Laporan Kasus SNNT

July 26, 2019 | Author: sayasaja | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Struma Nodusa Non Toksik...

Description

Laboratorium Ilmu Bedah

REFLEKSI KASUS

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

STRUMA NODUSA NON TOKSIK

MAHFUDHAH IKLIL KHAIRUNNISA 1610029037

Pembimbing: dr. Arie Ibrahim, Sp.BS

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Laboratorium Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman 2017

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah tugas ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tugas ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari pembelajaran saya. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

hingga

terselesaikannya

tugas

ini.

Pertama-tama

saya

ingin

mengucapkan terima kasih kepada: 1. dr. Arie Ibrahim, Sp.BS selaku pembimbing ahli laboratorium ilmu bedah. 2. Teman-teman seperjuangan yang telah membantu memberikan informasi dan sumber bacaan. Saya sengaja menyelesaikan tugas ini untuk memenuhi salah satu tugas  pendidikan

kepaniteraan

klinik.

Tentunya

saya

selaku

penyusun

juga

mengharapkan agar tugas ini dapat berguna baik bagi penyusun sendiri maupun  bagi pembaca di kemudian hari. Tentunya tugas ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran serta kritik yang membangun sangat saya harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan tugas ini.

Samarinda, Januari 2017

Mahfudhah Iklil Khairunnisa

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1

Latar Belakang ............................................................................................ 1

1.2

Tujuan Penulisan ......................................................................................... 2

BAB 2 LAPORAN KASUS ................................................................................... 3 2.1

Identitas Pasien............................................................................................. 3

2.2

Anamnesis .................................................................................................... 3

2.3

Pemeriksaan Fisik (26-10-2016) .................................................................. 4

2.4

Pemeriksaan Penunjang ............................................................................... 7

2.5

Diagnosis Kerja ............................................................................................ 7

2.6

Penatalaksanaan ........................................................................................... 7

2.7

Prognosis ...................................................................................................... 8

BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 9 3.1

Emfisema Subkutis ...................................................................................... 9

BAB 4 PENUTUP ................................................................................................ 15 4.1

Kesimpulan................................................................................................ 15

4.2

Saran .......................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17

iii

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semua organ yang berada di dalam dada rentan terhadap trauma tembus dan masing-masing harus dipertimbangkan ketika mengevaluasi pasien dengan cedera dada. Organ ini termasuk dinding dada, paru dan pleura,  jantung, mediastinum,

dan sistem

trakeobronkial, termasuk esofagus,

diafragma, pembuluh darah, duktus torasikus. Sekitar 75-80% dari luka tembus melibatkan trakea sedangkan 75-80% dari cedera tumpul terjadi sekitar 2,5 cm dari karina. Cedera ini selalu terjadi bersama cedera lainnya, terutama pada pembuluh besar. Tanpa identifikasi dini dan intervensi yang cepat, keadaan ini akan berakhir fatal. Kelainan berupa distres pernapasan, emfisema subkutis, pneumotoraks, hemoptisis, dan emfisema mediastinum merupakan manifestasi paling umum terjadi.1 Emfisiema subkutis merupakan salah satu komplikasi yang sering ditemukan pada tindakan bedah thoraks dan kardiovaskuler. 1,2  Beberapa literatur juga menyatakan emfisiema subkutis juga dapat terjadi akibat  pembedahan molar tiga bawah.3  Hasil penelitian Rosadi dkk didapatkan dari 43 sampel yang dilakukan kateterisasi paru (chest tube) sebesar 23,2% mengalami komplikasi berupa emfisiema subkutis. 4 Emfisiema subkutis atau kebocoran udara merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh kebocoran parenkim paru akibat tindakan operasi. Keadaan ini tidak mematikan dan biasanya dapat sembuh sendiri, sehingga tidak membutuhkan pengobatan secara spesifik, meskipun tidak berbahaya keadaan ini menyebabkan tingginya angka morbiditas dan lamanya masa perawatan  pasien di rumah sakit.1  Hal ini menimbulkan rasa cemas dan menurunkan tingkat kepercayaan pasien dan keluarga pasien terhadap dokter mereka. 5 Emfisiema subkutis merupakan suatu keadaan yang jarang menimbulkan masalah pada sistem pernafasan seperti tension pneumomediastinum,  pneumothorax, atau pneumoperikardium, namun emfisiema subkutis yang

1

 bersifat masif harus diterapi guna mengurangi ketidaknyamanan dan untuk mencegah terjadinya gagal nafas.1,5 1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan dibuatnya laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di laboratorium bedah dan agar dokter muda mampu untuk melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis, dan penatalaksanaan pada pasien emfisema subcutis. Tugas ini juga diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan baik bagi penulis maupun teman-teman sejawat lainnya.

2

BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

KIB

: 92.80.69

 Nama

: Ny. F

Usia

: 34 tahun

Alamat

: Gerbang Dayaku Rt. 14 Tenggarong

Pekerjaan

: IRT

Agama

: Islam

Suku

: Bugis

BB / TB

: 66 kg / 155 cm

MRS

: Rabu, 11 Januari 2017

2.2 Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di ruang perawatan Cempaka. a. Keluhan Utama

Benjolan pada leher depan. b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluhkan benjolan pada leher depan sejak ± 3 bulan SMRS, awalnya benjolan berukuran kecil, namun benjolan semakin lama semakin membesar. Benjolan tidak disertai nyeri. Pasien tidak mengeluhkan sesak napas maupun suara serak. Tidak ada gangguan menelan. Tidak ada keluhan jantung berdebar debar. Pasien belum pernah berobat ke dokter sejak keluhan benjolan ada. c. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami gejala yang sama. Riwayat  penyakit jantung, batuk lama, diabetes, dan hipertensi disangkal. d. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga tidak ada yangmemiliki riwayat penyakit yang sama. e. Riwayat Psikososial

3

Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dan tinggal di daerah bantaran sungai. Disekitar tempat tinggal pasien ada tetangga dengan keluhan  benjolan leher yang sama. f.

Riwayat Kebiasaan

Pola makan pasien 3 kali sehari nasi, lauk pauk, dan sayur. Konsumsi garam

tidak

berlebihan.

Pasien

jarang

berolahraga

dan

sering

mengkonsumsi jajanan pasar di sekitar tempat tinggal pasien. Pasien tidak merokok dan tidak pernah mengkonsumsi alkohol. g. Riwayat Obat-obatan

Pasien sebelumnya tidak pernah berobat sejak keluhan benjolan timbul. Benjolan hanya di berikan parutan kunyit secara dibalurkan. 2.3 Pemeriksaan Fisik (11-01-2017)

a. Keadaan Umum Kondisi Umum

: Sakit ringan

Kesadaran

: Komposmentis, GCS : E4V5M6

 b. Tanda Vital TD

: 110/70 mmHg

 Nadi

: 83 x/i, regular, kuat angkat

Frekuensi Napas

: 21 x/i, reguler

Suhu Tubuh

: 36,6 C

c. Kepala dan Leher 1) Umum

Ekspresi

: normal

Kepala

: normochepale, tidak tampak deformitas

Rambut

: normal

2) Mata

Bola mata

: normal

Alis

: normal

Kelopak

: edema (-/-)

Konjungtiva

: anemis (-/-)

Sklera

: ikterik (-/-)

Reflex cahaya

: (+/+)

4

Pupil

: isokor, 3mm/3mm

3) Telinga

Bentuk

: normal

Lubang telinga

: normal

Pendengaran

: tidak dapat dievaluasi

4) Hidung

Bentuk

: normal, deformitas (-), septum nasi di tengah

Penyumbatan

:-

Perdarahan

: (-/-)

Daya penciuman

: tidak dapat dievaluasi

Pernapasan cuping hidung : tidak ada 5) Mulut

Bibir

: sianosis (-)

Gigi

: normal, tidak lengkap

Gusi

: berdarah (-)

6) Leher

Posisi trakea

: di tengah

Kelenjar tiroid

: teraba membesar

Kelenjar get. Bening : normal Kelenjar saliva

: normal

d. Thoraks Paru Inspeksi Besar dan bentuk normal, pergerakan napas simetris, retraksi ICS (-), jarak ICS normal

Palpasi Fremitus suara simetris.

Perkusi (sonor / sonor) (sonor / sonor) (sonor / sonor)

Auskultasi Vesikuler (+/ +) (+/+) (+/+) rho (-/-), whez (-/-) (-/-) (-/-) (-/-) (-/-)

Jantung Inspeksi Iktus kordis tidak tampak

Palpasi Iktus kordis teraba pada ICS 5, diameter 1

Perkusi Batas kanan: Sterna line Dextra Batas kiri: 3 jari lateral

Auskultasi S1S2 tunggal reguler, murmur (), gallop (-)

5

 jari, tepukan ringan

PSL sinistra ICS V

e. Abdomen Inspeksi Datar, sikatrik (-)

Palpasi Soefl, NT abdomen (-), massa (-), organomegali (-)

Perkusi Timpani (+) pada 4 kuadran, pekak hepar (+) Asites (-)

Auskultasi BU (+) kesan normal

f. Punggung Inspeksi  Normal, kifosis (-), skoliosis (-), lordosis (-), massa (-) luka (-)

Palpasi Vertebra lurus, gibbus (-),  NT punggung (tidak dapat dievaluasi)

g. Ekstremitas

 Superi or Teraba hangat, CRT < 2” Kulit

: normal, keringat (-)

Jari

: normal, akral hangat

Edema

: (-/-)

Tremor

: (-/-)

Sianosis

: (-/-)

I nferior Teraba hangat, CRT < 2” Kulit

: normal, keringat (-)

Edema

: (-/-)

Jari

: normal, akral hangat

Tremor

: (-/-)

Sianosis

: (-/-)

h. Status Lokalis Regio

: colli anterior

Inspeksi

: tampak massa ukuran diameter 6 cm, warna sama dengan sama dengan sekitarnya, ikut bergerak saat menelan.

6

Palpasi

: konsistensi padat kenyal, mobile, nyeri (-), batas tegas,  pembesaran KGB (-)

Auskultasi

: bruit (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang 1) Pemeriksaan Laboratorium (29-12-2016) Jenis Pemeriksaan Leukosit RBC Hb Hct Trombosit GDS Ureum Creatinin T3 T4 TSH FT 4 HbsAg Ab HIV

Nilai 6.860 4.890..000 15,2 45,3 402.000 84 20,1 0,8 1,20 7,70 0,65 0,77 NR NR

Satuan uL uL % % uL mg/dl mg/dl mg/dl ng/ml ug/dl ulu/ml ng/dl

2) Pemeriksaan Patologi Anatomi (29-12-2016) Makroskopis : FNAB Tumor Colli diameter 6

cm, batas

tidak

 jelas,aspirat : cairan koloid kecoklatan. Mikroskopis : Sediaan apusan terlihat sel-sel folikel tiroid yang monoton inti bulat kromatin halus sitoplasma tidak berbatas jelas,  berkelompok dan tersebar latar belakang koloid dan makrofag. Kesimpulan : Struma adenomatosa 2.5 Diagnosis Kerja

Struma Nodusa Non Toksik 2.6 Penatalaksanaan

-

Operatif

: Isthmulobectomy

-

Bed rest post operatif

7

2.7 Prognosis •

Ad Vitam

: dubia



Ad Vitam

: dubia at bonam



Ad Funtcionam

: dubia ad bonam



Ad Sanationam

: dubia ad bonam

8

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Emfisema Subkutis 3.1.1

Definisi

Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid yang biasanya terjadi karena folikel-folikel terisi koloid secara berlebihan. Setelah berahun-tahun sebagian folikel tumbuh semakin besar dengan membentuk kista dan kelenjar tersbut menjadi noduler. Struma nodosa nontoksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme. 3.1.2 Anatomi dan Histologi Kulit Kulit adalah pembungkus tubuh yang berkontak langsung dengan lingkungan luar, akibatnya kulit melakukan banyak fungsi penting. Beberapa fungsi kulit ini adalah sebagai perlindung (proteksi), regulator suhu, persepsi sensorik, organ ekskretoris, dan pembentuk vitamin D. 8,9 Kulit atau integumen tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu epidermis atau kutikel, dermis, dan subkutis atau hipodermis. Tidak ada garis tegas yang memisahkan lapisan dermis dan lapisan subkutis. 8,9  Epidermis adalah lapisan superfisial non-vaskular yang terdiri atas stratum korneum (lapisan tanduk), stratum lusidum, stratum granulosum (lapisan keratohialin), stratum spinosum (stratum Malphigi), dan stratum basale. 8,9 Menurut ilmu histologi, terdapat empat jenis sel berbeda pada epidermis kulit, yaitu: a. Keratosit, merupakan sel epitel terbanyak pada epidermis, membelah,  bertumbuh, bergerak ke atas, mengalami keratinisasi, dan membentuk lapisan pelindung tubuh yang disebut sebagai str atum korneum.  b. Melanosit terletak pada bagian basal epidermis, membentuk pigmen melanin yang kemudian bergabung ke dalam keratinosit. Sel ini  banyak terdapat di stratum basale. c. Sel Langerhans adalah sel epidermal yang berperan dalam respon imun tubuh. Sel ini berperan dalam pengenalan antigen asing dan mungkin menjadi sel penyaji antigen.

9

d. Sel Merkel merupakan sel yang berhubungan erat dengan akson tanpa mielin dan diduga berfungsi sebagai mekanoreseptor. 8 Demis terletak tepat di bawah epidermis. Lapisan kulit ini lebih dalam, lebih tebal, dan vaskular. Lapisan superfisial dermis berlekuk-lekuk masuk ke epidermis yang disebut papila dermis (stratum papilare dermis), terdiri dari jaringan ikat longgar yang tidak teratur. Lapisan dermis yang lebih dalam dengan jaringan ikat padat adalah stratum retikulare. 8,9 Subkutis adalah kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Lapisan sel-sel lemak ini disebut panikulus adiposa. Pada lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama bergantung  pada lokalisasinya.9

Gambar 3.1. Anatomi Kulit9

3.1.3

Gambar 3.2. Histologi Kulit9

Etiologi

Emfisiema subkutis dapat disebabkan oleh trauma pada sistem respirasi ataupun sistem gastrointestinal. Umumnya trauma yang terjadi  pada dada dan leher, dimana udara dapat terperangkap sebagai hasil dari trauma tajam seperti luka tembak atau luka tikam, maupun luka tumpul. 12 Emfisiema subkutis juga dapat disebabkan oleh prosedur dan tindakan medis, yang menyebabkan tekanan pada alveoli, sehingga alveoli menjadi ruptur. Hal ini biasanya disebabkan oleh pneumothoraks dan kateterisasi  paru (chest tube). Keadaan ini disebut sebagai surgical emphysema.12 Beberapa kondisi yang menyebabkan terjadinya emfisiema subkutis dijelaskan pada bagian dibawah ini:

10

a. Trauma. Trauma tumpul maupun trauma penetrasi merupakan kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya emfisiema subkutis. Trauma pada  bagian dada merupakan penyebab umum terjadinya emfisiema subkutis, dimana udara yang berasal dari dada dan paru dapat masuk ke kulit dinding dada. Sebagai contoh adalah terjadinya luka tusuk atau luka tembak pada dada yang menyebabkan robeknya pleura, sehingga udara yang berasal dari paru menyebar ke otot-otot dan lapisan subkutan. Emfisiema subkutis juga dapat terjadi pada pasien dengan  patah

tulang

iga,

dimana

iga

melukai

parenkim

paru

yang

menyebabkan rupturnya alveolus. 12  b. Tindakan medis.  Emfisiema subkutis merupakan suatu komplikasi yang umum disebabkan pada berbagai tindakan operasi, seperti operasi dada,

operasi

daerah

sekitar

esofagus,

operasi

gigi

dengan

menggunakan teknik berkecepatan tinggi, tindakan laparoscopy, cricothyrotomy, dan sebagainya. 12 c. Infeksi udara.  Udara dapat terperangkap di bawah kulit yang mengalami infeksi nekrosis seperti pada gangren. Gejala emfisiema subkutis dapat dihasilkan ketika organisme infeksius memproduksi gas sebagai hasil dari fermentasi. Kemudian gas ini menyebar ke sekitar lokasi awal pembentukan infeksi, maka terbentuklah emfisiema subkutis.12 3.1.4

Patogenesis

Emfisiema subkutis merupakan hasil dari peningkatan tekanan di dalam paru dikarenakan rupturnya alveoli. Udara dapat masuk ke jaringan lunak pada leher dari mediastinum dan retroperitoneum. Pada emfisiema subkutis, udara menyebar dari alveoli yang ruptur masuk ke interstitium dan sepanjang pembuluh darah paru, masuk ke mediastinum dan berlanjut ke jaringan lunak pada leher dan kepala. 12  Emfisiema pada daerah subkutan, servikofasial, mediastinum terjadi karena udara yang masuk ke  jaringan fasial kepala dan daerah leher. Daerah ini mempunyai suatu rongga yang memungkinkan untuk terisi dengan udara. Daerah ini dibatasi oleh fasia otot, organ, dan struktur lainnya. 3 Udara yang masuk ke daerah

11

leher dapat masuk ke retrofaringeal yang terletak antara dinding posterior dan kolumna vertebra, dari sini akan dapat terus ke posterior fasial kemudian ke Grodinsky and Holyoke’s yang disebut sebagai daerah yang  berbahaya karena berhubungan langsung ke posterior mediastinum. Jika udara mengalir pada daerah ini akan menekan vena trunks yang bisa menyebabkan gagal jantung atau asfiksia karena adanya tekanan di trachea.3 3.1.5

Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala dari emfisiema subkutis bervariasi tergantung pada  penyebab dan lokasi terjadinya, tetapi sering berhubungan dengan  pembengkakan pada leher dan nyeri dada, dan terkadang juga terjadi nyeri tenggorokan, nyeri leher, wheezing (mengi) dan kesulitan bernafas. 5,7,12 Pada hasil inspeksi tampak jaringan di sekitar emfisiema subkutis biasanya membengkak. Jika kebocoran udara sangat banyak, wajah dapat menjadi  bengkak sehingga kelopak mata tidak dapat dibuka. 5,7,12 Kasus emfisiema subkutis yang terjadi di sekitar leher, terkadang menimbulkan perubahan suara pasien menjadi lebih tinggi, hal ini dikarenakan pengumpulan udara  pada mukosa faring.

5,7,12,13

Kasus emfisiema subkutis mudah dideteksi

dengan melakukan palpasi pada permukaan kulit. Hasil palpasi akan teraba krepitasi seperti kertas atau krispies. Jika disentuh maka teraba seperti  balon yang berpindah dan kadang-kadang timbul bunyi retakan “crack”. 3.1.6

Diagnosis

Pada umumnya kasus emfisema subkutis mudah untuk didiagnosis  berdasarkan hasil kondisi umum dan pemeriksaan fisik. Namun beberapa kasus tanda dan gejala tidak tampak sehingga sulit untuk diagnosis. 6 Pencitraan

digunakan

untuk

mendiagnosis

kondisi

ini

atau

mengkonfirmasi diagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik yang telah kita lakukan. Pada gambaran radiografi emfisema subkutis tampak gambaran striasi radiolusen pada kelompok otot pectoralis major. 7  Udara yang terdapat pada jaringan subkutis dapat mengaburkan gambaran radiografi dada terutama mengaburkan keadaan serius seperti pneumothoraks. Hal itu

12

 juga dapat mengurangi efektivitas dari USG dada. Ketika emfisema subkutis tampak pada foto thoraks sebelum pneumotoraks terjadi maka dapat kita pikirkan kemungkinan ada cidera sebelumnya. Emfisema subkutis juga dapat dilihat dari gambaran CT Scan yang tampak seperti kantong-kantong udara yang berada pada area gelap. CT-Scan sangat sensitif sehingga memungkinkan untuk menemukan tempat yang tepat dari mana udara memasuki jaringan lunak. 7,8

Gambar 3.3. Gambar 3.4. Gambar 3.3. Gelembung udara dalam jaringan subkutan (panah) tampak seperti nodul mobile yang bergerak dengan mudah. Gambar 3.4. Udara subkutan (panah) dapat dilihat sebagai daerah hitam pada CT scan panggul ini.7,8

Gambar 3.5. Kontusio pulmonum dekstra berkaitan dengan flail chest dan emfisemaa subkutis8

3.1.7

Penatalaksanaan

Emfisiema

subkutis

biasanya

bersifat

jinak,

sehingga

tidak

membutuhkan penanganan karena dalam 3 atau 4 hari bahkan sampai seminggu pembengkakan akan berkurang secara menyeluruh karena udara diserap secara spontan dan terjadi penyembuhan. 3,12 Pada kasus emfisiema subkutis yang berat, kateter dapat dipasangkan di jaringan subkutan untuk mengeluarkan udara. Irisan kecil atau lubang kecil dapat dibuat di

13

 permukaan kulit untuk mengeluarkan udara. Penanganan emfisiema subkutis tidak hanya dengan istirahat total, tetapi juga dengan penggunaan obat-obatan penghilang rasa nyeri, serta pemberian sejumlah oksigen. Dengan pemberian sejumlah oksigen dapat membantu tubuh untuk mempercepat penyerapan udara di lapisan subkutan. Monitor dan observasi ulang juga merupakan hal penting dalam tatalaksana emfisiema subkutis.12 3.1.8

Prognosis

Udara di jaringan subkutan biasanya tidak menimbulkan kematian, sejumlah kecil udara dapat di reabsorbsi oleh tubuh. Terkadang  pneumothoraks atau pneumomediastinum yang menyebabkan emfisiema subkutis, dengan atau tanpa tindakan medis emfisiema subkutis ini  biasanya akan hilang sendiri. Meskipun jarang, emfisiema subkutis dapat menjadi suatu kondisi yang bersifat emergensi, seperti terjadinya gagal nafas dan henti jantung, sehingga diperlukan tindakan medis.

1,4,5,12

14

BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Emfisiema subkutis adalah emfisiema intertisial yang ditandai dengan adanya udara dalam jaringan subkutan disebut juga pneumoderma. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya emfisiema subkutis adalah trauma, baik trauma tajam maupun trauma tumpul yang terjadi pada dada, tindakan medis seperti tindakan operasi dada, operasi daerah sekitar esofagus, operasi gigi, tindakan laparoscopy, cricothyrotomy, dan sebagainya, selain itu infeksi nekrosis juga dapat menyebabkan hal ini. Emfisiema subkutis merupakan hasil dari peningkatan tekanan di dalam paru dikarenakan rupturnya alveoli, kemudian udara menyebar dari alveoli yang ruptur masuk ke interstitium dan sepanjang pembuluh darah paru, lalu ke mediastinum dan  berlanjut ke jaringan lunak pada leher dan kepala. Tanda dan gejala dari emfisiema subkutis bervariasi tergantung pada penyebab dan lokasi terjadinya, tetapi sering berhubungan dengan pembengkakan pada leher dan nyeri dada, dan terkadang juga terjadi nyeri tenggorokan, nyeri leher, wheezing (mengi) dan kesulitan bernafas, perubahan suara pasien menjadi

15

lebih tinggi. Pada radiologi dada dengan menggunakan sinar X, emfisiema subkutis terlihat sebagai gambaran radiolusen pada lapisan subkutan, sedangkan dari hasil pemeriksaan CT-scan tampak kantung udara yang  berwarna hitam pada daerah subkutan. Emfisiema subkutis tidak memerlukan tindakan khusus karena dalam 3 atau 4 hari bahkan sampai seminggu  pembengkakan akan berkurang secara menyeluruh karena udara diserap secara spontan. Pada kasus emfisiema subkutis yang berat, kateter dapat dipasangkan di jaringan subkutan untuk mengeluarkan udara. Irisan kecil atau lubang kecil dapat dibuat di permukaan kulit untuk mengeluarkan udara. Penanganan emfisiema subkutis tidak hanya dengan istirahat total, tetapi juga dengan penggunaan obat-obatan penghilang rasa nyeri, serta pemberian sejumlah oksigen. Dengan pemberian sejumlah oksigen dapat mempercepat  penyerapan udara di lapisan subkutan. Monitor dan observasi ulang juga merupakan hal penting dalam tatalaksana emfisiema subkutis. Meskipun emfisiema subkutan merupakan kasus yang jarang terjadi, namun tenaga medis harus mengetahui tanda klinis, pemeriksaan penunjang yang diperlukan, serta tatalaksana terhadap emfisiema subkutis terutama dalam kasus yang bersifat emergensi. 4.2 Saran

Penulis menyadari bahwa masih banyaknya kekurangan atas penyusunan tugas ini, sehingga diharapkan sekali kepada rekan-rekan sejawat sekalian atas kritik dan saran yang membangun demi bertambahnya khazanah ilmu  pengetahuan kita bersama.

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Berg RJ, Karamanos E, Inaba K, Okoye O, Teixeira PG, Demetriades D. 2014. The persistent diagnostic challenge of thoracoabdominal stab wounds.  J Trauma Acute Care Surg . 76 (2):418-23. 2. Omar YA, Catarino PA. 2009. Progressive Subcutaneous Emphysema and Respiratory Arrest. J R Soc Med; 95: 90 –  91 . 3. Sherif HM, Ott DA. 2009. The Use of Subcutaneous Drains to Manage Subcutaneous Emphysema.Tex Heart Inst J; 26: 129 –  131 3. 4. Rusdy H, Nurwiyadh A. 2008. Emfisema Sebagai Komplikasi Pembedahan Molar Tiga Bawah dengan Menggunakan High Speed Turbine. Dentika Dental Journal, Vol.13, No.1,: 90 –  92 4. 5. Rosadi A, Swidarmoko B, Astowo P. 2008. Survei Pemasangan Kateter Toraks dan Komplikasinya pada Berbagai Penyakit Pleura. Data Tesis Pulmonologi FK UI. 65. 6. Cerfolio RJ, Bryant AS, Maniscalco LM. 2008. Management of Subcutaneous Emphysema After Pulmonary Resection. Ann Thorac Surg; 85: 1759  –   1765 6. 7. Papiris SA, Roussos C. 2007. Pleural disease in the intensive care unit. In Bouros D. Pleural Disease (Lung Biology in Health and Disease). New York,  N.Y: Marcel Dekker. pp. 771 – 777.

17

8. Anonim. 2005. Subcutaneous Emphysema. Learning Radiology. 4; 38. 9. Wicky S, Wintermark M, Schnyder P, Capasso P, Denys A .2008. Imaging of  blunt chest trauma. European Radiology. 10 (10): 1524 – 1538 10. Eroschenko, VP. 2008. Integumen. Dalam: Eroschenko VP. Alih Bahasa: Tambayong J. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional, ed.9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal.133 –  145 9. 11. Wasitaatmadja, SM. 2007. Anatomi Kulit. Dalam: Djuanda A dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, ed.5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal.3 - 5 10. 12. Porhomayon J dan Doerr R. 2011. Pneumothorax and subcutaneous emphysema secondary to blunt chest injury. Internationl Journal of Emergency Medicine. 4: 10 13. Maunder RJ, Pierson DJ, Hudson LD. 2009. Subkutan dan mediastinum emphysema. Patofisiologi, diagnosis, dan manajemen. Lengkungan. Intern. Med. 144 (7): 1447-1453

18

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF