Laporan Praktikum Fisiologi Kel.6

November 8, 2017 | Author: gestayun | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

laporan praktikum...

Description

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI FISIOLOGI SISTEM ENDOKRIN PRAKTIKUM METABOLISME DAN HORMON TIROID

KELOMPOK VI: GESTA QURROTU A

1308012051

SECUNDINA S. CANDIDA

1308012024

DAVID S. KOAMESAH

1308012037

MUTIARA HANDAYANI

1308012031

ZUHAIFA INAYAH

1308012049

INDRIANI L. PURWANTI

1308011005

ELISABETH S. INTAN I.

1308012057

YULIANA D. N. T LAGUT

1308012048

YOSEPH PASCAL N.

1308012039

AGNES KONES

1308012030

YOANITA K. KEDANG

1308012023

ALEKSANDER J. KERAF

1308012026

YEMIMA ELISABET Z. A.

1308012019

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG 2013-2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Seperti yang diketahui bahwa hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basal keseluruhan tubuh atau laju langsam (idling speed) tubuh. Hormon ini adalah regulator terpenting laju konsumsi O 2 dan pengeluaran energi tubuh pada keadaan istirahat, efek metabolik hormon tiroid berkaitan erat dengan efek kalorigenik (penghasil panas). Peningkatan aktivitas metabolik menyebabkan peningkatan produksi panas, (Sherwood, 2011). Hormon tiroid diatur oleh sumbu hipotalamus, hipofisis, dan tiroid. Hipotalamus mensekresikan Thyrotropin-releasing hormon (TRH) yang mengaktifkan sekresi Thyroid-stimulating hormon (TSH) di hipofisis yang berfungsi untuk menstimulasi sekresi hormon tiroid. Untuk mengetahui kerja hormon tiroid dan hormon-hormon yang menstimulasi sekresi hormon tiroid serta penghambat stimulasi hormon tiroid, maka dilakukan percobaab mengenai “Metabolisme dan Hormon Tiroid”.

1.2. 

Tujuan Untuk mengetahui Basal Metabolic Rate (BMR) pada tikus normal, tikus yang sudah diangkat kelenjar tiroidnya, dan tikus yang telah



diangkat hipofisisnya. Untuk mengetahui efek pemberian tiroksin pada tikus normal, tikus yang sudah diangkat kelenjar tiroidnya, dan tikus yang telah diangkat



hipofisisnya. Untuk mengetahui efek pemberian Thyroid-stimulating hormon (TSH) pada tikus normal, tikus yang sudah diangkat kelenjar tiroidnya, dan



tikus yang telah diangkat hipofisisnya. Untuk mengetahui efek pemberian Prophylthiouracil (PTU) pada tikus normal, tikus yang sudah diangkat kelenjar tiroidnya, dan tikus yang telah diangkat hipofisisnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada manusia dan mamalia lain, kelenjar tiroid (thyroid gland) terdiri atas dua lobus yang terletak dipermukaan ventral trakea. Kelenjar tiroid menghasilkan dua hormon yang sangat mirip yang diturunkan dari asam amino tirosin: triiodotironin (T3) yang mengandung tiga atom iodin, dan tetraiodotironin (T4), yang mengandung empat atom iodin. Pada mamalia T3 bersifat lebih aktif di anatara kedua hormon tersebut, meskipun keduanya mempunyai pengaruh yang sama pada sel-sel targetnya, (Campbell, et.al., 2004). Metabolisme hormon-hormon tiroid terutama terjadi dihati, meskipun metabolisme lokal juga terjadi didalam jaringan-jaringan target tertentu, seperti pada otak. Konsentrasi hormon-hormon tiroid dalam serum secara tepat diatur oleh hormon hipofisis, yaitu tirotropin, dalam suatu umpan balik negatif klasik. Kerja utama hormon tiroid diperantarai melalui ikatan pada reseptor-reseptor hormon inti dan memodulasi transkripsi gen-gen tertentu, (Goodman dan Gilman, 2003). Hampir semua jaringan tubuh terpengaruh langsung atau tak langsung oleh hormon tiroid. Beberapa efek di antaranya adalah hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basal keseluruhan tubuh atau laju langsam (idling speed) tubuh, karena hormon ini adalah regulator terpenting laju konsumsi O2 dan pengeluaran energi tubuh pada keadaan istirahat, efek metabolik hormon tiroid berkaitan erat dengan efek kalorigenik (penghasil panas); hormon tiroid mempengaruhi pembentukan dan penguraian karbohidrat, protein dan lemak, hormon dalam jumlah sedikit atau banyak dapat menimbulkan efek yang sebaliknya; hormon tiroid meningkatkan responsivitas sel sasaran terhadap katekolamin, pembawa pesan kimiawi yang digunakan oleh sistem saraf simpatis dan medulla adrenal dengan menyebabkan proliferasi reseptor sel sasaran spesisifik katekolamin; melalui efek meningkatkan kecepatan jantung terhadap katekolamin dalam darah maka hormon tiroid meningkatkan kecepatan jantung dan kekuatan kontraksi sehingga kecepatan jantung meningkat, selain itu sebagai respon beban panas

yang dihasilkan oleh efek kalorigenik hormon tiroid, maka terjadi vasodilatasi perifer untuk membawa kelebihan panas ke permukaan tubuh untuk dikeluarkan ke lingkungan; hormon tiroid penting bagi pertumbuhan normal karena merangsang hormon pertumbuhan (GH) dan meningkatkan produksi IGF-I oleh hati serta mendorong efek GH dan IGF-I pada sintesis protein stuktural baru dan pada pertumbuhan tulang, (Sherwood, 2011). Sekresi hormon tiroid dikontrol oleh hipotalamus dan pituari (hipofise). Thyroid-stimulating hormon (TSH) adalah hormon tropik tiroid dari hipofisis anterior, adalah regulator fisiologik terpenting sekresi hormon tiroid. Hampir setiap tahap dalam sintesis dan pelepasan hormon tiroid dirangsang oleh TSH. Selain meningkatkan sekresi hormon tiroid, TSH juga mempertahankan integritas stuktur kelenjar tiroid. Tanpa adanya TSH, tiroid mengalami atrofi (ukurannya berkurang) dan mengeluarkan hormon tiroid dalam jumlah sangat rendah. Sebaliknya, kelenjar mengalami hipertrofi (peningkatan ukuran setiap sel folikel) sebagai respon dari TSH yang berlebihan. Thyrotropin-releasing hormon (TRH) hipotalamus melalui efek tropiknya, “menyalakan” sekresi TSH oleh hipofisis anterior, sementara hormon tiroid, melalui mekanisme umpan balik negatif “memadamkan” sekresi TSH dengan menghambat hipofisis anterior. Mekanisme antara tiroid dan TSH cenderung mempertahankan kestabilan sekresi hormon tiroid, (Sherwood, 2011). Kelainan fungsi hormon tiroid adalah salah satu gangguan endokrinyang paling sering ditemukan, kelainan ini tergolongan kedalam dua kategori utama yaitu hipotiroidisme dan hipertiroidisme, yang keduanya masing-masing mencerminkan defisiensi dan kelebihan sekresi hormon tiroid. Hipotiroidisme dapat terjadi karena kegagalan primer kelenjar tiroid itu sendiri; defisiensi TRH, TSH, atau keduanya; kurangnya asupan iodium dari makanan. Hipotiroidisme umumnya menyebabkan penurunan laju metabolisme basal (BMR), penurunan toleransi terhadap dingin (kurangnya efek kalorigenik), memiliki kecenderungan mengalami pertambahan berat badan berlebihan (pembakaran bahan bakar berlangsung lambat), mudah lelah (produksi energi menurun), memiliki nadi yang lambat atau lemah (akibat berkurangnya kecepatan dan kekuatan kontraksi

jantung dan berkurangnya curah jantung), memperlihatkan perlambatan refleks dan responsivitas mental (karena efek pada sistem saraf) ditandai dengan berkurangnya kesigapan, berbicara perlahan, dan penurunan daya ingat. Pada orang yang hipotiroidisme sejak lahir timbul suatu keadaan yang dikenal sebagai dwarfisme. Hipertiroidisme sering disebabkan oleh penyakit Graves. Ini adalah penyakit autoimun di mana tubuh secara salah menghasilkan long-actingthyroid stimulator (LATS), suatu antibodi yang sasarannya adalah reseptor TSH di sel tiroid. LATS merangsang sekresi dan pertumbuhan tiroid mirip dengan yang dilakukah oleh TSH. Namun, tidak seperti TSH, LATS tidak dipengaruhi oleh inhibisi umpan balik hormon tiroid sehingga sekresi dan pertumbuhan tiroid tanpa kendali. Hipertiroidisme umumnya menyebabkan peningkatan laju metabolik basal (BMR), peningkatan produksi panas sehingga menyebabkan berkeringat dan intoleransi panas, meskipun nafsu makan dan asupan makanan meningkat yang terjadi sebagai respon meningkatnya kebutuhan metabolik namun berat tubuh biasanya turun karena tubuh menggunakan bahan bakar jauh lebih cepat, tubuh lemas karena berkurangnya protein otot, keceptan denyut dan kekuatan kontraksi dapat meningkat, efek pada SSP ditandai oleh peningkatan berlebihan kewaspadaan, mental hingga menyebabkan mudah tersinggung, cemas, dan sangat emosional, (Sherwood, 2011). Gondok (goiter) adalah pembesaran kelenjar tiroid. Karena tiroid terletak diatas trakea maka gondok mudah diraba dan biasanya terlihat. Gondok dapat terjadi apabila TSH atau LATS merangsang secara berlebihan kelenjar tiroid. Gondok dapat menyertai hipotiroidisme dan hipertiroidisme, tetapi keadaan ini tidak harus ada pada kedua penyakit tersebut. Hipotiroidisme akibat kegagalan hipotalamus atau hipofisis anterior tidak akan disertai gondok , karena kelenjar tiroid tidak dirangsang secara adekuat, apalagi merangsang secara berlebihan. Hipotiroidisme yang disebabkan oleh kegagalan kelenjar tiroid atau kekurangan iodium, gondok terjadi karena kadar hormon tiroid dalam darah sedemikian rendah sehingga tidak terdapat inhibisi umpan balik negatif dihipofisis anterior, dan karenanya TSH meningkat. TSH bekerja pada tiroid untuk meningkatkan ukuran dan jumlah sel folikel dan untuk meningkatkan sekresinya. Jika sel tiroid

tidak dapat mengeluarkan hormon karena kurangnya enzim esensial atau iodium, maka seberapapun jumlah TSH tidak akan mampu menginduksi sel-sel ini untuk mengeluarkan T3 dan T4. Namun, TSH tetap dapat menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia tiroid, dengan konsekuensi terjadinya pembesaran paradoks kelenjar (yaitu, gondok) meskipun produksi kelenjar tetap berkurang, (Sherwood, 2011). Sekresi TSH yang berlebihan akibat defek hipotalamus atau hipofisis anterior akan jelas disertai oleh gondok dan sekresi berlebihan T3 dan T4 karena stimulasi pertumbuhan tiroid yang berlebihan. Karena kelenjar tiroid dalam situasi ini juga mampu berespons terhadap kelebihan TSH disertai peningkatan sekresi hormon maka pada gondok ini terjadi hipertiroidisme. Pada penyakit Graves, terjadi gondok dengan hipersekresi LATS mendorong pertumbuhan tiroid sekaligus meningkatkan sekresi hormon tiroid. Karena tingginya kadar T 3 dan T4 menghambat hipofisis anterior, maka TSH itu sendiri rendah. Pada semua kasus di mana terjadi gondok, kadar TSH meninggi dan berperan langsung menyebabkan pertumbuhan berlebihan tiroid. Hipertiroidisme yang terjadi karena aktifitas berlebihn tiroid tanpa overstimulasi, misalnya karena tumor tiroid yang tak terkendali, tidak disertai gondok. Sekresi spontan T3 dan T4 dalam jumlah berlebihan akan menekan TSH sehingga tidak ada sinyal stimulatorik yang mendorong pertumbuhan tiroid. Propilurasil merupakan obat antitiroid yang dianggap sebagai prototipe. Propilurasil merupakan turunan dari Tiourea, tiourea dan turunan senyawa alifatiknya yang lebih sederhana dan senyawa heterosikliknya mengandung gugus tioureilen merupakan mayoritas senyawa antitiroid yang dikenal efektif pada manusia. Mekanisme kerja obat tiourilen yaitu menghambat pembentukan hormon tiroid dengan mengganggu bergabungnya iodin ke dalam residu tirosil pada tiroglobulin

(mengganggu

terbentuknya

iodotirosil

yang

menghasilkan

monoiodotirosil (MIT) dan diiodotirosin (DIT) di dalam tiroglobulin); obat-obat tersebut juga menghambat penggandengan residu-residu iodotirosil ini untuk membentuk iodotironin (menghambat penggandengan monoiodotirosil (MIT) atau diiodotirosil (DIT) menjadi triodotironin (T3) dan tetraiodotironin (T4). Hal ini menunjukkan bahwa obat-obat tersebut menghambat oksidasi ion iodida dan

gugus iodotirosil. Obat-obat tersebut menghambat peroksidase, dengan demikian mencegah terjadinya oksidasi iodida dan gugus iodotirosil menjadi bentuk aktif yang diperlukan. Obat-obat antitiroid berikatan dengan peroksidase dan menginaktifasi enzim itu hanya bila hem enzim tersebut dalam keadaan teroksidasi. Setelah satu periode waktu penghambatan sintesis hormon menyebabkan pengosongan simpanan tiroglobulin teriodinisasi karena protein dihidrolisis dan hormon dilepaskan ke dalam sirkulasi. Hanya bila hormon yag telah terbentuk habis dan konsentrasi hormon tiroid dalam sirkulasi mulai menurun, efek-efek klinis menjadi nyata, (Goodman dan Gilman, 2003). Propiltiourasil selain merintangi sintesis hormon, juga menghambat deiodinisasi tiroksin menjadi triioditironin di perifer. Pada keadaan akut, penurunan kecepatan konversi tiroksin dalam sirkulasi menjadi triioditonin akan bermanfaat. Pengukuran kecepatan organifikasi iodin radioaktif oleh tiroid menunjukkan bahwa absorpsi propiltiourasil dalam jumlah yang efektif dicapai dalam waktu 20-30 menit setelah dosis oral. Pengukuran tersebut juga menunjukkan bahwa durasi kerja senyawa itu secara klinis berlangsung singkat. Waktu paruh propilurasil dalam plasma sekitar 75 menit dan terkonsentrasi di dalam tiroid, (Goodman dan Gilman, 2003).

BAB III METODOLOGI PERCOBAAN Praktikum kali ini adalah menentukan pengaruh hormon dan terapi pemgganti hormon. Percobaan terapi hormon menggunakan parameter laju metabolisme. Oleh karena itu hormon yang berhubungan dengan percobaan ini adalah hormon tiroid dan TSH, hewan yang diujikan ada tiga kelompok, kelompok kontrol, kelompok dengan tiroidektomi, dan kelompok hipofisektomi. Kelompok kontrol adalah kelompok hewan percobaan yang kondisinya normal, kelompok ini berfungsi untuk mengetahui laju metabolik tikus normal. Kelompok tiroidektomi adalah kelompok tikus yang telah kehilangan kelenjar tiroidnya sehingga di dalam tubuhnya tidak dihasilkan hormon tiroksin, sedangkan kelompok hipofisektomi adalah kelompok tikus yang telah kehilangan kelenjar hipofisisnya sehingga tidak menghasilkan hormon TSH. Jumlah penggunaan oksigen tiap jam dianalogikan sebagai laju metabolisme. Penggunaan oksigen ini mencerminkan laju metabolisme karena proses metabolisme hewan percobaan mutlak memerlukan oksigen sehingga laju metabolisme dapat dianaolgikan dengan penggunaan oksigen per jam. Percobaan ini menggunakan metode dry lab dengan menggunakan software PhysioEx dengan hewan percobaan tikus. Sebelum melakukan percobaan terapi hormon, terlebih dahulu dibuat standar laju metabolisme. Standar laju ini dibuat untuk mengetahui laju metabolisme ketiga kelompok tikus pada kondisi normal yaitu dengan mengukur penggunaan oksigen selama satu menit lalu dengan perhitungan ditentukan laju metabolisme berupa penggunaan oksigen perjam per kilogram berat badan tikus. Tikus ditempatkan pada suatu chamber tertutup yang terhubung pada alat pengukur tekanan selama satu menit, kemudian chamber tersebut diisi kembali dengan udara dari luar dengan volume yang diketahui hingga tekanan udara kembali seperti semula. Volume tersebut yang selanjutnya dimasukkan ke dalam perhitungan untuk menentukan laju metabolisme. Laju metabolisme pada kategori standar laju selanjutnya digunakan sebagai pembanding untuk terapi hormon yang diterapkan pada masing-masing kelompok hewan percobaan. Perbedaan nilai laju

metabolisme yang signifikan baik itu meningkat atau menurun menunjukkan adanya pengaruh dari perlakuan terapi hormon dan pengganti hormon pada hewan percobaan. Percobaan I : Pengukuran Standar Laju Metabolisme (BMR) Tikus normal di klik dan di drag ke dalam chamber dan dilepaskan tombol mouse. Tombol weight di klik, maka akan terlihat hasil pengukuran berat tikus. Katup pada sisi kiri tabung (clamp) dibuka agar udara dapat masuk, lalu klik start pada timer yang menunjukkan 1.00 Dilihat perbedaan antara tinggi kiri dan kanan tabung U dan perkirakan volume oksigen yang perlu disuntikkan. klik Indicator pada T-connector “chamber and manometer connected” untuk membukanya maka akan terbaca “manometer and syringe connected”. Katup (clamp) di klik untuk menutupnya, sehingga udara dari luar tidak masuk, dipastikan hanya oksigen dari system tertutup ini yang dihirup oleh tikus. Tombol (+) dibawah O2 di klik, Kemudian tombol inject di klik sampai volume pada kedua sisi sama (akan ada kata “level”). Bila terlalu tinggi, dapat diulang dengan menekan tombol (-). Di klik record data. Hitung konsumsi oksigen per jam dari tikus dengan rumus konsumsi ml O 2 60 menit × 1 menit jam

dengan rumus

, hitung laju metabolisme (BMR) dari berat tubuh

ml O2/ jam berat(kg) , klik palpate thyroid untuk mengidentifikasi

adanya goiter. Tikus dari chamber di klik dan di drag kembali ke kandangnya. Klik restore. Langkah di atas diulangi untuk tikus tiroidektomi (Tx) dan hipofisektomi (Hypox). Percobaan II : Pengukuran Pengaruh Tiroksin pada Laju Metabolik Suntikan dengan Thyroxine, di klik dan di drag lalu dilepaskan tombol mouse untuk menginjeksi pada bagian belakang/ pinggang tikus normal. Drag tikus normal yang sudah di injeksi ke dalam chamber. Diulangi langkah awal sampai perhitungan laju metabolic pada percobaan I, Tikus di klik dan di drag kembali ke dalam kandangnya, dan di klik clean untuk menghilangkan semua

efek dari tiroksin. . Langkah di atas diulangi untuk tikus tiroidektomi (Tx) dan hipofisektomi (Hypox).

Percobaan III : Pengukuran Pengaruh Thyroid-stimulating hormon (TSH) pada Laju Metabolik Suntikan dengan Thyroid-stimulating hormon (TSH), di klik dan di drag lalu dilepaskan tombol mouse untuk menginjeksi pada bagian belakang/ pinggang tikus normal. Drag tikus normal yang sudah di injeksi ke dalam chamber. Diulangi langkah awal sampai perhitungan laju metabolic pada percobaan I, Tikus di klik dan di drag kembali ke dalam kandangnya, dan di klik clean untuk menghilangkan semua efek dari tiroksin. . Langkah di atas diulangi untuk tikus tiroidektomi (Tx) dan hipofisektomi (Hypox). Percobaan IV : Pengukuran Pengaruh Prophylthiouracil (PTU) pada Laju Metabolik Suntikan dengan Prophylthiouracil (PTU) di klik dan di drag lalu dilepaskan tombol mouse untuk menginjeksi pada bagian belakang/ pinggang tikus normal. Drag tikus normal yang sudah di injeksi ke dalam chamber. Diulangi langkah awal sampai perhitungan laju metabolic pada percobaan I, Tikus di klik dan di drag kembali ke dalam kandangnya, dan di klik clean untuk menghilangkan semua efek dari tiroksin. . Langkah di atas diulangi untuk tikus tiroidektomi (Tx) dan hipofisektomi (Hypox).

BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Dari percobaan Metabolisme dan hormon tiroid menggunakan tikus yang dijadikan standar dan diberi terapi hormon yang telah dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut: Rat

Weight (g)

ml O2/min

ml O2/hr

BMR

Palpation

Injected

Normal

251

7.2

432

(ml O2/kg/hr) 1721

No mass

No mass

Tx

244

6.3

378

1549

No mass

No mass

Hypox

245

6.3

378

1542.86

No mass

none

Normal

251

8.4

504

2008

No mass

Thyroxine

Tx

244

7.7

462

1893

No mass

Thyroxine

Hypox

245

7.8

468

1910

No mass

Thyroxine

Normal

251

8

480

1912

Mass

TSH

Tx

244

6.3

378

1549

No mass

TSH

Hypox

245

7.8

468

1910

Mass

TSH

Normal

251

6.4

384

1530

Mass

PTU

Tx

244

6.4

384

1574

No mass

PTU

Hypox

245

6.2

372

1518

No mass

PTU

Hasil Percobaan I : Pengukuran Standar Laju Metabolisme (BMR) Rat

Weight (g)

ml O2/min

ml O2/hr

BMR

Palpation

Injected

No mass

No mass

Normal

251

7.2

432

(ml O2/kg/hr) 1721

Tx

244

6.3

378

1549

No mass

No mass

Hypox

245

6.3

378

1542.86

No mass

none

Dari pengamatan terlihat bahwa tikus normal (N) memiliki laju metabolik yang jauh berbeda dibandingkan tikus tiroidektomi (T) dan tikus hipofisektomi (H). Tikus N memiliki laju metabolik yang paling tinggi sedangkan tikus T memiliki laju yang relatif sama dengan tikus H. Hal ini karena tikus T sudah tidak memiliki kelenjar tiroid yaitu kelenjar yang menghasilkan hormon tiroksin, hormon

yang

berperan

dalam

proses

metabolisme,

sehingga

proses

metabolismenya menjadi lambat. Sedangkan tikus H tidak lagi memiliki kelenjar hipofisis yang merupakan kelenjar yang berfungsi melepaskan TSH sehingga tidak ada tiroksin yang dilepaskan. Oleh karena itu, laju metabolik tikus T dan tikus H rendah. Laju metabolik tikus N tinggi karena pada tikus tersebut masih dihasilkan hormon tiroksin sebab tikus tersebut masih memiliki kelenjar tiroid dan kelenjar hipofisis sehingga regulasi hormon berjalan normal. Pada pengamatan tikus (N) mengalami keseimbagan hormon tiroid (euthyroid/normal) karena BMR berkisar antara 1650-1750, yaitu 1721. Sedangkan tikus (T) dan tikus (H) mengalami hipothyroid di mana BMR kurang dari 1600, yaitu masing-masing 1549 dan 1542,86. Pada ketiga tikus tidak terdapat goiter karena pada tikus (N) dalam keadaan normal sehingga tidak mengalami goiter, pada tikus (T) karna kelenjar tiroidnya telah diangkat maka tidak memungkinkan terjadi goiter, pada tikus (H) hipofisis telah diangkat sehingga tidak ada stimulasi TSH yang berlebihan yang dapat menyebabkan goiter. Hasil Percobaan II : Pengukuran Pengaruh Tiroksin pada Laju Metabolik Rat

Weight (g)

ml O2/min

ml O2/hr

BMR

Palpation

Injected

Normal

251

8.4

504

(ml O2/kg/hr) 2008

No mass

Thyroxine

Tx

244

7.7

462

1893

No mass

Thyroxine

Hypox

245

7.8

468

1910

No mass

Thyroxine

Pada tikus (N) mengalami (Hiperthyroid), tidak terdapat goiter karena pada tikus (N) yang masih memiliki tiroid dan hipofisis maka kelebihan tiroid akan merangsang umpan balik negatif ke hipofisis anterior yang akan menghambat sekresi TSH agar terjadi keseimbangan. Pada tikus (T) terjadi hiperthyroid, tidak terdapat goiter karena injeksi tiroksin menyebabkan peningkatan tiroksin namun kelebihan tersebut merangsang umpan balik di hipofisis. Pada tikus (H) mengalami hiperthyroid, tikus (H) pada tubuhnya tidak terdapat/ hanya terdapat sedikit produksi tiroksin sehingga saat diinjeksikan tiroksin BMR akan meningkat, tidak ada goiter karena kelebihan tiroid akan merangsang umpan balik negatif ke hipofisis anterior yang akan menghambat sekresi TSH.

Hasil Percobaan III : Pengukuran Pengaruh Thyroid-stimulating hormon (TSH) pada Laju Metabolik Rat

Weight (g)

ml O2/min

ml O2/hr

BMR

Palpation

Injected

Normal

251

8

480

(ml O2/kg/hr) 1912

Mass

TSH

Tx

244

6.3

378

1549

No mass

TSH

Hypox

245

7.8

468

1910

Mass

TSH

Pada tikus (N) yang diinjeksikan TSH terjadi hiperthyroid, terdapat goiter saat dipalpasi karena pada tubuh tikus (N) sudah terdapat TSH, saat diinjeksikan TSH maka akan kelebihan sehingga terjadi goiter “Sekresi TSH yang berlebihan akan jelas disertai oleh gondok dan sekresi berlebihan T 3 dan T4 karena stimulasi pertumbuhan tiroid yang berlebihan. Karena kelenjar tiroid dalam situasi ini juga mampu berespons terhadap kelebihan TSH disertai peningkatan sekresi hormon maka pada gondok ini terjadi hipertiroidisme, (Sherwood, 2011)”. Pada tikus (T) terjadi hipothyroid karena TSH tidak menstimulasi pembentukan tiroksin karena tiroid telah diangkat. Sehingga TSH tidak dapat menemukan reseptornya. Pada tikus (H) terjadi hiperthyroid, pada tubuhnya tidak terdapat produksi TSH sehingga saat diinjeksikan TSH, BMR akan meningkat, ada goiter karena di tubuh tikus (H) masih terdapat kelenjar tiroid sehingga ketika diinjeksikan TSH maka terjadi kelebihan TSH sehingga memaksa tiroid untuk menghasilkan tiroksin akibatnya terjadi hipertrofi kelenjar tiroid. “TSH bekerja pada tiroid untuk meningkatkan ukuran dan jumlah sel folikel dan untuk meningkatkan sekresinya. Jika sel tiroid tidak dapat mengeluarkan hormon karena kurangnya enzim esensial atau iodium, maka seberapapun jumlah TSH tidak akan mampu menginduksi sel-sel ini untuk mengeluarkan T 3 dan T4. Namun, TSH tetap dapat menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia tiroid, dengan konsekuensi terjadinya pembesaran paradoks kelenjar (yaitu, gondok) meskipun produksi kelenjar tetap berkurang, (Sherwood, 2011)”.

Rat

Weight (g)

ml O2/min

ml O2/hr

BMR

Palpation

Normal

251

6.4

384

(ml O2/kg/hr) 1530

Mass

Tx

244

6.4

384

1574

No mass

Hypox

245

6.2

372

1518

No mass

Percobaan IV : Pengukuran Pengaruh Prophylthiouracil (PTU) pada Laju Metabolik Pada tikus (N) mengalami hipothyroid setelah pemberian PTU karena PTU menghambat konversi T4 menjadi T3 ” Propiltiourasil selain merintangi sintesis hormon, juga menghambat deiodinisasi tiroksin menjadi triioditironin di perifer, (Goodman dan Gilman, 2003)”. Sehingga tubuh akan kekurangan tiroksin ”Gagalnyatiroid memproduksi hormon tiroid yang cukup menyebabkan hipotiroidisme, (Goodman dan Gilman, 2003)”. Pada tikus (N) terdapat gondok karena ”gondok terjadi karena kadar hormon tiroid dalam darah sedemikian rendah sehingga tidak terdapat inhibisi umpan balik negatif dihipofisis anterior, dan karenanya TSH meningkat. TSH bekerja pada tiroid untuk meningkatkan ukuran dan jumlah sel folikel dan untuk meningkatkan sekresinya. Jika sel tiroid tidak dapat mengeluarkan hormon karena kurangnya enzim esensial atau iodium, maka seberapapun jumlah TSH tidak akan mampu menginduksi sel-sel ini untuk mengeluarkan T3 dan T4. Namun, TSH tetap dapat menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia tiroid, dengan konsekuensi terjadinya pembesaran paradoks kelenjar (yaitu, gondok) meskipun produksi kelenjar tetap berkurang, (Sherwood, 2011)”. Pada tikus (T) terjadi hipothyroid, pada tikus (T) sudah tidak ada lagi kelenjar tiroid sehingga tidak ada pembentukan hormon tiroid sehingga PTU tidak menghambat kerja apa pun, sehingga tidak juga ditemukan goiter. Pada tikus (H) terjadi hipothyroid pada tikus (H) hormon tiroid diproduksi dalam jumlah kecil, saat ada PTU yang menghambat maka tidak ada stimulasi pembentukan hormon tiroid karna TSH tidak disekresikan oleh hipofisis karna hipofisis sudah diangkat, sehingga TSH tidak bisa memaksa kerja kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid.

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan  Pada penghitungan standar BMR dengan tidak memberikan terapi hormon, tikus (N) mempunyai BMR yang normal/euthyroid, pada tikus (T) dan 

tikus (H) mempunyai BMR yang rendah. Pada pemberian thyroxine ketiga tikus mengalami hiperthyroid namun



tidak terdapat goiter pada ketiganya. Pada pemberian TSH tikus (N) dan tikus (H) mengalami hiperthyroid dan terdapat goiter. Sedangkan tikus (T) mengalami hipothyroid dan tidak



terdapat goiter. Pada pemberian PTU ketiga tikus mengalami hipothyroid, pada tikus (N) terdapat goiter, sedangkan pada tikus (T) dan tikus (H) tidak terdapat goiter.

5.2. Saran Pada praktikum selanjutnya diharapkan dilakukan percobaan dengan terapi Metimazol sehingga juga diketahui perbedaan penggunaan antitiroid prophyluracil dan Metimazol.

DAFTAR PUSTAKA Champbell, Reece dan Mitchel. 2004. Biologi Edisi Kelima Jilid 3. Erlangga. Jakarta. Goodman dan Gilman. 2003. Dasar Farmakologi Terapi Volume 2. EGC. Jakarta. Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia Edisi 6. EGC. Jakarta.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF