Laporan Kasus (ISK)

February 19, 2019 | Author: Dita Garfield Assegaf | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

laporan kasus Infeksi saluran kemih...

Description

L apor apor an Kasus  Kasus 

ISK

Oleh : Dita Irmaya NIM. I1A010010

Pembimbing : Dr. dr. Agus Yuwono, Sp.PD, K-EMD FINASIM

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM FK UNLAM  –  RSUD  RSUD ULIN BANJARMASIN Mei, 2014

BAB I PENDAHULUAN

Diabetes mellitus adalah kelainan metabolik kronis yang ditandai oleh hiperglikemia yang disebabkan oleh gangguan pada sekresi insulin, resistensi insulin, atau kombinasi keduanya. Perubahan metabolisme lemak dan protein juga merupakan manifestasi penting dari gangguan pada kerja atau sekresi insulin. Kebanyakan penderita diabetes mellitus memiliki diabetes tipe I (yang diperantarai imun atau idiopatik) atau diabetes tipe 2 (dengan komplek  patofisiologi yang menggabungkan resistensi insulin dan kegagalan sel β  dan dasarnya secara turun-temurun). Diabetes dapat juga berkaitan dengan lingkungan hormonal

gestasional,

defek

genetik,

infeksi

lainnya,

dan

obat-obat

tertentu.(Jurnal Farmasi) Diabetes mellitus tipe 2 mencakup susunan disfungsi ditandai dengan hiperglikemia dan merupakan akibat dari kombinasi resistensi insulin, inadekuat sekresi insulin, dan sekresi glukagon tidak sesuai atau berlebihan. Diabetes tipe 2 yang

tidak

terkontrol

terkait

dengan

berbagai

komplikasi

neuropati,

makrovaskular, mikrovaskular. (medscape) Komplikasi mikrovaskular dari diabetes mencakup retina, renal, dan kemungkinan penyakit neuropati. Komplikasi mikrovaskular mencakup arteri koroner dan penyakit vaskular perifer. Neuropati diabetik mempengaruhi saraf otonom dan perifer. (medscape)

2

Tidak seperti diabetes mellitus tipe 1, pasien dengan diabetes tipe 2 tidak sepenuhnya bergantung pada insulin untuk hidup. Perbedaan ini menjadi dasar  pada istilah lama untuk tipe 1 dan 2, diabetes tergantung insulin dan diabetes tidak tergantung insulin.(medscape) Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang memerlukan perhatian medis jangka panjang untuk membatasi perkembangan komplikasi dan merawatnya jika terjadi. Ini merupakan penyakit yang membutuhkan biaya mahal, di Amerika Serikat pada tahun 2007, biaya yang langsung berhubungan dengan diabetes adalah 116 milyar dolar, dan total biaya sekitar 174 milyar dolar; orang dengan diabetes mengeluarkan biaya medis rata-rata 2,3 kali lebih besar dibandingkan dengan orang tanpa diabetes. (Medscape) Di Indonesia, 8.426.000 penduduk menderita diabetes pada tahun 2000, dan diperkirakan menjadi 21.257.000 pada tahun 2030. Sedangkan untuk dunia, 171.000.000 penduduk penduduk menderita diabetes, dan diperkirakan menjadi 366.000.000  pada 2030. Sepuluh negara dengan penderita diabetes terbanyak adalah India, China, Amerika Serikat, Indonesia, Jepang, Pakistan, Rusia, Brazil, Italia, dan Bangladesh. Predisposisi terjadinya infeksi saluran kemih (ISK) pada penderita diabetes melitus diakibatkan berbagai faktor. Kepekaan meningkat seiring lamanya durasi dan beratnya derajat diabetes. Kandungan glukosa darah yang tinggi

menyebabkan

gangguan

faktor

imun

penjamu

terhadap

infeksi.

Hiperkalsemia menyebabkan disfungsi neutrofil dengan meningkatkan kadar kalsium intraselular dan mengintervensi dengan aktin, diapedesis dan dan fagositosis.

3

Kandidiasis vagina dan penyakit vaskular juga berperan penting pada infeksi yang  berulang.(medscape) Sepanjang waktu, pasien dengan diabetes dapat berkembang sistopati, nefropati, dan nekrosis papilar renal, mempermudah terjadinya ISK. Efek jangka  panjang sistopati diabetik mencakup refluks vesikouretral dan ISK berulang . Sebagai tambahan, sebanyak 30 persen wanita dengan diabetes mempunyai sistokel, sistouretrokel, atau rektokel dalam berbagai derajat. Semua hal ini  berperan dalam frekuensi dan beratnya ISK pada wanita dengan diabetes. (medscape). Hipertensi merupakan kondisi komorbid diabetes yang sangat sering terjadi, mempengaruhi 20-60% pasien diabetes, tergantung pada obesitas, etnis, dan usia. Pada diabetes tipe 2, hipertensi sering terjadi sebagai bagian dari sindrom metabolik dari resistensi insulin juga mencakup obesitas sentral dan dislipidemia. Pada diabetes tipe 1, hipertensi dapat menandakan onset nefropati diabetik. Hipertensi meningkatkan risiko dari komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular, meliputi stroke, penyakit arteri koroner, dan penyakit vaskular  perifer, retinopati, nefropati, dan kemungkinan neuropati.

4

BAB II LAPORAN KASUS

3.1.

3.2.

Identitas pasien

 Nama

: Ny. SN

Umur

: 55 tahun

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Alamat

: Jl. Tunas Baru Banjarmasin

MRS

: 21 April 2014 pukul 10.20 WITA

RMK

: 70-02-72

Anamnesis

Anamnesis dilakukan pada tanggal 21 April 2014. 3.2.1

Keluhan Utama

Demam. 3.2.2

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan demam sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Demam terus menerus dan muncul tiba-tiba. Demam

5

disertai menggigil. Pasien sudah minum obat penurun panas tetapi demam cuma turun sebentar kemudian naik lagi. Pasien merasa badan lemas kurang lebih 1 minggu terakhir. Tidak ada mual muntah. Tidak ada keluhan sakit kepala, tidak ada pusing. Pasien mengaku sering kencing dalm 1 bulan terakhir. Kencing jernih, kencing kemerahan tidak ada, tidak ada nyeri kencing, tidak ada ada kencing berpasir, nyeri pinggang tidak ada. Pasien mengaku mengaku kurang lebih satu minggu yang yang lalu diperiksa diperiksa gula darahnya dan ternyata tinggi, sejak itu pasien rutin mengkonsumsi obat gula darah setiap hari. Pasien juga mengatakan adanya rasa selalu ingin makan dan selalu ingin minum, dan pasien merasakan adanya penurunan  berat badan. 3.2.3

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tmemiliki riwayat penyakit Diabetes Melitus, hipertensi (sejak 2010), stroke. 3.2.4

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengaku di keluarganya memiliki riwayat penyakit hipertensi. Pada keluarga tidak memiliki riwayat penyaki diabetes mellitus, stroke. 3.3.

Pemeriksaan fisik

21 April 2014 Deskripsi Umum Kesan sakit

: Sedang

Gizi

: Baik 6

Berat Badan

: 62 kg

Tinggi Badan

: 158 cm

Tanda vital Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan darah

: 130/90 mm Hg

Laju nadi

: 95 kali/menit

Laju nafas

: 28 kali/menit

Suhu tubuh (aksiler)

: 38,5oC

GCS

: 4-5-6

Kepala dan leher Kepala

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-), edema  periorbita (-/-), konj. palpebra hiperemis (-/-)

Leher

: Peningkatan JVP (-), pembesaran KGB (-/-)

Toraks Pulmo

I : Tarikan nafas simetris P : Fremitus raba simetris P : Suara perkusi sonor (+/+) A : Suara nafas vesikuler, rhonkii (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

I : Ictus cordis (+) P :  Ictus cordis teraba cordis teraba di ICS V linea midclavicula, getaran/ thrill  (-)  (-)

7

P : Suara perkusi pekak, batas kanan ICS III, IV, V linea parasternalis dextra, batas kiri ICS V linea midclavicula sinistra A : S1 dan S2 tunggal, reguler, dan tidak terdengar suara bising Abdomen Inspeksi

: Cembung, distensi (-), venektasi (-)

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Palpasi

: Turgor cepat kembali, nyeri tekan epigastrik (-), hepar, lien, massa tidak teraba

Perkusi

: Timpani

Eksremitas Atas

: Akral hangat (+/+), edema (-/-), parese (-/-)

Bawah

: Akral hangat (+/+), edema (-/-), parese (-/-)

3.4. Pemeriksaan penunjang Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 21 April 2014.

Pemeriksaan

Hemoglobin Lekosit Eritrosit Hematokrit Trombosit MCV MCH

Hasil

15,4 7,2 5,07 45,7 155 90,3 30,3

Nilai Rujukan 11.00 –  11.00  – 16.00 16.00 4.0 –  4.0 – 10.5 10.5 4.0 –  4.0 – 5.50 5.50 32.00 –  32.00 – 44.00 44.00 150 –  150 – 450 450 80.0 –  80.0 – 97.0 97.0 27.0 –  27.0 – 32.0 32.0

Satuan

g/dL ribu/uL juta/uL vol% ribu/uL Fl Pg

8

MCHC GDS SGOT SGPT Ureum Kreatinin  Natrium Kalium Klorida

33.6 92 119 93 17 0.8 127.0 3.9 91.2

Widal

Salmonella typhi O Salmonella typhi H Salmonella paratyphi AO Salmonella paratyphi AH Salmonella paratyphi BO Salmonella paratyphi BH Salmonella paratyphi CO Salmonella paratyphi CH 3.5. Daftar Masalah

32.0 –  32.0 – 38.0 38.0 5 leukosit per lapangan pandang besar. Pemeriksaan kultur urine dimaksudkan untuk menentukan keberadaan kuman, jenis kuman, dan sekaligus menentukan  jenis antibiotika yang cocok untuk membunuh kuman itu. Untuk mencegah timbulnya kontaminasi sampel urine oleh kuman yang berada di kulit vagina atau  prepusium, perlu diperhatikan cara

pengambilan sampel urine. Sampel urine

dapat diambil dengan cara: (1) aspirasi suprapubik yang sering dilakukan pada  bayi, (2) kateterisasi per-uretram pada wanita untuk menghindari kontaminasi oleh kuman-kuman di sekitar introitus vagina, dan (3) miksi dengan pengambilan urine porsi tengah atau midstream urine. Dikatakan bakteriuria jika didapatkan lebih dari 105 cfu (colony forming unit) per mL, pada pengambilan sampel urine  porsi tengah, sedangkan pada pengambilan melalui aspirasi suprapubik dikatakan  bakteriruria bermakna jika didapatkan > 103 cfu per mL. Pemeriksaan darah Pemeriksaan darah lengkap diperlukan untuk mengungkapkan adanya proses inflamasi atau infeksi. Didapatkannya leukositosis, peningkatan laju endap darah, atau didapatkannya sel-sel muda pada sediaan hapusan darah menandakan adanya  proses inflamasi akut.

21

Pada keadaan infeksi berat, perlu diperiksaa faal ginjal, faal hepar, faal hemostasis, elektrolit darah, analisis gas darah, serta kultur kuman untuk  penanganan ISK secara intensif. Pencitraan Pada ISK sederhana tidak diperlukan pemeriksaan pencitraan, tetapi pada ISK

rumit

perlu

dilakukan

pemeriksaan

pencitraan

untuk

mencari

 penyebab/sumber terjadinya infeksi. Foto polos abdomen. Pembuatan foto polos  berguna untuk mengetahu adanya batu radio-opak pada saluran kemih atau adanya distribusi gas yang abnormal pada pielonefritis akut. Adanya kekaburan atau hilangnya bayangan garis psoas dan kelainan dari bayangan bentuk ginjal merupakan petunjuk adanya abses perirenal atau abses ginjal. Batu kecil atau batu semiopak kadangkala tidak tampak pada foto ini, sehingga perlu dilakukan  pemeriksaan foto tomografi. PIV adalah pemeriksaan rutin untuk mengevaluasi  pasien yang mendertia ISK complicated. Pemeriksaan ini dapat mengungkapkan adanya pielonefritis akut dan adanya obstruksi saluran kemih, tetapi pemeriksaan ini sulit untuk mendeteksi adanya hidronefrosis, pielonefrosis, ataupun abses ginjal yang fungsinya sangat jelek. Voiding sistouretrografi. Pemeriksaan ini diperlukan

untuk

mengungkapkan

adanya

refluks

vesikoureter,

buli-buli

neurogenik, atau divertikulum ureta pada wanita yang sering menyebabkan infeksi yang sering kambuh. Ultrasonografi adalah pemeriksaan yang sangat berguna untuk mengungkapkan adanya hidronefrosis, pielonefrosis, ataupun abses pada  perirenal/renal terutama pada pasien gagal ginjal. Pada pasien gemuk, adanya luka operasi, terpasangnya pipa drainase, atau pembalut luka pasca operasi dapat

22

menyulitkan pemeriksaan ini. CT scan merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif dalam mendeteksi penyebab ISK daripada PIV atau USG, tetapi biaya yang diperlukan untuk pemeriksaan ini relatif mahal. 4. Terapi Pada ISK yang tidak memberikan gejala klinis ( asymptomatic bacteriuria) tidak  perlu pemberian terapi, tetapi ISK yang telah memberikan keluhan harus segera mendapatkan antibiotika; bahkan jika infeksi cukup parah diperlukan perawatan di

rumah

sakit

guna

tirah

baring,

pemberian

hidrasi,

dan

pemberian

medikamentosa secara intravena berupa analgetik dan antibiotika. Antibiotik yang diberikan berdasarkan atas kultur kuman dan tes kepekaan antibiotik. 5. Penyulit Infeksi saluran kemih dapat menimbulkan beberapa penyulit, di antaranya: (1) gagal ginjal akut, (2) urosepsis, dan (3) nekrosis papilla ginjal, (4) terbentuknya  batu saluran kemih, (5) supurasi atau pembentukan abses, dan (6) granuloma. Infeksi saluran kemih pada pasien diabetes mellitus Prevalensi bakteriuria asimtomatik pada pasien diabetes wanita dua kali lebih sering daripada wanita non diabetes. Demikin pula resiko untuk mendapatkan penyakit akibat ISK lebih  besar. Hal ini diduga karena pada diabetes sudah terjadi kelainan fungsional pada sistem urinaria maupung fungsi leukosit sebagai pertahanan tubuh. Kelainan fungsional yang sering dijumpai adalah sistopati diabetikum. Oleh karena pada diabetes, terjadi penurunan sensitifitas buli-buli sehingga memudahkan distensi  buli-buli

serta

penurunan

kontraktilitas

detrusor

dan

kesemuanya

ini

menyebabkan terjadinya peningkatan residu urine. Kesemuanya itu menyebabkan

23

mudah terjadi infeksi. Komplikasi yang bisa terjadi pada pasien diabetes yang menderita ISK adalah: sistisitis emfisematosa, pielonefritis emfisematosa, nekrosis papiller ginjal, abses perinefrik, dan bakteriemia. Mudahnya terjadi komplikasi emfisematosa pada organ dimungkinkan karena pada diabetes (1) sering terinfeksi oleh kuman yang membentuk gas, (2) menurunnya perfusi  jaringan, dan (3) kadar glukosa yang tinggi memudahkan pertumbuhan uropatogen. Pielonefritis pada pasien diabetes mendapatkan terapi antibiotik  parenteral sampai 24 jam bebas deman dan gejalanya mereda, setelah itu diteruskan dengan pemberian obat-obatan per oral sampai 14 hari. Pemilihan antibiotik

disesuaikan

dengan

kultur

dan

sensitifitas

kuman.

Golongan

trimetoprim-sulfametoksazol cukup baik untuk ISK, namun harus hati-hati jika  bersama dengan obat antidiabetikum. B. Diabetes Mellitus 1. Definisi

Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang kompleks, yang memerlukan perawatan medis secara terus menerus dengan strategi penurunan risiko multifaktor untuk mengontrol kadar gula darah. Diabetes mellitus adalah kelainan metabolik kronis yang ditandai oleh hiperglikemia yang disebabkan oleh gangguan pada sekresi insulin, resistensi insulin, atau kombinasi keduanya. Perubahan metabolisme metabolisme lemak dan protein juga merupakan manifestasi penting dari gangguan pada kerja atau sekresi insulin. Kebanyakan penderita diabetes mellitus memiliki diabetes tipe I (yang diperantarai imun atau idiopatik) atau diabetes tipe 2 (dengan komplek patofisiologi yang menggabungkan resistensi

24

insulin dan kegagalan sel β dan dasarnya secara turun-temurun). turun -temurun). Diabetes dapat  juga berkaitan dengan lingkungan hormonal gestasional, defek genetik, infeksi lainnya, dan obat-obat tertentu.(Jurnal Farmasi) 2. Klasifikasi Diabetes dapat diklasifikasikan ke delam empat kategori klinis: ○ Diabetes tipe 1 (disebabkan destruksi sel β, biasanya menjadi tergantung terhadap insulin secara absolut) ○ Diabetes tipe 2 (disebabkan defek pada sekresi insulin sec ara progresif yang melatarbelakangi terjadinya resistensi insulin) ○ Diabetes karena penyebab spesifik lainnya, contohnya disebabkan defek genetik  pada fungsi sel β, defek pada kerja insulin, penyakit pen yakit eksokrin pankreas (seperti fibrosis kistik), dan dipicu obat atau zat kimia (seperti pada terapi HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ. ○ Diabetes mellitus gestasional (diabetes didiagnosis selama hamil) Beberapa pasien tidak bisa diklasifikasikan secara jelas termasuk diabetes tipe 1 atau tipe 2. Presentasi klinis dan perjalanan penyakit bervariasi luas pada kedua tipe diabetes. Kadang-kadang, pasien yang didiagnosis dengan diabetes tipe 2 dapat menjadi ketoasidosis. Anak-anak dengan diabetes tipe 1 secara khas menampilkan gejala poliuria/polidipsia dan kadang-kadang dengan ketoasidosis. Bagaimanapun, kesulitan diagnosis dapat terjadi pada anak-anak, dewasa muda, dan dewasa tua, dengan diagnosis sebenarnya semakin jelas seiring waktu. (standar medical care)

25

3. Gejala Klinis Diabetes Mellitus Berikut gejala klinis pada diabetes mellitus Gejala Umum

Gejala diabetes tipe 1

Gejala diabetes tipe 2

Poliuria

Penurunan berat badan

Biasa menngenai orang

 Nokturia

mendadak

dengan kelebihan berat

diikuti

Deplesi garam & air: rasa  poliurea, noktureea, dan  badan haus, pusing

 polidipsia

Sebagian besar mengenai

Kelelahan

Umumnya muncul pada

usia 40 tahun

Perubahan

aktivitas usia 10-12 tahun

visual

Kelelahan

Kandidiasis

genital,

berlebihana, tinfeksi trsktus urinarius

Gejala infeksi : Puritis,  peningkatan nafsu makan infeksi kulit & kuku

Atrofi

Diare

 paha

muskular

pada

Bau aseton

3. Diagnosis Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood  (wholeblood ), ), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda

26

sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil  pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini: - Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat  badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya sebabnya - Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara: 1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM 2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik. 3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa  plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki memili ki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung  pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok kel ompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

27

1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140  –   199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L). 2. GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma  puasa didapatkan antara 100 –  100  –  125  125 mg/dL (5,6  –  6,9  6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam< 140 mg/dL. Tabel kriteria diagnostik DM 1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat  pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir terakhir Atau 2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam Atau 3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

* Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah  satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang yang telah terstandardisasi dengan baik.

28

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994): • Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari -hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti  biasa) • Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan • Diperiksa kadar glukosa darah puasa • Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit • Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai • Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua)  jam sesudah beban glukosa • Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok 5. Pemeriksaan Penyaring Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko DM, namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring  bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga se hingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan  penyakit kardiovaskular dikemudian hari. Pemeriksaan pen yaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa.

29

Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal ( mass screening ) tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal yang pada umumnya tidak diikuti dengan rencana

tindak

lanjut

bagi

merekayang

diketemukan

adanya

kelainan.

Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk  penyakit lain atau general atau general check-up Tabel . Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan  penyaring dan diagnosis diagnosis DM (mg/dL) Bukan DM

Belum pasti

DM

DM Kadar glukosa

Plasma

darah sewaktu

vena

(mg/dL)

Darah

10 leukosit per mm 3  atau terdapat > 5 leukosit per lapangan pandang besar. Hal ini menunjukkan terjadi piuria pada pasien. Namun tidak terdapat bukti telah terjadi bakteriuria pada pasien ini. Pada ISK yang tidak memberikan gejala klinis ( asymptomatic bacteriuria) tidak  perlu pemberian terapi, tetapi ISK yang telah memberikan keluhan harus segera mendapatkan antibiotika; bahkan jika infeksi cukup parah diperlukan perawatan

72

di

rumah

sakit

guna

tirah

baring,

pemberian

hidrasi,

dan

pemberian

medikamentosa secara intravena berupa analgetik dan antibiotika. Antibiotik yang diberikan berdasarkan atas kultur kuman dan tes kepekaan antibiotik. Pada kepustakaan yang lain,pada ISK yang disertai dengan komplikasi seperti abnormalitas struktur urologi, diabetes, imunosupresi, hamil, atau baru saja mengalami manipulasi pada traktus urulogi, maka untuk tatalaksana pertama dapat diberikan antibiotik trimetoprim/sulfa atau golongan fluoroquionolone selama 7-14 hari (fluoroquinolone kontraindikasi pada kehamilan). Pada pasien ini cairan intravena Ringer Laktat (RL) 20 tetes per menit, injeksi ceftriakson 2 x 1 gram, injeksi ranitidin 2 x 1, dan parasetamol 3 x 500 mg  per oral. Pemberian RL dimaksudkan sebagai hidrasi pada pasien di atas. Ceftriakson digunakan sebagai antibiotik yang dipilih. Ceftriakson merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi 3 yang memiliki aktivitas spektrum luas pada gram negatif, dan lebih lemah pada gram  positif. Ceftirakson memiliki efektivitas yang lebih tinggi pada organisme yang resisten, sangat stabil pada bakteri penghasil beta laktamase. Efek antibakteri ditimbulkan dari hambatan sintesis dinding sel oelh pengikatan 1 atau lebih  protein pengikat penisilin, menimbulkan efek antimikrobial dengan mengganggu sintesis dari peptidoglikan (komponen struktur utama dari dinding sel bakteri). Ceftriakson diabsorpsi secara baik melalui intramuskular dan didistribusikan ke seluruh tubuh, mencakup kandung empedu, paru, tulang, cairan serebrospinal, dimetabolisme di hati dan di ekskresi lewat urin (33-65% dalam bentuk awal), feses. Pada infeksi saluran kemih, seftriakson dapat diberikan dengan dosis 1-2

73

gram/hari secara IV/IM dengan dosis tunggal atau dosis terbagi setiap 12 jam selama 4 sampai 14 hari tergantung tipe dan beratnya infeksi. Pada kepustakaan, antibiotik terpilih pada pengobata ISK pada pasien diabetes melitus bisa diberikan trimetoprim-sulfametoksazol(TMS). TMS bekerja dengan menghambat dua tahapanpada biosintesis anam nukleat dan protein esensial untuk banyak bakter. Trimetoprim bekerja dengan menghambat dihydrofolate reductase, yang menghambat produksi asam tetrahidrofolat dari asam dihidrofolat. Sulfametoksazol bekerja dengan menghambat sintesis asam dihidrofolat dengan berkompetisi terhadap asam paraaminobenzoat. TMS dimetabolisme di hati dan dieksresi di urine dalam bentuk obat awal (tidak  berubah). TMS diberikan pada infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh  bakteri yang sensitif seperti  seperti  Escherichia coli, spesies  Klebsiella,  Klebsiella, spesies  Enterobacter, Morganella morganii, Proteus mirabilis, dan  Proteus vulgaris. vulgaris. Pada pielonefritis dapat diberikan 1 tablet dosis ganda atau 2 tablet dosis normal  per oral setiap 12 jam selama 14 hari. Ada sistitis akut dapat berikan selama 3 hari. Pada penelitian Rosenberg JM et al yang membandingkan efektivitas  penggunaan

seftriakson

dengan

pengobatan

standar

yaitu

trimetoprim

sulfametoksazol. Peneliti membagi menjadi dua kelompok yaitu 20 orang yang mendapatkan pengobatan seftriakson, dan 13 orang yang mendapat trimetoprim sulfametoksazol. Hasil penelitian menunjukkan angka kesembuhan pada kelompok yang mendapat seftriakson (18 dari 20, 90%) tidak didapatkan

74

 perbedaan signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol yang mendapatkan trimetoprim sulfametoksazol (13 dari 13). (single dose...) Pada pasien diberikan ranitidin 2 x 1. Ranitidin merupakan antagonis reseptor H2. Ranitidin bekerja dengan menghambat reseptor H2 pada sel parietal lambung untuk menimbulkan hambatan pada sekresi lambung. Ranitidin pada  pasien rawat inap diberikan sebagai profilaksis stress ulser atau acid supressive therapy (AST). Pemberian ranitidin sebagai AST mengikuti indikasi yang telah ditetapkan. Faktor risiko pada pasein sebagai indikasi untuk pemberian AST adalah pasien yang menggunakan bantuan ventilasi mekanik selama lebih dari 48  jam, pasien dengan koagulopati (ditandai dengan jumlah trombosit di bawah 50 x 109  /L, atau international normalized ratio INR lebih besar dari 1,5 atau waktu  partial thromboplastin meningkan 2x dibandingkan dengan nilai normal), sepsis  berat, syok, gagal hati, gagal ginjal, luka bakar dengan luas lebih dari 35%  permukaan tubuh, transplantasi organ, trauma kepala, trauma korda spinalis, riwayat penyakit ulkus peptik, riwayat perdarahan saluran cerna. Penggunaan terapi steroid tidak dianggap sebagai faktor risiko terjadinya stress ulkus kecuali digunakan bersamaan dengan adanya faktor risiko lainnya seperti penggunaan aspirin atau obat antiinflamasi non steroid. Pemberian ranitidin sebagai AST merupakan obat tersering yang diresepkan pada pasien rawat inap. Berbagai penelitian menunjukkan pemberian AST sering berlebihan pada pasien rawat inap. Pada penelitian Ruchi Gupta et al, 70% dari pasien rawat inap mendapatkan AST, dan 73% diantaranya tidak perlu.

75

Untuk gejala demamnya, pada pasien ini mendapatkan parasetamol per oral 3 x 500 mg. Parasetamol merupaka golongan analgesik antipiretik yang  bekerja di hipotalamus untuk menimbulkan efek antipiretik, dan bekerja di perifer  pada pembentukan sensasi nyeri, juga menghambat sisntesis prostaglandin pada sistem saraf pusat. Parasetamol dimetabolisme di hati dan dieksresi lewat urin. Untuk mendapatkan efek antipiretik dan analgetik, diberikan dosis 325-650 mg  per oral atau per rektal setiap 4 jam ja m jika perlu, atau at au 500 mg per oral setiap seti ap 8 jam  jika perlu. Dosis maksimal per hari adalah 4 gram. Pada tanggal 24 April 2014, pasien tidak lagi mengalami, demam. Pasien  juga sudah dapat makan dan minum serta tidak lagi memerlukan pemberian cairan intravena. Dengan demikian, pasien ini diperbolehkan pulang dan menjalani rawat  jalan. Pasien di atas juga mengidap diabetes mellitus dan hipertensi terkontrol. Diabtetes mellitus diketahui dari anamnesis bahwa pasien sudah mengkonsumsi obat anti diabetes sejak seminggu terakhir. Pengelolaan DM dimulai dengan  pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.

76

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan  bentuk suntikan. Pada pasien ini menerima obat obat hipoglikemik oral (OHO). Cara Pemberian OHO, terdiri dari: OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal. Sulfonilurea: 15 –  15 – 30 30 menit sebelum makan. Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan. Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan. Penghambat glukosidase ( Acarbose):  Acarbose): bersama makan suapan pertama Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan. DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan. Pasien juga diketahui mengidap hipertensi sejak tahun 2010. Pasien rutin mengkonsumsi obat antihipertensi. Saat datang, tekanan darah pasien 130/90 mmHg. Pada pasien hipertensi dengan DM, maka pilihan untuk obat antihipertensinya adalah thiazid, beta blocker , ACEI, ARB, CCB.

77

BAB V PENUTUP

Telah dilaporkan kasus seorang wanita berusia 55 tahun yang didiagnosis ISK dengan diabetes mellitus dan hipertensi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pasien telah ditatalaksana dengan terapi suportif, simptomatik dan definitif. Setelah pasien dirawat selama 4 hari dari tanggal 21 s/d 24 April 2014 akhirnya pasien diperbolehkan pulang dan mendapat pengobatan lanjutan secara rawat jalan.

78

DAFTAR PUSTAKA

1.

Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347(22): 1770-1782.

2.

Simanjuntak CH, Hoffman SL, Punjabi NH, Edman DC, Hasibuan MA, Sumarno W et al . Epidemiologi demam tifoid di duatu daerah pedesaan di Paseh, Jawa Barat. CDK 2007;6: 16-18.

3.

FK UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2. Jakarta: FK U UI, I, 2005.

4.

World Health Organization. 2003. Background Document:” The Diagnosis, Treatment And Prevention Of Typhoid Fever, Geneva, Switzerland.

5.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011 (online) (http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_KESEHATAN_INDONESI A_2010.pdf.

6.

Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347(22): 1770-1782.

7.

Pramitasari, O. P. Faktor Resiko Kejadian Demam Tifoid Pada Penderita Yang Dirawat Di Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran. Journal Kesehatan Masyarakat. 2013; Volume 2.

8.

James, Chin MD, MPH. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi 17. Jakarta: Infomedia.

9.

Aru W. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jakarta: Interna Publishing, 2009.

10.

Huan J. Chang, MD, MPH. Typhoid Fever. JAMA . 2009;302(8):914.

11.

Dan L. Longo, Anthony S. Fauzy. Horrison’s Gastroenterology and Hepatology. 2010. China : The McGraw-Hill.

12.

Gladwin, M., Trattler, B., 1999, The enteric. In: Clinical Microbiology Made Ridiculously Simple. Med Master Inc.Miami, 54-61.

13.

Herawati, M.H., dan L. Ghanie.2009. Hubungan Faktor Determinan Dengan Kejadian Demam Tifoid Di Indonesia Tahun 2007. Media Peneliti Dan Pengembang Kesehatan.Volume XIXNomor 4: hal 165-173.

79

14.

Wardana IMTN, Herawati S, dan Yasa IWPS. 2010. Diagnosis demam thypoid  dengan  dengan pemeriksaan widal. SMF patologi klinik FK Udayana. 1-13

15.

Wardhani P, Prihatini, Probohoesodo MY. Kemampuan uji tabung widal menggunakan antigen import dan antigen lokal. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. 2005; 12 (1): 31-37.

16.

Saraswati NA, Junaidi AR, dan Ulfa M. 2012. Karakteristik tersangka demam tifoid pasien rawat inap di rumah sakit muhammadiyah palembang  periode tahun 2010. syifa'MEDIKA; syifa'MEDIKA; 3(1): 1-11.

17.

Mulyawan Sylvia, Surjawidjaja Julius. Tinjauan Ulang Peranan Uji Widal Sebagai Alat Diagnostik Penyakit Demam Typhoid Di Rumah Sakit. Jakarta:2004. p. 14-6.

18.

Camilo Acusta, Dr et all. Background all.  Background Document: The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever. WHO. 2007 .

19.

Anonymous. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. KEMENKES RI. 2006: no. 364.

20.

Loho, T., Sutanto, H., Silman, E., 2000, Dalam: Demam tifoid peran mediator, diagnosis dan terapi. (Editor: Zulkarnain). Pusat Informasi dan Penerbitan bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta, 22-42.

21. Suswati I, Juniarti A. Sensitivitas  salmonella typhi  typhi  terhadap kloramfenikol dan seftriakson di RSUD Dr. Soetomo dan di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang tahun 2008-2009. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang: 27-32. 22. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid fever and paratyphoid fever. Lancet 2005; 366: 749-62. 23. Background document: the diagnosis, treatment, and prevention of typhoid fever [Internet]. 2003 [cited 2010 Nov 25]. Available from: www.whoint/vaccines-documents/ 24.  Nelwan RHH, Chen K, Nafrialdi, Paramita D. Open study on efficacy and safety of levofloxacin in treatment of uncomplicated typhoid fever. Southeast Asian J Trop Med Public Health 2006; 37(1): 126-30. 25. Thaver D, Zaidi AKM, Critchley J, Azmatullah A, Madni SA, Bhutta ZA. A comparison of fluoroquinolones versus other antibiotics for treating enteric fever: meta-analysis. BMJ 2009; 338: 1-11.

80

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF