LAPORAN KASUS LEPTOSPIROSIS

October 21, 2017 | Author: BARLI AKBAR RAMADHAN | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

12345...

Description

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Leptospirosis

adalah

penyakit

zoonosis

yang

disebabkan

oleh

mikroorganisme patogen yang dikenal dengan nama Leptosira Interrogans. Penyakit ini pertama kali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 sebagai penyakit yang berbeda dengan penyakit lain yang juga ditandai oleh ikterus. (Zein Umar, 2006). Gejala penyakit ini sangat bervariasi mulai dari gejala infeksi ringan sampai dengan gejala infeksi berat dan fatal. Dalam bentuk ringan, leptospirosis dapat menampilkan gejala seperti influenza disertai nyeri kepala dan mialgia. Dalam bentuk parah (disebut sebagai Weil’syndrome), leptospirosis secara khas menampilkan gejala ikterus, disfungsi renal, dan diatesishemoragika.(Speelman, Peter, 2005). Diagnosis leptospirosis seringkali terlewatkan sebab gejala klinis penyakit ini

tidak

spesifik dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosis tanpa uji laboratorium. Dalam d ekade belakangan ini, kejadian luar biasa leptospirosis di beberapa negara, seperti Asia, AmerikaSelatan dan Tengah, serta Amerika Serikat menjadikan penyakit ini termasuk dalam the emerging infectious diseases.

1

BAB II LAPORAN KASUS A. STATUS PASIEN 1. Identitas pasien Nama

: Ny. Sila

Umur

: 36 tahun

Alamat

: Jalan Duku Desa Wonoasih

Pekerjaan

: Petani

No RM

: 620392

Pasien MRS

: 15-2-2017

Pasien KRS

: 18-2-2017

2. Anamnesa  Keluhan Utama: Mual.  Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke UGD pada tanggal 15 Februari 2017 dengan keluhan mual sejak 6 hari yang lalu, mual disertai muntah setelah makan, muntah terakhir sebanyak 3x keluar makanan, nafsu makan menurun, demam naik turun kurang lebih 4 hari, badan terasa pegal-pegal, kaki sempat kaku sampai tidak bisa jalan, nyeri pada kedua betis, BAB terakhir keras dan berwarna hitam namun tidak ada darah dan lendir, BAK pekat seperti 

air teh, pusing cekot-cekot mendadak. Riwayat penyakit dahulu: Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami seperti ini, riwayat HT (-),

riwayat DM (-). Riwayat Penyakit Keluarga: Pasien mengatakan dalam keluarga tidak ada yang mengalami seperti ini.  Riwayat Sosial dan Kebiasaan: ⁻ Pasien setiap hari bekerja di sawah ⁻ Kebiasaan minum kopi setiap hari  Riwayat Alergi: Pasien mengatakan tidak mempunyai riwayat alergi makanan atau obat.  Riwayat Pengobatan: 

2

Riwayat minum obat sakit kepala dan obat tambah darah, nama lupa. 3. Pemeriksaan Fisik  Keadaan Umum: Pasien tampak lemah  Kesadaran: Compos Mentis (GCS 4-5-6)  Tanda-tanda vital: TD : 115/72 mmHg Nadi : 89 x/menit RR : 24 x/menit Suhu : 36,9oC  Kepala/Leher Kepala : Normosefal Mata : Anemis (-), pupil isokor, reflek pupil (+/+), icterus(+/+) Hidung : Sekret (-/-) Telinga : Discharge (-/-) Mulut : Kering (+), sianosis (-) Leher : Simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar limfe (-), deviasi trakea (-). 

Thoraks Paru Pemeriksaan Inspeksi Bentuk Simetris Pergerakan Simetris Palpasi Pergerakan Simetris ICS Simetris Perkusi Suara Sonor Sonor ketok Sonor Sonor Auskultasi Suara Vesikuler Vesikuler nafas Vesikuler Vesikuler Ronkhi Wheezing -

Depan Kanan

Kiri

Belakang Kanan Kiri

+ +

+ +

+ +

+ +

+ +

+ +

+ +

+ +

Sonor Sonor Sonor Sonor

Sonor Sonor Sonor Sonor

Sonor Sonor Sonor Sonor

Sonor Sonor Sonor Sonor

Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler -

Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler -

Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler -

Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler -

3

-

-

-

-

-

Jantung Inspeksi Palpasi

Iktus cordis tidak tampak Iktus tidak teraba Thrill tidak teraba Batas kanan Batas kiri S1 S2 tunggal Suara tambahan : murmur (-) gallop (-)

Perkusi Auskultasi Abdomen Inspeksi

Tidak ada bekas oprasi (-) Tidak ada bekas luka (-) Massa (-) Bising usus (+) normal Supel Hepar tidak teraba Lien tidak teraba Ginjal tidak teraba Nyeri tekan (+) epigastrium, hipokondrium kanan,

Auskultasi Palpasi

lumbal kanan, umbilicus Suara timpani

Perkusi Ekstremitas Superio

Akral hangat

r

CRT < 2 detik

Inferior

Tidak ada edema Akral hangat CRT < 2 detik Tidak ada edema

Nyeri tekan M. Gastrocnemius 4. Pemeriksaan Penunjang Tanggal 15 Februari 2017 Pukul 20.19 Darah Lengkap: - Hemoglobin 10.8 (L:13-18/P:12-16) - Leukosit 16.200 (4000-11.000) - Trombosit 78.000 (150.000-450.000) - HbSAg Negatif

4

5. Temporary Problem List  Demam  Pusing  Mual  Muntah  Nafsu makan menurun  Badan pegal-pegal  BAB keras warna hitam  BAK pekat seperti teh  Kaki sempat kaku  Nyeri pada kedua betis  Pusing cekot-cekot  Nyeri tekan di epigastrium, hipokondrium kanan, umbilikus dan      N O 1.

lumbal kanan Nyeri leher Ikterus Hb 10.8 Leukosit 16.200 Trombosit 78.000

PERMANENT PROBLEM LIST INITIAL ASSEMENT 1. Mual 2. Muntah 3. Pusing cekot-cekot 4. Demam 5. Nafsu makan menurun 6. Badan pegal-pegal 7. Nyeri leher 8. BAK seperti teh 9. Nyeri pada kedua betis 10. Ikterus 11. Leukosit 16.200 12. Trombosit 78.000

Suspek Leptospirosis Different Diagnosis : 1. DHF PLANNING Dx : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

DL HbSag LFT Bilirubin D/T RFT HAV UL

Tx : 1. Bed rest 2. Infuse RL 20 tpm

5

3. 4. 5. 6. 7.

Inj. Ondansetron 2x1 Inj. Omeprazole 2x1 Inj. Gitas 2x1 Inf. Sanmol 3x1 Tab neurodex 2x1

Mx : 1. Tanda-tanda vital 2. Gejala klinis Ex : 1. Istirahat cukup 2. Banyak Minum air putih B. Data Soap Pasien di Ruangan Kamis, 16 Februari 2017 S: Pasien mengeluh masih pusing cekot-cekot, sedikit mual tapi tidak muntah, nafsu makan masih sedikit, masih nyeri perut, badan masih O: 

  



pegal-pegal, betis masih nyeri, kencing masih seperti teh. Keadaan umum : cukup Kesadaran : compos mentis a/i/c/d :-/+/-/TD : 100/60 mmHg Nadi : 82 x/menit RR : 20 x/menit Suhu : 36,6oC Kepala/Leher : Anemis(-), Ikterus(+), Sianosis(-), Dipsneu(-) Thoraks : Simetris Pulmo : vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/Cor : S1 S2 tunggal (+), murmur (-), gallop (-) Abdomen : supel, BU (+) normal, timpani Hepar : ttb Lien : ttb Nyeri tekan (+) epigstrium, hipokondrium kanan Ekstremitas Superior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/Inferior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/Hasil Laboratorium Paratyphi A

(negatif)

Paratyphi B

(negatif)

Typhi H

(negatif)

Typhi O

(negatif)

6

GDA

153

Eritrosit

5.2

Hb

10.7

Leukosit

17.390

Hematokrit

28

Trombosit

84.000

Alkali Fosfatase

262

Billirubin Direct

3.7

Billirubin Total

5.15

SGOT

23

SGPT

30

BUN

35.5

SC

2.0

UA

6.8

A: Suspek Leptospirosis DD DHF P: Dx : MAT, UL, DL Tx : -

Infus RL 20 tpm Infus Sanmol 3x1 k/p Inj. Gitas 2x1 Inj. Omeprazole 2x1 Inj. Ondansetron 2x1 Tab neurodex 2x1

Mx : -

TTV Gejala klinis

Ex : -

Istirahat cukup

Jumat, 17 Februari 2017 S: Pasien merasakan pusing cekot-cekot sudah berkurang, sudah tidak mual, nafsu makan sedikit membaik, nyeri perut berkurang, badan sedikit

7

pegal-pegal, nyeri betis sudah berkurang, kencing sudah tidak terlalu pekat. O: Keadaan umum Kesadaran a/i/c/d  TD

: cukup : compos mentis :-/+/-/: 110/70 mmHg

Nadi

: 80 x/menit

RR

: 20 x/menit

Suhu

: 36,5oC

 Kepala/Leher : Anemis(-), Ikterus(+), Sianosis(-), Dipsneu(-)  Thoraks : simetris Pulmo : vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/Cor : S1 S2 tunggal (+), murmur (-), gallop (-)  Abdomen : supel, BU (+) normal, timpani Hepar : ttb Lien : ttb Nyeri tekan (-)  Ekstremitas Superior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/Inferior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/Hasil Laboratorium Urin Lengkap: Albumin (+) Billirubin (-) Ephitel 10-15 Eritrosit Banyak Kristal (-) Lain-lain Blood + Leukosit 8-10 Reduksi (-) Silinder (-) Urobilin (-) A: Suspek Leptospirosis DD DHF P: Dx : MAT, DL Tx : -

Infus RL 20 tpm Inj. Gitas 2x1 Inj. Omeprazole 2x1 Tab neurodex 2x1 8

Mx : -

TTV Gejala klinis

Ex : -

Istirahat cukup Banyak minum air putih

Sabtu, 18 Februari 2017 S: Pasien mengatakan tidak ada keluhan O: Keadaan umum : cukup Kesadaran : compos mentis a/i/c/d :-/+/-/ TD : 110/70 mmHg Nadi

: 80 x/menit

RR

: 20 x/menit

Suhu

: 36,6oC

 Kepala/Leher : Anemis(-), Ikterus(+), Sianosis(-), Dipsneu(-)  Thoraks : simetris Pulmo : vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/Cor : S1 S2 tunggal (+), murmur (-), gallop (-)  Abdomen : supel, BU (+) normal, timpani Hepar : ttb Lien : ttb Nyeri tekan (-)  Ekstremitas Superior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/Inferior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/Hasil Laboratorium Eritrosit 3.7 Hb 9.6 Leukosit 10.500 Hematokrit 25 Trombosit 153.000 A: Suspek Leptospirosis DD DHF P: Dx : MAT, DL Tx : -

Infus RL 20 tpm

9

-

Inj. Omeprazole 2x1 Tab neurodex 2x1

Mx : -

TTV Gejala klinis

Ex : -

Istirahat cukup Banyak minum air putih

FAINE SCORE A. Apakah penderita

Jawab

10

Nilai

Sakit kepala mendadak

Ya

2

Conjunctival suffusion

Ya

4

Demam

Ya

2

Demam > 38°C

tidak

0

Meningismus

tidak

0

Meningismus, nyeri otot, conjunctival suffusion bersama-

tidak

0

Ikterik

Ya

1

Albuminuria atau azotemia

Ya

2

Ya

10

sama

B. Faktor-faktor epidemiologik Riwayat dengan kontak binatang pembawa leptospirosis, pergi ke hutan, rekreasi, tempat kerja, diduga atau diketahui kontak dengan air yang terkontaminasi. C. Hasil laboratorium pemeriksaan serologik Serologik (+) dan daerah endemik Serologik (+) titer rendah

Ya/tidak

2/0

Serum tunggal (+) titer tinggi

Ya/tidak

10/0

Serum sepasang (+) titer meningkat

Ya/tidak

25/0

Serum tunggal (+) titer rendah

Ya/tidak

5/0

Serum tunggal (+) titer tinggi

Ya/tidak

15/0

Serum sepasang (+) titer meningkat

Ya/tidak

25/0

Serologik (+) dan bukan daerah endemik

Dari hasil penghitungan skor faine dimana A(11) + B(10) = 21. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut terdiagnosa Sugestive Leptospirosis.

11

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

12

A. DEFINISI Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh patogen spirochaeta, genus Leptospira. Spirochaeta ini pertama kali diisolasi di Jepang oleh Inada setelah sebelumnya digambarkan oleh Adolf Weil tahun 1886. Weil menemukan bahwa penyakit ini menyerang manusia dengan gejala demam, ikterus, pembesaran hati dan limpa, serta kerusakan ginjal. (Widoyono, 2008). Di Indonesia, gambaran klinis leptospirosis dilaporkan pertama kali oleh Van der Scheer di Jakarta pada tahun 1892, sedang isolasinya dilakukan oleh Vervoot pada tahun 1922. Penyakit ini disebut juga sebagai Weil disease, Canicola fever, Hemorrhagic jaundice, Mud fever, atau Swineherd disease. (Widoyono, 2008). B. ETIOLOGI Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili treponemataceae, suatu mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas organisme ini yakni berbelit, tipis, fleksibel, panjangnya 5-15 µm, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2 µm (Gambar 1). Salah satu ujnh organisme sering membengkak, membentuk suatu kait. Terdapat gerak rotasi aktif, tetapi tidak ditemukan adanya flagella. Spirochaeta ini demikian halus sehingga dalam mikroskop lapangan gelap hanya dapat terlihat sebagai rantai kokus kecil-kecil. Dengan pemeriksaan lapangan redup pada mikroskop biasa morfologi leptospira secara umum dapat dilihat. Untuk mengamati lebih jelas gerakan leptospira digunakan mikroskop lapangan gelap (darkfield microscope). Leptospira membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh dan mungkin membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuat kultur yang positif. Dengan medium Fletcher’s dapat tumbuh dengan sebagai obligat aerob.(Zein. 2014).

13

Leptospira merupakan Spirochaeta yang paling mudah dibiakkan, tumbuh paling baik pada keadaan aerob pada suhu 28-30ºC dan pada pH 7,4. Media yang bisa digunakan adalah media semisolid yang kaya protein, misalnya media Fletch atau Stuart. Lingkungan yang sesuai untuk hidup leptospira adalah lingkungan lembab seperti kondisi pada daerah tropis. (Widarso,2000). Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili treponemataceae, suatu mikroorganisme spirocheata. Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies yaitu L.interrogans yang patogen dan L. biflexa yang hidup bebas

14

(non patogen atau saprofit). Spesies L.interrogans dibagi menjadi beberapa serogrup dan serogrup ini dibagi menjadi banyak serovar menurut komposisi antigennya. Saat ini telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam 23 beberapa serovar L.interrogans yang dapat menginfeksi manusia di antaranya adalah L. Ictero haemorr hagiae, L.canicola, L,pomona, L.grippothyphosa, Lcelledoni, L.ballum, L.pyrogens, Lautomnalis, L.hebdomadis, L.bataviae, L.tarrassovi,

L.panama,

L.andamana,

L.shermani,

L.ranarum,

L.australis,

L.cynopteri L. Javanica, L. bufonis, L. copenhageni, dan lain-lain. Serovar yang paling sering menginfeksi manusia ialah L. icterohaemorrhagiae dengan reservoir tikus, L. canicola dengan reservoir anjing, L. pomona dengan reservoir sapi dan babi. (Zein, 2014). C. EPIDEMIOLOGI Leptospirosis tersebar diseluruh dunia, disemua benua kecuali benua antartika, namun terbanyak didapati didaerah tropis. Leptospira bisa terdapat pada binatang peliharaan seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing marmut atau binatang-binatang pengerat lainnya seperti tupai, musang, kelelawar, dan lain sebagainya. Di dalam tubuh binatang tersebut, leptospira hidup di dalam ginjal/air kemihnya. Tikus merupakan vektor ynag utama dari L. Icterohaemorrhagica penyebab leptospira pada manusia. Dalam tubuh tikus, leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus dan secara terus menerus dan ikut mengalir dalam filtrat urine. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah beriklim sedang masa puncak insidens dijumpai pada musim pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup leptospira, sedangkan didaerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan. Leptospira mengenai paling kurang 160 spesies mamalia. Ada berbagai jenis pejamu dari leptospira, mulai dari mamalia yang berukuran kecil di mana manusia dapat kontak dengannya, misalnya landak, kelinci, tikus sawah, tikus rumah, tupai, musang, sampai dengan reptil (berbagai jenis katak dan ular), babi, sapi, kucing, dan anjing. Binatang pengerat terutama tikus merupakan resevoar

15

paling banyak. Leptospira membentuk hubungan simbiosis dengan pejamunya dan dapat menetap dalam tubulus renalis selama berbulan-bulan bahkan bertahuntahun. Beberapa serovar berhubungan dengan binatang tertentu, seperti L. Icterohaemoragie/copenhageni dengan tikus, L. Grippotyphosa dengan voles (sejenis tikus), L. Hardjo dengan sapi, L. Canicola dengan anjing dan L. Pomona dengan babi. International Leptospira Societu menyatakan Indonesia sebagai negara dengan insedens leptospira tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk mortalitas. Di indonesia Leptospira ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan timut, dan Kalimantan barat. Pada kejadian banjir besar di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari seratus kasus leptospirosis dengan 20 kematian. Salah satu kendala dalam menangani leptospirosis berupa kesulitan dalam melakukan diagnostik awal. Sementara dengan pemeriksaan sederhana memakai mikroskop biasa dapat dideteksi adanya gerakan leptospira dalam urine. Diagnostik pasti ditegakkan dengan ditemukannya leptospira pada darah atau urine atau ditemukannya hasil serologi positif. Untuk dapat berkembang biaknya leptospira memerlulkan lingkungan optimal serta tergantung pada suhu yang lembab, hangat, PH air/tanah yang netral, dimana kondisi ini ditemukan sepanjang tahun di daerah tropis.(Zein, 2014).

16

D. PENULARAN Penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung. Penularan langsung dapat terjadi melalui darah, urin, atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira masuk ke dalam tubuh pejamu; dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan; dan dari manusia ke manusia meskipun jarang. Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak dengan genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang telah tercemar urin binatang yang terinfeksi leptospira. Infeksi tersebut terjadi jika terdapat luka / erosi pada kulit atau selaput lendir. Terpapar lama pada genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit yang utuh juga dapat menularkan leptospira (Sulianti. 2003). Oleh karena leptospira diekskresi melalui urin dan dapat bertahan hidup berbulan-bulan, maka air memegang peranan penting sebagai alat transmisi. Kelompok pekerjaan yang beresiko tinggi terinfeksi leptospirosis antara lain 17

pekerja-pekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja tambang, tentara, pembersih selokan, parit/saluran air, pekerja di perindustrian perikanan, atau mereka yang selalu kontak dengan air seni binatang seperti dokter hewan, mantri hewan, penjagal hewan atau para pekerja laboratorium (Sulianti, 2003).

Gambar 3 . Penularan dan Manifestasi Leptospirosis E. PATOGENESIS Transmisi infeksi leptospira ke manusia dapat melalui berbagai cara, yang tersering adalah melalui kontak dengan air atau tanah yang tercemar bakteri leptospira. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau luka dan mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa penularan penyakit ini dapat melalui kontak dengan kulit sehat (intak) terutama bila kontak lama dengan air (Widoyono, 2008). Selain melalui kulit atau mukosa, infeksi leptospira bisa juga masuk melalui konjungtiva.(Gassem, 2002). Bakteri leptospira yang berhasil masuk ke dalam tubuh tidak menimbulkan lesi pada tempat masuk bakteri. Hialuronidase dan atau gerak yang menggangsir (burrowing motility) telah diajukan sebagai

18

mekanisme masuknya leptospira ke dalam tubuh.(Widoyono, 2008). Selanjutnya bakteri leptospira virulen akan mengalami multiplikasi di darah dan jaringan. Sementara leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh setelah 1 atau 2 hari infeksi. Leptospira virulen mempunyai kemampuan motilitas yang tinggi, lesi primer adalah kerusakan dinding endotel pembuluh darah dan menimbulkan vaskulitis serta merusak organ. Vaskulitis yang timbul dapat disertai dengan kebocoran dan ekstravasasi sel. (Gordon, 2009). Patogenitas leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada bakteri leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia. Bakteri

leptospira

mempunyai

fosfolipase

yaitu

suatu

hemolisis

yang

mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid.(Sarwani, 2005). Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium tubulus ginjal dan lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal ginjal. Pada gagal ginjal tampak pembesaran ginjal disertai edema dan perdarahan subkapsular, serta nekrosis tubulus renal. Sementara perubahan yang terjadi pada hati bisa tidak tampak secara nyata. Secara mikroskopik tampak perubahan patologi berupa nekrosis sentrolobuler disertai hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer. (Gordon, 2009).

19

F. Patologi Dalam perjalan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbedaan antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara hsitologik. Pada leptospirosis lesi histologis yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada struktur organ. Lesi inflamasi menunjukkan edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit dan sel plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan

20

yang luas dan disfungsi hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di ginjal leptospira juga dapat bertahan bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk kedalam cairan serebrospinalis pada fase leptospiremia. Hal ini akan menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, otot, dan pembuluh darah. Kelainan spesifik pada organ : (Zein, 2014)  Ginjal Interstitial neftritis dengan infiltrasi sel mononuklear merupakan bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat tubular nekrosis akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal.  Hati Hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan proliferasi sel Kupfer dengan kolestatis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel parenkim.  Jantung Epikardium, endokardium, dan

miokardium

dapat

terlibat.

Kelainan

miokardium dapat fokal atau difus berupa interstitial edem dengan infiltrasi sel mononuklear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarhan fokal pada miokardium dan endokardium.  Otot rangka Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa fokal nekrotis, vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkam invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot

 Mata Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia dan bertahan beberapa bulan walaupun antibodi yang terbentuk cukup tinggi. Hal ini akan menyebabkan uveitis  Pembuluh darah 21

Terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan/petekie pada mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit.  Sususan saraf pusat Leptospira mudah masuk ke dalam cairan serebrospinal (CCS) dan dikaitkan dengan terjadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibodi, tidak pada saat masuk memasuki CSS. Diduga bahwa terjadinya meningitis diperantarai oleh mekanisme imunologis. Terjadi penebalan meninges dengan sedikit peningkatan sel mononuklear araknoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptik, biasanya paling sering disebabkan oleh L. Caniola.  Weil disease Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus, biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe kontinua. Penyakit weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis. Penyebab weil disease adalah serotipe icterohaemorragica pernah juga dilaporkan oleh serotipe copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal, hepatik atau disfungsi vaskular. G. Gambaran Klinik Gambaran klinik pada leptospirosis berkaitan dengan penyakit febris umum dan tidak cukup khas untuk menegakkan diagnosis.(Muliawan, 20080. Secara khas penyakit ini bersifat bifasik, yaitu fase leptospiremi/ septikemia dan fase imun. (Gassem, 2002).

1. Fase leptospiremi atau septikemia Fase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama paha, betis, dan pinggang disertai nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai menggigil, juga didapati mual dengan atau tanpa

22

muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya konjuctiva suffusion dan fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang berbentuk makular, makulopapular

atau

urtikaria.

Kadang-kadang

dijumpai

splenomegali,

hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. (Zein, 2014). Selama fase ini, leptospira dapat dikultur dari darah atau cairan serebrospinal penderita. Tes serologi menunjukkan hasil yang negatif sampai setidaknya 5 hari setelah onset gejala. Pada hitung jumlah platelet, ditemukan adanya penurunan jumlah platelet dan trombositopeni purpura. Pada urinalisis ditemukan adanya proteinuri, tetapi kliren kreatinin biasanya masih dalam batas normal sampai terjadi nekrosis tubular atau glomerulonefritis. (Gordon, 2009). Jika cepat ditangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun. (Zein, 2014). 2. Fase imun Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul demam yang mencapai suhu 40,0°C disertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa sakit yang menyeluruh pada leher, perut dan otot-otot kaki terutama otot betis. Terdapat perdarahan berupa epiktasis, gejala kerusakan pada ginjal dan hati, uremia, ikterik. Perdarahan paling jelas terlihat pada fase ikterik, purpura, petekie, epiktasis, perdarahan gusi merupakan manifestasi perdarahan yang paling sering. Conjunctiva injection dan conjunctival suffusion dengan ikterus merupakan tanda patognomosis untuk leptospirosis. (Zein, 2014). Terjadinya meningitis merupakan tanda pada fase ini, walaupun hanya 50% gejala dan tanda meningitis, tetapi pleositosis pada CCS dijumpai pada 50-90% pasien. Tanda-tanda meningeal dapat menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanya menghilang 1-2 hari. Pada fase ini leptospira dapat dijumpai dalam urin. Gambar 4. Sifat bifasik leptospirosis 23

Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan (non-ikterik) dan berat (ikterik). Ikterik merupakan indikator utama dari leptospirosis berat. 1. Leptospirosis ringan (non-ikterik) Sebagian besar manifestasi klinik leptospirosis adalah anikterik, dan ini diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus leptospirosis di masyarakat. Gejala leptospirosis timbul mendadak ditandai dengan viral-like illness, yaitu demam, nyeri kepala, dan mialgia. Nyeri kepala bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro orbital dan fotofobia. Nyeri otot diduga terjadi karena adanya kerusakan otot sehingga kreatinin fosfokinase (CPK) pada sebagian besar kasus meningkat, dan pemeriksaan CPK ini dapat membantu penegakan diagnosis klinik leptospirosis.Dapat juga ditemukan nyeri perut, diare, anoreksia, limfadenopati, splenomegali, rash makulopapular, kelainan mata (uveitis, iridosiklitis), meningitis aseptik dan conjunctival suffusion. (Gassem, 2002). Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion dan nyeri tekan di daerah betis. Gambaran klinik terpenting leptospirosis non-nikterik adalah meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering terlewatkan diagnosisnya. .

24

(Budiriyanto, 2002). Sebanyak 80-90% penderita leptospirosis anikterik akan mengalami pleositosis pada cairan serebrospinal selama minggu ke-2 penyakit dan 50% diantaranya akan menunjukkan tanda klinis meningitis. Karena penderita memperlihatkan penyakit yang bersifat bifasik atau memberikan riwayat paparan dengan hewan, meningitis tersebut kadang salah didiagnosis sebagai kelainan akibat virus. (Muliawan, 2008). Pasien dengan leptospirosis non-ikterik pada umumnya tidak berobat karena keluhan bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini bisa sembuh sendiri (self-limited) dan biasanya gejala kliniknya menghilang dalam waktu 2 sampai 3 minggu. Karena gambaran kliniknya mirip dengan penyakit demam akut yang lain, maka pada setiap kasus dengan keluhan demam akut, leptospirosis anikterik harus dipikirkan sebagai salah satu diagnosis banding, terutama di daerah endemik leptospirosis seperti Indonesia. (Gassem, 2002). 2. Leptospirosis berat (ikterik) Bentuk leptospirosis yang berat ini pada mulanya dikatakan sebagai Leptospira ichterohaemorrhagiae, tetapi ternyata dapat terlihat pada setiap serotipe leptospira yang lain.9 Manifestasi leptospirosis yang berat memiliki angka mortalitas sebesar 5-15%. Leptospirosis ikterik disebut juga dengan nama Sindrom Weil. Tanda khas dari sindrom Weil yaitu jaundice atau ikterik, azotemia, gagal ginjal, serta perdarahan yang timbul dalam waktu 4-6 hari setelah onset gejala dan dapat mengalami perburukan dalam minggu ke-2. Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat.17,20 Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau nampak overlapping dengan fase leptospiremia. (Gassem, 2002). Tabel 3. Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik Sindroma, Fase

Gambaran Klinik Spesimen Laboratorium

25

Leptospirosis aniterik Fase leptospiremia

Demam

tinggi,

nyeri Darah, LCS

kepala, mialgia, nyeri perut,

mual,

muntah,

conjunctival suffusion Fase imun

Demam ringan, nyeri kepala,

Urin

muntah,

meningitis aseptik Leptospirosis ikterik Fase leptospiremia dan Demam, nyeri kepala, Darah, LCS (minggu 1) fase

imun

overlapping)

(sering mialgia, ikterik, gagal Urin (minggu ke 2) ginjal, hipotensi

*antara fase leptospiremia dengan fase imun terdapat periode asimtomatik (± 1-3 hari) Sumber : M. Hussen Gassem (2002). Dimodifikasi dari Farr RW (1995) Beratnya berbagai komponen sindrom Weil kemungkinan mencerminkan beratnya vaskulitis yang mendasarinya. Ikterus biasanya tidak terkait dengan nekrosis hepatoselular, dan setelah sembuh tidak terdapat gangguan fungsi hati yang tersisa. Kematian pada sindrom Weil jarang disebabkan oleh gagal hati. (Widarso, 2000).

H. Diagnosis  Diagnostik Klinik Pada umumnya diagnostik awal leptospirosis sulit, karena pasien biasanya datang dengan meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, ifluenza, sindroma syok toksik, demam yang tidak diketahui asalnya dan diatesis hemoragik, bahkan beberapa kasus datang sebagai pankreatitis. Pada anamnesa, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah termasuk kelompok risiko tinggi.

26

Gejala/keluhan didapati demam yang muncul mendadak, sakit kepala terutama di bagiam frontal, nyeri otot, mata merah/fotofobia, mual atau muntah. Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali dan lain-lain.(Zein, 2014). Selain itu penting juga untuk mempertimbangkan jenis pekerjaan penderita dan riwayat adanya kontak dengan air sebelumnya.(Soeharyo, 2002). Sebelumnya klinisi menggunakan kriteria diagnosis menurut The Center for Disease Control of Leptospirosis Report (Faine S. Guideline for The Control of Leptospirosis, Geneva WHO, 1982). Tabel 4. Kriteria diagnosis leptospirosis Faine A. Apakah penderita

Jawab

Nilai

Sakit kepala mendadak

Ya/tidak

2/0

Conjunctival suffusion

Ya/tidak

4/0

Demam

Ya/tidak

2/0

Demam > 38°C

Ya/tidak

2/0

Meningismus

Ya/tidak

4/0

Meningismus, nyeri otot, conjunctival suffusion bersama- Ya/tidak

10/0

sama Ikterik

Ya/tidak

1/0

Albuminuria atau azotemia

Ya/tidak

2/0

B. Faktor-faktor epidemiologik Riwayat dengan kontak binatang pembawa leptospirosis, Ya/tidak pergi ke hutan, rekreasi, tempat kerja, diduga atau diketahui kontak dengan air yang terkontaminasi. C. Hasil laboratorium pemeriksaan serologik

27

10/0

Serologik (+) dan daerah endemik Serologik (+) titer rendah

Ya/tidak

2/0

Serum tunggal (+) titer tinggi

Ya/tidak

10/0

Serum sepasang (+) titer meningkat

Ya/tidak

25/0

Serum tunggal (+) titer rendah

Ya/tidak

5/0

Serum tunggal (+) titer tinggi

Ya/tidak

15/0

Serum sepasang (+) titer meningkat

Ya/tidak

25/0

Serologik (+) dan bukan daerah endemik

Sumber : Faine S (1982) Berdasarkan kriteria di atas, leptospirosis dapat ditegakkan jika: Presumptive leptospirosis, bila A atau A+B>26 atau A+B+C>25 Sugestive leptospirosis,bila A+B antara 20-25 Akan tetapi kriteria diagnosis ini mempunyai beberapa kelemahan. Pemberian nilai pada faktor-faktor epidemiologik dalam kriteria diagnosis tersebut sangat subjektif dan tidak spesifik. Hasil pemeriksaan serologik dalam kriteria diagnosis tersebut menjadi kendala bagi klinisi karena pemeriksaan serologik tersebut jarang tersedia dan jika ada maka hasilnya diperoleh setelah beberapa hari. Aplikasi kriteria diagnosis secara berlebihan dapat menyesatkan para klinisi.(Sarwani, 2005). Untuk menegakkan diagnosis klinik, klinisi membutuhkan kriteria diagnosis baru yang lebih sesuai dan memudahkan dalam menegakkan diagnosis leptospirosis. Kriteria diagnosis tersebut adalah Kriteria Diagnosis Leptospirosis WHO SEARO 2009.  Diagnosis Laboratorium Diagnosis definitif leptospirosis bergantung pada penemuan laboratorium. Pada sindrom Weil dapat ditemukan leukositosis dan netropenia, terutama selama fase awal penyakit. Anemia tidak biasa ditemukan pada leptospirosis anikterik,

28

tetapi dapat terjadi anemia berat pada sindrom Weil. Kadar enzim hati, kreatinin, dan ureum dapat sedikit meningkat pada leptospirosis anikterik, dan meningkat secara ekstrim pada sindrom Weil. (Garna, 2012). Pemeriksaan laboratorium untuk leptospirosis terdiri dari: pemeriksaan mikroskopik, kultur, inokulasi hewan, dan serologi : (Muliawan, 2008). 1. Pemeriksaan mikrobiologik Bakteri Leptospira sp. terlalu halus untuk dapat dilihat di mikroskop lapangan terang, tetapi dapat dilihat jelas dengan mikroskop lapangan gelap atau mikroskop fase kontras. Spesimen pemeriksaan dapat diambil dari darah atau urin. (Widarso, 2000) 2. Kultur Organisme dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal hanya pada 10 hari pertama penyakit. Bakteri tersebut biasanya dijumpai di dalam urin pada 10 hari pertama penyakit. Media Fletcher dan media Tween 80-albumin merupakan media semisolid yang bermanfaat pada isolasi primer leptospira. Pada media semisolid, leptospira tumbuh dalam lingkaran padat 0,5-1 cm dibawah permukaan media dan biasanya tampak 6-14 hari setelah inokulasi. Untuk kultur harus dilakukan biakan multipel, sedangkan jenis bahan yang dibiakkan bergantung pada fase penyakit. Baru- baru ini dideskripsikan suatu metode radiometrik untuk mendeteksi organisme leptopira secar cepat dengan menggunakan sistem BACTEC 460 (Johnson Laboratories). Dengan sistem ini, leptospira dideteksi pada darah manusia setelah inkubasi 2-5 hari. 3. Inokulasi hewan Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira meliputi inokulasi intraperitoneal pada marmot muda. Dalam beberapa hari dapat ditemukan leptospira di dalam cairan peritoneal; setelah hewan ini mati (8-14 hari) ditemukan lesi hemoragik pada banyak organ. 4. Serologi Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan atas pemeriksaan serologi. Macroscopic slide agglutination test merupakan pemeriksaan yang paling berguna untuk rapid screening. Pemeriksaan gold standart untuk mendeteksi antibodi terhadap Leptospia interrogans yaitu Microscopic

29

Agglutination Test (MAT) yang menggunakan organisme hidup. Pada umumnya tes aglutinasi tersebut tidak positif sampai minggu pertama sejak terjadi infeksi, kadar puncak antibodi 3-4 minggu setelah onset gejala dan menetap selama beberapa tahun, walaupun konsentrasinya kemudian akan menurun. Tes MAT ini mendeteksi antibodi pada tingkat serovar sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi strain Leptospira pada manusia dan hewan dan karena itu membutuhkan sejumlah strain (battery of strains) Leptospira termasuk stock-culture, disamping sepasang sera dari pasien dalam periode sakit akut dan 5-7 hari sesudahnya. Pemeriksaan MAT dikatakan positif jika terjadi serokonversi berupa kenaikan titer 4 kali atau ≥ 1:320 dengan satu atau lebih antigen tanpa kenaikan titer (untuk daerah non endemik leptospirosis digunakan nilai ≥ 1:160). (Gassem, 2002). Pemeriksaan serodiagnosis leptospirosis yang lain adalah Macroscopic Agglutination Test (MA Test), Microcapsule Agglutination Test (MCAT), rapid latex agglutination assay (RLA assay), enzyme linked immune sorbent assay (ELISA), immuno-fluorescent antibody test, dan immunoblot. (Gassem, 2002). Selain uji serologi yang telah disebutkan di atas, terdapat pula uji serologis penyaring yang lebih cepat dan praktis sebagai tes leptospirosis. Uji serologis penyaring yang sering digunakan di Indonesia adalah Lepto Dipstick Assay, LeptoTek Dri Dot, dan Leptotek Lateral Flow. Saat ini juga telah dikembangkan pemeriksaan molekuler untuk diagnosis leptospirosis. DNA leptospirosis dapat dideteksi dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) dengan menggunakan spesimen serum, urin, humor aqueous, cairan serebrospinal, dan jaringan biopsi. (Gassem, 2002). Tabel 5. Jenis Uji serologi pada Leptospirosis Jenis serologi pada leptospirosis

30

Microscopic Aglutination Test

Macroscopic Slide

(MAT)

Agglutination Test (MSAT) Enzyme linked immunosorbant

Uji carik celup:

assay (ELISA)

-

Lepto Dipstick

-

Lepto Tek Lateral flow

Microcapsule aglutination test

Aglutinasi lateks kering (LeptoTek Patoc-slide (PSAT) Dry-Dot) Indirect

fluorescent

antibody

agglutination

test

test Senstitized erythrocyte lysis test

(IFAT)

(SEL)

Indirect haemaaglutination test (IHA) Uji aglutinasi lateks

Counter immune electrophoresis (CIE)

Complement fixation tets (CFT)

I. Komplikasi Terdapat beberapa komplikasi dari leptospirosis, diantaranya adalah gagal ginjal akut (95% dari kasus), gagal hepar akut (72% dari kasus), gangguan respirasi akut (38% dari kasus), gangguan kardiovaskuler akut (33% dari kasus), dan pankreatitis akut (25% dari kasus). (D.Popa, 2013). Komplikasi yang sering terjadi pada penderita leptospirosis adalah: 1. Gagal ginjal akut Gagal ginjal akut yang ditandai dengan oliguria atau poliuria dapat timbul 4-10 hari setelah gejala leptospirosis terlihat.(D.Popa, 2013). Terjadinya gagal ginjal akut pada penderita leptospirosis melalui 3 mekanisme: (Lestari, 2002) a. Invasi/ nefrotoksik langsung dari leptospira Invasi leptospira menyebabkan kerusakan tubulus dan glomerulus sebagai efek langsung dari migrasi leptospira yang menyebar hematogen menuju kapiler peritubuler kemudian menuju jaringan interstitium, tubulus, dan lumen tubulus.

31

Kerusakan jaringan tidak jelas apakah hanya efek migrasi atau efek endotoksin leptospira. b. Reaksi imunologi Reaksi imunologi berlangsung cepat, adanya kompleks imun dalam sirkulasi dan endapan komplemen dan adanya electron dence bodies dalam glomerulus, membuktikan adanya proses immune-complex glomerulonephritis dan terjadi tubulo interstitial nefritis. c. Reaksi non spesifik terhadap infeksi seperti infeksi yang lain → iskemia ginjal Hipovolemia dan hipotensi sebagai akibat adanya:  Intake cairan yang kurang  Meningkatnya evaporasi oleh karena demam  Pelepasan kinin, histamin, serotonin, prostaglandin, semua ini akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi kebocoran albumin dan cairan intravaskuler.  Pelepasan sitokin akibat kerusakan endotel menyebabkan permeabilitas sel dan vaskuler meningkat.  Hipovolemia dan hemokonsentrasi akan merangsang RAA dan menyebabkan vasokonstriksi.  Hiperfibrinogenemia akibat kerusakan endotel kapiler (DIC) menyebabkan viskositas darah meningkat. Iskemia ginjal, glomerulonefritis, tubulo interstitial nefritis, dan invasi kuman menyebabkan terjadinya nekrosis → gagal ginjal akut. 2. Gagal hepar akut Di hepar terjadi nekrosis sentrilobuler fokal dengan proliferasi sel Kupfer disertai kolestasis. Terjadinya ikterik pada leptospirosis disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena kerusakan sel hati, gangguan fungsi ginjal yang akan menurunkan ekskresi bilirubin sehingga meningkatkan kadar 32

bilirubin

darah,

terjadinya

perdarahan

pada

jaringan

dan

hemolisis

intravaskuler akan meningkatkan kadar bilirubin, proliferasi sel Kupfer sehingga terjadi kolestatik intra hepatik.(Zein, 2010) 3. Gangguan respirasi dan perdarahan paru Adanya keterlibatan paru biasanya ditandai dengan gejala yang bervariasi, diantaranya: batuk, dispnea, dan hemoptisis sampai dengan Adult Respiratory Distress Syndrome ( ARDS ) dan Severe Pulmonary Haemorrhage Syndrome ( SPHS ). Paru dapat mengalami perdarahan dimana patogenesisnya belum diketahui secara pasti. Perdarahan paru terjadi diduga karena masuknya endotoksin secara langsung sehingga menyebabkan kerusakan kapiler dan terjadi perdarahan. Perdarahan terjadi pada pleura, alveoli, trakeobronkial, kelainan berupa kongesti septum paru, perdarahn alveoli multifokal, dan infiltrasi sel mononuklear.(Wagenaar, 20017) Pada pemeriksaan histologi ditemukan adanya kongesti pada septum paru, oedem dan perdarahan alveoli multifokal, esudat fibrin.(Thales, 2013). Perdarahan paru dapat menimbulkan kematian pada penderita leptospirosis.(Wagenaar, 2007). 4. Gangguan kardiovaskuler Komplikasi kardiovaskuler pada leptospirosis dapat berupa gangguan sistem konduksi, miokarditis, perikarditis, endokarditis, dan arteritis koroner. Manifestasi dari gangguan kardiovaskuler ini sangat bervariasi dari tanpa keluhan sampai bentuk yang berat berupa gagal jantung kongestif yang fatal. Selama fase septikemia, terjadi migrasi bakteri, endotoksin, produk enzim atau antigen karena lisisnya bakteri, akan meningkatkan permeabilitas endotel dan memberikan manifestasi awal penyakit vaskuler.(Sarwandi, 2004) 5. Pankreatitis akut Sebenarnya pankreatitis akut adalah komplikasi yang jarang ditemui pada pasien leptospirosis berat. Pankreatitis terjadi karena adanya nekrosis dari selsel pankreas akibat infeksi bakteri leptospira (acute necrotizing pancreatitis). Selain itu, terjadinya pankreatitis akut pada leptospirosis bisa disebabkan karena komplikasi dari gagalnya organ-organ tubuh yang lain (multiple organ failure), syok septik, dan anemia berat (severe anemia).(D.Popa, 2013) J. Penatalaksanaan

33

Leptospirosis terjadi secara sporadik, pada umumnya bersifat self-limited disease dan sulit dikonfirmasi pada awal infeksi. Pengobatan harus dimulai segera pada fase awal penyakit.20 Secara teori, Leptospira sp. adalah mikroorganisme yang sensitif terhadap antibiotik.(Garna, 2014).

Tabel 6. Manajemen kasus dan kemoprofilaksis leptospirosis

34

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam manajemen kasus leptospirosis adalah segera merujuk penderita leptospirosis bila adanya indikasi pada disfungsi organ ginjal, hepar, paru, terjadi perdarahan dan gangguan saraf.(WHO, 2009). K. Pencegahan Pengendalian leptospirosis di masyarakat sangat terkait dengan hasil studi faktor-faktor risiko terjadinya leptospirosis. Oleh karena itu pengendalian leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai sasaran bisa terhindar dari leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat promotif, termasuk disini proteksi spesifik dengan cara vaksinasi. Sedangkan pencegahan sekunder yang sasarannya adalah orang yang sudah sakit leptospirosis, dicegah agar orang

35

tersebut terhindar dari komplikasi yang nantinya dapat menyebabkan kematian. (Bobby, 2001). Prinsip kerja dari pencegahan primer adalah mengendalikan agar tidak terjadi kontak leptospira dengan manusia, yang meliputi: (Soeharyo, 2002)  Pencegahan hubungan dengan air atau tanah yang terkontaminasi Para pekerja yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi leptospira, misalnya pekerja irigasi, petani, pekerja laboratorium, dokter hewan, harus memakai pakaian khusus yang dapat melindungi kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi leptospira. Misalnya dengan menggunakan sepatu bot, masker, sarung tangan.  Melindungi sanitasi air minum penduduk Dalam hal ini dilakukan pengelolaan air minum yang baik, dilakukan filtrasi dan deklorinai untuk mencegah invasi leptospira.  Pemberian vaksin Vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat tersebut, akan memberikan manfaat cukup poten dan aman sebagai pencegahan bagi pekerja risiko tinggi. Pencegahan dengan serum imun spesifik telah terbukti melindungi pekerja laboratorium. Vaksinasi terhadap hewan peliharaan efektif untuk mencegah leptospirosis.  Pencegahan dengan antibiotik kemoprofilaksis  Pengendalian hospes perantara leptospira Roden yang diduga paling poten sebagai karier leptospira adalah tikus. Untuk itu dapat dilakukan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus, pemasangan jebakan, penggunaan bahan rodentisida, dan menggunakan predator roden.  Usaha promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara edukasi, dimana antara daerah satu dengan daerah yang lain mempunyai serovar dan epidemi leptospirosis yang berbeda. Untuk mendukung usaha promotif ini diperlukan peningkatan kerja antar sektor yang dikoordinasikan oleh tim penyuluhan kesehatan masyarakat Dinas Kesehatan setempat. Pokok- pokok cara pengendalian leptospirosis juga memperhatikan hasil studi faktor risiko terjadinya leptospirosis, antara lain usia, jenis kelamin, higiene perorangan seperti kebiasaan mandi, riwayat ada luka, keadaan lingkungan yang 36

tidak bersih, disamping pekerjaan, sosial ekonomi, populasi tikus, dan lain-lain. Perlu diperhatikan bahwa leptospirosis lebih sering terjadi pada laki-laki dewasa, mungkin disebabkan oleh paparan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari.(Soeharyo, 2002). Pencegahan sekunder leptospirosis berupa pengobatan terhadap pasien yang didiagnosis menderita leptospirosis. Salah satu hal yang menguntungkan dalam pengobatan ini ialah pengobatan kausal tidak tergantung pada subgrup maupun serotipe leptospira. Untuk pengobatan Leptospirosis ringan (mild illness/ suspect case) dapat menggunakan Doxycycline (kapsul) 100 mg 2x/ hari selama 7 hari; atau Amoxicillin atau Ampicillin (kapsul) 2 gr/ hari selama 7 hari. Sedangkan untuk Leptospirosis berat (severe case/ probable case) dapat menggunakan Injeksi Penicillin G 2 juta unit IV / 6 jam selama 7 hari; Injeksi Ceftrioxine 1 gr IV/ hari selama 7 hari. ( Soeharyo, 2002). Pengelolaan secara umum penderita leptospirosis sama dengan penyakit sistemik akut yang lain. Rasa sakit diobati dengan analgetika, gelisah, dan cemas dikendalikan dengan sedatif, demam diberi antipiretik, jika terjadi kejang pemberian sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. ( Soeharyo, 2002). L. Kriteria Diagnosis Leptospirosis WHO SEARO 2009 Definisi Umum Kriteria Diagnosis Leptospirosis WHO SEARO 2009 adalah kriteria untuk menegakkan diagnosis leptospirosis yang dihasilkan dalam pertemuan para ahli dalam “Informal Expert consultation on Surveillance, Diagnosis and Risk Reduction of Leptospirosis” di Chennai-India pada tanggal 18-19 September 2009.(WHO, 2009) Pertemuan para ahli dari Asia Tenggara tersebut bertujuan untuk: 1. Meninjau kembali epidemiologi leptospirosis di kawasan Asia Tenggara berkaitan dengan dampak perubahan iklim. 2. Meninjau kasus definitif leptospirosis yang ada dengan memperhatikan perubahan gambaran klinis leptospirosis dan epidemiologi di kawasan Asia Tenggara.

37

3. Menyarankan bagaimana cara mendiagnosis leptospirosis dengan tepat, termasukan mengenai pemeriksaan laboratorium dari leptospirosis. Definisi Kasus Mengingat variasi manifestasi klinis leptospirosis, keterbatasan metode uji diagnostik yang tersedia, dan perlunya deteksi kasus leptospirosis secara dini serta pengobatan secepatnya, maka diperlukan suatu kriteria diagnosis leptospsirosis yang tepat. Berikut adalah kriteria diagnosis menurut WHO SEARO 2009 : 1. Kasus suspect demam akut (≥38,5ºC) dan/ atau nyeri kepala hebat dengan: ⁻ Myalgia ⁻ Kelemahan dan/ atau ⁻ Conjunctival suffusion, dan ⁻ Riwayat terpajan dengan lingkungan yang terkontaminasi leptospira 2. Kasus probable (pada tingkat pelayanan kesehatan primer) Kasus suspect dengan 2 gejala di bawah ini: ⁻ Nyeri betis ⁻ Batuk dengan atau tanpa batuk darah ⁻ Ikterik ⁻ Manifestasi perdarahan ⁻ Iritasi meningeal ⁻ Anuria/ oliguria dan/ atau proteinuria ⁻ Sesak napas ⁻ Aritmia jantung ⁻ Rash di kulit

Kasus probable (pada tingkat pelayanan kesehatan sekunder dan tersier) ⁻ Berdasarkan ketersediaan fasilitas laboratorium, kasus probable ⁻ leptospirosis adalah kasus suspect dengan IgM rapid test positif. DAN/ ATAU Temuan serologik yang mendukung (contoh : titer MAT ≥200 pada ⁻ ⁻ ⁻ ⁻

suatu sampel) DAN/ ATAU Ditemukan 3 dari di bawah ini: Temuan pada urin : proteinuria, pus, darah Neutrofilia relatif (>80%) dengan limfopenia Trombosit< 100.000/mm³ Peningkatan bilirubin> 2 mg% ; peningkatan enzim hepar yang meningkat

moderat (serum alkali fosfatase, serum amilase, CPK) 3. Kasus confirm Kasus confirm pada leptospirosis adalah suatu kasus suspect atau probable dengan salah satu di bawah ini: ⁻ Isolasi kuman leptospira dari spesies klasik 38

⁻ Hasil PCR (+) ⁻ Serokonversi dari negatif ke positif atau peningkatan 4 kali pada titer ⁻ MAT Titer MAT = 400 atau lebih pada sampel tunggal Apabila kapasitas laboratorium tidak dapat ditetapkan: Positif dengan 2 tes rapid diagnostik dapat dipertimbangkan sebagai kasus confirm

39

BAB IV PEMBAHASAN RESUME Wanita umur 36 tahun dengan keluhan mual sejak 6 hari yang lalu, mual disertai muntah setelah makan, muntah terakhir sebanyak 3x keluar makanan, nafsu makan menurun, demam naik turun kurang lebih 4 hari, badan terasa pegalpegal, kaki sempat kaku sampai tidak bisa jalan, nyeri pada kedua betis, BAB terakhir keras dan berwarna hitam namun tidak ada darah dan lendir, BAK pekat seperti air teh, pusing cekot-cekot mendadak. Pada pemeriksaan tanda-tanda vita di dapatkan keadaan umum lemah, kesadaran pada saat diperiksa compos metis (GCS 456), tekanan darah 115/72 mmHg, nadi 89x/menit, RR 29x/menit. Suhu 36,9°C. Pada pemeriksaan fisik mata tidak didapatkan anemia, ikterus (+), conjunctical suvution (+), dengan reflek pupil isokor. Pemeriksaan telinga hidung tenggorokkan dalam batas normal, pemeriksaan leher inspesksi tidak terlihat pembesaran tiroid, pada palpasi tidak teraba pembesaran tiroid dan kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan jantung dan paru denyut jantung reguller tanpa murmur, rhonki, ataupun wheezing, dan sonor di kedua lapang paru. Pada pemeriksaan abdomen inspeksi perut tampak datar tidak ada jejas atau luka operasi, auskultasi bising usus normal, pada palpasi terdapat nyeri tekan di epigastrium, hipokondrium kanan, lumbal kanan, dan umbilicus, dan tidak didapatkan pembesaran hepar dan lien, perkusi didapatkan suara timpani diseluruh regio abdomen. Ekstremitas teraba hangat, CRT < 2 detik, terdapat nyeri tekan pada kedua betis. Perhitungan Skor Faine didapatkan nilai 21. Pada pemeriksaan darah lengkap awal, Hb 10,8, lekosit 16200, trombosit 78000, HbSAg (-). Pada pemeriksaan RFT dan LFT tanggal 16 februari 2017 bilirubin direct 3,7, bilirubin total 5,15, alkali fosfatase 262, SGOT 23, SGPT 30, BUN 35,5, SC 2.0. Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 17 februari 2017 urine lengkap albumin (+), epitel 10-15, eritrosit banyak, blood (+), lekosit 8-10.

40

DISKUSI Wanita umur 36 tahun dengan keluhan mual sejak 6 hari yang lalu, mual disertai muntah setelah makan, muntah terakhir sebanyak 3x keluar makanan, nafsu makan menurun, demam naik turun kurang lebih 4 hari, badan terasa pegalpegal, kaki sempat kaku sampai tidak bisa jalan, nyeri pada kedua betis, BAB terakhir keras dan berwarna hitam namun tidak ada darah dan lendir, BAK pekat seperti air teh, pusing cekot-cekot mendadak. Pada pemeriksaan tanda-tanda vita di dapatkan keadaan umum lemah, kesadaran pada saat diperiksa compos metis (GCS 456), tekanan darah 115/72 mmHg, nadi 89x/menit, RR 29x/menit. Suhu 36,9°C Pada pemeriksaan fisik mata tidak didapatkan anemia, ikterus (+), conjunctical suvution (+), dengan reflek pupil isokor. Pemeriksaan telinga hidung tenggorokkan dalam batas normal, pemeriksaan leher inspesksi tidak terlihat pembesaran tiroid, pada palpasi tidak teraba pembesaran tiroid dan kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan jantung dan paru denyut jantung reguller tanpa murmur, rhonki, ataupun wheezing, dan sonor di kedua lapang paru. Pada pemeriksaan abdomen inspeksi perut tampak datar tidak ada jejas atau luka operasi, auskultasi bising usus normal, pada palpasi terdapat nyeri tekan di epigastrium, hipokondrium kanan, lumbal kanan, dan umbilicus, dan tidak didapatkan pembesaran hepar dan lien, perkusi didapatkan suara timpani diseluruh regio abdomen. Ekstremitas teraba hangat, CRT < 2 detik, terdapat nyeri tekan pada kedua betis. Perhitungan Skor Faine didapatkan nilai 21. Pada pemeriksaan darah lengkap awal, Hb 10,8, lekosit 16200, trombosit 78000, HbSAg (-). Pada pemeriksaan RFT dan LFT tanggal 16 februari 2017 bilirubin direct 3,7, bilirubin total 5,15, alkali fosfatase 262, SGOT 23, SGPT 30, BUN 35,5, SC 2.0. Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 17 februari 2017 urine lengkap albumin (+), epitel 10-15, eritrosit banyak, blood (+), lekosit 8-10. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan penghitungan skor faine pasien ini didiagnosis Sugestive Leptospirosis.

41

DAFTAR PUSTAKA

Bobby Setadi, Andi Setiawan, Daniel Effendi, Sri Rezeki S Hadinegoro. Petunjuk praktis leptospirosis. Sari Pediatri, Vol. 3, No. 3, Desember 2001: 163 – 167. Available from: http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/3-3- 10.pdf

42

Cook, Gordon C dan Alimuddin I.Zumla. Tropical Diseases. China: Elsevier; 2009. D.Popa, D.Vasile, A.Ilco. Severe acute pancreatitis-a serious complication of leptospirosis. J Med Life. 2013 September 15; 6(3): 307–309. Published online 2013 September 25. Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3786492/ Dit Jen PPM & PL RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso. (2003). Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI: Jakarta. Gassem M.Hussein. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis: Gambaran Klinik Dan Diagnosis Leptospirosis Pada Manusia. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2002 Garna, H Herry. Buku Ajar Divisi Infeksi Dan Penyakit Tropis.Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung; 2012 Lestariningsih. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis: Gagal Ginjal Akut Pada Leptospirosis. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2002 Muliawan, Sylvia Y. Bakteri Spiral Patogen (Treponema, Leptospira, dan Borrelia). Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008. Sarwani Dwi Sri Rejeki. Faktor Risiko Lingkungan Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis Berat. Semarang; 2005 Soeharyo Hadisaputro. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis: FaktorFator Risiko Leptospirosis. 2002. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro Thales de Brito, Vera Demarchi Aiello, Luis Vernando Ferras da Silva, Ana Maria Goncalves da Silva, Wellington Luiz Ferreira da Silva, Jussara Bianchi Castelli, Antonio Carlos Seguro. Human Hemorrhagic Pulmonary Leptospirosis: Pathological Findings and Pathophysiological Correlations. PLoS One. 2013; 8(8): e71743. Published online 2013 August 12. doi: 10.1371/journal.pone.0071743. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3741125/ Sarwandi Dukut AH. Kelainan Kardiovaskuler Pada Leptospirosis Berat. Semarang ; 2004 Wagenaar JFP. What role do coagulation disorders play in pathogenesis of leptospirosis.J Travel Med 2007; 12 (1) :111-122 Widoyono. Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasan). Jakarta : Penerbit Erlangga; 2008.

43

Zein, Umar. 2014. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Ed 6. Jakarta. Interna Publishing. Hal.633-637.

44

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF