LAPORAN KERJA PRAKTEK
August 12, 2017 | Author: kodog | Category: N/A
Short Description
Download LAPORAN KERJA PRAKTEK...
Description
LAPORAN KERJA PRAKTEK Pemeliharaan Induk dan Pemijahan Ikan Badut – Clownfish ( Amphiphrion percula Lacepede, 1802) di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol, Bali
Disusun oleh: ATIK RAHMAWATI 08/267331/BI/08128
FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2010
HALAMAN PENGESAHAN
Pemeliharaan Induk dan Pemijahan Ikan Badut - Clownfish (Amphiprion percula Lacepede, 1802) di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali
Disusun oleh : Atik Rahmawati (08/267331/BI/08128)
Telah diseminarkan Di depan forum Kuliah Seminar Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada pada tanggal 2 Desember 2010 dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Wakil Dekan Bidang Akademik
Mengesahkan, Dosen Pembimbing Kerja Praktek
Drs. Langkah Sembiring, M.Sc., Ph.D.
Drs. Trijoko, M. Si.
NIP.195905011985031003
NIP: 195704271986011001
PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan kerja praktek yang berjudul “Pemeliharaan Induk dan Pemijahan Ikan Badut - Clownfish (Amphiprion percula Lacepede, 1802) di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali” dengan baik. Selama penelitian dan penyusunan laporan ini, penulis banyak mendapat bantuan dan saran yang begitu berarti dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Drs. Trijoko, M. Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan perhatian dalam penelitian dan penyusunan naskah seminar ini. 2. Dra. Rr. Upiek Ngesti Wibawaning Astuti, DAP&E, M. Kes selaku dosen penyelenggara seminar. 3. Dra. M. M. Maryani, M. Sc, Ph.D. selaku dosen pengelola seminar. 4. Keluarga besar laboratorium Anatomi Hewan dan “mudskiper team”, yang telah memberi kesempatan dan dukungan serta bantuan dalam melakukan penelitian seminar ini. 5. Teman-teman Kelompok Studi Kelautan yang telah memberi bantuan dan dukungannya. 6. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian, penelusuran pustaka, dan penyusunan naskah seminar ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulisan dan penyusunan naskah seminar ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar nsakah seminar ini menjadi lebih baik lagi. Harapan penulis dengan selesainya naskah ini semoga naskah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Yogyakarta, Desember 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul……………………………………………………………………………….i Halaman Pengesahan………………………………………………………………………..ii Daftar Isi………………………………………………………………………………...….iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………………………………………………………………… 1 B. Permasalahan……………………………………………………..……............. .2 C. Tujuan……………………………………………………………..………….... .2 D.Deskripsi Lokasi..........................................................................................2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………….3 BAB III METODE......................................................................................................5 BAB IV DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................6 Lampiran Waktu Pelaksanaan Kerja Praktek
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan wilayah perairan yang luas, mencakup perairan tawar dan perairan laut. Menurut data Dinas Perikanan dan Kelautan (2008), tingkat keanekaragaman hayati di perairan Indonesia sangat tinggi. Sejumlah 3000 jenis ikan terdapat di dalamnya, baik di perairan tawar maupun laut. Ikan yang dimaksud merupakan segala jenis organisme yang menyelesaikan siklus hidupnya di air, mencakup ikan sesungguhnya, udang- udangan, algae, penyu dan jenis lainnya. Selain itu, wilayah Indonesia juga termasuk dalam segitiga terumbu karang dunia yang luasnya mencapai 50.000 km² dengan lebih dari 500 spesies karang. Ekosistem terumbu karang ini merupakan suatu potensi besar bagi Indonesia, misalnya sebagai wisata bahari yang menyajikan keindahan karang dan berbagai ikan. Beberapa jenis ikan laut dengan penampilan luarnya yang menarik juga dimanfaatkan sebagai ikan hias, salah satunya ikan badut (Amphiprion sp.). Jenis ikan badut yang terdapat di Indonesia antara lain, Amphiphrion ocellaris dan Amphiphrion percula. Ikan ini termasuk ikan karang karena hidup di antara anemon- anemon laut. Keunikan hewan ini yaitu kemampuannya untuk hidup di antara anemon- anemon laut yang beracun. Sedangkan ikan jenis lain tidak dapat hidup jika terkena racun yang ada pada anemon. Kemudian, ikan badut memiliki ukuran tubuh sedang dan warna tubuh yang mencolok, seperti kuning atau oranye. Penampilannya yang menarik membuat ikan ini diminati oleh kalangan masyarakat, sehingga dijadikan komoditas perdagangan baik di dalam maupun luar negeri. Namun sayangnya hingga saat ini pemanfaatan ikan badut masih dilakukan dengan cara pengambilan secara langsung dari habitat alaminya. Hal ini menyebabkan keberadaan ikan badut menjadi terancam sehingga keseimbangan ekosistem pun dapat terganggu. Mengetahui hal tersebut, maka Dinas Perikanan dan Kelautan Indonesia menerapkan aturan mengenai konservasi sumber daya ikan dan pemanfaatannya secara lestari. Salah satunya melalui upaya budidaya agar keberadaan alami ikan tidak terus
tereksploitasi dan keseimbangan ekosistem tempat hidupnya dapat terjaga. Pemanfaatan ikan badut sebagai ikan hias pun harus dilakukan secara bijak. Dengan mengetahui teknik- teknik budidaya ikan badut yang benar, maka upaya konservasi ikan ini dapat terus dilakukan secara berkesinambungan. Tambah info mengenai pemeliharaan
induk dan pemijahan B. Permasalahan Ikan badut (Amphiprion percula) merupakan salah satu jenis ikan hias yang dibudidayakan di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol, Bali. Permasalahan yang timbul adalah bagaimanakah teknik- teknik yang diterapkan dalam usaha budidaya ikan ini, mencakup aspek pemeliharaan induk dan pemijahan, pemeliharaan telur dan larva, pembesaran juvenil, serta manajemen pakan untuk budidaya.
C. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui teknik- teknik yang diterapkan dalam usaha budidaya ikan badut, mencakup aspek pemeliharaan induk dan pemijahan, pemeliharaan telur dan larva, pembesaran juvenil, serta manajemen pakan untuk budidaya yang diterapkan di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol, Bali.
D. Deskripsi Lokasi Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol didirikan pada tahun 1985 di bawah Kementerian Pertanian. Balai ini terletak di Dusun Gondol, Desa Penyabangan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Lembaga ini memiliki misi untuk menjadi lembaga riset terkemuka dalam penyediaan data, informasi, dan teknologi perikanan budidaya laut. Hal ini didukung dengan adanya fasilitas penunjang penelitian seperti hatchery, bak pemeliharaan larva, tambak, dan keramba jaring apung. Selain itu juga terdapat laboratorium yang mendukung terlaksananya penelitian di tempat ini, seperti laboratorium parasitologi, biologi, nutrisi, lingkungan, dan bioteknologi. Balai ini juga telah melakukan banyak penelitian dan kerjasama dengan berbagai pihak. Beberapa diantaranya yaitu riset mengenai pembenihan abalon, ikan tuna, kerang mutiara, serta
kerjasama dengan lembaga penelitian dari Jepang, Australia, dan Denmark. Salah satu riset unggulannya yaitu perbenihan ikan badut (Amphiprion percula) sebagai komoditas ikan hias yang bernilai cukup tinggi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Ikan badut atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai clown fish merupakan salah satu jenis ikan yang menjadi bagian dari ekosistem terumbu karang. Ikan ini terdiri dari beberapa macam spesies dengan ciri umum yaitu adanya tiga belang di bagian kepala, badan, dan pangkal ekor tubuhnya. Ikan ini memiliki beberapa variasi warna tubuh, yaitu merah, orange, kuning, putih dan hitam. Variasi warna ini dapat muncul pada satu spesies, bergantung pada habitat tempat hidupnya. Namun pola warna yang ada pada ikan badut juga dapat dijadikan sebagai karakter identifikasi selain bentuk tubuh, bentuk kepala, dan bentuk gigi. Panjang ukuran tubuh ikan badut dapat mencapai 10-18 cm. Pada umumnya, ukuran ikan betina lebih besar dibandingkan ikan jantan. Fertilisasi terjadi secara eksternal dan menghasilkan sekitar 300-700 butir telur. Telur diletakkan di permukaan datar sekitar anemon, dan dijaga oleh ikan badut jantan hingga menetas. Setelah menetas, larva ikan akan mengapung terbawa arus dan menjadi juvenil yang segera mencari anemon untuk dijadikan tempat hidupnya. Di awal pertumbuhannya, semua juvenil ikan badut berjenis kelamin jantan karena ikan ini bersifat hermaprodit protandri yaitu ikan jantan dapat berubah jenis kelamin menjadi ikan betina. Umumnya dalam satu koloni ikan badut terdapat beberapa ikan yang berukuran tubuh besar (dominan), bertubuh kecil, dan beberapa juvenil. Jika betina dalam koloni ini mati dan tidak terdapat betina lainnya, maka ikan jantan yang mendominasi akan berubah menjadi betina. Keadaan ini menyebabkan jumlah betina dalam populasi ikan badut lebih sedikit dibandingkan ikan jantan, sehingga ikan ini bersifat poliandri.
Kemampuan berubah kelamin ini disebut juga sequential
hermaphroditism atau pergantian kelamin secara berurutan (Sumich, 1999). Ikan badut juga memiliki keunikan lain karena hidup berasosiasi dengan anemon laut. Hal ini dikatakan unik karena biasanya anemon laut akan menyengat ikan jenis lain yang ada di dekatnya. Sedangkan ikan badut dapat melindungi diri dari sengatan anemon laut dengan memanfaatkan mukus yang didapat dari bagian tentakel anemon. Mukus digunakan oleh anemon untuk melindungi dirinya dari sengatan tentakel anemon lain.
Hal ini dimanfaatkan oleh ikan badut dengan cara menggosok- gosokkan tubuhnya secara cepat ke bagian ujung tentakel sehingga tubuhnya terlumuri oleh mukus antisengat tersebut. Simbiosis antara anemon dengan ikan badut bersifat spesifik karena umumnya setiap spesies ikan badut hanya akan menempati anemon dari jenis tertentu saja. Jika ikan badut berpindah menempati anemon yang bukan jenis inangnya, maka kemungkinan ikan ini tidak dapat bertahan hidup. Hal ini berhubungan juga dengan mukus antisengat yang juga bersifat spesifik untuk setiap jenis anemon (Sumich, 1999). Jenis anemon laut yang biasa dijadikan inang clown fish antara lain golongan Radianthus, Heteractis magnifica, Stichodactyla gigantean, dan Stichodactyla mertensii (Myers, 1999 dalam Ari, 2006). Saat ini diketahui terdapat 28 spesies ikan badut yang terdapat di daerah IndoPasifik Barat. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa spesies, di antaranya adalah Amphiprion ocellaris dan Amphiprion percula (Lacépede, 1802). Sekilas kedua spesies ini memikili morfologi yang sama yaitu dengan warna tubuh orange dan adanya tiga garis putih pada tubuh. Namun pada Amphiprion percula, ditemukan adanya garis hitam yang membingkai bagian sirip (Burgess, 1990 dalam Ari, 2006). Kenampakan morfologi yang menarik membuat spesies ini diminati untuk dijadikan ikan hias. Untuk itu dilakukan suatu usaha pemanfaatan yang bersifat lestari sebagai usaha perlindungan ikan ini, caranya yaitu melalui budidaya.
Seperti budidaya jenis ikan
lainnya, budidaya ikan badut dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu pembenihan, pemeliharaan larva, dan pembesaran induk. Untuk menghasilkan benih yang baik, dipilih induk yang sehat dan telah matang gonad. Kemudian pada tahap pemeliharaan larva dan pembesaran induk juga perlu adanya penambahan ornamen dalam akuarium, seperti pipa paralon dan anemon untuk menyesuaikan dengan kondisi di habitat aslinya. Selain itu juga dilakukan pemberian pakan dan pengelolaan kualitas air secara benar. Pakan yang diberikan dapat berupa fitoplankton, zooplankton, Artemia, atau cacing darah. Kemudian untuk pengelolaan kualitas air dilakukan dengan cara penyiponan. Kemudian di akuarium juga diberi dua pipa yang berguna untuk mengeluarkan air yang kotor serta memasukkan air laut yang masih bersih. Selain itu juga dilakukan monitoring terhadap beberapa parameter lingkungan seperti DO, suhu, salinitas, kadar ammoniak, dan pH (Ari, 2006).
BAB III METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Kerja praktek ini dilaksanakan di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Kabupaten Buleleng, Bali. Waktu pelaksanaannya yaitu selama tiga minggu, mulai tanggal 17 Januari 2011- 4 Februari 2011. B. Alat dan Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi induk Amphiprion percula, larva Amphiprion percula, pakan induk yaitu udang, Artemia, dan pellet, pakan larva yaitu Brachionus, Copepoda, nauplii Artemia, Diaphanosoma, serta fitoplankton. Sedangkan alat yang digunakan antara lain akuarium, sarana aerasi, pH meter, serta DO meter.
C. Cara Kerja Berikut ini pengamatan mengenai teknik budidaya ikan badut dalam pemeliharaan induk dan pemijahannya: Dalam pemeliharaan induk ini perlu diperhatikan mengenai pemberian pakan dan pengelolaan kualitas air. Induk ikan dapat diberikan pakan hidup berupa Artemia dewasa dan blood
worm. Selain itu dapat juga diberikan pakan beku berupa udang jambret serta pakan buatan, berupa pelet. Pakan hanya diberikan dua kali sehari yaitu pada pagi hari pukul 08.00 dan
sore hari pukul 14.00. Pemberian pakan dilakukan sedikit demi sedikit sampai ikan tidak merespon lagi terhadap makanan. Untuk menjaga kebersihan akuarium dari kotoran, dilakukan penyiponan setiap sebelum dan sesudah pemberian pakan. Proses ini dilakukan setiap pagi dan sore hari pengurangan air dilakukan hingga 70% volume akuarium. Induk yang berkualitas baik kemudian dipilih untuk dipijah dengan induk lainnya. Sebelumnya dilakukan penjodohan dengan menebar 6 ekor calon induk dengan rasio 1:1 dalam akuarium yang dilengkapi anemon atau substrat keras seperti genteng. Proses ini berlangsung selama 3-4 minggu. Setelah itu diperlukan waktu 3-6 bulan sampai pasangan ikan memijah tergantung dari umur, kematangan gonad, dan penanganan. Setelah terjadi fertilisasi
eksternal, telur yang telah dibuahi akan menempel di substrat keras. Telur ikan badut
biasanya dirawat oleh induknya selama 7-8 hari. Setelah itu, telur akan menetas dengan suhu media berkisar 26-28oC. Untuk menjaga kesehatan ikan yang dibudidaya dapat dilakukan melalui pencegahan dan pengobatan. Pencegahan penyakit dilakukan dengan pemberian Methylene blue (MB). Sedangkan untuk pengobatan, digunakan Akriflavin dengan dosis 5ppm. Individu yang akan diobati ditempatkan terpisah dengan individu lainnya agar tidak terjadi penularan penyakit.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PEMILIHAN INDUK Induk Amphiphrion percula yang baik untuk digunakan yaitu yang tidak cacat akibat penangkapan, tidak stress, serta ukuran tubuhnya seimbang dengan berat badan. Ukuran tubuh induk jantan biasanya lebih kecil dari induk betina, yaitu sekitar 3-6 cm. sedangkan untuk ukuran tubuh induk betina yaitu sekitar 4-9 cm. Induk clownfish yang digunakan untuk budidaya di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali, memiliki ukuran tubuh antara 4-8 cm. Ikan-ikan ini biasa diperoleh dari habitat aslinya di daerah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Pengangkutan ikan dilakukan dengan kantong plastic yang diisi air laut sepertiga bagian (sisanya diisi oksigen), dan diantara kantong-kantong plastik tersebut diberi es batu untuk menstabilkan suhu saat dalam perjalanan. Ikan yang telah sampai di tempat tujuan kemudian diaklimatisasi agar tidak stress. Aklimatisasi merupakan proses adaptasi hewan dari lingkungan aslinya di alam ke dalam lingkungan barunya di kawasan manusia, dengan tujuan penelitian, dan dalam hal ini untuk budidaya. Aklimatisasi dilakukan dengan cara memasukkan kantong plastic berisi ikan ke dalam bak hingga suhu dalam plastic sama dengan suhu bak. Jika terdapat ikan yang sakit, maka aklimatisasi dilakukan selama 1 jam dengan bahan desinfektan, misalnya elbaju, prefuran, atau formalin untuk menghilangkan parasit yang menempel, kemudian dibiarkan dalam bak aklimatisasi selama 7 hari dengan sistem air mengalir. Ikan badut ini memiliki sifat hermaphodit protandri, dimana semua ikan yang telah menetas berjenis kelamin jantan. Pada saat ukuran ikan mencapai 4 cm, biasanya berubah menjadi induk betina. Untuk lingkungan budidaya, hal ini berarti ikan siap untuk dipijah, dan untuk lingkungan aslinya, biasanya ikan berubah kelamin untuk menggantikan betina yang mati. Jumlah induk Amphiphrion percula yang ada di BBRPBL sejumlah 25 pasang, dan sebagian besar diantaranya aktif menghasilkan telur tiap bulannya.
Tabel 1. Data ukuran dan bobot induk Amphiphrion percula BAK IA1 IA3a IA3b IA7a IB8 IB10 IB12 IIB1 IIB2 IIB4a IIB6 IIB7 IIB11 IIIA2 IIIA3 IIIA4 IIIA5 IIIA6 IIIA7 IIIB1 IIIB2
SEX M F M F M F M F F M F F M F M F M F M F M F F M F M F M F M F M F M F M F M F
BOBOT (kg) 0,0035 0,0141 0,0010 0,0132 0,0030 0,0074 0,0017 0,0062 0,0069 0,0035 0,0086 0,0124 0,0040 0,0073 0,0026 0,0093 0,0052 0,0016 0,0149 0,0010 0,0018 0,0062 0,0087 0,0038 0,0065 0,0025 0,0056 0,0031 0,0080 0,0080 0,0026 0,0025 0,0062 0,0024 0,0052 0,0023 0,0051 0,0025 0,0075
TOTAL LENGTH (cm) 4,7 8,4 4,5 8,2 5,1 6,8 4,4 7,7 6,8 5,3 7,2 8,7 5,6 6,9 2,9 7,3 6,1 4,3 8,3 4,4 4,4 6,8 7,9 5,5 7,3 4,4 6 4,5 6,2 7,2 5 5 6,9 5,2 6,5 4,4 6 4,5 6,2
IIIB3 IIIB4 IIIB5 IIIB8
M F M F M F M F
0,0026 0,0093 0,0021 0,0087 0,0037 0,0046 0,0023 0,0058
4,7 6 4,5 6,8 5,1 5,5 5 6,5
Gambar 1. Amphiphrion percula betina (kiri) dan Amphiphrion percula jantan (kanan) B. PEMELIHARAAN INDUK Dalam pemeliharaan induk, hal-hal penting yang memerlukan perhatian khusus yaitu mengenai kualitas air dan pemberian pakan. Induk dipelihara dalam akuarium persegi panjang berukuran 60x40x30 cm dan pada dasarnya tidak diberi substrat apapun. Untuk menjaga kualitas air maka perlu dilakukan pergantian air dan penyiponan tiap harinya. Hal ini untuk menghindari adanya zat-zat toksik yang dapat timbul dari sisa pakan maupun air laut. Pada tiap akuarium diberi system aerasi serta dua buah pipa sebagai saluran pembuangan dan saluran masuknya air laut yang telah difilter sebelumnya. Pergantian air menggunakan system flow-through sebanyak 100%. Beberapa parameter kualitas air pada tiap akuarium disajikan pada table berikut: Tabel 2. Parameter Kualitas Air Akuarium Induk PARAMETER Suhu 27-28 0C Salinitas 34 ppt pH 7,8 DO 5 ppm NH3 0,230 ppm NO2 0,570 ppm
KISARAN
NO3 1,720 ppm PO4 0,031 ppm Sumber : Laboratorium Kimia BBRPBL Gondol Bali, September 2007 Untuk pemberian pakan, induk diberi pakan dua kali sehari, yaitu sekitar pukul 08.00 WITA dan pukul 14.00 WITA. Pakan utama yang diberikan tiap hari berupa pellet dengan ukuran sesuai bukaan mulut induk. Selain itu, pakan alami yang biasa diberikan antara lain udang jembret, rebon, cacing darah, ikan rucah, cumi, maupun daging kerang. Pemberian pakan alami dapat dilakukan tiap 2-3 hari sekali.
Gambar 2. Pakan buatan (pellet) untuk induk C. PEMIJAHAN INDUK Pembuahan ikan badut ini dilakukan secara eksternal, yaitu induk betina memijahkan telur yang belum dibuahi, biasanya sejumlah 300-1000 butir, kemudian akan dibuahi oleh induk jantan. Sebelum induk betina mulai memijahkan telurnya, ia akan rajin membersihkan substrat pipa ataupun segitiga beton yang akan menjadi tempat meletakkan telur, sedangkan induk jantan agresif mengikuti betina. Cirri fisik individu betina akan memijah yaitu bagian abdominal tampak membuncit, dan bagian genetal papilla akan menonjol dengan warna merah. Pada habitat budidaya, induk betina biasanya memijah pada sore hari, yaitu dengan gerakan melingkari titik yang akan digunakan untuk meletakkan telur. Induk jantan akan mulai membuahi telur yang telah selesai dipijah oleh induk betina, dengan cara mengeluarkan sperma sambil mengitari telur-telurnya. Telur yang telah dibuahi oleh induk jantan akan berwarna orange cerah.
Tiap pasang induk dalam akuarium dapat memijah lebih dari satu kali tiap bulannya, dengan selang waktu 7-34 hari sekali. Telur akan dipelihara oleh induk jantan selama 6-8 hari, dan telur siap menetas pada hari ke-7 (Setiawati, 2005). Telur yang siap menetas akan berwarna kehitaman, dan tampak adanya calon organ mata. Pada hari ke 7, telur diambil dari akuarium induk dan dipindahkan ke bak larva untuk ditetaskan.
Gambar 3. Induk clownfish beserta telur yang telah dibuahi (kiri), bak penetasan telur clownfish (kanan)
D. HAMA DAN PENYAKIT Pada umumnya, penyakit disebabkan oleh factor lingkungan yang tidak bersih, daya dukung periran serta adanya sisa pakan yang dapat bersifat toksik, akan tetapi karena penyiponan akuariium dilakukan tiap hari, maka ikan jarang terserang penyakit. Adanya penyakit yang menyerang clownfish justru berasal dari bakteri. Bakteri sering menginfeksi calon induk dan induk, terutama dari Genus Vibrio ( Vibrio alginolyticus dan Vibrio harveyi). Sedangkan infeksi sekunder parasit yang sering ditemukan yaitu berupa scuticia daeri Uronema sp. dan Cryptocarion irritans. Tanda-tanda yang tampak jika ikan terserang penyakit yaitu adanya bercak putih pada permukaan tubuh ikan, nafsu makan berkurang, serta gerakan-gerakan yang tidak normal. Apabila timbul gejala ikan terserang penyakit, maka ikan dapat segera direndam selama 5-10 menit pada larutan formalin sebanyak 0,5 ml/liter air, dan ditambah air sebanyak 10 ppm.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN Dari hasil penelitian dapat diambil simpulan bahwa encephalon ikan gelodok terdiri dari cerebellum, optic lobe, cerebrum, dan medulla spinalis. Terdapat perbedaan ukuran optic lobe pada ikan gelodok diurnal dan ikan gelodok nocturnal, yaitu pada ikan gelodok nocturnal lebih besar dibanding pada ikan gelodok diurnal. B. SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada bagian lain dari encephalon ikan gelodok, sehubungan dengan perilakunya di alam.
DAFTAR PUSTAKA Ari, K.W., Suci, A., dan Agus, H. 2006. Pemeliharaan Larva Clownfish (Amphiprion ocellaris) di Dalam Ruangan. Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut, Lampung. Sumich, J.L. 1999. An Introduction to The Biology of Marine Life. Seventh Edition. Mc Graw Hill Companies. USA. Tim DKP. 2008. Konservasi Sumberdaya Ikan di Indonesia. Direktorat Jenderal Kelautan dan Perikanan. Jakarta
View more...
Comments