Laporan RPPLH Provinsi DKI Jakarta (Penetapan Ekoregion)
October 13, 2017 | Author: Hilman Adriyanto | Category: N/A
Short Description
Laporan RPPLH Provinsi DKI Jakarta (Penetapan Ekoregion)...
Description
LAPORAN AKHIR
DAFTAR ISI
PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
LAPORAN AKHIR
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
i
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB – I PENDAHULUAN
I-1
1.1.
LATAR BELAKANG
I-1
1.2.
MAKSUD DAN TUJUAN
I-4
1.3.
SASARAN
I-4
1.4.
MANFAAT
I-4
1.5.
REFERENSI HUKUM
I-4
1.6.
HASIL YANG DIHARAPKAN
I-6
1.7.
INVENTARISASI, PENETAPAN EKOREGION DAN PENYUSUNAN RPPLH PROVINSI
I-6
EKOREGION SEBAGAI KONSEP PERWILAYAAN
I-7
1.8.
BAB – II GAMBARAN UMUM WILAYAH DKI JAKARTA
II - 1
2.1.
LETAK GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
II - 1
2.2.
KARAKTERISTIK LINGKUNGAN FISIK (ABIOTIK)
II - 6
2.2.1.
Karakteristik Topografi
II - 6
2.2.2.
Karakteristik Tanah dan Geologi
II - 6
2.2.3.
Karakteristik Klimatologi
II - 9
2.2.4.
Karakteristik Hidrologi
2.3.
2.4.
2.5.
II - 11
KARAKTERISTIK LINGKUNGAN HAYATI (BIOTIK)
II - 11
2.3.1
Karakteristik Hutan
II - 11
2.3.2
Karakteristik Flora dan Fauna
II - 14
KARAKTERISTIK LINGKUNGAN KULTURAL
II - 15
2.4.1.
Karakteristik Kependudukan
II - 15
2.4.2.
Karakteristik Penggunaan Lahan
II - 17
KONDISI PENGELOLAAN SDA DI WILAYAH DKI JAKARTA
II - 18
2.5.1.
II - 18
Potensi dan Ketersediaan Air Permukaan
PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
i
LAPORAN AKHIR
2.6.
2.5.2.
Potensi Ketersediaan Air Tanah
II - 24
2.5.3.
Potensi dan Ketersediaan Keanekaragaman Hayati
II - 29
IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
II - 32
2.6.1.
Umum
II - 32
2.6.2.
Konflik dan Penyebab Konflik
II - 32
BAB – III METODOLOGI
III - 1
3.1.
UMUM
III - 1
3.2.
KONSEP DASAR
III - 1
3.3.
METODE PENENTUAN BATAS EKOREGION
III - 2
3.3.1.
III - 3
3.4.
3.5.
3.6.
Parameter Deliniasi Pemetaan Ekoregion
METODE PENDEKATAN
III - 3
3.4.1.
Kegiatan Identifikasi dan Deskripsi
III - 5
3.4.2.
Kegiatan Sintesis
III - 8
METODE PEMETAAN
III - 10
3.5.1.
Sumber Data
III - 10
3.5.2.
Kompilasi dan Interpretasi Data
III - 11
3.5.3.
Penyajian Peta Ekoregion
III - 12
REKOMENDASI UNTUK RPPLH
BAB – IV SURVEY DAN PEMETAAN EKOREGION JAKARTA
III - 12
IV - 1
4.1.
KONSEP DAN DEFINISI
IV - 1
4.2.
METODE SURVEY
IV - 2
4.3.
PENGOLAHAN DATA DAN PEMBUATAN PETA TEMATIK
IV - 4
4.4.
DOKUMENTASI SURVEY EKOREGION DKI JAKARTA
IV - 4
BAB – V WILAYAH EKOREGION DKI JAKARTA
V-1
5.1.
DELINIATOR EKOREGION DKI JAKARTA
V-1
5.2.
BENTUK PERMUKAAN TANAH SEBAGAI DELINIATOR EKOREGION DKI JAKARTA
V-2
PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
ii
LAPORAN AKHIR
5.3. 5.4.
EKOREGION DKI JAKARTA DALAM KONTEKS PENGELOLAAN AIR PERMUKAAN
V-3
URAIAN EKOREGION DKI JAKARTA
V-4
5.4.1.
Dataran Pasang Surut Berlumpur Jakarta
V-4
5.4.2.
Dataran Beting Gesik dan Lembah Antar Gisik Jakarta
V - 10
5.4.3.
Dataran Fluviomarin Jakarta
V - 16
5.4.4.
Dataran Banjir Jakarta
V - 20
5.4.5.
Dataran rawa Jakarta
V - 25
5.4.6.
Dataran Vulkanik Jakarta
V - 29
5.4.7.
Ekoregion dan Wilayah Administrasi
V - 34
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
iii
LAPORAN AKHIR
DAFTAR TABEL
PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
LAPORAN AKHIR
Tabel 2.1.
Pembagian Wilayah Administrasi Provinsi DKI Jakarta
II - 1
Tabel 2.2.
Jenis Tanah Di Kawasan DKI Jakarta
II - 9
Tabel 2.3.
Suhu Rata-rata dan Curah Hujan Bulanan Tahun 2011
II - 10
Tabel 2.4.
Statistik Data Temperatur Rata-rata Bulanan
II - 10
Tabel 2.5.
Statistik Data Jumlah Curah Hujan Bulanan
II - 11
Tabel 2.6.
Luas Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta 2011
II - 13
Tabel 2.7.
Jumlah, Kepadatan dan Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta
II - 16
Tabel 2.8.
Luas Wilayah Administrasi dan Penggunaan Lahan
II - 17
Tabel 2.9.
Panjang dan Luas BAdan Air di DKI Jakarta
II - 19
Tabel 2.10. Luas dan Debit Aliran Sungai di DKI Jakarta
II - 20
Tabel 2.11. Nama dan Luas Danau/waduk/situ di Wilayah DKI Jakarta
II - 21
Tabel 2.12. Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum
II - 23
Tabel 2.13. Rata-rata Kualitas Fisik Air Tanah Prov. DKI Jakarta Tahun 2011
II - 26
Tabel 2.14. Data Air Tanah Wilayah Jakarta Selatan
II - 26
Tabel 2.15. Data Air Tanah Wilayah Jakarta Timur
II - 27
Tabel 2.16. Data Air Tanah Wilayah Jakarta Pusat
II - 27
Tabel 2.17. Data Air Tanah Wilayah Jakarta Barat
II - 28
Tabel 2.18. Data Air Tanah Wilayah Jakarta Utara
II - 28
Tabel 4.1.
Koordinat Survey Bentang Lahan Ekoregion DKI Jakarta
Tabel 5.1.
Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Pasang Surut Berlumpur Jakarta
Tabel 5.2.
IV - 3 V–4
Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Beting Gesik dan Lembah Antar Gesik Jakarta
V- 11
Tabel 5.3.
Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Fluviomarin Jakarta
V – 16
Tabel 5.4.
Jenis dan Luas Wilayah Dataran Banjir Jakarta
V – 20
Tabel 5.5.
Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Rawa Jakarta
V – 25
Tabel 5.6.
Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Vulkanik Jakarta
V – 29
Tabel 5.7.
Luas Wilayah Ekoregion DKI Jakarta Berdasarkan Kecamatan
DAFTAR GAMBAR PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
iv
LAPORAN AKHIR
DAFTAR GAMBAR
PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
LAPORAN AKHIR
Gambar 2.1. Peta Wilayah Administrasi DKI Jakarta Gambar 2.2. Peta Kemiringan Lahan DKI Jakarta Gambar 2.3. Peta Ketinggian Lahan DKI Jakarta Gambar 2.4. Peta Geologi DKI Jakarta Gambar 2.5. Peta Satuan Lahan dan Tanah DKI Jakarta Gambar 2.6. Peta Iklim DKI Jakarta Gambar 2.7. Peta Curah Hujan DKI Jakarta Gambar 2.8. Peta Hidrologi DKI Jakarta Gambar 2.9. Peta Sebaran Kepadatan Penduduk DKI Jakarta Gambar 2.10. Grafik Jumlah Penduduk DKI Jakarta Berdasarkan Kota/Kabupaten Administrasi Tahun 2007-2010 Gambar 2.11. Peta Penggunaan Lahan DKI Jakarta Gambar 2.12. Grafik Wilayah Administrasi dan Penggunaan Lahan di DKI Jakarta Gambar 3.1. Kerangka Dasar Penyusunan Peta Ekoregion Provinsi Gambar 4.1. Dataran Banjir Kali Pesanggrahan Daerah Komplek Deplu Jakarta Selatan Gambar 4.2. Hutan Mangrove di Kawasan Ekowisata Mangrove Jakarta Barat Gambar 4.3. Mangrove di Marunda Jakarta Utara Gambar 4.4. Estuarine di Marunda Jakarta Utara Gambar 4.5. Ahli Fungsi Lahan Dataran Rawa di Cilincing, Jakarta Utara Gambar 5.1. Peta Ekoregion DKI Jakarta Gambar 5.2. Dataran Pasang Surut berlumpur yang ditumbuhi oleh Mangrove di wilayah Marunda Cilincing – Jakarta Utara Gambar 5.3. Permukiman pada meander K. Pesanggrahan yang merupakan dataran banjir Gambar 5.4. Permukiman pada meander K. Pesanggrahan yang merupakan dataran banjir Gambar 5.5. Alih fungsi Lahan Dataran Rawa di Cilincing – Jakarta Utara
PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
v
LAPORAN AKHIR
BAB – I PENDAHULUAN
PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
LAPORAN AKHIR
BAB – I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan tingkat kepadatan per-km2 mencapai 13.157 jiwa/km2 dan jumlah penduduk 9,76 juta jiwa memiliki sumber daya alam yang melimpah, baik di darat, perairan tawar maupun laut dan juga merupakan tempat keanekargaman hayati yang sangat besar. Sumberdaya alam pada dasarnya merupakan satu kesatuan utuh ekosistem, yang dapat menghasilkan barang dan jasa. Apabila eksositem sumberdaya alam dipandang sebagai sumberdaya
alam
sistem
produksi
suatu
komoditas,
maka
komoditas
yang diproduksi atau dimanfaatakan merupakan bagian
integral dari sistem produksi komoditas itu sendiri maupun komoditas lainnya, sehingga pemanfaatan komoditas tertentu akan mempengarhi sistem produksi komoditas lainnya. Memahami ekosistem sumberdaya alam dalam sistem produksi komoditas tertentu
sangat diperlukan untuk memahami pengaruh timbal balik antara
pemanfaatan komoditas tertentu terhadap komoditas lainnya termasuk terhadap jasa sumberdaya lama tersebut. Pemanfaatan sumberdaya alam secara parsial, masing-masing sektor atau komoditas, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap sektor, komoditas lainnya, dan lingkungan dapat mengakibatkan dampak negatif bagi kelestarian produksi dan jasa sumberdaya alam tersebut. Pembangunan merupakan upaya sadar dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam untuk meningkatkan kemakmuran rakyat yang mengandung resiko pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Kerusakan atau kepunahan salah satu sumber daya alam akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak dapat dinilai dengan materi, namun pemulihan kembali ke keadaan semula tidak mungkin dilakukan. Persoalan lingkungan adalah persoalan semua, baik pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
I-1
LAPORAN AKHIR
bersinergi dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati, perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang tidak dilakukan sesuai dengan daya dukungnya dapat menimbulkan krisis pangan, air, energi dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir seluruh jenis sumberdaya alam dan komponen lingkungan hidup di kota Jakarta cenderung mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya dari waktu ke waktu. Dalam era otonomi daerah, pengelolaan lingkungan hidup mengacu pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diundangkan pada tanggal 3 Oktober 2009 mengamanatkan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lebih baik. Dalam kerangka Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu disusun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) secara bertahap dengan kegiatan-kegiatan, langkah pertama yang harus ditempuh adalah kegiatan inventarisasi data lingkungan hidup. Hasil
inventarisasi
lingkungan hidup menjadi dasar dalam penetapan wilayah ekoregion. Lalu dilakukan kajian penyusunan Dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Di dalam UU No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, ekoregion merupakan unit atau satuan wilayah dalam melakukan inventarisasi lingkungan hidup (pasal 6) dan menentukan daya dukung dan daya tampung serta cadangan sumber daya alam (pasal 8). Selanjutnya disebutkan bahwa ekoregion adalah sebagai salah satu dasar dalam penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) yang merupakan kewajiban dari semua tingkatan pemerintahan, mulai dari Pusat, Pemerintahan Provinsi sampai Pemerintahan Kabupaten dan Kota (pasal 9). Sebagaimana disebutkan UU No 32 tahun 2009 tentang PPLH ekoregion didefinisikan sebagai wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
I-2
LAPORAN AKHIR
air, flora dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Penepatan wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan (pasal 7 ayat 2): a.
Karakteristik bentang alam;
b.
Daerah aliran sungai;
c.
Iklim
d.
Flora dan fauna
e.
Sosial budaya
f.
Ekonomi
g.
Kelembagaan masyarakat; dan
h.
Hasil inventarisasi lingkungan hidup.
Selama ini kebijakan, rencana dan program perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup masih belum sesuai dengan kondisi eksisting lingkungan hidup. Dengan
ditetapkan
ekoregion
suatu
propinsi,
diharapkan
perencanaan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH) yang dilakukan oleh pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota yang terletak pada suatu ekoregion yang sama mendapat penanganan yang memperhatikan aspek-aspek penetapan ekoregion. Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka menengah. Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH. Jika Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) belum tersusun maka pemanfaatan sumber daya alam didasarkan pada daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang ditetapkan oleh Gubernur. Pada saat ini Provinsi DKI Jakarta belum menetapkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidupnya oleh karena itu berdasarkan amanat undang undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup maka diwajibkan provinsi untuk menyusun rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tingkat provinsi.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
I-3
LAPORAN AKHIR
1.2.
Maksud dan Tujuan
Maksud dari kegiatan penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Tahap II adalah Penetapan ekoregion Provinsi DKI Jakarta dengan Skala Dasar 1:50.000.
Tujuan dari kegiatan penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tahap II Provinsi DKI Jakarta adalah penyusunan Peta Ekoregion Provinsi DKI Jakarta dengan skala dasar 1:50.000, yag dilengkap dengan
identifikasi
karakteristik
setiap
satuan
ekoregion
dengan
mempertimbangkan kesamaan bentang alam, DAS, iklim, flora fauna, sosial budaya, ekonomi dan kelembagaan masyarakat di Provinsi DKI Jakarta, yang dapat
dimanfaatkan
sebagai
acuan
dalam
penyusunan
perencanaan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
1.3.
Sasaran Sasaran dari Kegiatan “Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH Tahap II) Provinsi DKI Jakarta”, adalah Peta Ekoregion Provinsi DKI Jakarta dengan skala dasar 1:50.000 dan identifikasi karakteristik setiap satuan ekoregion.
1.4.
Manfaat Manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan kegiatan Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta tahap II (Penetapan Ekoregion) adalah : 1.
Sebagai pedoman strategis dalam penyusunan kebijakan, rencana dan program perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
2.
Dan sebagai salah satu dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang dan rencana jangka menengah.
1.5.
Referensi Hukum 1.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup;
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
I-4
LAPORAN AKHIR
2.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
3.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Keanekaragaman Hayati (Biological Diversity) Konvensi PBB;
4.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
5.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;
6.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
7.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir;
8.
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2009
tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup; 9.
Keputusan Gubernur No. 582 Tahun 1995 tentang Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai/Badan Air serta Baku Mutu Limbah Cair di Wilayah DKI Jakarta;
10. Kep Men LH No. 110 Tahun 2003 tentang Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban Pencemar Air Pada Sumber Air; 11. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air; 12. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 68 Tahun 2005 tentang Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 115 Tahun 2001 Tentang Pembuatan Sumur Resapan; 13. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Manajemen Lingkungan Kawasan 14. Peraturan Pemerintah RI No. 43 tentang Air Tanah; 15. Per Men LH No. 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah, Dokumen RTRW dan RDTR Provinsi dan Kota di Wilayah Provinsi DKI Jakarta; 16. Per Men LH No. 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS); 17. Keputusan Kepala Daerah BPLHD Prov. DKI Jakarta No. 262 tahun 2011 tentang
Petunjuk
Teknis
Mekanisme
Pembinaan
dan
Pengawasan
Pengendalian Pencemaran Air Limbah Di Prov. DKI Jakarta.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
I-5
LAPORAN AKHIR
1.6.
Hasil Yang Diharapkan Hasil
diharapkan
dari
kegiatan
Penyusunan
Rencana
Perlindungan
dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup provinsi DKI Jakarta tahap II (Penetapan Ekoregion) adalah : 1.
Peta Ekoregion Provinsi DKI Jakarta, skala dasar 1 : 50.000 (format A0) dan skala 1 : 125.000 (format A3, untuk dilampirkan di dalam buku Laporan)
2.
1.7.
Identifikasi dan deskripsi karakteristik setiap satuan ekoregion.
Inventarisasi, Penetapan Ekoregion dan Penyusunan RPPLH Provinsi Kementerian Lingkungan Hidup juga mencoba menentukan ekoregion dan kelas wilayah, yang dijadikan dasar menetapkan pewilayahan lebih lanjut. Sebagai suatu negara tropis kepulauan dengan sejarah dan struktur geologi yang rumit, yang membawa akibat pada biota dan budaya yang begitu beragam menyebabkan penetapan ekoregion pasti tidak mudah. Belum dapat dipastikan kapan ekoregion dan RPPLH nasional ditetapkan. Diperkirakan upaya untuk melaksanakan
undang-undang
untuk
menyusun
RPPLH
Nasional
akan
memanfaatkan momentum penyusunan RPJM Nasional dan peninjauan kembali RTRW Nasional. RPPLH provinsi sebagai suatu telaah dan pendekatan baru dalam perumusan kebijakan publik dan perencanaan formal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas, RPPLH harus mencakup komponen yang mendasar. UU No.32/2009 menganggap sumberdaya alam sebagai komponen mendasar dan secara gamblang dinyatakan bahwa RPPLH ditujukan untuk mengendalikan pemanfaatan sumberdaya alam. Sumberdaya alam yang tersedia di DKI Jakarta begitu beraneka regam tetapi tidak semuanya tersedia dan menjadi sandaran kehidupan dan perkembangan DKI Jakarta. Oleh karena itu inventarisasi lingkungan yang antara meliputi jenis, potensi, penguasaan dan tingkat kerusakan sumberdaya alam di DKI Jakarta perlu difokuskan pada sumber daya alam yang paling mempengaruhi hajat hidup masyarakat
DKI
Jakarta.
Kajian
yang
telah
dilakukan
sebelumnya
mempertimbangkan air sebagai sumberdaya alam yang memang paling Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
I-6
LAPORAN AKHIR
menentukan kehidupan dan perkembangan masyarakat DKI Jakarta. Dengan demikian penentuan ekoregion DKI Jakarta perlu memperhatikan kaitannya dengan kondisi dan sistem perairan tersebut. Oleh karena itulah diperlukan ekoregion atau ekodistrik berdasarkan tata air permukaan yang tercermin dalam daerah aliran sungai. Pemilihan tata air permukaan sebagai unsur utama dalam penetapan ekoregion akan dipertahankan.
1.8.
Ekoregion sebagai Konsep Pewilayahan Dalam perencanaan dengan pendekatan spasial atau pewilayahan dikenal aneka cara menentukan satuan wilayah. Telah dikenal misalnya wilayah pembangunan yang di DKI Jakarta didasarkan pengadministrasian pembangunan. Wilayah sungai yang ditujukan untuk mengelola sungai terutama dalam kaitannya infrastruktur pemanfaatan air. Daerah aliran sungai yang lebih menekankan pada pengelolaan hutan dalam kaitannya pengelolan air. Ekoregion adalah suatu konsep pewilayahan yang didasarkan pada eksositem, karena itu juga disebut sebagai geografi ekosistem. Konsep ini sudah diperkenalkan dan dibahas dalam berbagai acara khusus dan kesempatan. Walaupun demikian oleh karena besaran satuan wilayah dan penamaannya belum baku, dalam kegiatan ini akan dibahas kembali agar penamaan dan peristilahan yang digunakan dapat dipastikan. Sejak awal tahun tujuhpuluhan di beberapa negara mulai diterapkan pewilayahan didasarkan ekosistem. Tujuannya adalah untuk mengelola sumberdaya alam dan sekaligus untuk konservasi. Dengan adanya sistem pewilayahan ini para penyelenggara daerah mempunyai pengetahuan untuk menetapkan dimana suatu kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam diperbolehkan, apa syaratnya dan dimana
adanya
suatu
kegiatan
dilarang
sama
sekali.
Amerika
Serikat
mengembangkan pewilayahan ini terutama untuk tujuan mengelola pertanian dan kehutanan. Australia mengembangkan untuk tujuan konservasi tanah. Konsep pewilayah yang disebut dengan ekoregion, dikembangkan dari bidang studi biogeografi. Sedangkan biogeografi sendiri merupakan paduan biologi
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
I-7
LAPORAN AKHIR
geografi (geographical bilogy) yang dikembangkan oleh ahli bilogi dengan geografi biologi (biological geography) yang dikembangkan ahli geografi. Biologi geografi mempelajari sifat tanaman dan hewan dalam kaitannya dengan ruang. Sedang geografi biologi mempelajari pembagian wilayah atau identifikasi satuan ruang berdasarkan kesamaan atau perbedaan spesies, sistematika taxom dan ekosistem. Pewilayahan yang berbasis ekosistem ini kemudian dikembangkan di banyak negara dan aneka lembaga internasional untuk tujuan yang sama, yaitu perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Meskipun ada berbagai variasi dalam mendeliniasi wilayah, sesungguhnya tidak ada perbedaan yang mendasar mengenai unsur/parameter yang digunakan sebagai deliniator. Ada tiga unsur pokok yang digunakan sebagai deliniator, yaitu iklim (atmosfir), jenis biota terutama jenis vegetasi dan bentuk serta jenis permukaan lahan (bentang alam). Apa yang jadi penentu atau deliniator utamanya tergantung pada dua hal yaitu: skala atau besar wilayah (berdasarkan suatu sistem penjenjangan atau hierarki) dan tujuan melakukan pewilayahan tersebut. Ini berkaitan juga dengan institusi dan kewenangan.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
I-8
LAPORAN AKHIR
BAB – II GAMBARAN UMUM WILAYAH DKI JAKARTA
PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
LAPORAN AKHIR
BAB – II GAMBARAN UMUM WILAYAH DKI JAKARTA
2.1.
Letak Geografis dan Administrasi Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta berada pada posisi geografis antara 106.22’42” dan 106.58’18” Bujur Timur, serta antara 5.19’12” dan 6.23’54” Lintang Selatan dengan keseluruhan luas wilayah 7.659,02 km2, meliputi 662,33 km2 daratan, termasuk 110 pulau di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan 6.977,5 km2 lautan. Provinsi DKI Jakarta terbagi dalam lima Kota Administrasi dan satu Kabupaten Administrasi. Kota Administrasi Jakarta Pusat memiliki luas 48,13 km2; Kota Administrasi Jakarta Utara dengan luas 146,66 km2; Kota Administrasi Jakarta Barat dengan luas 129,54 km2; Kota Administrasi Jakarta Selatan dengan luas 141,27 km2; dan Kota Administrasi Jakarta Timur dengan luas 188,03 km2, serta Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan luas 8,70 km2. Tabel 2.1. Pembagian Wilayah Administrasi Provinsii DKI Jakarta
Kabupaten/ Kota Administrasi 1 Jakarta Pusat 2 Jakarta Utara 3 Jakarta Timur 4 Jakarta Selatan 5 Jakarta Barat 6 Kep. Seribu Sumber : Jakarta Dalam Angka, 2012 No
Secara
administrasi
Jumlah Kecamatan 8 6 10 10 8 2
kewilayahan,
masing-masing
Kelurahan 44 31 65 65 56 6
Kota
dan
Kabupaten
Administratif dibagi menjadi beberapa kecamatan. Masing-masing kecamatan tersebut dibagi menjadi beberapa kelurahan. Kota Administratif Jakarta Pusat terdiri dari 8 (delapan) Kecamatan dan 44 (empat puluh empat) Kelurahan. Kota Administasi Jakarta Utara terdiri dari 6 (enam) Kecamatan dan 31 (tiga puluh
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 1
LAPORAN AKHIR
satu) Kelurahan. Selanjutnya Kota Administrasi Jakarta Barat terdiri dari 8 (delapan) Kecamatan dan 56 (lima puluh enam) kelurahan. Kota Administrasi Jakarta Selatan terdiri dari 10 (sepuluh) Kecamatan dan 65 (enam puluh lima) Kelurahan. Kota Administrasi Jakarta Timur terdiri dari 10 (sepuluh) Kecamatan dan 65 (enam puluh lima) Kelurahan. Sedangkan Kabupaten Kepulauan Seribu hanya terdiri dari 2 (dua) Kecamatan dan 6 (enam) Kelurahan. Berdasarkan Undang-Undang No. 29 Tahun 2007 tentang tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Provinsi DKI Ibukota Jakarta memiliki batas-batas yaitu sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat, sebelah selatan dengan Kota Depok Provinsi Jawa Barat; dan sebelah barat dengan Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Provinsi Banten. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.1. A.
Wilayah Jakarta Selatan
Letak
: 6°15' 40,8” LS 106°45' 0,00” BT
Ketinggian
: 26,2 Meter di atas permukaan laut
Luas Wilayah
: 145,73 km²
- Pemukiman
:
113,20 km²
- Pertanian
:
23,11 km²
- Hutan/Hutan Kota
:
3,57 km²
- Lain - Lain
:
1,39 km²
Jumlah Kec./ Kel.
: 10 Kecamatan dan 65 Kelurahan
Kecamatan : (1) Jagakarsa 24,87 km²; (2) Pasar Minggu 21,69 km²; (3) Cilandak 18,16 km²; (4) Pesanggrahan 12,76 km²; (5) Kebayoran Lama 16,72 km²; (6) Kebayoran Baru 12,93 km²; (7) Mampang Prapatan 7,73 km²; (8) Pancoran 8,63 km²; (9) Tebet 9,03 km²; (10) Setiabudi 8,85 km².
Batas Wilayah Selatan
: Kec.
Tanah
Abang (Kota Adm.
Jakarta
Pusat),
Jl.
Kebayoran lama dan Kebon jeruk (Kota Adm. Jakarta Timur) Timur
: Kali Ciliwung (Kota Adm. Jakarta Timur)
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 2
LAPORAN AKHIR
Barat
: Kec. Ciputat dan Ciledug kota tanggerang dan tanggerang selatan (Prov. Banten)
Utara
: Kotamadya Depok (Prov. DKI Jakarta)
B. Wilayah Jakarta Timur
Letak
: 6°10'37'' LS, 106°49'35'' BT
Ketinggian
: 16 Meter di atas permukaan laut
Luas Wilayah
: 188,03 km²
-
Pemukiman
: 157,35 km²
-
Pertanian
: 23,54 km²
-
Hutan/Hutan Kota
: 1,45 km²
-
Lain - Lain
: 5,69 km²
Jumlah Kec./ Kel.
: 10 Kecamatan dan 65 Kelurahan
Kecamatan : (1) Pasar Rebo 12,97 km²; (2) Ciracas 16,08 km²; (3) Cipayung 28,45 km²; (4) Makasar 21,86 km²; (5) Kramat Jati 13,29 km²; (6) Jatinegara 10,25 km²; (7) Duren Sawit 22,65 km²; (8) Cakung 42,27 km²; (9) Pulo Gadung 15,60 km²; (10) Matraman 4,98 km².
Batas Wilayah Selatan
: Kab. Bogor (Prov. DKI Jakarta)
Timur
: Kabupaten Bekasi (Prov. DKI Jakarta)
Barat
: Sungai Ciliwung (Kota adm. Jakarta Selatan)
Utara
: Kota Adm. Jakarta Pusat dan Kota Adm. Jakarta Utara
C. Wilayah Jakarta Pusat
Letak
: 5°19'12'' - 6°23'54'' LS, 106°22'42'' BT, 106°58'18'' BB
Ketinggian
: 4 Meter di atas permukaan laut
Luas Wilayah
: 48,13 km²
-
Pemukiman
: 45,98 km²
-
Pertanian
: 1,32 km²
-
Hutan/Hutan Kota
: 0,14 km²
-
Lain - Lain
: 0,69 km²
Jumlah Kec./ Kel.
: 8 Kecamatan dan 44 Kelurahan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 3
LAPORAN AKHIR
Kecamatan : (1) Tanah Abang 9,3 km²; (2) Menteng 6,5 km²; (3) Senen 4,2 km²; (4) Johar Baru 2,38 km²; (5) Cempaka Putih 4,69 km²; (6) Kemayoran 7,25 km²; (7) Sawah Besar 6,16 km²; (8) Gambir 7,29 km²
Batas Wilayah Selatan
: Jl. Pramuka, Kali Ciliwung/Banjir Kanal, Jl. Jend Sudirman, Jl. Lekir
Timur
: Jl. Jend. Ahmad Yani/By Pass
Barat
: Kota adm. Jakarta Barat dan Selatan
Utara
: Jl. Duri Raya, Jl. KH Zainul Arifin. Jl. Wiryopranoto, Jl.Mangga Dua, Jl. Rajawali Selatan 12, Jl. Eks Pelud Kemayoran, Jl. Sunter Kemayoran
D.
Wilayah Jakarta Barat
Letak
: 5°19'12'' - 6°23'54'' LS, 106°22'42'' –
106°58'18''BT
Ketinggian
: 7 Meter di atas permukaan laut
Luas Wilayah
: 129,54 km²
- Pemukiman
: 107,95 km²
- Pertanian
: 20,40 km²
- Hutan/Hutan Kota
: 0,18 km²
- Lain - Lain
: 1,01 km²
Jumlah Kec./ Kel.
: 8 Kecamatan dan 56 Kelurahan
Kecamatan : (1) Kembangan 24,16 km²; (2) Kebon Jeruk 17,98 km²; (3) Palmerah 7,51 km²; (4) Grogol Petamburan 9,99 km²; (5) Tambora 5,40 km²; (6) Taman Sari 7,73 km²; (7) Cengkareng 6,54 km²; (8) Kalideres 30,23 km²
Batas Wilayah Selatan
: Kota Adm. Jakarta Selatan dan Prov. Banten
Timur
: Kec. Gambir (Kota Adm. Jakarta Pusat)
Barat
: Kota Tangerang (Prov. Banten)
Utara
: Kec. Penjaringan (kota Adm. Jakarta Utara)
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 4
LAPORAN AKHIR
E.
Wilayah Jakarta Utara
Letak
: 06°10'00'' LS, 106°20'00'' BT
Ketinggian
: 0 - 20 Meter di atas permukaan laut
Luas Wilayah
: 146,66 km²
-
Pemukiman
: 125,66 km²
-
Pertanian
: 14,63 km²
-
Hutan/Hutan Kota
: 4,33 km²
-
Lain - Lain
: 2,04 km²
Jumlah Kel/Kec
: 31 Kelurahan dan 6 Kecamatan
Kecamatan : (1) Penjaringan 35,49 km²; (2) Pademangan 9,92 km²; (3) Tanjung Priok 25,28 km²; (4) Koja 11,32 km²; (5) Kelapa Gading 16,12 km²; (6) Cilincing 42,54 km².
F.
Batas Wilayah Selatan
:
Kota Adm. Jakarta Barat, Jakarta Pusat dan Jakarta Timur
Timur
:
Kota Adm. Jakarta Timur dan Kab. Bekasi
Barat
:
Kab. Tangerang dan Kota Adm. Jakarta Barat
Utara
:
Laut Jawa
Wilayah Kepulauan Seribu
Letak
Ketinggian
: 1 Meter di atas permukaan laut
Luas Wilayah
: 8,70 km²
: 05°10'00''- 05°10'00'' LS , 106°19'30'' 106°44'50'' BT
-
Pemukiman
: 5,90 km²
-
Pertanian
: 1,79 km²
-
Hutan/Hutan Kota
Jumlah Kec./ Kel.
: 1,01 km²
: 2 Kecamatan dan 6 Kelurahan
Kecamatan : Kep. Seribu Selatan 167,54 Ha;Kep. Seribu Utara 62,68 Ha.
Batas Wilayah Selatan
: 2 wilayah Kota Administrasi, 3 wilayah Prov. Banten dan 1 wilayah DKI Jakarta
Timur
: Laut Jawa
Barat
: Wilayah Prov. Lampung
Utara
: Laut Jawa
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 5
LAPORAN AKHIR
2.2.
Karakteristik Lingkungan Fisik (Abiotik)
2.2.1.
Karateristik Topografi Provinsi DKI Jakarta termasuk dalam satuan morfologi dengan kemiringan lereng 0-0,5% dan ketinggian kurang dari 10 meter di daerah pantai hingga 70 meter di bagian selatan Jakarta mendekati Bogor. Jakarta memiliki 13 sungai utama yang mengalir di dalamnya, dengan sungai-sungai utama yang mengalir di wilayah DKI Jakarta adalah Sungai Angke, Sungai Krukut, Sungai Ciliwung, Sungai Grogol, Sungai Sunter, Sungai Cipinang, dan Sungai Cakung. Tata letak DKI Jakarta pada daerah dataran rendah pantai menimbulkan beberapa kendala fisik yaitu sekitar 5% dari luas areal luas DKI Jakarta berada pada ketinggian kurang dari 10 meter diatas permukaan laut dan kemiringan berkisar 0- 0,5%. Selain itu 13 sungai yang mengalir melalui DKI Jakarta mengakibatkan terbentuknya dataran banjir. Seperti pada Gambar 2.2. dan Gambar 2.3.
2.2.2.
Karakteristik Tanah dan Geologi DKI Jakarta yang didominasi oleh jenis batuan berupa batuan sedimen (aluvial) yang berasal dari endapan gunung berapi di selatan Kabupaten Bogor. Membentuk Cekungan air tanah yang terdiri atas endapan laut, sungai, rawa, dan endapan yang berasal dari gunung berapi. Endapan penyusun cekungan air tanah Jakarta tersebut terdiri atas perselingan lempung, pasir dan kerikil, endapan jenis ini terdapat hampir di seluruh daerah di Jakarta. Sementara itu terdapat pula jenis endapan penyusun air tanah dengan jenis yang sedikit berbeda dengan endapan yang mendominasi daerah di Jakarta, yakni endapan yang dinamakan endapan pantai dan rawa. Endapan pantai dan rawa tersusun oleh lempung, lumpur, dan pasir. Jenis endapan pantai dan rawa ini berada di sepanjang pantai utara DKI Jakarta. a.
Pasir Lempungan dan Lempung Pasiran Merupakan endapan aluvial sungai dan pantai berangsur-angsur dari atas ke bawah terdiri dari lanau lempungan, lanau pasiran dan lempung pasiran.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 6
LAPORAN AKHIR
Semakin ke arah Utara mendekati pantai berupa lanau pasiran dengan sisipan lempung organik dan pecahan cangkang kerang, tebal endapan antara perselang-seling lapisannya berkisar antara 3-12 m dengan ketebalan secara keseluruhan diperkirankan mencapai 300 m. Lanau lempungan tersebar secara dominan di permukaan, abu-abu kehitaman sampai abu-abu kecoklatan, setempat mengandung material organik, lunak-teguh, plastisitas sedang-tinggi. Lanau pasiran, kuning keabuan, teguh, plastisitas sedangtinggi. Lempung pasiran, abu-abu kecoklatan, teguh, plastisitas sedangtinggi. Pada beberapa tempat nilai qu untuk lanau lempungan antara lanau pasiran antara 2 - 3 kg/cm2 dan lempung pasiran antara 1,5 – 3 kg/cm2, tebal lapisan lanau lempungan antara 1,5 – 5 m, lanau pasiran antara 0,5 – 3 m, dan lempung pasiran antara 1 – 4 m dengan nilai tekanan konus lanau lempungan sekitar 2 – 20 kg/m2, lanau pasiran antara 15 – 25 kg/m2, dan lempung pasiran antara 10 – 40 kg/m2. b. Satuan Pasir Lempungan Merupakan endapan pematang pantai berangsur-angsur dari atas ke bawah terdiri dari perselang-selangan lanau pasiran dan pasir lempungan. Tebal endapan antara 4,5 – 13 m. Di permukaan didominasi oleh pasir lempungan, dengan warna coklat muda dan mudah terurai. Pasir berbutir halus-sedang, mengandung lempung, setempat kerikilan dan pecahan cangkang kerang. Lanau pasiran berwarna kelabu kecoklatan, lunak, plastisitas sedang. Pada beberapa tempat nilai qu untuk pasir lempungan antara 0,75 – 2 kg/cm2 dan lanau pasiran antara 1,5 – 3 kg/cm2, tebal lapisan pasir lempungan antara 3 - 10 m dan lanau pasiran antara 1,5 - 3 meter dengan kisaran nilai tekanan konus pasir lempungan antara 10 - 25 kg/m2 dan lanau pasiran antara 2 10 kg/m2
c.
Satuan Lempung Pasiran dan Pasir Lempungan Merupakan endapan limpah banjir sungai. Satuan ini tersusun berselangselang antara lempung pasiran dan pasir lempungan. Lempung pasiran umumnya berwarna abu-abu kecoklatan, coklat, dengan plastisitas sedang, konsistensi
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 7
LAPORAN AKHIR
lunak-teguh. Pasir lempungan berwarna abu-abu, agak lepas, berukuran pasir halus-kasar, merupakan endapan alur sungai dengan ketebalan 1,5 – 17 m.
d. Lempung Lanauan dan Lanau Pasiran Merupakan endapan kipas aluvial vulkanik (tanah tufa dan konglomerat), berangsur-angsur dari atas ke bawah terdiri dari lempung lanauan dan lanau pasiran dengan tebal lapisan antara 3 – 13,5 m. Lempung lanauan tersebar secara dominan di permukaan, coklat kemerahan hingga coklat kehitaman, lunak-teguh, plastisitas tinggi. Lanau pasiran, merah-kecoklatan, teguh, plastisitas sedang-tinggi. Pada beberapa tempat nilai qu untuk lempung antara 0,8 – 2,85 kg/cm2 dan lanau lempungan antara 2,3 – 3,15 kg/cm2, tebal lapisan lempung antara 1,5 - 6 m dan lanau lempungan antara 1,5 – 7,5 m. Kisaran nilai tekanan konus lempung antara 2 – 50 kg/m2 dan lanau lempungan antara 18 – 75 kg/m2. Tufa dan konglomerat melapuk menengah – tinggi, putih kecoklatan, berbutir pasir halus-kasar, agak padu dan rapuh. Pada Gambar 2.4. berisikan informasi mengenai jenis batuan di Jakarta dapat dilihat sebarannya. Jenis batuan lempung pasiran dan lempung organik sebagian besar tersebar di bagian utara Jakarta dan berbatasan langsung dengan laut. Namun jenis batuan ini juga tersebar di bagian tengah dan barat Jakarta, namun sebarannya tidak terlalu mendominasi di bagian ini. Untuk jenis batuan berupa pasir lanauan tidak terlalu luas di Jakarta. Jenis batuan ini terdapat di bagian barat laut dan timur laut Jakarta. Pasir lempungan dan lempung pasiran merupakan jenis batuan yang sebarannya tidak terlalu luas di Jakarta. Jenis batuan ini hanya berada di bagian timur Jakarta.Untuk jenis batuan lempung lanauan dan lanau lempungan sangat mendominasi di Jakarta, jenis batuan ini tersebar sebagian besar di Jakarta bagian utara dan sedikit di bagian selatan Jakarta. Jenis batuan lain yang juga mendominasi di Jakarta adalah Lempung Pasiran dan lanau Pasiran. Sebaran jenis batuan ini berada di bagian tengah hingga selatan Jakarta.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 8
LAPORAN AKHIR
DAS hulu Ciliwung dari sekuen paling atas mempunyai tanah berbahan pasir volkan muda, kedalaman tanah dalam, tekstur kasar, kelolosan air atau porositas tinggi (jenis tanah Regosol atau Udipsamments) berasosiasi dengan tanah dangkal, halus, dan berbatu (Litosol atau Udorthents). Jakarta bagian selatan, merupakan wilayah yang kompleks dengan tanah bersifat sedang-dalam, tekstur halus, teguh, porositas rendah, berwarna kemerahan (Latosol coklat kemerahan dan Latosol merah atau Inceptisols/Ultisols) seperti dapat kita lihat Tabel 2.2. dan Gambar 2.5. Tabel 2.2. Jenis Tanah Di Kawasan DKI Jakarta Luas Tanah (Km²) No
Jenis Tanah
1 2
Aluvial Hidromorf Aluvial Kelabu Tua Asosiasi Glei Humus Rendah, Aluvial Kelabu Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan Regosol Coklat DKI Jakarta
3 4 5
Jakarta Selatan
Jakarta Timur
Jakarta Pusat
Jakarta Barat
Jakarta Utara
Total (km²)
-
-
12,40
0,09 59,53
33,32 69,42
33,41 141,35
-
26,12
1,96
-
12,69
40,77
145,53
159,44
33,78
53,46
0,82
393,03
145,53
185,56
48,14
12,65 125,73
11,44 127,69
24,09 632,65
Sumber: Jakarta Coastal Defence Strategy Project (JCDS), 2011
2.2.3.
Karakteristik Klimatologi Keadaan iklim di wilayah Jakarta menurut stasiun pengamatan Jakarta tahun 2011 memiliki suhu udara rata-rata 28,4°C dengan kelembaban udara 74 persen, tekanan udara 1009,6 mbs, arah angin 270 point, kecepatan angin 2 mill/h, penyinaran matahari 45 persen dan curah hujan rata-rata 2.395 mm2. Curah hujan yang terjadi di Jakarta cukup bervariasi dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika secara umum DKI Jakarta memiliki curah hujan bulanan dengan kisaran kurang dari 50 mm hingga lebih dari 300 mm. Secara umum, Provinsi DKI Jakarta tidak terlepas dari dampak fenomena pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan frekuensi maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim. Fenomena pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim dapat mengakibatkan terjadinya perubahan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 9
LAPORAN AKHIR
sosial dan budaya. Pada akhirnya perubahan iklim juga akan merubah pola kehidupan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dari hasil pemantauan suhu yang dilakukan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika
pada
titik
pemantauan
Stasiun
Meteorologi
Kemayoran
menunjukkan bahwa rata-rata suhu udara di Jakarta setiap bulannya berubahubah. Selama tahun 2011 suhu rata-rata terendah terjadi pada bulan Januari yaitu sebesar 27,3°C dan tertinggi pada bulan Oktober yaitu sebesar 29,2°C, dan apabila dibandingkan dengan tahun 2010, rata-rata suhu terendah terjadi pada bulan Januari yaitu 27,4°C dan tertinggi terjadi pada bulan April yaitu 29,7°C, menunjukan bahwa telah adanya perubahan iklim di Indonesia untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.3. dan Gambar 2.6. – Gambar 2.7.
Tabel 2.3. Suhu Rata-rata dan Curah Hujan Bulanan Tahun 2011 No
Kabupaten/ Kota Adm.
Curah Hujan (mm)
Hari Hujan (hari)
Temperatur / Suhu (°C)
Kelembaban Udara (%)
14 143 13 153 129 129
25,00 28,1 28,46 28,47 28,04 28,43
77,00 76,06 74,07 74,06 75,00 74,75
1 Jakarta Selatan 98,2 2 Jakarta Timur 138,1 3 Jakarta Pusat 97,8 4 Jakarta Barat 230,70 5 Jakarta Utara 100,6 6 Kep. Seribu n/a Sumber: BPS – Kab/Kota Dalam Angka 2012
Tabel 2.4. Statistik Data Temperatur Rata-rata Bulanan Tahun
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Rata-Rata
2006
27,3
27,7
28,1
28,5
28,7
28,7
28,7
28,3
28,7
29,6
29,7
28,7
28,6
2007
28,6
27,1
28,0
28,3
28,8
28,5
28,7
28,6
28,6
28,7
28,5
27,4
28,3
2008
28,1
26,3
27,4
28,1
28,9
28,5
28,4
28,5
28,9
29,0
28,1
27,7
28,2
2009
27,1
27,2
28,3
28,9
28,5
28,9
28,7
29,0
29,4
29,4
28,4
28,5
28,5
2010
27,4
28,1
28,6
29,7
29,3
28,5
28,3
28,7
27,9
27,9
28,4
27,7
28,4
2011 27,3 27,6 27,9 28,6 28,8 Sumber: Meteorologi Kemayoran, BMKG 2012
28,7
28,3
28,8
29,0
29,2
28,9
28,5
28,5
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 10
LAPORAN AKHIR
Tabel 2.5. Statistik Data Jumlah Curah Hujan Bulanan Tahun
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Rata-Rata
2006
390
289
300
316
85
31
53
0
0
11
27
112
134,5
2007
211
675
178
166
189
101
35
67
60
76
86
513
196,2
2008
227
678
212
218
26
51
10
36
97
86
114
154
159,1
2009
548
232
141
93
223
74
10
7
88
63
304
189
164,4
2010
377
223
243
27
88
134
250
151
256
381
143
124
199,6
71
18
2
53
80
45
177
106,2
2011 146 231 148 107 199 Sumber: Meteorologi Kemayoran, BMKG 2012
2.2.4.
Karakteristik Hidrologi Berdasarkan letaknya Kota Jakarta termasuk dalam kota delta (delta city) yaitu kota yang berada pada muara sungai. Kota delta umumnya berada di bawah permukaan laut, dan cukup rentan terhadap perubahan iklim. Kota delta Jakarta dialiri oleh 13 aliran sungai dan dipengaruhi oleh air pasang surut. Tiga belas sungai dan dua kanal yang melewati Jakarta sebagian besar berhulu di daerah Jawa Barat dan bermuara di Teluk Jakarta. Tiga belas sungai tersebut yaitu Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Pesanggrahan, Kali Grogol, Kali Krukut, Kali Baru Barat, Kali Ciliwung, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Baru Timur, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Sedangkan 2 (dua) kanal besar yang ada yaitu Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur. Peta sungai dan kanal yang melewati wilayah DKI Jakarta dapat dilihat pada Gambar 2.8. di bawah ini
2.3.
Karakteristik Lingkungan Hayati (Biotik)
2.3.1.
Karakteristik Hutan Hutan merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi masalah pengendalian daur air, erosi dan longsor lahan. Harapan ini perlu didukung bersama untuk mewujudkan, karena banyak kelebihan ekosistem hutan untuk mewujudkan harapan tersebut. Nilai peran hutan ditentukan oleh luas, jenis, watak pertumbuhan, keadaan pertumbuhan dan struktur hutannya. Ekosistem hutan juga dipengaruhi oleh keadaan iklim, geologi, watak tanah dan geomorfologi, sehingga di dalam membangun hutan harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi dan masalah kependudukannya. Prioritas pembangunan yang
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 11
LAPORAN AKHIR
dilakukan Pemda DKI Jakarta pada bidang kehutanan meliputi pemeliharaan hutan alam yang sudah ada dan pengembalian fungsi lahan ke rencana tata ruang yang sudah ada. DKI Jakarta hanya mempunyai 2 jenis hutan yaitu hutan lindung dan hutan konservasi. Hutan kota yang tersebar di beberapa lokasi tidak dimasukkan dalam salah satu kategori diatas, tapi dimasukkan dalam klasifikasi tersendiri. 1.
Hutan Lindung Hutan lindung mempunyai fungsi khusus sebagai pelindung tata air, pencegah erosi, banjir, abrasi pantai dan pelindung terhadap tiupan angin. Kawasan hutan lindung yang ada di DKI Jakarta seluruhnya merupakan hutan payau/bakau, pada tahun 2010 luasnya mencapai 44,76 Ha dan tidak mengalami perubahan selama kurun waktu 2011.
2.
Hutan Konservasi Hutan konservasi di DKI Jakarta pada tahun 2011 mencapai 225.5 Ha terdiri dari hutan cagar alam seluas 88,02 Ha dan hutan taman wisata alam seluas 137.48 Ha,dan tidak mengalami perubahan apabila dibandingkan dengan tahun 2010.
3.
Hutan Kota Hutan kota di Jakarta tersebar di 59 lokasi dan luasnya sekitar 644.38 Ha. Luas hutan kota ini jauh lebih besar dibandingkan dengan luas hutan alami (hutan lindung dan hutan konservasi) yang ada di DKI Jakarta atau sekitar 60.05 persen dari total luas hutan di DKI Jakarta (1.072,99 Ha). Pada tahun 2011 ada penambahan hutan kota seluas 3,45 Ha di Jakarta Timur dan Jakarta Utara yaitu hutan kota di Munjul Cipayung sebesar 0,72 Ha dan di Semper Timur sebesar 5,73 Ha. Sedangkan hasil inventarisasi diperoleh hasil bahwa selama tahun 2011 tidak terjadi perubahan luas. Secara lengkap lokasi dan luas hutan kota adalah sebagai berikut :
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 12
LAPORAN AKHIR
Tabel 2.6. Luas Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta Tahun 2011 Kotamadya
Nama/Lokasi Hutan
Luas (Ha)
Jakarta Selatan -
Kampus UI Depok Kel. Srengseng Sawah Kec Jagakarsa Kebun Binatang Ragunan Situ Mangga Balong Blok P Pondok Indah Kampus ISTN Kali Pesanggrahan Yonzikon 13 Kelurahan Ciganjur
-
Arhanud SE-10 Sespolwan Kebayoran Lama Seskoal Marinir Cilandak TMP Kalibata Kelurahan Cipedak Kec. Jagakarsa GOR Ragunan Kelurahan Cipedak Hutan Kota Jagakarsa
-
Mabes TNI Cilangkap Komplek Linud Halim PK Arboretum Cibubur PT. JIEP Pulogadung Situ Rawa Dongkal Komplek Kopasus Cijantung Gedung Pemuda Cibubur Bumi Perkemahan Cibubur Fly over Kampung Rambutan Museum Purnabakti, TMII Viaduct Klender Kelurahan Pondok Kelapa BPLIP Pulogadung Kawasan Pulomas Kelurahan Kelapa Dua Wetan Kelurahan Cawang Kawasan Mabad. Kalisari Waduk Bea Cukai IPAK Cakung Munjul
-
Manggala Wana Bhakti Gelora Bung Karno Masjid Istiqlal Yayasan Said Naum
Jakarta Timur
Jakarta Pusat
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
357,45 55,40 0,60 140,00 2,02 1,64 3,90 11,10 10,00 2,88 22,56
9,82 30,00 8,75 28,50 5,00 0,35 4,00 19,75 1,18 146,05 14,43 3,50 25,00 8,90 3,28 1,75 10,00 27,32 3,00 3,00 4,00 6,00 3,00 3,00 8,00 5,85 1,00 2,30 12,00 0,72 14,38 4,30 4,80 1,08 1,20
II - 13
LAPORAN AKHIR
Kotamadya
Nama/Lokasi Hutan
Luas (Ha)
- Cempaka Mas Jakarta Barat - LPA. Srengseng - Rawa Buaya - Kembangan Utara Jakarta Utara Waduk Pluit Danau Sunter PT. Jakarta Propertindo Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Kuburan Belanda, Ancol Kali Karang (Seratus Kota) PT. Astra Honda Motor Eks Babeks Sungai Bambu Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, marunda - Gudang Peluru Marinir - Kemayoran - Semper Timur JUMLAH LUAS HUTAN KOTA -
1,80 17,89 15,00 1,09 1,80 108,62 6,00 8,20 2,49 1,59 3,00 2,00 4,00 3,00 3,00 65,00 4,60 5,75 644,38
Sumber : Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, 2011 Keterangan : Laporan Sementara
2.3.2.
Karakteristik Flora dan Fauna Jenis tumbuhan yang terdapat di DKI Jakarta cukup bervariasi mulai dari jenis tumbuhan pantai sampai dengan jenis tumbuhan dataran/pegunungan dan palawija. Akan tetapi sampai dengan tahun 2010 ini belum dapat diketahui jumlah seluruh jenis tumbuhan yang ada di DKI Jakarta, hanya jenis tumbuhan pantai khususnya yang ada di kepulauan Seribu yang sudah terdeteksi yaitu ada sekitar 86 jenis. Untuk jenis tumbuhan pantai umumnya didominasi oleh jenis pohon Kelapa, Cemara laut, Ketapang, Rutun, Mengkudu dan Pandan laut. Disamping itu di beberapa pulau di Kepulauan Seribu banyak ditemukan Sukun. Dari gambaran tersebut diatas bahwa keanekaragaman hayati baik flora dan fauna banyak terdapat di wilayah tersebut. Mangrove juga memiliki fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis satwa liar. Keanekaragaman fauna di hutan mangrove cukup tinggi, secara garis besar dapat dibagi dua kelompok, yaitu fauna akuatik seperti ikan, udang, kerang, dan lainnya serta kelompok terestrial seperti insekta, reptilia, amphibia, mamalia, dan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 14
LAPORAN AKHIR
burung (Nirarita et al., 1996). Di Pulau Jawa tercatat 167 jenis burung dijumpai di hutan mangrove, baik yang menetap maupun migran (Nirarita et al., 1996). Kalong (Pteropus vampyrus), Monyet (Macaca fascicularis), Lutung (Presbytis cristatus), Bekantan (Nasalis larvatus), kucing Bakau (Felis viverrina), Luwak (Paradoxurus
hermaphroditus), dan
Garangan
(Herpetes
javanicus)
juga
menyukai hutan mangrove sebagai habitatnya (Nontji, 1987). Beberapa jenis reptilia yang hidup di hutan bakau antara lain Biawak (Varanus salvator), ular Belang (Boiga dendrophila), ular Sanca (Phyton reticulatus), dan jenis-jenis ular air seperti Cerbera rhynchops, Archrochordus granulatus, Homalopsis buccata, dan Fordonia leucobalia. Dua jenis katak yang dapat ditemukan di hutan mangrove adalah Rana cancrivora dan R. limnocharis (Nirarita et al., 1996). Hutan mangrove juga sebagai habitat beberapa jenis burung yang dilindungi seperti Pecuk ular (Anhinga anhinga melanogaster), Bintayung (Freagata andrew-si), Kuntul perak kecil (Egretta garzetta), Kowak merah (Nycticorax caledonicus), Bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), Ibis hitam (Plegadis falcinellus), Bangau hitam (Ciconia episcopus), burung Duit (Vanellus indicus), Trinil
tutul
(Tringa
guitifer),
Blekek
Asia
(Limnodromus
semipalmatus),
Gegajahan Besar (Numenius arquata), dan Trulek lidi (Himantopus himantopus) (Sutedja dan Indrabrata, 1992). Jenis-jenis burung Egretta eulophotes, Kuntul perak (E. intermedia), Kuntul putih besar (E. alba), Bluwok (Ibis cinereus), dan Cangak laut (Ardea sumatrana) juga mencari makan di dekat hutan mangrove (Whitten et al., 1988). Keanekaragaman hayati baik flora dan fauna di DKI Jakarta secara umum tidak berbeda jauh dengan keadaan flora dan fauna lainnya di pulau Jawa. Hal ini karena adanya kesatuan geografis meskipun saat ini sudah banyak mengalami pengurangan akibat tingginya pembangunan di DKI Jakarta. 2.4.
Karakteristik Lingkungan Kultural
2.4.1.
Karakteristi Kependudukan Pada tahun 2006, penduduk DKI Jakarta berjumlah 8.961.680 jiwa, sedangkan pada tahun 2011 jumlah penduduk bertambah menjadi 10.187.595 juta jiwa. Dari keseluruhan jumlah penduduk tersebut, penduduk laki-laki adalah sebanyak 5.252.767 jiwa dan perempuan sebanyak 4.934.828 jiwa, dengan seks Rasio
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 15
LAPORAN AKHIR
106. Laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta pada periode 2000 - 2010 sebesar 1,42 persen per tahun. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk pada periode tahun 1990 – 2000 hanya sebesar 0,78 persen per tahun. Tabel 2.7. Jumlah, Kepadatan dan Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta Luas Wilayah (Km2) 1 Jakarta Selatan 141,27 2 Jakarta Timur 188,03 3 Jakarta Pusat 48,13 4 Jakarta Barat 129,54 5 Jakarta Utara 146,66 6 Kep. Seribu 8,70 DKI Jakarta 662,33 Sumber: BPS - Jakarta Dalam Angka 2012 No
Kab/Kota Administrasi
Penduduk (Jiwa) 2.135.571 2.926.732 1.123.670 2.260.341 1.716.345 24.936 10.187.595
Kepadatan Pertumbuhan Penduduk Penduduk (Jiwa/Km²) (%) 14.598 1,46 14.327 1,38 18.761 0,32 17.615 1,83 11.220 1,49 2.423 2,03 13.158 1,42
Penduduk di Jakarta tersebar di lima wilayah kota administrasi dan satu Kabupaten Kepulauan Seribu. Perkembangan jumlah penduduk di lima wilayah kota administrasi dan satu Kabupaten Kepulauan Seribu terlihat pada Peta Gambar 2.9. Distribusi penduduk menurut kabupaten/kota bervariasi dari terendah sebesar 0,22 persen di Kabupaten Kepulauan Seribu hingga yang tertinggi sebesar 28,02 persen di Kota Jakarta Timur.
Gambar 2.10. Grafik Jumlah Penduduk DKI Jakarta Berdasarkan Kota/ Kabupaten Administrasi Tahun 2007 - 2010
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 16
LAPORAN AKHIR
2.4.2.
Karakteristik Penggunaan Lahan Secara garis besar penggunaan lahan dapat dikelompokkan menjadi: pertanian, hutan,
pemukiman dan penggunaan lainnya. Pada umumnya, penetapan
penggunaan lahan didasarkan pada
karakteristik lahan dan daya dukung
lingkungannya. Bentuk penggunaan lahan yang ada dapat dikaji melalui proses evaluasi sumber daya lahan, sehingga dapat diketahui potensi sumber daya lahan untuk
berbagai penggunaannya seperti dapat kita lihat pada Gambar
2.11. di bawah ini Dapat dilihat luas wilayah administrasi pada penggunaan lahan di Prov. DKI Jakarta dengan wilayah terbesar atau terluas pada daerah pemukiman yaitu pada wilyah kota administrasi Jakarta Timur dengan luas 157,35 km² dan wilayah terkecil terdapat pada wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu yang memiliki luas pemukiman 5,90 km² yang secara rinci dapat kita lihat pada Tabel 2.8. di bawah ini. Sedangkan grafik penggunaan lahan di DKI Jakarta dapat dilihat pada Gambar 2.12. Tabel 2.8. Luas Wilayah Administrasi dan Penggunaan Lahan No 1 2 3 4 5 6
Kab/Kota Administrsi Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kep. Seribu DKI Jakarta
Luas Wilayah Pemukiman Pertanian Hutan dan Lain (Km²) (Km²) (Km²) Hutan Kota Lain 141,27 114,33 21,98 3,57 1,39 188,02 157,32 23,54 1,47 5,69 48,13 45,98 1,32 0,14 0,69 129,55 107,96 20,40 0,18 1,01 146,66 130,18 10,13 4,31 2,04 8,71 5,89 1,79 1,03 662,34 561,66 79,16 10,70 10.82
Sumber: SLHD 2012
Dalam beberapa dekade terakhir perkembangan fisik wilayah DKI Jakarta ditandai oleh semakin luasnya lahan terbangun. Perkembangan lahan terbangun berlangsung dengan pesat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan aktifitasnya. Kecenderungan tersebut mengindikasikan bahwasanya ketersediaan lahan menjadi permasalahan yang penting bagi pembangunan Provinsi DKI Jakarta.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 17
LAPORAN AKHIR
Gambar 2.12. Grafik Wilayah Administrasi dan Penggunaan Lahan di DKI Jakarta Pembangunan fisik di Jakarta terus mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Hal ini ditandai oleh pembangunan gedung perkantoran, sarana ekonomi dan sosial serta infrastruktur kota lainnya. Semua ini merupakan konsekuensi logis dari semakin majunya pembangunan dan perekonomian Jakarta. Peruntukan lahan untuk perumahan menduduki proporsi terbesar, yaitu 48,41 persen dari luas daratan utama DKI Jakarta. Sedangkan yang diperuntukkan bangunan industri , perkantoran dan perdagangan hanya mencapai 15,68 persen.
2.5.
Kondisi Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah DKI Jakarta
2.5.1.
Potensi dan Ketersediaan Air Permukaan Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, termasuk didalamnya adalah sungai dan situ/waduk. Potensi sumber daya air permukaan (sungai, waduk dan danau/situ) memerlukan upaya pengelolaan yang baik dan terencana. Aspek yang ditekankan adalah tinjauan terhadap kualitas dan sekaligus upaya perlindungan badan air penerima (BAP) dari resiko pencemaran yang dikaitkan dengan upaya pemanfaatan potensi air permukaan itu sendiri sebagai sumber air bersih perkotaan dan sumber air bersih untuk keperluan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 18
LAPORAN AKHIR
industri atau niaga lainnya, sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku. DKI Jakarta dihadapkan pada kondisi yang sangat kritis berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air, khususnya dalam hal ketersediaan air. Setiap tahunnya, Jakarta senantiasa menghadapi ancaman banjir pada musim hujan, sementara itu hampir sepanjang waktu selalu mengalami krisis air baku untuk keperluan air minum. Dilihat dari aspek sanitasi lingkungan perkotaan, rendahnya tingkat
penanganan
limbah
cair
perkotaan
telah
memberikan
dampak
pencemaran yang serius terhadap badan air (air permukaan) sehingga tidak memungkinkan lagi dapat dimanfaatkan sebagai (alternatif) sumber air baku untuk memenuhi kebutuhan air bersih yang terus meningkat.
Tabel 2.9. Panjang dan Luas Badan Air di DKI Jakarta Badan – Badan Air Situ Waduk Sungai Melalui 2 Provinsi Sungai Di DKI Jakarta Banjir Kanal Sub Makro Drain Mikro Drain Saluran Irigasi Jumlah Total
Panjang dan Luas Badan Air Panjang (m) Luas (m²) 1.114.200 2.308.300 290.860 5.325.020 96.610 1.566.440 38.550 2.237.000 578.455 2.036.053 6.622.102 3.827.715 272.112 1.605.394 7.898.689 20.020.122
Sumber: BPS – Jakarta Dalam Angka, 2012
A. Sungai Sungai adalah alur atau wadah air alami berupa drainase alam, yang secara gravitasi alirannya mengalir dari hulu ke hilir, dengan dibatasi kanan dan kiri di sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan sungai (garis maya batas luar perlindungan sungai). Sungai memiliki potensi yang dapat memberikan manfaat atau pun kerugian bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta lingkungannya. Bentuk lain sungai yaitu berupa palung dengan bagian dasarnya mengalirkan air dengan kedalaman atau dengan debit tergantung pada musim (kemarau dan hujan). Badan air penerima (BAP) dalam bentuk sungai/kali yang melewati wilayah DKI Jakarta sebanyak 13 sungai besar pada dasarnya sungai/kali itu sejak awal diperuntukan atau digunakan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 19
LAPORAN AKHIR
sebagai sumber air baku untuk air bersih/minum (PAM Jaya maupun masyarakat), saluran pematusan (drainase) kota, sebagai sumber air untuk usaha perikanan dan usaha-usaha perkotaan lainnya. Namun karena sangat minimnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan air limbah serta belum tersedianya
sarana
dan
prasarana
pengelolaan
air
limbah,
telah
menyebabkan kondisi kualitas badan air penerima tersebut dalam kondisi tercemar dan tidak layak lagi untuk dapat digunakan sebagai sumber air baku untuk keperluan PAM Jaya dan masyarakat langsung. Penurunan kualitas badan air permukaan ini semakin mengkuatirkan, sementara upaya signifikan untuk mengendalikannya dan apalagi untuk memulihkan kondisinya masih berhadapan dengan banyak kendala, mulai dari kebijakan, penegakan sanksi, penyediaan prasarana dan sarana, kelembagaan, pembiayaan, serta partisipasi masyarakat. Sangat ironi sekali potensi sumber daya air yang begitu besar tidak mampu dikelola agar dapat dimanfaatkan demi kesejahteraan masyarakat dan untuk pertumbuhan Kota Metropolitan DKI Jakarta ini. Kecuali Kali Krukut di bagian hulu yang masih bisa dimanfaatkan sebagai sumber air baku Instalasi Pengolahan Air Cilandak milik PAM Jaya, 12 sungai/kali lainnya dalam kondisi tidak layak sebagai sumber air baku. Berikut pada Tabel 2.10. dapat diihat luas dan debit DAS di DKI Jakarta. Karakteristik ke-13 sungai tersebut diketahui dalam kondisi tercemar berat. Tidak ada sungai yang memiliki indeks pencemarannya dengan kondisi yang baik. Keadaan ini tentu saja menimbulkan keprihatinan dan memerlukan upaya nyata untuk perbaikan kondisi sunga-sungai tersebut. Tabel 2.10. Luas dan Debit Daerah Aliran Sungai di DKI Jakarta No.
Sungai/ Kali
Panjang (km)
2,40 1,40
Debit (m³/dtk) Max Min 61,81 28,31 3,49 3,25
9,00
2,20
27,47
7,41
9,60 2,00 3,00
2,34 0,95 1,40
2,53 3,56 5,84
1,31 2,78 0,86
Lebar (m)
1 2
Ciliwung Cipinang
46,20 27,35
Permukaan 70,00 24,40
Dasar 10,00 10,00
3
Angke
12,81
17,90
4 5 6
Mookervart Grogol Sunter
7,30 23,60 37,25
38,50 20,40 10,00
Kedalaman (m)
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 20
LAPORAN AKHIR
Sungai/ Kali
No. 7 8 9 10 11 12 13
Panjang (km)
Krukut Kalibaru Timur Kalibaru Barat Buaran Cakung Pesanggrahan Jati Kramat
28,75 30,20 17,70 7,90 20,70 27,30 3,80
Lebar (m) Permukaan 20,00 31,60 7,00 11,00 25,00 14,00 11,20
Dasar 3,40 3,60 2,80 3,20 10,00 3,50 4,00
Kedalaman (m) 1,10 0,85 0,45 1,30 1,80 2,60 0,68
Debit (m³/dtk) Max Min 13,97 4,56 3,69 2,25 2,17 0,02 5,87 0,38 6,73 0,72 22,00 10,14 17,56 0,877
Sumber : BPLHD Prov. DKI Jakarta, 2011 Ket: Lebar dan kedalaman dihitung rata-rata
B. Danau/Waduk/Situ Sebagai salah satu bentuk air permukaan, selain berfungsi sebagai sumber air, waduk/situ juga berfungsi sebagai bagian dari suatu sistem pengendali banjir, penampung air, resapan air, irigasi, dan budi daya perikanan. Situsitu di wilayah DKI Jakarta yang tersebar di beberapa wilayah dengan luasan yang berbeda mempunyai karakteristik yang berbeda, baik dalam hal struktur dan tekstur tanah, sifat kimia air, plankton/periphyton, tumbuhan air dan berbagai jenis ikan dan mahkluk hidup lainnya. Kondisi situ-situ tersebut mempunyai fungsi ekologis yang sangat penting. Sekarang ini keberadaan situ-situ di Provinsi DKI Jakarta seperti dilihat pada Table 2.11 nama dan luas danau/waduk/situ yang cenderung berkurang jumlahnya dan keadaannya sudah banyak yang tercemar maupun beralih fungsi. Hal ini disebabkan akibat pembangunan yang sangat pesat di berbagai
sektor
pembangunan,
permukiman,
gedung-gedung
perkantoran/perhotelan, industri ditambah lagi pertumbuhan penduduk dan arus urbanisasi yang sedikit banyak memerlukan lahan. Tabel 2.11. Nama dan Luas Danau/Waduk/Situ di Wilayah DKI Jakarta No 1
NamaDanau/Waduk/Situ JAKARTA SELATAN - Situ Kalibata - Situ Ragunan - Situ Babakan - Situ Sigura-gura - Situ Kantor Walikota Selatan
Luas (Ha)
Volume (m³)
6,00 10,00 27,00 1,00 0,50
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
120.500 210.000 540.000 21.000 78.000
II - 21
LAPORAN AKHIR
No 2
3
4
NamaDanau/Waduk/Situ
Luas (Ha)
Volume (m³)
JAKARTA TIMUR - Situ Rawa Pendongkelan - Situ Ria Rio - Situ Tipar/Arman - Situ Kelapa Dua Wetan - Situ Skuadron - Situ Taman Mini - Situ Rawa Dongkel - Situ Rawa Bandung - Situ Sunter Hulu - Situ Bea Cukai - Situ Elok - Situ Rawa Rorotan
3,50 5,00 14,00 8,00 1,00 5,00 9,00 3,00 2,50 2,00 1,20 1,50
95.000 110.000 280.000 192.000 25.000 100.000 270.000 60.000 62.000 40.000 32.000 24.000
JAKARTA PUSAT - Situ Taman Ria - Situ Lembang - Waduk Melati - Menara Jakarta - Pademangan - Situ Manggala Wanabakti
6,00 0,40 3,50 4,00 4,50 0,80
150.000 8.500 87.500 60.000 101.000 10.500
JAKARTA BARAT - Waduk Cakra Buana Lestari - Waduk Bojong Indah - Waduk Tomang Barat - Waduk Jelambar Wijaya Kusuma - Waduk Slipi Hankam I - Waduk Pondok Badung - Waduk Rawa Kepa - Waduk Grogol - Empang Bahagia - IPAK Duri Kosambi
0,20 2,00 6,00 2,50 1,00 0,09 0,50 3,00 4,00 2,00
4.500 47.000 148.000 52.000 21.000 900 10.000 75.000 92.000 45.000
3,00 3,00 27,40 29,00 0,75 4,50 85,00 18,00
67.000 80.000 822.000 725.000 15.000 90.000 2.550.000 360.000
5
JAKARTA UTARA - Waduk Pantai Indah Kapuk Utara - Waduk Pantai Indah Kapuk Selatan - Waduk Sunter I - Waduk Sunter II - Situ Teluk Gong - Situ Pademangan - Waduk Pluit - Waduk Rawa Kendal Sumber: BPLHD Prov. DKI Jakarta, 2011
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 22
LAPORAN AKHIR
Tabel 2.12. Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum Sumber Air Minum Kab/ Kota Adm. Ledeng Sumur Sungai Hujan Kemasan Jakarta Selatan 6.663 209.418 2.856 329.358 Jakarta Timur 57.493 255.198 587 395.998 Jakarta Pusat 77.759 13.266 151.844 Jakarta Barat 193.222 40.624 1.562 389.049 Jakarta Utara 93.645 752 3.385 348.629 Kep. Seribu 232 757 2.410 1.498 TOTAL 429.014 520.015 587 10.213 1.616.376 Sumber: BPS Prov. DKI Jakarta, 2011
Lainnya 950 204 521 1.675
Sungai memiliki aneka fungsi, yaitu fungsi dimanfaatkan untuk menunjang berbagai kebutuhan serta fungsi sebagai badan air penerima limbah cair, sampah serta bantarannya dipakai untuk hunian ilegal.
Air Baku Air Minum PDAM Beberapa sungai dimanfaatkan untuk air baku air minum PDAM, yaitu: -
Kali Ciliwung untuk air baku Instalasi Pengolahan Air Bersih (IPAB) PDAM Condet.
-
Kali Krukut untuk air baku IPAB PDAM Taman Kota, kapasitas 200 L/det, dioperasikan sejak tahun 1975, namun sejak Nopember tahun 2005 operasi dihentikan karena buruknya kualitas air (Palija,2009).
Fungsi Mandi Cuci Penduduk Sepanjang Sungai Penduduk sekitar sungai memanfaatkan air sungai untuk keperluan mandi dan cuci, seperti antara lain dilakukan masyarakat Krukut untuk air baku IPAB PDAM Cilandak,kapasitas 400 L/det, yang dioperasikan sejak tahun 1977 (Palija, 2009) Kali Pesanggrahan sekitar Kali Ciliwung, di Kelurahan Kampung Melayu, maupun di Kelurahan Manggarai.
Sarana Transportasi Diantara sungai tersebut ada juga yang berfungsi sebagai sarana transportasi, yaitu Kali Ciliwung seperti dilakukan masyarakat sekitar di Kampung Melayu.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 23
LAPORAN AKHIR
Tempat Hunian Liar Permukiman liar terdapat di sepanjang bantaran Kali Ciliwung sebagai tempat hunian seperti di Kelurahan Manggarai.
Tempat Buangan Limbah Cair Penduduk dan Industri Sungai berfungsi sebagai penampung limbah cair penduduk maupun industri, di daerah studi terdapat bantaran sungai yang digunakan sebagai bangunan MCK, sehingga limbah penduduk langsung masuk ke sungai, diantaranya terjadi di Kali Ciliwung Kelurahan Bukit Duri dan Kelurahan Manggarai.
Tempat Pembuangan Sampah Badan sungai semakin menyempit, yang diakibatkan oleh timbunan sampah rumah tangga yang terus menumpuk dan memakan lebar badan sungai, kondisi demikian antara lain terjadi
pada Kali Ciliwung di Kelurahan
Kampung Melayu.
2.5.2.
Potensi dan Ketersediaan Air Tanah Air tanah merupakan komponen dari suatu sistem daur hidrologi (hydrology cycle) yang terdiri rangkaian proses yang saling berkaitan antara proses atmosferik, proses hidrologi permukaan dan proses hidrologi bawah permukaan. Siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui evaporasi, transpirasi, kondensasi dan presipitasi. Di luar sistem tersebut persoalan air tanah bahkan seringkali melibatkan aspek politik dan sosial budaya yang sangat menentukan keberadaan air tanah di suatu daerah. Siklus hidrologi menggambarkan hubungan antara curah hujan, aliran permukaan, infiltrasi, evapotranspirasi dan air tanah. Sumber air tanah berasal dari air yang ada di permukaan tanah (air hujan, air danau dan sebagainya) kemudian meresap ke dalam tanah/akuifer di daerah imbuhan (recharge area) dan mengalir menuju ke daerah lepasan (discharge area). Menurut Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan aliran air tanah di dalam akuifer dari daerah imbuhan ke daerah lepasan cukup lambat, memerlukan waktu lama bisa puluhan sampai ribuan tahun tergantung dari jarak dan jenis batuan yang dilaluinya. Pada dasarnya air tanah termasuk sumber daya
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 24
LAPORAN AKHIR
alam yang dapat diperbaharui akan tetapi jika dibandingkan dengan waktu umur manusia air tanah bisa digolongkan kepada sumber daya alam yang tidak terbaharukan. Di dalam tanah keberadaan air mengisi sebagian ruang pori-pori tanah yang bisa dimanfaatkan langsung oleh tanaman pada kondisi kelembaban tanah antara kapasitas lapang sampai titik layu permanen pada posisi zona aerasi. Di bawah zona aerasi terdapat zona penjenuhan yang menempatkan air mengisi seluruh ruang pori-pori tanah yang ada dengan kisaran tebal yang selalu berfluktuasi. Debit dan keberadaan muka air tanah pada zone penjenuhan ini sangat dipengaruhi oleh pasokan air dari daerah imbuhan (recharge zone) yang berada di atasnya, semakin banyak pasokan yang diimbuhkan semakin banyak debit yang tersimpan dalam zone ini. Keberadaan air tanah pada zone ini seringkali disebut sebagai air (tanah) bebas. Ketebalan air bebas yang ada dalam tanah bisa mencapai puluhan meter tergantung dari letak lapisan batuan padu (consolidated rock) yang ada di bawahnya. Lapisan batuan padu (batuliat, batupasir, batugamping, batuan kristalin, dan shale) yang mengandung air tanah dalam lubang pelarutan, atau di rekahan batuan (lapisan batuan pembawa air tanah) disebut sebagai akuifer. Air tanah adalah semua air yang terdapat pada lapisan pengandung air (akuifer) di bawah permukaan tanah, mengisi ruang pori batuan dan berada di bawah water table. Akuifer merupakan suatu lapisan, formasi atau kumpulan formasi geologi yang jenuh air yang mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan meluluskan air dalam jumlah cukup dan ekonomis, serta bentuk dan kedalamannya terbentuk ketika terbentuknya cekungan air tanah. Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung. Potensi air tanah di suatu cekungan sangat tergantung kepada porositas dan kemampuan batuan untuk meluluskan (permeability) dan meneruskan (transmissivity) air. Kelulusan tanah atau batuan merupakan ukuran mudah atau tidaknya bahan itu dilalui air. Air tanah mengalir dengan laju yang berbeda pada jenis tanah yang berbeda. Air tanah mengalir
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 25
LAPORAN AKHIR
lebih cepat melalui tanah berpasir tetapi bergerak lebih lambat pada tanah liat. Gambaran kualitas fisik air tanah di Propinsi DKI Jakarta yang meliputi TDS dan kekeruhan dapat dilihat pada Tabel 2.13. Tabel 2.13. Rata-rata Kualitas Fisik Air Tanah Prov. DKI Jakarta Tahun 2011 No. 1 2 3 4 5
Wilayah Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta
Selatan Timur Pusat Barat Utara
TDS (mg/L) September Nopember 213.34 213.34 477.19 361.48 538.45 538.45 1,015.80 645.80 1,070.87 852.07
Kekeruhan (skala NTU) September Nopember 1.00 1.90 1.88 4.33 1.86 15.36 2.75 2.91 17.58 11.89
Sumber: BPLHD Prov. DKI Jakarta, 2011 Ket: BM TDS = 1500 mg/L ; BM Kekruhan = 25 NTU
Dari Tabel diatas Menunjukan bahwa nilai rata-rata untuk parameter zat padat terlarut (TDS) di lima wilayah di Propinsi DKI Jakarta Masih memenuhi baku mutu. Sebagai contoh pada bulan September 2011 rentan tertinggi terdapat pada wilayah Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara. Tabel 2.14. Data Air Tanah Wilayah Jakarta Selatan No
Parameter
Parameter Fisik 1 Kekeruhan ( turbidity ) 2 Bau 3 Warna (color) 4 Suhu (temperatur) 5 Total Dissolved Solid (total padatan terlarut) Parameter Kimia 1 PH 2 Kesadahan (hardness) 3 Alkalinitas (alkalinity) 5 Nitrat (NO3-) 6 Nitrit (NO2-) 7 Besi (Fe) 8 Mangan 9 Khlorida 10 Sulfat (SO42-) Parameter Mikrobiologi 1 Bakteri E.Coli Sumber: SLHD Jakarta Tahun 2011
Satuan
Baku Mutu
Hasil Maks.
TCU ºC mg/L
25 mg/L Tidak Berbau Tidak berwarna ± 20-26°C 1500 mg/L
1.90 Tidak berbau Tidak berwarna 22-23 213.34
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
6.5 - 8.5 500 1000 mg/L 10 0.02 0,3 mg/L 0,1 mg/L 250 mg/L 400 mg/L
6.31 173.25
sel/ml
50 jml/100ml
597
NTU
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
2.85 0.02 0.10 0.22 50.9 16.62
II - 26
LAPORAN AKHIR
Tabel 2.15. Data Air Tanah Wilayah Jakarta Timur No
Parameter
Parameter Fisik 1 Kekeruhan ( turbidity ) 2 Bau 3 Warna (color) 4 Suhu (temperatur) Total Dissolved Solid (total padatan 5 terlarut) Parameter Kimia 1 PH 2 Kesadahan (hardness) 3 Alkalinitas (alkalinity) 5 Nitrat (NO3-) 6 Nitrit (NO2-) 7 Besi (Fe) 8 Mangan 9 Khlorida 10 Sulfat (SO42-) Parameter Mikrobiologi 1 Bakteri E.Coli Sumber: SLHD Jakarta Tahun 2011
Satuan
Baku Mutu
Hasil Maks.
NTU TCU ºC
25 mg/L Tidak Berbau Tidak berwarna ± 20-26°C
4.33 Tidak berbau Tidak berwarna 22-23
mg/L
1500 mg/L
361.48
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
6.5 - 8.5 500 1000 mg/L 10 0.02 0,3 mg/L 0,1 mg/L 250 mg/L 400 mg/L
6.62 201.71
sel/ml
50 jml/100ml
2,893
1.82 0.02 0.20 0.68 88.02 102.67
Tabel 2.16. Data Air Tanah Wilayah Jakarta Pusat No
Parameter
Parameter Fisik 1 Kekeruhan ( turbidity ) 2 Bau Warna (color) 3 4
Suhu (temperatur) Total Dissolved Solid (total padatan 5 terlarut) Parameter Kimia 1 PH 2 Kesadahan (hardness) 3 Alkalinitas (alkalinity) 5 Nitrat (NO3-) 6 Nitrit (NO2-) 7 Besi (Fe) 8 Mangan 9 Khlorida 10 Sulfat (SO42-) Parameter Mikrobiologi 1 Bakteri E.Coli Sumber: SLHD Jakarta Tahun 2011
Satuan
Baku Mutu
Hasil Maks.
NTU
25 mg/L Tidak Berbau
TCU
Tidak berwarna
ºC
± 20-26°C
1.86 Tidak berbau Tidak berwarna 22-23
mg/L
1500 mg/L
538.45
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
6.5 - 8.5 500 1000 mg/L 10 0.02 0,3 mg/L 0,1 mg/L 250 mg/L 400 mg/L
7.33 246.46
sel/ml
50 jml/100ml
201,359
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
0.67 0.01 2.04 1.04 95.19 67.23
II - 27
LAPORAN AKHIR
Tabel 2.17. Data Air Tanah Wilayah Jakarta Barat No
Parameter
Parameter Fisik 1 Kekeruhan ( turbidity ) 2 Bau Warna (color) 3 4
Suhu (temperatur) Total Dissolved Solid (total padatan 5 terlarut) Parameter Kimia 1 PH 2 Kesadahan (hardness) 3 Alkalinitas (alkalinity) 5 Nitrat (NO3-) 6 Nitrit (NO2-) 7 Besi (Fe) 8 Mangan 9 Khlorida 10 Sulfat (SO42-) Parameter Mikrobiologi 1 Bakteri E.Coli
Satuan
Baku Mutu
Hasil Maks.
NTU
25 mg/L Tidak Berbau
TCU
Tidak berwarna
ºC
± 20-26°C
2.91 Tidak berbau Tidak berwarna 22-23
mg/L
1500 mg/L
1,015.80
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
6.5 - 8.5 500 1000 mg/L 10 0.02 0,3 mg/L 0,1 mg/L 250 mg/L 400 mg/L
6.75 377.54
sel/ml
50 jml/100ml
15,388
2.45 0.04 0.27 0.96 319.65 196.75
Sumber: SLHD Jakarta Tahun 2011
Tabel 2.18. Data Air Tanah Wilayah Jakarta Utara No
Parameter
Parameter Fisik 1 Kekeruhan ( turbidity ) 2 Bau 3 Warna (color) 4 Suhu (temperatur) Total Dissolved Solid (total padatan 5 terlarut) Parameter Kimia 1 PH 2 Kesadahan (hardness) 3 Alkalinitas (alkalinity) 5 Nitrat (NO3-) 6 Nitrit (NO2-) 7 Besi (Fe) 8 Mangan 9 Khlorida 10 Sulfat (SO42-) Parameter Mikrobiologi 1 Bakteri E.Coli
Satuan
Baku Mutu
Hasil Maks.
NTU TCU ºC
25 mg/L Tidak Berbau Tidak berwarna ± 20-26°C
17.58 Tidak berbau Tidak berwarna 22-23
mg/L
1500 mg/L
1,070.87
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
6.5 - 8.5 500 1000 mg/L 10 0.02 0,3 mg/L 0,1 mg/L 250 mg/L 400 mg/L
7.87 313.02
sel/ml
50 jml/100ml
252,662
1.15 0.03 0.99 1.12 333.92 90.69
Sumber: SLHD Jakarta Tahun 2011
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 28
LAPORAN AKHIR
Jenis yang Dimanfaatkan Secara umum pemanfaatan air tanah antara lain (Dandel 2011):
Kebutuhan pokok (air minum dan rumah tangga), lebih dari 70% penduduk masih memanfaatkan air tanah.
Kebutuhan industri, sekitar 90% masih menggantungkan pada air tanah.
Kebutuhan untuk pertanian, dibeberapa daerah banyak dikembangkan dari air tanah (P2AT);
Kebutuhan air bersih untuk perkotaan dan pedesaan banyak yang dipenuhi dari air tanah (PDAM, PPSAB, DGSDM);
Kebutuhan untuk perkebunan, banyak dikembangkan oleh perkebunan tebu, kelapa sawit, teh, karet;
Kebutuhan dalam pertambangan: pencucian, dewatering, dan untuk fasilitas umum;
Fasilitas umum (MCK, air minum), dibanyak perkantoran, peribadatan, rumah sakit, panti asuhan, dll.
2.5.3.
Potensi dan Ketersediaan Keaneragaman Hayati Keanekaragaman
hayati
menurut
UU
Nomor
5
Tahun
1994
adalah
keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber termasuk di dalamnya daratan, lautan dan ekosistem akuatik. Keanakeragaman hayati merupakan anugerah terbesar bagi umat manusia karena dapat memberikan sumber
kehidupan,
penghidupan
dan
kelangsungan
hidup
manusia.
Keanekaragaman yang tinggi akan dapat menghasilkan kestabilan lingkungan yang mantap.
Keanekaragaman Ekosistem Di lingkungan manapun di muka bumi ini, maka akan ditemukan makhluk hidup. Semua makhluk hidup berinteraksi atau berhubungan erat dengan lingkungan tempat hidupnya. Lingkungan hidup meliputi komponen biotik dan komponen abiotik. Komponen biotik meliputi berbagai jenis makhluk hidup mulai yang bersel satu (uni seluler) sampai makhluk hidup bersel banyak (multi seluler) yang dapat dilihat langsung oleh kita. Komponen abiotik meliputi iklim, cahaya,
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 29
LAPORAN AKHIR
batuan, air, tanah, dan kelembaban, ini semua disebut faktor fisik. Selain faktor fisik, ada faktor kimia, seperti salinitas (kadar garam), tingkat keasaman, dan kandungan mineral. Di dalam ekosistem, seluruh makhluk hidup yang terdapat di dalamnya selalu melakukan hubungan timbal balik, baik antar makhluk hidup maupun makhluk hidup dengan lingkungannya atau komponen abiotiknya. Hubungan timbal balik ini menimbulkan keserasian hidup di dalam suatu ekosistem. Perbedaan letak geografis antara lain merupakan faktor yang menimbulkan berbagai bentuk ekosistem. Keanekaragaman jenis flora dan fauna yang menempati suatu daerah akan membentuk ekosistem yang berbeda. Totalitas variasi gen, jenis dan ekosistem
menunjukkan
terdapat
perbagai
variasi
bentuk,
penampakan,
frekuensi, ukuran dan sifat lainnya pada tingkat yang berbeda merupakan keanekaragaman hayati. Salah satu komunitas ekosistem yang ada di DKI Jakarta dan bermanfaat dalam menjaga kelangsungan hidup manusia adalah adanya komunitas mangrove yang merupakan ekosistem hutan yang khas dan unik yang berpotensi sebagai perlindungan terhadap wilayah pesisir dan pantai dari ancaman sedimentasi, abrasi dan intrusi air laut. Erosi di pantai Marunda yang tidak bermangrove selama 2 bulan mencapai 2 meter, sedangkan yang bermangrove hanya 1 meter. Selain itu hutan mangrove dapat dimanfaatkan pula sebagai wahana rekreasi alam hutan wisata payau.
Keanekaragaman Spesies Mangrove juga memiliki fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis satwa liar. Keanekaragaman fauna di hutan mangrove cukup tinggi, secara garis besar dapat dibagi dua kelompok, yaitu fauna akuatik seperti ikan, udang, kerang, dan lainnya serta kelompok terestrial seperti insekta, reptilia, amphibia, mamalia, dan burung (Nirarita et al., 1996). Di Pulau Jawa tercatat 167 jenis burung dijumpai di hutan mangrove, baik yang menetap maupun migran (Nirarita et al., 1996). Kalong (Pteropus vampyrus), Monyet (Macaca fascicularis), Lutung (Presbytis cristatus), Bekantan (Nasalis larvatus), kucing Bakau (Felis viverrina), Luwak
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 30
LAPORAN AKHIR
(Paradoxurus
hermaphroditus), dan
Garangan
(Herpetes
javanicus)
juga
menyukai hutan mangrove sebagai habitatnya (Nontji, 1987). Beberapa jenis reptilia yang hidup di hutan bakau antara lain Biawak (Varanus salvator), ular Belang (Boiga dendrophila), ular Sanca (Phyton reticulatus), dan jenis-jenis ular air seperti Cerbera rhynchops, Archrochordus granulatus, Homalopsis buccata, dan Fordonia leucobalia. Dua jenis katak yang dapat ditemukan di hutan mangrove adalah Rana cancrivora dan R. limnocharis (Nirarita et al., 1996). Hutan mangrove juga sebagai habitat beberapa jenis burung yang dilindungi seperti Pecuk ular (Anhinga anhinga melanogaster), Bintayung (Freagata andrew-si), Kuntul perak kecil (Egretta garzetta), Kowak merah (Nycticorax caledonicus), Bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), Ibis hitam (Plegadis falcinellus), Bangau hitam (Ciconia episcopus), burung Duit (Vanellus indicus), Trinil
tutul
(Tringa
guitifer),
Blekek
Asia
(Limnodromus
semipalmatus),
Gegajahan Besar (Numenius arquata), dan Trulek lidi (Himantopus himantopus) (Sutedja dan Indrabrata, 1992). Jenis-jenis burung Egretta eulophotes, Kuntul perak (E. intermedia), Kuntul putih besar (E. alba), Bluwok (Ibis cinereus), dan Cangak laut (Ardea sumatrana) juga mencari makan di dekat hutan mangrove (Whitten et al., 1988). Keanekaragaman hayati baik flora dan fauna di DKI Jakarta secara umum tidak berbeda jauh dengan keadaan flora dan fauna lainnya di pulau Jawa. Hal ini karena adanya kesatuan geografis meskipun saat ini sudah banyak mengalami pengurangan akibat tingginya pembangunan di DKI Jakarta. Jenis tumbuhan yang terdapat di DKI Jakarta cukup bervariasi mulai dari jenis tumbuhan pantai sampai dengan jenis tumbuhan dataran/pegunungan dan palawija. Akan tetapi sampai dengan tahun 2010 ini belum dapat diketahui jumlah seluruh jenis tumbuhan yang ada di DKI Jakarta, hanya jenis tumbuhan pantai khususnya yang ada di kepulauan Seribu yang sudah terdeteksi yaitu ada sekitar 86 jenis. Untuk jenis tumbuhan pantai umumnya didominasi oleh jenis pohon Kelapa, Cemara laut, Ketapang, Rutun, Mengkudu dan Pandan laut. Disamping itu di beberapa pulau di Kepulauan Seribu banyak ditemukan Sukun. Dari gambaran tersebut diatas bahwa keanekaragaman hayati baik flora dan fauna banyak terdapat di wilayah tersebut.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 31
LAPORAN AKHIR
2.6.
Identifikasi Permasalahan Pengelolaan Lingkungan Hidup
2.6.1.
Umum Berdasarkan Inventarisasi dan Analisis masing-masing Aspek Lingkungan Hidup yang ada di DKI Jakarta, maka dapat diidentifikasi permasalahan masing-masing aspek tersebut jika dikaitkan dengan Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di DKI Jakarta. Aspek Lingkungan yang dimasukkan sebagai pembahasan adalah yang paling tinggi tingkat permaslahannya dan sangat erat dampak serta erat kaitannya secara langsung dengan kehidupan ekosistem lain di Wilayah DKI Jakarta.
2.6.2.
Konflik dan Penyebab Konflik A. Perubahan Tata Guna Lahan Perubahan tata guna lahan juga dapat menjadi penyebab pencemaran air tanah. Air hujan yang seharusnya masuk ke dalam tanah untuk menambah kuantitas air tanah dapat menyebabkab menurunnya konsentrasi pencemar tidak dapat diserap oleh tanah karena sudah tertutup oleh pelapisan dan fungsi lainnya. Selain kuantitas air yang menurun masuk ke dalam tanah, kualitas air tanah yang dikonsumsi warga juga semakin buruk. Hasil klasifikasi Indeks Pencemaran (IP) di 48 sumur yang tersebar di lima wilayah menunjukkan 27 sumur tercatat cemar berat dan cemar sedang dan 21 sumur lainnya terindikasi cemar ringan dan dalam kondisi baik. Wilayah yang mempunyai kualitas air tanah paling buruk adalah Jakarta Utara. Tujuh dari delapan sumur yang dipantau di wilayah ini masuk kategori cemar berat dan sedang. Pada umumnya wilayah ini digunakan untuk pemukiman kawasan industri dan permukiman padat. Adapun wilayah yang kualitas airnya masih cukup baik adalah Jakarta Selatan. B. Geologi Beberapa konflik/permasalahan terjadi dalam pembangunan di DKI Jakarta, di akibatkan masalah keretakan bangunan, amblesan tanah, banjir,
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 32
LAPORAN AKHIR
runtuhnya jalan dan sebagainya. Permasalahan tersebut erat hubungannya dengan kondisi geologi teknik di DKI Jakarta. Seperti yang telah disebutkann sebelumnya, daratan DKI Jakarta secara geologi memiliki tanah alluvium yang sangat bervariasi sifat keteknikannya baik pada sebaran ke arah vertikal maupun mendatar.Berdasarkan identifikasi morfologinya, garis pantai purba DKI Jakarta 5000 tahun yang lalu berada di sepanjang Jl. Daan Mogot – Grogol - Monas – Senen - Pulo Gadung, sehingga di beberapa tempat di sepanjang jalan tersebut dijumpai tanah endapan pematang pantai dan di belakangnya dijumpai tanah endapan rawa yang bersifat lunak. Tanah aluvium di DKI Jakarta bagian utara mempunyai umur baru 5.000 tahun belum mengalami pemampatan yang maksimal, sehingga adanya pembangunan infrastruktur dan dipacu oleh pengambilan air tanah dalam secara berlebihan telah menyebabkan terjadinya amblesan tanah secara regional. Amblesan tanah telah mencapai kecepatan > 5 cm/tahun bahkan di beberapa tempat mencapai >10 cm/tahun (di Rawa Buaya-Kapuk-Kamal). Dampak amblesan tanah menimbulkan semakin meluasnya banjir dari tahun ke tahun, terganggunya dan bahkan tidak berfungsinya sistem drainase dan infrastruktur di DKI Jakarta. Di bagian selatan dari Jakarta yang tersusun oleh aluvium volkanik pada umumnya mempunyai sifat keteknikan tanah yang lebih baik di banding tanah aluvium yang ada di Jakarta bagian utara, sehingga pembangunan infrastruktur maupun konstruksi bangunan berat tidak mengalami kendala seperti yang ada di Jakarta bagian utara. Saat ini kebutuhan lahan dipermukaan mulai terasa sudah terbatas, sehingga pemanfaatan ruang bawah permukaan mulai dilakukan untuk menampung permasalahan yang tidak dapat terpecahkan di permukaan tanah sehingga muncul persoalan penataan ruang bawah tanah,
dan isu
dampak
lingkungannya. C. Udara Pencemaran udara merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi oleh DKI Jakarta. Pada penelitian ini dipelajari zat-zat polutan yang terdapat dikawasan pemukiman, industri dan komcrsil serta kesesuaian tata guna lahan berdasarkan konsentrasi udara ambien dan unsur-unsur meteorologis
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 33
LAPORAN AKHIR
yang mempengaruhinya. Konsentrasi udara ambien tertinggi sebagian besar tejadi di kawasan komersi!. Polutan SO, tertinggi lerdapat di kawasan Komersil yaitu 12 ppb konsentrasi tersebut masih berada di bawah baku mulu yaitu 91 ppb. Parameter CO tertinggi juga terjadi di kawasan komersil yailu 28.1 ppm, nilai [ersebut sudah melebihi baku mutu yaitu 7.2 ppm. Konsentrasi NO, dan Hidrokarbon tertinggi juga terjadi di kawasan komersil, konsentrasi NO, tertinggi adalah 140 ppb yang nilainya melcbihi baku mutu yailu 69 ppb dan konsentrasi Hidrokarbon tertinggi yaitu 3840 ppb juga melebihi baku mutu yaitu 240 ppb. Scdangkan untuk parameter PM-IO Konsentrasi tertinggi teljadi di kawasan industri Yaitu 113 ~g/m3, nilai tersebut masih berada di bawah baku mutu yaitu 150 mg/m3 Kesesuaian tata guna lahan berdasarkan konsentrasi udara ambien untuk wilayah Pluit adalah tidak sesuai sebagai peruntukkan Garis isoline menunjukkan bahwa di wilayah Pluit konsentrasi pencemarnya sama dengan wilayah komersil untuk parameler SO, dan NO2 sedangkan untuk parameter CO dan HC konsentrasinya sama dengan wilayah industri.
D. Kependudukan, Sosial, Perekonomian Kota
Permasalahan Interaksi Sosial dan Kemasyarakatan Sebagaimana umumnya kota megapolitan, kota yang berpenduduk di atas 10 juta, Jakarta memiliki masalah stress, kriminalitas, dan kemiskinan. Penyimpangan peruntukan lahan dan privatisasi lahan telah menghabiskan persediaan taman kota sehingga menambah tingkat stress warga Jakarta. Kemacetan lalu lintas, menurunnya interaksi sosial karena gaya hidup individualistik juga menjadi penyebab stress. Tata ruang kota yang tidak partisipatif
dan
tidak
humanis
menyisakan
ruang-ruang
sisa
yang
mengundang tindak laku kriminal. Penggusuran kampung miskin dan penggusuran lahan usaha informal oleh pemerintah DKI adalah penyebab aktif kemiskinan di DKI Jakarta. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2011, tercatat bahwa penduduk DKI Jakarta berjumlah 9,6 juta jiwa. Jumlah penduduk dan komposisi etnis di Jakarta, selalu berubah dari tahun ke tahun. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2011, tercatat bahwa setidaknya terdapat tujuh etnis besar yang mendiami Jakarta. Suku Jawa merupakan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 34
LAPORAN AKHIR
etnis terbesar dengan populasi 35,16% penduduk kota. Etnis Betawi berjumlah 27,65% dari penduduk kota. Pembangunan Jakarta yang cukup pesat sejak awal tahun 1970-an, telah banyak menggusur perkampungan etnis Betawi ke pinggiran kota. Pada tahun 1961, orang Betawi masih membentuk persentase terbesar di wilayah pinggiran seperti Cengkareng, Kebon Jeruk, Pasar Minggu, dan Pulo Gadung. Orang Tionghoa telah hadir di Jakarta sejak abad ke-17. Mereka biasa tinggal mengelompok di daerah-daerah pemukiman yang dikenal dengan istilah Pecinan. Pecinan atau Kampung Cina dapat dijumpai di Glodok, Pinangsia, dan Jatinegara, selain perumahan-perumahan baru di wilayah Kelapa Gading, Pluit, dan Sunter. Orang Tionghoa banyak yang berprofesi sebagai pengusaha atau pedagang. Disamping etnis Tionghoa, etnis Minangkabau juga banyak yang berdagang, di antaranya perdagangan grosir dan eceran di pasar-pasar tradisional kota Jakarta. Masyarakat dari Indonesia Timur, terutama etnis Bugis, Makassar, dan Ambon, terkonsentrasi di wilayah Tanjung Priok. Di wilayah ini pula, masih banyak terdapat masyarakat keturunan Portugis, serta orang-orang yang berasal dari Luzon, Filipina. Permasalahan lingkungan sosial lebih dikarenakan karena interaksi antar penduduk. Jakarta sendiri memiliki jumlah penduduk komuter lebih banyak di siang hari dan lebih sedikit pada malam hari. Namu hal ini bukan berarti Jakarta tidak memiliki amsalah. Sebagai kota megapolitan yang menjanjikan keberhasilan dan hidup yang lebih baik, Jakarta harus bertahan menghadapi serbuan pendatang yang bersaha mengadu peruntungan dengan mencari pekerjaan.
Beberapa
masalah
yang
dapat
diidentifikasi
antara
lain
kesenjangan sosial, krimiinalitas, kemiskinan dan pemukiman kumuh.
Dampak Pencemaran Lingkungan Hidup Bagi Kehidupan Sosial Aspek Lingkungan yang paling banyak memberikan dampak social bagi masyarakat Kualitas
udara
adalah Udara. Dalam hal ini adalah Pencemaran Udara. di
Jakarta
sudah
cenderung
tercemar
dan
mulai
terkonsentrasi di beberapa titik. Berdasarkan PP Nomor 41 Tahun 1999,
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 35
LAPORAN AKHIR
terdapat satu indikator kualitas udara berdasarkan partikel debu maksimum 60 mikrogram per meter kubik. Sementara kondisi udara di Jakarta saat ini, mencapai 150 mikrogram per meter kubik. Standar WHO bahkan 20 mikrogram per meter kubik. Ini tandanya tujuh kali lipat dari kondisi yang ada di Jakarta. Sangat jauh dari bersih. Belum lagi indikator lain seperti sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan hydro karbon. Konsentrasi hydro karbon di Jakarta sangat tinggi. Hal ini bisa dilihat dari bau bahan bakar yang sangat pekat tercium apabila kita mengendarai motor. Karena itu, Pemprov DKI harus kembali melaksanakan apa yang diamanatkan dalam Perda Nomor 2 Tahun 2005 tentang penanganan pencemaran udara. Selain itu, juga perlu penanganan terkait sistem transportasi publik.
Reaksi dari Masyarakat Terhadap Pencemaran Udara Dalam kondisi yang tidak bersahabat tersebut tentu saja mengundang berbagai reaksi atau respon dari masyrakat. Respon tersebut dapat berupa:
Melihat kondisi udara di ibu kota negara kita ini sudah sangat tercemar, reaksi masyarakat di Jakarta melihat kondisi tersebut adalah dengan menggunakan masker yang dapat mengurangi mengurangi rasa tidak nyaman ketika menghirup nafas karena cuaca yang sudah tercemar asap kendaraan bermotor dan juga untuk mencegah timbulnya berbagai penyakit yang ditimbulkan akibat asap kendaraan ini.
Selain
menggunakan
masker,
masyarakat
juga
beraksi
dengan
mengaspirasikan suaranya kepada pemerintah DKI Jakarta untuk membatasi jumlah kendaraan bermotor di wilayah Jakarta karena salah satu penyebab utama dari pencemaran udara di Jakarta adalah jumlah kendaraan bermotor melebihi kapasitas penduduk Jakarta itu sendiri atau juga masyarakat dapat menyuarakan untuk menggunakan bahan bakar alternatif untuk kendaraan bermotor baik itu untuk kendaraan pribadi ataupun umum yang lebih ramah lingkungan sehingga tidak menimbulkan polusi.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 36
LAPORAN AKHIR
Dampak Pencemaran Udara Bagi Kesehatan Masyarakat dan Kesehatan Lingkungan Sosial Hasil dari pencemaran udara ini tentunya bersifat negatif karena sangat merugikan bagi masyarakatnya.Salah satunya yang merugikan adalah dari segi kesehatan. Penyakit yang dapat ditimbulkan dari pencemaran udara ini antara lain :
Kanker paru - paru dan kanker liver (hati).
Bronchitis, ashma, dan gangguan nafas.
Iritasi mata, iritasi pada selaput lendir di hidung, dan iritasi kulit
Sakit kepala, tenggorokan kering, dan batuk.
Selain berbahaya bagi kesehatan, pencemaran akibat asap kendaraan bermotor ini pun dapat berdampak pada lingkungan seperti :
Aspek rumah kaca. Dapat menyebabkan peningkatan panas di bumi karena gas – gas dalam rumah kaca seperti uap air dan karbondiosida tidak terlepas ke angkasa luar melainkan terperangkap didalam lapisan bumi.
Penipisan lapisan ozon. Zat – zat dalam asap kendaraan bermotor dapat menyebabkan tipis dan berlubangnya lapizan ozon sehingga menyebabkan Global Warming dan juga meningkatkan jumlah penyakit kanker kulit, penyakit katarak, kanker kulit, menurunkan immunitas tubuh serta produksi pertanian dan perikanan.
Hujan asam.
Dampak Pencemaran Udara Bagi Kesehatan Masyarakat dan Kesehatan Lingkungan Sosial Pencemaran udara akibat asap kendaraan bermotor ini dapat berdampak secara psikologis bagi masyarakatnya, gangguan yang dapat ditimbulkan antara lain : Gangguan emosional. Gangguan gaya hidup. Gangguan kecerdasan. Gangguan kejiwaan.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 37
LAPORAN AKHIR
E.
Hutan Kota dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Banyak fenomena masalah lingkungan seperti banjir, dan polusi udara muncul di Jakarta karena masalah kurangnya ruang terbuka hijau dan menurunnya Tata Guna Lahan misalnya yang berfungsi sebagai hutan, baik hutan di darat, maupun hutan di lingkungan perairan. Untuk itu, salah satu elemen ruang terbuka hijau yang harus dipertahankan di dalam kota adalah Hutan Kota. Hutan Kota adalah suatu areal yang ditumbuhi pohon-pohon dalam wilayah perkotaan pada tanah negara atau tanah hak masyarakat dan dapat berfungsi sebagai pembentuk iklim mikro baik didalam maupun diluar lingkungan sekitarnya, mengatur tata air dan udara, sebagai habitat burungburung serta memiliki estetika dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sebagai hutan kota dengan luas minimal 0,25 Ha. Menurut PP No. 63 tahun 2002 Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh pejabat yang berwenang dengan tujuan untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Hutan Kota memiliki fungsi sebagai berikut :
Dapat
dijadikan
obyek
penelitian,
kawasan
konservasi,
tempat
pariwisata ataupun sebagai salah satu ruang aktivitas publik bagi masyarakat kota
Pelestarian Plasma Nutfah
Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara, Timbal, Debu Semen, Karbon-monoksida
sebagai penyerap zat yang berbahaya yang mungkin terkandung dalam sampah seperti logam berat, pestisida serta bahan beracun dan berbahaya lainnya
Penghasil Oksigen
Peredam Kebisingan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 38
LAPORAN AKHIR
Mengurangi Bahaya Hujan Asam
Penyerap dan Penapis Bau
Mengatasi Genangan air
Mengatasi Intrusi Air Laut
Pelestarian Air Tanah
Penapis Cahaya Silau
Meningkatkan Keindahan/estetika
Sebagai Habitat Burung
Mengurangi Stres dan Depresi ( sarana refreshing)
Mengamankan Pantai Terhadap Abrasi
PP No 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota pasal 8 menyatakan Persentase luas hutan kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari wilayah perkotaan. Jakarta mempunyai persentase luas hutan kota sebesar 0,4 persen dari total luas wilayah. Masih Kurang 9,6% dari luas Jakarta atau sebesar 63,5 km2.
F.
Air Permukaan Seperti sudah diuraikan dan rekapiltulasi pada Sub Bab E.5.1, tentang inventarisasi
Air Permukaan,
bahwa hampir semua badan
air (Air
Permukaan: Sungai, Kali, Waduk, Situ, dan lain-lain) di DKI Jakarta sudah mengalami pencemaran dari yang berat sampai ringan. Selain itu, dari berbagai macam literatur yang ada, dan juga dari Inventarisasi data yang didapat dari BPLHD DKI Jakarta ( seperti sudah diuraikan pada Bab IV) , beberapa tahun belakangan ini pencemaran air baku, baik air tanah maupun air permukaan semakin meningkat. Pencemaran tersebut disebabkan masuknya air limbah domestik maupun industri, dan sampah akibat penanganan sanitasi yang tidak baik. Disadari, saat ini permukaan yang dapat dijadikan sebagai air baku sudah semakin langka. Fenomena tersebut melatarbelakangi ditetapkannya tahun 2008 oleh PBB sebagai Tahun Sanitasi Internasional dalam rangka Hari Air Dunia 2008.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 39
LAPORAN AKHIR
Permasalahan
banjir
pada
umumnya
sangat
terkait
erat
dengan
berkembangnya kawasan perkotaan yang selalu diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk, aktifitas dan kebutuhan lahan, baik untuk permukiman maupun kegiatan ekonomi. Karena keterbatasan lahan di perkotaan, terjadi intervensi kegiatan perkotaan pada lahan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah konservasi dan ruang terbuka hijau. Akibatnya, daerah resapan air semakin sempit sehingga terjadi peningkatan aliran permukaan dan erosi. Hal ini berdampak pada pendangkalan (penyempitan) sungai, sehingga air meluap dan memicu terjadinya bencana banjir, khususnya pada daerah hilir. Terkait dengan permasalahan tersebut diatas, bencana banjir yang terjadi di DKI
Jakarta,
pada
hakekatnya
memiliki
korelasi
dengan
pesatnya
perkembangan kawasan perkotaan di Jabodetabek Punjur, yang pada kenyataannya
tidak
lagi
sesuai
dengan
fungsi
yang
seharusnya. Penyimpangan atau ketidak sesuaian perkembangan kawasan ini didapati pada daerah hulu maupun hilir Jabodetabek Punjur. Pada Kawasan Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur) yang secara geografis merupakan daerah
hulu,
pertambahan
penyimpangan
tersebut
tercermin
daerah terbangun secara signifikan.
dari
adanya
Seharusnya, fungsi
kawasan Bopunjur merupakan kawasan konservasi air dan tanah, yang memberikan perlindungan bagi kawasan dibawahnya untuk menjamin ketersediaan air tanah, air permukaan dan penanggulangan banjir bagi kawasan Bopunjur dan daerah hilirnya (KepPres No. 114, tahun 1999).
G. Air Tanah Memperhatikan uraian tentang Air Tanah yang membahas tentang inventarisasi dan ketersediaan Air Tanah di DKI Jakarta, maka dapat diidentifikasi pencemaran air tanah disebabkan oleh :
Limbah Industri dan Interusi
Penurunan Muka Air Tanah
Pencemaran Fisik, Kimia , dan Biologi
Perubahan Tata Guna Lahan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 40
LAPORAN AKHIR
H. Keanekaragaman Hayati Kurang efektifnya pengawasan dan pengendalian dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada, yang menyebabkan kerusakan Keanekaragaman Hayati. Kondisi ini, sebagai contoh yang sedang marak, adalah ditandai dengan maraknya pengambilan terumbu karang dan pemboman ikan, perambahan hutan, kebakaran hutan dan lahan, serta pertambangan tanpa izin. Permasalahan lain adalah belum jelasnya pengaturan pemanfaatan sumber daya genetik (transgenik) yang mengancam keanekaragaman hayati dan kesehatan manusia, serta permasalahan ketergantungan yang tinggi pada sumber daya fosil. Tapi pada kenyataannya sebagian besar masyarakat Indonesia masih menjadikan laut sebagai tempat pembuangan akhir sampah dan limbah. Minimnya sarana pengolahan limbah dan sampah, serta rendahnya kesadaran masyarakat dalam menangani sampah dan limbah secara baik dan benar telah menjadikan laut ini sebagai sasaran buangan limbah dari berbagai macam aktivitas manusia. Kesalahan Pengelolaan Limbah saat ini mengakibatkan pencemaran laut oleh limbah dan sampah telah menjadi masalah serius. Di wilayah DKI Jakarta saja, misalnya, pencemaran air laut Jakarta telah mencapai radius 60 km atau seluas kawasan Pulau Pramuka di Kepulauan Seribu. Pencemaran itu disebabkan dari limbah domestik perkotaan maupun industri, kemudian mencemari Sembilan sungai di Jakarta yang bermuara di Teluk Jakarta. Beberapa penelitian mengungkapkan perairan Teluk Jakarta terindikasi mengandung logam berat Pb (timbal), Cd (cadmium), dan Cu (tembaga). Dalam hal mutu, kualitas air laut di sekitar Kepulauan Seribu nilai rata-rata kandungan organiknya antara 20,88-38,46 mg/I. Kandungan amonia yang tidak terdeteksi mencapai 0,38 mg/I, sedangkan baku mutu air laut untuk amonia
View more...
Comments