Laporan Praktikum BFFK uji difusi kelompok 2 bd.pdf
May 4, 2019 | Author: anggi | Category: N/A
Short Description
Download Laporan Praktikum BFFK uji difusi kelompok 2 bd.pdf...
Description
LAPORAN PRAKTIKUM Biofarmasetika Biofarmasetika dan Farmakokinatika Farmakokinatika Uji Difusi
Dosen : Tim Dosen Praktikum BFFK Di Susun Oleh: Kelompok 2B Aulia Wardahani
(1113102000054)
Anggi Indah
(1113102000041)
Thalita Amanda
(1113102000032)
Berliana Novianita
(1113102000050)
M Rizal Rosyidi
(1113102000008)
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA OKTOBER / 2016
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang
Terdapat berbagai macam rute dalam pengaplikasian obat untuk tubuh. Salah satu rute tersebut adalah melalui kulit. Kulit merupakan lapisan atau jaringan yang menutup seluruh tubuh dan melindungi tubuh dari bahaya yang datang dari luar. Dikarenakan fungsinya untuk melindungi tubuh, maka pada kulit terdapat berbagai macam lapisan yang memiliki berbagai fungsi dan salah satunya adalah sebagai pelindung (barrier (barrier ). ). Lapisan tersebut terdiri atas stratum atas stratum corneum, corneum, epidermis dan dermis (S. Wibowo, Daniel, 2008). Untuk dapat memberikan efek terapi, obat harus dapat melewati barrier kulit. Obat melewati barrier kulit melalui proses difusi. Jumlah obat yang berpenetrasi ke kulit dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Jumlah obat yang berdifusi melalui kulit haruslah tetap sesuai dengan dosis terapeutik yang diperlukan sehingga diperlukan suatu metode yang dapat menghitung berapa jumlah obat yang terdapat di dalam sistem sirkulasi setelah berdifusi ke dalam kulit. Dalam praktikum kali ini, mahasiswa akan mempelajari metode perhitungan jumlah obat yang berdifusi ke dalam kulit dan juga faktor-faktor yang mempengaruhi difusi obat melalui kulit.
1.2.Tujuan Praktikum
Setelah melakukan praktikum, mahasiswa diharapkan mampu: 1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi difusi obat melalui kulit. 2. Menghitung jumlah obat dalam tubuh setelah difusi obat melalui kulit.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kulit
Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna terhadap pengaruh luar (Aiache, 1993). Kulit berfungsi sebagai sistem epitel pada tubuh untuk menjaga keluarnya substansi-subtansi penting dari dalam tubuh dan masuknya subtansi-subtansi asing ke dalam tubuh (Chien, 1987). Meskipun kulit relatif permeabel terhadap senyawa-senyawa kimia, namun dalam keadaan tertentu kulit dapat ditembus oleh senyawa-senyawa obat atau bahan berbahaya yang dapat menimbulkan efek terapetik atau efek toksik baik yang bersifat setempat maupun sistemik (Aiache, 1993). Dari suatu penelitian diketahui bahwa pergerakan air melalui lapisan kulit yang tebal tergantung pada pertahanan p ertahanan lapisan stratum corneum yang berfungsi sebagai rate-limiting barrier pada kulit (Swarbirck dan Boylan, 1995). Kulit mengandung sejumlah bentukan bertumpuk dan spesifik yang dapat mencegah masuknya bahan-bahan kimia. Hal tersebut disebabkan oleh adanya lapisan tipis lipida pada permukaan lapisan tanduk dan lapisan epidermis malfigi. Sawar kulit terutama disusun oleh lapisan tanduk (stratum corneum), namun demikian cuplikan lapisan tanduk (stratum corneum) terpisah mempunyai permeabilitas yang sangat rendahdengan kepekaan yang sama seperti kulit utuh. Lapisan tanduk saling berikatan dengan kohesi yang sangat kuat merupakan pelindung kulit yang paling efisien (Aiache, 1993). Secara mikroskopik, kulit tersusun dari berbagai lapisan yang berbeda, berturut-turut dari luar kedalam yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis yang tersusun atas pembuluh darah dan pembuluh getah bening dan lapisan dibawah kulit yang berlemak atau yang disebut hipodermis (Aiache, 1993). Struktur kulit yang terdiri dari lapisan epidermis, dermis dan hipodermis dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Struktur kulit, terdiri dari epidermis, dermis dan hypodermis 2.2. Absorpsi Perkutan
Absorpsi perkutan adalah masuknya molekul obat dari luar kulit ke dalam jaringan di bawah kulit, kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah dengan mekanisme difusi pasif (Chien, 1987). Mengacu pada Rothaman, penyerapan (absorpsi) perkutan merupakan gabungan fenomena penembusan suatu senyawa dari lingkungan luar ke bagian kulit sebelah dalam dan fenomena penyerapan dari struktur kulit ke dalam peredaran darah dan getah bening. Istilah perkutan menunjukkan bahwa penembusan terjadi pada lapisan epidermis dan penyerapan dapat terjadi pada lapisan epidermis yang berbeda (Aiache, 1993). Fenomena absorpsi perkutan (atau permeasi pada kulit) dapat digambarkan dalam tiga tahap yaitu penetrasi pada permukaan stratum corneum, difusi melalui stratum corneum, epidermis dan dermis, masuknya molekul kedalam mikrosirkulasi yang merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. Mekanisme penghantaran obat melalui transdermal digambarkan pada gambar 2. (Chien, 1987).
Gambar 2. Mekanisme Penghantaran Obat melalui Transdermal mulai dari pelepasan obat menuju jaringan target (Chien, 1987) Penetrasi melintasi stratum corneum dapat terjadi melalui penetrasi transepidermal dan penetrasi transappendageal. Pada kulit normal, jalur penetrasi obat umumnya melalui epidermis (transepidermal), dibandingkan penetrasi melalui folikel rambut maupun melewati kelenjar keringat (transappendageal). Jumlah obat yang terpenetrasi melalui jalur transepidermal berdasarkan luas permukaan pengolesan dan tebal membran. Kulit merupakan organ yang bersifat aktif secara metabolik dan kemungkinan dapat merubah obat setelah penggunaan secara topikal. Biotransformasi yang terjadi ini dapat berperan sebagai faktor penentu kecepatan (rate limiting step) pada proses absorpsi perkutan (Swarbrick dan Boylan, 1995). a.
Penetrasi
Transappendageal Rute transappendageal merupakan rute yang sedikit digunakan untuk transport molekul obat, karena hanya mempunyai daerah yang kecil (kurang dari 0,1% dari total permukaan kulit). Akan tetapi, rute ini berperan penting pada beberapa senyawa polar dan molekul ion hampir tidak berpenetrasi melalui stratum corneum (Moghimi dkk, 1999). Rute transappendageal ini dapat menghasilkan difusi yang lebih cepat, segera setelah penggunaan obat karena dapat menghilangkan waktu yang diperlukan oleh
obat untuk melintasi stratum corneum. Difusi melalui transappendageal ini dapat terjadi dalam 5 menit dari pemakaian obat (Swarbrick dan Boylan, 1995). b.
Penetrasi transepidermal
Sebagian besar penetrasi zat adalah melalui kontak dengan lapisan stratum corneum. Jalur penetrasi melalui stratum corneum ini dapat dibedakan menjadi jalur transelular dan interseluler. Prinsip masuknya penetran kedalam stratum corneum adalah adanya koefisien partisi dari penetran. Obat-obat yang bersifat hidrofilik akan berpenetrasi melalui jalur transeluler sedangkan obat-obat lipofilik akan masuk kedalam stratum corneum melalui rute interseluler. Sebagian besar difusan berpenetrasi ke dalam stratum corneum melalui kedua rute tersebut, hanya kadangkadang obat-obat yang bersifat larut lemak berpartisipasi dalam corneocyt yang mengandung residu lemak. Jalur interseluler yang berliku dapat berperan sebagai rute utama permeasi obat dan penghalang utama dari sebagian besar obat-obatan (Swarbrick dan Boylan, 1995).
2.3. Perlintasan Membran
Membran dalam kajian formulasi dan biofarmasi merupakan suatu fase padat, setengah padat atau cair dengan ukuran tertentu, tidak larut atau tidak tercampurkan dengan lingkungan sekitarnya dan dipisahkan satu dan lainnya, umumnya oleh fase cair. Dalam biofarmasi, membran padat digunakan sebagai model pendekatan membran biologis. Membran padat juga digunakan sebagai model untuk mempelajari kompleks atau interaksi antara zat aktif dan bahan tambahan serta proses pelepasan dan pelarutan (Aiache, 1993). Dalam studi pelepasan zat aktif yang berada dalam suatu bentuk sediaan digunakan membran padat tiruan yang berfungsi sebagai sawar yang memisahkan sediaan dengan cairan disekitarnya. Teknik pengukuran laju pelepasan yang tidak menggunakan membran akan mengalami kesulitan karena perubahan yang cepat dari luas permukaan sediaan yang kontak dengan larutan uji. Pengadukan pada media reseptor sangat berperan untuk mencegah kejenuhan lapisan difusi yang kontak dengan membran (Aiache, 1993). Perlintasan membran sintetik umumnya berlangsung dalam dua tahap. Tahap awal adalah proses difusi zat aktif menuju permukaan yang kontak dengan membran. Pada tahap
ini daya difusi merupakan mekanisme pertama untuk menembus daerah yang tidak diaduk, dari lapisan yang kontak dengan membran. Tahap kedua adalah pengangkutan. Tahap ini dapat dibagi atas dua bagian. Bagian yang pertama adalah penstabilan gradien konsentrasi molekul yang melintas membran sehingga difusi terjadi secara homogen dan tetap. Bagian kedua adalah difusi dalam cara dan jumlah yang tetap. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi tidak berubah sebagai fungsi waktu. Dalam hal ini diasumsikan bahwa interaksi zat aktif-pelarut dan pelarut-pelarut tidak berpengaruh terhadap aliran zat aktif. Difusi dalam jumlah yang tetap dinyatakan dengan hukum Fick I.
Dimana J adalah fluks atau jumlah Q linarut yang melintasi membran setiap satuan waktu t, A adalah luas permukaan efektif membran, Cd dan Cr adalah konsentrasi pada kompartemen awal dan dalam kompartemen reseptor, h adalah tebal membran dan D’ adalah tetapan dianalisa atau koefisien permeabilitas (Aiache, 199 3).
2.4. Penghantaran Obat melalui Transdermal
Sebagian besar obat-obat yang diberikan melalui kulit berpenetrasi dengan mekanisme difusi pasif (Aiache, 1993; Swarbrick dan Boylan, 1995). Difusi didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan massa molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas, misalnya suatu membran polimer. Perjalanan suatu zat melalui suatu batas bisa terjadi karena permeasi molekular sederhana atau gerakan melalui pori dan lubang (saluran) (Martin dkk, 1993). Laju penyerapan melalui kulit tidak segera mencapai keadaan tunak, tetapi selalu teramati adanya waktu laten (gambar 3). Waktu laten ditentukan oleh tebal membran dan tetapan difusi obat dalam stratum corneum (Aiache,1993). Obat akan mengalami difusi sesuai gradien konsentrasi dengan gerakan yang acak (Swarbrick dan Boylan, 1995).
Gambar 3. Profil penyerapan molekul yang berdifusi melalui kulit (Aiache, 1993). Kecepatan penetrasi obat menembus epidermis untuk mencapai lapisan papilar di dermis dapat dinyatakan dengan hukum Fick’s I dengan persamaan berikut (Aiache, 1993; Chien, 1987):
Dimana Cd dan Cr adalah konsentrasi zat yang berpenetrasi melalui kulit dalam kompartemen donor (konsentrasi obat pada permukaan stratum corneum) dan dalam kompartemen reseptor (tubuh). Ps adalah koefisien permeabilitas jaringan kulit. Koefisien permeabilitas dapat dinyatakan dengan persamaan (Chien, 1987):
Dimana K adalah koefisien partisi molekul, D adalah koefisien difusi penetran melalui jaringan kulit pada keadaan tunak dan h adalah tebal jaringan kulit (Chien, 1987). Koefisien difusi melalui jaringan kulit dapat dipengaruhi oleh viskositas. Semakin tinggi viskositas maka koefisien difusinya rendah, sehingga pelepasan obatnya akan kecil, seperti yang dinyatakan pada persamaan Stokes-Einstein dengan persamaan berikut (Martin dkk, 1993):
Dimana Dv adalah koefisien difusi, K adalah konstanta boltzman, T adalah temperatur, η adalah viskositas, dan π bernilai 3,14.
2.5. Keuntungan Penghantaran Obat Secara Transdermal
Penghantaran obat secara transdermal didasarkan pada absorpsi obat ke kulit setelah aplikasi topikal. Rute transdermal untuk penghantaran obat secara sistemik telah banyak diakui dan dimanfaatkan. Penghantaran obat secara transdermal memberikan banyak keuntungan dibanding dengan bentuk pemberian obat yang lain. Perbedaan dengan pemberian secara oral, senyawa masuk ke dalam tubuh melewati kulit sehingga menghindari terjadinya first-pass metabolism di hati dan sering kali menghasilkan bioavailabilitas yang lebih tinggi. Penghantaran obat secara transdermal dapat digunakan untuk pasien dengan nausea, sedikit dipengaruhi oleh pemasukan makanan dan dapat dengan mudah dihilangkan. Perbedaan dengan penghantaranobat secara intravena, pemberian obat secara transdermal tidak invasif dan resiko terjadinya infeksi sangat kecil. Selain
itu,
penggunaan
sediaan
transdermal
relatif
memudahkan
pasien
untuk
menggunakan dan melepaskannya. Penghantaran obat secara transdermal memberikan penghantaran obat secara kontinyu, frekuensi dosis obat bolus dengan t ½ yang pendek dihindari, sehinggasebagai hasilnya efek samping atau variabilitas efek terapetik pada puncak dan konsentrasi obat pada plasma yang terlihat pada pemberian obat melewati bolus dapat diminimalisasi (Phipps dkk, 2004). Penghantaran obat secara transdermal harus mampu mengatasi hambatan pada kulit. Kulit melindungi tubuh dari lingkungan secara efektif dan umumnya hanya permeabel untuk obat yang kecil dan lipofilik. Sistem penghantaran transdermal tidak hanya bertujuan untuk memberikan obat ke kulit pada kondisi yang stabil, tetapi juga harus memberikanpeningkatan permiabilitas kulit secara lokal untuk senyawa obat yang besar,bermuatan dan hidrofilik dengan meminimalkan terjadinya iritasi (Phipps dkk, 2004).
2.6. Gel
Gel adalah sistem padat atau setengah padat dari paling sedikit dua konstituen yang terdiri dari massa seperti pagar yang rapat dan diselusupi oleh cairan. Jika matrik yang saling melekat kaya akan cairan, maka produk ini seringkali disebut jelly (Martin dkk, 1993). Gel mempunyai kekakuan yang disebabkan oleh jaringan yang saling menganyam dari fase terdispers yang mengurung dan memegang medium pendispersi. Perubahan dalam
temperatur dapat menyebabkan gel tertentu mendapatkan kembali bentuk sol atau bentuk cairnya. Juga beberapa gel menjadi encer setelah pengocokan dan segera menjadi setengah padat atau padat kembali setelah dibiarkan tidak terganggu untuk beberapa waktu tertentu, peristiwa ini dikenal sebagai tiksotropi (Ansel,1989). Penyerapan senyawa pada pemberian transdermal berkaitan dengan pemilihan bahan pembawa sehingga bahan aktif dapat berdifusi dengan mudah ke dalam struktur kulit. Bahan pembawa dapat mempengaruhi keadaan dengan mengubah permeabilitas kulit dalam batas fisiologik dan bersifat reversibel terutama dengan meningkatkan kelembaban kulit (Aiache, 1993). Basis pada sediaan gel dapat digunakan hydroxypropyl methilcellulose (HPMC) merupakan serbuk putih atau putih kekuningan, tidak berbau dan berasa, larut dalam air dingin, membentuk cairan yang kental, praktis tidak larut dalam kloroform, etanol (95%) dan eter. HPMC biasanyadigunakan dalam sediaan oral dan topikal, HPMC biasanya digunakan sebagai emulgator, suspending agent dan stabilizing agent dalam sediaan salep dan gel topikal (Harwood, 2006).
2.7. Parasetamol
Parasetamol (Acetamenophen) adalah turunan dari senyawa sintetis dari paminofenol yang merupakan metabolit aktif dari fenasetin, namun tidak memiliki sifat karsinogenik (menyebabkan kanker) seperti halnya fenasetin. Khasiatnya analgetis dan antipiretis, tetapi tidak anti radang. Dewasa ini pada umumnya di anggap sebagai zat anti nyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi (pengobatan mandiri). Tetapi jika senyawa ini bila dikombinasikan dengan obat anti inflamasi non steroid (NSAID) atau obat pereda nyeri opioid, dapat digunakan untuk mengobati nyeri yang lebih parah. (Tan dan Kirana, 2002; Hardman, 2001) Namun senyawa obat parasetamol ini tidak seperti obat pereda nyeri lainnya (aspirin dan ibuprofen), tidak digolongkan ke dalam obat anti inflamasi non steroid (NSAID) karena memiliki khasiat anti inflamasi yang relatif kecil karena itu dianggap aman. Tapi pada dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati. Risiko kerusakan hati ini diperparah apabila pasien juga meminum alkohol. (Hardman, 2001; Foye, 1995)
Parasetamol memiliki sebuah cincin benzena, tersubstitusi oleh satu gugus hidroksil dan atom nitrogen dari gugus amida pada posisi para. Senyawa ini dapat disintesis dari senyawa asal fenol yang dinitrasikan menggunakan asam sulfat dan natrium nitrat. Parasetamol dapat pula terbentuk apabila senyawa 4-aminofeno l direaksikan dengan senyawa asetat anhidrat (Hardman, 2001).
2.7.1. Struktur Parasetamol
Nama Kimia
: N-acetyl-p-aminophenol atau p-asetamedofenol atau 4’hidroksiasetanilida
Rumus Empiris
: C8H9NO2
Berat Molekul
: 151,16
Pemerian
: Kristal putih tidak berbau atau serbuk kristalin dengan rasa pahit, jarak lebur atau titik lebur pada 169°-172°C
Kelarutan
: 1 g dapat larut dalam kira-kira 70 ml air pada suhu 25°C, 1 g larut dalam 20 ml air mendidih, dalam 7 ml alkohol, dalam 13 ml aseton, dalam 50 ml kloroform, dalam 40 ml gliserin, dalam 9 ml propilenglikol, dan larut dalam arutan alkali hidroksida. Tidak larut dalam benzen dan eter. Larutan jenuh mempunyai pH kira-kira 6. pKa= 9
(Connors, 1992; Ditjen POM, 1995) 2.7.2. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja yang sebenarnya dari parasetamol masih menjadi bahan perdebatan. Parasetamol menghambat produksi prostaglandin (senyawa penyebab
inflamasi), namun parasetamol hanya sedikit memiliki khasiat anti inflamasi. Telah dibuktikan bahwa parasetamol mampu mengurangi bentuk teroksidasi enzim siklooksigenase (COX), sehingga menghambatnya untuk membentuk senyawa penyebab inflamasi. Sebagaimana diketahui bahwa enzim siklooksigenase ini berperan pada metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin H2, suatu molekul yang tidak stabil, yang dapat berubah menjadi berbagai senyawa proinflamasi. Kemungkinan lain mekanisme kerja parasetamol ialah bahwa parasetamol menghambat enzim siklooksigenase seperti halnya aspirin, namun hal tersebut terjadi pada kondisi inflamasi, dimana terdapat konsentrasi peroksida yang tinggi. Pada kondisi ini oksidasi parasetamol juga tinggi, sehingga menghambat aksi anti inflamasi. Hal ini menyebabkan parasetamol tidak memiliki khasiat langsung pada tempat inflamasi, namun malah bekerja di sistem syaraf pusat untuk menurunkan temperatur tubuh, dimana kondisinya tidak oksidatif. (Hardman, 2001; Munaf, 1994; Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2007)
2.7.3. Metabolisme
Metabolisme parasetamol terjadi di hati. Metabolit utamanya meliputi senyawa sulfat yang tidak aktif dan konjugat glukoronida yang dikeluarkan lewat ginjal. Hanya sedikit jumlah parasetamol yang bertanggung jawab terhadap efek toksik (racun) yang diakibatkan oleh metabolit NAPQI (N-asetil-p-benzo-kuinon imina). Bila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis normal, metabolit toksik NAPQI ini segera didetoksifikasi menjadi konjugat yang tidak toksik dan segera dikeluarkan melalui ginjal. Namun apabila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis tinggi, konsentrasi metabolit beracun ini menjadi jenuh sehingga menyebabkan kerusakan hati (Hardman, 2001).
2.7.4. Efek Samping
Efek
samping
adalah
hal
yang
bukan
tidak
jarang
terjadi
pada
penggunaan/konsumsi senyawa obat, begitu pula dengan parasetamol. Parasetamol menimbulkan efek sampin seperti; reaksi hipersensitivitas dan kelainan pada darah (anemia hemolitik). Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan
hati, reaksi alergi: jarang terjadi, berupa eritem, urtikaria, atau bila lebih berat dapat timbul demam dan lesi mukosa (Tan dan Kirana, 2002).
2.8. Uji Penetrasi Secara I n vitro Menggunakan Sel Difusi Franz
Studi penetrasi kulit secara in vitro berhubungan dengan mengukur kecepatan dan jumlah komponen yang menembus kulit dan jumlah komponen yang tertahan pada kulit. Salah satu cara untuk mengukur jumlah obat yang terpenetrasi melalui kulit yaitu menggunakan sel difusi franz. Sel difusi franz terbagi atas dua komponen yaitu kompartemen donor dan kompartemen reseptor. Membran yang digunakan dapat berupa kulit manusia atau kulit hewan. Membran diletakkan di antara kedua kompartemen, dilengkapi dengan o-ring untuk menjaga letak membran. Gambar alat sel difusi franz dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Kompartemen sel difusi franz (Particle Science Drug Development Service Vol. 10, 2009) Kompartemen reseptor diisi dengan larutan penerima. Suhu pada sel dijaga dengan sirkulasi air menggunakan water jacket disekeliling kompartemen reseptor. Sediaan yang akan diuji diaplikasikan pada membran kulit. Pada interval waktu tertentu diambil beberapa ml cairan dari kompartemen reseptor dan jumlah obat yang terpenetrasi melalui kulit dapat dianalisis dengan metode analisis yang sesuai. Setiap diambil sampel cairan dari kompartemen reseptor harus selalu digantikan dengan cairan yang sama sejumlah volume yang terambil (Anggraeni, 2008).
2.9. Spektrofotometri UV-Vis
Spektrofotometri
serap
merupakan
pengukuran
interaksi
antara
radiasi
elektromagnetik panjang gelombang tertentu yang sempit dan mendekati monokromatik, dengan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa molekul selalu mengabsorbsi cahaya elektromagnetik jika frekuensi cahaya tersebut sama dengan frekuensi getaran dari molekul tersebut. Elektron yang terkait dan elektron yang tidak terkait akan tereksitasi pada suatu daerah frekuensi, yang sesuai dengan cahaya ultraviolet dan cahaya tampak (UV-Vis) (Henry, Suryadi, Yanuar 2002). Spektrum absorbsi daerah ini adalah sekitar 220 nm sampai 800 nm dan dinyatakan sebagai spektrum elektron. Suatu spektrum ultraviolet meliputi daerah bagian ultraviolet (190-380 nm), spektrum Vis (Visibel) bagian sinar tampak (380-780 nm) (Henry, dkk., 2002). Instrumentasi dari spektrofotometer UV-Vis ini dapat diuraikan sebagai berikut : a.
Suatu sumber energi cahaya yang berkesinambungan yang meliputi daerah spektrum yang mana alat tersebut dirancang untuk beroperasi.
b.
Suatu monokromator, yakni sebuah piranti untuk memencilkan pita sempitpanjang gelombang dari spektrum lebar yang dipancarkan oleh sumber cahaya.
c.
Suatu wadah untuk sampel (dalam hal ini digunakan kuvet)
d.
Suatu detektor yang berupa transduser yang merubah energi cahaya menjadi suatu isyarat listrik.
e.
Suatu amplifier (pengganda) dan rangkaian yang berkaitan yang membuat isyarat listrik itu memadai untuk dibaca.
f.
Suatu sistem baca dimana diperagakan besarnya isyarat listrik yang ditangkap.
(Henry, dkk., 2002) Spektrofotometri UV-Vis digunakan terutama untuk analisa kuantitatif, tetapi dapat juga untuk analisa kualitatif. Penggunaan untuk analisa kuantitatif didasarkan pada hukum Lambert-Beers yang menyatakan hubungan empirik antara intensitas cahaya yang ditransmisikan dengan tebalnya larutan (Hukum Lambert/Bouger), dan hubungan antara intensitas tadi dengan konsentrasi zat (Hukum Beers) (Henry, dkk., 2002).
Hukum Lambert-Beer dapat dijelaskan dengan persamaan berikut : A = Log Io/It = Ɛ. b. c = a. b. c Di mana : A = serapan; Io = intensitas sinar yang datang; It = intensitas sinar yang diteruskan (ditransmisikan); Ɛ = absorbtivitas molekuler / konstanta ekstingsi (L.mol-1. Cm-1); a = daya serap (L.g-1.cm-1); b = tebal larutan / kuvet (cm); c = konsentrasi (g.L-1 , mg. mL-1) ( Henry, Suryadi, Yanuar 2002) Panjang gelombang yang digunakan untuk melakukan analisis kuantitatif suatu zat biasanya merupakan panjang gelombang di mana zat yang bersangkutan memberikan serapan pada umumnya landai sehigga perubahan yang tidak terlalu besar pula (dapat diabaikan) (Henry, dkk., 2002). Serapan yang optimum untuk pengukuran dengan spektrofotometri Uv-Vis ini berkisar antara 0,2-0,8. Namun menurut literature lain, serapan sebesar 2-3 relatif masih memberikan hasil perhitungan yang cukup baik untuk campuran, walaupun disarankan agar serapan berada dibawah 2 untuk hasil yang lebih baik, dengan cara mengencerkan larutan zat yang akan di ukur (Henry, dkk., 2002).
BAB III Metodologi
3.1.
Alat
1) Penangas air 2) Cawan porselen 3) Franz Diffusion Cells 4) Syringe dan selang 5) Batang pengaduk 6) Timbangan analitik 7) Membran (kertas Whatman no. 1)
3.2.
Bahan
1) Larutan Spangler, terbuat dari : a. Asam palmitat
10%
b. Asam oleat
15%
c. Asam stearat
5%
d. Minyak kelapa
15%
e. Parafin
10%
f. Lilin putih
15%
2) Gel PCT dengan formula : a. Paracetamol
1%
b. Karbopol 940
1,2%
c. TEA
1,2%
d. Etanol 95%
10%
e. Natrium benzoat 0,3% f. Aquadest ad to
100%
3) Cairan Buffer NaOH 0,1 M
3.3.
Prosedur Kerja
1) Membuat larutan spangler; semua bahan dilebur di atas cawan porselen yang diletakkan di atas penangas air. Bahan diaduk hingga homogen. 2) Membran dicelupkan ke dalam larutan spangler yang masih cair selama 10 menit, kemudian segera dikeringkan dengan dryer . % impregnasi dihitung dengan persamaan :
Bo = Bobot awal sebelum diimpregnasi (g) Bt = Bobot setelah diimpregnasi (g)
3) Gel PCT dibuat sesuai formula diatas; semua bahan dicampurkan dan diaduk hingga homogen. 4) Membran diletakkan di alat uji difusi Franz Diffusion Cells, dan di atas membran dioleskan gel PCT yang telah dibuat sebanyak 1 gram. 0
5) Suhu sistem 370,5 C dengan cairan sirkulasi NaOH 0,1 M sebanyak 70 ml. Proses uji difusi dilakukan selama 3 jam. 6) Cuplikan diambil dari cairan reseptor dalam gelas kimia sebanyak 5 ml dan setiap pengambilan selalu diganti dengan aquabidestilata sebanyak 5 ml (selang waktu pengambilan 10, 20, 30, 40, dan 50 menit). 7) Larutan yang dicuplik diencerkan dengan pelarut campur dalam labu takar 10 ml (pengenceran 100x); yakni dengan cara mengencerkan 100µL cairan dengan NaOH 0,1 dalam labu takar 10 mL. 8) Serapan diukur dengan Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum PCT.
L ampir an Gambar
M embran U ji yang telah di celu pkan ke dalam laru tan Spangler
Seperangkat alat uj i difu si F ranz Dif fu sion Cell s
Proses pencupl ik an cair an setelah meni t k e-5 proses uji dif usi ber lan gsun g
Pengganti an cairan difu si yang telah dicuplik sejuml ah 5 mL
BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN 4.1 HASIL 4.1.1 Hasil % impregnasi membran
% impregnasi kelas A =
=
=
x 100%
x 100%
x 100%
= 511,64%
% impregnasi kelas C =
=
=
x 100%
x 100%
x 100%
= 425,05%
% impregnasi kelas B =
=
=
x 100%
x 100%
x 100%
= 351,45%
% impregnasi kelas D =
=
=
x 100%
x 100%
x 100%
= 329,04% 4.1.2 Hasil absorbansi
kurva absorbansi kelas A
Hasil absorbansi kelas A
y = 0.0028x + 0.0568 R² = 0.9751
0.25
Waktu pengambilan 10 menit 20 menit 50 menit 60 menit
Absorbansi 0,096 0,100 0,193 0,237
i s n a b r o s b a
0.2 0.15 0.1
Y-Value 1
0.05
Linear (Y-Value 1)
0 0
20
40 waktu
60
80
kurva absorbansi kelas C
Hasil absorbansi kelas C
Waktu pengambilan 10 menit 20 menit 30 menit 40 menit 50 menit
Absorbansi 0,082 0,123 0,145 0,043 0,069
0.2 i s n a b r o s b a
Absorbansi 0,076 0,163 0,156 0,118
y = -0.0011x + 0.1242 R² = 0.1653 Series1
0.1 0.05
Linear (Series1)
0 0
20
40
60
waktu
kurva absorbansi kelas D
Hasil absorbansi kelas D
Waktu pengambilan 10 menit 30 menit 40 menit 50 menit
0.15
0.2 i s n a b r o s b a
y = 0.0013x + 0.0867 R² = 0.2965
0.15 0.1 0.05
Series1
0 0
20
40
60
Linear (Series1)
waktu
Hasil absorbansi kelas B
Waktu pengambilan 5 menit 10 menit 15 menit 20 menit
kurva absorbansi kelas B
Absorbansi 0,076 0,163 0,156 0,118
0.2 i s n a b r o s b a
y = 0.0024x + 0.0985 R² = 0.1471
0.15 0.1
Series1
0.05
Linear (Series1)
0 0
10
20 waktu
30
kurva standar paracetamol kelompok 1&2 A 0.8 0.7 0.6 i s n 0.5 a b r 0.4 o s b 0.3 a 0.2 0.1 0
y = 0.0743x - 0.008 R² = 0.9999
Series1 Linear (Series1)
0
5
10
15
waktu
Untuk mencari kadar obat (x) , dimasukkan hasil absorbansi yang diperoleh kedalam persamaan y = 0.0743x - 0.008 dengan mensubstitusi y dengan absorbansi yang diperoleh tiap menit pengambilan sampel. 4.1.3 Hasil konsentrasi paracetamol dari 4 formula gel yang berbeda Kelas A dengan basis karbopol formula 1 Waktu Konsentrasi(mg) pengambilan 10 menit 0.203 20 menit 0.207 50 menit 0.300 60 menit 0.344 kelas C dengan basis HPMC formula 1 Waktu Konsentrasi (mg) pengambilan 10 menit 0.189 20 menit 0.230 30 menit 0.252 40 menit 0.150 50 menit 0.176 Kelas D dengan basis HPMC formula 2 Waktu pengambilan 10 menit 30 menit 40 menit 50 menit
Konsentrasi(mg) 0.183 0.270 0.263 0.225
Kelas B dengan basis karbopol formula 2 Waktu pengambilan 5 menit 10 menit 15 menit 20 menit
Konsentrasi(mg) 0.183 0.270 0.263 0.225
4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan pengamatan untuk mengukur konsentrasi obat
yang
terdifusi kedalam kulit dan mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi difusi obat melalui kulit. Pengujian
difusi ini
dilakukan
untuk
pengujian
pada
sediaan
transdermal.
Pemberian secara transdermal menghasilkan pelepasan obat ke dalam tubuh melalui kulit (shargel, 1988). Untuk mencapai tempat kerja suatu obat di jaringan atau organ, obat tersebut harus melewati berbagai membran sel. Membran sel mempunyai struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid yang semipermeabel. Kelarutan molekul obat dalam lipid inilah yang merupakan faktor utama absorbsi obat dalam tubuh. Difusi yang terjadi merupakan difusi pasif yaitu suatu proses perpindahan masa dari tempat yang berkonsentrasi tinggi ke tempat yang berkonsentrasi rendah tanpa membutuhkan energi. Membran difusi tiruan ini berfungsi sebagai sawar yang memisahkan sediaan dengan cairan disekitarnya. Pada praktikum kali ini, dilakukan uji difusi suatu obat dengan menggunakan metode Flow Through. Yang merupakan percobaan pada uji difusi terhadap suatu zat tertentu dimana dibuat suatu mekanisme kerja layaknya difusi didalam membran sel tubuh manusia. Adapun sediaan yang diuji menggunakan bahan aktif parasetamol dalam bentuk sediaan gel dengan konsentrasi bahan aktif 1 %. Kemudian dihitung konsentrasi obat yang terabsorbsi pada membran, dimana obat yang terabsorbsi seolah-olah menembus membran sel yang ada didalam tubuh. Pada metode flow through langkah pertama adalah pembuatan membran difusi dengan menggunakan kertas whatman no. 1 yang diimpregnasikan terlebih dahulu dengan cairan spangler. Adapun komposisi cairan spangler ini meliputi berbagai minyak dan lemak seperti
asam palmitat, asam oleat, asam stearat, minyak kelapa, paraffin cair, Cairan spangler disini dianggap sebagai komposisi kandungan yang terdapat pada kulit yang terdapat banyak lemak. Sebelum diimpregnasikan dengan cairan spangler, bobot kertas whatman ditimbang terlebih dahulu untuk menentukan persentase impregnasi dari kertas whatman.
Pemilihan sediaan yang akan diuji adalah menggunakan sediaan gel, karena sediaan gel lebih mudah digunakan saat percobaan dengan cara mengolesi sediaan pada membran yang telah dibuat dibanding sediaan-sediaan lain seperti sediaan cair atau sediaan padat lainnya. Mekanisme kerja dari flow through ini adalah membran diletakkan diantara kedua kompartemen, dilengkapi dengan dua tabung penjepit untuk menjaga letak membran. Kompartemen donor diisi dengan larutan penerima. Suhu pada sistem dijaga yaitu 37˚C±0,5˚C dengan sirkulasi air sebanyak 70 ml. Pompa peristaltik menghisap cairan donor dari gelas kimia kemudian dipompa ke sel difusi mengabsorbsi zat obat diatas membran. Kemudian cairan dialirkan ke reseptor dengan membawa cairan yang mengabsorbsi zat obat. Pada interval waktu 10 menit, 20menit, 30 menit, 40 menit, 50 menit, 60 menit, masing-masing diambil sebanyak 5 ml cairan dari kompartemen reseptor yang kemudian diencerkan sebanyak 100 kali dalam labu ukur 10 ml untuk dianalisa. Dalam praktikum ini metode analisis yang digunakan adalah spektrofotometer UV-Vis sehingga didapat nilai absorbansi dari setiap cairan yang kemudian baru dapat dihitung konsentrasi obat yang terlarut dalam cairan tersebut. Setiap sampel cairan pada interval waktu tertentu yang diambil dari kompartemen reseptor harus selalu digantikan dengan cairan yang sama sejumlah volume yang terambil, pada praktikum kali ini dengan NaOH 0,1 N Berdasarkan data percobaan yang didapat pada kelas A nilai absrobansi yang diperoleh sudah sesuai yaitu semaikn lama waktu pengambilan maka absorbansinya semakin besar hal ini menunjukkan konsentrasinya juga semakin besar seiring dengan bertambahnya waktu , begitu pula dengan kelas C namun pada menit 40 dan 50 konsentrasinya mengalami penurunan, kemudian pada kelas D konsentrasinya juga semakin besar seiring dengan bertambahnya waktu namun pada menit ke 50 konsentrasninya mengalami penurunan, pada kelas B konsentrasi yang diperoleh juga mengalai peningkatan namun juga mengalami penurunan pada menit ke 20.
Berdasarkan data yang diperoleh diatas konsentrasinya tidak berbanding lurus untuk setiap masing-masing interval waktu. Karena seharusnya konsentrasi rata – rata obat yang dapat menembus membran berbanding lurus dengan konsentrasi dari parasetamol. Konsentrasi parasetamol yang dapat menembus membran berbanding lurus dengan waktu, dimana semakin lamanya waktu maka semakin besar jumlah ataupun konsentrasi yang dapat menembus membran, hingga mencapai puncak dimana konsentrasi obat yang terabsorbsi mengalami penurunan yang sebanding dengan konsentrasi parasetamol yang ada jika digambarkan dalam grafik akan terlihat seperti puncak parabola. Namun hal ini tidak sesuai dengan hasil pengamatan yang diperoleh, hal ini mungkin disebabkan oleh kesalahan pada saat praktikum,Kesalahan yang terjadi diantaranya membran difusi yang diletakkan dalam kondisi miring sehingga zat-zat tidak terabsorbsi secara konstan dalam interval waktu tertentu. Atau dikarenakan cairan NaOH yang dimasukkan kurang sesuai sehingga kadang terabsorbsi secara berlebihan dan kadang tidak terabsorbsi sama sekali. Cairan dapar fosfat yang digunakan dibuat dari pagi sejak awal praktikum sehingga kemungkinan sudah terjadi penurunan PH dari dapar tersebut ketika digunakan pada siang dan sore hari. Berdasarkan kurva kalibrasi yang didapat dari masing-masing absorbansi terhadap interval waktu, nilai regresi linear adalah 0.3960025. Nilai ini jauh mendekati angka 1, dan konsentrasi yang didapat berdasarkan persamaan y = a + bx tidak menunjukkan data yang baik. Kesalahan-kesalahan pada percobaan ini banyak disebabkan oleh berbagai faktor baik dari prosedur kerja maupun praktikan. Kecepatan penetrasi obat dikulit melalui mekanisme difusi sehingga terjadi sesuai dengan hukum fick.
(Cs – C)
Keterangan : J= fluks per satuan luas K= koefisien partisi obat dalam membran dan pembawa h = tebal membrane D = koefisien difusi obat
Cs = konsentrasi obat dalam pembawa C = konsentrasi obat dalam medium reseptor Faktor yang mempengaruhi difusi zat melalui kult : sifat fisiko kimia dari zat aktif (bobot molekul, kelarutan, koe fisien partisi)
Karakteristik sediaan
Karakteristik basis
Zat-zat tambahan dalam sediaan
BAB V PRNUTUP 5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum kali ini didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
Nilai regresi linear dari kurva kalibrasi yang didapat adalah 0.3960025.
Nilai regresi linear dari kurva yang didapat jauh dari angka 1
Konsentrasi yang didapat berdasarkan persamaan y = a + bx tidak menunjukkan data yang baik.
Hal ini mungkin terjadi karena kesalahan pada saat praktikum, seperti : Membran difusi yang diletakkan dalam kondisi miring sehingga zat-zat tidak
terabsorbsi secara konstan dalam interval waktu tertentu. Cairan NaOH yang digantikan, kurang sesuai sehingga kadang terabsorbsi secara
berlebihan dan kadang tidak terabsorbsi sama sekali.
Cairan dapar fosfat yang digunakan dibuat dari pagi sejak awal praktikum sehingga kemungkinan sudah terjadi penurunan PH dari dapar tersebut ketika digunakan pada siang dan sore hari.
5.2 Saran
Berdasarkan kejadian yang telah kami alami saat praktikum, diharapkan pada praktikum selanjutnya praktikan lebih berhati-hati dalam melakukan langkah-langkah dalam tiap tahap pada metode kerja sesuai prosedur yang telah diarahkan sebelumnya. Adapun untuk cairan pendukung praktikum, seperti NaOH dan dapar fosfat lebih baik untuk dibuat dalam keadaan baru (fresh), agar didapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Aiache, 1993, Farmasetika 2: Biofarmasi, terjemahan Widji Soeratri, Airlangga University Press, Surabaya, 156-177, 213-224, 450-470. Anggraeni, Citra Ayu. 2008. Pengaruh Bentuk Sediaan Krim, Gel dan Salep Terhadap Penetrasi Aminofilin Sebagai Antiselulit Secara In Vitro Menggunakan Sel Difusi Franz . Skripsi Sarjana Farmasi : FMIPA UI. Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Ibrahim, F., UI Press, Jakarta,392. Chien, Y.W., 1987, Novel Drug Delivery, Marcel Dekker Inc., New York, 301-375. Connors, K.A. 1992. Stabilitas Kimiawi Sediaan Farmasi. Semarang : IKIP. Semarang Press. Hal. 197. Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI. Hal. 235-239 Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV . Jakarta : DEPKES RI. Hal. 649. Foye, William O. 1995. Principle Medical Chemistry Fourth Edition. New York : Williams and Wilkins Publisher. Page. 544-545. Hardman, J.G. 2001. The Pharmacological Basis of Therapeutics 10th E dition. New York : McGraw Hill Publisher. Page. 687-731. Harwood, R.J., 2006, Hydroxypropyl Methylcellulose in Handbook of Pharmaceutical Excipients, Fifth Edition, Rowe, R.C., P. J., Sheskey, P. J., Owen, S.C, Pharmacutical Press, London, 252-255. Henry, Arthur dkk. 2002. Analisis Spektrofotometri UV-Vis Pada Obat Influenza Dengan Menggunakan Aplikasi Sistem Persamaan Linier . Jakarta : KOMMIT UGM th
Martin, A., Bustamante, P., dan Chun, A.H.C., 1993, Physical Pharmacy, 5 Edition, Lea and Febiger, Washington, Philadelpia, 1083-1096, 324. Moghimi, H.R., Barry, B.W., dan Williams, A.C., 1999, Stratum Corneum and Barrier Performance (A Model Lamellar Approach) dalam Percutaneous Absorption Drug Cosmetics Mechanism Methodology, Bronaugh, R.L., dan Maibach, H.I, Marcell Dekker Inc, New York, 515-545. Munaf, Sjamsuir. (1994). Catatan Kuliah Farmakologi Bagian II. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 183-184.
View more...
Comments