Laporan Protein

November 9, 2018 | Author: Labiqotul Fatiyasani | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Laporan Protein...

Description

LAPORAN PRAKTIKUM ILMU BAHAN MAKANAN ACARA 2 SUMBER PROTEIN

Disusun oleh : Nama

: Labiqotul Fatiyasani

NIM

: 12/33541 12/335419/KU 9/KU/152 /15231 31

Kelo Kelomp mpok ok : 12 Shif Shiftt

: III III

Tanggal anggal

: 26 April April 2013 2013

 Asisten

: 1. Citra Widya Kusuma, Kusuma, S. Gz 2. Jap Kristianto Ade Cahyono

PROGRAM STUDI GIZI KESEHATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UNIVERSITAS GADJAH MADA  YOGYAKART  YOGYAKARTA A 2013

1

BAB I PENDAHULUAN

 A. Acara

: Sumber Protein (daging, (daging, unggas, unggas, ikan dan seafood, seafood, telur, telur, kacang, susu)

B. Hari, tanggal

: Jum’at, 26 April 2013

C. Tujua ujuan n a. Dagi aging 1. Mengetahui tingkatan tingkatan mutu daging daging dan kriteria kriteria mutu daging berdasarkan berdasarkan warna, warna, bau, dan tekstur daging. 2. Mengetah Mengetahui ui produk produk olahan olahan daging. daging. b. Ungg nggas 1. Menentukan mutu unggas unggas berdasarkan berdasarkan pengamatan fisik. 2. Mengetah Mengetahui ui produk produk olahan olahan unggas unggas c. Ikan Ikan dan dan Seafoo Seafood d 1. Mampu memisahkan memisahkan bagian yang dapat dapat dimakan. dimakan. 2. Mampu Mampu memilih memilih ikan yang yang bermutu bermutu atau tidak. tidak. 3. Mengetah Mengetahui ui produk produk olahan olahan ikan. ikan. d. Telur  elur  1. Membedak Membedakan an beberapa beberapa jenis jenis telur pada pada tingkatan tingkatan mutu yang yang dijual di pasaran pasaran.. 2. Menentuk Menentukan an berat berat telur telur yang yang dapat dapat dimak dimakan. an. 3. Mengiden Mengidentifik tifikasi asi waktu waktu optimum optimum untuk untuk pemasak pemasakan an telur telur. 4. Mengenal Mengenal berbagai berbagai produk produk olaha olahan n telur telur.. e. Kacan cang 1. Menjelas Menjelaskan kan kriter kriteria ia mutu mutu fisik fisik kacang kacang-kaca -kacanga ngan. n. 2. Mengetah Mengetahui ui proses proses pengolaha pengolahan n kacang-kaca kacang-kacangan ngan secara secara benar benar. 3. Mengetahui perbedaan karakteristik dan nilai nilai gizi gizi bahan bahan dasar dasar dengan dengan produk produk olahan. f. Susu 1. Menjel Menjelask askan an krite kriteria ria mutu mutu susu susu.. 2. Membedakan beberapa jenis susu susu pada pada tingkatan tingkatan mutunya mutunya yang yang dijual dijual di pasaran. 3. Mengenal Mengenal berbag berbagai ai produk produk olahan olahan susu dan dan sifat organol organolepti eptiknya. knya.

2

BAB I PENDAHULUAN

 A. Acara

: Sumber Protein (daging, (daging, unggas, unggas, ikan dan seafood, seafood, telur, telur, kacang, susu)

B. Hari, tanggal

: Jum’at, 26 April 2013

C. Tujua ujuan n a. Dagi aging 1. Mengetahui tingkatan tingkatan mutu daging daging dan kriteria kriteria mutu daging berdasarkan berdasarkan warna, warna, bau, dan tekstur daging. 2. Mengetah Mengetahui ui produk produk olahan olahan daging. daging. b. Ungg nggas 1. Menentukan mutu unggas unggas berdasarkan berdasarkan pengamatan fisik. 2. Mengetah Mengetahui ui produk produk olahan olahan unggas unggas c. Ikan Ikan dan dan Seafoo Seafood d 1. Mampu memisahkan memisahkan bagian yang dapat dapat dimakan. dimakan. 2. Mampu Mampu memilih memilih ikan yang yang bermutu bermutu atau tidak. tidak. 3. Mengetah Mengetahui ui produk produk olahan olahan ikan. ikan. d. Telur  elur  1. Membedak Membedakan an beberapa beberapa jenis jenis telur pada pada tingkatan tingkatan mutu yang yang dijual di pasaran pasaran.. 2. Menentuk Menentukan an berat berat telur telur yang yang dapat dapat dimak dimakan. an. 3. Mengiden Mengidentifik tifikasi asi waktu waktu optimum optimum untuk untuk pemasak pemasakan an telur telur. 4. Mengenal Mengenal berbagai berbagai produk produk olaha olahan n telur telur.. e. Kacan cang 1. Menjelas Menjelaskan kan kriter kriteria ia mutu mutu fisik fisik kacang kacang-kaca -kacanga ngan. n. 2. Mengetah Mengetahui ui proses proses pengolaha pengolahan n kacang-kaca kacang-kacangan ngan secara secara benar benar. 3. Mengetahui perbedaan karakteristik dan nilai nilai gizi gizi bahan bahan dasar dasar dengan dengan produk produk olahan. f. Susu 1. Menjel Menjelask askan an krite kriteria ria mutu mutu susu susu.. 2. Membedakan beberapa jenis susu susu pada pada tingkatan tingkatan mutunya mutunya yang yang dijual dijual di pasaran. 3. Mengenal Mengenal berbag berbagai ai produk produk olahan olahan susu dan dan sifat organol organolepti eptiknya. knya.

2

BAB II METODE PERCOBAAN

 A. Alat dan Bahan Bahan 1. Alat : a. Timbangan digital

1 buah

l. Telenan

1 buah

b. Kertas saring

secukupnya

m. Sendok Sendok

2 buah

c. pH pH meter

1 buah

n. Sendok sayur

1 buah

o. Garpu

2 buah

1 buah d. Cawan petri

1 buah

p. Piring

2 buah

e. Pipet

1 buah

q. Mangkuk

3 buah

f. Penggaris

1 buah

r. Cangkir

1 buah

g. St S topwatch

1 buah

s. Gelas

2 buah

h. Panci

1 buah

t. Gelass ukur

1 buah

i. Wa Wajan

1 buah

u. Lap

1 buah

 j. Baskom

1 buah

v. Kompor gas

1 unit

k. Pisau

1 buah

2. Bahan ahan : a. Daging sa sapi sa sandung la lamur

secukupnya

b. Da Daging kuda

secukupnya

c. Abon Abon sapi sapi

secuku secukupny pnya a

d. Da Daging ayam

secukupnya

e. Udang

3 ekor

f. Ikan pindang

2 ekor  

g. Telur puyuh

6 butir  

h. Mayonais Mayonaise e

secukupn secukupnya ya

i. Kacang merah

secukupnya

 j. Sari kacang hijau hijau

1 kotak

k. Susu pasteurisasi

1 kotak

l. Susu fermentasi

1 botol

m. Pb-Asetat Pb-Asetat

2 tetes tetes

n. Reag Reagen en eber eber

5 ml

 

3

B. Cara Cara Kerja Kerja 1. Dagi aging a. Pengamata Pengamatan n Sifat Organolep Organoleptik tik Daging Daging Daging Sapi Sandung Lamur dan Daging Kuda Mengamati warna, bau, dan kekilapan serealia.

b. Pengamata Pengamatan n Karkas Karkas Daging Daging Daging Sapi Sandung Lamur dan Daging Kuda Mengamati dan membandingkan daging dengan gambar  Mengidentifikasi mutu karkas daging sesuai standar 

c. Pengamata Pengamatan n Keempu Keempukan kan daging daging Daging Sapi Sandung Lamur dan Daging Kuda Menekan Memberi tanda “+” ber dasarkan tingkat keempukan

d. Pengamata Pengamatan n Pemasaka Pemasakan n Daging Daging Daging Sapi Sandung Lamur dan Daging Kuda Memotong 2x1 cm Memasak dalam air mendidih (suhu 100 0C) selama 20 menit Mengamati daya putus daging Mengamati warna, bau, tekstur 

e. Pengamata Pengamatan n Produk Produk Olahan Olahan Daging Daging Abon sapi Mengamati warna, bau, tekstur, rasa Mencatat nilai gizi

4

2. Unggas a. Penentuan BDD Unggas Paha Ayam Buras Menimbang berat utuh Memisahkan bagian yang dapat dimakan dengan tulang, kulit, jaringan lemak Menimbang bagian yang dapat dimakan Menghitung %BDD

b. Pengamatan Sifat Organoleptik Unggas Paha Ayam Buras Mengamati warna, bau, dan tekstur  c. Pemasakan Unggas

Menyimpulkan kondisi daging Paha Ayam Buras Memotong 2x1 cm

Memasak dalam air mendidih (suhu 100 0C) selama 20 menit Mengamati daya putus daging Mengamati warna, bau, tekstur  d. Pengamatan Produk Olahan Unggas Sosis Ayam Mengamati warna, bau, tekstur, rasa Mencatat nilai gizi

3. Ikan dan Seafood a. Pengamatan Sifat Organoleptik Ikan dan Seafood Udang Menggambar bentuk seafood Mengamati warna, bau, tekstur, sisik, warna insang, mata, warna daging Menyimpulkan segar atau tidak

5

b. Pengamatan BDD Ikan dan Seafood Udang Menimbang berat utuh Memisahkan bagian yang dapat dimakan Menimbang bagian yang dapat dimakan Menghitung %BDD c. Uji Kesegaran 1). Uji Penenggelaman Udang Mengisi baskom dengan air sampai penuh Memasukkan seafood kedalam baskom Mengamati apa yang terjadi 2). Uji Eber  Udang Mengisi tabung dengan reagen Eber 5 ml Mengiris sefood sebesar kacang tanah Memasukkan irisan ke dalam tabung reaksi yang berisi reagen Eber  Mengamati gas NH3 yang terbentuk 3). Uji H2S Udang Mengiris sefood sebesar kacang tanah Memasukkan ke dalam cawan petri Menutup dengan kertas saring Menetesi dengan Pb-asetat Mengamati warna coklat H 2S yang terbentuk 6

e. Pengamatan Produk Olahan Seafood Ikan Pindang Mengamati warna, bau, tekstur, rasa Mencatat nilai gizi

4. Telur  a. Pengamatan Fisik Telur  1). Pengamatan Fisik Luar Telur  Telur Puyuh Mengamati berat, warna kulit, bentuk, ukuran kehalusan kulit, kecacatan, kebersihan telur, keadaan dalam air (folation test) Mendengarkan bunyi telur (dengan shaking ) 2). Pengamatan Telur Sesudah di Pecah Telur Puyuh Memecah telur  Mengamati warna, keadaan warna putih dan kuning telur 

3). Pengamatan Penggorengan Telur  Telur Puyuh Menggoreng 2 menit

1 menit

Mengamati warna, keadaan warna putih dan kuning telur, bau dan rasa

4). Pengamatan Penggorengan Telur  Telur Puyuh Merebus 10 menit

15 menit

Mengamati warna, keadaan warna putih dan kuning telur, bau dan rasa

5). Pengamatan Telur Sesudah di Pecah 7

Telur Puyuh Merebus tanpa kulit sampai matang Mengamati warna, keadaan warna putih dan kuning telur, bau dan rasa

b. Pengamatan Mutu Telur  1). Penghitungan Yolk Index dan Haugh Unit Telur Puyuh Menimbang berat Memecahkan diatas milimeter block yang dilapisi plastik Mengukur tinggi kuning dan putih kental serta diameter kuning dan putih kental Menghitung Yolk Index dan Haugh Unit

2). Pengamatan Daya Busa Telur  Telur Puyuh Memisahkan putih dan kuning telur  Mengukur pH putih dan kuning

Mengukur volume putih telur  Mengukur volume dan pH setelah dikocok Menghitung daya busa

c. Pengamatan Mutu Telur  Telur Puyuh Menimbang berat utuh Memisahkan kulit dan isinya Menimbang kulit dan isinya Menghitung % Berat Dapat Dimakan (%BDD)

8

Meniriskan

d. Pengamatan Produk Olahan Telur  Mayonaise Mengamati sifat organoleptik (warna, bau, tekstur, dan rasa) Mengamati nilai gizi

5. Kacang - kacangan a. Pengamatan Fisik Kacang Merah Mengamati warna dan bentuk

b. Pengamatan Daya Serap Air  Kacang Merah Menimbang sampel 10 gram Menuangkan air 200 ml ke dalam panci dan merebus hingga mendidih Memasukkan sampel ke dalam panci Merebus sampel selama 20 menit Meniriskan sampel Menimbang berat sampel setelah di rebus Menghitung daya serap air 

c. Pengamatan Daya Serap Air  Kacang Merah Menimbang sampel 25 gram Merendam

Tidak merendam

Memasukkan ke dalam gelas ukur  X X 9

Mencatat volume awal Merebus sampel sampai lunak (setelah air mendidih) Mencatat waktu yang diperlukan untuk merebus sampai lunak Memasukkan ke dalam gelas ukur  Mencatat volume dan menghitung rasio pengembangan

e. Pengamatan Produk Olahan Sari Kacang Hijau Mengamati sifat organoleptik (warna, bau, tekstur, dan rasa) Mengamati nilai gizi

6. Susu a. Pengamatan Kekentalan Susu Susu Pasteurisasi Menempatkan 1 tetes di atas permukaan kaca preparat Memiringkan kaca 45 o Mencatat waktu yang diperlukan untuk meluncur 

b. Pengamatan Kekentalan Susu Susu Pasteurisasi Menempatkan 1 tetes di atas permukaan kaca preparat Menempatkan kertas di atas tetesan susu, mendiamkan 30 detik Melepaskan kertas dan mengkatagorikan kelengketannya

c. Pengamatan Keasaman Susu Susu Pasteurisasi Mengukur keasaman dengan pH indikator  d. Pengamatan Fisik 10

Susu Pasteurisasi Mengamati warna, aroma, rasa, dan nilai gizi

e. Pengamatan Produk Olahan

Susu Asam (calpico) Mengamati warna, aroma, rasa, tekstur, keasaman, dan nilai gizi

11

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

 A. Hasil 1. Daging a. Pengamatan Sifat Organoleptik Daging Tabel 1. Hasil Pengamatan Sifat Organoleptik Daging Jenis Daging Daging sapi sandung lamur  Daging kuda

Warna Putih (lebih banyak), Merah hati

Bau

Tekstur Bagian putih : keras, licin Bagian merah : empuk, kasar, berserat Lembek dan sebagian ada yang keras, berair, berserat besar 

++

Merah kecoklatan

+

Kesimpulan Masih segar  Mutu daging telah menurun, daging sudah tidak segar 

b. Pengamatan Karkas Daging Tabel 2. Hasil Pengamatan Karkas Daging Jenis Daging Daging sapi sandung lamur

Mutu Karkas Daging 3

Kode Gambar   12

c. Pengamatan Keempukan Daging Tabel 3. Hasil Pengamatan Keempukan Daging Jenis Daging Daging sapi sandung lamur Dagung kuda

Tingkat Keempukan +++ ++

d. Pemasakan Daging Tabel 4. Hasil Pemasakan Daging Organoleptik

Bahan

Daya Putus Daging

Warna

Bau

Daging sapi sandung lamur 

+++

coklat

++

Dagung kuda

++

 Abu-abu pucat

++

Kasar padat

Tekstur Kasar, kering, berserabut

Rasa  Asin manis (gurih)

Tekstur   Kasar, padat, mudah hancur 

e. Pengamatan Produk Olahan Daging Tabel 5. Hasil Pengamatan Produk Olahan Daging Bahan

Warna

 Abon sapi

Coklat

Bau Khas abon

Nilai gizi abon sapi: (terlampir)

12

2. Unggas a. Penentuan BDD Unggas Tabel 6. Hasil Penentuan BDD Unggas Berat (gr)

Jenis Karkas

Utuh 115

Paha ayam buras

%BDD

BDD 50

43,48%

b. Pengamatan Sifat Organoleptik Unggas Tabel 7. Hasil Pengamatan Sifat Organoleptik Unggas Jenis Karkas Paha ayam buras

Organoleptik Warna Merah muda pucat

Bau

Tekstur   Kenyal, licin, serat kecil

++

Kesimpulan Masih segar 

c. Pengamatan Pemasakan Unggas Tabel 8. Hasil Pengamatan Pemasakan Unggas Organoleptik

Bahan

Daya Putus Daging

Warna

Bau

 Ayam buras

++++

Putih

++

Tekstur   Empuk, lembut, mudah hancur 

d. Pengamatan Produk Olahan Unggas Tabel 9. Hasil Pengamatan Produk Olahan Unggas Bahan Sosis ayam

Warna Kuning pucat kecoklatan

Bau Khas sosis

Tekstur Halus, lengket, empuk

Rasa  Asin, agak masam, gurih

Niali gizi sosis ayam (terlampir)

13

3. Ikan dan Seafood a. Pengamatan sifat Organoleptik Ikan dan Seafood Tabel 10. Hasil Pengamatan sifat Organoleptik Ikan dan Seafood Bahan

Bentuk

Udang

Warna

Bau

Tekstur  

Putih pucat keruh, terdapat binti-bintik hitam , bagian kepala berwarna kemerahan

++

kenyal

Keadaan Fisik

Warna Insang (ikan)

Keadaan Mata

Warna Daging

Kesimpulan

segar

-

keluar

Putih keruh

Sudah tidak segar 

14

b. Penentuan BDD Ikan dan Seafood Tabel 11. Hasil Penentuan BDD Ikan dan Seafood Jenis Karkas Udang

Berat (gr) Utuh 9

%BDD

BDD 5

55,56%

c. Uji Kesegaran Tabel 12. Hasil Pengamatan Uji Kesegaran Bahan Udang

Uji Penenggelaman Tenggelam

Uji Eber  ++

Uji H2S

Kesimpulan

Tidak terbentuk warna coklat

Masih segar  

d. Pengamatan Produk Olahan Ikan dan Seafood Tabel 13. Hasil Pengamatan Produk Olahan Ikan dan Seafood Bahan Ikan pindang

Niali Gizi (terlampir) 4. Telur  

Warna Abu-abu, putih

Bau +++

Tekstur Lunak

Rasa Asin

b. Penentuan BDD Ikan dan Seafood Tabel 11. Hasil Penentuan BDD Ikan dan Seafood Berat (gr)

Jenis Karkas

Utuh 9

Udang

%BDD

BDD 5

55,56%

c. Uji Kesegaran Tabel 12. Hasil Pengamatan Uji Kesegaran Bahan Udang

Uji Penenggelaman Tenggelam

Uji Eber  ++

Uji H2S

Kesimpulan

Tidak terbentuk warna coklat

Masih segar  

d. Pengamatan Produk Olahan Ikan dan Seafood Tabel 13. Hasil Pengamatan Produk Olahan Ikan dan Seafood Bahan Ikan pindang

Warna Abu-abu, putih

Bau +++

Tekstur Lunak

Rasa Asin

Niali Gizi (terlampir) 4. Telur   a. Pengamatan Sifat Fisik Luar Telur  Tabel 14. Hasil Pengamatan Sifat Fisik Luar Telur  Jenis

Berat (g)

Warna

Bentuk dan ukuran (cm)

Telur  puyuh (A)

15

Putih kekuningan dengan bintik-bintik hitam dan coklat

Bulat meruncing; p=3,2; l=2,2

Kehalusan Kecacatan Kebersihan Tidak halus karena ada warna bintik-bintiknya, ada bagian yang retak, dan ada sedikit bekas feses

KeadaBunyi bila an dalam dikocok air  Tenggelam

Tidak berbunyi

b. Pengamatan Telur Setelah Dipecah Tabel 15. Hasil Pengamatan Telur Setelah Dipecah Jenis Telur puyuh (A)

Warna Kuning

Kuning Telur Keadaan

Putih Telur   Warna Keadaan

Bulat, sebagian ada yang pecah

Jernih, bening

Cair 

c. Pengamatan Penggorengan Telur  Tabel 16. Hasil Pengamatan Penggorengan Telur  Waktu 1 menit

Jenis telur  Telur  puyuh (B)

Warna Putih Kuning Putih

Kuning

Keadaan Putih Kuning Matang, kenyal

Matang, empuk

Rasa

Bau

Kuning: gurih; putih: gurih sedikit tawar 

++ 15

Telur  puyuh (C)

2 menit

Putih, ada kecoklatan

Matang, kenyal

Kuning

Matang, empuk

Kuning: gurih; putih: gurih tawar 

++

d. Pengamatan Perebusan Telur  Tabel 17. Hasil Pengamatan Perebusan Telur  Warna Putih Kuning

Jenis telur  Telur  puyuh (D) Telur  puyuh (E)

Waktu 10 menit 15 menit

Keadaan Putih Kuning

Rasa

Bau

Lebih putih

Lebih kuning

Padat, kenyal

Padat

Kuning: gurih; putih: hambar 

+++

Putih kekuningan

Lebih pucat

Padat, kenyal

Padat

Kuning: gurih; putih: hambar 

++

e. Pengamatan Perebusan Telur setelah Dipecah (Ceplok Air) Tabel 18. Hasil Pengamatan Perebusan Telur setelah Dipecah (Ceplok Air) Warna Putih Kuning

Jenis telur  Telur  puyuh (A)

f.

Putih kebiruan

Putih

Kuning cerah

Padat, kenyal

Keadaan Kuning Tidak bulat sempurna, dalamnya belum matang meski permukaan sudah

Rasa

Bau

Kuning: gurih; putih: tawar 

++

Penghitungan Yolk Index (YI) dan Haugh Unit (HU) Tabel 19. Hasil Penghitungan Yolk Index (YI) dan Haugh Unit (HU)

Jenis Telur 

Berat utuh (g)

Telur  puyuh (A)

15

Tinggi (mm)

Kuning Telur Diameter  (cm)

39

2,7

YI

Tinggi (mm)

Putih Telur   Diameter( cm)

1,44

71

85,8

HU 2,11

g. Pengamatan Daya Busa Telur  Tabel 20. Hasil Pengamatan Daya Busa Telur  Jenis Telur 

Volume Sebelum Dikocok (ml)

Volume Setelah Dikocok (ml)

pH Putih Telur  Daya Busa

pH Kuning Telur 

Telur puyuh (F)

5,6

5

-0,6

9

Sebelum Dikocok

Setelah Dikocok

10

11

h. Pengamatan Penghitungan Berat Dapat Dimakan Tabel 21. Hasil Pengamatan Penghitungan Berat Dapat Dimakan Telur  puyuh B C D

Berat Utuh (g) 9 10 11

Berat Kulit (g) 1 1 1

Berat Isi (g)

%BDD

Rata-rata % BDD

8 9 10

88 % 90 % 90,91%

89,64%

16

i.

Pengamatan Produk Telur  Tabel 22. Hasil Pengamatan Produk Olahan Telur  Produk

Warna Putih kekuningan

Mayonaise

Aroma

Rasa

Masam

Asam

Tekstur   Kental, lengket

Niali Gizi: (terlampir)

5. Kacang-Kacangan a. Pengamatan Sifat Fisik Kacang-Kacangan Tabel 23. Hasil Pengamatan Sifat Fisik Kacang-Kacangan Sampel Kacang merah

Warna Merah kecoklatan

Bentuk Lonjong

b. Pengamatan Daya Serap Air  Tabel 24. Hasil Pengamatan Daya Serap Air  Sampel Kacang merah

Berat Awal (g) 3

Berat Setelah Direbus (g) 6

Daya Serap Air   1

c. Pengamatan Rasio Pengembangan Tabel 25. Hasil Pengamatan Rasio Pengembangan Sampel

Waktu (menit)

Volume  Awal

Volume  Akhir 

Rasio Pengembangan

11

33

34

1,03

40

30

57

1,9

Kacang merah (dengan perendaman) Kacang merah (tanpa perendaman)

d. Pengamatan Sifat Organoleptik Produk Olahan Kacang-Kacangan Tabel 26. Hasil Pengamatan Sifat Organoleptik Produk Olahan Kacang-Kacangan Sampel Sari kacang hijau

Warna Coklat kehijauan

Rasa Manis, rasa kacang hijau

Tekstur Terasa seperti ada butiran-butiran

Bau Kacang hijau

6. Susu a. Pengamatan Sifat Susu Tabel 27. Hasil Pengamatan Sifat Susu Jenis Susu Suus pasteurisas i

Warna

Aroma

Rasa

Kelengketan

Kekentalan

pH

Putih kekuningan

 Amis susu

Tawar

Agak lengket

Agak kental

7

17

b. Pengamatan Produk Olahan Susu Tabel 28. Hasil Pengamatan Produk Olahan Ikan dan Seafood Produk

Warna

Calpico

Putih

Aroma Manis asam

Rasa Manis masam

Tekstur

pH

Encer

4

Niali Gizi: (terlampir) Keterangan : Tabel 29. Keterangan lambang ‘+’ Lambang + ++ +++ ++++

Keempukan keras agak keras empuk sangat empuk

Daya Putus sulit agak sulit mudah sangat mudah

 Arti lambang Bau tidak menyengat agak menyengat menyengat sangat menyengat

Keadaan Gelembung sedikit gelembung cukup gelembung banyak gelembung -

B. Pembahasan 1.

Daging Pengamatan daging secara fisik dilakukan dengan mengamati warna, bau, tekstur dan keempukan daging. Daging yang diamati adalah daging kuda dan daging sapi bagian sandung lamur. Daging kuda memiliki warna yang lebih kecoklatan sedangkan daging sapi berwarna merah hati, pada bagian sandung lamur ada beberapa bagian yang terdapat warna putih. Warna tersebut disebabkan oleh adanya mioglobin yang menentukan warna daging segar. Kadar mioglobin bergantung pada aktifitas jarigan, efisiensi darah yang membawa oksigen, umur, serta jenis hewan (Muchtadi, 2011). Mioglobin terdiri atas gugusan heme dari sebuah molekul protein globin. Heme dalam mioglobin disebut feroprotoporfiri, karena terdiri dari sebuah porfirin yang mengandung satu atom besi (Fe). Komponen ini memberikan warna merah keunguan, dengan adanya oksigenasi akan mengakibatkan terbentuknya oksimioglobin yang berwarna merah cerah. Sedangkan adanya reaksi oksidasi besi dalam mioglobin atau oksihemoglobin akan mengubah keduanya menjadi metmioglobin yang berwarna coklat (Buckle, 2010). Menurut Muchtadi (2011), selain mioglobin, terdapat pigmen lain pada daging yaitu sitokrom, vitamin B12 dan flavin yang memberikan warna kuning. Ketiga pigmen tersebut memiliki pengaruh yang kecil terhadap warna daging keseluruhan. 18

Keempukan dan tekstur daging dipengaruhi oleh peyusun otot hewan yang bersangkutan. Daging terdiri dari tiga komponen utama yaitu jaringan otot,  jaringan lemak, dan jaringan ikat. Tekstur daging terlihat kasar oleh adanya seratserat daging. Daging tersusun atas serabut-serabut otot yang sejajar dan terikat bersama-sama oleh suatu jaringan ikat. Penggunaan otot dalam gerak yang aktif  membuat struktur daging lebih padat dan keras dibanding otot yang pasif, karena mempunyai jaringan ikat yang lebih tinggi. Pengamatan keempukan daging menunjukkan bahwa daging kuda cenderung lebih keras dibandingkan daging sapi bagian sandung lamur, karena kuda bergerak lebih aktif dibandingkan dengan sapi (Buckle, 2010). Selain itu,keempukan daging dipengaruhi oleh jenis dan umur binatang ternak,  jenis daging, perlakuan penanganan, dan kondisi rigor hewan. Misalkan, daging yang dihasilkan oleh binatang yang tua cenderung lebih keras, daging bagian pinggang atau perut lebih empuk dibanding bagian leher, perlakuan dengan pemberian enzim proteolitik atau adanya pemanasan dapat membuat daging lebih empuk. Sedangkan fase rigor daging, pada fase rigor mortis, daging lebih keras dibandingkan daging pada fase pre atau pasca rigor (Sediaoetama, 2009). Sebagian bagian daging ada yang terasa licin dan lembek ketika di raba, oleh adanya lemak. Jaringan lemak pada daging dibedakan atas lemak subkutan, intermuskular, intramuskular, dan intraselular. Jaringan lemak subkutan berada di luar jaringan otot dan berada tepat dibawah kulit. Jaringan intermuskular terdapat diantara jaringan otot, sedangkan jaringan intramuskular berada di dalam otot diantara serabut-serabut otot. Dan jaringan lemak yang ada di dalam sel disebut  jaringan lemak intraselular (Muchtadi, 2011). Daging memiliki bau yang khas. Bau daging dipengaruhi oleh jenis hewan, pakan, umur daging,

jenis

kelamin, lemak, lama waktu, dan

kondisi

penyimpanan. Bau daging dari hewan yang tua relatif lebih kuat dibandingkan hewan muda, demikian pula daging dari hewan jantan memiliki bau yang lebih kuat daripada hewan betina (Lukman, 2012).  Aroma tersebut dihasilkan dari kombinasi berbagai komponen yang menstimulasi reseptor penciuman dan rasa yang ada di saluran mulut dan hidung. Senyawa pembentuk aroma daging terutama komponen-komponen hasil pemecahan protein (peptida dan asam amino), komponen aroma yang larut air dan gula pereduksi (Syamsir, 2011). Untuk mengetahui mutu karkas daging yang diamati, pengamatan dilakukan dengan

membandingkan

karkas dengan gambar.

Karkas

yang diamati 19

bersesuaian dengan kode gambar nomor 12, sedangkan mutu daging termasuk pada kelas III.

Gambar 1. Bagian Karkas Sapi

Gambar 2. Bagian-Bagian Daging Sapi

Berdasarkan tetapan SNI3932 tahun 2008, mutu daging sapi dibagi menjadi tiga kelas, yaitu : 1. Kelas I, yaitu daging kas dalam (tenderloin), kas luar (sirloin), dan lamusir  (cube roll). Daging ini memiliki ketebalan lemak kurang dari 12 mm, berwarna merah terang, dan teksturnya tampak halus. 2. Kelas

II,

yaitu

potongan

daging

tanjung

(rump),

kelapa(round),

penutup(topside), pendasar (silverside), gandik(eye round), Kijen (chuck tender), sampil besar (chuck), sampil kecil (blade). Pada kelas ini ketebalan lemak antara 13 -22 mm, warna daging merah kegelapan, dan teksturnya sedang. 20

3. Kelas III, yaitu sengkel (shank), iga (rib meat), samcan (thin flank), sandung lamur (brisket). Daging kelas III memiliki ketebalan lemak lebih dari 22 mm, berwarna merah gelap, dan teksturnya tampak kasar. Pengamatan terhadap pengolahan daging yang dilakukan adalah mengamati warna, bau, keempukan dan daya putus daging. Pengolahan daging dilakukan dengan cara merebus daging yang telah di potong 2 X 1 cm, ke dalam panci yang berisi air mendidih selama 20 menit di atas kompor. Setelah itu, daging diangkat dan diketahui bahwa warna daging kuda berubah menjadi keabu-abuan dan daging sapi menjadi kecoklatan, sedangkan keempukan dan daya putusnya menjadi lebih empuk dan mudah putus. Hal

ini

terjadi

karena

pengaruh

pemanasan

terhadap

daging

dapat

mengakibatkan perubahan solubilitas protein, sehingga terjadi penurunan kekuatan protein miofibrilar dan pengeluaran air dari dalam mikrostruktur daging. Daging yang dimasak dengan waktu yang lebih lama, dapat mengakibatkan bertambahnya jumlah cairan daging yang keluar, sehingga dapat menurunkan kandungan air daging dan kandungan protein terlarut daging, sehingga membuat daging menjadi lebih empuk dan mudah putus (Prasetyo, 2012).  Adanya pemasakan daging juga dapat menimbulkan reaksi maillard. Reaksi maillard merupakan reaksi antara protein daging terhidrolisa, peptida dan asam amino dengan gula pereduksi, yang berperan penting dalam menghasilkan flavor  daging masak. Faktor pH, suhu dan waktu pemanasan akan mempengaruhi jenis dan intensitas komponen flavor daging masak yang dihasilkan. Reaksi ini berlangsung optimum pada pH tinggi dengan suhu antara 100°C (flavor daging rebus) dan 180°C (flavor daging goreng) (Syamsir, 2011). Pengamatan selanjutnya adalah pengamatan pada produk olahan abon sapi.  Abon merupakan produk olahan daging yang didapat dengan menumbuk daging sehingga

diperoleh

serat-serat

yang

menjadi

suwiran

daging.

Untuk

memudahkan penumbukan, daging di rebus terlebih dahulu hingga empuk. Lalu diiris kecil berbentuk dadu, baru kemudian dihaluskan. Setelah halus, daging tumbuk itu diberikan bumbu dan kemudian di goreng pada api sedang, sehingga diperoleh tumbukan daging yang bersifat kering. Dengan pengolahan ini daging akan lebih

awet,

karena daging dalam

keadaan

berkadar air

rendah

(Buckle,2010). Berdasarkan Tabel Komposisi Pangan Indonesia (2008), Nilai gizi abon sapi dibandingkan dengan daging sapi, memiliki protein, karbohidrat, serat, kalsium, fosfor, dan besi yang lebih tinggi. Penambahan nilai gizi ini dapat dikarenakan 21

oleh adanya bumbu yang ditambahkan pada saat proses pengolahan. Selain itu, pada suhu 55-75°C, protein mengalami denaturasi, sehingga pemasakan dapat menguraikan rantai ikatan protein (Prasetyo, 2012).

2.

Unggas Pengamatan pada daging unggas yang dilakukan meliputi penghitungan %BDD, pengamatan organoleptik, pemasakan daging, dan pengamatan produk olahan unggas. Jenis daging unggas yang diamati adalah bagian sayap ayam buras. Bentuk komoditi unggas yang umum diperdagangkan adalah dalam bentuk karkas. Yang dimaksud sebagai karkas adalah bagian tubuh unggas tanpa darah, bulu, kepala, kaki dan organ dalam. Komponen karkas ayam terdiri dari otot, lemak, tulang, dan kulit. Bagian terbesar otot terdapat pada daerah dada (Muchtadi,2011). Daging yang diamati pada waktu praktikum menunjukkan kualitas daging yang masih segar dengan warna segar, bau amis wajar dan tekstur yang masih kenyal. Menurut SNI Daging Ayam 3924-2009, karkas ayam yang baik memiliiki penampakan yang normal, tulang dada melengkung, dada panjang dan membulat, banyak lemak terutama pada bagian dada, gemuk, dan bebas dari bulu halus. Nilai BDD daging ditentukan dengan menimbang berat awal daging, kemudian memisahkan bagian daging dengan tulang, kulit dan jaringan lemak, lalu daging yang didapatkan tersebut ditimbang beratnya . Nilai %BDD sayap ayam buras yang diamati adalah 43,48%. Dalam Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) %BDD ayam tertulis sebesar 58%. Perbedaan antara hasil pengamatan dengan DKBM ini dapat dimungkinkan karena jenis ayam dan bagian sampel yang diamati tidak sama. Dalam DKBM tertulis ‘ayam’ saja tanpa ada keterangan lain, sedangkan pengamatan yang dilakukan adalah bagian sayap ayam buras. Kemungkinan perbedaan jenis ayam dan bagian karkas yang diamati,

dapat

mengakibatkan hasil perhitungan %BDD yang berbeda. Untuk menjaga kualitas karkas pasca mortem, perlu diperhatikan proses dan cara penyimpanannya. Penyimpanan dalam suhu antara -17 o sampai -40o C dapat mempertahankan kualitas daging, karena pada suhu ini, daging membeku. Perubahan kimia dan biokimia berlangsung dengan kecepatan menurun selama penyimpanan beku bahkan berhenti sama sekali setelah penyimpanan selama dua bulan (Muchtadi, 2011). Suradi (2010) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pH turun secara perlahan pada pasca mortem. Penyimpanan pada suhu ruang selama dua belas 22

 jam setelah pemotongan, terjadi penurunan keasaman, daya ikat air dan peningkatan susut masak daging. Sedangkan penyimpanan kurang dari dua belas jam tidak menunujukkan penurunan kualitas yang signifikan. Namun, dalam penyimpanan bahan makanan, seringkali ditambahkan bahan pengawet dengan tujuan agar bahan lebih tahan simpan. Bahan pengawet yang sering digunakan akhir-akhir ini adalah formalin. Formalin merupakan sebutan umum dari formaldehida. Bahan kimia ini sebenarnya tidak aman jika digunakan dalam makanan, karena zat ini termasuk dalam golongan kelompok desinfektan kuat, dapat membasmi berbagai jenis bakteri pembusuk, penyakit, cendawan atau kapang, dan pada manusia dapat mengeraskan jaringan tubuh (Puspitojati, 2012 cit. Winarno, 2004). Pengujian ada tidaknya formalin pada suatu bahan, dibuktikan dengan pengujian menggunakan larutan Fehling A dan Fehling B. Bahan bebas formalin akan tetap berwarna biru dan tidak mengalami perubahan warna ketika ditambah kedua larutan tersebut. Namun bahan yang berformalin akan mengalami perubahan warna larutan dari berwarna biru menjadi merah. Perubahan warna disebabkan oleh reaksi Fehling A dan B dengan formalin atau formaldehid yang akan membentuk endapan Cu 2O yang berwarna merah. (Puspitojati, 2012) Menurut Puspitojati (2012), iri-ciri bahan yang mengandung formalin : a. Saat dipegang terasa sangat kenyal atau liat. b. Tercium aroma seperti obat meskipun sudah berulang kali dibilas air bahkan direbus. c. Bahan tahan disimpan atau dibiarkan dalam suhu ruangan selama 1-2 hari. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap pemasakan daging unggas. Dalam pengamatan ini diperoleh hasil bahwa stelah pemasakan, daging lebih empuk dan mudah putus. Menurut Prasetyo (2012), pemanasan daging mengakibatkan perubahan solubilitas protein dan menurunkan kualitas protein jaringan ikat daging, karena pada suhu 55-75°C protein mengalami denaturasi. Hal ini mengakibatkan penurunan kekuatan protein miofibrilar dan pengeluaran air dari dalam mikrostruktur daging. Pemasakan daging yang lebih lama dapat mengakibatkan bertambahnya jumlah cairan daging yang keluar, sehingga menurunkan kandungan air daging dan kandungan protein terlarut daging. Hal ini dapat membuat daging menjadi lebih empuk dan mudah putus. (Prasetyo, 2012) Produk olahan yang diamati adalah sosis ayam. Sepertihalnya daging ayam, sosis ayam juga memiliki nilai gizi dominan berupa protein. Sosis ayam dibuat dari daging ayam yang digiling. Hasil penggilingan tersebut kemudian diaduk 23

menggunakan food processor  dan biasanya ditambahkan tepung. Setelah menjadi adonan, adonan tersebut di masukkan ke dalam penyemprot kue, kemudian penyemprot tersebut ditekan sehingga didapatkan adonan ayam yang panjang diatas casing . Langkah selanjutnya ujung-ujung casing  ditali dan sosis telah siap dikonsumsi atau dapat di simpan pada freezer (Alamsyah, 2005).

3.

Ikan dan Seafood Pengamatan pada ikan dan seafood yang dilakukan, meliputi pengamatan organoleptik, pengujian kesegaran, penentuan %BDD, dan pengamatan produk olahan. Sampel yang diamati ketika praktikum adalah jenis seafood berupa udang, dan produk olahan ikan pindang. Pengamatan kesegaran ikan dapat dilakukan dengan pengamatan secara fisik maupun dengan pengujian secara kimiawi menggunakan reagen Eber dan H 2S. (Muchtadi, 2011) Secara fisik, ciri-ciri ikan dan seafood yang masih segar diantaranya : mata cemerlang, cornea bening, dan cembung; insang berwarna merah hingga merah tua, cemerlang, dan tidak berbau; terdapat lendir alami bening cemerlang dan memiliki bau khas menurut jenis ikan; kulit belum pudar, cemerlang, dan kontras; sisik melekat kuat dan mengkilat tertutup lendir jernih; sayatan daging cerah dan elastis, jika dibelah melekat kuat pada tulang terutama rusuknya; tulang belakang berwarna abu-abu mengkilap; darah sepanjang tulang belakang segar merah dan konsistensi normal; berbau segar seperti bau laut dan bebas dari bau pesing atau bau tidak enak; bebas dari penyakit dan luka atau kerusakan pada badan; serta ikan dapat tenggelam pada uji penenggelaman (Buckle, 2010). Udang yang diamati pada saat praktikum, menunjukkan warna putih pucat keruh dan terdapat bintik-bentik kecil berwarna hitam. Menurut Muchtadi (2011), Gejala bercak hitam pada udang ini disebut melanosis. Bercak tersebut terjadi karena setelah udang mati, enzim oksidatif tirosin berubah menjadi senyawa melanin yang berwarna hitam. Selain itu, udang yang segar secara fisik terlihat mengkilap dan transparan. Namun keadaan ini akan cepat berubah menjadi warna putih keruh, sesaat setelah udang mati. Oleh karena itu, kebanyakan udang yang dijual dipasaran berwarna putih keruh. Maka udang yang diamati tersebut menunjukkan bahwa kondisi udang sudah tidak segar. Uji penenggelaman udang , menunjukkan hasil bahwa udang tenggelam dalam air. Hal ini menunjukkan bahwa komponen udang belum banyak terdegradasi dan hanya menampakkan ciri kerusakan secara fisik. Pada kerusakan yang parah, massa jenis ikan dapat turun hingga di bawah massa jenis air, sehingga 24

ikan akan mengapung pada uji penenggelaman (Buckle, 2010). Maka, dengan pengujian ini, udang dinyatakan masih pada kondisi yang baik. Menurut Muchrtadi (2011), uji kesegaran dapat dilakukan dengan pengujian secara kimiawi. Dalam pengujian ini diperlukan reagen Eber yang komposisinya adalah HCl pekat, alkohol 90%, dan ether dengan perbandingan masin-masing 1:1:1, atau dapat menggunakan H 2S. Pengujian dengan reagen Eber, diawali dengan memasukkan sebanyak kurang lebih 5 ml reagen Eber ke dalam tabung reaksi. Setelah itu sampel yang telah diiris kira-kira sebesar kacang tanah, dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan diamati gas yang terbentuk , yang merupakan gas NH3 hasil pembusukan. Sedangkan pengujian menggunakan H2S dilakukan dengan meneteskan larutan Pb-asetat 10% pada sampel yang berada pada cawan petri dan tertutupi oleh kertas saring. Kemudian cawan petri ditutup dan diamati ada tidaknya warna coklat yang menunjukkan adanya gas H2S hasil pembusukan ikan. Reaksi yang dihasilkan adalah : Pb (CH3COOH) + H2S  PbS + 2 CH3COOH.

Pada uji Eber, gelembung gas yang terbentuk selama reaksi sangat sedikit, dan pada uji H2S menunjukkan tidak terbentuknya warna coklat, maka dapat diketahui bahwa udang belum mengalami degradasi lebih lanjut. Kandungan air yang tinggi pada ikan dapat menjadi media tumbuh yang baik bagi

mikroorganisme penyebab kebusukan. Oleh karena itu, ikan sering

disimpan dengan cara pembekuan, agar bakteri tidak dapat tumbuh dan berkembang (Buckle,2010). Selain itu, pembusukan ikan dapat terjadi karena adanya degradasi protein. Karena kandungan ikan kaya akan protein, maka pada tahap degradasi lanjut, banyak protein yang terpecah menjadi senyawasenyawa putresin, isobutilamin, kadaverin, dan senyawa lain yang baunya kurang disukai. Degradasi lemak juga dapat mengakibatkan kebusukan ikan dengan adanya ransiditas (ketengikan) (Muchtadi, 2011). Degradasi komponenkomponen ikan inilah yang mengakibatkan massa jenis ikan turun. Pada kerusakan yang parah, massa jenis ikan dapat turun hingga di bawah massa  jenis air, sehingga ikan akan mengapung pada uji penenggelaman ikan (Buckle,2010). Disamping itu, menurut Buckle (2010), ikan dan seafood dapat lebih cepat mengalami kerusakan ketika ikan sulit ditangkap. Karena terjadi pergulatan yang mengakibatkan turunnya cadangan glikogen pada ikan. Kandungan glikogen

25

yang tidak stabil pada ikan, mempermudah perubahan glikogen menjadi asam laktat. Selain itu menurunnya kualitas ikan dapat ditandai dengan perubahan warna menjadi keabu-abuan dan tampak tidak segar. Hal ini terjadi akibat adanya oksidasi senyawa pigmen mioglobin dan hemoglobin menjadi methemoglobin dan metmioglobin (Muchtadi, 2011). Pengamatan selanjutnya adalah penentuan %BDD. Bagian ikan yang dapat dimakan adalah bagian yang telah dipisahkan dari sisik, ekor, kepala, sirip, insang dan isi perutnya. Sedangkan bagian udang yang dipisahkan adalah bagian kulit atau cangkang, insang, dan kulit kepala. Hasil penghitungan %BDD adalah 55,56%. Sedangkan pada Daftar Komposisi Bahan Makanan, %BDD udang

tertulis 68%. Perbedaan ini dimungkinkan

karena jenis udang yang sangat banyak macamnya sehingga kemungkinan jenis udang yang diamati tidak sama. Produk olahan yang diamati adalah produk pindang benggol. Pengamatan yang dilakukan meluputi pengamatan fisik dan mengidentifikasi nilai gizi. Seperti halnya ikan dan seafood secara keseluruhan, ikan benggol memiliki kandungan protein yang paling tinggi dibandingkan dengan zat gizi lain yang ada di dalamnya. Namun, pengolahan dengan pemindangan, dapat menurunkan kadar air ikan tersebut, sehingga kadar air pada ikan pindang lebih rendah dibandingkan dengan ikan asalnya (Sediaoetama, 2009). Pengolahan ikan pindang dilakukan dengan memasukkan ikan ke dalam bejana yang terbuat dari tanah, ditaburi garam curah. Ikan tersebut disusun berlapis diselingi

dengan

jerami.

Kemudian

panaskan

dalam

bejana

tersebut

(Sediaoetama, 2009).

4.

Telur   Telur merupakan sumber protein hewani. Kandungan zat gizi yang ada pada telur  berdasarkan Tabel Komposisi Pangan Indonesia (2008), terdiri dari protein, lemak, karbohidrat, mineral, dan vitamin. Kandungan mineral tertinggi adalah fosfor, sulfur, dan klorin. Selain mineral tersebut, pada telur terdapat juga mineral-mineral sodium, potasium, kalsium, besi, magnesium, seng, tembaga, mangan, dan iodin. Vitamin pada telur cukup lengkap, terdapat vitamin A,B1, B2, B6, B12, C, D, E, asam folat, niasin, biotin, dan asam pantotenat. Jenis telur yang diamati adalah telur puyuh. Pengamatan yang dilakukan, meliputi pengamatan fisik luar, fisik dalam, penggorengan, perebusan, daya 26

busa, dan penentuan %BDD. Disamping itu, dilakukan pula pengamatan fisik produk olahan, produk yang diamati adalah mayonnaise. Telur yang diamati ditandai dengan label A, B, C, D, E, dan F. Telur A mendapatkan perlakuan pengujian sifat fisik luar dan dalam, serta perebusan tanpa kulit (ceplok air).

Telur B dan C mendapat perlakuan pengujian

penggorengan telur dan penghitungan %BDD. Telur D dan E mendapatkan perlakuan untuk uji perebusan telur utuh (dengan kulit), dan telur D juga dihitung %BDD nya. Sedangkan telur F mendapatkan perlakuan untuk uji daya busa telur. Telur yang normal merupakan mutu yang terbaik, segera setelah ditelurkan. Peralihan dari alat reproduksi induk yang memiliki suhu dan kelembaban yang tinggi ke suhu ruangan dengan keadaan yang lebih kering dan suhu yang lebih rendah menyebabkan berbagai perubahan. Dengan adanya pertambahan waktu simpan, maka mutu telur tersebut akan semakin menurun karena adanya perubahan sifat fisik telur (Muchtadi, 2011). Ruang udara yang memisahkan membran kulit luar dan dalam sesaat setelah ditelurkan kurang lebih sekitar 1/8 inci dan ruang ini akan semakin besar seiring bertambahnya waktu yang menyebabkan kehilangan air dan gas. Besarnya ruang udara tersebut dapat dipakai sebagai atribut penentuan mutu telur (Bukle, 2010). Pada saat peneluran, mula-mula kulit dilapisi oleh mukosa yang kental. Mukosa tersebut mampu melindungi melindungi telur dari penetrasi air, gas dan bakteri melalui kulit. Namun, sesaat kemudian mukosa tersebut akan mengering, sehingga penutupan pori-pori kulit tidak sempurna lagi. Penyimpanan yang lama akan menyebabkan pori-pori semakin besar. Hal ini dapat mengakibatkan penguapan dari isi telur berlangsung lebih cepat, sehingga berat jenis telur dapat turun. Penurunan berat jenis ini dapat dideteksi dengan menenggelamkan telur  ke dalam air. Jika telur tidak tenggelam, maka dapat dipastikan berat jenis telur  kurang dari 1 g/cm3 (Muchtadi, 2011). Menurut Muchtadi (2011), Indikasi kualitas telur yang telah menurun salah satunya adalah terjadi perubahan putih telur dari keadaan asalnya yang kental menjadi lebih encer. Pengenceran terjadi karena perubahan struktur protein musin yang memberi tekstur kental dari putih telur. Untuk mengetahui mutu putih telur, dilakukan dengan cara memecah telur tersebut, kemudian mengukur tinggi putih telur yang telah dipecah pada wadah datar, dan selanjutnya dihitung dengan rumus :

27

Tinggi putih telur  Hu = Berat telur keseluruhan

Semakin tinggi nilai Hu, menunjukkan kualitas putih telur yang masih baik. Karena ketika dipecah, telur masih kental dan kompak sehingga lebih tinggi ketika dilakukan pengukuran. Menurunnya nilai Hu, disebabkan karena putih telur menjadi lebih encer. Kehilangan CO 2 pada putih telur dapat menyebabkan pemecahan asam karbonat

dalam albumin, yang dapat menyebabkan

perubahan dari keadaan netral menjadi keadaan alkali. Albumin yang telah kehilangan CO 2 dan mengalami perubahan pH akan menjadi lebih encer. Telur  yang encer memiliki tinggi yang lebih rendah, sehingga angka Hu lebih kecil (Muchtadi, 2011). Kuning telur juga dapat digunakan sebagai indikasi kerusakan telur. Dengan cara yang sama, kuning telur di ukur tinggi dan diameternya kemudian keduanya dibandingkan. Nilai kualitas kuning telur dinyatakan dalam indeks yolk. Indeks yolk merupakan nilai perbandingan antara tinggi kuning telur dengan diameter  kuning telur, yang dituliskan :

Tinggi kuning telur  YI = Diameter kuning telur 

Nilai yolk index (YI) yang tinggi menunjukkan kualitas yang masih baik. Kuning telur yang telah kendur dan encer memiliki tinggi yang rendah dan diameter yang melebar, sehingga nilai YI nya rendah. Kuning telur dapat mengendur oleh adanya air dari albumin yang terserap karena perbedaan konsentrasi keduanya.  Air bergerak melalui membran vitelin sampai diperoleh keseimbangan antara albumin dan kuning telur. Air yang diserap akan mengakibatkan pertambahan volume sehingga dapat menekan membran vitelin sehingga mengakibatkan perubahan bentuk kuning telur dari bulat menjadi masa yang kendur (Muchtadi, 2011). Pemeriksaan

kualitas

telur

yang

lain,

dapat

dilakukan

dengan

cara

peneropongan (candling). Pengamatan ini dilakukan dengan bantuan sumber  sinar yang cukup sebagai latar belakang. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui adanya penyimpangan pada kulit, ada

tidaknya keretakan,

28

kebersihan telur, dan mengetahui isi telur, untuk mengidentifikasi besarnya kantung udara, kejernihan, serta keadaan putih dan kuning telur. (Buckle, 2010).

Gambar 3. Telur yang Baik dalam Pengamatan Menggunakan Egg Candling 

Berdasarkan SNI Telur Konsumsi 3926-2008, kualitas telur dibagi menjadi tiga kelas, yaitu: 1. Mutu I, Kondisi kerabang normal, halus, tebal, utuh, bersih; kedalaman kantung udara < 0,5 cm; putih telur bebas bercak darah atau benda asing lainnya, dan kondisinya kental; kondisi kuning telur berbentuk bulat, di tengah, dan bersih. 2. Mutu II, Kondisi kerabang normal, halus, ketebalan sedang, utuh, sedikit ada noda kotor; kedalaman kantung udara 0,5 – 0,9 cm; putih telur bebas bercak darah atau benda asing lainnya, dan kondisinya sedikit encer; kondisi kuning telur berbentuk agak pipih, dan letaknya telah sedikit bergeser dari tengah, dan bersih. 3. Mutu III, kondisi kerabangnya abnormal, sedikit kasar, tipis, utuh, dan banyak noda; kedalaman kantung udara > 0,9 cm; putih telur ada sedikit bercak darah, dan kondisinya encer namun belum tercampur dengan bagian kuningnya; kondisi kuning telur berbentuk pipih, sedikit ke pinggir, dan ada sedikit bercak darah. Telur puyuh yang diamati secara fisik luar dan dalam adalah telur A. Pengamatan fisik luar menunjukkan kualitas yang masih bagus, ditandai dengan bentuk dan warna yang normal, tidak ada kecacatan, tidak tenggelam dalam air, dan tidak berbunyi ketika dikocok. Sedangkan pengamatan fisik dalam

(dengan

pemecahan telur), diperoleh hasil bahwa kemungkinan telur yang diamati telah 29

lama di simpan, karena sebgaian telur kuningnya telah mencair, dengan nlai HU sebesar 2,11 dan YI sebesar 1,44. Penghitungan %BDD pada telur B, C, dan D diawali dengan menimbang berat telur utuh, kemudian dipecahkan dan berat kulit serta isi telur masing-masing ditimbang. Setelah itu, angka yang didapatkan dimasukkan kedalam rumus %BDD:

Berat bagian yang dapat dimakan %BDD =

X 100% Berat utuh

Rata-rata hasil perhitungan %BDD telur puyuh yang diamati adalah 89,64%. Sedangkan data pada DKBM tertulis bahwa %BDD telur puyuh adalah 100%. Hal ini kemungkinan karena penghitungan DKBM adalah per 100 gr bahan, sedangkan bagian yang terbuang (kulit) dari telur puyuh sangat sedikit, sehingga diabaikan. Penghitungan %BDD yang dilakukan oleh kelompok lain (dengan sampel yang berbeda), menunjukkan angka yang berbeda. Telur ayam memiliki %BDD yang lebih kecil dibandingkan dengan telur bebek. %BDD telur ayam adalah sebesar  75,38% dan telur bebek sebesar 88,06%. BDD telur dihitung sebagai keseluruhan isi telur tanpa kulitnya, maka perbedaan %BDD ini disebabkan oleh ketebalan dan massa kulit tiap telur yang berbeda-beda (Muchtadi, 2011). Pengamatan pemasakan telur dilakukan dengan menggoreng dan merebus dengan dan tanpa kulit. Telur yang di rebus tanpa kulit adalah telur A. Perebusan tanpa kulit menunjukkan warna putih kebiruan dan kuningnya cerah; putih dan kuning telur padat; bentuk kuning telur tidak bulat sempurna; rasa telur bagian putih tawar dan bagian kuning gurih; serta baunya khas telur. Waktu yang dibutuhkan untuk merebus telur tanpa kulit adalah sekitar 5 menit. Pengamatan perebusan telur utuh dilakukan pada telur puyuh D dan E. Perebusan telur D dilakukan selama 10 menit dan perebusan telur E selama 15 menit. Perebusan pada telur selama 15 menit menunjukkan warna yang lebih matang, yaitu warna putih telur sedikit kekuningan, sedangkan pada perebusan selama 10 menit warna putih telur lebih putih. Maka perebusan tanpa kulit menunjukkan waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan perebusan utuh beserta kulitnya.

30

Pengamatan penggorengan dilakukan pada telur puyuh B dan C Telur B direbus selama 1 menit dan telur C selama 2 menit. Penggorengan telur puyuh selama 2 menit menunjukkan tekstur yang lebih matang dengan adanya warna kecoklatan. Pada proses penggorengan, wajan penggorengan diberikan minyak agar bahan yang digoreng tidak lengket pada wajan. Selain itu minyak digunakan karena titik didihnya lebih tinggi dari titik didih air, sehingga pada saat digoreng, air pada bahan akan menguap dan bahan yang digoreng akan mengering. Selain menggunakan minyak, penggorengan juga dapat menggunakan margarin. Margarin merupakan sumber pangan yang mengandung asam lemak trans Margarin didapatkan dengan cara hidrogenasi parsial minyak nabati cair. Hidrogenasi tersebut membuat asam lemak tidak jenuh berubah menjadi asam lemak jenuh yang akhirnya dapat meningkatkan titik leleh sehingga minyak cair  berubah menjadi minyak setengah padat. Proses tersebut akan mengakibatkan isomerisasi ikatan rangkap cis menjadi bentuk trans. Jumlah asam lemak trans ini

dapat

meningkat

akibat

proses

pengolahan

dengan

suhu

tinggi.

Penggorengan dengan menggunakan margarin dapat menimbulkan efek negatif  yang ditimbulkan oleh asam lemak trans terhadap rasio kolesterol LDL dan HDL dua kali lebih besar dibandingkan dengan asam lemak jenuh yang berisiko menyebabkan aterosklerosis. (Octifani, 2012) Pengamatan selanjutnya adalah pengamatan daya busa telur. Busa dapat didefinisikan sebagai dua fase yang terdiri atas fase gas dalam fase cair. Daya busa teur merupakan ukuran kemampuan putih telur untuk membentuk busa jika dikocok dan dinyatakan dengan persentase terhadap volume putih telur. Daya dan kestabilan busa merupakan salah satu faktor penting yang menentukan nilai telur sebagai pangan, misalnya dalam pembuatan tepung telur, mayonaise dan kue (Suryono, 2006). Busa terbentuk karena terbukanya ikatan polipeptida dalam molekul protein pada waktu pengocokan telur sehingga rantai protein menjadi lebih panjang, kemudian udara masuk diantara molekul-molekul protein yang rantainya telah terbuka dan tertahan sehingga volume bagian busa telur menjadi bertambah. Semakin banyak udara yang tertangkap, busa yang terbentuk semakin kaku (Suryono, 2006). Daya busa putih telur ayam ras tertinggi dicapai pada penyimpanan paling lama. Peningkatan daya busa dipengaruhi oleh putih telur yang encer. Putih telur yang encer lebih mudah menangkap udara dari pada putih telur kental. Ikatan protein dari putih telur yang sudah terbuka dapat memudahkan terbentuknya busa. Daya busa telur dapat dihitung dengan rumus : 31

Daya buih telur = Volume setelah dikocok – Volume sebelum dikocok (Samsudin, 2008).

Sedangkan kestabilan busa merupakan ukuran kemampuan struktur busa untuk bertahan kokoh atau tidak mencair selama waktu tertentu. Kestabilan busa merupakan faktor penting dalam adonan kue karena mempengaruhi kekokohan struktur kue yang dihasilkan (Suryono, 2006). Kestabilan busa telur, berdasarkan hasil pengamatan Samsudin (2008) menunjukkan bahwa telur segar memiliki kestabilan busa yang tinggi. Selama penyimpanan kestabilan busa mengalami penurunan. Penurunan kestabilan busa disebabkan oleh transformasi ovalbumin menjadi s-ovalbumin yang terjadi akibat penyimpanan dengan adanya peningkatan pH dan suhu. Jika kandungan s-ovalbumin

meningkat,

akan

menyebabkan

meningkatnya

busa

dan

menurunkan stabilitas busa. Maka semakin rendahnya daya busa telur, maka kestabilan busa semakin tinggi. Berdasarkan pengmatan yang dilakukan, telur yang diamati memiliki volume putih telur sebesar 5,6 ml, dan setelah dikocok volumenya menjadi 5 ml. Maka daya buih telur puyuh yang diamati adalah -0,6. Hasil yang didapatkan berupa angka negatif. Hal ini diperkirakan karena pada saat pemindahan telur dari cangkir pengocokan ke gelas ukur terlalu lama, sehingga sebagian buih telur  telah hilang. Selain itu kecilnya volume telur puyuh yang diamati sehingga membutuhkan ketelitian yang lebih untuk mendapatkan hasil yang akurat. Putih telur yang dipindahkan dari gelas ukur ke cangkir pengocok atau sebaliknya, kemungkinan masih ada yang tersisa (lengket) ketika dilakukan pemindahan, sehingga volume telur asal berkurang dari yang seharusnya. Produk olahan yang diamati adalah mayonnaise. Pengamatan yang dilakukan terhadap produk meliputi warna, rasa, bau, dan tekstur. Mayonnaise yang diamati berwarna putih kekuningan, kental, bau dan rasanya masam. Mayonnaise merupakan produk emulsi dari kuning telur. Mengandung 162 kkal; 12,8 gram protein , 20 gram lemak, 0,7 gram karbohidrat, 0,50 gram vitamin C, dan 0,10 mg thiamin. Pengolahan mayonnaise secara tradisional adalah dengan mencampurkan kuning telur dengan cuka, dan soybean oil (SBO) atau rice bran oil (RBO), kemudian mengocoknya hingga kental. Cara tersebut diulang-ulang hingga didapatkan produk sesuai dengan yang diinginkan (Sackett, 2011).

32

5.

Kacang-kacangan Pengamatan kacang-kacangan yang dilakukan meliputi pengamatan fisik, daya serap air, rasio pengembangan, dan pengamatan produk olahan kacangkacangan. Pengamatan dilakukan pada sampel kacang merah dan sari kacang hijau. Kacang merah secara fisik,

memiliki warna merah kecoklatan dan bentuk

lonjong. Daya serap air kacang merah diamati dengan cara merebus 3 gram kacang selama 20 menit dalam panci berisi air mendidih di atas kompor. Kemudian ditimbang ulang untuk mengetahui berat setelah perebusan. Setelah itu untuk mengetahui nilai daya serap air dihitung dengan rumus: Berat Setelah Perebusan – Berat Sebelum Perebusan Daya Serap Air = Berat Bahan Sebelum Perebusan Sehingga diperoleh hasil bahwa daya serap kacang merah yang diamati adalah sebesar 1. Pengamatan selanjutnya adalah pengamatan rasio pengembangan kacang merah kering (tanpa perendaman) dan kacang merah yang telah direndam sebelumnya. Kacang merah yang diamati sebelumnya diukur volume awalnya sebelum dilakukan perebusan. Lalu masing-masing kacang direbus dalam panci dengan 600 ml air mendidih hingga matang. Kacang merah kering menunjukkan rasio pengembangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kacang merah rendaman. Namun kecepatan pematangan kacang merah menunjukkan bahwa kacang yang telah direndam sebelumnya lebih cepat masak (empuk), sekitar 15 menit, dan kacang merah tanpa perendaman sekitar 25 menit. Kacang merah kering adalah sumber karbohidrat kompleks, serat makanan (fiber), vitamin B (terutama asam folat dan vitamin B6), fosfor, mangaan, besi, thiamin, dan protein. Berbagai kandungan nutrisi kacang merah tersebut, maka dapat diuraikan berbagai manfaatnya, yaitu : a. Mencegah kolesterol jahat dan memperlancar pencernaan, oleh adanya kandungan fiber yang tinggi. b. Mencegah resiko diabetes karena kandungan karbohidrat kompleknya memiliki angka indek glikemik yang rendah dan termasuk lamban cerna. c. Membantu pematangan sel darah merah, membantu sintesa DNA dan RNA, serta menurunkan level homosistein dalam pembuluh arteri (sehingga mengurangi resiko penyakit jantung) dengan kandungan folat dan vitamin B6. 33

d. Membantu program diet, karena fibernya akan membuat rasa

kenyang

dengan kalorinya yang rendah. e. Menjaga fungsi sistem syaraf, metabolisme karbohidrat, dan mencegah penyakit beri-beri dengan kandungan thiamin. f. Membantu

proses

metabolisme

asam

amino,

asam

lemak,

lipid,

glukoneogenesis, sintesis neurotransmitter, sintesis histamine, sintesis dan fungsi haemoglobin serta menjaga kesehatan kulit dengan kandungan vitamin B6. g. Membantu proses pembekuan darah pada luka (Wijaya, 2013) Pengamatan

produk

olahan

kacang-kacangan

yang

dilakuakan

adalah

mengamati sifat organoleptik dari minuman sari kacang hijau. Pengamatan ini menunjukkan bahwa sari kacang hijau memiliki warna coklat kehijauan; tekstur  yang kasar; serta rasa manis dan aromanya seperti kacang hijau. Pembuatan sari kacang hijau dilakukan dengan merendam kacang hijau dengan air. Setelah itu direbus dalam 2 liter air mendidih hingga lunak, lalu dimasukkan gula merah. Setelah dingin, kacang hijau disaring dan diblender hingga halus lalu dicampurkan kembali sedikit demi sedikit dan direbus ulang dengan menambahkan sedikit garam, lalu di tunggu hingga mendidih (Wijaya, 2013) .

6.

Susu Susu didefinisikan sebagai hasil sekresi dari kelenjar susu binatang mamalia, seperti: sapi, kambing, kuda, dan onta. Susu merupakan emulsi lemak dalam air  yang mengandung garam-garam mineral, gula dan protein. Jenis susu yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat adalah susu sapi dan susu kambing. Kedua jenis susu tersebut memiliki nilai gizi yang hampir sama. Dalam Tabel Komposisi Pangan Indonesia (2008), secara keseluruhan, susu sapi memiliki kadar air, lemak, kalsium dan natrium yang lebih tinggi dibandingkan dengan susu kambing, sedangkan zat gizi lain seperti : karbohidrat, protein, fosfor, dan kalium, lebih tinggi kadarnya pada susu kambing. Susu kambing tidak mengandung aglutinin. Akibatnya globula lemak susu kambing tidak mengalami klusterisasi, sehingga lebih mudah dicerna. Susu kambing mengandung kadar laktosa dan kasein yang sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan susu sapi. Kondisi tersebut baik bagi orang yang mengalami intolerasi laktosa. (Higoat, 2013) Pengamatan susu yang dilakukan, meliputi pengamatan terhadap warna, rasa, aroma, kelengketan, kekentalan, dan pH. Pengamatan dilakukan pada sampel 34

susu pasteurisasi. Hasil yang diperoleh yaitu, susu pasteurisasi memiliki warna putih kekuningan, sedikit kental dan lengket, rasa tawar, aroma khas susu, dan pH nya netral. Hasil tersebut telah bersesuaian dengan standar susu pasteurisasi pada SNI 3951-1995. Kekentalan susu dapat dinyatakan dalam angka berupa nilai viskositas. Viskositas susu secara relatif dapat diketahui dengan rumus: Viskositas =

t air  X viskositas air  t susu

Dimana, tair 

= waktu meluncur tetesan air (detik)

tsusu

= waktu meluncur tetesan susu (detik)

Viskositas air = 1,005 centipoise pada susu 20oC (Muchtadi,2011). Berdasarkan persamaan tersebut, diperoleh nilai viskositas susu pasteurisasi yang diamati adalah 8,607 centipoise. Karena susu merupakan medium tumbuh yang baik bagi mikroorganisme, adanya bakteri pada susu dapat mempercepat penurunan kualitas susu. Pertumbuhan mikroorganisme, dapat mengakibatkan penurunan pH dan penggumpalan kasein. Hal ini disebabkan oleh adanya fermentasi laktosa menjadi asam laktat. Disamping itu, penggumpalan susu yang tanpa diikuti penurunan pH dapat juga terjadi oleh adanya bakteri Bacillus cereus yang menghasilkan enzim pencerna lapisan tipis fosfolipid di sekitar butir-butir lemak. Selain itu, adanya bakteri juga dapat menyebabkan timbulnya lendir seperti tali, karena terjadinya pengentalan (Muchtadi,2011). Pada industri

pengolahan susu,

penanganan

untuk

mencegah adanya

mikroorganisme yang dapat merusak susu dan menularkan penyakit, dilakukan proses pasteurisasi. Pasteurisasi dimaksudkan untuk mematikan penyakit maupun mikroorganisme yang dibawa oleh susu, dengan mengurangi seminimal kemungkinan hilangnya zat gizi, perubahan rupa dan citarasanya (Buckle, 2010). Pasteurisasi yang telah banyak dipakai adalah metode holder dan High Temperature Short Time (HTST). Metode holder merupakan pasteurisasi dengan pemanasan pada suhu 65oC selama 30 menit. Sedangkan metode HTST dilakukan dengan pemanasan susu selama 15-16 menit pada lempeng bersuhu 71,7oC. Namun akhir-akhir ini proses pasteurisasi terbaru telah dikembangkan yaitu metode Ultra High Temperature (UHT). Suhu yang digunakan adalah 125 oC selama 15 detik, atau menggunakan suhu 131 oC selama 0,5 detik. Pemanasan dilakukan

dibawah

tekanan

yang tinggi untuk

menghasilkan turbelence 35

(perputaran) dan mencegah terjadinya pembakaran susu pada lempeng-lempeng pemanas (Muchtadi, 2011). Jadi, istilah pasteurisasi adalah sebuah proses pengolahan susu pada industri dalam usaha meminimalkan kandungan mikroorganisme berbahaya yang terdapat pada susu, sedangkan prosesnya dapat dilakukan dengan metode holder, HTST, dan UHT (Muchtadi, 2011). Namun, pada industri susu di Indonesia, susu pasteurisasi dan susu UHT di definisikan berbeda. Definisi berdasarkan SNI 3951-1995, susu pasteurisasi adalah susu segar, susu rekonstitusi, susu rekombinasi yang telah mengalami prosss pemanasan pada tarnperatur 63°C -66°C selama minimum 30 menit atau pada pemanasan 72°C selama minimum 15 detik, kemudian segera didinginkan sampai 10 oC, selanjutnya diperlakukan secara aseptis dan disimpan pada suhu maksimum 4,4oC. Dan menurut SNI 3950-1998, susu UHT adalah produk susu yang diperoleh dengan cara mensterilkan susu minimal pada suhu 135º C selama 2 detik, dengan atau tanpa penambahan bahan makanan dan bahan tambahan makanan yang diijinkan, serta dikemas secara aseptik. Produk olahan susu yang diamati adalah susu fermentasi berperisa. Pembuatan susu fermentasi pada umumnya dalam bentuk yoghurt. Yogurt dibuat dengan memanaskan susu hingga 90 o selama 15-30 menit, kemudian didinginkan sampai 43oC. Pada suhu ini, susu kemudian diinokulasi dengan 2% kultur  Streptococcus thermophilus yang memfermentasi laktosa menjadi asam laktat, mengurangi potensial redoks dengan menghilangkan oksigen dan menyebabkan penguraian protein susu melalui kerja enzim proteolitik. Keadaan tersebut menguntungkan bagi pertumbuhan kultur  Lactobacillus bulgaricus yang ditambahkan setelahnya dan dibiarkan selama kira-kira 3 jam hingga mencapai keasaman yang dikehendaki. Lalu produk didinginkan dan siap untuk dikemas. Namun pada pembuatan susu fermentasi berperisa, umumnya hanya menggunakan bakteri Streptococcus thermophilus tanpa Lactobacillus bulgaricus, dan pada akhir  pembuatan ditambahkan perisa yang diinginkan untuk memperbaiki cita rasa (Buckle, 2010). Pengamatan yang dilakukan adalah mengamati sifat organoleptik dan nilai gizi yang tertera di kemasan. Sifat fisik susu fermentasi yang diamati bersifat encer, berwarna putih, aroma dan rasanya manis masam. Sifat fisik susu fermentasi yang diamati telah sesuai dengan mutu SNI 7552-2009 tentang susu fermentasi berperisa.

36

BAB IV KESIMPULAN

 A. Daging 1. Mutu daging dibagi atas tiga kelas. Kelas daging dibedakan berdasarkan jenis daging dan letak bagian daging. Kelas terbaik adalah kelas I dan yang paling rendah adalah kelas III. 2. Produk olahan daging sapi diantaranya adalah abon. Produk olahan dan bahan dasarnya memiliki nilai gizi yang berbeda akibat adanya proses pengolahan. Produk olahan berupa abon memiliki daya simpan yang cukup lama karena teksturnya yang kering.

B. Unggas 1. Daging unggas dapat diketahui mutunya dengan pengamatan secara fisik. Daging unggas yang baik ditandai dengan penampakan yang normal, tulang dada melengkung, dada panjang dan membulat, banyak lemak terutama pada bagian dada, gemuk, dan bebas dari bulu halus. 2. Produk olahan daging unggas salah satunya adalah sosis ayam. Produk olahan dan bahan dasarnya memiliki nilai gizi yang berbeda akibat adanya proses pengolahan.

C. Ikan dan Seafood 1. Bagian ikan yang dapat dimakan adalah bagian yang telah dipisahkan dari sisik, ekor, kepala, sirip, insang dan isi perutnya. Sedangkan bagian udang yang dapat dimakan adalah bagian daging yang telah dipisahkan dari kulit atau cangkang, insang, dan kulit kepala. 2. Ikan dan seafood yang masih segar dapat diidentifikasi secara fisik. Ikan yang segar memiliki mata cembung, kulit belum pudar, sisik melekat kuat sayatan daging cerah dan elastis, berbau segar, serta ikan dapat tenggelam pada uji penenggelaman. 2.

Produk olahan ikan salah satunya adalah pindang benggol. Pindang merupakan produk ikan hasil proses pengasapan.

D. Telur  1. Mutu telur yang biasa dipasarkan dibagi atas tiga kelas. Kelas ini dibagi berdasarkan keadaan kulit serta kuning dan putih telur di dalamnya. Kelas terbaik adalah kelas I dan yang paling rendah adalah kelas III. 37

2. Berat telur yang dapat dimakan adalah keseluruhan bagian telur tanpa kerabangnya. 3. Pemasakan telur dapat dilakukan dengan penggorengan dan perebusan dengan dan tanpa kulit. Waktu yang dibutuhkan untuk menggoreng telur puyuh hingga matang adalah sekitar 1 menit, sedangkan perebusan tanpa kulit selama 5 menit dan perebusan utuh beserta kulitnya selama 10 menit. 4. Produk olahan telur salah satunya adalah mayonnaise. Mayonnaise merupakan produk emulsifikasi kuning telur.

E. Kacang 1. Mutu kacang-kacangan dapat diidentifikasi secara fisik berdasarkan warna dan aroma. 2. Kacang-kacangan biasa diolah dengan cara direbus maupun digoreng. Perebusan kacang merah hingga lunak membutuhkan waktu sekitar 25 menit. Perebusan kacang dapat dilakukan dengan lebih cepat dengan melakukan perendaman sebelum perebusan. 3. Produk olahan kacang-kacangan salah satunya adalah sari kacang hijau. Produk olahan ini memiliki nilai gizi yang berbeda dengan asalnya karena adanya proses pemanasan.

F. Susu 1. Mutu susu dapat diketahui dengan pengamatan secara fisik. Ciri susu yang memiliki kualitas baik diantaranya: warna normal, sedikit kental dan lengket, rasa tawar, aroma khas susu, dan pH nya netral. 2. Susu segar yang umum dijual dipasaran adalah produk pasteurisasi susu. Proses pasteurisasi susu dapat dilakukan dengan metode HTST, metode holder, dan UHT. 3. Produk olahan susu diantaranya adalah susu fermentasi. Susu fermentasi memiliki nilai gizi dan sifat organoleptik yang berbeda dengan susu asalnya, karena adanya bakteri yang memfermentasikan susu sehingga timbul rasa dan aroma masam.

38

DAFTAR PUSTAKA

 Alamsyah, Yuyun. (2005) Membuat sendriri frozen food sosis tanpa bahan pengawet. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.Badan Standar Nasional. (1995) Susu  pasteurisasi . Jakarta. Badan Standar Nasional. (1998) Susu UHT . Jakarta. Badan Standar Nasional. (2008) Mutu karkas daging sapi . Jakarta. Badan Standar Nasional. (2008) Telur konsumsi . Jakarta. Badan Standar Nasional. (2009) Daging ayam. Jakarta. Badan Standar Nasional. (2009) Minuman susu fermentasi berperisa. Jakarta. Buckle, K.A., Edward, R.A., Fleet, G.H., Wootton, M. (2010) Ilmu pangan. Jakarta : UI press. Higoat, Team. (2013) Perbedaan susu sapi dan susu kambing. Higoat susu kambing group [Internet], tersedia dalam: [Diakses 1 mei 2013]Lukman, Denny Widaya. (2012) Daging yang baik dan sehat. Bagian kesehatan masyarakat veteriner FKH IPB [Internet], tersedia dalam: [Diakses 1 mei 2013] Mahmud, Mien.K., Zulfianto, Nilis Aria. (2008) Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta : Elex Media Komputindo. Muchtadi,Tien R., Sugiyono., Ayustaningwarno, Fitriyono. (2011) Ilmu pengetahuan bahan  pangan. Bandung : Alfabeta. Octifani, Selly. (2012) Pengaruh pemberian margarin terhadap rasio kolesterol LDL/HDL tikus spregue dawly . Skripsi, Universitas Diponegoro Prasetyo,Eko., Nuhriawangsa, Adi Magna Patriadi., Swastike, Winny. (2012) Pengaruh lama perebusan terhadap kualitas kimia dan organoleptik abon dari bagian dada dan paha ayam petelur afkir. Sains Peternakan, 10 (2) September, pp. 108-114. Puspitojati, Endah. (2012) Bahaya penggunaan formalin pada makanan, [Internet], tersedia dalam: [Diakses 1 Mei 2013] Sackett, Lou., Pestka, Jaclyn. (2011) Professional garde manger. Canada: John Wiley & Sons Publisher. Samsudin. (2008) Hubungan antara lama penyimpanan dengan penyusutan bobot, haugh unit, daya dan kestabilan buih putih telur ayam ras pada suhu ruang . Skripsi, Institut Pertanian Bogor. Suradi, Kusmajadi. (2010) Perubahan sifat fisik daging ayam broiler post mortem selama  penyimpanan temperatur ruang. Skripsi, Universitas Padjadjaran. Suryono, Handi. (2006) Daya dan kestabilan buih putih telur itik tegal dengan penambahan asam asetat pada umur simpan yang berbeda. Skripsi, Institut Pertanian Bogor. Syamsir, Elvira. (2011) Karakteristik mutu daging. Ilmu & teknologi pangan IPB [Internet], tersedia dalam: [Diakses 1 Mei 2013] Wijaya, Adi. (2013) Nutrisi tinggi dari kacang merah [Internet], tersedia dalam: http://www.sinergifitness.com/site2/kumpulan-artikel-fitness-a-kesehatan/34artikel/105-nutrisi-tinggi-dari-kacang-merah [Diakses 2 Mei 2013]

39

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF