Laporan Kelompok 1 (Kasus Dr. Ayu)
May 11, 2020 | Author: Anonymous | Category: N/A
Short Description
Download Laporan Kelompok 1 (Kasus Dr. Ayu)...
Description
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan melalui upaya kesehatan. Upaya kesehatan ini dilakukan oleh tenaga kesehatan, salah satunya yaitu oleh dokter. Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Landasan bagi dokter untuk dapat melaksanakan tindakan medis terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan kompetensi yang dimiliki yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Dokter dengan ilmu yang dimiliki diperkenankan melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kemanusiaan. Maraknya
tuntutan hukum yang
diajukan masyarakat sekarang ini
menunjukkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter. Salah satunya contohnya adalah kasus yang menimpa dr. Dewa Ayu Sasiary, SpOG bersama dua orang rekannya, yaitu dr. Hendry Siagian dan dr. Hendry Simanjutak yang telah divonis bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) dengan tuduhan melakukan malpraktek terhadap Julia Fransiska Maketey yang meninggal saat melahirkan di RS Malalayang Manado pada 10 April 2010. MA menilai bahwa dr. Ayu dan rekannya telah lalai dalam menjalankan tugasnya yang berdampak seseorang meninggal dunia. Hal yang membuat para dokter itu dinilai telah lalai diantaranya adalah tidak memiliki izin praktik dan tanda tangan korban sengaja dipalsukan. Sementara menurut undang-undang kesehatan atau kode etik kedokteran, hal itu belum tentu bersalah. Mahkamah Kode Etik Kedokteran (MKEK) telah menindaklanjuti kasus ini, hasilnya dr. Ayu tidak melanggar etik. Dokter Ayu dinilai telah menjalankan kewajibannya untuk menolong pasien tersebut dengan melakukan tindakan medis sesuai standar prosedur tindakan kegawatdaruratan. Selain itu, kasus ini sebelumnya juga sudah pernah dibawa ke Pengadilan Negeri Manado, hasilnya dr. Ayu beserta rekannya
1
divonis bebas. Oleh hakim, kematian Julia disimpulkan karena gangguan di peredaran darah pasca kelahiran. Karena tidak puas dengan keputusan hakim, jaksa mengajukan kasasi ke MA dan dikabulkan. Dari sini nampak jelas bahwa adanya persilangan pendapat antara MA dan MKEK dalam memandang kasus ini. Hal ini terjadi karena adanya ketidaksepahaman antara MKEK dan MA. Hal tersebut dikarenakan hukum kedokteran Indonesia belum dapat merumuskan secara mandiri sehingga batasbatas tentang malpraktek medis belum dapat dirumuskan. Akibatnya, isi, pengertian, dan batasan-batasan malpraktek medis belum seragam bergantung pada sisi mana orang memandangnya. Pembuktian malpraktek yang dilakukan dokter bukanlah hal yang mudah. Apabila berlarut-larut, dapat menimbulkan kerugian tidak hanya bagi korban (pasien) tapi juga dari pihak tenaga kesehatan karena tidak terdapat ketentuan yang jelas bagaimana kriteria perlakuan medis yang dinyatakan sebagai malpraktek medis. Untuk itu penulis tertarik untuk membahas dugaan malpraktek dr. Ayu yang ditinjau dari dua aspek yaitu KUHP dan UU Kedokteran/Kesehatan (Taufani, 2011). 1.2 Tujuan Penulisan 1.2.1
Untuk memperoleh jawaban atas permasalahan dugaan malpraktek sesuai sistem hukum Indonesia.
1.2.2
Untuk menambah pengetahuan penulis mengenai malpraktek medis dalam sistem hukum Indonesia
2
BAB 2 PERMASALAHAN Kronologi kasus dr. Ayu oleh Kementerian Kesehatan dan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI). Ketua POGI Jakarta, Frizar Irmansyah, mengatakan kematian Siska 20 menit setelah operasi caesar bukan kejadian malapraktik, melainkan insiden medis yang tak dapat dicegah dan berakibat fatal. Siska awalnya mendatangi puskesmas. Di puskesmas, dilakukan pemeriksaan ketuban untuk mempercepat kelahiran bayinya. Standar operasional prosedur menyatakan, kelahiran harus diupayakan normal. Kondisi Siska di puskesmas terus dimonitor sampai akhirnya muncul tanda kegawatan di mana bayi bisa meninggal jika tidak juga dilahirkan. Puskesmas pun memberitahu Siska perlu ada tindakan operasi untuk menyelamatkan dia dan bayinya. Oleh sebab itu diputuskan Siska dirujuk ke RS Prof dr Kandou untuk ditangani lebih lanjut. Di rumah sakit itu, dokter mengambil tindakan 8 jam kemudian, setelah tahu ada gawat janin pada kandungan Siska. “Selama 8 jam itu, pasien bukannya ditelantarkan, tapi ditunggu untuk melahirkan secara normal,” kata Frizar. Selanjutnya saat operasi caesar berlangsung, terjadi insiden emboli – ketuban melebar, udara masuk ke pembuluh darah dan lari ke paru-paru, mengakibatkan pembuluh darah pecah. Aliran darah pun tersumbat seketika karena air ketuban masuk ke dalam pembuluh darah. Saat itu Siska langsung terserang sesak nafas hebat. Menghadapi hal ini, dokter Ayu dan timnya segera mengambil tindakan. Suntikan steroid diberikan untuk menanggulangi peradangan. Mereka juga berupaya mempertahankan oksigenisasi dengan memasang alat bantu yang disebut ventilator. Sayangnya nyawa pasien tidak tertolong. Meski demikian bayi lahir dengan sehat. Frizar menyatakan, kemungkinan terjadinya emboli pada ibu melahirkan hanya 3 persen, namun kesembuhannya hanya 10 persen. “Itu pun di luar negeri yang berhasil sembuh. Di Indonesia, setahu saya belum ada yang bisa selamat dari
3
emboli,” kata dia. Emboli bisa terjadi pada ibu yang melahirkan secara caesar maupun normal. Frizar mengatakan, dokter Ayu memang belum berstatus dokter spesialis saat menangani persalinan Siska. Ia hanya residen senior dengan pendidikan dokter spesialis kebidanan dan kandungan. Tapi praktiknya sudah melalui ujian-ujian tertentu dan bukannya tanpa wewenang (Anggi, 2013). Kronologi Proses Hukum Kasus dr. Ayu. 10 April 2010 Pasien Julia Fransiska Makatey meninggal dunia setelah dioperasi caesar. Atasbkasus ini dr. Ayu dan tim menjalani sidang kode etik dokter dan dinyatakan tidak bersalah. Lalu keluarga mengadu kasus ini ke Pengadilan Negeri Manado. Kasus tersebut diproses polisi. 8 Bulan kemudian, atau Desember 2010, dr Ayu datang ke keluarga Julia sebagai bentuk empati. Bersama tim medis, ia meminta pihak keluarga Julia menandatangani surat agar tidak melanjutkan kasusnya, tapi keluarga menolak. 5 September 2011 Pengadilan Negeri Manado memvonis bebas dr. Ayu dan tim (dr. Hendry dan dr. Hendy). Kasus ini masih bergulir. Pihak keluarga tidak puas dengan hasil tersebut. Jaksa penuntut mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. 18 September 2012 dr. Ayu, dr. Hendri, dan dr. Hendy masuk ke Daftar Pencarian Orang (DPO) setelah Mahkamah Agung mengabulkan kasasi dari jaksa. 11 Februari 2013 Pihak dr. Ayu keberatan atas putusan MA dan mengajukan peninjauan kembali. 8 November 2013 dr. Ayu, dr. Hendry, dan dr. Hendy tetap divonis bersalah dengan putusan 10 bulan penjara (Anggi, 2013). Rincian kesalahan dokter Ayu oleh putusan Mahkamah Agung Dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr Hendry Simanjuntak, dan dr Hendy Siagian, baik secara bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, telah dengan
4
sengaja melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik (SIP). Perbuatan tersebut dilakukan para terdakwa dengan cara dan uraian kejadian sebagai berikut: Saat korban Siska Makatey (Julia Faransiska Makatey) sudah tidur terlentang di atas meja operasi, dilakukan tindakan asepsi antiseptis pada dinding perut dan sekitarnya. Selanjutnya korban ditutup dengan kain operasi kecuali pada lapangan operasi. Saat itu korban telah dibius total. Dr Ayu mengiris dinding perut lapis demi lapis sampai pada rahim milik korban, kemudian bayi yang berada di dalam rahim korban diangkat. Rahim korban lalu dijahit sampai tidak terdapat pendarahan lagi dan dibersihkan dari bekuan darah. Selanjutnya dinding perut milik korban dijahit. Saat operasi dilakukan, dr Hendry sebagai asisten operator I dan dr Hendy sebagai asisten operator II membantu dr Ayu sebagai pelaksana operasi. Dr Hendry dan dr Hendy yang memotong, menggunting, dan menjahit agar lapangan operasi bisa terlihat, supaya mempermudah operator yaitu dr Ayu dalam melakukan operasi. Sebelum operasi cito secsio sesaria terhadap korban dilakukan, para terdakwa tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada, dan lain-lain. Sedangkan tekanan darah sebelum korban dianastesi atau dilakukan pembiusan sedikit tinggi, yaitu menunjukkan angka 160/70. Pemeriksaan jantung terhadap korban dilaksanakan setelah operasi selesai dilakukan. Pemeriksaan jantung terhadap korban dilaksanakan setelah operasi selesai. Pemeriksaan jantung tersebut dilakukan setelah dr Ayu melaporkan kepada saksi Najoan Nan Waraouw sebagai konsultan jaga bagian kebidanan dan penyakit kandungan bahwa nadi korban 180 kali per menit. Saat itu saksi Najoan menanyakan kepada dr Ayu apakah telah dilakukan pemeriksaan jantung terhadap diri korban. Selanjutnya dijawab oleh dr Ayu tentang hasil pemeriksaan adalah denyut jantung sangat cepat. Saksi Najoan mengatakan bahwa denyut nadi 180 kali per menit – bukan denyut jantung sangat cepat tetapi fibrilasi atau kelainan irama jantung. Berdasarkan hasil rekam medis No. 041969 yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin Gidion Kristanto, SH. Sp. F bahwa saat korban masuk RSU Prof RD Kandou Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit korban
5
adalah berat. Dr Ayu, dr Hendry, dan dr Hendy sebagai dokter dalam melaksanakan operasi cito secsio sesaria terhadap korban Siska Makatey, hanya memiliki sertifikat kompetensi. Tapi para terdakwa tidak mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) kedokteran/yang berhak memberikan persetujuan. Sedangkan untuk melakukan tindakan praktik kedokteran, termasuk operasi cito yang dilakukan para terdakwa terhadap diri korban, para terdakwa harus memiliki SIP kedokteran. Akibat perbuatan para terdakwa, korban Siska Makatey meninggal dunia. Sebab kematian korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru, dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung (Anggi, 2013). Dari kasus dr. Ayu di atas timbul beberapa permasalahan: 1. Apakah keputusan MA terhadap dr. Ayu dan kedua koleganya sesuai dengan HAM? 2. Apakah kasasi yang dilakukan jaksa ke MA diperbolehkan, padahal dr.Ayu dan kedua koleganya telah di vonis bebas di Pengadilan Negeri Manado? 3. Apakah tindakan dr. Ayu telah sesuai dengan UU No.36 tentang keseatan? 4. Apakah proses hukum dr. Ayu telah sesuai dengan konsep negara hukum di Indonesia?
6
BAB 3 PEMBAHASAN Kasus dr. Ayu Ditinjau dari Sudut Hak Asasi Manusia Baik dokter maupun pasien memiliki hak dan kewajiban, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang. (Hak Dokter atau Dokter Gigi) Pasal 50 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak: a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional b. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya,dan c. menerima imbalan jasa. (Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi) Pasal 51 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban : a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi yang mempunyai keahlian atau kemampuan lebih baik,apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan. c. menjaga segala sesuatu yang diketahui tentang pasien,bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya,dan e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. (Hak Pasien) Pasal 52 Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai hak :
7
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3). b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain. c. mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis. d. menolak tindakan medis,dan mendapat isi rekam medis. (Kewajiban Pasien) Pasal 53 Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai kewajiban : a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya. b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi. c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan,dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Melanggar hak dokter maupun pasien merupakan salah satu contoh pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM). Pelanggaran berat terhadap HAM akan dilakukan secara khusus di pengadilan HAM oleh Komisi Nasional HAM. Adapun salah satu contoh pelanggaran HAM terdapat pada kasus dr. Ayu. Pada kasus dr. Ayu, kita tidak dapat hanya berpihak dari HAM satu sisi saja, tetapi juga dari kedua sisi. Menurut hukum perdata, pertanggungjawaban dapat dikualifikasikan dalam tiga kategori yaitu pertama, pertanggungjawaban karena kasus Perbuatan Melanggar Hukum (PMH) sesuai ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, kedua, pertanggungjawaban karena Wanprestasi (WP) sesuai pasal 1243 KUH Perdata dan, ketiga, pertanggungjawaban penyalahgunaan keadaan berdasarkan doktrin hukum. Pemberian hak ganti rugi merupakan upaya untuk
8
memberikan perlindungan bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Perlindungan ini sangat penting karena akibat kelalaian atau kesalahan tersebut mungkin dapat menyebabkan kematian atau menimbulkan cacat yang permanen. Masalah hukum dalam pelayanan medis umumnya terjadi di rumah sakit dimana tenaga kesehatan bekerja. Secara umum unsur pokok malpraktik dalam pengertian malpraktik kedokteran adalah ketidaksesuaian dengan standar medis. Dalam hal pertanggungjawaban atas pelayanan medis yang mana pihak pasien merasa dirugikan maka perlu untuk diketahui siapa yang terkait di dalam tenaga medis tersebut. Tenaga medis yang dimaksud adalah dokter yang bekerjasama dengan tenaga profesional lain di dalam menyelenggarakan dan memberikan pelayanan medis kepada pasien. Setiap masalah yang terjadi baik sengaja maupun tidak sengaja perlu diteliti terlebih dahulu. Apabila kesalahan dilakukan oleh dokter, maka rumah sakit yang bertanggung jawab secara umumnya dan dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dikenakan sanksi. Dalam pandangan ini, sebagian masyarakat telah menilai bahwa dr. Ayu telah melanggar HAM terhadap pasien karena telah melakukan tindakan malpraktik. Akan tetapi, dalam pandangan kedokteran, masyarakat itu sendiri telah melanggar HAM dr. Ayu dan rekannya sebab kasus ini tidak tergolong dalam tindakan malpraktik. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentu dapat berpikir rasional dengan menelaah kronologis kasus dan kesesuaian tindakan dr. Ayu dan rekannya terhadap SOP yang ada. Sesuai dengan MKEK dan MKDKI yang ada, dr. Ayu telah bertindak sesuai SOP dan tidak melakukan tindakan malpraktik sebab kasus gawat darurat dapat memicu terjadinya kelalaian dalam meminta informed consent kepada keluarga pasien. Jika sebagian masyarakat menganggap bahwa IDI melakukan hal ini karena berlandaskan sumpah dokter yang membela sejawat, seharusnya masyarakat juga kembali berpikir rasional mengapa baru kali ini terjadi aksi solidaritas IDI terhadap kasus dr. Ayu. Sebagai dokter, IDI tidak akan membela kasus ini jika memang dr. Ayu terbukti bersalah oleh MKEK maupun MKDKI. IDI pun menyadari bahwa tidak ada profesi yang bebas dari pidana hukum. Selama ini, sudah beberapa kali terjadi kasus malpraktik, namun belum pernah terjadi aksi solidaritas IDI. Hal ini tentu saja karena pada kasus
9
sebelumnya, beberapa dokter memang terbukti melakukan malpraktik. Namun, jika dr. Ayu sudah terbukti tidak bersalah dalam bidang SOP kedokteran, sudah selayaknya jika IDI menuntut HAM dr. Ayu dan rekannya yang sudah tertindas dalam kasus ini. Kasus dr. Ayu ditinjau dari KUH Pidana Julia Fransiska Matakey meninggal dunia dengan sebab emboli udara pada bilik jantung sebagai komplikasi persalinan. Akan tetapi, keluarga Julia Fransiska Matakey, khususnya ibunya, tidak menerima kepergian anaknya tersebut karena dia menilai bahwa dokter Ayu Sasiary dan dua orang rekannya yang bertindak sebagai operator sempat membiarkan Julia tanpa melakukan tindakan apapun saat proses persalinan berlangsung. Dokter Ayu dan kedua rekan dokternya dituntut oleh pihak keluarga karena dianggap melanggar pasal 359 KUHP yang berbunyi, “Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selamalamanya satu tahun.” Kejadian ini terjadi pada tahun 2010. Pada bulan September 2011, atas dasar kematian karena sebab yang tidak diketahui oleh dokter, Pengadilan Negeri Manado memutuskan bahwa dr. Ayu dan rekan-rekannya bebas murni. Akan tetapi, kasus ini kembali muncul pada tahun 2012 ketika mereka masuk dalam Daftar Pencarian Orang dan memuncak pada bulan November 2013 di mana dr. Ayu dijatuhkan vonis 10 bulan penjara oleh Mahkamah Agung atas dasar pelanggaran KUHP pasal 359. Jika dicermati isi dari KUHP tersebut, dr. Ayu dinyatakan bersalah jika Julia mati akibat kesalahannya. Akan tetapi, pada hasil otopsi, Julia dinyatakan meninggal akibat emboli udara pada bilik jantung kanannya yang sebelumnya tidak diketahui oleh dokter. Bahkan pada Februari 2013, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) telah menegaskan bahwa dr. Ayu tidak melakukan kesalahan ataupun kelalaian dari sisi etika. Secara teknis, Julia tidak mati akibat kinerja dr. Ayu yang salah sehingga seharusnya dr. Ayu terbebas dari tuduhan ini. Secara medikolegal, hal ini bukan merupakan malpraktek, tetapi merupakan medical error.
10
Di lain pihak, hal yang memberatkan dr. Ayu dkk. adalah tidak adanya surat izin praktek (SIP) untuk melakukan operasi sebagaimana yang mereka lakukan dan memalsukan tanda tangan pasien pada lembar persetujuan atau informed consent. Secara implisit, memang kedua hal ini merupakan kesalahan yang dilakukan mereka sehingga jaksa penuntut dapat berkata mereka melanggar KUHP. Akan tetapi, hal ini serta merta secara langsung berkaitan dengan meninggalnya Julia Makatey. Bahkan menurut Ketua Komisi Yudisial (KY) Gorontalo Suparman Marzuki, jika dilihat dari undang-undang kesehatan dan kode etik kedokteran, mungkin hal ini belum tentu bersalah. Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Budi Supriyanto juga berpendapat bahwa KUHP yang menjerat dr. Ayu perlu ditinjau ulang karena terdapat dualism di mana ada pula undang-undang yang mengatur tentang praktik kedokteran. Budi Supriyanto juga menegaskan bahwa kasus seperti ini seharusnya dibawa ke pengadilan khusus terlebih dahulu, yaitu Majelis Kehormatan Displin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Kasus dr. Ayu ditinjau dari Konsep Negara Hukum Terdapat lima macam konsep negara hukum yaitu konsep nomokrasi islam, konsep rechtsstaat, konsep rule of law, konsep socialist legality dan konsep negara hukum pancasila (Bastari dkk, 2010). Indonesia menganut konsep negara hukum pancasila. Dimana pada konsep negara hukum pancasila, pancasila dijadikan sebagai dasar pokok dan sumber hukum dan juga memakai UUD 1945. Sehingga pada kasus dr. Ayu harus diselesaikan secara serius dan tuntas sehingga baik dari pihak dr. Ayu maupun pihak keluarga mendapatkan keadilan yang sama dimata hukum.
11
BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Persilangan pendapat yang terjadi antara MA dan MKEK dalam memandang kasus dr. Ayu terjadi karena adanya ketidaksepahaman antara MKEK dan MA. Hal tersebut dikarenakan hukum kedokteran Indonesia masih belum dirumuskan secara mandiri sehingga batas-batas tentang malpraktek medis masih belum jelas. Akibatnya, isi, pengertian, dan batasan-batasan malpraktek medis belum seragam bergantung pada sisi mana orang memandangnya. Dugaan malpraktek dr. Ayu ini harus ditinjau dari dua aspek yaitu KUHP dan UU Kedokteran/Kesehatan (Taufani, 2011). Jika ditinjau dari hak dan kewajiban pasien-dokter sebagaimana yang tertera di dalam UU Kedokteran, hak pasien yang terkait dengan HAM dikatakan telah terjadi pelanggaran bilamana dokter melakukan tindakan medis yang tidak sesuai dengan standar operasional prosedur yang sering disebut dengan malpraktik. Akan tetapi, dalam kasus ini berdasarkan pandangan kedokteran, masyarakat itu sendiri telah melanggar HAM dr. Ayu dan rekannya sebab kasus ini tidak tergolong dalam tindakan malpraktik. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah menelaah kronologis kasus dan kesesuaian tindakan dr. Ayu dan rekannya terhadap SOP yang ada. Sesuai dengan MKEK dan MKDKI yang ada, dr. Ayu telah bertindak sesuai SOP dan tidak melakukan tindakan malpraktik sebab kasus gawat darurat dapat memicu terjadinya kelalaian dalam meminta informed consent kepada keluarga pasien. sudah selayaknya jika IDI menuntut HAM dr. Ayu dan rekannya yang sudah tertindas dalam kasus ini. Sementara, berdasarkan KUHP, dr. Ayu dan kedua rekan dokternya dituntut oleh pihak keluarga karena dianggap melanggar pasal 359 KUHP karena dianggap telah menghilangkan nyawa seseorang akibat kelalaian tindakan medis yang dilakukan. Namun jika dicermati isi dari KUHP tersebut, dr. Ayu dinyatakan bersalah jika Julia mati akibat kesalahannya. Akan tetapi, pada hasil otopsi, Julia dinyatakan meninggal akibat emboli udara pada bilik jantung kanannya yang sebelumnya tidak diketahui oleh dokter. Secara medikolegal, hal ini bukan merupakan malpraktek, tetapi merupakan medical error. Di lain pihak, hal yang
12
memberatkan dr. Ayu dkk. adalah tidak adanya surat izin praktek (SIP) untuk melakukan operasi sebagaimana yang mereka lakukan dan memalsukan tanda tangan pasien pada lembar persetujuan atau informed consent. Secara implisit, memang kedua hal ini merupakan kesalahan yang dilakukan mereka sehingga jaksa penuntut dapat berkata mereka melanggar KUHP. Akan tetapi, hal ini serta merta secara langsung berkaitan dengan meninggalnya Julia Makatey sehingga sebaiknya KUHP yang menjerat dr. Ayu perlu ditinjau ulang karena terdapat dualism di mana ada pula undang-undang yang mengatur tentang praktik kedokteran dan juga menegaskan bahwa kasus seperti ini seharusnya dibawa ke pengadilan khusus terlebih dahulu, yaitu Majelis Kehormatan Displin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Indonesia sebagai negara yang menganut konsep negara hukum pancasila menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan hukumnya. Di dalam Pancasila dan UUD 1945, HAM dijamin oleh negara. Kasus dr. Ayu merupakan dua sisi mata uang yang jika dilihat dari masing-masing sisi menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dari pihak yang berbeda sehingga kasus dr. Ayu harus diselesaikan secara serius dan tuntas dengan tujuan pihak dr. Ayu maupun pihak keluarga mendapatkan keadilan yang sama dimata hukum. 4.2 Saran
Kepada penegak hukum di Indonesia untuk dapat meninjau ulang kasus ini dari berbagai sisi. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa telah terjadi perselisihan pendapat antara pihak medis dan Mahkamah Agung. Hal ini terjadi karena perbedaan pandangan dan landasan hukum yang digunakan sehingga sebaiknya kedua pihak dapat menelaah dengan cermat kasus ini dari kedua sisi tersebut. Sebaiknya, para penegak hukum kembali lagi ke landasan hukum Pancasila dan UUD 1945 dan memperjuangkan HAM kedua belah pihak sehingga tidak ada yang dirugikan. Kepada masyarakat untuk tidak memandang kasus ini dari satu sisi saja dan untuk dapat mencermati pemberitaan di media massa. Sebaiknya masyarakat
13
dapat memilih pemberitaan yang sesuai dan tidak memihak yang memandang kasus ini dari kedua sisi. Sehingga diharapkan tidak ada pihak yang dipojokkan.
DAFTAR PUSTAKA
14
Anggi. 2013. Kasus dr. Ayu Ini Kronologi Dokter Vs Mahkama Agung. (Diambil dalam: http://m.news.viva.co.id/news/read/462229-kasus-dr-ayu--inikronologi-dokter-vs-mahkamah-agung, diakses tanggal 17 Desember 2013). Anwar. 2013. Alasan Majelis Hakim Dipimpin Artidjo Vonis dr. Ayu 10 Bulan Bui. (Diambil dalam: http://www.merdeka.com/peristiwa/alasan-majelishakim-dipimpin-artidjo-vonis-dr-ayu-10-bulan-bui.html, diakses tanggal 17 Desember 2013) Bastari, Romzie A dkk. 2010. Buku Ajar Mata Kuliah Pengembangan Bakat, Pendidikan Kewarganegaraan. Indralaya: UPT MPK UNSRI. Hlm: 119 – 124. Indrawati dkk. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Sebagai Konsumen Yang Mengalami Malpraktik Jasa Pelayanan Kesehatan. Jurnal Magister Ilmu Hukum FH Universitas Brawijaya Malang. (Diambil dalam: http://hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/09/354_JURNALINDRAWATI.pdf, diakses tanggal 17 Desember 2013). Kutnadi. 2013. Pasal Penjerat Dokter Ayu Perlu Ditinjau Ulang. (Diambil dalam: http://www.antaranews.com/berita/407661/pasal-penjerat-dokter-ayu-perluditinjau-ulang, diakses tanggal 17 Desember 2013). Tahta. 2013. Berdasar KUHP, KY Sebut Dokter Ayu Dkk Lalai. (Diambil dalam: http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/11/30/mx2rteberdasar-kuhp-ky-sebut-dokter-ayu-dkk-lalai, diakses tanggal 17 Desember 2013). Taufani, A. 2011. Tinjauan Yuridis Malpraktek Medis dalam Sistem Hukum Indonesia. Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. (Diambil dalam : http://www.jkn.kemkes.go.id/attachment/unduhan/UU %20Nomor%2036%20Tahun2%20009%20tentang%20Kesehatan.pdf, diakses tanggal 17 Desember 2013).
15
View more...
Comments