Laporan Kasus RHD

October 8, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Laporan Kasus RHD...

Description

 

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1

Definisi

Penyakit jantung reumatik ( Reumatic Heart Disease) Disease) merupakan penyakit  jantung didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung reumatik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya. 1

2.2

Epidemiologi Penyakit jantung rematik menyebabkan setidaknya 200.000-250.000 kematian

 bayi premature setiap tahun dan penyebab umum kematian akibat penyakit jantung 2

 pada anak-anak dan remaja di negara berkembang.

Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, Geneva, 29 Oktober   – 1 November 2001 yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000  penduduk di Negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara berkembang di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk. Diperkirakan sekitar 2.000-332.000 penduduk penduduk yang meninggal diseluruh dunia akibat penyakit tersebut.

3

Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi  penyakit jantung rematik berkisar antara 0,3 sampai 0,8 per 1.000 1.000 anak sekolah.3

2.3

Etiologi Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam reumatik.

Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi setelah infeksi Streptococcus grup A pada individu yang mempunyai faktor

 

2

 

 predisposisi. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi endokardium dan miokardium melalui suatu proses ’autoimunne’ yang menyebabkan kerusakan jaringan. Inflamasi yang berat dapat melibatkan perikardium. Valvulitis merupakan tanda utama reumatik karditis yang paling banyak mengenai katup mitral (76%), katup aorta (13%) dan katup mitral dan katup aorta (97%). Insidens tertinggi ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun. 1

2.4

Patogenesis Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit supuratif  

misalnya faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis nifas dan penyakit non supuratif misalnya demam rematik, glomerulonefritis akut. Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi Streptococcus beta hemolyticus grup hemolyticus grup A pada faring menghasilkan respon inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari ditandai dengan demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan leukositosis.4 Pasien masih tetap terinfeksi selama bermingguminggu setelah gejala faringitis menghilang, sehingga menjadi reservoir  infeksi   infeksi bagi orang lain. Kontak langsung per oral atau melalui sekret pernafasan dapat menjadi media trasnmisi penyakit. Hanya faringitis Streptococcus beta hemolyticus  hemolyticus  grup A saja yang dapat mengakibatkan atau mengaktifkan kembali demam rematik. 4,5 Penyakit

jantung

rematik

merupakan

manifestasi

demam

rematik

 berkelanjutan yang melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih dari 60% penyakit rheumatic fever   akan berkembang menjadi rheumatic heart disease disease..5  Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease yakni disease yakni kerusakan katup jantung akan menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang sering dan  berulang penyakit ini akan menyebabkan penebalan pada katup, pembentukan skar (jaringan parut), kalsifikasi dan dapat berkembang menjadi valvular stenosis. ste nosis. 5 Sebagai dasar dari rheumatic heart disease,  disease,  penyakit rheumatic fever   dalam  patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor yang  berperan dalam patogenesis penyakit rheumatic fever   antara lain faktor organisme, faktor host dan faktor sistem imun.

 

3

 

Bakteri

Streptococcus

beta

hemolyticus  grup hemolyticus 

A

sebagai

organisme

 penginfeksi memiliki peran penting dalam patogenesis rheumatic fever . Bakteri ini sering berkolonisasi dan berproliferasi di daerah tenggorokan, dimana bakteri ini memiliki supra-antigen yang dapat berikatan dengan major histocompatibility complex   kelas 2 (MHC kelas 2) yang akan berikatan dengan reseptor sel T yang complex apabila teraktivasi akan melepaskan sitokin dan menjadi sitotosik. Supra-antigen  bakteri Streptococcus patogenesis   Streptococcus   beta hemolyticus grup A yang terlibat pada patogenesis  rheumatic fever tersebut tersebut   adalah protein M yang merupakan eksotoksin pirogenik Streptococcus.. Selain itu, bakteri Streptococcus beta hemolyticus  Streptococcus hemolyticus  grup A juga menghasilkan produk ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNA-ase, dan 6

hialuronidase yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif.   Antibodi yang paling sering adalah antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya untuk menetralisir toksin bakteri tersebut. Namun secara simultan upaya proteksi tubuh ini  juga menyebabkan kerusakan patologis jaringan tubuh sendiri. Tubuh memiliki struktur yang mirip dengan antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus  hemolyticus   grup A sehingga terjadi reaktivitas silang antara epitop organisme dengan host yang akan mengarahkan pada kerusakan jaringan tubuh.7 Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus  hemolyticus  grup A dengan jaringan tubuh yang dikenali oleh antibodi adalah: 1) Urutan asam amino yang identik, 2) Urutan asam amino yang homolog namun tidak identik, 3) Epitop pada molekul yang berbeda seperti peptida dan karbohidrat atau antara DNA dan peptida. Afinitas antibodi reaksi silang dapat berbeda dan cukup kuat untuk dapat menyebabkan sitotoksik dan menginduksi sel –   – sel sel antibodi reseptor permukaan.7

Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari  streptococcus beta hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang sama  sama   dengan protein miosin, tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan Nasetilglukosamin pada tubuh manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar dari reaksi autoimun yang mengarah pada terjadinya rheumatic fever . Hubungan lainnya dari laminin yang merupakan protein yang mirip miosin dan protein M yang terdapat  pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T anti miosin dan anti protein M.

 

4

 

Disamping antibodi terhadap N-asetilglukosamin dari karbohidrat, Streptococcus Streptococcus   beta hemolyticus grup A mengalami reaksi silang sil ang dengan jaringan katup jantung yang  yang  menyebabkan kerusakan valvular. 5,8 Disamping faktor organisme penginfeksi, faktor host sendiri juga memainkan  peranan dalam perjalanan penyakit rheumatic fever . Sekitar 3-6% populasi memiliki  potensi terinfeksi rheumatic fever . Penelitian tentang genetik marker menunjukan  bahwa gen human leukocyte-associated antigen  antigen  (HLA) kelas II berpotensi dalam  perkembangan penyakit rheumatic fever   dan rheumatic heart disease. disease. Gen HLA kelas II yang terletak pada kromosom 6 berperan dalam kontrol imun respon. Molekul HLA kelas II berperan dalam presentasi antigen pada reseptor T sel yang nantinya akan memicu respon sistem imun selular dan humoral. Dari alel gen HLA kelas II, HLA-DR7 yang paling berhubungan dengan rheumatic heart disease  disease  pada lesi-lesi valvular.

7

Lesi valvular pada rheumatic fever   akan dimulai dengan pembentukan verrucae yang disusun fibrin dan sel darah yang terkumpul di katup jantung. Setelah    proses inflamasi mereda, verurucae verurucae   akan menghilang dan meninggalkan jaringan  parut. Jika serangan terus berulang veruccae veruccae   baru akan terbentuk didekat veruccae veruccae   yang lama dan bagian mural dari endokardium dan korda tendinea akan ikut mengalami kerusakan.9 Kelainan pada valvular yang tersering adalah regurgitasi katup mitral (654

70% kasus).   Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan penebalan korda

tendinea

menyebabkan

terjadinya

insufesiensi

katup

mitral.

Karena

 peningkatan volume yang masuk dan proses inflamasi ventrikel kiri akan membesar akibatnya atrium kiri akan berdilatasi akibat regurgitasi darah. Peningkatan tekanan atrium kiri ini akan menyebabkan kongesti paru diikuti dengan gagal jantung kiri. Apabila kelainan pada mitral berat dan berlangsung lama, gangguan jantung kanan  juga dapat terjadi.9 Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi katup aorta akibat dari sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke ventrikel kiri diikuti dengan dilatasi dan hipertropi dari ventrikel kiri.

 

11

 Di sisi lain, dapat terjadi

5

 

stenosis dari katup mitral. Stenosis ini terjadi akibat fibrosis yang terjadi pada cincin katup mitral, kontraktur dari daun katup, corda dan otot papilari. Stenosis dari katup mitral ini akan menyebabkan peningkatan tekanan dan hipertropi dari atrium kiri, menyebabkan hipertensi vena pulmonal yang selanjutnya dapat menimbulkan kelainan jantung kanan. 9

2.5 Diagnosis

 Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien  pasien  rheumatic fever

menunjukan keluhan yang bervariasi. Gambaran klinis pada rheumatic fever    bergantung pada sistem organ yang terlibat dan manifestasi yang muncul dapat tunggal atau merupakan gabungan beberapa sistem organ yang terlibat.

a. Anamnesis

Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit tenggorok 1-5 minggu sebelum muncul rheumatic fever  dan  dan sekitar 20% anak-anak menyatakan  pernah mengalami sakit tenggorokan. Keluhan mungkin tidak spesifik, seperti demam, tidak enak badan, sakit kepala, penurunan berat badan, epistaksis, kelelahan, malaise, diaforesis dan pucat. Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri dada, ortopnea atau sakit perut dan muntah.4 Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di bawah kulit, peningkatan iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan kepribadian seperti gangguan neuropsikiatri autoimun terkait dengan infeksi Streptococcus Streptococcus,, difungsi motorik, dan riwayat rheumatic fever  sebelumnya.  sebelumnya.4

b. Manifestasi Klinis

Untuk diagnosis rheumatic fever  digunakan   digunakan kriteria Jones yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi beberapa kali. Kriteria ini membagi gambaran klinis menjadi dua, yaitu manifestasi mayor ma yor dan minor.4 Tabel 1. Kriteria Jones Sebagai Pedoman Dalam Diagnosis Rheumatic Diagnosis  Rheumatic Fever 10

 

6

 

Manifestasi mayor

Manifestasi Manifestasi minor

Karditis

Klinis :

Poliartritis migrans

- artralgia: nyeri sendi tanpa merah dan bengkak - demam tinggi (>390 C)

Chorea sydenham Eritema marginatum

Laboratorium: - peningkatan penanda peradangan yaitu erythrocyte

 Nodul subkutan

sedimentation rate (ESR) atau C Reactive Protein (CRP) - pemanjangan interval PR pada EKG

Ditambah Bukti infeksi streptococcus infeksi streptococcus beta hemolyticus grup hemolyticus grup A sebelumnya (45 hari terakhir) -

Kultur hapusan tenggorok atau rapid test antigen antigen streptococcus  streptococcus beta  beta  hemolyticus grup A hasilnya positif

-

Peningkatan titer serologi antibodi  streptococcus beta hemolyticus grup hemolyticus grup A.4,11

- Kriteria Mayor Karditis

Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering terjadi setelah  poli artritis. Pankarditis meliputi endokarditis, miokarditis dan perikarditis. Pada stadium lanjut, pasien mungkin mengalami dipsnea ringan-sedang, rasa tak nyaman di dada atau nyeri pada dada pleuritik, edema, batuk dan ortopnea. Pada pemeriksaan fisik, karditis paling sering ditandai dengan murmur dan takikardia yang tidak sesuai dengan tingginya demam. Gambaran klinis yang dapat ditemukan dari gangguan katup jantung dapat dilihat pada tabel 2.12

Tabel 2. Manifestasi Klinis Sesuai Gangguan Katup Jantung yang Timbul Gangguan

  Regurgitasi Mitral



12

Manifestasi

- Aktivitas ventrikel kiri meningkat - Bising pansistolik di apeks, menyebar ke aksila aksila  bahkan ke punggung punggung

 

7

 

-

Murmurmid-diastolik

(carrey

coombs

murmur) di apeks - Aktivitas ventrikel kiri meningkat - Bising diastolik di di ICS ICS II kanan/kiri, menyebar 

Regurgitasi aorta

ke apeks - Tekanan nadi sangat lebar (sistolik

tinggi,

sedangkan diastolik sangat rendah bahkan hingga 0 mmHg) 

Stenosis mitral

- Aktivitas ventrikel kiri negatif - Bising diastolik di daerah

apeks, dengan S1

mengeras Gagal jantung kongestif bisa terjadi sekunder akibat insufisieni katup yang  parah atau miokarditis, yang ditandai dengan adanya adanya takipnea, ortopnea, distensi vena  jugularis, ronki, hepatomegali, irama gallop irama gallop,, dan edema perifer.12  Friction rub  pericardial menandai perikarditis. Perkusi jantung yang redup,  redup,  suara jantung melemah, dan pulsus paradoksus adalah tanda khas efusi perikardium dan tamponade perikardium yang mengancam.

12

Poliartritis Migrans

Merupakan manifestasi yang paling sering dari r heumatic heumatic fever , terjadi pada sekitar 70% pasien rheumatic fever . Gejala ini muncul 30 hari setelah infeksi Streptococcus yakni saat antibodi mencapai puncak. Radang sendi aktif ditandai  ditandai   dengan nyeri hebat, bengkak, eritema pada beberapa sendi. Nyeri saat istirahat yang semakin hebat pada gerakan aktif dan pasif merupakan tanda khas. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi-sendi besar seperti sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Gejala ini bersifat asimetris dan berpindah-pindah (poliartritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan beberapa jam sesudah serangan namun muncul pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien dapat sembuh dalam satu minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari dua atau tiga minggu. 12

 

8

 

Chorea Sydenham/Vt. Vitus’ Dance 

Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus  kasus  rheumatic fever dan dua kali  kali   lebih sering pada perempuan. Gejala ini muncul pada fase laten yakni beberapa bulan setelah infeksi Streptococcus Streptococcus   (mungkin 6 bulan). Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan proses radang pada susunan saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus kaudatus otak. Periode laten dari chorea chorea ini  ini cukup lama, sekitar tiga minggu sampai tiga bulan dari terjadinya rheumatic fever . Gejala awal biasanya emosi yang lebih labil dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan gerakan yang tidak disengaja, tidak  bertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian otot dapat terkena, namun otot ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok. Gejala ini semakin diperberat dengan adanya stress dan kelelahan, namun menghilang saat beristirahat. 12 Eritema Marginatum

Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic fever  yang   yang terjadi kurang dari 10% kasus. 12  Ruam berbentuk anular berwarna kemerahan yang kemudian ditengahnya memudar pucat, dan tepinya berwarna merah berkelok-kelok seperti ular. Umumnya ditemukan di tubuh (dada atau punggung) dan ekstremitas. 4 Nodulus Subkutan

 Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus. Nodulus terletak  pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut, dan pers persendian endian kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala bagian oksipital dan di atas kolumna vertebralis. Nodul berupa benjolan berwarna terang keras, tidak nyeri, tidak gatal, mobile, dengan diameter 0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya terjadi beberapa minggu setelah rheumatic fever   muncul dan menghilang dalam waktu sebulan. Nodul ini selalu menyertai karditis rematik yang berat. 13

- Kriteria Minor

Demam biasanya tinggi sekitar 39oC dan biasa kembali normal dalam waktu 2-3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai tanda-tanda objektif (misalnya bengkak, merah, hangat) juga sering dijumpai. Artralgia biasa melibatkan sendi-sendi yang besar. Penanda peradangan akut pada

 

9

 

 pemeriksaan darah umumnya tidak spesifik, yaitu LED dan CRP umumnya meningkat pada rheumatic fever . Pemeriksaan dapat digunakan untuk menilai  perkembangan penyakit. 12 c. Pemeriksaan Penunjang

Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendukung diagnosis dari rheumatic fever  dan  dan rheumatic heart disease adalah disease adalah : a.  Pemeriksaan Laboratorium - 

Reaktan Fase Akut Merupakan

uji

yang

menggambarkan

radang

jantung

ringan.

Pada

 pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama pada fase akut/aktif, namun sifatnya tidak spesifik. Marker inflamasi akut berupa Creactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED). Peningkatan laju endap darah merupakan bukti non spesifik untuk penyakit yang aktif. Pada rheumatic fever terjadi peningkatan LED, namun normal pada pasien dengan  dengan  congestive failure atau meningkat pada anemia. CRP merupakan indikator   dalam menetukan adanya jaringan radang dan tingkat aktivitas penyakit. CRP yang abnormal digunakan dalam diagnosis rheumatic fever  aktif.  aktif. - 

8

Rapid Test Antigen Streptococcus Streptococcus   Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri Streptococcus Streptococcus grup  grup A secara tepat dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90 %.4



Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala klinis rheumatic fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang biasa digunakan  digunakan  adalah antistreptolisin O/ASTO dan antideoxyribonuklease B/anti DNase B. Pemeriksaan ASTO dilakukan terlebih dahulu, jika tidak terjadi peningkatan akan dilakukan pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO biasanya mulai meningkat pada minggu 1, dan mencapai puncak minggu ke 3-6 setelah infeksi. Titer ASO naik > 333 unit pada anak-anak, dan > 250 unit pada dewasa. Sedangkan anti-DNase B mulai meningkat minggu 1-2 dan mencapai

 

10

 

 puncak minggu ke 6-8. 6-8. Nilai normal titer anti-DNase B= 1: 60 unit pada anak  prasekolah dan 1 : 480 unit unit anak usia sekolah. 4 - 

Kultur tenggorok Pemeriksaan

kultur

tenggorokan

untuk

mengetahui

ada

tidaknya

 streptococcus beta hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan  dilakukan   sebelum pemberian antibiotik. Kultur ini umumnya negatif bila gejala rheumatic fever atau atau rheumatic  rheumatic heart disease mulai muncul.4  b.  Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali dan kongesti pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada karditis. Sedangkan pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya pemanjangan interval PR yang bersifat tidak spesifik. Nilai normal batas atas interval PR uuntuk usia 3-12 tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18 detik , dan > 17 tahun = 0,20 detik. 4 c. Pemeriksaan Ekokardiografi Pada

pasien

mengidentifikasi

RHD, dan

pemeriksaan

menilai

derajat

ekokardiografi

bertujuan

insufisiensi/stenosis

katup,

untuk efusi

 perikardium, dan disfungsi ventrikel. Pada pasien pasie n rheumatic fever  dengan  dengan karditis ringan, regurgitasi mitral akan menghilang beberapa bulan. Sedangkan pada rheumatic fever dengan karditis sedang dan berat memiliki regurgitasi  regurgitasi   mitral/aorta yang menetap. Gambaran ekokardiografi terpenting adalah dilatasi annulus, elongasi chordae mitral, dan semburan regurgitasi mitral ke posterolateral.

4

d. Dasar Diagnosis 11

Tabel 3. Kriteria WHO 2002-2003 dalam Mendiagnosis Rheumatic Mendiagnosis Rheumatic Fever  dan  dan RHD Kategori diagnosis 

 Rheumatic Fever serangan  pertama

 

Kriteria

-

Dua mayor

- Atau satu mayor dan dua minor - Ditambah bukti infeksi SBHGA sebelumnya

11

 



 Rheumatic Fever serangan ulang tanpa RHD



 Rheumatic Fever serangan

-

- Atau satu mayor dan dua minor - Ditambah bukti infeksi SBHGA sebelumnya -

Dua minor

-

ditambah dengan

ulang dengan RHD 

Chorea reumatik



Karditis reumatik

Dua mayor

bukti

infeksi

SBHGA

sebelumnya -

Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya atau ata u  bukti infeksi SBHGA

insidious 

2.6

RHD

-

Tidak diperlukan

kriteria

lainnya

untuk

mendiagnosis sebagai RHD

Penatalaksanaan Pengobatan terhadap DR adalah ditujukan pada 3 hal yaitu 1). Pencegahan primer

 pada saat serangan DR, 2). Pencegahan sekunder DR, 3). Menghilangkan gejala yang menyertainya, seperti tirah baring, penggunaan anti inflamasi, penatalaksanaan gagal  jantung dan korea.  Pencegahan primordial biasanya membutuhkan perbaikan yang signifikan dalam faktor penentu sosial dari kesehatan seperti perbaikan perumahan, infrastruktur kesehatan dan akses ke perawatan kesehatan. Pencegahan demam rematik membutuhkan terapi yang memadai untuk faringitis GAS. Pencegahan primer didefinisikan sebagai terapi antibiotik yang memadai untuk infeksi pernapasan bagian atas Streptococcus Beta Hemolitikus grup A.Pengobatan pencegahan primer hanya diberikan jika terbukti adanya infeksi GAS.Pencegahan primer telah terbukti efektif dalam mengurangi frekuensi kasus berikutnya dari DR karena andalan dari pencegahan  primer adalah pengobatan tepat waktu dan lengkap Penyakit faringitis Streptococcus Grup A dengan antibiotik . Jika dimulai dalam waktu 9 hari dari onset sakit tenggorokan , suatu program 10 hari dengan penisilin V 500mg pada orang dewasa atau suntikan IM tunggal 1,2 juta unit benzethine penisilin G akan mencegah hampir semua kasus demam rematik . Strategi ini bergantung pada individu yang datang untuk perawatan medis ketika mereka memiliki sakit tenggorokan dan ketersediaan tenaga medis dan infrastruktur dengan kemampuan untuk mengambil cairan tenggorokan dan pasokan yang dapat diandalkan penicillin.Namun begitu sebagaimana dijelaskan dalam WHO makalah  

12

 

diskusi dari tahun 2005 , skrining sistematis dan pengobatan sakit tenggorokan belum terbukti efektif biaya .

Andalan mengendalikan DR dan PJR adalah pencegahan sekunder . Karena  pasien dengan Demam rematik akut beresiko secara dramatis lebih tinggi daripada  populasi umum mengembangkan episode lebih lanjut dari Demam Remati Rematik k Akut setelah infeksi , mereka harus menerima penisilin profilaksis jangka panjang untuk mencegah infeksi ulang. Pencegahan sekunder demam rematik didefinisikan sebagai administrasi terus menerus antibiotik khusus untuk pasien dengan serangan DR sebelumnya, atau  penyakit jantung rematik yang terdokumentasi . Tujuannya adalah untuk mencegah kolonisasi atau infeksi saluran pernapasan atas dengan streptokokus grup A beta hemolitik dan pengembangan serangan berulang dari DR Antibiotik yang terbaik untuk  profilaksis sekunder adalah benzatin penisilin G ( 1,2 juta unit atau 600000 unit jika < 30kg ) disampaikan setiap empat minggu atau setiap 3 minggu atau bahkan 2 minggu untuk orang dianggap berisiko tinggi . Oral penisilin V ( 250mg ) dapat diberikan dua kali sehari bukan tetapi kurang efektif dibandingkan benzethine penisilin . Pasien dengan alergi penisilin dapat menerima eritromisin ( 250 mg ) dua kali daily.the WHO makalah diskusi dari tahun 2005 menguraikan bahwa strategi kontrol yang tersedia , profilaksis sekunder adalah satu-satunya yang telah terbukti efektif dan hemat biaya di masyarakat /  

13

 

 penduduk tingkat dan karena itu, pada populasi dengan prevalensi tinggi RHD ,  pengiriman profilaksis sekunder harus menjadi prioritas utama bagi pengendalian  penyakit GAS . Durasi profilaksis sekunder ditentukan oleh banyak faktor , khususnya durasi sejak episode terakhir Demam rematik akut , dan beratnya. Pasien tanpa karditis terbukti harus menerima antibiotik selama 5 tahun setelah serangan terakhir sampai 18 tahun ( mana yang lebih lama ) . Pasien tanpa karditis terbukti harus menerima antibiotik selama 10 tahun setelah serangan terakhir sampai 25 tahun ( mana yang lebih lama ) . Pasien dengan penyakit katup yang berat atau membutuhkan operasi katup harus menerima antibiotik seumur hidup .

Pada serangan DR sering didapati gejala yang menyertainya seperti gagal jantung atau korea. Penderita gagal jantung memerlukan tirah baring dan anti inflamasi perlu diberikan pada penderita DR dengan manifestasi mayor karditis dan artritis. Pada  penderita DR dengan gagal jantung perlu diberikan diuretika, dan diterapkan restriksi cairan dan garam. Penggunaan digoksin pada penderita DR masih kontroversi karena resiko intoksikasi dan aritmia. Penggunaan anti inflamasi untuk mengatasi korea masih kontroversi. Untuk kasus korea yang berat fenobarbital atau haloperidol dapat digunakan. Selain itu dapat digunakan valproic acid, chlorpromazin dan diazepam. Penderita PJR tanpa gejala tidak memerlukan terapi. Penderita dengan gejala gagal jantung yang ringan memerlukan terapi medik untuk mengatasi keluhannya. Penderita yang simtomatis memerlukan terapi  

14

 

surgikal atau intervensi invasif. Tetapi terapi surgikal dan intervensi ini masih terbatas tersedia serta memerlukan biaya yang relatif mahal dan memerlukan follow up jangka  panjang. Diet dan Aktivitas 

Diet pasien rheumatic heart disease  disease  harus bernutrisi dan tanpa restriksi kecuali pada pasien gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan natrium harus dikurangi. Suplemen kalium diperlukan apabila pasien diberikan kortikosteroid atau diuretik.16, 17 Tirah baring sebagai terapi rheumatic fever  pertama   pertama kali diperkenalkan pada tahun 1940, namun belum diteliti lebih lanjut sejak saat itu. Pada praktek klinis sehari-hari, kegiatan fisik harus direstriksi sampai tanda-tanda fase akut terlewati,  baru kemudian aktivitas bisa dimulai secara bertahap.17  Sesuai dengan anjuran Taranta dan Marcowitz tirah baring yang dianjurkan adalah sebagai berikut b erikut : Tabel 7. Tirah Baring yang Dianjurkan pada Rheumatic pada Rheumatic Fever Tanpa karditis 

Tirah baring selama 2 minggu, mobilisasi  bertahap selama 2 minggu

Karditis, tanpa kardiomegali

Tirah baring selama 4 minggu, mobilisasi  bertahap selama 4 minggu

Karditis dengan kardiomegali

Tirah baring selama 6 minggu, mobilisasi  bertahap selama 6 minggu

Karditis dengan kardiomegali dan gagal

Tirah baring selama gagal jantung,

 jantung

mobilisasi bertahap selama 3 bulan

e. Terapi Operatif

Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus mengalami  perburukan meskipun telah mendapat terapi medis yang agresif untuk penanganan rheumatic heart disease, disease, operasi untuk mengurangi defisiensi katup mungkin bisa  bisa   menjadi pilihan untuk menyelamatkan nyawa pasien.16, 17 Pasien yang simptomatik,

 

15

 

dengan disfungsi ventrikel atau mengalami gangguan katup yang  berat, juga memerlukan tindakan intervensi.4 a.  Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal, dapat dilakukan ballon mitral valvuloplasty (BMV). valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak memungkinkan, perlu dilakukan operasi. 4   b.  Regurgitasi Mitral:  Rheumatic fever   dengan regurgitasi mitral akut (mungkin akibat ruptur khordae)/kronik yang berat dengan rheumatic heart disease yang disease yang tak teratasi dengan obat,  perlu segera dioperasi untuk reparasi atau penggantian katup.4  c.  Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat langka. Intervensi dengan balon biasanya kurang berhasil, sehingga operasi lebih banyak dikerjakan. 4  d.  Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri atau kombinasi dengan lesi lain, biasanya ditangani dengan  penggantian katup.4  2. 10 Prognosis Pasien dengan

riwayat

rheumatic

fever   berisiko

tinggi

mengalami kekambuhan. Resiko kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejak episode awal. Semakin muda rheumatic fever   terjadi, kecenderungan kambuh semakin besar. Kekambuhan rheumatic  fever   secara umum mirip dengan serangan awal, namun risiko karditis dan kerusakan katup lebih besar. 4 Manifestasi rheumatic fever   pada 80% kasus mereda dalam 12 minggu. Insiden RHD setelah 10 tahun adalah sebesar 34% pada pasien dengan tanpa serangan rheumatic fever   berulang, tetapi pada pasien dengan serangan rheumatic rheumatic    fever yang  berulang kejadian RHD meningkat menjadi 60%. 

 

2

 

BAB III LAPORAN KASUS 3.1

3.2

Identifikasi

 No. RM

: 58-76-50

 Nama

: Ny. N

Jenis kelamin

: Perempuan

Usia

: 38 tahun

Alamat

: Lr. Sidomukti RT 21 RW 05 Plaju

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Status perkawinan

: Kawin

Agama

: Islam

MRS

: 01 Januari 2019

Ruangan

:

Dokter Pemeriksa

: dr. H. Amrizal, Sp.PD-KKV, FINASIM

Anamnesis (3 Januari 2019)

Keluhan Utama:

Badan terasa lemas sejak ± 1 bulan yang lalu Keluhan tambahan

Sesak napas ± 2 minggu smrs  Riwayat perjalanan penyakit

± 1 bulan sebelum masuk rumah sakit os mengeluh badan terasa lemas dirasakan semakin hari semakin memberat. Os juga mengeluh mual dan muntah, nafsu makan berkurang. Demam tidak ada. Nyeri dada dada tidak ada.

Jantung

 berdebar-debar tidak ada, os juga mengeluh nyeri pada sendi-sendi. Nyeri dirasakan berpindah-pindah. Riwayat trauma disangkal. Pasien sebelumnya ada riwayat batuk. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Os belum berobat. ± 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, os mulai merasakan sesak Sesak dipengaruhi aktivitas dan tidak dipengaruhi cuaca maupun emosi. Os mengalami sesak saat berjalan ± 20 meter, os juga mengeluh sesak saat menaiki 4-5 anak tangga, sesak berkurang ketika beristirahat. Sembab pada kedua tungkai tidak ada,

 

3

 

Demam tidak ada. Mual ada, muntah tidak ada. Nyeri dada dada tidak ada. Jantung  berdebar-debar tidak ada. Os mengeluh nyeri pada seluruh badan yang semakin  bertambah. BAK dan BAB biasa. Os berobat ke dokter umum, dikatakan sakit maag. Keluhan mual berkurang namun badan masih terasa lemas dan nyeri. ± 3 hari sebelum masuk rumah sakit, badan pasien terasa semakin lemas dan nyeri. Pasien masih merasakan sesak, yang semakin lama semakin bertambah,  berkurang dengan istirahat. Badan pasien semakin lama semakin nyeri dan  berpindah-pindah. BAB dan BAK biasa. Lalu pasien ke RS Muhammadiyah Palembang

Riwayat penyakit dahulu:

  Riwayat darah tinggi sebelumnya, disangkal.  



  Riwayat nyeri sendi berpindah sebelumnya disangkal 



 



Riwayat sakit jantung rematik disangkal     Riwayat sakit kencing manis, disangkal. 



  Riwayat sakit ginjal disangkal 



  Riwayat sakit kuning sebelumnya, disangkal.  



  Riwayat sakit malaria sebelumnya, disangkal.  



Riwayat penyakit keluarga

Riwayat penyakit dengan gejala yang sama dalam keluarga disangkal Riwayat kebiasaan

  Riwayat Merokok (-)    Riwayat Minum minuman beralkohol (-) 





Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien adalah ibu rumah tangga, ekonomi menengah kebawah.

3.3

Pemeriksaan fisik

Dilakukan pada tanggal 3 Januari 2019 a.  Keadaan Umum: 

 

1.  Keadaan sakit

: Tampak sakit sedang

2.  Kesadaran

: Compos mentis

4

 

3.  Berat Badan sebelum sakit

: 55 kg

4.  Berat badan setelah sakit

: 50 kg

5.  Tinggi badan

: 158 cm

6.  Keadaan Gizi

: Baik

7.  Tekanan darah

: 160/100 mmHg

8.  Nadi -  Frekuensi : 110 kali per menit -  Irama

: Reguler

-  Isi

: cukup

-  Tegangan : cukup -  Kualitas

: Baik

9.  Pernafasan -  Frekuensi : 24 kali per menit -  Irama

: Reguler

-  Tipe

: Thorakoabdominal Thorakoabdominal

10.  Tempera Temperature ture

: 36,6°C

b. Keadaan Spesifik:

1. Pemeriksaan Kepala: - Bentuk

: Normocephali Normocephali

- Rambut

: Putih, Tipis, tidak mudah dicabut

- Simetris Muka

: Simetris

- Wajah

: Sawo matang

2. Pemeriksaan Mata: - Eksophtalmus

: Tidak ada

- Endophtalmus

: Tidak ada

- Palpebra

: baik

- Konjungtiva

: Tidak anemis

- Sklera

: Tidak ikterik

- Pupil

: Isokor, refleks cahaya ada kiri dan kanan

- Pergerakan mata

: Ke segala arah baik

3. Pemeriksa Pemeriksaan an Telinga :

 

- Liang Telinga

: Lapang

- Serumen

: Tidak ada

5

 

- Sekret

: Tidak ada

- Nyeri Tekan Tragus

: Tidak ada

-  Gangguan Pendengaran: Tidak ada 4. Pemeriksa Pemeriksaan an Hidung : -  Deforrmitas

: Tidak ada

-  Sekret

: Tidak ada

-  Epitaksis

: Tidak ada

-  Mukosa Hiperemis

: Tidak ada

-  Septum Deviasi

: Tidak ada

5. Pemeriksa Pemeriksaan an Mulut dan Tengorokan: Tengorokan: -  Bibir

: Sianosis tidak ada, normal

-  Gigi Gigi –   – geligi geligi

: Lengkap

-  Gusi

: Normal

-  Lidah

: Sariawan tidak ada, atrofi papil lidah tidak ada, bercak  putih atau kuning tidak ada.

-  Tonsil

: T1/T1 tenang

-  Faring

: Merah muda

6. Pemeriksaan Leher -  Inspeksi

: Simetris, tidak terlihat benjolan

-  Palpasi

: Pembesaran Tiroid tidak ada, Pembesaran KGB tidak ada

-  JVP

: 5-2 cmH2O

7. Kulit -  Hiperpigmenta Hiperpigmentasi si

: Tidak ditemukan

-  Ikterik

: Tidak ada

-  Ptekhie

: Tidak ada

-  Sianosis

: Tidak ada

-  Pucat pada telapak tangan

: Tidak ada

-  Pucat pada telapak kaki

: Tidak ada

-  Turgor

: Kembali cepat

8.  Pemeriksaan Thorax Paru Depan

 

6

 

- Inspeksi

:Simetris, :Simetri s, Pergerakan hemithoraks kanan dan kiri sama. Retraksi tidak ada, sela iga melebar tidak ada. 

- Palpasi

:Nyeri tekan tidak ada, stem fremitus hemithoraks kanan sama dengan hemithoraks kiri.

-  Perkusi

 pada lapang paru kiri dan kanan  : Sonor  pada

-Auskultasi

:Bunyi pernafasan hemithoraks kanan sama dengan kiri, bunyi  pernafasan tipe vesikuler, tidak ada

ronkhi dan tidak ada

wheezing.

Paru Belakang - Inspeksi

:Simetris kanan dan kiri 

- Palpasi

:Nyeri tekan tidak ada, stem fremitus hemithoraks kanan sama dengan hemithoraks kiri.

-  Perkusi

 pada lapang paru kiri dan kanan.  : Sonor  pada

-  Auskultasi

:Bunyi pernafasa pernafasan n hemithoraks kanan sama dengan kiri, bunyi  pernafasan tipe vesikuler, tidak ada

ronkhi dan tidak ada

wheezing.

Jantung -  Inspeksi

: Iktus cordis terlihat

- Palpasi

: Iktus cordis teraba, thrill tidak teraba, nyeri tekan tidak ada

- Perkusi



Kanan Atas

: ICS II linea parasternalis sinistra

Kanan Bawah

: ICS IV linea parasternalis dextra

Kiri Atas

: ICS II linea midclavicularis sinistra

Kiri bawah

: ICS IV linea Axillaris anterior sinistra

- Auskultasi

:HR: 89x/menit reguler, bunyi jantung S1- S2 normal, murmur (+) sistolik di katup mitral, gallop tidak ada.

9.  Pemeriksaan Abdomen - Inspeksi

:datar, lemas, venektasi tidak ada,

caput medusa tidak ada,

spider naevi tidak ada, benjolan tidak ada - Palpasi

:Lemas, nyeri tekan ada, hepa teraba 3 jari dibawah arcus costae , nyeri tekan di epigastrium.

 

7

 

- Perkusi -  Auskultasi

: timpani, undulasi tidak ada, shifting dullness tidak ada.   : Bising usus (+) normal

10.  Pemeriksaan Ekstremitas Superior

: Eutoni, gerakan bebas, kekuatan 5, nyeri sendi tidak ada,

 palmar eritem tidak ada, edema pada kedua lengan dan tangan tidak ada, dan CRT < 2 detik. Inferior

: Eutoni, gerakan bebas, kekuatan 5, nyeri sendi tidak ada,

 palmar eritem tidak ti dak ada, edema pada kedua tungkai tidak ada, dan CRT < 2 detik. 

11. Pemeriksaan Genitalia Tidak diperiksa

2.4

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaa Laboratorium Hematologi (Tanggal 1 Januari 2019) 

Darah Rutin Parameter

Hasil

Nilai Normal

Hemoglobin

14.1

12-16 g/dl

Leukosit

11.900

4.200-11.000/ul

Trombosit

392.000

150.000 –  150.000 –  440.000  440.000

Hematokrit Hematok rit

39.9

37.0 –  37.0 –  47.0  47.0

Kimia Klinik Glukosa Darah

118

70-140 mg/dl

Ureum

24

10 10 –   –  50 mg/dL

Kreatinin

0.9

0.60 –  0.60 –  1.50 g/dl

Sewaktu

 

8

 

Pemeriksaan EKG ( 1 Januari 2019)

Interpretasi EKG: Irama sinus, laju 100-150x/m, axis normal. Kesan: Sinus

Takikardia

Pemeriksaan USG Abdomen ( 3 Januari 2019) Kesan: Congestif liver Pemeriksaan Echocardiography (8 Januari 2019)

 

9

 

3.5

Resume

Pasien perempuan datang dengan keluhan 1 bulan sebelum masuk rumah sakit os mengeluh badan terasa lemas dirasakan semakin hari semakin memberat. Os juga mengeluh mual dan muntah, nafsu makan berkurang. Demam tidak ada.  Nyeri dada tidak ada. ad a. Jantung berdebar-debar ber debar-debar tidak ada, os juga mengeluh nyeri  pada sendi-sendi. Nyeri dirasakan berpindah-pindah. Riwayat trauma disangkal. Pasien sebelumnya ada riwayat batuk. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Os  belum berobat. ± 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, os mulai merasakan sesak Sesak dipengaruhi aktivitas dan tidak dipengaruhi cuaca maupun emosi. Os mengalami sesak saat berjalan ± 20 meter, os juga mengeluh sesak saat menaiki 45 anak tangga, sesak berkurang ketika beristirahat. Sembab pada kedua tungkai tidak ada, ± 3 hari sebelum masuk rumah sakit, badan pasien terasa semakin lemas dan nyeri. Pasien masih merasakan sesak, yang semakin lama semakin bertambah,  berkurang dengan istirahat. Badan pasien semakin lama semakin nyeri dan  berpindah-pindah. BAB dan BAK biasa. Lalu pasien ke RS Muhammadiyah Palembang

Pemeriksaan Fisik yang didapatkan: -  KU: Tampak sakit sedang -  TD : 160/100 mmHg -   N

: 110 kali/menit

-  RR : 24 kali/menit Hasil pemeriksaan fisik didapatkan kepala dan leher dalam batas normal. Pemeriksaan jantung didapatkan iktus kordis terlihat, iktus kordis teraba, terdapat murmur sistolik pada katup mitral. Hasil

pemeriksaan

 penunjang berupa darah rutin dan kimia darah didapatkan leukosit 11.900 g/dL, pemeriksaan EKG didapatkan sinus takikardia. Pemeriksaan USG Abdomen didapatkan Congestive liver, pemeriksaan Echo didapatkan insufisiensi mitral.

3.6 

Diagnosa Banding

1.  Penyakit Jantung Rematik 2.  Demam Rematik

 

10

 

3.  Penyakit Jantung Bawaan 3.7  Diagnosa Kerja

 Rheumatic Heart Heart Disease (Penyak (Penyakit it Jantung Rematik)

3.8

Penatalaksanaan Non Farmakologis

1.  Edukasi (disarankan untuk membatasi aktivitas) 2.  Mengatur posisi senyaman mungkin. 3.  02 3-4l/m via nasal canul

Farmakologis

1.  IVFD asering: aminofluid (1:1) gtt 20x/m 2.  Inj Omeprazole 2 x 20 mg 3.  Sucralfat syr 3 x 1 cth 4.  Inj Cefoperazole 2 x 1 gr 5.   Neurodex 1 x 1 tab 6.  Letrosil 1 x 1 tab 3.9 

Pemeriksaan Anjuran

Kimia darah (Kolestrol darah, SGOT SGPT)  

3.10 Prognosis 

 



Quo Ad Vitam

: Dubia ad Bonam



Quo Ad Fungsion Fungsionam am

: Dubia ad Malam

11

 

3.11  Follow Up

Tgl 2 Januari 2019

S  Ngilu seluruh  badan(+) Sesak

O Keadaan Umum: Tampak Sakit Sedang Kesadaran: Compos Mentis Tanda Vital

 berkurang Badan lemas (+)

TD: 140/90 mmHg  N : 100x/menit RR: 24 x/menit T: 36.60C

A RHD

P P/

IVFD

asering:

aminofluid

(1:1)

gtt 20x/m Inj Omeprazole 2 x 20 mg Sucralfat syr 3 x 1

Pemeriksaan Fisik Kepala: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema (+/+) Leher: JVP: 5-2 cm H2O, Pembesaran KGB (-) Cor: Batas jantung normal BJ 1 dan II regular, murmur (+) sistol Gallop (-) Pulmo: Statis, Dinamis simetris, Stem Fremitus kanan=kiri, nyeri tekan (-), redup, nyeri ketok (-), vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-) Abdomen: Buncit, Lemas, Nyeri tekan epigastrium (+)

cth Inj Cefoperazole 2 x 1 gr  Neurodex 1 x 1 tab Letrosil 1 x 1 tab

Extremitas: Hangat, crt
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF