Laporan Pendahuluan Adhf & Ventilator
March 12, 2017 | Author: ShandaPrimaDewi | Category: N/A
Short Description
Laporan Pendahuluan Adhf & Ventilator...
Description
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE (ADHF) & VENTILATOR MEKANIK Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Medikal di Ruang 5 CVCU RSU Dr. Saiful Anwar Malang
OLEH : Sanda Prima Dewi 125070201131017
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2016
Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) I. DEFINISI a) Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) merupakan gagal jantung akut yang didefinisikan sebagai serangan yang cepat (rapid onset) dari gejala – gejala atau tanda – tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Disfungsi ini dapat berupa disfungsi sistolik maupun diastolik, abnormalitas irama jantung, atau ketidakseimbangan preload dan afterload. ADHF dapat merupakan serangan baru tanpa kelainan jantung sebelumnya, atau dapat merupakan dekompensasi dari gagal jantung kronik (chronic heart failure) yang telah dialami sebelumnya. ADHF muncul bila cardiac output tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh (Putra, 2012). b) ADHF adalah didefinisikan sebagai perburukan keadaan dari simtom HF yang biasanya disebabkan oleh edema pulmonal kardiogenik dengan akumulasi cairan yang cepat pada paru (Pinto, 2012). II.
Klasifikasi Klasifikasi ADHF dapat dilihat melalui tabel Forrester Hemodynamic Subsets
Gagal jantung diklasifikasikan menurut American College of Cardiology (ACC) dan American Heart Association (AHA) terbagi atas atas 4 stadium berdasarkan kondisi predisposisi pasien dan derajat keluhannya yaitu : a) Stage A : Risiko tinggi gagal jantung, tetapi tanpa penyakit jantung struktural atau tanda dan gejala gagal jantung. Pasien dalam stadium ini termasuk mereka yang mengidap hipertensi, DM, sindroma metabolik, penyakit aterosklerosis atau obesitas. b) Stage B : penyakit jantung struktural dengan disfungsi ventrikel kiri yang asimptomatis. Pasien dalam stadium ini dapat mengalami LV remodeling, fraksi ejeksi LV rendah, riwayat IMA sebelumnya, atau penyakit katup jantung asimptomatik.
c) Stage C : Gagal jantung simptomatis dengan tanda dan gejala gagal jantung saat ini atau sebelumnya. Ditandai dengan penyakit jantung struktural, dyspnea, fatigue, dan penurunan toleransi aktivitas. d) Stage D : Gagal jantung simptomatis berat atau refrakter. Gejala dapat muncul saat istirahat meski dengan terapi maksimal dan pasien memerlukan rawat inap. Sedangkan menurut New York Heart Association (NYHA) dibagi menjadi 4 kelas berdasarkan tanda dan gejala pasien, respon terapi dan status fungsional. a) Functional Class I ( FC I ) : asimptomatik tanpa hambatan aktivitas fisik b) Functional Class II ( FC II ) : hambatan aktivitas fisik ringan, pasien merasa nyaman saat istirahat tetapi mengalami gejala dyspnea, fatigue, palpitasi atau angina dengan aktivitas biasa. c) Functional Class III ( FC III ) : hambatan aktivitas fisik nyata, pasien merasa nyaman saat istirahat tetapi mengalami gejala dyspnea, fatigue, palpitasi atau angina dengan aktivitas biasa ringan d) Functional Class IV ( FC IV ) : ketidaknnyamanan saat melakukan aktivitas fisik apapun, dan timbul gejala sesak pada aktivitas saat istirahat.
1. ETIOLOGI Penyebab umum ADHF biasaya berasal dari ventrikel kiri, disfungsi diastolik, dengan atau tanpa Coronary Artery Disease (CAD), dan abnormalitas valvular. Meskipun sebagian pasien ADHF adalah pasien dengan riwayat Heart Failure (HF) dan jatuh pada kondisi yang buruk, 20% pasien lainnya yang dinyatakan ADHF tidak memiliki diagnosa HF sebelumnya (Joseph, 2009). Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis adalah keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau yang menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal seperti regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel. Beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta atau hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokard atau kardiomyopati. Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai pompa adalah gangguan pengisian ventrikel (stenosis katup atrioventrikuler), gangguan pada pengisian dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan temponade jantung). Dari seluruh penyebab tersebut diduga yang paling mungkin terjadi adalah
pada setiap kondisi tersebut mengakibatkan gangguan penghantaran kalsium di dalam sarkomer, atau di dalam sistesis atau fungsi protein kontraktil ( Price. Sylvia A, 1995). Penyebab utama left-sides cardiac failure adalah hipertensi sistemik, mitral or aortic valve disease, iskemia artery, primary heart disease of the myocardium. Penyebab paling utama dari right-sided cardiac failure adalah left ventricular failure yang berkaitan dengan penyumbatan pulmonary dan peningkatan tekanan arteri pulmonary. Ini juga bisa terjadi pada ketidakberadaan left-sided failure pada pasien dengan intrinsic disease pada parenkim jantung atau pulmonary vasculature (cor pumonale) dan pada pasien tricuspid valve disease. Terkadang diikuti dengan congenital heart disease, dimana terjadi left to-right shunt Faktor risiko : Faktor presipitasi kardiovaskular a. Dekompensasi pada gagal jantung kronik yang sudah ada (kardiomiopati) b. Sindroma koroner akut 1) Infark miokardial/unstable angina pektoris dengan iskemia yang bertambah luas dan disfungsi sistemik 2) Komplikasi kronik IMA 3) Infark ventrikel kanan c. Krisis Hipertensi d. Aritmia akut (takikardia ventrikuler, fibrilasi ventrikular, fibrilasi atrial, takikardia supraventrikuler, dll) e. Regurgitasi valvular/endokarditis/ruptur korda tendinae, perburukan regurgitasi katup yang sudah ada f.
Stenosis katup aorta berat
g. Tamponade jantung h. Diseksi aorta i.
Kardiomiopati pasca melahirkan
Faktor presipitasi non kardiovaskuler 1) Volume overload 2) Infeksi terutama pneumonia atau septikemia 3) Severe brain insult 4) Pasca operasi besar 5) Penurunan fungsi ginjal
6) Asma 7) Penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol 8) Feokromositoma (Putra, 2012) 2. PATOFISIOLOGI ADHF dapat muncul pada orang yang sebelumnya menderita gagal jantung kronik asimptomatik yang mengalami dekompensasi akut atau dapat juga terjadi pada mereka yang tidak pernah mengalami gagal jantung sebelumnya. Etiologi ADHF dapat bersumber dari kardiovaskuler maupun non kardiovaskuler. Etiologi ini beserta dengan faktor presipitasi lainnya akan menimbulkan kelainan atau kerusakan pada jantung yang diakibatkan oleh proses iskemia miokard atau hipertropi remodeling otot jantung atau kerusakan katup jantung yang dapat menyebabkan disfungsi ventrikel sehingga terjadi gangguan preload maupun afterload sehingga menurunkan curah jantung. Bila curah jantung menurun, maka tubuh akan mengeluarkan mekanisme neurohormonal untuk mengkompensasi penurunan curah jantung. Mekanisme ini melibatkan sistem adrenergik, renin angiotensin dan aldosteron sehingga terjadi peningkatan tekanan darah akibat vasokonstriksi arteriol dan retensi natrium dan air (Ulfiyah,2015). Pada individu dengan remodeling pada jantungnya, mekanisme kompensasi akan menempatkannya pada keadaan gagal jantung asimptomatik dimana jantungnya telah mengalami disfungsi terutama ventrikel tetapi masih bisa dikompensasi agar tetap dapat mempertahankan metabolisme dalam tubuh. Tetapi bila telah mencapai ambang batas kompensasi, maka mekanisme ini akan terdekompensasi sehingga muncul gejala klinis tergantung dari ventrikel yang terkena sehingga muncul ADHF. Proses remodeling maupun iskemia miokard akan menyebabkan kontraksi miokard menurun dan tidak efektif untuk memompa darah. Hal ini akan menimbulkan penurunan stroke volume dan akhirnya terjadi penurunan curah jantung. Penurunan kontraktilitas miokard pada ventrikel kiri (apabila terjadi infark di daerah ventrikel kiri) akan menyebabkan peningkatan beban ventrikel kiri. Hal ini disebabkan karena penurnan kontraktilitas miokard disertai dengan peningkatan venous return (aliran balik vena). Hal ini tentunya akan meningkatkan bendungan darah di paru–paru. Bendungan ini akan menimbulkan transudasi cairan ke jaringan dan alveolus paru sehingga terjadilah oedema paru. Oedema ini tentunya akan menimbulkan gangguan pertukaran gas di paru–paru. Sedangkan apabila curah jantung menurun, maka secara fisiologis tubuh akan melakukan kompensasi melalui perangsangan sistem adrenergik dan RAA untuk mempertahankan curah jantung ke arah normal. Sedangkan apabila tubuh tidak mampu
lagi melakukan kompensasi, maka penurunan curah jantung akan memicu penurunan aliran darah ke jaringan berlanjut. Apabila terjadi penurunan aliran darah ke ginjal, akan memicu retensi garam dan air oleh sistem renin angiotensin aldosteron. Retensi ini akan menjadi lebih progresif karena tidak diimbangi dengan peningkatan tekanan atrium kanan akibat proses dekompensasi, sehingga terjadi kelebihan volume cairan yang berujung pada oedema perifer (Ulfiyah, 2015). 3. MANIFESTASI KLINIS Menurut The Consensus
Guideline
in
The
Management
of
Acute
Decompensated Heart Failure tahun 2006, manifestasi klinis ADHF antara lain tertera dalam tabel berikut : No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Volume overload Dispnea saat melakukan kegiatan Orthopnu PND Ronkhi Mual muntah Hepatomegali, splenomegali Reflex hepatojugular Asites
Hypoperfusion Kelalahan Perubahan status mental Penyempitan nadi Hipotensi Ekstremitas dingin Abnormalitas fungsi ginjal
Decompensasi cordis akut dapat dimanifestasikan oleh penurunan curah jantung dan/atau pembendungan darah di vena sebelum jantung kiri atau kanan, meskipun curah jantung mungkin normal atau kadang-kadang di atas normal.Tanda dominan gagal jantung adalah meningkatnya volume intravaskuler. Kongesti jaringan terjadi akibat tekanan arteri dan vena yang meningkat akibat turunnya curah jantung dan kegagalan jantung. Peningkatan tekanan vena pulmonalis dapat menyebakan cairan mengalir dari kapiler ke alveoli, akibatnya terjadi edema paru yang dimanifestasikan dengan batuk dan nafas pendek. Meningkatnya tekanan vena sistemik dapat mengakibatkan edema perifer umum dan penambahan berat badan. Turunnya curah jantung pada gagal jantung dimanifestasikan secara luas karena darah tidak dapat mencapai jaringan dan organ (perfusi rendah) untuk menyampaikan oksigen yang dibutuhkan. Beberapa efek yang biasanya timbul akibat perfusi rendah adalah pusing, konfusi, kelelahan, tidak toleran terhadap aktivitas dan panas, ektremitas dingin, dan haluaran urin berkurang (oliguri). Tekanan perfusi ginjal menurun, mengakibatkan pelepasan renin dari ginjal, yang pada gilirannya akan menyebabkan sekresi aldosteron, retensi natrium dan cairan serta peningkatan volume intravaskuler.
Dampak dari cardiac output dan kongesti yang terjadi pada sistem vena atau sistem pulmonal antara lain:
Lelah
Angina
Cemas
penurunan aktifitas GI
Kulit dingin dan pucat Tanda dan gejala yang disebakan oleh kongesti balik dari ventrikel kiri, antara lain :
Dyspnea
Batuk
Orthopnea
Rales paru
Hasil x-ray memperlihatkan kongesti paru Tanda-tanda dan gejala kongesti balik ventrikel kanan :
Edema perifer
Distensi vena leher
Hati membesar (hepatomegali)
Peningkatan central venous pressure (CPV)
RESPON TERHADAP KEGAGALAN JANTUNG
1. Peningkatan tonus simpatis >> Peningkatan sistem saraf simpatis yang mempengaruhi arteri dan vena jantung. Akibatnya meningkatkan aliran balik vena ke jantung dan peningkatan kontraksi. Tonus simpatis membantu mempertahankan tekanan darah normal 2. Retensi air dan natrium >> Bila ginjal mendeteksi adanya penurunan volume darah yang ada untuk filtrasi, ginjal merespon dengan menahan natrium dan air dengan cara demikian mencoba untuk meningkatkan volume darah central dan aliran balik vena.
4. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Laboratorium : 1.
Hematologi : Hb, Ht, Leukosit
2.
Elektrolit
3.
Enzim Jantung (CK-MB, Troponin, LDH)
4.
: K, Na, Cl, Mg
Gangguan fungsi ginjal dan hati : BUN, Creatinin, Urine Lengkap,
SGOT, SGPT.
5.
Gula darah
6.
Kolesterol, trigliserida
7.
Analisa Gas Darah
Acute Decompensated Heart Failure National Registry (ADHERE) trial: a blood urea nitrogen of ≥43 g/dL, systolic blood pressure 2.75 mg/dL (Abraham, 2005).
b.
Elektrokardiografi, untuk melihat adanya :
–
Penyakit jantung koroner : iskemik, infark
–
Pembesaran jantung ( LVH : Left Ventricular Hypertrophy )
–
Aritmia
–
Perikarditis c. Foto Rontgen Thoraks, untuk melihat adanya :
–Edema alveolar –Edema interstitiels –Efusi pleura –Pelebaran vena pulmonalis –Pembesaran jantung d. Echocardiogram
–
Menggambarkan ruang –ruang dan katup jantung
e. Radionuklir –
Mengevaluasi fungsi ventrikel kiri
–
Mengidentifikasi kelainan fungsi miokard
f. Pemantauan Hemodinamika (Kateterisasi Arteri Pulmonal Multilumen) bertujuan untuk : –
Mengetahui tekanan dalam sirkulasi jantung dan paru
–
Mengetahui saturasi O2 di ruang-ruang jantung
–
Biopsi endomiokarditis pada kelainan otot jantung
–
Meneliti elektrofisiologis pada aritmia ventrikel berat recurrent
–
Mengetahui beratnya lesi katup jantung
–
Mengidentifikasi penyempitan arteri koroner
–
Angiografi ventrikel kiri (identifikasi hipokinetik, aneurisma ventrikel, fungsi
ventrikel kiri) –
Arteriografi koroner (identifikasi lokasi stenosis arteri koroner) (Putra, 2012)
5. PENATALAKSANAAN MEDIS 1. Tirah Baring >> Kebutuhan pemompaan jantung diturunkan, untuk gagal jantung kongesti tahap akut dan sulit disembuhkan. 2. Pemberian diuretik >> Pemberian terapi diuretik bertujuan untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal. Obat ini tidak diperlukan bila pasien bersedia merespon pembatasan aktivitas, digitalis dan diet rendah natrium 3. Pemberian morphin >> Untuk mengatasi edema pulmonal akut, vasodilatasi perifer, menurunkan aliran balik vena dan kerja jantung, menghilangkan ansietas karena dispnea berat 4. Terapi vasodilator >> Obat-obat vasoaktif merupakan pengobatan utama pada penatalaksanaan
gagal
jantung.
Obat
ini
berfungsi
untuk
memperbaiki
pengosongan ventrikel dan peningkatan kapasitas vena sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dapat diturunkan dan dapat dicapai penurunan dramatis kongesti paru dengan cepat.
5. Terapi digitalis >> Digitalis adalah obat utama yang diberikan untuk meningkatkan kontraktilitas (inotropik) jantung dan memperlambat frekuensi ventrikel serta peningkatam efisiensi jantung. Ada beberapa efek yang dihasilkan seperti : peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena dan volume darah, dan peningkatan diuresis yang mengeluarkan cairan dan mengurangi edema. 6. Inotropik positif o
Dopamin >> Pada dosis kecil 2,5 s/d 5 mg/kg akan merangsang alphaadrenergik beta-adrenergik dan reseptor dopamine ini mengakibatkan keluarnya katekolamin dari sisi penyimpanan saraf. Memperbaiki kontraktilitas curah jantung dan isi sekuncup. Dilatasi ginjal-serebral dan pembuluh koroner. Pada dosis maximal 10-20 mg/kg BB akan menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban kerja jantung.
o
Dobutamin >> Merangsang hanya betha adrenergik. Dosis mirip dopamine memperbaiki isi sekuncup, curah jantung dengan sedikit vasokonstriksi dan tachicardi.
7. Dukungan diet (pembatasan natrium) >> Pembatasan natrium ditujukan untuk mencegah, mengatur, atau mengurangi edema, seperti pada hipertensi atau gagal jantung. Dalam menentukan ukuran sumber natrium harus spesifik dan jumlahnya perlu diukur dalam milligram. Tindakan-tindakan mekanis
Dukungan mekanis ventrikel kiri (mulai 1967) dengan komterpulasi balon intra aortic / pompa PBIA. Berfungsi untuk meningkatkan aliran koroner, memperbaiki isi sekuncup dan mengurangi preload dan afterload ventrikel kiri.
Tahun 1970, dengan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO). Alat ini menggantikan fungsi jantung paru. Mengakibatkan aliran darah dan pertukaran gas. Oksigenasi membrane extrakorporeal dapat digunakan untuk memberi waktu sampai tindakan pasti seperti bedah by pass arteri koroner, perbaikan septum atau transplantasi jantung dapat dilakukan (Nasution, 2006).
Menurut Heart Failure Society of America, terapi untuk pasien ADHF dapat berangkat dari goal treatment di bawah ini :
Tabel 2. Heart Failure Society of America. Evaluation and management of patients with acute decompensated heart failure: HFSA 2010 Discharge Planning pada pasien ADHF dapat dilakukan jika pasien dapat memenuhi kriteria di bawah ini : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Faktor eksaserbasi dapat ditangani. Pemberian obat oral stabil dalam 24 jam Pasien dan keluarga sudah di KIE Fraksi ejeksi ventrikel kiri terdokumentasi. Adanya konseling smoking cessation. Kontrol ulang selama 7-10 hari setelah KRS. Sudah menerima semua terapi. Dokumentasi discharge planning sudah dibuat. Algoritma ADHF menurut Empowering Physician with Evidence Based Content, penatalaksanaan ADHF adalah seperti berikut :
6. ASUHAN KEPERAWATAN 1. PENGKAJIAN a. Pengkajian Primer 1) Airway Kepatenan jalan nafas meliputi pemeriksaan obstruksi jalan nafas, adanya benda asing, adanya suara nafas tambahan. 2) Breathing Frekuensi nafas, apakah ada penggunaan otot bantu nafas, retraksi dada, adanya sesak nafas, palpasi pengembangan paru, auskultasi suara nafas, kaji adanya suara nafas tambahan. 3) Circulation Pengkajian mengenai volume darah dan cardiac output serta adanya perdarahan. pengkajian juga meliputi status hemodinamik, warna kulit, nadi. b. Pengkajian Sekunder 1.
Aktivitas/istirahat a.
Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari, insomnia, nyeri dada dengan aktivitas, dispnea pada saat istirahat.
b.
Tanda : Gelisah, perubahan status mental mis : letargi,
tanda vital
berubah pada aktivitas. 2.
Sirkulasi a.
Gejala : Riwayat HT, IM baru/akut, episode GJK sebelumnya, penyakit jantung, bedah jantung , endokarditis, anemia, syok septik, bengkak pada kaki, telapak kaki, abdomen.
b.
Tanda :
TD ; mungkin rendah (gagal pemompaan), Tekanan Nadi ;
mungkin sempit, Irama Jantung ; Disritmia, Frekuensi jantung ; Takikardia , Nadi apical ; PMI mungkin menyebar dan merubah, posisi secara inferior ke kiri, Bunyi jantung ; S3 (gallop) adalah diagnostik, S4 dapat, terjadi, S1 dan S2 mungkin melemah, Murmur sistolik dan diastolic,
Warna ; kebiruan, pucat abu-abu, sianotik, Punggung kuku ; pucat atau sianotik dengan pengisian, kapiler lambat, Hepar ; pembesaran/dapat teraba, Bunyi napas ; krekels, ronkhi, Edema ; mungkin dependen, umum atau pitting , khususnya pada ekstremitas. 3.
Integritas ego a.
Gejala : Ansietas, kuatir dan takut. Stres yang berhubungan dengan penyakit/keperihatinan finansial (pekerjaan/biaya perawatan medis)
b.
Tanda : Berbagai manifestasi perilaku, mis : ansietas, marah, ketakutan dan mudah tersinggung.
4.
Eliminasi a.
Gejala : Penurunan berkemih, urine berwana gelap, berkemih malam hari (nokturia), diare/konstipasi.
5.
Nutrisi a.
Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambhan berat badan signifikan, pembengkakan pada ekstremitas bawah, pakaian/sepatu terasa sesak, diet tinggi garam/makanan yang telah diproses dan penggunaan diuretic.
b.
Tanda : Penambahan berat badan cepat dan distensi abdomen (asites) serta edema (umum, dependen, tekanan dn pitting).
6.
7.
Higiene a.
Gejala : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama aktivitas Perawatan diri.
b.
Tanda : Penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.
Neurosensori a.
Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan.
b.
Tanda : Letargi, kusut pikir, diorientasi, perubahan perilaku dan mudah tersinggung.
8.
Nyeri/Kenyamanan a.
Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan atas dan sakit pada otot.
b.
Tanda : Tidak tenang, gelisah, focus menyempit danperilaku melindungi diri.
9.
Pernapasan
a.
Gejala : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal, batuk dengn/tanpa pembentukan sputum, riwayat penyakit kronis, penggunaan bantuan pernapasan.
b.
Tanda : 1) Pernapasan; takipnea, napas dangkal, penggunaan otot asesori pernpasan. 2) Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk terus menerus dengan/tanpa pemebentukan sputum. 3) Sputum ; Mungkin bersemu darah, merah muda/berbuih (edema pulmonal) 4) Bunyi napas ; Mungkin tidak terdengar. 5) Fungsi mental; Mungkin menurun, kegelisahan, letargi. 6) Warna kulit ; Pucat dan sianosis.
10. Interaksi sosial a.
Gejala : Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa dilakukan.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN a. Penurunan curah jantung
berhubungan
dengan
Perubahan
kontraktilitas
miokardial/perubahan inotropik. b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan reflek batuk, penumpukan secret. c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan edema paru d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi glomerulus, meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air. e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
3. INTERVENSI No. 1.
Diagnosa keperawatan Penurunan
Tujuan dan Kriteria
Intervensi
hasil
NIC : Pump Cardiac Care curah jantung 1. Evaluasi adanya nyeri dada (intensitas,lokasi, du effectiveness berhubungan 2. Catat adanya disritmia jantung 2. Circulation 3. Catat adanya tanda dan gejala penurunan cardia dengan Status 4. Monitor status kardiovaskuler Perubahan 3. Vital Sign Status 5. Monitor status pernafasan yang menandaka kontraktilitas miokardial/peru bahan inotropik.
NOC : 1. Cardiac
jantung diberikan 6. Monitor abdomen sebagai indicator penurunan p 7. Monitor balance cairan asuhan 8. Monitor adanya perubahan tekanan darah keperawatan selama 9. Monitor respon pasien terhadap efek pe ….x…. diharapkan antiaritmia 10. Atur periode latihan dan istirahat untuk me tanda vital dalam Setelah
batas
kelelahan 11. Monitor toleransi aktivitas pasien (disritmia 12. Monitor adanya dyspneu, fatigue, tekipneu dan o atau 13. Anjurkan untuk menurunkan stress
yang
diterima terkontrol
dapat
hilang) dan bebas
Vital Sign Monitoring 1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR Kriteria Hasil: 2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah 1. Tanda Vital 3. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau b dalam rentang 4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingka 5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, da normal (Tekanan aktivitas darah, Nadi, 6. Monitor kualitas dari nadi 7. Monitor adanya puls paradoksus respirasi) 8. Monitor adanya puls alterans 2. Dapat 9. Monitor jumlah dan irama jantung mentoleransi 10. Monitor bunyi jantung aktivitas, tidak 11. Monitor frekuensi dan irama pernapasan 12. Monitor suara paru ada kelelahan 13. Monitor pola pernapasan abnormal 3. Tidak ada edema 14. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit paru, perifer, dan 15. Monitor sianosis perifer 16. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang tidak ada asites bradikardi, peningkatan sistolik) 4. Tidak ada 17. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign penurunan gejala gagal jantung.
kesadaran 2.
Bersihan
jalan NOC : 1. Respiratory
NIC :
nafas
tidak
status
: Airway suction 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning efektif Ventilation 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah su 2. Respiratory berhubungan 3. Informasikan pada klien dan keluarga tentang su status : Airway 4. Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakuk dengan 5. Berikan O2 dengan menggunakan nasa patency penurunan 3. Aspiration memfasilitasi suksion nasotrakeal reflek batuk, 6. Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindak Control 7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam penumpukan Setelah diberikan kateter dikeluarkan dari nasotrakeal secret. asuhan keperawatan 8. Monitor status oksigen pasien selama ….x…. 9. Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan su 10. Hentikan suksion dan berikan oksigen apabi diharapkan klien menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O dapat menunjukkan keefektifan
jalan Airway Management 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau
napas Kriteria Hasil : 1. Mendemonstrasi
kan batuk efektif
bila perlu 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilas 3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat ja
buatan 4. Pasang mayo bila perlu yang bersih, 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction tidak ada 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tamb sianosis dan 8. Lakukan suction pada mayo 9. Berikan bronkodilator bila perlu dyspneu 10. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lem (mampu 11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseim 12. Monitor respirasi dan status O2 mengeluarkan dan suara nafas
sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips) 2. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama
nafas,
frekuensi pernafasan dalam
rentang
normal, tidak ada
suara
nafas
abnormal) 3. Mampu mengidentifikasik an
dan
mencegah factor yang
dapat
menghambat jalan nafas 3.
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan edema paru
NOC : 1. Respiratory
NIC : Airway Management 1. Pasang mayo bila perlu Status : Gas 2. Lakukan fisioterapi dada jika perlu exchange 3. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction 2. Respiratory 4. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tam 5. Lakukan suction pada mayo Status : 6. Berika bronkodilator bial perlu ventilation 7. Berikan pelembab udara 3. Vital Sign Status 8. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseim Setelah diberikan 9. Monitor respirasi dan status O2 asuhan
Respiratory Monitoring 1. Monitor rata – rata, kedalaman, irama da
keperawatan selama
….x….
diharapkan
otot
gangguan pertukaran
respirasi 2. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, pen
gas
teratasi Kriteria Hasil : 1. Mendemonstrasi
tambahan,
retraksi
otot
supraclavicu
intercostals 3. Monitor suara nafas, seperti dengkur 4. Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, k
hiperventilasi, cheyne stokes, biot 5. Catat lokasi trakea kan peningkatan 6. Monitor kelelahan otot diagfragma (gerakan par 7. Auskultasi suara nafas, catat area penuruna ventilasi dan adanya ventilasi dan suara tambahan oksigenasi yang 8. Tentukan kebutuhan suction dengan menga adekuat crakles dan ronkhi pada jalan napas utama 2. Memelihara 9. auskultasi suara paru setelah tindakan untuk m kebersihan paru hasilnya paru dan bebas dari tanda tanda distress pernafasan 3. Mendemonstrasi
kan batuk efektif dan suara nafas yang
bersih,
tidak
ada
sianosis
dan
dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips) 4. Tanda tanda vital dalam
rentang
normal
4.
Kelebihan
NOC : 1. Electrolit
NIC : and Fluid management volume cairan 1. Timbang popok/pembalut jika diperlukan acid base berhubungan 2. Pertahankan catatan intake dan output yang aku balance 3. Pasang urin kateter jika diperlukan dengan 2. Fluid balance 4. Monitor hasil Lab yang sesuai dengan reten menurunnya 3. Hydration (BUN, Hmt , osmolalitas urin ) laju filtrasi 5. Monitor status hemodinamik termasuk CVP, M Setelah diberikan glomerulus, dan PCWP asuhan 6. Monitor vital sign meningkatnya keperawatan selama 7. Monitor indikasi retensi / kelebihan cairan (cracl produksi ADH edema, distensi vena leher, asites) ….x…. diharapkan dan retensi 8. Kaji lokasi dan luas edema keseimbangan 9. Monitor masukan makanan/cairan dan hitung int natrium/air. volume cairan dapat harian 10. Monitor status nutrisi dipertahankan 11. Berikan diuretik sesuai interuksi Kriteria hasil 12. Batasi masukan cairan pada keadaan hiponatre 1. Terbebas dari dengan serum Na < 130 mEq/L 13. Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih edema, efusi, anaskara 2. Bunyi
memburuk nafas
Fluid Monitoring bersih, tidak ada 1. Tentukan riwayat jumlah dan tipe intake ca dyspneu/
ortopneu 3. Terbebas
eliminasi dari 2. Tentukan
distensi
vena
jugularis,
reflek
kemungkinan
faktor
resiko
dari
seimbangan cairan (Hipertermia, terapi diuretik,
renal, gagal jantung, diaporesis, disfungsi hati, d 3. Monitor berat badan hepatojugular (+) 4. Monitor serum dan elektrolit urine 4. Memelihara 5. Monitor serum dan osmilalitas urine tekanan vena 6. Monitor BP, HR, dan RR 7. Monitor tekanan darah orthostatik dan perubah sentral, tekanan jantung kapiler paru, 8. Monitor parameter hemodinamik infasif output jantung 9. Catat secara akutar intake dan output 10. Monitor adanya distensi leher, rinchi, eodem p dan vital sign penambahan BB dalam batas 11. Monitor tanda dan gejala dari edema normal 12. Beri obat yang dapat meningkatkan output urin 5. Terbebas dari kelelahan, kecemasan atau kebingungan 6. Menjelaskan indikator kelebihan cairan
5.
Intoleransi aktivitas berhubungan
NOC : 1. Energy Conservation 2. Self Care : ADLs
dengan kelemahan
Setelah
diberikan
NIC : Energy Management 1. Observasi adanya pembatasan klien dalam m aktivitas 2. Dorong anal untuk mengungkapkan perasaan
keterbatasan 3. Kaji adanya factor yang menyebabkan kelelahan asuhan 4. Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat keperawatan selama 5. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik d ….x…. diharapkan secara berlebihan 6. Monitor respon kardiovaskuler terhadap aktivitas terjadi peningkatan 7. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pas toleransi pada klien Activity Therapy setelah 1. Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Med dilaksanakan merencanakan progran terapi yang tepat. tindakan 2. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yan keperawatan selama dilakukan 3. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten ya di RS
Kriteria Hasil : 1. Berpartisipasi dalam
aktivitas
fisik
tanpa
disertai peningkatan tekanan
darah,
nadi dan RR 2. Mampu melakukan aktivitas hari
dengan kemampuan fisik, psikologi dan social 4. Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatka
yang diperlukan untuk aktivitas yang diinginkan 5. Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivita
kursi roda, dll 6. Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang disuk 7. Bantu klien untuk membuat jadwal latihan di wak 8. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi ke
dalam beraktivitas 9. Sediakan penguatan positif bagi yang aktif berak 10. Bantu pasien untuk mengembangkan motivas
penguatan sehari 11. Monitor respon fisik, emoi, social dan spiritual
(ADLs)
secara mandiri
4. IMPLEMENTASI Implementasi dilaksanakan
sesuai
dengan
intervensi
yang
telah
dilaksanakan. 5. EVALUASI Dx 1 : tanda vital dalam batas yang dapat diterima (disritmia terkontrol atau hilang) Dx 2 : kepatenan jalan nafas pasien terjaga Dx 3 : dapat mempertahankan tingkat oksigen yang adekuat Dx 4 : keseimbangan volume cairan dapat dipertahankan Dx 5 : terjadi peningkatan toleransi pada klien
VENTILASI MEKANIK (VENTILATOR) I.
Pengertian dan Tujuan Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian
atau seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi, dengan tujuan: Memberikan
kekuatan
mekanis
pada
sistem
pernafasan
untuk
mempertahankan ventilasi yang fisiologis Manipulasi air way pressure dan corak ventilasi untuk memperbaiki efisiensi dan oksigenasi Mengurangi kerja miocard dengan cara mengurangi kerja nafas. II.
Indikasi Pemasangan Ventilator 1. Pasien dengan respiratory failure
3. Post Trepanasi dengan black
(gagal napas)
out.
2. Pasien dengan operasi tekhik hemodilusi. III.
4. Respiratory Arrest.
Penyebab Gagal Napas 1. Penyebab sentral a. Trauma kepala
:
Contusio cerebri.
b. Radang otak
:
Encepalitis.
c. Gangguan vaskuler
:
Perdarahan otak, infark otak.
d. Obat-obatan
:
Narkotika, Obat anestesi.
2. Penyebab perifer a. -
Guillian Bare symdrom
-
Tetanus
-
Trauma servikal.
-
Obat pelemas otot.
b.
IV.
Kelaian Neuromuskuler:
Kelainan jalan napas.
-
Obstruksi jalan napas.
-
Asma broncheal.
Kriteria Pemasangan Ventilator
c.
Kelainan di paru. - Edema paru, atlektasis, ARDS
d.
Kelainan tulang iga / thorak. - Fraktur costae, pneumothorak, haemathorak.
e.
Kelainan jantung. - Kegagalan jantung kiri.
Menurut Pontopi seseorang perlu bantuan (ventilator) bila : Frekuensi napas lebih dari 35 kali per menit. Hasil analisa gas darah dengan O2 masker PaO2 kurang dari 70 mmHg. PaCO2 lebih dari 60 mmHg AaDO2 dengan O2 100 % hasilnya lebih dari 350 mmHg. Vital capasity kurang dari 15 ml / kg BB. V.
Macam-macam Ventilator. Menurut sifatnya ventilator dibagi tiga type yaitu: 1. Volume Cycled Ventilator. Perinsip dasar ventilator ini adalah cyclusnya berdasarkan volume. Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai volume yang ditentukan. Keuntungan volume cycled ventilator adalah perubahan pada komplain paru pasien tetap memberikan volume tidal yang konsisten. 2. Pressure Cycled Ventilator Perinsip dasar ventilator type ini adalah cyclusnya menggunakan tekanan. Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai tekanan yang telah ditentukan. Pada titik tekanan ini, katup inspirasi tertutup dan ekspirasi terjadi dengan pasif. Kerugian pada type ini bila ada perubahan komplain paru, maka volume udara yang diberikan juga berubah. Sehingga pada pasien yang setatus parunya tidak stabil, penggunaan ventilator tipe ini tidak dianjurkan. 3. Time Cycled Ventilator Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah cyclusnya berdasarkan wamtu ekspirasi atau waktu inspirasi yang telah ditentukan. Waktu inspirasi ditentukan oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah napas permenit) Normal ratio I : E (inspirasi : ekspirasi ) 1 : 2
VI.
Mode-Mode Ventilator. Pasien
yang
mendapatkan
bantuan
ventilasi
mekanik
dengan
menggunakan ventilator tidak selalu dibantu sepenuhnya oleh mesin ventilator, tetapi tergantung dari mode yang kita setting, yaitu: 1. Mode Control. Pada mode kontrol mesin secara terus menerus membantu pernafasan pasien. Ini diberikan pada pasien yang pernafasannya masih sangat jelek,
lemah sekali atau bahkan apnea. Pada mode ini ventilator mengontrol pasien, pernafasan diberikan ke pasien pada frekwensi dan volume yang telah ditentukan pada ventilator, tanpa menghiraukan upaya pasien untuk mengawali inspirasi. Bila pasien sadar, mode ini dapat menimbulkan ansietas tinggi dan ketidaknyamanan dan bila pasien berusaha nafas sendiri bisa terjadi fighting (tabrakan antara udara inspirasi dan ekspirasi), tekanan dalam paru meningkat dan bisa berakibat alveoli pecah dan terjadi pneumothorax. Contoh mode control ini adalah: CR (Controlled Respiration), CMV (Controlled Mandatory Ventilation), IPPV (Intermitten Positive Pressure Ventilation) 2. Mode
IMV
/
SIMV:
Intermitten
Mandatory
Ventilation/Sincronized
Intermitten Mandatory Ventilation. Pada mode ini ventilator memberikan bantuan nafas secara selang seling dengan nafas pasien itu sendiri. Pada mode IMV pernafasan mandatory diberikan pada frekwensi yang di set tanpa menghiraukan apakah pasien pada saat inspirasi atau ekspirasi sehingga bisa terjadi fighting dengan segala akibatnya. Oleh karena itu pada ventilator generasi terakhir mode IMVnya disinkronisasi (SIMV). Sehingga pernafasan mandatory diberikan sinkron dengan picuan pasien. Mode IMV/SIMV diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan tetapi belum normal sehingga masih memerlukan bantuan. 3. Mode ASB / PS : (Assisted Spontaneus Breathing / Pressure Suport Mode ini diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan atau pasien yang masih bisa bernafas tetapi tidal volumnenya tidak cukup karena nafasnya dangkal. Pada mode ini pasien harus mempunyai kendali untuk bernafas. Bila pasien tidak mampu untuk memicu trigger maka udara pernafasan tidak diberikan. 4. CPAP : Continous Positive Air Pressure. Pada mode ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan diberikan pada pasien yang sudah bisa bernafas dengan adekuat. Tujuan pemberian mode ini adalah untuk mencegah atelektasis dan melatih otot-otot pernafasan sebelum pasien dilepas dari ventilator. VII.
Sistem Alarm
Ventilator digunakan untuk mendukung hidup. Sistem alarm perlu untuk mewaspadakan perawat tentang adanya masalah. Alarm
tekanan rendah
menandakan adanya pemutusan dari pasien (ventilator terlepas dari pasien), sedangkan alarm tekanan tinggi menandakan adanya peningkatan tekanan, misalnya pasien batuk, cubing tertekuk, terjadi fighting, dll. Alarm volume rendah menandakan kebocoran. Alarm jangan pernah diabaikan tidak dianggap dan harus dipasang dalam kondisi siap. VIII.
Pelembaban dan suhu. Ventilasi mekanis yang melewati jalan nafas buatan meniadakan
mekanisme pertahanan tubuh unmtuk pelembaban dan penghangatan. Dua proses ini harus digantikan dengan suatu alat yang disebut humidifier. Semua udara yang dialirkan dari ventilator melalui air dalam humidifier dihangatkan dan dijenuhkan. Suhu udara diatur kurang lebih sama dengan suhu tubuh. Pada kasus hipotermi berat, pengaturan suhu udara dapat ditingkatkan. Suhu yang terlalu itnggi dapat menyebabkan luka bakar pada trachea dan bila suhu terlalu rendah bisa mengakibatkan kekeringan jalan nafas dan sekresi menjadi kental sehingga sulit dilakukan penghisapan. IX.
Fisiologi Pernapasan Ventilasi Mekanik Pada pernafasan spontan inspirasi terjadi karena diafragma dan otot
intercostalis berkontrkasi, rongga dada mengembang dan terjadi tekanan negatif sehingga aliran udara masuk ke paru, sedangkan fase ekspirasi berjalan secara pasif. Pada pernafasan dengan ventilasi mekanik, ventilator mengirimkan udara dengan memompakan ke paru pasien, sehingga tekanan sselama inspirasi adalah positif dan menyebabkan tekanan intra thorakal meningkat. Pada akhir inspirasi tekanan dalam rongga thorax paling positif. X.
Efek Ventilasi mekanik Akibat dari tekanan positif pada rongga thorax, darah yang kembali ke
jantung terhambat, venous return menurun, maka cardiac output juga menurun. Bila kondisi penurunan respon simpatis (misalnya karena hipovolemia, obat dan usia lanjut), maka bisa mengakibatkan hipotensi. Darah yang lewat paru juga berkurang karena ada kompresi microvaskuler akibat tekanan positif sehingga darah yang menuju atrium kiri berkurang, akibatnya cardiac output juga
berkurang. Bila tekanan terlalu tinggi bisa terjadi gangguan oksigenasi. Selain itu bila volume tidal terlalu tinggi yaitu lebih dari 10-12 ml/kg BB dan tekanan lebih besar dari 40 CmH2O, tidak hanya mempengaruhi cardiac output (curah jantung) tetapi juga resiko terjadinya pneumothorax. Efek pada organ lain: Akibat cardiac output menurun; perfusi ke organorgan lainpun menurun seperti hepar, ginjal dengan segala akibatnya. Akibat tekanan positif di rongga thorax darah yang kembali dari otak terhambat sehingga tekanan intrakranial meningkat. XI.
Komplikasi Ventilasi Mekanik (Ventilator) Ventilator adalah alat untuk membantu pernafasan pasien, tapi bila
perawatannya tidak tepat bisa, menimbulkan komplikasi seperti: 1. Pada paru a.
Baro trauma: tension
e.
pneumothorax, empisema sub cutis, emboli udara vaskuler. b.
Atelektasis/kolaps
(tertekuk), terekstubasi, tersumbat. f.
Aspirasi cairan lambung
g.
Tidak
alveoli diffuse c.
Infeksi paru
d. Keracunan oksigen 2. Pada sistem kardiovaskuler
Jalan nafas buatan: king-king
berfungsinya
penggunaan ventilator h.
Kerusakan jalan nafas bagian atas
Hipotensi, menurunya cardiac output dikarenakan menurunnya aliran balik vena akibat meningkatnya tekanan intra thorax pada pemberian ventilasi mekanik dengan tekanan tinggi. 3. Pada sistem saraf pusat a. Vasokonstriksi cerebral : Terjadi karena penurunan tekanan CO2 arteri (PaCO2) dibawah normal akibat dari hiperventilasi. b. Oedema cerebral : Terjadi karena peningkatan tekanan CO2 arteri diatas normal akibat dari hipoventilasi. c. Peningkatan tekanan intra kranial d. Gangguan kesadaran e. Gangguan tidur. 4. Pada sistem gastrointestinal a. Distensi lambung, illeus b. Perdarahan lambung. 5. Gangguan psikologi
XII.
Prosedur Pemberian Ventilator Sebelum memasang ventilator pada pasien. Lakukan tes paru pada
ventilator untuk memastikan pengesetan sesuai pedoman standar. Sedangkan pengesetan awal adalah sebagai berikut: 1. Hubungkan ventilator dengan sumber listrik 2. Hubungkan ventilator dengan sumber oksigen dan udara tekan 3. Isi humidifier dengan aqua steril sampai batas yang ditentukan 4. Pastikan breathing sircuit apakah ada kebocoran dan tes fungsi masing-masing preset dengan menggunakan testlang 5. Atur mesin sesuai dengan klasifikasi kerja yang dibutuhkan : -
Fraksi oksigen inspirasi (FiO2) 100%
-
Volume Tidal: 4-5 ml/kg BB
-
Frekwensi pernafasan: 10-15 kali/menit
-
Aliran inspirasi: 40-60 liter/detik
-
PEEP (Possitive End Expiratory Pressure) atau tekanan positif akhir ekspirasi: 0-5 Cm, ini diberikan pada pasien yang mengalami oedema paru dan untuk mencegah atelektasis. Pengesetan untuk pasien ditentukan oleh tujuan terapi dan perubahan pengesetan ditentukan oleh respon pasien yang ditujukkan oleh hasil BGA
6. Alat siap digunakan . XIII.
Kriteria Penyapihan Pasien yang mendapat bantuan ventilasi mekanik dapat dilakukan penyapihan bila memenuhi kriteria sebagai berikut:
XIV.
-
Kapasitas vital 10-15 ml/kg BB
-
Volume tidal 4-5 ml/kg BB
-
Kekuatan inspirasi 20 cm H2O atau lebih besar
-
Frekwensi pernafasan kurang dari 20 kali/menit. FISIOLOGI PERNAPASAN VENTILASI MEKANIK
Napas Spontan -
Diafragma dan otot intercostalis berkontraksi rongga dada mengembang terjadi tekanan (-) aliran udara masuk ke paru dan
berhenti pada akhir inspirasi Fase ekspirasi berjalan secara pasif
Pernapasan dengan ventilasi mekanik Udara masuk ke dalam paru karena ditiup, sehingga tekanan rongga
-
thorax (+)
XV.
-
Pada akhir inspirasi tekanan dalam rongga thorax paling positif
-
Ekspirasi berjalan pasif.
EFEK VENTILASI MEKANIK
Pada Kardiovaskuler Akibat dari tekanan posistif pada rongga thorax darah yang
-
kembali ke jantung terhambat venous return menurun maka cardiac out put menurun. Darah yang lewat paru juga berkurang karena ada kompresi
-
microvaskuler akibat tekanan (+) sehingga darah berkurang cardiac out put menurun. Bila tekanan terlalu tinggi bisa terjadi ex oksigenasi.
Pada organ Lain -
Akibat cardiac out put menurun perfusi ke organ lainpun akan menurun seperti, hepar, ginjal, otak dan segala akibatnya.
-
Akibat tekanan (+) di rongga thorax darah yang kembali dari otak terhambat TIK meningkat.
XVI.
TERAPI OXIGEN Setelah jalan nafas bebas, maka selanjutnya tergantung dari derajat
hipoksia atau hiperkabinya serta keadaan penderita. Pontiopidan memberi batasan mekanik, oksigenasi dan ventilasi untuk tindakan selanjutnya
Parameter
Accaptable Fisioterapi Dada, Range (Tidak Terapi Oksigen, Perlu Terapi Monitoring Ketat Khusus)
Intubasi Tracheostomi Ventilasi Mekanik.
1. MEKANIK - Frekwensi nafas 12 - 25 70 - 30 - Vital capacity (ml/kg) - Inspiratori force, CmH2O 100 - 50 2. OKSIGENASI - A - aDO2 100% O2 mmHg 50 - 200 - PaO2 mmHg 3. VENTILASI - VD / VT - PaCO2
XVII.
ASUHAN
25 - 35 30 - 15
> 35 < 15
50 - 25
< 25
200 - 350
> 350
100 - 75 (Air)
200 - 70 ( O2 Mask)
< 70 ( O2 Mask )
0,3 35 -
0,4 - 0,6 5 - 60
0,6 60
KEPERAWATAN
0,4 45
PADA
PASIEN
DENGAN
BANTUAN
VENTILASI MEKANIK (VENTILATOR) I.
Pengkajian Hal-hal yang perlu dikaji pada psien yang mendapat nafas buatan dengan ventilator adalah: 1. Biodata Meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, suku, agama, alamt, dll. Pengkajian ini penting dilakukan untuk mengetahui latar belakang status sosial ekonomi, adat kebudayaan dan keyakinan spritual pasien, sehingga mempermudah dalam berkomunikasi dan menentukan tindakan keperawatan yang sesuai. 2. Riwayat penyakit/riwayat keperawatan Informasi mengenai latar belakang dan riwayat penyakit yang sekarang dapat diperoleh melalui oranglain (keluarga, tim medis lain) karena kondisi pasien yang dapat bentuan ventilator tidak mungkin untuk memberikan
data
secara
detail.
Pengkajian
ini
ditujukan
untuk
mengetahui kemungkinan penyebab atau faktor pencetus terjadinya gagal nafas/dipasangnya ventilator. 3. Keluhan Untuk mengkaji keluhan pasien dalam keadaan sadar baik, bisa dilakukan dengan cara pasien diberi alat tulis untuk menyampaikan keluhannya. Keluhan pasien yang perlu dikaji adalah rasa sesak nafas, nafas terasa berat, kelelahan dan ketidaknyamanan. B. 1. Sistem pernafasan
a. Setting ventilator meliputi: Mode ventilator -
CR/CMV/IPPV (Controlled Respiration/Controlled Mandatory Ventilation/Intermitten Positive Pressure Ventilation)
-
SIMV (Syncronized Intermitten Mandatory Ventilation)
-
ASB/PS (Assisted Spontaneus Breathing/Pressure Suport)
-
CPAP (Continous Possitive Air Presure)
FiO2: Prosentase oksigen yang diberikan PEEP: Positive End Expiratory Pressure Frekwensi nafas b. Gerakan nafas apakah sesuai dengan irama ventilator c. Expansi dada kanan dan kiri apakah simetris atau tidak d. Suara nafas: adalah ronkhi, whezing, penurunan suara nafas e. Adakah gerakan cuping hidung dan penggunaan otot bantu tambahan f.
Sekret: jumlah, konsistensi, warna dan bau
g. Humidifier: kehangatan dan batas aqua h. Tubing/circuit ventilator: adakah kebocoran tertekuk atau terlepas i.
Hasil analisa gas darah terakhir/saturasi oksigen
j.
Hasil foto thorax terakhir
B. 2. Sistem kardiovaskuler Penkajian
kardiovaskuler
dilakukan
untuk mengetahui
adanmya
gangguan hemodinamik yang diakibatkan setting ventilator (PEEP terlalu tinggi) atau disebabkan karena hipoksia. Pengkajian meliputi tekanan darah, nadi, irama jantung, perfusi, adakah sianosis dan banyak mengeluarkan keringat. B. 3. Sistem neurologi Pengkajian meliputi tingkat kesadaran, adalah nyeri kepala, rasa ngantuk, gelisah dan kekacauan mental. B. 4. Sistem urogenital Adakah
penurunan
produksi
urine
(berkurangnya
produksi
urine
menunjukkan adanya gangguan perfusi ginjal) B. 5. Status cairan dan nutrisi Status cairan dan nutrisi penting dikaji karena bila ada gangguan status nutrisi dn cairan akan memperberat keadaan. Seperti cairan yang berlebihan dan albumin yang rendah akan memperberat oedema paru.
4. Status psycososial Pasien yang dirawat di ICU dan dipasang ventilator sering mengalami depresi mental lyang dimanifestasikan berupa kebingungan, gangguan orientasi, merasa terisolasi, kecemasan dan ketakutan akan kematian.
II.
Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang sering terjadi pada pasien yang mendapat bentuan nafas mekanik/dipasang ventilator diantaranya adalah: 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sekret 2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan sekresi tertahan, proses penyakitnya 3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan, pengesetan ventilator yang tidak tepat, obstruksi selang endotracheal 4. Cemas berhubungan dengan penyakit kritis, takut terhadap kematian 5. Gangguan
pemenuhan
komunikasi
verbal
berhubungan
dengan
pemasangan selang endotracheal 6. Resiko tinggi terjadinya infeksi saluran nafas berhubungan dengan pemasangan selang endotracheal 7. Resiko tinggi terjadinya trauma atau cedera berhubungan dengan ventilasi mekanis, selang endotracheal, ansietas, stress 8. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan ventilasi mekanis, letak selang endotracheal III.
Perencanaan 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas sehubungan dengan peningkatan produksi sekret Tujuan: Meningkatkan dan mempertahankan keefektifan jalan napas. Kriteria hasil: Bunyi napas terdengar bersih. Ronchi tidak terdengar. Tracheal tube bebas sumbatan. Tindakan keperawatan: INTERVENSI
-
Auskultasi bunyi napas tiap 2-4 jam dan kalau diperlukan.
-
Lakukan pengisapan bila terdengar ronchi dengan cara:
a. jelaskan pada pasien tentang tujuan dari tindakan pengisapan. b. Berikan oksigen dengan O2 100 % sebelum dilakukan pengisapan, minimal 4 - 5 X pernapasan. c. Perhatikan teknik aseptik, gunakan sarung tangan steril, kateter pengisap steril. d. Masukan kateter kedalam selang ET dalam keadaan tidak mengisap (ditekuk), lama pengisapan tidak lebih dari 10 detik. e. Atur tekanan isap tidak lebih dari 100 - 120 mmHg. f.
Lakukan oksigenasi lagi dengan O2 100 % sebelum melakukan pengisapan berikutnya.
g. Lakukan pengisapan berulang-ulang sampai suara napas bersih. -
Pertahankan suhu humidifer tetap hangat (35 - 37,8 o C
-
Monitor statur hidrasi pasien
-
Melakukan fisioterapi napas / dada sesuai indikasi dengan cara clapping, fibrasi dan pustural drainage.
-
Berikan obat mukolitik sesuai indikasi / program.
-
Kaji suara napas sebelum dan sesudah melakukan tindakan pengisapan.
-
Observasi tanda-tanda vital sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
2. Gangguan pertukaran gas sehubungan dengan sekresi tertahan, proses penyakitnya Tujuan: Pertukaran gas kembali normal. Kriteria hasil: Hasil analisa gas darah normal yang terdiri dari: -
PH (7,35 - 7,45)
-
PO2
(80
-
100
-
BE (-2 - + 2)
-
Tidak sianosis
mmHg) -
PCO2
(35
-
45
mmHg) Tindakan keperawatan: INTERVENSI Cek analisa gas darah setiap 10 - 30 menit setelah perubahan setting ventilator. Monitor hasil analisa gas darah (blood gas) atau oksimeteri selama periode
penyapihan. Pertahankan jalan napas bebas dari skresi. Monitor tanda dan gejala hipoksia
3. Ketidak efektifan pola nafas sehubungan dengan kelelahan, pengesetan ventilator yang tidak tepat, obstruksi selang endotracheal Tujuan: Pola napas efektif. Kriteria hasil: Napas
sesuai
dengan
irama
ventilator. Tindakan keperawatan:
Volume napas adekuat. Alarm tidak berbunyi.
INTERVENSI Lakukan pemeriksaan ventilator tiap 1 - 2 jam. Evaluasi semua alarm dan tentukan penyebabnya. Pertahankan alat resusitasi manual (bag & mask) pada posisi tempat tidur sepanjang waktu. Monitor selang / cubbing ventilator dari terlepas , terlipat,
bocor atau
tersumbat. Evaluasi tekanan atau kebocoran balon cuff. Masukan penahan gigi (pada pemasangat ETT lewat oral) Amankan selang ETT dengan fiksasi yang baik. Monitor suara dan pergerakan dada secara teratur. 4. Cemas sehubungan dengan penyakit kritis, takut terhadap kematian Tujuan: Cemas berkurang atau hilang Kriteria hasil: Mampu mengekspresikan kecemasan, tidak gelisah, kooperatif. Tindakan keperawatan: INTERVENSI Lakukan komunikasi terapiutik. Dorong pasien agar mampu mengekspresikan perasaannya. Berikan sentuhan kasih sayang. Berikan support mental. Berikan kesempatan pada keluarga dan orang-orang yang dekat dengan klien untuk mengunjungi pada saat-saat tertentu. Berikan informasi realistis pada tingkat pemahaman klien.
5. Gangguan pemenuhan komunikasi verbal sehubungan dengan pemasangan selang endotracheal Tujuan: Mempertahankan komunikasi Kriteria hasil: Klien dapat berkomunikasi dgn menggunakan metode alternatif. Tindakan keperawatan:
INTERVENSI Berikan papan, kertas dan pensil, gambar untuk komunikasi, ajukan pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak. Yakinkan klien bahwa suara akan kembali bila ETT dilepas. 6. Resiko tinggi terjadinya infeksi saluran nafas sehubungan dengan pemasangan selang endotracheal Tujuan: Tidak terjadi infeksi saluran napas s/d pemasangan selang ETT / ventilator Kriteria hasil: Suhu tubuh normal (36 - 37,5 C) Warna sputum jernih. Kultur sputum negatif. Tindakan keperawatan: INTERVENSI Evaluasi warna, jumlah, konsistensi dan bauh sputum setiap kali pengisapan. Lakukan pemeriksaan kultur sputum dan test sensitifitas sesuai indikasi. Pertahanakan teknik aseptik pada saat melakukan pengisapan (succion) Jaga kebersihan bag & mask. Lakukan pembersihan mulut, hidung dan rongga faring setiap shitf. Ganti selang / tubing ventilator 24 - 72 jam. Monitor tanda-tanda vital yang menunjukan adanya infeksi. Berikan antibiotika sesuai program dokter. 7. Resiko tinggi terjadinya trauma atau cedera sehubungan dengan ventilasi mekanis, selang endotracheal, ansietas, stress Tujuan: Bebas dari cedera selama ventilasi mekanik. Kriteria hasil: Tidak terjadi iritasi pada hidung maupun jalan napas. Tidak terjadi barotrauma. Tindakan keperawatan: INTERVENSI Monitor ventilator terhadap peningkatan secara tajam. Yakinkan napas pasien sesuai dengan irama ventilator Mencegah terjadinya fighting kalau perlu kolaborasi dengan dokter untuk memberi sedasi. Observasi tanda dan gejala barotrauma. Lakukan pengisapan lendir dengan hati-hati dan gunakan kateter succion yang lunak dan ujungnya tidak tajam.
Lakukan restrain / fiksasi bila pasien gelisah. Atur posisi selang / tubing ventilator dengan cepat. 8. Gangguan rasa nyaman sehubungan dengan ventilasi mekanis, letak selang endotracheal Tujuan: Merasa nyaman selama dipasang ventilator. Kriteria hasil: Klien tidak gelisah. Klien dapat istirahat dan tidur dengan tenang. Tindakan keperawatan: INTERVENSI Atur posisi selang ETT dan Tubing ventilator. Atur sensitivitas ventilator. Atur posisi tidur dengan menaikkan bagian kepala tempat tidur, kecuali ada kontra indikasi. Kalau perlu kolaborasi dengan kokter untuk memberi analgesik dan sedasi.
DAFTAR PUSTAKA Abraham WT, Adams KF, Fonarow GC, et al. In-hospital mortality in patients with acute decompensated heart failure requiring intravenous vasoactive medications: an
analysis from the Acute Decompensated Heart Failure National Registry (ADHERE). J Am Coll Cardiol. 2005;46:57–64. Andrianto, Petrus. 1995. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskular. Jakarta Forrester JS, Diamond G, Chatterjee K, et al. Medical therapy of acute decompensation of heart failure by application of hemodynamic subsets. N Engl J Med. 1976;295:13561362 Ganong William F.1999.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 17.Jakarta: EGC Hamidatul, Ulfiyah, 2015. Laporan Pendahuluan Acute Decompensated of Heart Failure. Heart Failure Society of America. Evaluation and management of patients with acute decompensated heart failure: HFSA 2010 comprehensive heart failure practice guideline. J Card Fail. 2010;16:e134-e156. Joseph SM, Cedars AM, Ewald GA, et al. Acute decompensated heart failure: contemporary medical management. Tex Heart Inst J. 2009;36:510–520. Kirk JD. Acute Decompensated Hheart Failure: Nnovel Approaches To Cclassification Aand Treatment. [monograph on the internet]. Philadelphia : Departement of Emergency Medicine University of Pennsylvania; 2004 [cited 2011 Apr 10]. Available from www.emcreg.org. Nasuution SA, Ismail D. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 3.Jakarta: EGC Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Alih bahasa Peter Anugrah. Editor Caroline Wijaya. Ed. 4. Jakarta : EGC ; 1994. Pinto DS, Lewis S. Pathophysiology of acute decompensated heart failure. In: Basow DS, ed. UpToDate. Waltham, MA: UpToDate; 2012. Semara, Putra, 2012. Asuhan Keperawatan pada Pasien ADHF. Tallaj JA, Bourge RC. The Management of Acute Decompensated Heart Failure. [monograph on the internet]. Birmingham : University of Alabama; 2003 [cited 2011 Apr 10]. Available from http://www.fac.org.ar
View more...
Comments