LAPORAN KASUS FLUOR ALBUS
August 26, 2017 | Author: Brigita De Vega | Category: N/A
Short Description
LAPORAN KASUS FLUOR ALBUS...
Description
LAPORAN KASUS
FLUOR ALBUS
dr. Brigita De Vega Pembimbing : dr. Trisca Ferianty
Program Internsip Dokter Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
RSUD Abepura, Jayapura, Papua 2016-2017 DAFTAR ISI 1
Halaman Judul.............................................................................................................. .............1 Daftar Isi.................................................................................................................. ..................2 Bab I : Pendahuluan................................................................................................. .................3 Bab II : Tinjauan Pustaka......................................................................................................... ..5 2.1 Definisi.......................................................................................................... ..........5 2.2 Epidemiologi................................................................................................. ..........6 2.3 Etiopatogenesis............................................................................................. .........6 2.4
Gambaran
Klinis......................................................................................................7 2.5
Faktor
Risiko...........................................................................................................9 2.6 Diagnosis...................................................................................................... ..........9 2.6.1 Anamnesis...............................................................................................9
2
2.6.2 Pemeriksaan Fisik..................................................................................10 2.6.3 Pengambilan Spesimen..........................................................................11 2.6.4 Pemeriksaan Penunjang........................................................................13 2.7 Tatalaksana................................................................................................... .......14 2.7.1 Kriteria Obat IMS...................................................................................14 2.7.2 Duh Tubuh Vagina.................................................................................14 2.7.3 Duh Tubuh Uretra..................................................................................19 2.8 Pencegahan................................................................................................... .......22 Bab III : Laporan Kasus............................................................................................................ 25 Bab IV : Diskusi........................................................................................................... .............27 Bab V : Kesimpulan dan Saran.................................................................................................29 Daftar Pustaka......................................................................................................... ................30
3
BAB I PENDAHULUAN Lebih dari 30 jenis patogen dapat ditularkan melalui hubungan seksual dengan manifestasi klinis bervariasi menurut jenis kelamin dan umur. Meskipun infeksi menular seksual (IMS) terutama ditularkan melalui hubungan seksual, namun penularan dapat juga terjadi dari ibu kepada janin dalam kandungan atau saat kelahiran, melalui produk darah atau transfer jaringan yang telah tercemar, kadang-kadang dapat ditularkan melalui alat kesehatan. Dengan perkembangan di bidang sosial, demografik, serta meningkatnya migrasi penduduk, populasi berisiko tinggi tertular IMS akan meningkat pesat. Beban terbesar akan ditanggung negara berkembang, namun negara maju pun dapat mengalami beban akibat meningkatnya IMS oleh virus yang tidak dapat diobati,
perilaku
seksual
berisiko
serta
perkembangan
pariwisata.
IMS
menempati peringkat 10 besar alasan berobat di banyak negara berkembang, dan biaya yang dikeluarkan dapat mempengaruhi pendapatan rumah tangga. Pelayanan untuk komplikasi atau sekuele IMS mengakibatkan beban biaya yang tidak
sedikit,
penanganan
misalnya penyakit
untuk jaringan
skrining hati,
dan
pengobatan
pemeriksaan
kanker
infertilitas,
serviks,
pelayanan
morbiditas perinatal, kebutaan bayi, penyakit paru pada anak-anak, serta nyeri panggul kronis pada wanita. Beban sosial meliputi konflik dengan pasangan seksual dan dapat mengakibatkan kekerasan dalam rumah tangga. Infeksi menular seksual, selain infeksi HIV menimbulkan beban morbiditas dan mortalitas terutama di negara sedang berkembang dengan sumber daya yang terbatas, baik secara langsung yang berdampak pada kualitas hidup, kesehatan reproduksi dan anak-anak, serta secara tidak langsung melalui perannya dalam mempermudah transmisi seksual infeksi HIV dan dampaknya terhadap perekonomian perorangan maupun nasional. Spektrum gangguan kesehatan yang ditimbulkan IMS mulai dari penyakit akut yang ringan sampai lesi yang terasa nyeri serta gangguan psikologis. Misalnya, infeksi oleh N.gonorrhoeae menimbulkan nyeri saat berkemih (disuria) pada laki-laki, dan nyeri perut bagian bawah akut ataupun kronis pada perempuan. Tanpa diobati, infeksi oleh T.pallidum, meskipun tidak nyeri pada stadium awal,
namun dapat menimbulkan berbagai
kelainan
neurologis, 4
kardiovaskular serta gangguan tulang di kemudian hari, serta abortus pada perempuan hamil dengan infeksi akut. Chancroid dapat menimbulkan ulkus dengan rasa nyeri hebat dan bila terlambat diobati dapat menyebabkan destruksi jaringan, terutama pada pasien imunokompromais. Infeksi herpes genitalis menimbulkan gangguan psikoseksual karena bersifat rekurens dan menimbulkan rasa nyeri, terutama pada pasien muda. Biaya yang dikeluarkan, termasuk biaya langsung baik medis dan non medis, serta biaya tidak langsung akibat waktu yang hilang untuk melakukan aktivitas produktif (waktu untuk pergi berobat, waktu tunggu di sarana pelayanan kesehatan, serta waktu untuk pemeriksaan tenaga kesehatan). Tatalaksana IMS yang efektif merupakan dasar pengendalian IMS, karena dapat mencegah komplikasi dan sekuele, mengurangi penyebaran infeksi di masyarakat, serta merupakan peluang untuk melakukan edukasi terarah mengenai pencegahan infeksi HIV. Bila hal tersebut dilakukan terhadap para pasien, maka hal ini dapat mempengaruhi perilaku seksual dan kebiasaan mereka dalam upaya mencari pengobatan. Melalui laporan kasus ini, diharapkan dokter maupun paramedis (perawat dan bidan) dalam keadaan di mana tidak ada dokter untuk sementara waktu (di bawah pengawasan dokter penanggung jawab) dapat menangani kasus IMS, khususnya keluhan keputihan/fluor albus di Puskesmas Waena secara lebih baik lagi demi meningkatkan kesehatan reproduksi masyarakat.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DEFINISI Keputihan / fluor albus / leukore merupakan sekret (bukan darah) dari vagina atau serviks pada wanita. Keputihan dapat bersifat patologis maupun fisiologis. a. Keputihan Fisiologis Keputihan fisiologis merupakan cairan yang terkadang berupa lendir atau mukus dan mengandung banyak epitel dengan leukosit yang jarang, sedangkan keputihan patologis banyak mengandung leukosit. Keputihan fisiologis terjadi pada perubahan hormon saat masa menjelang dan sesudah menstruasi, sekitar fase sekresi antara hari ke 10-16 siklus menstruasi, pada saat terangsang, hamil, kelelahan, stres, dan sedang mengkonsumsi obat-obat hormonal seperti pil KB, serta atrofi vulvovagina (hipoestrogenisme) pada menopause. Keputihan atau fluor albus yang fisiologis dapat ditemukan pada : 1. Bayi baru lahir sampai umur kira-kira sepuluh hari. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh sisa estrogen dari plasenta terhadap uterus dan vagina janin. 2. Saat menarche karena pengaruh estrogen yang meningkat. 3. Rangsangan saat koitus terjadi pengeluaran transudasi dari dinding vagina Saat masa ovulasi adanya peningkatan produksi kelenjar-kelenjar pada mulut rahim. 4. Kehamilan menyebabkan peningkatan mukus servik yang padat sehingga menutup lumen serviks yang berfungsi mencegah kuman masuk ke rongga uterus. 5. Penggunaan kontrasepsi hormonal atau mengubah metode kontrasepsi (Monalisa et al., 2012). 6
b. Keputihan patologis Keputihan disebut patologis jika sekret yang dihasilkan berbau dan berwarna dengan jumlah lebih dari normal. Keluhan biasanya disertai dengan gatal, edema pada daerah genitalia, disuria, nyeri pada abdomen bagian bawah, atau pada punggung bagian bawah. Pada kondisi normal, kelenjar dan servik menghasilkan cairan yang jernih dengan flora normal, dan sel dari kelenjar bartolin. Pada wanita cairan vagina normal berfungsi untuk lubrikan dan pertahanan terhadap beberapa infeksi. Pada kondisi normal cairan vagina yang menempel pada celana dalam berwarna putih atau kekuningan. Cairan ini tidak bersifat iritan dan tanpa darah dengan pH 3.5 – 4.5. Penyebab terbanyak dari keputihan yang patologis adalah infeksi. Beberapa diantaranya merupakan infeksi menular seksual. Leukore dapat dibagi 2 yaitu karena vaginitis atau servisitis. Vaginitis dapat disebabkan Candida albicans, Gardnerella vaginalis, Mycoplasma genital, bakteri anaerob dan Trichomonas vaginalis. Servisitis lebih banyak disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis. Untuk menegakkan diagnosis dibutuhkan beberapa pemeriksaan laboratorium. Dari beberapa pemeriksaan mikroskopis langsung dengan menggunakan larutan saline yang diteteskan pada cairan vagina (preparat basah), dan kemudian dilihat dibawah mikroskop dengan KOH 10%, dengan pewarnaan Gram, atau menggunakan teknik kultur. Komponen yang berperan dalam penanganan infeksi menular seksual adalah riwayat pengobatan penyakit menular seksual, pemeriksaan fisik dan etiologi dari penyakit menular seksual. Penanganannya terkait dengan batasan waktu, sarana yang tersedia, dan biaya.
2.2 Epidemiologi Vaginosis bakterialis merupakan penyebab dari sekret vagina yang berbau tetapi lebih dari 50% bersifat asimptomatis. Lebih banyak ditemukan pada wanita saat melakukan pemeriksaan rutin. Berdasarkan tingkat sosioekonomi ditemukan 50% wanita yang aktif secara seksual terinfeksi oleh Gardnerella vaginalis dan hanya memiliki sedikit gejala. Vulvovagina candidiasis pada kebanyakan wanita paling banyak pada usia produktif 70 – 75 % dan bersifat rekuren sebanyak 40 – 50 %. Pada kebanyakan 7
penelitian kandidiasis lebih banya ditemukan pada wanita muda 15 – 30 % bersifat simptomatik. Dari beberapa laporan didapatkan prevalensi trikomoniasis cukup banyak. Secara umum, perkiraan prevalensi trikomoniasis antara 5% sampai 74% pada wanita dan 5% sampai 29% pada laki-laki dan paling banyak disebabkan karena kontak seksual. Infeksi Chlamydia pada organ genital lebih banyak pada daerah industri dan negara berkembang. Menurut WHO 89 M kasus baru dari infeksi Chlamydia pada daerah genital tahun 2001. Pada kasus tersebut paling banyak perempuan dibanding laki-laki. Insidensi gonorrhea bervariasi tergantung usia, 75% kasus antara usia 15 – 29 tahun dengan rata-rata usia 15 – 19 tahun. Resiko demografi gonorrhea adalah pada status sosioekonomi rendah, onset awal aktivitas sosial tanpa status pernikahan dan riwayat penyakit gonorrhea sebelumnya.
2.3 Etiopatogenesis Keputihan
dapat
disebabkan
oleh
banyak
hal.
Keputihan
fisiologis
ditemukan pada bayi baru lahir hingga usia 10 hari akibat dari estrogen yang melewati plasenta ibu, sebelum menarche karena pengaruh hormon estrogen, wanita dewasa karena peningkatan transudat pada dinding vagina. Walaupun terdapat variasi warna, konsistensi, dan jumlah dari sekret vagina dapat normal tetapi perubahan sekret tersebut tetap dianggap ada infeksi terutama jika disebabkan oleh jamur. Beberapa wanita memiliki sekret vagina yang banyak. Pada kondisi normal sekret vagina terdiri atas cairan mukus dari serviks, dan sel dari vagina, jumlah bervariasi tergantung usia, siklus menstruasi, kehamilan, dan penggunaan pil KB. Pada kondisi vagina yang normal terdapat hubungan antara Lactobacillus acidophilus dengan flora normal endogen lainnya, estrogen, glikogen, pH vagina dan metabolit lain. Lactobacillus acidophilus menghasilkan peroksida endogen yang bersifat toksik terhadap bakteri patogen. Akibat pengaruh estrogen pada epitel vagina, produksi glikogen, Lactobacillus (doderlein) dan asam laktat menghasilkan pH vagina yang rendah antara 3,8 – 4,5 yang dapat menghambat perkembangan bakteri. Keputihan yang patologis dapat disebabkan oleh infeksi penyakit menular seksual (Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrheae, Trichomonas vaginalis), dan infeksi lainnya seperti candidiasis vulvovaginalis (Candida albicans), 8
vaginosis bakterial (Gardnerella vaginalis), karena benda asing dan proses suatu keganasan. Penyebab terbanyaknya keputihan patologis adalah infeksi. Pada infeksi cairan mengandung lebih banyak leukosit dan warnanya menjadi kekuningan hingga hijau, keputihan tebal dan berbau.
2.4 Gambaran Klinis Keputihan
patologis
dapat
disebabkan
oleh
Trichomonas
vaginalis,
Candida albicans dan infeksi campuran antara Gardnerella vaginalis dan bakteri anaerob. Neisseria gonorrhea dan Chlamydia trachomatis dapat menyebabkan keluarnya sekret dari serviks dan servisitis.
Keputihan yang disebabkan oleh Trichomonas bersifat asimptomatik atau memberikan gambaran sekret vagina yang tebal dengan bau, warnanya kuning kehijauan dan disertai gatal pada vulva. Infeksi juga menyebabkan inflamasi
pada
vagina
dan
serviks
dan
kadang
dapat
ditemukan
perdarahan minor dengan ulkus pada serviks.
Keputihan yang disebabkan oleh Candida albicans berwarna putih, baunya kurang atau dapat berbau asam, dinding vagina berwarna seperti keju dan disertai dengan rasa panas, terbakar, disuria, dan dispareuni.
Keputihan yang disebabkan oleh Gardnerella vaginalis dan bakteri anaerob menghasilkan sekret yang cair, homogen, warna putih keabuan hingga kekuningan, bau amis dan dapat terlihat di labia.
Keputihan yang disebabkan Neisseria gonorrhoeae berasal dari endoservik dan bersifat purulen, tipis dan kadang berbau. Keluhannya disertai disuria, dispareunia, nyeri abdomen bagian bawah, demam, mual dan muntah.
Keputihan yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis memiliki eksudat yang purulen atau mukopurulen yang ditemukan pada endoservikal dan serviknya rapuh sehingga mudah berdarah setelah koitus atau saat menstruasi.
Keputihan yang disebabkan oleh benda asing dapat disertai dengan darah. Sekret vagina pada anak diduga akibat benda asing. Jika terdapat infeksi biasanya karena bakteri anaerob sehingga sekretnya bersifat purulen.
Patogen penyebab dan jenis IMS yang ditimbulkan
9
10
2.5 Faktor Risiko 1. Pasangan seksual > 1 orang dalam 1 bulan terakhir 2. Berhubungan seksual dengan penjaja seks dalam 1 bulan terakhir 3. Mengalami 1/ lebih episode IMS dalam 1 bulan terakhir. 4. Perilaku pasangan seksual berisiko tinggi.
2.6 Diagnosis 2.6.1 Anamnesis 1. Keluhan utama 2. Keluhan tambahan 3. Riwayat perjalanan penyakit 11
4. Siapa menjadi pasangan seksual tersangka (wanita/pria penjaja seks, teman, pacar, suami/isteri 5. Kapan kontak seksual tersangka dilakukan 6. Jenis kelamin pasangan seksual 7. Cara melakukan hubungan seksual (genito-genital, orogenital, anogenital) 8. Penggunaan kondom (tidak pernah, jarang, sering, selalu) 9. Riwayat dan pemberi pengobatan sebelumnya (dokter/bukan dokter/sendiri) 10.Hubungan keluhan dengan keadaan lainnya – menjelang/sesudah haid; kelelahan fisik/psikis; penyakit: diabetes, tumor, keganasan, lain-lain); penggunaan obat: antibiotika, kortikosteroid, kontrasepsi); pemakaian alat kontrasepssi dalam rahim (AKDR); rangsangan seksual; kehamilan; kontak seksual 11.Riwayat IMS sebelumnya dan pengobatannya 12.Hari terakhir haid 13.Nyeri perut bagian bawah 14.Cara kontrasepsi yang digunakan dan mulai kapan
2.6.2 Pemeriksaan Fisik Pasien perempuan, diperiksa dengan berbaring pada meja ginekologik dalam posisi litotomi.
− Pemeriksa duduk dengan nyaman sambil melakukan inspeksi dan palpasi mons pubis, labia, dan perineum − Periksa daerah genitalia luar dengan memisahkan kedua labia, perhatikan adakah kemerahan, pembengkakan, luka/lecet, massa, atau duh tubuh Pemeriksaan pasien laki-laki dapat dilakukan sambil duduk/ berdiri. − Perhatikan daerah penis, dari pangkal sampai ujung, serta daerah skrotum − Perhatikan adakah duh tubuh, pembengkakan, luka/lecet atau lesi lain − Lakukan inspeksi dan palpasi daerah genitalia, perineum, anus dan sekitarnya. − Jangan lupa memeriksa daerah inguinal untuk mengetahui pembesaran kelenjar getah bening setempat (regional) − Bilamana tersedia fasilitas laboratorium, sekaligus dilakukan pengambilan bahan pemeriksaan.
12
− Pada pasien pria dengan gejala duh tubuh genitalia disarankan untuk tidak berkemih selama 1 jam (3 jam lebih baik), sebelum pemeriksaan.
2.6.3 Pengambilan Spesimen Pasien laki-laki dengan gejala duh tubuh uretra 1. Beri penjelasan lebih dahulu agar pasien tidak perlu merasa takut saat pengambilan bahan duh tubuh gentalia dengan sengkelit atau dengan swab berujung kecil 2. Bila menggunakan sengkelit, gunakanlah sengkelit steril. 3. Masukkan sengkelit/swab ke dalam orifisium uretra eksterna sampai kedalaman 1-2 cm, putar swab (untuk sengkelit tidak perlu diputar namun cukup menekan dinding uretra), dan tarik keluar perlahan-lahan (Gambar 3). 4. Oleskan duh tubuh ke atas kaca obyek yang sudah disiapkan 5. Bila tidak tampak duh tubuh uretra dapat dilakukan pengurutan (milking) oleh pasien.
Insersi swab ke dalam uretra dan diputar 1800 Pasien perempuan dengan duh tubuh vagina Pasien perempuan dengan status sudah menikah, dilakukan pemeriksaan dengan spekulum serta pengambilan spesimen 1. Beri penjelasan lebih dulu mengenai pemeriksaan yang akan dilakukan agar pasien tidak merasa takut 2. Bersihkan terlebih dahulu dengan kain kasa yang telah dibasahi larutan NaCl 3. Setiap pengambilan bahan harus menggunakan spekulum steril (sesuaikan ukuran spekulum dengan riwayat kelahiran per vaginam), swab atau sengkelit steril 4. Masukkan daun spekulum steril dalam keadaan tertutup dengan posisi tegak/vertikal ke dalam vagina, dan setelah seluruhnya masuk kemudian putar pelan-pelan sampai daun spekulum dalam posisi datar/horizontal. Buka spekulum dan dengan bantuan lampu sorot vagina cari serviks. Kunci spekulum pada posisi itu sehingga serviks terfiksasi. 13
5. Setelah itu dapat dimulai pemeriksaan serviks, vagina dan pengambilan spesimen − Dari serviks: bersihkan daerah endoserviks dengan kasa steril, kemudian ambil spesimen duh tubuh serviks dengan sengkelit/ swab Dacron™ steril untuk pembuatan sediaan hapus, dengan swab Dacron™ yang lain dibuat sediaan biakan, − Dari forniks posterior: dengan sengkelit/ swab Dacron™ steril untuk pembuatan sediaan basah, dan lakukan tes amin − Dari dinding vagina: dengan kapas lidi/ sengkelit steril untuk sediaan hapus, − Dari uretra: dengan sengkelit steril untuk sediaan hapus
14
6. Cara melepaskan spekulum: kunci spekulum dilepaskan, sehingga spekulum dalam posisi tertutup, putar spekulum 90 O sehingga daun spekulum dalam posisi tegak, dan keluarkan spekulum perlahan-lahan. Pada pasien perempuan berstatus belum menikah tidak dilakukan pemeriksaan dengan spekulum, karena akan merusak selaput daranya sehingga bahan pemeriksaan hanya diambil dengan sengkelit steril dari vagina dan uretra. Untuk pasien perempuan yang belum menikah namun sudah aktif berhubungan seksual, diperlukan informed consent sebelum melakukan pemeriksaan dengan spekulum. Namun bila pasien menolak pemeriksaan dengan spekulum, pasien ditangani menggunakan bagan alur tanpa spekulum.
2.6.4 Pemeriksaan Penunjang
Preparat basah (NaCl 0,9%) Pemeriksaan ini dengan mengambil hapusan dari forniks posterior vagina
kemudian dicampur dengan NaCl pada kaca obyek. Pada mikroskop dilihat adanya pergerakan Trichomonas, PMN, leukosit, dan epitel vagina. Sediaan tidak boleh ditunda pemeriksaannya karena jika sediaan kering akan tampak perubahan pada hasilnya. Misalnya Trichomonas vaginalis tidak bergerak dan sulit untuk membedakannya dari leukosit. Pada pembesaran 10x untuk menghitung leukosit, sel epitel, dan pergerakan Trichomonas vaginalis dan pesudohifa. Pada pembesaran yang lebih dapat dilihat adanya clue cells, Trichomonas vaginalis, dan blastospora. Jika ditemukan ≥ 1 Trichomonas vaginalis dengan bentuk layang-layang dan bergerak dinyatakan positif sebagai trichomoniasis.
Preparat KOH 10% Pada KOH akan terjadi pelarutan sel epitel sehingga hifa akan lebih
terlihat. Blastospora juga dapat terlihat. Jika ditemukan ≥ 1 atau blastospora dengan pseudohifa dikatakan positif candidiasis vulvovaginalis.
Pengecatan gram Dengan mengusapkan cairan serviks dan vagina pada object glass
kemudian diwarnai. Pengecatan gram dilakukan untuk menilai jumlah PMN, sel epitel, Candida (pseudohifa dan blastospora), dan diplokokus gram negatif. Pada hapusan dari serviks yang mengandung ≥ 1 PMN dan terdapat bakteri gram negatif diplokokus dengan bentuk yang tipikal, ≥ 5 PMN/lapangan pandang dinyatakan sebagai infeksi gonococcal. Hapusan vagina dinyatakan positif jika 15
ditemukan pesudohifa candida atau blastospora sedangkan vaginosis bakterialis ditemukan morfologi lactobacil.
Whiff test (Amin test) Pada akhir pemeriksaan in spekulo, lepaskan spekulum perlahan dan
cairan akan menempel pada spekulum dan beri KOH 10%. Pada pemeriksaan akan tampak adanya bau amis atau bau asam amino.
pH cairan Vagina
pH cairan vagina dapat diukur dengan menggunakan kertas indikator pH. Pengecekan pH harus berhati-hati untuk mengurangi kontak dengan mukosa servik yang memiliki pH tinggi.
Kultur bakteri
Untuk melihat adanya bakteri aerob dan anaerob yang menyebabkan infeksi.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Digunakan untuk mengidentifikasi mikroorganisme yang menyebabkan infeksi.
2.7 Tatalaksana 2.7.1 Kriteria Obat untuk IMS − Angka kesembuhan/ kemanjuran tinggi (sekurang- kurangnya 95% di wilayah tersebut) − Harga murah − Toksisitas dan toleransi masih dapat diterima − Pemberian dalam dosis tunggal − Cara pemberian per oral − Tidak menjadi kontra indikasi untuk ibu hamil atau menyusui. 2.7.2 DUH TUBUH VAGINA Keluhan duh tubuh vagina abnormal biasanya disebabkan oleh radang vagina,
tetapi
dapat
pula
akibat
radang
serviks
yang
muko-purulen.
Trikomoniasis, kandidiasis dan vaginosis bakterial merupakan keadaan yang paling sering menimbulkan infeksi vagina sedangkan N.gonorrhoeae dan C.trachomatis sering menyebabkan radang serviks. Deteksi infeksi serviks berdasarkan gejala klinis sulit dilakukan, karena sebagian besar wanita dengan gonore atau klamidiosis tidak merasakan keluhan atau gejala (asimtomatis). Gejala duh tubuh vagina abnormal merupakan petunjuk kuat untuk infeksi vagina, namun merupakan petanda lemah untuk infeksi serviks. Jadi semua
16
wanita yang menunjukkan tanda-tanda duh tubuh vagina agar diobati juga untuk trikomoniasis dan vaginosis bakterial. Di antara wanita dengan gejala duh tubuh vagina, perlu dicari mereka yang
cenderung
lebih
mudah
terinfeksi
oleh
N.gonorrhoeae
dan
atau
C.trachomatis. Pada kelompok tersebut, akan lebih bermanfaat bila dilakukan pengkajian status risiko, terutama bila faktor risiko tersebut telah disesuaikan dengan pola epidemiologis setempat. Pemeriksaan secara mikroskopik hanya sedikit membantu diagnosis infeksi serviks, karena hasil pemeriksaan yang negatif sering menunjukkan hasil yang negatif palsu. Untuk keadaan ini perlu dilakukan kultur/ biakan kuman. Makin tinggi prevalensi gonore dan atau klamidiosis, maka akan lebih meyakinkan kita untuk memberikan pengobatan terhadap infeksi serviks. Wanita dengan faktor risiko lebih cenderung menunjukkan infeksi serviks dibandingkan dengan mereka yang tidak berisiko. Wanita dengan duh tubuh vagina disertai faktor risiko perlu dipertimbangkan untuk diobati sebagai servisitis yang disebabkan oleh gonore dan klamidiosis.
17
TATALAKSANA DUH TUBUH VAGINA DENGAN PENDEKATAN SINDROM
18
TATALAKSANA DUH TUBUH VAGINA DENGAN PEMERIKSAAN INSPEKULO
19
TATALAKSANA DUH TUBUH VAGINA DENGAN PEMERIKSAAN INSPEKULO & MIKROSKOP 20
2.7.3 Duh Tubuh Uretra Pasien laki-laki yang datang dengan keluhan duh tubuh uretra dan atau nyeri pada saat kencing agar diperiksa terlebih dulu ada tidaknya duh tubuh. 21
Bilamana tidak tampak duh tubuh, agar dilakukan milking, yaitu pengurutan uretra mulai dari pangkal penis ke arah muara uretra. Bila masih belum terlihat, dianjurkan untuk tidak kencing sekurang-kurangnya 3 jam sebelum diperiksa. Pada pemeriksaan dengan pendekatan sindrom tanpa tanpa sarana laboratorium, dapat digunakan bagan D UH TUBUH URETRA PADA LAKI-LAKI DENGAN PENDEKATAN SINDROM. Bila tersedia mikroskop, pemeriksaan terhadap sediaan hapusan uretra, dapat
dilihat
peningkatan
jumlah
leukosit
polimorfonuklear
dan
dengan
pengecatan Gram dapat terlihat kuman diplokokus negatif-Gram intrasel. Pada laki-laki, bila ditemukan lebih dari atau sama 5 leukosit polimorfonuklear per lapangan pandang dengan pembesaran tinggi (X 1000), merupakan indikasi terdapat ureteritis (radang saluran kemih). Pada fasilitas kesehatan yang memiliki alat bantu mikroskop atau sarana laboratorium, maka dapat digunakan bagan alur D UH TUBUH URETRA LAKI-LAKI DENGAN MIKROSKOP.
22
DUH TUBUH URETRA LAKI-LAKI DENGAN PENDEKATAN SINDROM
23
DUH TUBUH URETRA LAKI-LAKI DENGAN PEMERIKSAAN MIKROSKOP
24
PENGOBATAN DUH TUBUH URETRA PERSISTEN Gejala ureteritis yang menetap (setelah pengobatan satu periode selesai) atau rekuren (setelah dinyatakan sembuh, dan muncul lagi dalam waktu 1 minggu tanpa hubungan seksual), kemungkinan disebabkan oleh resistensi obat, atau sebagai akibat kekurang-patuhan minum obat, atau reinfeksi. Namun pada beberapa kasus hal ini mungkin akibat infeksi oleh Trichomonas vaginalis (Tv). Sebagai protozoa diperkirakan bahwa Tv memakan kuman gonokok tersebut (fagositosis), sehingga kuman gonokok tersebut terhindar dari pengaruh pengobatan.
Setelah
Tv
mati
maka
kuman
gonokok
tersebut
kembali
melepaskan diri dan berkembang biak. Ada temuan baru yang menunjukkan bahwa di daerah tertentu bisa dijumpai prevalensi Tv yang tinggi pada laki-laki dengan keluhan duh tubuh uretra. Bilamana gejala duh tubuh tetap ada atau timbul gejala kambuhan setelah
pemberian
pengobatan
secara
benar
terhadap
gonore
maupun
klamidiosis pada kasus indeks dan pasangan seksualnya, maka pasien tersebut harus diobati untuk infeksi Tv. Hal ini hanya dilakukan bila ditunjang oleh data epidemiologis
setempat.
Bilamana
simtom
tersebut
masih
ada
sesudah
pengobatan Tv, maka pasien tersebut harus dirujuk. Sampai saat ini data epidemiologi trikomoniasis pada pria di Indonesia sangat sedikit, oleh karena itu bila gejala duh tubuh uretra masih ada setelah pemberian terapi awal sebaiknya penderita dirujuk pada tempat dengan fasilitas laboratorium yang lengkap.
2.8 PENCEGAHAN Beberapa pesan edukasi IMS yang perlu disampaikan: 25
1. Mengobati sendiri cukup berbahaya 2. IMS umumnya ditularkan melalui hubungan seksual. 3. IMS adalah ko-faktor atau faktor risiko dalam penularan HIV. 4. IMS harus diobati secara paripurna dan tuntas. 5. Kondom dapat melindungi diri dari infeksi IMS dan HIV. 6. Tidak dikenal adanya pencegahan primer terhadap IMS dengan obat. 7. Komplikasi IMS dapat membahayakan pasien.
Menjelaskan pilihan perilaku seksual yang aman Cara ABCD A = Abstinence
(tidak melakukan hubungan seksual untuk
B = Be faithful C = Condom
sementara waktu) (setia pada pasangan) (gunakan kondom bila tidak mau melaksanakan A dan B, termasuk menggunakan kondom sebelum
D = no Drugs
IMS yang dideritanya sembuh) Tidak menggunakan obat psikotropik atau zat adiktif lainnya
Penggunaan Kondom PRIA − Jangan pernah menggunakan pelumas dari bahan minyak, misalnya petreolum jelly yang dapat merusak kondom lateks. Pelumas dengan bahan dasar air lebih aman, misalnya gliserin, K-Y jelly atau busa spermisidal. − Jangan memakai ulang kondom bekas pakai. − Kondom harus disimpan di tempat yang sejuk, gelap dan kering. Jangan menyimpan kondom di dompet, sebab dompet terlalu panas untuk menyimpan kondom dalam waktu yang lama
26
Kondom perempuan Kondom wanita saat ini telah dikenal, meskipun belum banyak tersedia. Ada 2 jenis kondom perempuan, yang memiliki 2 ujung cincin (ring), dan yang memiliki 1 ujung cincin dan 1 lagi ujungnya berupa spons (busa). Beberapa alasan yang mendasari penggunaan kondom wanita sebagai alat pencegahan IMS dan kehamilan: − Kondom wanita dapat dipasang 8 jam sebelum berhubungan seksual − Umumnya terbuat dari polyurethrane, bukan lateks, sehingga dapat digunakan bersama dengan lubrikan berbahan dasar minyak. Lagi pula sudah cukup licin, dan sering tidak memerlukan tambahan pelicin − Penggunaannya dapat dikendalikan oleh wanita Cara pemasangan kondom perempuan 1 ring dengan spons
27
Posisi yang nyaman saat memasang kondom wanita
BAB III LAPORAN KASUS Nama : Ny. J.K. Umur : 29 tahun Alamat
: Ale-ale
No. HP
: 082238386946
Suku : Yahokimo Agama
: Kristen Protestan
Status perkawinan : Kawin Pendidikan terakhir : SD Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga 28
Anak Kandung
: 1 orang, usia 3 tahun
Nama ibu kandung : Ny. H.A. Tanggal Pemeriksaan
: 16 Februari 2017
Anamnesis : Keputihan sejak 4 hari yang lalu. Keputihan berwarna kuning, kental, dan berbau amis. Keputihan keluar sepanjang hari. Keputihan tidak disertai darah maupun nyeri saat berhubungan. Rasa gatal pada kelamin disangkal. Bintil atau borok pada kemaluan tidak ada. Keluhan disertai dengan adanya rasa nyeri maupun rasa seperti terbakar ketika kencing. Kencing sedikit-sedikit dan tidak lampias. Demam disangkal. Nyeri perut disangkal. Nyeri punggung disangkal. Riwayat penyakit dahulu : keputihan (+) 1 tahun yg lalu, HIV (-). DM (-) Usaha berobat
: belum berobat
Status kehamilan
: Tidak tahu
Riwayat KB
: KB suntik 3 bulan, terakhir suntik Agustus 2016.
HPHT
: Belum mens semenjak suntik KB terakhir (Agustus 2016)
Hubungan seks terakhir
: 7 hari yang lalu
Jumlah pasangan seks 1 minggu terakhir : 1 orang (suami) Cara hubungan seks
: vaginal
Penggunaan kondom
: tidak pernah
Riwayat penggunaan narkotika : tidak ada Riwayat pasangan : sering bepergian keluar kota (+), kemungkinan bergantiganti pasangan (+),
riwayat IMS (+), riwayat HIV (-),
penggunaan narkotika (-) Pemeriksaan Fisik Keadaan umum Kesadaran
: kesan sakit ringan
: Compos Mentis
Tekanan Darah
: 120/70 mmHg
Nadi
: 88x/menit, regular, equal, isi cukup
Respirasi
: 22x/menit
Suhu
: 36.5oC
Status Generalis 29
Mata : conjunctiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupil bulat, isokor, diameter 3-4 mm, RC +/+ THT
: rhinorrhea -/-, otorrhea -/-, faring tidak hiperemis, T1/T1, ulkus (-)
Leher : Trakea letak sentral, KGB tidak teraba Thoraks : Pulmo
: VBS ki=ka, rhonki -/-, wheezing -/-
Cor : Bunyi jantung murni, S1 S2, regular, murmur (-) Abdomen : cembung, soepel, tympani, Bising usus (+) Normal. Genital
: lihat status venerologikus
Extremitas : Akral hangat, CRT < 2”, edema (-). Xerosis (-). Status Venerologikus Mons Pubis : erosi (-) lesi (-) Vulva
: hiperemis (-) eritema (-) benjolan (-) pruritus (-) vegetasi (-) ulkus
(-) Ostium Vagina Uretra
: dbn
Perineum
: dbn
Perianal
: dbn
: sekret kuning mukopurulen (+)
KGB inguinal : tidak teraba Inspekulo Serviks
: hiperemis (+) erosi (-) perdarahan (-) folikel (-)
Ostium Uterus
: perdarahan (-) sekret (+)kuning mukopurulen (+)
Vagina
: hiperemis (+), sekret kuning mukopurulen (+). Ulkus (-)
Vegetasi (-) erosi (-) Diagnosis Kerja
: Fluor Albus ec Servisitis & Vaginitis + ISK
Tatalaksana : Cefixime 400 mg po SD + Azitromycin 1000 mg po SD + Metronidazole 2x500 mg selama 7 hari Usulan Pemeriksaan : pemeriksaan duh tubuh + HIV Hasil lab 18 Februari 2017 PMN Uretra/Serviks
: Positif (+)
Diplokokus intrasel Uretra/Serviks
: Negatif (-)
Trichomonas vaginalis
: Negatif (-) 30
Candida sp.
: Positif (+)
pH
: 4.8 (positif)
Sniff Test
: Positif (+)
Clue cells
: Positif (+)
VDRL
: Negatif (-)
HIV
: Indeterminate (positif 2)
Diagnosis Kerja
: Servisitis non spesifik + Kandidiasis vaginalis + Bakterial
vaginosis Tatalaksana : Nystatin 100.000 IU intravaginal 1x1 selama 7 hari + Metronidazole 2x500 selama 7 hari Rencana
: Kontrol 25 Februari 2017 (1 minggu), ulang tes HIV dalam 1 bulan.
KIE pasangan agar datang berobat juga.
BAB IV PEMBAHASAN Pasien datang dengan keluhan keputihan sejak 4 hari, dan keputihan berwarna kuning, kental, dan berbau amis. Pasien termasuk dalam pasien risiko tinggi karena memiliki pasangan seksual yang berisiko tinggi terinfeksi IMS. Dalam mencari etiologi keputihan, karakteristik sekret dapat menjadi petunjuk. Sekret yang mukopurulen mengarah pada adanya infeksi bakteri, terutama gonore, karena pasien termasuk pasien risiko tinggi. Pasien juga mengeluhkan adanya gejala ISK yang sering menyertai infeksi gonore. Pada waktu pasien 31
datang, fasilitas laboratorium sudah tidak tersedia (siang hari), maka digunakan tatalaksana dengan pendekatan inspekulo, yaitu diobati untuk cervicitis gonore, non gonore, dan trikomoniasis. Pasien datang 2 hari kemudian untuk diperiksa laboratorium (duh tubuh, sifilis, dan HIV). Pada pemeriksaan duh tubuh didapatkan hasil positif untuk PMN serviks, infeksi Candida, dan Bacterial Vaginosis. Hasil pemeriksaan bakteri Gonore dan Trichomoniasis negatif, karena sudah diberikan tatalaksana jadi kemungkinan bakterinya sudah berkurang atau sudah tidak ada (dapat dilakukan kultur/biakan untuk mencari bakteri). Hasil tes HIV pasien indeterminate (positive 2), dan disarankan untuk mengulang tes dalam 1 bulan karena pasien berisiko tinggi. Hasil tes indeterminate dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya titer yang belum cukup. Pengobatan yang dipilih pada pasien ini bukanlah yang single dose karena penulis menilai pendidikan pasien yang rendah, jadi akan lebih mudah untuk mengedukasi pasien untuk datang kontrol kembali ketika obat habis. Jika pasien diberikan pengobatan single dose untuk semua penyakitnya maka penulis berasumsi pasien tidak akan datang kontrol karena merasa sudah sembuh. Edukasi diberikan kepada pasien untuk menjaga kebersihan alat kelamin serta untuk memakai kondom sebagai alat proteksi diri dari IMS. Pasangan pasien juga disarankan untuk turut berobat.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan: − Keputihan pada wanita harus dibedakan apakah fisiologis atau patologis, dan keputihan yang patologis harus dibedakan apakah termasuk IMS atau bukan.
32
− IMS merupakan pintu gerbang masuknya infeksi HIV, maka perlu dilakukan konseling & ditawarkan pemeriksaan HIV pada setiap pasien IMS (dilakukan PITC/ Provider-Initiated Test and Counselling) − Pengobatan IMS dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih dengan menggunakan
pendekatan
sindroma
jika
tidak
terdapat
fasilitas
laboratorium maupun alat pemeriksaan − Pengobatan IMS harus memperhatikan hal-hal : Angka kesembuhan/ kemanjuran tinggi (sekurang- kurangnya 95% di wilayah tersebut), harga murah, toksisitas dan toleransi masih dapat diterima, pemberian dalam dosis tunggal, cara pemberian per oral, tidak menjadi kontra indikasi untuk ibu hamil atau menyusui. − Pencegahan IMS
dan HIV dapat dilakukan dengan prinsip ABCDE
(Abstinence, Be Faithful, Condom, no Drugs, Education) Saran: − Dilakukan pemeriksaan urin pada pasien ini − Pemeriksaan laboratorium di Puskesmas
Waena
sebaikanya
dapat
dilakukan sampai siang − Pada pasien-pasien IMS terutama wanita harus ditanyakan riwayat kawin (berapa kali & berapa lama), usia saat berhubungan seksual pertama kali, riwayat penggunaan KB hormonal berapa lama) karena berhubungan dengan risiko kanker serviks. Semakin muda usia saat berhubungan seks pertama
kali
dan
adanya
penggunaan
KB
hormonal
>
5
tahun
menunjukkan peningkatan risiko terhadap kanker serviksa dan harus ditawarkan skrining dengan IVA test.
33
DAFTAR PUSTAKA 1. Edward W. Hook, Handsfield HH. Gonococcal Infections in the Adult. In: Klaus Wolff, Lowell A Goldsmith, Stephen I Katz, Barbara A Gilchrest, Amy S Paller, Leffell DJ, editors. Sexually Transmitted Disease. 4 ed. New York: McGraw Hill; 2008. p. 627-46. 2. Gerberding JL. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines. Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention (CDC), U.S. Department of Health and Human Services; 2006. 3. Monalisa; Bubakar, AR; et al.2012. Clinical Aspects Fluor Albus Of Female And Treatment. Indian Journal of Dermatology, Venerology, and Leprology. Vol 1(1):19-29. 4. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual. 2015. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 5. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. 2011. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 6. Sobel JD. Vulvovaginal Candidiasis. In: King K Holmes, P Frederick Sparling, Walter E Stamm, Peter Piot, Judith N Wasserheit, Lawrence Corey, et al., editors. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw Hill; 2008. p. 823-38. 7. Sharon Hillier, Jeanne Marrazzo, Holmes KK. Bacterial Vaginosis. In: King K Holmes, P Frederick Sparling, Walter E Stamm, Peter Piot, Judith N Wasserheit, Lawrence Corey, et al., editors. Sexually Transmitted Disease. 4 ed. New York: McGraw Hill; 2008. p. 737-68.
34
View more...
Comments