Laporan Kasus Tb Hiv
March 14, 2018 | Author: Asyrofi Fanron Seiei | Category: N/A
Short Description
Download Laporan Kasus Tb Hiv...
Description
LAPORAN KASUS A. IDENTITAS Pasien Nama
: Tn. SH
Umur
: 30 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: mojosongo jebres Surakarta
Pekerjaan
: kuli bangunan
Status perkawinan
: belum menikah
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Tanggal pemeriksaan
: 9 Januari 2013
No. Register
: 062617
B. ANAMNESIS Dilakukan pada tanggal 9 Januari 2013 jam 10.00 WIB didapat secara autoanamnesis. 1. Keluhan Utama Kontrol paska pengobatan OAT pada akhir bulan ke 2 2. Riwayat Penyakit Sekarang 1 tahun yang lalu Pasien mengeluh kulit pasien melepuh terasa gatal merah kehitaman di bagian muka, tangan, alat kelamin dan kaki. Luka terasa panas. Badan terasa demam. Demam naik turun. Hanya turun saat minum obat penurun panas kemudian demam lagi. Cepat capek saat aktivitas. Sariawan (-), diare (-), batuk (-), sesak (-), nyeri dada (-). Kemudian beberapa kali pasien mengobatkan diri ke dokter, pasien beri obat untuk kulitnya tetapi belum merasa ada perbaikan. 3 bulan yang lalu Kulit masih melepuh terasa gatal kehitaman di bagian muka, tangan, alat kelamin dan kaki. Badan kadang demam kadang tidak. Sariawan
1
(+), diare/ BAB cair (+) sehari > 10 x sedikit sedikit tanpa darah tanpa lendir, batuk (+) tidak berdahak, sesak nafas (+),
keringat dingin
malam hari (+). Nafsu makan menurun (+). Pasien memeriksakan diri ke dokter kemudian di rujuk ke BBKPM sukarakarta. 2 bulan yang lalu Pasien datang ke BBKPM surakarta dengan rujukan dari spesialis penyakit dalam dengan diagnosis dermatitis fenikulata, pasien mengeluh kulit masih terasa gatal menghitam dan terasa panas. Badan sumer-sumer. Sesak nafas (+) saat aktivitas bertambah sesek, batuk tidak berdahak, dada terasa nyeri, kadang berkeringat pada malam hari, nafsu makan menurun, diare (+), berat badan menurun 9 kg selama ± 2 bulan, sariawan sudah berkurang. Pasien didiagnosis TB dan HIV setelah menjalani beberapa pemeriksaan penunjang.dan memulai pengobatan TB. Hari saat kontrol Pasien sudah menjalani pengobatan TB selama 2 bulan, dan pengobatan antivirus selama 1 bulan. Pasien mengeluh kadang sedikit sesak,batuk (+) tidak berdahak, mual (+), nyeri dada (-), keringat malam (-), diare (-), sariawan (-), demam (-),badan sudah tidak gatal, masih berwarna hitam bulat-bulat kecil bersisik. Nafsu makan sudah membaik. BB bertahap mulai naik. 3. Riwayat Penyakit Dahulu -
Riwayat Asma disangkal
-
Hipertensi disangkal
-
Diabetes Mellitus disangkal
-
Riwayat pengobatan OAT disangkal
-
Alergi obat dan makanan disangkal
-
Riwayat sakit jantung disangkal
-
Riwayat batuk darah disangkal
-
Riwayat batuk lama kumat-kumatan disangkal
2
4. Riwayat Keluarga -
Riwayat sakit serupa (-)
-
Riwayat batuk lama (-)
-
Riwayat asma dalam keluarga (-)
-
Riwayat alergi dalam keluarga disangkal
-
Riwayat hipertensi disangkal
-
Riwayat DM disangkal
5. Riwayat Kesehatan Lingkungan - Adanya penderita batuk lama disangkal - Adanya penderita batuk darah disangkal - Udara dingin pada tempat tinggal pasien disangkal - Pasien bekerja sebagai buruh bangunan 6. Riwayat Pribadi - Pasien serumah dengan bapak dan ibu dan 2 orang adiknya - Pasien merokok 1 bungkus perhari sejak SMA berhenti sejak ± 1 tahun yang lalu - Pasien minum-minuman beralkohol sejak lulus SMA. - Pasien sering berganti-ganti pasangan sex dengan penjajah sex sejak umur 20 tahun - Pasien mempunyai tatto dipunggung sejak lulus SMA 7. Riwayat Sosial Ekonomi - Pasien bekerja sebagai buruh bangunan, penghasilan dirasakan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. C. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 9 Januari 2013 1. Keadaan Umum KU
: CM (GCS 15 : E4 V5 M6)
BB
: 56 kg
3
Gizi
: Cukup
2. Vital Sign Tekanan darah : 120/80 mmHg Nadi
: 90x pm
Pernafasan
: 22 x pm
Suhu
: 36,4 oC
3. Pemeriksaan Fisik Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+), reflek cahaya direct dan indirect (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-). Hidung Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-). Telinga Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-). Mulut Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), lidah simetris (+), lidah tremor (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-). Leher Simetris, trakea di tengah, peningkatan JVP (-/-), pembesaran kelenjar getah bening (-/-), nyeri tekan (-/-), benjolan (-/-). Toraks Pulmo : -
Inspeksi : simetris, gerak dada kanan dan kiri sama, retraksi intercostal (-/-)
-
Palpasi Ketinggalan gerak : tidak ada Fremitus : Depan
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
Belakang
4
-
Perkusi : Depan
Sonor Sonor
S
Sonor Sonor
on Sonor
Belakang
Sonor Sonor or Sonor Sonor Sonor Sonor
-
Auskultasi : Suara dasar vesikuler
Depan +
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Belakang
Wheezing : -/Jantung : Bunyi jantung I-II murni regular, Bising jantung tidak ditemukan. Abdomen : -
Inspeksi bentuk abdomen simetris, ukuran normal, tidak ada darm contour, tidak ada darm steifung, tidak ada bekas luka operasi
-
Auskultasi peristaltik usus normal
-
Palpasi supel, nyeri tekan tidak ditemukan, hepar-lien tidak teraba
-
Perkusi timpani
Ekstremitas : clubbing finger tidak ditemukan, tidak ditemukan edema pada daerah ekstremitas Integumentum : makula hiperpigmentasi dengan krusta dan skuama kasar di muka, tangan dan kaki 4. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Laboratorium tanggal 14/11 2013
5
-
SGOT
: 35
( < 33 µ/L)
-
SGPT
: 39
( < 50 µ/L)
Pemeriksaan Laboratorium tanggal 9/01 2013 -
SGOT
: 28
( < 33 µ/L)
-
SGPT
: 28
( < 50 µ/L)
Rapid test : reaktif b. Radiologi ( Rontgen Toraks PA Foto Rontgen Toraks PA (Tanggal 7 November 2012)
Foto Rontgen Toraks PA (Tanggal 9 Januari 2013)
6
- CTR < 50% - Corakan vaskuler kasar - Tidak terdapat infiltrat - Sinus kosto frenikus lancip. Kesan : cor dalam batas normal Gambaran bronkitis c. Pemeriksaan BTA Pada tanggal 8 November 2012 Sewaktu
(-) negatif
Pagi
(+) Positif 1+
Sewaktu
(-) negatif
Pada tanggal 9 Januari 2013 ( akhir fase intensif) Pagi
(-) Negatif
Sewaktu
(-) Negatif
7
D. RESUME 1. Anamnesis : -
1 tahun yang lalu : Kulit pasien melepuh, gatal, warna merah kehitaman di bagian muka, tangan, alat kelamin dan kaki. Terasa panas.Demam naik turun. Cepat lelah saat aktivitas
-
3 bulan yang lalu : kulit masih melepuh, gatal, kehitaman di bagian muka, tangan, alat kelamin dan kaki. Kadang demam, diare, batuk tanpa dahak, sesak nafas, keringat dingin malam hari, nafsu makan menurun.
-
2 bulan yang lalu : kulit masih gatal hitam dan terasa panas. Badan sumer-sumer, sesak nafas yang bertambah saat aktivitas, batuk tidak berdahak, dada nyeri, kadang keringat dingin, naafsu makan menurun, diare, BB menurun 9 kg selama 2 bulan. Sariawan berkurang.
-
Saat kontrol : sudah menjalani pengobatan 2 bulan, pengobatan antivirus selama 1 bulan, kadang masih sesak, batuk tidak berdahak, mual, nafsu makan membaik, BB bertahap mulai naik. Kulit warna terdapat bekas luka warna hitam bulat kkecil dan bersisik.
2. Pemeriksaan Fisik : -
Respirasi 20x/menit, Suhu 36,40C, TD : 120/80 mmHg
-
Thorax : simetris, retraksi intercostal (-), fremitus normal, perkusi sonor, auskutasi : Suara dasar vesikuler (+/+)
-
Abdomen : supel, peristaltik (+) normal
Integumentum : makula hiperpigmentasi dengan krusta dan
skuama kasar di muka, tangan dan kaki 3. Pemeriksaan Penunjang -
Laboratorium darah
tanggal 14/11 2013 -
SGOT
: 35
( < 33 µ/L)
8
-
SGPT
: 39
( < 50 µ/L)
tanggal 9/01 2013 -
SGOT
: 28
( < 33 µ/L)
-
SGPT
: 28
( < 50 µ/L)
Hasil rapid test = reaktif -
Foto Thorax : Kesan brokitis -
BTA :
dahak SPS tanggal 8 november 2012 (saat diagnosis) : pagi 1+
dahak SP tanggal 9 Januari 2013 (akhir fase intensif) : negatif
E. ASSESMENT DAN PLANNING 1. Assessment : -
TB Paru BTA (+) kasus baru dengan pengobatan OAT Kategori 1 pada akhir bulan ke-2 dengan HIV
2. Planning : -
Pemeriksaan sputum BTA (SPS)
-
Pemeriksaan Rongten Thorax
-
Pemeriksaan darah lengkap
-
Pemeriksaan viral load CD4
9
Assessment
P. Diagnosis
TB Paru BTA (+) Sputum kasus
BTA
P. Terapi
-
baru (SPS)
P. Monitoring
Lanjut Obat OAT Klinis fase lanjutan
Lab Darah
-
Lanjut ARV
(terutama
pengobatan OAT
-
Terapi simtomatis
SGOT/SGPT)
Kategori 1 pada Rapid test HIV
-
Imunomodulator
Berat badan
3 x 1 tab
Efek samping
dengan
Foto Thoraks
akhir bulan ke-2 dengan HIV
obat
F. POMR (PROBLEM ORIENTED MEDICAL RECORD)
G. TERAPI OAT kategori 1 fase lanjutan R /H = 450 mg/ 300 mg - ARV -Simtomatik Salbutamol tab 1 mg x2 Domperidon tab 2x1 k/p mual muntah Xanvit 1x1 H. PROGNOSIS Ad vitam
: ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam Ad sanationam : ad malam
TINJAUAN PUSTAKA
10
1.
TUBERCULOSIS A. Definisi Tuberkulosis (TB) adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis,
khas
ditandai
dengan
terjadinya
pembentukan granuloma dan nekrosis. Infeksi ini paling sering mengenai paru, akan tetapi dapat juga meluas mengenai organ-organ tertentu. Tuberkulosis dapat menyerang paru ataupun terdapat di ektra paru seperti pleura, pericardium, peritoneum, intestinum (ileocaecal), tulang/sendi, SSP Jarang pada orkitis/epididimitis, tuboovarial/endometrium, ginjal, adrenal, kulit. 1 B.
Etiologi TB Paru diakibatkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex. Bakteri ini merupakan basil tahan asam yang ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882 7. Mycobacterium tuberculosis adalah kuman penyebab TB yang berbentuk batang ramping lurus atau sedikit bengkok dengan kedua ujungnya membulat. Koloninya yang kering dengan permukaan berbentuk bunga kol dan berwarna kuning tumbuh secara lambat walaupun dalam kondisi optimal. Diketahui bahwa pH optimal untuk pertumbuhannya adalah antara 6,8-8,0. Untuk memelihara virulensinya harus dipertahankan kondisi pertumbuhannya pada pH 6,8 8. M. tuberculosis tipe humanus
dan
bovines
adalah
mikobakterium yang paling banyak menimbulkan penyakit TB pada manusia. Basil tersebut berbentuk batang, bersifat aerob, mudah mati pada air mendidih (5 menit pada suhu 80 C dan 20 menit pada suhu 60C), dan mudah mati apabila terkena sinar ultraviolet (sinar matahari). Basil tuberkulosis tahan hidup berbulan-bulan pada suhu kamar dan dalam ruangan yang lembab9. C. Patogenesis 1. TB primer : paparan I, inhalasi droplet nuclei menuju ke alveoli. Multiplikasi sbg lesi eksudatif parenkim minimal (fokus Ghon) 11
memberikan gambaran limfadenopati hiler homolateral (kompleks primer/Ranke). Bergantung respon imun, dpt terjadi berbagai kondisi : – Asimptomatis – Komplikasi paru dan pleura 2. TB post primer : reinfeksi atau reaktivasi setelah periode laten pasca infeksi primer. Gbran klinis berupa Destruksi luas jaringan, BTA dahak (+), keterlibatan lobus superior paru, tanpa limfadenopati.
Suspek TB Paru
Pemeriksaan dahak mikroskopi- Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS) D. Manifestasi Klinis
Tanda utama : a. BatukHasil lamaBTA > 3 minggu b. Produksi+++ sputum
Hasil BTA ---
Hasil BTA +- -
++-
c. Penurunan BB Gejala paru lain d. Batuk darah, nyeri dada, sesak
Antibiotik non OAT
Gejala konstitusional
Demam/keringat malam, kelemahan, kehilangan nafsu makan Tidak ada perbaikan
Ada perbaikan
Foto toraks dan pertimbangan dokter Pemeriksaan dahak mikroskopis
Hasil BTA +++ +++--
Hasil BTA ---
E. Diagnosis Foto toraks dan pertimbangan dokter
12 TB
BUKAN TB
2. MHIV/ AIDS a. Definisi
13
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus dengan materi genetik asam ribonukleat (RNA). Retrovirus mempunyai kemampuan yang unik untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase, setelah masuk ke tubuh hospes. Virus ini menyerang dan merusak sel- sel limfosit T-helper (CD4+) sehingga sistem imun penderita turun dan rentan terhadap berbagai infeksi dan keganasan 12. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk family retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV4. b. Patogenesis HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki
reseptor
membran
CD4,
yaitu
sel
T-helper
(CD4+).
Glikoprotein envelope virus, yakni gp120 akan berikatan dengan permukaan sel limfosit CD4+, sehingga gp41 dapat memperantarai fusi membran virus ke membran sel. Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4+, RNA virus masuk ke bagian tengah sitoplasma CD4+. Setelah nukleokapsid dilepas, terjadi transkripsi terbalik (reverse transcription) dari satu untai tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai-ganda virus. cDNA kemudian bermigrasi ke dalam nukleus CD4+ dan berintegrasi dengan DNA dibantu enzim HIV integrase. Integrasi dengan DNA sel penjamu menghasilkan suatu provirus dan memicu transkripsi mRNA. mRNA virus kemudian ditranslasikan menjadi protein struktural dan enzim virus. RNA genom virus kemudian dibebaskan ke dalam sitoplasma dan bergabung dengan protein inti. Tahap akhir adalah pemotongan dan penataan protein virus menjadi segmensegmen kecil oleh enzim HIV protease. Fragmen-fragmen virus akan dibungkus oleh sebagian membran sel yang terinfeksi. Virus yang baru terbentuk (virion) kemudian dilepaskan dan menyerang sel-sel rentan
14
seperti sel CD4+ lainnya, monosit, makrofag, sel NK (natural killer), sel endotel, sel epitel, sel dendritik (pada mukosa tubuh manusia), sel Langerhans (pada kulit), sel mikroglia, dan berbagai jaringan tubuh 13. Sel limfosit CD4+ (T helper) berperan sebagai pengatur utama respon imun, terutama melalui sekresi limfokin. Sel CD4+ juga mengeluarkan faktor pertumbuhan sel B untuk menghasilkan antibodi dan mengeluarkan faktor pertumbuhan sel T untuk meningkatkan aktivitas sel T sitotoksik (CD8+). Sebagian zat kimia yang dihasilkan sel CD4+ berfungsi sebagai kemotaksin dan peningkatan kerja makrofag, monosit, dan sel Natural Killer (NK). Kerusakan sel T-helper oleh HIV menyebabkan penurunan sekresi antibodi dan gangguan pada sel-sel imun lainnya14. Pada sistem imun yang sehat, jumlah limfosit CD4+ berkisar dari 600 sampai 1200/ μl darah. Segera setelah infeksi virus primer, kadar limfosit CD4+ turun di bawah kadar normal untuk orang tersebut. Jumlah sel kemudian meningkat tetapi kadarnya sedikit di bawah normal. Seiring dengan waktu, terjadi penurunan kadar CD4+ secara perlahan, berkorelasi dengan perjalanan klinis penyakit. Gejala-gejala imunosupresi tampak pada kadar CD4+ di bawah 300 sel/μl. Pasien dengan kadar CD4+ kurang dari 200/μl mengalami imunosupresi yang berat dan risiko tinggi terjangkit keganasan dan infeksi oportunistik 13. c. Penularan HIV/ AIDS Penularan AIDS terjadi melalui : 1. Hubungan kelamin (homo maupun heteroseksual); 2. Penerimaan darah dan produk darah; 3. Penerimaan organ, jaringan atau sperma; 4. Ibu kepada bayinya (selama atau sesudah kehamilan). Kemungkinan penularan melalui hubungan kelamin menjadi lebih besar bila terdapat penyakit kelamin, khususnya yang menyebabkan luka atau ulserasi pada alat kelamin. HIV telah diisolasi dari darah, sperma, air liur, air mata, air susu ibu, dan air seni, tapi yang terbukti
15
berperan dalam penularan hanyalah darah dan sperma. Hingga saat ini juga tidak terdapat bukti bahwa AIDS dapat ditularkan melalui udara, minuman, makanan, kolam renang atau kontak biasa (casual)dalam keluarga, sekolah atau tempat kerja. Juga peranan serangga dalam penularan AIDS tidak dapat dibuktikan.15 d. Diagnosis Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV. Pertama, tes ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) yang bereaksi terhadap antibodi dalam serum. Apabila hasil ELISA positif, dikonfirmasi dengan tes kedua yang lebih spesifik, yaitu Western blot. Bila hasilnya juga positif, dilakukan tes ulang karena uji ini dapat memberikan hasil positif-palsu atau negatif-palsu. Bila hasilnya tetap positif, pasien dikatakan seropositif HIV. Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan klinis dan imunologik lain untuk mengevaluasi derajat penyakit dan dimulai usaha untuk mengendalikan infeksi 13. WHO mengembangkan sebuah sistem staging (untuk menentukan prognosis), berdasarkan dari kriteria klinis, sebagai berikut. 15 Tabel . WHO clinical staging system for HIV infection and related disease in adult (13 years or older) Stage 1 : - Asimptomatik - Limfadenopati general Stage 2: -Penurunan berat badan < 10% berat badan sebelumnya - Manifestasi mukokutaneus minor (misal: ulserasi oral, infeksi jamur di kuku) - Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir - Infeksi saluran napas atas rekuren (misal: sinusitis bakterial)
16
Dan/ atau Performance scale 2: simptomatik, aktivitas normal Stage 3: -
Penurunan berat badan > 10% dari berat badan sebelumnya
-
Diare kronis tanpa sebab > 1 bulan
-
Demam berkepanjangan tanpa sebab > 1 bulan
-
Candidiasis oral
-
Oral hairy leukoplakia
-
TB paru
-
Infeksi bakteri berat (pneumonia, pyomiositis)
Dan/atau Performance scale 3: istirahat di tempat tidur < 50% dalam sehari selama sebulan terakhir Stage 4: - HIV wasting syndrome - Pneumonisitis carina pneumonia - Toxoplasmosis otak - Kriptosporidiosis dengan diare, lebih dari sebulan - Kriptokokosis, ekstra paru - TB ekstra paru - Penyakit disebabkan oleh CMV - Infeksi virus herpes lebih dari 1 bulan - Leukoensefalopati multifokal yang progresif - Infeksi jamur endemik yang menyebar
e. Terapi Anti Retrovirus (ARV) Antiretrovirus (ARV) yang ditemukan pada tahun 1996, mendorong suatu revolusi dalam perawatan penderia HIV/AIDS. 17
Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping dan resistensi, obat ini secara dramatis menunjukkan penurunan angka mortalitas dan morbiditas akibat HIV/AIDS14. Pemberian ARV bergantung pada tingkat progresifitas penyakit, yang dapat dinilai melalui kadar CD4+ dan kadar RNA HIV serum. Terdapat tiga jenis antiretrovirus yang digolongkan berdasarkan cara kerjanya, yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini 13. Tabel HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) Golongan Obat dan Mekanisme Kerja Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) Menghambat transcriptase
HIV,
Nama Obat Abacavir (ABC) Didanosin (ddl)
reverse
Lamivudine (3TC)
sehingga
Stavudine (d4T),
pertumbuhan rantai DNA dan
Zidovudin (ZDZ atau AZT)
replikasi HIV terhenti. Nonnucleoside Reverse
Nevirapin (NVP)
Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
Efavirenz (EFV)
Menghambat transkripsi RNA HIV menjadi DNA. Protease Inhibitor (PI)
Indinavir (IDV)
Menghambat protease HIV, yang
Ritonavir (RTV, r)
mencegah pematangan virus
Lopinavir (LPV)
HIV.
Nelvinafir (NFV) Saquinavir (SQV)
3. TUBERKULOSIS HIV (TB-HIV)
a. Hubungan TB dan HIV
18
Ketika infeksi HIV berlanjut dan imunitas menurun, pasien menjadi
rentan
terhadap
berbagai
infeksi.
Beberapa
di
antaranya adalah TB, pneumonia, infeksi jamur di kulit dan orofaring, serta herpes zoster. Infeksi tersebut dapat terjadi pada berbagai tahap infeksi HIV dan imunosupresi.
15
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/ AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB 2. Menurut WHO, infeksi HIV terbukti merupakan faktor yang memudahkan terjadinya proses pada orang yang telah terinfeksi TB, meningkatkan risiko TB laten menjadi TB aktif dan kekambuhan, menyulitkan diagnosis, dan memperburuk stigma. TB juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien pengidap HIV 6. Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada Gambar Gambar . Faktor Risiko Kejadian TB transmisi transmisi Diagnosis tepat dan cepat Pengobatan tepat dan lengkap Kondisi kesehatan mendukung Jumlah kasus TB BTA + Risiko menjadi TB bila dengan HIV: Faktor lingkungan: 5-10% setiap tahun Ventilasi > 30% lifetime Kepadatan Dalam ruangan Faktor perilaku
HIV (+)
TERPAJAN b. Patogenesis Konsentrasi Kuman Lama Kontak
SEMBUH
TB
INFEKSI
MATI
10% Keterlambatan diagnosis dan pengobatan Malnutrisi Tatalaksana tak memadai Penyakit DM, imunosupresan Kondisi kesehatan
19
Pada orang yang imunokompeten, ketika terinfeksi M. tuberculosis, organisme disajikan kepada makrofag melalui ingesti dimana setelah diproses, antigen mikobakteri disajikan ke sel-T. Sel CD4 mengeluarkan limfokin yang meningkatkan kapasitas makrofag untuk menelan dan membunuh mikobakteri. Pada sebagian besar orang terjadi infeksi dan TB tidak berkembang, meski sejumlah basil tetap dorman tubuh. Hanya 10% dari kasus yang berkembang menjadi TB klinis, segera setelah infeksi primer atau bertahun-tahun kemudian sebagai reaktivasi TB. Hal ini memungkinkan terjadinya kerusakan pada fungsi dari sel T dan makrofag5. Deplesi dan disfungsi sel CD4 yang progresif, ditambah dengan adanya kerusakan pada fungsi makrofag dan monosit, membentuk ciri infeksi HIV. Disfungsi ini pada odha sebagai predisposisi terjadinya infeksi TB baik primer maupun reaktivasi. Bukti epidemiologis menunjukkan bahwa infeksi HIV meningkatkan risiko reaktivasi laten TB dan juga risiko penyakit progresif dari infeksi baru5. c. Diagnosis Tuberkulosis pada pasien dengan HIV mempunyai gejala dan gambaran klinis yang berbeda dengan orang tanpa terinfeksi HIV. Hal ini disebabkan karena rendahnya reaksi imunologik penderita AIDS. Seperti diketahui manifestasi klinis TB sebenarnya merupakan reaksi imunologik terhadap Mycobacterium tuberculosis. Walaupun gambaran radiologik TB pada penderita AIDS mirip gambaran TB primer, keadaan umum pasien dengan AIDS cepat memburuk. Situasi penyakit TB akan mengalami peningkatan dengan masuknya HIV/ AIDS. Kombinasi TB dengan HIV/ AIDS sangat berbahaya dan mematikan 6. Ketika infeksi HIV berlanjut, limfosit T CD4+ mengalami penurunan baik dalam jumlah maupun fungsinya. Sel ini memerankan peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap M. tuberculosis. Dengan demikian, kemampuan sistem imunitas menurun dalam mencegah pertumbuhan dan penyebaran lokal bakteri tersebut.
15
20
Pada pasien yang terinfeksi HIV, TB paru masih merupakan TB yang
tersering.
Penampakan
klinis
tergantung
dari
derajat
imunosupresi. Tabel 6 menunjukkan perbedaan pada gambaran klinis, hasil sputum dan radiologi antara pasien infeksi HIV dengan TB paru tahap awal dan tahap lanjut.15 Tabel . Perbedaan TB paru pada infeksi HIV tahap awal dan lanjut 15. Gambaran TB Paru
Gambaran klinis
Hasil sputum BTA Gambaran radiologis
Tahap Infeksi HIV Awal Akhir Biasanya Biasanya menyerupai TB menyerupai TB paru postparu primer primer Biasanya positif Biasanya negative Biasanya terdapat Biasanya terdapat infiltrat tanpa kavitas kavitas
d. Penatalaksanaan Pada dasarnya, prinsip pengobatan TB dengan HIV/AIDS sama dengan pengobatan tanpa HIV/AIDS. Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat 1. Prinsip pengobatan pasien TBHIV adalah adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV (Antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV dengan standar WHO2. Pengobatan OAT pada TB-HIV1: -
Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit.
-
Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang steril.
21
-
Desensitasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati.
-
Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberikan respon untuk pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat, juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima sub optimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum. Interaksi obat TB dengan ARV1:
-
Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan kemungkinan terjadinya efek toksik OAT.
-
Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleotida, kecuali Didanosin (ddl) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida.
-
Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan nonnukleotida dan inhibitor protease. Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%.
-
Pasien dengan koinfeksi TB-HIV, segera diberikan OAT dan pemberian ARV dalam 8 minggu tanpa mempertimbangkan kadar CD4.
-
Setiap penderita TB-HIV harus diberikan profilaksis kotrimoksasol dengan dosis 960 mg/hari (dosis tunggal) selama pemberian OAT. Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB terdapat
pada tabel berikut10. Tabel . Terapi Antiretroviral pada ODHA dengan koinfeksi TB 10
22
Keadaan penyakit TB paru dan CD4 < 50/mm3 TB ekstra paru
Rekomendasi Mulai terapi ARV dengan salah satu regimen di bawah segera setelah terapi TB ditoleransi:
ZDV/ 3TC/ABC ZDV/3TC/EFZ ZDV/3TC/SQV/r ZDV/3TC/NVP
TB paru dan Mulai terapi ARV dengan salah satu CD4 50- regimen berikut setelah 2 bulan terapi TB: ZDV/ 3TC/ABC 200/mm3 atau hitung limfosit ZDV/3TC/EFZ total < 1200 mm3 ZDV/3TC/SQV/r
ZDV/3TC/NVP
TB paru dan Terapi TB. Pantau CD4 bila mungkin CD4 > 200/mm3 Mulai terapi ARV sesuai dengan jumlah atau hitung CD4 limfosit total > 1200/ mm3
Standar Untuk Penanganan TB Dengan Infeksi HIV (diambil dari International Standard For Tuberculosis Care )1
Uji HIV dan konseling harus direkomendasikan pada semua pasien
yang
menderita
atau
yang
diduga
menderita
TB.
Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dari manajemen rutin bagi semua pasien di daerah dengan prevalensi infeksi HIV yang
23
tinggi dalam populasi umum, pasien dengan gejala dan/atau tanda kondisi yang berhubungan HIV dan pasien dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV. Karena terdapat hubungan yang erat antara TB dan infeksi HIV, pada daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi pendekatan yang terintegrasi direkomendasikan untuk pencegahan dan penatalaksanaan kedua infeksi. Semua.pasien
dengan
TB dan
infeksi
HIV
seharusnya
dievaluasi untuk menentukan perlu/ tidaknya pengobatan ARV diberikan selama pengobatan TB. Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat antiretroviral seharusnya dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi. Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan TB tidak boleh ditunda. Pasien TB dan infeksi HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya. Pasien dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan seksama, tidak menderita TB aktif seharusnya diobati sebagai infeksi TB laten dengan isoniazid selama 6-9 bulan.
24
DAFTAR PUSTAKA 1. Isbaniyah,
F.
dkk.
Tuberkulosis:
Pedoman
Diagnosis
dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2011. 2. Aditama, T.Y, dkk. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI; 2007. 3. Djojodibroto, D. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC; 2009. 4. Djoerban, Z. Samsuridjal, D. HIV/ AIDS di Indonesia, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; 2009. 5. Bhatia, R.S.. HIV and Tuberculosis: The Ominous Connection. IJCP. 2001; 2 (4): 256-9. 6. Hudoyo, A. dkk. Diagnosis TB-Paru pada Pasien dengan HIV/ AIDS. 2008; JTI 4(2): 1-5. 7. Crofton, J., Horne, N., Miller, F. Tuberkulosis Klinis 2nd ed. Jakarta: Widya Medika; 2002. 8. Misnadiarly.
Pemeriksaan
Laboratorium
Tuberkulosis
dan
Mikobakterium Atipik. Jakarta: Dian Rakyat; 2006. 9. Alsagaff, H. Abdul M. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press; 2009.
25
10. Hasan, H. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press; 2010 11. Amin, Z. Asril B. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; 2009. 12. Simbolon, E. Pola Kelainan Kulit pada Pasien HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara;
2011.
Diakses
dari:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21448. 13. Lan, V.M. Virus Imunodefisiensi Manusia (HIV) dan Sindrom Imunodefisiensi
Didapat
(AIDS).
Dalam:
Hartanto,H.
(eds).
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Vol I. Ed.6. Jakarta:EGC; 2006. p. 224-245. 14. Murtiastutik, D. AIDS. Dalam: Barakbah, J. (eds). Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Ed.2. Surabaya: Airlangga University Press; 2008.p. 211-220. 15. WHO.
TB/
HIV:
A
Clinical
Manual;
2004.
Diakses
dari:
whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.pdf.
26
View more...
Comments