Laporan Kerja Lapangan (Reklamasi Bahan Galian C (Pasir) (Akbar A.F)

September 11, 2017 | Author: Akbar Afdilla Fadli | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Laporan Kerja Lapangan (Reklamasi Bahan Galian C (Pasir) (Akbar A.F)...

Description

LAPORAN KERJA LAPANGAN

REKLAMASI LAHAN PASCA PENAMBANGAN BAHAN GALIAN C DI KECAMATAN TURI SLEMAN

Disusun oleh : AKBAR AFDILLA FADLI 06/194424/PN/10661

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2010

KATA PENGANTAR Kegiatan atau penambangan bahan galian C terus meningkat seiring dengan perkembangan pembangunan di segala sektor. Dilihat dari aspek penggunaan lahan yang merupakan fungsi sosial mewajibkan penambang harus melakukan reklamasi terhadap lahan bekas penambangannya, sehingga setelah kegiatan penambangan tersebut selesai, lahan yang ditinggalkan tidak menjadi rusak sehingga dapat dimanfaaatkan untuk keperluan sektor lain. Kegiatan penambangan seringkali berdampak pada lahan yang dibuka untuk kegiatan penambangan tersebut. Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi terutama berdampak terhadap air tanah dan air permukaan, berlanjut secara fisik perubahan morfologi dan topografi lahan.Lebih jauh lagi adalah perubahan iklim mikro yang disebabkan perubahan kecepatan angin, gangguan habitat biologi berupa flora dan fauna, serta penurunan produktivitas tanah dengan akibat menjadi tandus atau gundul. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha reklamasi lahan untuk mengembalikan ekosistem lahan yang telah dibuka untuk keperluan penambangan seperti semula. Agar habitat untuk makhluk hidup yang telah rusak dapat dikembalikan lagi demi keseimbangan ekosistem dan mengembalikan habitat makhluk hidup yang telah dirusak untuk kegiatan penambangan khususnya bahan galian C.

Yogyakarta, 30 November 2010 Penyusun

Akbar Afdilla Fadli

i

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.................................................................................................................. i DAFTAR ISI ................................................................................................................................ ii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang............................................................................................................ 1 1.2 Dasar Teori ................................................................................................................. 2 1.3 Tujuan ......................................................................................................................... 5 BAB II KONDISI UMUM LOKASI KERJA LAPANGAN....................................................... 6 2.1. Deskripsi Badan Lingkungan Hidup ......................................................................... 6 2.2. Bagan Struktur Organisasi Badan Lingkungan Hidup Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta................................................................................................................. 7 2.3. Lokasi dan kondisi umum daerah reklamasi ............................................................. 8 BAB III PELAKSANAAN KEGIATAN REKLAMASI ............................................................ 17 3.1 Pembuatan peta rencana reklamasi............................................................................ 17 3.2 Perijinan, sosialisasi dan mobilisasi peralatan tenaga kerja ...................................... 18 3.3 Perataan lahan............................................................................................................ 18 3.4 Pembuatan teras ......................................................................................................... 19 3.5 Penyediaan bibit......................................................................................................... 20 3.6 Penanaman bibit......................................................................................................... 21 3.7 Pemeliharaan.............................................................................................................. 24 BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................................................ 25 4.1. Bahan galian .............................................................................................................. 25 4.2. Pertambangan rakyat ................................................................................................. 26 4.3. Pengukuran kriteria kerusakan lingkungan akibat penambangan bahan galian C jenis lepas di dataran.................................................................................................. 27 4.4. Kegiatan reklamasi .................................................................................................... 37 4.5. Kriteria keberhasilan rekalamsi ................................................................................. 38 4.6. Sejara pertambangan Indonesia ................................................................................. 40 4.7. Upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan......................... 41 4.8. Pelaksanaan perijinan penambangan di lapangan...................................................... 42 4.9. Hasil reklamasi lahan di desa Girikerto..................................................................... 43 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................... 46 5.1 Kesimpulan ................................................................................................................ 46 5.2 Saran .......................................................................................................................... 46 LAMPIRA - LAMPIRAN Lampiran 1 Peta Blok Diagram Reklamasi Lampiran 2 Peta Topografi Reklamasi dan Penanaman

ii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Masalah yang dihadapi hampir diseluruh wilayah Indonesia akibat meningkatnya jumlah penduduk adalah tingginya permintaan akan sumber alam. Permintaan akan sumberdaya lahan digunakan untuk pertanian, perumahan, pertambangan, perkebunan, industri maupun kegunaannya lainnya. Eksploitasi tanah yang mengandung bahan tambang dan memiliki nilai ekonomi tinggi mengalami peningkatan akhir-akhir ini. Kegiatan atau penambangan bahan galian C terus meningkat seiring dengan perkembangan pembangunan di segala sektor. Dilihat dari aspek penggunaan lahan yang merupakan fungsi sosial mewajibkan penambang harus melakukan reklamasi terhadap lahan bekas penambangannya, sehingga setelah kegiatan penambangan tersebut selesai, lahan yang ditinggalkan tidak menjadi rusak sehingga dapat dimanfaaatkan untuk keperluan sektor lain. Kegiatan – kegiatan penambangan bahan galian golongan C umumnya banyak dilakukan oleh penduduk sekitar lokasi namun ada juga yang dilakukan oleh para investor yang sengaja setempat – setempat dan ladang berpindah – pindah (sporadis). Hal ini mereka lakukan dengan pertimbangan kemudahan dalam mendapatkan bahan galian secara cepat, mudah dan dapat menggunakan peralatan sederhana. Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi terutama berdampak terhadap air tanah dan air permukaan, berlanjut secara fisik perubahan morfologi dan topografi lahan.Lebih jauh lagi adalah perubahan iklim mikro yang disebabkan perubahan kecepatan angin, gangguan habitat biologi berupa flora dan fauna, serta penurunan produktivitas tanah dengan akibat menjadi tandus atau gundul. Reklamasi ialah mengembalikan fungsi lahan lebih baik, setelah endapan bahan galiannya ditambang. Untuk memperbaiki dan memanfaatkan lingkungan yang telah ditambang semaksimal mungkin, dapat dilakukan dengan cara menanami

1

kembali areal yang telah ditambang menjadi kawasan hijau dan menjadi lahan lain yang lebih bermanfaat. Kabupaten Sleman sebagai daerah tangkapan air hujan bagi pasokan air tanah di Porpinsi DIY khususnya wilayah kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul sampai saat ini luasan lahan yang mengalami kerusakan akibat penambangan mencapai lebih kurang 200 hektar dan tersebar di berbagai lokasi. Adapun penyebab kerusakan lahan akibat penambangan tersebut adalah keterbatasan pengetahuan para penambang tentang teknik penambangan yang baik, pengetahuan yang kurang tentang fungsi lingkungan serta keterbatasan peralatan penambangan yang dimiliki.Lokasi bekas penambangan yang telah mengalami kerusakan terutama terjadi di Dusun Tegalpanggung, Desa Girikerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman. 1.2. Dasar teori Tambang atau bahan galian golongan C merupakan bahan galian yang dikategorikan sebagai bahan galian non strategis (tidak vital). Bahan galian golongan C meliputi bahan galian industri dan bahan galian bangunan. Daerah bahan galian C digunakan untuk mengeruk keperluan bangunan seperti pasir dan kerikil. Dibeberapa tempat sudah terlihat hamparan danau mini yang terjadi akibat galian tersebut, dan ditakutkan akan terjadi kerusakan ekosistem dan rawan longsor, bila unsur tanah tidak lagi kuat atau labil (Anonim, 2010). Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha yang kompleks dan rumit, sarat resiko, merupakan kegiatan usaha jangka panjang, serta aturan regulasi yang dikeluarkan dari beberapa sektor. Selain itu, kegiatan pertambangan mempunyai daya ubah lingkungan yang besar, sehingga memerlukan perencanaan total yang matang sejak tahap awal sampai pasca tambang. Pada saat membuka tambang, sudah harus dipahami bagaimana menutup tambang. Rehabilitasi/reklamasi tambang bersifat progresif, sesuai rencana tata guna lahan pasca tambang. Perencanaan tambang, sejak awal sudah melakukan upaya yang sistematis untuk mengantisipasi perlindungan lingkungan masyarakat sekitar tambang (Arif, 2007).

2

Penambangan bahan galian C merupakan kegiatan penambangan yang paling sederhana dan karena itu dapat diusahakan secara perorangan dan keluarga.Kegiatan penambangan berupa penggalian tanah untuk bahan mentah dalam pembuatan genting, bata, dan barang tembikar, serta penggalian batu dan pasir untuk bangunan. Meskipun tampak sederhana namun dampaknya atas lahan tidak dapat diabaikan (Notohadiprawiro, 2006). Operasional kegiatan pertambangan pada tahap penambangan dan pengolahan umumnya tidak mendapatkan perolehan 100%, yang berarti masih ada bahan galian yang tertinggal dalam kondisi in situ, sebagai waste atau pada tailing.Bahan galian tertinggal pada wilayah bekas tambang tersebut pada beberapa kasus, kembali ditambang, baik oleh pelaku usaha pertambangan atau oleh masyarakat (Suprapto, 2006). Pola penambangan yang dilakukan oleh masyarakat pun mengalami perubahan, begitu para pemodal besar masuk. Kegiatan penambangan mengalami pergeseran sistem pengelolaan, dari masyarakat ke pengusaha modal besar, seiring dengan terbitnya ijin dari Pemerintah kepada para pengusaha yang memiliki modal besar untuk melakukan kegiatan usaha penambangan di daerah. Masuknya perusahaan ke wilayah tersebut, tentu saja diiringi pula oleh masuknya alat - alat berat,dan seperangkat alat modern lainnya. Cara penambanganpun berubah dan hasil yang dikeruk semakin banyak. Kegiatannya bukan lagi menggunakan cangkul, sekop dan linggis, tetapi sudah mempergunakan alat berat. Situasi ini semakin mempercepat kerusakan lingkungan sekitarnya (Sudardja, 2007). Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. Reklamasi lahan bekas tambang selain merupakan upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan pasca tambang, agar menghasilkan lingkungan ekosistem yang baik dan diupayakan menjadi

lebih

baik

dibandingkan

rona

awalnya,

dilakukan

dengan

mempertimbangkan potensi bahan galian yang masih tertinggal (Subeno, 2009).

3

Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi terutama berdampak terhadap air tanah dan air permukaan, berlanjut secara fisik perubahan morfologi dan topografi lahan.Lebih jauh lagi adalah perubahan iklim mikro yang disebabkan perubahan kecepatan angin, gangguan habitat biologi berupa flora dan fauna, serta penurunan produktivitas tanah dengan akibat menjadi tandus atau gundul.Mengacu kepada perubahan tersebut perlu dilakukan upaya reklamasi. Selain bertujuan untuk mencegah erosi atau mengurangi kecepatan aliran air limpasan, reklamasi dilakukan untuk menjaga lahan agar tidak labil dan lebih produktif. Akhirnya reklamasi diharapkan untuk menghasilkan nilai tambah bagi lingkungan dan menciptakan keadaan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan sebelumnya (Suprapto, 2008). Kegiatan seperti pembukaan hutan, penambangan, pembukaan lahan pertanian dan pemukiman, bertanggung jawab terhadap kerusakan ekosistem yang terjadi. Akibat yang ditimbulkan antara lain kondisi fisik, kimia dan biologis tanah menjadi buruk, seperti contohnya lapisan tanah tidak berprofil, terjadi kemampatan, kekurangan unsur hara yang penting, pH rendah, pencemaran oleh logam-logam berat pada lahan bekas tambang, serta penurunan populasi mikroba tanah. Untuk itu diperlukan adanya suatu kegiatan sebagai upaya pelestarian lingkungan agar tidak terjadi kerusakan lebih lanjut. Upaya tersebut dapat ditempuh dengan cara merehabilitasi ekosistem yang rusak. Kegiatan rehabilitasi tersebut diharapkan akan mampu memperbaiki ekosistem yang rusak sehingga dapat pulih, mendekati atau bahkan lebih baik dibandingkan kondisi semula (Rahmawaty, 2002).

4

1.3. Tujuan 1.3.1. Tujuan umum 1) Menambah ilmu dan pengetahuan mengenai reklamasi suatu lahan. 2) Sinergitas dan penerapan antara ilmu (teori) dan aplikasi ilmu tanah di lapangan terutama yang berkaitan dengan aspek reklamasi lahan. 3) Mahasiswa dapat lebih terampil dalam melakukan pengamatan, pengumpulan, dan analisis data. 1.3.2. Tujuan khusus 1) Mengetahui dan mempelajari kegiatan reklamasi bahan galian C. 2) Mengetahui

dan

mempelajari

kegiatan

yang

dilakukan

Badan

Lingkungan Hidup DIY dalam reklamasi daerah penambangan galian C di Kecamatan Turi Sleman. 3) Mengetahui dan mempelajari pengaruh dari kegiatan reklamasi terhadap lahan bekas tambang bahan galian C.

5

BAB II KONDISI UMUM LOKASI KERJA LAPANGAN 2.1. Deskripsi Badan Lingkungan Hidup Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan lembaga pemerintahan yang menangani masalah lingkungan hidup di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Badan Lingkungan Hidup (BLH) tingkat provinsi membawahi 5 BLH di tiap kabupaten atau kota di Provinsi Yogyakarta yaitu Kabupaten Sleman, Kodya Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Kulonprogo. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi D.I. Yogyakarta beralamatkan di Jalan Tentara Rakyat Mataram 53 Yogyakarta. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdiri berdasarkan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 55 Tahun 2008. Untuk melaksanakan tugasnya, Badan Lingkungan Hidup mempunyai fungsi: a.

Penyusunan program di bidang lingkungan hidup;

b.

Perumusan kebijakan teknis di bidang lingkungan hidup;

c.

Pengendalian pencemaran dan/kerusakan lingkungan, pemulihan kualitas lingkungan hidup, konservasi lingkungan;

d.

Penyelenggaraan pembinaan pengendalian lingkungan;

e.

Penyelenggaraan koordinasi perijinan bidang lingkungan hidup;

f.

Penyelenggaraan kajian dan penataan lingkungan;

g.

Pembinaan dan pengembangan laboratorium lingkungan hidup;

h.

Pemberian fasilitasi penyelenggaraan pengendalian lingkungan hidup Pemerintah Kabupaten/Kota;

i.

Pemberdayaan sumberdaya dan mitra kerja di bidang lingkungan hidup;

j.

Penyelenggaraan kegiatan ketatausahaan;

k.

Pelaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur sesuai dengantugas dan fungsinya.

6

2.2. Bagan Struktur Organisasi Badan Lingkungan Hidup Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

KEPALA BAGIAN Dra. Harnowati

KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL

SEKRETARIS Dra. Puji Astuti, MSi

SUB. BAGIAN PROGRAM, DATA DAN TEKNOLOGI INFORMASI Drs. Setiawan Rineksa, MM 1. Siswanto, SH 2. Andri Listyanto, ST 3. Dra. RR Sutrawati S 4. Meria Fifiani, ST 5. Slamet Supriyanto

BIDANG PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN Drs. Agus Setianto

SUB BIDANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA Ir. Tuti Anuriyah 1. Ninik Sri Handayani, S.Si 2. Riyanto, ST 3. Sudijati 4. Nuzulia Kurniasih, S. Si

SUB BIDANG PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DAN TANAH SERTA B3 Ir. Endro Waluyo, M. Si 1. Sugita 2. Sjamsu Agung W, SE 3. Cahyadi Imran, ST, MT 4. Eny Yniarti, ST

BIDANG PENGENDALIAN PERUSAKAN DAN KONSERVASI LINGKUNGAN Surya Purba, SH

SUB BIDANG PENGENDALIAN PERUSAKAN LINGKUNGAN Ir. Heny Nursilawati 1. Y. Harnowo Budi SE 2. Wahyudi DL 3. Bambang Sudaryono, B.Sc 4. Puranti Wiji Rahayu S. Hut

SUB BIDANG KONSERVASI LINGKUNGAN Drs. Bambang, WI 1. Cahyani Alfiah, S. Si 2. Suharto, BE 3. Bledug Benanti Dwisiwi, S. Si 4. Yanuar CC

SUB. BAGIAN UMUM Dra. Sri Mulyani 1. Priyono. KS, SH 2. Y. Suseno 3. Rubiyatman 4. Sudarti 5. Banar Basuki 6. Maryati 7. Surya Widada 8. Mulyo Rujito 9. Mulyana 10. Purwanto 11. Karpana

BIDANG PENGEMBANGAN KAPASITAS Ir. Kuncara HP, M. MA

SUB BIDANG PENGEMBANGAN SDM DAN KELEMBAGAAN LINGKUNGAN -------------------I 1. Cahyo Widayat, SH, M. Si 2. Barul Budiarti, SE 3. Siswanto Budiadi

SUB BIDANG PENGEMBANGAN LABORATORIUM LINGKUNGAN Ir. Sri Lestari, M. Si 1. Triening Ani A., ST 2. Sugiarto, BE 3. Florida Taty S, ST 4. Sudarjo

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

SUB. BAGIAN KEUANGAN Dra. Siti Nurhayati Thamrin Tuan Tanah, S. Pd Drs. Ig. Danang Siwi Nugroho Mujiono, SH Sugiyanti Sugiarto Anie Rochyati Suliandari Budi Rahayu Sumarjiono Ashanah Budiarti

BIDANG PENATAAN DAN KAJIAN LINGKUNGAN Sarjuni, SH

SUB BIDANG PENATAAN LINGKUNGAN Ag. Ruruh Haryata., SH. ST, M. Kes 1. Budi Edi, SH 2. Titik Tursilowati S. Pd 3. Waliman, BE

SUB BIDANG KAJIAN LINGKUNGAN Ir. Reni Anggraeni 1. Drs. Jito 2. MR. Sultoni, S, Si 3. Supriyana

7

2.3. Lokasi dan kondisi umum daerah reklamasi Kecamatan Turi merupakan satu dari 17 kecamatan yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Sleman yang memiliki luas wilayah 43,09 km2. Lokasi reklamasi terletak di Dusun Tegalpanggung, Desa Girikerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, secara geografis berada pada koordinat 07º36’ 50” LS 07º36’ 55” LS dan 110º 24’ 40’’ BT - 110º 24’ 50” BT. Dari kota Sleman lokasi pekerjaan tersebut berjarak ± 10 km ke arah timur laut, dan dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat melalui jalan beraspal. Secara administratif, batas – batas wilayah Kecamatan Turi adalah sebagai berikut: 1. Sebelah Utara, berbatasan dengan Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah; 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Propinsi D.I.Yogyakarta; 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman, Porpinsi D.I.Yogyakarta, dan 4. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman, Propinsi D.I.Yogakarta. Kecamatan Turi memiliki 4 desa, yaitu, Desa Bangunkerto, Desa Donokerto, Desa Girikerto dan Desa Wonokerta. Desa Girikerto dipilih sebagai lokasi pekerjaan reklamasi lahan karena dari pengamatan dilapangan, Desa Girikerto merupakan salah satu desa yang memiliki kerusakan parah akibat penambangan pasir batu dengan luas areal tambang 20.000 m2. 2.3.1. Iklim dan curah hujan Kecamatan Turi termasuk daerah yang beriklim tropis basah dengan musim hujan antara bulan November – April dan musim kemarau antara bulan Mei – Oktober. Pada tahun 2007 banyaknya hari hujan 28 hari terjadi pada bulan Maret, namun demikian rata – rata banyaknya curah hujan terdapat pada bulan Februari sebesar 18,4 mm dengan banyak hari hujan 20 hari.

8

Adapun kelembaban nisbi udara pada tahun 2007 terendah pada bulan mei - Agustus sebesar 74 % dan tertinggi pada bulan Maret dan November masing – masing sebesar 87 %, sedangkan suhu udara terendah sebesar 26,1º C pada bulan Januari dan November dan suhu udara yang tertinggi 27,4º C pada bulan September. 2.3.2. Ketinggian Ketinggian wilayah kecamatan Turi berkisar antara 400 s/d 1000 m dari permukaan laut. Ketinggian tanahnya dapat dibagi menjadi tiga kelas, yaitu ketinggian 100 - 499 m, 500 - 999 m dan > 999 m dari permukaan laut. Ketinggian 100 - 499 m dari permukaan laut seluas 1444 ha atau 33,53% dari luas wilayah, terdapat di Desa Bangunkerto dan Desa Donokerto. Ketinggian 500 - 999 m dari permukaan laut meliputi luas 2848,6 ha atau 66,14 % dari luas wilayah, meliputi Desa Wonokerto dan Desa Girikerto. Ketinggian > 999 m dari permukaan laut seluas 14,60 ha atau 0,33 % dari luas wilayah meliputi Desa Girikerto. Untuk lokasi pekerjaan (Tegalpanggung) mempunyai ketinggian 720 – 743 m dari permukaan laut. 2.3.3. Genesa pasirbatu di lokasi reklamasi Genesa pasirbatu di lokasi reklamasi disebabkan adanya aktivitas gunung berapi yang banyak sekali mengeluarkan material – material lepas dari dalam. Meterial – material tersebut kemudian mengalir menuju daerah cekungan dan sungai – sungai yang kemudian terendapkan. Proses pengendapan ini terjadi terus – menerus, sehingga terjadi pelapisan pada pasirbatu tersebut. Akumulasi dari endapan pasirbatu terdapat pada derah reklamasi dan sekitar, penyebarannya merata dan sangat luas, mempunyai lapisan yang sangat jelas dengan arah horizontal.

9

2.3.4. Kondisi hidrogeologi daerah pekerjaan 2.3.4.1. Karakteristik air Sumber air tanah perlu dikendalikan dan dimanfaatkan untuk pelestarian lingkungah hidup, agar produktivitasnya air tanah dapat lebih bermanfaat dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Kualitas sumber air di Sleman (air tanah, mata air, dan sungai) sebagian besar berkualitas baik dengan nilai Daya Hantar Listrik (DHL) antara 0,182 – 0,499 mmho berdasarkan harga SAR (PPLH UGM, 1987). 2.3.4.2. Tatanan dan sistem akuifer Pembahasan mengenai lapisan pembawa air (akuifer) di Kabupaten Sleman tidak bisa terlepas dari sistem akuifer yang dipengaruhi oleh Cekungan Yogyakarta, yang sering disebut sebagai Sistem Akuifer Merapi (SAM). Menurut M. Macdonald (1984), Formasi Volkanik Merapi Muda dapat dibedakan menjadi dua formasi berdasarkan ciri litologinya, yaitu formasi Sleman dan formasi Yogyakarta yang berfungsi sebagai lapisan pembawa air utama yang sangat potensial di dalam cekungan (Mac Donald, 1984 dalam Hendrayana 1983). Sistem Akuifer Merapi (SAM) secara umum dibedakan menjadi Sistem Akuifer bagian atas yang didominir oleh Formasi Yogyakarta dan Sistem Akuifer bagian bawah yang dibentuk oleh Formasi Sleman. Kedua formasi tersebut merupakan Akuifer Utama dalam cekungan dan membentuk satu Sistem Akuifer. Sebagai dasar SAM adalah Formasi batuan Tersier serta Endapan Volkanik Merapi Tua di bagian utara yang berumur Kuarter. Formasi – formasi tersebut dianggap sebagai dasar SAM.

10

2.3.5. Stratigrafi Batuan tertua adalah batuan tersier pegunungan Menoreh yang terususn oleh tuffa, napal, lava andesit, dasit (formasi andesit tua) yang berkembang di daerah barat daya-barat, dan batuan tersier pegunungan selatan yang tersusun oleh tuffa, gamping, napal, lava andesit, dasit (Formasi Andesit Tua) yang berkembang di bagian tenggara. Secara tidak selaras diatas batuan tersier tersebut terdapat batuan berumur kuarter hasil kegiatan Gunung Merbabu, satuan ini tersusun atas selang – seling lava andesit bertekstur halus kasar, mengandung lubang – lubang gas dengan piroklastik yang berupa batu apung dan “lithic andesit” yang terkonsolidasi kuat. Satuan ni menempati bagian utara Gunung Merapi. Diatas batuan hasil kegiatan Gunung Merbabu terdapat satuan batuan hasil erupsi Gunung Merapi Tua yang terdiri dari aliran lava andesit piroksen yang berwarna abu – abu gelap, afanitik-porfiritik, massif, berselang-seling dengan breksi lava. Satuan tersebut berkembang di bagian selatan dan timur. Diatas satuan tersebut terdapat aliran lava piroksen yang berwarna abu – abu gelap, berstruktur massif, porfiritik dengan fenokris piroksenn, plagioklas, yang berkembang di bagian utara dan timur. Bersamaan dengan terbentuknya satuan tersebut, terdapat endapan aliran piroklastik merapi tua sebagai hasil guguran awan panas yang tersusun oleh fragmen krikil – bongkah andesit dan terkonsolidasi kuat, juga terdapat satuan endapan lahar merapi tua yang tersusun atas fragmen krikil – bongkah piroksen, massif, membulat tanggung sampai membulat, terkonsolidasi kuat yang menempati bagian timur, selatan dan barat. Bersamaan dengan satuan – satuan tersebut juga mulai terbentuk satuan endapan jatuhan piroklastik merapi dan satuan fluvial yang berupa endapan tuffa, pasir, breksi yang terkonsolidasi lemah sampai kuat menempati bagian barat, selatan dan timur. Diatas satuan batuan hasil erupsi gunung merapi didapatkan satuan batuan hasil erupsi gunung merapi muda yang juga berumur kuarter, terdiri dari aliran lava andesit piroksen yang berwarna abu – abu agak lapuk.

11

Satuan ini menempati bagian utara, selatan dan barat. Diatas satuan tersebut terdapat aliran lava andesit piroksen yang berwarna abu – abu gelap, segar, terubah sebagian, porfiritik dengan fenokris berupa plagioklas, piroksen yang menempati sekeliling pusat erupsi. Bersamaan dengan kedua satuan ini juga terdapat satuan endapan aliran prioklastik mudan dan guguran merapi yang tersusun atas endapan awan panas, berwarna kemerahan, berukuran pasir – bongkah, menyudut terdapat sisipan endapan piroklastik merapi secara setempat dengan penyebaran dari pusat erups kearah barat daya dan satuan endapan lahar muda merapi yang tersusun atas lempung, pasir, kerikil dan bongkah andesit, menyudut tanggung – membulat, lepas sampai terkonsolidasi, terbentuk dalam beberapa periode, dengan penyebaran mengikuti lembah – lembah sungai pada bagian barat, selatan dan timur. 2.3.6. Litologi Wilayah Sleman tersusun atas berbagai macam batuan yang sebagian besar merupakan hasil rombakan gunung api yang melingkupi sebagian besar wilayah utara dan tengah Yogyakarta, Kabupaten Sleman sendiri dan sebagian Kabupaten Bantul. Khusus di wilayah perbukitan Prambanan dan wilayah Berbah-Kalasan, bagian Selatan-Tenggara tersusun oleh batuan sedimen vulkaniklastik seperti batupasir pumis, breksi pumis, batupasir tufan. 2.3.7. Morfologi Lahan

kegiatan

reklamasi

berdasarkan

beda

tinggi

dan

kemiringannya dapat dikategorikan sebagai dataran tinggi. Morfogenesa lokasi kajian dapat dibagi menjadi 2 satuan geomorfik, yaitu:

12

2.3.7.1 Satuan geomorfik dataran tinggi volkanik Mencakup 96 % dari seluruh luas, membentang dari barat ke timur, tersusun oleh material hasil endapan material volkanik merapi muda yang dominan berupa hasil pelapukan tuf, abu dan breksi dengan ukuran lempung sampai boulder. 2.3.7.2 Satuan geomorfik dataran alluvial Mencakup 4 % dari seluruh luas, dapat dibagi menjadi tubuh sungai dan dataran limpah banjir. Satuan ini menempati bagian limpasan sungai, tersusun oleh material lepas berukuran pasir halus sampai kerakal. Endapan pasir batu tersebut tertutup oleh lapisan tanah penutup dengan ketebalan rata – rata 1,1 m. Pola aliran yang berkembang di daerah ini adalah pola aliran sub paralel – paralel dimana sungai – sungainya dipasok oleh air bawah tanah. 2.3.8. Kondisi sosial ekonomi daerah pekerjaan 2.3.8.1. Industri Industri dipisahkan menjadi sektor-sektor yaitu industri rumah tangga, sektor indsutri kecil, sektor sedang dan sektor indsutri besar. Penyerapan terbesar tenaga kerja di sektor industri adalah dari sektor industri rumah tangga yaitu sebesar 34.879 tenaga kerja, diikuti sektor industri besar sebanyak 12.998 tenaga kerja dan industri kecil sebesar 4.825 tenaga kerja kemudian industri sedang sebanyak 3.907 tenaga kerja. Sementara kecamatan yang terbanyak menampung tenaga kerja adalah Kecamatan Moyudan yaitu sebesar 6.000 tenaga kerja atau 17,52 % dari total kerja sektor industri rumah tangga. Banyaknya industri besar sedang (IBS) di Kabupaten Sleman

144

perusahaan,

Kecamatan

Depok

merupakan

kecamatan yang mempunyai kontribusi terbesar yaitu sebanyak 36 perusahaan. Sementara jika dilihat dari perusahaan yang

13

menyerap tenaga kerja terbesar adalah Kecamatan Sleman yaitu 3.880 tenaga kerja atau 22,95 % terhadap total tenaga kerja yang diserap IBS di Kabupaten Sleman (Anonim, 2007). 2.3.8.2. Jumlah penduduk Desa Girikerto memiliki tingkat kepadatan penduduk relative lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kepadatan penduduk di Desa lainnya yaitu 7.582 jiwa. Sedangkan Desa Bangunkerto adalah 8.684 jiwa, Desa Donokerto adalah 8.974 jiwa dan Desa Wonokerto adalah 8.756 jiwa. Disamping itu kepadatan penduduk di Desa Girikerto adalah 580 /km2.Mata pencaharian utama masyarakat adalah bertani dan beternak hewan. Lahan pertanian seperti sawah dan ladang perkebunan masih menjadi tumpuan hidup mereka. Disamping itu, ada juga yang bekerja sebagai buruh pabrik, penambang pasir batu, berdagang dan sektor jasa lainnya. 2.3.9. Kegiatan penambangan dan pengolahan pasir batu saat ini Untuk bahan galian industri termasuk pasir batu, sistem penambangan yang benar dan sesuai adalah tambang terbuka dengan metode Quarry. Digunakan metode Quarry karena bahan galian industri letak endapannya relatif dekat dengan permukaan sehingga biaya pengupasan tanah penutup tidak lebih besar dari nilai bahan galiannya. Tetapi kenyataannya dilapangan adalah kegiatan penambangan tidak sesuai dengan tata cara penambangan yang benar. Kegiatan penambangan yang dilakukan di Desa Giriterto adalah tambang rakyat dengan menggunakan peralatan tradisional, misalnya linggis, gancu dan palu yang dilakukan disekitar sungai sehingga yang tadinya terdapat aliran airnya, sekarang sudah tidak ada aliran airnya. Pengangkutan pasir batu yang dilakukan oleh penambang setempat menggunakan truk. Metode penambangan yang dilakukan adalah mengikuti arah penyebaran pasir batu yang mudah dibongkar yaitu melebar ke sisi – sisi sebelah sungai dan

14

memanjang

kearah

hulu.

Akibat

dari

metode

ini

adalah

ditimbulkan/dihasilkan lubang – lubang yang dalam dengan diameter yang lebar (± 7 m) serta jenjang – jenjang tinggi yang agak vertikal. Hal ini sangat membahayakan bagi para pekerja tambang/ penggali, jika tidak hati – hati dalam melakukan penggalian akan terjadi kelongsoran, lebih – lebih pada musim penghujan. Kegiatan penambangan pasir batu yang dilakukan oleh rakyat pada umumnya tidak mempunyai ijin penambangan. Kegiatan penambangan ini dapat berdampak tidak baik, terutama untuk mengatasi permasalahan– permasalahan yang timbul kemudian, misalnya masalah keselamatan kerja.Lokasi bekas penambangan merupakan lahan yang tidak hanya dimiliki oleh satu orang tetapi oleh beberapa orang yaitu tanah Sultan Ground (SG) dan tanah – tanah penduduk. Instalasi pengolahan pasirbatu di Desa Girikerto umumnya berada di sekitar lokasi penambangan. Secara umum kegiatan pengolahan pasirbatu masih tradisional, yaitu dengan mengayak material sehingga didapat

ukuran

material

yang

lebih

seragam.

Karena

kegiatan

penambangan pasirbatu di Desa Girikerto berada di sekitar pemukiman penduduk, maka kegiatan penambangan dan pengolahan pasirbatu menimbulkan gangguan pada penduduk sekitar. Gangguan ini berupa kebisingan mesin pengangkut (truk), debu hasil kegiatan pengangkutan yang tumpa dan tercecer. Pada daerah bekas penambangan terdapat jenjang yang tinggi, lubang – lubang dan cekungan yang dalam yang secara sengaja ditinggalkan karena para penambang tidak menambang mulai dari atas sungai tetapi dari dasar/lereng sungai. Sehingga apabila dirasa sudah tidak memungkinkan/membahayakan untuk digali dengan alat tradisional maka penambang akan meninggalkannya begitu saja. Dari bentuk topografinya yang ada di daerah ini adalah perbukitan, cara penambangannya adalah tambang terbuka. Tetapi ada pula yang menggunakan cara tambang bawah tanah tetapi hanya sampai kedalaman kurang lebih 4 – 6 meter kemudian ditinggalkan oleh penggalinya.

15

2.3.10. Flora dan fauna daerah sekitar Keadaan flora dan fauna di Kecamatan Turi sangat bervariasi, namun dapat dikelompokkan dalam beberapa kelompok yang umum dijumpai di Indonesia yang beriklim tropis. Kelompok flora yang ada di daerah pekerjaan adalah rumput – rumputann, ilalang, salak, pisang, nanas, mahoni, dan sengon. Sedangkan kelompok fauna yang ada di daerah kerja adalah berbagai jenis burung, ayam, ular, dan monyet.

16

BAB III PELAKSANAAN KEGIATAN REKLAMASI Tahapan kegiatan reklamasi yang dilakukan Badan Lingkungan Hidup D.I.Yogyakarta yaitu, pembuatan peta rencana reklamasi, sosialisasi reklamasi, mobilisasi alat berat dan tenaga kerja, perataan lahan, pembuatan terasering, penyediaan bibit, penanaman bibit, serta pemeliharaan dan perawatan tanaman. Alat yang digunakan antara lain, excavator back hoe Komatsu PC 200 LC, kendaraan pengangkut, theodolith, GPS, alat ukur meter, sekop, cangkul, patok, bambu, tali, dan lain - lain. Bahan yang digunakan antara lain, bibit manga (150 batang), bibit rambutan (150 batang), bibit klengkeng (150 batang), bibit petai (150 batang), bibit sengon (750 batang), bibit mahoni (300 batang), bibit gayam (100 batang), bibit aren (50 batang), bibit glirisidae (150 batang), pupuk kandang (30 ton/ha), pupuk urea (90 kg/ha), dan pupuk TSP (90 kg/ha). Secara umum pelaksanaan kegiatan reklamasi bahan galian golongan C di Desa Girikerto meliputi beberapa tahapan antara lain: 3.1

Pembuatan peta rencana reklamasi Penataan lahah sebelum reklamasi dilakukan dengan pengumpulan data luasan dan leveling daerah pasca tambang yang akan dilakukan reklamasi. Kegiatan tersebut dilakukan dengan pengukuran langsung di lapangan dengan menggunakan perlatan theodolith, Global Positioning System (GPS) dan kompas. Dalam kegiatan ini dilakukan pengumpulan data luasan, jumlah lubang-lubang yang terbentuk akibat kegiatan penambangan. Dari kegiatan pengambilan data luasan serta leveling kemudian diolah untuk memperoleh data yang kemudian digunakan untuk membuat peta perencanaan perataan yang akan diserahkan kepada kontraktor yang akan melakukan pekerjaan reklamasi (PB. Jarak Raya). Pengolahan data yang dilakukan antara lain adalah penentuan titik-titik acuan di lapangan, penghitungan luas area total berdasarkan titik acuan yang diambil di lapangan, penetuan letak dan luasan lubang yang terbentuk, dan penggambaran peta.

17

3.2

Perijinan, sosialisasi dan mobilisasi peralatan tenaga kerja Setelah dilakukan pembuatan peta awal untuk keperluan perataan lahan kemudian dilakukan perizinan dan sosialisasi reklamasi. Sosialisasi tersebut dilakukan di daerah dimana kegiatan reklamasi dilaksanakan. Sosialisasi ditujukan kepada masyarakat yang diwakilkan oleh perangkat desa serta tokoh-tokoh masyarakat desa. Kemudian dilakukan mobilisasi alat berat berupa excavator/back hoe Komatsu tipe PC200 LC yaitu kendaraan pengangkut/truk untuk membuang kelebihan tanah/batu sisa urug keluar area reklamasi. Kemudian mobilisasi tenaga manusia untuk membantu alat berat dalam pembuatan terasering dan pemindahan sisa batu/tanah urug dari lokasi ke kendaraan pengangkut.

3.3

Perataan lahan

Kegiatan reklamasi lahan yang dilakukan secara bertahap. Kegiatan reklamasi yang pertama kali dilakukan adalah kegiatan perataan lahan. Perataan lahan dilakukan dengan cara menimbun lubang-lubang yang masih mungkin untuk ditutup dengan tanah. Kegiatan perataan dialkukan dengan menggunakan alat berat antara lain excavator. Alat berat digunakan karena kondisi medan yang luas dan berat.

18

3.4

Pembuatan teras

Pengaturan lahan dilakukan dengan membuat teras atau jenjang sebanyak empat buah menggunakan back hoe. Pengerukan dilakukan pada lereng bagian atas dan samping, hasil pengerukan digunakan untuk menimbun lubang bekas tambang dan pembuatan jenjang/teras. Pemangkasan bagian atas dimulai dari ujung lereng sebelah utara. Material pemangkasan akan ditimbun dan diratakan searah jalan back hoe yaitu dari utara ke selatan sehingga hasil timbunan dapat digunakan sebagai akses jalan dan sebagai pijakan untuk melakukan penggarukan sekaligus terbentuk teras bagian atas. Pembentukan teras kedua dan ketiga dilakukan dengan menutup bukaan tambang, material hasil kupasan ditarik kearah selatan memanjang sejajar dengan teras bagian atas. Proses pembentukan teras keempat dilakukan dengan mengupas lahan di area teras keempat, kemudian dilakukan perataan dan mengurangi ketinggian lereng, hasil kupasan ditarik ke arah utara ke bagian yang lebih rendah dari teras. Proses perataan dilakukan dengan cara meratakan timbunan material serta mengurangi tinggi timbunan supaya jarak masing – masing teras tidak terlalu tinggi. Sisa hasil pengerukan digunakan untuk menimbun bekas – bekas lubang tambang dan pembuatan jenjang teras pada bagian bawah. Untuk mengurangi kelebihan dari tanah/batu sisa bahan urug maka dilakukan pengangkutan material dengan alat angkut truk ke luar area reklamasi untuk menghindari hasil timbunan yang terlalu tinggi. Penyempurnaan akhir dilakukan

dengan

tenaga

manusia

sekaligus

dilakukan

pembuatan

guludan/pematang pada setiap teras dengan dengan lebar dan tinggi 20-30 cm. Pada

19

teras juga dibuat saluran teras yang dibentuk dengan dimensi lebar rata-rata 0,5 m dan tinggi 0,5 m serta dinding diberi penguat berupa batu-batu secukupnya. Saluran teras ini dimaksudkan untuk menahan laju air yang jatuh ke saluran teras di bawahnya, sehingga tidak menimbulkan erosi. Sedangkan untuk mengalirkan air limpasan yang berasal dari kumpulan air yang disalurkan oleh paritan/saluran pada tiap teras, maka dibuat saluran pembuangan air induk dengan ukuran kedalaman sekitar 1 m, lebar dasar saluran 1-3 m dan lebar permukaan 3 m dengan panjang sekitar 300 m. Ukuran saluran ini sudah dilebihkan mengingat di deareah tersebut mulanya adalah sungai yang selama ini tertutup oleh longsoran material penambangan. Jadi selain sebagai saluran pembuangan air di lahan penataan tersebut juga berfungsi sebagai saluran sungai kecil. Geometri teras yang terbentuk adalah Teras 1 (paling atas) dengan panjang teras 37 m, lebar rata – rata 20 m dan tinggi teras 2 m; Teras 2 dengan panjang teras 75 m, lebar rata–rata 20–40 m, tinggi 1 m; Teras 3 dengan panjang 25 m, lebar 4-25 m, tinggi 2 m; Teras 4 dengan panjang teras 35 m, lebar teras rata-rata 15 m, dengan tinggi 2 m. Sudut kemiringan rata – rata pada masing-masing teras berkisar antara 70-80°. 3.5

Penyediaan bibit Dalam penyediaan bibit Badan Lingkungan Hidup melakukan kerjasama dengan tempat yang di rekomendasikan oleh Departemen Kehutanan RI dengan tujuan memperoleh bibit bersertifikasi baik. Kemudian untuk pengadaan bibit diserahkan kepada kontraktor pelaksana kegiatan reklamasi.

3.6

Penanaman bibit Kegiatan penanaman merupakan puncak kegiatan reklamasi pasca tambang, Dalam kegiatan tersebut bibit yang telah disiapkan dipindahkan untuk dilakukan penanaman di lapangan. Kegiatan ini dilakukan oleh kontraktor (PB.Jarak Raya), yang memiliki tanggung jawab dari mulai persiapan lubang tanam sampai kegiatan penanaman bibit ke lapangan.

20

3.6.1. Pembuatan lubang tanam

Bibit ditanam dalam lubang tanam dengan ukuran berkisar 40x40x40 cm. Jarak tanam unuk masing – masing jenis tanama adalah sebagai berikut, bibit manga dengan jarak tanam 8-10 m, bibit rambutan dengan jarak tanam 8-10 m, bibit klengkeng dengan jarak tanam 8-10 m, bibit petai dengan jarak tanam 8-10 m, bibit sengon dengan jarak tanam 3-5 m, bibit mahoni dengan jarak tanam 5-6 m, bibit gayam dengan jarak tanam 2-5 m, bibit aren dengan jarak tanam 5-10 m. 3.6.2. Pemupukan

Pupuk kandang dimasukkan ke dalam lubang tanam dengan dosis kurang lebih 3 kg per lubang tanam. Pada awal tanam pupuk kandang

21

adalah pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak, baik berupa padatan (feces) yang bercampur sisa makanan, ataupun air seni (urine). Pupuk kandang mempunyai kandungan unsur hara mikro yang sangat lengkap tetapi jumlah masing – masing hara mikro yang terkandung sangat sedikit. Kelebihan lain yang didapat dari pupuk kandang dan pupuk organik lain yaitu

kemampuannya

untuk

memperbaiki

struktur

tanah

dengan

menambahkan pupuk kandang dan pupuk organik lainnya, mempunyai keuntungan, memperbaiki sifat fisik tanah, memperbaiki sifat kimia tanah, memperbaiki biologi tanah. Pupuk kimia yang juga akan diberikan yakni Urea dan TSP juga diberikan dengan dosis masing – masing 90 kg/ha setelah masa tanam 2 bulan. 3.6.3. Penanaman

Bibit dilepas dari polybag secara hati – hati dengan memadatkan tanah dalam polybag agar akar tanaman tidak rusak. Kemudian ditutup dengan pupuk kandang dan humus di lapisan atas baru kemudian disiram sampai kapasitas lapangan agar tidak terjadi stress pada tanaman. Bibit aren dan gayam ditanam di bagian pinggir teras, mengikuti saluran sungai sebagai penguat dinding sungai. Sedangkan bibit glirisidae ditanam pada pematang teras. Bibit tanaman pohon juga ditanam pada area atau lahan sekitar.

22

3.6.4. Pemberian ajir jir

Pemberian ajir pada masing-masing masing masing lubang tanam dilakukan setel setelah lubang tanam siap, Pengajiran Pengajiran dilakukan untuk menjaga bibit tanaman agar tumbuh dengan lurus dan tidak dak rusak apabila terkena angin maupun gangguan lainnya. Sistem m pengawasan pembuatan lubang tanam dilakukan dengan cara mengirim tim dari divisi pengendalian perusakan dan konservasi lingkungan langsung ke lapangan untuk pengecekan kelayakan lubang ttanam yang telah dibuat. 3.6.5. Pengawasan penanaman enanaman

23

Pengawasan penanaman dilakukan dengan cara peninjauan langsung kelapangan oleh tim dari divisi divisi pengendalian perusakan dan konservasi lingkungan. Lubang tanam yang telah ditanami di cek kembali apakah sesuai dengan spesifikasi teknis. Ketika ditemukan ukuran lubang tanam yang tidak wajar kontraktor akan diminta untuk membenahi. Selain itu dilakukan juga pengecekan pemberian pupuk dan humus pada setiap lubang tanam dilakukan dengan menggali beberapa lubang secara acak apakah terdapat humus di dalamnya apabila tidak ditemukan humus dan kompos maka harus dibenahi. 3.7. Pemeliharaan Pada tahapan ini dilakukan pemupukan tanaman baik dengan pupuk kandang, urea maupun TSP. Kemudian pencegahan dan pemberantasan hama penyakit (jika ada) dengan pemberian pestisida. Pembersihan lahan dari tanaman pengganggu atau rumput liar dilakukan secara rutin setiap 2 bulan sekali. Penyulaman tanaman dilakukan apabila terdapat bibit yang mati di lapangan. Penyulaman dilakukan dengan cara mengganti tanaman yangmati dengan tanaman baru. Dalam penyulaman dilakukan juga pemberian pupuk untuk meningkatkan persen hidup dari bibit yang ditanam. Penjarangan dilakukan apabila terdapat individu yang berpenyakit sehingga berpotensi untuk menularkan penyakit ke tanaman lain sehingga harus segera ditebang agar tidak menular pada tanaman yang lain.

24

BAB IV PEMBAHASAN 4.1. Bahan galian Bahan galian merupakan mineral asli dalam bentuk aslinya yang dapat ditambang untuk keperluan manusia. Mineral-mineral dapat terbentuk menurut berbagai macam proses, seperti kristalisasi magma, pengendapan dari gas dan uap, pengendapan kimiawi dan organik dari larutan pelapukan, metamorfisme, presipitasi dan evaporasi, dan sebagainya (Katili, 1966). Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 tahun 1980, bahan galian dibagi menjadi tiga golongan. Penggolongan bahan-bahan galian didasari pada: 1. Nilai strategis/ekonomis bahan galian terhadap Negara 2. Terdapatnya sesuatu bahan galian dalam alam 3. Penggunaan bahan galian bagi industri 4. Pengaruhnya terhadap kehidupan rakyat banyak 5. Pemberian kesempatan pengembangan pengusaha 6. Penyebaran pembangunan di Daerah Bahan-bahan galian tersebut digolongkan sebagai berikut : 1. Bahan galian golongan A Golongan bahan galian yang strategis, bahan galian strategis berarti strategis untuk pertahanan dan keamanan serta perekonomian negara.Golongan ini terdiri dari minyak bumi, bitumen cair, lilin bumi, gas alam, bitumen padat, aspal. antrasit, batubara, batubara muda, uranium, radium, thorium dan bahanbahan galian radioaktip lainnya, nikel, kobalt, dan timah. 2. bahan galian golongan B Golongan bahan galian yang vital, bahan galian vital berarti dapat menjamin hajat hidup orang banyak. Golongan ini terdiri dari besi, mangan, molibden, khrom, wolfram, vanadium, titan, bauksit, tembaga, timbal, seng, emas, platina, perak, air raksa, intan, arsen, antimon, bismuth, ytrium, rhutenium, cerium dan logam-logam langka lainnya, berillium, korundum,

25

zirkon, kristal kwarsa, kriolit, fluorpar, barit, yodium, brom, khlor, dan belerang. 3. Bahan galian golongan C Golongan bahan galian yang tidak termasuk golongan A atau B, bahan galian yang tidak termasuk bahan galian strategis dan vital berarti karena sifatnya tidak langsung memerlukan pasaran yang bersifat internasional. Golongan ini terdiri dari Nitrat, pospat, garam batu (halite), asbes, talk, mika, grafit, magnesit, yarosit, leusit, tawas (alum), oker, batu permata, batu setengah permata, pasir kwarsa, kaolin, feldspar, gips, bentonit, batu apung, tras, obsidian, tanah diatome, tanah serap (fullers earth), marmer, batu tulis, batu kapur, dolomit, kalsit, granit, andesit, basal, trakhit, tanah liat, dan pasir sepanjang tidak mengandung unsur-unsur mineral golongan A mupun golongan B dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan. Bahan galian yang ditambang di daerah Desa Girikerto adalah bahan galian golongan C yang berupa pasir. Bahan galian pasir mudah untuk ditambang karena terletak di permukaan tanah, sehingga untuk mengambil bahan galian tersebut tidak memerlukan peralatan berat dan canggih. Menggunakan cangkul, sekop, atau sejenisnya cukup untuk dapat mengekstraksi bahan galian pasir. 4.2.

Pertambangan rakyat Istilah tambang rakyat secara resmi terdapat pada Pasal 2 huruf n, UU No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan. Dalam pasal ini disebutkan bahwa Pertambangan Rakyat adalah satu usaha pertambangan bahanbahan galian dari semua golongan A, B dan C yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong-royong dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri. Pertambangan rakyat bertujuan memberikan kesempatan kepada rakyat setempat dalam mengusahakan bahan galian untuk turut serta membangun negara dibidang pertambangan dengan bimbingan

26

pemerintah.Pertambangan rakyat hanya dilakukan oleh rakyat setempat yang memegang kuasa pertambangan (izin) pertambangan rakyat. Daerah penambangan pasir di Desa Girikerto merupakan daerah pertambangan rakyat. Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup, daerah ini merupakan daerah penambangan bahan galian golongan C yang tidak mempunyai izin, sehingga pekerjaan penambangan tidak terkontrol dan tidak diperhatikan langkah – langkah reklamasi yang akan dilaksanakan setelah kegiatan penambangan selesai. Daerah ini juga dikategorikan daerah pasca penambangan yang memiliki tingkat kerusakan berat. Permasalahan yang kerap dihadapi pada daerah pertambangan rakyat adalah tidak adanya surat izin penambangan daerah pertambangan rakyat (SIPDPR), masyarakat sekitar daerah penambangan lebih memilih melakukan kegiatan penambangan secara mandiri dan gotong royong tanpa mengurus perizinan kepada pemerintah daerah setempat sehingga tidak dapat dilakukannya pemantaun secara berkala akan kegiatan penambangan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sekitar. Kegiatan reklamasi pasca penambangan juga tidak diperhatikan oleh masyarakat pelaku kegiatan penambangan. Setelah lokasi selesai ditambang, pelaku penambangan kemudian meninggalkan lahan tanpa adanya usaha reklamasi. 4.3.

Pengukuran kriteria kerusakan lingkungan akibat penambangan bahan galian C jenis lepas di dataran 4.3.1. Topografi Topografi adalah gambaran bentuk tiga dimensi permukaan bumi, yaitu: keadaan yang menggambarkan permukaan terutama mengenai keadaan tinggi rendahnya, yang meliputi sungai, lembah, pegunungan, dataran, kota, jalan kereta api, bendungan dan lain-lainnya. Bentuk akhir topografi lahan bekas penambangan merupakan salah satu faktor yang menentukan kemampuan/daya dukung lahan bekas penambangan bagi suatu peruntukan aspek – aspek topgrafi. Indikator daya dukung lahan bekas penambangan antara lain:

27

4.3.1.1. Lubang galian Lubang galian adalah lubang yang terbentuk akibat penambangan galian golongan C. Parameter lubang galian yang digunakan dalam penilaian kerusakan lahan bekas penambangan ini adalah: 4.3.1.2.1. Kedalaman Kedalaman lubang galian adalah jarak vertical dari permukaan lahan hingga ke dasar lubang galian.Permukaan .Permukaan disini adalah permukaan awal pada tepi lubang atau garis lurus yang menghubung menghubungkan tepi galian sebelum ada galian, sedangkaan dasar galian adalah lubang galian yang terdalam. Pengukuran kedalaman lubang galian dilakukan dengan mengukur jarak dari permukaan aw awal dengan dasar lubang terdalam (Gambar 1).

gambar 1. Pengukuran Kedalaman

Pemantauan batas kedalaman lubang galian ini dapat dilakukan secara reguler sepanjang periode penambangan. Penentuan batas kedalaman galian yang

28

ditolerir untuk setiap peruntukan lahan ditentukan oleh letak muka air tanah. Muka air tanah adalah batas lapisan tanah yang belum jenuh air. Letak lapisan ini bervariasi tergantung pada tempat dan keadaan musim. Di daerah dataran rendah muka air tanah umumnya dangkal, sedangkan di daerah yang lebih tinggi letak muka air tanah lebih dalam.Pada musim penghujan letak muka air tanah biasanya lebih dangkal dibandingkan dengan musim kemarau. Pengukuran

letak

muka

air

tanah

dapat

diketahui dengan mengamati sumur gali dan sumur pemboran. Letak muka air tanah ditunjukkan oleh permukaan air sumur gali. Cara pengukuran letak muka air tanah adalah dengan mengukur jarak permukaan air pada sumur gali permukaan lahan (gambar 2).

gambar 2. Pengukuran Muka Air Tanah dengan Sumber Galian

Pengukuran untuk muka air tanah dari pemboran pada prinsipnya menyerupai pengukuran sumur galian (Gambar 3).

29

gambar 3. Pengukuran Muka Air Tanah dengan Pemboran

Batas

kedalaman

lubang

galian

selalu

ditentukan oleh letak muka air tanah karena adanya persyaratan minimal yang harus dipenuhi untuk kelayakan dan keberhasilan setiap peruntukan lahan yang telah ditetapkan. Areal-areal

yang

memenuhi

persyaratan

kelayakan bagi peruntukan pemukiman/industri adalah areal-areal yang bebas banjir dan masih dapat menyerap air sehingga permukaan tanahnya tetap kering.

Sehubungan

dengan

hal

tersebut,

maka

kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum 1 m diatas muka air tanah pada musim penghujan. Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman tahunan adalah areal yang berdrainase baik, minimum sebatas

wilayah

perakaran

tanaman

tahunan.

Sehubungan dengan hal tersebut maka kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum mencapai letak permukaan air tanah dimusim hujan. Dengan adanya pengembalian tanah penutup ke permukaan tanah lahan bekas tambang, maka persyaratan minimal bagi perkembangan perakaran tanaman tersebut akan terpenuhi.

30

Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman pangan lahan basah adalah areal berdrainase buruk tetapi sewaktu-waktu dapat harus dapat dikeringkan. Sehubungan dengan hal tersebut maka kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum 10 cm di bawah permukaan air tanah dimusim hujan. Dengan adanya pengembalian tanah tertutup ke permukaan lahan bekas tambang, maka persyaratan minimal bagi perkembangan

perakaran

tanaman

tersebut

akan

terpenuhi. Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman pangan

lahan

kering/peternakan

adalah

areal

berdrainase baik, minimum sebatas areal perakaran. Sehubungan dengan hal tersebut maka kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum mencapai letak permukaan air tanah dimusim hujan. Dengan adanya pengembalian tanah penutup ke permukaan lahan bekas tambang, maka persyaratan minimal bagi perkembangan

perakaran

tanaman

tersebut

akan

terpenuhi. 4.3.1.2.2. Jarak Jarak yang dimaksud merupakan jarak antara titik terluar lubang dengan titik terdekat dari batas Surat Ijin Penambangan Daeah (SIPD). Pengukuran dapat dilakukan dengan mengukur jarak kedua titik tersebut. Jarak lubang galian dari batas SIPD merupakan zona penyangga agar lahan di luar batas SIPD tidak terganggu oleh kegiatan penambangan. Dalam hal ini jarak minimal 5 m dari batas SIPD merupakan batas aman untuk bahan galian lepas sehingga kegiatan tersebut tidak mengganggu areal diluar SIPD.

31

Pemantauan untuk pengamatan jarak lahan galian dari batas SIPD ini dapat dilakukan secara regular sepanjang periode penambangan. Jika ada dua atau lebih SIPD yang berdampingan maka jarak lubang galian dimasing-masing SIPD dapat mencapai batas SIPD yang berdampingan/bersinggungan, sedang jarak lubang

galian

pada

batas

SIPD

yang

tidak

berdampingan/bersinggungan minimal 5 meter dari batas SIPD (Gambar 4b).

gambar 4A.Jarak Galian dengan Batas Lahan Penambangan

gambar 4B.Jarak Galian dengan Batas Lahan Penambangan yang Bersinggungan

32

4.3.1.2. Dasar galian Dasar galian adalah permukaan dasar lubang galian. Parameter dasar galian ada 2(dua), yaitu: 4.3.1.2.1. Perbedaan relief dasar galian Permukaan dasar lubang galian umumnya tidak pernah rata karena selalu terdapat tumpukan atau onggokan material sisa galian. Perbedaan relief dasar galian adalah perbedaan ketinggian permukaan onggokan/tumpukan tersebu tersebut dengan

permukaan

dasar

galian

disekitarnya.

Pengukuran dilakukan dengan mengukur permukaan tersebut (Gambar 5).

gambar 5.. Relief Dasar Galian Maksimum

Pemantauan perbedaan relief dasar galian dapat dilakukan sepanjang periode penambangan, tetapi penentuan perbedaan relief akhir dasar galian hanya dapat ditentukan pada akhir masa penambangan. Adanya

tumpukan

tersebut

akann

menyulitkan

pemanfaatan lahan sesuai dengan peruntukannya, karena itu toleransi yang diberikan untuk perbedaan 33

relief tersebut dibatasi maksimum 1 m. Tumpukan kurang dari 1 m relatif mudah diratakan/disiapkan sehingga tidak menyulitkan dalam penyiapan untuk pemanfaatan lahan selanjutnya. 4.3.1.2.2. Kemiringan dasar galian Kemiringan lahan merupakan salah satu faktor yang menentukan daya dukung lahan bagi suatu peruntukan.

Persyaratan

kelayakan

lahan

untuk

pemukiman/industri adalah tidak lebih dari 8% sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 8%. Persyaratan kelayakan lahan untuk tanaman tahunan adalah tidak lebih dari 15% sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 15%. Persyaratan kelayakan lahan untuk lahan basah adalah tidak lebih dari 3% sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 3%. Persyaratan kelayakan lahan untuk lahan kering adalah tidak lebih dari 8%, sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 8%.Pengukuran kemiringan dasar galian dilakukan dengan menggunakan leveling atau waterpass. Pemantauan kemiringan dasar galian dapat dilakukan sepanjang periode penambangan sesuai dengan rencana penambangannya, tetapi penentuan kemiringan akhir dasar galian hanya dapat ditentukan pada akhir masa penambangan.

34

4.3.1.3. Dinding galian Dinding

galian

adalah

pinggiran

lubang

secara

menyeluruh dari permukaan sampai dasar lubang. Untuk menjaga stabilitas dinding galian, kemiringan lereng dinding galian secara umum dibatasi maksimum 50% dan harus dibuat berteras – teras. Setiap teras terdiri dari tebing teras dan dasar – dasar sebagai parameter yang diamati (Gambar 6). Tinggi tebing teras dibatasi maksimum 3 m sehingga batas toleransi bagi keamanan lingkungan adalah 3 m. Sedangkan lebar dasar teras minimum 6 m untuk mempertahankan agar kemiringan galian tidak lebih curam dari 50%. Pemantauan tebing dasar teras dapat dilakukan sepanjang periode penambangan sesuai dengan rencana penambangannya, tetapi penentuan kemiringan akhir dasar galian hanya dapat ditentukan pada akhir masa penambangan pengukuran tebing dan dasar teras dilakukan dengan menggunakan meteran.

DASAR LUBANG GALIAN

gambar 6.Tinggi dan Lebar Teras

35

4.3.2. Tanah Tanah adalah batuan lunak hasil pelapukan batuan atau bahan organik, dan merupakan tempat tumbuhnya tumbuhan.Tanah yang dikembalikan sebagai penutup pada areal bekas penambangan adalah tanah – tanah yang sebelumnya terdapat di areal SIPD tersebut, yang dikupas dan

diamankan

sebelum

arel

tersebut

ditambang.Akan

tetapi

karakteristiknya harus disesuaikan sedemikian rupa sehingga mampu mendukung pertumbuhan tanaman sesuai dengan peruntukan lahannya, baik dengan penambahan bahan organik maupun pupuk buatan. Ketebalan tanah penutup ini akan bervariasi sesuai dengan persyaratan pada setiap peruntukan lahannya. Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman budi daya di areal pemukiman adalah 25 cm, sehingga untuk peruntukan lahan pemukiman dan industri ini ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini minimum 25 cm. Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman tahunan atau tanaman perkebunan adalah 50 cm, sehingga untuk peruntukan lahan tanaman tahunan ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini minimum 50 cm. Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman pangan lahan basah adalah 25 cm, sehingga untuk peruntukan lahan tanaman pangan basah dan peternakan ini ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini minimum 25 cm. Pemantauan ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini dapat dilakukan secara periodik sesuai dengan rencana penambangan, tetapi penentuan akhir dari ketebalan tanah yang dikembalikan ini hanya dapat ditentukan setelah akhir masa penambangan.

36

4.3.3. Vegetasi Pertumbuhan

vegetasi

di

atas

lahan

bekas

penambangan

menunjukkan bahwa tanah yang dikembalikan mempunyai kondisi yang layak untuk pertumbuhan vegetasi tersebut, karena pertumbuhan vegetasi tidak

hanya

membuktikan

adanya

usaha

reklamasi

tetapi

juga

membuktikan bahwa galian tersebut dapat dimanfaatkan kembali sesuai peruntukannya. Persyaratan minimal tersedianya jalur hijau di areal pemukiman adalah 20 persen, sehingga digunakan juga sebagai persyaratan pertumbuhan tanaman budi daya minimal 20 persen dari seluruh areal pertambangan. Bagi peruntukan lainnya, persyaratan pertumbuhan minimal 50 persen merupakan indicator yang menjamin bahwa tanah

yang

dikembalikan sebagai penutup layak bagi pertumbuhan tanaman sesaui dengan peruntukannya. Penanaman vegetasi dilakukan diseluruh areal lahan bekas penambangan, sedangkan pengukuran keberhasilannya dilakukan dengan menghitung tanaman yang tumbuh di seluruh areal bekas tambang. Pemantauan pertumbuhan vegetasi sebagai penutup ini dapat dilakukan secara periodik sesuai dengan rencana penambangan, tetapi penetuan akhir dari pertumbuhan vegetasi ini hanya dapat ditentukan setelah akhir masa penambangan. 4.4.

Kegiatan Reklamasi Reklamasi ialah mengembalikan fungsi lahan lebih baik, setelah endapan bahan galiannya ditambang. Untuk memperbaiki dan memanfaatkan lingkungan yang telah ditambang secara maksimal dapat dilakukan dengan cara menanami kembali areal yang telah ditambang menjadi kawasan hijau dan menjadi lahan lain yang lebih bermanfaat. Untuk melaksanakan reklamasi diperlukan perencanaan yang baik, agar dalam pelaksanaannya dapat tercapai sasaran sesuai yang dikehendaki.Dalam hal ini reklamasi harus disesuaikan dengan tata ruang. Perencanaan reklamasi harus

37

sudah disiapkan sebelum melakukan operasi penambangan dan merupakan program yang terpadu dalam kegiatan operasi penambangan. Hal-hal yang harus diperhatikan di dalam perencanaan reklamasi antara lain mempersiapkan rencana reklamasi sebelum pelaksanaan penambangan, luas areal yang direklamasi sama dengan luas areal penambangan, memindahkan dan menempatkan pucuk pada tempat tertentu dan mengatur sedemikian rupa untuk keperluan vegetasi, mengembalikan/memperbaiki kandungan (kadar) bahan beracun sampai tingkat yang aman sebelum dapat dibuang ke tempat pembuangan, mengembalikan lahan seperti keadaan semula dan sesuai dengan tujuan penggunaannya, memperkecil erosi selama dan proses reklamasi, permukaan yang padat harus digemburkan namun bila tidak memungkinkan, ditanami tanaman perintis yang akarnya mampu menembus tanah yang keras, serta memantau dan mengelola areal reklamasi sesuai dengan kondisi yang diharapkan. 4.5.

Kriteria keberhasilan reklamasi Untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan kegiatan reklamasi lahan bekas tambang berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal Pertambangan Umum, tahun 1993 mengenai pedoman teknis reklamasi lahan bekas tambang, perlu mengacu pada kriteria sebagai berikut: 4.5.1. Penataan lahan 1. Pengisian kembali lahan bekas tambang a. Luas areal yang diisi kembali (ha), > 90 % dari areal yang seharusnya diisi. b. Jumlah bahan/material pengisi (m3), > 90 % dari jumlah tanah penutup yang digali 2. Pengaturan permukaan lahan (regarding) a. Luas areal yang diatur (ha), > 90 % dari luas areal yang ditimbun kembali b. Kemiringan lereng (%), < 8 % untuk tanaman pangan c. Tinggi, lebar dan panjang teras (m), disesuaikan dengan bentuk teras dan kemiringan lereng

38

3. Penaburan/penempatan tanah pucuk a. Luas daerah yang diatur (ha), > 90 % dari areal yang harus diisi b. Jumlah tanah pucuk yang ditabur, > 90 % dari tanah pucuk yang digali dan disimpan c. Ketebalan tanah pucuk (cm), > 80 % dari ketebalan tanah pucuk semula pada areal tersebut 4.5.2. Pengendalian erosi dan pengelolaan tambang 1. Pembuatan bangunan pengendali erosi, jenis, jumlah, dan kualitasnya sesuai dengan rencana. 2. Pengelolaan limbah, Pelaksanaannya sesuai dengan rencana 4.5.3. Revegetasi 1. Pengadaan bibit/benih a.

Jenis, Asli setempat atau sesuai dengan kondisi atau fungsi lahan

b.

Jumlah (batang/kg) sesuai dengan rencana

2. Penanaman a.

Jumlah areal yang ditanamai (ha), > 90 % dari areal yang telah diatur kembali

b.

Jumlah yang ditanam (batang) sesuai dengan rencana

c.

Jarak tanam (m x m) sesuai dengan rencana

3. Pemeliharaan a.

Jumlah dan jenis tanaman sulaman sesuai dengan jumlah yang mati

b.

Pemupukan, Jenis dan dosis pupuk serta frekuensi pemupukan sesuai dengan rencana

c. 90 % tanaman bebas dari gulma, hama dan penyakit 4. Tingkat pertumbuhan tanaman a. Tanaman tumbuh subur (tidak merana) b. Jumlah tanaman yang ditanam prosentasi jadinya > 80 %

39

4.6.

Sejarah pertambangan Indonesia Sejak abad ke 7 pertambangan skala kecil telah dilakukan untuk bahan galian intan pada endapan-endapan aluvial di Kalimantan. Pada mulanya usaha ini merupakan kegiatan kelompok-kelompok keluarga masyarakat setempat, tetapi karena peningkatan perolehan bahan galian tersebut, Pemerintah Belanda mengupayakan ditingkatkan untuk pertambangan skala besar. Walaupun dilaporkan

secara

tidak

lengkap,

tercatat

bahwa

peningkatan

kegiatan

pertambangan berlangsung mulai abad ke 18. Dalam perjalanannya dari masa 350 tahun pendudukan Pemerintah Kolonial Belanda hingga setelah kemerdekaan Indonesia, usaha pertambangan berskala besar dilakukan secara terbatas terutama untuk bahan galian emas, batubara dan timah. Sedangkan pertambangan berskala kecil mengalami perkembangan signifikan sejalan dengan peningkatan kebutuhan ekonomi masyarakat. Usaha pertambangan skala kecil (terutama untuk bahan galian emas) menjadi tidak terkendali hingga tahun 1996, dikenal sebagai pertambangan emas tanpa izin atau PETI yang cenderung terutama menimbulkan kerusakan lingkungan. Pertambangan tanpa izin (PETI) dapat diartikan sebagai usaha pertambangan atas segala jenis bahan galian dengan pelaksanaan kegiatannya tanpa dilandasi aturan atau ketentuan hukum pertambangan resmi Pemerintah Pusat atau Daerah. Pertambangan skala kecil menurut Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dan Energi, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Nomor : 2002.K/20/MPE/1998, Nomor : 151A Tahun 1998, Nomor : 23/SKB/M/XII/1998, dan lain-lain. Pada mulanya pertambangan tanpa izin dihampir sebagian besar wilayah Negara Indonesia dilakukan oleh perorangan atau kelompok orang, sebagai usaha tambahan di daerah-daerah yang diyakini berpotensi mengandung bahan galian intan, emas, dan timah. Kebutuhan ekonomi yang makin meningkat dan hasil usaha tambang yang diperkirakan dapat memberikan harapan kehidupan lebih baik, membuat pelaku-pelaku penambangan mengalihkan usaha sekunder ini menjadi usaha utama. Terdapat beberapa faktor yang kemungkinan besar memengaruhi berkembangnya pertumbuhan PETI, di antaranya usaha tersebut telah berjalan

40

cukup lama secara turun temurun, sehingga menimbulkan anggapan bahwa lahan pertambangan merupakan warisan yang tidak memerlukan izin usaha. modal usaha

relatif

kecil

sederhana/tradisional

dan tanpa

pelaksanaan

penambangan

menggunakan

peralatan

dilakukan

secara

berteknologi

tinggi.

Keterbatasan keahlian pelaku usaha dan sempitnya lapangan kerja, menyebabkan usaha pertambangan ini menjadi pilihan utama; kemudahan pemasaran produk bahan galian; lemahnya pemahaman pelaku usaha PETI terhadap hukum/peraturan pertambangan; pelaku usaha beranggapan bahwa prosedur pengurusan izin usaha pertambangan melalui jalur birokrasi yang rumit dan memerlukan waktu panjang, sehingga cenderung menimbulkan biaya tinggi. 4.7.

Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) Eksplorasi dan eksploitasi merupakan kegiatan pertambangan sumber daya alam yang terkait dengan pengelolaan aspek lingkungan hidup dan memiliki dampak penting terhadap kelestarian lingkungan hidup. Instrumen pengelolaan lingkungan dalam tahap eksplorasi migas adalah Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) yang diatur berdasarkan PP No. 27 Tahun 1999 tentang AMDAL Pasal 3 ayat (4), Kepmen ESDM No.: 1457 K/28/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Lingkungan di Bidang Pertambangan dan Energi Pasal 4, 5, serta Kepmen LH No.: 86 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan UKL & UPL. Dalam penjelasan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa arah pembangunan jangka panjang Indonesia adalah pembangunan ekonomi dengan bertumpukan pada pembangunan industri yang diantaranya menggunakan berbagai jenis bahan kimia dan zat radioaktif. Disamping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan ekses, antara lain dihasilkannya limbah yang apabila dibuang ke lingkungan akan dapat mengancam lingkungan hidup itu sendiri, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Upaya

Pengelolaan

lingkungan

(UKL)

dan

Upaya

Pemantauan

Lingkungan (UPL) adalah salah satu instrument pengelolaan lingkungan yang

41

merupakan salah satu persyaratan perizinan bagi pemrakarsa yang akan melaksanakan suatu usaha/kegiatan di berbagai sektor. UKL-UPL telah berjalan selama bertahun-tahun, namun sampai saat ini masih ditemukan banyak kendala dalam pelaksanaannya. Dokumen UKL-UPL dibuat pada fase perencanaan proyek sebagai kelengkapan dalam memperoleh perizinan. UKL-UPL diwajibkan pula bagi usaha/kegiatan yang telah berjalan namun belum memiliki UKL-UPL. UKL-UPL dibuat untuk proyek-proyek yang dampak lingkungannya dapat diatasi, skala pengendaliannya kecil dan tidak kompleks. 4.8.

Pelaksanaan periijan penambangan di lapangan Daerah reklamasi di Desa Girikerto merupakan lokasi pertambangan rakyat yang tidak memiliki izin. Lahan penambangan merupakan lahan yang dimiliki oleh pribadi, sehingga pelaku penambangan adalah pemilik dari lahan tersebut.

Pelaku

penambangan

merasa tidak perlu

mengurus

perijinan

penambangan bahan galian C dikarenakan sudah merasa memiliki lahan dan berhak melakukan kegiatan apapun terhadap lahan miliknya. Akibatnya pelaku kegiatan penambangan tidak memperhatikan kriteria kriteria penambangan yang benar sehingga kerusakan lahan tidak terhindarkan ditambah tidak dilakukannya reklamasi lahan oleh pemilik lahan setelah kegiatan penambangan selesai. Pedoman pembuatan perizinan penambangan dan teknis pelaksanaan kegiatan penambangan dapat mengacu pada, peraturan menteri pertambangan dan energi nomor 03/PM/Pertamben/1981 tentang pedoman pemberian surat izin pertambangan daerah untuk bahan galian yang bukan strategis dan bukan vital (bahan galian golongan C), keputusan menteri dalam negeri nomor 32 tahun 1991 tentang pedoman usaha pertambangan bahan galian golongan C, dan keputusan gubernur Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta nomor 63 tahun 2003 tentang kriteria baku kerusakan lingkungan bagi usaha dam atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C di wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

42

4.9.

Hasil reklamasi lahan di Desa Girikerto

Kegiatan egiatan reklamasi dilaksanakan pada pertengahan tahun 2008, kemudian ditinjau kembali pada pertengahan tahun 2010 untuk melihat kondisi lahan pasca reklamasi. Berdasarkan hasil h pengamatan dilapangan terlihat teras terasering yang telah dibentuk sesuai dengan kriteria pembentukan teras teras untuk keperluan reklamasi. Tujuan dari pembuatan terasering adalah mengurangi panjang lereng sehingga dapat memperkecil aliran permukaan yang dapat menyebabkan erosi erosi.

Vegetasi yang ditanam pada lubang tanam dengan dimensi 40x40x40 telah menutupi seluruh permukaan lahan reklamasi. Pada ada tanaman petai terdapat gejala penyakit berupa hiperplastis dimana batang tanaman membengkak membengkak. Gejala penyakit ini dikenal dengan nama busung (Intumesensia), sekumpulan sel pada daerah yang agak luas pada daun atau batang memanjang sehing sehingga bagian itu 43

tampak membengkak, gejala ini disebut juga busung yang disebabkan oleh Jamur. Penyakit ini muncul karena kondisi udara yang lembab sehingga membuat habitat yang cocok untuk patogen jamur untuk hidup. Pengendalian gulma dilakukan dengan mencabut tanaman gulma yang mengganggu. Pengendalian dilakukan oleh masyarakat sekitar daerah reklamasi. Pada lubang tanam belum ditambahkan dengan pupuk kimia, sehingga pupuk yang baru diberikan adalah pupuk kandang. Pupuk kandang adalah pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak, baik berupa padatan (feces) yang bercampur sisa makanan, ataupun air seni (urine). Pupuk kandang mempunyai kandungan unsur hara mikro yang sangat lengkap tetapi jumlah masing – masing hara mikro yangterkandung sangat sedikit. Kelebihan lain yang didapat dari pupuk kandang dan pupuk organik lain yaitu kemampuannya untuk memperbaiki struktur tanah dengan menambahkan pupuk kandang dan pupuk organik lainnya, mempunyai keuntungan, memperbaiki sifat fisik tanah, memperbaiki sifat kimia tanah, memperbaiki biologi tanah. Kurangnya pasokan unsur hara pada tanaman dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman dan yang lebih parah menyebabkan kematian pada tanaman. Pemantauan daerah reklamasi perlu dilakukan secara berkala untuk memastikan pertumbuhan tanaman baik sampai keadaan vegetasi di daerah rekalamasi menyerupai habitat aslinya. Masyarakat di sekitar daerah reklamasi dapat diberdayakan untuk memudahkan proses pemantauan karena masyarakat daerah sekitar lokasi reklamasi paling dekat kedudukannya sehingga dapat dengan mudah memantau keadaan vegetasi di daerah reklamasi.

44

4.10. Pasca reklamasi

Pemeliharaan tanaman di lokasi hasil reklamasi selanjutnya diserahkan kepada penduduk sekitar daerah reklamasi dengan cara bergotong royong royong. Proses pemeliharaan tanaman meliputi, pembersihan gulma, pemberian pestisida jika terdapat hama penyakit yang menyerang pada tanaman, tanaman, dan penyulaman tan tanaman yang mati. Pemeliharaan tanaman dilakukan sampai keadaan kanopi vegetasi di sekitar daerah reklamasi hampir menutupi separuh dari daerah yang direklamasi direklamasi. Untuk tanaman buah – buahan di daerah reklamasi dapat diambil hasilnya oleh masyarakat sekitar untuk ntuk di konsumsi.

45

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 1. Pelaksanaan kegiatan penambangan rakyat khususnya bahan galian C(pasir) tanpa diurusnya perijinan terlebih dahulu akan menyulitkan pemerintah dalam pemantauan kegiatan penambangan untuk reklamasi lahan setelah kegiatan penambangan selesai. 2. Hasil reklamasi yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup D.I.Yogyakarta telah memenuhi Standard Operational Procedure (SOP) yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pertambangan Umum, tahun 1993 mengenai pedoman teknis reklamasi lahan bekas tambang. 3. Jenis tanaman yang dipilih untuk ditanam di lahan reklamasi Desa Girikerto yaitu, rambutan, klengkeng, petai, sengon, mangga, mahoni, gayam, aren, dan gilirisidae merupakan tanaman asli dari daerah tersebut dan berpotensi untuk dikembangkan oleh penduduk sekitar daerah reklamasi. 5.2 Saran 1. Sebaiknya Badan Lingkungan Hidup D.I.Yogyakarta melakukan sosialisasi kepada warga mengenai daerah yang tidak diperbolehkan dilakukan kegiatan penambangan pasir sesuai dengan peraturan yang berlaku. 2. Penentuan lokasi reklamasi sebaiknya diserahkan kepada warga sekitar daerah reklamasi agar pekerjaan pemantauan kegiatan reklamasi lebih optimal. 3. Perlu adanya peran perangkat desa setempat untuk memantau daerah penambangan agar tidak keluar dari batas SIPD (Surat Izin Penambangan Daerah).

46

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Tambang Galian C Saatnya diatur dengan Ketat. . Diakses tanggal 6 Juni 2010. Arif, I. 2007. Perencanaan Tambang Total sebagai Upaya Penyelesaian Persoalan Lingkungan Dunia Pertambangan. Universitas Sam Ratulangi, Manado. Notohadiprawiro, T. 2006. Pengelolaan lahan dan lingkungan pasca penambangan.. Repro : Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada : 1 – 12. Rahmawaty.2002. Restorasi Lahan Bekas Tambang berdasarkan Kaidah Ekologi. Universitas Sumatera Utara, Medan. Subeno, S. B. 2009. Revitalisasi Penambangan Galian C. . Diakses 12 Mei 2010. Sudardja, D. 2007. Penambangan Galian C di Jawa Barat Mengancam.. Diakses tanggal 2 Maret 2010. Suprapto, S.J., 2006. Pemanfaatan dan permasalahan endapan mineral sulfida pada kegiatan pertambangan. Buletin Sumber Daya Geologi. Vol. 1 No. 2. Suprapto, S. J. 2008. Tinjauan Reklamasi Lahan Bekas Tambang dan Aspek Konservasi Bahan Galian.. Diakses tanggal 2 Maret 2010.

47

LAMPIRAN

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF