laporan kasus anestesi CPR

June 18, 2019 | Author: annisazakiaw | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

kasbes anestesi CPR , cardiac arrest...

Description

LAPORAN KASUS ANESTESI

RESUSITASI JANTUNG PARU PADA SEORANG WANITA 44 TAHUN DENGAN SYOK HIPOVOLEMIK DAN CARDI AC ARRE ST 

Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh:

Annisa Zakia Widiastuti 22010117220031

Pembimbing:

dr. Moh Sudrajat

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2018

HALAMAN PENGESAHAN

 Nama Mahasiswa

: Annisa Zakia Widiastuti

 NIM

: 22010117220031 22010117220031

Bagian

: Anestesiologi RSDK-FK UNDIP

Judul kasus

: RESUSITASI JANTUNG PARU PADA SEORANG WANITA 44 TAHUN TAHUN DENGAN SYOK HIPOVOLEMIK DAN CARDIAC ARREST 

Pembimbing

: dr. Moh Sudrajat

Semarang, Mei 2018 Pembimbing

dr. Moh Sudrajat

1

BAB I PENDAHULUAN

Bantuan hidup dasar atau basic life support   (BLS) adalah pendekatan sistematik untuk penilaian pertama pasien, mengaktifkan respon gawat darurat dan juga inisiasi resusitasi jantung paru (RJP). RJP yang efektif adalah dengan menggunakan kompresi dan dilanjutkan dengan ventilasi.

1

BLS sendiri boleh dilakukan oleh orang awam dan juga orang yang terlat ih dalam bidang kesehatan seperti dokter, perawat, paramedic. Beberapa keadaan di mana terdapat kegagalan pernapasan yang dapat menyebabkan  systemic cardiopulmonary arrest  (SCA)   (SCA) adalah kecelakaan, sepsis, kegagalan respiratorik,  sudden infant death syndrome syndrome , syok dan lainnya. 2 Syok adalah sindroma klinis akibat kegagaan sirkulasi yang menyebabkan gangguan perfusi jaringan. Pada syok hipovolemik terjadi defisit cairan dalam tubuh yang menyebabkan tubuh mengkompensasi dengan terjadin ya vasokontriksi seluruh tubuh termasuk arteri coroner jika keadaan ini beranjut maka akan menyebabkan SCA.

3

Menurut  American

Heart

Association  Association  (AHA),

rantai

kehidupan

mempunyai hubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru, karena  penderita yang diberikan RJP, mempunyai kesempatan yang besar untuk dapat hidup. Pasien yang ditemukan dalam keadaan tidak sadar diri atau mengalami  penurunan pernafasan selalu diasumsikan mempunyai mempunyai gangguan SCA. Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti maka sirkulasi darah dan transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat ± 10 menit organorgan tubuh terutama organ vital (otak) akan mengalami kerusakan karena kekurangan oksigen. Oleh karena itu,  golden period   (waktu emas) pada korban yang mengalami henti napas dan henti jantung adalah dibawah 10 menit. Artinya, dalam watu kurang dari 10 menit penderita yang mengalami henti napas dan henti  jantung harus sudah mulai mendapatkan pertolongan. Jika tidak, maka harapan hidup korban sangat kecil. 4

2

Saat ini, AHA telah mempublikasikan panduan terbaru RJP dan juga ECC (Emergency Cardiovascular Care)  per bulan Oktober 2015. Kehadiran rekomendasi baru ini tidak untuk menunjukkan bahwa pedoman sebelumnya ti dak aman atau tidak efektif, melainkan untuk menyempurnakan rekomendasi terdahulu.

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Resusitasi Jantung Paru (RJP) 2.1.1

Definisi

Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) adalah usaha untuk mengembalikan sirkulasi dan/atau fungsi pernapasan akibat terhentinya

fungsi

dan/atau

denyut

jantung.

Resusitasi

sendiri

berarti

menghidupkan kembali, dimaksudkan sebagai usaha-usaha untuk mencegah  berlanjutnya episode henti jntung menjadi kematian biologis. Dapat diartikan pula sebagai usaha untuk mengembalikan fungsi pernapasan dan atau sirkulasi yang  bertujuan untuk mempertahankan fungsi otak secara manual.1,5 Henti napas adalah tidak adanya pergerakan dada dan aliran udara  pernapasan dari pasien atau tidak adekuat.6  Bisa diakibatkan karena tenggelam,  penyakit stroke, obstruksi jalan napas, epiglotitis, overdosis obat-obatan, infark miokardium, tersengat listrik, dan lain sebagainya; sedangkan henti jantung didefinisikan sebagai ketidaksanggupan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat kembali normal jika dilakukan tindakan pertolongan yang cepat dan tepat. 2 Hal ini berarti henti jantung bisa disebabkan oleh berbagai hal misalnya penyakit yang sebelumnya diderita, bisa juga tanpa adanya penyakit yng mendahului, namun keduanya sama-sama terjadi mendadak dan masih bersifat reversible.

2.1.2

Indikasi Resusitasi Jantung Paru

2.1.2.1 Henti Napas

Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik, tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglotis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya. Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,  pemberian O2  ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa

4

menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan teselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti  jantung yang mungkin menjadi fatal.  6 Indikasi RJP untuk orang awam adalah hilangnya kesadaran dan henti napas. Bila terjadi henti napas primer, jantung dapat terus memompa darah selama  beberapa menit selama ada sisa oksigen dalam paru yang beredar ke otak dan organ lain. Penanganan dini pada pasien henti napas dapat mencegah henti  jantung. Tanda-tanda diperlukannya penanganan jalan napas dan pernapasan: 6 a. Aliran udara di hidung atau mulut tidak dapat didengar atau dirasakan  b. Pada gerakan napas spontan terlihat retraksi supraklavikula dan sela iga serta tidak ada pengembangan dada saat inspirasi c. Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan d. Bisa disertai bunyi napas tambahan ( snoring, wheezing ) e. Dapat disertai retraksi f. Pada keadaan klinis dapat diketahui: -

Hiperkarbia: penurunan kesadaran, peningktan co 2 arteri

-

Hipoksemia: takikardi, gelisah, berkeringat, sianosis

2.1.2.2 Henti Jantung

Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidaksanggupan curah jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat kembali normal, apabila dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian dan kerusakan otak. Tanda-tanda henti jantung, antara lain:2 a. Hilangnya kesadaran dalam waktu 10-20 detik setelah henti jantung  b. Henti napas (apnea) yang muncul setelah 15-20 detik henti jantung c. Terlihat seperti mati, yang ditandai warna kulit pucat sampai kelabu d. Pupil dilatasi dalam waktu 45 detik setelah henti jantung e. Tidak teraba denyut arteri Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (10%)

5

dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (5%). Dua jenis henti jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat gangguan  pacemaker   jantung. Fibrilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung menghilang. Henti  jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis, femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu ( gasping , apneu), dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar.2 Pengiriman oksigen ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin (Hb), saturasi oksigen dan fungsi pernapasan. Iskemi yang melebihi 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan korteks serebri rusak permanen, walaupun setelah itu jantung berdenyut kembali.

2.1.3

Langkah-langkah Resusitasi Jantung Paru

Pada dasarnya resusitasi jantung paru terdiri dari 2 elemen: kompresi dada dan ventilasi buatan. Sebelum menolong korban, hendaklah menilai keadaan lingkungan terlebih dahulu: 7 1. Apakah korban dalam keadaan sadar? 2. Apakah korban tampak mulai tidak sadar, tepuk atau goyangkan bahu korban dan bertanya dengan suara keras “Apakah Anda baik - baik sajaa?” 3. Apabila korban tidak berespon, mintalah bantuan untuk menghubungi rumah sakit terdekat, dan mulailah RJP

Airway (Jalan Napas)

Posisikan korban dalam keadaan terlentang pada alas yang keras (ubin),  bila diatas kasur selipkan papan. Periksa jalan napas korban sebagai berikut: o

Membuka mulut korban

o

Masukkan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah)

o

Lihat apakah ada benda asing, darah, (bersihkan) Pada korban tidak sadar, tonus otot menghilang, sehingga lidah akan jatuh

kebelakang (drop), menutupi jalan napas. Lidah dan epiglottis penyebab utama

6

tersumbatnya jalan napas pada pasien tidak sadar. Beberapa cara untuk membebaskan jalan napas:6 o

Letakkan tangan penolong diatas kening korban dan tangan yang lain didagu korban, tengadahkan/dongakkan kepala korban (Head tilt - chin lift).

o

Jika kita mencurigai adanya patah atau fraktur tulang leher/servikal, maka pakai cara jaw thrust  lalu buka jalan napas.

Breathing (Pernapasan)

Untuk menilai pernapasan korban dilakukan 3 cara: o

 Look : lihat gerakan dada apakah mengembang atau tidak.

o

 Listen: dengarkan suara napas korban ada atau tidak

o

 Feel : rasakan hembusan napas korban pada mulut/hidung. Jika tidak ada, maka dapat dilakukan napas buatan mulut ke mulut atau

sungkup ke mulut, atau mulut ke hidung, atau mulut ke lubang trakheostomi sebanyak 2 kali.1,8 Circulation (Sirkulasi)

Aspek

dasar

dalam

Bantuan

Hidup

Dasar

meliputi

pengenalan

(recognition) secara cepat henti jantung yang tiba-tiba dan aktivasi emergency response system (activation), resusitasi jantung paru yang dini (resuscitation), dan defibrilasi yang cepat (defibrillation) dengan  Automated External Defibrillator (AED).1,4,7 a. Pengenalan henti jantung secara cepat dan aktivasi emergency response

 system Ketika menjumpai seorang penderita yang mengalami henti jantung secara tiba-tiba, penolong yang seorang diri harus pertama kali mengenali  bahwa penderita telah mengalami henti jantung, berdasarkan pada tidak adanya atau berkurangnya respon napas. Setelah memastikan bahwa lokasi sekitar aman, penolong harus memeriksa respon penderita dengan cara menepuk pundak penderita dan memanggil penderita. Setelah itu baik  penolong yang terlatih maupun yang tidak terlatih harus segera mengaktifkan emergency response system  (dengan menghubungi nomor darurat yang

7

tersedia). Setelah mengaktifkan emergency response system semua penolong harus segera memulai RJP. b. Pengecekan nadi

Penolong harus memeriksa nadi dalam waktu kurang dari 10 detik. Dilakukan dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis, arteri femoralis) dan harus segera melakukan kompresi dada jika tidak menemukannya. Bagi  penolong yang tidak terlatih, pijat jantung dimulai jika pasien tidak responsif dan napas tidak normal, tanpa meraba adanya denyut karotis atau tidak. c. Resusitasi Jantung Paru Kompresi dada

Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan yang ritmis dan  bertenaga pada setengah bawah sternum. Kompresi ini akan menciptakan aliran darah dengan cara meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung. Hal ini menimbulkan aliran darah dan oksigen menuju miokardium dan otak. Kompresi dada yang efektif penting untuk menyediakan aliran darah selama RJP. Karena alasan ini semua penderita henti jantung harus mendapatkan kompresi dada. Untuk memperoleh kompresi dada yang efektif, tekan secara kuat dan cepat ( push hard and push  fast).  Kecepatan kompresi harus mencapai 100-120kali/menit dengan kedalaman kompresi 2-2,4 inci (5-6 cm). Penolong harus memberi kesempatan agar daya rekoil dapat terjadi sempurna setiap kali sehabis kompresi, untuk memberi kesempatan jantung mengisi kembali secara penuh sebelum kompresi berikutnya. Penolong seharusnya mencoba untuk mengurangi frekuensi dan durasi gangguan yang terjadi selama kompresi untuk memaksimalkan jumlah kompresi yang diberikan tiap menit.

8

Kompresi dada pada anak dipakai satu tangan, sedangkan untuk bayi hanya dipakai ujung jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan anak kecil terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus dilakukan di  bagian tengah tulang dada. Pada bayi kedalaman kompresi adalah 1,5 inchi.9 Penyelamatan Pernapasan

Perubahan yang terjadi pada  AHA Guidelines for CPR and ECC  2010 adalah pada rekomendasi untuk memulai kompresi sebelum ventilasi. Meskipun tidak ada pembuktian pada manusia maupun hewan bahwa memulai RJP dengan 30 kompresi daripada memulai dengan 2 ventilasi yang menunjukkan hasil yang lebih baik, namun jelas bahwa aliran darah tergantung dari kompresi dada. Oleh sebab itu, penundaan dan interupsi dari kompresi dada harus diminimalkan selama seluruh proses resusitasi. Selain itu,

kompresi

dada

dapat

dimulai

sesegera

mungkin,

sedangkan

memposisikan kepala, mengambil penutup untuk pertolongan napas dari mulut ke mulut, dan mengambil alat memakan banyak waktu. Memulai RJP dengan 30 kompresi daripada 2 ventilasi menghasilkan penundaan yang lebih singkat. Begitu kompresi dada telah dimulai, seorang penolong yang terlatih harus memberikan napas buatan dengan cara dari mulut ke mulut atau

9

melalui bag-mask untuk memberikan oksigenasi dan ventilasi, sebagai  berikut: o

Memberikan setiap napas buatan selama satu detik

o

Berikan volume tidal yang cukup untuk menghasilkan pengembangan dada yang terlihat (visible chest rise)

o

Melakukan rasio kompresi dan ventilasi sebanyak 30:2

o

Ketika jalan napas buatan (misalnya endotracheal tube, combitu, atau laryngeal mask airway/LMA) telah dipasang selama RJP dengan dua orang penyelamat, berikan napas setiap 6-8 detik tanpa menyesuaikan napas dengan kompresi. Kompresi dada tidak boleh berhenti untuk memberikan ventilasi.

d. Defibrilasi dini dengan AED

Setelah mengaktifkan emergency response system, penolong yang seorang diri harus mencari AED ( Automated External Defibrillation) bila AED dekat dan mudah didapatkan dan kemudian kembali ke penderita untuk memasang dan menggunakan AED. Penolong lalu memberikan RJP  berkualitas tinggi. Bila terdapat dua atau lebih penolong, seorang penolong harus segera memberikan kompresi dada sedangkan penolong kedua mengaktifkan emergency response system  dan mengambil AED (atau defibrillator manual pada kebanyakan rumah sakit). AED harus digunakan secepat mungkin dan kedua penyelamat harus memberikan RJP dengan kompresi dada dan ventilasi. Tahapan defibrilasi: 1.  Nyalakan AED 2. Ikuti petunjuk 3. Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan gangguan).

10

2.1.4

Panduan Resusitasi Jantung Paru AHA 2015

1. Menekankan pada RJP yang berkualitas secara terus menerus yang mengutamakan kebutuhan RJP yang berkualitas tinggi, hal ini mencakup: 10 

Kecepatan kompresi paling sedikit 100 kali/menit (perubahan dari ”kurang lebih” 100 kali/menit)



Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm) pada dewasa dan  paling sedikit sepertiga dari diameter anteroposterior dada pada  penderita anak-anak dan bayi (sekitar 1,5 inchi (4cm) pada bayi dan 2 inchi (5cm) pada anak-anak)



Batas antara 1,5 hingga 2 inchi tidak lagi digunakan pada dewasa, dan kedalaman mutlak pada bayi dan anak-anak lebih dalam daripada versi sebelumnya dari AHA Guidelines for CPR and ECC 



Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang lengkap setiap kali selesai kompresi



Meminimalisasi gangguan pada kompresi dada



Menghindari ventilasi yang berlebihan Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi

ventilasi yaitu sebanyak 30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak termasuk bayi yang baru lahir). AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 meneruskan rekomendasi untuk memberikan napas buatan sekitar 1 detik. Begitu jalan napas telah dibebaskan, kompresi dada dapat dilakukan secara terus menerus (dengan kecepatan paling sedikit 100 kali/menit) dan tidak lagi diselingi dengan ventilasi. Napas buatan kemudian dapat diberikan sekitar 1 kali napas setiap 6 sampai 8 detik (sekitar 8-10 napas per detik). Ventilasi yang berlebihan harus dihindari. 10 2. Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-B Perubahan yang utama pada BLS, urutan dari Airway-BreathingCirculation berubah menjadi Compression-Airway-Breathing. Hal ini untuk menghindari penghambatan pada pemberian kompresi dada yang cepat dan efektif. Mengamankan jalan napas sebagai prioritas utama merupakan

11

sesuatu yang memakan waktu dan mungkin tidak berhasil 100%, terutama oleh penolong yang seorang diri. Sebagian besar henti jantung terjadi pada dewasa dan penyebab  paling umum adalah ventricular fibrillation  atau  pulseless ventricular tachycardia. Pada penderita tersebut, elemen paling penting dari BLS adalah kompresi dada dan defibrilasi yang segera. Pada rangkaian A-B-C, kompresi dada seringkali tertunda ketika penolong membuka jalan napas untuk memberikan napas buatan, mencari alat pembatas (barrier devices)  atau mengumpulkan peralatan ventilasi. Setelah memulai emergency response system  hal berikutnya yang  penting yaitu untuk segera memulai kompresi dada. Hanya RJP pada bayi yang merupakan pengecualian dari protokol ini, dimana urutan yang lama tidak berubah. Hal ini berarti tidak ada lagi look, listen, and feel , sehingga komponen ini dihilangkan dari panduan. Dengan merubah urutan menjadi C-A-B kompresi dada dimulai sesegera mungkin dan ventilasi hanya tertunda sebentar (yaitu hingga siklus  pertama dari 30 kompresi dada terpenuhi, atau sekitar 18 detik). Sebagian  besar penderita yang mengalami henti jantung diluar rumah sakit tidak mendapatkan pertolongan RJP oleh orang-orang disekitarnya. Terdapat banyak alasan untuk hal tersebut, namun salah satu hambatan yang dapat timbul yaitu urutan A-B-C, yang dimulai dengan  prosedur yang paling sulit, yaitu membuka jalan napas dan memberikan napas buatan. Memulai pertolongan dengan kompresi dada dapat mendorong lebih banyak penolong untuk memulai RJP.

10

3. Rata-rata kompresi Sebaiknya dilakukan kira-kira minimal 100 kali/menit. Jumlah kompresi dada yang dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk menentukan kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation (ROSC))  dan fungsi neurologis yang baik. Jumlah yang tepat untuk memberikan kompresi dada per menit ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada dan jumlah serta lamanya gangguan dalam melakukan kompresi

12

(misalnya, untuk membuka jalan napas, memberikan napas buatan, dan melakukan analisis AED). Pada sebagian besar studi, kompresi yang lebih banyak dihubungkan dengan tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi yang lebih sedikit dihubungkan dengan rata-rata kelangsungan hidup yang lebih rendah. Kesepakatan mengenai kompresi dada yang adekuat membutuhkan  penekanan tidak hanya pada kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga  pada meminimalkan gangguan pada komponen penting dari RJP tersebut. Kompresi yang inadekuat atau gangguan yang sering, atau keduanya, akan mengurangi jumlah total kompresi yang diberikan per menit. 10 4. Kedalaman kompresi Untuk dewasa kedalaman kompresi telah diubah dari jarak 1½ - 2 inch menjadi minimal 2 inch (5 cm). Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat dan cepat) menghasilkan aliran darah dan oksigen dan memberikan energi pada jantung dan otak. Kompresi menghasilkan aliran darah terutama dengan meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung. Kompresi menghasilkan aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk dialirkan ke jantung dan otak. 10 5. RJP Dengan Tangan Saja (Hands Only CPR) Secara teknis terdapat perubahan dari petunjuk RJP 2005, namun AHA mengesahkan tehnik ini pada tahun 2008. Untuk penolong yang belum terlatih diharapkan melakukan RJP pada korban dewasa yang pingsan didepan mereka.  Hands Only CPR (hanya dengan kompresi) lebih mudah untuk dilakukan oleh penolong yang belum terlatih dan lebih mudah dituntun oleh penolong yang ahli melalui telepon. Kompresi tanpa ventilasi (Hands Only CPR) memberikan hasil yang sama jika dibandingkan kompresi dengan menggunakan ventilasi. 10 6. Identifikasi pernapasan agonal oleh pengantar ( Dispatcher Identification of  Agonal Gasps) Penolong diajarkan untuk memulai RJP jika korban tidak bernapas atau sulit bernapas. Penyedia layanan kesehatan seharusnya diajarkan untuk

13

memulai RJP jika korban tidak bernapas atau pernapasan yang tidak normal. Pengecekan kecepatan pernapasan seharusnya dilakukan sebelum aktivasi emergency response system.1,8,10 7. Aktivasi Emergency Response System Aktivasi emergency response system  seharusnya dilakukan setelah  penilaian respon penderita dan pernapasan, namun seharusnya tidak ditunda. Menurut panduan tahun 2005, aktivasi segera dari sistem kegawatdaruratan dilakukan setelah korban yang tidak merespon. Jika penyedia pelayanan kesehatan tidak merasakan nadi selama 10 detik, RJP harus segera dimulai dan menggunakan defibrillator jika tersedia.10 8. Tim Resusitasi Dibutuhkan suatu tim agar resusitasi berjalan dengan baik dan efektif. Misalnya, satu penolong mengaktifkan respon sistem kegawatdaruratan sedangkan penolong kedua melakukan kompresi dada, penolong ketiga membantu ventilasi atau memakaikan bag-mask untuk membantu pernapasan dan penolong keempat mempersiapkan defibrillator.10 9

2.1.5

Keputusan untuk Mengakhiri Upaya Resusitasi

Dalam keadaan darurat, resusitasi dapat diakhiri bila terdapat salah satu dari keadaan berikut ini: 

telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif



ada orang lain yang lebih ahli mengambil alih tanggung jawab



 penolong terlalu lelah sehingga tidak sanggup meneruskan resusitasi yang adekuat



 pasien dinyatakan mati atau hampir dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah 30 menit sampai 1 jam terbukti tidak ada nadi  pada normotermia tanpa RJPO setelah dimulai resusitasi. Pasien dinyatakan mati bila telah terbukti terjadi kematian batang otak, fungsi spontan  pernapasan dan jantung telah berhenti secara pasti/irreversible.



Bantuan medis atau AED telah tiba

14

Petunjuk terjadinya kematian otak adalah pasien tidak sadar, tidak ada  pernapasan spontan dan reflek muntah, serta terdapat dilatasi pupil yang menetap selama 15-30 menit atau lebih, kecuali pada pasien hipotermik, dibawah efek  barbiturat, atau dalam anestesi umum. Sedangkan mati jantung ditandai oleh tidak adanya aktivitas listrik jantung (asistol) selama paling sedikit 30 menit walaupun dilakukan upaya RJPO dan terapi obat yang optimal. Tanda kematian jantung adalah titik akhir yang lebih baik untuk membuat keputusan mengakhiri upaya resusitasi.1,4,5,7,

2.1.6

Do Not Resuscitate (DNR)

DNR atau do-not-resuscitate adalah suatu perintah yang memberitahukan tenaga medis untuk tidak melakukan CPR. Hal ini berarti bahwa dokter, perawat, dan tenaga emergensi medis tidak akan melakukan usaha CPR emergensi bila  pernapasan maupun jantung pasien berhenti. Perintah DNR untuk pasien harus tertulis baik di catatan medis pasien maupun di catatan yang dibawa pasien sehari-hari, di rumah sakit atau keperawatan, atau untuk pasien di rumah. Perintah DNR di rumah sakit memberitahukan kepada staf medis untuk tidak berusaha menghidupkan pasien kembali sekalipun terjadi henti jantung. Bila kasusnya terjadi di rumah, maka  perintah DNR berarti bahwa staf medis dan tenaga emergensi tidak boleh melakukan usaha resusitasi maupun mentransfer pasien ke rumah sakit untuk CPR.8 Perintah DNR dapat diminta oleh pasien dewasa yang kompeten mengambil keputusan, telah mendapat penjelasan dari dokternya, atau bagi  pasien yang dinyatakan tidak kompeten, keputusan dapat diambil oleh keluarga terdekat, atau wali yang sah yang ditunjuk oleh pengadilan, atau oleh s urrogate decision-maker . Dengan pertimbangan tertentu, hal-hal di bawah ini dapat menjadi bahan diskusi perihal DNR dengan pasien/walinya: a) Kasus-kasus dimana angka harapan keberhasilan pengobatan rendah atau CPR hanya menunda proses kematian yang alami  b) Pasien tidak sadar secara permanen

15

c) Pasien berada pada kondisi terminal d) Ada kelainan atau disfungsi kronik dimana lebih banyak kerugian dibanding keuntungan jika resusitasi dilakukan 8

BLS Algoritma Serangan Jantung pada Orang Dewasa  –  Pembaharuan 2015

16

2.2 Syok 2.2.1

Definisi

Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius, seperti  perdarahan yang massif, trauma atau luka bakar yang berat, infark miokard luas atau emboli paru, sepsis akibat bakteri yang tak terkontrol, tonus vasomotor yang tidak adekuat atau akibat respon imun. 12

2.2.2

Klasifikasi

1. Syok Hipovolemik Disebabkan oleh kehilangan volume akut sebesar > 20%-25% dari volume darah yang beredar. Penyebab dari syok hipovolemik termasuk hemoragi dan  penumpukkan cairan dalam tubuh, misalnya pada obstruksi usus. Syok hipovolemi dikenali dari penurunan tekanan darah, penurunan cardiak output,  penurunan tekanan vena sentral, dan penurunan tekanan arteri pulmonal. 2. Syok Kardiogenik Disebabkan oleh kegagalan utama dari jantung untuk menhasilkan Cardiac Output (CO) yang adekuat. Hal ini dapat dikarenakan kegagalan ventrikel kiri, ventrikel kanan atau keduanya. 3. Syok Distributif DIkenali dari penurunan denyut vaskuler akibat vasodilatasi arterial, venous pooling, dan redistribusi aliran darah. Hal ini dapat dikarenakan oleh  bakteria hidup dan produknya dalam syok septikm mediator sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS), bervagai macam vasoaktif dalam syok anafilaktik, atau dikarenakan hilangnya denyut vaskuler dalam syok neurogenic atau apopleksi adrenal. Syok distributive dikenali dari tekanan darah yang rendah dan CO yang tinggi.

17

4. Syok Obstruktif Dikaitkan dengan kesukaran mekanis pada arus balik vena, dan/atau aliran arteri ke jantung. Penyebab-penyebabnya antara lain tension pneumothorax, emboli pulmonal,  pericardial tamponade, sindrom kompartemen abdominal dan kadang-kadang ventilasi tekanan positif,  positive end expiratory pressure (PEEP) dan auto PEEP. Syok distributive dikenali dari penurunan tekanan darah dan CO disertai kenaikan CVP.8

2.2.2.1 Syok Hipovolemik 2.2.2.1.1

Etiopatofisiologi

Tabel Penyebab syok hipovolemik

Pedarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan  penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah dibawah normal akan menimbulkan beberapa kejadian pada organ: 

Mikrosirkulasi Ketika curah jantung turun, tahanan vascular sistemik akan  berusaha untuk meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus gastrointestinal. Ketika tekanan arterial rata-rata

18

(MAP = Mean Arterial Pressure) jatuh hingga < 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu.



 Neuroendokrin Hipovolemia,

hipotensi

dan

hipoksia

dapat

dideteksi

oleh

 baroreseptor dan kemoreseptor tubu. Kedua reseptor ini berperan dalam respon autonom tubu yang mengatur perfusi serta substrak lain. 

Kardiovaskular Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang  pada akhirnya menurunkan volumen sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi utnuk mempertahankan curah jantung.



Gastrointestinal Akibat aliran darah yang menurun ke jeringan intestinal, maka terjadi peningkatan absorbsi endotoksin yang dilepaskan oleh bacteria gram negatif yang mati di dalam usus. Hal ini memicu pelebaran  pembuluh

darah

serta

peningkatan

metabolisme

sehingga

dapat

menyebabkan depresi jantung. 

Ginjal Gagal ginjal akut adalah suatu komplikasi dari syok dan hipoperfusi. Selain komplikasi ini, yang sangat sering terjadi adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida. Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam dan air. Pada saat alirah darah di ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi

laju

filtrasi

glomerulus,

yang

bersama-sama

dengan

aldosteron dan vasopresin bertanggung jawab terhadap menurunnya  produksi urin.12

19

2.2.2.1.2 

Gejala Klinis

Hipovolemia ringan (< 20% dari volume darah) Menimbulkan takikardia ringan, ekstremitas dingin, diaporesis (berkeringat), vena kolaps, cemas.



Hipovolemia sedang (20-40 % dari volume darah) Sama seperti hipovolemia ringan ditambah takikardia yang lebih  jelas, takipnea, oliguria, hipotensi ortostatik.



Hipovolemia berat (> 40% dari volume darah) Sama seperti hipovolemia sedang ditambah hemodinamik tidak stabil, takikardia bergejala, hipotensi, perubahan kesadaran. 12

2.2.2.1.3

Penatalaksanaan



Menempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi



Menjaga jalur pernapasan. Kebutuhan oksigen pasien harus terpenuhi dan  bila dibutuhkan intubasi dapat dikerjakan.



Resusitasi cairan dengan cepat lewat akses IV atau cara lain yang memungkinkan seperti pemasangan kateter CVP (central venous pressure) atau jalur intraarterial. Cairan yang diberikan adalah garam isotonus yang ditetes dengan cepat (hati-hati terhadap asidosis hiperkloremia) atau dengan cairan garam seimbang seperti RL dengan jarum infus yang terbesar. Pemberian 2-4 L dalam 20-30 menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan hemodinamik. Pantau kemungkina terjadi edem  paru. Pantau dan pertahankan urin output (0,5-1 cc/KgBB/jam untuk dewasa, 1 cc/KgBB/jam untuk anak-anak).



Bila hemodinamik tetap tak stabil, berarti perdarahan atau kehilangan cairan belum teratasi. Kehilangan darah yang berlanjut dengan kadar hemoglobin < 10 g/dL perlu pergantian darah dengan transfusi. Jenis darah tergantung kebutuhan. Disarankan agar darah telah dilakukan uji silang (cross match). Bila sangat darurat, maka dapat digunakan packet red cels tipe darah yang sesuai atau O-negatif.

20



Pada hipovolemia berkepanjangan, dukungan inotropic dengan dopamine, vasopressin, dan dobutamin dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan kekuatan ventrikel yang cukup setelah volume darah dicukupi terlebih dahulu. Pemberian nalokson bolus 30mcg/kg dalam 3-5 menit dilanjutkan 60 mcg/kg dalam 1 jam dalam dextrose 5% dapat membantu meningkatkan MAP. 12

21

BAB III LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita

 Nama

: Ny. M

Umur

: 44 tahun

Agama

: Islam

Jenis kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Lainnya

 No. CM

: C617400

Tanggal masuk

: 07 Mei 2018

3.2 Anamnesis

Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 07 Mei 2018 di Ruang IRDA TRIAGE. a.

Keluhan utama : Lemas

 b.

Riwayat Penyakit Sekarang  :

± 3 hari SMRS pasien mengeluh lemas, pucat dan bengkak di extremitas bawah. Pasien tampak mengantuk dan sulit kontak selama 1 hari ini. Gejala penyerta: demam (-), batuk (-), sesak napas (-), BAK merah (-), BAB hitam (+), muntah (+), kelemahan anggota gerak (- ). c.

Riwayat Dahulu:

Terdapat riwayat penyakit jantung Riwayat TB disangkal Riwayat tekanan darah tinggi disangkal Riwayat asma dan alergi disangkal Riwayat penyakit kencing manis disangkal Riwayat trauma sebelumnya disangkal Riwayat operasi DVR 2 bulan SMRS d.

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat tekanan darah tinggi disangkal

22

Riwayat penyakit jantung disangkal Riwayat penyakit kencing manis disangkal e.

Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien merupakan tamatan SMTA. Biaya pengobatan: JKN PBI. Kesan : sosial ekonomi cukup. f.

Riwayat Konsumsi Obat o

Simare 4mg/24 jam

o

Atapulgit 600mg/8 jam

o

Vit b kompleks 1 tab/24 jam

o

Concor 2,5 mg/24 jam

o

Candesartan 8 mg/ 24 jam

o

Furosemid 40 mg/24 jam

3.3 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan dilakukan di Ruang IRDA TRIAGE A. Pemeriksaan Fisik ( 7 Mei 2018 pukul 23.00) 

Keadaan Umum : tampak sakit



Survey Primer Airway

: paten

Breathing

: ada napas spontan

Circulation

: gangguan hemodinamik ringan-sedang



Kesadaran

: somnolen, kontak (-)



Tanda vital

: HR : 130x/mnt, Nadi : isi tegangan cukup, RR 20x/mnt, TD : 95/70 mmHg T : 37,6C SO2 : 90 %



Secondary survey



Mata

: konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), strabismus (-/-), reflex cahaya (+/+)



Telinga

: discharge (-) 23



Hidung

: discharge (-), nafas cuping (-)



Mulut

: sianosis (-), makroglosia (-)



Leher

: simetris, pembesaran KGB (-), JVP (-)



Paru I

: simetris statis dan dinamis, retraksi ( – )

Pa

: stem fremitus kanan sama dengan kiri

Pe

: sonor di seluruh lapangan paru

A

: suara dasar vesikuler, suara tambahan: ronkhi (-/-),wheezing

(-/-) 

Jantung I

: iktus kordis tidak tampak

Pa

: iktus kordis teraba di SIC V linea midklavikula sinistra, tidak kuat angkat, tidak melebar, thrill (-)





Pe

: konfigurasi jantung dalam batas normal

A

: BJ I- II ireguler, mechanical heart sound (+)

Abdomen I

: datar, lemas, venektasi ( – )

Pa

: defans muskular (-), hepar lien tidak teraba

Pe

: timpani (+)

A

: bising usus (+) N

Alat kelamin

: dalam batas normal

Ekstremitas

Superior

Inferior

Gerak

+

+

+

+

Kekuatan

Kesan>3

Kesan>3

Kesan>3

Kesan>3

Trofi

Eutrofi

Etrofi

Eutrofi

Eutrofi

Reflek

+3

+3

+3

+3

Babinski (-)

Babinski (-)

fisiologis Reflek

24

 patologis LGS Pasif

Shoulder: full

Shoulder:full

Hip : full

Hip : full

Elbow: full

Elbow: full

Knee : full

Knee : full

Wrist: full

Wrist: full

Ankle : full

Ankle : full

Finger: full

Finger: full

Finger : full

Finger : full

Edema

B.

-

-

+

+

Pemeriksaan Fisik ( 8 Mei 2018 pukul 02.00) o

Kesadaran

: apatis, kontak (-)

o

Tanda vital

: HR : 145x/mnt TD : 87/59 mmHg RR 30x/mnt, T : 36 C SO2 : 77 %

o

Terapi 

: Terapi oksigen masker non rebreathing 10 Lpm + ventilasi tekanan positif

C.



Menstabilkan airway



Infus kristaloid 20cc/kgbb/jam



Infus koloid 10 cc/kgbb/jam



Transfusi darah

Pemeriksaan Fisik ( 8 Mei 2018 pukul 04.30) a)

Keadaan Umum Tidak sadar, bradikardi, apneu

 asistol,

terpasang infus kristaloid

dan non-rebreather mask 10 lpm  b)

Survey Primer Airway

: paten

Breathing

: tidak ada napas spontan

25

Circulation

: tekanan darah tidak terukur, nadi tidak

terukur c)

Pengkajian berkaitan dengan kegawatan Jalan napas

: paten

Pernapasan

: henti napas

Sirkulasi

: gangguan hemodinamik

 Nyeri

: tidak nyeri

3.3 Pemeriksaan Penunjang (tanggal 7 Mei 2018 pukul 23.00) Pemeriksaan Darah Lengkap Hemoglobin Hematokrit Eritrosit MCH MCV MCHC Leukosit Trombosit RDW MPV Hitung Jenis Eosinofil Basofil Batang Segmen Limfosit Monosit Lain-lain

Pemeriksaan Koagulasi Plasma Prothrombin Time (PPT) Waktu Prothrombin PPT Kontrol

Hasil

Satuan

Nilai Normal

3,3 9,5 1,03 32,0 92,2 34,7 16,0 309 15,2 6,61

g/dL % 106/uL Pg fL g/dL 103/uL 103/uL % fL

12-15 35-47 4,4-5,9 27-32 76-96 29-36 3,6-11 150-400 11,60-14,80 4-11

2 0 1 85 8 1 Metamielosit 2% Mielosit 1%

% % % % % %

1-3 0-2 2--5 47-80 20-40 2-10

Hasil

Satuan

Nilai Normal

95,6 11

detik detik

9,4-11,3

26

Partial Thromboplastin Time (PTTK) Waktu Tromboplastin APTT kontrol

164,6 32,1

detik

27,7-40,2

Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Nilai Normal

108 45 1,2 0,61 2,08

mg/dL mg/dL mg/dL mmol/L mmol/L

80-160 15-39 0,6-1,3 0,74-0,99 2,12-2,52

140 3,7 97

mmol/L mmol/L mmol/L

136-145 3,5-5,1 98-107

Kimia Klinik Glukosa sewaktu Ureum Kreatinin Magnesium Kalsium Elektrolit  Natrium Kalium Chlorida

3.4 Pemeriksaan Penunjang (tanggal 7 Mei 2018 pukul 23.00) Pemeriksaan

BGA Kimia Temp FIO2 pH pCO2  pO2 HCO3-

Hasil

Satuan

36,5 60 7,071 24,8 160,9 7,3

c % mmHg mmHg mmol/L

Nilai Normal

7,37-7,45 35-45 83-108,0 22-26

27

EKG (tanggal 7 mei 2018)

Kesimpulan EKG : AF Rapid Ventrikular Response

3.4 Diagnosis

3.4.1 Cardiac arrest 3.4.2 Syok Hipovolemik 3.4.3 Perdarahan Gastrointentinal

3.5 Tindakan Life-Saving

 Nama Tindakan

: Resusitasi Jantung Paru

Diagnosis Banding

: Cardiac arrest, syok hipovolemik

Dasar Diagnosis

: Klinis dan penunjang

Indikasi Tindakan

: Henti jantung

Tata Cara

: Sesuai prosedur

Tujuan

: Bantuan hidup lanjut

Risiko

: Patah tulang, kematian

Komplikasi

: Patah tulang

Prognosis

: Dubia

Alternatif & Risiko

: Tidak ada

Lain-lain

: Tidak ada

28

Tindakan

Monitoring Hasil Tindakan

(Selasa 8/05/2018, Jam 04:30 WIB)

TD : 110/59

Cek kesadaran  pasien tidak sadar

HR : 140 x/menit

Cek Nadi Karotis  tidak teraba

SpO2 : 100 %

Pasien Bradikardi + Apneu

Mata midriasis +/+ Akral dingin +/+

A: Cardiac arrest P: RJP + VTP selama 6 siklus + adrenalin 3 ampul + pemasangan ET + injeksi SA (di ulang 2x) (Selasa 08/05/2018, Jam 05:30 WIB)

TD : 134/94

Cek kesadaran  pasien tidak sadar

HR : 139 x/menit

Cek Nadi Karotis  tidak teraba

SpO2 : 100 % Mata midriasis +/+

A: cardiac arrest

Akral dingin +/+

P: RJP + adrenalin 3 ampul + Jackson rees (Selasa 08/05/2018, Jam 15:30 WIB)

TD tidak terukur, nadi tidak

Cek kesadaran  pasien tidak sadar

teraba

Cek Nadi Karotis  tidak teraba

Pupil dilatasi maksimal EKG asistol

A: cardiac arrest P: Pasien dinyatakan meninggal dihadapan keluarga dan perawat

29

BAB IV PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien Ny M berumur 44 tahun datang dengan keluhan lemas, kondisi apatis, dan merasakan sesak. Pasien dirujuk ke label merah dikarenakan pasien mengalami gangguan hemodinamik dan penurunan kesadaran. Pasien diberikan cairan resusitasi yaitu infus NaCl 0.9% untuk mengatasi gangguan hemodinamik, pasien juga mengalami gangguan pernapasan yang menyebabkan penurunan saturasi oksigen sehingga pasien dipasang nonrebreather mask 10 lpm dan bantuan ventilasi tekanan positif. Selanjutnya dilakukan monitoring pada pasien di label merah. . Pada pukul 04.30 terjadi henti nafas dan henti jantung. Hal ini disebabkan adanya kegagalan sirkulasi yang disebabkan terjadinya perdarahan pada traktus gastrointestinal. Pada pasien dilakukan pemasangan endotracheal tube ukuran 7, orofaringeal tube untuk mencegah lidah jatuh dan bantuan ventilasi tekanan  positif Selanjutnya dilakukan RJP sebanyak 6 siklus sampai didapatkan keadaan ROSC. Pada pukul 06.30 terjadi penurunan kesadaran dan pasien terdiagnosis impending cardiac arrest . Kemudian dilakukan motivasi dan edukasi keluarga  pasien , keluarga mengerti, DNR (+). Pasien meninggal dunia pada pukul 15.30. Resusitasi jantung paru adalah usaha untuk mengembalikan sirkulasi dan/atau fungsi pernapasan akibat terhentinya fungsi dan/atau denyut jantung dengan bantuan pernapasan dan kompresi dada. Indikasi dilakukan RJP adalah henti napas dan henti jantung. Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti  jantung membutuhkan gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang meliputi  pengenalan segera henti jantung dan aktivasi emergency response system, RJP awal dengan menekankan pada kompresi dada, defibrilasi yang cepat, dan  penanganan lanjut yang terintegrasi. 1 Pada CPR (cardiopulmonary rescucitation) Guidelines  2010, terdapat  perubahan pada tahapan BLS yang pada awalnya tahapan sebagai berikut: A-B-C ( Airway-Breathing-Circulation) menjadi C-A-B (Circulation-Airway-Breathing ) untuk pasien dewasa dan pediatrik (anak dan ba yi, tidak termasuk bayi baru lahir).

30

Panduan RJP yang terbaru ini juga menekankan pada pemberian RJP yang  berkualitas tinggi, dengan kecepatan kompresi paling sedikit 100 kali/menit dan kedalamannya paling sedikit 2 inchi (5cm) pada dewasa dan anak-anak, serta 1,5 inchi (4cm) pada bayi. Pada Panduan CPR tahun 2015, AHA menambahkan  beberapa perubahan diantaranya kompresi jantung dilakukan dengan kecepatan 100-120 kali/menit dengan kedalaman kompresi haruslah 2-2,4 inci atau 5-6 cm untuk dewasa rata-rata.9 RJP dilakukan sampai sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif telah timbul kembali, ada orang lain yang lebih ahli mengambil alih tanggung jawab,  penolong terlalu lelah, bantuan medis atau AED telah tiba, atau korban telah dinyatakan meninggal.3,4 Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Syok hipovolemia dikenali dari penurunan tekanan darah, penurunan cardiac output, penurunan tekanan vena sentral, dan penurunan tekanan arteri pulmonal. Penyebab dari syok hipovolemia termasuk perdarahan seperti pada kasus  perdarahan

traktus

gastrointestinal

dan

hilangnya

cairan

pada

traktus

gastrointestinal seperti pada kasus diare. Pedarahan akan menurunkan tekanan  pengisian pembuluh darah rata-rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan penurunan curah jantung. 11

31

BAB V KESIMPULAN

Pada kasus ini pasien merupakan pasien dengan syok hipovolemik yang tidak dapat dikompensasi. Hal ini ditandai dengan adanya penurunan tekanan darah 100x/ menit dan RR>20x/menit. Gangguan hemodinamik pada pasien disebabkan perdarahan traktus gastrointestinal yang  berakibat pada anemia gravis. Pada pasien dilakukan pemasangan endotrakeal tube ukuran 7, orofaringeal tube dan bantuan ventilasi tekanan positif untuk mengatasi gangguan nafas. Pasien dilakukan resusitasi jantung paru atas indikasi henti napas dan henti jantung. Setelah 6 siklus, pasien mengalami ROSC. Selanjutnya kondisi pasien terus mengalami perburukan dan terdiagnosis impending cardiac arrest. Pasien meninggal dunia pada pukul 15.30.

32

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF