Laporan Praktikum Fisiologi Visus
October 31, 2017 | Author: Fransiska Isabella | Category: N/A
Short Description
Laporan Praktikum Fisiologi Visus...
Description
LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI VISUS, ANOMALI REFRAKSI, DAN TES BUTA WARNA
Disusun oleh Isabella Diah Ayu Laraswati 41150053
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA YOGYAKARTA 2016
TUJUAN DAN HASIL
I.1. TUJUAN -
Agar mahasiswa memahami fungsi dan mekanisme kerja indera penglihatan Agar mahasiswa dapat mengukur ketajaman penglihatan Agar mahasiswa memahami mekanisme persepsi penglihatan warna
I.2 HASIL I.2.1 Pemeriksaan Visus dan Refraksi Anomali
Data naracoba pemeriksaan visus dan refraksi anomali
Naracoba
1
Nama NIM Jenis Kelamin Umur
Naracoba
2
Ester Novitasari Nadia Stephanie T. 41150047 41150074 Perempuan Perempuan 19 Tahun 19 Tahun Tabel Hasil pemeriksaan visus dan refraksi anomali
1
2
OD
OS
OD
OS
Miop (-3)
Miop (-3,25)
Emetrop
Emetrop
Visus sebelum koreksi
6 60
4 60
20 20
20 20
Emetrop ditambah (+0,5), visus
-
-
20 25
20 25
-
-
-
-
-
-
-
-
Miop (-3)
Miop (-3,25)
Emetrop
Emetrop
Pengakuan refraksi sebelum pemeriksaan
Miop (Koreksi) Hipermetrop (koreksi) Kesimpulan
I.2.2 Pemeriksaan Buta Warna
Data naracoba pemeriksaan buta warna Nama NIM Jenis Kelamin Umur
No. Gambar 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
: Julia Elfreda C. : 41150022 : Perempuan : 20 Tahun
Tabel Hasil pemeriksaan buta warna
Terlihat oleh naracoba
Terllihat oleh pembanding
12 8 5 29 71 7 45 2 Tidak terbaca 16 Dapat merunut 35 96 Dapat merunut
12 8 5 29 71 7 45 2 Tidak terbaca 16 Dapat merunut 35 96 Dapat merunut
PEMBAHASAN II.1 Pemeriksaan Visus dan Refraksi Anomali Pada pemeriksaan visus dan anomali refraksi, dilakukan pendataan terlebih dahulu mengenai kondisi penglihatan probandus. Tujuannya ialah mempermudah pemeriksaan dan mengetahui ada tidaknya koreksi dari kondisi penglihatan probandus sebelumnya. Selanjutnya pemeriksaan dilakukan secara bergantian antara ocular dextra dan ocular sinistra, hal tersebut dikarenakan setiap mata belum tentu memiliki kemampuan refraksi yang sama.
Pemeriksaan dilakukan pada probandus yang diketahui menderita myopia terlebih dahulu. Myopia merupakan salah satu kelainan refraksi, dimana bayangan benda yang terletak jauh difokuskan ke depan retina oleh mata yang tidak berakomodasi. Dari hasil pemeriksaan probandus hanya dapat mengidentifikasi melalui finger counting test. Hal tersebut terjadi ketika otot cilliaris relaksasi, maka ligamentum suspensorium lentis menjadi lebih teregang dan menjadikan lensa kurang mencembung sehingga menjadikan bayangan objek jatuh di depan retina. Keadaan ini biasanya akibat bola mata terlalu panjang, tetapi juga dapat dikarenakan daya bias sistem lensa yang terlalu kuat. Pada mata miopi tidak memiliki mekanisme mengurangi kekuatan lensanya sampai lebih kecil dari kekuatannya ketika otot siliaris dalam keadaan relaksasi sempurna. Kecuali ketika objek terus didekatkan ke arah mata, maka mata miopi dapat melakukan akomodasi sehingga bayangan yang terbentuk lebih terfokus dengan jelas. Koreksi miopi dapat dilakukan dengan lensa konkaf sehingga bayangan dapat jatuh tepat di retina. Berbeda dengan probandus yang memiliki mata emetrop, yang memiliki pemfokusan bayangan tepat pada retina. Pemfokusan bayangan tepat pada retina di mulai saat cahaya memasuki mata, dan berusaha difokuskan oleh beberapa media refraksi yaitu kornea, aqueous humour, vitreous humour, dan lensa. Dalam hal ini kornea berperan dalam merefrasikan cahaya, dan lensa berperan dalam penajaman bayangan yang ditangkap oleh mata ketika terfokus pada suatu objek. Setelah direfraksikan, cahaya melalui pupil mencapai retina, dan di retina cahaya diubah menjadi potensial aksi yang diteruskan melalui nervus opticus, chiasma opticus, tractus opticus, lateral geniculate dari thalamus, superior colliculi, ke korteks cerebri. Mata yang normal dapat melihat objek yang berada pada jarak jauh secara jelas, dengan otot siliaris yang relaksasi. Namun untuk dapat melihat objek dekat, otot siliaris harus berkontraksi agar mata dapat berakomodasi dengan baik sehingga objek dapat terlihat jelas. Ketika dikoreksi dengan lensa sfreris (+) 0,5 probandus emetrop tidak menunjukkan kondisi penurunan visus yang mengindikasikan hipermetropi fakultatif. Hal tersebut dikarenakan daya bias lensa sferis positif menyebabkan bayangan menjadi jatuh di belakang retina. Sehingga terjadi penurunan ketajaman penglihatan. Kondisi mata probandus yang berakomodasi juga dapat mempengaruhi hasil pembacaan optotip snellen sehingga hasilnya menjadi hipermetrop fakultatif. Ketika mata berakomodasi maka mata akan berusaha menfokuskan bayangan untuk jatuh diretina, maka mata emetrop dapat membaca Optotip Snellen yang seharusnya tidak dapat terbaca ketika dipasang lensa sferis positif 0,5. Ketajaman penglihatan maksimum berada di fovea, sedangkan beberapa
faktor seperti penerangan umum, kontras, berbagai uji warna, waktu papar, dan kelainan refraksi mata dapat merubah tajam penglihatan. II.2 Pemeriksaan Buta Warna Pada pemeriksaan buta warna, dipergunakan kartu ishihara untuk menguji daya pisah warna mata individu. Dengan uji ini dapat diketahui adanya defek penglihatan warna, didasarkan pada menentukan angka atau pola yang ada pada kartu dengan berbagai ragam warna. Hal tersebut dikarenakan buku Ishira telah di design dan di atur sebagai pedoman penilaian. Dari hasil pemeriksaan, probandus dan pembanding memiliki hasil yang normal. Hasil yang normal dapat dikarenakan tiap individu memiliki persamaan persepsi mengenai warna. Kesepakatan mengenai warna apa yang sedang dilihat, dapat terjadi karena probandus memiliki jenis sel kerucut yang sama serta menggunakan jalur-jalur saraf yang sama untuk membandingkan keluaran sel tersebut. Proses penglihatan warna sangat tergantung pada sel kerucut dan stimulasi panjang gelombang yang merangsang sel kerucut tersebut. Dalam artian, sel kerucut berwarna merah milik probandus yang tidak buta warna, distimulasi oleh panjang gelombang yang berwarna merah juga. Begitu pula pada panjang gelombang yang terlihat sebagai warna biru, tidak akan merangsang sel kerucut merah, namun tetap akan merangsang sel kerucut berwana hijau. Selanjutnya tiaptiap sel kerucut mengalami eksitsi dan menstransmisikannya menuju otak dalam jalur paralel tertentu. Pada korteks peglihatan primer pada lobus oksipital akan memproses masukan tersebut dan menghasilkan suatu persepsi dengan menyertakan pertimbangan objek dalam perbandingan dengan latar belakangnya. Pada individu yang tidak memiliki sel kerucut jenis tertentu disebut dengan buta warna, sedangkan yang lainnya hanya memiliki kelemahan pada salah satu sel kerucutnya. Akhiran –anomali menujukkan kondisi kelemahan penglihatan warna, sedangkan –anopia menunjukkan buta warna. Secara umum buta warna terbagi menjadi dua yaitu buta warna total dan buta warna parsial. Buta warna total disebut juga monokramasi. Penyakit ini disebabkan karena tidak berfungsinya sel kerucut pada sistem penglihatan. Akibatnya penderita tidak dapat mengenali warna, sehingga penglihatannya terbatas pada warna monokrom (hitam putih) saja. Salah satu bentuk dari buta warna parsial ada dikromasi dan trikromasi. Dikromasi disebabkan karena ketiadaan salah satu dari ketiga sel kerucut sehingga kepekaan terhadap salah satu panjang gelombang tersebut hilang secara total. Sedangkan trikromasi merupakan ketidaksempurnaan dari sel-sel
kerucut yang ada, sehingga terjadi kelemahan dalam mengenali warna. Kelemahan mengenali warna merah disebut sebagi protanomali, kelemahan mengenali warna hijau disebut deutronomali, sedangkan kelemahan mengenali warna biru disebut sebagai tritanomali.
KESIMPULAN 1. Ketajaman Indera Penglihatan dapat mengalami anomali refraksi seperti miopi, hipermetropi, dan astigmatisme. 2. Pada probandus miopi, dapat dikoreksi dengan lensa konkaf 3. Pada probandus emetrop, daoat di koreksi dengan lensa koveks untuk mengetahui ada tidaknya hipermetropi fakultatif. 4. Pada probandus dan pembanding tidak mengalami kelainan buta warna.
DAFTAR PUSTAKA
Eva, Paul Riordan. 2010. Vaughan dan Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta : EGC. Ganong, W.F. 2001. Fisiologi Kedokteran Edisi 20. Jakarta : EGC. Guyton, A.C. 2014. Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 12. Jakarta : EGC Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia : dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC.
View more...
Comments