laporan kasus anestesi CPR
June 18, 2019 | Author: annisazakiaw | Category: N/A
Short Description
kasbes anestesi CPR , cardiac arrest...
Description
LAPORAN KASUS ANESTESI
RESUSITASI JANTUNG PARU PADA SEORANG WANITA 44 TAHUN DENGAN SYOK HIPOVOLEMIK DAN CARDI AC ARRE ST
Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Disusun oleh:
Annisa Zakia Widiastuti 22010117220031
Pembimbing:
dr. Moh Sudrajat
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2018
HALAMAN PENGESAHAN
Nama Mahasiswa
: Annisa Zakia Widiastuti
NIM
: 22010117220031 22010117220031
Bagian
: Anestesiologi RSDK-FK UNDIP
Judul kasus
: RESUSITASI JANTUNG PARU PADA SEORANG WANITA 44 TAHUN TAHUN DENGAN SYOK HIPOVOLEMIK DAN CARDIAC ARREST
Pembimbing
: dr. Moh Sudrajat
Semarang, Mei 2018 Pembimbing
dr. Moh Sudrajat
1
BAB I PENDAHULUAN
Bantuan hidup dasar atau basic life support (BLS) adalah pendekatan sistematik untuk penilaian pertama pasien, mengaktifkan respon gawat darurat dan juga inisiasi resusitasi jantung paru (RJP). RJP yang efektif adalah dengan menggunakan kompresi dan dilanjutkan dengan ventilasi.
1
BLS sendiri boleh dilakukan oleh orang awam dan juga orang yang terlat ih dalam bidang kesehatan seperti dokter, perawat, paramedic. Beberapa keadaan di mana terdapat kegagalan pernapasan yang dapat menyebabkan systemic cardiopulmonary arrest (SCA) (SCA) adalah kecelakaan, sepsis, kegagalan respiratorik, sudden infant death syndrome syndrome , syok dan lainnya. 2 Syok adalah sindroma klinis akibat kegagaan sirkulasi yang menyebabkan gangguan perfusi jaringan. Pada syok hipovolemik terjadi defisit cairan dalam tubuh yang menyebabkan tubuh mengkompensasi dengan terjadin ya vasokontriksi seluruh tubuh termasuk arteri coroner jika keadaan ini beranjut maka akan menyebabkan SCA.
3
Menurut American
Heart
Association Association (AHA),
rantai
kehidupan
mempunyai hubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru, karena penderita yang diberikan RJP, mempunyai kesempatan yang besar untuk dapat hidup. Pasien yang ditemukan dalam keadaan tidak sadar diri atau mengalami penurunan pernafasan selalu diasumsikan mempunyai mempunyai gangguan SCA. Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti maka sirkulasi darah dan transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat ± 10 menit organorgan tubuh terutama organ vital (otak) akan mengalami kerusakan karena kekurangan oksigen. Oleh karena itu, golden period (waktu emas) pada korban yang mengalami henti napas dan henti jantung adalah dibawah 10 menit. Artinya, dalam watu kurang dari 10 menit penderita yang mengalami henti napas dan henti jantung harus sudah mulai mendapatkan pertolongan. Jika tidak, maka harapan hidup korban sangat kecil. 4
2
Saat ini, AHA telah mempublikasikan panduan terbaru RJP dan juga ECC (Emergency Cardiovascular Care) per bulan Oktober 2015. Kehadiran rekomendasi baru ini tidak untuk menunjukkan bahwa pedoman sebelumnya ti dak aman atau tidak efektif, melainkan untuk menyempurnakan rekomendasi terdahulu.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Resusitasi Jantung Paru (RJP) 2.1.1
Definisi
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) adalah usaha untuk mengembalikan sirkulasi dan/atau fungsi pernapasan akibat terhentinya
fungsi
dan/atau
denyut
jantung.
Resusitasi
sendiri
berarti
menghidupkan kembali, dimaksudkan sebagai usaha-usaha untuk mencegah berlanjutnya episode henti jntung menjadi kematian biologis. Dapat diartikan pula sebagai usaha untuk mengembalikan fungsi pernapasan dan atau sirkulasi yang bertujuan untuk mempertahankan fungsi otak secara manual.1,5 Henti napas adalah tidak adanya pergerakan dada dan aliran udara pernapasan dari pasien atau tidak adekuat.6 Bisa diakibatkan karena tenggelam, penyakit stroke, obstruksi jalan napas, epiglotitis, overdosis obat-obatan, infark miokardium, tersengat listrik, dan lain sebagainya; sedangkan henti jantung didefinisikan sebagai ketidaksanggupan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat kembali normal jika dilakukan tindakan pertolongan yang cepat dan tepat. 2 Hal ini berarti henti jantung bisa disebabkan oleh berbagai hal misalnya penyakit yang sebelumnya diderita, bisa juga tanpa adanya penyakit yng mendahului, namun keduanya sama-sama terjadi mendadak dan masih bersifat reversible.
2.1.2
Indikasi Resusitasi Jantung Paru
2.1.2.1 Henti Napas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik, tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglotis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya. Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi, pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa
4
menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan teselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti jantung yang mungkin menjadi fatal. 6 Indikasi RJP untuk orang awam adalah hilangnya kesadaran dan henti napas. Bila terjadi henti napas primer, jantung dapat terus memompa darah selama beberapa menit selama ada sisa oksigen dalam paru yang beredar ke otak dan organ lain. Penanganan dini pada pasien henti napas dapat mencegah henti jantung. Tanda-tanda diperlukannya penanganan jalan napas dan pernapasan: 6 a. Aliran udara di hidung atau mulut tidak dapat didengar atau dirasakan b. Pada gerakan napas spontan terlihat retraksi supraklavikula dan sela iga serta tidak ada pengembangan dada saat inspirasi c. Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan d. Bisa disertai bunyi napas tambahan ( snoring, wheezing ) e. Dapat disertai retraksi f. Pada keadaan klinis dapat diketahui: -
Hiperkarbia: penurunan kesadaran, peningktan co 2 arteri
-
Hipoksemia: takikardi, gelisah, berkeringat, sianosis
2.1.2.2 Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidaksanggupan curah jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat kembali normal, apabila dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian dan kerusakan otak. Tanda-tanda henti jantung, antara lain:2 a. Hilangnya kesadaran dalam waktu 10-20 detik setelah henti jantung b. Henti napas (apnea) yang muncul setelah 15-20 detik henti jantung c. Terlihat seperti mati, yang ditandai warna kulit pucat sampai kelabu d. Pupil dilatasi dalam waktu 45 detik setelah henti jantung e. Tidak teraba denyut arteri Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (10%)
5
dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (5%). Dua jenis henti jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat gangguan pacemaker jantung. Fibrilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung menghilang. Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis, femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu ( gasping , apneu), dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar.2 Pengiriman oksigen ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin (Hb), saturasi oksigen dan fungsi pernapasan. Iskemi yang melebihi 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan korteks serebri rusak permanen, walaupun setelah itu jantung berdenyut kembali.
2.1.3
Langkah-langkah Resusitasi Jantung Paru
Pada dasarnya resusitasi jantung paru terdiri dari 2 elemen: kompresi dada dan ventilasi buatan. Sebelum menolong korban, hendaklah menilai keadaan lingkungan terlebih dahulu: 7 1. Apakah korban dalam keadaan sadar? 2. Apakah korban tampak mulai tidak sadar, tepuk atau goyangkan bahu korban dan bertanya dengan suara keras “Apakah Anda baik - baik sajaa?” 3. Apabila korban tidak berespon, mintalah bantuan untuk menghubungi rumah sakit terdekat, dan mulailah RJP
Airway (Jalan Napas)
Posisikan korban dalam keadaan terlentang pada alas yang keras (ubin), bila diatas kasur selipkan papan. Periksa jalan napas korban sebagai berikut: o
Membuka mulut korban
o
Masukkan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah)
o
Lihat apakah ada benda asing, darah, (bersihkan) Pada korban tidak sadar, tonus otot menghilang, sehingga lidah akan jatuh
kebelakang (drop), menutupi jalan napas. Lidah dan epiglottis penyebab utama
6
tersumbatnya jalan napas pada pasien tidak sadar. Beberapa cara untuk membebaskan jalan napas:6 o
Letakkan tangan penolong diatas kening korban dan tangan yang lain didagu korban, tengadahkan/dongakkan kepala korban (Head tilt - chin lift).
o
Jika kita mencurigai adanya patah atau fraktur tulang leher/servikal, maka pakai cara jaw thrust lalu buka jalan napas.
Breathing (Pernapasan)
Untuk menilai pernapasan korban dilakukan 3 cara: o
Look : lihat gerakan dada apakah mengembang atau tidak.
o
Listen: dengarkan suara napas korban ada atau tidak
o
Feel : rasakan hembusan napas korban pada mulut/hidung. Jika tidak ada, maka dapat dilakukan napas buatan mulut ke mulut atau
sungkup ke mulut, atau mulut ke hidung, atau mulut ke lubang trakheostomi sebanyak 2 kali.1,8 Circulation (Sirkulasi)
Aspek
dasar
dalam
Bantuan
Hidup
Dasar
meliputi
pengenalan
(recognition) secara cepat henti jantung yang tiba-tiba dan aktivasi emergency response system (activation), resusitasi jantung paru yang dini (resuscitation), dan defibrilasi yang cepat (defibrillation) dengan Automated External Defibrillator (AED).1,4,7 a. Pengenalan henti jantung secara cepat dan aktivasi emergency response
system Ketika menjumpai seorang penderita yang mengalami henti jantung secara tiba-tiba, penolong yang seorang diri harus pertama kali mengenali bahwa penderita telah mengalami henti jantung, berdasarkan pada tidak adanya atau berkurangnya respon napas. Setelah memastikan bahwa lokasi sekitar aman, penolong harus memeriksa respon penderita dengan cara menepuk pundak penderita dan memanggil penderita. Setelah itu baik penolong yang terlatih maupun yang tidak terlatih harus segera mengaktifkan emergency response system (dengan menghubungi nomor darurat yang
7
tersedia). Setelah mengaktifkan emergency response system semua penolong harus segera memulai RJP. b. Pengecekan nadi
Penolong harus memeriksa nadi dalam waktu kurang dari 10 detik. Dilakukan dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis, arteri femoralis) dan harus segera melakukan kompresi dada jika tidak menemukannya. Bagi penolong yang tidak terlatih, pijat jantung dimulai jika pasien tidak responsif dan napas tidak normal, tanpa meraba adanya denyut karotis atau tidak. c. Resusitasi Jantung Paru Kompresi dada
Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan yang ritmis dan bertenaga pada setengah bawah sternum. Kompresi ini akan menciptakan aliran darah dengan cara meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung. Hal ini menimbulkan aliran darah dan oksigen menuju miokardium dan otak. Kompresi dada yang efektif penting untuk menyediakan aliran darah selama RJP. Karena alasan ini semua penderita henti jantung harus mendapatkan kompresi dada. Untuk memperoleh kompresi dada yang efektif, tekan secara kuat dan cepat ( push hard and push fast). Kecepatan kompresi harus mencapai 100-120kali/menit dengan kedalaman kompresi 2-2,4 inci (5-6 cm). Penolong harus memberi kesempatan agar daya rekoil dapat terjadi sempurna setiap kali sehabis kompresi, untuk memberi kesempatan jantung mengisi kembali secara penuh sebelum kompresi berikutnya. Penolong seharusnya mencoba untuk mengurangi frekuensi dan durasi gangguan yang terjadi selama kompresi untuk memaksimalkan jumlah kompresi yang diberikan tiap menit.
8
Kompresi dada pada anak dipakai satu tangan, sedangkan untuk bayi hanya dipakai ujung jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan anak kecil terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus dilakukan di bagian tengah tulang dada. Pada bayi kedalaman kompresi adalah 1,5 inchi.9 Penyelamatan Pernapasan
Perubahan yang terjadi pada AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 adalah pada rekomendasi untuk memulai kompresi sebelum ventilasi. Meskipun tidak ada pembuktian pada manusia maupun hewan bahwa memulai RJP dengan 30 kompresi daripada memulai dengan 2 ventilasi yang menunjukkan hasil yang lebih baik, namun jelas bahwa aliran darah tergantung dari kompresi dada. Oleh sebab itu, penundaan dan interupsi dari kompresi dada harus diminimalkan selama seluruh proses resusitasi. Selain itu,
kompresi
dada
dapat
dimulai
sesegera
mungkin,
sedangkan
memposisikan kepala, mengambil penutup untuk pertolongan napas dari mulut ke mulut, dan mengambil alat memakan banyak waktu. Memulai RJP dengan 30 kompresi daripada 2 ventilasi menghasilkan penundaan yang lebih singkat. Begitu kompresi dada telah dimulai, seorang penolong yang terlatih harus memberikan napas buatan dengan cara dari mulut ke mulut atau
9
melalui bag-mask untuk memberikan oksigenasi dan ventilasi, sebagai berikut: o
Memberikan setiap napas buatan selama satu detik
o
Berikan volume tidal yang cukup untuk menghasilkan pengembangan dada yang terlihat (visible chest rise)
o
Melakukan rasio kompresi dan ventilasi sebanyak 30:2
o
Ketika jalan napas buatan (misalnya endotracheal tube, combitu, atau laryngeal mask airway/LMA) telah dipasang selama RJP dengan dua orang penyelamat, berikan napas setiap 6-8 detik tanpa menyesuaikan napas dengan kompresi. Kompresi dada tidak boleh berhenti untuk memberikan ventilasi.
d. Defibrilasi dini dengan AED
Setelah mengaktifkan emergency response system, penolong yang seorang diri harus mencari AED ( Automated External Defibrillation) bila AED dekat dan mudah didapatkan dan kemudian kembali ke penderita untuk memasang dan menggunakan AED. Penolong lalu memberikan RJP berkualitas tinggi. Bila terdapat dua atau lebih penolong, seorang penolong harus segera memberikan kompresi dada sedangkan penolong kedua mengaktifkan emergency response system dan mengambil AED (atau defibrillator manual pada kebanyakan rumah sakit). AED harus digunakan secepat mungkin dan kedua penyelamat harus memberikan RJP dengan kompresi dada dan ventilasi. Tahapan defibrilasi: 1. Nyalakan AED 2. Ikuti petunjuk 3. Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan gangguan).
10
2.1.4
Panduan Resusitasi Jantung Paru AHA 2015
1. Menekankan pada RJP yang berkualitas secara terus menerus yang mengutamakan kebutuhan RJP yang berkualitas tinggi, hal ini mencakup: 10
Kecepatan kompresi paling sedikit 100 kali/menit (perubahan dari ”kurang lebih” 100 kali/menit)
Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm) pada dewasa dan paling sedikit sepertiga dari diameter anteroposterior dada pada penderita anak-anak dan bayi (sekitar 1,5 inchi (4cm) pada bayi dan 2 inchi (5cm) pada anak-anak)
Batas antara 1,5 hingga 2 inchi tidak lagi digunakan pada dewasa, dan kedalaman mutlak pada bayi dan anak-anak lebih dalam daripada versi sebelumnya dari AHA Guidelines for CPR and ECC
Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang lengkap setiap kali selesai kompresi
Meminimalisasi gangguan pada kompresi dada
Menghindari ventilasi yang berlebihan Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi
ventilasi yaitu sebanyak 30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak termasuk bayi yang baru lahir). AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 meneruskan rekomendasi untuk memberikan napas buatan sekitar 1 detik. Begitu jalan napas telah dibebaskan, kompresi dada dapat dilakukan secara terus menerus (dengan kecepatan paling sedikit 100 kali/menit) dan tidak lagi diselingi dengan ventilasi. Napas buatan kemudian dapat diberikan sekitar 1 kali napas setiap 6 sampai 8 detik (sekitar 8-10 napas per detik). Ventilasi yang berlebihan harus dihindari. 10 2. Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-B Perubahan yang utama pada BLS, urutan dari Airway-BreathingCirculation berubah menjadi Compression-Airway-Breathing. Hal ini untuk menghindari penghambatan pada pemberian kompresi dada yang cepat dan efektif. Mengamankan jalan napas sebagai prioritas utama merupakan
11
sesuatu yang memakan waktu dan mungkin tidak berhasil 100%, terutama oleh penolong yang seorang diri. Sebagian besar henti jantung terjadi pada dewasa dan penyebab paling umum adalah ventricular fibrillation atau pulseless ventricular tachycardia. Pada penderita tersebut, elemen paling penting dari BLS adalah kompresi dada dan defibrilasi yang segera. Pada rangkaian A-B-C, kompresi dada seringkali tertunda ketika penolong membuka jalan napas untuk memberikan napas buatan, mencari alat pembatas (barrier devices) atau mengumpulkan peralatan ventilasi. Setelah memulai emergency response system hal berikutnya yang penting yaitu untuk segera memulai kompresi dada. Hanya RJP pada bayi yang merupakan pengecualian dari protokol ini, dimana urutan yang lama tidak berubah. Hal ini berarti tidak ada lagi look, listen, and feel , sehingga komponen ini dihilangkan dari panduan. Dengan merubah urutan menjadi C-A-B kompresi dada dimulai sesegera mungkin dan ventilasi hanya tertunda sebentar (yaitu hingga siklus pertama dari 30 kompresi dada terpenuhi, atau sekitar 18 detik). Sebagian besar penderita yang mengalami henti jantung diluar rumah sakit tidak mendapatkan pertolongan RJP oleh orang-orang disekitarnya. Terdapat banyak alasan untuk hal tersebut, namun salah satu hambatan yang dapat timbul yaitu urutan A-B-C, yang dimulai dengan prosedur yang paling sulit, yaitu membuka jalan napas dan memberikan napas buatan. Memulai pertolongan dengan kompresi dada dapat mendorong lebih banyak penolong untuk memulai RJP.
10
3. Rata-rata kompresi Sebaiknya dilakukan kira-kira minimal 100 kali/menit. Jumlah kompresi dada yang dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk menentukan kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation (ROSC)) dan fungsi neurologis yang baik. Jumlah yang tepat untuk memberikan kompresi dada per menit ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada dan jumlah serta lamanya gangguan dalam melakukan kompresi
12
(misalnya, untuk membuka jalan napas, memberikan napas buatan, dan melakukan analisis AED). Pada sebagian besar studi, kompresi yang lebih banyak dihubungkan dengan tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi yang lebih sedikit dihubungkan dengan rata-rata kelangsungan hidup yang lebih rendah. Kesepakatan mengenai kompresi dada yang adekuat membutuhkan penekanan tidak hanya pada kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga pada meminimalkan gangguan pada komponen penting dari RJP tersebut. Kompresi yang inadekuat atau gangguan yang sering, atau keduanya, akan mengurangi jumlah total kompresi yang diberikan per menit. 10 4. Kedalaman kompresi Untuk dewasa kedalaman kompresi telah diubah dari jarak 1½ - 2 inch menjadi minimal 2 inch (5 cm). Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat dan cepat) menghasilkan aliran darah dan oksigen dan memberikan energi pada jantung dan otak. Kompresi menghasilkan aliran darah terutama dengan meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung. Kompresi menghasilkan aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk dialirkan ke jantung dan otak. 10 5. RJP Dengan Tangan Saja (Hands Only CPR) Secara teknis terdapat perubahan dari petunjuk RJP 2005, namun AHA mengesahkan tehnik ini pada tahun 2008. Untuk penolong yang belum terlatih diharapkan melakukan RJP pada korban dewasa yang pingsan didepan mereka. Hands Only CPR (hanya dengan kompresi) lebih mudah untuk dilakukan oleh penolong yang belum terlatih dan lebih mudah dituntun oleh penolong yang ahli melalui telepon. Kompresi tanpa ventilasi (Hands Only CPR) memberikan hasil yang sama jika dibandingkan kompresi dengan menggunakan ventilasi. 10 6. Identifikasi pernapasan agonal oleh pengantar ( Dispatcher Identification of Agonal Gasps) Penolong diajarkan untuk memulai RJP jika korban tidak bernapas atau sulit bernapas. Penyedia layanan kesehatan seharusnya diajarkan untuk
13
memulai RJP jika korban tidak bernapas atau pernapasan yang tidak normal. Pengecekan kecepatan pernapasan seharusnya dilakukan sebelum aktivasi emergency response system.1,8,10 7. Aktivasi Emergency Response System Aktivasi emergency response system seharusnya dilakukan setelah penilaian respon penderita dan pernapasan, namun seharusnya tidak ditunda. Menurut panduan tahun 2005, aktivasi segera dari sistem kegawatdaruratan dilakukan setelah korban yang tidak merespon. Jika penyedia pelayanan kesehatan tidak merasakan nadi selama 10 detik, RJP harus segera dimulai dan menggunakan defibrillator jika tersedia.10 8. Tim Resusitasi Dibutuhkan suatu tim agar resusitasi berjalan dengan baik dan efektif. Misalnya, satu penolong mengaktifkan respon sistem kegawatdaruratan sedangkan penolong kedua melakukan kompresi dada, penolong ketiga membantu ventilasi atau memakaikan bag-mask untuk membantu pernapasan dan penolong keempat mempersiapkan defibrillator.10 9
2.1.5
Keputusan untuk Mengakhiri Upaya Resusitasi
Dalam keadaan darurat, resusitasi dapat diakhiri bila terdapat salah satu dari keadaan berikut ini:
telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif
ada orang lain yang lebih ahli mengambil alih tanggung jawab
penolong terlalu lelah sehingga tidak sanggup meneruskan resusitasi yang adekuat
pasien dinyatakan mati atau hampir dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah 30 menit sampai 1 jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJPO setelah dimulai resusitasi. Pasien dinyatakan mati bila telah terbukti terjadi kematian batang otak, fungsi spontan pernapasan dan jantung telah berhenti secara pasti/irreversible.
Bantuan medis atau AED telah tiba
14
Petunjuk terjadinya kematian otak adalah pasien tidak sadar, tidak ada pernapasan spontan dan reflek muntah, serta terdapat dilatasi pupil yang menetap selama 15-30 menit atau lebih, kecuali pada pasien hipotermik, dibawah efek barbiturat, atau dalam anestesi umum. Sedangkan mati jantung ditandai oleh tidak adanya aktivitas listrik jantung (asistol) selama paling sedikit 30 menit walaupun dilakukan upaya RJPO dan terapi obat yang optimal. Tanda kematian jantung adalah titik akhir yang lebih baik untuk membuat keputusan mengakhiri upaya resusitasi.1,4,5,7,
2.1.6
Do Not Resuscitate (DNR)
DNR atau do-not-resuscitate adalah suatu perintah yang memberitahukan tenaga medis untuk tidak melakukan CPR. Hal ini berarti bahwa dokter, perawat, dan tenaga emergensi medis tidak akan melakukan usaha CPR emergensi bila pernapasan maupun jantung pasien berhenti. Perintah DNR untuk pasien harus tertulis baik di catatan medis pasien maupun di catatan yang dibawa pasien sehari-hari, di rumah sakit atau keperawatan, atau untuk pasien di rumah. Perintah DNR di rumah sakit memberitahukan kepada staf medis untuk tidak berusaha menghidupkan pasien kembali sekalipun terjadi henti jantung. Bila kasusnya terjadi di rumah, maka perintah DNR berarti bahwa staf medis dan tenaga emergensi tidak boleh melakukan usaha resusitasi maupun mentransfer pasien ke rumah sakit untuk CPR.8 Perintah DNR dapat diminta oleh pasien dewasa yang kompeten mengambil keputusan, telah mendapat penjelasan dari dokternya, atau bagi pasien yang dinyatakan tidak kompeten, keputusan dapat diambil oleh keluarga terdekat, atau wali yang sah yang ditunjuk oleh pengadilan, atau oleh s urrogate decision-maker . Dengan pertimbangan tertentu, hal-hal di bawah ini dapat menjadi bahan diskusi perihal DNR dengan pasien/walinya: a) Kasus-kasus dimana angka harapan keberhasilan pengobatan rendah atau CPR hanya menunda proses kematian yang alami b) Pasien tidak sadar secara permanen
15
c) Pasien berada pada kondisi terminal d) Ada kelainan atau disfungsi kronik dimana lebih banyak kerugian dibanding keuntungan jika resusitasi dilakukan 8
BLS Algoritma Serangan Jantung pada Orang Dewasa – Pembaharuan 2015
16
2.2 Syok 2.2.1
Definisi
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius, seperti perdarahan yang massif, trauma atau luka bakar yang berat, infark miokard luas atau emboli paru, sepsis akibat bakteri yang tak terkontrol, tonus vasomotor yang tidak adekuat atau akibat respon imun. 12
2.2.2
Klasifikasi
1. Syok Hipovolemik Disebabkan oleh kehilangan volume akut sebesar > 20%-25% dari volume darah yang beredar. Penyebab dari syok hipovolemik termasuk hemoragi dan penumpukkan cairan dalam tubuh, misalnya pada obstruksi usus. Syok hipovolemi dikenali dari penurunan tekanan darah, penurunan cardiak output, penurunan tekanan vena sentral, dan penurunan tekanan arteri pulmonal. 2. Syok Kardiogenik Disebabkan oleh kegagalan utama dari jantung untuk menhasilkan Cardiac Output (CO) yang adekuat. Hal ini dapat dikarenakan kegagalan ventrikel kiri, ventrikel kanan atau keduanya. 3. Syok Distributif DIkenali dari penurunan denyut vaskuler akibat vasodilatasi arterial, venous pooling, dan redistribusi aliran darah. Hal ini dapat dikarenakan oleh bakteria hidup dan produknya dalam syok septikm mediator sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS), bervagai macam vasoaktif dalam syok anafilaktik, atau dikarenakan hilangnya denyut vaskuler dalam syok neurogenic atau apopleksi adrenal. Syok distributive dikenali dari tekanan darah yang rendah dan CO yang tinggi.
17
4. Syok Obstruktif Dikaitkan dengan kesukaran mekanis pada arus balik vena, dan/atau aliran arteri ke jantung. Penyebab-penyebabnya antara lain tension pneumothorax, emboli pulmonal, pericardial tamponade, sindrom kompartemen abdominal dan kadang-kadang ventilasi tekanan positif, positive end expiratory pressure (PEEP) dan auto PEEP. Syok distributive dikenali dari penurunan tekanan darah dan CO disertai kenaikan CVP.8
2.2.2.1 Syok Hipovolemik 2.2.2.1.1
Etiopatofisiologi
Tabel Penyebab syok hipovolemik
Pedarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah dibawah normal akan menimbulkan beberapa kejadian pada organ:
Mikrosirkulasi Ketika curah jantung turun, tahanan vascular sistemik akan berusaha untuk meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus gastrointestinal. Ketika tekanan arterial rata-rata
18
(MAP = Mean Arterial Pressure) jatuh hingga < 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu.
Neuroendokrin Hipovolemia,
hipotensi
dan
hipoksia
dapat
dideteksi
oleh
baroreseptor dan kemoreseptor tubu. Kedua reseptor ini berperan dalam respon autonom tubu yang mengatur perfusi serta substrak lain.
Kardiovaskular Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menurunkan volumen sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi utnuk mempertahankan curah jantung.
Gastrointestinal Akibat aliran darah yang menurun ke jeringan intestinal, maka terjadi peningkatan absorbsi endotoksin yang dilepaskan oleh bacteria gram negatif yang mati di dalam usus. Hal ini memicu pelebaran pembuluh
darah
serta
peningkatan
metabolisme
sehingga
dapat
menyebabkan depresi jantung.
Ginjal Gagal ginjal akut adalah suatu komplikasi dari syok dan hipoperfusi. Selain komplikasi ini, yang sangat sering terjadi adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida. Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam dan air. Pada saat alirah darah di ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi
laju
filtrasi
glomerulus,
yang
bersama-sama
dengan
aldosteron dan vasopresin bertanggung jawab terhadap menurunnya produksi urin.12
19
2.2.2.1.2
Gejala Klinis
Hipovolemia ringan (< 20% dari volume darah) Menimbulkan takikardia ringan, ekstremitas dingin, diaporesis (berkeringat), vena kolaps, cemas.
Hipovolemia sedang (20-40 % dari volume darah) Sama seperti hipovolemia ringan ditambah takikardia yang lebih jelas, takipnea, oliguria, hipotensi ortostatik.
Hipovolemia berat (> 40% dari volume darah) Sama seperti hipovolemia sedang ditambah hemodinamik tidak stabil, takikardia bergejala, hipotensi, perubahan kesadaran. 12
2.2.2.1.3
Penatalaksanaan
Menempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi
Menjaga jalur pernapasan. Kebutuhan oksigen pasien harus terpenuhi dan bila dibutuhkan intubasi dapat dikerjakan.
Resusitasi cairan dengan cepat lewat akses IV atau cara lain yang memungkinkan seperti pemasangan kateter CVP (central venous pressure) atau jalur intraarterial. Cairan yang diberikan adalah garam isotonus yang ditetes dengan cepat (hati-hati terhadap asidosis hiperkloremia) atau dengan cairan garam seimbang seperti RL dengan jarum infus yang terbesar. Pemberian 2-4 L dalam 20-30 menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan hemodinamik. Pantau kemungkina terjadi edem paru. Pantau dan pertahankan urin output (0,5-1 cc/KgBB/jam untuk dewasa, 1 cc/KgBB/jam untuk anak-anak).
Bila hemodinamik tetap tak stabil, berarti perdarahan atau kehilangan cairan belum teratasi. Kehilangan darah yang berlanjut dengan kadar hemoglobin < 10 g/dL perlu pergantian darah dengan transfusi. Jenis darah tergantung kebutuhan. Disarankan agar darah telah dilakukan uji silang (cross match). Bila sangat darurat, maka dapat digunakan packet red cels tipe darah yang sesuai atau O-negatif.
20
Pada hipovolemia berkepanjangan, dukungan inotropic dengan dopamine, vasopressin, dan dobutamin dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan kekuatan ventrikel yang cukup setelah volume darah dicukupi terlebih dahulu. Pemberian nalokson bolus 30mcg/kg dalam 3-5 menit dilanjutkan 60 mcg/kg dalam 1 jam dalam dextrose 5% dapat membantu meningkatkan MAP. 12
21
BAB III LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Penderita
Nama
: Ny. M
Umur
: 44 tahun
Agama
: Islam
Jenis kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
: Lainnya
No. CM
: C617400
Tanggal masuk
: 07 Mei 2018
3.2 Anamnesis
Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 07 Mei 2018 di Ruang IRDA TRIAGE. a.
Keluhan utama : Lemas
b.
Riwayat Penyakit Sekarang :
± 3 hari SMRS pasien mengeluh lemas, pucat dan bengkak di extremitas bawah. Pasien tampak mengantuk dan sulit kontak selama 1 hari ini. Gejala penyerta: demam (-), batuk (-), sesak napas (-), BAK merah (-), BAB hitam (+), muntah (+), kelemahan anggota gerak (- ). c.
Riwayat Dahulu:
Terdapat riwayat penyakit jantung Riwayat TB disangkal Riwayat tekanan darah tinggi disangkal Riwayat asma dan alergi disangkal Riwayat penyakit kencing manis disangkal Riwayat trauma sebelumnya disangkal Riwayat operasi DVR 2 bulan SMRS d.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
22
Riwayat penyakit jantung disangkal Riwayat penyakit kencing manis disangkal e.
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan tamatan SMTA. Biaya pengobatan: JKN PBI. Kesan : sosial ekonomi cukup. f.
Riwayat Konsumsi Obat o
Simare 4mg/24 jam
o
Atapulgit 600mg/8 jam
o
Vit b kompleks 1 tab/24 jam
o
Concor 2,5 mg/24 jam
o
Candesartan 8 mg/ 24 jam
o
Furosemid 40 mg/24 jam
3.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan di Ruang IRDA TRIAGE A. Pemeriksaan Fisik ( 7 Mei 2018 pukul 23.00)
Keadaan Umum : tampak sakit
Survey Primer Airway
: paten
Breathing
: ada napas spontan
Circulation
: gangguan hemodinamik ringan-sedang
Kesadaran
: somnolen, kontak (-)
Tanda vital
: HR : 130x/mnt, Nadi : isi tegangan cukup, RR 20x/mnt, TD : 95/70 mmHg T : 37,6C SO2 : 90 %
Secondary survey
Mata
: konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), strabismus (-/-), reflex cahaya (+/+)
Telinga
: discharge (-) 23
Hidung
: discharge (-), nafas cuping (-)
Mulut
: sianosis (-), makroglosia (-)
Leher
: simetris, pembesaran KGB (-), JVP (-)
Paru I
: simetris statis dan dinamis, retraksi ( – )
Pa
: stem fremitus kanan sama dengan kiri
Pe
: sonor di seluruh lapangan paru
A
: suara dasar vesikuler, suara tambahan: ronkhi (-/-),wheezing
(-/-)
Jantung I
: iktus kordis tidak tampak
Pa
: iktus kordis teraba di SIC V linea midklavikula sinistra, tidak kuat angkat, tidak melebar, thrill (-)
Pe
: konfigurasi jantung dalam batas normal
A
: BJ I- II ireguler, mechanical heart sound (+)
Abdomen I
: datar, lemas, venektasi ( – )
Pa
: defans muskular (-), hepar lien tidak teraba
Pe
: timpani (+)
A
: bising usus (+) N
Alat kelamin
: dalam batas normal
Ekstremitas
Superior
Inferior
Gerak
+
+
+
+
Kekuatan
Kesan>3
Kesan>3
Kesan>3
Kesan>3
Trofi
Eutrofi
Etrofi
Eutrofi
Eutrofi
Reflek
+3
+3
+3
+3
Babinski (-)
Babinski (-)
fisiologis Reflek
24
patologis LGS Pasif
Shoulder: full
Shoulder:full
Hip : full
Hip : full
Elbow: full
Elbow: full
Knee : full
Knee : full
Wrist: full
Wrist: full
Ankle : full
Ankle : full
Finger: full
Finger: full
Finger : full
Finger : full
Edema
B.
-
-
+
+
Pemeriksaan Fisik ( 8 Mei 2018 pukul 02.00) o
Kesadaran
: apatis, kontak (-)
o
Tanda vital
: HR : 145x/mnt TD : 87/59 mmHg RR 30x/mnt, T : 36 C SO2 : 77 %
o
Terapi
: Terapi oksigen masker non rebreathing 10 Lpm + ventilasi tekanan positif
C.
Menstabilkan airway
Infus kristaloid 20cc/kgbb/jam
Infus koloid 10 cc/kgbb/jam
Transfusi darah
Pemeriksaan Fisik ( 8 Mei 2018 pukul 04.30) a)
Keadaan Umum Tidak sadar, bradikardi, apneu
asistol,
terpasang infus kristaloid
dan non-rebreather mask 10 lpm b)
Survey Primer Airway
: paten
Breathing
: tidak ada napas spontan
25
Circulation
: tekanan darah tidak terukur, nadi tidak
terukur c)
Pengkajian berkaitan dengan kegawatan Jalan napas
: paten
Pernapasan
: henti napas
Sirkulasi
: gangguan hemodinamik
Nyeri
: tidak nyeri
3.3 Pemeriksaan Penunjang (tanggal 7 Mei 2018 pukul 23.00) Pemeriksaan Darah Lengkap Hemoglobin Hematokrit Eritrosit MCH MCV MCHC Leukosit Trombosit RDW MPV Hitung Jenis Eosinofil Basofil Batang Segmen Limfosit Monosit Lain-lain
Pemeriksaan Koagulasi Plasma Prothrombin Time (PPT) Waktu Prothrombin PPT Kontrol
Hasil
Satuan
Nilai Normal
3,3 9,5 1,03 32,0 92,2 34,7 16,0 309 15,2 6,61
g/dL % 106/uL Pg fL g/dL 103/uL 103/uL % fL
12-15 35-47 4,4-5,9 27-32 76-96 29-36 3,6-11 150-400 11,60-14,80 4-11
2 0 1 85 8 1 Metamielosit 2% Mielosit 1%
% % % % % %
1-3 0-2 2--5 47-80 20-40 2-10
Hasil
Satuan
Nilai Normal
95,6 11
detik detik
9,4-11,3
26
Partial Thromboplastin Time (PTTK) Waktu Tromboplastin APTT kontrol
164,6 32,1
detik
27,7-40,2
Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai Normal
108 45 1,2 0,61 2,08
mg/dL mg/dL mg/dL mmol/L mmol/L
80-160 15-39 0,6-1,3 0,74-0,99 2,12-2,52
140 3,7 97
mmol/L mmol/L mmol/L
136-145 3,5-5,1 98-107
Kimia Klinik Glukosa sewaktu Ureum Kreatinin Magnesium Kalsium Elektrolit Natrium Kalium Chlorida
3.4 Pemeriksaan Penunjang (tanggal 7 Mei 2018 pukul 23.00) Pemeriksaan
BGA Kimia Temp FIO2 pH pCO2 pO2 HCO3-
Hasil
Satuan
36,5 60 7,071 24,8 160,9 7,3
c % mmHg mmHg mmol/L
Nilai Normal
7,37-7,45 35-45 83-108,0 22-26
27
EKG (tanggal 7 mei 2018)
Kesimpulan EKG : AF Rapid Ventrikular Response
3.4 Diagnosis
3.4.1 Cardiac arrest 3.4.2 Syok Hipovolemik 3.4.3 Perdarahan Gastrointentinal
3.5 Tindakan Life-Saving
Nama Tindakan
: Resusitasi Jantung Paru
Diagnosis Banding
: Cardiac arrest, syok hipovolemik
Dasar Diagnosis
: Klinis dan penunjang
Indikasi Tindakan
: Henti jantung
Tata Cara
: Sesuai prosedur
Tujuan
: Bantuan hidup lanjut
Risiko
: Patah tulang, kematian
Komplikasi
: Patah tulang
Prognosis
: Dubia
Alternatif & Risiko
: Tidak ada
Lain-lain
: Tidak ada
28
Tindakan
Monitoring Hasil Tindakan
(Selasa 8/05/2018, Jam 04:30 WIB)
TD : 110/59
Cek kesadaran pasien tidak sadar
HR : 140 x/menit
Cek Nadi Karotis tidak teraba
SpO2 : 100 %
Pasien Bradikardi + Apneu
Mata midriasis +/+ Akral dingin +/+
A: Cardiac arrest P: RJP + VTP selama 6 siklus + adrenalin 3 ampul + pemasangan ET + injeksi SA (di ulang 2x) (Selasa 08/05/2018, Jam 05:30 WIB)
TD : 134/94
Cek kesadaran pasien tidak sadar
HR : 139 x/menit
Cek Nadi Karotis tidak teraba
SpO2 : 100 % Mata midriasis +/+
A: cardiac arrest
Akral dingin +/+
P: RJP + adrenalin 3 ampul + Jackson rees (Selasa 08/05/2018, Jam 15:30 WIB)
TD tidak terukur, nadi tidak
Cek kesadaran pasien tidak sadar
teraba
Cek Nadi Karotis tidak teraba
Pupil dilatasi maksimal EKG asistol
A: cardiac arrest P: Pasien dinyatakan meninggal dihadapan keluarga dan perawat
29
BAB IV PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien Ny M berumur 44 tahun datang dengan keluhan lemas, kondisi apatis, dan merasakan sesak. Pasien dirujuk ke label merah dikarenakan pasien mengalami gangguan hemodinamik dan penurunan kesadaran. Pasien diberikan cairan resusitasi yaitu infus NaCl 0.9% untuk mengatasi gangguan hemodinamik, pasien juga mengalami gangguan pernapasan yang menyebabkan penurunan saturasi oksigen sehingga pasien dipasang nonrebreather mask 10 lpm dan bantuan ventilasi tekanan positif. Selanjutnya dilakukan monitoring pada pasien di label merah. . Pada pukul 04.30 terjadi henti nafas dan henti jantung. Hal ini disebabkan adanya kegagalan sirkulasi yang disebabkan terjadinya perdarahan pada traktus gastrointestinal. Pada pasien dilakukan pemasangan endotracheal tube ukuran 7, orofaringeal tube untuk mencegah lidah jatuh dan bantuan ventilasi tekanan positif Selanjutnya dilakukan RJP sebanyak 6 siklus sampai didapatkan keadaan ROSC. Pada pukul 06.30 terjadi penurunan kesadaran dan pasien terdiagnosis impending cardiac arrest . Kemudian dilakukan motivasi dan edukasi keluarga pasien , keluarga mengerti, DNR (+). Pasien meninggal dunia pada pukul 15.30. Resusitasi jantung paru adalah usaha untuk mengembalikan sirkulasi dan/atau fungsi pernapasan akibat terhentinya fungsi dan/atau denyut jantung dengan bantuan pernapasan dan kompresi dada. Indikasi dilakukan RJP adalah henti napas dan henti jantung. Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung membutuhkan gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang meliputi pengenalan segera henti jantung dan aktivasi emergency response system, RJP awal dengan menekankan pada kompresi dada, defibrilasi yang cepat, dan penanganan lanjut yang terintegrasi. 1 Pada CPR (cardiopulmonary rescucitation) Guidelines 2010, terdapat perubahan pada tahapan BLS yang pada awalnya tahapan sebagai berikut: A-B-C ( Airway-Breathing-Circulation) menjadi C-A-B (Circulation-Airway-Breathing ) untuk pasien dewasa dan pediatrik (anak dan ba yi, tidak termasuk bayi baru lahir).
30
Panduan RJP yang terbaru ini juga menekankan pada pemberian RJP yang berkualitas tinggi, dengan kecepatan kompresi paling sedikit 100 kali/menit dan kedalamannya paling sedikit 2 inchi (5cm) pada dewasa dan anak-anak, serta 1,5 inchi (4cm) pada bayi. Pada Panduan CPR tahun 2015, AHA menambahkan beberapa perubahan diantaranya kompresi jantung dilakukan dengan kecepatan 100-120 kali/menit dengan kedalaman kompresi haruslah 2-2,4 inci atau 5-6 cm untuk dewasa rata-rata.9 RJP dilakukan sampai sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif telah timbul kembali, ada orang lain yang lebih ahli mengambil alih tanggung jawab, penolong terlalu lelah, bantuan medis atau AED telah tiba, atau korban telah dinyatakan meninggal.3,4 Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Syok hipovolemia dikenali dari penurunan tekanan darah, penurunan cardiac output, penurunan tekanan vena sentral, dan penurunan tekanan arteri pulmonal. Penyebab dari syok hipovolemia termasuk perdarahan seperti pada kasus perdarahan
traktus
gastrointestinal
dan
hilangnya
cairan
pada
traktus
gastrointestinal seperti pada kasus diare. Pedarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan penurunan curah jantung. 11
31
BAB V KESIMPULAN
Pada kasus ini pasien merupakan pasien dengan syok hipovolemik yang tidak dapat dikompensasi. Hal ini ditandai dengan adanya penurunan tekanan darah 100x/ menit dan RR>20x/menit. Gangguan hemodinamik pada pasien disebabkan perdarahan traktus gastrointestinal yang berakibat pada anemia gravis. Pada pasien dilakukan pemasangan endotrakeal tube ukuran 7, orofaringeal tube dan bantuan ventilasi tekanan positif untuk mengatasi gangguan nafas. Pasien dilakukan resusitasi jantung paru atas indikasi henti napas dan henti jantung. Setelah 6 siklus, pasien mengalami ROSC. Selanjutnya kondisi pasien terus mengalami perburukan dan terdiagnosis impending cardiac arrest. Pasien meninggal dunia pada pukul 15.30.
32
View more...
Comments