriatri dibutuhkan suatu penatalaksanaan yang holistik, dimana karakteristik penyakit pada pasien geriatri multifaktorial dan gejala penyakit tersebut tidak khas. Berikut kasus dalam skenario 2 blok Geriatri: Eyang Karto, usia 75 tahun, dibawa ke dokter oleh putrinya, karena ngompol sejak 3 bulan, dan diikuti ngobrok selama 2 minggu. Sering marah – marah, dan tidak bisa tidur, sehingga sering minum obat tidur. Sejak istri penderita wafat, dia tinggal dengan putrinya. Dalam melakukan aktifitas sehari– hari harus dibantu. Dua tahun yang lalu, penderita dirawat akibat stroke. Pemeriksaan neurologi ekstremitas superior dan inferior sinistra kekuatannya menurun (3+/3+). Hasil rectal toucher dan USG didapatkan prostat tidak membesar. Dokter melakukan pemeriksaan indeks barthel. Penderita juga dilakukan pemeriksaan psikiatri.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah fisiologi dari proses miksi dan defekasi? 2. Bagaimanakah patofisiologi dari gejala yang dialami oleh pasien? 3. Bagaimanakah fisiologi tidur dan patofisiologi dari gangguan tidur? 4. Bagaimanakah pendekatan psikogeriatri dalam kasus ini? 5. Apakah hubungan dari stroke yang pernah diderita dengan gejala saat ini? 6. Bagaimanakah hubungan dari konsumsi obat tidur dengan kejadian saat ini? 7. Bagaimanakah
pemeriksaan
interpretasinya untuk kasus ini?
1
Indeks
Barthel
dan
bagaimana
8. Apakah hubungan factor usia dengan gejala yang dialami? 9. Apakah makna klinis tidak didapatkannya pembesaran prostat? 10. Bagaimana
prosedur
pemeriksaan
neurologis
dan
bagaimana
interpretasi hasil pemeriksaan pada pasien? 11. Bagaimanakah penatalaksanaan pasien dalam kasus ini?
C. Tujuan Mahasiswa diharapkan mampu: 1. Menjelaskan fisiologi dari proses miksi dan defekasi. 2. Menjelaskan patofisiologi dari gejala yang dialami oleh pasien. 3. Menjelaskan fisiologi tidur dan patofisiologi dari gangguan tidur. 4. Menjelaskan pendekatan psikogeriatri dalam kasus ini. 5. Menjelaskan hubungan dari stroke yang pernah diderita dengan gejala saat ini. 6. Menjelaskan hubungan dari konsumsi obat tidur dengan kejadian saat ini. 7. Menjelaskan
pemeriksaan
Indeks
Barthel
dan
bagaimana
interpretasinya untuk kasus ini. 8. Menjelaskan hubungan faktor usia dengan gejala yang dialami. 9. Menjelaskan makna klinis tidak didapatkannya pembesaran prostat. 10. Menjelaskan prosedur pemeriksaan neurologis dan bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan pada pasien 11. Menjelaskan penatalaksanaan pasien dalam kasus ini.
D. Manfaat Mahasiswa memahami : 1. Fisiologi dari proses miksi dan defekasi. 2. Patofisiologi dari gejala yang dialami oleh pasien. 3. Fisiologi tidur dan patofisiologi dari gangguan tidur. 4. Pendekatan psikogeriatri dalam kasus ini. 5. Hubungan dari konsumsi obat tidur dengan kejadian saat ini.
2
6. Pemeriksaan Indeks Barthel dan bagaimana interpretasinya untuk kasus ini. 7. Hubungan faktor usia dengan gejala yang dialami. 8. Makna klinis tidak didapatkannya pembesaran prostat. 9. Prosedur pemeriksaan neurologis dan bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan pada pasien 10. Penatalaksanaan pasien dalam kasus ini.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Stroke 1. Definisi Stroke Definisi stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah tandatanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler. 2. Klasifikasi Stroke diklasifikasikan sebagai berikut (Goetz, 2007): a. Berdasarkan kelainan patologis 1) Stroke hemoragik a) Perdarahan intra serebral b) Perdarahan ekstra serebral (subarakhnoid) 2) Stroke non-hemoragik (stroke iskemik, infark otak, penyumbatan) a) Stroke akibat trombosis serebri b) Emboli serebri c) Hipoperfusi sistemik b. Berdasarkan waktu terjadinya 1) Transient Ischemic Attack (TIA) 2) Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND) 3) Stroke In Evolution (SIE) / Progressing Stroke 4) Completed stroke c. Berdasarkan lokasi lesi vaskuler 1) Sistem karotis a.
Motorik : hemiparese kontralateral, disartria
b. Sensorik : hemihipestesi kontralateral, parestesia c. Gangguan visual : hemianopsia homonim kontralateral, amaurosis fugaks d. Gangguan fungsi luhur : afasia, agnosia
4
2) Sistem vertebrobasiler a. Motorik : hemiparese alternans, disartria b. Sensorik : hemihipestesi alternans, parestesia c. Gangguan lain : gangguan keseimbangan, vertigo, diplopia 3. Faktor Risiko Stroke Secara garis besar faktor risiko stroke dibagi atas faktor risiko yang dapat dimodifikasi (modifiable) dan yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable). Faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah hipertensi, penyakit jantung (fibrilasi atrium), diabetes melitus, merokok, konsumsi alkohol, hiperlipidemia, kurang aktifitas, dan stenosis arteri karotis. Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin, ras/suku, dan faktor genetic. Diabetes mellitus juga merupakan faktor yang signifikan dan terjadi pada 10% pasien stroke. Keadaan ini dihubungkan dengan terjadinya atherosklerosis intrakranial. (Goetz, 2007; Ropper dan Brown, 2005)
B. Inkontinensia Urin 1. Fisiologi dan patofisiologi diuresis Proses berkemih berlangsung dibawah control dan koordinasi sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi di daerah sakrum. Sensasi pertama ingin berkemih timbul saat volume kandung kemih atau vesica urinaria (VU) mencapai antara 150-350 ml. Kapasitas VU normal bervariasi sekitar 300-600 ml (Pranarka, 2000). Bila proses berkemih terjadi, otot-otot detrusor VU berkontraksi, diikuti relaksasi dari sfingter dan uretra. Tekanan dari otot detrusor meningkat melebihi tahanan dari muara uretra dan urin akan memancar keluar (Van der Cammen dkk, Reuben dkk dalam Pranarka, 2000). Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah control volunter dan disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak (Setiati dan Pramantara, 2007). Proses berkemih diatur oleh pusat refleks kemih di daerah sakrum. Jaras aferen lewat persarafan somatik dan otonom membawa informasi tentang isi VU
5
ke medulla spinalis sesuai pengisian VU (Pranarka, 2000). Ketika VU mulai terisi urin, rangsang saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medulla spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan cerebellum) menyebabkan VU relaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian VU berlanjut, rasa penggembungan VU disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontalis) bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin (Setiati dan Pramantara, 2007). Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang dari korteks disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian menyebabkan otot detrusor berkontraksi. Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik, namun juga mengandung reseptor prostaglandin. Karena itu, prostaglandin-inhibiting drugs dapat mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi VU juga calcium-channel dependent, karena itu calcium-channel blockers dapat mengganggu kontraksi VU. Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot (Setiati dan Pramantara, 2007). Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Karena itu, pengobatan dengan agonis adrenergik-alfa (pseudoefedrin) dapat memperkuat kontraksi sfingter, sedangkan zat alpha-blocking dapat mengganggu penutupan sfingter. Inervasi adrenergik-beta merelaksasi sfingter uretra. Karena itu zat beta-adrenergic blocking (propanolol) dapat mengganggu dengan menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktifitas kontraktil adrenergicalpha (Setiati dan Pramantara, 2007). Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang tepat antara uretra dan VU. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada posisi yang tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra di posisi yang tepat, urin tidak akan pada saat terdapat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen (Setiati dan Pramantara, 2007).
6
Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh berbagai refleks pada pusat berkemih. Pada fase pengisian, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher VU, relaksasi dinding VU, serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatik pada otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher VU. Proses refleks ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum. Peranan korteks serebri adalah menghambat, sedangkan batak otak dan supra spinal memfalisitasi (Setiati dan Pramantara, 2007). 2. Proses menua dan inkontinensia urin Usia lanjut bukan sebagai penyebab inkontinensia urin, namun prevalensi inkontinensia urin meningkat seiring dengan peningkatan usia karena semakin banyak munculnya faktor risiko (Setiati dan Pramantara, 2007). Faktor-faktor risiko yang mendukung terjadinya inkontinensia terkait dengan pertambahan usia adalah (Pranarka, 2000):
Mobilitas sistem yang lebih terbatas karena menurunnya pancaindera, kemunduran sistem lokomosi.
Kondisi-kondisi medik yang patologik dan berhubungan dengan pengaturan urin misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kongestif.
3. Etiologi inkontinensia urin Penyebab inkontinensia urin dibedakan menjadi (Pranarka, 2000): a. Kelainan urologik; misalnya radang, batu, tumor, divertikel. b. Kelainan neurologik; misalnya stroke, trauma pada medulla spinalis, demensia dan lain-lain. c. Lain-lain; misalnya hambatan motilitas, situasi tempat berkemih yang tidak memadai/jauh, dan sebagainya. Menurut onsetnya, inkontinensia dibagi menjadi (Kane, Reuben dalam Pranarka, 2000): a. Inkontinensia akut, biasanya reversibel, terkait dengan sakit yang sedang diderita atau masalah obat-obatan yang digunakan (iatrogenik).
7
Inkontinensia akan membaik bila penyakit akut yang diderita sembuh atau jika obat-obatan dihentikan. Penyebab inkontinensia akut disingkat dengan akronim DRIP, yang merupakan kependekan dari (Kane dkk. dalam Pranarka, 2000): D : Delirium R
: Retriksi, mobilitas, retensi
I
: Infeksi, inflamasi, impaksi feses
P
: Pharmacy (obat-obatan), poliuri Golongan obat yang menjadi penyebab inkontinensia urin akut
termasuk diantaranya adalah obat-obatan hipnotik-sedatif, diuretik, antikolinergik, agonis dan antagonis alfa-adrenergik, dan calcium channel blockers. Inkontinensia urin akut terutama pada laki-laki sering berkaitan dengan retensi urin akibat hipertrofi prostat. Skibala dapat mengakibatkan obstruksi mekanik pada bagian distal VU, yang selanjutnya menstimulasi kontraksi otot detrusor involunter (Setiati dan Pramantara, 2007). b. Inkontinensia persisten/kronik/menetap, tidak terkait penyakit akut atau obat-obatan. Inkontinensia ini berlangsung lama. Inkontinensia persisten dibagi menjadi beberapa tipe, masingmasing dapat terjadi pada satu penderita secara bersamaan. Inkontinensia persisten dibagi menjadi 4 tipe, yaitu (Pranarka, 2000): 1) Tipe stress Keluarnya urin diluar pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah sedikit, akibat peningkatan tekanan intra-abdominal. Hal ini terjadi karena terdapat kelemahan jaringan sekitar muara VU dan uretra. Sering pada wanita, jarang pada pria karena predisposisi hilangnya pengaruh estrogen dan sering melahirkan disertai tindakan pembedahan. 2) Tipe urgensi Pengeluaran urin diluar pengaturan berkemih yang normal, biasanya jumlah banyak, tidak mampu menunda berkemih begitu sensasi penuhnya VU diterima oleh pusat berkemih. Terdapat gangguan pengaturan rangsang dan instabilitas dari otot detrusor VU. Inkontinensia
8
tipe ini didapatkan pada gangguan SSP misalnya stroke, demensia, sindrom Parkinson, dan kerusakan medulla spinalis. 3) Tipe luapan (overflow) Ditandai dengan kebocoran/keluarnya urin, biasanya jumlah sedikit, karena desakan mekanik akibat VU yang sudah sangat teregang. Penyebab umum inkontinensia tipe ini antara lain: -
Sumbatan akibat hipertrofi prostat, atau adanya cystocele dan penyempitan jalan keluar urin.
-
Gangguan kontraksi VU akibat gangguan persarafan misalnya pada diabetes mellitus. 4) Tipe fungsional Keluarnya urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai
tempat berkemih karena gangguan fisik atau kognitif maupun bermacam hambatan situasi/lingkungan yang lain, sebelum siap untuk berkemih. Faktor psikologik seperti marah, depresi juga dapat menyebabkan inkontinensia tipe ini. 4. Terapi Pengelolaan inkontinensia pada penderita lanjut usia, secara garis besar dapat dikerjakan sebagai berikut: a.
Program rehabilitasi antara lain
- Melatih respons VU agar baik lagi -
Melatih perilaku berkemih
-
Latihan otot-otot dasar panggul
-
Modifikasi tempat untuk berkemih (urinal, komodo)
b. Obat-obatan Terapi dengan menggunakan obat-obatan diberikan apabila masalah akut sebagai pemicu timbulnya inkontinensia urin telah diatasi dan berbagai upaya bersifat nonfarmakologis telah dilakukan tetapi tetap tidak berhasil mengatasi inkontinensia tersebut. Pemberian obat disesuaikan dengan tipe inkontinensia urinnya. c. Pembedahan
9
Pembedahan merupakan pilihan terakhir untuk inkontinensia yang tidak berhasil diatasi dengan perilaku, obat-obatan, ataupun dengan alat bantu. Dapat juga merupakan pilihan penderita sendiri, walaupun hampir semua penderita tidak menyukai tindakan pembedahan. Beberapa tindakan pembedahan seperti spincterectomi, operasi prostat atau operasi pada prolaps rahim d. Kateterisasi,
baik
secara
berkala
(intermitten)
atau
menetap
(indwelling) e. Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia.
C. Inkontinensia Alvi 1. Fisiologi defekasi Defekasi seperti pada berkemih merupakan proses fisiologis yang menyertakan kerja otot, persarafan sentral dan perifer, serta koordinasi sistem refleks. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik colon yang membawa feses yang sudah terbentuk ke rectum untuk dikeluarkan. Feses yang masuk dan meregangkan ampulla recti akan merangsang sistem saraf otonom sehingga terjadi kontraksi rectum dan relaksasi musculus sphingter ani interna. Untuk menghindari pengeluaran feses secara spontan, terjadi kontraksi musculus sphingter ani externa dan otot dasar pelvis secara volunteer yang diinnervasi nervus pudendus. Korteks cerebri menerima rangsang keinginan untuk BAB dan musculus sphingter ani externa diperintahkan untuk relaksasi sehingga rectum dapat mengeluarkan feses melalui anus dengan dibantu kontraksi otot dinding abdomen (Sudoyo et al., 2009). 2. Inkontinensia alvi Inkontinensia alvi adalah ketidakmampuan untuk mengontrol BAB sehingga feses secara tidak sengaja keluar dari rectum. Inkontinensia alvi menjadi peristiwa yang tidak menyenangkan berkaitan dengan usia lanjut dan lebih jarang ditemukan dibandingkan inkontinensia urin. Bentuk klinis
10
dari inkontinensia alvi tampak dalam 2 keadaan yaitu feses cair atau belum terbentuk dan feses yang sudah terbentuk keluar. Menurut Sudoyo et al. (2009), penyebab inkontinensia alvi yaitu: a. Konstipasi Konstipasi sering dijumpai pada usia lanjut dan menjadi penyebab utama inkontinensia alvi. Konstipasi yang lama menyebabkan sumbatan dari feses yang mengeras (skibala) pada lumen anus. Hal ini menyebabkan perubahan sudut anorektal. Kemampuan sensor menurun dan tidak bias membedakan antara flatus, cairan, atau feses sehingga feses cair merembes keluar. Selain itu, skibala mengakibatkan iritasi pada mukosa rectum sehingga mukus diproduksi yang selanjutnya dapat keluar dari anus. Penyebab konstipasi dapat diketahui dengan meraba skibala melalui pemeriksaan rectal toucher (colok dubur). b. Simtomatik Inkontinensia alvi simtomatik merupakan manifestasi klinis kelainan patologis yang menyebabkan diare. Penyebab diare yang mengakibatkan inkontinensia alvi antara lain gastroenteritis, diverticulitis, kolitis, dan karsinoma kolon-rektum. c. Neurogenik Inkontinensia alvi neurogenik terjadi akibat gangguan pada fungsi menghambat dari korteks cerebri saat distensi pada rectum. Penyakit serebrovaskuler, infark cerebri, dan demensia dapat menjadi kausa. Gambaran klinis yang didapatkan yaitu penemuan feses yang sudah terbentuk di tempat tidur, dan biasanya setelah minum panas atau makan. Komplikasi inkontinensia alvi yang dapat terjadi antara lain: a. Terjadi distress emosional Perasaan malu, marah, dan depresi dapat terjadi pada lansia sehingga dapat menyebabkan gangguan fungsi sosial seperti isolasi diri. b. Iritasi kulit Kontak berulang dari skibala pada anus dapat menyebabkan iritasi pada kulit sekitar anus yang dapat menjadi ulkus.
11
3. Terapi Terapi inkontinensia alvi dilakukan sesuai tipe inkontinensia alvinya a.
Inkontinensia alvi akibat konstipasi Dilakukan pemberian diet tinggi serat, cairan yang cukup, dan
meningkatkan mobilitas. Berbagai kelainan juga perlu dicari.Efek samping obat yang membuat konstipasi juga perlu dikoreksi bila diberikan dengan tidak tepat. Terakhir dapat diberikan obat pencahar yang akan menambah volume feses, melunakkan dan melicinkan permukaan feses sehingga mudah dikeluarkan. b.
Inkontinensia alvi simtomatik Pengelolaannya dengan menemukan kelainan penyebabnya, bila tidak
bisa diobati dengan cara tersebut, diberi obat yang menyebabkan konstipasi. c.
Inkontinensia alvi neurogenik Dilakukan pengeluaran feses dengan cara penderita didudukan di
komodo, ditutup kain sampai sebatas lutut, diberi minuman hangat, dan ditunggu sampai fesesnya keluar. Bila tidak berhasil, diberikan obat-obat konstipasi, diikuti evaluasi dengan suposituria satu atau dua kali seminggu. d. Inkontinensia alvi akibat hilangnya refleks anal Pengelolaan diserahkan pada ahli proktologi.
D. Fisiologi Tidur Berdasarkan prosesnya, terdapat dua jenis tidur. Pertama, jenis tidur yang disebabkan menurunnya kegiatan di dalam sistem pengaktivasi retikularis atau disebut dengan tidur gelombang lambat karena gelombang otaknya sangat lambat atau disebut tidur non rapid eye movement (NREM). Kedua, jenis tidur yang disebabkan oleh penyaluran isyaratisyarat abnormal dari dalam otak meskipun kegiatan otak mungkin tidak tertekan secara disebut dengan jenis tidur paradoks atau tidur rapid eye movement (REM). a.
Tidur gelombang lambat / non rapid eye movement (NREM)
12
Jenis tidur ini dikenal dengan tidur yang dalam. Istirahat penuh, dengan gelombang otak yang lebih lambat, tidur nyenyak. Ciri-ciri tidur nyenyak adalah menyegarkan, tanpa mimpi atau tidur dengan gelombang delta. Ciri lainnya berada dalam keadaan istirahat penuh, tekanan darah menurun, frekuensi napas menurun, pergerakan bola mata melambat, mimpi berkurang, metabolisme turun. Tahapan tidur jenis NREM 1) Stadium 0 adalah periode dalam keadaan masih bangun tetapi mata menutup. Fase ini ditandai dengan gelombang voltase rendah, cepat, 8-12 siklus per detik. Tonus otot meningkat. Aktivitas alfa menurun dengan meningkatnya rasa kantuk. Pada fase mengantuk terdapat gelombang alfa campuran. 2) Stadium 1 disebut onset tidur. Tidur dimulai dengan stadium NREM. Stadium 1 NREM adalah perpindahan dari bangun ke tidur. Ia menduduki sekitar 5% dari total waktu tidur. Pada fase ini terjadi penurunan aktivitas gelombang alfa (gelombang alfa menurun kurang dari 50%), amplitudo rendah, sinyal campuran, predominan beta dan teta, tegangan rendah, frekuensi 4-7 siklus per detik. Aktivitas bola mata melambat, tonus otot menurun, berlangsung sekitar 3-5 menit. Pada stadium ini seseorang mudah dibangunkan dan bila terbangun merasa seperti setengah tidur. 3) Stadium 2 ditandai dengan gelombang EEG spesifik yaitu didominasi oleh aktivitas teta, voltase rendah-sedang, kumparan tidur dan kompleks K. Kumparan tidur adalah gelombang ritmik pendek dengan frekuensi 12-14 siklus per detik. Kompleks K yaitu gelombang tajam, negatif, voltase tinggi, diikuti oleh gelombang lebih lambat, frekuensi 2-3 siklus per menit, aktivitas positif, dengan durasi 500 mdetik. Tonus otot rendah, nadi dan tekanan darah cenderung menurun. Stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur dangkal. Stadium ini menduduki sekitar 50% total tidur.
13
4) Stadium 3 ditandai dengan 20%-50% aktivitas delta, frekuensi 12 siklus per detik, amplitudo tinggi, dan disebut juga tidur delta. Tonus otot meningkat tetapi tidak ada gerakan bola mata. 5) Stadium 4 terjadi jika gelombang delta lebih dari 50%. Stadium 3 dan 4 sulit dibedakan. Stadium 4 lebih lambat dari stadium 3. Rekaman EEG berupa delta. Stadium 3 dan 4 disebut juga tidur gelombang lambat atau tidur dalam. Stadium ini menghabiskan sekitar 10%-20% waktu tidur total. Tidur ini terjadi antara sepertiga awal malam dengan setengah malam. Durasi tidur ini meningkat bila seseorang mengalami deprivasi tidur. Tidur REM ditandai dengan rekaman EEG yang hampir sama dengan tidur stadium 1. Pada stadium ini terdapat letupan periodik gerakan bola mata cepat. Refleks tendon melemah b. Tidur paradoks / rapid eye movement (REM) Tidur jenis ini dapat bcrlangsung pada tidur malam yang terjadi selama 5 - 20 menit, rata-rata timbul 90 menit. Periode pertama terjadi 80100 menit, akan tetapi apabila kondisi orang sangat lelah maka awal tidur sangat cepat bahkan jemis tidur ini tidak ada. Ciri tidur REM adalah sebagai berikut: 1. Biasanya disertai dengan mimpi aktif. 2. Lebih sulit dibangunkan daripada selama tidur nyenyak. 3. Tonus otot selama tidur nyenyak sangat tertekan, menunjukkan inhibisi kuat proyeksi spinal atas sistcm pengaktivasi retikularis. 4. Frekuensi jantung dan pernapasan menjadi tidak teratur. 5. Pada otot perifer terjadi beberapa gerakan otot yang tidak teratur. 6. Mata cepat tertutup dan terbuka, nadi cepat dan tidak teratur, tekanan darah meningkat atau berfluktuasi, sekresi gaster meningkat. Tidur ini penting untuk keseimbangan mental, emosi, juga berperan dalam belajar, memori, dan adaptasi. E. Gangguan Tidur Pada Usia Lanjut
14
Akibat penting dari penelitian dinamik untuk tidur adalah deskripsi yang lebih sistematik dari gangguan tidur. Klasifikasi oleh Association of Sleep Disorder Centers pada tahun 1999 dianggap komprehensif dan bermanfaat secara praktis. Gangguan tidur yang berat pada usia lanjut dibagi menjadi : 1.
Gangguan memulai dan mempertahankan tidur (disorders of initiating and maintaining sleep = DIMS)
2.
Gangguan mengantuk berlebihan (disorders of excessive somnolence = DOES)
3.
Gangguan siklus tidur – jaga (disorders of the sleep – wake cycle)
4.
Perilaku
tidur
abnormal
(abnormal
sleep
behaviour,
parasomnias) Gangguan memulai dan mempertahankan tidur atau insomnia berkaitan dengan gangguan klinik sebagai berikut : 1.
Apnea tidur, terutama apnea tidur sentral
2.
Mioklonus yang berhubungan dengan tidur berjalan,
gerakan mendadak pada tingkat yang berulang, stereotipik, unilateral atau bilateral, keluhan berupa “tungkai gelisah” (restless leg), tungkai kaku waktu malam, neuropatia atau miopatia dan defisiensi asam folat dan besi. 3.
Berbagai konflik emosional dan stress merupakan penyebab
psikofisiologik dari insomnia. 4.
Gangguan psikiatrik berat terutama depresi seringkali
menimbulkan bangun terlalu pagi dan dapat bermanifestasi sebagai insomnia dan hipersomnia. Depresi endogen berkaitan dengan onset dini dari tidur REM dan dapat diperbaiki secara dramatis dengan obat antidepresan. 5.
Keluhan penyakit-penyakit organik, misalnya nyeri karena
arthritis, penyakit keganasan, nocturia, penyakit hati atau ginjal dan sesak napas dapat mengakibatkan bangun berulang pada tidur malam. 6.
Sindrom otak organik yang kronik seringkali menimbulkan
insomnia. Penyakit Parkinson terganggu tidurnya 2-3 jam. Pasien
15
Alzheimer sering terbangun tengah malam dan dapat menimbulkan eksitasi paradoksikal. 7.
Zat seperti alkhohol dan obat kortikosteroid, teofilin dan
beta-blockers dapat menginterupsi tidur. Pengobatan dengan stimulansia dan gejala lepas zat hipnotika dan sedativa perlu diperhatikan untuk gangguan tidur. Gangguan mengantuk berlebihan ditandai dengan mengantuk patologis yang diselingi dengan kegiatan selama jaga. Beratnya mengantuk, onsetnya yang tidak sesuai dengan waktu dan gangguan pada kegiatan merupakan penilaian klinik yang penting. Apnea obstruktif dan mioklonus pada waktu malam dapat menimbulkan hipersomnolensia. Efek obat, terutama efek sisa obat hipnotika merupakan penyebab yang sering untuk hipersomnolensia. Obat-obat lain yang mengakibatkan tidur berlebihan adalah anthistamin, obat psikotropika, metildopa dan antidepresan jenis trisikliik. Demikian pula kondisi-kondisi seperti postinfeksi, keletihan dan sindrom otak kronik. Gangguan siklus tidur – jaga memendek dengan makin bertambahnya usia. Bangun lebih pagi dan cepat mengantuk pada malam hari merupakan hal yang wajar bagi usia lanjut. Pasien depresi mengeluh tidurnya kurang pulas dan mudah sekali terbangun oleh adanya perubahan suhu pada dini hari, sinar dan suara-suara hewan di pagi hari. Tidur REM lebih cepat datangnya sehingga biasanya mengalami mimpi-mimpi yang tidak menyenangkan. Berbeda dengan pasien depresi, pasien dengan anxietas lebih lama masuk tidur, sukar bangun pagi dan mimpi-mimpi menakutkan. Parasomnia merupakan perilaku tidur abnormal yang kadang-kadang terjadi pada usia lanjut yaitu kebingungan pada malam hari (nactural confusion), jalan sambil tidur, gangguan kejang, dekompensasi penyakit kardiovaskuler, mengompol dan reflux gastro-esophagus.
16
F. Psikogeriatri 1. Pengertian: Psikogeriatri merupakan suatu pendekatan integrative adaptasi di kemudian hari. Dengan demikian , masalah dan perkembangan kehidupan selanjutnya harus dilihat dari bio-psiko-perspektif sosial-ekonomi, spiritual, lingkungan, psikologis, dan faktor biologis. Gejala penyakit psikogeriatri harus di pahami dengan mempertimbangkan gejala tertentu, kepribadian individu, sosial dan lingkungan budaya, dan reaksi psikologis individu peristiwa kehidupan tertentu. 2. Ciri-ciri pasien Geriatri dan Psikogeriatri, yaitu: a. Keterbatasan fungsi tubuh, dengan makin meningkatnya usia. b. Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degenerative. c. Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila : 1) Ketergantungan pada orang lain 2) Mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan d. Hal yang menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis) sehingga membawa lansia kearah
kerusakan
/
kemerosotan
(deteriorisasi) yang progresif terutama aspek psikologis yang mendadak. Misal : panik, bingung, apatis dan depresif biasanya berasal dari stressor psikososial yang berat : kematian pasangan hidup dan keluarga, berurusan dengan hukum dan trauma psikis. 3. Masalah di Bidang Psikogeriatri a. Kesepian (loneliness) Biasanya
dialami
oleh
seseorang
lanjut
usia
pada
saat
meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri saat itu juga mengalami berbagai penurunan status kesehatan, misalnya menderita berbagai penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran. Pada penderita kesepian ini peran dari organisasi sosial sangat berarti, karena bisa bertindak menghibur, memberikan motivasi untuk lebih meningkatkan peran sosial penderita, di samping memberikan bantuan pengerjaan
17
pekerjaan di rumah bila menang terdapat disabilitas penderita dalam halhal tersebut. b. Duka cita (bereavement) Periode duka cita merupakan suatu periode yang sangat rawan bagi seseorang penderita lanjut usia. Meninggalnya pasangan hidup, seorang teman dekat bisa mendadak memutuskan ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang lansia, yang akan memicu gangguan fisik dan kesehatannya. Periode 2 tahun pertama setelah ditinggal mati pasangan hidup merupakan periode yang rawan. Periode ini orang tersebut justru harus dibiarkan untuk dapat mengekspresikan duka citanya tersebut. Sering diawali dengan perasaan kosong, kemudian diikuti dengan ingin menangis dan kemudian suatu episode depresi. Depresi akibat duka cita pada lansia biasanya tidak bersifat self limiting. Petugas kesehatan harus memberi
kesempatan
pada
episode
tersebut
berlalu
diperlukan
pendamping yang dengan penuh empati mendengarkan keluhan, memberikan hiburan dimana perlu atau tidak membiarkan tiap episode berkepanjangan dan berjalan terlalu berat. Apabila upaya diatas tidak berhasil, bahkan timbul depresi berat, konsultasi psikiatrik mungkin diperlukan, dengan kemungkinan diberikan obat anti depresan. c. Depresi Secara epidemologik, di negara barat depresi dikatakan terdapat 15-20% populasi usia lanjut di masyarakat. Insidensi bahkan lebih tinggi pada lansia yang ada di institusi. Di Asia angkanya jauh lebih rendah. Keadaan ini diduga karena terdapat faktor sosio-kultural-religi yang berpengaruh positif. Hadi martoyo hanya mendapatkan angka 2,3% dari penderita lansia yang dirawat di bangsal geriatric akut yang menderita depresi. Depresi bukan merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh patologi tunggal, tetapi biasanya bersifat multifaktorial. Pada usia lanjut, dimana stres lingkungan sering menyebabkan depresi dan kemampuan beradaptasi sudah menurun, akibat depresi pada usia lanjut seringkali tidak sebaik pada usia muda.
18
Anamnesis merupakan hal yang sangat penting dalam diagnosis depresi dan harus diarahkan pada pencarian terjadinya berbagai perubahan dari fungsi terdahulu, dan terdapatnya 5 atau lebih gejala depresi mayor seperti disebutkan pada definisi depresi diatas. Aloanamnesis dengan keluarga atau informan lain bisa sangat membantu. Gejala depresi pada usia lanjut seiring hanya berupa apatis dan penarikan diri dari aktivitas sosial, gangguan memori, perhatikan serta memburuknya kognitif secara nyata. Tanda disfori atau sedih yang jelas seringkali tidak terdapat. Seringkali sukar untuk mengorek adanya penurunan perhatian dari hal-hal yang sebelumnya disukai, penurunan nafsu makan, aktivitas atau sukar tidur. Depresi pada usia lanjut seringkali kurang atau tidak terdiagnosis karena hal-hal : 1) Penyakit fisik yang diderita seringkali mengacaukan gambaran depresi, antara lain mudah lelah dan penurunan berat badan. 2) Golongan lanjut usia seringkali menutupi rasa sedihnya dengan justru menunjukkan bahwa dia lebih aktif. 3) Kecemasan, obsesionalitas, hysteria dan hipokondria yang sering merupakan gejala depresi justru sering menutupi depresinya. Penderita dengan hipokondria, misalnya justru sering dimasukkan ke bangsal penyakit dalam atau bedah (misalnya karena diperlukan penelitian untuk konstipasi dan lain sebagainya). 4) Masalah sosial yang juga diderita seringkali membuat gambaran depresi menjadi lebih rumit.
G. Pengkajian Kemampuan Fungsional pada Geriatri 1. Definisi Kemampuan fungsional adalah suatu bentuk pengukuran kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari – hari secara mandiri. Penentuan kemampuan fungsional dapat mengidentifikasi kemampuan dan
19
keterbatasan klien sehingga memudahkan pemilihan intervensi yang tepat.(Siti Maryam, 2008). Beberapa sistem penilaian yang dikembangkan dalam pemeriksaan kemampuan fungsional, tersebut antara lain indeks Barthel yang dimodifikasi, indeks katz, indeks Kenny self-care, dan indeks activity daily living(ADL) 2. Jenis – jenis pengkajian kemampuan fungsional a. Indeks Barthel yang dimodifikasi. Penilaian didasarkan pada tingkat bantuan orang lain dalam meningkatkan aktivitas fungsional. Penilaian meliputi makan, berpindah tempat, kebersihan diri, aktivitas di toilet, mandi, berjalan di jalan datar, naik turun tangga, berpakaian, mengontrol defekasi, mengontrol berkemih. Cara penilaiannya antara lain : Makan, jika memerlukan bantuan di beri nilai 5 dan jika mandiri 10. Berpindah dari kursi roda ketempat tidur dan sebaliknya termasuk duduk di tempat tidur ,Jika memerlukan bantuan di beri nilai 5-10 dan jika mandiri 15. kebersihan diri(mencuci muka ,menyisir, mencukur, menggosok gigi) Jika memerlukan bantuan di beri nilai 0 dan jika mandiri 5. Aktivitas di toilet(mengelap, menyemprot) Jika memerlukan bantuan di beri nilai 5 dan jika mandiri 10. Mandi, Jika memerlukan bantuan di beri nilai 0 dan jika mandiri 5.Berjalan dijalan yang datar, Jika memerlukan bantuan di beri nilai 10 dan jika mandiri 15. Naik turun tangga, Jika memerlukan bantuan di beri nilai 5 dan jika mandiri 10. Berpakaian termasuk menggunakan sepatu, Jika memerlukan bantuan di beri nilai 5 dan jika mandiri 10. Mengontrol defekasi, Jika memerlukan bantuan di beri nilai 5 dan jika mandiri 10. Mengontrol berkemih, Jika memerlukan bantuan di beri nilai 5 dan jika mandiri diberi nilai 10. Dengan penilaian: 0-20 : ketergantungan penuh 21-61 : ketergantungan berat/sangat tergantung 62-90 : ketergantungan moderat 91-99 : ketergantungan ringan
20
100 : mandiri. b. Indeks Katz Pengkajian menggunakan indeks kemandirian katz untuk aktivitas kehidupan sehari – hari yang berdasarkan pada evaluasi fungsi mandiri atau bergantung dari klien dalam hal: makan,kontinen (BAB/BAK), berpindah, ke kamar mandi, mandi dan berpakaian. Index Katz adalah pemeriksaan disimpulkan dengan system penilaian yang didasarkan pada tingkat bantuan orang lain dalam melakukan aktifitas fungsionalnya. Salah satu keuntungan dari alat ini adalah kemampuan untuk mengukur perubahan fungsi aktivitas dan latihan setiap waktu, yang diakhiri evaluasi dan aktivitas rehabilisasi. Pengukuran pada kondisi ini meliputi Indeks Katz. (Pudjiastuti, 2003). c. Indeks Kenny self – care Gugus tugas pada evaluasi ini merupkan pertimbangan untuk menilai sarat minimal kemandirian individu di rumah atau tempat lain dengan lingkungan terbatas. Hal yang dinilai meliputi tujuh kategori yaitu aktivitas di tempat tidur(bergeser di tempat tidur, bangun dan duduk), Berpindah (duduk, berdiri), ambulasi (berjalan , naik turun tangga, penggunaan kursi roda), berpakaian (anggota atas dan trunk bagian atas), hygiene (wajah, rambut, anggota atas, Trunk, anggota bawah), defekasi, berkemih, makan, dengan skala penilaian : 0
: ketergantungan penuh
1
: perlu bantuan banyak
2
: perlu bantuan sedang
3
: perlu bantuan minimal/ pengawasan
4
: mandiri penuh
Hasil kemandirian merupakan jumlah rata-rata tiap bidang kemampuan (Pudjiastuti, 2003). d. Index Activity Daily Living (ADL). Indeks
ADL menilai
aktivitas
fungsional
dalam
16
bidang
kemampuan, yaitu : berpindah dari lantai ke kursi, berpindah dari kursi ke
21
tempat tidur, berjalan dalam ruangan, berjalan diluar, naik tangga, tangga, berpakaian, mencuci, mandi, menggunakan toilet, kontrol defekasi dan berkemih,
berhias,
menyikat
gigi,
menyiapkan
minum
teh/kopi,
menggunakan kran, dan makan. Skala penilaian adalah 1(dapat melakukan tanpa bantuan), nilai 2 (dapat melakukan dengan bantuan), nilai 3(tidak dapat melakukan). (Pudjiastuti, 2003).
H. Pemeriksaan Neurologis Ekstremitas: Pemeriksaan Motorik Evaluasi sistem motorik dibagi menjadi : -
posisi tubuh
-
gerakan involunter
-
tonus otot
-
kekuatan otot Lesi UMN (upper motor neuron) ditandai oleh: kelemahan, kekakuan
(spasticity), hiper refleks, refleks primitif (meliputi grasp, suck,snout reflex). Lesi LMN (lower motor neuron ditandai oleh kelemahan, hipotonus, hiporefleksi, atrofi dan fasikulasi. Fasikulasi adalah gerakan halus otot dibawah kulit dan menandakan adanya LMN. Fasikulasi disebabkan oleh denervasi pada seluruh motor unit yang diikuti oleh hiper sensitif terhadap asetilcolin pada otot yang mengalami denervasi. Atrofi otot yang timbul biasanya bersamaan dengan fasikulasi. Fibrilasi adalah kontraksi spontan pada serabut otot secara individu sehingga tidak teramati oleh mata telanjang. Catatan posisi tubuh dinilai pada posisi duduk di meja pemeriksaan. Paralisis atau kelemahan/ kelumpuhan tampak pada posisi tubuh abnormal. Lesi di sentral biasanya menyebabkan kelemahan/ kelumpuhan yang lebih besar pada otot ekstensor daripada otot fleksor di ekstremitas superior, sebaliknya pada ektremitas inferior kelemahan/ kelumpuhan lebih besar pada otot fleksor. Berikut ini pemerikaan tic, tremor dan fasikulasi. Penilaian untuk tiap kelompok otot: 1: Penampakan otot (wasted, highly developed, normal) 2: Adanya tonus otot (flaccid, clonic, normal) 3: Periksa kekuatan kelompok otot:
22
0: Tidak ada kontraksi otot 1 : Kontraksi halus yang teraba saat paien berusaha kontraksi 2 : Pasien mampu gerak aktif ketika tidak melawan gravitasi 3 : Pasien mampu melawan gravitasi, tapi tidak mampu terhadap tahanan ringan dari pemeriksa 4 : Pasien mampu melawan tahanan ringan dari pemeriksa 5 : Pasien mampu melawan tahanan yang lebih berat dari pemeriksa Normal Beberapa klinisi membagi lagi dalam sub dengan: menambah +/- menjadi 3+, atau 5Dimulai dari deltoid, minta pasien untuk mengangkat ledua lengan atas ke anterior simultan dengan tahanan yang diberikan pemeriksa. Bandingkan kanan dan kiri. m. Deltoid disarafi oleh C5 melalui N. Axillaris.Pasien ekstensi antebrachium dan anterofleksi seperti membawa nampan (supinasi). Pasien memejamkan mata dan bertahan dalam posisi tersibut selama 10 hitungan. Normalnya pasien mampu bertahan. Bila ada kelemahan ekstremitas superior, maka akan pronasi (pronator drift) dan jatuh. Pronator drift merupakan indikator kelumpuhan/ kelemahan UMN. Pada UMN otot supinator ekstemitas superior lebih lemah dari pronator, sehingga cenderung pronasi. Tes ini juga baik untuk menguji konsistensi interna, sebab pasien yang pura-pura akan selalu menjatuhkan tangan tanpa disertai pronasi. Pemeriksaan kekuatan fleksi lengan bawah dilakukan dengan memegang pergelangan tangan dan memberi tahanan pada penderita dari sisi atas, pasien diminta untuk fleksi lengan bawah. Hasil dibandingkan dengan lengan yang lain. Tes ini untuk memeriksa m. biseps brachii yang disarafi oleh C5&6 melalui N musculocutaneus. Pasien diminta untuk ekstensi lengan bawah melawan tahan yang diberikan pemeriksa. Dimulai dari posisi fleksi maksimal, kemudian dibandingkan dengan sisi kontra lateral. Tes ini untuk memeriksa m. triseps brachii yang disarafi oleh C6&7 melalui nervus radialis.
23
Pada pemeriksaan kekuatan ekstensi tangan pasien diminta ekstensi pergelangan tangan melawan tahanan dari pemeriksa. Bandingkan dengan sisi kontralateral. Tes ini untuk memeriksa otot ekstensor lengan bawah yang disarafi oleh C6&7 melalui N radialis. N radialis merupakan saraf otot extensor lengan, mensarafi semua otot ekstensor pada lengan atas dan lengan bawah. Pada pemeriksaan tangan pasien, cari atrofi otot intrinsik, thenar, hipothenar.Genggaman pasien diperiksa dengan meminta penderita menggenggam jari pemeriksa sekuatnya dan tidak melepas genggaman saat memeriksa mencoba menarik jarinya. Normal pemeriksa tidak dapat menarik jari dari genggaman pasien. Bandingkan dengan sisi kontra lateral. Tes ini untuk memeriksa kekuatan otot fleksor lengan bawah dan otot intrinsik tangan. Otot fleksor jari disarafi oleh C8 melalui N medianus. Periksalah otot intrinsik tangan sekali lagi, dengan meminta pasien abduksi pada semua jari dan melawan tekanan/ tahanan pemeriksa. Normal pasien dapat menahan tekanan pemeriksa. Otot abduksi jari disarafi oleh T1 melalui N ulnaris. Periksalah kekuatan oposisi ibujari dengan meminta pasien menyentuhkan ujung
ibujari
dengan
jari
jelunjuknya
sendiri
dan
melawan
tahanan
pemeriksa.bandingkan dengan sisi kontra lateral. Oposisi ibujari disarafi oleh C8&T1 melalui N. medianus. Lanjutkan pemeriksaan pada tungkai Periksalah fleksi sendi panggul. Pasien dalam posisi berbaring. Mintalah pasien mengangkat tungkai dengan fleksi sendi panggul melawan tahanan pemeriksa. Bandingkan dengan sisi kontra lateral. Tes ini memeriksa m. Iliopsoas. Fleksi panggul disarafi olef L2&3 melalui N femoralis. Periksalah adduksi tungkai dengan meletakkan tangan pemeriksa pada sisi dalam paha dan mintalah penderita untuk adduksi kedua tungkai. Adduksi tungkai disarafi oleh L2,3 dan 4. Periksalah abduksi tungkai dengan meletakkan tangan pemeriksa pada sisi luar paha dan mintalah penderita untuk abduksi kedua tungkai. Abduksi tungkai disarafi oleh L4,5dan S1
24
Periksalah ekstensi panggul dengan meminta pasien menekan tungkai kebawah melawan tahanan tangan pemeriksa yang ada di bawah tungkai. Bandingkan dengan sisi kontra lateral. Tes ini memeriksa m. gluteus maksimus. Ekstensi panggul disarafi oleh L4&5 melalui N. gluteus Periksalah ekstensi lutut dengan meletakkan tangan pemeriksa di bawah lutut dan pergelangan kaki, mintalah pasien ektensi lutut melawan tahan pemeriksa, bandingkan dengan sisi kontra lateral. Tes ini memeriksa m. quadriseps femoris. Ekstensi lutut oleh m. quadriseps dan disarafi oleh L3&4 melalui N femoralis Periksalah fleksi lutut dengan memegang lutut dan memberikan tahanan pada pergelangan kaki. Mintalah pasien menarik tumit kearah pantat sekuat mungkin (fleksi) melawan tahanan pemeriksa. Bandingkan dengan sisi kontra lateal. Tes ini memeriksa otot hamstring, yang disarafi oleh L5 &S1 melalui N.sciatica. Periksalah dorsofleksi dengan meminta pasien dorsofleksi kaki sekuat mungkin melawan tahanan pemeriksa. Bandingkan sisi kontra lateral. Tes ini memeriksa kompartemen anterior cruris. Dorsofleksi kaki disarafi oleh L4&5 melalui N peroneus. Periksalah plantar fleksi dengan meminta pasien plantar fleksi sekuat mungkin melawan tahanan pemeriksa. Bandingkan dengan sisi kontra lateral. Tes ini memeriksa m. gastroknemius dan soleus di kompartemen posterior cruris. Plantar fleksi disarafi oleh S1&2 melalui N. tibialis Mintalah pasien ekstensi ibu jari kaki melawan tahanan pemeriksa. Tes ini memeriksa m. ekstensor halucis longus yang disarafi oleh L5. Pasien dengan kelainan otot primer (seperti: polymiositis), kelainan pada neuromuscula junction (miastenia gravis), biasanya kelemahan/ kelumpuhan berkembang pada kelompok otot proksimal. Kelemahan terberat pada otot gelang panggul dan gelang bahu. Kelemahan ini tampak/ manifes pada kesulitan saat berdiri dari kursi tanpa bantuan otot lengan. Pasien biasanya mengeluh kesulitan keluar dari mobil, atau sulit menyisir rambut.
25
BAB III PEMBAHASAN
Eyang Karto, usia 75 tahun, dibawa ke dokter oleh putrinya, karena ngompol sejak 3 bulan dan diikuti ngobrok selama 2 minggu. Sering marahmarah dan tidak bisa tidur, sehingga sering minum obat tidur. Dua tahun yang lalu, penderita dirawat akibat stroke. Ngompol atau istilah medisnya sering disebut sebagai inkontinensia urin. Inkontinensia merupakan pengeluaran urin atau feses tanpa disadari, dalam jumlah dan frekuensi yang cukup untuk mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau sosial. Inkontinensia urin merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia. Seperti halnya dengan keluhan pada suatu penyakit bukan merupakan diagnosis, sehingga perlu dicari penyebabnya. Inkontinensia urin dapat disebabkan oleh beberapa kelainan, antara lain: a. Kelainan urologik; misalnya radang, batu, tumor, divertikel. b. Kelainan neurologik; misalnya stroke, trauma pada medulla spinalis, demensia dan lain-lain. c. Lain-lain; misalnya hambatan motilitas, situasi tempat berkemih yang tidak memadai/ jauh, dan sebagainya. Dijelaskan bahwa dua tahun yang lalu, pasien sempat dirawat akibat stroke. Stroke merupakan salah satu penyebab terjadinya inkontinensia urin. Riwayat stroke menjelaskan bahwa pasien pernah mengalami gangguan di daerah otak. Pengaturan sistem berkemih diatur oleh jaras peryarafan dibawah koordinasi pusat pada batang otak, otak kecil, dan korteks serebri. Apabila terdapat gangguan stroke, hal tersebut menyebabkan gangguan pengaturan koordinasi pusat untuk rangsangan dan pengaturan berkemih. Selain itu, stroke menyebabkan kelumpuhan (immobilitas), penurunan sensoris untuk rangsang kemih dan defekasi, dan gangguan kognitif dalam mengenal rumah sehingga semakin memicu terjadinya inkontinensia urin dan alvi. Eyang Karto berusia 75 tahun, tergolong usia lanjut. Usia lanjut bukan sebagai penyebab inkontinensia urin, namun prevalensi inkontinensia urin
26
meningkat seiring dengan peningkatan usia karena semakin banyak munculnya faktor risiko. Pada skenario didapatkan bahwa pasien sering marah-marah. Hal tersebut biasa terjadi pada lansia, oleh karena penurunan hormon serotonin ataupun faktor psikologik (kehilangan pasangan hidup, kesepian, dan stress). Penurunan serotonin juga menyebabkan penderita lebih cemas, dan sulit tidur, sehingga beberapa kasus diperlukan obat tidur. Untuk mengobati sulit tidur pada pasien dapat diberi obat tidur atau obat golongan sedatif hipnotik. Obat hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP) yang relatif tidak selektif. Pada dosis terapi obat sedatif menekan aktivitas, menurunkan respon terhadap rangsangan emosi dan menenangkan. Obat Hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis. Obat hipnotika dan sedatif biasanya merupakan turunan Benzodiazepin. Namun, efek samping obat tidur yang diberikan pada pasien tersebut dapat menyebabkan inkontinensia urin oleh karena efek penurunan kontraksi otot dan sensasi berkemih pada vesica urinaria. Pada skenario, Eyang Karto mengalami gangguan psikologi yang mana istrinya telah wafat. Kehilangan pasangan hidup pada pasien geriatri memberikan dampak besar terhadap rasa kesepian, rasa berkabung sehingga pasien geriatri akan cenderung mengisolasi diri, menarik diri, menyalahkan diri sendiri, dan marah pada diri sendiri sehingga menyebabkan peningkatan stress dan depresi. Tingkat depresi dan stress akan semakin tinggi karena pasien susah melakukan aktifitas sehari-hari sehingga membutuhkan bantuan orang lain. Psikologis yang terganggu dapat memicu kebingungan, perasaan takut, sulit berkonsentrasi, ketidakberdayaan sehingga mengurangi daya sensoris ingin mixie dan defekasi, dan mengurangi motivasi untuk menemukan kamar mandi sehingga dapat memicu inkontinensia. Keadaan imobilisasi pasien dalam melakukan aktifitas sehari-hari sehingga membutuhkan bantuan orang lain menyebabkan pasien tidak dapat mencapai tempat berkemih sendiri dan tidak dapat menahan untuk tidak berkemih sebelum sampai pada tempatnya juga memicu inkontinensia fungsional.
27
Pada skenario juga dijelaskan bahwa pasien ngobrok selama 2 minggu. Ngobrok atau inkontinesia alvi merupakan suatu keadaan dimana penderita tidak dapat menahan buang air besar. Klinis dari inkontinensia alvi tampak keadaan feses yang cair atau belum terbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes dan keadaan keluarnya feses yang sudah berbentuk. Beberapa penyebab timbulnya inkontinensia alvi pada pasien dalam skenario dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: a. Inkontinensia alvi akibat konstipasi. b. Inkontinensia alvi simptomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus besar. c. Inkontinensia alvi akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses defekasi (inkontinensia neurogenik). d. Inkontinensia alvi karena hilangnya refleks anal. Pemeriksaan neurologis ekstremitas superior dan inferior sinistra kekuatannya menurun (3+/ 3+) menjelaskan bahwa terdapat gangguan mobilitas pada tubuh pasien yang mana ekstremitas superior dan inferior sinistra hanya mampu melawan gaya gravitasi tanpa tahanan. Hal ini semakin memperjelas bahwa pasien telah mengalami kelumpuhan akibat dari stroke. Kelumpuhan seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf di atas menyebabkan inkontinensia dan peningkatan depresi. Skenario menyebutkan bahwa salah satu pemeriksaan fisik yang diberikan pada pasien adalah rectal toucher. Sebagaimana diketahui bahwa rectal toucher bertujuan untuk mengeksplorasi rectum dengan jari. Rectal toucher menilai keadaan mukosa rectal, posisi rectum, keadaan prostat atau serviks, serta menilai reflex tonus sfingter ani externus. Indikasi dilakukannya rectal toucher sesuai skenario karena salah satu keluhan pasien adalah tidak bisa menahan BAB sekaligus ingin mengeksplorasi keadaan prostat pasien. Kasus pembesaran prostat dalam Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) sering terjadi pada usia tua dan gejala yang khas akibat BPH adalah inkontinensia urin tipe overflow disertai inkontinensia alvi. Karena pada skenario disebutkan melalui rectal toucher dan
28
gambaran USG, didapatkan prostat tidak membesar, maka diagnosis inkontinensia tipe overflow dan inkontinensia alvi akibat BPH dapat dihapuskan. Pemeriksaan indeks barthel dilakukan untuk mengetahui kemampuan pasien dengan kelainan neuromuskular atau muskuloskeletal dalam merawat dirinya sendiri. Pada kasus ini pemeriksaan indeks barthel dilakukan karena pasien adalah pasien post stroke yang memiliki kelainan neuromuskuler. Tes ini diharapkan dapat menjadi salah satu dasar penatalaksanaan rehabilitasi medik pada pasien, khususnya untuk menentukan hal-hal apa saja yang dibutuhkan pasien dalam aktivitas sehari-hari. Dengan mengulang tes ini secara rutin, tenaga medis juga dapat menentukan peningkatan kemampuan seorang penderita post stroke dalam melakukan aktivitas harian. Pemeriksaan psikiatri dilakukan untuk mengetahui adakah gangguan psikologis khususnya depresi pada pasien. Perubahan kondisi fisik, psikologi, dan lingkungan pada seorang lansia sangat memungkinkan terjadinya gangguan psikologis. Berdasarkan riwayat keadaan pasien yang ditinggal istrinya, penurunan kemandirian pasca stroke, serta kelainan inkontinensia pada lansia dalam kasus skenario, pemeriksaan psikiatri juga sangat diperlukan untuk menentukan penatalaksanaan yang tepat. Selain itu, pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui salah satu kemungkinan penyebab inkontinensia pada pasien yang berupa stress.
29
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan 1. Pasien geriatri adalah pasien berusia lanjut (> 60 tahun) dengan penyakit majemuk (multipatologi) akibat gangguan fungsi jasmani dan rohani, kondisi sosial yang bermasalah. 2. Skenario 2 ini belum dapat didiagnosis secara pasti, dikarenakan kondisi multipatologi, namun didapatkan inkontinensia urin, inkontinensia alvi, riwayat stroke, dll, sehingga membutuhkan informasi yang lebih rinci dan jelas untuk memberikan intervensi pengobatan. 3. Pemeriksaan-pemeriksaan pada geriatri sangatlah diperlukan untuk menentukan diagnosis penyakit yang ada pada di skenario ini.
B. Saran 1. Pada pasien Geriatri pemakaian obat yang banyak (polifarmasi) sebaiknya diawasi dengan baik, sebab lebih sering terjadi efek samping, interaksi, toksisitas obat, dan penyakit iatrogenik, lebih sering terjadi peresepan obat yang tidak sesuai dengan diagnosis penyakit dan berlebihan, serta ketidakpatuhan menggunakan obat sesuai dengan aturan pemakaiannya. 2. Sebagai Dokter umum, harus mengetahui kompetensi apa saja yang harus dikuasai untuk pasien Geriatri dan memberikan penatalaksanan sesuai prioritas dan pertimbangan agar tidak terjadinya polifarmasi. 3. Perlu
pemeriksaan
penunjang
lebih
penatalaksanaan yang tepat bagi pasien.
30
lanjut
untuk
memberikan
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Kesehatan Jiwa. (1982) Pedoman Pengelolaan Jiwa dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Goetz CG. (2007) Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of Clinical Neurology, 3rd ed. Philadelphia : Saunders Gunadi H.(1984). Problematik Usia Lanjut Ditinjau Dari Sudut Kesehatan Jiwa. Jakarta: Jiwa XVII (4):89-97. Pranaka K. (2010) Buku Ajar Boedhi Darmojo Geriatri(Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) edisi ke 4.Jakarta: Balai Penerbit FKUI Pudjiastuti SS (2003). Fisioterapi pada Lansia. Jakarta: EGC Roger Watson (2003).Perawatan pada Lansia.Jakarta:EGC. Ropper AH, Brown RH. (2005) Cerebrovascular Diseases. In : Adam and Victor’s Priciples of Neurology. Eight edition. New York : Mc Graw-Hill Setiati S. dan Pramantara I.D.P. (2007). Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif dalam Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata K M., Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed.IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. hal: 1392-9 Siti, Maryam R, dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Penangannya. Jakarta: Salemba Medica. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, et al. (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing. Wahit Iqbal Mubarak, dkk. (2006). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Komunitas 2 Teori dan Aplikasi dalamPraktek dengan Pendekatan Askep Komunitas, Gerontik dan Keluarga.Jakarta: Sagung Seto.
31
View more...
Comments