Laporan Praktikum 1 Geolistrik
February 21, 2019 | Author: Eric Candra Simanjuntak | Category: N/A
Short Description
Laporan Praktikum Geolistrik...
Description
LAPORAN PRAKTIKUM METODE GEOLISTRIK DAN ELEKTROMAGNETIK
OLEH: ANDRY DENY WARDHANA
(12312041)
ERIC CANDRA SIMANJUNTAK
(12312066)
ASISTEN : ANDI SYAMRIZAL
(22304302)
FIRMAN HADI MUHAMMAD
(22304304)
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOFISIKA INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
I.
PENDAHULUAN
Geofisika merupakan ilmu yang mempelajari bumi dengan pendekatan fisika, dimana dalam geofisika dikenal beberapa metoda, antara lain: metoda gravity, metoda magnetik, metoda listrik, meto da seismik. Setiap metoda memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing dan se bagai geologist, perlu mengetahui bagaimana pembacaan dan pengolahan data, sehingga hasil olahan data tersebut dapat membantu pekerjaan eksplorasi. Metoda geolistrik resistivity memanfaatkan sifat ketahanan batuan terhadap listrik, yang dipengaruhi oleh nilai-nilai seperti kandungan mineral logam dan nonlogam, kandungan elektrolit (garam), kandungan air, porositas batuan, permeabilitas batuan, tekstur/kekompakan batuan, serta suhu/temperatur.
II. DASAR TEORI
Geolistrik resistivity merupakan metode geolistrik yang mempelajari sifat re sistivitas (tahanan jenis) listrik dari lapisan batuan di dalam bumi (Hendrajaya dan Idam, 1990). Pada metode ini arus listrik diinjeksikan ke dalam bumi melalui dua buah elektroda arus dan dilakukan pengukuran beda potensial melalui dua buah elektroda potensial. Dari hasil pengukuran arus dan beda potensial listrik akan dapat dihitung variasi harga resistivitas pada lapisan permukaan bumi di bawah titik ukur ( Sounding point ) (Apparao, 1997). Pada metode ini dikenal banyak konfigurasi elektroda, yaitu : konfigurasi Wenner, konfigurasi Schlumberger , konfigurasi Wenner-Schlumberger , konfigurasi Dipol-dipol, Rectangle Line Source dan sistem gradien 3 titik (Hendrajaya dan Idam, 1990). Berdasarkan pada tujuan penyelidikan metode ini dibagi menjadi dua yaitu mapping dan sounding. Metode resistivitas mapping merupakan metode resistivitas yang bertujuan mempelajari variasi resistivitas lapisan bawah permukaan secara horisontal. Sedangkan metode resistivitas
sounding
bertujuan mempelajari variasi resistivitas batuan di bawah permukaan bumi secara vertikal. Pada metode ini, pengukuran pada suatu titik sounding dilakukan dengan jalan mengubah-ubah jarak elektroda. Pengubahan jarak elektroda ini tidak dilakukan secara sembarang, tetapi mulai jarak elektroda kecil kemudian membesar secara gradual. Jarak elektroda ini sebanding dengan kedalaman lapisan batuan yang terdeteksi. Dari kedalaman lapisan batuan yang terdeteksi, akan diperoleh ketebalan dan resistivitas masing-masing lapisan batuan. Konfigurasi elektoda yang sering digunakan dalam teknik sounding yaitu konfigurasi Schlumberger .
Keterangan : R1 = R4
Gambar 1. Rangkaian elektroda konfigurasi Schlumberger
Adapun kelemahan dari konfigurasi schlumberger adalah pembacaan tegangan pada elektroda MN lebih kecil terutama ketika jarak AB yang relative jauh, sehingga diperlukan alat ukur multimeter yang mempunyai karakteristik High Impedance
dengan mengatur tegangan minimal 4 digit atau 2 digit
dibelakang koma, atau dengan cara peralatan arus yang memepunyai tegangan listrik DC yang sangat tinggi. Keunggulan konfigurasi schlumberger adalah kemampuan untuk mendeteksi adanya sifat tidak homogen lapisan batuan pada permukaan yaitu membandingkan nilai resistivitas semu ketika terjadi perubahan jarak elektroda MN/2 (Anonim, 2007a) Parameter yang diukur yaitu : jarak antar stasiun dengan elektroda- elektroda (AB/2 dan MN/2), arus (I), dan beda potensial (ΔV). Parameter y ang dihitung yaitu : tahanan jenis(R) dan factor Geometri
(k).(Asisten Geofisika, 2006). Factor geometri (k) dapat dicari dengan rumus :
Secara umum faktor geometri untuk konfigurasi Schlumberger adalah sebagai berikut : 2
=π
dimana : ρ
: Resistivitas Semu
0
: Titik yang diukur secara sounding
2
AB −MN 4MN
AB
: Spasi Elektroda Arus (m)
MN
: Spasi Elektroda Potensial (m), dengan syarat bahwa MN < 1/5 AB (menurut Schlumberger)
k
: Faktor Geometri
Berdasarkan Sunaryo, dkk (2003) resistivitas semu (ρa) pada pengukuran resistivitas secara umum dengan cara menginjeksikan arus kedalam tanah melalui 2 elektroda arus (C1 dan C2). Dan mengukur hasil beda potensial yang ditimbulkannya pada 2 elektroda potensial (P1 dan P2). Dari data harga arus (I) dan beda potensial (V), dapat dihitung nilai resistivitas semu (ρa) sebagai berikut :
Resistivitas ditentukan dari suatu tahanan jenis semu yang dihitung dari pengukuran perbedaan potensi antar elektroda yang ditempatkan dibawah permukaan. Pengukuran suatu beda potensial antara dua elektroda seperti pada gambar dibawah ini sebagai hasil dua elektroda lain pada titik C yaitu tahanan jenis dibawah permukaan tanah dibawah elektroda (Todd.D.K .1959).
Gambar 2. Siklus Elektrik Determinasi
Resistivitas dan Lapangan Elektrik Untuk Stratum Homogeneus permukaan bawah tanah. (Todd, D.K , 1959). Titik pengukuran konfigurasi Schlumberger dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Gambar 3. Titik sounding konfigurasi Schlumberger
Nilai Resistivitas Dari Berbagai Tipe Batuan (Telford, 1990; Astier; 1971, Mori, 1993)
Jenis Batuan/Tanah/Air
Tingkat Resistivitas (Ωm)
Clay/lempung
1-100
Silt/lanau
10-200
Marls/batulumpur
3-70
Kuarsa
10-2x108
Sandstone/BatuPasir
50-500
Limestone/Batukapur
100-500
Lava
100-5x104
Air tanah
0,5-300
Air laut
0,2
Breksi
75-200
Andesit
100-200
Tufa vulkanik
20-100
Konglomerat
2x103-104
III. PENGOLAHAN DATA
Lakukan pengolahan data menggunakan IPI2Win dari data hasil pengukuran tabel dibawah. Anggap bahwa stasiun sounding yang berlokasi berurutan terletak pada garis lurus dengan jarak antar stasiun pengukuran 1 km (total panjang lintasan SET 1 = 2km, SET 2 = 4km). Pekerjaan lapangan dianggap dilakukan dalam daerah batuan sedimen. Dari data lobang bor yang tersedia, diketahui bahwa terdapat selang-seling pasir dan lempung ditutup dengan lapisan tipis alluvium.
SET 1
VES 1
VES 2
VES 3
Hasil SET 1 (Hasil Interpolasi VES 1, VES 2 dan VES 3)
SET 2
VES 1
VES 2
VES 3
VES 4
VES 5
Hasil SET 2 (Hasil Interpolasi VES 1, VES 2, VES 3, VES 4, dan VES 5)
IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN SET 1
Pseudo Cross Section dari SET 1 di atas menggambarkan kondisi bawah permukaan berdasarkan kontras resistivitas batuan. Penampang ini merupakan hasil interpolasi dari pengukuran tiga titik VES (Vertical Electrical Sounding). Dari soal informasi yang diketahui adalah “ terdapat selang-seling pasir dan lempung ditutup dengan lapisan tipis alluvium”
Lapisan berwarna merah pada jarak lateral 0-300 m, 1600-2000m dengan tebal 8 m menggambarkan lapisan yang mimiliki resistivitas yang tinggi (20.54-30.14 Ωm), warna kuning-jingga merupakan lapisan dengan resistivitas 13.99-20.54 Ωm, warna hijau merupakan lapisan dengan nilai resistivitas 9.532-13.99 Ωm, dan lapisan berwarna biru pada kedalaman 11-200 m menggambarkan lapisan yang memilki
resistivitas yang paling rendah (0-9.532 Ωm).
Pada data resistivitas pada Pseudo Cross Section di atas dapat diduga bahwa terdapat empat kelompok batuan dengan kontras resistivitas yang berbeda. Dalam hal ini lapisan batu pasir basah memiliki resistivitas yang lebih rendah dari lapisan batu lempung. Hal ini kemungkinan terjadi karena penampang ini merupakan penampang yang masih tergolong dangkal sehingga masih sangat mungkin air (dalam hal ini air hujan) mampu menerobos lapisan. Batu pasir dapat menyerap air karena memiliki porositas yang baik, dimana porositas berbanding terbalik dengan nilai resistivitas. Oleh karena itu, batu lempung memiliki resistivitas yang kurang baik dibanding batu pasir sehingga dalam kondisi ini nilai resistivitas batu lempung lebih tinggi dibandingkan dengan batu pasir karena batu pasir yang memiliki porositas tinggi yang dapat menyimpan air. Sementara itu lapisan tipis alluvium merupakan yang berwarna hjau dimana nilai resistivitasnya berada diantara batu pasir dan batu lempung yaitu 9.53- 12.71 Ω m. Nilai resistivitas yang tinggi pada daerah yang berwarna merah dapat diasumsikan sebagai anomaly bongkah/boulder (resistivitas tinggi) yang terpendam ke dalam permukaan bumi sampai pada kedalaman 7 meter. Oleh sebab itulah mengapa nilai resistivitas di sekitar titik VES 1 dan VES 3 sangat tinggi dibanding lapisan lain. SET 2
Pseudo Cross Section dari SET 2 di atas menggambarkan kondisi bawah permukaan berdasarkan kontras resistivitas batuan. Penampang ini merupakan hasil interpolasi dari pengukuran lima titik VES (Vertical Electrical Sounding). Warna merah menggambarkan nilai resistivitas yang tinggi yaitu 9.43-17 Ωm. Lapisan ini kemudian dikelilingi oleh lapisan batuan berwarna yang memiliki resistivitas yang lebih rendah (hijau-jingga), yaitu dengan nilai resistivitas 4.12-9.43 Ωm. Sementara itu di sekitar lapisan batuan tersebut juga terdapat batuan yang memiliki nilai resistivitas yang lebih rendah lagi (biru) yaitu sekitar 0- 3.67 Ωm. Dari data resistivitas pada Pseudo Cross Section di atas dapat diduga bahwa lapisan berwarna biru (resistivitas paling rendah) merupakan batu pasir yang mengandung air. Pada kondisi ini air kemungkinan berasal dari air hujan yang mampu menerobos sampai kedalaman yang masih terbilang dangkal (0-40 meter). Nilai resistivitas suatu batuan berbanding terbalik dengan porositasnya. Dalam kondisi ini sangat memungkinkan resistivitas batu lempung (kuning) lebih tinggi daripada batu pasir karena batu pasir yang terisi oleh air (porositas baik) sedangkan batu lempung memiliki porositas yang buruk. Warna hijau merupakan lapisan tipis alluvial yang memiliki resistivitas yang berada di antara batu pasir dan batu lempung. Sifat dari alluvial yang mampu menyerap air lebih baik dari batu lempung menjadi alasan mengapa lapisan yang berwarna hijau merupakan lapisan tipis alluvial yang memiliki tebal 30 m. Oleh karena itu dari interpretasi ini dapat diketahui bahwa lapisan yang berwarna kuning-jingga merupakan batuan lempung yang memiliki resistivitas yang lebih tinggi dibandingkan batu pasir dan alluvial. Selanjutnya lapisan berwarna merah dengan nilai resistivitas 9.43-17 Ωm pada kedalaman 140-500 m merupakan lapisan yang lebih kompak dan diduga merupakan bedrock. Dugaan ini diperkuat oleh karena jaraknya dari permukaan bumi yang cukup dalam sehingga akan menerima tekanan yang lebih besar sehingga lapisan akan lebih terkompaksi. Lapisan berwarna merah jarak 800-1200 m dan kedalaman 5-25 m diduga merupakan bongkahan lempung dengan kompaksi lebih baik yang memiliki nilai resistivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan di sek itarnya.
V. KESIMPULAN 1. Berdasarkan sifat kelistrikan batuan, dapat dideteksi kontras anomali dengan menggunakan
metode Geolistrik sehingga dapat ditentukan jenis lapisan batuan di bawah permukaan bumi. 2. Kekompakan batuan dapat mempengaruhi nilai resistivitasnya, dimana batuan yang memiliki
kekompakan yang lebih baik memiliki resistivitas yang lebih tinggi dibandingkan batuan yang belum terkompaksi (lepas). Kekompakan batuan ini dapat dipengaruhi tekanan yang diterima oleh batuan tersbut sehingga kedalaman lapisan dari permukaan bumi sangat mempengaruhi resistivitas batuan. 3. Batuan dengan sifat porositas yang baik memiliki resistivitas yang lebih kecil dibandingkan dengan
batuan yang porositasnya kurang baik. 4. Pada SET 1 diperoleh dugaan bahwa terdapat selang seling antara batuan pasir basah dan batuan
lempung yang ditutupi oleh lapisan tipis alluvial. 5. Pada SET 2 di kedalaman 140-500 m terdapat lapisan bedrock dengan resistivitas yang semakin
tinggi dengan bertambahnya kedalaman. Sumber :
Syamsuddin, Lantu, dan Muh. Arizal Syam, 2014, Investigasi Lapisan Batuan Dasar dengan Menggunakan Metode Geolistrik, Universitas Hasanuddin, Makassar
Reynolds, John. 1997. An Introduction to Applied and Enviromental Geophysics. New York : John Wiley & Sons
View more...
Comments