LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
October 31, 2017 | Author: Trya Angga | Category: N/A
Short Description
Download LAPORAN RESMI PRAKTIKUM...
Description
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM DASAR-DASAR AGONOMI ACARA I PERBANYAKAN VEGETATIF
Disusun oleh: 1. Solekhan 2. Trya Angga P. (PN/12542) 3. Annisa Fauzia A. 4. Agung Nugoho S. W. (PN/12569) 5. Hanifa Nuraini (PN/12570) Gol./ Kel. Asisten
(PN/12509) (PN/12557)
: B1/ V : Harimurti Buntaran Nurmasari Fitrisiana Septin Kristiani
LABORATORIUM MANAJEMEN DAN PRODUKSI TANAMAN JURUSAN BUDI DAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2012
ACARA I PERBANYAKAN VEGETATIF I. TUJUAN 1. Mengetahui prinsip – prinsip dasar perbanyakan tanaman secara vegetatif. 2. Menguasai teknik – teknik perbanyakan tanaman secara vegetatif. II. TINJAUAN PUSTAKA Perbanyakan tanaman dapat digolongkan menjadi dua, yaitu perbanyakan tanaman secara generatif dan perbanyakan tanaman secara vegetatif. Perbanyakan tanaman secara generatif adalah dengan menanam biji, sedangkan perbanyakan tanaman secara vegetatif
dapat
dilakukan
dengan
cara
setek,
cangkok,
penyambungan, merunduk, dan yang paling mutakhir adalah dengan kultur jaringan (Hendaryono dan Ari, 1994). Perbanyakan tanaman secara vegetatif buatan merupakan perkembangbiakan tanaman tanpa melalui perkawinan. Proses perbanyakan secara vegetatif buatan melibatkan campur tangan manusia. Tanaman yang biasa diperbanyak dengan cara vegetatif buatan adalah tanaman yang memiliki kambium. Tanaman yang tidak
berkambium
atau
bijinya
berkeping
satu
tidak
dapat
diperbanyak dengan cara vegetatif buatan. Perbanyakan tanaman secara vegetatif buatan bisa dilakukan dengan cara setek, cangkok, dan menyambung (Rahardja dan Ari, 2005). Penyambungan atau enten (grafting) adalah penggabungan dua bagian
tanaman
yang
berlainan
sedemikian
rupa
sehingga
merupakan satu kesatuan yang utuh dan tumbuh sebagai satu tanaman setelah terjadi regenerasi jaringan pada bekas luka sambungan atau tautannya. Bagian bawah (yang mempunyai perakaran) yang menerima sambungan disebut batang bawah atau sering disebut stock. Bagian tanaman yang mempunyau lebih dari satu mata tunas (entres), baik berupa tunas pucuk atau tunas
sampung. Penyambungan batang bawah dan batag atas ini biasanya dilakukan antara dua varietas tanaman yang masih dalam spesies yang sama (Prastowo et al., 2006). Cara ini dilakukan karena lebih efektif dan efisien serta mempunyai keuntungan lain, di antaranya mengekalkan sifat-sifat klon yang baik yang tidak dilakukan oleh pembiakan vegetatif lain, dapat memperoleh tanaman yang kuat karena batang bawahnya tahan
terhadap
keadaan
tanah
yang
tidak
menguntungkan,
memperbaiki jenis-jenis tanaman yang telah tumbuh sehingga jenis yang tidak diinginkan dapat diubah dengan jenis yang dikehendaki dan dapat mempercepat berbuahnya (Sumberini dan Riyanto, 2001). Setek merupakan salah satu cara pembiakan vegetatif buatan, yaitu dengan cara memotong bagian dari tubuh tanaman agar muncul perakaran baru. Bagian tanaman yang dapat disetek antara lain: bagian akar, batang, daun maupun tunas. Setek dapat dibedakan menurut bagian tanaman yang diambil untuk bahan setek: 1) Setek akar, misalnya pada jambu biji, cemara, albezzia dan aesculus; 2) Setek batang, misalnya rhizome, tuber, softwood dan intermediate; 3) Setek daun, misalnya sanciviera, begonia, dan beberapa tanaman lain; 4) Setek tunas, misalnya pada tanaman anggur (Anonim, 2011). Zat pengatur tumbuh yang paling berperan pada pengakaran setek adalah Auksin. Auksin yang biasa dikenal yaitu indole-3aceticacid (IAA), indolebutyric acid (IBA) dan nepthaleneaceetic acid (NAA). IBA dan NAA bersifat lebih efektif dibandingkan IAA yang meruapakan auksin alami, sedangkan zat pengatur tumbuh yang paling berperan dalam pembentukan tunas adalah sitokinin yang terdiri atas zeatin, zeatinriboside, kinetin, isopentenyladenin (ZiP), thidiazurron (TBZ), dan benzyladenine (BA atau BAP). Selain auksin, absisic acid (ABA) juga berperan penting dalam pengakaran setek (Hartmann et al., 1997).
Setek daun adalah salah satu teknik perbanyakan sanseviera yang dimungkinkan untuk mempercepat penyediaan bibit dalam skala besar. Dalam waktu yang relatif sama, sekitar 4 bulan, perbanyakan dengan pemisahan anakan akan menghasilkan 2—3 tunas tanaman baru, sedangkan perbanyakan dengan setek mampu menghasilkan 6—12 tunas tanaman baru, tergantung jumlah daun tanaman induk dan jenis varietas yang akan digunakan sebagai bahan tanam setek. Salah satu indikator keberhasilan teknik ini adalah pertumbuhan akar dan tunas baru yang jenis kultivar dan bagian daun yang digunakan berpengaruh terhadap hal tersebut. Faktor genetik yang berbeda dari setiap spesies, dimungkinkan akan berpengaruh terhadap kondisi fisiologis pada setiap urutan daun pada batang sehingga hal tersebut akan berpengaruh pula terhadap (Rahayu dan Pandwi, 2011). Teknik in vitro dengan mempergunakan berbagai bagian tanaman sangat menguntungkan untuk perbanyakan tanaman dan teknik tersebut telah berhasil pula memperbanyak sejumlah jenis tanaman yang berkhasiat obat dari berbagai suku. Kelebihan dari teknik tersebut disamping dalam kondisi yang apseptis atau bebas patogen dapat menghasilkan tanaman berkesinambungan atau berkala. Selain itu, perbanyakan in vitro merupakan salah satu aternatif untuk menyediakan bahan tanaman secara massal dalam waktu yang relatif singkat dibadingkan dengan cara konvensional (Hoesen, 2001).
III. METODE PELAKSANAAN PRAKTIKUM Praktikum Dasar-dasar Agonomi Acara I Perbanyakan Vegetatif dilaksanakan pada hari Senin, 23 April 2012 di Laboratorium Manajemen dan Produksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah polibag, pisau okulasi, plastik pembungkus, tali rafia, label, dan alat tulis. Bahan-bahan yang digunakan adalah tanaman puring (Codiaeum variegatum), lidah mertua (Sanciviera sp.), dan jeruk (Citrus sp.). Kegiatan yang dilakukan pada acara ini adalah penyambungan pucuk, setek batang, setek daun. Cara kerja untuk penyambungan daun adalah pertama-tama dipilih dua jenis tanaman puring (Codiaeum variegatum) yang cabangnya sama besar, berdaun kecil untuk scion dan berdaun lebar untuk stock. Kemudian, bagian pucuk scion dipotong 10—15 cm tergantung besarnya cabang. Selanjutnya, daun scion dikurangi dan bagian pangkal scion dipotong membentuk huruf V atau membentuk baji. Kemudian, stock dibelah ke bawah (di bagian tengah) sepanjang 1—2 cm tergantung besarnya cabang. Scion disisipkan ke dalam stock, kemudian diikat dengan tali dan dibungkus dengan plastik untuk mengurangi transpirasi pada scion. Cara kerja untuk setek daun adalah daun tanaman lidah mertua (Sanciviera sp.) dan media tanah disiapkan. Kemudian, daun dipotong menjadi tiga bagian yaitu ujung, tengah dan pangkal. Selanjutnya, bagian setek daun tesebut ditanam ke dalam media yang
disiapkan
dan
tanah
disiram
untuk
mempercepat
pertumbuhan. Untuk setek batang, pertama-tama bagian tanaman yang akan dijadikan bahan setek dipilih dengan panjang 10—15 cm dengan menyisakan satu daun saja. Kemudian, bagian pangkalnya dipotong dengan sudut kemiringan 45 derajat dan ukuran luas daun dikurangi dengan memotong hingga setengahnya saja. Kemudian, bahan setek dicelupkan ke dalam IBA 4000 ppm selama 5 detik. Media tanam disiapkan dan bahan tanam berupa setek tadi
dimasukkan ke dalam lubang tanam yang dibuat. Selanjutnya, polibag yang telah ditanami dimasukkan ke dalam sungkup. Tanaman dipelihara dengan menjaga kapasitas lapang. Terakhir, keberhasilan penyetekan diperiksa setelah satu bulan. Setek yang hidup ditandai dengan tunas daun dan munculnya akar.
IV.
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
A.HASIL PENGAMATAN Tabel 1. Tingkat Keberhasilan Setek Daun Persentase Perlakuan Atas Setek Tengah daun Bawah
Keberhasilan 0% 0% 16,7%
Tabel 2. Tingkat Keberhasilan Setek batang ZPT, setek batang air, dan sambung pucuk Perlakuan
Persentase keberhasilan
Setek batang + ZPT Setek batang
66,7%
+ air Sambung
33,3% 0%
pucuk
B.PEMBAHASAN Perbanyakan vegetatif adalah teknik perbanyakan tanaman yang dilakukan dengan menggunakan bagian-bagian vegetatif dari tanaman seperti akar, batang dan daun. Perbanyakan vegetatif
biasanya
dilakukan
dengan
cara
setek,
cangkok,
sambung pucuk, dan okulasi. Dalam praktikum ini perbanyakan vegetatif yang dilakukan diantaranya adalah setek dan sambung pucuk. Setek yang dilakukan adalah setek batang dan setek daun. Setek batang menggunakan batang dari tanaman jeruk (Citrus sp.), setek daun menggunakan daun dari tanaman lidah mertua (Sanciviera sp.), dan sambung pucuk menggunakan tanaman puring (Codiaeum variegatum). Perbanyakan vegetatif memiliki beberapa keuntungan, yaitu tanaman akan membawa sifat-sifat baik dari induknya, efisiensi
waktu karena dibutuhkan waktu yang tidak lama untuk berbuah dan berbunga dibandingkan dengan perbanyakan
generatif,
tanaman dapat dikembangbiakkan tanpa menunggu berbuah terlebih dahulu dan tanaman dapat dikembangbiakkan dan dilestarikan meskipun tanaman tidak berbiji atau berbuah. Namun perbanyakan vegetatif juga memiliki kerugian, yaitu tanaman dapat membawa sifat-sifat buruk dari tanaman induk, sistem perakaran yang dihasilkan merupakan sistem perakaran serabut sehingga menjadi tanaman hasil tidak sekuat tanaman asli dan hanya dapat diperoleh keturunan baru yang jumlahnya terbatas dari satu induk. Setek merupakan salah satu cara pembiakan vegetatif buatan, yaitu dengan cara memotong bagian dari tubuh tanaman agar muncul perakaran baru. Bagian tanaman yang dapat disetek antara lain: bagian akar, batang, daun, maupun tunas. Sebagai alternatif perbanyakan vegetatif buatan, setek memiliki beberapa keunggulan di antaranya setek lebih ekonomis, lebih mudah, tidak memerlukan keterampilan khusus dan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan cara perbanyakan vegetatif buatan lainnya. Cara
perbanyakan
dengan
metode
setek
akan
mengalami
kerugian jika bertemu dengan kondisi tanaman yang sukar berakar. Akar yang baru terbentuk tidak tahan stres lingkungan dan adanya sifat plagiotrop tanaman yang masih bertahan. Keberhasilan
perbanyakan
ini
ditandai
oleh
terjadinya
regenerasi akar dan pucuk pada bahan setek sehingga menjadi tanaman baru. Regenerasi akar dan pucuk yang merupakan penanda keberhasilan setek ini dipengaruhi oleh faktor internal yaitu tanaman itu sendiri dan faktor eksternal atau lingkungan. Faktor internal yang mempengaruhi keberhasilan setek ialah zat pengatur tumbuh (ZPT). Zat pengatur tumbuh yang paling berperan dalam pengakaran setek adalah auksin. Auksin yang biasa dikenal yaitu indole-3-aceticacid (IAA), indolebutyric (IBA)
dan nepthaleneacetic acid (NAA). IBA dan NAA bersifat lebih efektif di bandingkan dengan IAA yang merupakan auksin alami. Pada praktikum ini digunakan IBA sebagai zat pengatur tumbuh untuk setek batang (Wells, 1984).
Gb. Struktur indole-3-aceticacid (IBA) Faktor internal yang perlu dipertimbangan dan menjadi faktor penting dalam mempengaruhi regenerasi akar dan pucuk pada setek adalah faktor genetik. Setiap jenis tanaman yang berbeda mempunyai kemampuan regenerasi akar dan pucuk yang berbeda pula. Dalam menunjang keberhasilan setek tanaman induk seharusnya mempunyai sifat-sifat unggul dan tidak terserang hama atau penyakit. Faktor
lingkungan
berpengaruh
pada
tumbuh
terjadinya
setek
yang
regenerasi
cocok
akar
dan
sangat pucuk.
Lingkungan tumbuh atau media pengakaran seharusnya kondusif untuk regenerasi akar yaitu cukup lembab, evapotranspirasi rendah, drainase dan aerasi baik, suhu tidak terlalu dingin atau panas, tidak terkena cahaya penuh (200—100 W/m 2), dan bebas dari hama atau penyakit. Setek batang Setek batang merupakan perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman berupa batang tanaman. Setek batang yang dilakukan pada praktikum ini
menggunakan
tanaman jeruk (Citrus sp.) yang merupakan jenis batang tanaman yang semi berkayu. Setek batang dilakukan dengan pemotongan
batang tanaman yang telah dipilih sebelumnya sebagai batang setek. Sebelum melakukan setek batang harus dilakukan pemilihan batang tanaman yang akan disetek agar dapat menghasilkan buah dan bunga yang baik. Sebaiknya batang dipilih dari tanaman yang berumur kurang lebih satu tahun agar masih dapat menghasilkan perakaran yang baik dan memiliki penguapan yang stabil karena apabila dipilih batang yang tua, akan sulit terjadi perakaran dan apabila dipilih batang yang tua, maka proses penguapan yang terjadi akan cepat sekali sehingga mengganggu setek. Batang tanaman yang dipilih juga batang tanaman yang bebas hama dan penyakit. Histogam 1. Tingkat Keberhasilan setek batang
Berdasarkan
histogam
di
atas
dapat
diketahui
bahwa
persentase keberhasilan setek batang dengan zat pengatur tumbuh pada praktikum ini 66,76% dan untuk setek batang tanpa zat pengatur tumbuh 33,33%. Persentase keberhasilan yang belum maksimal
pada
kedua
perlakuan
dapat dikarenakan
penyiraman yang kurang teratur dan dibukanya sungkup plastik penutup yang berfungsi untuk mengurangi transpirasi sehingga dapat dimungkinkan sungkup plastik tidak tertutup rapat seperti
sebelumnya
sehingga
transpirasinya
menjadi
besar
dan
mengganggu proses setek. Selain setek batang, pada praktikum ini juga dilakukan setek daun dengan menggunakan bahan setek berupa daun dari tanaman
lidah
mertua
(Sanciviera
sp.).
Bahan
awal
dari
perbanyakan tanaman dengan setek daun ini dapat berupa lembaran daun. Namun, bahan awal dari setek daun ini tidak akan menjadi bagian dari tanaman baru. Pada setek daun, akar dan tunas baru berasal dari jaringan meristem primer atau jaringan meristem sekunder. Pada Sanciviera sp. akar dan tunas baru berkembang dari meristem sekunder dari hasil pelukaan. Seperti pada setek batang dan setek-setek pada umumnya, bahan setek daun juga harus dipilih dari tanaman induk yang unggul dan bebas dari hama atau penyakit. Tabel 2. Histogam setek daun atas, tengan dan bawah
Dari histogam di atas terlihat persentase keberhasilan setek daun bagian ujung 0% dan persentase keberhasilan pada setek daun bagian tengah 0%, dan bagian bawah 16,7%. Pada praktikum ini perlakuan setek daun yang mengalami keberhasilan tertinggi
hanya
ditemukan
pada
bagian
pangkal.
Adapun
ketidakberhasilan pada kedua perlakuan lainnya, yaitu pada setek ujung daun dan tengah daun dapat dimungkinkan oleh fakor
internal dan fakktor eksternal. Faktor internal dari tanaman itu sendiri
yang
berhubungan
terhadap
jaringan
antar
bagian
tanaman yaitu terdapat perbedaaan titik tumbuh antara bagian ujung, tengah, dan pangkal maupun dapat disebabkan oleh penyiraman yang kurang teratur. Penyambungan atau enten (grafting) adalah penggabungan dua bagian tanaman yang berlainan sedemikian rupa sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh dan tumbuh sebagai satu tanaman setelah terjadi regenerasi jaringan pada bekas luka sambungan atau tautannya. Teknik apapun yang memenuhi kriteria ini dapat digolongkan sebagai metode grafting, sedangkan budding adalah salah satu bentuk dari grafting dengan ukuran batang atas tereduksi menjadi hanya terdiri atas satu mata tunas. Teknik ini dipilih dengan dalam memperbanyak tanaman yang sukar
atau
tidak
dapat
diperbanyak
dengan
cara
setek,
perundukan, pemisahan, atau dengan cangkok. Selain untuk memperbanyak tanaman yang sukar diperbanyak dengan cara yang lain, sambung pucuk juga memiliki keuntungan yang lain, yaitu perakaran yang kuat, toleran terhadap lingkungan tertentu, mempercepat pertumbuhan tanaman dan mengurangi waktu produksi, mempercepat kematangan reproduktif dan produksi buah lebih awal, mendapatkan bentuk pertumbuhan tanaman khusus, dan memperbaiki kerusakan pada tanaman. Namun, perbanyakan tanaman secara sambung pucuk merupakan teknik perbanyakan tanaman yang mahal karena memerlukan tenaga terlatih dan waktu. Pada praktikum ini tidak ditemui keberhasilan dalam perlakuan sambung pucuk ini. Adapun kegagalan ini dikarenakan terjadinya perlakuan teknik sambung pucuk yang salah sehingga tidak terjadi pertautan antara kedua batang tanaman. Keberhasilan dalam teknik ini hanya mungkin jika kedua jenis tanaman cocok (kompatibel) dan irisan luka rata serta pengikatan sambungan
tidak terlalu lemah dan tidak terlalu kuat sehingga tidak terjadi kerusakan jaringan. Dalam melakukan grafting atau budding, perlu diperhatikan polaritas batang atas dan batang bawah. Untuk batang atas bagian dasar entris atau mata tunas harus disambungkan dengan bagian atas batang bawah. Jika posisi ini terbalik, sambungan tidak akan berhasil baik karena fungsi xylem sebagai pengantar hara dari tanah maupun floem sebagai pengantar asimilat dari daun akan terbalik arahnya (Ashari, 1995) sehingga kegagalan dalam praktikum ini dimungkinkan tidak terpenuhinya keadaan di atas yang dibutuhkan dalam keberhasilan teknik ini.
IV. KESIMPULAN 1. Perbanyakan tanaman vegetatif
bisa dilakukan dengan cara
setek batang, setek daun dan sambung pucuk. 2. Perlakuan penambahan zat pengatur tumbuh yaitu IBA dapat meningkatkan tingkat keberhasilan setek batang. 3. Faktor ketidakberhasilan pada setek daun ujung dan setek daun tengah karena terdapat perbedaaan titik tumbuh antara bagian ujung, tengah, dan pangkal maupun dapat disebabkan oleh penyiraman yang kurang teratur. 4. Kecocokan tanaman dan pengikatan sambungan mempengaruhi keberhasilan pada sambung pucuk. 5. Polaritas
batang
keberhasilan setek.
atas
dan
batang
bawah
mempengaruhi
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Setek Tanaman Pada Pucuk, Batang Tengah, dan Pangkal.. Diakses pada 25 Maret 2012. Ashari, S. 1995. Hortikultural Aspek Budidaya. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Hartmann, H.T., D.E. Kester, F.T. Davies, and R. L. Geneve. 1997. Plantpropagation: Principles and Practices. Prentice Hall, Englewood Cliffs. Hendaryono, D.P.S. dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta, Kanisius. Hoesen, D. S. H. 2001. Perbanyakan dan penyimpanan kultur sambung nyawa dengan teknik in vitro. Jurnal Biologi 5 : 379— 385. Prastowo, N. H., M. R. James, E. M. Gerhard, N. Erry, M. T. Joel, H. Frasiskus. 2006. Teknik Pembibitan dan Perbanyakan Vegetatif Tanaman Buah. Bogor, World Agoforestry Centre & Winrock International, Bogor. Rahardja P. C. dan Wahyu W. Aneka Cara Memperbanyak Tanaman. 2005. Jakarta, AgoMedia Pustaka. Rahayu dan M. Pandwi. 2011. Pengaruh Perbedaan Urutan Daun di Batang Pada Dua Varietas Sansiviera Terhadap Pertumbuhan Setek Daun. Universitas Brawijaya, Malang. Sumberini dan A. Riyanto. 2001. Pengaruh umur batang bawah sirsak (Annona muricata L.) dan macam batang atas srikaya (Annona squamosa L.) terhadap pertumbuhan bibit sambung pucuk. Bullaz 6:98—104. Wells, A. F. 1984. Structural Inorganic Chemistry, 5th ed. Oxford University Press, Oxford.
LAMPIRAN Gb. Sambung Pucuk Puring (Codiaeum variegatum)
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM DASAR-DASAR AGONOMI ACARA II KEBUTUHAN AIR TANAMAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN AIR
Disusun oleh: 1.
Solekhan (PN/12509)
2. Trya Angga P. (PN/12542) 3. Annisa Fauzia A. (PN/12557) 4. Agung Nugoho S. W. (PN/12569) 5. Hanifa Nuraini (PN/12570) Gol./ Kel. : B1/ V Asisten : Harimurti Buntaran Nurmasari Fitrisiana Septin Kristiani
LABORATORIUM MANAJEMEN DAN PRODUKSI TANAMAN JURUSAN BUDI DAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012
ACARA II KEBUTUHAN AIR TANAMAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN AIR I. TUJUAN 1. Mengetahui jumlah air yang hilang karena evaporasi dan transpirasi 2. Mengetahui jumlah air yang dibutuhkan tanaman selama periode waktu tertentu 3. Mengetahui efisiensi penggunaan air tanaman II.TINJAUAN PUSTAKA Air
mutlak
diserap
oleh
setiap
makhluk
hidup
untuk
pertumbuhan. Demikian pula tanaman, air sangat dibutuhkan dalam proses
evaporasi,
transpirasi,
dan
aktivitas
tanaman.
Apabila
kebutuhan air terpenuhi dalam jumlah dan waktu yang tepat, maka tanaman bisa tumbuh optimal dan dapat memberikan hasil yang tinggi (Mulia, 2004). Ketersediaan air adalah berapa besar cadangan air yang tersedia untuk keperluan irigasi. Ketersediaan air ini biasanya terdapat pada air permukaan seperti sungai, danau, dan rawa-rawa, serta sumber air di bawah permukaan tanah. Pada prinsipnya perhitungan ketersediaan air ini bersumber dari banyaknya curah hujan, atau dengan perkataan lain hujan yang jatuh pada daerah tangkapan hujan (catchment area/ watershed) sebagian akan hilang menjadi evapotranspirasi, sebagian lagi menjadi limpasan langsung (direct run off), dan sebagian yang lain akan masuk sebagai infiltrasi (Dirjen Pengairan, 1986). Air dapat hilang karena beberapa proses antara lain, proses evaporasi, transpirasi, dan evapotranspirasi. Ketiga proses tersebut dipengaruhi
oleh
beberapa
mempengaruhi adalah
faktor.
Faktor
utama
yang
jenis tanaman, kadar lengas tanah, dan
cuaca (Quezada et al., 2011).
Evaporasi adalah proses air diubah menjadi uap air (vaporasi, vaporization) dan selanjutnya uap air tersebut dipindahkan dari permukaan bidang penguapan ke atmosfer (vapor Evaporasi terjadi pada berbagai jenis
removal).
permukaan seperti danau,
sungai lahan pertanian, tanah, maupun dari vegetasi yang basah. Proses ini dapat mengurangi persediaan air di suatu lahan (Santoso, 2004). Transpirasi adalah vaporisasi di dalam jaringan tanaman dan selanjutnya uap air tersebut dipindahkan dari permukaan tanaman ke atmosfer (vapor removal). Pada transpirasi, penguapan terjadi terutama di ruang antar sel daun dan selanjutnya melalui stomata uap akan atmosfer. Hampir air yang diambil tanaman media tanam (tanah) akan ditranspirasikan, dan hanya sebagian kecil yang dimanfaatkan tanaman (Irianto, 2004). Evapotranspirasi adalah perpaduan antara evaporasi dari tanah dengan
transpirasi
merupakan salah satu
dari
tumbuh-tumbuhan.
Evapotranspirasi
komponen utama dalam siklus hidrologi
dengan pada perhitungan ketersediaan air (Rino, 2011).
III. METODE PELAKSANAAN PRAKTIKUM Praktikum Dasar-dasar Agonomi acara II Kebutuhan Air Tanaman dan Efisiensi Penggunaan Air ini dilaksanakan pada tanggal 30 april 2012 di rumah kaca dan Laboratorium Produksi Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan antara lain cangkul, cetok, thermohigometer, neraca, dan oven. Sementara untuk bahan yang digunakan antara lain bibit tanaman tomat (Solonum lycopersicum), air keran, polibag, dan tanah sebagai media tanam. Cara kerja pada praktikum ini dibagi dalam dua tahap, yaitu persiapan media tanam dan tahap pengamatan. Pada tahap persiapan media tanam yang perlu dilakukan adalah disiapkan dua buah polibag untuk kemudian diisi dengan tanah sebanyak gam
dan
ditambahkan
100
gam
air.
Setelah
itu,
1.000
dilakukan
penanaman bibit tomat dan diambil satu buah bibit tomat untuk diukur luas daun dan bobot keringnya. Bibit tomat yang telah ditanam kemudian dirawat selama 21 hari setelah tanam. Setelah itu, dilakukan proses pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan mengukur banyaknya air yang hilang pada tiap polibag yang dimulai 4 hari setelah tanam dengan frekuensi 2 kali seminggu (internal 3— 4 hari) dengan cara polibag ditimbang dan dihitung selisih berat awal dengan berat polibag pada saat penimbangan kemudian ditambahkan air sampai berat polibag mempunyai berat 1.100 gam. Setelah mengetahui jumlah air yang hilang, dilakukan perhitungan untuk mengetahui jumlah air yang hilang dalam proses transpirasi, evaporasi,
dan
evapotranspirasi
dengan
satuan
gam/satuan
luas/hari. Setelah hari keempat pengamatan (16 hst), dijumlah hasil pengukuran evaporasi, evapotranspirasi, dan transpirasi untuk mengetahui jumlah air yang dibutuhkan. Tanaman tomat dipanen pada 21 hari setelah tanam dan dihitung luas daun dan bobot segarnya.
Tanaman
tomat
dioven
untuk
mengetahui
berat
keringnya. Selisih antara bobot kering penanaman dihitung untuk
mengetahui biomassa yang dihasilkan. Langkah terakhir adalah menghitung efisiensi penggunaan air dengan rumus :
Selain WUE, dalam praktikum ini juga dihitung laju transpirasi tanaman, yaitu dengan menggunakan rumus:
Untuk mengetahui luas daun, dapat digunakan rumus:
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengamatan Tabel Evaporasi, Transportasi, dan Evapotranspirasi Perlakuan
Evapotranspi rasi
3 58, 3 73, 3
Transpirasi
15
Evaporasi
7
Hari ke10 14
17
21
70,5
25
60
45,8
73,7
111, 67 41,1 7
81, 7 56, 7
128, 33 68,3 3
113, 33 67,5 3
168, 33 95,0 3
Hasil Perhitungan Laju Transpirasi dan WUE Berat Kering awal
Berat Kering akhir
Luas Daun Awal (cm2)
Luas Daun Akhir (cm2)
WUE (%)
0,57
1,18
112
234,25
0,702
B. Pembahasan Evaporasi adalah suatu proses penguapan sebagian dari pelarut
sehingga
didapatkan
larutan
zat
cair
pekat
yang
konsentrasinya lebih tinggi. Tujuan dari evaporasi adalah untuk memekatkan larutan yang terdiri atas zat-zat terlarut yang tidak mudah menguap dan pelarut yang mudah menguap. Pada proses evaporasi, kebanyakan pelarutnya adalah air. Dalam evaporasi, sisa penguapannya adalah zat cair. Faktor yang mempengaruhi laju evaporasi adalah laju saat panas dapat dipindahkan ke cairan, jumlah panas yang dibutuhkan untuk menguapkan setiap satuan massa air, suhu maksimum yang diperbolehkan untuk cairan,
tekanan
untuk
menguapkan,
dan
perubahan
pada
makanan selama penguapan. Transpirasi adalah peristiwa perubahan air menjadi uap yang naik ke udara melalui jaringan hidup tumbuh-tumbuhan yaitu melalui stomata daun, lentisel, dan kutikula. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi laju trranspirasi, yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi: a. Stomata Pada stomata, yang mempengaruhi laju transpirasi adalah jumlah stomata per satuan luas, letak stomata (permukaan bawah atau atas daun, timbul/tenggelam), waktu bukaan stomata, banyak sedikitnya stomata, dan bentuk stomata. b. Daun Pada daun, yang mempengaruhi laju transpirasi adalah warna daun (kandungan klorifil daun), posisinya menghadap matahari atau
tidak,
besar
kecilnya
daun,
tebal
tipisnya
daun,
berlapiskan lilin atau tidaknya permukaan daun, dan banyak sedikitnya bulu di permukaan daun. Faktor luar yang mempengaruhi meliputi: a. Sinar matahari
Sinar matahari menyebabkan membukanya stomata serta gelap menyebabkan
tertutupnya
stomata.
Jadi
semakin
tinggi
intesitas sinar matahari yang diterima daun, maka kecepatan transpirasi akan semakin tinggi. b. Temperatur Kenaikan temperatur menambah tekanan uap di dalam dan di luar daun, tetapi berhubung udara di luar daun itu tidak terbatas, maka tekanan uap tidak akan setinggi tekanan yang terkurung di dalam daun. Akibatnya, uap air akan mudah berdifusi dari dalam daun ke udara bebas. Jadi semakin tinggi temperatur, kecepatan transprasi akan semakin tinggi pula. c. Kelembaban udara Udara yang basah akan menghambat transpirasi, sedangkan udara yang kering akan memperlancar transpirasi. d. Angin Angin mempunyai pengaruh ganda yang cenderung saling bertentangan terhadap laju transpirasi. Secara singkat dapat disimpulkan
bahwa
angin
cenderung
meningkatkan
laju
transpirasi, baik di dalam naungan maupun cahaya dengan melalui penyapuan uap air. Dalam udara yang bergerak, besarnya lubang stomata mempunyai pengaruh lebih besar terhadap transpirasi daripada dalam udara tenang, tetapi efek angin
secara
keseluruhan
adalah
selalu
meningkatkan
transpirasi. e. Keadaan air di dalam tanah Air di dalam tanah ialah satu-satunya sumber yang pokok, yakni tempat
akar-akar
dibutuhkannya.
Laju
tanaman transpirasi
mendapatkan dapat
air
dipengaruhi
yang oleh
kandungan air tanah dan laju absorbsi air dari akar. Pada siang hari, biasanya air ditranspirasikan dengan laju yang lebih cepat daripada penyerapannya dari tanah. Hal tersebut menimbulkan
defisit air dalam daun. Pada malam hari akan terjadi kondisi yang sebaliknya karena suhu udara dan suhu daun lebih rendah. Jika kandungan air tanah menurun, sebagai akibat penyerapan oleh akar, gerakan air melalui tanah ke dalam akar menjadi lebih lambat. Evapotranspirasi adalah peristiwa berubahnya air menjadi uap dan bergerak dari permukaan tanah, permukaan air, serta tanaman menguap ke udara. Faktor-faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi adalah suhu air, suhu udara, kelembaban, kecepatan angin, tekanan udara, sinar matahari, dan lain-lain yang berhubungan satu dengan yang lainnya. Terdapat kaitan antara proses evaporasi, transpirasi, dan evapotranspirasi dengan adanya kadar lengas tanah. Lengas tanah adalah air yang terdapat dalam tanah yang terikat oleh berbagai
kakas
(matrik,
osmosis,
dan
kapiler).
Kakas
ini
meningkat sejalan dengan peningkatan permukaan jenis zarah dan kerapatan muatan elektrostatik zarah tanah. Tegangan lengas tanah juga menentukan beberapa banyak air yang dapat diserap tumbuhan. Bagian lengas tanah yang mampu menyerap air dinamakan ketersediaan air. Ketersediaan air tanaman adalah air yang ada di permukaan bumi yang akan digunakan untuk proses penting dalam tumbuhan. Proses-proses tersebut contohnya adalah untuk evaporasi, transpirasi, dan evapotranspirasi. terpenuhi,
maka
Jadi,
apabila
proses
ketersediaan
evaporasi,
evapotranspirasi dapat berjalan dengan lancar.
air
tanaman
transpirasi,
dan
Pada gafik ini menunjukkan bahwa kebutuhan air pada tanaman rata- rata mengalami peningkatan pada awal hari. Untuk jumlah air yang hilang pada proses transpirasi, dapat dilihat bahwa
gafik
mengalami
kenaikan
yang
signifikan.
Hal
ini
dikarenakan pada awal percobaan, tanaman tomat ukurannya masih kecil sehingga jumlah stomata masih lebih sedikit sehingga transpirasinya masih kecil. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata jumlah air yang hilang karena transpirasi yaitu rata-rata 57,3 g/cm2/hari relatif lebih besar daripada air yang hilang karena evaporasi yaitu rata-rata sebesar 55,55 g/cm2/hari. Hal ini disebabkan karena air yang diserap oleh tanaman hanya sebagian kecil saja yang digunakan untuk proses metabolisme dan sebagian besar dilepas ke udara dalam bentuk uap yang bertujuan agar tanaman dapat terus menyerap unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan menjaga suhu tubuh tanaman agar tanaman tidak layu. Pada tanah, air yang hilang relatif sedikit karena tidak ada faktor lain yang menyebabkan penguapan selain suhu lingkungan yang tinggi. Berat segar pada awal percobaan sebesar 0,57 gam dengan akhir percobaan mencapai 1,18 g dan luas daunnya adalah 234,25
cm2. Dengan demikian, dapat dilihat tanaman yang semakin besar,
jumlah
stomatanya
semakin
banyak
sehingga
transpirasinya semakin tinggi dan kebutuhan air semakin tinggi pula. Hasil perhitungan laju transpirasi sebesar 368,00 g/cm 2/hari, serta WUE(Water Use Efficiency) sebanyak 0,702 %. Efisiensi penggunaan air (Water Use Efficiency) merupakan perbandingan jumlah air yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu
satuan
berat
bahan
kering.Untuk
mengetahui
tingkat
efisiensi tumbuhan dalam memanfaatkan air, seringdilakukan pengukuran terhadap laju transpirasi. Tumbuhan yang efisien akanmenguapkan air dalam jumlah yang lebih sedikit untuk membentuk struktur tubuhnya (bahan keringnya) dibandingkan dengan tumbuhan yang kurang efisiendalam memanfaatkan air. Dalam praktikum ini diketahui tingkat efisiensi penggunaan air sebesar 0,72%. Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat efisiensi penggunaan air oleh tanaman masih rendah. Hal ini dapat disebabkan lebih tingginya jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman bila dibandingkan dengan biomassa yang dihasilkan oleh tanaman itu sendiri. Biomassa diperoleh dari selisih berat basah tanaman pascapanen dengan berat kering tanaman setelah dioven. Secara alami tanaman kehilangan air melalui permukaan tubuhnya, yangdisebut dengan transpirasi. Di samping itu, media tanam juga secara alam imengalami proses penguapan yang disebut dengan evaporasi.
V.
KESIMPULAN
1. Semakin besar ukuran tanaman maka semakin banyak stomatanya, sehingga transpirasinya semakin besar. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi evaporasi, transpirasi, dan evapotranspirasi adalah sinar matahari, temperatur, kelembaban udara, angin, dan kaeadaan air dalam tanah.
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Pengairan. 1986. Standar Perencanaan Irigasi. CV Elang Persada, Bandung. Irianto, E. W. 2004. Pengaruh air untuk tanaman. Jurnal Budidaya Pertanian 54:18—24. Mulia, N. 2004. Irigasi Hemat Air. Kanisius, Yogyakarta. Quezada, C., S. Fisher, J. Campos, and D. Ardiles. 2011. Water requirements and water use efficeincy of carrot under drip irrigation in a haplexerand soil. Journal of Soil Science and Plant Nutrition 11: 16—28. Rino. 2011. Transpirasi .
Santoso, B. 2004. Metode penelitian air. Usaha nasional, Surabaya.
LAMPIRAN
Perhitungan
Data Mentah
Tanggal 30/4/12 3/5/12 7/5/12 10/5/12 14/5/12 17/5/12 21/5/12
Luas daun (cm²) 112 112 112 112 112 112 234,247
Berat Kering (gram) 0,57 0,57 0,57 0,57 0,57 0,57 0,57
Parameter Bobot polibag Bobot polibag awal tanpa awal dengan tanaman tanaman (gram) (gram) 1.100 1.100 1.041,667 1.026,667 1.029,5 988,333 1.075 1.018,333 1.040 971,667 1.054,167 986,667 1.026,667 931,667
Bobot polibag akhir (gram) 1.100 1.100 1.100 1.100 1.100 1.100 1.100
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM DASAR-DASAR AGONOMI ACARA III PESEMAIAN DAN PINDAH TANAM PADI METODE KONVENSIONAL DAN THE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI)
Disusun oleh: 1.
Solekhan (PN/12509)
2. Trya Angga P. (PN/12542) 3. Annisa Fauzia A. (PN/12557) 4. Agung Nugoho S. W. (PN/12569) 5. Hanifa Nuraini (PN/12570) Gol./ Kel. : B1/ V Asisten : Harimurti Buntaran Nurmasari Fitrisiana Septin Kristiani
LABORATORIUM MANAJEMEN DAN PRODUKSI TANAMAN JURUSAN BUDI DAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012
ACARA III PESEMAIAN DAN PINDAH TANAM PADI METODE KONVENSIONAL DAN THE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) I. TUJUAN 1. Mengetahuai pengaruh pesemaian dan waktu pindah tanam terhadap pertumbuhan bibit padi 2. Mengetahui hubungan antara kualitas bibit dan berat keringnya II.TINJAUAN PUSTAKA Tanaman padi merupakan tanaman pangan utama di Indonesia karena lebih dari setengah penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokok. Terpilihnya padi sebagai makanan pokok disebabkan karena pembudidayaanya dan cara pengolahannya menjadi bahan pangan lebih sederhana dibandingkan tanaman pangan
yang
lain.
Konsumsi
beras
penduduk
Indonesia
per
kapita/tahun rata-rata adalah 104,1 kg atau secara nasional sekitar 27 juta ton/tahun. Produksi beras nasional yang rendah sebanyak ± 2 juta ton beras diimpor sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia (Kurniasih dan Muqnisjah, 2003). Tanaman
padi,
pada
umumnya
ditanam
dengan
sistem
penggenangan. Petani pada umumnya membiarkan air pengairan mengalir masuk ke petak sawahnya, dan terus mengalir dari petak satu ke petak lainnya, dan bahkan mengalir ke tempat pembuangan, seperti kali atau parit. Teknik budidaya tanaman padi seperti ini, yang ini disebut sebagai padi sawah, telah dipraktikan dari zaman dahulu. Munculnya teknik budidaya baru, maka teknik budidaya padi sawah disebut teknik budidaya padi sawah “konvensional”. Kalau dibandingkan dengan penanaman padi secara kering, yaitu padi
gogo,
padi
sawah
memberikan
hasil
yang
jauh
lebih
tinggi
(Wangiyana et al. 2010). Dikembangkannya teknik budidaya padi yang baru yang semula dikembangkan di Madagaskar dan dikenal dengan teknik SRI (System
of
Rice
Intensification),
ada
harapan
baru
untuk
meningkatkan produksi padi. SRI adalah teknik budidaya padi inovatif yang ditemukan yahun 1980-an oleh seorang biarawan Perancis bernama Henri de Laulanie΄. Metode SRI memungkinkan petani untuk (Sutrimo, 2011): 1. Meningkatkan produksi padi lebih dari 50% 2. Menguranbgi output dan biaya 3. Bibit: mengurangi antara 80% —90% 4. Pemeberian air irgasi antara 25% —50% 5. Pupuk kimia: dikurangi atau ditiadakan 6. Beras yang dihasilkan lebih tinggi SRI adalah inovasi yang tidak biasa dengan menerapkan beberapa metode untuk meningkatkan produktivitas, tenaga kerja, air, dan modal yang diinvestasikan secara bersamaan. Tentu saja, ada biaya yang digunakan dalam SRI, misalnya untuk tenaga kerja yang dibutuhkan semakin banyak. Ada beberapa kondisi metode ini tidak
sesuai
atau
tidak
dapat
digunakan,
misalnya,
ketika
pengendalian air sedikit dan banjir, dapat menimbulkan kondisi anaerobik pada tanah, tetapi dengan ketrampilan dan kepercayaan diri serta inovasi. SRI dapat menghemat tenaga kerja dari waktu ke waktu, hemat air dan biji, mengurangi biaya, dan meningkatkan output padi (Uphoff, 2008). SRI lebih merupakan sistem produksi yang dirumiuskan pada prinsip-prinsip inti tertentu dari kimia dan biologi tanah, fisiologi padi dan genetika padi, serta prinsip-prinsip keberlanjutan dengan kemungkinan
menyesuaikan
komponen
teknis
yang
tepat,
berdasarkan aspek biofisik dan sosial ekonomi suatu daerah. Komponen utama dari SRI, antara lain :
1. Metode penanaman 2. Menejemen kesuburan tanah 3. Pengendalian gulma 4. Pengelolaan air Komponen-komponen tersebut harus selalu diuji dan harus selalu bervariasi sesuai dengan klondisi lokal, bukan hanya diadopsi (Namara et al. 2003). Komponen lain yang juga mempengaruhi keberhasilan dari SRI adalah jarak tanam. Jarak tanam yang renggang membutuhkan keseluruhan parameter pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan jarak tanam rapat (Lorentz dan Maynard, 1980). Menurut Mayer dan Poljakof (1975), untuk memperkirakan atau menentukan jarak tanam dan banyaknya benih dalam satu daerah lahan harus diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi, misalnya keadaan tanah, pengerjaan tanah, dan pemupukan. III. METODE PELAKSANAAN PRATIKUM
Pratikum
Dasar-dasar
Agonomi
acara
tiga
yang
berjudul
Pesemaian dan Pindah Tanam Padi Metode Konvesional dan The System of Rice Intensification (SRI) dilaksakan pada hari Senin tanggal 23 April 2012 di Rumah kaca, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Bahan-bahan yang digunakan pada pratikum ini adalah biji padi (Oryza sativa) dan tanah. Alat-alat yang digunakan antara lain polibag, penggaris, oven, dan alat tulis. Ada empat kegiatan yang dilakukan pada pratikum ini, yaitu menyiapkan pesemaian, menyiapkan media tanam untuk pindah tanam, melakukan pindah tanam dan pengamatan. Pada kegiatan menyiapkan pesemaian, pertama-tama disiapkan tiga buah ember berdiameter sama dan diisi dengan tanah yang sama beratnya. Kemudian, air ditimbang kedalam tanah hingga macak-macak.
Selanjutnya, benih padi disebar dengan kerapatan 7,5 g/m2 pada tiap-tiap ember. Bibit padi pada ember pertama dipindah tanam pada umur 7 hss, kedua pada umur 14 hss, dan ketiga pada umur 21 hss. Bibit padi dipelihara agar pertumbuhannya tidak terganggu. Untuk kegiatan persiapan media tanam untuk pindah tanam, pertama-tama polibag diisi dengan tanah, kemudian disiram dengan air hingga macak-macak(pindah tanam 7 dan 4 hss), dan tergenang (pindah tanam 21 hss). Selanjutnya, kegiatan pindah tanam, diawali dengan menanam 1 bibit per lubang tanam untuk perlakuan pindah tanam 7 dan 14 hss pada polibag yang telah disediakan. Kemudian, menanam 2 bibit perlubang tanam untuk perlakuan pindah tanam 21 hss. Untuk pengamatan, hal-hal yang diamati, antara lain : tinggi tanaman dan jumlah daun mulai umur 7 hss tingga 28 hss, setiap seminggu sekali; pada umur 28 hss, tanaman padi dipanen; Tanam dioven pada suhu 65—70
C selama 48 jam, setelah beratnya
o
konstan, ditimbang berat keringnya; menghitung Summed Gowth Ratio (SG); dibuat gafik tinggi tanaman dan jumlah daun pada berbagai hari pengamatan, serta histogam berat segar dan berat kering; kualitas bibit pada umur 28 hss dibandingkan akibat perlakuan pindah tanam. Summed Gowth Ratio (SG) dihitung dengan rumus :
SGR =
L’ + T’ + H’ 3
Keterangan : L’ = rasio jumlah daun T’ = ratio bobot kering H’ = rasio tinggi tanamam
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN A.Tabel Hasil Pengamatan Tinggi Tanam Perlakuan 7 hss 14 hss 21 hss
Tanggal 7/5 14/5 18,26 23,64 18,20 25,28 19,93
30/4 6,14 -
21/5 28,08 30,55 20,45
Jumlah Daun Tanggal
Perlakua n 7 hss 14 hss 21 hss
30/4
7/5
14/5
21/5
1,4 -
2,4 2,8 -
3,6 3,7 3,3
4,0 4,3 4,0
Bobot Segar dan Bobot Kering Perlakua n 7 hss 14 hss 21 hss
Parameter Berat Berat Segar Kering 0,367 0,087 0,303 0,087 0,232 0,045
Summed Growth Ratio Perlaku an 7 hss 14 hss 21 hss
L'
T'
H'
0,3 3 0,3 5 0,3 3
0,4 0 0,4 0 0,2 1
0,3 6 0,3 9 0,2 6
SG R 0,3 6 0,3 8 0,2 6
dan
SRI
B.Pembahasan Konsep perbedaan.
sistem
konvensional
Perbedaan
mendasar
yang
terdapat
terdapat
banyak
pada
SRI
dibandingkan dengan sistem konvensional yaitu SRI sama sekali
tidak menggunakan bahan kimia dalam perawatannya. Mulai dari pupuk hingga pestisida menggunakan bahan-bahan alami yang ramah lingkungan. Sedangkan sistem konvensional menggunakan bahan kimia dalam perawatannya. Persamaannya terdapat pada benih yang digunakan, tetapi perlakuan terhadap tanah dan tanaman berbeda. C. Perbedaan SRI dengan Konvensional : Pembeda Anjuran Dosis pupuk Varietas
Metode Konvensional Pupuk anorganik dan organik Varietas unggul baru dan varietas unggul hibrida
Metode SRI Bahan organik 10 ton / ha Varietas lokal/unggul baru Pemilahan benih bernas dengan telur dan air garam
Seleksi benih
Pemilahan benih bernas dengan air garam / ZA (3%)
Pesemaian
Pesemaian basah diaplikasi kompos, sekam, dan pupuk
Pesemaian kering
1—3 bibit
1 bibit
10—21 hss VUB/VUTB 20×20 cm VUH 25×25 cm Bila perlu berdasarkan hasil monitoring dapat digunakan pestisida kimia, hayati, dan nabati, maupun kombinasinya
7—14 hss
Jumlah bibit/luban g Tanam bibit Jarak tanam Hama penyakit
Pengelolaa n gulma
Pengairan Penangana n pasca panen Metode pendekatan
30×30 cm
Pengendalian hayati
Menggunakan landak dan herbisida kimia atau penyiangan
Penyiangan mekanis/landak 4 kali
Pengairan berselang
Tanah dipertahankan lembab hingga retakretak selama vegetatif
Mesin perontok dan gebot disesuaikan dengan kondisi petani
Gebot
PRA
Pemahaman ekologi tanah
Kelembaga an
Pemberdayaan kelompok Kelompok studi petani, individu, demplot 6,9—8,5 ton/ha GKP
SIPT, KUAT, KUM
Pendekatan Kelompok tani, hamparan, desimenasi demfarm
Hasil gabah 5,0—8,5 ton/ha GKG Peningkata 0,2—1,1 ton/ha 0,3—2,3 ton/ha n hasil Dalam sistem SRI, jarak tanam lebih renggang, hal ini bertujuan untuk mengurangi kompetisi dalam memperebutkan makanan, yaitu sekitar 25-30 cm. Pada sistem konvensional jarak tanam lebih sempit, yaitu sekitar 20 cm dari pada sistem SRI. Hal ini diduga, penanaman dengan jarak tanam yang lebih lebar akan diperoleh populasi yang sedikit sehingga mengurangi kompetisi antar tanaman akan penyerapan sinar matahari, air, unsur hara tanah, dan kompetisi dalam tubuh tanaman akan hasil asimilasi, sehingga
dapat
mendukung
proses
perkecambahan
dan
pertumbuhan tanaman padi secara optimal. Dalam metode SRI digunakan sistem pengairan macak-macak (irit air), hingga dimungkinkan tanah mengalami peretakan yang akhirnya memungkinkan aerasi tanah berjalan dengan lancar, begitupun dengan serapan nutrisi melalui perakaran yang baik menjadi
optimal.
Jika
akar
dengan
baik,
maka
bibit
padi
mempunyai anakan lebih banyak. Karena anakannya banyak, dan adanya serapan air cukup (dalam artian mencukupi untuk penyerapan
nutrisi
dan
unsur
hara
tanah)
dan
air
yang
mengendap di tanaman padi sedikit, maka berat kering (berat setelah dioven) menjadi lebih besar. Perlakuan jarak tanam berpengaruh nyata terhadap berat kering tanaman. Pada penanaman dengan jarak tanam lebar dapat
meningkatkan
berat
kering
tanaman
secara
nyata
dibanding jarak tanam yang sempit dan jarak tanam sedang. Hal ini diduga, penanaman dengan jarak tanam lebar akan diperoleh populasi yang sedikit sehingga mengurangi kompetisi antar
tanaman akan penyerapan sinar matahari, air, unsur hara tanah dan kompetisi dalam tubuh tanaman akan hasil asimilasi, sehingga
dapat
mendukung
proses
perkecambahan
dan
pertumbuhan tanaman padi. Pindah tanam pada metode SRI dilakukan pada usia padi yang muda yang bertujuan untuk mengoptimalkan pertumbuhan akar. Karena pada usia muda, akar memiliki potensi tumbuh yang tinggi. Penanaman bibit pada usia 15 hari sesudah penyemaian akan membuat potensi anakan menjadi tinggal 1/3 dari jumlah potensi anakan. Hal ini berarti, SRI menambah potensi anakannya sekitar 64%. Penanaman satu bibit per lubang tanam bertujuan untuk mengoptimalkan penyerapan nurisi oleh tanaman sehingga pertumbuhannya maksimal. Dengan dua bibit perlubang tanam, akan menimbulkan kompetisi untuk memperoleh nutrisi dengan demikian pertumbuhan kurang optimal. Selain itu, tanaman padi memerlukan tempat tumbuh yang cukup untuk pertumbuhannya agar dapat memperoleh cahaya matahari yang cukup.
Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa tanaman padi tertinggi pada pengamatan minggu ke-4 adalah padi dengan perlakuan 14 hss, kemudian diikuti padi dengan perlakuan 7 hss lalu 21 hss. Hasil dari percobaan ini tidak sesuai dengan teori
yang seharusnya, padi yang dipindah tanam pada usia muda memiliki kualitas benih yang lebih baik karena lebih mudah beradaptasi di lingkungan yang baru. Ini disebabkan pada usia muda, pertumbuhan akar memiliki potensi tumbuh yang lebih baik dan optimal
Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa jumlah daun tanaman padi terbanyak adalah padi dengan perlakuan 14 hss, kemudian diikuti padi dengan perlakuan 7 hss, dan 21 hss. Jumlah daun tersebut dapat digunakan untuk mengukur kualitas bibit yang tumbuh. Tanaman yang menghasilkan daun yang terbanyak berarti tanaman tersebut mempunyai daya tumbuh yang baik karena tanaman tersebut dapat menjalankan metabolisme yang terjadi dengan menumbuhkan organ-organ yang membantu dalam proses asimilasi makanan bagi pertumbuhan tanaman. Jumlah daun yang banyak berarti sarana untuk asimilasi makanan melalui fotosintesis yang tersedia sangat terpenuhi.
Berdasarkan histogam di atas, dapat diketahui bahwa berat segar dan berat kering tanaman tertinggi adalah tanaman dengan perlakuan 7 hss. Pengamatan berat kering tanaman dilakukan untuk mengetahui kualitas bibit melalui hasil fotosintesis yang dihasilkan. Berat kering yang tinggi mengindikasikan tanaman memiliki hasil asimilasi yang tinggi. Hasil asimilasi yang tinggi menggambarkan proses fotosintesis yang tinggi yang berarti biomasa tanaman tinggi. Jadi, semakin berat tanaman, maka kualitas pertumbuhan tanaman tersebut semakin baik. SGR (Summed Gowth Ratio) adalah penggunaan ukuran relatif yang berfungsi untuk mengetahui apakah suatu bibit padi memiliki kualitas yang lebih baik dari yang lain atau tidak dengan menghitung rasio jumlah daun, rasio berat kering, dan rasio tinggi tanaman. Perhitungan SGR mengindikasikan benih itu berkualitas baik apabila nilai SGRnya lebih tinggi yaitu didapat ketika L’ (rasio jumlah daun), T’ (rasio berat kering ), dan H’ (rasio tinggi tanaman) menunjukkan nilai yang besar.
Pada hasil percobaan, Nilai SGR yang dihasilkan benih padi 14 hss paling tinggi dibanding tanaman padi dengan perlakuan 7 hss dan
21
hss.
Perbandingan
kualitas
biji
dapat
dilihat
dari
perbandingan berat keringnya. Kualitas yang baik dapat dilihat dengan besarnya SGR atau dengan penimbangan berat kering akar dan daunnya. Nilai SGR menunjukkan hasil fotosintesis tanaman. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa proses fotosintesis yang terjadi pada benih dengan 14 hss berjalan paling baik. Berdasarkan menyebabkan
percobaan, kualitas
perbedaan
benih
yang
perlakuan dihasilkan
akan
berbeda.
Seharusnya padi yang dipindah tanam pada usia muda memiliki kualitas benih yang lebih baik. Ini disebabkan pada usia muda, pertumbuhan akar memiliki potensi tumbuh yang lebih baik. Perakaran padi akan berkembang optimal pada usia muda. Selain itu dengan penanaman padi satu per lubang tanam membuat benih tumbuh optimal karena padi membutuhkan tempat tumbuh yang
cukup
besar
untuk
perkembangan
optimal.
Padi
mendapatkan nutrisi, cahaya matahari, unsur hara dan bahanbahan lain yang dibutuhkannya dengan optimal karena tidak ada persaingan antar tanaman yang terjadi.
V.KESIMPULAN 1. Semakin cepat pindah tanam, maka semakin besar berat kering tanaman yang dihasilkan. 2. Semakin tinggi berat kering suatu bibit, maka semakin baik kualitas bibit tersebut. 3. Metode SRI lebih baik dari pada metode konvensional karena lebih hemat air, benih, dan tidak menggunakan pupuk sintetis.
4. DAFTAR PUSTAKA Kurniasih, A. dan W.Q. Mugnisjah. 2003. Pengaruh sistem tanaman padi (Oryza Sativa L.) dan populasi ikan terhadap pertumbuhan dan produksi pada sistem mina padi. Gakuryoku IX : 36—42. Lorentz, O. A. dan D. N. Maynard. 1980. Vegetable Browers. JohnnWiley and sons, Inc., New York. Mayer, A. M. dan A. Poljakof. 1975. The Germination of Seeds. Pergamon Press, New York. Namara, R.E., P. Weligamage, dan R. Barker. 2003. Prospects for adopting system of Rice Intensification in Sri Langka : A Socioeconomic Assessment. International Water Management Institute, Sri Lanka. Sutrimo. 2011. Budidaya Padi Model SRI. . Diakses tanggal 26 April 2012. Uphoff, N. 2008. The system of rice intensification (SRI) as a system of agiculture innovation. Jurnal Tanah dan Lingkungan 10 : 27— 40. Wangiyah, W., V. F. A. Budianto, N. Farida, dan N. W. D. Dulur. 2010. Pertumbuhan dan hasil tanam padi (Oryza sativa L.) var. silungga pada berbagai teknik budidaya dan aplikasi kompos bokashi pupuk kandang sapi. Agoteksos 20 : 103—111.
LAMPIRAN 1. Perhitungan Rasio Jumlah Daun (L’) a. 7 hss
b. 14 hss
c. 21 hss
2. Perhitungan Rasio Bobot Kering (T’) a. 7 hss
b. 14 hss
c. 21 hss
3. Perhitungan Rasio Tinggi Tanaman (H’) a. 7 hss
b. 14 hss
c. 21 hss
4. Perhitungan SG a. 7 hss
b. 14 hss
c. 21 hss
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM DASAR-DASAR AGONOMI ACARA IV PENGARUH CEKAMAN AIR TERHADAP PERKECAMBAHAN BIJI
Disusun oleh: 1.
Solekhan (PN/12509)
2. Trya Angga P. (PN/12542) 3. Annisa Fauzia A. (PN/12557) 4. Agung Nugoho S. W. (PN/12569) 5. Hanifa Nuraini (PN/12570) Gol./ Kel. : B1/ V Asisten : Harimurti Buntaran Nurmasari Fitrisiana Septin Kristiani
LABORATORIUM MANAJEMEN DAN PRODUKSI TANAMAN JURUSAN BUDI DAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012
ACARA IV PENGARUH CEKAMAN AIR TERHADAP PERKECAMBAHAN BIJI I. TUJUAN 1. Mengetahui gaya berkecambah dan kecepatan berkecambah suatu biji. 2. Mengetahui faktor-faktor luar yang mempengaruhi perkecambahan biji. 3. Mengetahui pengaruh cekaman air terhadap perkecambahan biji. II.TINJAUAN PUSTAKA Benih adalah beginning of life atau awal kehidupan dari suatu budidaya tanaman, artinya bahwa dengan benih, maka suatu tanaman dapat meneruskan kehidupan dan menurunkan sifat-sifat yang dimilikinya. Di dalam benih terdapat kandungan materi genetik dan kandungan kimiawi yang merupakan komponen kritis dalam pertumbuhan
dan
perkembangan
tanaman.
Benih
bersinonim
dengan biji yang dalam bahasa Inggis dipakai istilah seed atau gain (Saragih, 2010). Perkecambahan adalah proses alami yang terjadi selama pertumbuhan periode benih, yaitu memenuhi kondisi minimum untuk
pertumbuhan
dan
perkembangan.
Dalam
periode
ini,
cadangan makanan yang terdegadasi, biasanya digunakan untuk respirasi dan sintesis sel-sel baru sebelum berkembang embrio. Proses dimulai dengan penyerapan air oleh biji kering dan berakhir dengan munculnya embrio sumbu, biasanya radikal (Megatrusydi et al., 2011). Faktor-faktor yangmempengaruhi perkecambahan benih adalah (1) faktor dalam, yang terdiri atas tingkat kematangan benih, ukuran benih, dormansi dan adanya penghambat perkecambahan, (2) faktor luar, terdiri atas air, suhu, oksigen, dan cahaya (Sutopo, 1988). Tanpa kehadiran faktor-faktor pembatas yang lain, benih dari suatu
spesies akan berkecambah pada suatu kisaran suhu yang terbatas, yang memiliki suhu minimum dan maksimum, pada suhu di atas dan di bawah dari kisaran ini tidak terjadi perkecambahan. Setiap jenis tanaman mempunyai kisaran suhu optimum tertentu untuk dapat berkecambah.
Suhu
optimum
adalah
suhu
yang
paling
menguntungkan bagi berlangsungnya perkecambahan benih. Pada kisaran suhu ini terdapat persentase perkecambahan yang tertinggi (Soetrisno dkk., 1994). Kadang-kadang faktor dalam lingkungan berubah cukup drastis sehingga
membuat
tumbuhan
menjadi
tercekam.
Cekaman
didefinisikan sebagai kondisi lingkungan yang dapat memberi pengaruh buruk pada pertumbuhan, reproduksi, dan kelangsungan hidup tumbuhan. Setiap hari, tumbuh bisa mengalami cekaman karena
kehilangan
air
akibat
transpirasi
terjadi
lebih
cepat
dibandingkan laju pengambilan air dari tanaman untuk memulihkan kondisi tersebut. Tumbuhan merespon kekurangan air dengan mengurangi laju transpirasi untuk penghematan air (Campbell et al., 2003). Perkecambahan
merupakan
tahap
kritis
dari
kehidupan
tanaman dan ketahanan tanaman terhadap kekeringan selama perkecambahan agar suatu tanaman stabil. Salah satu eksperimen yang paling umum dalam perkecambahan benih adalah aplikasi PEG. Banyak percobaan telah dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa bulu kecil lebih mungkin akan terpengaruh cekaman air daripada sifat-sifat lainnya. Dampak cekaman kekeringan yang disebabkan oleh polietilen glikol (PEG) terhadap perkecambahan pinus Mongolia (Pinus sylvetris var. Mongoloca) menunjukkan bahwa benih dari kedua provenan tidak berkecambah ketika konsentrasi PEG lebih dari 25%. Kapasitas perkecambahan dan laju perkecambahan benih alami secara signifikan lebih tinggi daripada bibit perkebunan untuk semua tingkat perlakuan (P
View more...
Comments