LAPORAN Skenario 1 Kegawatdaruratan Medik
May 12, 2019 | Author: Clarissa Pamudji | Category: N/A
Short Description
Skenario 1 Kegawatdaruratan Medik...
Description
LAPORAN DISKUSI TUTORIAL BLOK KEDARURATAN MEDIK SKENARIO 1
NYERI DADA
Disusun Oleh : Kelompok A5
Clarissa Rayna S. P.
G0010045
Paramita Stella
G0010149
Elga Putri Indanarta
G0010069
Rachma Dinar Okfiani G0010157
Fernando Feliz C.
G0010079
Siska Dewi Agustina
G0010179
M. Rama Anshorie
G0010117
Yohanes Purbanta S.
G0010199
Mifta Wiraswesti
G0010125
Yusuf Budi Hermawan G0010203
Tutor : Prof. Muchsin Douwes, dr., PFark.,M.OR.,AIFO.,MARS
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2013
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seorang laki-laki umur 49 tahun dating ke UGD dengan keluhan nyeri dada. Nyeri dada dirasakan sejak setengah jam yang lalu dan tidak hilang dengan istirahat. Riwayat merokok dua pak per hari sejak usia 15 tahun. Pada pemeriksaan fisik didapatkan : TD 80/60 mmHg, Nadi: 130x / menit, RR: 20x/ menit, Suhu: 36C. Pemeriksaan fisik: Cor: SI-II Normal, Gallop (-), bising (-). Pada paru : SD vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-). Pada saat penderita dilakukan pemasangan dan pemberian Oksigen 4 liter/menit tiba-tiba pasien mendadak kejang dan tidak sadar. Setelah dilakukan cek respon ( AVPU) ( AVPU),, tidak didapatkan nadi teraba. Akhirnya dokter menetapkan penderita mengalami henti napas, henti jantung. Kemudian dilakukan resusitasi jantung paru dan dilakukan penatalaksanaan ACLS. Akhirnya setelah sete lah hemodinamik stabil sta bil penderita dipindah ke ICVCU.
B. RumusanMasalah
1. Bagaimana penanganan kedaruratan medic dengan keluhan nyeri dada? 2. Bagaimana patofisiologi dari manifestasi klinis gejala dan pemeriksaan yang didapatkan dari pasien? 3. Mengapa pasien mendadak kejang dan tidak sadar ketika dilakukan pemasangan infuse dan terapi oksigen? 4. Bagaimana penanganan henti napas dan henti jantung?
C. Manfaat Penulisan
1. Memahami penanganan pasien kedaruratan medic dengan keluhan utama nyeri dada 2. Memahami gejala-gejala dan pemeriksaan yang dilakukan pada pasien dengan keluhan nyeri dada. 3. Memahami penanganan pasien kejang dan tidak sadar dan mengetahui penyebab kejang dan tidak sadar. 4. Memahami penanganan pasien dengan henti napas dan henti jantung.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Nyeri Dada
Nyeri dada dapat diakibatkan oleh berbagai hal yang berasal dari jantung, paru, saluran cerna, dan muskuloskeletal. A. Nyeri dada yang berasal dari jantung Gangguan
Karakteristik Tipikal
Pemeriksaan Diagnostik
Angina
dan rahang, lengan, durasi 30 menit Perikarditis
Nyeri tajam menyekam
Suara gesekan pericardium
kebahu diperberat oleh
( pericardial friction rub) EKG
respirasi hilang bila duduk kearah depan Diseksi Aorta
Nyeri mendadak, seperti
Tekanan darah atau nadi
teriris atau tersayat pisau,
asimetris, Al kasus baru
di pertengahan skapula
pelebaran mediastinum pada
posterior atau anterior
rontgen toraks lumen palsu
pada tomografi computer (CT), ekotransesopagus (TEE),angiografi, atau MRI B. Nyeri dada berasal dari paru Gangguan
Pneumonia
Karakteristik Tipikal
Pemeriksaan Diagnostik
Pleuritik, dispnu, demam,
Demam, takipnu, krepitasi
batuk, sputum
dan konsolidasi, infiltrat pada rontgen toraks
Pleuritis
Nyeri tajam, pleuritik
Suara gesekan pleura ( pleural friction rub)
Pneumotoraks
Unilateral tajam,
Hipersonol unilateral,
pleuritik onset mendadak penurunan bunyi nafas, pneumotoraks pada rontgen toraks Edema paru
Pleiritik, onset mendadak
Takipnu, takikardia, hipoksemia, Scan ventilasi/perfusi atau
Hipertensi pulmonal
Dipsnu, beban latihan fisik
Hipoksemia, P2 ’d,S3&S4 di sisi kanan
C. Nyeri dada yang berasal dai saluran cerna Gangguan
Karakteristik Tipikal
Pemeriksaan Diagnostik
Refluks Oesophagus
Rasa terbakar substemal,
Pemeriksaan pH
rasa
esofagus,
asam dimulut ; kombinasi
uji perfusi asam
hipersaliva dan regurgitasi
bemstein
asam diperberat oleh
EGD
makan, posisi berbaring
hilang dengan antasida Spasme Oesophagus
Nyeri substermal yang
Pemeriksaan serial
hebat
saluran
diperberat saat menelan
cerna atas manometri
hilang dengan nitrogliserin atau CCB Ruptur Mallory Weiss
Tercetus karena muntah
EGD
Penyakit Ulkus
Nyeri epigastrik yang
EGD, uji H. pylori
Peptikum
hilang dengan antasida hematemesis, menelan
Penyakit Empedu
Nyeri perut kuadran kanan
USG kuadran kanan atas,
atas, mual/muntah
uji fungsi hati
diperberat oleh makanan berlemak Pankreatitis
Rasa tidak nyaman dipunggung/epigastrium
amilase dan lipase, CT abdomen yang abnormal
D. Nyeri dada yang berasal dari muskuloskeletal dan yang lainnya Gangguan
Karakteristik Tipikal
Pemeriksaan Diagnostik
Kostokondritis
Penyakit servikal / OA
Nyeri tumpul atau tajam
Nyeri tekan ketika
yang terlokalisir
dipalpasi
Tercetus karena gerakan,
Rontgen foto
berlangsung dalam hitungan detik hingga
jam Herpes Zooster
Ansietas
Nyeri unilateral yang
Ruam dematomal dan
hebat
temuan sensorik
“rasa sesak”
-
B. Kejang
Ada 2 kemungkinan penyebab terjadinya kejang pada skenario tersebut, yaitu adanya reaksi shock anafilaksis dan adanya Paul Bert Effect karena penggunaan oksigen yang kurang dikontrol. 1. Shock Anafilaksis/reaksi anafilaktoid Shock anafilaksis pada skenario ini kemungkinan karena penggunaan infus. Shock anafilaksis merupakan reaksi hipersensitivitas yang berhubungan dengan degranulasi Mast Cell sehingga menyebabkan terlepasnya mediatormediator pro inflamasi. Gejala dan tanda reaksi anafilaksis termasuk timbul rasa kecemasan, urtikaria, angiodema, nyeri punggung, rasa tercekik, batuk, bronkospasme atau edema laryng. Pada beberapa kasus, terjadi hipotensi, hilang kesadaran, dilatasi pupil, kejang hingga “sudden death”. Shock terjadi akibat sekunder dari hipoksia yang berat, vasodilatasi perifer atau adanya hipovolemia relative akibat adanya ektravasasi cairan dari pembuluh darah. Namun demikian vascular kolaps dapat terjadi tanpa didahului gejala gangguan respirasi dan dalam hal ini kematian dapat terjadi dalam beberapa menit.Jadi gejala Shock anafilaktif adalah gabungan gejala anafilaksis dengan adanya tanda-tanda Shock yang secara sistimatis dapat dikelompokan
dengan
gejala
prodromal,
kardiovaskuler,
pulmonal,
gastrointestinal dan reaksi kulit. Gejala prodromal pada umumnya adalah perasaan tidak enak, lemah, gatal dihidung atau di palatum, bersin atau rasa tidak enak didada. Gejala ini merupakan permulaan dari gejala lainnya.Gejala pulmoner didahului dengan rhinitis, bersin diikuti dengan spasme bronkus dengan atau tanpa batuk lalu berlanjut dengan sesak anoksia sampai apneu.Gejala gastrointestinal berupa mual,
muntah, rasa kram diperut sampai diare. Sedangkan gejala pada kulit berupa gatalgatal, urtikaria dan angioedema. 2. Paul Bert Effect Paul Bert Effect merupakan manifestasi dari pembentukan ROS secara berlebihan sehingga menyebabkan jejas oksidatif pada permukaan membran s el di susunan saraf pusat karena pemberian paparan oksigen bertekanan tinggi tanpa kontrol. Gejala dari Paul Bert Effect ini sangat khas yaitu adanya kejang dengan tipe Tonic-Clonic setelah pemberian oksigen. Untuk mengantisipasi terjadinya Paul Bert Effect ada beberapa hal yang harus diperhatikan saat memberikan oksigen, antara lain: -
Konsentrasi oksigen yang masuk harus selalu dikontrol
-
Tidak terjadi penumpukan oksigen dalam tubuh secara berlebih
-
Resistensi jalan nafas yang cukup rendah
-
Pemberian oksigen harus secara efisien dan ekonomis
C. Triage Gawat Darurat Kardio Vaskuler
1. Nyeri dada Nyeri dada menetap dengan penjalaran ke leher, lengan, atau rahang (khas iskemia) dan disertai gambaran iskemia pada EKG, tidak berkurang dengan istirahat atay nitrogliserin. Rasa lemah waktu aktivitas fisik, pucat, dan keringat dingin, hipotensi, takikardi, irama tidak teratur, bising atau thrill yang tidak ada sebelumnya, ronki basah. Penderita dengan rasa kematian yang mengancam harus dianggap gawat sebelum dibuktikan sebaliknya/dievaluasi. 2. Sesak nafas Sesak nafas dianggap gawat bila frekuensi nafas 40x/menit atau lebih. Sesak meningkat waktu berbaring, disertai gelisah dan kelihatan sakit berat, batuk terus menerus (kadang disertai darah atau busa kemerahan), atau disertai nyeri dada, nyeri punggung, bising diastolik, nadi asimetris, atau aritmia. 3. Gangguan kesadaran Gangguan kesadaran yang dianggap gawat bisa berupa sinkop disertai gangguan irama/aritmia atau tekanan darah abnormal.
4. Penderita dengan tekanan darah tinggi Bila diastolik 130mmHg atau lebih. Diastolik di atas 110mmHg disertai gangguan sesak nafas, ronki basah/edema paru, angina, nyeri kepala hebat, edema papil, gangguan neurologik atau kesadaran, kejang atau oliguria. 5. Penderita dengan gangguan irama jantung Bila menyebabkan atau terdapat hipotensi, tanda iskemia miokard atau otak, blok, aritmia ventrikuler, atau sinus takikardia yang menetap (terutama bila ada tanda klinis kelainan jantung organik atau riwayat infark). 6. Rudapaksa dada (thoraks) Bila terjadi rudapaksa dengan deselerasi cepat, crush injury, jatuh, terpukul, pada dada oleh karena kemudi, luka tusuk/tembak, benda asing, terbenam, riwayat bedah jantung/penyakit jantung dan pada inspeksi terlihat kulit pucat, dingin, cemas,
nyeri,
disorientasi,
tanda
rudapaksa
dada/punggung,
nafas
lambat/cepat/paradoksikal. Nadi dan BJ lemah/hilang, hipotensi, tamponade, sianosis, nadi asimetris.
D. Gawat Darurat Kardio Vaskuler
1. Syok kardiogenik Sindrom klinis syok kardiogenik adalah keadaan yang terjadi akibat ketidakmampuan curah jantung untuk mempertahankan fungsi alat-alat vital akibat disfungsi otot jantung. Penyebab paling sering adalah infark miokard akut. a) Gambaran klinis
Tekanan sistolik arteri < 80mmHg (ditentukan dengan pengukuran intra ateri),
Produksi urin < 20 ml/hari atau gangguan status mental.
Tekanan pengisian ventrikel kiri > 12mmHg
Tekanan vena sentral lebih dari 10 mmH2O dianggap menyingkirkan kemungkinan hipovolemia
Disertai dengan manifestasi peningkatan katekolamin seperti gelisah, keringat dingin, akral dingin, takikardi, dll.
b) Patofisiologi
Infark miokard akut/ infark baru pada infark miokard lama iskemik dan nekrosis > 40% yang progresif
koronaria kadar ensim jantung meningkat tinggi
kerusakan
obstruksi proksimal arteria
syok kardiogenik
c) Gambaran hemodinamik Tekanan sistolik arteri dan tekanan rata-rata arteri menurun, denyut jantung meningkat karena adanya disfungsi ventrikel kiri yang berat. Curah jantung sangat rendah akibat peningkatan tekanan pembuluh sistolik sebagai akibat kegagalan ventrikel kiri. d) Tatalaksana
Pendekatan pengobatan
Pemberian cairan kristaloid/koloid dan oksigen
Reperfusi dini dengan trombolisis, angioplasti atau keduanya menunjukkan hasil yang baik
Pembedahan dini jika semua cara gagal
Monitoring hemodinamik
Pengukuran tekanan pengisian ventrikel dan curah jantung dapat memberi gambaran beratnya masalah, prognosis dan adan ya hipovolemi.
Pompa balon intra aorta
Indikasi pemasangan pompa balon intra aorta adalah:
Hipotensi (sistolik < 90mmHg, tekanan arteri rata-rata 60mmHg atau lebih kecil 30mmHg di bawah tekanan basal sebelumnya)
Peningkatan tekanan baji arteri (lebih besar 16-18 mmHg)
Indeks jantung yang rendah (< 2 liter/menit/m2)
Kateterisasi jantung
Penderita dengan sakit dada berulang atau berkepanjangan harus segera dilakukan angiografi koroner untuk memastikan ada tidaknya otot jantung yang dapat diselamatkan dengan reperfusi. Penderita tanpa tanda-tanda iskemi baru diperiksa angiografi setelah 24-48 jam untuk menentukan perlu tidaknya tindakan bedah.
Reperfusi dini
Meskipun reperfusi dini merupakan pendekatan yang rasional dalam menyelamatkan
otot
jantung
yang
terancam
rusak,
peranan
dan
saat
pelaksanaannya, seleksi penderita dan metode reperfusi trombolisis, PTCA dan bedah pintas koroner masih dalam perkembangan dan belum dapat dipastikan.
Pengobatan lain
Tindakan dasar pengobatan infark miokard akut dilakukan bersamaan seperti mengatasi rasa sakit seperti sedasi dan pengobatan aritmia.
2. Sinkop a) Etiologi Penurunan volume
penurunan tahanan perifer obstruksi aliran darah
ke otak curah jantung rendah
obstruksi dan aritmia sinkop
b) Tatalaksana
ABC
Letakkan penderita posisi kebalikan Tredelenburg (kepala direndahkan,
tungkai
bawah
ditinggikan)
untuk
meningkatkan aliran darah ke otak
Longgarkan pakaian terutama pada leher
Bila serangan di RS segera ambil spesimen darah untuk pemeriksaan hematokrit, elektrolit, gula darah, dan buat rekaman EKG 12 sandapan. Berikan 1 ampul dekstrose 50% intravena
Periksa apakah ada rudapaksa sewaktu sinkop
3. Krisis hipertensi Suatu sindrom klinis dengan tanda khas berupa kenaikan tekanan darah sistolik dan diastolik secara tiba-tiba dan progresif. Tekanan darah sistolik naik menjadi 250mmHg atau lebih, tekanan diastolik menjadi 140mmHg atau lebih. a) Jenis krisis hipertensi
Ensefalopati hipertensi
Krisis hipertensi karena pelepasan katekolamin
Krisis hipertensi karena perdarahan intrakranial (intraserebral atau arakhnoid)
Krisis hipertensi yang berhubungan dengan edem paru akut
Krisis hipertensi yang berhubungan dengan penyakit ginjal biasanya pada glomerulonefritis akut
Diseksi aneurisma aorta akut
Eklampsia dan preeklampsia
b) Tanda dan keluhan
Ensefalopati
hipertensi
dengan
keluhan
sakit
kepala,
perubahan mental dan gangguan neurologis
Pemeriksaan fisik : papil edema, perdarahan fundus dan eksudat, kelainan neurologik
Pemeriksaan elektrokardiogram : gambaran iskemia berupa hipertrofi
ventrikel
kiri
dan
perubahan
segmen
S-T
sedangkan pemeriksaan rontgen dada dapat menunjukkan tanda bendungan c) Pengobatan Prinsip pengobatan adalah menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik secepat dan seaman mungkin namun harus segera hilang bila pemberian dihentikan dan sedikit kontraindikasinya. Sodium nitropusside dapat memenuhi kriteria di atas. Obat lain termasuk nitrogliserin, nifedipin, furosemid juga dapat dijadikan pilihan. 4. Spel hipoksik Suatu sindrom yang ditandai dengan serangan gelisah, menangis berkepanjangan, hiperventilasi, bertambah biru, lemas atau tidak sadar dan kadang-kadang kejang, yang sering terdapat pada anak-anak dengan penyakit jantung bawaan biru. a) Patofisiologi Spel hipoksik paling sering terjadi pada Tetralogi Fallot
defek septum
ventrikel yang besar sehingga ventrikel kanan dan kiri harus berfungsi sebagai rongga pemompa tunggal
penurunan tahanan vaskuler sistemik atau
peningkatan tahanan pada alur keluar ventrikel kanan
peningkatan aliran balik
vena sistemik Faktor-faktor terjadinya akibat menangis lama, aktivitas berat, dehidrasi, dll. Biasanya serangan tersering pada usia 3 bulan sampai 3 tahun. b) Tatalaksana
Letakkan pada posisi lutut didekatkan pada dada, supaya aliran balik vena sistemik berkurang karena darah berkumpul di ekstremitas bawah
Berikan oksigen 100%
Injeksi morfin sulfat 0,1 mg/kgBB secara subkutan dan dapat diulang selama 10 menit
Vasopresor secara intravena
5. Diseksi aorta Diseksi aorta terjadi karena lapisan dinding aorta robek akibat masuknya darah ke lapisan media. Proses pemisahan dapat terjadi secara akut maupun kronis. Setelah lewat 2 minggu dianggap fase kronis. a) Patogenesis
Hipertensi sistemik
Degenerasi jaringan ikat
Robekan intima
Perjalanan hematoma yang menyebabkan diseksi
b) Klasifikasi De Bakey
Lokasi
Tipe 1
Meluas melampaui aorta desenden
Tipe 2
Terbatas hanya di aorta desenden Lebih distal dari arteri subklavia kiri
Stanford Tipe A
Tipe B
c) Gejala dan tanda Gejala
Sakit seperti dirobek mulai daerah retrosternal menjalar ke punggung
Sinkop
Sulit bernafas
Stroke
Iskemia tungkai
Anuria
Sesak saat aktivitas yang progresif akibat regurgitasi aorta
Tanda
Syok Nadi hilang atau terlambat
Regurgitasi aorta
Edema paru
Efusi perikard
Defisit neurologik
d) Diagnosis
CT scan atau MRI
Rontgen dada memperlihatkan pelebaran mediastinum dan adanya cairan pleura
Ekokardiografi menunjukkan adanya cairan perikard, regurgitasi aorta dan flap aorta pada batang aorta
e) Tatalaksana
Memulai pengobatan, menstabilkan tanda-tanda vital dan menegakkan diagnosis definitif dengan artografi
Tatalaksana definitif dimana obat-obatan diteruskan dan dilanjutkan memerlukan.
intervensi
bedah
pada
kasus-kasus
yang
E. Henti Jantung
Cardiac arrest disebut juga cardiorespiratory arrest, cardiopulmonary arrest, atau circulatory arrest , merupakan suatu keadaan darurat medis dengan tidak ada atau tidak adekuatnya kontraksi ventrikel kiri jantung yang dengan seketika menyebabkan kegagalan sirkulasi (Terdapat empat jenis ritme yang menyebabkan henti jantung yaitu ventricular fibrilasi (VF), ventricular takikardia yang sangat cepat (VT), pulseless electrical activity (PEA), dan asistol. Untuk bertahan dari empat ritme ini memerlukan kedua bantuan hidup dasar/ Basic Life Support dan
bantuan
hidup
lanjutan/ Advanced
Cardiovascular
Life
Support (ACLS). Pada orang yang mengalami henti jantung dapat ditemukan gejala-gejala yang tiba-tiba sebagai berikut:
Tidak sadar secara tiba-tiba (collapse) Nadi tidak teraba, hipotensi (tekanan darah turun drastis/hampir tidak ada) Tidak bernapas Hilangnya kesadaran secara tiba-tiba merupakan tanda terjadinya
kekurangan oksigen di otak (cerebral hipoksia). Namun, kadang kita bisa menemukan “tanda-tanda peringatan” yang dapat menunjukan akan terjadinya henti jantung yaitu rasa lelah, lemah, pandangan kabur dan berkunang-kunang, pusing, nyeri dada, napas dangkal dan pendek, berdebar-debar (palpitasi), atau muntah; walaupun tidak semua kejadian henti jantung memberikan tanda peringatan ini. Henti jantung mendadak (sudden cardiac arrest/ SCA) berbeda dengan serangan
jantung
(cardiac
arrest).
SCA
adalah
kondisi
yang
muncul
apabila jantung berhenti memompa darah ke seluruh tubuh yang diakibatkan oleh gangguan elektrifitas internal jantung yang mengatur denyut jantung. Sedangkan serangan
jantung
(heart
attack)
disebabkan
karena
kurang
adekuatnya
vaskularisasi otot jantung akibat tersumbatnya pembuluh darah coroner jantung. Pada serangan jantung oksigen tidak adekuat untuk mencukupi kebutuhan sel-sel otot jantung sehingga otot jantung menjadi iskemia.
Walaupun henti jantung dan serangan jantung berbeda, namun terdapat hubungan antara keduanya. Pada serangan jantung, kerusakan otot jantung akibat iskemia sel jantung dapat mengganggu sistem elektrik internal jantung. Gangguan sistem elektrik internal ini dapat menyebabkan gangguan ritme jantung menjadi melambat atau menjadi lebih cepat dan bisa menjadi henti jantung. Dengan kata lain, orang yang memiliki riwayat serangan jantung memiliki resiko yang lebih besar henti jantung mendadak dibandingkan orang yang tidak memiliki riwayat.
F. Henti Nafas
Gagal nafas secara garis besar dapat dibagi menjadi dua katagori, yaitu : hipoksemia (tipe 1) dan hiperkapnia (tipe 2). Gagal nafas hipoksia adalah PaO2 kurang dari 55 mmHg ketika FiO2 0,60 atau lebih. Gagal nafas hiperkapnia adalah saat PaCO2 lebih dari 45 mmHg. Secara umum definisi dari gagal nafas adalah ketidakmampuan dari system respirasi untuk menjaga keadaan yang normal pada pertukaran gas dari atmosfer ke sel seperti yang dibutuhkan oleh tubuh. Penyebab umum terjadi gagal nafas tersebut adalah antara lain : 1. Infeksi akut misalnya bronchitis akut atau pneumonia. 2. Retensi sputum karena tindakan pembedahan, trauma, penurunan kesadaran. 3. Bronkospasme misalnya pada pasien dengan asma. 4. Pneumothorak, gagal nafas akut dapat terjadi dengan cepat tergantung dari ukuran pneumothorak dan beratnya penyakit paru yang mendasarinya. 5. Bullae, mirip dengan pneumothoraks dimana bulla subpleural sering disangka merupakan suatu pneumothorak. 6. Gagal ventrikel kiri, dapat timbul karena adanya penyakit jantung iskemik, overload cairan atau kegagalan kedua ventrikel karena keadaan korpulmonale. 7. Emboli paru, ditemukan secara autopsy sebesar 20-50%, sering sulit untuk mendiagnose karena adanya penyakit paru lainnya. 8. Pemberian oksigen yang tidak terkontrol, dapat menimbulkan hiperkarbia akut yang dapat menganggu mekanisme hypoxic drive respirasi. Faktor
utama nampaknya adalah pelepasan CO2 dari hemoglobin oleh oksigen (efek Haldane) dan memperburuk mismatch ventilasi-perfusi (V/Q) yang disebabkan karena penurunan dari vasokonstriksi pada daerah pintasan, sehingga memungkinkan lebih banyak darah vena yang kaya CO2 masuk kedalan sirkulasi arterial. 9. Sedasi, pemberian sedasi yang berlebihan dapat menimbulkan keadaan hipoventilasi
Patofisiologi gagal nafas misalnya pada PPOK adalah sebagai berikut: Faktor yang menyebabkan obstruksi aliran udara pada PPOK termasuk edema dan hipertropi mukosa, secret, bronkospasme, dan hilangnya elastic recoil paru (karena hilangnya tekanan permukaan alveolar dan elastin paru disebabkan oleh destruksi dari dinding alveolar). Berkurangnya recoil elastic akan menyebabkan penurunan aliran udara ekspirasi, karena tekanan alveolar (mengatur aliran udara ekspirasi) dan tekanan jalan nafas intraluminal (akan mengembangkan jalan nafas kecil selama ekspirasi) menurun. Obstruksi aliran udara akan menimbulkan pemanjangan ekspirasi, hiperinflasi paru, peningkatan kerja pernafasan dan sensasi terhadap dispneu, semuanya bertambah berat pada pasien dengan PPOK. Distorsi dan destruksi alveoli menimbulkan hilangnya capillary bed , dan hipoksia menyebabkan vasokonstriksi areteri pulmoner. Ini akan menyebabkan hipertensi
pulmoner,
perubahan
vaskularisasi
sekunder,
dan
akhirnya
korpulmonale. Peningkatan hipoksia selama gagal nafas akut akan meningkatkan tekanan arteri pulmoner dan dapat menimbulkan gagal jantung kanan akut. Kombinasi dari obstruksi jalan nafas, penyakit parenkim paru dan gangguan pada sirkulasi akan menimbulkan V/Q mismatch yang sangat besar. Daerah paru yang tidak mengalami ventilasi dengan baik akan menjadi pintasan parsial atau komplit. Hal ini akan menimbulkan hipoksia arterial, yang mana ketika bersifat kronis, akan dapat menyebabkan polisitemia sekunder dan peningkatan hipertensi pulmoner. Daerah yang kurang perfusi atau kelebihan perfusi akan meningkatkan ruang rugi. Sehingga sebagai hasil dari V/Q mismatch yang berat, kebutuhan
ventilasi untuk untuk mendapatkan keadaan normokarbia akan meningkat. Peningkatan ventilasi semenit akan menimbulkan peningkatan kerja pernafasan. Sejak ekspirasi tidak optimal pada sumbatan jalan nafas, ini bersama dengan peningkatan ventilasi semenit akan menimbulkan peningkatan dinamis yang permanent dari kapasitas residu fungsional (FRC) atau hiperinflasi paru. Karena volume paru meningkat, otot-otot pernafasan (diafragma dan interkosta) akan menjadi tidak efesien karena terjadi pemendekan serat saraf dan ketidakuntungan secara mekanik, dan kerja pernafasan akan menjadi meningkat. Ketika kapasitas otot pernafasan tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan peningkatan ventilasi, akan terjadi hiperkarbia kronis. Hiperkarbia kronis jarang terjadi pada PPOK, dan cenderung terjadi pada fase akhir dari penyakit, berhubungan dengan kompensasi asan-basa ginjal. Biasanya timbulpada PPOK didominsi oleh bronchitis kronis dengan FEV1 dibawah 1 liter, dan berhubungan dengan polisitemia, korpulmonale, dan retensi CO2 lainnya dengan pemberian oksigen yang tidak terkontrol. Bagaimanapun juga, gagal nafas hiperkarbia dapat ditimbulkan oleh peningkatan pintasan paru.
G. Resusitasi Jantung Paru Otak Tujuan : mencegah mati klinis menjadi mati biologis. Mati klinis merupakan periode dini suatu kematian yang ditandai dengan henti napas dan henti jantung/sirkulasi serta terhentinya aktivitas otak yang bersifat reversibel. Pada mati biologis terjadi proses nekrotisasi semua jaringan. Proses ini dimulai dari neuron-neuron serebral yang seluruhnya akan rusak dalam waktu ± 1jam dan diikuti organ-organ lain, seperti jantung, ginjal, dan hati yang akan rusak dalam ± 2 jam. Mati biologis mengikuti mati klinis bila tidak dilakukan resusitasi atau bila resusitasi tidak berhasil meliputi mati anatomi, mati organ dan batang otak. Jika terjadi henti jaantung dan henti napas, yang akan dilakukan adalah resutasi jantung paru (CPR, Cardiopulmonary resuscitation) Prinsip untuk keberhasilan ditentukan oleh:
Early access to get help. Sesegera mungkin meminta bantuan untuk mengaktifkan sistem gawat darurat.
Early (correct) CPR to buy time. Sesegera mungkin melakukan resusitasi jantung paru dengan teknik yang benar.
Early defibrillation to restart heart . Sesegera mungkin mengupayakan defibrilasi jantung.
Early ALS
to stabilize. Sesegera mungkin bantuan hidup lanjutan
memadai diberikan untuk stabilisasi
Fase RJPO I.
Basic L if e Support (bantuan hidup dasar)
Tujuannya ialah oksigenasi darurat, menunda kerusakan fungsi organ, mempertahankan pernafasan dan sirkulasi yang adekuat. Langkah terbaik dan tercepat untuk penyelamatan korban adalah melakukan pijat jantung. Sebenarnya tersedia alat defibrilator jantung, semacam alat kejut listrik yang bisa menghentikan irama jantung yang kacau itu, sesegera mungkin, saat itu juga. Setiap detik keterlambatan adalah pengurangan kesempatan hidup kembali. Tapi karena di tempat umum di Indonesia alat semacam itu belum tersedia, dan pijat jantung masih merupakan metode terbaik maka pentingnya edukasi pijat jantung disebarluaskan dan diajarkan secara nasional. Bersamaan atau setelah pijat jantung, harus diberikan bantuan nafas. Kalau perlu berlanjut menjadi nafas buatan dengan mesin ventilator di ICU. Trik ini agak berbeda dengan doktrin klasik ABC pada urutan penyelamatan pasien kritis yang mendahulukan A ( Airway, mengamankan jalan nafas), lalu B ( Breathing , bantuan nafas) disusul C (Circulation, membantu sistem jantung dan pembuluh darah). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dengan membalik urutan A-B-C menjadi C-AB lebih efektif menyelamatkan nyawa korban henti jantung. Resusitasi sampai ke emergency bisa dihentikan jika :
Timbul nadi spontan (5-10 dtk) pada a. Carotis
Datang penolong yang lebih menguasai (dokter, perawat, ahli anestesi yang terlatih)
Penolong kecapekan sesudah + 30 mnt dengan catatan respon dari fungsi respirasi dan fungsi jantung (-)
Penderita dinyatakan meninggal oleh dokter, dengan parameter mati biologis: pemberian sulfas atropin, adrenalin respon (-), dilatasi maksimal pupil.
II.
Advanced L i fe Support (Bantuan Hidup Lanjutan)
D-Dr ugs and F lui d I ntra-Venous Li fe Line (Obat-obatan dan cairan Intra Vena)
Obat-obatan dan cairan Intra Vena diberikan paling baik melalui vena cephalica/basilica kanan, vena cubiti, vena inguinalis.
Adrenalin (0,5-1 mg Intra Vena)
Diberikan setiap 5 menit sampai nadi spontan kembali. Dalam suasana asam tidak begitu efektif, responsibilitas maksimal adrenalin pada pH 7,35-7,45. Jika pembuluh darah sulit ditemukan, beri intracardial (harus oleh ahli), pada bayi bisa diberi sublingual.
Natrium Bicarbonat (1 mEq/kgBB Intra Vena)
Sebagai buffer, terhadap keadaan asam tidak begitu berpengaruh. Harus diberikan ke vena yang lebih besar (v. Jugularis interna, v. Subclavia, v. Cubiti, v. Cava superior, v. Femoralis)
Sulfas Atropin ke SA Node
Tujuannya kontraktilitas menjadi lebih baik. E-Elyectrocardiography
Untuk mendiagnosa gelombang jantung, mengenali dan menentukan tatalaksana dari disritmia yang terjadi. Contoh kelainan: ventricular fibrillation, asystole, bizarre complex F-Fibrillation
Henti jantung paling sering dengan irama ventricle failure (few minutes) mengakibatkan asystole, setelah diberikan adrenalin, defibrillator paling efektif mengatasi VF. Ventricular fibrilation harus diterapi dengan defibrilation cardiac shock . Dosis: anak 3 J/kgBB ; dewasa 2-5 J/kgBB. Setelah itu monitor dengan EKG EMS call (< 5 mnt) lakukan early defibrillation akan meningkatkan angka keberhasilan. Immediate External Defibrillation : 200 J – 200 J – 360 J (1 rangkaian). Lidocaine
1-2
mg/kgBB/IV
jika
diperlukan
(mis.
Pada
Bizarre
Complexes), lanjutkan infus G-Gaughing
Tujuannya menentukan penyebab henti jantung dan henti napas dengan pemasangan alat-alat monitor.
H-H uman M entation
Cerebral resuscitation dilakukan penilaian kesadaran sampai ke sel-sel otak.
Mempertahankan
homeostasis
intrakranial
maupun
ekstrakranial.
Immediately after restoration of spontaneous circulation and throughout coma dan Ameliorate post anoxic encephalopathy. Semua tindakan dilakukan dengan prinsip kemanusiaan. I-I ntensi ve Care
Tempat melakukan semua tindakan cerebral resuscitaion (monitoring & supports. Monitoring (CV, tekanan arteri, kateter urin, EKG) Mempertahankan hemodinamik, normotensi, ventilasi oksigen terkontrol, temperatur, relaksasi, sedasi, cairan, elektrolit, glukosa, dan tekanan intrakranial. Pasang ventilator mekanik dengan konsentrasi O2 50%. Perhatikan pCO2 (30-35 mmHg), pH 3,54,5.
Penatalaksanaan Syok Kardiogenik
Langkah 1. Tindakan resusitasi Segera Tujuannya adalah untuk mencegah kerusakan organ, mempertahankan tekanan arteri rata-rata untuk mencegah sekuele neurologi dan ginjal. Memberikan aliran oksigen, intubasi atau ventilasi harus dilakukan segera jika ditemukan abnormalitas difusi oksigen. Dopamin dan noradrenalin (norepinefrin) untuk meningkatkan tekanan arteri rata-rata dengan hipotensi. Dobutamin dan dopamin dalam dosis sedang untuk keadaan low output tanpa hipotensi yang nyata. Intra-aortic ballon counterpulsation (IABP) dikerjakan jika tersedia sebelum transportasi. Memonitor gas darah dan memberi tekanan udara positif berkelanjutan jika ada indikasi. Memonitor EKG dan mempersiapkan alat defribilator, obat antiaritmia seperti amiodaron dan lidokain Terapi fibrinolitik harus dimulai pada pasien dengan elevasi ST jika diantisipasi keterlambatan angiografi lebih dari 2 jam.
Pada infark miokard dengan elevasi non ST yang menunggu kateterisasi, diberikan inhibitor glikoprotein IIb/IIIa
Langkah 2. Menentukan secara dini Anatomi Koroner Hal ini merupakan langkah penting dalam tatalaksana syok kardiogenik yang berasal dari kegagalan pompa (pump failure) iskemik yang perdominan. Hipotensi diatasi segera dengan IABP.
Langkah 3. Melakukan revaskularisasi Terapi Atrial Flutter : Pada pasien simtomatis dengan atrial flutter yang baru, terapinya kardioversi elektrik untuk mengembalikan irama sinus. Flutter dapat diterminasi dengan stimulasi atrial dengan menggunakan pacemaker sementara atau permanen. Prosedur ini digunakan setelah pemasangan kabel pacemaker pada tindakan operasi. Selain itu, beberapa jenis pacemaker dan implantasi defibrilator dapat diprogram jika terjadi atrial flutter. Pasien yang tidak memerlukan tindakan kardioversi segera dapat memulai terapi farmakologis. Pertama, kecepatan ventrikular diperlambat dengan obat AV block (beta blocker, CCB, atau digoxin). Setelah efektif diperlambat, dapat diberi obat yang memperlambat atau memperpanjang periode refraktori (class IA, IC, III). Untuk terapi kronik dapat ditangani dengan ablasi kateter. Pada metode ini, elektroda kateter dimasukkan melalui vena femoralis, melewati inferior vena cava, dan melakukan lokalisasi dan ablasi pada bagian reentran untuk menghentikan secara permanen. Secara umum pengelolaan Syok Kardiogenik meliputi: Patikan jalan nafas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknya dilakukan intubasi. Berikan oksigen 8 – 15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk mempertahankan PO2 70 – 120 mmHg.
• Supportif umum : penanggulangan nyeri. Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperbesar syok yang ada harus diatasi dengan pemberian morfin.
• Monitoring : Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbanga n asam basa yang terjadi. Bila mungkin pasang CVP. Pemasangan kateter Swans Ganz untuk meneliti hemodinamik. a)
Ukur tekanan arteri
b)
Menilai curah jantung
c)
EKG, Analisa Gas Darah, Lab (Hb, elektrolit, kreatinin, ureum)
• Perawatan : a)
Selalu jaga jalan nafas bebas
b)
Pasang alat pantau jantung
c)
Pantau tekanan darah berkala
d)
Obat-obatan : vasopressor (dopamine : untuk menaikkan tekanan darah
minimal menjadi 90mmHg dan menambah volume) e)
Koreksi hipovolemia dan asidosis
Syok dapat dibagi dalam tiga tahap yang makin lama makin berat : tahap 1 syok terkompensasi (non progresif), yaitu tahap terjadinya respon kompensatorik tahap 2, tahap progresif, ditandai oleh manifestasi sistemik dari hipoperfusi dan kemunduran fungsi organ. tahap 3, tahap refrakter (irreversible ) yaitu tahap kerusakan sel yang hebat tidak dapat lagi dihindari, dan pada akhirnya menuju pada kematian.
Prognosis paling baik apabila segera dikenali gejala henti jantung dan segera dilakukan
CPR oleh seseorang yang terlatih dalam teknik. Bila ada
fibrilasi ventrikel dilakukan defibrilasi dini. Prognosis jelek adalah pasien asistole, penanganan terlambat, dan pasien dengan penyakit banyak organ. Keberhasilan RJP dimungkinkan oleh adanya interval waktu antara mati klinis dan mati biologis, yaitu sekitar 4 – 6 menit. Dalam waktu tersebut mulai
terjadi kerusakan sel-sel otak rang kemudian diikuti organ-organ tubuh lain. Dengan demikian pemeliharaan perfusi serebral merupakan tujuan utama pada RJP.
Tanpa pertolongan medis, 95% korban mati klinis akan mengalami mati biologis sebelum tiba di RS. Keberhasilan resusitasi dimungkinkan oleh adanya waktu tertentu diantara mati klinis dan mati biologis. Dikenal pula istilah mati sosial, yaitu suatu kerusakan otak yang hebat dan ireversi bel sehingga pasien tidak sadar dan tidak responsif, tetapi EEG aktif dan beberapa refleks masih utuh.
Pernapasan bisa spontan atau dibantu dengan alat bantu napas (respirator), kesadaran koma, kadang-kadang seperti bangun dan membuka mata, tetapi tidak bisa kontak dengan dunia luar. Jika henti jantung dan henti napas tidak cepat ditolong, maka akan terjadi mati biologis yang irreversibel. Setelah tiga menit mati klinis ( jadi tanpa oksigenisasi ), resusitasi dapat menyembuhkan 75% kasus klinis tanpa gejala sisa. Setelah empat menit persentase menjadi 50% dan setelah lima menit 25%.
BAB III PEMBAHASAN
Pada skenario, didapatkan keluhan nyeri dada sejak setengah jam yang lalu tidak hilang dengan istirahat dan menjalar ke lengan kiri, leher dan ke punggung. Hal ini mungkin terkait dengan kebiasaan pasien yang merokok sampai dua pak per hari sejak usia 15 tahun. Rokok mengandung ribuan senyawa yang bersifat toksik, karsinogenik dan teratogenik. Senyawa-senyawa kimia dalam
rokok
menurunkan
HDL
dalam
tubuh
sehingga
menimbulkan
aterosklerosis. Adanya plak aterosklerosis ini menyebabkan lumen pembuluh darah menyempit dan terjadi oklusi pembuluh darah terutama di arteri coronaria. Oklusi ini menyebabkan aliran darah koroner tidak adekuat dan terjadi iskemia miokard. Iskemia miokard akan menyebabkan penurunan perfusi jantung yang berakibat pada penurunan intake oksigen dan akumulasi hasil metabolisme senyawa kimia. Akumulasi metabolit ini timbul karena suplai oksigen yang tidak adekuat, maka sel-sel miokard mengompensasikan dengan berespirasi anaerob. Produk sampingnya disebut asam laktat yang membuat pH sel menurun. Perubahan metabolisme sel-sel miokard inilah yang menstimulasi reseptor nyeri melalui symphatetic
afferent di area korteks sensoris primer (area 3,2,1
Broadman) yang menimbulkan nyeri di dada. Nyeri dada yang dirasakan pasien menyebar ke lengan diklasifikasikan sebagai nyeri alih. Nyeri alih merupakan nyeri yang berasal dari salah satu daerah di tubuh tapi dirasakan terletak di daerah lain. Nyeri visera sering dialihkan ke dermatom (daerah kulit) yang dipersarafi oleh segmen medulla spinalis yang sama dengan viskus nyeri tersebut. Apabila dialihkan ke permukaan tubuh, maka nyeri visera umumnya terbatas di segmen dermatom tempat organ visera tersebut berasal pada masa mudigah, tidak harus di tempat organ tersebut pada masa dewasa.
Saat ini penjelasan yang paling luas diterima tentang nyeri alih adalah teori konvergensi-proyeksi. Menurut teori ini, dua tipe aferen yang masuk ke segmen spinal (satu dari kulit dan satu dari otot dalam atau visera) berkonvergensi ke sel-sel proyeksi sensorik yang sama (misalnya sel proyeksi spinotalamikus). Karena tidak ada cara untuk mengenai sumber asupan sebenarnya, otak secara salah memproyeksikan sensasi nyeri ke daerah somatik (dermatom).
Pada pemeriksaan vital sign, didapatkan RR 20x/menit dan suhu 36 oC yang masih dalam batas normal, nadi 130x/menit dan tekanan darah 80/60 mmHg. Takikardia dan hipotensi merupakan tanda syok. Syok sendiri dibagi menjadi 2, yaitu hipovolemik, dimana volume plasma berkurang dan normovolemik, yaitu volume plasmanya tetap hanya saja pembuluh darah mengalami vasodilatasi sehingga terlihat seperti volume plasma berkurang relatif. Pada kasus ini, karena pasien sebelumnya mengalami nyeri dada, maka pasien dikategorikan terkena syok kardiogenik, yang termasuk bagian dari syok normovolemik.
Pada pemeriksaan fisik pada cor terdapat suara 1 dan 2 yang normal dan tidak terdapat adanya bunyi gallop atau bising. Hal ini menunjukkan tidak adanya kelainan pada jantung. Pada pemeriksaan lapang paru juga tidak terdapat suara tambahan di dekstra maupun sinistra, dan hanya terdapat suara dasar vesikuler saja yang berarti tidak ada kelainan di paru-paru pasien. Pada saat diberikan terapi oksigen 4 liter/menit dan infuse tiba-tiba pasien tidak sadar dan kejang. Pemberian oksigen yang sesuai dosis terapi adalah antara 2-5 liter/menit, tetapi pemberian tersebut harus memperhatikan kebutuhan dan keadaan pasien sendiri. Sindroma yang sering menyertai pemberian oksigen adalah Paulbert effect yang disebabkan karena kesalahan pengontrolan terapi oksigen. Paulbert effect akan menyebabkan kejang tonik klonik pada pasien. Efek ini disebabkan karena pembentukan ROS yang berlebih pada susunan sel saraf pusat akibat pemberian oksigen yang tinggi dan tidak dikontrol. Kejang juga bias disebabkan karena syok anafilaktik akibat pemberian infus. Infus ada banyak jenisnya dan fungsinya berbeda-beda. Pasien syok anafilaktik biasanya bias dideteksi apabila pasien sendiri sudah mempunyai gangguan hipersensitivitas tipe IV. Oleh karena itu, perlu dilakukan tes hipersensitivitas apabila akan diberii nfus jika waktunya mencukupi. Seorang dokter juga harus siap obat-obat penanganan syok seperti antihistamin, aminofilin, adrenalin, kortikosteroid, epinefrin, dan NaCl atau infuse fisiologis lain. Penanganan kondisi kedaruratan medic pada kasus sebaiknya disesuaikan dengan penyebabnya, apakah karena reaksi syok dan hipersensitivitas ataupun karena gangguan di system sirkulasi terutama cor. Henti napas bias diatasi dengan pemberian
oksigen
sedangkan
henti
jantung
bias
ditangani
dengan
menggunanakan teknik Advanced Cardiovaskuler Life Support(ACLS). Prinsip ACLS hamper sama dengan ATLS, tetapi pada ACLS lebih mengedepankan penanganan sirkulasi (dimulai dari C). Hal tersebut karena mungkin pasien dapat bernapas otomatis tetapi terdapat gangguan sirkulasi (jantung) sehingga kebutuhan oksigen akan berkurang sehingga perlu dijaga system sirkulasinya. Pasien juga dibawa keruang ICVCU (Intensif Cardiovaculer Care Unit) yaitu ruangan ICU yang khusus untuk penanganan gangguan kardiovaskuler.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Nyeri dada yang dialami pasien kemungkinan besar disebabkan konsumsi rokok yang sangat berlebihan sejak remaja. Hal tersebut menimbulkan beberapa komplikasi seperti iskemik miokard akut. Penanganan kondisi kedaruratan medik pada kasus sebaiknya disesuaikan dengan penyebabnya, apakah karena reaksi syok dan hipersensitivitas ataupun karena gangguan di sistem sirkulasi terutama cor.
B. Saran
Tutor sangat membantu tutorial dengan memberikan garis besar masalah dan memberikan feedback pada info mahasiswa sehingga mahasiswa lain juga aktif dalam mengungkapkan pendapat. Saran untuk kegiatan diskusi tutorial adalah partisipasi seluruh anggota kelompok untuk menjaga ketertiban diskusi dan kemampuan saling menghargai terus ditingkatkan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan sebaik-baiknya oleh seluruh anggota diskusi.
View more...
Comments