LAPORAN PRAKTIKUM FFA.docx
September 17, 2018 | Author: Andriana J Lestari | Category: N/A
Short Description
Download LAPORAN PRAKTIKUM FFA.docx...
Description
LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL PALMAE
ACARA 2 ANALISIS FFA (FREE FATTY ACID) DAN VISKOSITAS BERBAGAI MEREK MINYAK GORENG
Oleh: Kelompok 2 : Andriana Jumiharti Lestari Firia Urwatin Nisa
A1M011001 A1M011033
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PURWOKERTO 2014 I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Bahan pangan yang dikonsumsi sehari-hari seringkali tidak kita ketahui mengandung senyawa-senyawa kimia yang berbahaya bagi kesehatan. Memang secara kasat mata tampak sekilas tampilan dari bahan pangan tersebut seperti tidak mengandung bahan yang membahayakan, tetapi jika di teliti lebih lanjut kebanyakan yang dikandung dari sebagian bahan pangan adalah zat-zat ataupun senyawa-senyawa yang yang dapat bersifat toxin atau racun. Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia sebagai alat pengolah bahan-bahan makanan yang biasanya digunakan untuk menggoreng. Minyak goreng nabati biasa diproduksi dari kelapa sawit, kelapa, atau jagung. Penggunaan minyak nabati lebih dari empat kali sangat membahayakan kesehatan. Hal ini terjadi karena penggunaan minyak goreng yang dipakai secara berulang-ulang, bahkan sampai berwarna coklat tua atau hitam dan barulah dibuang.
Hal
ini
dapat
menimbulkan
dampak
negatif
bagi
yang
mengkonsumsinya, yaitu menyebabkan berbagai gejala keracunan, seperti pusing, mual-mual dan muntah. Maka dari itu penggunaan minyak jelantah secara berulang-ulang sangat berbahaya bagi kesehatan. Penggunaan minyak goreng yang berulang-ulang kali dapat mengandung kadar asam lemak bebas yang tinggi karena mudah teroksidasi. Asam lemak bebas pada suatu bahan pangan akan terbentuk karena adanya proses pemanasan bahan pangan pada suhu tinggi yang dapat meningkatkan konsentrasi dari asam lemak bebas dan meningkatkan jumlah asam lemak bebas yang terbentuk apabila proses tersebut semakin lama dilakukan sehingga merugikan mutu dan kandungan gizi bahan pangan tersebut. Peningkatan jumlah asam lemak bebas ini terjadi bila minyak goreng teroksidasi ataupun terhidrolisis
sehingga mengakibatkan ikatan rangkap yang ada dalam minyak akan pecah. Pecahnya ikatan rangkap ini lama-kelamaan akan membuat minyak goreng menjadi semakin jenuh. Selain pengukuran dengan menggunakan asam lemak bebas atau FFA, dapat dilakukan pengukuran kualitas minyak goreng berdasarkan pengukuran viskositas. Viskositas adalah ukuran yang menyatakan kekentalan suatu cairan atau fluida. Kekentalan merupakan sifat cairan yang berhubungan erat dengan hambatan untuk mengalir. Beberapa cairan ada yang dapat mengalir cepat, sedangkan lainnya mengalir secara lambat. Cairan yang mengalir cepat seperti air, alkohol dan bensin mempunyai viskositas kecil. Sedangkan cairan yang mengalir lambat seperti gliserin, minyak castor dan madu mempunyai viskositas besar. Jadi viskositas tidak lain menentukan kecepatan mengalirnya suatu cairan. Dalam pengolahan bahan pangan, minyak berfungsi sebagai media penghantar panas, seperti minyak goreng, mentega dan margarin. Minyak goreng yang kita konsumsi sehari-hari sangat erat kaitannya dengan kesehatan kita. Untuk itu perlu diteliti kualitas dari minyak goreng yang belum pernah dipakai, minyak goreng yang sudah dipakai satu kali, dan minyak goreng yang sudah dipakai dua kali dengan menggunakan pengujian kadar asam lemak bebas dan viskositas. B. Tujuan Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemanasan terhadap viskositas dan kadar asam lemak bebas (FFA) pada berbagai jenis minyak.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Minyak Goreng Minyak goreng berfungsi sebagai medium penghantar panas, penambah rasa gurih, dan penambah nilai kalori (Winarno, 2004). Menurut SNI 01-3741-2002 (BSN, 2002), minyak goreng didefinisikan sebagai minyak yang diperoleh dengan cara memurnikan minyak makan nabati. Minyak nabati merupakan minyak yang diperoleh dari serealia (jagung, gandum, beras, dan lain-lain), kacang-kacangan (kacang kedelai, kacang tanah, dan lain-lain), palma-palmaan (kelapa dan kelapa sawit), dan biji-bijian (biji bunga matahari, biji wijen, biji tengkawang, biji kakao, dan lain-lain) (Nugraha, 2004). Tidak semua minyak nabati dapat dipakai untuk menggoreng. Menurut Ketaren (2008), minyak yang termasuk golongan setengah mengering (semi drying oil) misalnya minyak biji kapas, minyak kedelai, dan minyak biji bunga matahari tidak dapat digunakan sebagai minyak goreng. Hal ini disebabkan karena jika minyak tersebut kontak dengan udara pada suhu tinggi akan mudah teroksidasi sehingga berbau tengik. Minyak yang dipakai menggoreng adalah minyak yang tergolong dalam kelompok non drying oil, yaitu minyak yang tidak akan membentuk lapisan keras bila dibiarkan mengering di udara, contohnya adalah minyak sawit. Mutu minyak goreng sangat dipengaruhi oleh komponen asam lemaknya karena asam lemak tersebut akan mempengaruhi sifat fisik, kimia, dan stabilitas minyak selama proses penggorengan. Menurut Stier (2003), trigliserida dari suatu minyak atau lemak mengandung sekitar 94-96% asam lemak. Selain komponen asam lemaknya, stabilitas minyak goreng dipengaruhi pula derajat ketidakjenuhan asam lemaknya, penyebaran ikatan rangkap dari asam lemaknya, serta bahanbahan yang dapat mempercepat atau memperlambat terjadinya proses kerusakan minyak goreng yang terdapat secara alami atau yang sengaja ditambahkan.
Mutu minyak goreng ditentukan pula oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Bila minyak mengalami pemanasan yang berlebihan, gliserol akan mengalami kerusakan dan kehancuran dan minyak tersebut segera mengeluarkan asap biru yang sangat mengganggu lapisan selaput mata. Hidrasi gliserol akan membentuk aldehida tidak jenuh atau akrolein tersebut. Semakin tinggi titik asap, semakin tinggi juga mutu minyak goreng itu. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebasnya. Lemak yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan menurun, karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Karena itu untuk menekan terjadinya hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak sebaiknya dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dari seharusnya. Pada umumnya suhu penggorengan adalah 177-221C (Winarno, 2004). Standar mutu minyak goreng telah dirumuskan dan ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) yaitu SNI 01-3741-2002, SNI ini merupakan revisi dari SNI 01-3741-1995, menetapkan bahwa standar mutu minyak goreng seperti pada Tabel 1 berikut ini: Tabel 1. SNI 01-3741-2002 tentang Standar Mutu Minyak Goreng Kriteria Uji Satuan Syarat Keadaan bau, warna dan rasa Normal Air % b/b Maks 0.30 Asam lemak bebas (dihitung % b/b Maks 0.30 sebagai asam laurat) Sesuai SNI. 022-M dan Permenkes No. Bahan Makanan Tambahan 722/Menkes/Per/IX/88 Cemaran Logam : - Besi (Fe) Maks 1.5 Mg/kg - Tembaga (Cu) Maks 0.1 Mg/kg - Raksa (Hg) Maks 0.1 Mg/kg - Timbal (Pb) Maks 40.0 Mg/kg - Timah (Sn) Maks0.005 Mg/kg - Seng (Zn) Maks Mg/kg 40.0/250.0)* Arsen (As) % b/b Maks 0.1 Angka Peroksida % mg 02/gr Maks 1 Catatan * Dalam kemasan kaleng
Sumber: Standar Nasional Indonesia
Dalam memilih minyak goreng ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan, yaitu: 1
Minyak goreng harus memiliki umur pakai yang lama dan ekonomis.
2
Tahan terhadap tekanan oksidatif.
3
Memiliki kualitas seragam.
4
Mudah untuk digunakan, baik dari segi bentuk (fluid shortening lebih mudah dari pada solid shortening) maupun dari kemudahan pengemasan.
5
Memiliki titik asap yang tinggi dan kandungan asapnya rendah setelah digunakan untuk menggoreng.
6
Mengandung flavor alami dan tidak menimbulkan off flavor pada produk yang digoreng.
7
Mampu menghasilkan tekstur, warna, dan tidak menimbulkan pengaruh greasy pada permukaan produk. Mohamed Sulieman et al. (2001), menyatakan bahwa pemilihan minyak
goreng
tergantung
pada
banyak
faktor
seperti
ketersediaan,
performa
penggorengan, aroma, dan kestabilan produk pada saat penyimpanan. B. Kerusakan Minyak Goreng Minyak goreng seringkali cepat mengalami kerusakan dan ketengikan, baik sesudah maupun sebelum digunakan untuk menggoreng. Ketengikan minyak goreng dapat terjadi baik selama proses penyimpanan maupun pemanasan. Ketengikan terjadi bila komponen cita rasa dan bau yang mudah menguap terbentuk sebagai akibat kerusakan oksidatif dari lemak dan minyak yang tidak jenuh. Komponen-komponen ini menyebabkan bau dan cita rasa yang tidak diinginkan dalam lemak dan minyak (Buckle et al., 2000). Menurut Blumethal (1996), proses penggorengan yang menggunakan energi panas menimbulkan berbagai perubahan yang terjadi pada minyak dan
menghasilkan komponen flavor. Perubahan sifat fisikokimia akibat pemanasan ini mengakibatkan terjadinya kerusakan pada minyak dan menurunkan mutu produk gorengnya. Penurunan kualitas minyak ini berhubungan dengan masalah keamanan produk goreng yang dihasilkan. Pemanasan minyak pada suhu tinggi dan kontak dengan oksigen akan menyebabkan kerusakan dan penurunan mutu minyak. Kerusakan minyak akibat pemanasan dapat dilihat dari perubahan warna, kenaikan kekentalan, kenaikan kadar asam lemak bebas, kenaikan bilangan peroksida dan penurunan bilangan iod (Perkins, 1967). Kerusakan minyak goreng akibat pemanasan pada dasarnya disebabkan oleh beberapa reaksi, antara lain reaksi hidrolisis, oksidasi, dan polimerisasi (Ketaren, 1986). Reaksi hidrolisis pada minyak terjadi pada ikatan ester asam lemak, yang bisa terjadi akibat pemanasan, adanya asam dan basa, serta dengan adanya enzim lipase (Agustina, 2008). Reaksi hidrolisis oleh asam bersifat reaksi bolak-balik (reversible), sedangkan hidrolisis oleh basa bersifat irreversible. Selain oksidasi dan hidrolisis, minyak goreng juga mengalami reaksi polimerisasi selama pemanasan yang juga merupakan penyebab penurunan mutu minyak goreng. Pembentukan senyawa polimer selama pemanasan terjadi karena reaksi polimerisasi adisi dari asam lemak tak jenuh (Ketaren, 1986). Kadar asam lemak bebas mungkin karakteristik yang paling umum digunakan sebagai kontrol kualitas minyak. Pada saat saat awal proses penggorengan, asam lemak bebas dihasilkan dari proses oksidasi, tetapi pada tahap selanjutnya asam lemak bebas dihasilkan dari proses hidrolisis yang disebabkan oleh keberadaan air. Proses ini sangat dinamis, sebagian asam lemak akan hilang karena oksidasi dan destilasi uap dari makanan. Asam lemak bebas akan mengkatalis hidrolisis minyak yang digunakan pada proses penggorengan. Pada saat akumulasi asam lemak bebas berada dalam jumlah yang signifikan, akan terbentuk asap yang berlebihan dan kualitas dari makanan hasil goreng menurun. Pada saat ini, minyak harus diganti (Krishnamurthy dan Vernon, 1996). Kadar asam lemak bebas merupakan penentuan dari jumlah rantai asam lemak hasil hidrolisis ikatan trigliserida yang belum didegradasi menjadi
komponen tak tertitrasi atau mungkin dibentuk melalui proses oksidasi. Penentuan kadar asam lemak bebas pada minyak goreng digunakan metode titrasi asam basa dengan menggunakan NaOH sebagai titran. Jumlah asam lemak di dalam minyak dinyatakan dengan persen (%) (Blumethal, 1996; Krishnamurthy dan Vernon, 1996). Pada saat minyak goreng teroksidasi akan terbentuk senyawa polimer yang menyebabkan minyak berbusa. Pembentukan senyawa polimer ini merupakan penanda kimia yang baik untuk degradasi minyak. Namun penentuan senyawa polimer sulit untuk diaplikasikan di dalam memantau kualitas produk karena waktu yang dibutuhkan untuk analisis cukup lama. Metode resmi dalam menentukan
senyawa
polimer
digunakan
high
performance
liquid
chromatography (HPLC). Pemahaman mekanisme pembentukkan senyawa polimer sangat penting untuk memahami bagaimana minyak terdegradasi dan optimasi proses. Kenaikan senyawa polimer menyebabkan kenaikan viskositas minyak. Oleh karena itu, viskositas sering digunakan sebagai indikator sifat fisik untuk memantau kualitas minyak goreng (Stier, 2001). Selain itu, adanya kenaikan viskositas minyak ini membuat produk hasil goreng lebih berminyak karena banyaknya jumlah minyak yang tertahan pada permukaan produk. Warna minyak sudah lama digunakan sebagai indikator fisik dalam melihat kerusakan minyak. Namun, sebenarnya tidak tepat menggunakan warna sebagai indikator kerusakan minyak. Hal ini karena perubahan warna minyak goreng yang tidak diikuti dengan kenaikan jumlah senyawa hasil degradasi minyak hanya akan mempengaruhi warna produk dan tidak akan mempengaruhi rasa produk. Warna minyak dapat ditentukan dengan menggunakan Lovibond tintometer atau spektrofotometer. Penentuan dengan menggunakan Lovibond bersifat subjektif, sedangkan penentuan warna menggunakan spektrofotometer lebih bersifat objektif (Krishnamurthy dan Vernon, 1996).
III.
METODE PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan Alat: 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Panci stainless steel Kompor Erlenmeyer Buret Pipet ukur Filler Gelas ukur Termometer tembak Rotary viscometer
Bahan: 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Minyak goreng sania Minyak goreng Minyak goreng Minyak goreng Minyak goreng Minyak goreng Alkohol netral Indikator PP NaOH 0,1 N
B. Prosedur Kerja Minyak goreng 1 L dibagi menjadi dua
500 ml
500 ml
V Dimasukkan ke dalam gelas plastik
Dimasukkan ke dalam panci stainless steel
Di ukur viskositasnya menggunakan viskometer
Pemasakan 180 °C selama 1 jam
Minyak didinginkan
Prosedur analisis asam lemak bebas (FFA)
Minyak yang telah dingin di ukur viskositasnya menggunakan viskometer dan kadar asam lemak bebasnya
Minyak sebanyak 14, 2 ml diitambahkan dengan 25 ml alkohol netral
Ditambahkan 2 tetes indikator PP
Titrasi dengan NaOH 0,1 N sampai warna merah jambu bertahan selama 30 detik
Dihitung ml NaOH yang digunakan untuk titrasi, kemudian dihitung kadar asam lemak bebas dari sampel minyak
Rumus perhitungan asam lemak bebas (FFA) FFA=
( ml NaOH x N NaOH x berat molekul asamlemak ) x 100 berat sampel x 1000
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Deskripsi N o
Jenis minyak goreng
1
Mitra
2
Viskositas (mPa.s)
FFA (%)
Sebelum pemanasa n
Setelah pemanasa n
Sebelum pemanasa n
Setelah pemanasa n
80
59
3,966
9,735
82
49
4,33
4,51
Foto
Fraiswell
3
Kunci Mas
80
50
3,33
5,048
4
Sari Murni
80
60
3,61
5,95
5
Sunco
80
75
2,88
5,22
6
Rose Bran
75
55
4,69
6,94
Deskripsi N o
Jenis minyak goreng
7
8
Viskositas (mPa.s)
FFA (%)
Sebelum pemanasa n
Setelah pemanasa n
Sebelum pemanasa n
Setelah pemanasa n
Barco
85
15
5,23
6,49
Bimoli
80
75
0,9
6,49
85
60
0,4326
9
1,2982 Tropical
Foto
10
Sania
75
50
1,5025
3,99
11
Masku
90
153
1,62
4,065
60
50
1,302
1,362
12
Minyak sayur
Deskripsi N o
13
14
Jenis minyak goreng
Minyak malinda
Filma
Viskositas (mPa.s)
FFA (%)
Sebelum pemanasa n
Setelah pemanasa n
Sebelum pemanasa n
Setelah pemanasa n
80
50
0,09
1,44
80
85
3,76
6,04
Foto
15
Minyak jelantah
B. Pembahasan
85
70
7,39
7,75
V. A. Kesimpulan B. Penutup
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA Agustina, S. 2008. Penentuan Kadar Asam Lemak Bebas dari CPO Non Edible yang Diperoleh dati Pencampuran CPO dan PFAD (4:1). Karya Ilmiah, Universitas Sumatera Utara. Medan. Blumenthal, M.M. 1996. Frying Technology. Di dalam : Romaria, Mayland. 2008. Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Goreng Pada Proses Penggorengan Berulang Dan Umur Simpan Kacang Salut Yang Dihasilkan. Institute Pertanian Bogor, Bogor. BSN, 1995. Minyak Goreng. SNI 01-3741-1995. Badan Standarisasi Nasional. Buckle, K.A., et al. 2000. Ilmu Pangan. Penerjemah, Hari Purnomo dan Adiono. UI Press. Jakarta. Krishnamurthy, R.G. dan Vernon C. W. 1996. Salad oil and oil-based dressings. Di dalam: Bailey’s Industrial Oil and Fat Technology; Edible Oil and Fat Product: Product and Application Technology (4th ed., Vol 3). WileyInterscience Publication. New York. pp. 193-224. Ketaren, S., 2008. Minyak dan Lemak Pangan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Mohamed Sulieman, Abd El-Rahman, Attya El-Makhzangy, dan Mohamed Fawzy Ramadan. 2001. Antiradikal Performance and Physicochemical Characteristics of Vegetable Oils upon Frying of French Fries: A Preliminary Comparative. Electronic Journal of Environmental, Agricultural and Food Chemistry. www.ejeafche.uvigo.es. [24 Desember Nugraha, W.S. 2004. Kendali Adsorben Karbon Aktif dan Magnesium Silikat dalam Efisiensi Pemakaian Minyak Goreng di Further Processing PT. Chaeroen Pokhand Indonesia-Serang. Skripsi. Fakultas Tenologi Pertanian. IPB, Bogor. Perkins, E.G. 1967. Formation and Non Volatil Decomposition on Products in Heated Fats and Oils. Food Technology, 21 (4): 125. Stier, R. F., 2003. Finding functionality in fat and oil. www.preparedFood.com, di akses pada 20 Juni 2014.
(On-line).
Winarno, F., G., 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
LAMPIRAN
View more...
Comments