Laporan Kasus Anak Ckd Rsup Ntb
February 27, 2019 | Author: arrumchyntia | Category: N/A
Short Description
CKD...
Description
LAPORAN KASUS
GAGAL GINJAL KRONIS STADIUM V
Oleh : ARRUM CHYNTIA YULIYANTI, S.Ked H1A 010 024
Pembimbing: dr. Sukardi, Sp.A
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN / SMF ILMU PENYAKIT ANAK RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM 2015
1
BAB I PENDAHULUAN
Chronic Kidney Disease Disease (CKD) atau Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan pada anak yang cukup serius dengan prevalens yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Chronic Kidney Disease Disease (CKD) didefinisikan sebagai abnormalitas struktur atau fungsi ginjal minimal tiga bulan dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yaitu 5 tahun sering disebabkan oleh penyakit yang diturunkan (penyakit ginjal polikistik) dan penyakit didapat (glomerulonefritis kronis). 1,4 Tabel 2.2 Kondisi yang meningkatkan risiko terjadinya CKD
1,4
Riwayat keluarga dengan penyakit polistik ginjal atau penyakit ginjal genetik Bayi berat lahir rendah Anak dengan riwayat gagal ginjal akut Hipoplasia atau displasia ginjal Penyakit urologi terutama uropati obstruktif Refluks verikoureter yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih dan parut ginjal Riwayat menderita sindrom nefrotik atau sindrom nefritis akut Riwayat menderita sindrom hemolitik uremik Riwayat menderita Henoch menderita Henoch Schoenlein Purpura Diabetes mellitus Lupus Eritematosus Sistemik Riwayat menderita tekanan darah tinggi Sumber: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia Kompendium Nefrologi Anak.
Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
2.4 KLASIFIKASI
Klasifikasi CKD menjadi beberapa stadium untuk tujuan pencegahan, identifikasi awal kerusakan ginjal dan tatalaksana serta untuk pencegahan komplikasi CKD. Klasifikasi stadium ini ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium lebih tinggi menunjukan nilai laju filtrasi glomerulus yag lebih rendah. 1,4
4
Tabel 2.3 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Derajat Penyakit Stadium
1,4
LFG (ml/menit/1,73 m2)
Penjelasan
1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat
2
Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan
60 - 89
3
Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang
30 - 59
4
Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat
15 - 29
5
Gagal Ginjal terminal
> 90
< 15 atau dialisis
Sumber: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia Kompendium Nefrologi Anak.
Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
Nilai LFG dapat menggambarkan fungsi ginjal secara menyeluruh. Nilai LFG dapat dihitung berdasarkan rumus berikut:
5
K X TB (cm) 2
LFG (mL/menit/1,73 m ) = Kreatinin serum (mg/dL)
K adalah konstanta (K= 0,33 untuk bayi berat lahir rendah di bawah usia 1 tahun, K= 0,45 untuk bayi berat lahir cukup bulan sampai 1 tahun, K= 0,55 untuk anak sampai umur 13 tahun, K= 0,57 untuk perempuan 13-21 tahun, dan 0,70 untuk anak laki-laki 13 – 21 tahun).
TB=tinggi badan
2.5 PATOGENESIS
Chronic Kidney Disease (CKD), kerusakan atau cedera pada ginjal oleh sebab struktural maupun penyakit metabolik genetik masih tetap berlanjut meskipun penyebab utamanya telah dihilangkan 2. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang berlangsung pada CKD. Bukti lain yang menguatkan adanya mekanisme tersebut ialah adanya gambaran histologik ginjal yang sama pada penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh penyakit primer apapun. Perubahan dan adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal akan menyebabkan pembentukan jaringan ikat, dan kerusakan nefron yang lebih lanjut. Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut menyerupai suatu s iklus yang berakhir dengan gagal ginjal terminal (GGT) atau Kidney Failure atau End-Stage Renal Disease (ESRD)3.
5
Hyperfiltration injury/cedera hiperfiltrasi adalah perjalanan umum dari kerusakan glomerulus, dan tidak bergantung pada penyebab yang mendasari kerusakan ginjal. Dengan hilangnya nefron, sisa nefron yang lain mengalami hipertrofi struktural dan fungsional ditandai dengan peningkatan aliran darah glomerular. Kekuatan pendorong untuk filtrasi glomerulus meningkat pada nefron yang masih hidup. Meskipun mekanisme hiperfiltrasi ini sementara dapat memelihara fungsi ginjal, hal ini dapat menimbulkan kerusakan progresif pada glomeruli yang masih hidup, disebabkan efek langsung dari peningkatan tekanan hidrostatik pada intergritas dinding kapiler dan atau efek beracun dari peningkatan protein yang melintasi dinding kapiler. Seiring waktu, dengan populasi nefron yang mengalami sclerosing meningkat, nefron yang masih hidup akan mengalami peningkatan beban ekskresi yang bertambah, sehingga akan menyebabkan lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus 2. Proteinuria sendiri dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal, sebagaimana dibuktikan oleh penelitian bahwa pengurangan proteinuria dapat menunjukan efek yang menguntungkan. Protein yang melintasi dinding kapiler glomerulus dapat memberikan efek toksik langsung dan mendatangkan monosit atau makrofag, hal itu meningkatkan proses glomerular sclerosis dan tubulointerstitial fibrosis 2,3. Hipertensi yang tidak terkontrol dapat memperburuk perkembangan penyakit dengan menyebabkan arteriolar nephrosclerosis disebabkan proses hiperfiltrasi. Hiperfosfatemia dapat meningkatkan perkembangan penyakit karena deposisi kalsiumfosfat di intersitium ginjal dan pembuluh darah . Hiperlipidemia, sebuah kondisi umum pada pasien CKD, dapat merusak fungsi glomerular melalui oxidant-mediated injury 2, 6..
2.6 MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang timbul pada CKD merupakan manifestasi: 3 1. Kegagalan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. 2. Penumpukan metabolit toksik yang disebut toksis uremik. 3. Kurangnya hormon ginjal seperti eritropoietin dan bentuk aktif vitamin D. 4. Abnormalitas respon end organ terhadap hormon endogen (hormon pertumbuhan). Pasien CKD menunjukan keluhan non spesifik seperti sakit kepala, lelah, letargi, kurang nafsu makan, muntah, dan gangguan pertumbuhan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan anak tampak pucat, lemah dan hipertensi. Keadaan ini dapat berlangsung
6
bertahun-tahun. Namun dengan pemeriksaan yang teliti dan cermat akan ditemukan keadaan-keadaan seperti:1,2
Gangguan
keseimbangan
elektrolit
dan
cairan:
hiperkalemia/hipokalemia,
hipernatremia/hiponatremia, dehidrasi.
Gangguan asam basa: asidosis metabolik.
Gangguan metabolisme karbohidrat (hiperglikemi) dan lemak (hiperlipidemia).
Gangguan metabolisme kalsium dan fosfat: hiperparatiroid sekunder, osteodistrofi ginjal, rickets/osteomalasia, kalsifikasi jaringan lunak.
Gangguan metabolisme hormon: defisiensi hormone eritropoetin menyebabkan depresi sumsum tulang sehingga sumsum tulang tidak mampu bereaksi terhadap proses hemolisis/perdarahan dan menyebabkan anemia normokrom normositer. Selain itu terjadi juga hipertensi.
Gangguan perdarahan. Retensi toksik uremia menyebabkan hemolisis sel eritrosit, ulserasi mukosa saluran cerna, gangguan pembekuan, masa hidup eritrosit memendek, bilirubuin serum meningkat/normal, uji comb’s negati f dan jumlah retikulosit normal.
Gangguan saluran cerna: Mual, muntah, hiccup akibat kompensasi oleh flora normal usus sehingga ammonia (NH3) mengiritasi/rangsang mukosa lambung dan usus. Stomatitis uremia juga dapat terjadi akibat mukosa kering, lesi ulserasi luas, karena sekresi cairan saliva banyak mengandung urea dan kurang menjaga kebersihan mulut.
Gangguan fungsi kardiovaskular: perikarditis, toleransi miokard terhadap latihan rendah.
Gangguan jantung: kardiomiopati uremik, hipertrofi ventrikel kiri dan penebalan septum interventrikular.
Gangguan neurologi: neuropati perifer, ensefalopati hipertensif dan retardasi mental.
Gangguan kulit: Gatal terutama pada dialisis rutin karena toksik uremia yang kurang terdialisis, peningkatan kadar kalium fosfat, alergi bahan-bahan dalam proses diali sis. Rambut tipis dan kasar serta kulit kering bersisik karena ureum meningkat menimbulkan penimbunan kristal urea di bawah kulit .
Gangguan perkembangan seksual: keterlambatan pubertas.
7
Tabel 2.4 Manifestasi Sindrom Uremik 1,4 Sistem Tubuh
Biokimia
Manifestasi
Azotemia (penurunan GFR, peningkatan BUN, kreatinin) Asidosis Metabolik (HCO3 serum 18-20 mEq/L) Hiperkalemia Retensi atau pembuangan Natrium Hipermagnesia Hiperurisemia Perkemihan& Poliuria, menuju oliguri lalu anuria Kelamin Nokturia, pembalikan irama diurnal Berat jenis kemih tetap sebesar 1,010 Protein silinder Hilangnya libido, amenore, impotensi dan sterilitas Kardiovaskular Hipertensi Retinopati dan enselopati hipertensif Beban sirkulasi berlebihan Edema Gagal jantung kongestif Perikarditis (friction rub) Disritmia Pernafasan Pernafasan Kusmaul, dispnea Edema paru Pneumonitis Hematologi Anemia menyebabkan kelelahan Hemolisis Kecenderungan perdarahan Menurunnya resistensi terhadap infeksi (ISK, peumonia,septikemia) Kulit Pucat, pigmentasi Perubahan rambut dan kuku (kuku mudah patah, tipis, bergerigi, ada garis merah biru yang berkaitan dengan kehilangan protein) Pruritus “kristal” uremik kulit kering memar Saluran cerna Anoreksia, mual muntah menyebabkan penurunan BB Nafas berbau amoniak Rasa kecap logam, mulut kering Stomatitis, parotitid Gastritis, enteritis Perdarahan saluran cerna Diare Metabolisme Protein-intoleransi, sintesisi abnormal intermedier Karbohidrat-hiperglikemia, kebutuhan insulin menurun Lemak-peninggian kadar trigliserida Neuromuskular Mudah lelah
8
Gangguan kalsium dan rangka
Otot mengecil dan lemah Susunan saraf pusat : Penurunan ketajaman mental Konsentrasi buruk Apati Letargi/gelisah, insomnia Kekacauan mental Koma Otot berkedut, asteriksis, kejang Neuropati perifer : Konduksi saraf lambat, sindrom restless leg Perubahan sensorik pada ekstremitas – parestesi Perubahan motorik – foot drop yang berlanjut menjadi paraplegi Hiperfosfatemia, hipokalsemia Hiperparatiroidisme sekunder Osteodistropi ginjal Fraktur patologik (demineralisasi tulang) Deposit garam kalsium pada jaringan lunak (sekitar sendi, pembuluh darah, jantung, paru-paru) Konjungtivitis (uremik mata merah)
Gangguan ekskresi air, Ginjal adalah pengatur volume cairan tubuh yang utama. Karena ginjal memiliki kapasitas untuk mengencerkan dan memekatkan urin. Pada CKD, kapasitas ini terganggu sehingga dapat menyebabkan retensi dari zat sisa maupun overload cairan pada tubuh. Ganguan ekskresi natrium, dalam perjalanan CKD kemampuan nefron untuk mengatur keseimbangan natrium menjadi terganggu, pada pasien dengan CKD yang stabil jumlah total natrium dan cairan pada tubuh menigkat, walau kadang tidak begitu terlihat pada pemeriksaan fisik. Pada berbagai bentuk gangguan ginjal (contohnya glomerulonefritis), terjadi gangguan pada glomerulotubular sehingga tidak dapat menjaga keseimbangan dari intake natrium yang berlebih terhadap jumlah yang diekskresikan. Hal ini menyebabkan retensi natrium dan ekspansi dari cairan ekstraselular sehingga terjadi hipertensi, yang dapat semakin menambah kerusakan pada ginjal
6
. Hiponatremia
(dilutional hyponatremia) kadang ditemukan pada penderita CKD. Hal ini disebabkan retensi dari air yang berlebihan, sehingga menyebabkan dilusi cairan intravaskular 6,7. Gangguan ekskresi kalium, ginjal mempunyai kapasitas untuk ekskresi kalium, dan biasanya hiperkalemia yang berat terjadi saat LFG 10mL/menit/1.73m 2 harus dicari penyebab dari hiperkalemia, termasuk diantaranya: intake kalium yang berlebih, hyporeninemic
9
hypoaldosteronism, asidosis metabolik yang berat, tranfusi darah, hemolisis, katabolisme protein, penggunaan obat-obatan seperti ACE inhibitor, B-blocker, dan aldosteron antagonist3,6,7. Hipokalemia juga dapat terjadi namun jarang ditemukan, hal ini terjadi biasanya karena intake kalium yang rendah, penggunaan diuretik yang berlebihan, kehilangan kalium dari traktus gastrointestinal. Asidosis metabolik berkembang di hampir semua anak-anak dengan CKD sebagai akibat penurunan ekskresi asam oleh ginjal dan produksi ammonia 3,6,7. Uremia, walaupun konsentrasi urea serum dan kreatinin digunakan sebagai ukuran kapasitas ekskresi dari ginjal, akumulasi hanya dari kedua molekul ini tidak bertanggung jawab atas gejala dan tanda yang karakteristik pada uremic syndrome pada gagal ginjal yang berat. Ratusan toksin yang berakumulasi pada penderita gagal ginjal berperan dalam uremic syndrome. Hal ini meliputi water-soluble, hydrophobic, protein-bound, charged, dan uncharged compound . Sebagai tambahan, produk ekskresi nitrogen termasuk diantaranya guanido, urat, hippurat, produk dari metabolisme asam nukleat, polyamines, mioinositol, fenol, benzoate, dan indol. Uremia sendiri menyebabkan gangguan fungsi dari setiap sistem organ. Dialisis kronik dapat mengurangi insiden dan tingkat keparahan dari gangguan ini. Kadar urea yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada mulut, yaitu kadar urea yang tinggi pada saliva dan menyebabkan rasa yang tidak enak (seperti ammonia), fetor uremikum (bau nafas seperti ammonia), dan uremic frost . Gangguan pada serebral terjadi pada kadar ureum yang sangat tinggi, dan dapat menyebabkan coma uremicum. Pada jantung dapat mengakibatkan uremic pericarditis maupun uremic cardiomyopathy6. Hipertensi, Anak-anak dengan CKD mungkin memiliki hipertensi berkelanjutan yang berkaitan dengan kelebihan beban volume intravaskular dan atau produksi renin yang berlebihan berkaitan dengan penyakit glomerular. Anemia, hal ini umum terjadi pada pasien dengan CKD, terutama disebabkan karena produksi eritropoietin tidak memadai (dibentuk di korteks ginjal, pada interst itial, tubular atau sel endotelial). Faktor lain yang mungkin menyebabkan anemia termasuk kekurangan zat besi, asam folat atau vitamin B12, dan penurunan survival-time dari eritrosit 2,3,6,7. Abnormal hemostasis, pada pasien CKD terjadi waktu perdarahan yang memanjang, karena menurunnya aktivitas dari platelet factor III , agregasi platelet yang
10
abnormal, dan gangguan konsumsi protrombin, dan meningkatnya aktivitas fibrinolitik karena fibrinolisin tidak tereliminir pada ginjal. Gangguan Pertumbuhan, perawakan yang pendek adalah sekuel jangka panjang dari CKD yang terjadi di masa kanak-kanak. Anak-anak dengan CKD berada dalam keadaan resisten terhadap growth hormon (GH) walaupun terjadi peningkatan kadar GH namun terjadi penurunan kadar insulin like growth factor 1(IGF-1) dan abnormalitas dari insulin like growth factor – binding proteins
2,3,6
.
Analisis antropometri dan biokimia penting dilakukan karena terjadi peningkatan risiko gangguan status nutrisi akibat defisiensi nutrisi dan protein. Penurunan nafsu makan terjadi akibat asidosis dan inflamasi yang menyebabkan peningkatan sitokin seperti leptin, TNF-α, IL-1 dan IL-6 sehingga menyebabkan penurunan nafsu makan dan kecepatan metabolisme. Malnutrisi merupakan komplikasi serius dan sering ditemukan pada CKD.5 Tabel 2.5 Faktor penyebab gangguan pertumbuhan pada penderita CKD Asupan energi yang tidak mencukupi
Asupan protein yang tidak mencukupi Gangguan keseimbangan air dan elektrolit, dan asidosis metabolik Osteodistrofi renal hipertensi infeksi anemia Ganguan hormonal Terapi kortikosteroid Faktor psikososial (Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children. In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3 University Press Inc., pp. 427-45)
rd
edition. Oxford: Oxford
Renal Osteodystrophy atau osteodistrofi ginjal merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan suatu spektrum kelainan tulang yang ditemui pada pasien dengan CKD. Kondisi yang umum ditemukan pada anak-anak dengan CKD adalah gangguan berupa tingginya turnover pada tulang yang disebabkan oleh hiperparatiroidisme sekunder. Temuan patologik ini disebut osteitis fibrosa cystica. Patofisiologi osteodistrofi ginjal sangat kompleks. Pada awal perjalanan CKD ketika LFG menurun kira-kira 50%
11
dari normal, penurunan massa ginjal secara fungsional menyebabkan penurunan aktivitas hidroksilase-1α
ginjal,
dengan
penurunan
produksi
vitamin
D
aktif
( 1,25
dihydroxycholecalciferol ). Kekurangan bentuk aktif vitamin D ini mengakibatkan penurunan penyerapan kalsium di usus halus, sehingga terjadi hipokalsemia, dan peningkatan aktivitas kelenjar paratiroid. Peningkatan sekresi hormon paratiroid (PTH) sebagai upaya untuk memperbaiki hipokalsemia, dengan meningkatan resorpsi tulang. Kemudian dalam perjalanan CKD, ketika LFG menurun 20-25% dari normal, mekanisme kompensasi untuk meningkatkan ekskresi fosfat menjadi tidak memadai, sehingga
mengakibatkan
hiperfosfatemia
yang
kemudian
mengakibatkan hipokalsemia dan peningkatan sekresi PTH.
lebih
lanjut
akan
3,6,7
Manifestasi klinis osteodistrofi ginjal termasuk kelemahan otot, nyeri tulang, dan mudah fraktur akibat trauma ringan. Pada anak-anak yang sedang tumbuh, dapat terjadi perubahan rakitik, deformitas varus dan valgus pada tulang panjang dan terselipnya kepala epifisis tulang femur dapat dilihat. Studi laboratorium mungkin menunjukkan penurunan kadar kalsium serum, peningkatan tingkat fosfor serum, peningkatan alkali fosfatase, dan tingkat PTH normal. Radiografi dari tangan, pergelangan tangan, dan lutut menunjukkan resorbsi subperiosteal tulang dengan pelebaran metafisis. Adynamic Bone Disease (low-turnover bone disease) dapat terjadi pada anak dan orang dewasa dengan CKD. Temuan patologis yang ditemukan berupa osteomalasia. Hal ini berhubungan dengan supresi berlebihan dari PTH, mungkin terkait dengan penggunaan calcium containing-phosphat binder dan analog vitamin D 4.
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis CKD dapat ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.4 a. Anamnesis Penderita CKD menunjukan keluhan tidak spesifik seperti sakit kepala, lelah, letargi, kurang nafsu makan, muntah, dan gangguan pertumbuhan. Keadaan ini dapat berlangsung secara bertahun-tahun.4 b. Pemeriksaan Fisik Gangguan
pertumbuhan,
anemia,
hipertensi,
pembesaran jantung, dan keterlambatan seksual.4
osteodistrofi
ginjal,
tanda
12
c. Pemeriksaan Penunjang 1. Darah: hemoglobin, elektrolit, analisa gas darah, gula, profil lipid, kadar vitamin D, faktor pembekuan. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin dan penurunan LFG. Kelainan biokimiawi darah meliputi anemia, hiperkalemia atau hipokalemia, hiponatremia, hiperfosfatemia, dan asidosis metabolik. 4,7 2. Radiologi: Pemeriksaan pencitraan dapat membantu menegakkan diagnosis CKD dan memberikan petujuk kearah penyebab CKD.
Foto polos: untuk melihat batu yang bersifat radioopak atau nefrokalsinosis.
Ultrasonografi: USG merupakan modalitas terpilih untuk kemungkinan penyakit ginjal obstruktif. USG ginjal dapat memperlihatkan gambaran ukuran ginjal yang mengecil dan korteks yang menipis dan foto toraks untuk melihat pembesaran jantung.4,7 Meskipun USG kurang sensitif dibandingkan CT untuk mendeteksi massa, tetapi USG dapat digunakan untuk membedakan kista jinak dengan tumor solid, juga sering digunakan untuk menentukan jenis penyakit ginjal polikistik.
CT Scan: Dapat menentukan massa ginjal atau kista yang tidak terdeteksi pada pemeriksaan USG dan merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk mengidentifikasi batu ginjal. CT Scan dengan kontras harus dihindari pada pasien dengan gangguan ginjal untuk menghindari terjadinya gagal ginjal akut.
MRI: Sangat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan CT tetapi tidak dapat menggunakan kontras. MRI dapat dipercaya untuk mendeteksi adanya trombosis vena renalis. Magnetic resonance angiography juga bermanfaat untuk mendiagnosis stenosis arteri renalis, meskipun arteriografi renal tetap merupakan diagnosis standar.
Radionukleotida: Deteksi awal parut ginjal dapat dilakukan dengan menggunakan radioisotope scanning 99m-technetium dimercaptosuccinic acid (DMSA). Pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan intravenous pyelography (IVP) untuk mendeteksi parut ginjal dan merupakan diagnosis standar untuk mendeteksi nefropati refluks.
13
Voiding cystourethrography: Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan radionukleotida untuk mendeteksi refluks vesikoureter.
Retrogade atau anterogade pyelography: Dapat digunakan lebih baik untuk mendiagnosis dan menghilangkan obstruksi traktus urinarius. Pemeriksaan ini diindikasikan apabila dari anamnesis didapatkan kecurigaan gagal ginjal meskipun USG dan CT scan tidak menunjukkan adanya hidronefrosis.
Pemeriksaan tulang: Hal ini bermanfaat untuk mengevaluasi hiperpartiroid sekunder yang merupakan bagian dari osteodistrofi, dan juga perkiraan usia tulang untuk memberikan terapi hormon pertumbuhan.
2.8 PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pada penderita CKD bertujuan untuk 3: 1. Mengganti fungsi ginjal yang hilang, dimana terjadi penurunan yang progresif sejalan dengan penurunan GFR. 2. Memperlambat progresivitas dari disfungsi ginjal. Anak dengan CKD sebaiknya dirawat di layanan kesehatan yang mampu memberikan layanan multidisiplin, seperti medik, perawatan, nutrisi, sosial dan psikologi. Pengelolaan CKD memerlukan pemantauan ketat terhadap klinis dan hasil laboratorium pasien. Studi laboratorium darah harus diikuti secara rutin meliputi serum elektrolit, BUN, kreatinin, kalsium, fosfor, albumin, alkalin fosfatase, dan tingkat hemoglobin. Pengukuran berkala kadar hormon paratiroid (PTH) dan Rontgen tulang mungkin berguna dalam mendeteksi bukti awal osteodistrofi ginjal. Echocardiography harus dilakukan secara berkala untuk mendeteksi adanya hipertrofi ventrikel kiri dan disfungsi jantung sebagai akibat dari komplikasi CKD 3. 1. Pengobatan konservatif
Pada umumnya pengobatan konservatif masig mungkin dilakukan bila klirens protein >10 mL/menit/1,73m2 dengan tujuan untuk memanfaatkan faal ginjal yang masih ada, menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan bila mungkin memperlambat progresivitas gagal ginjal.1,4
14
Keseimbangan air dan elektrolit
2,3
Pada sebagian besar anak dengan CKD dapat menjaga keseimbangan air dan elektrolit dengan normal dengan asupan natrium yang sesuai dari diet yang tepat. Anak dengan CKD yang disebabkan displasia ginjal umumnya terjadi poliuria dengan kehilangan natrium berlebih dari urin, asupan dengan volume yang tinggi, rendah kalori disertai suplemen natrium khlorida sebaiknya diberikan pada kasus-kasus tersebut dengan pemantauan ketat terhadap pertumbuhan, sembab, hipertensi, atau hipernatremia. Kebutuhan air disesuaikan dengan jumlah urine yang keluar. Pada CKD akibat kelainan anatomi ginjal biasanya terjadi pengeluaran natrium yang banyak sehingga terjadi hiponatremia dan dehidrasi berat. Pada keadaan ini dibutuhkan suplai natrium dalam makanan. Sebaliknya, pada penderita yang disertai hipertensi, edema, atau gagal jantung, harus dilakukan retriksi natrium dan pemberian diuretik seperti furosemid (1-4 mg/kgBB/hari). Umumnya diet rendah garam pada CKD tanpa hipertensi atau sembab adalah 2 g/kgBB/hari (80 mEq/kgBB/hari). Bila disertai sembab dikurangi menjadi 1 mEq/kgBB/hari dan bila ditemukan oligouria atau anuria harus diperketat menjadi 0,2 mEq/kgBB/hari. Catatan 1 g g aram dapur sebanding dengan 400 mg natrium atau 17 mEq natrium.
1,4
Anak-anak dengan penyakit ginjal primer yang
menimbulkan hipertensi, edema, dan gagal jantung dianjurkan untuk membatasi asupan natrium dan air. Sebagian besar anak dengan CKD mampu mempertahankan homeostasis kalium, kecuali bila fungsi ginjal sudah sangat menurun sampai tingkat dimana dialisis diperlukan. Namun hiperkalemia juga dapat ditemukan pada penderita yang mendapat asupan kalium berlebihan, asidosis berat, atau hiporeninemic hipoaldosteronisme (terkatit dengan kerusakan juxtaglomerular apparatus (JGA) yang mensekresi renin). Bila terjadi hiperkalemia, perlu diterapi dengan restriksi asupan kalium, oral alkalinizing agents seperti natrium bikarbonat, dan atau potassium exchange resin (kayexalate). Asidosis
Penderita CKD sering mengalami asidosis kronis yang menyebabkan kerusakan tulang dan gagal tumbuh. Untuk mempertahankan keseimbangan asam basa perlu diberikan suplemen natrium bikarbonat dimulai dari dosis 2 mEq/kgBB/hari, dengan pemantauan pH dan kadar bikarbonat pada analisis gas darahnya, diusahakan kadar
15
bikarbonat plasma dipertahankan anatara 23-25 mEq/L.2,3 Bila asidosis berat (HCO3 < 8 mEq/L) koreksi dengan dosis 0,3 x kgBB x (12-HCO 3 serum) mEq/L i.v. Tablet NaHCO 3 325 mg = 4 mEq HCO 3. 1,4 Nutrisi
Pembatasan masukan protein harus dimulai bila LFG 15-20 mL/menit/1,73m 2. Jumlah kalori yang diberikan harus cukup untuk anabolisme dan pertumbuhan, jadi harus disesuaikan dengan kebutuhan menurut usia. Untuk bayi diberikan 100 kkal/kgBB/hari sedangkan jumlah protein diberikan sesuai dengan usia dan tingkat penurunan LFG. Retriksi protein dilakukan bila kadar ureum darah > 30 mmol/L atau terdapat gejala uremia. Protein umumnya diberikan 1,4 g/kgBB/hari untuk bayi dan 0,8-1,1 g/kgBB/hari untuk anak yang terdiri atas protein yang nilai biologis tinggi (paling sedikit mengandung 70% asam amino esensial). Bila retriksi protein terlalu ketat akan mengakibatkan malnutrisi, sehingga jumlah protein yang harus diberikan paling sedikit 4% dari jumlah total kalori atau 1g/kgBB/hari. Maksud pembatasan protein adalah mencegah katabolisme protein endogen, mengurangi akumulasi sisa nitrogen, serta membatasi toksisitas sistemik. 1,4 Tabel 2.6 Kebutuhan Kalori dan Protein yang Direkomendasikan Untuk Anak dengan CKD Usia Tinggi (cm) Energi (kkal) Protein (g) Kalsium (g) Fosfor (g) 0-2 bulan 55 120/kgBB 2,2/kgBB 0,4 0,2 2-6 bulan 63 110/kgBB 2,0/kgBB 0,5 0,4 6-12 bulan 72 100/kgBB 1,8/kgBB 0,6 0,5 1-2 tahun 81 1.000 18 0,7 0,7 2-4 tahun 96 1.300 22 0,8 0,8 4-6 tahun 110 1.600 29 0,9 0,9 6-8 tahun 121 2.000 29 0,9 0,9 8-10 tahun 131 2.200 31 1,0 1,0 10-12 tahun 141 2.450 36 1,2 1,2 12-14 tahun Laki-laki 151 2.700 40 1,4 1,4 Perempuan 154 2.300 34 1,3 1,3 14-18 tahun Laki-laki 170 3.000 45 1,4 1,4 Perempuan 159 2.350 35 1,3 1,3 18-20 tahun Laki-laki 175 2.800 42 0,8 0,8 Perempuan 163 2.300 33 0,8 0,8 Sumber: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia Kompendium Nefrologi Anak.
Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
16
Pasien dengan CKD biasanya membutuhkan pembatasan berbagai komponen diet yang progresif sejalan dengan fungsi ginjal yang menurun. Diet fosfor, kalium, dan natrium harus dibatasi sesuai dengan studi laboratorium dan keseimbangan cairan pasien. Pada bayi dengan CKD umum digunakan susu formula dengan kadar fosfor yang dikurangi. Asupan kalori yang optimal pada pasien dengan CKD tidak diketahui, tetapi dianjurkan untuk menyediakan setidaknya diet yang sesuai Recommended Daily Allowance (RDA) untuk umur. Asupan protein diusahakan 2.5g/kgBB/24jam dan harus harus terdiri dari protein dengan nilai biologis tinggi, yang akan dimetabolisme menjadi sisa asam amino daripada limbah nitrogen. Protein ini biasanya didapat dari telur dan susu, diikuti oleh daging, ikan, dan unggas. 3 Asupan makanan harus disesuaikan secara optimal melalui konsultas i dengan ahli gizi dengan ekspertise CKD pada anak. Asupan kalori dapat ditingkatkan pada bayi dengan menambahkan formula dengan komponen karbohidrat, lemak (minyak trigliserida rantai menengah / Medium chained triglycerides (MCT)), dan protein sebagaimana ditoleransi oleh pasien.3 Jika asupan kalori secara oral tetap tidak memadai atau penambahan berat badan dan kecepatan pertumbuhan suboptimal, pemberian dengan pipa enteral harus dipertimbangkan. Tambahan makanan mungkin tersedia melalui pipa nasogastrik, gastrostomi, atau gastrojejunal.3 Anak-anak dengan CKD mungkin mengalami kekurangan vitamin yang larut dalam air baik karena asupan yang tidak memadai atau kehilangan lewat dialisis. Sehingga vitamin ini harus secara rutin diberikan. Seng dan suplemen zat besi ditambahkan hanya jika terbukti ada defisiensi. Suplementasi dengan vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, E, dan K biasanya tidak diperlukan. 3 Osteodistrofi Renal 1,3,4
Kadar
hormon
paratiroid
(PTH)
meningkat
dan
kadar
1,25
dihydroxycholecalciferol menurun, sejak mulai terjadinya insufisiensi ginjal ringan, yaitu 2
pada GRF 50-80 ml/menit/1.73m . Kadar fosfat plasma merupakan sebab utama terjadinya hiperparatiroidisme sekunder. Fosfat mengatur sel paratiroid secara independen pada kadar calcium serum dan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol endogen. Oleh karenanya kontrol terhadap fosfat plasma adalah hal paling penting sebagai prevensi
17
dan terapi hiperparatiroidisme sekunder, meskipun hal tersebut paling sulit dicapai dalam jangka panjang, oleh karena membutuhkan kepatuhan akan diet rendah fosfat yang ketat and pemberian pengikat fosfat untuk mengurangi absorbsinya. Diet rendah fosfat berarti membatasi intake susu sapi dan produknya. Bila kadar fosfat plasma tetap diatas harga rata-rata untuk umur, pengikat fosfat misalnya kalsium karbonat 100 mg/kg/hari diberikan bersama makanan, dosis disesuaikan sampai kadar fosfat plasma berada antara harga rata-rata dan -2SD sesuai umurnya. Kalsium asetat, dan yang lebih baru, sevelamer (non-calcium/non-aluminium containing polymer ) juga merupakan pengikat fosfat yang bermanfaat. Penurunan
kadar
fosfat
plasma
dapat
meningkatkan
kadar
1,25-
dihydroxycholecalciferol endogen dan kalsium ion, yang mampu menormalkan kadar PTH. Namun, bila kadar PTH tetap tinggi dan kadar fosfat plasma normal, perlu ditambahkan vitamin D3 hidroksilasi. Tipe, dosis, frekuensi, dan rute pemberian vitamin D sebagai prevensi dan terapi osteodistrofi renal masih merupakan kontroversi. Dianjurkan pemberian dosis rendah 1,25-dihydroxycholecalciferol 15-30 ng/kg/sekali sehari untuk anak-anak dengan berat kurang dari 20 kg, dan 250-500 ng sekali sehari untuk anak-anak yang lebih besar, untuk menaikkan kadar kalsium plasma sampai batas normal atas: bila kadar PTH telah normal, 1,25-dihydroxycholecalciferol
dapat
dihentikan
sementara.
Pemberian
1,25-
dihydroxycholecalciferol secara intravena lebih efektif untuk menurunkan kadar PTH, tetapi dapat menyebabkan adynamic bone, oleh karena 1,25-dihydroxycholecalciferol pada dosis tinggi mempunyai efek antiproliferatif pada osteoblast. Kadar kalsium, fosfat, dan alkali fosfatase plasma hendaknya diperiksa setiap kunjungan. Kadar PTH diukur setiap bulan, atau setiap kunjungan bila anak melakukan kunjungan yang lebih jarang, dan terapi disesuaikan. Bila anak asimtomatik dan parameter biokimia normal, hanya perlu dilakukan pemeriksaan radiologi manus kiri dan pergelangan tangan setiap tahun untuk menilai usia tulang. 3,6 Tujuan terapi osteodistrofi renal pada CKD adalah mencegah deformitas tulang dan normalisasi kecepatan pertumbuhan dengan intervensi diet rendah fosfat dan terapi farmakologi berupa pengikat fosfat dan vitamin D.10 Terapi vitamin D dimulai ketika pasien menderita CKD stadium tiga. Dosis dinaikkan secara bertahap, bergantung kepada kadar fosfat serum dan kadar hormon paratiroid.11 Pasien dengan CKD stadium 2-4
18
mulai diberi kalsitriol (vitamin D aktif) pada saat kadar 25-hidroksivitamin D >30ng/mL dan kadar hormon paratiroid serum di atas nilai normal. Pada CKD stadium lima dan kadar hormon paratiroid >300 pg/mL. Kalsitriol diberikan untuk menurunkan kadar hormon paratiroid sampai kadar 200-300 pg/mL. Kalsitriol diberikan secara intermiten, baik melalui intravena maupun oral.5 Hipertensi 2,3
Langkah
pertama
untuk
mengendalikan
hipertensi
adalah
tindakan
nonfarmakologis yaitu diet rendah garam, penurunan berat badan, dan berolah raga. Bila dengan cara ini tidak berhasil diberikan obat farmakologis. Pengobatan farmakologis dapat langsung diberikan bila hipertensi disertai gejala kerusakan organ atau peningkatan tekanan darah sangat cepat. Obat yang sering dipakai adalah: 1,4
Diuretika
Beta – Bloker adrenergic (propanolol atau etanolol)
Agonis alfa adrenergik
Vasodilator perifer (hidrolazid)
Calsium channel blocker dan angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor Tindakan farmakologi dimulai dengan pemberian diuretik, bila tidak berhasil atau
hipertensi makin berat dapat diberikan beta-bloker adrenergik (propanolol atau etanolol) dan atau vasodilator perifer (hidralazid). Bila gabungan obat-obatan tersebut masih tidak memberikan hasil dapat diberikan Calsium channel blocker (nifedipin) atau ACE inhibitor (kaptopril/enalapril). Pada hipertensi krisis akut dapat diberikan nifedipin sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgBB. Furosemid diberikan dengan dosis 1-5 mg/kgBB i.v diulang tiap 6-12 jam kecepatan maksimal 4 mg/kgBB/menit atau dapat diberikan klonidin drip dengan dosis 0,002 mg/kgBB/8jam + 100 mL dekstrose 5%, tetesan awal 12 tetes mikrodrip/menit, bila tekanan darah belum turun tetesan dinaikan 6 tetes/mikridrip/menit tiap 30 menit (maksimal 36 tetes mikrodrip/menit). Bila 30 menit setelah tetesan maksimal tekanan darah belum turun, ditambah kaptopril dengan dosis 0,3 mg/kgBB/kali, diberikan 2-3 kali sehari (maksimal 2 mg/kgBB/kali). Pemberian kaptopril harus hati-hati pada pasien kelainan ginjal bilateral atau steosis arteri renalis bilateral karena dapat mempercepat kerusakan ginjal.1,4 Bila ada tanda-tanda circulatory volume overload sebagai penyebab hipertensi, diperlukan diet rendah garam 2-3 g/hari,dan terapi insial pilihan dapat digunakan
19
golongan thiazid (HCT 2mg/kgBB/24 jam dalam 2 dosis) untuk CKD derajat 1-3, namun pada CKD derajat 4, thiazid kurang efektif dan dapat diberikan diuretik dari golongan furosemide dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors (enalapril, lisinopril) dan angiotensin II blockers (losartan) obat antihipertensi pilihan pada anak dengan penyakit ginjal yang disertai proteinuria karena memiliki potensi untuk memperlambat progresivitas menjadi ESRD. Calcium channel blockers (amlodipine), β blockers (propranolol, atenolol), dan agen yang bekerja sentral (clonidine) dapat berguna sebagai terapi pada anak dengan CKD dimana tekanan darah tidak dapat dikontrol melalui restriksi asupan sodium, diuretik, dan ACE inhibitor. Anemia 2,3
Anemia pada CKD adalah anemia normokromik normositer, terutama karena produksi eritropoietin yang tidak adekuat dan massa sel tubular renal yang berkurang. Kompensasi
jantung
terhadap
anemia
menyebabkan
hipertrofi
ventrikel
dan
kardiomiopati sehinga meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung atau penyakit jantung iskemik. Rekomendasi KDOQI menyebutkan target hemoglobin 11 hingga 12 g/dL pada penderita CKD, dan penderita dengan kadar feritin serum < 100 ng/mL harus mendapat suplementasi besi. Recombinant human erythropoietin (rHuEPO) dengan dosis 50-150 mg/kgBB/hari subkutan (pada sedang yang menjalani dialisis dapat diberikan intravena), diberikan 3 kali seminggu. Pemberian rhuEPO dapat mengurangi atau menghindarkan transfusi darah pada CKD. Bila ditemukan pasien anemia disertai mengancam jiwa perlu diberikan transfusi darah PRC 10-20 ml/kgBB. Biasanya transfusi PRC diberikan bila kadar Hb < 6 mg/dL. Jika ditemukan hipersplenisme dan usaha untuk menaikkan Hb tidak berhasil, harus dilakukan splenektomi.
1,4
Sebagian besar anak-anak dengan pra-GGT dapat mempertahankan kadar hemoglobin tanpa bantuan terapi rHuEPO, dengan cara pengaturan nutrisi yang baik, suplemen besi dan folat, dan bila diperlukan supresi hiperparatiroid sekunder dengan memakai pengikat fosfat yang tidak mengandung aluminium. Bila anemia tetap terjadi dan kadar hemoglobin dibawah 10g/dL, dapat diberikan rHuEPO dengan dosis 50 unit/kg secara subkutan dua kali seminggu, dosis dapat dinaikkan sesuai respon agar mencapai target hemoglobin 10-12 g/dL. Kadar ferritin serum dipertahankan diatas 100 mcg/l agar tercapai suplemen besi yang adekuat. Semua pasien yang mendapat terapi rHuEPO harus
20
diberikan suplementasi besi secara oral maupun intravena. Sedangkan pasien yang resiten dengan pemberian rHuEPO harus dievaluasi kemungkinan adanya defisiensi besi, occult blood loss, infeksi / inflamasi kronik, defisiensi vitamin B 12 / folat, dan fibrosis sumsum tulang terkait hiperparatiroid sekunder. Pengobatan anemia dilakukan sesuai penyebabnya. Bila ditemukan defisiensi zat besi diberikan zat besi oral dengan dosis 2-3 mg besi elemental/kgBB/kali diberikan 3 kali sehari selama 3 bulan. Bila terjadi defesiensi asam folat, diberikan asam folat dengan dosis 1-5 mg/hari selama 3-4 minggu. Pasien yang menjalani dialisis secara teratur diberi asam folat oral 1 mg/hari. Perlu dicegah progresivitas anemia dan anemia yang berkelanjutan, maka direkomendasikan memeriksa hemoglobin secara berkala apabila hematokrit dalam rentang 33-36% dan hemoglobin 11,0-12,0 g/dL (NKF-KDOQI). Eritropoetin diberikan pada pasien predialisis dengan kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL, diberikan secara subkutan 1-3 kali per minggu dengan rentang dosis inisial antara 30-300 unit/kgbb/minggu. Terapi besi oral sebaiknya diberikan jika kadar f eritin plasma di bawah 100 ng/mL, anjuran dosis 2-3 mg/kgbb/hari terbagi dalam 2-3 dosis. Zat besi diberikan dalam keadaan perut kosong dan tidak diberikan bersamaan dengan pengikat fosfat. 5 Pertumbuhan 2,3
Anak dengan CKD dimana tinggi badan tetap berada kurang dari -2 SD atau kurang dari persentil 5 walaupun sudah mendapat asupan energi yang adekuat dan terapi efektif dari osteodistrofi renal, anemia, dan asidosis metabolik dapat diberikan terapi dengan recombinant human GH (rHuGH) dalam dosis farmakologik. Terapi inisial dengan rHuGH dapat diberikan 0,05 mg/kgBB/24jam secara subkutan dengan pengaturan dosis secara periodik agar dicapai tinggi badan yang optimal sesuai umur. Terapi dengan rHuGH dilanjutkan hingga pasien mencapai: 1.
Tinggi badan sesuai umur mencapai persentil 50
2.
Tinggi badan yang cukup untuk dewasa (pada anak yang lebih besar atau remaja)
3.
Menjalani transplantasi ginjal Penggunaan rHuGH jangka panjang secara signifikan meningkatkan tinggi badan
dan dapat mengejar pertumbuhan secara persisten. Pada beberapa pasien dapat mencapai tinggi badan sesuai dewasa normal.
21
Gagal jantung
Terjadinya gagal jantung biasanya akibat kelebihan cairan dan atau hipertensi berat. Pengobatan langsung ditujukan untuk menurunkan tekanan darah dengan nifedipin sublingual dan mengeluarkan cairan dengan diuretik seperti furosemid baik secara oral maupun intravena. Bila terjadi perikarditis pada uremia yang berat, merupakan indikasi untuk
dilakukan
dialisis
dan
dalam
keadaan
akut
mungkin
perlu
tindakan
perikardiosintesis. Adanya cairan perikardium yang persisten atau terjadi rekurensi mungkin membutuhkan pemberian steroid non – adsorber (triamnisolon) setelah tindakan perikardiosentesis. 1,4 Infeksi 3
Anak-anak dengan kelainan ginjal rentan mengalami infeksi saluran kemih berulang. Bila menderita refluks vesiko-ureter perlu diberikan antibiotik dosis rendah sebagai profilaksis. Imunisasi 2
Anak dengan CKD harus tetap menerima imunisasi standar sesuai jadwal anak yang sehat. Ada pengecualian penggunaan vaksin hidup pada anak dengan CKD dengan glomerulonefritis yang menjalani terapi imunosupresif. Diusahakan pemberian vaksin virus hidup (MMR (mumps, measles, rubella), varicella) diberikan sebelum transplantasi ginjal, karena vaksin ini tidak boleh diberikan sejalan dengan terapi imunosupresif. Semua anak dengan CKD juga tetap harus mendapat vaksin influenza tahunan.Data menunjukkan bahwa anak dengan CKD masih dapat memberi respon suboptimal terhadap imunisasi yang diberikan. Penyesuaian dosis obat
2
Karena banyak obat diekskresikan melalui ginjal, maka penyesuaian dosis yang tepat dibutuhkan untuk memaksimalkan efektivitas dan mengurangi toksisitas. Strategi dalam penyesuaian dosis dapat berupa pemanjangan interval pemberian antar dosis, penguranan dosis absolut, maupun keduanya. Progesivitas dari CKD 2
Walau tidak ada terapi yang definitif untuk meningkatkan fungsi ginjal pada anak dan dewasa penderita CKD, ada beberapa strategi yang mungkin efektif untuk memperlambat progresivitas disfungsi ginjal. Kontrol yang optimal pada hipertensi
22
(menjaga tekanan darah lebih rendah dari persentil 75) penting pada smuea pasie n CKD. ACE inhibitor atau Angiotensin II receptor blocker adalah obat pilihan pada anak dengan proteinuria yang disertai/ tanpa disertai hipertensi. Kadar fosfor harus dijaga sesuai dengan rentang normal sesuai umur. Terapi terhadap komplikasi infeksi dan dehidrasi juga dapat mengurangi kerusakan parenkimal ginjal. Rekomendasi lain yang berguna termasuk diantaranya koreksi anemia, mengontrol
hiperlipidemia,
mencegah
obesitas,
dan
mengurangi
penggunaan
NSAID.Pembatasan asupan protein walaupun berguna bagi dewasa penderita CKD, namun pada anak tidak dianjurkan karena dapat mengganggu tumbuh kembang anak.
2. Tatalaksana gagal ginjal terminal (GGT) atau end stage r enal disease (ESRD)
Tujuan terapi GGT pada anak-anak tidak hanya untuk memperpanjang hidup anak, namun juga untuk meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan, dengan tujuan utama adalah kehidupan masa dewasa yang lebih baik.
Tindakan Dialisis
Indikasi dialisis pada bayi, anak, dan remaja sangat bervariasi dan tergantung dari status klinis pasien. Tindakan dialisis baik peritoneal maupun hemodialisis harus dilakukan sebelum LFG
View more...
Comments