Laporan Kasus Cml Fase Kronis

July 23, 2017 | Author: Akhmad Dairobi | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

LAPORAN KASUS CML...

Description

LAPORAN KASUS

CHRONIC MYELOCYTIC LEUKEMIA (CML) FASE KRONIS

Oleh : M.Kaban Moderator: dr. Imam Budiwiyono, SpPK(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2012

Daftar Isi Halaman judul Daftar isi................................................................................................................... 2 Tinjauan pustaka ...................................................................................................... 3 Laporan kasus .......................................................................................................... 14 Tabulasi hasil laboratorium ...................................................................................... 18 Catatan perjalanan penyakit .................................................................................... 20 Pembahasan ............................................................................................................. 22 Kesimpulan dan saran ............................................................................................. 24 Daftar pustaka .......................................................................................................... 25

2

TINJAUAN PUSTAKA CHRONIC MYELOID LEUKEMIA Chronic myeloid leukemia (CML) adalah penyakit mieloproliferatif menahun dengan kelainan klonal akibat perubahan genetik pada pluripoten sel stem. Kelainan tersebut mengenai lineage mieloid, monosit, eritroid, megakariosit, limfosit B dan T. Perubahan patologik yang terjadi berupa gangguan adhesi sel imatur di sumsum tulang, aktivasi mitosis sel stem dan penghambatan apoptosis yang mengakibatkan terjadinya proliferasi sel mieloid imatur di sumsum tulang, darah tepi dan terjadi hematopoiesis ekstramedular.1 Penyakit ini ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi kita dapat dengan mudah melihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan mieloblas), metamielosit, mielosit sampai granulosit.2,3 ,4 EPIDEMIOLOGI Kejadian leukemia mielositik kronis mencapai 20% dari semua leukemia pada dewasa, kedua terbanyak setelah leukemia limfositik kronik. Umumnya menyerang usia 40-50 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya lebih progresif.2,1 Angka kejadian pada pria : wanita adalah 3 : 2, secara umum didapatkan 1 - 1,5/100.000 penduduk di seluruh negara.1 Di Jepang kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, demikian juga di Rusia setelah reaktor atom Chemobil meledak. Beberapa melaporan penyebab CML selain akibat paparan radiasi, bom atom adalah ankylosing spondilitis pasca penyinaran.2,1 KRONOLOGI Terjadinya CML secara kronologi adalah tampak perubahan hematologi yang pertama kali berupa basofilia dan trombositosis; diikuti dengan rendahnya aktivitas neutrophil alkaline phosphatase (NAP); dijumpai granulosit imatur di dalam darah tepi serta peningkatan kadar vitamin B12 serum. Setelah itu terjadi splenomegali yang diikuti gejala subyektif. Paparan dengan zat karsinogen selama 2 - 7 tahun (15-20 tahun) dapat terjadi CML fase kronik. Tiga sampai lima tahun kemudian CML dapat mengalami perkembangan progresif menjadi bentuk agresif walaupun dalam 3

pengobatan. Pada keadaan agresif tersebut dapat terjadi 2 keadaan yaitu fase akselerasi atau fase blastik (transformasi blastik = krisis blastik) menjadi AML/ALL/ leukemia bilineage serta kemungkinan terjadi perubahan menjadi mielofibrosis.1 Berikut ini adalah urutan kronologis perjalanan CML berdasarkan jumlah lekosit dan perubahan hematologi serta tanda lain yang menyertainya yang terangkum dalam tabel 1.1 Tabel 1. Urutan kronologis perjalanan CML Jumlah leukosit - 10 x 109 / L 9

- 20 x 10 / L - 30 x 109 / - 40 x 109 / L - 50 x 109 / L

Perubahan hematologis/ tanda lain Kromosom Ph Basofilia, Trombositosis Aktivitas NAP rendah Granulosit imatur Peningkatan kadar vitamin B12 serum Splenomegali Gejala subyektif

TANDA DAN GEJALA KLINIK Dalam perjalanan penyakitnya, CML dibagi menjadi 3 fase, yakni: fase kronik, fase akselerasi dan fase krisis blas.1,2,6,7 Pada umumnya saat pertama diagnosis ditegakkan, pasien masih dalam fase kronis, bahkan sering kali diagnosa CML ditemukan secara kebetulan, misalnya saat persiapan pra operasi, dimana ditemukan leukositosis hebat tanpa gejala-gejala infeksi.2 Pada fase kronis, pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau merasa cepat kenyang akibat desakan limpa terhadap lambung. Kadang timbul nyeri seperti diremas di perut kanan atas. Keluhan lain sering tidak spesifik, misalnya; rasa cepat lelah, lemah badan, demam yang tidak terlalu tinggi, keringat malam. Penurunan berat badan terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Semua keluhan tersebut merupakan gambaran hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia. 2,6 Pada fase akselerasi dan fase blastik, dijumpai tambahan kelainan pada pemeriksaan sitogenetik maupun molekular. 1 Apabila dibuat urutan berdasarkan keluhan yang diutarakan oleh pasien, maka seperti terlihat pada tabel 2. 2 Tabel 2. Urutan Keluhan Pasien Berdasarkan Frekuensi 2 Keluhan

Frekuensi (%)

4

Splenomegali

95

Lemah badan

80

Penurunan berat badan

60

Hepatomegali

50

Keringat malam

45

Cepat kenyang

40

Perdarahan/purpura

35

Nyeri perut (infark limpa)

30

Demam

10

Setelah 2-3. tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau mengalami akselerasi. Bila saat diagnosa ditegakkan, pasien berada pada fase kronis. maka kelangsungan hidup berkisar antara 1 sampai 1,5

tahun. Ciri khas fase

akselerasi adalah: lekositosis yang sulit dikontrol oleh obat-obat mielosupresif, mieloblas di perifer mencapai 15- 30 %, promielosit >30 dan trombosit < 100.000/mm3 . Secara klinis fase ini dapat diduga bila limpa yang tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia bertambah berat. timbul ptekie, ekimosis. Bila disertai demam, biasanya ada infeksi.2 KLASIFIKASI 8 Leukemia mieloid kronik mencakup enam tipe leukemia yang berbeda yaitu  Leukemia mieloid kronik Ph positif (CML, Ph +/ Leukemia Granulositik Kronik; CGL)  Leukemia mieloid kronik Ph negatif (CML, Ph -)  Leukemia mieloid kronik juvenilis  Leukemia netrofilik kronik  Leukemia eosinofilik  Leukemia mielomonositik kronik (CMML)

Manifestasi klinis Pada fase kronis pasien sering mengeluh rasa cepat kenyang. Hal ini dimungkinkan akibat desakan limpa terhadap lambung. Nyeri seperti diremas di perut

5

kanan atas. Keluhan lain seperti rasa cepat lelah, badan lemah, demam yang tidak terlalu tinggi, keringat malam. Penurunan berat badan terjadi apabila penyakit berlangsung lama. Setelah 2 sampai 3 tahun, beberapa pasien mengalami transformasi progresif atau mengalami akselerasi.2,3,7,8,9,10 PATOGENESIS Gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel induk pluripoten pada sistem hematopoiesis. Klon-klon ini, selain proliferasiya berlebihan juga dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal, karena gen BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme diatas adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak sistem

hematopoiesis

lainnya.2 Mekanisme kerja gen BCR-ABL mutlak diketahui, mengingat besarnya peranan gen ini pada diagnostik, perjalanan penyakit, prognostik, serta implikasi terapeutiknya. Oleh karena itu perlu diketahui sitogenetik dan kejadian di tingkat molekular. 2 Sitogenetik Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak terbentuknya Ph sampai menjadi CML dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih belum diketahui secara pasti. Berdasarkan kejadian Hiroshima dan Nagasaki, diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi , sebagian ahli berpendapat akibat mutasi spontan. Translokasi ini menyebabkan pembentukan gen hibrid

BCR-ABL pada

kromosom 22 dan gen resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9.2 Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph, seperti tampak pada tabel 3. Varian-varian ini dapat terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau kromosom 9 dengan kromosom lainnya. Varian lain juga dapat terbentuk karena patahan pada gen BCR tidak selalu di daerah q11 akan tetapi dapat juga di daerah q l2 atau q l3 dengan sendirinya protein yang dihasilkan juga berbeda berat molekulnya. 2 Tabel 3. Variasi kelainan sitogenetik pada CML2 Kariotipik t(9 ; 22)(q34;q12) t(9 ; 22)(q34;q13) t(9 ; 22)(q34;q11) t(8 ; 22)(p11;q11)

Gen-gen yang terlibat BCR – JAK BCR - PDGFRB BCR – FGFR1 BCR - FGFR1

Istilah Klinik CML atipik CML atipik CML BCR - ABL negatif CML BCR - ABL negatif 6

t(4 ; 22)(q12;q11) t(9 ; 12)(q34;p13) Del(4)(q12) Gen BCR-ABL pada

BCR - PDGFRA ABL – TEL FIPIL 1- PDGFRA kromosom Ph (22q-) selalu

CML atipik CML atipik CML hipereosinofilia terdapat pada semua pasien

CML, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien CML. Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph + lebih rawan terhadap adanya kelainan kromosom tambahan, hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang kromosom 17i(17)q. Dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain yang berperan dalam patofisiologi CML atau terjadi abnormalitas dari gen supresor tumor, seperti gen p53, p 16 dan gen Rb. 2 Biologi molekular pada Patogenesis CML Pada kebanyakan pasien CML, patahan pada gen BCR ditemukan di daerah 5,8-kb atau di daerah el 3-e14 pada ekson 2 yang dikenal sebagai major break region (M-bcr), kemudian gen BCR-ABL-nya akan mensintesa protein dengan berat molekul 210 kD, selanjutnya ditulis p210BCR-ABL . Patahan lainnya ditemukan di daerah 54,4-kb atau el yang dikenal sebagai minor bcr (m-bcr) yang gen BCR-ABL-nya akan mensintesa pl90(Melo, 1996). Saglio dkk pada tahun 1990 menemukan satu lagi variasi patahan ini pada 3` gen BCR antara el9-e20 yang selanjutnya akan terbentuk p230. Daerah patahan ini kemudian dikenal sebagai mikro bcr (-bcr) (Melo, 1996). Melo (1997) menemukan bahwa 3` variasi letak patahan pada gen BCR ini yaitu mayor (M-hcr), minor (m-bcr), dan mikro (-bcr) temyata berhubungan dengan gambaran klinik penyakitnya. Pasien CML yang patahan pada gen BCRnya di M-bcr berhubungan dengan trombositopenia, patahan di m-bcr berhubungan dengan monositosis yang prominen, sedang patahan di -bcr berhubungan dengan netrofilia dan/ atau trombosis. p210BCR-ABL mempunyai potensi leukemogenesis dengan cara sebagai berikut: gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi kedua gen ini mempunyai kemampuan untuk oto-fosforilasi yang akan mengaktivasi beberapa protein di dalam sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1 (SH1), sehingga terjadi deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat aderen sel-sel terhadap stroma sumsum tulang, dan berkurangnya respon apoptosis. Selanjutnya fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi dengan berbagai protein di dalam sitoplasma sehingga terjadilah

7

transduksi sinyal yang bersifat onkogenik. Sinyal ini menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses transkripsi pada RNA sehingga terjadi kekacauan pada proses proliferasi sel dan juga proses apoptosis, 2 Fase perjalanan penyakit Perjalanan penyakit CML dibagi 3 fase, yaitu :2,5,7 1. Fase kronis Pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blas dan sel promielosit kurang dari 10% di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini ditandai dengan produksi granulosit berlebihan yang didominasi oleh neutrofil segmen. Gejala yang dialami 2.

ringan dan relatif mempunyai respons baik terhadap terapi

konvensional. Fase akselerasi atau transformasi akut Fase ini sangat progresif, mempunyai blas lebih dari 10% tetapi kurang dari 20%. Pada fase ini jumlah leukosit bisa mencapai 300 ribu/mm 3 yang didominasi oleh eosinofil dan basofil. Sel yang leukemik mempunyai kelainan

3.

kromosom lebih dari satu (selain kromosom Philadelphia) Fase blastik atau krisis blastik Pada fase ini pasien mempunyai blas lebih dari 20% pada darah serta sumsum tulangnya. Sel blas telah menyebar ke jaringan lain dan organ di luar sumsum tulang. Pada pasien ini, penyakit berubah menjadi leukemia mieloblastik akut atau leukemia limfositik akut.

Diagnosis1-3,5,8,9-11 a.

Anamnesis Anamnesis yang cermat dan teliti, dapat ditemukan gejala klinis yang berhubungan dengan hipermetabolisme, seperti penurunan berat badan, kelelahan, anoreksia, keringat malam, splenomegali disertai rasa nyeri atau rasa tidak nyaman, gangguan pencernaan, gejala gangguan trombosit : perdarahan, memar, epistaksis, menorhagia, gejala hiperurisemia : gout dan gangguan ginjal

b.

dan gangguan penglihatan. Pemeriksaan fisik Ditemukan tanda-tanda seperti

:

pucat,

organomegali

(splenomegali-

hepatomegali), limfadenopati, purpura atau perdarahan pada retina sebagai c.

akibat gangguan fungsi trombosit dan nyeri tulang sternum saat di palpasi. Pemeriksaan penunjang Umumnya CML memperlihatkan penurunan jumlah eritrosit, anemia yang mula-mula ringan. Kadar hemoglobin kurang dari 10 g/dl. Leukositosis berat 20.000-50.000/mm3, bahkan dapat mencapai 100.000/mm3. 8

Apusan darah tepi menunjukkan stadium lengkap dari semua seri granulositik mulai dari mieloblas sampai neutrofil segmen. Komponen granulosit yang paling menonjol adalah neutrofil segmen dan mielosit. Sel blas pada sediaan darah tepi < 5%. Fase kronik bila dijumpai kriteria berikut ini: 1  Gambaran darah tepi dan sumsum tulang yang klasik dengan dominasi mielosit dan neutrofil.  Darah tepi didapatkan anemia normositik normokrom,  Jumlah leukosit 20.000 - > 500.000/uL,  Aktivitas NAP menurun, tampak terutama mielosit dan neutrofil. Kadangkadang didapatkan neutrofil yang warnanya terdiri dari campuran antara granula basofil dan eosinofil, dapat disertai monositosis atau relatif monositopenia.  Jumlah trombosit dapat > 1.000.000/uL dengan morfologi abnormal. Trombosit dengan ukuran besar tanpa ada granula dan dijumpai megakariosit pada 25% kasus CML Fase akselerasi bila dijumpai salah satu dan kriteria di bawah ini: 1  Blas 10-19% di darah tepi / sumsum tulang  basofilia  20%  Trombositopenia persisten ( 1000x 109/L) yang tidak responsif terhadap pengobatan  Ukuran limpa makin membesar dengan jumlah leukosit meningkat, tidak ada respons terhadap pengobatan Fase blastik didapatkan bila memenuhi salah satu kriteria di bawah ini: 1  Blas  20% di darah tepi atau sumsum tulang  Proliferasi blas ekstramedular  Ditemukan kelompok / cluster sel bias pada biopsi sumsum tulang.

9

Pada fase akselerasi dan blastik, didapatkan kelainan sitogenetik minor, mayor dan kelainan molekular. 1 Pemeriksaan sitogenetik yang dilakukan selama fase akselerasi mungkin memperlihatkan banyak kelainan sitogenetik, termasuk kromosom Philadelphia ganda atau tripel. Gambaran lain adalah pewarnaan sitokimia pada blas, yang pada sekitar 25%

kasus

memperlihatkan

penanda-penanda

limfoblastik.

Ini

mungkin

mencerminkan suatu dediferensiasi atau mengisyaratkan bahwa penyakit primer adalah penyakit sel bakal imatur dengan kemampuan memperlihatkan ciri-ciri mieloid dan limfoid. Penanda limfoblas, yaitu termincil deoxynucleotidyl transfernse (TdT) mungkin ditemukan pada sel-sel bias ini. Sekitar 60 sampai 70% pasien akan mengalami transformasi mieloblastik. 7 Pemeriksaan genetik pada CML dilakukan dengan metode sitogenetik konvensional, FISH, maupun RT-PCR. 9 Pemeriksaan sitogenetik konvensional dapat mendeteksi adanya kromosom Philadelphia pada 95% pasien CML. Bila hasil pemeriksaan sitogenetik tidak memperlihatkan adanya kromosom Philadelphia (± 10%) perlu dilakukan deteksi bcr/abl menggunakan FISH atau RT-PCR.

7,8,9

. Kelompok pasien negatif-Ph ini

umumnya berusia lebih tua dan memperlihatkan hitung trombosit dan sel darah putih inisial yang lebih rendah. Kelangsungan hidup rata-rata pasien hanyalah 8 bulan, dibandingkan dengan 40 bulan pada LMK positif-Ph. 7 Pemeriksaan molekuler untuk deteksi t(9:22)(q34;q11) tidak memerlukan pembiakan sel dan dapat menggunakan sampel baik darah tepi maupun sumsum tulang. Tapi bila ada kelainan kromosom lainnya maka tidak akan terdeteksi dengan cara ini. Untuk itu yang sering dideteksi pada CML antara lain trisomi 8, kromosom Philadelphia ekstra, isokromosom 17q11, yang mempunyai makna dalam prognosis. Karena itu pada CML pemeriksaan sitogenetik konvensional tetap diperlukan, juga sebagai baseline untuk monitor terapi. 9 Pemeriksaan FISH pada awal diagnosis juga bermanfaat sebagai baseline untuk monitor MRD. Karena itu pada awal diagnosis sebaiknya dilakukan pemeriksaan FISH disamping sitogenetik konvensional. 9 DIAGNOSA BANDING -

CML fase kronik: leukemia mielomonositik kronik, trombositosis esensial, leukemia netrofilik kronik2 10

-

CML fase krisis blas: leukemia mieloblastik akut, sindrom mielodisplasia2

PENGOBATAN Tujuan terapi pada CML adalah mencapai remisi lengkap, baik remisi hematologi, remisi sitogenetik, maupun remisi biomolekular. Untuk mencapai remisi hematologis digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif. Begitu tercapai remisi hematologis, dilanjutkan dengan terapi interferon dan atau cangkok sumsum tulang. 2 Tahapan terapi 4 Tahapan terapi pada CML dibedakan atas beberapa tahap yaitu umum, fase kronis, fase krisis blas dan cangkok sumsum tulang. Berikut ini adalah penjelasan tahap-tahap tersebut. 1. Umum Profilaksis peninggian asam urat Profilaksis tromboemboli bila trombosit > 750.000/mm3 2. Fase kronis : Hidroksi urea (Hydrea®, oap @ 500 mg), dosis disesuaikan dengan jumlah lekosit: 20.000-150.000/mm3 : 50 mg/kg BB/hari/hari/p.o dalam dua dosis sampai lekosit 20.000/ mm3 > 150.000/ mm3

: perlu lekoferesis dulu, kemudian 20 mg/kg BB/hari (15-25 mg/BB) sampai lekosit 5.00015.000 Selanjutnya dosis pemeliharaan sehingga lekosit tidak kurang dari 5000/ mm3 dan trombosit tidak kurang dari 75.000/ mm3.

Interferon  5MU seminggu 3 x / s.c, sampai terjadi krisis blas/ progresivitas, tidak diberi bila terjadi efek samping berat atau jumlah lekosit kurang dari 2.000/ mm3. Terapi lain : - Busulfan (Myleran®) 0,1 mg/kg BB/p.o

11

Bila lekosit berkurang 50% dosis dikurangi separuhnya Bila lekosit  20.000/ mm3 obat dihentikan, hanya dilakukan observasi - Radioterapi, terutama bila splenomegali sangat besar dan tidak mengecil dengan kemoterapi 3. Leukemi granulositik kronik dalam krisis blas 3.1. Krisis non limfoblastik : Hidroksiurea 15-25 mg/kg BB/ p.o 6-MP (Purinethol® tab @ 50 mg) 1,5-2,5 mg/kg BB/p.o Prednison 60 mg/ m2 /p.o Bila tidak ada respons dalam 2 minggu dosis menjadi 2 x lipat (kecuali prednison), bila ada respon dosis menjadi separuhnya, lalu kembali ke pengobatan fase kronis. Dosis 6-MP dan hidroksiurea harus disesuaikan dengan jumlah lekosit dan trombosit. Lekosit > 5.000 3.000-5.000 20.000-3.000 < 2.000

Trombosit > 150.000 100.000-150.000 75.000-100.000 < 75.000

Dosis (%) 100 50 25 0

3.2. Krisis limfoblastik : sesuai pengobatan Leukemia Limfositik Akut

4. Cangkok sumsum tulang alogenik. 4 Merupakan terapi definitif untuk CML. Cangkok sumsum tulang (CST) dapat memperpanjang masa remisi sampai >9 tahun, terutama pada CST alogenik. Tidak dilakukan pada CML dengan kromosom Ph negatif atau Bcr-Abl negatif. 2 Indikasi cangkok sumsum tulang: 2 1. Usia tidak lebih dari 60 tahun, 2. Ada donor yang cocok, 3. Termasuk golongan risiko rendah menurut perhitungan Sokal. PROGNOSIS

12

Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Saat ini dengan ditemukannya beberapa

obat baru, maka

median kelangsungan hidup pasien dapat diperpanjang secara signifikan. Kombinasi hidrea dan interferon memberi hasil median kelangsungan hidup mencapai 6-9 tahun. Imatinib mesilat memberi hasil yang lebih menjanjikan, tetapi median kelangsungan hidup belum dapat ditentukan. 2 Faktor-faktor di bawah ini memperburuk prognosis pasien CML, antara lain: 2 1. Pasien: usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti penurunan berat badan, demam, keringat malam. 2. Laboratorium: anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia eosinofilia, kromosom Ph negatif, Bcr-Abl negatif 3. Terapi: memerlukan waktu lama (> 3 bulan) untuk mencapai remisi, memerlukan terapi dengan dosis tinggi, waktu remisi yang singkat

13

LAPORAN KASUS IDENTITAS PENDERITA Nama

: Tn. S

Umur

: 27 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Kaluan RT. 03/ RW. 08 Kelurahan Buloh

Tanggal masuk

: 21 November 2011

ANAMNESIS Keluhan utama: perut membesar RPS: Penderita 4 bulan yang lalu mengeluh perut sebelah kiri terasa nyeri, keras dan membesar, di sertai tulang-tulang terasa nyeri,lemas disertai berkurangnya nafsu makan, berat badan mengalami penurunan. demam(-), mual(-), muntah(-), sesak(-).BAK (+) dalam batas normal, BAB (+) dalam batas normal. Kemudian penderita di rawat dan diperiksa di Puskesmas dirujuk ke RSDK dengan diagnosis Dypepsia, hasil laboratorium selama dirawat di Puskesmas tidak dibawa. Riwayat penyakit dahulu:  Riwayat Sesak nafas(-)  Riwayat DM (-)  Riwayat Hipertensi (-) Riwayat sosial ekonomi:  Penderita bekerja sebagai kuli bangunan  Kesan sosial ekonomi: kurang  Biaya di tanggung sendiri

14

PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum: composmentis, tampak lemah. Tanda vital : -

Tensi

: 110/70 mmHg

-

Nadi

: 90 x/mnt

-

Pernafasan

: 16 x/mnt

-

Suhu

: 37 o C

Pemeriksaan fisik : -

Kulit : petekie (-), pucat (+)

-

Kepala : mesosefal, turgor cukup

-

Mata : konjungtiva palpebra pucat +/+; sklera ikterik -/-.

-

Telinga : tidak ada kelainan

-

Hidung : nafas cuping hidung (-); epistaksis (-)

-

Mulut : bibir sianosis (-); ginggiva pucat (-); ginggiva hipertrofi (-)

-

Tenggorokan : pembesaran tonsil -/-; faring tidak hiperemis

-

Leher : trakea di tengah; pembesaran limfonodi (-)

-

Thorax :

-

Paru I : Simetris, statis, dinamis Pa : Stem fremitus kanan=kiri Pc : Sonor seluruh lapangan paru A : Suara dasar vesikuler; suara tambahan (-)

-

Jantung I : Ictus cordis tidak tampak Pa : Ictus cordis di sela intercosta V 2 cm linea midclavicula sinistra Pc : Konfigurasi jantung dalam batas normal A : BJ I-II murni, gallop (-), bising (-)

-

Abdomen I : Datar, venektasi (-) A : Bising usus (+) normal Pa: Supel, hepar tidak teraba, lien teraba shuffner VI Pc : Timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-)

15

-

Inguinal : pembesaran kelenjar (-)

-

Genetalia : tidak ada kelainan

-

Ekstremitas :

-

Superior

Inferior

Sianosis

-/-

-/-

-

Bengkak

-/-

-/-

-

Petekie

-/-

-/-

-

Nyeri otot

-/-

-/-

-

Eritema

-/-

-/-

PEMERIKSAANPENUNJANG LABORATORIUM (Tanggal 21-11-2012) Hematologi Hb

: 9,30 g/dL

(13-16 gr/dl)

Ht

: 26,4 %

(40-54%)

RBC

: 2,95 juta/mmk

(4,5-6,5 juta/mmk)

MCH

: 31,50 pg

(27 – 32 pg)

MCV

: 89,50 fL

(76 – 97 fL)

MCHC

: 35,20 g/dL

(29-36 g/dl )

WBC

: 211 ribu/ mm³

(4-11 ribu/mmk)

PLT

: 419 ribu /mm³

(150-400 ribu/mmk)

Plasma Protrombine Time Waktu Protrombhin

: 14,9 detik

PPT Kontrol

: 12,6 detik

(10,0-15,0 detik)

Partial Thromboplastin Time Waktu Thromboplastin : 36,1detik

(23,4-36,8 detik)

APTT Kontrol

: 30,6 detik

RDW

: 18,90 %

(11,60-14,80 %)

MPV

: 9,30 fL

(4.00-11,00 fL)

Kimia Klinik GDS

: 95 mg/dL

(80-110 mg/dl)

Ureum

: 34 mg/dL

(15-39 mg/dl)

Kreatinin

: 1,16 mg/dL

(0,60-1,30 mg/dl)

16

Natrium : 137 mmol/L

(136-145 mmol/L)

Kalium

: 4,1 mmol/L

(3-5-5,1 mmol/L)

Klorida

: 105 mmol/L

(98-107 mmol/L)

DIAGNOSA: -

Lekositosis dan splenomegali

-

Suspek keganasan hematologi

TERAPI: -

Rawat di ruang isolasi

-

Inf RL 20 tetes/menit

-

B compleks 3 x 1 tab

PROGRAM: 1. Darah rutin, SADT 2. Bilirubin total, direk, SGOT, SGPT, GGT,GDS 3. BMP / BMB 4. USG

17

TABULASI HASIL LABORATORIUM Parameter Hematologi Hb (13-16 gr%) Ht (40-54%) Eritrosit (4,5 – 6,5 juta/mmk) MCH (27 – 32pg) MCV (76 – 97fl) MCHC (29-36g/dl ) Lekosit (4-11 ribu/mmk) Trombosit (150-400ribu/mmk) PPT Waktu Prothrombin (10,0-15,0) PPT Kontrol APTT Waktu Thromboplastin (23,4-30,6) APTT Kontrol Hitung Jenis + darah tepi Eosinofil (1-3%) Basofil (0-2%) Batang (2-5%) Segmen (47-80%) Limfosit (20-45%) Monosit (2-10%) GDT

21/11/2011

22/11/2011

23/11/2011

9,30 gr% 26,4 % 2,95 juta/mmk 31,50 pg 89,50 fL 35,20 g/dl 211,00 ribu/mmk 459 ribu/mmk 16,5 detik 12,6 detik 39,1 detiik 30,6 detik 8% 2% 2% 54 % 2% 0% Blast:2%, promielosit:2%, mielosit:27%, metamielosit:1%, eritrosit berinti:2/100 lekosit Eritrosit ; Anisositosis ringan (mikrosit) Poikilositosis ringan (tear drop cell, ovalosit,eliptosit) Di temukan eritrosit berinti.

18

Trombosit :Jumlah meningkat, bentuk normal Lekosit : jumlah meningkat , ditemukanseluruh stadium seri mielositik dengan blast 2%, eosinofilia (+) Kesan: Keganasan hematologi kronis Saran : BMP dan pengecatan sitokimia Retikulosit (0,5-1,50%) LED 1 jam (3,0-14,0) LED 2 jam Kimia klinik Glukosa sewaktu (74-106mg/dl) Ureum (15-39mg/dl) Creatinin (0,60-1,30mg/dl) Asam urat (2,60-7,20mg/dl) Protein total (6,4-8,2gr/dl) Albumin (3,4-5,0gr/dl) Globulin (2,30-3,50gr/dl) Bil. Total (0,00-1,00 mg/dl) Bil. Direk (0,00-0,30mg/dl) SGOT (15-37U/l) SGPT (30-65U/l) ALP (50-136U/l) GGT (5-85U/l) LDH (100-190U/l) Fe (35-150 ug/dl) TIBC (250-450ug/dl) Imunologi Ferritin (70-435 ng/nl ) Elektrolit Natrium (136-145 mmol/L) Kalium (3,5-5,1 mmol/L) Chlorida (98-107 mmol/L )

1,80 %

95 mg/dl 24 mg/dl 1,03 mg/dl 8,00 mg/dl 7,6 gr/dl 4,4 gr/dl 3,20 gr/dl 0,48 mg/dl 0,17 mg/dl 25U/l 37 U/l 92,0 U/l 91 U/l 438 U/l 83 ug/dl 315 ug/dl

7,0 gr/dl 3,9 gr/dl 3,10 gr/dl 0,70 mgr/dl 0,29 mgr/dl 24 U/l 16 U/l 86,0 U/l 63 U/l

187.17ng/nl 137 mmol/L 4,1 mmol/L 105 mmol/L

19

CATATAN PERJALANAN PENYAKIT TGL 21/11

KLINIS Keluhan : Tanda vital : TD : 110/70 mmHg N : 92 x/menit RR : 20 x/menit, T : 36,8⁰C

PROBLEM Keganasan hematologi



TERAPI Rawat di ruang isolasi

Darah rutin

PROGRAM

kronis suspek CML



Inf RL 20 tetes/menit

Bilirubin total, direk, SGOT,



B compleks 3 x 1 tab

SGPT, GGT, GDS. BMP USG Abdomen

22/11

23/11

24/11

Keluhan : Tanda vital : TD : 110/70 mmHg N : 80 x/menit RR : 20 x/menit, T : 36⁰C Keluhan : Tanda vital : TD : 100/60 mmHg N : 65 x/menit RR : 18 x/menit, T : 36,3⁰C

Keganasan hematologi kronis suspek CML

Idem



Inf RL 20 tetes/menit

BMP



B compleks 3 x 1 tab

USG Abdomen

Idem

Idem

Keluhan : Tanda vital : TD : 100/60 mmHg N : 65 x/menit RR : 18 x/menit, T : 36,4⁰C Pulang atas permintaan sendiri

20

21

PEMBAHASAN Seorang pria dengan keluhan perut membesar sejak 4 bulan yang lalu mengeluh perut sebelah kiri mules, keras dan membesar, di sertai tulang-tulang terasa nyeri, lemas disertai berkurangnya nafsu makan, berat badan mengalami penurunan. demam(-), mual(-), muntah(-), sesak(-). BAK (+) normal, BAB (+) normal. Kemudian penderita di rawat dan diperiksa dipuskesmas kemudian dirujuk ke RSDK dengan diagnose Dypepsia Pemeriksaan fisik didapatkan TD : 110/70 mmHg, N : 90 x/menit, RR : 16 x/menit, suhu : 37 0C. konjungtiva palpebra pucat +/+ dan lien membesar Shuffner II. Selama perawatan di RS, hasil laboratorium didapatkan : 

Anemia normokrom normositer (berdasar MCV dan MCH), biasa terjadi pada penyakit kronis termasuk penderita keganasan.3 Pada penderita ini dijumpai anemia normokrom normositer dengan retikulosit normal yang disebabkan karena respon sumsum tulang yang tidak adekuat terhadap anemia akibat dari proliferasi sel-sel mieloid yang berlebihan sehingga menekan seri eritroid.



Adanya penurunan kadar HB dengan peningkatan retikulosit, bahwa sumsum tulang berespon baik terhadap anemia dengan membuat lebih banyak eritosit.



Jumlah leukosit meningkat. Leukositosis disebabkan oleh adanya gen BCRABL pada kromosom Ph atau P210 yang mempunyai aktivitas tirosin kinase tinggi sehingga menyebabkan hilangnya kontrol proliferasi sel induk pluripoten pada sistem hematopoiesis dan penghambatan apoptosis sehingga klon-klon ini bisa hidup lebih lama dibanding sel normal. 8 Pada sediaan apus darah tepi pasien ini ditemukan semua seri sel-sel mieloid.



Trombositosis diduga disebabkan oleh adanya patahan pada gen BCR-ABL di daerah micro bcr (μ-bcr). Menurut Melo variasi letak patahan berhubungan dengan gambaran klinik penyakitnya.



Splenomegali terjadi karena adanya hematopoiesis extramedular akibat tidak efektifnya hematopoiesis di sumsum tulang.



Peningkatan kadar asam urat. Pada keganasan biasanya turn-over cell yang tinggi menyebabkan peningkatan asam urat. Peningkatan produksi asam urat tersebut dapat menyebabkan artritis gout, batu asam urat dan nefropati.

22



Pada hampir semua keadaan penyakit yang mengalami kerusakan dan destruksi sel aktivitas LDH meningkat Isoenzim LD2,3 dan 4 sering meningkat pada pasien dengan keganasan dan beban tumor yang besar karena metabolisme dan pertukaran sel tumor. Peningkatan LDH pada pemeriksaan penyaring, mengarahkan pada kemungkinan keganasan tersamar. Pemeriksaan Laktat Dehidrogenase (LDH) serum akan membantu menegakkan diagnosa, memantau terapi dan follow up terapi..



Pada pasien ini hasil BMP menunjukkan sumsum tulang hiperseluler dengan granulositik hiperplasia dan jumlah sel blas 2% sehingga mendukung diagnosis Chronic Myelocytic Leukemia (CML) fase kronis



Analisis

sitogenetik

dilakukan

untuk

memperkuat

diagnosis

dengan

pemeriksaan kromosom Philadelphia (Ph). Pada penderita ini ditemukan kromosom Ph pada 30% sel yang dianalisis. Adanya kromosom Ph memastikan diagnosis CML dan menunjukkan prognosis yang lebih baik. CML dengan kromosom Ph positip memiliki prognosis yang baik karena telah ditemukan terapi penghambat kerja enzim tirosin kinase yang dikode oleh gen BCR-ABL.

23

SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan hasil laboratorium serta pemeriksaan BMP dapat disimpulkan penderita menderita penyakit CML fase kronik. SARAN 

Pemantauan Hb, lekosit, trombosit, SADT untuk keperluan terapi dan follow up terapi.



Pewarnaan Sitokimia dengan Tes Neutrophil Alkaline Phosphatase (NAP) dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosis. NAP adalah enzim yang terdapat dalam granula dan sitoplasma sel seri granulosit, terutama pada neutrofil segmen dan sedikit pada neutrofil batang.



Deteksi kromosom Ph t(9;22)(q34;q11) untuk memantau perjalanan penyakit sekaligus mengevaluasi efektivitas pengobatan.



Pemeriksaan Laktat Dehidrogenase (LDH) serum.

24

DAFTAR PUSTAKA 1. Wirawan R. Patogenesis dan Diagnosis Chronic Myeloid Leukemia. Dalam: Oesman F, editor. Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2007. Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007: 49-61 2. Fadjari H.Leukemia granulositik kronis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta. 2006: 698-701 3. Djamil LS. Pembacaan preparat darah tepi leukemia. Dalam: Budiwiyono I, Adhipireno P, editors. Workshop hematologi 1995. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Undip/ RS Dr Kariadi. Semarang. 1995: 38-46. 4. Budiwiyono I.Diagnosis keganasan darah menggunakan preparat darah tepi. Dalam: Suromo LB, Hertanto BR, editors.

Simposium akreditasi

Laboratorium, Limbah laboratorium dan analisis dampak lingkungan, pemeriksaan keganasan hematologi, seminar industri serta MUSWIL ILKI Jateng 2004. Pengurus ILKI Jawa Tengah. 2004: 13-23. 5. B. Löwenberg, J.J. Cornelissen, P. Sonneveld. Leukemia akut dan kronik. Dalam: Arjono, alih bahasa. Onkologi. Edisi V. Panitia Kanker RSUP Dr Sardjito. Yogyakarta. 1999: 641-60. 6. Supandiman I, Anggraeni E, Sumantri R. Lekemi granulositik kronik. Dalam: Supandiman I, Anggraeni E, Sumantri R, editors. Pedoman terapi hematologi onkologi. PT Alumni . Bandung Edisi I.1997: 28-30 7. Sacher R.A., McPherson R.A.. Penyakit sel darah putih. Dalam: Hartanto H, editor. Pendit B.U., Wulandari D, alih bahasa. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium, edisi 11. Jakarta: EGC; 2004: 109-52. 8. Hoffbrand A.V, Pettit J. E, Moss P.A.H.

Leukemia mieloid kronik dan

mielodisplasia. Dalam: Mahanani Dewi Asih, editor. Kapita Selekta Hematologi, 4th edition. Jakarta: EGC; 2005: 167-76. 9. Harahap AR. Penanda genetik chronic myeloid leukemia: Deteksi kromosom Philadelphia, bcr/abl fusion gene dan protein 210. Dalam: Oesman F, editor. Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2007. Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007: 62-73

25

10. Pradana AP. Keganasan hematologik. Dalam: Budiwiyono I, Adhipireno P, editors. Workshop hematologi 1995. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Undip/ RS Dr Kariadi. Semarang. 1995: 27-36 11. Kosasih

AS.

Immunophenotyping

pada

leukemia.

Dalam:

Marzuki

Suryaatmadja, editor. Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2004. Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004:178-193. 12. Hoffbrand A.V, Pettit J. E, Moss P.A.H. Genetika keganasan hematologik. Dalam: Mahanani Dewi Asih, editor. Kapita Selekta Hematologi, 4 th edition. Jakarta: EGC; 2005: 134-49 13. Isbister PJ, Pittiglio DH. Anemia. Dalam: Kartini A, Hartawan B, Mandera LI, editors. Ronardy DH, alih bahasa. Hemtologi Klinik Pendekatan Berorientasi Masalah. Edisi 1. Jakarta. Hipokrates: 1999: 38-98. 14. Mansyur Arif. Aspek Molekular Leukemia Mielositik Kronik. Forum Diagnosticum . Prodia. Bandung: 2007 (1): 1-11) 15. Anonymous.

Chronic_myelogenous_leukemia.

Availabble

from

URL:

http://en.wikipedia.org/wiki/Chronic_myelogenous_leukemia 16. Sacher R.A., McPherson R.A.. Hemostasis dan Uji Fungsi Hemostatik . Dalam: Hartanto H, editor. Pendit B.U., Wulandari D, alih bahasa. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium, edisi 11. Jakarta: EGC; 2004: 153-83

26

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF