LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI panadol
November 28, 2017 | Author: Aprilia Eka Putri | Category: N/A
Short Description
efek panadol pada manusia...
Description
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI MULA KERJA, PUNCAK EFEK DAN LAMA KERJA OBAT ANALGETIK PADA PEMBERIAN PER ORAL DAN INTRAPERITONEAL
Disusun oleh : Savira Salsabila Azhiroh Mirli Putri Assegaf Fauzia Noor Alifa Aprilia Eka Putri Raden Mochamad Kelvin Katjasungkana Inggrid Budi Pangestu Adji Nadia Ramadhani Edwina Raizada Rachmanita Charisma Putri Bella Adelia
201610330311001 201610330111017 201610330311023 201610330311031 201610330311070 201610330311098 201610330311125 201610330311126 201610330311167 201610330311182
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2016 – 2017
BAB I PENDAHULUAN I
Tujuan Instruksional Khusus
Mengetahui mula kerja (onset of action) analgetik pada pemberian peroral dan intraperitoneal. Parameter yang diukur adalah waktu (menit) mulai analgetik diberikan sampai terjadi pengurangan rasa nyeri Mengetahui puncak efek (peak effect) analgetik pada pemberian peroral dan intraperitoneal. Parameter yang diukpur adalah waktu (menit) terjadi pengurangan rasa nyeri terhadap rangsangan nyeri yang maksimal Mengetahui lama kerja obat (duration of action) analgetik pada pemberian peroral dan intraperitoneal. Parameter yang diukur adalah waktu (menit) mulai terjadi pengurangan rasa nyeri sampai rasa nyeri menghilang Dapat membandingkan onset dan durasi kerja obat yang diberikan secara peroral dan intraperitoneal
II Tinjauan Pustaka Efek farmakologik obat merupakan fungsi dari konsentrasi obat di tempat kerja obat. Ada 3 fase yang didapatkan dari hubungan waktu dan efek obat yaitu: 1 Mula kerja obat adalah waktu yang diperlukan antara saat obat diberikan dan saat pertama kali didapatkan tanda obat berespon. Fase ini lebih ditentukan oleh kecepatan absorbsi dan distribusi daripada ekskresi. Tetapi pada prodrug kecepatan metabolisme juga berpengaruh besar pada fase ini. 2 Puncak kerja obat adalah waktu yang diperlukan mencapai intensitas efek maksimal obat, dimana pada sebagian besar obat akan didapatkan ketika konsentrasi obat di tempat kerja obat mencapai konsentrasi maksimal. Waktu yang diperlukan untuk mencapai fase ini ditentukan oleh keseimbangan antara proses yang berperan pada sampainya obat pada tempat kerja obat (kecepatan absorbsi dan distribusi) dan pada proses obat meninggalkan tempat kerja dan tubuh (ikatan dengan reseptor dan kecepatan ekskresi) 3 Lama kerja obat adalah jangka waktu dari mula kerja obat hingga respon obat berakhir. Fase ini lebih ditentukan oleh kecepatan ekskresi obat, meskipun fase ini juga dapat dipengaruhi oleh adanya absorbsi obat yang terus berlangsung. Mula kerja, puncak efek, lama kerja obat dipengaruhi oleh kecepatan absorpsi, distribusi, metabolism dan ekskresi obat. Kecepatan absorpsi di pengaruhi oleh banyak faktor dan faktor terbesar adalah kelarutan obat dalam lemak. Obat diabsorpsi terutama dii usus halus karena permukaannya luas. Jika obat diberikan secara intravena maka obat masuk kedalam darah dan secara cepat terdistribusi ke dalam jaringan. Distribusi obat keseluruh tubuh terjadi saat obat mencapai sirkulasi. Volume distribusi adalah volume yang menunjukkan distribusi obat. Apabila nilai V0 < 5L menunjukkan bahwa obat dipertahankan dalam kompartemen vaskuler, sementara V0 > 5L menunjukkan bahwa distribusi di seluruh cairan tubuh total atau konsentrasi pada jaringan tertentu. Metabolisme obat mempunyai 2 efek penting. Obat menjadi lebih hidrofilik, hal ini mempercepat ekskresinya melalui ginjal. Karena metabolit yang kurang larut dalam lemak tidak mudah di reabsorpsi dalam tubulus ginjal. Metabolit umumnya kurang aktif dari pada obat aslinya. Akan tetapi, tidak selalu seperti itu, kadang metabolit sama aktifnya dari pada obat asli sebagai contoh diazepam. Prodrug bersifat aktif sampai
dimetabolisme dalam tubuh menjadi obat aktif. Sebagai contoh levadopa yaitu obat anti Parkinson dimetabolisme menjadi dopamine. Hati merupakan organ utama untuk metabolism obat. Ekskresi obat dibagi menjadi dua ekskresi yaitu: Ekskresi ginjal dan ekskresi bilier. Ekskresi ginjal memegang tanggung jawab untuk eliminasi sebagian besar obat-obat biasanya berada dalam filtrat glomerulus tetapi obat yang tidak larut lemak direabsorpsi dalam tubulus ginjal melalui difusi pasif. Metabolism obat sering menghasilkan senyawa ekskresi bilier yaitu ekskresi obat yang terkonsentrasi dalam empedu dan diekskresikan dalam usus halus, dimana dapat kemungkinan direabsorpsi. Cara pemberian obat atau rute administrasi obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi absorbsi obat. Pemberian per oral merupakan cara pemberian obat yang telah banyak kita jumpai daripada pemberian parenteral karena lebih aman, nyaman dan murah. Tetapi berbeda dengan cara pemberian parenteral, pada per oral didapatkan keunikan dalam absorbsi obat akibat pengaruh sistem GIT dan adanya presistemik (first pass elimination). Suntikan intraperitoneal. Rongga peritoneum mempunyai permukaan absorpsi yang sangat luas dan dipenuhi pembuluh kapiler sehingga obat dapat masuk ke sirkulasi sistemik secara cepat. Cara ini banyak dilakukan di laboratorium tetapi jarang dilakukan di klinik karena adanya bahaya infeksi dan perlengketan peritoneum. Peroral. Sebagian besar obat diberikan melalui mulut dan ditelan. Beberapa obat (misalnya alkohol dan aspirin) dapat diserap dengan cepat dari lambung, tetapi kebanyakan obat diabsorpsi sebagian besar melalui usus halus. Tempat pertama yang menjadi pemberhentian obat setelah masuk mulut adalah lambung. Berbagai macam penelitian menunjukkan bahwa mekanisme dasar transport obat adalah difusi pasif, dimana kecepatan transfer obat ini ditentukan oleh derajat ionisasi obat (yang dipengaruhi oleh pH lingkungan obat) dan lipid solubilitas dari obat tersebut.
BAB II PEMBAHASAN I. Alat dan Bahan A Alat : - Analgetik meter beban geser - Spuit 1 ml
-
Sonde Stopwatch
B Bahan - Tikus - Obat analgesik : Antrain yang mengandung metamizol Na (500 mg/ml) dan antalgin (500 mg/tab) dipuyer+CMC+air sampai 20 cc tiap tikus disonde 1 ml II.
-
-
a
b
Prosedur Kerja
Rangsangan nyeri dengan tekanan 1. Menentukan ambang nyeri control (diukur sebelum pemberian obat analgetik) Timbang BB tikus dan catat (gram) Pegang tikus sedemikian rupa sehingga tikus cukup merasa rileks Posisikan bagian runcing dari analgesic meter tersebut dan geser. Dengan 1 beban bernilai 10 gram/skala, sedangkan jika dipakai 2 beban bernilai 20 gram/skala. Geser sampai tikus menunjukkan respon nyeri berupa menjerit, mencicit, atau menarik kakinya. Jika dengan satu beban tikus belum menujukkan respon nyeri, tambah beban secara bertahap. Catat berat beban (gram) yang menimbulkan nyeri. (beban control). Pemberian analgetik Tikus perlakuan dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok tikus yang diberi analgetik peroral dan kelompok tikus yang diberi analgetik secara intraperitoneal. Hitung dosis obat yang diberikan dengan cara sebagai berikut : Diketahui : Antrain mengandung metamizol 500 mg/ml Antalgin tablet mengandung metampiron 500 mg Dosis analgetik metamizol tikus : 250 mg/BB(kg)/kali Jika BB tikus 200 gr, maka dosis metamizol = 250x0,2 kg/kali = 50 mg/tikus Memasukkan obat Peroral, dilakukan per sonde Gerus 1 tablet antalgin 500 mg, ambil 1/10 nya (jika BB tikus 200 gr) = 50 mg Tambahkan CMC dan aquades s.d. volumenya jadi 2 ml (kapasitas lambung tikus 2 ml) Berikan pada tikus per sonde Perintraperitoneal, dilakukan lewat injeksi di daerah perut Jika kebutuhan tikus 50 mg/tikus, sedang metamizol 500 mg/ml, maka kebutuhan tikus dalam ml : 500 mg/ml = 50 mg/x ml X = 50/500 ml X = 0,1 ml Ambil metamizol 50 mg dengan spuit sebanyak 0,1 ml, suntikkan secara intraperitoneal. Rangsangan nyeri dengan beban Pegang tikus secara rileks dan berikan beban pada tikus dengan cara yang sama (lihat penentuan ambang nyeri control). Berikan beban sebesar dua kali berat beban pada tikus control (analgetik dikatakan mempunyai efek jika setelah analgetik diberikan,
tikus mampu menahan beban sebesar dua kali beban control) setiap 5 menit dan amati adakah respon nyeri tikus (menjerit, mencicit, atau menarik kakinya). Pengamatan dilakukan sampai menit ke-60. Catat hasil pengamatan tersebut pada tabel dan buatlah kurva waktu-persen efek. Tentukan onset dan durasinya. NB : Efek analgetik (+) : jika tikus tidak memberi respon nyeri saat diberi rangsangan Efek analgetik (-) : jika tikus memberi respon nyeri saat diberi rangsangan Onset : 20% populasi memberikan efek analgetik (+) Durasi : mulai dari 20% efek analgetik (+) s.d. < 20% efek analgetik (+) III.
Hasil Pengamatan Ambang nyeri tikus atas rangsangan nyeri yang diberikan Tikus 1 =
Tikus 2 =
180 150 80
Ambang nyeri rata-rata tikus I = 136
60 110 110
Ambang nyeri rata-rata tikus II = 93
Berat badan tikus Berat badan tikus I= 90 gram Berat badan tikus II= 90 gram Dosis zat analgetik yang diberikan 1
Antalgin (diberikan secara oral) Tikus I pemberian per oral 1 ml
2
Metamizol/Antrain (diberikan secara intraperitoneal) kekuatan 500 mg/ml diberikan pada tikus II x mg/90 g = 50 mg/200 g x mg = 22,5 mg 500 mg/1 ml = 22,5 mg/x ml x ml = 0,045 ml Tikus II pemberian secara intraperitoneal 0,045 ml
TABEL PENGAMATAN Waktu Cara/Dosi s
Per Oral
5 ’ -
10 ’ -
15’
20’
25’
30’
35’
40’
45’
-
-
+
+
+
+
+
50 ’ +
55’
60’
-
-
Waktu Cara/Dosis
Intraperitonea l
5 ’ +
10 ’ +
15’
20’
25’
30’
35’
40’
45’
+
+
+
+
+
+
-
50 ’ -
55’
60’
-
-
Keterangan : (+) = tikus dapat menerima beban 2 kali atau lebih beban kontrol (-) = tikus dapat menerima beban kurang dari 2 kali atau kurang dari beban kontrol IV.
Pembahasan Pada awal praktikum kami menyiapkan alat dan bahan untuk menunjang proses pelaksanaan praktikum. Kami menimbang berat badan mencit untuk menghitung dosis per-oral dan interperoral. Selain menghitung dosis kami juga menghitung ambang nyeri mencit dengan meletakkan kakinya pada analgetik meter. Jika mencit menarik kakinya berarti hal tersebut menunjukkan ambang nyeri mencit. Ambang nyeri berguna untuk menghitung keberhasilan atau waktu obat mulai bekerja hingga efek obat mulai hilang. Obat dapat dikatakan mulai bekerja jika mampu menahan beban dua kalilipat dari ambang nyeri sebelumnya. Mencit yang di gunakan untuk pemberian obat secara peroral dengan berat 90 gram dan ambang nyerinya 136 gram. Setelah kami hitung ambang nyerinya lalu diberi obat betasondey 1 ml. lima menit setelah pemberian obat kami uji kembali dengan analgetik meter dengan beban dua kali lipat yaitu 272 gram untuk mengetahui obat yang di berikan sudah bekerja atau belom, dan pada mencit yang di beri obat secara analgetik hasil masih negative atau obat belum bekerja. Obat betasondey mulai bekerja 20 menit setalah pemberian obat dan bekerja selama 30 menit saja. Menit ke lima puluh efek obat sudah mulai menghilang. Artinya mencit sudah dapat merasakan sakit kembali hingga menit ke enam uluh. Mencit yang digunakan untuk pemberian obat analgetik secara injeksi (intraperitonial) memiliki berat 90 gram dan ambang nyeri 93 gram. Setelah mendapat ambangyeri mencit kami memberikan obat analgesic sebanya 0,1 ml yang diinjeksi di daerah perut dengan posisi yang lancit mengarah ke atas. Lima menit setelah pemberian obat kami menguji obat yang di berikan telah bekerja atau belum dengan cara memberi beban dua kali lipat dari nilai ambang nyeri sebelumnya. Hasil yang didapat obat analgesic langsung bekerja pada mencit hal ini di buktikan mencit mampu menahan duakalilipat dari ambang nyeri sebelumnya. Durasi obat hanya bekerja sekitar 35 menit saja. Menit ke empat puluh hingga menit ke enampuluh efek obat sudah tidak bekerja lagi. Pemberian obat secara per oral sering kita temui daripada pemberian secara parenteral karena lebih aman, nyaman, dan murah. Pemberian secara per oral
memiliki keunikan tersendiri dalam absorbsi obat akibat pengaruh sistem GIT dan adanya presistemik eliminasi. Mula kerja pemberian obat secara per oral lebih lambat dibandingkan mula kerja pemberian obat secara peritoneal, dimana pemberian obat secara per oral dipengaruhi beberapa faktor yang memengaruhi bioavaibilitas obat. Pada pemberian obat pertama kali diberikan jangka absropsi obat yang masuk sekitar 75% dari obat peroral akan diabsorbsi karena ada obatobat yang tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sehingga dari pemberian obat per oral sampai mencapai efek maksimal obat yakni puncak kerja obat (peak effect) obat yang sampai pada sirkulasi sistemik tidak mencapai hingga 100%. Lama kerja obat dimulai pada menit ke 35 sampai 45. Pemberian obat secara intraperitoneal diberi secara suntikan yaitu pemberian intravena, memiliki keuntungan karena efek yang timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian secara oral karena tidak mengalami tahap absorpsi maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Sedangkan rute pemberian yang cukup efektif adalah intra peritoneal (i.p.) karena memberikan hasil kedua paling cepat setelah intravena. Namun suntikan i.p. tidak dilakukan pada manusia karena bahaya injeksi dan adhesi terlalu besar. Pemberian obat pertama kali sampai obat memberikan respon hasilnya lebih cepat, hal ini dipengaruhi oleh distribusi obat yang masuk melalui peritoneal langsung sehingga absropsi obat pada efek sistemik obat bekerja. Serta puncak kerja obat yang dicapai untuk mecapai efek intensitas maksimal obat mendapatkan hasil yang cepat pula. Hal ini dipengaruhi oleh faktor absorbsi dan distribusi. Lama kerja obat pada peritoneal jangka waktunya pada saat mulai kerja obat bekerja pada menit ke 15 secara berjangka panjang sampai obat memberikan respon terakhir yaitu pada menit ke 55. Sehingga dari dua percobaan tadi dapat di simpulkan bahwa pemberian obat secara injeksi lebih cepat bereaksi dengan tubuh. Hal ini sesuai dengan teori bahwa injeksi dalam pembuluh darah (sirkulasi sistemik) mengahsilkan efek tercepat Karena memlalui pembuluhdarah langsung tersebar keseluruh jaringan dan tidak mengalami reabsorbsi. Dan bioavaibilitasnya 100% namun kerja obat cukup singkat. Sedangkan pemberian secara peroral lebih lambat efek obatnya Karena perjalannya obat hingga sampai ke sirkulasi sistemik cukup panjang dan mengalami reabsorbsi. Eliminasi lintas pertama juga mempengaruhi bioavabilitas obat.
Kurva hubungan antara waktu dan kadar obat
BAB III Kesimpulan
Ada berbagai macam rute administrasi obat ke tubuh manusia, setiap caranya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Obat per oral melewati berbagai macam proses yang mempengaruhi bioavaibilitas, mulai dari ionisasi di pencernaan, first pass metabolism di
hati, hingga pengikatan oleh plasma darah itu sendiri sebelum dapat masuk ke sirkulasi tubuh dan menuju organ target. Obat intraperitoneal dapat langsung menuju sirkulasi melalui difusi ke pembuluh kapiler sehingga tanpa harus melalui saluran pencernaan. Obat yang dimasukkan secara parenteral (intraperitoneal) memiliki waktu onset dan durasi yang lebih cepat dibanding obat per oral.
DAFTAR PUSTAKA Katzung, Bertram G. 2013. Farmakologi Dasar & Klinik. Jakarta: EGC. Oktora, Bella W. 2014. Farmakologi: Cara Pemberian Obat. Bogor.
View more...
Comments