Laporan Modul Aerasi Agitasi

November 9, 2017 | Author: Maria Vonny Wijaya | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

agitasi aerasi...

Description

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI PENGARUH AERASI & AGITASI PADA PROSES PRODUKSI ALKOHOL

OLEH : TIMOTHY JABIN KURNIANTO / 31140025 CANDRA GUNAWAN / 31140027 CLAUDIA PARAMITHA P.K / 31140040 MARIA VONNY WIJAYA / 31140046

FAKULTAS BIOTEKNOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA YOGYAKARTA 2016

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara penghasil gula yang cukup besar. Pada industry gula tebu, selain menghasilkan gula tebu juga dihasilkan sisa-sisa pengolahan berupa limbah padat dan cair dimana adanya sisa-sia terdapat produk samping dari gula itu sendiri, yaitu molase yang merupakan produk sampingan selama proses pemutihan gula. Molase merupakan produk samping dari industry gula yang diperoleh setelah sakaros dikristalkan dan dipisahkan dari sari gula tebu. Molase dapat digunakan sebagai media fermentasi karena molase ini mudah untuk didapatkans serta harganya juga relative murah apabila dibandingkan dengan media lainnya sehingga pemanfaatan molase ini juga akan menguntungkan. Terdapat 2 (dua) jenis molase yang berasal dari indutri, yaitu Black Strap Molase dan Light Tes Molase dimana kedua jenis ini memiliki kadar gula yang berbeda. Perlu diketahui bahwa kadar gula yang dihasilkan oleh molase jenis Black Strap Molase memiliki kadar yang jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kadar gula dari Light Test Molase (Chen, 1993).D engan adanya hal ini, molase dengan jenis Black Strap Mode dapat digunakan sebagai media fermentasi karena masih memiliki kadar gula yang cukup tinggi. Sehingga, dengan adanya hal tersebut dilakukan percobaan untuk menguji kadar alkohol atau alkohol yang mampu dihasilkan dengan menggunakan Black Strap Mode ini sebagai media fermentasi, dengan menambahkan variasi perlakuan agar dapat mengetahui kadar alkohol yang dapat dihasilkan dari masing – masing perlakuan.

B. TUJUAN 1. Mengetahui kadar alkohol yang dapat dihasilkan melalui variasi perlakuan (aerasi, agitasi, aerasi dan agitasi).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bioetanol merupakan etanol atau alkohol yang diproduksi melalui proses fermentasi bahan biomassa (yang mengandung gula, pati atau selulosa) dengan bantuan mikroorganisme. Berikut merupakan bahan-bahan baku alamiah yang dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan bioethanol, antara lain (Suwasono et al., 2002): 1. Bahan bergula, substrat yang umum digunakan untuk pembuatan bioalkohol berasal dari biomassa yang mengandung gula. Kelebihan dari bahan baku sumber gula ini yaitu dapat langsung dilakukan proses fermentasi gula menjadi alkohol, sehingga proses menjadi lebih sederhana. Bahan bergula yang sering digunakan seperti molase (tetes tebu), nira tebu, nira kelapa, nira aren (enau). 2. Bahan berpati, pembuatan bioetanoldengan bahan baku sumber pati mempunyai proses yang lebih panjang dibanding dengan berbahan baku sumber gula. Pati diubah dulu menjadi glukosa melalui hidrolisis asam ataupun enzimatis untuk menghasilkan glukosa, kemudian gula difermentasi untuk menghasilkan alkohol. Tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan baku bioalkohol dari sumber pati antara lain, ubi kayu atau singkong, tepung sagu, biji jagung, biji shorgum, kentang, ganyong, garut dan umbi dahlia. Bahan berlignoselulosa (berserat), bahan baku sumber serat kebanyakan berasal dari limbah pertanian. Lignoselulosa terdiri atas tiga komponen fraksi serat, yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa inilah yang dijadikan sumber bahan baku bioetanol dengan merubahnya terlebih dahulu menjadi gula. Adapun yang berpotensi menjadi bahan baku sumber serat seperti limbah logging, limbah pertanian (jerami padi, ampas tebu, tongkol jagung, onggok), batang pisang, dan serbuk gergaji (Stanburry and Whitaker, 1990). Secara umum, tahapan dalam pembuatan bioetanol memerlukan langkah fermentasi mengubah gula menjadi alkohol, serta proses distilasi untuk memisahkan alkohol dari air dimana selama proses fermentasi gula ini dilakukan dengan bantuan mikroorganisme yang mampu menghasilkan enzim yang dapat mengkonversi substrat menjadi gula sehingga dapat diurai menjadi alkohol. Dalam proses fermentasi, mikroba yang digunakan adalah mikroba yang berasal dari jenis ragi dimana ragi ini merupakan mikroorganisme ber-sel tunggal, tidak

ber-klorofil dan mikroba ini dikenal sebagai mikroba yang mampu mengubah substrat (glukosa) menjadi alkohol dan gas karbondioksida. Salah satu mikroba yang tergolong sebagai jenis ini adalah Saccharomyces cerevisiae. Dalam menggunakan ragi, perlu dipilih berdasarkan kemampuan tahan dan berkembang biak, tahan terhadap alkohol tinggi stabil serta perlu akan mikroorganisme yang mampu beradaptasi pada media yang di fermentasi. Contoh mikroorganisme yang biasa digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae. Pada umumnya fermentasi alkohol menggunakan khamir Saccharomyces cerevisiae. Produksi alkohol dari substrat gula oleh khamir Saccharomyces cerevisiae merupakan proses fermentasi dengan kinetika sangat sederhana. Disebut sederhana karena hanya melibatkan satu fase pertumbuhan dan produksi, pada fase tersebut glukosa diubah secara simultan menjadi biomassa, alkohol dan CO2. Selanjutnya ragi akan menghasilkan alkohol sampai kandungan alkohol dalam tangki mencapai 8-12% (biasa disebut cairan beer), dan kemudian ragi tersebutakan menjadi tidak aktif, karena kelebihan alkohol akan berakibat racun bagi ragi. Tahap ini menghasilkan gas CO2 sebagai produk samping dan sludge sebagai limbahnya (Doran, 1970). Saccharomyces cerevisiae merupakan cendawan berupa khamir (yeast) sejatitergolong eukariot mempunyai potensi kemampuan yang tinggi sebagaiimunostimulan, dan bagian yang bermanfaat tersebut adalah dinding selnya. Saccharomyces cerevisiae secara morfologi hanya membentuk blastospora berbentuk bulat lonjong, silindris, oval atau bulat telur yang dipengaruhi oleh strainnya. Berkembang biak dengan membelah diri melalui “budding cell”. Reproduksinyadapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan serta jumlah nutrien yang tersedia bagi pertumbuhan sel. Saccharomyces cerevisiae yang mempunyai kemampuan fermentasi telahlama dimanfaatkan untuk pembuatan berbagai produk makanan dan sudah banyak digunakan sebagai probiotik (Agawane & Lonkar, 2004). Yiannikouris et al ., (2006) juga melaporkan bahwa β-D-glucans pada dinding sel Saccharomyces cerevisiae dapat mengikat aflatoksin yang diproduksi oleh A. flavus FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES FERMENTASI Menurut Fardiaz (1988), faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi untuk menghasilkan etanol adalah: sumber karbon, gas karbondioksida, pH substrat, nutrien, temperatur, dan oksigen. Untuk pertumbuhannya, yeast memerlukan enersi yang berasal dari karbon. Gula adalah substrat yang lebih disukai. Oleh karenanya konsentrasi gula sangat mempengaruhi kuantitas alkohol yang dihasilkan. Kandungan gas karbondioksida sebesar 15 gram per liter (kira-kira 7,2 atm) akan menyebabkan terhentinya pertumbuhan yeast, tetapi

tidak menghentikan fermentasi alkohol. Pada tekanan lebih besar dari 30 atm, fermentasi alkohol baru terhenti sama sekali. 1. pH pH dari media sangat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Setiap mikroorganisme mempunyai pH minimal, maksimal, dan optimal untuk pertumbuhannya. Untuk yeast, pH optimal untuk pertumbuhannya ialah berkisar antara 4,0 sampai 4,5. Pada pH 3,0 atau lebih rendah lagi fermentasi alkohol akan berjalan dengan lambat (Volk, 1993). 2. Nutrien Dalam pertumbuhannya mikroba memerlukan nutrient. Nutrien yang dibutuhkan digolongkan menjadi dua yaitu nutrien makro dan nutrien mikro. Nutrien makro meliputi unsur C, N, P, K. Unsur C didapat dari substrat yang mengandung karbohidrat, unsur N didapat dari penambahan urea, sedang unsur P dan K dari pupuk NPK (Halimatuddahliana, 2003). Unsur mikro meliputi vitamin dan mineral-mineral lain yang disebut trace element seperti Ca, Mg, Na, S, Cl, Fe, Mn, Cu, Co, Bo, Zn, Mo, dan Al (Jutono, 1972). 3. Temperatur Mikroorganisme mempunyai temperatur maksimal, optimal, dan minimal untuk pertumbuhannya. Temperatur optimal untuk yeast berkisar antara 25 - 300C dan temperatur maksimal antara 350C – 470C. Beberapa jenis yeast dapat hidup pada suhu 00C. Temperatur selama fermentasi perlu mendapatkan perhatian, karena di samping temperatur mempunyai efek yang langsung terhadap pertumbuhan yeast juga mempengaruhi komposisi produk akhir. Pada temperatur yang terlalu tinggi akan menonaktifkan yeast. Pada temperatur yang terlalu rendah yeast akan menjadi tidak aktif. Selama proses fermentasi akan terjadi pembebasan panas sehingga akan lebih baik apabila pada tangki fermentasi dilengkapi dengan unit pendingin (Fardias, 1988). 4. Oksigen Berdasarkan kemampuannya untuk mempergunakan oksigen bebas, mikroorganisme dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: aerob apabila untuk pertumbuhannya

mikroorganisme

memerlukan

oksigen,

anaerob

apabila

mikroorganisme akan tumbuh dengan baik pada keadaan tanpa oksigen, dan fakultatif apabila dapat tumbuh dengan baik pada keadaan ada oksigen bebas

maupun tidak ada oksigen bebas. Sebagian besar yeast merupakan mikroorganisme aerob. Yeast dari kultur yang memakai aerob akan menghasilkan alkohol dalam jumlah yang lebih besar apabila dibandingkan dengan yeast kultur yang tanpa aerasi. Akan tetapi efek ini tergantung yeast yang dipergunakan (Fardias, 1988). Aerasi dan agitasi bertujuan untuk mensuplai oksigen dan mencampur cairan feemnetasi sehingga membentuk suspense yang seragam. Bejana inoculum yang berisi media cair harus diaduk agar homogen untuk fermentasi aerobik. Pengadukan sangat penting sebab oksigen adalah nutrient yang kelarutannya rendah. Pemenuhan kebutuhan oksigen untuk pertumbuhannya diberikan melalui pengadukan (agitasi) terhadap medium shaker. Semakin tinggi kecepatan pengadukan maka semakin besar kadar oksigen yang terlarut dan nutrisi yang terkandung semakin homogen (Murdiyatmo, 2006). Oksigen dalam fermentasi aerob dapat dipandang sebagai zat nutrisi yang penting seperti halnya zat-zat nutrisi yang lain. Zat-zat nutrisi lain seperti glukosa dapat dengan mudah dilarutkan sampai kadar yang cukup besar (misal : 10.000 mg/l); tetapi oksigen mempunyai kelarutan yang sangat kecil (kurang dari 10 mg/l) sehingga populasi oksigen yang kontinyu (aerasi) sangat diperlukan untuk mencukupi kebutuhan oksigen bagi mikrobia (Waluyo, 2005). Molase adalah hasil samping yang berasal dari gula tebu (Saccharum officanarum L). Tetes tebu berupa cairan kental dan diperoleh dari tahap pemisahan Kristal gula, molase tidak dapat lagi dibentuk menjadi sukrosa namun masih mengandung gula dengan kadar tinggi 5060%, asam amino dan mineral. Molase masih mengandung kadar gula yang cukup untuk dapat menghasilkan alkohol dengan proses fermentasi, biasanya pH molase berkisar antara 5,5 - 6,5. Molase yang masih mengandung kadar gula sekitar 10-18% telah memberikan hasil yang memuaskan dalam pembuatan alkohol. Bahan baku untuk proses fermentasi bioethanol berupa sumber gula seperti bahan mentah dalam bentuk mono/disakarida (gula tebu, tetes tebu), bahan berpati (padi, jagung, umbi) dan bahan selulosa (kayu, limbah pertanian). Ragi yang dapat digunakandalam proses fermentasi alkohol dengan mengkonversi sumber gula tersebut adalah Saccharomyces cerevisiae, dimana ragi ini memiliki toleransi yang tinggi akan alkohol dan mampu memproduksi alkohol yang tinggi pula (Satyanarayana, 2009). Pada proses fermentasi alkohol oleh Saccharomyces cerevisiae terjadi proses konversi gula menjadi alkohol dan CO2. Fermentasi alkohol adalah perubahan 1 mol glukosa menakdi 2 mol alkohol dan 2 mol CO2. Khamir akan memetabolisme glukosa dan fruktosa memberntuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur Embden-Meyerhof-Parnas. Asam piruvat yang dihasilkan akan didekarboksilasi menjadi asetaldehida yang kemudian mengalami dehydrogenase menjadi

alkohol (Amerine et al., 1987). Reaksi pembentukan alkohol dari glukosa berlangsung sesuai persamaan reaksi berikut ini : C6H12O6  2C2H5OH + 2 CO2 (Glukosa  alkohol + karbondioksida) Menurut Kurniawan et al. (2011), proses aerasi tidak terlepas dari proses pengadukan (agitasi). Hembusan udara dari suatu kompresor ke dalam suatu larutan medium selain memberikan aerasi juga pengadukan. Pengadukan ini kadang-kadang ditambah dengan pengadukan mekanik untuk meningkatkan kecepatan pemindahan oksigen dari fase gas ke sel mikrobia. Dengan demikian aerasi dan agitasi tersebut selain untuk memenuhi kebutuhan oksigen juga untuk menjaga mikrobia tetap tersuspensi dan larutan medium tetap homogen. Aerasi dan agitasi dalam skala laboratorium biasanya dilaksanakan dengan menggoyang-goyangkan labu berisi larutan (shaken flask culture). Dalam skala lebih besar, aerasi diberikan dengan cara menghembuskan udara bertekanan ke dalam cairan medium dan kadang-kadang dilaksanakan pengadukan mekanik. Dalam uraian ini akan diberikan beberapa hal yang berkaitan dengan:  Kebutuhan oksigen dalam proses fermentasi (aerob)  Kuantifikasi transfer oksigen Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan transfer oksigen ke dalam larutan medium atau hubungan-hubungan antara koefisien transfer oksigen dan variabel-variabel operasional pada fermentor. Tingkat agitasi mempunyai pengaruh yang nyata terhadap efisiensi transfer oksigen di dalam fermentasi dengan pengadukan mekanik. Agitasi sangat membantu proses transfer oksigen di dalam fermentor, agitasi menyebabkan ukuran gelembung udara menjadi lebih kecil sehingga luas permukaan untuk terjadinya transfer oksigen menjadi lebih besar (Pelczar, 1983). Agitasi menyebabkan waktu tinggal gelembung udara di medium menjadi lebih lama. Agitasi mencegah bergabungnya kembali gelembunggelembung udara yang sudah ada. Agitasi memperkecil tebal lapisan film pada permukaan antar fase gas dan cairan karena sifat alir fluida yang menjadi tubulen. Tingkat agitasi dapat diukur berdasarkan tenaga yang dikonsumsi oleh motor yang menggerakkannya. Beberapa upaya telah dilakukan untuk mencari hubungan-hubungan antara konsumsi tenaga yang diperlukan dengan KLa, sehingga dengan hubungan-hubungan yang diperoleh tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan tenaga yang dibutuhkan dalam desain dan scale-up (Purnomo, 2007).

BAB III METODOLOGI A. ALAT 1. Alkoholmeter 2. Refraktometer 3. Tabung Erlenmeyer 4. Gelas ukur 5. Shaker 6. Kapas 7. Label 8. Autoclave 9. Destilator skala lab 10. Pipet ukur 11. Propipet 12. Pipet tetes 13. Aluminium foil 14. Karet 15. Neraca analitik 16. Kertas Perkamen

B. BAHAN 1. Kultur Saccharomyces cerevisiae 2. Molase 3. CO(NH2)2 4. (NH4)2HPO2 5. H2SO4 6. Aquadest

C. CARA KERJA 1. Pembuatan media fermentasi

Diambil larutan molase 23% (230 ml molase dan dimasukkan pada erlenmeyer 2L)

Ditambahkan dengan CO(NH2)2 sebanyak 0,75 gram

Ditambahkan dengan (NH4)2 HPO2 sebanyak 0,5 gram

Ditambahkan larutan H2SO4 sebanyak 0,5 ml

Ditambahkan dengan akuades hingga volume media sebanyak 1000 ml (1L) (dengan menambah 770 ml aquadest)

2. Proses Fermentasi Molase

Dihomogenkan 1L media fermentasi yang telah dibuat,

Disterilisasi dengan menggunakan autoklaf (1000C; 15 menit)

Diambil sebanyak 100 ml untuk digunakan sebagai starter dan sisanya sebagai medium pertumbuhan

Dipanaskan dengan suhu 1000C selama 15 menit

didinginkan dengan diangin-anginkan terlebih dahulu kemudian di basahi dengan air mengalir pada bagian bawah erlenmeyer

Diinokulasikan dengan Saccharomyces cerevisiae sebanyak 2 ose secara aseptis

Dihomogenkan dengan menggunakan shaker selama 24 jam

Diinokulasikan ke medium pertumbuhan dengan cara dituangkan kemudian dihomogenkan dengan menggunakan shaker selama 24 jam.

Dilakukan pemisahan antara media dengan alkohol dengan menggunakan destilasi.

3. Proses pengukuran kadar alkohol

Diambil 250 ml larutan dari 1000ml larutan yang ada

Dilakukan pemisahan dengan menggunakan destilasi hingga mendapatkan destilat (alkohol) sebanyak 50 ml

Diukur kadar alkohol dengan menggunakan alkoholmeter, refractometer dan clinical refractometer

Dicatat serta ditung kadar alkohol yang dihasilkan oleh masingmasing kelompok

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL Berikut merupakan tabulasi perolehan data kelas : Hasil Perlakuan

Kelompok

Metode Uji

perolehan (di alat) : 5

Refractometer

3,7

Alkoholmeter

3,6

Refractometer

2,2

Alkoholmeter

2,3

Refractometer

6,5

Aerasi dan

Alkoholmeter

7

Agitasi

Refractometer

5

Alkoholmeter

4,8

Refractometer

5,9

Alkoholmeter

6

Refractometer

5,3

Alkoholmeter

5

1 Aerasi 2

3

4

5 Agitasi 6

Sehingga, didapatkan data untuk membuat grafik: Perlakuan Aerasi

Aerasi dan Agitasi

Agitasi

Kelompok 1 2 3 4 5 6

Hasil 3,20

5,83

5,55

Rata -

Hasil

rata

Akhir

3,65 3,20 2,75

6,75 5,83 4,9

5,95 5,55 5,15

K A D A R A L K O H O L B E R D A S A R K A N VA R I A S I PERLAKUAN 7 5,83

Kadar alkohol (%)

6

5,55

5 4 3,2 3 2 1 0

Aerasi Aerasi dan Agitasi Agitasi

Kadar Alkohol 3,2 5,83 5,55

B. PEMBAHASAN Pada praktikum ini dilakukan pengujian pengaruh aeras dan agitasi pada proses produksi alkohol dengan menggunakan substrat tetes tebu atau molase untuk dapat diubah menjadi alkohol. Substrat yang digunakan yaitu molase itu sendiri merupakan hasil akhir yang diperoleh pada pembuatan gula tebu (Saccharum offinicarum) dengan kristalisasi berulang, dimana sukrosa yang sudah ada tidak dapat dikristalkan kembali yang berupa cairan kental namun memiliki kandungan akan kadar gula yang tinggi yaitu sebesar 50-60% (sukrosa 30-40%, glukosa 4-9% dan fruktosa 512%) (Chen, 1993). Adanya penggunaan molase sebagai substrat atau bahan baku ini dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi produksi alcohol dimana ini juga merupakan salah satu upaya pemanfaatan limbah, dikarenakan didalam molasses ini

sendiri masih memiliki kadar kandungan gula yang cukup tinggi dimana agar dapat menghasilkan alcohol hanya membutuhkan sedikit perlakuan. Jenis molase yang digunakan pada praktikum ini ialah black strap molase, dimana perlu diketahui kandungan gula yang terkandung didalamnya cukup tinggi. Dalam melakukan pengubahan substrat molase menjadi alkohol, digunakan ragi atau khamir Saccharomyces cerevisiae dimana menurut Volk dan Wheeler (1993), Saccharomyces cerevisiae memiliki kemampuan menghasilkan alcohol dalam jumlah yang tinggi, mampu tumbuh cepat pada susbtrat organic serta memiliki toleransi terhadap perubahan kondisi sekeliling yang besar. Saccharomyces cerevisiae merupakan organisme fakultatif anaerob yang dapat menggunakan system aerob maupun anaerob untuk memperolrh energi dari pemecahan glukosa. Beberapa factor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae dan produksi alcohol yang dihasilkan adalah suhu, pH, oksigen dan kadar alcohol. Untuk melakukan fermentasi dilakukan berdasarkan jenis substrat yang digunakan, dimana apabila menggunakan golongan monosakarida memerlukan sedikit atau tanpa persiapan dalam fermentasi. Sedangkan substrat polisakarida (pati dan selulosa) harus dihidrolisis terlebih dahulu menjadi gula sederhana sebelum digunakan oleh khamir dalam fementasi alcohol yaitu dengan hidrolisis menggunakan enzim atau dengan pemanasan dengan asam. Pengubahan substrat glukosa menjadi alcohol juga menghasilkan produk biomassa, dimana konsentrasi akan biomassa ini juga akan mempengaruhi akan jumlah produk yang dihasilkan. Apabila jumleh sel khamir semakin banyak maka akan menghasilkan enzim dengan konsentrasi yang tinggi dimana akan menyebabkan semakin banyak substrat yang mampu diubah menjadi alcohol. Konsentrasi biomassa yang terlalu tinggi juga akan menyebabkan kadar alcohol yang dihasilkan menjadi berkurang apabila jumlah substrat yang akan dikonversikan menjadi alcohol ini tidak mencukupi karena secara tidak langsung khamir akan menggunakan alkohol untuk aktivitas metabolismenya demi mencukupi kebutuhan sel nya terhadap unsur karbon C (Judoamidjojo et al., 1992). Semakin tinggi konsentrasi substrat maka konsentrasi alkohol yang dihasilkan juga akan semakin tinggi namun kondisi tersebut hanya bertahan sementara karena pada konsentrasi substrat yang terlalu tinggi juga akan menghambat proses fermentasi. Menurut Xin et al. (2003), lamanya proses fermentasi yang dilakuka akan meningkatkan jumlah alkohol yang dihasilkan. Namun dengan proses fermentasi yang dilakukan dalam jangka waktu yang lama juga dapat

menyebabkan penurunan akan kadar alkohol karena substrat yang ada telah habis digunakan oleh sel bertahan hidup. Untuk mengetahui kemampuan lebih lanjut dari penggunaan molase sebagai substrat dan Saccharomyces cerevisiae sebagai agen fermentor untuk dapat menghasilkan alkohol, dilakukan 3 jenis perlakuan yaitu dengan aerasi, agitasi serta kombinasi dari kedua perlakuan yang ada. Pertama-tama dilakukan pembuatan media fermentasi yaitu dengan melakukan pengambilan larutan molasses dengan kadar sebesar 23% yang kemudian dilakukan penambahan CO(NH2)2 atau yang dikenal sebagai urea dan unsur (NH4)2HPO2. Adanya penambahan kedua unsur ini bertujuan untuk menambah nutrisi atau sumber nitrogen pada media yang sedang dibuat sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan serta aktivitas dari yeast. Setelah itu, dilakukan penambahan larutan H2SO4 atau asam sulfat sebanyak 0,5 ml yang bertujuan agar dpaat mengendapkan garam – garam mineral yang terdapat pada molasess. Selain untuk mengendapkan, asam sulfat ini mampu membantu pemecahan disakarida (sukrosa) yang terdapat didalam molasses agar dapat diubah menjadi monosakarida (senyawa dglukosa dan d-fruktosa). Setelah dilakukan penambahan asam sulfat, dilakukan penambahan akudes hingga volume total media yang dibuat menjadi 1000 ml (1 Liter). Adanya penambahan akuades ini menandakan terjadi proses pengeceran sebesar 10X (sepuluh kali) sehingga media yang dihasilkan ini tidak memiliki kandungan akan sakarosa yang terlalu tinggi karena apabila kadar dari sakarosa yang dimiliki terlalu tinggi maka akan menghambar pertumbuhan dari agen fermentor sehingga tidak mampu menghasilkan alkohol secara maksimal atau secara optimal. Fermentasi adalah proses yang memanfaatkan kemampuan mikroba untuk menghasilkan metabolit primer dan metabolit sekunder dalam suatu lingkungan yang dikendalikan. Proses pertumbuhan mikroba merupakan tahap awal proses fermentasi yang dikendalikan terutama dalam pengembangan inokulum agar dapat diperoleh sel yang hidup. Pengendalian dilakukan dengan pengaturan kondisi medium, komposisi medium, suplai O2, aerasi dan agitasi. Bahkan jumlah mikroba dalam fermentor juga harus dikendalikan sehingga tidak terjadi kompetisi dalam penggunaan nutrisi. Nutrisi dan produk fermentasi juga perlu dikendalikan, sebab jika berlebih nutrisi dan produk metabolit hasil fermentasi tersebut dapat menyebabkan inhibisi dan represi (Soffer, 1991). Pengendalian diperlukan karena pertumbuhan biomassa dalam suatu medium fermentasi dipengaruhi banyak faktor baik ekstra-selular maupun faktor intra-selular.

Kinetika pertumbuhan secara dinamik dapat digunakan untuk meramalkan produksi biomassa dalam suatu proses. Pemanfaatan molase sebagai bahan baku untuk pembuatan alkohol dikarenakan molase mengandung sejumlah besar gula baik sukrosa maupun gula reduksi dimana dengan total kandungannya sebesar 46 – 48% dengan pH sekitar 5,5 hingga 5,6. Gula reduksi merupakan faktor penting bagi sel Saccharomyces cerevisiae sebagai sumber energi untuk melakukan metabolisme yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadp konsnetrasi alkohol yang dihasilkan. Dari molase pekat sendiri kandungan gula yang terdapat didalamnya berjumlah 70 hingga 80% gula invert (Safarik et al., 2009). Untuk memulai proses fermentasi molase, perlu dilakukan pemisahan akan media, dimana pemisahan media ini untuk membagi media untuk dapat dihasilkan starter dan media yang memang dikhususkan untuk menumbuhkan Saccharomyces cerevisiae yang selanjutnya dari masing-masing media akan dilakukan pemisahan yang didasarkan pada perlakuan yang diperoleh antara aerasi, agitasi maupun gabungan akan keduanya. Perlakuan ini diterapkan sesuai dengan jangka waktu sesuai yang telah disepakati (24 jam) dimana apabila medium ini telah dikatakan berhasil untuk dapat digunakan hingga selesai. Apabila masa atau jangka waktu yang diterapkan telah berakhir maka dapat dilakukan pengambilan sampel dari larutan sehingga dapat digunakan untuk mengukur kadar alkohol. Untuk mengukur kadar alkohol, hanya perlu dilakukan pengambilan sampel sebesar 250 ml dari 1000 ml sampel yang dimiliki. Kemudian dilakukan pemisahan dengan menggunakan prinsip destilasi dimana proses ini dilakukan agar dapat bisa diperoleh alkohol dengan kadar yang murni dan dengan kualitas yang tinggi pula yang selanjutnya hasil pemisahan dengan menggunakan destilasi ini diukur dengan menggunakan refractometer atau alkoholmeter. Berdasarkan pada hasil yang telah diperoleh yang merupakan hasil kadar alkohol yang dihasilkan melalui variasi jenis perlakuan (aerasi, agitasi, kombinasi kedua perlakuan yang ada (aerasi dan agitasi)), diperoleh alkohol dengan kadar tertinggi yaitu sebesar 5,83 yang dihasilkan melalui proses kombinasi akan kedua perlakuan yaitu aerasi dan agitasi, kemudian tertinggi kedua yaitu 5,55 dengan perlakuan agitasi dan terendah yaitu sebesar 3,20 dengan perlakuan yang diberikan adalah aerasi. Adanya perbedaan perlakuan yang diterapkan dapat menghasilkan hasil alkohol yang diperoleh juga berbeda. Sehingga dengan adanya hal tersebut, dapat diketahui bahwa alkohol yang diperoleh dengan menggunakan perlakuan aerasi dan

agitasi merupakan alkohol tertinggi karena pada perlakuan yang menghasilkan alkohol dengan kadar yang rendah yaitu aerasi bertujuan hanya meningkatkan kontak akan udara dengan air sehingga dengan adanya kontak ini dapat menyebabkan konsentrasi oksigen yang ada menjadi meningkat sehingga sumber karbon dapat dipecah dan menghasilkan energi dimana energi yang dihasilkan tersebut akan digunakan untuk metabolisme dan pertumbuhan sel bukan untuk pembentukan alkohol. Menurut Walker (1998), dengan adanya keberadaan oksigen akan mengakibatkan terhambatnya jalur fermentasi yang terjadi di dalam sel dari agen fermentor, sehingga sumber karbon yang telah ada akan jauh lebih digunakan untuk respirasi. Perlakuan aerasi yang diberikan ini dapat bekerja secara maksimal apabila dikerjakan pada fermentasi aerob sehingga dampak yang ditimbulkan akan jauh lebih terlihat. Dengan adanya perlakuan aerasi ini sel ragi tidak akan kekurangan akan pemberian suplai oksigen. Laju oksigen yang disuplai kedalam fermentor diharuskan untuk selalu dalam kondisi stabil, dikarenakan dengan adanya ketidakstabilan laju alir akan oksigen akan berdampak menurunkan kinerja dari fermentor. Laju alir oksigen menjadi tidak stabil akan berdampak pada laju transfer oksigen menjadi tidak tetap dan oksigen terlarut menjadi tidak stabil sehingga metabolisme sel ragi menjadi terganggu. Menurut Prior dkk (1990), aerasi berfungsi untuk mempertahankan kondisi aerobic untuk desorbsi CO2, mengatur temperatur substrat dan kadar air. Aerasi yang diberikan juga membantu menghilangkan sebagian panas yang dihasilkan, sehingga suhu dapat dipertahankan pada suhu optimal untuk produksi enzim (Jones et al., 1994). Dalam proses aerasi ini juga berpengaruh akan jenis mikroorganisme yang digunakan. Tingkat optimal O2 yang dibutuhkan untuk sintesis produk, jumlah panas metabolic yang harus dihilangkan dari bahan, ketebalan lapisan substrat tingkat CO2, dan metabolit – metabolit lainnya yang mudah untuk menguap harus dihilangkan dan tingkat udara yang tersedia di dalam substrat. Menurut Lesage and Bussey (2006), proses metabolisme akan berjalan dengan sempurna apabila dilakukan dalam kondisi aerob karena ATP yang terbentuk akan jauh lebih besar dibandingkan pada metabolisme anaerob. Pada kondisi aerob, energi dari sumber tersebut akan digunakan untuk membangun konstituen sel. Sebaliknya jika kondisi anaerob yang terjadi, maka sel akan merespon dengan cara mengeluarkan metabolit sekunder sebagai mekanisme pertahanan kehidupan sel terhadap kondisi yang tidak sesuai dengan pertumbuhannya, dalam hal ini Saccharomyces cerevisiae akan mengeluarkan metabolit berupa alkohol atau etanol dalam kondisi anaerob dengan

kadar tertentu. Agar mendapatkan alkohol dengan kadar yang tinggi, namun dalam kondisi aerob dapat dilakukan dengan memberikan pengadukan pada kultur fermentasi. Proses pembentukan alkohol dengan menggunakan perlakuan agitasi dapat menghasilkan nilai yang dapat digolongkan dalam kategori tinggi. Perlakuan agitasi ini dilakukan dengan meletakkan medium pada shaker selama ± 24 jam dan dengan keadaan anaerob. Dengan adanya pengadukan di dalam media fermentasi, memiliki fungsi agar 3 fase dalam fermentor dapat menyatu. Fase gas didominasi oleh oksigen dan karbondioksida, dan fase padat terdiri dari substrat-substrat padatan. Pengadukan ini dilakukan untuk menghasilkan campuran yang homogen dan juga menaikkan nutrisi, gas, transfer panas yang dibutuhkan baik untuk sterilisasi maupun untuk menjaga suhu agar tetap konstan selama proses fermentasi berlangsung, karena peranan agitasi diantaranya adalah menaikan kecepatan kelarutan oksigen, mempercepat transfer nutrien dan oksigen ke dalam sel, sehingga agitasi perlu dilakukan untuk mengoptimalkan potensi pembentukan produk tujuan. Adanya pengadukan ini sangat bermanfaat untuk transfer oksigen dalam kondisi aerob, karena mikroorganisme hanya mampu mengambil oksigen yang ada di dalam cairan, dan dengan adanya agitasi ini kemampuan pengubahan oksigen gas menjadi okseigen terlarut menjadi meningkat serta mikroba dapat tersuspensi dan larutan medium tetap homogen. Selain itu adanya proses pengadukan ini bertujuan agar suhu serta pH yang ada pada medium dapat tetap terjaga (stabil) sehingga sel mikrobia yang bekerja agen fermentor dapat bekerja dengan lebih sempurna pada kondisi lingkungannya. Menurut Yusma (1999), kondisi lingkungan merupakan kondisi yang menjadi salah satu faktor penting dimana apabila suhu, pH yang dihasilkan tidak berada pada kondisi yang baik maka akan mempengaruhi kelangsungan hidup dari mikroba itu sendiri dan dengan adanya hal tersebut akan memperbesar kemungkinan untuk dapat memicu reaksi pembusukan pada media fermentasi yang justru akan membunuh dari mikroba itu sendiri. Suhu normal = 250C – 350 C; pH normal = 4 – 5. Sehingga dengan adanya pengadukan atau perlakuan agitasi ini selain menjaga kondisi lingkungan juga dapat bermanfaat dalam proses fermentasi dimana akan membantu pembagian nutrisi agar pembagiannya dapat lebih merata ke seluruh medium sehingga mikrobia yang terdapat didalamnya dapat berkembang dengan baik. Pada hasil dengan perlakuan kombinasi akan kedua perlakuan yang ada yaitu aerasi dan agitasi, diperoleh alkohol dengan kadar yang tinggi dimana dengan adanya kombinasi kedua perlakuan ini, kinerja atau kemampuan untuk memperbanyak diri

akan agen fermentor yang digunakan akan dengan maksimal dan transfer oksigen pun juga akan maksimal. Aerasi dan agitasi ini dilakukan dengan memberikan aerator dan agitator. Fungsi aerator sendiri adalah untuk menyuplain udara kedalam media fermentasi dan sekaligus menguapkan atau mendorong sisa-sisa pembakaran keluar fermentasi sedangkan agitator berfungsi untuk meratakan aliran udara sehingga semua bagian dalam fermentor mendapatkan suplai udara yang cukup serta bertujuan untuk membuat larutan, kandungan serta nutrisi pada media fermentasi dapat menjadi satu dan terdistribusikan secara lebih merata serta proses fermentasi menjadi lebih optimal. Tingginya nilai kadar alkohol yang dihasilkan menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan akan aerator dan agitator ini mampu memberikan hasil yang nilainya tertinggi karena kandungan bahan yang terlarut serta nutrisi yang ada didalamnya dapat tercampur secara maksimal serta lebih merata sehingga proses fermentasinya dapat berjalan dengan lebih maksimal. Sehingga dengan adanya hal tersebut diketahui bahwa untuk menghasilkan alkohol dalam kadar yang tinggi, proses aerasi tidak boleh terlepas dari proses pengadukan (agitasi). Dalam skala lebih besar, aerasi diberikan dengan cara menghembuskan udara bertekanan ke dalam cairan medium dan kadang-kadang dilaksanakan pengadukan mekanik. Hembusan udara dari suatu kompresor ke dalam suatu larutan medium selain memberikan aerasi juga pengadukan. Pengadukan ini ditambah dengan pengadukan mekanik pada waktu tertentu untuk meningkatkan kecepatan pemindahan oksigen dari fase gas ke sel mikrobia. Dengan demikian aerasi dan agitasi tersebut selain untuk memenuhi kebutuhan oksigen juga untuk menjaga mikrobia tetap tersuspensi dan larutan medium tetap homogen. Aerasi dan agitasi dalam skala laboratorium biasanya dilaksanakan dengan menggoyang-goyangkan labu berisi larutan (shaken flask culture). Selain didasarkan pada perlakuan yang diberikan yaitu aerasi, agitasi dan keduanya dalam menghasilkan alkohol dengan kadar yang tinggi, terdapat beberapa hal yang selayaknya menjadi pertimbangan, antara lain kualitas molase. Hal ini menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan dikarenakan apabila digunakan molase dengan kualitas pengolahan yang buruk maka juga akan mengganggu proses alkohol tersebut dihasilkan, karena molase dengan kualitas yang buruk atau rendah dapat mempengaruhi faktor-faktor kehidupan yeast yaitu dengan dampak yang ditimbulkan adalah kurang maksimalnya jumlah kadar alkohol yang diproduksi dan dihasilkan. Menurut Sa’id (1987), untuk pengolahan molase menjadi alkohol diperlukan perlakuan pendahuluan

yang disesuaikan pH, konsentrasi gula dan pemkaian nutrient. Hal tersebut dikarenakan molase sendiri bersifat kental dan memiliki kadar gula serta pH yang masih tinggi sedangkan nutrient yang dibutuhkan oleh yeast dalam mengolah molase ini belum tentu mencukupi. Molase yang dikendalikan atau disimpan pada penempatan yang tidak sesuai akan mengakibatkan kerusakan olehvadanya kegiatan bakteri, yeast dan kapang dimana hal ini juga dapat dicegah dengan cara melakukan sterilisasi. Apabila jumlah gula yang tidak dapat difermentasikan bernilai besar, maka menunjukkan bahwa kualitas molase yang digunakan sebagai substrat adalah molase dengan kualitas buruk. Menurut Winarno dan Fardiaz (1990), komponen terbesar dalam molase yang dibutuhkan dalam pembuatan alkohol adalah gula (sakarosa), glukosa dan fruktosa. Apabila konsentrasi atau kadar gula dalam molase yang ada terlalu tinggi, maka dapat menyebabkan menjadi terhambat akan aktivitasnya sehingga jangka waktu untuk proses fermentasi berlangsung dengan optimal menjadi lebih lambat serta gula tidak dapat terkonversi dengan optimal untuk menjadi alkohol. Menurut Prescott dan Dunn (2007), kualitas molase yang baik harus memiliki 0brix antara ± 85 – 95%. Menurut Purnomo (1997), pengawasan kualitas molase diharapkan dapat meningkatkan mutu produk alkohol yaitu dengan memperhatikan faktor akan brix, kadar abu, pH, analisa kuantitatif dan kualitatif. Untuk memaksimalkannya juga dalam menghasilkan alkohol juga diperlukan agen tambahan yaitu Saccharomyces cerevisiae dimana enzim yang terdapat didalam sel ini mampu merubah gula yang ada di dalam molase menjadi alkohol dan gas CO2. Selain ragi yang bertugas sebagai agen fermentor, perlu diperhatikan mikrobia penambah lainnya dikarenakan dapat berdampak pada mutu alkohol yang dihasilkan. Sehingga dengan hal tersebut dapat dalam membangun atau merancang proses fermentasi agar dapat menghasilkan kadar alkohol yang tinggi dibutuhkan kinerja akan sel serta penggunaan substrat serta factor-faktor pendukung agar produk yang dihasilkan menjadi lebih maksimal.

BAB V KESIMPULAN Berdasarkan pengujian variasi perlakuan yang telah dilakukan, diketahui bahwa adanya perlakuan yang diberikan yaitu aerasi, agitasi dan kombinasi dari kedua perlakuan tersebut memberikan hasil bahwa dalam menghasilkan alkohol yang dilakukan dengan menggunakan metode aerasi dan agitasi akan menjadi lebih tinggi akan kadar etanol yang dihasilkan. Alkohol yang dihasilkan dengan menggunakan perlakuan aerasi memiliki kadar yang rendah apabila dibandingkan antara agitasi dan kombinasi akan variasi kedua perlakuan. Perlakuan aerasi sendiri bertujuan untuk mengatur temperatur substrat dan kadar air, membantu menghilangkan sebagian panas yang dihasilkan, sehingga suhu dapat dipertahankan pada suhu optimal untuk produksi sedangkan perlakuan agitasi atau pengadukan ini bertujuan agar suhu serta pH yang ada pada medium dapat tetap terjaga (stabil) sehingga agen fermentor dapat bekerja dengan lebih sempurna pada kondisi lingkungannya. Hal ini disebabkan dengan adanya perlakuan aerasi dan agitasi ini kandungan serta nutrisi yang didukung dengan cukupnya oksigen didalam media mampu terdistribusi secara merata sehingga dengan ditambah penggunaaan ragi yaitu Saccharomyces cerevisiae juga mampu menambah kemampuan untuk melakukan pengubahan substrat yaitu molase menjadi sebuah produk yaitu alkohol dimana dalam pengubahan substrat tersebut perlu didukung oleh beberapa faktor-faktor tertentu seperti kondisi lingkungan, jumlah penggunaan substrat dengan kualitas yang baik serta teknik yang akan diterapkan sehingga dengan adanya dukungan tersebut akan mampu meminimalisir kegagalan dalam pengubahan substrat menjadi produk serta mampu menghasilkan produk akhir dengan kualitas yang maksimal.

DAFTAR PUSTAKA Agawane, S.B, and P.S Lonkar, 2004. Effect of probiotic containning Saccharomyces boulardii on experimental ochratoxicosis in broilers: Hematobiochemical studies. J. Vet. Sci: 5: 359-367. Amerine, M.A, Berg and M.V. Croes., 1987. The Technology of Wine Making, The AVI Publishing Company, Westport, Connecticut. Chen, James C. P., and Chung Chi Chou, 1993, Cane Sugar Handbook: A Manual for Cane Sugar Manufacturers and Their Chemists, 12th edition, John Wiley and Sons Ltd, New York. Doran, G. Helliwell, S., & Eberbach, P, 1970. Sugarcane Research and Technology, J. AOAC, 847 - 853, Humana Press, New York. Fardias, Srikandi, 1988, Fisiologi Fermentasi, Lembaga Sumber Daya Informasi-IPB, Bogor Fardiaz, S, 1992. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Jones, A.M, Thomas, K.C., dan Ingledew, W.M. 1994. Ethanolic Fermentation fro, Sweet Shorgum Juice in Batch and Fed-Batch Fermentations by Saccharomyces cerevisiae. Agricultural Food Chemistry, 42:1242-1246. Judoamidjojo, M., Said E.G., dan Darwis, A.A. 1992. Teknologi Fermentasi. Jakarta: Rajawali Press. Jutono et al, 1972, Dasar-Dasar Mikrobiologi (Untuk Perguruan Tinggi), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Kurniawan, R., Juhanda, S., Syamsudin, R., Lukman, A. 2011. Pengaruh Jenis dan Kecepatan Pengaduk pada Fermentasi Etanol Secara Sinambung dalam Bioreaktor Tangko Berpengaduk Sel Tertambat. E-journal unggul 7 (3): 1693 – 1750. Lesage, G., Bussey H. (2006). Cell Wall Assembly in Saccharomyces cerevisiae. Microbiology and molecular biology reviews, 317-343. Murdiyatrmo, 2006. Pengembangan Industri Bioetanol: Prospek Kendala dan Tantangan, Jakarta: Kadin dan IPB. Pelczar, M.Z., Reid and Chan. 1983. Microbiology 4th Edition, Tata Mc. Graw Hill Book Company, Inc. New York. Prescott S.C and Dunn C.G, 1990, Industrial Microbiology, 3rd(third) edition, Mc Graw Hill Book Company Inc. New York. Prior, B.A., J.C. Du Preez dan P.W. Rein. 1990. Environmental Parameters. Elsevier, London. Purnomo, 1997. Industri Etanol (15-17) P3GI, Pasuruan.

Purnomo, 2007. Proses Fermentasi dan Pengawetan Pangan. Angkasa: Bandung. Safarik, I., Z. Sabatkova and M. Safarikova; 2009, “Invert Sugar Formation with Saccharomyces cerevisiae Cells Encapsulated in Magnetically Responsive Alginate Micro Particles”, Journal of Magnetism and Magnetic Materials 321, 1478–1481. Sa'id, E.G., 1987. Bioindustri, Penerapan Teknologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas Biologi IPB, Bogor. Satyanarayana, T. dan Kunze, G. 2008 Yeast Biotechnology: Diversity and Applications. Ovidius University Press, 20 (2):200. Soffer, S.S and O.R. Zaborsky, 1991. Biomass Conversion Process for Energy and Fuel. Plenum Press, New York. Stanburry, P.F and Whitaker, A. 1990. Principles of Fermentation Technology. Oxford: Perngamon Press. Suwasono, S., Fauzi, M., Lindriati, T. 2002. Teknologi Fermentasi. Jember: Fakultas Teknologi Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Jember. Volk, Wesley A., 1993, Mikrobiologi Dasar, edisi ke-5, Erlangga, Jakarta. Walker, H., 1988. Principle of Sugar Biotechnology, 56 – 58, Elivisier Publishing Company New York. Waluyo, Lud. 2005. Mikrobiologi Umum. Universitas Muhammadiyah Malang Prees. Malang. Winarno, F.G. dan Fardiaz, 1990. Biofermentasi dan Biosintesa Protein. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Yiannikouris, A., G. Andre, L. Poughon, J. Francuis, C.G. Dussap, G Jeminet, G. Bertin and J.P Jouany, 2006. Chemical and conformational study of interactions involved in Myoctoxin complexations with beta-d-glucans. Biomacromolecules 7: 1147-1155. Yusma, 1999. Pemanfaatan Limbah Molase Dalam Pembuatan Etanol Secara Fermentasi: Media Litbang Kesehatan Volume IX Nomor 3 Tahun 1999. Puslitbang Farmasi, Badan Litbangkes: Jakarta. Xin Yan, L., Tiansheng, Q., Naikun, S., Mingzhe, G., Yanling, G., and Hai, Z. 2003. Improvement of Ethanol Concentration and Yield by Initial Aeration and Agitation Cultur in Very High Gravity Fermentation. China Journal Applied Environment Biology 4 : 536 – 567.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF