LAPORAN PENDAHULUAN KOLITIS

May 11, 2019 | Author: Nurhanifah | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

,mnmnmn,...

Description

LAPORAN PENDAHULUAN KOLITIS Untuk Memenuhi Nilai Tugas PKK Anak

Disusun oleh : Sumaizi Indriyani (P1337420216011) (P1337420216011)

PRODI DIII KEPERAWATAN PURWOKERTO POLTEKKES KEMENKES SEMARANG 2018

LAPORAN PENDAHULUAN KOLITIS

A. DEFINISI Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon. Kolitis ulseratif adalah salah satu dari 2 jenis utama  utama  penyakit radang usus (IBD),  bersama dengan penyakit dengan penyakit Crohn. Tidak Crohn.  Tidak seperti penyakit Crohn, yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari saluran pencernaan, kolitis ulseratif  bersifat hanya melibatkan usus besar, dan ileum terminal pada 10% pasien. (Gambar 1 dan 2) (Adam, 2010) Kolitis ulseratif merupakan penyakit yang

menyerang

kolon dan

rektum di bagian jaringan paling luar atau mukosa. Bentuk lesi ini berupa daerah peradangan dan ulserasi kontinu tanpa segmen jaringan normal (Kathleen and Julie, 2003).

Gambar 1. Kolon normal dan kolitis ulseratif

Gambar 2. Jaringan kolon normal dan kolitis ulseratif

Penyebaran penyakit kolitis ulseratif ini sama dengan penyakit chron. Banyak ditemukan di negara barat dan sedikit di negara Asia dan Afrika. Kolitis ulseratif lebih sering terjadi di negara industri. Negara Kanada adalah negara dengan angka kejadian kolitis ulseratif terbanyak di dunia. Akan tetapi akhir-akhir ini lebih banyak kasus Crohn ditemukan di Indonesia, mungkin  juga karena lebih banyak orang berobat ke dokter dan adanya kemajuan di  bidang teknik untuk diagnosa. Insidensi penyakit kolitis koliti s ulseratif di Amerika Serikat kira-kira 15 per 100.000 penduduk secara respektif dan tetap konstan. Prevalensi penyakit ini diperkirakan sebanyak 200 per 100.000 penduduk. Sementara puncak kejadian penyakit tersebut adala usia 15-35 tahun,  penyakit ini telah dilaporkan terjadi dalam setiap dekade kehidupan (Glickman RM, 2000). Prevalensi terjadinya kolitis ulseratif di antara pria dan wanita adalah 1 : 1. Walaupun demikian, demikian, menurut menurut literatur tertentu wanita sedikit lebih  banyak mengalami kolitis ulseratif daripada pria. Kebanyakan penyakit ini menyerang remaja awal, tetapi gambaran klinisnya baru tampak pada usia ke50 sampai ke-60 dan biasanya terjadi pada usia ke-70 sampai ke-80 (Hopkins, 2013). Di RSCM tahun 2001  –   2006 terdapat 3,9% pasien yang terdeteksi dari 1541 pasien yang dilakukan endoskopi, dan di RSGS tahun 2002  –  2006   2006 terdapat 6,95% pasien yang terdeteksi sebagai kolitis ulseratif dari 532 pasien yang dilakukan endoskopi ( Djojoningrat dkk, 2011).

B. ETIOLOGI Sementara penyebab kolitis ulseratif tetap belum diketahui, gambaran tertentu penyakit ini telah menunjukan beberapa kemungkinan penting. Hal ini meliputi faktor familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikogenik (Glickman RM, 2000).

1. Faktor familial/ genetik Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih dibandingkan orang kulit hitam atau cina, dan insidensinya meningkat (3 sampai 6 kali lipat) pada orang Yahudi dibandingkan dengan non Yahudi. Hal ini menunjukan bahwa dapat ada predisposisi genetik terhadap perkembangan penyakit ini (Glickman RM, 2000). Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih daripada orang kulit hitam dan orang kulit kuning. (Ariestine, 2008) Saudara  pada pohon faktor tingkat pertama dari pasien kolitis ulseratif memiliki faktor terkenanya IBD 4-20 kali lebih sering dengan absolut faktor risiko sekitar 7%. Kembar monozigot memiliki tingkat risiko lebih  besar daripada kembar dizigot, terutama untuk penyakit Crohn. Akan tetapi, faktor genetik lebih berperan pada penyakit Crohn daripada kolitis ulseratif (Daniel K. Podolsky, 2002). 2. Faktor infeksi Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Disamping  banyak usaha untuk menemukan agen bakteri, jamur, virus, belum ada yang sedemikian jauh diisolasi. Laporan awal isolat varian dinding sel  Pseudomonas  atau agen lain yang dapat ditularkan yang dapat menghadirkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih harus dikonfirmasi (Glickman RM, 2000). 3. Faktor imunologik Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep bahwa manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan

ini

(misalnya

artritis,

perikolangitis)

dapat

mewakili

fenomena autoimun dan bahwa zat terapeutik tersebut, seperti glukokortikoid atau azatioprin, dapat menunjukkan efek mereka melalui mekanisme imunosupresif. Pada 60-70% pasien dengan kolitis ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA (perinuclear anti-neutrophilic

cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA tidak terlibat dalam  patogenesis penyakit kolitis ulseratif, namun ia dikaitkan dengan alel HLA-DR2, di mana pasien dengan p-ANCA negatif lebih cenderung menjadi HLADR4 positif. (Glickman RM, 2000) 4. Faktor psikologik Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan. Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau  berkembang, sehubungan dengan adanya stres psikologis mayor misalnya kehilangan seorang anggota keluarganya. Telah dikatakan  bahwa pasien penyakit radang usus memiliki kepribadian yang khas yang membuat mereka menjadi rentan terhadap stres emosi yang sebaliknya

dapat

merangsang

atau

mengeksaserbasi

gejalanya

(Glickman RM, 2000). 5. Faktor lingkungan Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit kolitis ulseratif berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit kolitis ulseratif menurun secara signifikan pada pasien yang menjalani operasi apendiktomi pada dekade ke-3. Beberapa penelitian sekarang menunjukkan penurunan risiko penyakit kolitis ulseratif di antara  perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok. Analisis meta menunjukkan risiko penyakit kolitis ulseratif pada perokok sebanyak 40% dibandingkan dengan yang bukan perokok (Gli ckman RM, 2000).

C. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI Pada dasarnya colitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan mukosa kolon secara difus dan kontinu, dimulai dari rektum dan menyebar/  progresif ke proksimal. Perjalanan penyakit kolitis ulseratif bisa dimulai dengan gejala pertama yang berat ataupun dimulai dari gejala ringan kemudian akan semakin berat bertahap setiap minggu. Hal ini didasarkan  pada panjang kolon yang terlibat. Lesi mukosa bersifat difus dan hanya melibatkan lapisan mukosa (Ariestine, 2008).

Sebagai respon terhadap kerusakan lapisan mukosa, perbaikan  jaringan perlahan akan membentuk suatu  pseudopolip. Pseudopolip ini bisa menutup saluran kolon sehingga dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Mekanisme lainnya adalah ulserasi yang dalam akan merusak persarafan kolon sehingga dapat memperlemah kontraksi kolon. Kelemahan kontraksi ini akan menghambat pegerakan  faeces keluar tubuh. Terjadilah konstipasi (Ariestine, 2008).

Gambar 4. Colonoscopy colon normal, Chron’s disease, dan colitis ulcerative Selain itu, perbaikan jaringan atas kolitis ulseratif dapat menyebabkan kolon terlalu membengkak menjadi gangrenosa. Keadaan tersebut dikenal sebagai megakolon. Jaringan baru yang terbentuk ini rentan sekali mengalami displasia sehingga meningkatkan kemungkinan terkena tumor kolon (Ariestine, 2008). Ada bukti aktivasi imun pada IBD, dengan infiltrasi lamina propria oleh limfosit, makrofag, dan sel-sel lain, meskipun antigen pencetusnya

 belum jelas. Virus dan bakteri telah diperkirakan sebagai pencetus, namun sedikit yang mendukung adanya infeksi spesifik yang menjadi penyebab IBD (Price, 2005). Hipotesis yang kedua adalah bahwa dietary antigen atau agen mikroba non patogen yang normal mengaktivasi respon imun yang abnormal. Hasilnya suatu mekanisme penghambat yang gagal. Pada tikus, defek genetik pada fungsi sel T atau produksi sitokin menghasilkan respon imun yang tidak terkontrol pada flora normal kolon (Price, 2005). Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus IBD adalah suatu autoantigen yang dihasilkan oleh epitel intestinal. Pada teori ini, pasien menghasilkan respon imun inisial melawan antigen lumenal , yang tetap dan diperkuat karena kesamaan antara antigen lumenal dan protein tuan rumah. Hipotesis autoimun ini meliputi pengrusakan sel-sel epitelial oleh sitotoksisitas seluler antibody-dependent atau sitotoksisitas cell-mediated secara langsung (Price, 2005).

Gambar 3. Patogenesis Kolitis Ulseratif

Imun respon cell-mediated juga terlibat dalam patogenesis IBD. Ada  peningkatan sekresi antibodi oleh sel monomuklear intestinal, terutama IgG dan IgM yang melengkapi komplemen. Kolitis ulseratif dihubungkan dengan meningkatnya produksi IgG (oleh limfosit Th2) dan IgG, sub tipe yang respon terhadap protein dan antigen T-cell-dependent . Ada juga  peningkatan produksi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis factor-α [TNF-α], terutama pada aktivasi makrofag di lamina  propria. Sitokin yang lain (IL-10, TGF-β) menurunkan imun respon. Defek  produksi sitokin ini menghasilkan inflamasi yang kronis. Sitokin juga terlibat dalam penyembuhan luka dan proses fibrosis. Faktor imun yang lain dalam pembentukan penyakit IBD termasuk produksi superoksida dan spesies oksigen reaktif yang lain oleh aktivasi netrofil, mediator soluble yang meningkatkan permeabilitas dan merangsang vasodilatasi, komponen kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit oksida yang menyebabkan vasodilatasi dan edema ( Djojoningrat dkk, 2011). Secara umum diakui bahwa imun respon cell mediated terlibat dalam  patogenesis IBD. Akan tetapi belum jelas secara pasti apakan respon imun yang terjadi dikarenakan oleh defek intrinsik (aktivasi konstitutif atau kegagalan meknisme down regulation) atau stimulasi terus-menerus sehingga terjadi perubahan perlindungan mukosa epitel. Penyakit kolitis ulseratif ditandai oleh respon limfosit CD4+ dengan sel T-helper tipe 2. Respon ini lebih dicirikan dengan mengeluarkan transforming growth factor β (TGF- β) dan interleukin-5 (IL-5) tanpa mengeluarkan IL-4. Terjadi  penurunan jumlah supresor sel T (Th3 atau Tr1). Penurunan ini akan mengurangi aktivasi down regulation sitokin IL-10 dan TGF- β. (Daniel K. Podolsky, 2002). Ada peningkatan sekresi antibody oleh sel mononuclear intestinal, terutama IgG dan IgM yang melengkapi komplemen. Colitis ulseratif dihubungkan dengan meningktanya produksi IgG1 (oleh limfosit Th2) dan IgG3, sub tipe yang respon terhadap protein dan antigen T-cell dependent.

Ada juga peningkatan produksi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis factor-α (TNF- α), terutama pada aktivasi makrofag di lamina propria. Sitokin yang lain (IL-10, TGF- β) menurunkan imun respon. Defek produksi sitokin ini menghasilkan inflamasi yang kronis. Sitokin juga terlibat dalam penyembuhan luka dan proses fibrosis. Faktor imun yang lain dalam pembentukan penyakit IBD termasuk produksi superoksida dan spesies oksigen reaktif yang lain oleh aktivasi netrofil, mediator  soluble yang meningkatkan permeabilitas dan merangsang vasodilatasi, komponen kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit oksida yang menyebabkan vasodilatasi dan edema (Ariestine, 2008). Tingkat keparahan penyakit ini didasarkan pada gambaran histologi  berupa adanya gambaran abses kripte yang khas. Epitelium kripte rusak sehingga terjadi sebukan sel polimorfonuklear ke dalam lumen usus. Lamina propia terisi oleh leukosit. Bersamaan dengan rusaknya kripte, struktur mukosa normal hilang dan digantikan oleh luka sehingga memperpendek lekukan-lekukan jonjot-jonjot usus (Ariestine, 2008).

D. PATHWAY

E. KLASIFIKASI KOLITIS ULSERATIF 1.

Kolitis ulserosa dini aktif Pada pemeriksaan endoskopik tampak mukosa rektum hipermia dan edema, erosif dan ulserasif kecil. Gambaran histopatologi biopsi, menunjukkan kelainan kombinasi antara erosi dan ulserasi. Kuantitas elemen kelenjar mukosa berkurang atau menghilang dan vaskularisasi  pada lamina propria bertambah. Pada kripta tampak mikroabses yang

terdiri dari kumpulan sel radang neutrofil dan limfosit. Mikroabses kemudian pecah dan proses radang meluas pada submukosa (Jugde TA, 2009). 2. Kolitis ulserosa kronik aktif Pada tahap ini, terdapat lesi kombinasi radang aktif dan proses  penyembuhan dengan regenerasi mukosa. Mikroabses pada kripta  jumlahnya berkurang atau menghilang, pada lamina propria jaringan limfoid

mengalami

hiperplasia.

Kelenjar

mukosa

mengalami

hiperplasia, muncul dalam bentuk psedopolip. (Jugde TA, 2009) 3. Kolitis Ulserosa Tenang Pada stadium tenang, mukosa lebih tipis. Walaupun ada proses regenerasi kelenjar, menonjol, akan tetapi vaskularisasi sudah  berkurang. Bila kolitis ulserosa sudah berlangsung lama, dapat dijumpai displasia atau prakanker. Itulah alasannya ulserosa dianggap sebagai resiko tinggi untuk karsinoma kolon dan rektum (Jugde TA, 2009). Tabel 1. Klasifikasi Tahapan Kolitis Ulseratif Perihal Perubahan

Akut

 Resolving Stage

Kongesti vaskular

++

+

Deplesi mukosa

+

-

kriptitis, abses kripte

++

+

Hilangnya epitel dan ulserasi

++

-

PMN, eosinofil, dan sel mast

++

+

Pus usus

++

-

Sel plasma basal

++

++

Regenerasi epitel

-

++

Ekspansi sel mitotik aktif

-

++

Chronic-healed Stage

Distorsi struktur • atrofi

++

• bercabang

++

• pemendekan kripte

++

• permukaan villi

++

Metaplasia pilorik

++

Metaplasia sel Paneth

++

Hiperplasia limfoid

++

 Epithelial displacement

++

Peningkatan mononukleous

++

Hiperplasia sel endokrin

++

Metaplasia sel skuamous

++ (Judge TA, 2009)

Klasifikasi dari kolitis ulseratif (Hopkins, 2013) a.

Proktitis Hanya terbatas pada rektum saja (15 cm kolon desenden). Gambaran endoskopi

dari

prokitis

berupa

edema,

eritema,

berkurangnya

vaskularisasi. Pada tingkat yang lebih berat dapat terlihat gambaran granular dan ulserasi frank.  b.

Kolitis sisi kiri Terjadi di kolon distal atau 40 cm sebelum rektum hingga ke rektum itu sendiri. Klasifikasi penyakit ini berdasarkan pada tidak adanya  penyebaran sepanjang fleksus splenik, kronik inflamasi, atau distorsi struktur kronik.

c.

Pankolitis Pankolitis telah menyebar sepanjang fleksura splenik. Klasifikasi ini akan dicirikan dengan adanya hematokezia dan diare yang bisa disertai nyeri dan kram perut; demam, adan atau menurunnya berat badan dengan inflamasi persisten. Terdapat pula hilangnya gambaran haustra normal dengan pemendekan generalisata dan tubularisasi kolon. Pada tingkat yang lebih berat mukosa dapat menjadi nodular dengan pseudopoliyp.

F.

GAMBARAN KLINIS Gejala klinis yang paling dominan pada penderita kolitis ulseratif adalah sakit pada perut dan diarrhea yang disertai pendarahan. Di samping itu dapat juga dijumpai anemia, kelelahan (mudah lelah), kehilangan berat  badan, pendarahan pada rektum, kehilangan

nafsu

makan, kehilangan

cairan tubuh dan gizi, lesi pada kulit dan radang sendi, pertumbuhan yang terganggu, terutama anak-anak. Hanya sebagian pasien yang terdiagnosa dengan kolitis ulseratif yang mempunyai gejala, yang lain kadang-kadang menderita demam, diarrhea dengan perdarahan, nausea, rasa nyeri pada  perut yang hebat (Judge TA, 2009). Gejala kolitis ulseratif biasanya nonspesifik seperti distensi abdomen atau nyeri sepanjang kolon. Gejala utama kolitis ulseratif adalah nyeri abdomen yang disertai diare berdarah (disebut melena) dengan garis-garis lendir di sekelilingnya. Nyeri perut ini akan berkurang setelah defekasi dilakukan. Namun seiring penyakit ini berkembang, gejala konstipasi akan muncul (Ariestine, 2008). Pada tingkat ringan gejala yang dirasakan pasien adalah kotoran yang semakin encer, kram perut, dan diare. Penyakit ini akan berkembang dari ringan ke berat yang ditandai dengan adanya gejala : penurunan berat badan, kelelahan, dan penurunan nafsu makan. Penurunan nafsu makan ini akan disertai dengan defisiensi nutrisi, terdapat lendir pada kotoran, perdarahan  peranal berat, demam, dan anemia. (Kathleen and Julie, 2003) Pada kasus  berat seringkali disertai dengan demam dan penurunan berat badan. Dapat  juga terlihat gejala berat demam, takikardia, dan hipotensi postural (Ariestine, 2008). Gejala ekstrakolon yang dapat terjadi, sebagai berikut ( Ariestine, 2008): a.

Penyakit okular (iritis, uveitis, episkleritis)

 b.

Penyakit kulit (eritema nodosum, pioderma, gangrenosum)

c.

Atralgia/ artritis (periferal dan aksial artropati)

d.

Kolangitis sklerosing

Ada pun organ yang terlibat pada kolitis ulseratif seperti pada gambar 5 dibawah ini. (Judge TA, 2009)

Gambar 5. Keterlibatan organ pada kolitis ulseratif. (Judge TA, 2009)

Tabel 2. Perbandingan gambaran klinis kolitis ulseratif dan penyakit Crohn Tanda/ Gejala

Kolitis Ulseratif

Penyakit Crohn

Genetik

HLA-B27

-

Otoimun

Tidak ada konsensus

Secara umum dikenal sebagai

Terkadang

dihubungkan  penyakit otoimun

dengan Th2

Berhubungan dengan Th17

Merokok

Faktor risiko rendah

Faktor risiko tinggi

Distribusi

Selalu rektum sampai kolon Paling sering terjadi pada retrograd

ileum terminal, namun bisa

Jarang

mengenai

ileum

terminal dan anus

terjadi di bagian manapun dari usus termasuk kolon Terkadang mengenai rektum dan anus Dapat

mengenai

seluruh

dinding usus. Distribusi

Bagian

paling

luar

dari Dapat

diselingi

dengan

 jaringan kolon dan kontinyu  jaringan normal di antara tanpa

adanya

diselingi  bagian abnormal.

 jaringan normal Gejala tersering

Melena cair

Nyeri, diare, penurunan berat  badan

Diare

4 kali/ hari

4 kali/ hari

 Nyeri/ kram perut

Ketegangan ringan di bagian

Ketegangan sedang sampai

 bawah perut

 berat pada kuadran kanan  bawah perut

Melena

Tergantung

pada

tingkat Tergantung

keparahan penyakit Kelelahan

Hilangnya

darah

pada

tingkat

keparahan penyakit berlebih Hilangnya

dan anemia

darah

berlebih,

anemia, dan absorpi nutrisi terganggu

Demam

Tidak

tinggi

pada

kasus

Tidak tinggi pada kasus berat

badan

Penurunan berat badan dan

 berat Penurunan berat badan

Penurunan

berat

terjadi pada kasus sedang anoreksia biasa terjadi karena atau berat

 pencernaan dan absorpsi di

usus tidak adekuat  Nafsu makan

Sering menurun saat periode Sering menurun saat periode eksaserbasi penyakit

eksaserbasi penyakit

Manifestasi ekstrakolon

Biasa terjadi

Jarang terjadi

Pemeriksaan fisik

Iritasi

perianal,

fisura, Iritasi

hemoroid, fistul, dan abses

peritoneal,

massa

abdominal atau pelvis

 pada pemeriksan RT Makroskopis

Ulserasi

ektensif

dan Ulserasi fokal aptha diselingi

kontinyu

 jaringan mukosa normal

 Pseudopolyps

Ulserasi

dalam

 bentukan

dengan

seperti

ular

( serpiginous) Fisura linier Gambaran cobblestone Penebalan

dinding

usus,

“linitis plastic” Creeping fat Mikroskopis

Abses kripte

 Noncaseating Granuloma

Tes Serologik

Perinuclear Anca (PANCA)

Asca positif 

 positif Peradangan

Biopsi granuloma

Terbatas pada mukosa dan Transmural submukosa

Ulkus

dalam

sampai

ke

Ulkus dangkal

 jaringan

Tidak ada granuloma kripte

Mungkin terdapat granuloma

 periintestinal

kripte

periintestinal

nonnekrosis Pembedahan

Komplikasi

Seringkali sembuh dengan

Biasanya kambuh di dekat

 pengangkatan kolon

 bagian usus yang terkena

Megakolon toksik

Striktur, stenosis Obstruksi

Abses Fistul Risiko

terkena

kolangitis

Meningkat

Tidak meningkat

Meningkat (5-25 %)

Meningkat (1-3 %)

sklerosing primer Risiko terkena kanker kolon

(Kathleen and Julie, 2003) (Marc D, 2011) Tabel 3. Perbedaan ulkus pada kolitis ulseratif dan penyakit Crohn Gambaran Lesi inflamasi (hiperemia, ulserasi, dll)

Kolitis Ulseratif

Crohn’s Disease

+++

+

0

+++

Keterlibatan rectum

+++

+

Lesi mudah berdarah

+++

+

Cobblestone appearance / pseudopolip

+

+++

Terdapat pada mukosa yang inflamasi

+++

+

Keterlibatan ileum

0

++++

Lesi ulkus bersifat diskrit

+

+++

Diameter > 1 cm

+

+++

Dalam

+

+++

Bentuk linier (longitudinal)

+

+++

Aphtoid

0

++++

Adanya skip area (adanya mukosa normal di antara lesi)

Sifat ulkus :

Bentuk ulkus :

Keterangan : 0 = tidak ada, ++++ = sangat diagnostik (karakteristik) (Ariestine, 2008)

G. PENATALAKSANAAN Karena kolitis ulserativa tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan, tujuan pengobatan dengan obat adalah untuk 1) menginduksi remisi, 2)

mempertahankan remisi, 3) meminimalkan efek samping pengobatan, 4) meningkatkan kualitas hidup, dan 5) meminimalkan risiko kanker (Marc D, 2011). Pengobatan kolitis ulseratif dilakukan dengan pemberian obat-obatan yang secara luas atau selektif efektif dalam mengontrol keakutan penykit dan menghambat remisi gejala dalam jangka waktu yang lama. Pengobatan kolitis ulseratif juga menerapkan prinsip stepladder  : menggunakan regimen yang lebih poten hanya diberikan pada pasien yang gagal berespon dengan  pengobatan sebelumnya. Terdapat beberapa regiimen obat yang digunakan, yaitu (Daniel K. Podolsky, 2002). Adapun Algoritma rencana terapeutik kolitis ulseratif di pelayanan kesehatan lini pertama

dijelaskan pada gambar 7. Obat-obat kolitis

ulserativa meliputi .( Djojoningrat dkk, 2011) 1. Agen anti-inflamasi seperti senyawa 5-ASA, kortikosteroid sistemik, kortikosteroid topikal, dan 2. Immunomodulators

Gambar 9. Algoritma rencana terapeutik kolitis ulseratif di pelayanan kesehatan lini pertama .( Djojoningrat dkk, 2011)

Pilihan pengobatan untuk kolitis ulseratif dan penyakit Crohn Derajat

Kolitis ulseratif Distal

Ringan

Penyakit Crohn Luas

Aminosalisilat oral atau Aminosalisilat oral

Aminosalisilat

rektal

metronidazol oral

Kortikosteroid rektal

Bisa

juga

atau

budesonid

atau siprofloksasin oral Sedang

Aminosalisilat oral atau Aminosalisilat oral

Kortikosteroid

rektal

(budesonid untuk ileus atau

Kortikosteroid rektal

right

oral

sided

colonic) azatioprin

atau

merkapropurin oral Berat

Kortikosteroid oral atau Kortikosteroid

oral

Kortikosteroid oral atau

 parenteral

atau parenteral

 parenteral

Kortikosteroid rektal

Siklosporin IV

Metorexat SC atau IV Infliximab IV

Refraksional

Kortikosteroid oral atau Kortikosteroid IV Ditambahkan

oral

Infliximab IV

atau IV azatioprin

atau merkapropurin oral

Ditambahkan azatioprin

atau

merkapropurin oral Perianal

-

-

Antibiotik

oral

(metronidazol

atau

siprofloksasin) Infliximab IV azatioprin

atau

merkapropurin oral Remisi

Aminosalisilat oral atau Aminosalisilat oral

Bisa

rektal

merkapropurin

azatioprin

azatioprin

atau

atau merkapropurin oral

merkapropurin oral

azatioprin

oral,

mesalamin, metronidazol azatioprin merkapropurin oral

(Daniel K. Podolsky, 2002)

a. Obat Golongan Asam Aminosalisilat Dilatar belakangi oleh dasar berfikir, bahwa preparat sulfasalazin merupakan obat yang sudah dan mapan dipakai dalam pengobatan IBD, terdiri dari gabungan sulfapiridin dan aminosalisilat dalam ikatan azo yang dalam usus dipecah menjadi sulfapiridin dan mesalazine/ 5-ASA. Telah diketahui bahwa yang berperan sebagai efek anti inflamasi adalah 5-ASA ini. Efek samping 5-ASA murni lebih kecil dibanding Sulfasalazin (terdapat pada unsusr sulfapiridin), sedangkan efektivitas relatif sama dalam pengobatan IBD. (Marc D, 2011) Rencana tindakan: (a) Preparat

atau

murni atau derivatnya (olsalazine:

ikatan bersama dua molekul mesalazine) lebih diutamakan dibanding mesalazine yang terikat molekul pembawa (carrir molecule: sulfasalazine dan  blasalazide), karena dapat dilepas lambat pada pH >5 (dalam lumen usus halus/ ileum terminalisdan kolon proximal) serta lebih efektif dalam  penggunaan oral (coated ) maupun rektal ( foam-enema/suppository). (b) Dosis rata-rata 5-ASA untuk mencapai remisi adalah 2-4 gram/hari. Setelah remisi

atau

tercapai yang umumnya setelah 16-24 minggu diberikan kemudian dosis  pemeliharaan yang bersifat individual.Terapi jangka panjang 5-ASA dapat  pula mencegah karsinoma kolorektal dengan cara apoptosis dan menurunnya  proliferasi mukosa kolorektal pada IBD. ( Djojoningrat dkk, 2011)

 b. Kortikosteroid Sistemik Kortikosteroid ( Prednisone , prednisolone,  hidrokortison, dll) telah digunakan selama bertahun-tahun dalam pengobatan pasien dengan penyakit Crohn sedang sampai parah dan kolitis ulseratif atau yang gagal untuk merespon

dosis

optimal

5-ASA. Berbeda

dengan

senyawa

5-ASA,

kortikosteroid tidak memerlukan kontak langsung dengan jaringan usus yang meradang untuk menjadi efektif. Kortikosteroid oral adalah agen anti  peradangan yang kuat seluruh tubuh. Akibatnya, mereka digunakan dalam mengobati enteritis. ( Djojoningrat dkk, 2011) Pada pasien kritis, kortikosteroid intravena (seperti hydrocortisone) dapat diberikan di rumah sakit. Kortikosteroid lebih cepat bertindak daripada senyawa 5-ASA. Pasien sering mengalami perbaikan dalam gejala mereka dalam beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid dimulai. (Adam,2010) Rencana bertindak diawali dengan : (a) memilih obat: secara konvensional, prednison, metilprednisolon atau steroid enema masih menjadi  pilihan yang sering karena murah dan mudah dijangkau. Preparat Budesonide dipakai untuk memperoleh tujuan konsentrasi steroid yang tinggi pada dinding usus, dengan efek sistemik (dan efek sampingnya) yang rendah, khususnya pada pengobatan IBD di daerah ileum terminalis dan colon ascendens baik dalam bentuk preparat oral lepas lambat ataupun enema. (b) mempertimbangkan dosis. Dosis rata  –   rata yang banyak digunakan untuk mencapai fase remisi adalah setara dengan 40 –   60 mg prednison atau setara dengan prednisolon dengan dosis 0,5  –   1,0 mg/KgBB. Tindakan terapi kemudian tappering off dose setelah remisi yang tercapai dalam waktu 8-12 minggu. ( Djojoningrat dkk, 2011)

c. Immunomodulators Immunomodulators adalah obat-obat yang melemahkan sistem kekebalan tubuh. Pada pasien dengan penyakit Crohn dan kolitis ulceratif,  bagaimanapun, sistem kekebalan tubuh secara abnormal dan kronis diaktifkan. Immunomodulators mengurangi peradangan jaringan dengan mengurangi populasi sel kekebalan tubuh dan / atau dengan mengganggu  produksi protein yang mempromosikan aktivasi kekebalan dan peradangan. Contoh Immunomodulators termasuk azathioprine,  6-mercaptopurine (6MP), siklosporin, dan methotrexate. ( Djojoningrat dkk, 2011) Azathioprine atau metabolit aktifnya 6-MP, memerlukan waktu  pemberian 2-3 bulan sebelum memperlihatkan efek terapeutiknya. Umumnya sebagai introduktor/ substituensi pada kasus kasus steroid dependent atau refrakter. Umumnya dosis initial 50 mg sampai tercapai efikasi substitusi, kemudian dinaikan bertahap 2,5 mg/kgbb untuk Azathioprine atau 1,5 mg/kgbb untuk 6-MP. Efek samping yang sering timbul adalah nausea dan dispepsia, leukopenia, limfoma, hepatitis, dan pankreatitis. ( Djojoningrat dkk, 2011)

d. Terapi anti TNF Obat terapi anti-TNF yang biasa digunakan adalah infliximab. Waktu  pemberian dan dosis optimal yang diberikan harus didasarkan pada diagnosis yang tepat. Hal ini disebabkan beberapa hal : 1) Pemberian jangka lama akan mengurangi respon obat perlahan-lahan 2) Akan menimbulkan reaksi seperti penolakan obat dalam serum saat dilanjutkan kembali terapi ini setalah dihentikan selama beberapa waktu. 3) Biaya yang mahal dalam pembelian dan persiapan infus obat terapi anti TNF Infliximab

dapat

memberikan

efek

samping

berupa

reaktivasi

tuberkulosis, sindrom menyerupai lupus, dan limfoma. CDP571 dapat

digunakan sebagai pengganti infliximab. Walaupun demikian, masih  belum jelas kefektivitasan obat ini dalam pengobatan kolitis ulseratif. (Daniel, 2002) e. Antibiotik Antibiotik masih digunakan secara terbatas pada pasien kolitis ulseratif karena perbedaan mekanisme kerja dalam mempengaruhi flora usus. Obat yang biasa digunakan adalah metronidazol. Metronidazole dapat digantikan oleh siprofloksasin dan klaritromisin (Daniel K. Podolsky, 2002). f. Pembedahan Kolitis toksik merupakan suatu keadaan gawat darurat. Segera setelah terditeksi atau bila terjadi ancaman megakolon toksik, semua obat antidiare dihentikan, penderita dipuasakan, selang dimasukan ke dalam lambung atau usus kecil dan semua cairan, makanan dan obat-obatan diberikan melalui pembuluh darah ( Djojoningrat dkk, 2011). Pasien diawasi dengan ketat untuk menghindari adanya peritonitis atau perforasi. Bila tindakan ini tidak berhasil memperbaiki kondisi pasien dalam 24-48 jam, segera dilakukan pembedahan, dimana semua atau hampir sebagian besar usus besar diangkat (Adam, 2010). Jika didiagnosis kanker atau adanya perubahan pre-kanker pada usus  besar, maka pembedahan dilakukan bukan berdasarkan kedaruratan. Pembedahan non-darurat juga dilakukan karena adanya penyempitan dari usus besar atau adanya gangguan pertumbuhan pada anak-anak. Alasan  paling umum dari pembedahan adalah penyakit menahun yang tidak sembuh-sembuh,

sehingga

membuat

penderita

tergantung

kepada

kortikosteroid dosis tinggi. Pengangkatan seluruh usus besar dan rektum, secara permanen akan menyembuhkan kolitis ulserativa. ( Djojoningrat dkk, 2011). Penderita hidup dengan ileostomi  (hubungan antara bagian terendah usus kecil dengan lubang di dinding perut) dan kantong ileostomi.

Prosedur pilihan lainnya adalah anastomosa ileo-anal , dimana usus besar dan sebagian besar rektum diangkat, dan sebuah reservoir dibuat dari usus kecil dan ditempatkan pada rektum yang tersisa, tepat diatas anus. (Marc D, 2011)

H. KOMPLIKASI 1.

Perdarahan, merupakan komplikasi yang sering menyebabkan anemia karena kekurangan zat besi.Pada 10% penderita, serangan pertama sering menjadi berat, dengan perdarahan yang hebat, perforasi atau penyebaran infeksi. (Marc D, 2011)

2.

Kolitis Toksik, terjadi kerusakan pada seluruh ketebalan dinding usus. Kerusakan ini menyebabkan terjadinya ileus, dimana pergerakan dinding usus terhenti, sehingga isi usus tidak terdorong di dalam salurannnya. Perut tampak menggelembung. Usus besar kehilangan ketegangan ototnya dan akhirnya mengalami pelebaran. Rontgen perut akan menunjukkan adanya gas di bagian usus yang lumpuh. Jika usus besar sangat melebar, keadaannya disebut megakolon toksik . Penderita tampak sakit berat dengan demam yang sangat tinggi. Perut terasa nyeri dan  jumlah sel darah putih meningkat. Jika perlukaan ini menyebabkan timbulnya lubang di usus ( perforasi), maka resiko kematian akan meningkat. (Marc D, 2011)

3.

Kanker Kolon (Kanker Usus Besar). Resiko kanker usus besar meningkat  pada orang yang menderita kolitis ulserativa yang lama dan berat. Resiko tertinggi adalah bila seluruh usus besar terkena dan penderita telah mengidap penyakit ini selama lebih dari 10 tahun, tanpa menghiraukan seberapa aktif penyakitnya. Dianjurkan untuk melakukan  pemeriksaan kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) secara

teratur,

terutama pada penderita resiko tinggi terkena kanker, selama periode  bebas gejala. Setiap tahunnya, 1% kasus akan menjadi kanker. Bila diagnosis kanker ditemukan pada stadium awal, kebanyakan penderita akan bertahan hidup. (Marc D, 2011)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ANAK DENGAN DIAGNOSA MEDIS KOLITIS

A. Anamnesa 1. Identitas Klien Mencakup identitas klien yaitu nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, status pekawinan, alamat, dan tanggal masuk rumah sakit. Identitas penanggung jawab yaitu nama, umur, jenis kelamin,  pendidikan, pekerjaan, agama, alamat, suku bangsa, hubungan dengan  penderita/pasien.

2. Keluhan Utama Pada anamnesis keluhan utama yang lazim didapatkan adalah nyeri abdomen, diare, tenesmus intermiten, dan perdarahan rektal. Keluhan nyeri biasanya  bersifat kronis, yaitu berupa nyeri kram pada kuadran periumbilikal kiri  bawah. Kondisi rasa sakit bisa mendahului diare dan mungkin sebagian pasien melaporkan perasaan nyaman setelah BAB. Diare biasanya disertai darah. Pasien melaporkan mengeluarkan fases cair 10-20 kali sehari. Pasien juga mengeluh saat BAB seperti ada yang menghalangi.

3. Riwayat Kesehatan Sekarang Pada pengkajian riwayat penyakit sekarang, kondisi ringan karena karena kolitis ulseratif adalah penyakit mukosa yang terbatas pada kolon, gejala yang  paling umum adalah pendarahan anus, diare, dan sakit perut. Pada kondisi kolitis ulseratif berat terjadi pada sekitar 100% dari pasien, didapat keluhan

lainnya yang menyertai, seperti peningkatan suhu tubuh, mual, muntah, anoreksia, perasaan lemah, dan penurunan nafsu makan. Pasien dengan kolitis yang paras dapat mengalami komplikasi yang mengancam nyawa, termasuk  pendarahan parah, mengkolon toksik, atau perforasi usus.

4. Riwayat Kesehatan Dahulu Riwayat penyakit dahulu penting digali untuk menentukan penyakit dasar yang menyebabkan kondisi enteritis regional. Pengkajian predisposisi seperti genetik, lingkungan, infeksi, imunitas, makanan, dan merokok perlu didokumentasikan. Anamnesis penyakit sistemik, seperti DM, hipertensi, dan tuberculosis dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian preoperatif.

B. Pengkajian 1. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan umum  b. Vital sign, meliputi Tekanan darah

: Dalam batas normal (120/80 mmHg)

 Nadi

: Takikardia atau diatas normal (> 100 x/menit)

Suhu

: Klien mengalami demam (> 37,5o C )

Respirasi

: Dalam batas normal (16- 20 x/menit)

c. Pemeriksaan sistem tubuh Sistem pencernaan

:

Terjadi pembengkakan pada abdomen  Nyeri tekan pada abdomen Bising usus lebih dari normal (normalnya 5-35 x/menit) Anoreksia

Sistem pernafasan

: Respirasi normal (16-20 x/menit).

Sistem kardiovaskuler

: Peningkatan nadi (takikardi)

Sistem neurologi

:

Peningkatan

suhu

tubuh

(demam),

Kelemahan pada anggota gerak Sistem integument

:

Kulit dan membran mukosa kering dan

turgornya jelek. Sistem musculoskeletal : Kelemahan otot dan tonus otot buruk Sistem eliminasi

: Pada saat buang air besar mengalami diare

Feses mengandung darah

d.

Pola aktivitas sehari-hari berhubungan dengan : Aspek biologi

: Keletihan, kelemahan, anoreksia, penurunan berat

 badan.

2.

Aspek psiko

: Perilaku berhati-hati, gelisah.

Aspek sosio

: Ketidakmampuan aktif dalam sosial.

Pemeriksaan Laboratorium / Data Penunjang a.

Hasil analisa darah lengkap, guna dilakukan untuk memeriksa anemia; Trombositosis, tinggi platelet count, kadang-kadang terlihat.

 b.

Elektrolit studi dan tes fungsi ginjal dilakukan, sebagai kronis diare dapat berhubungan dengan hipokalemia,hypomagnesemia dan pragagal ginjal.

c.

Tes fungsi hati dilakukan untuk keterlibatan saluran empedu: kolangitis sclerosing utama.

d.

X-ray

e.

Urine

f.

Tingkat

sedimentasi

eritrosit

dapat

diukur,

dengan

tingkat

sedimentasi yang tinggi menunjukkan bahwa proses peradangan hadir. g.

C-reactive protein dapat diukur, dengan tingkat yang lebih tinggi menjadi indikasi lain peradangan.

h.

Sumsum tulang : Menurun secara umum pada tipe berat/setelah  proses inflamasi panjang.

i.

Alkaline

fostase

:

Meningkat,

dengan

kolesterol

serumdan

hipoproteinemia, menunjukkan gangguan fungsi hati (kolangitis, sirosis)  j.

Kadar

albumin

:

 plasma/gangguan fungsi k.

Penurunan

karena

kehilangan

protein

hati.

Elektrolit : Penurunan kalium dan magnesium umum pada penyakit  berat.

l.

Trombositosis : Dapat terjadi karena proses penyakit inflamasi.

m. ESR : meningkatkarena beratnya penyakit. n.

Kadar besi serum : rendah karena kehilangan darah.

3. Endoskopi Biopsi sampel (H & E noda) yang ditandai limfositik infiltrasi (biru /ungu) dari mukosa usus dan pembentuk distorsi dari kriptus. Tes terbaik untuk diagnosis kolitis ulserativa tetap endoskopi. Penuh kolonoskopi ke sekum dan masuk ke terminal ileum yang hanya akan dilakukan jika diagnosis UC tidak jelas. Jika tidak, sigmoidoskopi yang fleksibel sudah cukup untuk mendukung diagnosis. Dokter dapat memilih untuk membatasi sejauh mana tes yang dilakukan jika kolitis parah dijumpai untuk meminimalkan risiko perforasi dari usus besar. Endoskopi temuan di kolitis ulserativa meliputi: a.

Hilangnya penampilan vaskular kolon

 b.

Eritema (atau kemerahan dari mukosa) dan kerapuhan dari mukosa

c.

Ulserasi yang dangkal, yang mungkin anak sungai, dan

d.

Pseudopolyps.

Sebuah kolonoskopi atau sigmoidoskopi adalah metode yang paling akurat untuk membuat diagnosis kolitis ulseratif dan kondisi lain yang mungkin,

seperti penyakit Crohn, penyakit divertikular, atau kanker. Untuk kedua tes, dokter memasukkan sebuah endoskopi-panjang, fleksibel, tabung  bercahaya terhubung ke komputer dan monitor TV-ke dalam anus untuk melihat bagian dalam kolon dan rektum. Dokter akan dapat melihat  peradangan, perdarahan, atau borok pada dinding usus besar. Selama  pemeriksaan, dokter akan melakukan biopsi, yang melibatkan mengambil sampel jaringan dari lapisan usus besar untuk melihat dengan sebuah mikroskop. Tes darah dapat dilakukan untuk memeriksa anemia, yang dapat menunjukkan perdarahan di kolon atau rektum, atau mereka dapat mengetahui tingginya jumlah sel darah putih, yang merupakan tanda-tanda  peradangan di suatu tempat di dalam tubuh. Sebuah sampel tinja juga dapat menunjukkan sel-sel darah putih, yang menunjukkan kolitis ulserativa atau penyakit radang. Di samping itu, sampel tinja memungkinkan dokter untuk mendeteksi perdarahan atau infeksi di usus atau dubur yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau parasit.

C. Analisa Data  No 1

Data

Etiologi Masalah DS : Adanya gangguan fungsi Potensial Klien mengeluh mukosa karena  perubahan nyeri di bagian  bakteri/mikroorganisme  pemenuhan abdomen kebutuhan tubuh Klien mual Masuk ke usus sehubungan Klien mengeluh dengan adanya tidak nafsu Gangguan mual makan keseimbangan floral usus DO :

Klien makan hanya ¼ porsi Klien terlihat lemah Wajah klien tampak meringis

2

DS : Klien mengeluh BAB nya encer dan berdarah Klien mengeluh mulas DO : Klien BAB ≥4x kali sehari Bising usus 26 kali permmenit Klien mengeluh nyeri jika ditekan abdomennya

Mual Tidak nafsu makan

Reaksi peradangan pada  Nyeri abdomen mukosa usus sehubungan dengan Kerusakan mukosa usus  peningkatan halus  peristaltik usus meningkat Merangsang reseptor nyeri Pengeluaran neurotransmitter  bradikinin, serotonin dan histamin disampaikan ke SSP Persepsi nyeri

3

DS : Klien mengeluh lemah Klien tidak kuat lagi berdiri

Intake nutrisi kurang Metabolisme glukosa terganggu Pembentukan ATP dan ADP terganggu

DO : Wajah klien tampak pucat Klien tampak keletihan Klien diantar  perawat ke kamar mandi Aktivitas klien dibantu keluarga dan perawat

Energi berkurang dan terjadi kelemahan otot Aktivitas terganggu

Intoleransi aktivitas sehubungan dengan keletihan.

4

DS : Klien mengatakan tidak tahu tentang  penyakitnya

Koping penerimaan  penyakit yang kurang  baik

DO : Klien makan tidak mengikuti diet yang dianjurkan Klien menolak makanan yang khusus disediakan untuknya

Tidak tahu riwayat  penyakit

Kurang  pengetahuan mengenai proses dan  penatalaksanaan  penyakitnya.

menolak diet dan  perawatan

D. Perencanaan 1.

Volume cairan kurang dari kebutuhan berhubungan dengan: - Pemasukan terbatas - Pengeluaran berlebihan Ditandai dengan: - Sering BAB encer, kadang bercampur darah dan nyeri perut - Mual muntah - Membran mukosa dan kulit kering - Bibir pecah-pecah - Keluaran urine sedikit 1 ml/jam Tujuan: Volume cairan adekuat setelah pemberian terapi dalam waktu 1 x 24  jam

dengan kriteria: - Membran mukosa lembab - Pengisian kapiler baik - Keseimbangan intake dan output dengan urine rata-rata 1 ml/menit Intervensi: e. Awasi masukan dan haluaran, karakter dan jumlah feses;  perkirakan kehilangan yang tak terlihat, misalnya berkeringat, ukur berat jenis urine, observasi oliguria. Rasional: memberikan informasi tentang keseimbangan cairan, fungsi ginjal, dan kontrol penyakit usus juga merupakan  pedoman untuk penggantian cairan.

f. Observasi TTV (TD, nadi, suhu) Rasional: hipotensi, takikardi, demam dapat menunjukkan respon terhadap dan atau efek kehilangan cairan. g. Observasi kulit kering berlebihan dan membran mukosa,  penurunan turgor kulit, pengisian kapiler lambat. Rasional: menunjukkan kehilangan cairan berlebihan/dehidrasi h. Ukur BB tiap hari Rasional: indikator cairan dan status nutrisi i.

Observasi perdarahan dan tes feses tiap hari untuk melihat adanya darah samar. Rasional: diet tak adekuat dan penurunan absorpsi dapat menimbulkan defisiensi vitamin K dan merusak koagulasi,  potensial resiko perdarahan.

 j.

Pertahankan pembatasan per oral, tirah baring, hindari kerja. Rasional: kolon diistirahatkan untuk penyembuhan dan untuk menurunkan kehilangan cairan usus.

k. Catat kelemahan otot atas disritmia jantung.

Rasional: kehilangan usus berlebihan dapat menimbulkan ketidakseimbangan elektrolit, misalnya kalium yang perlu untuk fungsi tulang dan jantung. l.

Kolaborasi cairan parenteral, transfusi darah bila perlu. Rasional: mempertahankan istirahat usus akan memerlukan  penggantian cairan untuk memperbaiki kehilangan.

m. Awasi hasil laboratorium: elektrolit (kalium, magnesium), GDA. Rasional: menentukan kebutuhan penggantian dan keefektifan terapi.

2.  Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan -

Gangguan absorbsi usus

Ditandai dengan: - Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa otot, tonus otot buruk -

Bunyi usus hiperaktif

-

Konjungtiva dan membran mukosa pucat

-  Nafsu makan kurang, mual, muntah Tujuan: Kebutuhan nutrisi dapat dipertahankan dalam 3 x 24 jam dengan kriteria: -

BB meningkat secara bertahap

-

Tidak ada tanda malnutrisi seperti kulit kering

Intervensi: a. Berikan fungsi parenteral (NPT) sesuai pesanan dan intervensi  berikut - Ajarkan perawatan kateter akses vena jangka panjang

Rasional: NPT adalah tindakan pilihan bila terjadi penurunan BB. Klien memerlukan 45 – 50 kkal, 2 g protein/kg/BB/hari. Ini memungkinkan peningkatan berat badan kira-kira 8 oz/hari  b.

Pertahankan status puasa dan tirah baring Rasional: menurunkan kebutuhan metabolik untuk mencegah  penurunan kalori. Status puasa menurunkan aktivitas mekanis, fisik dan kimia usus.

c.

Berikan

dukungan

psikososial

dan

keyakinan

selama

 pengistirahatan usus dan NPT Rasional: status puasa yang lama mengganggu baik secara social maupun psikologis.

3.

Gangguan eliminasi BAB berhubungan dengan: - Meningkatnya motilitas usus Ditandai dengan: - Peningkatan bunyi usus/peristaltic - Defekasi sering dan berair - Feses berwarna merah -  Nyeri perut tiba-tiba - Wajah tampak meringis Tujuan: Diare tidak terjadi setelah dilakukan tindakan dalam jangka waktu 2 x 24 jam - Penurunan frekuensi defekasi konsistensi kembali normal - Peristaltik normal -  Nyeri dan kram abdomen tidak ada Intervensi:

a. Observasi dan catat frekuensi defekasi konsistensi karakteristik,  jumlah dan faktor pencetus. Rasional:

membantu membedakan penyakit individu dan

mengkaji berat dan episode.  b. Mulai lagi memasukkan cairan peroral secara bertahap. Rasional: memberikan istirahat colon dan menghilangkan atau menurunkan rangsang makanan / cairan, maka kembali secara  bertahap mencegah kram dan diare berulang. c. Identifikasi

makanan

dan

cairan

yang

mencetuskan

diare

misalnya: bumbu-bumbu, produk susu. Rasional: menghindari iritan, meningkatnya istirahat usus. d. Observasi demam, takikardi, letargi, leukositosis, penurunan  protan serum. Rasional: tanda bahwa toksik megakolon oleh perforasi dan  peritonitis akan terjadi/telah terjadi memerlukan intervensi medik segera. e. Kolaborasi untuk pemberian obat seperti: Antikolinergik, atropine,  belladonna. Rasional: menurunkan motilitas GI yang menurunkan sekresi digestik.

E. IMPLEMENTASI Implementasi dilakukan sesuai dengan jumlah intervensi yang ada.

F. EVALUASI Pada diagnosis kolitis ulserative kronis, pemeriksaan feses yang cermat dilakukan untuk membedakannya dengan disentri yang di sebabkan oleh organisme usus umum, khususnya entamoeba histolityca. Feses  positif terhadap darah. Tes laboratorium akan menunjukkan hematokrik

dan hemoglobin yang rendah, peningkatan hitung darah lengkap, albumin rendah, dan ketidakseimbangna elektrorit. Sigmoidoskopi dan enemabarium dapat membedakan kondisi ini dari  penyakit kolon yang lain dengan gejala yang serupa. Enema barium akan menunjukkan iregularitas mukosal, pemendekkan kolon, dan dilatasi lengkung usus.

DAFTAR PUSTAKA Arisetine, Dina Aprilia. (2008). Kolitis Ulseratif Ditinjau dari Aspek Etiologi,  Klinik

dan Patogenesa.

Universitas Sumatera Utara - Fakultas

Kedokteran Medan. Adam Schoenfeld. (2010). Retrieved fromhttp://www.medicinenet.com/ulcerative_colitis /article.htm. Daniels Podolsky. (2002). The New England Journal of Medicine.  Inflammatory Bowel Disease. Vol 347 No 6. pp 417-427. Djojoningrat D. 2007. Inflammatory Bowel Disease: Alur Diagnosis dan Pengobatannya di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. hal. 384-88. Djojoningrat D dkk editor. (2011). Konsensus Nasional Penatalaksanaan Inflammatory bowel disease (IBD) di Indonesia. Editor: Djojoningrat D, dkk. Jakarta: Interna Publishing. Glickman RM. (2000). Penyakit Radang Usus (Kolitis Ulseratif dan penyakit Crohn). Dalam: Asdie AH, editor. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 4. Edisi ke-13. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; hal. 1577-91.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF