Laporan Penelitian Mangrove
August 21, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Short Description
Download Laporan Penelitian Mangrove...
Description
ISBN: 979-3149-60-4
INVENTARISASI DATA DASAR SURVEI SUMBERDAYA ALAM PESISIR DAN LAUT
SUMBERDAYA MANGROVE PULAU MADURA DAN K EP. EP. K ANGEAN ANGEAN JAWA TIMUR
PUSAT SURVEI SUMBERDAYA ALAM LAUT
BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL (BAKOSURTANAL) DESEMBER 2003 Jl. Raya Jakarta – Bogor Km.46 Cibinong, Jawa Barat 16911 Telp. (021) 8752063, 8759481. Fax. (021) 8759481. Telex : 48305 BAKOST IA – Box 46 – CBI CIBINONG
TIM PENYUSUN INVENTARISASI DATA DASAR SURVEI SUMBERDAYA ALAM PESISIR DAN LAUT
SUMBERDAYA MANGROVE PULAU MADURA DAN KEP. KANGEAN JAWA TIMUR
TIM PENGARAH DAN NARA SUMBER : Ketua (merangkap anggota ) : Dr. Aris Poniman (Deputi Survei Dasar dan Sumberdaya Alam) : Drs. Suwahyuono, MSc (Kepala Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut) Anggota Drs. Suroyo, APU (P2O – LIPI) Drs. Suprajaka, MTP (Pemimpinn Proyek INEV-SDAL) TIM TEKNIS : Drs. A.B Suriadi M.A, MSc (KaBid. Inventarisasi Sumberdaya Alam Laut) Drs. Yudi Siswantoro, MSi ( PJTU Inventarisasi Data Dasar SDA Pesisir dan Laut) TIM PELAKSANA : Ketua (merangkap anggota ) : Drs. Yudi Siswantoro, MSi (PJTU Inventarisasi Data Dasar SDA Pesisir dan Laut) Anggota : 1. Drs. Suroyo, APU (Analis Mangrove) 2. Ir. Hari Suryanto (Analis Tanah) 3. Drs. Turmudi, MSi (Analis Geomorfologi) 4. Yusuf Effendi (Analis, Operator SIG) 5. Masduki (Analis, Operator SIG) 6. Dedy Mukhtar (Analis, Operator SIG)
7. Abdul Jamil (Analis, Operator SIG) 8. Aswelly (Administrasi, Operator SIG) PENULIS : ! ! ! !
Drs. Yudi Siswantoro, MSi Drs. Suroyo, APU Drs. A.B Suriadi M.A, MSc Ir. Hari Suryanto
PENYUNTING : !
Drs. Suwahyuono, MSc
Desain Sampul : Yudi Siswantoro
ATA PENGANTAR K ATA
Ucapan terima kasih dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT dengan telah dilaksanakannya Penyusunan Inventarisasi Data Dasar Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut untuk tema Sumberdaya Mangrove. Kegiatan Inventarisasi Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut untuk Sumberdaya Mangrove di P. Madura dan Kepulauan Kangean merupakan sebagian dari Kegiatan Pusat Survei Sumberdaya Alam di wilayah ALKI II. Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan survei terintegrasi dari tiga bidang untuk kegiatan Sumberdaya Pesisir dan Laut yaitu; Bidang Inventarisasi, Bidang Neraca Sumberdaya Alam, serta Bidang Basisdata yang merupakan uji aplikasi “Pedoman” dari Norma Pedoman Prosedur Standard dan Spesifikasi (NPPSS). Dari hasil Inventarisasi diharapkan diperoleh pengkayaan untuk penyusunan Spesifikasi Teknis khususnyainiSpesifikasi Teknis Sumberdaya Mangrove, yang merupakan bagian dari NPPSS. Buku ini disusun atas dukungan penuh dari Proyek Inventarisasi dan Evaluasi Sumberdaya Nasional Matra Laut (INEV-SNML) BAKOSURTANAL pada tahun anggaran 2003. Ucapan terima kasih disampaikan kepada beberapa pihak, yang telah turut membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan ini yaitu : 1. Pimpinan BAKOSURTANAL, yang telah mempercayakan pelaksanaan serta mendukung kegiatan ini. 2. Pimpinan beserta staf Proyek INEV-SNML BAKOSURTANAL, yang membantu dan mendukung seluruh pembiayaan dari kegiatan ini 3. Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Timur, Timur, atas kerjasama dan bantuannya sehingga kegiatan ini dapat berjalan dengan lancar. 4. Pemerintah Daerah Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, atas kerjasamanya untuk koordinasi dengan instansi di daerah sehingga kegiatan ini dapat berjalan dengan baik. 5. Instansi sektoral, sektoral, Tim Penyusun Sektoral, dan Narasumber, atas kerjasama dan bantuannya sehingga pelaksanaan kegiatan ini dapat selesai sesuai dengan yang diharapkan 6. Seluruh tim pelaksana di BAKOSURTANAL, atas kerjasama dan dukungan penuh sehingga peyusunan kegiatan ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. 7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah telah membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan ini.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
i
Penyusun menyadari bahwa pelaksanaan kegiatan dan penyusunan buku ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu masukan dan kritikan serta saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Cibinong, Desember 2003 Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut Kepala,
Drs. Suwahyuono, M.Sc. 370 000 135
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
ii
ABSTRAK ABSTRA K
Inventarisasi Data Dasar Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut merupakan kegiatan yang sangat diperlukan, dan dibutuhkan guna ketersediaan data bagi perencanaan daerah, terutama wilayah yag sangat komplek, beragam beragam dan saling berkaitan berkaitan seperti wilayah pesisir pesisir dengan laut.
Mangrove merupakan jenis tanaman yang spesifik dan hanya hidup di wilayah pesisir. Dengan semakin cepatnya perubahan dan menyusutnya wilayah hutan mangrove demi kepentingan perekonomian, maka dikhawatirkan perubahan ini akan mempengaruhi ekologi wilayah pesisir, yang secara tidak langsung akan mempengaruhi keadaan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.
Ketersediaan data yang akurat, terutama pada wilayah mangrove yang tersebar luas di wilayah timur Jawa Timur ini sangat diperlukan, guna perencanaan pengembangan wilayah yang lebih detil dan terarah, terutama wilayah yang berdekatan dengan permukiman agar dapat dilaksanakan sesuai dengan potensi dan kondisinya. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah melaksanakan inventarisasi data dasar sumberdaya alam wilayah pesisir dan laut, terutama sumberdaya mangrove, yang akan digunakan sebagai data dasar bagi berbagai kepentingan di wilayah pesisir sesuai dengan potensi yang dimiliki. dimiliki. Metodologi yang diterapkan dalam penelitian ini berdasarkan aplikasi inderaja dan SIG, yang akan menghasilkan peta digital skala 1:250.000 dan skala 1:50.000 dengan tema Mangrove. Jenis citra yang digunakan yaitu Citra Landsat TM7, dengan dibantu berbagai peta dari BAKOSURTANAL seperti peta Rupabumi, LPI, LLN dan RePProT dari berbagai skala, serta survei lapang guna membantu membantu mengidentif mengidentifikasi ikasi beberapa wilayah sampel. sampel.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
i iii iv vi vii
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Maksud dan Tujuan
1 1
1.3. 1.4. Sasaran Peralatandan Hasil Kegiatan 1.5. Tahapan Kegiatan 1.6. Outline / Penulisan Hasil Kegiatan
2 3 4 5
KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1. Administrasi 2.2. Fisiografi 2.3. Iklim
6 8 8
2.4. Penggunaan Lahan 2.5. Tanah
10 11
METODOLOGI 3.1. Penginderaan Jauh Untuk Inventarisasi Mangrove 3.2. Konsep Penginderaan Jauh
16 16 17
3.3. Pengolahan Citra 3.3.1. Transfer Data 3.3.2. Koreksi Citra 3.3.3. Penejaman Citra (Image Enhancement)
19
3.4. Survei Lapang 3.5. Penelitian Lapang Dengan Menggunakan Metode Kuadrat Baik Secara Transek Maupun Koleksi Bebas
38
I
II
9
III
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
19 25
iv
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Mangrove di Pantai Selatan Pulau Madura 4.2. Mangrove di Pulau Saubi dan Pulau Sepangkur Besar 4.3. Mangrove di Kepulauan Kangean 4.4. Pemetaan Sumberdaya Mangrove
36 36 37 37 42
V
KESIMPULAN
49
DAFTAR PUSTAKA
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
50
v
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.
Curah hujan rata-rata bulanan (mm) pada beberapa stasiun hujan di daerah survei
Tabel 2.2.
Klasifikasi Tanah di Daerah Penelitian Sampai Tingkat Great Soil Group Group Menurut Sistem Taksonomi Tanah
Tabel 2.3.
Data Kondisi Fisiografik Lahan di Daerah Penelitian
Tabel 3.1.
Karakteristik sensor Landsat TM
Tabel 4.1.
Jenis-jenis mangrove yang didapatkan di Pulau Madura dan Pulau-pulau kecil lainnya – Penelitian Mangrove Juni – Juli 2003. Jenis, marga dan suku mangrove yang didapatkan di Pulau Madura dan pulau-pulau lainnya.
Tabel 4.2. Tabel 4.3. Tabel 4.4.
Daftar kerapatan nisbi (KN), Frekuensi nisbi (FN), dominasi nisbi (DN) dan nilai penting (NP) belta mangrove di Pantai Selatan Pulau Madura. Daftar kepadatan dan volume belta masing-masing jenis per hektar di Selatan Pulau Madura.
Tabel 4.5.
Daftar kepadatan nisbi (KN), Frekuensi nisbi (FN), dominasi nisbi (DN) dan nilai penting (NP) belta mangrove mangrove di Pulau Saubi dan Pulau Sepangkur Besar.
Tabel 4.6.
Daftar kepadatan dan volume belta masing-masing jenis per hektar di Pulau Saubi dan Pulau Sepangkur Besar.
Tabel 4.7.
Daftar kerapatan nisbi (KN), Frekuensi nisbi (FN), dominasi nisbi (DN) dan nilai penting (NP) pohon di Pulau Kangean.
Tabel 4.8.
Daftar kepadatan dan volume pohon masing-masing jenis per hektar di Pulau Kangean.
Tabel 4.9.
Daftar kerapatan nisbi (KN), Frekuensi nisbi (FN) dominasi nisbi (DN) dan nilai penting (NP) belta di Pulau Kangean
Tabel 4.10.
Daftar kepadatan dan volume belta masing-masing masing-masing jenis per hektar di Pulau Kangean.
Tabel 4.11.
Luas dan Sebaran Mangrove Skala 1:50.000
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.
Peta wilayah penelitian
Gambar 2.2.
Kepulauan Sumenep
Gambar 3.1
Bagan Alir Inventarisasi dan Pemetaan Mangrove
Gambar 3.2.
Diagram alir koreksi radiometrik
Gambar 3.3.
Proses Koreksi Geometri
Gambar 3.4.
Registrasi Citra ke Citra dengan Menggunakan Tiepoint Menggunakan Tiepoint
Gambar 3.5.
Proses Koreksi Geometri
Gambar 3.6.
Citra Asli Sebelum Koreksi, Setelah Proses Registrasi dan Citra Setelah
Kangean, yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten
Geocoding Gambar 3.7.
Proses Linear Stretching
Gambar 3.8.
Histogram piece wise dan citra sebelum dan setelah penajaman dengan teknik piece wise
Gambar 3.9.
Teknik Histogram Equalized
Gambar 3.10.
Contoh nilai untuk beberapa operasi filter, low pas filter (kiri), Laplace plus filter (tengah) dan directional filter (kanan)
Gambar 3.11.
Citra asli (tengah), (tengah), citra yang telah dipertajam dengan high pas filter (kiri) dan citra dengan low pas filter (kanan)
Gambar 4.1.
Titik Sampel Wilayah Penelitian Skala 1:50.000 sheet 1608-02
Gambar 4.2.
Titik Sampel Wilayah Penelitian Skala 1:50.000 sheet 1608-04
Gambar 4.3.
Titik Sampel Wilayah Penelitian Skala 1:50.000 sheet 1608-06
Gambar 4.4.
Titik Sampel Wilayah Penelitian Skala 1:50.000 sheet 1708-05
Gambar 4.5.
Titik Sampel Wilayah Penelitian Skala 1:50.000 sheet 1708-06
Gambar 4.6.
Titik Sampel Wilayah Penelitian Skala 1:50.000 sheet 1708-07
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
vii
INVENTARISASI SUMBERDAYA MANGROVE DI PULAU MADURA DAN K ANGEAN ANGEAN JAWA TIMUR BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon tertentu atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove dicirikan oleh tumbuhan dari 9 genus ( Avicennia, Avicennia, Snaeda, Laguncularia, Lumnitzera, Conocarpus, Aegicera, Aegialitis, Rhizophora, Brugiera, Ceriops, Sonneratia), Sonneratia), memiliki akar napas ( pneumatofor pneumatofor ), ), adanya zonasi ( Avicennia/Sonneratia, Avicennia/Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Nypa), Nypa), tumbuh pada substrat tanah berlumpur/berpasir dan variasinya, variasi nya, salinitas bervariasi (Nybakken, 1982). Hutan Mangrove adalah hutan yang tumbuh diwilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh pasang surut laut tetapi tidak oleh iklim. (Tim penyusunan Neraca Sumberdaya Hutan Mangrove Spasial, 2000; gabungan dari Defenisi Dephutbun, 1984 dan Nybakken, 1982). Lahan mangrove sebenarnya dapat dikatakan sebagai lahan marjinal, namun didalamnya tersimpan potensi yang cukup besar. Hutan mangrove sebagai salah satu sumber daya di wilayah pesisir memiliki potensi yang dapat dimanfaatakan secara tidak langsung, maupun secara ekonomis (langsung). Manfaat yang dapat dirasakan langsung diantaranya berupa kayu pohon mangrove, yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan, kayu bakar, bahan untuk membuat arang, pulp pulp,, tunnin tunnin (zat penyamak), chipwood , dan sebagai obat tradisionil.
Di pandang dari segi ekologi
(lingkungan) hutan mangrove merupakan tempat berlindung dan tempat mencari
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
1
makan bagi kehidupan fauna (ikan, crustacea), serta pengeksport bahan organik yang berguna untuk menunjang kelestarian biota akuatik (Heald & Odum, 1972 ; Macnae 1974 ; Barnes 1974). Lahan mangrove dalam kemampuannya berperan mendukung ekosistem lingkungan fisik dan lingkungan biota. Secara fisik mangrove juga berperan sebagai penahan ombak, penahan angin, pengendali angin, perangkap sedimen, dan penahan intrusi air asin, as in, sedangkan perannya di lingkungan biota yaitu yai tu sebagai tempat persembunyian, tempat perkembang biakkan berbagai macam biota air (ikan, udang, moluska, reptilia, mamalia dan burung). Selain itu mangrove juga dianggap sebagai penyumbang zat hara yang berguna untuk kesuburan perairan disekitarnya. Pentingnya pemetaan mangrove diantaranya meliputi : !
Menyusun basis data kawasan mangrove.
!
Mengembangkan metodologi untuk mengevaluasi kawasan mangrove.
!
Menyusun dokumen dan memetakan kawasan mangrove (berdasarkan informasi yang dipublikasi maupun yang tidak dipublikasikan). Areal hutan mangrove di wilayah Jawa Timur cukup luas, yaitu sekitar
19.916,13 hektar. Adapun luas hutan mangrove di KPH, Pulau Madura dan Probolinggo meliputi 16.052,43 hektar atau sekitar 80,60 % dari luas hutan mangrove di Jawa Timur (Djojomihardjo, 1982), besarnya areal mangrove di wilayah penelitian sebagian Jawa Timur yaitu sekitar Pulau Madura dan Kep Kangean cukup menarik untuk diteliti, sehubungan dengan pentingnya hutan mangrove bagi berbagai keperluan seperti untuk wilayah perikanan, tambak udang, maupun kepentingan lingkungan di wilayah tersebut.
1. 2. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah memetakan dan inventarisasi potensi mangrove pada skala 1:250.000 dan 1:50.000, serta bertujuan be rtujuan untuk mengetahui sejauh mana potensi hutan mangrove yang ada di wilayah Pulau Madura dan Kepulauan Kangean, Jawa Timur dan sekitarnya.
1.3. Sasaran dan Hasil Kegiatan
Sasaran dari kegiatan ini yaitu memetakan wilayah mangrove di pesisir Pulau Madura dan Kepulauan Kangean, Jawa Timur, agar dapat digunakan sebagai dasar
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
2
untuk pemetaan yang berhubungan dengan perencanaan wilayah pesisir, khususnya di kedua wilayah tersebut. Hasil yang diharapkan dari kegiatan ini yaitu berupa peta digital dan hard copy sebaran sumberdaya mangrove di wilayah pesisir Madura dan Kepulauan Kangean dengan skala 1:250.000 dan 1:50.000, serta masukan perbaikan Pedoman Inventarisasi yang akan digunakan sebagai spesifikasi teknis bagi penyusunan Norma Pedoman Prosedur Standar dan Spesifikasi teknis (NPPSS) Sumberdaya Pesisir dan Laut.
1.4. Peralatan
1.4.1. Peralatan Pemetaan Digital Peralatan pemetaan digital untuk kegiatan ini berupa Software dan peralatan hardware. Software yang digunakan untuk analisis citra yaitu : 1. Software ER Mapper 5.2 Software ini digunakan untuk menganalisas citra Landsat ETM-7, untuk melihat kenampakan wilayah atau tutupan mangrove yang ada. 2. Arc info, dan Arc View digunakan untuk proses digitasi sampai pembuatan format kartografi guna plotting atau cetak ke hard copy. 3. Peralatan Hardware, seperti Komputer pengolah data citra dan digitasi, Plotter DesignJet HP 755 CM, Laser Printer Color ukuran A3 dan A4.
1.4.2. Peralatan Lapangan Peralatan lapangan yang digunakan untuk kegiatan inventarisasi sumberdaya mangrove diantaranya yaitu : ! Water checker untuk mengukur suhu, salinitas, pH dsb. ! GPS untuk pengukuran koordinat titik kontrol guna mengetahui posisi
titik sample atau posisi lokasi pembuatan training area di lapangan
! Kompas untuk menentukan arah transek garis. ! Meteran dari bahan plastik atau fiberglass 50 m. ! Tali untuk membuat transek garis dan petak contoh (plot). ! Alat hitung atau band tally counter . ! Gunting atau pisau pemotong ranting dan cabang tumbuh-tumbuhan.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
3
! Kantong plastik yang porous dan kertas koran untuk pembuatan koleksi
vegetasi bagi keperluan analisis laboratorium. ! Label dan alat-alat tulis (pensil, spidol) yang tahan air untuk pencatatan
data. ! Buku-buku floristik untuk determinasi jenis mangrove.
Selain peralatan di atas, untuk kelancaran dan memudahkan kegiatan diperlukan alat transportasi berupa kendaraan darat dan laut sperti mobil, motor, perahu hingga kapal motor.
1.5. Tahapan Kegiatan
Kegiatan untuk penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yang harus dilaksanakan, tahapan tersebut diantaranya meliputi : 1.5.1. Persiapan Sebelum pelaksanaan kegiatan diperlukan persiapan-persiapan agar kegiatan ini dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan maksud/tujuan kegiatan. Pada tahap ini dilakukan pra survei di wilayah yang akan diteliti, yang dilaksanakan oleh ketua tim beserta penanggung jawab kegiatan. Adapaun persiapan yang diperlukan diantaranya adalah persiapan administrasi berupa perijinan untuk melakukan penelitian dan pemetaan, rute dan jadwal kapal, transportasi menuju wilayah penelitian, serta literatur yang mendukung penelitian. Pada tahap ini ditentukan kapan waktu pelaksanaan kerja lapang yang sebaiknya dilaksanakan, karena dalam pelaksanaan survei ini harus melalui laut/selat yang sangat tergantung oleh cuaca.
1.5.2. Tahap Pra Lapangan Pada tahap ini dilakukan interpretasi citra wilayah penelitian, citra yang digunakan yaitu citra Landsat ETM-7. Dengan diketahuinya wilayah mangrove maka dapat diperoleh gambaran sementara wilayah penelitian dan daerah mana yang perlu di survei lapang atau diambil sampelnya untuk acuan atau guidence guidence bagi bagi wilayah lainnya yang serupa sehingga untuk identifikasi data di lapangan tidak perlu dilakukan pada seluruh wilayah penelitian.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
4
Selain interpretasi citra dilakukan pula penentuan rute atau jalan yang akan
dilalui guna kelancaran kegiatan, base camp, camp, serta peralatan dan kendaraan yang akan digunakan.
1.5.3. Tahap Kerja Lapang Pelaksanaan kerja lapang dilakukan setelah semua kegiatan persiapan selesai dilaksanakan. Pada tahap ini tiga bahan yang paling penting untuk kelengkapan survei lapangan adalah: !
Peta tentative yang akan di cek (di lapangan)
!
Peta Rupabumi untuk memandu perjalanan lapangan
!
Citra Inderaja hasil interpretasi (hard-copy) yang akan digunakan untuk cek lapang.
Pada tahap kerja lapang yang perlu dilakukan diantaranya : a. Pembuatan Titik Sampel Lapangan dan b. Penentuan stasiun pengamatan (pengambilan contoh) c. Prosedur pengamatan (pengambilan contoh)
1.5.4. Tahap Paska Lapangan Setelah melaksanakan survei lapang perlu tahap paska lapangan yang terdiri
dari : #
re-interpretasi guna mengetahui dan memperbaiki kesalahan interpretasi sesuai dengan kenyataan pada titik sample di lapang.
#
Digitasi peta tematik berdasarkan hasil re-interpretasi yang telah diperbaiki
1.6. Outline / Penulisan Hasil Kegiatan
Susunan outline kegiatan ini terdiri dari lima bab, yaitu: Bab 1. Pendahuluan Pendahuluan Pada Bab ini dijelaskan latar belakang kegiatan Inventarisasi Data Dasar Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Sumberdaya Mangrove di pesisir P. Madura dan Kepulauan Kangean, maksud dan tujuan kegiatan, sasaran daerah penelitian serta hasil yang diharapkan. Tujuan dari Bab ini adalah agar dapat memahami latar belakang dan
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
5
tujuan dari kegiatan inisehingga diperoleh hasil berupa peta digital dan hard copy-nya untuk spesifikasi teknis pada Norma Pedoman Prosedur Standar dan Spesifikasi teknis (NPPSS). Bab 2. Kondisi Umum Daerah Penelitian Berisi gambaran umum wilayah pesisir sebagian P. Madura dan kepulauan Kangean yang meliputi aspek administrasi, Fisiografi, iklim, penggunaan lahan, dan tanah. Dengan memberikan gambaran umum kondisi daerah penelitian, diharapkan pembaca dapat memahami keterkaitan antara berbagai faktor fisik dengan kondisi mangrove di pesisir Madura – Kangean, Jawa Timur.
Bab 3. Metoda Bab ini menerangkan data dan peralatan beserta metode yang digunakan untuk kegiatan ini. Metode pemetaan mangrove dijelaskan tahap demi tahap, beserta bagan alirnya. Dengan memaparkan metodologi dari kegiatan ini diharapkan pembaca dapat memahami bagaimana peta mangrove ini dibuat, spesifikasi yang digunakan untuk
pembatasan pemetaan sumberdaya mangrove serta sumber data yang digunakan. Bab 4. Hasil dan Pembahasan Pembahasan Bab ini menyajikan penjelasan tentang hasil akhir Peta Sumberdaya mangrove wilayah pesisir beserta analisanya. Analisa Peta Sumberdaya mangrove mencakup luasan, serta penyebarannya di wilayah penelitian. Bab 5. Kesimpulan Bab ini menyajikan pokok-pokok kesimpulan dari rangkaian pemetaan sumberdaya mangrove di wilayah pesisir Madura dan kepulauan Kangean yang diharapkan dapat digunakan untuk penelitian dan pengembangan lebih lanjut.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
6
BAB II K ONDISI ONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Pulau Madura dan Kepulauan Kangean merupakan wilayah di Jawa Timur yang memiliki kondisi fisik sedikit berlainan dengan wilayah lain di daratan P. Jawa. Dengan letak yang memanjang dari barat ke timur, serta fisiografinya yang banyak mengandung batu gamping, serta sebagian besar penutup lahan di pesisir Kepulauan Kangean yang banyak ditumbuhi mangrove, maka wilayah ini sangat menarik untuk dilakukan penelitian. Apalagi jika dilihat secara sepintas bahwa wilayah lautnya banyak terdapat terumbu karang yang hidup berdampingan dengan mangrove, dimana
keadaan ini jarang terjadi karena kedua habitat tersebut biasanya berlawanan. Wilaya penelitian meliputi pesisir Pulau Madura dan Kepulauan Kangean, yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Sumenep. Adapun wilayah yang dipetakan untuk kegiatan inventarisasi sumberdaya alam pesisir dan laut ini meliputi wilayah pesisir P. Madura, sebagian wilayah pesisir Jawa Timur, dan wilayah Kepulauan Kangean yang dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.1. Peta wilayah penelitian DIAGRAM LOKASI
112 o15'
113 o
o 115
114 o
o 116
LAUT JAWA
1708708-01 01
1609 09-1 -12 2
7 o
1609 09-2 -21 1
1609 09-2 -22 2
160909-31 31
1609-32
1709-11
1708-01
1608-01
1708-03
17 08 08 -0 -0 6
17 08 08 -0 -0 7
7 o
1808-01
1708-05
1608-08
1608-02
1708708-02 02
1608-06
1608-04
SELAT MADURA
30'
30'
1608-03
1608-05
8 o
112 o15'
113 o
1608-07
1608-09
114 o
115
o
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
116
o
8 o
7
Gambar 2.2. Kepulauan Kangean, yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Sumenep
Sumber : Peta Lingkungan Laut Nasional skala 1:500.000 (BAKOSURTANAL– (BAKOSURTANAL– DISHIDROS DISHIDROS
2.1. ADMINISTRASI
Secara administrasi wilayah penelitian meliputi sebagian pesisir Jawa Timur, terdiri dari P. Madura, dan Kepulauan Kangean, yang mencakup seluruh Kabupaten di P. Madura seperti Kabupaten Pamekasan, Bangkalan, Sampang dan Sumenep. Kabupaten Sumenep merupakan kabupaten yang memiliki wilayah laut paling luas dengan jumlah pulau paling banyak, sehingga penelitian ini dititikberatkan di wilayah ini. Selain itu di wilayah ini juga terdapat wilayah hutan mangrove paling banyak, yaitu sekitar 80% dari luas mangrove yang ada di wilayah Jawa Timur (Djojomiharjo, 1982)
2.2. FISIOGRAFI
Secara fisiografi wilayah P. Madura terbagi menjadi wilayah lipatan dan wilayah dataran rendah, wilayah lipatan terdapat di bagian tengah pulau memanjang dari barat ke timur dikenal sebagai Wilayah Lipatan Madura. Kemudian wilayah dataran rendah, yang terdapat di sebagian besar wilayah selatan pulau dikenal sebagai Wilayah dataran Rendah Sampang - Pamekasan, ujung bagian barat sebagai Wilayah Dataran Rendah Bangkalan, bagian utara pulau agak tipis dan memanjang di wilayah
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
8
pesisir dikenal sebagai Wilayah Dataran Rendah Pantai Utara Madura, dan Wilayah Dataran Rendah Sumenep di bagian timurnya (Sandy, 1996). Ditinjau secara geologis berdasarkan peta geologi Lembar Jawa bagian Timur (Gafoer.S dan Ratman. N, 1999) wilayah lipatan P. Madura yang terletak di bagian tengah terdiri dari batuan Sedimen Miosen Awal, terdiri dari batulempung napal ,
setempat batu lanau, bersisipan batupasir dan/atau batugamping. Mengandung foraminifera kecil dan foraminifera foraminifera foraminifera besar dari keluarga Orbitoid , yang kumpulan fosilnya menunjukkan umur Miosen Awal dan setempat hingga bagian bawah Miosen Tengah. Pada wilayah dataran rendah tediri dari sedimen Plestosen yang sebagian besar terletak di selatan pulau dan dataran Aluvium yang terletak di wilayah timur, selatan dan barat pulau, sedangkan di wilayah utara terlihat sangat tipis memanjang dari barat ke timur. Adapun Batugamping terlihat mengelilingi wilayah Lipatan antara wilayah Sedimen dan Aluvium dengan wilayah Lipatan Madura. Pulau Kangean terdiri dari batu gamping, yang terletak di bagian utara pulau Kangean, sedangkan di bagian selatannya yang disekitarnya banyak dijumpai hutan mangrove terdiri dari Sedimen Oligosen Oligosen,, yaitu Napal dengan sisipan batupasir gampingan dan batulempung, bagian atas berupa batugamping orbotoid dan batulempung. Sedangkan beberapa pulau kecil lainnya sebagian besar terdiri dari batugamping koral, batugamping koral dengan sisipan konglomerat dan tuf. Di beberapa tempat berupa koral yang masih tumbuh.
2.3. IKLIM
Wilayah Jawa Timur, dalam hal ini P. Madura dan Kep. Kangean yang memanjang dari Barat ke Timur memiliki iklim sedikit berbeda dengan wilayah Jawa bagian barat dan selatan. Sesuai dengan dalil umum wilayah wila yah iklim di Indonesia yaitu wilayah bagian barat Indonesia dan pulau yang terletak di bagian barat serta menghadap arah angin yang berhembus dari arah barat memperoleh curah hujan lebih besar dibandingkan wilayah timurnya (Sandy, 1996), keadaan ataupun letak P. Madura dan Kep. Kangean yang memanjang dari barat ke timur menyebabkan pulau ini sedikit
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
9
menerima curah hujan. Selain itu letak Daerah Konvergensi Antar Tropik #) yang melintang di sekitar Lintang 80 LS di bulan Februari akan menyebabkan curah hujan
yang turun cukup tinggi di sekitar P. Madura maupun Kangean yaitu sekitar bulan Januari dan bulan Maret, sedangkan selebihnya tidak ada hujan sehingga wilayah tersebut memiliki curah hujan pertahun sangat sedikit. Sebagai contoh adalah Arjasa yang terletak di sebelah barat Kangean memiliki curah hujan 991 mm setahun, suatu jumlah yang hampir merupakan iklim steppe steppe.. Berlainan dengan Banyuwangi yang terletak di bagian baratnya, walaupun masih termasuk memiliki curah hujan sedikit karena terletak di bagian timur P. Jawa memiliki curah hujan 1285 mm setahun. Di bawah ini dapat dilihat curah hujan rata-rata bulanan yang terdapat di daerah survei. Tabel 2.1. Curah hujan rata-rata bulanan (mm) pada beberapa stasiun hujan di daerah survei No
Stasiun
Tinggi (m dpl)
BULAN
THN
JAN
FEB
MRT
APR
MEI
JUN
JUL
AGS
SEP
OKT
NOV
DES
1
Arjasa
10
247
201
179
80
49
35
9
1
1
12
38
139
991
2
Sumenep
17
277
259
249
169
117
80
39
7
9
31
115 11 5
250
1602 1 602
3
Bangkalan
5
282
240
256
253
189
123
74
48
38
80
167
274
2024
4
Kamal
5
285
226
218
170
93
51
16
11
6
48
146
228
1498
5
Pamekasan
15
254
232
261
186
107
77
42
11
10
34
128
241
1583
6
Situbondo
30
294
232
179
67
53
32
12
3
4
17
52
186
113 1131 1
273
232
154
101
108
220
1471.5
Rata-rata aritmatik
224
66
32
14
11
37
Sumber I Made Sandi, 1987
2.4. PENGUNAAN LAHAN
Secara umum penggunaan lahan di wilayah penelitian, terutama di wilayah kepulauan Kangean didominasi oleh Hutan dan Hutan Jati, terutama di wilayah bagian tengah Pulau Kangean. Penggunaan lahan untuk Hutan terdapat dibagian utara dari Hutan Jati, dibatasi oleh igir pegunungan, memanjang dari barat ke timur yang terlihat dengan jelas seolah-olah membelah dua pulau ini. Selain kedua jenis penggunaan lahan tersebut lahan di wilayah ini banyak digunakan untuk Ladang dan Kebun Campur. Berdasarkan peta rupabumi dan hasil interpretasi Citra Landsat ETM 7, di Pulau Kangean ini banyak terdapat Semak Belukar, Lahan Terbuka dan Rawa Pantai yaitu rawa yang terjadi atau terdapat diantara tanaman mangrove dengan wilayah daratan. Wilayah rawa antara tanaman mangrove dengan daratan banyak yang
# )
Daerah Konvergensi Antar Tropik (DKAT) (DKAT) adalah ekuator termal, atau wilayah wilayah muka bumi yang suhunya paling tinggi pada suatu saat karena pemanasan matahari (Schmidtten Hopen Schmidt dalam Republik Indonesia Geografi Regional, Sandy, 1996)
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
10
dibudidayakan menjadi tambak, tetapi lebih banyak yang dibiarkan saja, hanya sewaktu-waktu ketika air surut dimanfaatkan oleh penduduk untuk diambil hasilnya berupa udang. Sedangkan pada wilayah yang berpasir berpasir mereka mengambil teripang. Penggunaan lahan atau tutupan lahan mangrove meliputi hampir seluruh wilayah pantai Kepulauan Kangean, terutama di wilayah bagian selatan dan beberapa pulau kecil lainnya. Ketebalan Ketebala n tutupan mangrove ini rata-rata be berjarak rjarak atau setebal sete bal 200 – 400 meter dari darat, dar at, sehingga s ehingga dapat dikatakan bahwa sebaran mangrove di wilayah ini dianggap cukup baik walaupun ada beberapa tempat yang terlihat bekas habitat mangrove, yang telah beralih fungsi ataupun dibiarkan terbuka karena telah diambil kayunya. Di wilayah Kangean ini, dapat dijumpai sawah yang sebagian besar merupakan sawah tadah hujan karena tidak dijumpai adanya sistem pengairan, hal ini disebabkan oleh sempitnya wilayah yang relatif datar serta tidak adanya sungai cukup besar yang mengalir disini. Walaupun ada beberapa wilayah terutama di Kangean bagian barat dapat dijumpai persawahan cukup baik, terutama di sekitar Kecamatan Arjasa bagian barat.
2.5. T A N A H 2.5.1. Jenis Tanah
Tanah pada daerah penelitian diindentifikasi dan diklasifikasikan berdasarkan sistem klasifikasi Taksonomi tanah USDA (Soil Survey Staff, 1990) sampai tingkat Great Soil Group. Group. Jenis tanah di daerah penelitian relatif bervariasi mengingat bahan induknya yang beragam. beragam.
Berdasarkan survei di lapangan, serta didukung peta sistem lahan
RePPProT (1988) lembar Situbondo (Nomor lembar 1708), lembar Arjasa (Nomor lembar 1709 & part 1710), lembar Surabaya (Nomor lembar 1608), dan lembar Ketapang (Nomor lembar 1609 & part 1610), maka jenis tanah di daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi 6 (enam) Order , yaitu : Entisol, Inceptisols, Andisol, Mollisols, Alfisols dan Ultisols. Tanah Order Entisols Entisols terdiri dari Suborder : : Orthents, Aquents dan Psamments, selanjutnya masing-masing Suborder ini terdiri dari Great Soil Group : Tropopsamments, Ustipsamments, Ustorthents, Troporthents, Tropaquents, Sulfaquents, Fluvaquents dan Hydraquents.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
11
Selanjutnya untuk tanah order Inceptisol terdiri dari Suborder : Aquepts dan Tropepts, lalu masing-masing Suborder ini terdiri dari Great Soil Group Group : Tropaquepts, Dystropepts, Eutropepts, Ustropepts dan Humitropepts. Secara keseluruhan uraian urutan pengklasifikasian dari ke 6 Order tanah di atas, sampai ke dalam kategori Great Soil Group dapat Group dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.2. Klasifikasi Tanah di Daerah Penelitian Sampai Tingkat Great Soil Group Menurut Group Menurut Sistem Taksonomi Tanah (USDA, 1990) No.
1.
Order
Entisols
Suborder
Orthents
Great Soil Group
Ustorthents Troporthents
Psamments
Tropopsamments Ustipsamments
Aquents
Tropaquents Fluvaquents Sulfaquents Hydraquents
2.
Inceptisols
Tropepts
Eutropepts Ustropepts Dystropepts Humitropepts
Aquepts
Tropaquepts
3.
Mollisols
Ustolls
Calciustolls
4.
Andisols
Udands
Hapludands
5.
Alfisols
Udalfs
Tropudalfs
6.
Ultisols
Udults
Tropudults
Ustults
Haplustults
Humults
Tropohumults
2.5.2. Kualitas Tanah di Daerah Penelitian
Untuk mengetahui kualitas tanah di daerah penelitian dilakukan analisis terhadap data morfologi hasil pengamatan lapangan dan data sekunder terhadap beberapa titik sampel pewakil. Adapun uraian tentang kualitas tanah, baik sifat fisik
maupun kimia tanah di daerah penelitian adalah sebagai berikut :
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
12
(a) Ketebalan Solum
Ketebalan solum berpengaruh terhadap kekokohan tegakan, sebab berhubungan dengan jangkauan/sebaran akar tanaman ke dalam tanah. Semakin tebal solum tanah, semakin besar pula kapasitas menyimpan air. Ketebalan solum di areal penelitian bervariasi dari 10 cm sampai 125 cm.
(b) Tekstur dan Struktur Struktur
Tekstur merupakan ukuran dan perbandingan butir-butir tunggal tanah ( soil soil fraction). fraction ). Komponen tekstur terdiri dari pasir kasar, pasir sangat halus, debu, dan liat yang masing-masing berukuran kasar, agak kasar, sedang dan halus. Tanah-tanah di areal penelitian mempunyai tekstur liat (clay ( clay)) hingga pasir berlempung (loamy (loamy sand ). ). Struktur tanah merupakan susunan ikatan partikel atau agregat tanah. Struktur tanah lapisan atas maupun bawah di daerah studi tergolong lepas dan remah (crumb ( crumb)) sampai gumpal membulat (angular (angular subblocky). subblocky). (c) Bobot Isi Isi Tanah ( Bulk Bulk Density) Density)
Bobot isi tanah adalah perbandingan antara berat gumpalan tanah dengan volume tanah seluruhnya, yang dinyatakan dalam g/cm3. Berat volume tanah dapat digunakan sebagai indeks terhadap kepadatan tanah.
Tanah di areal penelitian
memiliki kisaran berat volume antara 1,0 g/cm3 sampai 1,2 g/cm3. (d) Porositas Tanah
Porositas tanah adalah persentase volume tanah yang tidak diisi oleh bagian padat tanah. Bagian ini terisi udara dan air dalam perbandingan tertentu. Pori total pada tanah di areal penelitian berkisar antara rendah r endah sampai tinggi. Pori-pori tanah menurut diameternya dibedakan menjadi pori pemegang air ($ ( $ 0,2 – 8,6 % ), ), dan pori drainase ($ ($ > 8,6 % ). ). Pori drainase terdiri dari pori drainase cepat (disebut pori aerasi) dan pori drainase lambat.
Di areal penelitian, pori drainase
berkisar antara sangat rendah sampai rendah, sedangkan pori pemegang air tersedianya sangat rendah. (e) Permeabilitas Tanah
Permeabilitas tanah merupakan laju peresapan air ke lapisan bawah tanah per satuan waktu. Laju permeabilitas permeabilitas tanah di areal penelitian berkisar lambat sampai
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
13
sangat cepat.
Namun secara umum permeabilitas tanah di areal penelitian adalah
sedang. (f) Reaksi Tanah (pH)
Reaksi tanah dinyatakan dalam pH tanah yang menyatakan konsentrasi ion H + di dalam tanah.
Reaksi tanah dapat mempengaruhi mempengaruhi ketersediaan hara dalam tanah.
Tanah yang baik mempunyai mempunyai pH yang mendekati mendekati netral. Areal penelitian mempunyai tingkat kemasaman tanah (pH) antara 6,0 – 7,2 (tergolong agak masam - netral). (g) Bahan Organik Organik Tanah
Bahan organik berpengaruh penting terhadap sifat fisik dan kimia tanah. Kandungan bahan organik tanah di areal penelitian bervariasi dari rendah sampai tinggi. (h) Nitrogen Total
Nitrogen di dalam tumbuhan berperan di dalam pertumbuhan vegetatif. Kandungan nitrogen total di areal penelitian berkisar antara rendah hingga sedang. (i) P-Tersedia
Fosfor di dalam tanah terdiri fosfat yang sukar larut seperti mineral apatit dan fosfat organik stabil serta fosfat yang lambat tersedia seperti Ca 3(PO4)2, ikatan-ikatan fosfat dengan Al, Mn, dan Fe, serta fosfat organik yang sedang mengalami mineralisasi. Kandungan P-tersedia di di areal penelitian tergolong tergolong rendah sampai sangat tinggi. (j) Basa-basa dapat dapat Dipertukarkan Dipertukarkan : Ca, Mg, K dan Na
Selain berfungsi sebagai unsur hara yang penting bagi tanaman, kalsium (Ca)
dan magnesium (Mg) juga mempengaruhi reaksi (pH) tanah. Kandungan basa basa tanah di areal penelitian sedang sampai sangat tinggi. (k) Kapasitas Tukar Kation
Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan kemampuan tanah untuk menahan dan menukarkan kation-kation/basa-basa.
Nilai KTK KTK yang tinggi merupakan petunjuk
bahwa kapasitas menahan unsur hara tanah tersebut besar.
KTK tanah di areal
penelitian berkisar antara rendah sampai sangat tinggi. (l) Kejenuhan Basa
14
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
Kejenuhan basa merupakan gambaran tentang banyaknya basa-basa pada kompleks absorpsi, dinyatakan dengan perbandingan jumlah basa-basa yang dapat dipertukarkan tiap 100 g tanah terhadap nilai nilai KTK efektif tanah. Kejenuhan basa-basa tanah di areal penelitian relatif tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tanah-tanah di areal penelitian sangat potensial untuk pertanian. Selanjutnya data land system maupun system maupun geomorfologi (bentuklahan), jenis tanah dan lereng di atas dikombinasikan dalam bentuk tabel data kondisi fisiografis lahan di daerah penelitian sebagaimana tercantum pada Tabel 5.2 Tabel 2.3. Data Kondisi Fisiografik Fisiografik Lahan di Daerah Daerah Penelitian No.
Land System (1988)
Bentuklahan - Kode (Bakosurtanal, 2000)*
Lereng (%)
Jenis Tanah (USDA, 1990)
1.
KJP
Rataan Pasut/Tidal Flat (M.02.)
0-3
Hydraquents Sulfaquents Ustipsamments Tropaquents
2.
UPG, PTG
Kompleks Beting Gisik (M.03.)
0-3
3.
KHY, MKS
Dataran Aluvial (F.01.)
3-8
Tropaquepts Fluvaquents
4.
APA
Teras Sungai (F.02.)
3-8
5.
PRT
Terumbu Paparan Pelataran (O.01.)
0-3
Tropaquepts Dystropepts Eutropepts Troporthents Tropopsamments
6.
SFO, PSI
Dataran Aluvial Karst (K.04.)
3-8
Tropudalfs Tropudults
7.
AAR, SKN, NPA
Teras Struktural (S.12.)
3-8
8.
AWY, LAR, ABG, BOM
Dataran Struktural (S.13.)
0-8
Calciustolls Ustorthents Eutropepts
Tropudalfs
BTK, LDH, WTE, SNA BDG, SMD
9. TGM
Gunungapi Strato (V.01.)
40 - 55
Hapludands Humitropepts
Kaldera/Danau Kaldera (V.03.)
40 - 55
11. TBO, GGK
Kaki Gunungapi (V.06.)
15 - 25
12.
BRI, TLU
Medan Lava/Lahar (V.08.)
25 - 40
13.
BBG, BTA
Pegunungan Denudasional (D.01.)
40 - 55
Dystropepts Troporthents Ustropepts Tropaquepts Ustropepts Haplustults Dystropepts Humitropepts
10.
14.
MNU
Perbukitan Denudasional (D.02.)
BMS, LTG
25 - 40
Tropohumults Dystropepts Tropudults
*) Mengacu pada "Spesifikasi Teknis, Metodologi, dan Kontrol Kualitas Pemetaan Tematik T ematik Dasar Dalam Mendukung Perencanaan Tata Ruang". Pusat Survei Sumberdaya Alam, Bakosurtanal, Bakosurtanal, Cibinong. 2000.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
15
BAB III METODOLOGI Metode yang digunakan untuk inventarisasi dan mengetahui potensi sumberdaya mangrove diantaranya melalui analisa hasil interpretasi citra, dan survei lapang yang diantaranya adalah melakukan penelitian lapangan dengan metode kuadrat baik secara transek maupun koleksi bebas.
3.1. PENGINDERAAN JAUH UNTUK INVENTARISASI MANGROVE
Secara diagramatik proses
inventarisasi dan pemetaan mangrove dapat
digambarkan sebagai berikut: Peta RBI skala 1:250.000 skala 1:50.000) Citra Satelit Koreksi Geometrik
CITRA TERKOREKSI
Scanning SELEKSI
KANAL(BAND)
BUAT COLOR COMPOSIT
EKSTRAKSI INFORMASI MANGROVE
PRINT OUT
LAY-OUT
INTERPRETASI VISUAL MANGROVE DIGITASI LAY-OUT DAN PRINT OUT
EKSTRAKSI LAYER PETA KERJA
CEK LAPANGAN
REINTERPRETASI LAY-OUT PET SEB
KHIR R
N N
M NGROVE
Gambar 3.1. Bagan Alir Inventarisasi dan Pemetaan Mangrove
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
16
3.2. KONSEP PENGINDERAAN JAUH
Penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menggunakan data yang diperoleh dengan menggunakan suatu alat tanpa kontak secara langsung terhadap obyek, daerah atau gejala yang dikaji ( Lillesand Lillesand dan Kiefer, 1990). 1990).
Sedangkan
menurut Jars (1993), penginderaan jauh didefinisikan sebagai suatu ilmu dan teknologi yang berhubungan dengan obyek yang diukur, diidentifikasi atau dianalisis karakteristiknya tanpa kontak langsung dengan obyek yang dikaji. Butler et. al. (1988) menyatakan bahwa terdapat empat komponen yang sangat penting dalam sistem penginderaan jauh, yaitu : Radiasi Elektromagnetik, Atmosfer, Sensor, dan Obyek. 1.
Matahari sebagai sumber energi, yang berupa radiasi elektromagnetik (REM). Radiasi elektromagnetik ini merupakan suatu bentuk energi yang hanya dapat
diobservasi melalui interaksinya dengan suatu obyek. 2.
Atmosfer merupakan media lintasan dari radiasi elektromagnetik, karena semua energi yang dideteksi dengan sistem penginderaan jauh tentu melalui atmosfer dengan jarak atau panjang jalur tertentu.
3.
Sensor, yaitu alat yang yang mendeteksi radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari suatu obyek dan kemudian mengubahnya dalam bentuk sinyal yang dapat direkam atau ditampilkan sebagai citra atau data numerik.
4.
Target atau obyek, yaitu fenomena yang terdeteksi oleh sensor. Perolehan data penginderaan jauh melalui satelit memiliki keunggulan dari
segi biaya, waktu serta kombinasi saluran spektral (band) yang lebih sesuai untuk diaplikasikan (Danoedoro, 1996). Sedangkan kekurangannya, sensor satelit hanya mampu merekam perairan yang sangat dangkal yaitu kedalaman kurang dari 30 meter dan kondisinya jernih. Dari sekian banyak satelit penginderaan jauh, yang sering digunakan untuk pemetaan penutupan lahan adalah a dalah Landsat (Land Satellite). Satel lite). Seri Landsat yang dikenal pertama kali adalah Earth Resources Technology Satellite Sat ellite (ERTS). Penggunaan nama Land Satellite yang kemudian disingkat menjadi Landsat ini dimulai sejak satelit ini digunakan untuk mempelajari lautan dan daerah pesisir (Butler et al, 1988). Seri satelit ini terdiri dari dua generasi yaitu generasi pertama yang terdiri dari Landsat 1, Landsat
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
17
2 dan Landsat 3; dan generasi kedua yang terdiri dari Landsat 4 dan Landsat 5. Landsat generasi kedua mempunyai orbit polar sunsynchronous yaitu orbitnya akan melewati tempat-tempat yang terletak pada lintang yang sama dan dalam waktu lokal yang sama pula. Periode orbitnya 98.5 menit dengan sudut inklinasi 98.5&. Salah satu sensor dari Landsat adalah Thematic Thematic Mapper (TM). Karakteristik Landsat TM dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Karakteristik sensor Landsat TM (Butler et al, 1988)
Panjang gelombang
Kanal 1 : 0.45 - 0.52 %m (Ungu) Kanal 2 : 0.52 - 0.60 %m (Hijau) Kanal 3 : 0.63 – 0.69 %m (Merah) Kanal 4 : 0.76 - 0.90 %m (IR dekat) Kanal 5 : 1.55 - 1.75 %m (IR menengah)
IFOV Lebar sapuan Resolusi spasial
Kanal 6 : 10.4 12.5 %m (IR thermal jauh) Kanal 7 : 2.08 – 2.35 %m (IR menengah) 0.043 mrad (kecuali kanal 6 : 0.170 mrad) 185 km 30 m x 30 m (kecuali kanal 6 : 120 m x 120 m)
Sensor TM masing-masing kanal mempunyai fungsi sebagai berikut (Lillesand dan Kiefer, 1990) : !
Kanal 1 dirancang untuk pemetaan perairan daerah pesisir, penetrasi ke dalam tubuh air dan untuk mendukung analisis sifat khas penggunaan lahan, tanah dan vegetasi.
!
Kanal 2 terutama dirancang untuk mengindera puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak antara dua kanal spektral serapan klorofil. Respons pada kanal ini dimaksudkan untuk menekankan perbedaan vegetasi dan penilaian kesuburan.
!
Kanal 3 merupakan kanal terpenting untuk memisahkan vegetasi. Kanal ini berada dalam salah satu bagian serapan klorofil dan memperkuat kontras kenampakan antara vegetasi serta menajamkan kontras antara kelas vegetasi (membedakan antara lahan terbuka dengan lahan bervegetasi).
!
Kanal 4 dipilih karena respons yang tinggi terhadap sejumlah biomassa vegetasi yang terdapat pada daerah yang dikaji. Respon yang tinggi ini akan membantu identifikasi tanaman dan memperkuat kontras antara tanaman-tanah dan lahan-air.
!
Kanal 5 adalah kanal yang digunakan dalam penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman dan kondisi kelembaban tanah.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
18
!
Kanal 6 digunakan untuk pemisahan formasi batuan.
!
Kanal 7 merupakan saluran infra merah panas dan bermanfaat dalam klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah dan gejala-gejala lain yang berhubungan dengan panas.
3.3.
PENGOLAHAN CITRA
3.3.1. Transfer Data
Pemrosesan data digital satelit diawali dengan proses transfer (loading) ( loading) data dari media penyimpanan seperti CCT, CDROM, tape dan media penyimpan data lain yang dapat dibaca pada sistem perangkat lunak pengolah citra (image (image processing software)) tertentu. Data digital satelit dapat diperoleh dari beberapa agen penyalur data software seperti LAPAN di Indonesia atau ACRES di Australia, dan USGS dari Amerika, maupun agen penjualan swasta lainnya. Setiap agen penyalur data memiliki spesifikasi tertentu dalam menyimpan data pada media tertentu. Pada umumnya data digital tersebut disimpan dalam format baku sehingga dapat dikenali dan diimport ke dalam perangkat lunak berbagai pengolah citra. Sebagai contoh pada perangkat lunak ER Mapper dan Erdas Imagine, menu utama yang digunakan adalah IMPORT. Pada menu ini ada beberapa pilihan mengenai jenis data (SPOT, Landsat TM, Landsat MSS, Generic Binary data, dan sebagainya), oleh karena itu agar data dapat dibaca maka harus disesuaikan dengan jenis datanya. Informasi dari data seperti jumlah baris dan kolom, kolom, jumlah band, band, format data (BSQ, (BSQ, BIL atau BIP), jumlah header file maupun header kolom, blocking factor, jumlah byte per pixel / pixel depth (4 bit, 8 bit atau 16 bit), agency (jika diperlukan), dapat diperoleh dari agen ataupun pada header dari file data. Sebagai contoh untuk citra Landsat TM (full scene) yang didapatkan dari LAPAN dalam bentuk CCT, terdiri dari 7020 pixel, 5729 baris, dalam dal am format BSQ atau BIL dengan 8 bit coding. Informasi tersebut diperlukan sebagai masukan dalam menggunakan menu IMPORT. 3.3.2. Koreksi Citra a. Koreksi Radiometrik
Sensor penginderaan jauh merekam intensitas radiasi elektromagnetik dari kenampakan permukaan bumi yang disimpan pada sensor dan dikonversi sebagai nilai digita (Digital Number/DN). Nilai digital ini juga dikenal
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
19
sebagai nilai spektral atau nilai pixel yang pada umumnya dengan selang nilai antara 0 – 255. Nilai spektral ini bersifat spesifik dan tergantung pada: geometri pandang dari satelit pada saat perekaman citra, lokasi matahari dan kondisi cuaca. Bila nilai spektral ini langsung digunakan untuk mempelajari
suatu habitat serta hubungannya dengan parameter lingkungan, maka dapat dijumpai masalah yang cukup serius. Hal ini disebabkan karena spektrum dari habitat, misalnya padang lamun, tidak terekam bila diukur dengan unit nilai spektral. Akan tetapi masalah ini dapat diatasi bila nilai spektral dikonversi terlebih dahulu ke bentuk radian spektral. Dengan demikian, output data (radian spektran) dapat dibandingkan secara langsung dari satu citra ke citra lain dan dapat menyajikan karakteristik reflektan suatu habitat dalam arti sebenarnya. Tahap inilah yang disebut kalibrasi radiometrik yang merupakan tahap
pertama
dari
koreksi
radiometrik.
Tahap
berikutnya
yaitu
menghilangkan pengaruh matahari dan kondisi atmosfir pada saat citra diambil. Proses ini disebut kalibrasi atmosferik. DN
Langkah 1
Konversi DN ke bentuk Spektral radian
Langkah 2
Konversi spektral radian ke bentuk reflektan
Langkah 3
Menghilangkan pengaruh atmosfer akibat dari absorpsi dan pancaran
Reflektan dari Permukaan Bumi
Gambar 3.2. Diagram alir koreksi radiometrik
Secara umum, koreksi radiometrik terdiri dari tiga tahap, yaitu: !
Konversi nilai spektral ke bentuk radian spektral menggunakan data kalibrasi sensor yang ada pada header file dari file dari citra.
!
Konversi dari radian spektral ke bentuk reflektan menggunakan intensitas dari iluminasi datang matahari.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
20
!
Penghilangan pengaruh atmosfer akibat serapan dan hamburan (kalibrasi atmosferik).
b. Koreksi Geometrik
Hampir semua citra satelit mempunyai sejumlah distorsi geometrik. Distorsi ini dapat disebabkan oleh sejumlah faktor diantaranya adalah kondisi optik dari sensor, pergerakan dari sistem scanner, pergerakan dari wahana, ketinggian terbang wahana, kecepatan wahana, kondisi relief dari bentang alam di bumi, dan pergerakan rotasi bumi (Lillesand and Kiefer, 2000). Koreksi geometrik bertujuan untuk memberbaiki suatu citra dari distorsi geometrik agar diperoleh citra dengan sistem proyeksi dan koordinat seperti yang ada pada peta. Citra yang belum dikoreksi terhadap distorsi geometrik, maka: jarak, luasan, arah, dan bentuknya akan berbeda-beda sepanjang citra. Koreksi geometrik dapat dilakukan dengan cara koreksi citra yang belum dikoreksi ke citra yang sudah dikoreksi (image to image geo-correction) atau dengan cara koreksi citra yang belum dikoreksi ke peta (image to map geo-correction). Secara garis besar, distorsi geometrik terbagi dua yaitu (1) kesalahan sistematik ( systematic systematic error ) yang disebabkan oleh kondisi sensor, pergerakan dari wahana, dan hubungan geometrik antara wahana dengan bumi. Sistematik distorsi dapat diperbaiki dengan menggunakan model yang akurat. Umumnya kesalahan sistematik ini sudah dikoreksi oleh penyedia data sebelum digunakan oleh pengguna. (2) kesalahan tidak sistematik (unsystematic (unsystematic error ) adalah kesalahan random yang tidak dapat diperbaiki dengan menggunakan model seperti pada kesalahan yang sistematik. Kesalahan geometrik tidak sistematik ini yang harus dilakukan oleh para pengguna data inderaja yang akan dijelaskan secara detil pada Gambar 3.3.di bawah ini.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
21
Citra terselia
Koreksi Kore ksi Geometri Geometri diperluka diperlukan n
Tidak
Citra siap diproses
Ya
Pil Pilih ih pe peta ta yg mempu mempunya nyaii Proyeksi spheroid Proyeksi spheroid dan dan datum datum
Koreksi Kore ksi Geometr Geometrii
GCPs (Ground Control Poi Points nts RMS error error y yg g dapat dapat diter diterima ima
RMS error Ber Berapa apa ban banyak yak GCP ?
Citra yang telah telah dikoreksi Geometri
Metod Metodee Res Resamp amplin ling g?
Gambar 3.3. Proses Koreksi Geometri
Distorsi geometrik bersifat random maka koreksinya membutuhkan sejumlah titik kontrol (Ground Control Points - GCPs). Titik kontrol yang dipilih adalah kenampakan-kenampakan yang terlihat jelas pada peta, misalnya percabangan /persimpangan jalan, percabangan sungai besar, atau perumahan kecil/bangunan yang terisolasi. Akurasi koreksi geometrik dinilai dari besar kecilnya kuadrat rataan (Root Mean Square – RMS) Koreksi geometrik dibutuhkan jika: !
Citra akan dibandingkan dengan data lapangan atau peta.
!
Citra akan dibandingkan dengan data spasial lainnya (dalam lingkungan GIS).
!
Perkiraan luasan dan jarak dibutuhkan dari suatu citra.
!
Dua citra dari waktu yang berbeda dibandingkan antara pixel dengan pixel (untuk analisis perubahan, misal perubahan penggunaan lahan/landuse).
Tahapan yang perlu dilakukan pada proses koreksi geometrik: a. Pengumpulan sejumlah GCPs. b. Penyelesaian persamaan polinomial (penentuan koefisien persamaan). c. Transformasi geometrik dari citra yang berasal dari file asli kedalam proyeksi peta terpilih. Proses ini dikenal dengan istilah rektifikasi. d. Penghitungan kesalahannya (error ) berdasarkan RMS.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
22
e. Penetapan DN untuk pixel pada sistem koordinat baru dari citra transformasi. Proses ini dikenal dengan istilah resampling.
1) Registrasi Citra
Koreksi Geometrik meliputi proses registrasi citra (lihat gambar 6) dan resampling. Registrasi citra meliputi proses sebagai berikut: !
Identifikasi Ground Control Points (GCPs) Points (GCPs) dari citra terdistorsi. Caranya : tentukan koordinat beberapa titik pada citra terdistorsi (row ( row dan column column)) dari beberapa titik yang jelas dan dikenal seperti persimpangan jalan besar sebagai titik kontrol (Ground (Ground Control Points – GCPs GCPs). ). Sebaiknya jangan gunakan garis pantai sebagai GCPs disebabkan pengaruh pasang surut sehingga berubah posisinya.
!
Pasangkan GCPs dari citra terdistorsi dengan posisi sebenarnya dari titik tersebut pada koordinat di bumi (lintang dan bujur). Koordinat sebenarnya umumnya diperoleh dari peta baik dalam bentuk hardcopy maupun data digital.
!
Beberapa pasang GCPs yang tersebar secara baik dan telah diidentifikasi selanjutnya diproses oleh komputer untuk menentukan persamaan transformasi yang paling tepat untuk dipakai mengkoreksi citra asli (row, (row, column)) sehingga dihasilkan citra dengan koordinat baru (lintang dan column
!
bujur). Untuk koreksi semua distorsi diperlukan suatu sistem transformasi untuk mengkorelasikan posisi antara citra satu dan lainnya. Teknik transformasi yang umum digunakan adalah transformasi polinomial. Secara garis besar ada beberapa orde dari transformasi polinomial yaitu polinomial orde satu, orde dua dan orde ke n. Pada umumnya, transformasi polinomial orde satu atau affine transformation sudah transformation sudah cukup untuk pekerjaan ini.
!
Akurasi transformasi ini dapat dilihat dari Root dari Root Mean Square (RMS), Square (RMS), yang dihitung dari nilai rata-rata dari residu masing-masing. Disarankan, nilai RMS tidak lebih besar dari 1 pixel.
!
Koreksi geometrik juga dapat dilakukan antara citra dengan citra, dikenal sebagai image to image registration. registration. Suatu citra yang terdistorsi dikoreksi
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
23
dengan menggunakan citra lain yang sudah terkoreksi pada lokasi yang sama. !
Hasil dari proses registrasi citra yaitu citra yang memiliki koordinat yang sama dengan koordinat sebenarnya di bumi. Akan tetapi orientasi dari citra belum sesuai dengan orientasi sebenarnya di bumi.
Gambar 3. 4. Registrasi Citra ke Citra dengan Menggunakan Tiepoint Menggunakan Tiepoint
2) Geo-coding ( Resampling Resampling )
Setelah citra di-georeferensi, citra akan mempunyai koordinat untuk masing-masing pixelnya tetapi geometri orientasi belum sesuai dengan citra master-nya. Untuk membuat citra tersebut sesuai dan sama dengan master-nya maka perlu perlu dilakukan proses resampling. Proses resampling adalah proses kelanjutan dari registrasi citra.
Pada tahap ini adalah menentukan DN
kedalam lokasi baru yang tepat dan hasilnya adalah citra output yang telah terkoreksi dari distorsi geometrik. Proses resampling disajikan pada Gambar 3.5.
Gambar 3.5. Proses Geo-Coding atau Resampling
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
24
- Proses Resampling, terdiri dari dua tahap :
Tahap pertama, citra baru yang belum terkoreksi perlu dilakukan proses proyeksi dengan menggunakan teknik transformasi ke dalam citra master. Tahap kedua dilakukan relasi satu-satu antara DN citra input dengan citra master dengan menggunakan metode interpolasi
Citra asli , belum koreksi geometrik
Citra setelah georeferen (registrasi)
.
Citra setelah geocoded (citra setelah selesai koreksi geometrik)
Gambar 3. 6. Citra Asli Sebelum Koreksi, Setelah Proses Registrasi Registrasi dan Citra Setelah Geocoding
Metode interpolasi diperlukan untuk menentukan nilai pixel baru untuk citra yang dikoreksi. Ada tiga metode interpolasi, yaitu (1) nearest neighbour; (2) bilinear interpolation; dan (3) cubic convolution. Nearest neighbour , nilai pixel dihitung berdasarkan nilai pixel yang terdekat dari citra aslinya. Pada bilinear interpolation, interpolation, nilai pixel dihitung berdasarkan rata-rata dari empat pixel terdekat dari citra aslinya. Sedangkan cubic convolution, convolution, nilai pixel citra output didasarkan pada 16 pixel disekitarnya. Penentuan metode interpolasi yang akan digunakan ditentukan diantaranya adalah perbandingan
ukuran pixel antara pixel input dan pixel output yang diharapkan dan tujuan dari proses resample citra itu sendiri. 3.3.3. Penajaman Citra ( Image Image Enhancement Enhancement )
Penajaman citra dilakukan untuk lebih memudahkan interpretasi visual dan pemahaman terhadap suatu citra. Keuntungan dari citra digital yaitu memungkinkan kita untuk melakukan manipulasi nilai pixel suatu citra. Walaupun citra telah dikoreksi terhadap pengaruh radiometrik, atmosperik dan karakteristik sensor sebelum data citra didistribusikan kepada para pengguna, akan tetapi kenampakan citra masih tetap kurang optimal untuk interpretasi visual.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
25
Teknik penajaman citra digunakan dalam rangka: 1.
perbaikan citra;
2.
meningkatkan perubahan skala keabuan keabuan nilai kecerahan pixel pixel dalam hal kualitas cetak fotografik untuk interpretasi dalam pengolahan tanpa kembali pada analisis digital interaktif;
3.
pada langkah pertama dalam proses subyektif klasifikasi digital. Citra asli (raw (raw imagery) imagery) adalah data yang penting, umumnya tersebar
pada porsi yang sempit dari kisaran DN yang tersedia (umumnya 8 bits atau 256 level). Penajaman Kontras (contras (contras enhancement ) meliputi perubahan nilai DN asli sehingga lebih banyak kisaran DN yang digunakan untuk peningkatan kontras antara target dengan latar belakangnya. Kunci untuk memahami Penajaman Kontras adalah memahami konsep histogram citra. Histogram adalah suatu penampilan grafik dari nilai kecerahan (brightness ( brightness)) yang ada pada suatu citra. Nilai kecerahan adalah 0 – 255 yang terpampang pada sumbu x dari suatu grafik. Sedangkan frekuensi dari kejadiannya dari setiap nilai pada suatu citra di gambarkan pada sumbu y. Ada banyak metode dari penajaman citra, yaitu penajaman kontras (contrast enhancement ) yang juga dikenal sebagai penajaman global ( global enhancement ) dan penajaman lokal ( spatial/local spatial/local enhancement ). ). Penajaman kontras yaitu mentransformasi seluruh bagian dari citra asli dengan
menggunakan pendekatan statistik, contohnya adalah perentangan kontras linear (linear (linear contras stretch); stretch); perentangan dengan kesetaraan histogram (histogram equalitzed stretch) stretch) dan perentangan kontras perbagian ( piece piece wise wis e contrast stretch). stretch). Penajaman lokal yaitu penajaman yang didasarkan pada kondisi lokal yang dijadikan penentuan untuk penajaman seluruh citra, contohnya adalah penghalusan citra (image (image smoothing ) dan penajaman citra (image sharpening )).. a) Penarikan kontras linear (linear contrast stretch) stretch)
Penajaman citra yang paling sederhana dan mudah yaitu dengan cara penarikan kontras linear (linear contras stretch). stretch).
Bila pixel suatu citra
ditayangkan dalam bentuk aslinya akan nampak sebagai citra dengan kontras rona rendah, karena interval nilai spektralnya sempit. Pada citra semacam ini
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
26
obyek-obyek penting dapat tidak terdeteksi oleh penafsir. Tahapan ini meliputi: Identifikasi kisaran nilai DN dari citra terendah dan tertinggi (umumnya adalah nilai kecerahan terendah dan maksimum dari suatu citra). Kemudian DN pada nilai terendah dari histogram di tarik ke ekstrem hitam yaitu nilai nol dan nilai DN tertinggi dari histogram ditarik ke nilai ekstrem putih atau 255. DN lainnya akan terdistribusi secara linier diantara dua nilai ekstrem tersebut (0 dan 255). Sebagai contoh jika sebaran citra asli antara 30 (terendah) dan 180 Tertinggi, maka citra akan ditarik dari nilai DN 30 menjadi nol dan dari DN 180 menjadi 255. Gambar 3.7. menyajikan proses penajaman citra dengan penarikan linier. Sebelum
255
min DN Abuabu
maks DN
0 0
DN
255
sesudah
Gambar 3.7. Proses Linear Stretching b) Piece Wise Linear Stretch
Teknik ini merupakan pengembangan dari teknik linear stretch. stretch. Akan tetapi penarikan DN tidak dilakukan secara otomatis untuk seluruh histogram. Pada teknik ini, peranan para analisis sangat besar untuk menentukan DN yang akan dipertajam berdasarkan histogram yang ada. Tujuannya adalah hanya akan mempertajam bagian dari objek tertentu. Gambar 3.8. menyajikan histogram yang ditarik sesuai dengan keinginan analis untuk menghasilkan tampilan citra yang mudah untuk diinterpretasi. 255
skala abu-abu
0
DN
255
Gambar 3. 8. Histogram piece wise dan citra sebelum dan setelah penajaman dengan teknik piece wise
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
27
c) Histogram Histogram Equalized Equalized Technique Technique
Distribusi yang seragam dari nilai DN untuk seluruh citra tidak selalu diinginkan oleh para analisis, terutama sekali jika kisaran DN dari input citra tidaklah seragam. Untuk kasus ini teknik histogram equalized lebih lebih disarankan untuk diaplikasikan. diaplikasikan. Pada teknik ini DN didistribusikan kembali berdasarkan kepada frekuensi kumulatif DN. Misalnya, suatu detil informasi atau area dengan frekuensi nilai DN yang ada sangat kecil dan akan di pertajam relatif terhadap area lainya dari bentuk aslinya. Maka teknik histogram ini sangatlah dianjurkan. Sebagai contoh, misal ada bagian dari citra adalah air di mulut sungai dan air lainnya pada citra mempunyai DN dari kisaran 0 sampai 70. Penajaman hanya ditujukan pada bagian air ini, mungkin kita ingin melihat sedimennya, maka penajaman hanya dilakukan pada bagian kecil dari
histogram yang mempresentasikan air (40 – 70) ke dalam kisaran maksimum (0 – 255). Semua pixel di bawah atau di atas nilai tersebut akan di berikan nilai nol dan 255, sehingga detil informasi dari area yang bukan air menjadi hilang atau berkurang. Akan tetapi detil informasi dari air akan menjadi lebih tajam. Gambar 3.9. menyajikan citra asli yang belum di pertajam dan citra yang dipertajam dengan teknik Histogram teknik Histogram equalized .
255
Abu-abu
0 0
DN
255
Gambar 3.9. Teknik Histogram Equalized d) Teknik penajaman penajaman dengan dengan operasi operasi penyaringan penyaringan ( filtering filtering )
Proses lebih lanjut untuk mendapatkan citra yang optimal untuk interpretasi yaitu dengan menggunakan operasi filter. Operasi filter adalah
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
28
transformasi citra secara lokal, maksudnya citra yang baru dihitung berdasarkan nilai pixel sekitar citra terdahulu. Operasi filter umumnya dilakukan pada masing-masing band ( single band ) bukan dalam bentuk komposit. Filter didesain untuk mempertajam atau mempertegas bentukan atau obyek tertentu pada suatu citra yang didasari oleh frekuensi spasialnya. Frekuensi spasial didasari pada konsep kondisi tekstur dari citra yang berhubungan dengan frekuensi kerapatan warna yang tampak pada citra. Tekstur kasar pada citra disebabkan oleh adanya perubahan warna yang sangat pendek atau kasar pada area yang sempit sehingga menghasilkan frekuensi
spatial yang tinggi. Sedangkan daerah yang halus (smooth) adalah daerah yang mempunyai frekuensi perubahan warna yang sangat kecil dari beberapa pixel saja, artinya mempunyai frekuensi spatial yang rendah. Filter biasanya terdiri dari susunan yang terdiri dari baris dan kolom (yang dikenal dengan istilah kernel). Filter adalah suatu jendela yang terdiri dari beberapa dimensi pixel (misal filter 3 x 3, filter 5 x 5 ataupun filter 7 x 7) yang bergerak pada seluruh piksel di citra satelit. Dasarnya adalah menggunakan pendekatan hitungan matematika pada nilai pixel yang ada di bawah jendela je ndela filter. Hasilnya berupa pixel dengan nilai baru yang merupakan hasil dari kombinasi linear dari beberapa nilai pixel disekitar lokasinya. Filter bergerak pada kolom dan lajur, dan penghitungan berulang untuk semua bagian dari citra hasilnya adalah citra dengan nilai pixel baru. Filter dapat digunakan untuk mempertajam beberapa bentukan dengan cara membuat jendela filter bervariasi. Nilai untuk beberapa jenis filter yang sering digunakan dapat dilihat pada Gambar 3.9, sedangkan Gambar 3.10 menunjukan contoh citra asli dan citra yang telah melalui operasi filtering.
Low pass filter dirancang untuk daerah yang luas dan homogen menjadi
tampilan warna yang rendah sehingga menurunkan detail dari citra. Sehingga low pas filter digunakan untuk menghaluskan penampilan citra. Low pas filter dikenal
juga
dengan
istilah smoothing
filter karena
berguna
untuk
menghaluskan citra.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
29
High pass filter adalah adalah kebalikan dari low pass filter yaitu yaitu untuk mempertajam
tampilan suatu bentukan pada citra. Dasar dari penajaman ini berdasarkan kalkulasi perbedaan antara pixel pusat dengan pixel sekitarnya. High sekitarnya. High pas filter dapat dibedakan menjadi dua, yaitu gradien atau directional filter dan non directional filter (laplacian filter ). ). Filter arah (directional (directional filter ) atau filter untuk deteksi ujung (edge (edge detection filter ) dirancang untuk mempertajam
bentukan liniar seperti jalan, bentukan geologi seperti patahan dan saluran air.
!
"õ õ õ
õ
'
(
'
*)
)
'
)
,
Gambar 3. 10.
+
*)
*)
)
,
)
)
,
)
,
Contoh nilai untuk beberapa operasi filter, low pas filter (kiri), Laplace plus filter (tengah) dan directional filter (kanan)
Gambar 3. 11. Citra asli (tengah), citra citra yang telah dipertajam dengan dengan high pas filter (kiri) dan citra dengan low l ow pas filter (kanan) 3.4.
SURVEI LAPANG
Ada beberapa persiapan sebelum kerja lapang yang harus dilakukan yaitu: penentuan titik sampel, pembuatan rute perjalanan, penyiapan peralatan survei, penyiapan kendaraan yang akan dipakai, dan penyiapan peralatan pendukung untuk dokumentasi. Untuk kelengkapan survei lapangan tiga bahan yang paling penting adalah: !
Peta tentative yang akan di cek (di lapangan)
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
!
Peta Rupabumi untuk memandu perjalanan lapangan
!
Citra Inderaja yang digunakan untuk interpretasi (hard-copy).
30
a. Pembuatan Titik Sampel Lapangan
Titik sampel ditentukan pada setiap lokasi pemetaan dengan prinsip persebaran yang merata, keterwakilan dan dapat dijangkau. Tiap lokasi ditentukan dit entukan beberapa titik sampel tergantung dari luas lokasi, keseragaman penutup lahan, keraguan atau belum tuntasnya pengenalan penutup lahan dalam proses interpretasi. Jumlah training area minimum area minimum yang dianjurkan dari masing-masing kelas penutupan lahan adalah 10 kali jumlah band yang digunakan pada waktu klasifikasi. Pada kegiatan inventarisasi dengan citra satelit Landsat-TM, jumlah band yang optimal untuk memberikan informasi vegetasi dan jenis-jenis penutup lahan lainnya adalah 3-4 band. Dengan demikian makin luas total sampel (training ( training area)) untuk setiap kelas penutupan lahan adalah 30 sampai 40 pixel atau sekitar 2,7 area – 3,6 ha. Pada kondisi-kondisi dimana variasi vari asi kondisi lapangan sangat bervariasi, maka luas total sampel dianjurkan antara 27 – 36 ha. Untuk citra Landsat-TM yang digunakan dalam kegiatan ini, luas terkecil sampel yang disarankan adalah sekitar 1 ha. Untuk kondisi tertentu dimana luas setiap kelas kurang dari 1 ha, maka luas sampel dapat dikurangi menjadi sekitar 0,36. Luas sampel lebih kecil dari 0,36 ha tidak dianjurkan karena tingkat kesalahan dalam klasifikasi kuantitatif menjadi tinggi. Kegiatan survei lapangan ini meliputi berbagai kegiatan, baik pengukuran GCP, pengecekan hasil analisis data satelit maupun pengumpulan data lapangan seperti kandungan pirit maupun kondisi lapangan secara umum. Secara garis besar kegiatan-kegiatan di lapangan tersebut, antara lain meliputi: ! Pengukuran koordinat titik kontrol dengan menggunakan alat GPS guna
membuat citra geocorrected dan geocoded maupun mengetahui posisi lokasi pembuatan training area di area di lapangan. ! Pengecekan kebenaran klasifikasi dan analisis indeks vegetasi dari beberapa
kelas sampel dan hasil analisis yang meragukan. ! Pengamatan jenis vegetasi yang dominan ataupun komposisi jenis pada tiaptiap kelas penggunaan / penutupan lahan.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
31
! Penentuan rute perjalanan dibuat untuk kelancaran kerja di lapangan, yaitu
untuk penentuan base camp camp terdekat dari masing-masing titik sampel serta penentuan jenis kendaraan yang akan digunakan mencapai lokasi sampel. ! Untuk mangrove perlu diperhatikan ukuran, jumlah dan bentuk petak contoh
beserta cara meletakkan petak contoh tersebut, kriteria stadium pertumbuhan dan ukuran petak contohnya serta parameter yang diukur.
b. Ukuran, Jumlah dan Bentuk Petak Contoh
Ukuran petak contoh tergantung pada strata pertumbuhan (semai, pancang, tiang atau pohon), kerapatan dan keragaman jenis serta heterogenitas. Dalam penentuan ukuran petak pada prinsipnya adalah bahwa petak harus cukup besar agar mewakili komunitas, tetapi teta pi juga harus cukup kecil agar individu yang ada dapat dipisahkan, dihitung dan diukur tanpa duplikasi atau pengabaian. Salah satu cara untuk menentukan ukuran/jumlah contoh adalah menggunakan kurva species area. Bentuk petak contoh sangat penting dalam memudahkan penempatan petak contoh dan efisiensi sampling.
Ada tiga bentuk petak contoh yaitu :
lingkaran, bujur sangkar dan empat persegi panjang.
Bentuk lingkaran
mempunyai ketelitian yang cukup tinggi dalam dalam proses pembuatannya. pembuatannya. Disamping itu juga, petak bentuk lingkaran akan praktis kalau digunakan untuk komunitas yang relatif seragam, seperti pada hutan tanaman, komunitas rumput/herba dan semak belukar. Sedangkan petak contoh berbentuk persegi panjang akan lebih efisien dari pada petak berbentuk bujur sangkar dalam jumlah dan luasan yang sama, bila sumbu panjang petak sejajar perubahan gradient lingkaran.
c. Cara Meletakkan Petak Contoh
Pada dasarnya ada dua cara peletakan petak contoh yaitu secara acak (random sampling ) dan secara sistimatik ( systematic sampling ). ).
Dari segi
floristis-ekologis, cara peletakan random sampling hanya mungkin digunakan apabila lapangan dan vegetasi homogen, misalnya hutan tanaman dan padang rumput. Sedangkan untuk untuk keperluan survei vegetasi yang lebih teliti, sistimatik sampling adalah cara yang tepat, karena mudah dalam pelaksanaannya dan data
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
32
yang dihasilkan akan dapat lebih bersifat representative representative.. Bahkan dalam keadaan tertentu yang terkait dengan keterbatasan biaya, tenaga dan waktu, maka metode purposive sampling dapat dapat digunakan dalam analisis vegetasi.
d. Kriteria Stadium Stadium Pertumbuhan Pertumbuhan dan Ukuran Petak Contohnya Contohnya Kriteria stadium pertumbuhan semai, pancang, tiang dan pohon sebagai berikut : Semai Pancang
: :
Tiang Pohon
: :
Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi kurang dari 1,5 m. Permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai dengan anakan berdiameter kurang dari 10 cm. Pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm. Pohon dewasa berdiameter 20 cm dan lebih.
Ukuran petak pengamatan untuk masing-masing tingkat pertumbuhan adalah : Semai Pancang Tiang Pohon
: : : :
2mx2m 5mx 5m 10 m x 10 m 20 m x 20 m
Sedangkan petak contoh berbentuk lingkaran dibuat dengan luas 0,1 Ha (R=17,8 m) e. Parameter yang Diukur
Dalam analisis vegetasi ada beberapa parameter vegetasi yang diukur secara langsung di lapangan, yaitu : ! Nama species (lokal dan ilmiah) ! Penutupan tajuk (covering) (covering) untuk mengetahui prosentase penutupan
vegetasi terhadap lahan ! Diameter batang; untuk mengetahui luas bidang dasar untuk menduga
volume pohon dan tegakan ca bang maupun tinggi total ! Tinggi pohon; baik tinggi pohon bebas cabang ! Pemetaan lokasi individu pohon.
f.
Peralatan Survei
Alat dan bahan yang diperlukan dalam survei lapangan untuk pemetaan mangrove adalah :
Water checker untuk mengukur suhu, salinitas, pH dsb.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
33
! Kompas untuk menentukan arah transek garis. ! Meteran dari bahan plastik atau fiberglass 50 m. ! Tali untuk membuat transek garis dan petak contoh (plot). ! Alat hitung atau band tally counter . ! Gunting atau pisau pemotong ranting dan cabang tumbuh-tumbuhan. ! Kantong plastik yang porous dan kertas koran untuk pembuatan koleksi
vegetasi bagi keperluan analisis laboratorium. ! Label dan alat-alat tulis (pensil, spidol) yang tahan air untuk pencatatan
data. ! Data sheets seperti yang disajikan pada tabel isian hutan mangrove. ! Buku-buku floristik untuk determinasi jenis mangrove.
g. Pelaksanaan Survei Survei
Dalam pelaksanaan survei lapang untuk pemetaan mangrove perlu memperhatikan beberapa hal di bawah ini : 1) Penentuan stasiun pengamatan (pengambilan contoh)
Lokasi yang ditentukan untuk pengamatan vegetasi mangrove harus mewakili wilayah kajian, dan juga harus dapat mengindikasikan atau mewakili setiap zone hutan mangrove yang terdapat di wilayah kajian. Pada setiap lokasi ditentukan stasiun-stasiun pangamatan secara konseptual berdasarkan keterwakilan lokasi kajian. 2) Prosedur pengamatan (pengambilan contoh)
Pada setiap stasiun pengamatan, tetapkan transek-transek garis dari arah laut ke arah darat (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi hutan mangrove yang terjadi) di daerah intertidal. Pada setiap zona hutan mangrove yang berada di sepanjang transek garis, letakkan secara acak petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuan 10 x 10 m sebanyak
paling kurang 3 (tiga) petak contoh (plot). Pada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, determinasi setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada, hitung jumlah individu setiap jenis,
34
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
dan ukur lingkaran batang setiap pohon mangrove pada setinggi dada (sekitar 1,3 m) pada setiap zona dari pinggir laut ke arah darat.
3.5. PENELITIAN LAPANGAN LAPANGAN DENGAN METODE KUADRAT KUADRAT SECARA TRANSEK MAUPUN KOLEKSI BEBAS.
Untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis dilakukan penelitian lapangan dengan metode kuadrat baik secara transek maupun koleksi bebas. Untuk pengambilan data pohon (diameter batang ! 10 cm) dilakukan transek dengan membuat garis tegak lurus pantai yang masing-masing transek di buat petak-petak (plot-plot) yang berukuran 10 m x 10 m, ukuran petak 5 m x 5 m dilakukan untuk pengambilan data belta (anak pohon) yang berdiameter 2 - < 10 cm. Dari data tersebut te rsebut dapat di ketahui nilai penting jenis-jenis mangrove yang merupakan penjumlahan dari kerapatan nisbi, frekuensi nisbi dan dominasi nisbi (COX 1967). Untuk mencari kerapatan nisbi (KN), frekuensi nisbi (FN), dominasi nisbi (DN) dan nilai penting di lakukan perhitungan dengan metode sebagai berikut :
Jumlah individu suatu jenis KN = ---------------------------------------- ---------------------------------------------------------------------------------------Jumlah individu untuk semua jenis
x 100 %
Nilai frekuensi untuk suatu jenis FN = --------------------------------------- -------------------------------------------------------------------------------------------Jumlah nialai-nilai frekuensi untuk semua jenis
x 100 %
Jumlah titik pengambilan contoh jenis terdapat Frekuensi = -------------------------------------- -----------------------------------------------------------------------------------------Jumlah semua titik pengambilan contoh
x 100 %
Jumlah luas bidang dasar untuk jenis DN = -------------------------------------- -------------------------------------------------------------------------------------------------------
x 100 %
Jumlah luas bidang dasar untuk semua jenis Sedang untuk potensi (volume) pohon dapat diketahui melalui perkalian basal areal dan tinggi pohon, adapun tinggi pohon dapat diketahui dengan menggunakan rumus umum yaitu 0,7 x tinggi pohon total.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
35
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisa data baik secara transek maupun koleksi bebas di selatan Pulau Madura, pulau-pulau di Kangean dan sekitarnya didapatkan 21 jenis mangrove yang termasuk dalam 15 marga dan 12 suku (Tabel 2). Jenis Rhizophora stylosa dan Sonneratia alba stylosa alba paling banyak didapatkan pada 16 tempat pencuplikan data (75 % dan 69 %), sedangkan jenis lainnya kurang dari 50 % dari jumlah pencuplikan data (Tabel 1.). Umumnya Rhizophora stylosa stylosa ini tumbuh pada tanah yang berpasir atau pada terumbu karang yang sudah mati (Steenis, C.G.G.J. Van 1958).
4.1. Mangrove di Pantai Selatan Pulau Madura :
Hasil pencuplikan data di 12 tempat menunjukkan bahwa di daerah ini hanya ditemukan dalam bentuk belta (anak pohon) sebanyak 13 jenis. Jenis yang mendominasi di tempat ini adalah Sonneratia alba alba dengan nilai penting 131,82 %. Sedangkan Rhizophora stylosa stylosa merupakan codominan (77,48 %), jenis lainnya (Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata mucronata dan Avicennia alba alba merupakan nilai penting kurang dari 50 % (Tabel 3.). Sonneratia alba merupakan alba merupakan jenis yang mempunyai kepadatan tertinggi (1.366
batang per hektar), demikian juga volumenya yang mencapai 15 m 3 per hektar. Jenis ini banyak didapatkan pada pencuplikan data no. 2, 6, 7, 8, 10 dan 11. Rhizophora stylosa mempunyai stylosa mempunyai kepadatan 933 batang per hektar dengan volume 5,67 m3 per hektar, sedangkan Rhizophora sedangkan Rhizophora apiculata mempunyai apiculata mempunyai kepadatan 800 batang per hektar dengan volume 9,00 m3 per hektar. Kedua jenis lainnya kepadatannya kurang dari 500 batang per hektar dan volumenya kurang dari 9,00 m 3 per hektar. Secara keseluruhan kepadatan belta mangrove di Pantai Selatan Pulau Madura ini mencapai 3.632 batang per hektar dengan volume 35,8 m3 per hektar (Tabel 4.).
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
36
4.2. Mangrove di Pulau Saubi dan Pulau Sepangkur Besar
Hasil inventarisasi mangrove di kedua pulau ini di dapatkan 10 jenis akan tetapi yang didapatkan pada metode kuadrat (transek) hanya didapatkan 2 jenis yaitu Rhizophora stylosa stylosa (dominan) yang mempunyai mempunyai nilai penting 248,81 %. Jenis lain yang didapatkan yaitu Ceriops tagal dengan nilai penting 51,19 % (Tabel 5.). Rhizophora stylosa mempunyai stylosa mempunyai kepadatan 3.732 batang dengan volume 18,27 m3 per hektar, sedangkan Ceriops tagal kepadatannya mencapai 1.334 batang per hektar dengan volume mencapai 6,00 m3 per hektar. Secara keseluruhan kepadatan belta (anak pohon) di kedua pohon ini mencapai 5.066 batang per hektar dengan volume 24,27 m3 per hektar. 4.3. Mangrove di Kepulauan Kangean
Penelitian di Pulau Kangean dilakukan secara transek maupun koleksi bebas. Hasil pencuplikan untuk pohon di Pulau Kangean di dapatkan 9 jenis. Rhizophora stylosa merupakan jenis dominan dengan nilai penting 92,07 %, sedangakan untuk stylosa codominan diduduki jenis Bruguiera gymnorrhiza gymnorrhiza (NP.75,72 %).
Ketujuh jenis
lainnya mempunyai nilai penting kurang kurang dari 50 % (Tabel 7.). Dari ke 9 jenis pohon pohon tersebut Rhizophora stylosa stylosa mempunyai kepadatan 202 batang per hektar dengan
volume 8,71 m3 per hektar. Sedang untuk Bruguiera untuk Bruguiera gymnorrhiza mempunyai gymnorrhiza mempunyai kepatan 57 batang per hektar, akan tetapi mempunyai volume yang lebih besar yaitu 62,43 m 3 per hektar. Besarnya volume ini disebabkan jenis Bruguiera gymnorrhiza gymnorrhiza rata-rata mempunyai diameter yang lebih besar dari pada Rhizophora stylosa sty losa bahkan bahkan ada yang berdiameter 40 cm, untuk 7 jenis lainnya mempunyai kepadatan kurang dari 60 batang per hektar dan volume kurang dari 20 m3 per hektar (Tabel 8.). Secara keseluruhan kepadatan pohon mangrove di Pulau Kangean mencapai 414 batang per hektar dengan 3
volume 102,57 m per hektar. Untuk belta (anak pohon) didapatkan 9 jenis yang didominasi oleh Rhizophora stylosa dengan stylosa dengan nilai penting 97,93 %, sedangkan codominan di tempati oleh Avicennia oleh Avicennia alba dengan nilai penting 85,77 %. Untuk 5 jenis lainnya mempunyai mempunyai nilai penting kurang dari 50 % (Tabel 9.).
Hasil perhitungan kepadatan masing-masing masing-masing belta
menunjukkan bahwa Rhizophora stylosa stylosa mempunyai kepadatan yang paling tinggi (801 batang per hektar) dengan volume 12,00 m3 per hektar.
Kemudian diikuti
37
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
Avicennia alba dengan kepadatan 733 batang per hektar yang mempunyai volume 7,53 alba dengan m3 per hektar. Secara keseluruhan jumlah kepadatan belta mencapai 2.400 batang per hektar dengan volume mencapai 26,40 m3 per hektar (Tabel 4.10.).
Tabel 4.1. Jenis-jenis mangrove mangrove yang didap didapatkan atkan di Pulau Madura Madura dan PulauPulaupulau kecil lainnya – Penelitian Mangrove Juni – Juli 2003. No
Jenis 1
1 2
Acrostichum aureum Aegiceras corniculatum
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Avicennia alba Avicennia marina Bruguiera gymnorrhiza Ceriops tagal Excoecaria agallocha Heritiera littoralis Lumnitzera racemosa Merope angulata Nypa fruticans Pemphis acidula
2
3
4
5
6
7
L o k a s I 8 9 10 11
12 +
13
14
15
16
+ +
+
+
+
+ +
+
+
+
+
+ +
+
+ + +
+ + + +
+
+
13 14 15
Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Rhizophora stylosa
+ + +
+
16 17 18 19 20 21
Sonneratia alba + + + + + Sonneratia caseolaris Sonneratia griffithii Thespesia populnea Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Sumber : Survei Lapang INSDAL Juni – Juli 2003
+ +
+
+
+
+ +
+
+
+
+
+ +
+ +
+
+
+
+
+ +
+ + +
+ +
+ +
+
Keterangan : 1 – 12. Pantai Selatan Pulau Madura 1 2 3
112 o 57,467’ BT; 7o 11,672’ LS o o 112 59,480’ BT; 7 12,118’ LS 113 o 02,197’ BT; 7 o 12,694’ LS
4 5 6 7 8
113 o 12,140’ BT; 7o o 13,252’ LS 12 113 113 o 49,946’ BT; 7 o 04,576’ LS o 113 17,054’ BT; 7 13,006’ LS 13 Pulau Saubi 115 o 26’06” BT; 06 o 58’47” LS o o o o 113 17,755’ BT; 7 13,037’ LS 14 P. Sepangkur Besar 115 36’02” BT; 7 03’15” LS o o o o 113 20,446’ BT; 7 12,883’ LS 15 P. Goa-Goa 114 46’21,2” BT; 7 08’2,3” LS o o o o 113 26,513’ BT; 7 08,366’ LS 16 P Kangean 115 17’33,2” BT; 7 39,9” LS Sumber : Survei Lapang INSDAL Juni – Juli 2003
9 10 11
113 o 34,827’ BT; 7 o 09,053’ LS o o 113 113 35,320’ BT; 7 08,364’ LS 113 113 o 41,204’ BT; 7 o 06,554’ LS
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
38
Tabel 4.2. Jenis, marga marga dan suku mangrove yang yang didapatkan didapatkan di Pulau Madura dan pulau-pulau lainnya. No
Suku
+ + +
No
Jenis
1
Combretaceae
1
Lumnitzera racemosa
2
Euphorbiaceae
2
Excoecaria agallocha
3
Lythraceae
3
Phempis acidula
4
Malvaceae
4
Thespesia populnea
5
Myrsinaceae
5
Aegiceras corniculatum
6
Xylocarpus granatum
6
Palunae
7 8
Xylocarpus moluccensis Nypa fruticans
7
Rhizophoraceae
9
Bruguiera gymnorrhiza
10
Ceriops tagal
11
Rhizophora apiculata
+ + +
12
Rhizophora mucronata
13
Rhizophora stylosa
8
Rutaceae
14
Merope angulata
9
Sonneratiaceae
15
Sonneratia alba
16
Sonneratia caseolaris
17
Sonneratia griffithii
10
Sterculiaceae
18
Heritiera littoralis
11
Verbenoceae
19
Avicennia alba
20
Avicennia marina
21
Acrostichum aureum
12
Polypodiaceae
Sumber : Survei Lapang INSDAL Juni – Juli 2003
Tabel 4.3. Daftar kerapatan kerapatan nisbi (KN), Frekuensi Frekuensi nisbi (FN), (FN), dominasi nisbi (DN) dan nilai penting (NP) belta mangrove di Pantai Selatan Pulau Madura. No
Jenis
KN (%)
FN (%)
DN (%)
NP (%)
1
Sonneratia alba
37,61
46,16
48,05
131,82
2
Rhizophora stylosa
25,69
30,77
21,02
77,48
3
Rhizophora apiculata
22,02
7,69
15,79
45,50
4
Rhizophora mucronata
11,93
7,69
14,41
34,03
5
Avicennia alba
2,75
7,69
0,73
11,17
39
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
Tabel 4.4. Daftar kepadatan dan volume belta masing-masing masing-masing jenis per per hektar di Selatan Pulau Madura. No
Jenis
Kepadatan (batang/hektar)
1
Sonneratia alba
2
3
Volume (m /hektar)
1.366
15,00
Rhizophora stylosa
933
5,67
3
Rhizophora apiculata
800
9,00
4
Rhizophora mucronata
433
6,00
5
Avicennia alba
100
0,13
3.632
35,8
Jumlah
Sumber : Survei Lapang INSDAL Juni – Juli 2003
Tabel 4.5. Daftar Daftar kepadatan nisbi (KN), Frekuensi nisbi (FN), dominasi nisbi (DN) dan nilai penting (NP) belta mangrove di Pulau Saubi dan Pulau Sepangkur Sepangkur Besar. Besar. No
Jenis
KN (%)
FN (%)
DN (%)
NP (%)
1
Rhizophora stylosa
73,68
85,72
89,41
248,81
2
Ceriops tagal
26,32
14,28
10,59
51,19
Sumber : Survei Lapang INSDAL Juni – Juli 2003
Tabel 4.6. Daftar kepadatan dan volume belta masing-masing masing-masing jenis per per hektar di Pulau Saubi dan Pulau Sepangkur Besar. No
Kepadatan (batang/hektar) (batang/hektar)
Jenis
Volume (m3/hektar)
1
Rhizophora stylosa
3.732
18,27
2
Ceriops tagal
1.334
6,00
5.066
24,27
Sumber : Survei Lapang INSDAL Juni – Juli 2003
Tabel 4.7. Daftar kerapatan nisbi (KN), (KN), Frekuensi Frekuensi nisbi nisbi (FN), dominasi nisbi (DN) dan nilai penting (NP) pohon di Pulau Kangean. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Rhizophora stylosa Bruguiera gymnorrhiza Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Ceriops tagal Xylocarpus granatum Excoecaria agallocha Pemphis acidula Lumnitzera racemosa
KN (%) 48,27 13,79 13,79 3,45 6,90 3,45 3,45 3,45 3,45
FN (%) 21,42 14,30 21,43 7,14 7,14 7,14 7,14 7,14 7,14
DN (%) 22,37 47,63 11,39 10,16 2,47 1,63 1,63 1,63 1,09
NP (%) 92,07 75,72 46,61 20,75 16,51 12,22 12,22 12,22 11,68
Sumber : Survei Lapang INSDAL Juni – Juli 2003
40
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
Tabel 4.8. Daftar kepadatan kepadatan dan dan volume pohon masing-masing masing-masing jenis jenis per hektar hektar di di Pulau Kangean. Kangean. No
1
Jenis
Rhizophora stylosa
Kepadatan (batang/hektar) 202
3
Volume (m /hektar)
8,71
2 3 4
Bruguiera gymnorrhiza Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata
57 57 14
62,43 11,57 16,14
5 6 7 8 9
Ceriops tagal Xylocarpus granatum Excoecaria agallocha Pemphis acidula Lumnitzera racemosa Jumlah
28 14 14 14 14 414
0,86 0,86 0,86 0,86 0,29 102,57
Sumber : Survei Lapang INSDAL Juni – Juli 2003
Tabel 4.9. Daftar kerapatan nisbi (KN), Frekuensi nisbi (FN) dominasi nisbi (DN) dan nilai penting (NP) belta di Pulau Kangean No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Rhizophora stylosa Avicennia alba Lumnitzera racemosa Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha
KN (%) 33,34 30,55 13,89 11,11 5,55 2,78 2,78
FN (%) 18,18 27,28 18,18 9,09 9,09 9,09 9,09
DN (%) 46,41 27,94 12,36 5,37 3,96 2,83 1,13
NP (%) 97,93 85,77 44,43 25,57 18,60 14,70 13,00
Tabel 4.10. Daftar kepadatan dan volume belta masing-masing masing-masing jenis jenis per hektar di Pulau Kangean. No
Jenis
Kepadatan (batang/hektar)
Volume (m3/hektar)
1
Rhizophora stylosa
801
12,00
2
Avicennia alba
733
7,53
3
Lumnitzera racemosa
333
3,20
4
Rhizophora apiculata
266
1,20
5
Rhizophora mucronata
133
1,73
6
Bruguiera gymnorrhiza
67
0,53
7
Excoecaria agallocha
67
0,21
2.400
26,40
Jumlah
Sumber : Survei Lapang INSDAL Juni – Juli 2003
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
4.4. Pemetaan Sumberdaya Mangrove
41
Sumberdaya mangrove banyak dijumpai di wilayah Madura dan terutama di Kepulauan Kangean. Dari 23 lembar peta skala 1:50.000 yang dipetakan, maka wilayah yang mempunyai sumberdaya mangrove terdiri dari 18 lembar peta (NLP) sebagaimana dapat dilihat pada tabel 4.11 di bawah, dimana lembar Kangean (NLP 1708-07) memiliki luasan mangrove terbesar yaitu 29,29 % dari seluruh wilayah mangrove yang ada di Madura dan Kepulauan Kangean, disusul oleh lembar Pulau Sepanjang (NLP 1808-01) 22,80 % dan lembar Kangean (NLP 1708-06) 14,24 %. Dengan demikian wilayah Kangean sendiri memiliki hutan mangrove lebih dari 65 % dibandingkan dengan jumlah seluruh hutan mangrove di Pulau Madura. Sehingga dengan adanya sumberdaya yang cukup besar tersebut diharapkan dapat diperoleh masukan yang cukup besar pula, terutama untuk perekonomian penduduk penduduk setempat maupun pemerintah daer daerah. ah.
Tabel 4.11. Luas dan Sebaran Mangrove Skala 1:50.000 Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Lembar / NLP Tanjungbumi (NLP 1609-21) Gresik (NLP 1608-01) Kwanyar (NLP 1608-02) Pulau Raas (NLP 1708-03) Pulau Guwaguwa (NLP 1708-05) Kangean (NLP 1708-06) Kangean (NLP 1708-07) Kangean (NLP 1709-01) Dungkek (NLP 1709-11) Pulau Sepanjang (NLP 1808-01) Pasuruan (NLP 1608-03) Sampang (NLP 1608-04) Probolinggo (NLP 1608-05) Pamekasan (NLP 1608-06) Besuki (NLP 1608-07) Sumenep (NLP 1608-08) Panarukan (NLP 1608-09) Klampis (NLP 1609-12) Jumlah
Luas (Ha) 37.59 499.52 652.86 483.66 295.06 2054.34 4225.30 167.99 92.29 3289.36 472.32 371.76 673.51 306.75 198.42 189.16 198.61 215.51 14424.01
% 0.26 3.46 4.53 3.35 2.05 14.24 29.29 1.16 0.64 22.80 3.27 2.58 4.67 2.13 1.38 1.31 1.38 1.49 100.00
Sumber : Hasil interpretasi Citra Landsat ETM 7 tahun 2002 – 2003, dan digitasi tahun 2003
Adapun titik sample wilayah penelitian disertai dengan data jenis mangrove yang ada dapat dilihat di gambar atau peta 4.1 sampai 4.6 di belakang.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut – Sumberdaya Mangrove
42
3 4
e v o r g n a M a y a d r e b m u S – t u a L n a d r i s i s e P m a l A a y a d r e b m u S i e v r u S r a s a D a t a D i s a s i r a t n e v n I
4 4
e v o r g n a M a y a d r e b m u S – t u a L n a d r i s i s e P m a l A a y a d r e b m u S i e v r u S r a s a D a t
a D i s a s i r a t n e v n I
5 4
e v o r g n a M a y d a r e b m u S – t u a L n a d r i s i s e P m a l A a y a d r e b
m u i S e v r u S r a s a D a t a D i s a s i r a t n e v n I
6 4
e v o r g n a M a y a d r e b m u S – t u a L n a d r i
s i s e P m a l A a y a d r e b m u S i e v r u S r a s a D a t a D i s a s i r a t n e v n I
7 4
e v o r g n a M a y a d r e
b m u S – t u a L n a d r i s i s e P m a l A a y a d r e b m u S i e v r u S r a s a D a t a D i s a s i r a t n e v n I
8 4
View more...
Comments