Laporan Kasus Miller Fisher Syndrome
July 7, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Short Description
Download Laporan Kasus Miller Fisher Syndrome...
Description
LAPORAN KASUS
MILLER FISHER SYNDROME
Oleh
dr. Luh Ayu Bangkitaryani
Pembimbing
dr. Yoanes Gondowardaja, M.Biomed, Sp.S
Pendamping
dr. Valery Vinsenzo Patiwael dr. Gusti Ayu Puteri Saraswati
PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA RUMAH SAKIT UMUM KASIH IBU DENPASAR, BALI 2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Miller “Miller Fisher Syndrome” Syndrome” ini tepat te pat pada waktunya. Laporan kasus ini disusun dalam rangka mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia di Rumah Sakit Umum Kasih Ibu, Denpasar, Bali. Dalam penulisan laporan kasus ini penulis banyak mendapatkan bimbingan maupun bantuan, baik berupa informasi maupun bimbingan moril. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. dr. Yoanes Gondowardaja, Sp.S selaku dokter pembimbing laporan kasus yang telah banyak membimbing dan memberikan saran. 2. dr. Valery Patiwael dan dr. IGA Puteri Saraswati selaku dokter pembimbing internsip yang telah mendampingi penulis dalam Program Intersip Dokter Indonesia ini. 3. Dr. I Wayan Kesumadana, Sp.OG-KFER selaku Direktur Utama RSU Kaish Ibu Denpasar atas dukungannya terhadap kegiatan dokter Internsip. 4. Seluruh staf RSU Kasih Ibu Denpasar, Bali. 5. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan laporan kasus ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya penulis mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat di bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran.
Denpasar, Januari 2019
Penulis
ii
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS MILLER FISHER SYNDROME
Laporan kasus ini telah disetujui pada hari/tanggal …………………………………………………2018 …………………………………………………2018
Pembimbing
dr. Yoanes Gondowardaja, Sp.S
Pendamping I
Pendamping II
dr. Valery Vinsenzo Patiwael
dr. Gusti Ayu Puteri Saraswati
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................... .................................................................. ............................................. ......................
i
KATA PENGANTAR ............................................ ................................................................... ......................................... ..................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ..................... ........................................... ............................................. .................................. ...........
iii
DAFTAR ISI ............................................ .................................................................. ............................................ .................................. ............
iv
BAB I. PENDAHULUAN ................... .......................................... ............................................ ..................................... ................
1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................... .................................................................. .......................... ...
4
2.1 Definisi ............................................ ................................................................... ............................................. .......................... ....
4
2.2 Epidemiologi..................................... Epidemiologi........................................................... ............................................ .......................... ....
4
2.3 Etiologi ............................................ ................................................................... ............................................. .......................... ....
4
2.4 Patogenesis .......................................... ................................................................. ............................................. ......................
5
2.5 Diagnosis .......................................... ................................................................ ............................................ .......................... ....
7
2.6 Diagnosis Banding .......................................... ................................................................. .................................. ...........
12
2.7 Penatalaksanaan ........................................... ................................................................. ..................................... ...............
14
2.8 Prognosis dan Komplikasi .............................................. ................................................................ ..................
17
BAB III. LAPORAN KASUS............................................ .................................................................. .............................. ........
18
BAB IV. PEMBAHASAN ................... .......................................... ............................................ ..................................... ................
28
BAB V. PENUTUP.......................................... ................................................................ ............................................ .......................... ....
32
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I PENDAHULUAN
Polineuropati adalah suatu kondisi disfungsi multipel dari sel saraf yang terbagi ke dalam 2 kelompok besar yakni polineuropati aksonal dan demyelinisasi. Neuropati aksonal menyebabkan gejala yang berhubungan dengan kerusakan aksonal. Neuropati berupa demyelinisasi menyebabkan suatu abnormalitas karena sel Schwann tidak dapat melakukan kontak baik dengan akson. Sel Schwann merupakan sel glial yang memegang peranan penting pada sistem saraf tepi termasuk konduksi saltatori impuls antar akson, perkembangan dan regenerasi saraf, modulasi aktivitas sinaps si naps neuromuscular, dan presentasi antigen terhadap sel limfosit T. Etiologi dari neuropati demyelinisasi antara lain l ain disebabkan oleh toksin, faktor keturunan, dan factor imun, dimana dapat diklasifikasikan menjadi akut dan kronik berdasarkan onsetnya.1 Salah satu polineuropati yang bersifat akut adalah Guillain-Barre Syndrome yang memiliki 6 spektrum penyakit. Guillain-Barre Syndrome (GBS) atau disebut juga dengan polineuritis idiopatik akut merupakan suatu penyakit kelainan sistem imun yang menyerang sistem saraf perifer dan menyebabkan kerusakan selubung myelin yang ditandai dengan adanya kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim dan dapat menyerang semua umur. Angka kejadian tahunan keseluruhan GBS di Amerika Serikat adalah 1,65-1,79 per 100.000 orang dengan rasio kejadian pada laki-laki dan wanita 3:2. 2 Terdapat beberapa subtipe GBS diantaranya: 1. Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) merupakan bentuk paling umum dari GBS GBS dimana terdapat kelemahan otot yang simetris, 2. Acute motor axonal neuropathy (AMAN), dikenal sebagai Chinese paralytic syndrome dimana menyerang nodus ranvier motorik, m otorik, jenis GBS ini menyerang
saraf motorik dan saraf sensorik serta sering terjadi pada anak 3. Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN), mirip dengan AMAN, tetapi juga menyerang nervus sensorik dengan kerusakan akson parah, sering terjadi pada orang dewasa
2
4. Bickerstaff’s Brainstem Encephalitis (BBE), ditandai dengan serangan akut ophthalmoplegia, ataxia, gangguan kesadaran, hyperreflexia atau tanda Babinski. Dan merupakan versi lanjutan dari GBS. 5. Acute panautonomic neuropathy merupakan varian GBS dengan angka kematian tertinggi, dimana terjadi kerusakan sistem simpatis dan parasimpatis, gangguan kardiovaskular berupa disritmia, anhidrosis, dan sering dijumpai juga gangguan sensorik. Varian ini merupakan yang paling pali ng langka dari GBS. 6. Varian yang terakhir yakni Miller Fisher Syndrome (MFS) juga salah satu varian
GBS
yang
jarang
ditemukan
memiliki
trias
klasik
berupa
ophtalmoplegia, ataxia, dan areflexia. 2 Penyakit GBS pertama kali ditemukan pada tahun 1961 oleh Guillain dan Barre yang menjelaskan mengenai karakteristik temuan cairan serebrospinal (CSS) dimana ditemukan peningkatan konsentrasi protein namun tanpa disertai dengan kenaikan jumlah sel pada dua prajurit Perancis yang mengalami kelemahan. Selanjutnya pada tahun 1956 dr. Miller Fisher menemukan tiga pasien yang memiliki gejala khas berupa trias ophtalmoplegia, areflexia, dan ataxia sejak saat itu pasien GBS dengan gejala khas trias tersebut dinamakan Miller Fisher Syndrome.3 Angka kejadian MFS dari seluruh kasus GBS hanya menyentuh angka 3% dengan prevalensi kasus lebih banyak ditemukan di benua Asia dan lebih sering terjadi pada jenis kelamin laki-laki. 4 Penyebab pasti terjadinya MFS masih belum jelas, namun mayoritas mayoritas penelitian menyatakan menyatakan bahwa patogenesisnya patogenesisnya mirip deng dengan an patogenesis GBS yakni adanya neuropati inflamasi yang disebabkan oleh reaktivitas silang antara antigen dan antibodi saraf yang disebabkan oleh infeksi tertentu yaitu organisme menular, seperti C. jejuni, yang memiliki struktur dinding bakteri yang mirip dengan gangliosida. Molekular mimikri ini akan menciptakan antibodi anti-gangliosida yang akan menyerang saraf. Yang membedakannya dengan GBS adalah pada MFS keterlibatan antibodi anti-gangliosida yang ditemukan pada fase akut MFS mayoritas adalah antibodi anti-GQ1b yakni sebanyak 90% dari total antibodi anti-gangliosida.5 Walaupun MFS merupakan varian GBS yang paling jarang namun kasusnya tetap dapat kita temui dalam praktik kedokteran sehari-hari, oleh karena itu pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai MFS dari segi aspek klinis,
3
penatalaksanaan hingga contoh laporan kasus. Penting bagi kita untuk mengetahui penyakit ini karena karena gejela klinis yang yang dimilikinya dimilikinya mirip dengan beberapa beberapa diagnosis banding. Sehingga kita harus mampu membedakan secara tepat gejala klinis yang ada merujuk ke diagnosis tertentu agar dapat memebrikan penanganan yang tepat pula.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Miller Fisher Syndrome
Miller Fisher Syndrome (MFS) adalah penyakit polineuropati akut dan merupakan varian langka dari penyakit Guillain Barre Syndrome (GBS) yang ditemukan oleh Dr. Miller Fisher pada tahun 1956.3 Penyakit ini ditandai dengan trias klasik berupa ophthalmoflegia yakni kelemahan otot di sekitar mata, ataxia yakni adanya gerakan abnormal dan tidak terkoordinasi yang berpengaruh pada keseimbangan, serta areflexia areflexia yaitu hilangnya hilangnya reflex pada tendon tendon dalam. Selain trias trias tersebut terdapat juga gejala klinis yang lain seperti kelemahan kelemaha n fasial dan bulbar, serta kelemahan pada badan dan ekstremitas. 3,4 2.2
Epidemiologi
Insiden GBS di seluruh dunia adalah sebanyak 1-2 per 100.000 orang pertahunnya dengan persentase MFS bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya. geografisnya. 1,2 Kasus MFS dilaporkan sebanyak 1-7% dari kasus GBS di belahan dunia bagian barat, sedangkan di benua Asia MFS lebih banyak dijumpai yakni sebanyak 18-19% dari kasus GBS di Taiwan dan sebanyak 25% di Jepang. Berbeda halnya dengan penyakit autoimun lainnya Miller Fisher Syndrome lebih banyak ditemukan dite mukan pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan yakni dengan rasio 2:1. Penyakit ini dapat menyerang segala kelompok usia dari bayi hingga dewasa, meskipun angka kejadiannya lebih banyak pada dewasa. Sebuah Se buah studi retrospekstif yang melibatkan 466 pasien menunjukkan rerata (median) umur penderita adalah 44 tahun dengan jumlah terbanyak berada pada kelompok usia 30-39 tahun dan 50-59 tahun. 4,6 2.3
Etiologi
Menurut beberapa studi etiologi MFS diyakini mirip dengan etiologi dari GBS dimana berasal dari respon imun akut yang menyimpang terhadap terhad ap suatu reaksi infeksi. Patogen penyebab infeksi yang seringkali menimbulkan respons imun ini antara lain
5
Campylobacter jejuni, kelompok Cytomegalovirus, Epsteinn-Barr virus, dan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Adanya reaksi silang antara antigen saraf perifer
dengan komponen virus atau bakteri tersebut melalui proses mimikri molekuler dicurigai sebagai awal mula penyebab terjadinya proses inflamasi dari MFS. Sekitar dua pertiga kasus MFS diawali oleh adanya infeksi saluran nafas atas (ISPA) atau adanya diare, dan sekitar 50% nya berkembang setelah infeksi terjadi. Hingga saat ini peneliti belum mengetahui secara secara jelas mekanisme pasti dari pathogenesis pathogenesis MFS. MFS. Proses infeksi yang terjadi dapat berkembang menuju myelin atau akson dari saraf perifer. 5,7 Sebagian besar kasus MFS mengalami gangguan pada nervus cranialis II, IV, dan VI. Beberapa laporan kasus menyebutkan bahwa antibodi ganglioside anti GQ1b merupakan temuan serologis yang khas pada kasus MFS, namun tidak adanya antibodi a ntibodi tersebut juga tidak menjamin ekslusi penyakit MFS. 7 Beberapa faktor risiko lain yang berhubungan dengan MFS adalah penggunaan beberapa obat-obatan seperti heroin, suramin, streptokinase, isotretinoin serta penggunaan terapi antagonis TNF alfa. Selain itu adanya penyakit autoimun seperti sistemik lupus eritematosus (SLE), limfoma Hodgkin, sarcoidosis, terapi pembedahan, penggunaan anestesi epidural, transplantasi sumsum tulang, dan imunisasi juga dapat menjadi pencetus MFS. 8
2.4
Patogenesis Miller Fisher Syndrome
Studi oleh Kuroki et al menyatakan bahwa patogen eksogen seperti Campylobacter jejuni kemungkinan memiliki antigen kapsular spesifik yang memiliki
epitope mirip dengan myelin saraf perifer sehingga menyebabkan respons imun salah mengenali atau mekanisme ini disebut molekuler mimikri yang menyebabkan respons imun bereaksi silang dengan myelin sehingga menyebabkan proses demyelinasi. 6 Proses tersebut menghasilkan suatu antibodi antigaliosida. Antibodi antigangliosida merupakan respon imunitas dimana diciptakan antibodi yang bereaksi terhadap ganglion saraf kita sendiri sehingga menimbulkan suatu kerusakan saraf atau neuropati. 6,7 Studi oleh Chiba et al dalam Paparounas, 2008 menyatakan antibodi gangliosida yang signifikan ditemukan adalah antibodi anti GQ1b. Adanya temuan berupa pekatnya konsentrasi ganglioside GQ1b pada nervus okulomotorik, trochlear,
6
dan abdusens menjelaskan hubungan antara antibodi anti GQ1b dengan gejala ophthalmoplegia yang mayoritas ditemukan pada MFS. Selain itu antibodi anti GQ1b
juga ditemukan pada Bickerstaff brainstem brainstem encephalitis (BBE) sehingga baik MFS dan BBE berasal dari spektrum penyakit yang sama. 5
Gambar 2.1 Patogenesis Miller Fisher Syndrome5
Adanya proses mimikri molekuler antara saraf perifer dengan antigen patogen diyakini terjadi melalui aktivasi sistem imun adaptif dimana sistem kekebalan kekebala n humoral dan seluler memegang peranan penting. Gangliosida merupakan karbohidrat penting penentu untuk aktivitas autoimun. Beberapa studi menunjukkan bahwa antiboti anti gangliosida yakni antibodi anti GQ1b merupakan fitur spesifik dari MFS. 8 Kondisi ophthalmoparesis pada MFS diyakini akibat adanya interaksi langsung antara antibodi
7
anti GQ1b dengan neuromuskular junction antara nervus cranialis dan otot okuler. Sekitar 70-90% pasien akan memiliki hasil positif dari pemeriksaan ELISA. Hanya sekitar 10-30% pasien saja yang memiliki hasil sero negative, hal ini kemungkinan diakibatkan oleh dibutuhkannya calcium-dependent ligands untuk berikatan dengan antibodi. Dari sisi perjalanan penyakitnya MFS biasanya terjadi secara akut, diawali dengan adanya gejala defisit neurologis yang berlangsung kira-kira 8-10 hari. Gejala-
gejala tersebut kemudian mengalami perkembangan hingga mencapai puncak klinis yakni sekitar seminggu setelah gejala neurologis awal. 8,9 2.5
Diagnosis
Terdapat kriteria klinis yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis MFS diantaranya yaitu: 1. Adanya kelemahan otot ekstraokuler dan ptosis yang terjadi bilateral yang cenderung simetris. 2. Adanya limb and gait ataxia 3. Adanya areflexia di seluruh ekstremitas
4. Adanya perburukan dari ketiga gejala pertama di atas dalam hitungan hari hingga 3 bulan 5. Adanya kelemahan pada ekstremitas pada otot-otot fasial dan orofaringeal 6. Kesadaran baik, tidak adanya disartria. 7. Hasil pemerikaaan cairan serebrospinal menunjukkan adanya disosiasi sitoalbumin.10 Diagnosis Miller Fisher Syndrome dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien MFS mayoritas memiliki gejala berupa diplopia (78%), ataxia (48%), dan adanya areflexia (60%). Gejala awal yang ditemukan adalah adanya diplopia kemudian akan diikuti oleh adanya gangguan berjalan, gejala lainnya yang selanjutnya muncul adalah dysesthesia atau gangguan pada indera peraba dimana apabila dilakukan sentuhan akan timbul perasaan tidak nyaman. Gejela lain yang juga dapat ditemukan adalah blepharoptosis, kelemahan anggota gerak namun derajatnya ringan, adanya
8
disfagia, fotofobia, pandangan kabur, pusing, nyeri kepala dan kelemahan otot wajah.1,6,11 1. Opthalmoplegia
Opthalmoplegia merupakan gejala yang paling sering dan da n paling konsisten ditemui pada pasien MFS pada fase akut penyakit. Gejala ophtalmoplegia berhubungan erat dengan adanya antibodi anti GQ1b walaupun antibodi ini juga dapat ditemukan pada pasien yang tidak mengalami kelainan pada mata. Mayoritas pasien dengan MFS mengalami opthalmoplegi bilateral dan cenderung simetris. Sepertiga dari pasien MFS mengalami opthalmoplegia komplit bilateral. Sebuah studi yang melibatkan 31 pasien
dengan opthlamoplegi komplit bilateral diketemukan MFS sebagai penyebab utamanya. Hubungan antara opthalmoplegia dengan antibodi GQ1B dijelaskan oleh studi dari Chiba et al yang menemukan dari 5 pasien dengan opthalmoplegia 4 orang mengalami gejala flu pada fase awal dan satu orang mengalami diare, keseluruhan pasien ditemukanm mengalami kelemahan bada nervus cranialis VI dan hasil tes menunjukkan adanya antibodi anti GQ1b. 5,11,13 2. Ataxia
Ataxia juga merupakan satu dari trias gejala MFS yang sering ditemukan pada fase akut, ataxia yang terjadi menyebabkan gangguan berjalan pada pasien dimana sebanyak 30% dari total pasien menjadi tidak dapat berjalan mandiri dan harus dibopong. Ataxia pada MFS juga berkaitan dengan antibodi anti GQ1b, sebuah studi menyatakan pasien dengan antibodi anti GQ1b yang positif memiliki tipe ataxia yang lebih berat disbanding dengan pasien dengan antibodi anti GQ1b negative. Pathogenesis terjadinya ataxia pada MFS belum diketahui secara pasti. Baik mekanisme perifer maupun sentral turut berperan. Studi menyatakan adanya hubungan hubun gan antara kelainan pada serat-serat otot aferen dan keparahan ataxia menunjukkan adanya kelainan proprioseptif sebagai penyebabnya. 12,13 3. Areflexia
Adanya areflexia tendon dalam merupakan salah satu trias MFS. Hilangnya reflex pada awalnya diyakini ada pasa semua pasien MFS, namun ternyata tidak sedikit pula
9
pasien dengan MFS yang masih memiliki reflex yang baik. Sebagai contoh suatu sstudi tudi yang melibatkan 581 pasien dengan MFS yang memiliki geala opthalmoplegia dan ataxia, ternyata sebanyak 12% nya nya masih memiliki rrefleks efleks yang baik. Studi Studi di Korea yang melibatkan 13 pasien dengan opthalmoplegia, ataxia, dan antibodi anti GQ1b yang positif ditemukan memiliki reflex yang masih normal. 13 4. Gejala Lainnya
Gejala lain yang ditemukan pada pasien MFS yakni blepharoptosis dan nystagmus (58%), disestesia (45%), selain itu terdapat pula kelemahan otot namun dengan derajat kelemahan yang masih rendah. Beberapa studi studi menyebutkan pula terdapat optic neuritis yang dapat terjadi bilateral atau unilateral. Nyeri kepala, nyeri periokuler, dan hilangnya reflex kornea juga ditemukan pada pasien MFS. Gangguan saat berkemih dan retensi urin juga pernah ditemukan pada pasien MFS.4
Pemeriksaan Fisik
Gejala khas dari MFS meliputi akut ophthalmoplegia, o phthalmoplegia, areflexia, dan ataxia yang terjadi setelah infeksi bakteri atau virus. Adanya parestesia pada ekstremitas distal dengan atau tanpa adanya kelemahan juga bisa ditemukan. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah diplopia atau pandangan kabur, disartria, pusing, dan sensasi kesemutan. Keterlibatan nervus cranialis juga khas ditemukan menghasilkan gejala kelemahan pada otot wajah, okulomotor atau bulbar dan bisa juga hingga ke ekstremitas. Pemeriksaan fisik seperti pada GBS juga dapat ditemukan pada kasus MFS seperti parese pada wajah, hiporefleksia ekstremitas ek stremitas distal, dan hilangnya sensasi raba pada esktremitas distal. Disfungsi otonom seperti kondisi hipertensi, hipotensi atau aritmia dapat juga ditemukan pada pasien MFS yang tidak ditangani. Selain itu hal menarik yang ditemukan adalah hilangnya reflex kornea. 10,14 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan lumbal pungsi Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan MFS salah satunya adalah dengan pemeriksaan lumbal pungsi. Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal pada MFS akan menunjukkan adanya disosiasi sitoalbumin,
10
yakni kondisi dimana terdapat jumlah sel normal namun terdapat peningkatan level protein. Hasil ini mayoritas ditemukan pada 90% pasien saat puncak penyakitnya. Namun hanya setengah dari total pasien yang menunjukkan adanya kondisi disosiasi sitoalbumin pada awal penyakitnya, oleh karena itu level protein yang normal pada onset awal penyakit belum dapat mengeksklusi diagnosis MFS pada pasien dengan gejala klinis yang jelas. 10,13 2. Pemeriksaan elektroneuromiografi (ENMG) Gambaran elektroneuromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ketiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada minggu pertama serangan gejala, didapatkan perpanjangan respon (88%), perpanjangan distal latensi (75%), konduksi blok (58%) dan penurunan kecepatan konduksi motor (50%). Pada minggu kedua, potensi penurunan tindakan berbagai otot (CMAP, 100%), perpanjangan distal latensi (92%) dan penurunan kecepatan konduksi motor (84%). Manifestasi elektrofisiologis yang khas tersebut, yakni, prolongasi masa laten motorik distal yang menandai blok
konduksi distal dan prolongasi atau absennya respon gelombang F yang menandakan keterlibatan bagian proksimal saraf, blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya konduksi hantar saraf.14 3. Pemeriksaan antibodi anti-GQ1b Antibodi anti GQ1b yang bekerja melawan GQ1b yakni komponen gangliosida dari saraf dengan menghambat pelepasan asetilkolin dari saraf terminal motorik. Antibodi ini berhubungan dengan penyakit MFS dan digunakan sebagai marker terjadinya MFS. Gangliosida GQ1b merupakan komponen permukaan sel yang terkonsentrasi pada area paranodal di saraf cranialis cranialis III, IV, dan VI. Gangliosida tersebut mengandung polisakarida yang identik dengan lipopolisakarida yang terdapat pada membrane luar beberapa bakteri, oleh karena itu gangliosida tersebut menjadi target awal dari respon imunitas. Studi oleh Yuki et al menunjukkan adanya antibodi monoklonal pada gangliosida GQ1b bereaksi terhadap lapisan liopolisakarida pada isolate bakteri
11
Campylobacter jejuni pada pasien MFS. MFS. Temuan tersebut menunjukkan bahwa
mekanisme mimikri molekuler yang terjadi pada MFS bukan hanya berperan sebagai penanda penyakit MFS namun juga memainkan peran dalam pathogenesis MFS. Antibodi anti GQ1b juga j uga berikatan dengan liopolisakarida liopolisakari da pada beberapa strain bakteri Haemophillus influenza. Antibodi anti GQ1b menyerang bagian neuromuskular junction termasuk dengerasi akson dan sel Schwann melalui jalur complement-mediated . Gangiosida kompleks yang emngandung GQ1b ditemukan sebagai target utnuk terjadinya autoantibodi yang sangat spesifik untuk gejala klinis MFS. 5,6 Nishimoto et al dalam Koga et al, 2005 membandingkan antara kondisi disosiasi sitoalbumin dengan adanya antibodi anti GQ1b pada pasien MFS didapatkan hasil bahwa, pada 1 minggu sejak onset awal penyakit MFS antibodi anti GQ1b hampir selalu ada sedangkan disosiasi sitoalbumin pada cairan serebrospinal hanya didapatkan pada 25% pasien saja. Studi tersebut menyimpulkan bahwa temuan disosiasi sitoalbumin pada CSF tidak sesensitif pemeriksaan antibodi anti GQ1b dalam mendiagnosis MFS pada fase awal penyakit. Selain itu tingginya titer antibodi anti a nti GQ1b juga memiliki korelasi dengan keparahan penyakit khususnya gejala ophthalmoplegia. 9 4. Pemeriksaan Histopatologi Temuan histopatologi pada MFS pertama kali dijelaskan pada laporan kasus
oleh Philips dan Anderson pada tahun 1984, pada kasus tersebut jaringan otak pasien yang meninggal akibat bronkopneumonia. Pemeriksaan mikroskopik menggunakan pewarna solochrome cyanine menunjukkan adanya bercak bercak dan demyelinisasi demyelinisasi segmental yang yang dibentuk oelh makrofag dan limfosit. Perubahan tersebut berdampak pada akar saraf sensorik dan motorik pada sistem saraf tepi. Sedangkan bagian batang otak dan sumsum tulang belakang serta bagian lain dari susunan saraf pusat tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron mengkonfirmasi temuan tersebut dimana ditemukan demyelinisasi total pada akson di sitoplasma sel Schwann yang dikelilingi makrofag dan limfosit. 14,15
12
Kriteria Brighton merupakan metode kuantitatif yang sudah tervalidasi dimana criteria tersebut mengakomodasi gejala klis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan penunjang untuk mendiagnosa GBS dan variannya, termasuk MFS. Sistem penilainnya meliputi keriteria berikut :
Adanya kelemahan bilateral pada pa da ekstremitas
Adanya penurunan atau hilangnya reflex tendon dalam da lam pada esktremitas distal
Jangka waktu antara onset awal dengan puncak gejala klinis adalah antara 12 jam hingga 28 hari
Dari lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan jumlah sel kurang dari 50/mikroliter
Dari lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan konsentrasi protein lebih besar dari rentang normal
Dari pemeriksaan konduksi saraf, hasil konsisten dengan salah satu subtype GBS
Kurangnya diagnosis banding untuk gejala kelemahan
Kriteria Brighton berkisar dari level 1 hingga level 4. Dimana level 1 merupakan menunjukkan diagnosis pasti untuk GBS dan variannya, sedangkan level 4 untuk kemungkinan paling lemah.16 2.6
Diagnosis Banding
Diagnosis banding MFS meliputi beberapa penyakit dengan gejala klinis yang mirip. Diagnosis klinis MFS meliputi: ataxia, areflexia, dan ophthalmoplegia. Namun ketiga gejala tersebut juga dapat ditemukan pada penyakit lain. Adanya
ophthalmoplegia bilateral pada MFS dapat dibedakan dibedaka n dengan kondisi ophthalmoplegia pada penyakit kronis lain la in seperti myasthenia gravis (MG), thyroid eye disease (TED), dan myotonic dystrophy (MD). Pada MG paralisis okuler dapat berpindah dari satu mata ke mata sebelahnya dan dapat mengalami perbaikan serta perburukan hanya dalam jangka waktu satu hari. Sedangkan kondisi ophthalmoplegia pada MFS memburuk secara progresif hingga mencapai puncak gejala klinis. Sedangkan untuk
13
TED biasanya terjadi pada pasien dengan riwayat penyakit tiroid dan sangat jarang menjadi gejala awal dari penyakit tersebut. Keluhan okuler pada TED meliputi mata kering, epifora, mata merah, mata menonjol, kesulitan menutup mata, dan masalah pada visus pasien.10,17 Gejala areflexia dapat terjadi pada beberapa kondisi neurologis dimana terdapat kerusakan lower motor neuron pada sumsum tulang belakang atau pada saraf tepi. Penyakit diabetes dan defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan neuropati perifer dan menimbulkan gejala areflexia. Penyakit lain yang juga memiliki memil iki gejala klinis areflexia adalah amyotrophic lateral sclerosis (ALS) dan polio. Selain itu gangguan metabolic seperti hipomagnesemia, intoksikasi alcohol serta penggunaan obat-obatan anti depressant.10 Sangat penting untuk dapat membedakan MFS dari GBS dimana kita ketahui kasus MFS murni sangat jarang terjadi. MFS dan GBS dapat dibedakan dibeda kan dari gejalanya, dimana defisit neurologis pada MFS mengikuti pola descending dimulai dari ophthalmoplegia sedangkan defisit neurologis pada GBS terjadi secara ascending. Diagnosis banding lainnya adalah stroke akut dimana pasien stroke dengan iskemia cerebellum akan memiliki gejala berupa gaya berjalan tdiak stabil, pusing, nyeri kepala, gangguan pergerakan mata, dan mual muntah. Walaupun keduanya memiliki gejala akut, pasien dengan iskemia cerebellar menunjukkan ataxia dengan lateralisasi sedangkan pada pasien MFS biasanya tidak mengalami lateralisasi. 13,17 Selain itu adanya toksin dan penggunaan obat-obatan yang mengatur kanal natrium seperti fenitoin serta obat kemoterapi seperti fluorouracil juga dapat memicu episode ataxia. Dimana kondisi dengan etiologi tersebut disebut dengan ataxia sekunder dengan karakteristik berupa ataxia pada ekstremitas bawah, control motorik tangan yang buruk, bicara cadel atau pelo, dan gangguan penglihatan. Ataxia pada kondisi tersebut dapat dibedakan dengan ataxia pada MFS karena progresi kelemahannya bersifat dari atas ke bawah.3
Diagnosis banding yang lain adalah Bickerstaff brainstem enchepalitis (BBE) dan varian
GBS
dengan
kelemahan
phyaringeal-cervical-brachial.
Gejala
yang
membedakan MFS dan BBE adalah adanya hiperreflexia dan ensefalopati pada BBE.
14
Sedangkan MFS dibedakan dengan pharyngeal-cervical-brachial weakness adalah adanya kelemahan akut pada otot orofaringeal, leher, bahu, gejala disfagia dan adanya paresis wajah tanpa diserta abnormalitas pada ekstremitas bawah. Selain itu untuk membedakan dengan stroke batang otak akut adalah onset gejala pada MFS bersifat gradual.11 2.7
Penatalaksanaan
Penatalaksanan MFS secara garis besar meliputi terapi definitive yakni penggunaan imunoglublin intravena ata plasmaparesis serta terapi suportif seperti manajemen nyeri. 1.
Imunoglobulin intravena Penggunaan
immunoglobulin
intravena
dan
penggantian
plasma
(plasmapharesis) ditemukan efektif untuk penatalaksanaan GBS dan MFS. Dan tidak ditemukan perbedaan signifikan pada kedua terapi tersebut baik dari segi mortalitas, disabilitas, dan lama rawat pasien. Pasien dengan MFS biasanya tidak membutuhkan imunoterapi karena MFS memiliki prognosis yang baik dan dapat sembuh spontan. Penggunaan immunoglobulin intravena dapat diindikasikan pada pasien yang mengalami gejala berat seperti kesulitan bernafas dan menelan. Namun secara umum penggunaan imunoglobuin lebih disukai karena praktis, ketersediaan yang luas dan minim efek samping, namun kelemahannya adalah harga yang mahal. Sebelum
dilakukan
penatalaksanaan
dengan
menggunakan
antimunoglubulin dokter harus melakukan evaluasi terhadap kadar IgA karena pada pasien-pasien dengan defisiensi IgA memiliki risiko lebih tinggi untuk emngalami reaksi anafilaksis. Dosis immunoglobulin intravena yang biasa digunakan adalah sebanyak 2 gram/kilogram berat badan dan dibagi menjadi 2-5 hari. Terapi kedua dengan immunoglobulin mungkin diperlukan bagi beberapa pasien. Pada anak-anak dan remaja remaja dosis sebanyak 1 gram kg/BB selama dua hari dapat diberikan atau dengan dosis alternative sebanyak 400 miligram per kilogram BB diberikan setiap hari selama 5 hari. Untuk pasien dengan gangguan ganggu an
15
ginjal, dokter sebaiknya menurunkan dosis sebanyak 50% dari dosis yang direkomendasikan.2 gram perkilogram berat badan dibagi selama 5 hari. 18 2.
Terapi penggantian plasma pla sma (plasmaparesis) Terapi plasmaparesis diyakini efektif dalam penatalaksanaan MFS karena antibodi anti GQ1b terdapat pada serum darah pasien MFS maka menghilangkan antibodi tersebut dengan plasmaparesis dapat membantu mengatasi gejala MFS. Terapi dengan penggantian plasma (plasmaparesis) efektif diberikan dalam 2 minggu onset awal penyakit pada pasien yang mengalami kelumpuhan, dan mencapai efektivitas tertinggi apabila diberikan dalam 7 hari sejak onset awal penyakit. Kontraindikasi penggunaan plasmaparesis antara lain: sudah pernah mendapat terapi immunoglobulin intravena, terdapat instabilitas hemodinamik, kondisi kehamilan, sepsis, dan hipokalsemia. 19
3.
Terapi suportif Sebanyak 75% pasien MFS membutuhkan terapi opioid oral atau injeksi untuk mengatasi nyeri yang dialaminya. Kombinasi regimen antinyeri yang tepat sangat dibutuhkan untuk mempercepat proses penyembuhan. Medikamentosa yang dapat digunakan antara lain: gabapentin, pregabalin, carbamazepine, dan amitriptilin. Sedangkan untuk penggunaan kortikosteroid dapat diberikan apabila terdapat nyeri neuropatik atau nyeri radikuler. Penggunaan opioid oral atau injeksi seperti contoh morfin intravena sebanyak 1 hingga 7 mg/jam harus diberikan dengan pengawasan ketat karena efek sampingnya terhadap otot-otot pernafasan serta efek samping autonomic seperti retensi urin. 4 Untuk penggunaan kortikosteroid, studi menyebutkan bahwa penggunaan kortikosteroid sudah tidak relevan digunakan baik secara oral maupun intravena karena tidak efektif. Penggunaan kortikosteroid hanya direkomendasikan pada kasus nyeri radikular atau nyeri neuropatik saja. Namun beberapa penelitian juga menyebutkan dapat dilakukan pemberian kortikosteroid seperti metilprednisolon sebanyak 1 gram sehari selama 3 hari. 4,6 Profilaksis untuk thrombosis vena dalam (DVT) harus dimulai segera untuk mengurangi risiko terjadinya emboli paru utamanya pada pasien MFS yang
16
imobilisasi total. Administrasi Administrasi heparin subkutan atau ata u enoxaparin dapat dilakukan. Selain itu dapat pula digunakan stoking kompresi pada pasien dewasa yang mengalami kelumpuhan total. Apabila terdapat gejala disfungsi otonom terapi suportif tambahan mungkin diperlukan, seperti misalnya apabila pasien mengalami bradikardi berat atau terdapat risiko asystole pasien kemungkinan membutuhkan obat pacu jantung. Apabila pasien mengalami disfagia pemasangan nasogastric tube (NGT) dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien. Penggunaan kateter k ateter juga dapat dapa t dilakukan pada pasien dengan retensi urin u rin serta pemberian pelunak feses pada pasien dengan konstipasi. Fisioterapi juga penting dilakukan sebagai tahap rehabilitasi awal ketika pasien sudah menunjukkan perbaikan kondisi.6,11 4.
Indikasi perawatan di ruang intensif (ICU) Indikasi perawatan pasien di ruang intensif (ICU) dilakukan berdasarkan keparahan penyakitnya terutama pada fungsi sistem respirasinya. Ventilasi mekanik dibutuhkan pada 20-30% pasien yang mengalami gagal nafas. Tanda dari terjadinya kelemahan otot-otot nafas antara lain adanya takikardi, takipneu, serta pergerakan dada dan abdomen yang tidak sinkron. Pasien dengan gejalagejala tersebut dapat dilakukan perawatan di ruang intensif dengan mengacu pada kriteria paling tidak memenuhi 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Kriteria mayor meliputi hiperkapnia dengan nilai PaCO 2 > 48 mmHg, hipoksemia dengan PaO2 < 56 mmHg pada udara ruangan, kapasitas vital paru < 15 ml/kgBB, dan tekanan inspirasi negative < -30 cmH2O. sedangkan kriteria minor meliputi usaha batuk yang lemah/tidak efektif, disfagia, dan gambaran rontgen dada 6,11
atelectasis. 2.8
Prognosis dan Komplikasi
Miller Fisher Syndrome merupakan penyakit yang dapat sembuh spontan. Gejala ataksia dan ophtalmoplegia biasanya sembuh dalam satu hingga tiga bulan setelah onset awal dan pasien MFS biasanya mengalami kesembuhan total dalam 6 bulan. Hasil penelitian menunjukkan waktu rata-rata durasi penyakit MFS dari onset awal
17
hingga penyembuhan adaah sebanyak 12 hari untuk gejala ataxia dan 15 hari utnuk ophthalmoplegia. Sedangkan waktu rata-rata untuk penyembuhan total adalah 1 bulan untuk ataxia dan 3 bulan untuk ophthalmoplegia. Pada 6 bulan setelah onset awal penyakit. Waktu penyembuhan pasien MFS tidak berhubungan dengan faktor usia, jenis kelamin, adanya proses infeksi serta kondisi disabilitas. disabilitas. 20 Meskipun MFS merupakan penyakit yang dapat sembuh spontan, pemberian terapi berupa immunoglobulin intravena atau plasmaparesis dapat mempercepat proses penyembuhan dan mencegah perburukan penyakit pe nyakit menjadi GBS. Angka kekambuhan GBS adalah sebesar 3-6% sedangkan kekambuhan MFS masih belum diketahui, suatu laporan kasus di India menunjukkan adanya rekurensi MFS pada satu pasien dimana ditemukan adanya antibodi anti GQ1b.13 Komplikasi serius seperti aritmia dan gagal napas dapat terjadi meskipun sangat jarang. Komplikasi serius lainnya antara lain koma, kardiomyopati akibat disfungsi autonomic, laktat asidosis, disfungsi kortiko bulbar, dan hyponatremia akibat syndrome inappropriate secretion of antiduretic hormone (SIADH). Sedangkan untuk kasus kematian pada MFS sangat jarang ditemukan. 6
BAB III LAPORAN KASUS
View more...
Comments