Laporan Praktikum LD50

June 5, 2021 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Laporan Praktikum LD50...

Description

FARMAKOLOGI PRAKTIKUM IV MENENTUKAN LD50 (LETHAL DOSE) SUPERMETRIN (SUTRIN 100 ec) PADA TIKUS

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3 : 1. Naniek Dwi Okvitasari

(201310410311106)

2. Chotijah Verial Virdaus (201310410311129) 3. Raramiyati Fitratunnisah (201310410311166) 4. Reza Diah Prataningtyas (201310410311194) 5. Najla Salsabila Nisrina

(201310410311213)

6. Aldi Bachtiar Prasetya

(201310410311234)

7. Dwi Setiyo Kartiningdiah (201310410311240) 8. Melvy Rosalina

(201310410311290)

JURUSAN FARMASI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2014

i

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT.Yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan penyusunan Makalah Praktikum Farmakologi. Shalawat serta salam kami khaturkan kepada Nabi SAW yang telah membawa kita dari alam jahiliyah menuju alam islami. Tidak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah membimbing kami dalam melaksanakan dan membuat makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari teman-teman terutama dari dosen pembimbing.

Malang, Oktober 2014

Penyusun

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................... ii DAFTAR ISI.............................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 2 1.1.

Tujuan Praktikum............................................................................2

1.2.

Dasar Teori.................................................................................... 2

1.3.

Alat dan Bahan............................................................................... 2

1.4

Prosedur Kerja............................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 2 2.1

Perhitungan Dosis...........................................................................2

2.2

Hasil Pengamatan........................................................................... 2

2.3

Pembahasan.................................................................................. 2

BAB III PENUTUP..................................................................................... 2 3.1

Kesimpulan................................................................................... 2

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 2

iii

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Tujuan Praktikum 1. Mengamati perubahan aktivitas perilaku setelah pemberian supermetrin secara per sonde. 2. Menentukan LD 50 supermetrin pada tikus.

1.2. Dasar Teori Pestisida merupakan suatu zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk mengendalikan, mencegah, dan menangkis gangguan serangga, binatang pengerat, jasad renik yang dianggap hama serta semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk mengatur pertumbuhan tanaman dan pengering tanaman. Peptisida bersifat toksik. Pada mamalia efek utama yang ditimbulkan adalah menghambat asetilkolin esterase yang menyebabkan aktivitas kolinergik yang berlebihan perangsangan reseptor kolinergik secara terus menerus akibat penumpukan asetilkolin yang tidak dihidrolisis. Penghambatan asetilkolinesterase juga menimbulkan polineuropati (neurotoksisitas) mulai terbakar sampai kesemutan terutama di kaki akibat kesukaran sensorik dan motorik dapat meluas ke tungkai dan kaki (terjadi ataksia). (Farmakologi dan toksikologi Edisi 3, 2006 : penerbit Kedokteran) Penilaian keamanan obat/zat kimia perlu dilakukan untuk menentukan seberapa toksik zat tersebut ke manusia. Hal tersebut dapat dilakukan dengan tahapan berikut : 1. Menentukan LD 50 2. Melakukan percobaan toksisitas sub akut dan kronis untuk menentukan no effect level 3. Melakukan percobaan karsinogenitas, teratogenitas, dan mutagenesis yang merupakan bagian penyaringan rutin keamanan.



Mekanime kerja supermertin

2

Mekanisme kerjanya yaitu menghambat enzim asetilkolinesterase sehingga terjadi akumulasi. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah acetylcholine meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Ach yang ditimbun dalam sistem saraf pusat akan menginduksi tremor, inkoordinasi, dan kejangkejang, dalam s ys tem saraf autonom, akumulasi AchE ini akan menyebabkan diare, urinasi tanpa sadar, brokokonstriksi, dan miosis. Akumulasinya pada taut neuromuskuler akan mengakibatkan konstraksi otot yang diikuti dengan kelemahan, hilangnya reflex dan paralisis. Mekanisme terjadinya toksisitas obat, berbagai mekanisme dapat mendasari toksisitas obat. Biasanya relasi toksis merupakan kelanjutan dari efek farmakodinamiknya. Karena itu, gejala toksis merupakan efek farmakodinamik yang belebihan. Dalam percobaan toksikologi pada hewan harus digunakan dosis yang sangat besar, karena ingin ditemukan kelainan jaringan atau efek toksik yang jelas. Dengan cara ini reaksi yang jarang terjadi bisa dibuat lebih sering. Bila dengan dosis terapi efek hipotoksis hanya terjadi pada 1 per 10.000 orang, maka diperkirakan ribuan tikus untuk percobaan dengan dosis ini. Sebelum terlihat reaksi pada 1-2 ekor tikus saja. Selain itu waktu observasi akan jauh lebih pendek apabila juga menggunakan dosis yang besar, sehingga akan mengurangi biaya pemeriksaan. Namun akan timbul kesulitan dalam interpetasi hasilnya pada manusia sebab kelainan yang ditemukan tidak dapat di ekstrapolarikan begitu saja pada manusia.

Interpretasi

ini

harus

dilakukan

dengan

bijaksana

dengan

memperhitungkan besarnya dosis dan kondisi percobaan. (Farmakologi dan terapi Ed.5.2011 Fakultas Kedokteran UI ). 

Toksisitas Toksisitas adalah suatu keadaan yang menandakan adanya efek toksik/racun

yang terdapat pada bahan sebagai sediaan single dose atau campuran. Toksisitas akut ini diteliti pada hewan percobaan yang menunjukkan evaluasi keamanan dari kandungan kimia untuk penggunaan produk rumah tangga, bahan tambahan makanan, kosmetik, obat-obatan, dan sediaan biologi. Uji toksisitas dilakukan untuk mendapatkan informasi atau data tentang toksisitas suatu bahan (kimia)

3

pada hewan uji. Secara umum uji toksisitas dapat dikelompokkan menjadi uji toksisitas jangka pendek/akut, dan uji (farmakologi dan toksikologi Edisi 3, 2006 : penerbit Kedokteran) Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang gejala keracunan, penyebab kematian, urutan proses kematian dan rentang dosis yang mematikan hewan uji (Lethal dose atau disingkat LD50) suatu bahan. Uji toksisitas akut tidak hanya bertujuan untuk menentukan nilai LD 50, tetapi juga untuk melihat berbagai perubahan tingkah laku, adakah stimulasi atau depresi SSP, perubahan aktivitas motorik dan pernafasan tikus, serta untuk mendapat gambaran tentang sebab kematian. Oleh sebab itu uji toksisitas ini harus dilengkapi dengan pemeriksaan laboratorium klinik dan pembuatan sediaan histologik dari organ yang dianggap dapat memperlihatkan kelainan. Kematian yang timbul oleh kerusakan pada hati, ginjal, atau system hematopoisis tidak akan terjadi pada hari pertama tapi timbul palng cepat hari ketiga. Uji toksisitas akut merupakan efek yang merugikan yang timbul segera sesudah pemberian suatu bahan sebagai dosis tunggal, atau berulang yang diberikan dalam 24 jam. Uji toksisitas akut dirancang untuk menentukan atau menunjukkan secara kasar median lethal dose (LD50) dari toksikan. LD50 ditetapkan sebagai tanda statistik pada pemberian suatu bahan sebagai dosis tunggal yang dapat menyebabkan kematian 50% hewan uji (Frank,1996). Jumlah kematian hewan uji dipakai sebagai ukuran untuk efek toksik suatu bahan (kimia) pada sekelompok hewan uji. Jika dalam hal ini hewan uji dipandang sebagai subjek, respon berupa kematian tersebut merupakan suatu respon diskretik. Ini berarti hanya ada dua macam respon yaitu ada atau tidak ada kematian. Quantal respon , yaitu jumlah respon pada sekelompok hewan uji terhadapdosis tertentu suatu obat atau bahan. Pengamatan terhadap efek ini dilakukan untuk menentukan jumlah respon dari suatu respon diskretik (all or none response) pada suatu kelompok hewan uji. Jumlah respon tersebut dapat 100%, 99%, 50%, 20%, 10%, atau 1%. Respon yang bersifat diskret itu dapat berupa kematian, aksi potensial, dan sebagainya, Dosis dibuat sebagai suatu peringkat dengan kelipatan logaritmik yang tetap. Dosis

4

terendah merupakan dosis yang tidak menyebabkan timbulnya efek atau gejala keracunan, dan dosis tertinggi merupakan dosis yang menyebabkan kematian semua (100%) hewan uji. Cara pemberian obat atau bahan yang diteliti harus disesuaikan pada pemberiannya pada manusia, sehingga dapat mempermudah dalam melakukan ekstrapolasi dari hewan ke manusia. Dalam uji toksisitas akut, penentuan LD50 dilakukan dengan cara menghitung jumlah kematian hewan uji yang terjadi dalam 24 jam pertama sesudah pemberian dosis tunggal bahan yang diteliti menurut cara yang ditunjukkan oleh para ahli. Namun demikian, kematian dapat terjadi sesudah 24 jam pertama karena proses keracunan dapat berjalan lambat. Gejala keracunan yang muncul sesudah 24 jam menunjukkan bahwa bahan obat atau bahan itu mempunyai titik tangkap kerja pada tingkat yang lebih bawah sehingga gejala keracunan dan kematian seolah-olah tertunda (delayed toxicity). Oleh karena itu banyak ahli berpendapat bahwa gejala keracunan perlu diamati sampai 7 hari bahkan juga sampai 2 minggu. Sediaan yang akan diuji dipersiapkan menurut cara yang sesuai dengan karakteristik bahan kimia tersebut, dan tidak diperbolehkan adanya perubahan selama waktu pemberian. Untuk pemberian per oral ditentukan standar volume yang sesuai dengan hewan uji. Uji toksisitas subkronis adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari tiga bulan. Uji ini ditujukan untuk mengungkapkan spectrum efek toksik senyawa uji serta untuk memperlihatkan apakah spectrum efek toksik itu berkaitan dengan takaran dosis. Uji Toksisitas Sub-kronik (Jangka Pendek) Uji ini dimaksudkan untuk mengungkapkan berbagai efek berbahaya yang dapat terjadi jika suatu senyawa digunakan selama waktu tertentu, selama waktu tertentu, serta untuk menunjukkan apakah berbagai efek tersebut berkaitan dengan dosis. Kegunaan uji toksisitas sub-kronik adalah untuk mengetahui efek samping dan kontraindikasi obat yang diuji. Uji ini dilakukan dengan memberikan bahan tersebut berulangulang, biasanya setiap hari atau lima kali seminggu, selama jangka waktu kurang lebih 10% dari masa hidup hewan; yaitu 3 bulan untuk tikus, dan 1 atau 2 tahun untuk anjing. Tetapi beberapa peneliti menggunakan jangka waktu yang lebih

5

pendek, misalnya pemberian zat kimia selama 14 dan 28 hari. (Farmakologi dan toksikologi Edisi 3, 2006 : penerbit Kedokteran) Uji Toksisitas Kronik (Jangka Panjang) Pada dasarnya uji toksisitas kronik sama dengan toksisitas sub-akut. Perbedaannya hanya terletak pada lamanya pemberian dosis dan masa pengamatannya. Percobaan jenis ini mencakup pemberian obat secara berulang selama 3–6 bulan atau seumur hewan, misalnya 18 bulan untuk mencit, 24 bulan untuk tikus, dan 7–10 tahun untuk anjing dan monyet. Memperpanjang percobaan kronik untuk lebih dari 6 bulan tidak akan bermanfaat, kecuali untuk percobaan karsinogenik. Umumnya satu atau lebih jenis binatang yang digunakan. Kecuali tidak ditunjukkan, tikuslah yang digunakan, anjing dan primata merupakan pilihan berikutnya. Karena ukurannya yang kecil, tikus tidak cocok digunakan dalam studi toksisitas jangka panjang, meskipun mereka sering digunakan dalam studi karsinogenesitas. Jantan dan betina dalam jumlah yang sama digunakan. Umumnya 40-100 tikus ditempatkan dalam kelompok masing-masing dosis dan juga dalam kelompok kontrol. Penggunaan anjing dan primata non manusia jauh lebih sedikit. 1.3. Alat dan Bahan 1. 2. 3. 4.

Kapas, kain, spuit, kasa, klem Kandang, tikus 3 ekor Alkohol Sutrin 100ec (dosis 25 mg/kgBB, 100 mg/kgBB, 400 mg/kgBB)

1.4 Prosedur Kerja 1.

Siapkan sonde yang berisi sutrin 100 ec untuk masing-masing tikus dengan

2. 3. 4.

dosis 25 mg/kgBB, 100 mg/kgBB, 400 mg/kgBB. Pegang tikus dalam posisi terlentang secara gentle. Berikan sutrin 100 ec per sonde pada masing-masing tikus Amati perubahan prilaku masing-masing tikus (seperti yang tertera pada lembar pengamatan) dengan seksama.

BAB II PEMBAHASAN

6

2.1 Perhitungan Dosis Supermetrin 20.04 gram/liter 1.

Pada tikus pertama bobot 101 g , dosis 25 mg/kg BB 25 mg/kg BB x 0.101 kg = 2.525 mg = 0.2525 kg 0.2525 x

2.

= 0.126 ml

Pada tikus pertama bobot 116 g , dosis 100 mg/kg BB 100 mg/kg BB x 0.116 kg = 11.6 mg = 0.0116 kg 0.0116 x

3.

= 0.579 ml

Pada tikus pertama bobot 108 g , dosis 400 mg/kg BB 400 mg/kg BB x 0.108 kg = 43.2 mg = 0.0432 kg 0.0432 x

= 2.16 ml

Perhitungan Regresi X

Y

25 mg/kg BB

0

100 mg/kg BB

50

400 mg/kg BB

100

Didapatkan :

a = 8.3333 b = 0.2381 r = 0.9449

Y = bx + a 50 = (0.2381)x + 8.3333 X = 175 mg / kg BB

7

Kesimpulan : Jadi LD50 yang tepat adalah 175 mg/kg BB 2.2 Hasil Pengamatan TABEL HASIL PENGAMATAN PERUBAHAN TINGKAH LAKU

Menit

Nomor Eksperi men

Postur Tubuh

Aktivitas Motor

Ataxia

Righting Reflex

Test Kasa

Analgesia

Ptosis

5

1 2 3

+ + +

+ + ++

+

-

+ + +

++

-

10

1 2 3

+ ++ ++

+ + +++

++

-

+ + +

++

+ ++

15

1 2 3

+ ++ ++

+ +++ ++++

+ +++

-

+ + +++

-

++ ++

30

1 2 3

+ ++ +++

+ +++ ++++

+++ +++

++

+ + +++

++

_ ++ ++

60

1

+

+

-

-

+

-

-

Mati

+

8

2 3

+++ +++

+++ ++++

+++ +++

++

+ +++

++

Keterangan : 1. Postur Tubuh + = jaga = kepala dan punggung tegak ++ = ngantuk = kepala tegak, punggung mulai datar +++ = tidur = kepala dan punggung datar 2. Aktivitas Motor + = gerak spontan ++ = gerak spontan bila dipegang +++ = gerak menurun saat dipegang ++++ = tidak ada gerak spontan pada saat dipegang 3. Ataksia = gerakan berjalan inkoordinasi + = inkoordinasi terlihat kadang-kadang ++ = inkoordnasi jelas terlihat +++ = tidak dapat berjalan lurus 4. Righting Reflex + = diam pada satu posisi miring ++ = diam pada dua posisi miring +++ = diam pada waktu terlentang 5. Test Kasa + = tidak jatuh apabila kasa dibalik dan digoyang ++ = jatuh apabila kasa dibalik +++ = jatuh apabila posisi kasa 90 derajat ++++ = jatuh apabila posisi kasa 45 6. Analgesia + = respon berkurang pada saat telapak kaki dijepit ++ = tidak ada respon pada saat telapak kaki dijepit 7. Ptosis + = ptosis kurang dari 1/2 ++ =1/2 +++ = seluruh palpebra tertutup Hasil Pengamatan Respon tidur (+/-) pada tikus no.

Dosis

% indikasi yang berespon

1

2

3

4

5

6

25 mg/kg BB

-

-

-

-

-

-

0%

100 mg/kg BB

+

-

-

-

+

+

50 %

400 mg/kg BB

+

+

+

+

+

+

100

++ ++

9

2.3 Pembahasan LD 50 (Lethal Dose 50) adalah dosis yang menimbulkan kematian pada 50% individu. Nilai dapat berbeda 0,002 sampai 16 kali bila dilakukan berbagai macam laboratorium. Jadi harus dijelaskan lebih lanjut tentang prosedur yang dipakai, misal berat badan, umur tikus, zat pelarut, jenis kelamin, lingkungan dan sebagainya. Pada peraktikum kami prosedur yang digunakan adalah berat badan dengan rincian sebagai berikut : Tikus

1

Berat Badan

101 g

Dosis

25 mg/Kg

Dosis Yang

Sediaan 20,04

Diberikan

mg/ml

2,525 mg

0,126 ml

11,6 mg

0,58 ml

43,2 mg

2,16 ml

BB 2

116g

100 mg/Kg BB

3

108 g

400 mg/Kg BB

Ket :Hasil, tikus dosis 3 mati. Praktikum ini dilakukan pada binatang uji tikus putih yang berada dalam ruangan (laboratorium) dengan suhu kamar (27C). Dengan menyiapkan sonde yang berisi sutrin 100 ec unuk masing –masing tikus dengan dosis 25mg / Kg BB , 100mg/KgBB, 400mg/KgBB kemudian tikus diberikan sutrin 100 ec personde. Setelah itu mengamati perubahan perilaku masing – masing. Menentukan onset of action dari perubahaan perilaku. Hewan coba I : tidak terdapat mula kerja yang dapat dilihat, hewan coba mengalami kondisi yang sama saat sebelum disonde dengan setelah disonde. Hewan coba II : Mula kerja dapat dilihat dari pengamatan postur tubuh pada menit ke-10. Hewan coba III : Mula kerja dapat dilihat dari pengamatan aktivitas motor, dan analgesia pada menit ke-5. Dari data kelompok kami bisa menyimpulkan bahwa: 1. Postur tubuh

10

Pada tikus 1 tidak terjadi perubahan apapun setelah disonde, sedangkan tikus 2 mengalami perubahan pada menit ke-10. Tikus 3 mengalami perubahan pada menit ke -10. 2. Aktifitas Motor Pada tikus 1 tidak terjadi perubahan apapun setelah disonde, sedangkan tikus 2 mengalami perubahan pada menit ke-15. Tikus-3 terjadi perubahan pada menit ke - 5. 3. Ataksia Tikus 1 tidak mengalami perubahan gerak inkordinasi dari pertma hingga ke menit-60. Tikus 2 mengalami perubahan pada menit ke-15 dan pada tikus 3 pada menit ke – 5 . Semakin bertambah waktu semakin terlihat perubahan pada tikus 3. 4. Righting Reflex Pada tikus 1 dan 2 tidak terjadi perubahan hingga menit ke – 60. Tikus 3 mengalami perubahan pada menit ke – 30. 5. Test Kasa Pada tikus 1 dan 2 tidak ada perubahan hingga menit ke-60 yaitu tidak jatuh bila kasa dibalik dan digoyang. Pada tikus 3 terjadi perubahan pada menit ke-15 yaitu jatuh bila kassa dibalik 90. 6. Analgesia Pada tikus 1 dan 2 tidak terjadi perubahan analgeria hingga menit ke-60. Sedangkan pada tikus 3 pada menit ke-5 sudah tidak ada respon pada saat telapak kaki dijepit. 7. Ptosis Tikus 1 tidak menunjukan hasil positif dari menit pertama hingga ke-60 pada tikus 2 mengalami perubahan pada menit ke-10, tikus 3 pada menit ke-10 menunjukkan perubahan, berupa ptosis ½. Efek toksis dari pestisida tersebut terlihat dari perubahan tingkah laku berupa

penurunan

kesadaran

yaitu

postur

tubuh

penurunan

aktifitas

motorik,ataksia,tes kasa, Analgesia. Ptosis dan kematian. Efek toksik pestisida yang lain adalah hipersaliva,kontraksi ginjal, miosis, depresi pernapasan . Hal ini disebabkan oleh mekanisme kerja pestisida yang menghambat pengeluaran asetilkolin esterase pada aktivitas kolinergik sehingga reseptor kolinergik merangsang pengeluaran asetilkolin terus-menerus tanpa dihidrolisis yang

11

menyebabkan terjadinya akumulasi asetikolin. Toksisitas pestisida sangat tergantung pada cara masuknya pestisida kedalam tubuh.

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan LD50 sutrin 100ec adalah 175 mg/ kgBB yang berarti pada pemberian dosis 175 mg/kgBB efek kematian akan terlihat pada 50% populasi dan dosis pemberian yang telah melebihi LD50-nya adalah pada pemberian dosis 400 mg/kgBB sehingga pada dosis ini efek kematian telah terlihat pada 50 % populasi atau lebih ( karena telah berada diatas LD50. Data hasil pengamatan % indikasi berespon pemberian 400 mg / kg BB telah menunjukkan efek kematian pada 100% populasi dan hal ini sesuai dengan perhitungan LD 50.

12

DAFTAR PUSTAKA

Neal, Michael J.(2006). At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal. 8 Katzung, BG. 1997.Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 6. EGC: Jakarta, Hal. 354-356 Snaryo. 2004. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi dan toksikologi Edisi 3, 2006 : penerbit Kedokteran. LD50 http://www.wartamedika.com/2008/02/obat-supermetrin-valium.html. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2014. Uji toksisitas https://www.scribd.com/doc/82148553/uji-ketoksikan-akut. Diakses pada tanggal 7 November 2014.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF