LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI
November 20, 2017 | Author: Dannia Riski Ariani | Category: N/A
Short Description
Download LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI...
Description
LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI BLOK RESPIRASI SPIROMETRI
Asisten : Tim Asisten Fisiologi DISUSUN OLEH KELOMPOK 7 GALIH RAKASIWI
G1A008014
SABRINA ANGGRAINI
G1A008019
MARISA ROSA BELLA
G1A008020
VENNY TIURSANI S
G1A008026
ALDIAN INDIRAWATY
G1A008049
DIANA VERIFY HASTUTYA
G1A008051
TRESNA WAHYUNINGSIH
G1A008055
ANGGI ANGGIAN D
G1A008072
AGUSTIKA NUR SETIANI
G1A008101
AGENG SADENO PUTRO
G1A008116
LOLA SALSABILA
G1A008135
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN 2010
BAB I PENDAHULUAN
I.
Judul Praktikum Praktikum spirometri
II.
Tanggal Praktikum Sabtu, 3 April 2010
III.
Tujuan Praktikum 1. Tujuan instruksional umum Setelah praktikum ini mahasiswa mampu melakukan pengukuran fungsi paru dengan spirometer dan peakflow. 2. Tujuan instruksional khusus Setelah menyelesaikan praktikum ini mahasiswa dapat: a. Menjelaskan pemeriksaan spirometri b. Melakukan pemeriksaan spirometri c. Menganalisa hasil pemeriksaan.
IV.
Dasar Teori Proses respirasi atau pernafasan, secara harfiah berarti pergerakan oksigen (O2) dari atmosfer menuju ke sel, dan keluarnya karbon dioksida (CO2) dari sel ke udara bebas. Respirasi terdiri dari tiga proses, yaitu: 1. Pulmonary
ventilation
adalah
proses
pernafasan
dimana
gas
mengalir/bergerak antara atmosfer (udara luar) dan paru. Pergerakan udara ini di sebabkan oleh perubahan tekanan udara dalam paru. Perbedaan tekanan yang disebabkan oleh perubahan kapasitas paru akan memaksa udara masuk ketika inhalasi dan keluar ketika ekshalasi.
Dua Proses penting dalam pulmonary ventilation : a. Inhalasi - Proses pergerakan udara masuk ke paru. Agar udara masuk ke dalam paru, tekanan di alveoli harus lebih rendah daripada tekanan di atmosfer. Maka dari itu rongga thorax (dada) mengembang untuk meningkatkan kapasitas paru dan merendahkan tekanan udara di rongga dada. Apabila kapasiti rongga thorax meningkat, kapasitas paru juga meningkat dan tekanan
alveolarpun
menurun.
Perubahan
tekanan
ini
menyebabkan udara bergerak dari luar ke dalam paru. b. Ekshalasi – Proses pergerakan udara keluar paru. Disebabkan oleh perubahan tekanan, tekanan di dalam paru lebih tinggi daripada tekanan di atmosfer. Ekshalasi adalah hasil daripada “elastic recoil” yang berlaku pada dinding thorax dan paru, yaitu hal yang secara alami terjadi setelah rongga dada mengembang. Apabila otot external intercostals relax, tulang rusuk akan menurun. Oleh karena itu tekanan dalam paru akan meningkat. Maka udara akan bergerak keluar dari tekanan tinggi ke daerah tekanan rendah. 2. Respirasi Eksternal Proses resapan oksigen (O2) dalam udara di alveoli ke dalam darah di kapiler alveoli serta proses resapan karbon dioksida (CO2) dalam arah sebaliknya. Darah yang dating dari ventrikulus dextra (berasal dari sistemik tubuh) kaya akan kandungan CO2 berdifusi dan “bertukar tempat” dengan O2. PO2 dalam alveolar = 105 mmHg sedangkan PO2 dalam kapiler pulmonary = 40 mmHg, karena itu oksigen akan terus meresap ke dalam kapiler pulmonary sehingga PO2 dalam kapiler pulmonary meningkat. 3. Respirasi Internal Merupakan pertukaran CO2 dan O2 antara kapiler sistemik dengan sel jaringan. PO2 dalam kapiler darah = 105 mmHg sedangkan PO2 dalam sel jaringan = 40 mmHg. Perbedaan tekanan ini akan menyebabkan oksigen akan meresap keluar dari kapiler darah ke dalam sel sehingga PO 2 dalam
kapiler darah menurun ke 40 mmHg. Saat O2 meresap ke dalam sel. CO2 akan meresap ke arah yang bertentangan. Frekuensi pernafasan rata-rata pada orang dewasa normal berkisar antara 16-24 kali per menit yang mengangkut kurang lebih 5 liter udara masuk dan keluar paru. Beberapa factor seperti peningkatan PCO2 atau konsentrasi H+ dapat mempengaruhi pusat pernafasan di pons dan di medulla untuk meningkatkan frekuensi ataupun menurunkan frekuensi pernafasan. Jika konsentrasi CO2 dalam melebihi kadar normal maka tubuh akan bereaksi dengan hiperventilasi untuk mengeluarkan CO2 tersebut dan mengambil O2 dari udara luar, begitupun sebaliknya. Volume paru yang lebih rendah daripada kisaran normal seringkali menunjukan malfungsi system paru. Untuk mengetahui volume dan kapasitas paru digunakan alat ukur berupa spirometer atau respirometer. Hasil perekamannya disebut spirogram. Pada kurva hasil spirogram digambarkan defleksi ke bawah saat ekspirasi. Udara yang keluar dan masuk saluran pernafasan saat inspirasi dan ekspirasi sebanyak 500 cc di sebut volume tidal (VT). Volume tidal setiap orang bervariasi tergantung pada saat pengukuran. Rata rata pada orang dewasa 75% (350 ml) dari volume tidal secara nyata dapat masuk ke bronkiolus, duktus alveolus, kantong alveoli dan alveoli yang aktif dalam proses pertukaran gas. Sedang sisanya 25% (150 ml) menetap di ruang rugi. Volume total udara yang diperlukan dalam satu menit disebut minute volume of respiration (MVR) atau minute ventilation. MRV didapat dari perkalian antara volume tidal dan frekuensi pernafasan total permenit. Rata rata MRV dari 500 ml volume tidak sebanyak 12 kali pernafasan permenit adalah 6000 ml/menit. Dengan mengambil nafas lebih dalam maka akan mendapatkan volume pernafasan melebihi volume tidal 500 ml. Penambahan volume ini disebut volume cadangan inspirasi sebesar 3100 ml dari volume tidal sebelumnya. Sehingga volume tidal total sebesar 3600 ml. Udara ekspirasi juga dapat lebih banyak dikeluarkan (1200 ml) dari volume tidal yang ada, udara tersebut merupakan volume cadangan
ekspirasi.
Meskipun
paru
kosong
setelah
ekspirasi
maksimal,
sesungguhnya paru tersebut masih memiliki udara sisa yang disebut dengan volume residu yang mepertahankan paru dari keadaan kolaps yang besarnya sekitar 1200 cc. FEV1 adalah volume ekspirasi paksa dalam satu detik dengan pengertian volume yang masih dapat di keluarkan oleh paru setelah ekspirasi maksimal dalam satu detik. Pada penderita emphysema didapatkan nilai FEV1 menurun. Salah satu metode untuk melakukan pengukuran volume dan kapasitas dinamis paru adalah dengan spirometri. Tujuannya adalah untuk mengukur efektivitas dan kecepatan paru dalam mengisi dan mengosongkan udara. Spirometri adalah suatu teknik pemeriksaan untuk mengetahui fungsi/faal paru, di mana pasien diminta untuk meniup sekuat-kuatnya melalui suatu alat yang dihubungkan dengan mesin spirometer yang secara otomatis akan menghitung kekuatan, kecepatan dan volume udara yang dikeluarkan, sehingga dengan demikian dapat diketahui kondisi faal paru pasien. Pemeriksaan spirometri digunakan untuk mengetahui adanya gangguan di paru dan saluran pernapasan. Alat ini sekaligus digunakan untuk mengukur fungsi paru. Pasien yang dianjutkan untuk melakuakan pemeriksaan ini antara lain: pasien yang mengeluh sesak napas, pemeriksaan berkala bagi pekerja pabrik, penderita PPOK, penyandang asma, dan perokok. Indikasi dan kontra indikasi pemeriksaan spirometri: Tabel 1: Indikasi dan kontraindikasi penggunaan spirometri INDIKASI
KONTRA INDIKASI
Deteksi penyakit paru
Hemoptisis
Riwayat penyakit paru
Pneumotoraks
Sakit dada atau ortopneu
Status kardiovaskuler tidak stabil
Kelainan dinding dada
Infark miokard
Sianosis
Emboli paru
Clubbing finger
Aneurisma serebri
Penderita batuk kronik dan produktif
Pasca bedah mata
Evaluasi perokok >40 tahun
Aneurisma toraks
Penderajatan asma akut
Kecemasan (mual, muntah, vertigo)
Pasien yang akan menjalani pembedahan Pemeriksaan berkala untuk progresivitas penyakit Pasien yang akan melakukan reseksi paru
V.
Alat dan Bahan
1. Spirometri 2. Tissue 3. Tinta spirometri 4. Mouth piece dispposible 5. Penjepit hidung VI.
Cara Kerja 1. Pemeriksaan kapasitas vital paru a. Siapkan alat pencatat atau spirometri b. Jelaskan tujuan dan cara kerja pemeriksaan kepada probandus, posisi probandus menghadap alat c. Nyalakan alat (power on). Masukan/ atur data probandus berupa nama dan umur d. Hubungkan probandus dengan alat dengan cara menyuruh probandus memasukan mouth piece ke dalam mulutnya dan tutuplah hidung probandus dengan penjepit hidung e. Instruksikan probandus untuk bernafas tenang terlebih dahulu untuk beradaptasi dengan alat f. Tekan tombol start alat spirometri untuk memulai pengukuran
g. Mulai dengan pernafasan tenang sampai timbul perintah dari alat untuk ekspirasi mekasimal (tidak terputus). Bila dilakukan dengan benar akan keluar data dan kurva di layar spirometri h. Bila perlu tanpa melepaskan mouth piece, ulangi pengukuran dengan inspirasi dalam dan ekspirasi maksimal i. Setelah selesai lepaskan mouth piece, periksa data dan kurva dilanjutkan dengan mencetak hasil rekaman (tekan tombol print) 2. Pemeriksaan kapasitas vital paksa paru (FVC = Force Vital Capacity)
a. Siapkan alat pencatat atau spirometri b. Jelaskan tujuan dan cara kerja pemeriksaan kepada probandus, posisi probandus menghadap alat c. Nyalakan alat (power on). Masukan/ atur data probandus berupa nama dan umur d. Instruksikan probandus untuk inspirasi dalam dari luar alat e. Hubungkan probandus dengan alat dengan cara menyuruh probandus memasukan mouth piece ke dalam mulutnya dan tutuplah hidung probandus dengan penjepit hidung f. Bila perlu tanpa melepaskan mouth piece, ulangi pengukuran dengan inspirasi dalam dan ekspirasi maksimal g. Setelah selesai melepaskan mouth piece, periksa data dan kurva dilanjutkan dengan mencetak hasil rekaman (tekan tombol print)
VII.
Nilai Normal 1. Kapasitas vital paru
Gambar 1. Gambaran kapasitas paru normal
2. Kapasitas vital paksa paru
Gambar 2. Gambaran kapasitas vital paksa paru normal
BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN
I.
Hasil 1. Pemeriksaan kapasitas vital paru Dari pemeriksaan spirometri didapatkan data sebagai berikut. NAME
: Galih
Y/M/D
: 10/03/11
IDCODE
:1
AGE
:20
SEX
:MALE
H(CM)
:166
W(KG)
:82
PRED
:EUROPE
VC
Pred.
Act
%
4,92
3,57
73
TV
----
IRV
----
ERV
----
IC
----
Spyrogrampemeriksaankapasitas vital paru 5 4 3
(itr) e m lu o v
2
volume (liter)
1 0 0
20
40 waktu (detik)
60
80
Gambar 3. Hasil pengukuran pemeriksaan kapasitas vital paru 2. Pemeriksaan kapasitas vital paksa paru PRED
ACT
%
FVC
4,70
3,19
68
FEV1.0
4,07
2,31
57
FEV1.0%
----
72,4
FEV1.0%t
83,6
64,7
PEF
9,48
5,15
54
FEF25-75
5,06
1,66
33
MEF75
8,01
4,97
62
MEF50
5,32
1,72
32
MEF25
2,47
0,72
29
0
1
2
3
4
5
Gambar 4. Hasil pemeriksaan kapasitas vital paksa paru II.
Pembahasan Hasil Grafik Pemeriksaan Kapasitas Vital Paru menunjukkan: VC
Pred.
Act
%
4,92
3,57
73
TV
----
IRV
----
ERV
----
IC
---Data spirogram menunjukkan adanya penurunan kapasitas vital paru
yaitu 3,57 L. Sehingga presentase nya hanya sebesar 73%. Pada hasil spirogram yang normal menunjukkan banyaknya kapasitas vital paru yaitu 80% dari total kapasitas paru, atau pada orang dewasa laki-laki sebesar 4800cc atau 4,8 L. Penurunan kapasitas vital paru dapat disebabkan karena adanya penurunan volume tidal, volume cadangan inspirasi maupun volume cadangan ekspirasi. Karena kapasitas vital paru diperoleh dari hasil penambahan ketiga variable tersebut. Penurunan kapasitas vital paru pada probandus disebabkan oleh penurunan: Volume tidal = 1 L
6
7
Volume cadangan inspirasi = 1,57 L Volume cadangan ekspirasi = 1L Sehingga didapatkan : VC=VT+IRV+ERV VC= 1+ 1,57+1 VC=3,57 L Hasil Grafik Pemeriksaan Kapasitas Vital Paksa Paru menunjukkan: PRED 4,70 4,07 ---83,6 9,48 5,06 8,01 5,32 2,47
FVC FEV1.0 FEV1.0% FEV1.0%t PEF FEF25-75 MEF75 MEF50 MEF25
ACT 3,19 2,31 72,4 64,7 5,15 1,66 4,97 1,72 0,72
% 68 57 54 33 62 32 29
Rasio FEV1/FVC yaitu: FEV1 FVC
= 3,19 = 1,38 2,31 Rasio FEV1/FVC meningkat tajam yaitu 1,38. Pada kondisi normal
rasio FEV1/FVC yaitu 0,8. Data spirogran tersebut menunjukkan adanya kelainan restriktif dimana adanya penurunan FEV1 dan FVC, tetapi volume udara yang terhirup dan terhembus lebih kecil dibandingkan normal. Hasil spirogram menunjukkan bahwa pasien mengalami kelainan restriktif pada system penafasannya, namun hasil spirogram ini dapat saja salah karena grafik tersebut seharusnya tidak layak dibaca dan nilai atau hasilnya tidak dapat diterima karena tidak memenuhi kriteria penilaian, seperti : 1. Waktu ekspirasi minimal 6 detik. Sedangkan probandus hanya melakukan ekspirasi kurang dari 6 detik. 2. Awal uji harus cukup baik. Prosedur awal melakukan pemeriksaan sudah tidak tepat, seperti posisi probandus yang duduk, tinggi badan dan beratbadan yang dimasukkan dala spirometer kurang valid, dan lain sebagainya, sehingga tidak memenuhi criteria penilaian pada point ini.
3. Ekspirasi tidak ragu-ragu dan cepat mencapai puncak tajam. Sedangkan probandus tidak memenuhi syarat tersebut karena ketika sedang inspirasi probandus mendadak tertawa dan melakukan ekspirasi secada spontan dan terputus-putus atau ragu-ragu. Hasil spirogram yang menunjukkan adanya kesalahan hasil yang diperoleh sehingga tidak layak untuk dinilai disebabkan karena kesalahan melakukan prosedur pada saat pemeriksaan sedang berlangsung, seperti: 1. Ukur tinggi dan berat badan hanya mengira-ngira tanpa mengukurnya
secara langsung. Hal ini dapat menyebabkan perbadaan hasil spirogram karena tinggi badan dan berat badan mempengaruhi asupan O2 yang dibutuhkan oleh tubuh dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kapasitas vital paru maupun kapasitas total paru. 2. Posisi
probandus duduk pada saat pemeriksaan dapat menekan
pengembangan paru dan kontraksi otot-otot diafragma dan dinding dada sehingga volume yang dapat masuk kedalam paru akan berkurang sehingga akan menurunkan kapasitas vital paru dan kapasitas vital paksa paru. 3. Bibir pasien tidak melingkupi seluruh mouthpiece karena pasien sempat
tertawa saat pemeriksaan sedang berlangsung. Hal ini mempengaruhi volume udara yang dapat terukur oleh spirometer pada saat pasien melakukan inspirasi dan ekspirasi. Adanya celah yang terbuka (mulut tidak melungkupi mouth piece) akan mengurangi volume udara yang terukur oleh spirometer karena masih ada udara yg dapat masuk dan keluar lewat celah mulut tersebut. 4. Probandus terlambat menarik nafas (terlambat memulai) 5. Udara yang dikeluarkan melalui mouthpiece tidak menggunakan tenaga
maksimal karena probandus tertawa ketika inspirasi dan hendak ekspirasi sehingga volume yang dihirup dan di keluarkan tidak maksimal III.
Aplikasi Klinis
1. Penyakit paru obstruktif kronik a. Asma
Merupakan serangan berulang dispnea paroksimal, dengan radang jalan nafas dan mengakibatkan kontraksi spasmodic bronkus. (Dorland, 2002) Patofisiologi asma dapat dijelaskan dengan bagan di bawah ini. Alergen
Terbentuk Antibodi dalam tubuh (IgE)
Alergen dan IgE berikatan
Menyebabkan Sel mast melepaskan mediator primer (Histamin) dan mediator sekunder (Leukotrien/SRSA)
Efek segera (dalam 5-10 menit); Kontriksi bronkiolus, Hipersekresi dan Edema dinding bronkiolus
Penyempitan lumen bronkiolus
Udara sulit keluar dari bronkiolus
Udara terperangkap pada bagian distal
Hiperinflasi progresif paru (timbul mengi ekspirasi memanjang), mengalami sesak; Asma (Halim, 2000, Silbernagl dan Lang, 2006) b. Bronkhitis Kronis Penyakit ini mempunyai berbagai definisi tergantung dari penulis yang mengemukakannya. Brinkman mendefinisikan penyakit
ini sebagai suatu gangguan batuk berdahak yang terjadi tiap hari selama paling kurang enam bulan dan jumlah dahak minimal satu sendok teh. (Yunus, 1999) Definisi yang banyak dipakai adalah definisi dari American Thoracic Society, yaitu penyakit dengan gangguan batuk kronik dengan dahak yang banyak terjadi hampir tiap hari minimal tiga bulan dalam setahun selama dua tahun berturut-turut. (American Thoracic Society, 1987) Produksi dahak yang berlebihan ini tidak disebabkan oleh penyakit tuberkulosis atau bronkiektasis. Penyakit bronkitis kronik sering terdapat bersama-sama emfisema dan dikenal dengan nama bronchitis emfisema. (Yunus, 1999) Iritasi bronkus (Asap rokok, polusi)
Paralisis silia
Statis mukus
Infeksi kuman (sekunder)
Bronkospasme
Hipertrofi Hperplasi
Obstruksi saluran napas yang reversibel
Kelenjar
Produksi mucus bertambah
Erosi epitel, pembentukan jaringan parut, metaplasi skuamosa serta penebalan lapisan mukosa
Obstruksi saluran napas yang irreversible (stenosis) c. Emfisema Terkumpulnya udara secara patologik dalam jaringan atau organ, sehingga menyebabkan paru-paru menjadi membesar, penampakan di
dalam foto rontgen Nampak paru hiperluchen dengan pembesaran kea rah lateral dan menurunkan diafragma. Patofisiologi emfisema dijelaskan melalui bagan di bawah ini.
Infeksi dan Alergi
Terjadi Inflamasi & pelepasan Histamin dan Leukotrien (SARS)
Sekresi mukus
Edema mukosa
Kontraksi otot
Peningkatan resistensi pernafasan
Ekspirasi memerlukan peningkatan tekanan
Penekanan bronkus
Ekspirasi menjadi sulit
Pengembangan paru berlebihan
Emfisema (Halim, 2000, Silbernagl dan Lang, 2006) 2. Penyakit restriktif
a. Pneumonia Peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Patofisilogi penyakit ini dapat dijelaskan melalui bagan di bawah ini: Kuman patogen masuk
Terjadi infeksi
Alveolus-alveolus mulai terisi sekrit
Sel-sel leukosit terutama PMN sampai alveolus menjadi penuh dan padat
Lobus yang terserang ikut menjadi padat (tidak bedanya dengan hati)
Lobus tidak dapat lagi menjalankan fungsi pernapasan
Peradangan juga mengenai Pleura visceralis (pembungkus lobus)
Timbul rasa nyeri dada
Menyebabkan sesak nafas (Halim, 2000)
b. Atelektasis Terminologi atelektasis berasal dari bahasa Yunani ateles dan ektasis yang berarti pengembangan yang tidak sempurna. Atelektasis sendiri adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang terserang tidak mengandung udara dan kolaps. Terdapat dua penyebab utama kolaps yaitu atelektasis absorpsi sekunder dari obstruksi bronkus atau bronkiolis,
dan atelektasis
yang disebabkan
oleh penekanan.
(Maddapa, 2009) Secara fisiologi atelektasis dapat dibedakan menjadi dua, atelektasis obstruktif dan atelektasis non obstruktif. Obstruktif atelektasis adalah tipe yang paling sering dijumpai. Merupakan hasil dari reabsorpsi gas dari alveoli ketika hubungan antara alveoli dan trachea terhambat atau tersumbat.
Sedangkan atelektasis non obstruktif disebabkan dari
hilangnya kontak antara pleura parietalis dan pleura visceralis, kompresi, penurunan kadar surfaktan, dan jaringan parenkim yang digantukan oleh penyakit yang menimbulkan luka atau yang bersifat infiltrative. (Maddapa, 2009) c. Penyakit-penyakit pleura Pleura seringkali mengalami patogenesis seperti terjadinya efusi cairan, misalnya hidrotoraks dan pleuritis eksudativa karena infeksi, hemotoraks bila rongga pleura terisi darah, kilotoraks (cairan limfe), piotoraks, atau emphiema thoracis bila berisi nanah, pneumotoraks bila berisi udara. (Rubin, 2009) Dalam keadaan normal, rongga pleura berisi kurang lebih 1mL cairan, yang merepresentasikan keseimbangan antara; 1)
Tekanan hidrostatik dan tekanan osmotic pada pembuluh
pleura visceralis dan pleura parietalis 2)
Dan, aliran pembuluh limfe (Rubin, 2009)
Efusi pleura adalah keadaan dimana terjadi kekacauan atau gangguan pada keseimbangan tersebut. (Rubin, 2009)
Dipsneu adalah gejala utama yang berhubungan dengan efusi pleura, yang juga behubungan dengan distorsi dari diafragma dan dindin thorax selama respirasi. Pada kebanyakan kasus, drainase dari cairan pleura mengurangi gejala dan memperbaiki pertukaran gas yang terhambat. (Rubin, 2009, Halim, 2006) Gejala-gejala lain yang terjadi dapat berupa batuk non produktif yang ringan atau nyeri dada. Sedangkan gejala lainnya menunjukkan etiologi dari efusi pleura yang terjadi. Batuk produktif yang berat dan purulen atay batuk darah menunjukkan kemungkinan pneumonia atau adanya lesi endobronchial. Nyeri dinding dada yang konstan merefleksikan adanya invasi pada dinding dada akibat karsinoma bronkogenik atau mesothelioma maligna. Nyeri dada pleuritis bisa diakibatkan karena emboli paru atau bisa juga disebabkan adanya proses inflamasi pada pleura. Sedankan toksisitas sitemik yang ditunjukkan dengan demam, penurunan berat badan mengarah pada kemungkinan empyema (Halim, 2006) Dari pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan pada efusi pleura yang telah mencapai 300mL, patologis dapat berupa: 1)
Penurunan suara nafas
2)
Perkusi redup
3)
Penurunan fremitius taktil
4)
Egofoni (perubahan suara E menjadi A) (Halim, 2006)
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
I.
Kesimpulan 1.
Respirasi pada manusia meliputi 3 tahap penting yaitu ventilasi
, respirasi eksternal dan respirasi internal. 2.
Spirometri adalah suatu teknik pemeriksaan untuk mengetahui
fungsi paru-paru , dimana pasien diminta sekuat-kuatnya melalui suatu alat yang dihubungkan dengan mesin spirometer yang akan menghitung kekuatan, kecepatan dan volume udara yang dikeluarkan ,sedangkan alatnya bernama spirometer, dan hasil perekamannya bernama spirogram. 3.
Dengan menggunakan spirometer ini, maka kami dapat
mengukur volume tidal, volume cadangan inspirasi, volume cadangan ekspirasi, kapasitas vital, kapasitas total paru, dan volume residu, dan kapasitas vital paksa. 4. Ventilasi patoogis terdiri dari ventilasi obstruktif, ventilasi restriktif, dan ventilasi campuran yaitu gabungan dari ventilasi obstruktif dan ventilasi restriktif. 5. Perhitungan dengan spirometer kepada probandus, didapatkan hasil FEV 1/ FVC 1,38. Hal tersebut menandakan diagnosa kerusakan paru restriktif, namun diagnosis tersebut tidak bisa ditegakkan dikarenakan proses pemeriksaan yang salah II.
Saran
1. Sebaiknya alat-alat laboratorium yang digunakan dalam praktikum lebih dilengkapi agar praktikum dapat berjalan dengan lancar. 2. Probandus yang melakukan praktikum sebaiknya mengikuti instruksi yang diberikan oleh spirometer secara tepat, sehingga interpretasi hasilnya lebih signifikan.
DAFTAR PUSTAKA
American Thoracic Society. Medical section of the American Lung Association. Standards for the diagnosis and care of patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD) and asthma. Am Rev Respir Dis 1987; 136: 22543. Dahlan, Zul. 2006. Pneumonia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Jakarta: FKUI. Danusantoso, Halim. 2000. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Hipokrates Dorland, W. A Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC. Halim, Hadi. 2006. Penyakit-penyakit Pleura. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Jakarta: FKUI. Maddapa,
Tarun.
2009.
Atelectasis.
Available
at:
http://emedicine.medscape.com/article/296468-overview (9 April 2010). Rubins,
Jeffrey.
2009.
Pleural
Effusion.
Available
at:
http://emedicine.medscape.com/article/299959-overview (9 April 2010). Silbernagl, Stefan and Lang, Florian. 2006. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC. Yunus, Faisal. 1999. Penatalaksanaan Bronkhitis Khronik. Bagian Pulmonologi Kedokteran Universitas Indonesia Unit Paru RSUP Persahabatan: Jakarta.
View more...
Comments