laporan kasus DM

September 3, 2017 | Author: Rizki Yanies | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

laporan kasus DM tipe 2 d puskesmas kesunean...

Description

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Kebanyakan lanjut usia (lansia) memiliki satu atau lebih keadaan atau ketidakmampuan fisik yang kronis. Masalah kesehatan kronik yang paling sering

terjadi

pada

lansia

adalah

artritis,

hipertensi,

gangguan

pendengaran, penyakit jantung, katarak, deformitas atau kelemahan ortopedik, sinusitis kronik, diabetes, gangguan penglihatan, varicose vein (Sadock, 2007). Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia (meningkatanya kadar gula darah) yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (Sudoyo, 2009). Menurut data World Health Organization (WHO), diperkirakan pada tahun 2000, terdapat 171 juta orang pasien diabetes melitus, dan diperkirakan pada tahun 2030, angka tersebut akan meningkat menjadi 366 juta orang. Data menunjukkan pada tahun 1995, Indonesia berada di tempat ke tujuh dalam 10 negara untuk estimasih jumlah orang dewasa dengan diabetes dengan jumlah 4.5 juta orang (Gupta dan Phatak, 2003). Namun, pada tahun 2000, jumlah ini meningkat pada 8,4 juta orang dan menyebabkan Indonesia meningkat menjadi turutan yang ke empat. Sedangkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat diabetes melitus pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%. Di daerah pedesaan, diabetes melitus menduduki ranking ke6 yaitu 5,8% (Sudoyo, 2009). Diabetes Mellitus (DM) dapat dibagi menjadi, diabetes mellitus tipe I, diabetes mellitus tipe II, diabetes gestasional dan diabetes dengan tipe spesifik lain. Diabetes tipe I adalah disebabkan sel beta pankreas yang dirosakkan secara permanen akibat proses autoimun. Diabetes mellitus tipe

2

II mempunyai prevalensi yang lebih tinggi dan merupakan akibat dari resistensi insulin. Diabetes gestasional pula merupakan diabetes yang didapat sewaktu mengandung dan yang terakhir adalah diabetes dengan tipe spesifik yang lain. Diabetes ini terjadi akibat sekunder dari penyakitpenyakit lain, contohnya sindrom Cushing’s, pankreatitis dan akromegali (Sudoyo, 2009). Gejala khas awal yang harus diwaspadai adalah poliuria (peningkatan frekuensi kencing di malam hari), polidipsi (banyak minum), polifagia(banyak makan) yang ketiga tersebut menjadi 3P, dan penurunan berat badan secara cepat. Gejala lain yang juga dapat timbul yaitu rasa kesemutan, mudah lelah, dan luka yang sukar sembuh. Kondisi yang dapat ditimbulkan oleh diabetes mellitus dalam kondisi kronik antara lain adalah gagal ginjal, penyakit jantung, stroke, dan kerusakan mata (katarak atau kerusakan retina). Kondisi akut yang dapat muncul pula adalah seperti penurunan kesadaran mendadak, baik karena gula darah yang sangat tinggi atau sangat rendah. Risiko gangguan tersebut dapat menurun jika diabetes dapat dikontrol dengan baik (Bainbridge et al, 2008). Pasien diabetes yang tidak dapat mengendalikan penyakitnya dapat menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan nyawa. Sebanyak 50% pasien diabetes mengalami kematian, atau dapat pula bertahan hidup dengan komplikasi berupa kaki diabetes dengan atau tanpa amputasi 14,8%, kebutaan 1-2%, ginjal diabetes 20% dengan keharusan cuci darah serta gangguan syaraf tepi, dan impoten (Boedisantoso, 1997). Salah satu cara untuk mencegah komplikasi tersebut adalah memberikan pengetahuan awal tentang upaya pencegahan sekunder pada pasien DM. Pengetahuan pasien tentang DM ini dapat membantu mereka untuk menjalankan penanganan diabetes seperti minum obat, olahraga teratur, diet makanan rendah karbohidrat dan lemak serta harus rajin mengkonsumsi sayur dan buah sehingga mereka mengerti tentang penyakitnya dan dapat mengubah perilakunya (Waspadji, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Manoel di Brazil (2007) mengungkapkan bahwa 78,05 % pasien DM memiliki pengetahuan yang

3

baik tentang penyakit DM, namun sikap pasien terkadang acuh tak acuh terhadap penyakitnya. Survei awal yang dilakukan di Puskesmas Kesunean terhadap pasien DM, bahwa pasien dengan pengetahuan yang cukup mengenai penyakitnya dengan sikap merespon terhadap upaya pencegahan sekunder DM dan tak jarang pula yang lainnya mempunyai pengetahuannya cukup baik tetapi sikap yang ditimbulkan kurang memperhatikan dan kurang merespon penyakitnya. Sedangkan hasil survei yang kami lakukan menyatakan bahwa pengetahuan yang dimiliki pasien DM cukup baik dan mempunyai sikap yang memperhatikan terhadap penyakitnya namun kebanyakan dari mereka penyakit DM yang diderita sudah sampai dengan komplikasi DM. Hasil dari survei ini disimpulkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap yang dimiliki pasien DM (Notoatmodjo, 2007) Berdasarkan

fenomena

diatas,

penulis

berminat

untuk

mengidentifikasi lebih jauh keterkaitan antara tingkat pengetahuan dan sikap dengan perilaku terhadap upaya pencegahan sekunder pasien DM, karena perubahan perilaku atau mengadopsi perilaku baru mengikuti tahap-tahapan melalui proses perubahan: pengetahuan, sikap dan praktek (Notoatmodjo, 2007)

1.2

Tujuan Tujuan Umum Mengetahui mengenai penyakit Diabetes Mellitus Tipe II yang terjadi pada geriatri khususnya di Puskesmas Kesunean Cirebon.

Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui dan memahami mengenai komplikasi dari penyakit Diabetes Mellitus Tipe II pada lanjut usia (Lansia). 2. Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan penyakit Diabetes Mellitus Tipe II yang terjadi pada lanjut usia (Lansia). 3. Untuk mengetahui aspek kemandirian pasien pada penyakit Diabetes Mellitus Tipe II dalam merawat dirinya sendiri.

4

4. Untuk mengetahui peran aktif keluarga dalam perawatan pasien penyakit Diabetes Mellitus Tipe II.

1.3

Manfaat 1. Bagi Mahasiswa Dengan adanya makalah ini diharapakan teman-teman mahasiswa dapat mengetahui dan memahami mengenai penyakit Diabetes Mellitus Tipe II yang terjadi pada geriatri.

2. Bagi Penulis Dengan makalah ini diharapkan penulis dapat menerapkan dan lebih memahami ilmu penyakit Diabetes Mellitus Tipe II pada geriatri. Penulis juga dapat mengobservasi atau mengintervensi secara langsung baik antara teori dengan praktek klinis sehari-hari.

3. Bagi Institusi Dengan makalah ini diharapkan penulis dapat memberikan wawasan dan keilmuan serta tambahan informasih secara klinik untuk dijadikan bahan referensi bagi institusi Kedokteran.

4. Bagi Puskesmas Dengan makalah ini diharapkan penulis dapat memberikan tambahan informasih mengenai penatalaksanaan secara teori dalam materi dengan praktek klinis sehari-hari bagi Puskesmas.

5

BAB II LANDASAN TEORI

2.1

Pengertian Lanjut Usia Menjadi tua bukanlah suatu penyakit atau sakit, tetapi suatu proses perubahan di mana kepekaan bertambah atau batas kemampuan beradaptasi menjadi berkurang yang sering dikenal dengan geriatri giant, dimana lansia akan mengalami 13 gejala yaitu: imobilisasi, instabilisasi (mudah jatuh), intelektualisia, impotensia, imunodefisiensi, infeksi, mudah terjadi impaksi (konstipasi), iatrogenik, insomnia, gangguan pada (impairment of) penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman, komunikasi dan integritas kulit, inaniation (malnutrisi). Klasifikasi pada lansia menurut Darmojo (2004) adalah paralansia yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun, lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, lansia risiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan. Tujuan hidup manusia adalah menjadi tua tetapi tetap sehat (healthy aging). Healthy aging dipengaruhi oleh faktor (Darmojo, 2004): 1.

Endogenic aging yang dimulai dengan cellular aging, lewat tissue dan anatomical aging ke arah proses menuanya organ tubuh. Proses ini seperti jam yang berputar.

2.

Exogenic factor, yang dapat dibagi dalam lingkungan dimana seseorang hidup dan faktor sosiobudaya yaitu gaya hidup (life style). Faktor exogenic aging sekarang lebih dikenal dengan sebutan faktor risiko. Healthy aging di bidang kesehatan dengan cara peningkatan mutu

(promosi) kesehatan, pencegahan penyakit

(prevensi), pengobatan

penyakit (kuratif), pemulihan kesehatan (rehabilitasi) sehingga keadaan patologik pun dapat disembuhkan agar menjadi healthy aging (Darmojo, 2004).

6

Menua didefinisikan sebagai proses yang mengubah individu dewasa sehat menjadi seorang yang ‘frail’ (lemah, rentan) dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian secara eksponensial. Menua juga didefinisikan sebagai penurunan seiring waktu yang terjadi pada sebagian besar mahluk hidup, yang berupa kelemahan, meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan perubahan lingkungan, hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta perubahan fisiologis yang terkait usia (Sudoyo, 2009). Terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh gerontolog ketika membicarakan proses menua (Sudoyo, 2009): 1.

Aging (bertambahnya umur): menunjukan efek waktu, suatu proses perubahan, biasanya bertahap dan spontan.

2.

Senescence (menjadi tua): hilangnya kemampuan sel untuk membelah dan berkembang dan seiring waktu akan menyebabkan kematian.

3.

Homeostenosis:

penyempitan

atau

berkurangnya

cadangan

homeostatis yang terjadi selama penuaan pada setiap sistem organ. Istilah aging yang hanya menunjukan efek waktu, dianggap tidak mewakili apa yang terjadi pada proses menua. Sebab berbagai proses yang terjadi seiring waktu, seperti perkembangan, istilah yang sering digunakan dalam di bidang pediatrik, dapat di sebut aging. Aging merupakan proses yang terus berlangsung yang di mulai dengan perkembangan yaitu proses generatif seiring waktu yang dibutuhkan untuk kehidupan, dan dilanjutkan dengan senescence yaitu proses degeneratif yang inkompatibel dengan kehidupan. Istilah senescence juga digunakan untuk menggambarkan turunnya fungsi efisien suatu organisme sejalan dengan penuaan dan meningkatnya kemungkinan kematian. Membedakan antara aging dan senescence dianggap perlu, karena banyak perubahan selama aging mungkin tidak merusak dan mungkin suatu perubahan yang diharapkan. Sebagai contoh, kebijakan yang meningkat seiring usia tidak dianggap sebagai senescence melainkan suatu aging, walaupun hal itu merupakan bagian dari proses menua. Sebaliknya, gangguan memori yang terjadi selama aging merupakan manifestasi senescence. Sementara konsep

7

homeostenosis menunjukan bahwa seiring dengan bertambahnya usia maka makin kecil kapasitas seorang tua untuk membawa dirinya ke keadaan homeostatis setelah terjadinya suatu tantangan adalah kondisi atau perubahan yang mengganggu homeostenosis (Sudoyo, 2009). Beberapa istilah lain yang perlu dikemukakan terkait dengan proses menua adalah gerontologi, geriatri, dan longetivty. Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari proses menua dan semua aspek biologi, sosiologi, dan sejarah yang terkait dengan penuaan. Geriatri menunjukan pada pemberian pelayanan kesehatan untuk usia lanjut. Geriatri merupakan cabang ilmu kedokteran yang mengobati kondisi dan penyakit yang dikaitkan dengan proses menua dan usia lanjut. Pasien geriatri adalah pasien usia lanjut dengan multipatologi atau penyakit ganda. Sementara longevity merujuk pada lama hidup seorang individu. Dua aspek longevity adalah mean longevity dan maximum longevity. Mean longevity merupakan longevity rata-rata suatu, disebut pula usia harapan hidup (life expectancy). Mean longevity dihitung berdasarkan penjumlahan umur semua anggota populasi saat meninggal dibagi jumlah anggota populasi tersebut. Maximum longevity (life span) merupakan usia saat meninggal dari anggota populasi yang hidup paling lama. Pada manusia, maximum longevity diyakini sekitar 110120 tahun (Sudoyo, 2009).

2.2

Masalah-masalah Yang Dialami atau Terjadi Pada Pasien Lansia Dewasa akhir (late adulthood) atau lanjut usia, biasanya merujuk pada tahap siklus kehidupan yang dimulai pada usia 65 tahun. Ahli gerontologi membagi lanjut usia menjadi dua kelompok: young-old, berusia 65-74 tahun; dan old-old, berusia 75 tahun ke atas. Kadang-kadang digunakan istilah oldest old untuk merujuk pada orang-orang yang berusia 85 tahun ke atas (Sadock, 2007). Idealnya seorang lansia dapat menjalani proses menua secara normal sehingga dapat menikmati kehidupan yang bahagia dan mandiri. Penuaan yang sukses merupakan suatu kombinasi dari tiga komponen: (1) penghindaran dari penyakit dan ketidakmampuan; (2) pemeliharaan

8

kapasitas fisik dan kognitif yang tinggi di tahun-tahun berikutnya; dan (3) keterlibatan secara aktif dalam kehidupan yang berkelanjutan (Hoyer dan Roodin, 2003). Masalah-masalah yang berhubungan dengan usia lanjut adalah masalah kesehatan baik kesehatan fisik maupun mental, masalah sosial, masalah ekonomi, dan masalah psikologis. Banyak orang menghadapi proses penuaan dengan keprihatinan. Di banyak negara, penuaan dikaitkan dengan ketidakmampuan, defisit kognitif, dan kesendirian. Proses menua merupakan sebuah waktu untuk berbagai kehilangan: kehilangan peran sosial akibat pensiun, kehilangan mata pencaharian, kehilangan teman dan keluarga (Hoyer dan Roodin, 2003). Ketika manusia semakin tua, mereka cenderung untuk mengalami masalah-masalah kesehatan yang lebih menetap dan berpotensi untuk menimbulkan ketidakmampuan. Kebanyakan lansia memiliki satu atau lebih keadaan atau ketidakmampuan fisik yang kronis. Masalah kesehatan kronik yang paling sering terjadi pada lansia adalah artritis, hipertensi, gangguan pendengaran, penyakit jantung, katarak, deformitas atau kelemahan ortopedik, sinusitis kronik, diabetes, gangguan penglihatan, varicose vein (Sadock, 2007). Ketidakmampuan fungsional yang merupakan akibat dari beberapa penyakit medis yang terjadi bersama-sama dan ketidakmampuan ortopedik dan neurologik pada lansia merupakan suatu kehilangan yang besar. Ketidakmampuan fisik tampaknya membawa jumlah kejadian hidup negatif yang lebih tinggi. Ketidakmampuan fisik dapat menyebabkan keterbatasan untuk melakukan aktivitas sosial atau aktivitas di waktu luang (leisure activities) yang bermakna, isolasi, dan berkurangnya kualitas dukungan sosial. Berbagai kehilangan dan kejadian hidup yang merugikan merupakan penentu utama penyakit-penyakit psikiatrik pada lansia. Kehilangan teman-teman dan orang-orang yang dicintai menyebabkan terjadinya isolasi sosial. Kehilangan anak atau yang lebih sering kehilangan pasangan

9

merupakan faktor risiko penting untuk depresi mayor, hipokondriasis, dan penurunan fungsi. Lansia lebih mudah untuk mengalami isolasi sosial. Lansia memiliki jaringan dukungan sosial yang lebih kecil daripada orang yang lebih muda, dan jaringan ini didominasi oleh sanak saudara (Hoyer dan Roodin, 2003). Pengunduran diri/pensiun atau kehilangan fungsi utama di rumah, terutama ketika hal tersebut tidak direncanakan atau diinginkan, berhubungan dengan kelesuan, involusi (degenerasi progresif), dan depresi. Pensiun berhubungan dengan pengurangan pendapatan personal sebesar sepertiga sampai setengahnya. Perubahan peran akan berdampak langsung pada penghargaan diri. Pensiun juga akan menyebabkan perubahan gaya hidup pada pasangannya dan menyebabkan beberapa adaptasi dalam hubungan mereka. Sekitar 15% lansia mengalami kesulitan-kesulitan besar dalam penyesuaian diri terhadap pensiun. Hal-hal di atas menyebabkan lansia menjadi lebih rentan untuk mengalami masalah kesehatan mental. Gangguan yang sering terjadi meliputi

depresi,

kecemasan,

alkoholisme,

dan

gangguan

dalam

penyesuaian terhadap kehilangan atau disabilitas fungsional (Hoyer dan Roodin, 2003).

2.3

Praktek Belajar Lapangan 1) Waktu pelaksanaan PBL diselenggarakan mulai pada minggu ketiga sampai kelima pelaksanaan blok yaitu: pada tanggal 9 April 2013 – 26 April 2013 setiap hari selasa dan jumat sesuai jadwal skill lab. 2) Jenis kegiatan a. Pembekalan dari Dinas Kesehatan Kota Cirebon b. Praktek belajar lapangan Mahasiswa dibagi untuk ditempatkan pada beberapa kegiatan Puskesmas secara bergantian yaitu: 1. Pendaftaran 2. Poli umum

10

3. KIA 4. Klinik Konseling 5. Farmasi 6. Posyandu Lansia 7. Home Vissit Lansia 8. Pusling c. Tempat pelaksanaan Di UPTD Puskesmas Kesunean d. Peserta Mahasiswa Fakultas Kedokteran Unswagati Cirebon pada blok 264 mengenai Adulthood and Ederly serta terdaftar sebagai mahasiswa aktif (tidak langsung cuti) pada semester yang bersangkutan. e. Tata tertib 1. Mahasiswa wajib mengetahui jadwal kegiatan PBL seperti yang tercantum dalam jadwal kegiatan 2. Mahasiswa wajib memakai jas praktikum selama mengikuti kegiatan PBL di Puskesmas 3. Mahasiswa wajib melaksanakan kegiatan PBL sesuai dengan rencana kerja yang telah disetujui oleh pembimbing 4. Mahasiswa wajib mematuhi peraturan atau tata tertib yang berlaku diPuskesmas setempat. 5. Mahasiswa wajib melaksanakan kegiatan PBL dengan selalu memperhatikan prilaku yang baik f. Pembimbing Pembimbing lapangan atau instruktrur mengampu satu kelompok mahasiswa yang terdiri dari 7-8 orang. g. Tugas Mahasiswa 1. Mahasiswa melaksanakan kegiatan sesuai dengan arahan pembimbing 2. Mahasiswa mengikuti kegiatan di Puskesmas yang telah ditentukan

11

3. Mahasiswa wajib melakukan Home Visit lansia dimana pasien lansia harus berbeda sesuai dari arahan pembimbing Mahasiswa menyerahkan log book kepada koordinasi praktek belajar lapangan keterampilan klinik sebagai bentuk laporan hasil kegiatan di minggu kelima pelaksanaan blok h. Penilaian Penilaian diberikan oleh pembimbing

lapangan, dimana

penilaiannya mencakup: 1.

Profesional Behavior Aspek yang dinilai meliputi sebagai meliputi: a. Jujur -

Menghormati dan dihormati oleh teman, tenaga medis dan non medis, serta pasien

-

Tidak berbuat curang untuk kepentingan sendiri (tidak melakukan plagiarism)

-

Mencatat laporan dan melaporkan dengan benar (contoh: medical record, log book)

b. Bertangguang Jawab -

Komitmen terhadap tugas

-

Tepat waktu

-

Tidak terlambat atau absen tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan

c. Compassion -

Menunjukkan sikap yang perhatian dan perduli terhadap pasien (dapat dibuktikan

melalui

feedback dari hubungan dengan pasien, staf dan kelompok) -

Peka terhadap kebutuhan orang lain terutama pasien baik secara fisik maupun emosional

d. Mawas diri -

Mampu mengenali kemampuan dan keterbatasan diri sendiri

12

e. Hubungan dokter-pasien -

Menghargai privasi, harga diri dan rahasia pasien

-

Melindungi

hak

pasien

dan

menghindari

eksploitasi secara seksual, fisik, emosional dan financial f. Tidak diskriminatif -

Memberikan perlakuan sama terhadap orang lain tanpa membedakan ras, gender, agama dan kepercayaan serta penyakit itu sendiri

g. Menghargai orang lain -

Menghargai hak, kepercayaan, peran, tanggung jawab, kemampuan, dan nilai budaya dari paseien, kelompok, staf, dan anggota masyarakat

-

Hati-hati dalam bersikaf terhadap pasien, tidak sombong, tidak agresif dan ramah

-

Menghargai integritas personal dan profesional serta peran tenaga kesehatan lainnya, baik dalam bentuk komunikasi verbal maupun non verbal

h.

Partisipasi -

Ikut serta dan berkonstribusi secara sukarela dalam kelompok dan aktivitas dimasyarakat

-

Memfasilitasi kegiatan belajar orang lain dan tidak menghalangi usaha mereka

-

Membantu orang lain yang sedang dalam tahap awal pembelajaran

I.

Instruktur adalah dokter yang memiliki kompetensi dasar 1. Memiliki keilmuan dalam bidang keterampilan klinik yang akan diajarkan 2. Mampu mendemostrasikan keterampilan klinik yang benar 3. Mampu berkomunikasi efektif 4. Mampu memberikan penilaian terhadap pencapaian belajar

13

mahasiswa 5. Mampu memberikan konstruktif feedback

II. Tugas instruktur 1.

Memberikan arahan dan bimbingan kepada mahasiswa dalam praktek lapangan di Puskesmas

2.

Mengajarkan keterampilan klinik kepada mahasiswa

3.

Memberikan penilaian terhadap kinerja mahasiswa selama melaksanakan kegiatan di Puskesmas dan dimasyarakat

4.

2.4

Mampu memberikan konstruktif feedback

Definisi Diabetes Melitus Diabetes mellitus (DM) adalah suatu kumpulan gejala klinis (sindromaklinis) yang timbul oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah kronis akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Katzung, 2002). Penyakit diabetes mellitus merupakan satu penyakit kronik yang berlaku bila pankreas tidak menghasilkan insulin yang cukup atau tubuh tidak dapat memanfaatkan insulin yang diproduksikan secara efektif, dan ini mengakibatkan konsentrasi glukosa dalam darah kita meningkat (WHO, 2009). Penyebab diabetes mellitus adalah kekurangan hormon insulin yang berfungsi memanfaatkan glukosa sebagai sumber energi dan mensintesis lemak. Akibatnya adalah glukosa bertumpuk di dalam darah (hiperglikemia) dan akhirnya diekskresikan lewat kemih tanpa digunakan (glycosuria). Oleh karena itu, produksi kemih sangat meningkat dan pasien harus sering kencing, merasa sangat haus, berat badan menurun, dan merasa lelah.

14

2.5

Tipe Diabetes Diabetes dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a.

Diabetes mellitus tipe I (Insulin dependent) DM tipe I umumnya timbul pada anak-anak dan dewasa muda. DM tipe I terjadi karena destruksi sel-sel pembuat insulin melalui mekanisme imunologik sehingga menyebabkan hilangnya hampir seluruh insulin endogen. Pasien DM tipe I mengalami ketergantungan terhadap insulin eksogen untuk menurunkan kadar glukosa plasma dan menghindari ketoasidosis (KAD) serta untuk mempertahankan hidupnya. Pada pasien DM tipe I perawatan insulin adalah mutlak (Leslie, 1991).

b. Diabetes melitus tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus) DM tipe II biasanya timbul pada usia lebih dari 40 tahun. Pada DM tipe II sel β pankreas tidak rusak tetapi terjadi resistensi terhadap kerja insulin. Produksi insulin biasanya dapat untuk mencegah KAD, namun KAD dapat timbul bila ada stress berat (Woodley dan Whelan, 1995).

c.

DM tipe lain Dapat disebabkan oleh efek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi dan sindrom genetika lain yang berkaitan dengan diabetes mellitus (Katzung, 2002).

d. Diabetes Mellitus Gestasional Diabetes yang timbul selama kehamilan, artinya kondisi diabetes atau intoleransi glukosa yang didapati selama masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua atau ketiga. Diabetes mellitus gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal (di sekitarwaktu melahirkan), dan sang ibu memiliki resiko untuk dapat menderita penyakit diabetes mellitus yang lebih besar dalam

15

jangka waktu 5 sampai 10 tahun setelah melahirkan (Woodley dan Wheland, 1995).

2.6

Diabetes Tipe II Terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada pasien toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun jika sel-sel tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan meningkat danterjadi diabetes tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabtes tipe II, namun terdapat jumlah insulin yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton. Oleh karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikan, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah

akut

lainnya

yang

dinamakan

sindrom

hiperglikemik

hiperosmoler nonketotik. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi, gejalanya sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang tidak sembuh-sembuh, infeksi dan pandangan yang kabur.

16

2.7

Gejala Diabetes Melitus Gejala diabetes dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu : Gejala Akut dan Gejala Kronis

Gejala akut Pada permulaan terdapat tiga gejala khusus, yaitu : 1. Banyak makan (polifagia) 2. Banyak minum (polidipsi) 3. Banyak kencing (poliuria)

Dalam fase ini biasanya pasien menunjukkan berat badan yang terus bertambah, karena pada saat itu jumlah insulin masihh mencukupi. Apabila keadaan ini tidak segera diobati maka akan timbul keluhan lain yang disebabkan oleh kurangnya insulin. Keluhan tersebut diantaranya: 1. Nafsu makan berkurang 2. Banyak minum 3. Banyak kencing 4. Berat badan turun dengan cepat 5. Mudah lelah 6. Bila tidak segera diobati,pasien akan merasa mual bahkan pasien akan jatuh koma

Gejala kronik Gejala kronik akan timbul beberapa bulan atau beberapa tahun setelah pasien menderita diabetes. Gejala kronik yang sering dikeluhkan oleh pasien yaitu : 1. Kesemutan 2. Kulit terasa panas 3. Terasa tebal dikulit 4. Kram 5. Lelah 6. Mudah mengantuk

17

7. Mata kabur 8. Gatal disekitar kemaluan

2.8

Diagnosis Banding a. DM tipe 1, insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) Diabetes jenis ini terjadi akibat kerusakan sel β pakreas. Dahulu, DM tipe 1 disebut juga diabetes onset-anak (atau onset-remaja) dan diabetes rentan-ketosis (karena sering menimbulkan ketosis). Onset DM tipe 1 biasanya terjadi sebelum usia 25-30 tahun (tetapi tidak selalu demikian karena orang dewasa dan lansia yang kurus juga dapat mengalami diabetes jenis ini). Sekresi insulin mengalami defisiensi (jumlahnya sangat rendah atau tidak ada sama sekali). Dengan demikian, tanpa pengobatan dengan insulin (pengawasan dilakukan melalui pemberian insulin bersamaan dengan adaptasi diet), pasien biasanya akan mudah terjerumus ke dalam situasi ketoasidosis diabetik (Arisman, 2011). Gejala

biasanya

muncul

secara

mendadak,

berat

dan

perjalanannya sangat progresif; jika tidak diawasi, dapat berkembang menjadi ketoasidosis dan koma. Ketika diagnosa ditegakkan, pasien biasanya memiliki berat badan yang rendah. Hasil tes deteksi antibodi islet hanya bernilai sekitar 50-80% dan KGD >140 mg/dL (Arisman, 2011).

b. DM tipe 2, non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) DM jenis ini disebut juga diabetes onset-matur (atau onsetdewasa) dan diabetes resistan-ketosis (istilah NIDDM sebenarnya tidak tepat karena 25% diabetes, pada kenyataannya, harus diobati dengan insulin; bedanya mereka tidak memerlukan insulin sepanjang usia). DM tipe 2 merupakan penyakit familier yang mewakili kurang-lebih 85% kasus DM di Negara maju, dengan prevalensi sangat tinggi (35% orang dewasa) pada masyarakat yang mengubah gaya hidup tradisional menjadi modern (Arisman, 2011).

18

DM tipe 2 mempunyai onset pada usia pertengahan (40-an tahun), atau lebih tua, dan cenderung tidak berkembang kearah ketosis. Kebanyakan pasien memiliki berat badan yang lebih. Atas dasar ini pula, penyandang DM jenis ini dikelompokkan menjadi dua: (1) kelompok obes dan (2) kelompok non-obes. Kemungkinan untuk menderita DM tipe 2 akan berlipat ganda jika berat badan bertambah sebanyak 20% di atas berat badan ideal dan usia bertambah 10 tahun atau di atas 40 tahun (Arisman, 2011). Gejala muncul perlahan-lahan dan biasanya ringan (kadangkadang bahkan belum menampakkan gejala selama bertahun-tahun) serta progresivitas gejala berjalan lambat. Koma hiperosmolar dapat terjadi pada kasus-kasus berat. Namun, ketoasidosis jarang sekali muncul, kecuali pada kasus yang disertai stress atau infeksi. Kadar insulin menurun atau bahkan tinggi, atau mungkin juga insulin bekerja tidak efektif (Arisman, 2011). Pengendaliannya boleh jadi hanya berupa diet dan (jika tidak ada

kontraindikasi)

olahraga,

atau

dengan

pemberian

obat

hipoglisemik (Arisman, 2011).

c. DM tipe lain Diabetes jenis ini dahulu kerap disebut diabetes sekunder, atau DM tipe lain. Etiologi diabetes jenis ini, meliputi : (a) penyakit pada pankreas yang merusak sel β, seperti hemokromatosis, pankreatitis, fibrosis kistik; (b) sindrom hormonal yang mengganggu sekresi dan/atau

menghambat

kerja

insulin,

seperti

akromegali,

feokromositoma, dan sindrom Cushing; (c) obat-obat yang menggangu sekresi insulin (fenitoin [Dilantin]) atau menghambat kerja insulin (estrogen dan glukokortikoid); (d) kondisi tertentu yang jarang terjadi, seperti kelainan pada reseptor insulin; dan (e) sindrom genetic (Arisman, 2011).

19

d. Diabetes Mellitus Gestasional Diabetes mellitus Gestasional didefenisikan sebagai setiap intoleransi glukosa yang timbul atau terdeteksi pada kehamilan pertama,

tanpa

memandang

derajat

intoleransi

serta

tidak

memperhatikan apakah gejala ini lenyap atau menetap selepas melahirkan. Diabetes jenis ini biasanya muncul pada kehamilan trimester kedua dan ketiga. Kategori ini mencakup DM yang terdiagnosa ketika hamil (sebelumnya tidak diketahui). Wanita yang sebelumnya diketahui telah mengidap DM, kemudian hamil, tidak termasuk ke dalam kategori ini (Arisman, 2011).

2.9

Pendekatan Klinis 1. Anamnesis Banyak pasien dengan Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) yang asimptomatik dan baru diketahui adanya peningkatan kadar gula darah pada pemeriksaan laboratorium rutin. Para ahli masihh berbeda pendapat mengenai kriteria diagnosis DM pada lanjut usia. Kemunduran, intoleransi glukosa, bertambah sesuai dengan pertambahan usia, jadi batas glukosa pada DM lanjut usia lebih tinggi dari pada orang dewasa yang menderita penyakit DM. Kriteria diagnostik diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa (WHO 1985): 1.

Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥200mg/ dl, atau

2.

Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥126 mg/dl, atau

3.

Kadar glukosa plasma ≥200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO Menurut Kane et.al (1989), diagnosis pasti DM pada lanjut

usia ditegakkan kalau didapatkan kadar glukosa darah puasa lebih dari 140 mg/dl. Apabila kadar glukosa puasa kurang dari 140 mg/dl dan terdapat gejala atau keluhan diabetes seperti di atas perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Apabila

20

TTGO abnormal pada dua kali pemeriksaan dalam waktu berbeda diagnosis DM dapat ditegakkan. Pada

lanjut

usia

sangat

dianjurkan

untuk

melakukan

pemeriksaan glukosa darah puasa secara rutin sekali setahun, karena pemeriksaan glukosuria tidak dapat dipercaya karena nilai ambang ginjal meninggi terhadap glukosa. Peningkatan TTGO pada lanjut usia ini disebabkan oleh karena turunnya sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin, baik pada tingkat reseptor (kualitas maupun kuantitas) maupun pasca reseptornya. Ini berarti bahwa sel-sel lemak dan otot pada pasien lanjut usia menurun kepekaannya terhadap insulin.

2. Pemeriksaan Penunjang Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala dan tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif. Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM sebagai berikut: a. Usia >45 tahun b. Berat badan lebih >110% BB ideal atau IMT >23 kg/m2 c. Hipertensi (>140/90 mmHg) d. Riwayat DM dalam garis keturunan e. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi >4000 gram f. Kolesterol HDL 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥150 mg/dl

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes tolerasi glukosa oral (TTGO) standar.

21

Untuk kelompok risiko tinggi

yang hasil

pemeriksaan

penyaringnya negatif, pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

2.10

Diagnosis Diagnosis DM dapat ditegakan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakan atas dasar adanya glukosuria. Untuk penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukos darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dapat tetap dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai dengan pembakuan WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler. Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ³ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ³ 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal , belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis klinis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan menddapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ³ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal.

Penatalaksanaan menurut TTGO (WHO,1994):

22

a. Tiga (3) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohirat yang cukup) dan kegiatan jasmani seperti biasa. b. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan. c. Diperiksa kadar glukosa darah puasa. d. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 g/kgbb (anakanak), dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum dalam waktu 5 menit. e. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai f. Diperiksaa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa g. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

Diagnosis DM dapat ditegakan dengan 3 cara: 1.

Gejala klasik DM + GDS ≥200mg/dl Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

2.

Gejala klasik DM + GDP ≥ 126mg/Dl Puasa diartikan pasien tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8jam

3.

Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO≥200mg/dl TTGO dilakukan dengan standar WHO menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

23

Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM Belum pasti

Kadar glukosa (mg/dl )

Bukan DM

Sewaktu

Plasma Vena

< 110

110 – 199

≥ 200

Darah Kapiler

< 90

90 – 199

≥ 200

Plasma Vena

< 110

110 – 125

≥126

Darah Kapiler

< 90

90 – 109

≥110

Puasa

DM

DM

Sumber: PERKENI, Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2, 2006 Pasien dengan Toleransi Glukosa terganggu dan Glukosa Darah Puasa Terganggu merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal.

Diagnosis Diabetes Mellitus

24

2.11

Penatalaksanaan Penatalaksanaan Diabetes melitus dapat dilakukan dengan cara pengelolaan yang baik. Tujuan pengelolaan secara umum menurut Perkeni (2006) adalah meningkatkannya kualitas hidup

pasien

Diabetes.

Penatalaksanaan dikenal dengan empat pilar utama pengelolaan Diabetes Melitus, yang meliputi: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis. Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO)dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.

2.11.1 Penatalaksanaan Farmakologis Sarana penatalaksanaan farmakologis diabetes dapat berupa obat hipoglikemik oral (OHO): a.

Pemicu Sekresi Insulin 

Sulfonilurea Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masihh boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi

serta penyakit

kardiovaskular, tidak

25

dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang (PERKENI, 2006). 

Glinid Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati (PERKENI, 2006).

b. Penambah Sensitivitas Terhadap Insulin (Tiazolidindion) Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala (PERKENI, 2006).

c. Penghambat Glukoneogenesis (Metformin) Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan

kecenderungan

hipoksemia

(misalnya

penyakit

serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut

26

dapat diberikan pada saat atau sesudah makan (PERKENI, 2006).

d. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose) Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens. Mekanisme kerja OHO, efek samping utama, serta pengaruh obat terhadap penurunan A1C dapat dilihat pada tabel (PERKENI, 2006).

2.11.2 Penatalaksanaan Non Farmakologi a. Edukasi Diabetes Melitus umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan kokoh. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif pengembangan ketrampilan dan motivasi. Edukasi secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi dan evaluasi (PERKENI, 2006).

b. Terapi Medis Gizi Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal kabohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:  Kabohidrat : 60 – 70%  Protein : 10 – 15%  Lemak : 20 – 25 %

27

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres

akut,

dan

kegiatan

jasmani

untuk

mencapai

dan

mempertahankan berat badan ideal. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal dikali kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktifitas, koreksi status gizi, dan kalori yang diperlukan untuk menghadapi stres akut sesuai dengan kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan kalori pada diabetes tidak berbeda dengan non diabetes yaitu harus dapat memenuhi kebutuhan untuk aktifitas baik fisik maupun psikis dan untuk mempertahankan berat badan supaya mendekati ideal (PERKENI, 2006).

c. Olah Raga Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur. (34 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2006).

28

2.12

Komplikasi Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun a.

Penyulit akut - Ketoasidosis diabetik - Hiperosmolar non ketotik - Hipoglikemia Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF