LAPORAN DISKUSI KELOMPOK 4 PEMICU 1.docx
March 18, 2019 | Author: Muhammad Ibnu Nazari | Category: N/A
Short Description
Download LAPORAN DISKUSI KELOMPOK 4 PEMICU 1.docx...
Description
LAPORAN DISKUSI KELOMPOK PEMICU I MODUL GINJAL DAN CAIRAN TUBUH
Oleh: Kelompok 5:
1. David Aron Mampan Pryono 2. Adinda Gupita 3. Giovanni Lawira 4. Muhammad Ibnu Nazari 5. Michela Hengrawi Harianto 6. Hesti Ratna Pratiwi 7. Dewi Sapitri 8. Dita Rahma Sumarna 9. Prayoga Kurniawan 10. Christy Yella Harianja 11. Adinda Rabiattun Adawiah
I11112065 I1011141013 I1011161007 I1011161009 I1011161013 I1011161023 I1011161032 I1011161039 I1011161040 I1011161067 I1011161070
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura
12. 13. 14. 15. 16. 17.
2018
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Pemicu
Danang 21 tahun, seorang mahasiswa FK Untan mendapati BAKnya berwarna kuning bening di pagi hari setelah sarapan pagi. Selama kuliah, Danang sangat aktif dan sering terlupa untuk minum. Di sore harinya, Danang rutin olahraga jogging selama 30 menit. Setelah jogging, Setelah jogging, Danang mendapati kali ini BAK-nya sedikit dan berwarna kuning pekat. Selain itu, Danang juga merasa sangat haus, lalu l alu disarankan oleh temannya untuk minum air mineral yang cukup. 1.2.
Klasifikasi dan Definisi -
1.3.
1.4.
Kata Kunci
-
Danang, laki-laki 21 tahun
-
BAK pada pagi hari berwarna kuning bening
-
Sangat aktif, kurang minum
-
Rutin jogging Rutin jogging 30 30 menit pada sore hari
-
Setelah jogging Setelah jogging , BAK sedikit dan warna kuning pekat.
Rumusan Masalah
Danang, laki-laki 21 tahun mendapati perubahan warna dan volume BAK setelah beraktivitas dan kurang minum.
1
1.5.
Analisis Masalah
Danang, laki-laki 21 tahun
Perubahan volume BAK (menjadi sedikit)
Perubaha warna BAK (kuning beningkuning pekat
Homeostasis Homeostasis cairan tubuh
Sistem perkemihan
Produksi urin
Dehidrasi
1.6.
Hipotesis
Perubahan volume dan warna pada BAK Danang, laki-laki 21 tahun dipengaruhi oleh aktivitas yang dilakuan dan asupan cairan yang dikonsumsi. 1.7.
Petanyaan Diskusi
1. Sistem Urinaria a. Anatomi b. Histologi c. Vaskularisasi dan inervasi d. Hormon-hormon yang mempengaruhi 2. Fisiologi keinginan BAK 3. Fisiologi pembentukan urin
2
4. Mekanisme rasa haus 5. Renal clearance 6. Homeostasis cairan tubuh 7. Hubungan produksi urin terhadap a. Aktivitas fisik b. Konsumsi cairan c. Jenis kelamin d. Usia e. Faktor lain yang mempengaruhi produksi urin 8. Karakteristik urin normal 9. Dehidrasi a. Definisi b. Klasifikasi c. Manifestasi d. Faktor risiko e. Tata laksana 10. Apakah kebiasaan yang dilakukan Danang, laki-laki 2 tahun jika diteruskan dapat menyebabkan suatu penyakit?
3
BAB II PEMBAHASAN 2.1.
Sistem Urinaria
2.1.1. Anatomi
Sistem urinaria atau perkemihan
alah sistem organ yang
memproduksi, menyimpan, dan mengalirkan urin. Pada manusia, sistem ini terdiri dari dua ginjal, dua ureter, kandung kemih, dan uretra. a. Ginjal Manusia memiliki sepasang ginjal yang terletak di belakang perut atau abdomen. Spesifiknya yaitu dibelakang peritoneum pada bagian belakang rongga abdomen, mulai dari vertebra torakalis kedua belas (T2) sampai vertebra lumbalis ketiga (L3). Ginjal kanan lebih rendah daripada ginjal kiri karena adanya hati. Saat inspirasi, kedua ginjal tertekan ke bawah karena kontraksi diafragma. Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu
meredam
goncangan.
Adapun
korteks
ginjal
yang
merupakan zona dalam yang terdiri dari piramida-piramida ginjal. Korteks terdiri dari keseluruhan glomerulus dan medulla terdiri dari ansa henle, vasa rekta, dan bagian akhir dari duktus kolektivus. Unit fungsional dasar dari ginjal adalah nefron yang dapat berjumlah lebih dari satu juta buah dalam satu ginjal normal manusia dewasa. 1,2 b. Ureter Ureter merupakan saluran sepanjang 25-30 cm yang membawa hasil penyaringan ginjal (filtrasi, reabsorpsi, sekresi) dari pelvis renalis menuju vesica urinaria. Terdapat sepasang ureter yang terletak retroperitoneal, masing-masing satu untuk setiap ginjal. Ureter setelah keluar dari ginjal (melalui pelvis) akan turun di depan m. psoas major, lalu menyilangi pintu atas panggul dengan a. Ureter diperdarahi oleh cabang dari a. renalis, aorta abdominalis, a. iliaca communis, a. testicularis/ovarica serta a. vesicalis inferior. Sedangkan persarafan
4
ureter melalui segmen T0-L atau L2 melalui pleksus renalis, pleksus aorticus, serta pleksus hipogastricus superior dan inferior.2
Gambar 2.1 Anatomi sistem urinaria
c. Vesika urinaria Vesica urinaria, sering juga disebut kandung kemih atau buli-buli, merupakan tempat untuk menampung urine yang berasal dari ginjal melalui ureter, untuk selanjutnya diteruskan ke uretra dan lingkungan eksternal tubuh melalui mekanisme relaksasi sphincter. Vesica urinaria terletak di lantai pelvis (pelvic floor), bersama-sama dengan organ lain seperti rektum, organ reproduksi, bagian usus halus, serta pembuluh pembuluh darah, limfatik dan saraf. Dalam keadaan kosong vesica urinaria berbentuk tetrahedral yang terdiri atas tiga bagian yaitu apex, fundus/basis dan collum. Serta mempunyai tiga permukaan (superior dan inferolateral dextra dan sinistra) serta empat tepi (anterior, posterior, dan lateral dextra dan sinistra). Dinding vesica urinaria terdiri dari otot m. detrusor (otot spiral, longitudinal, sirkular). Terdapat trigonum vesicae pada bagian posteroinferior dan collum vesicae. Trigonum vesicae merupakan suatu bagian berbentuk mirip-segitiga yang terdiri dari orifisium kedua ureter dan collum vesicae. 3
5
Gambar 2.2 Vesica urinaria
d. Uretra Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari vesica urinaria menuju lingkungan luar. Terdapat beberapa perbedaan uretra pada pria dan wanita. Uretra pada pria memiliki panjang sekitar 20 cm dan juga berfungsi sebagai organ seksual (berhubungan dengan kelenjar prostat), sedangkan uretra pada wanita panjangnya sekitar 3.5 cm. selain itu, Pria memiliki dua otot sphincter yaitu m.sphincter interna (otot polos terusan dari m.detrusor dan bersifat involunter) dan m.sphincter externa (di uretra pars membranosa, bersifat volunter), sedangkan pada wanita hanya memiliki m.sphincter externa (distal inferior dari kandung kemih dan bersifat volunter).3
6
2.1.2. Histologi
Gambar 2.3 Aparatus jukstaglomerulus4
7
Gambar 2.4 Korpuskula renalis 4
Penjelasan histologis renal adalah sebagai berikut: 5 1. Arteriole afferen Pada arteriole aferen dekat dengan badan Malphigi terdapat sel-sel juxtaglomeruler yang merupakan modifikasi otot polos befungsi menghasilkan enzim renin. 2. Nefron Tiap ginjal tersusun atas unit struktural dan fungsional dalam pembentukan urin yang dinamakan nefron (nephron). Tiap nefron terdiri atas bagian yang melebar yang dinamakan korpuskula renalis atau badan malphigi, tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle serta tubulus kontortus distal. 3. Korpuskula renalis Korpuskula renalis terdiri atas glomelurus dan dikelilingi oleh kapsula Bowmann. 4. Glomeruli Glomerulus merupakan anyaman pembuluh darah kapiler yang ruwet yang merupakan cabang dari arteriole aferen. Pada permukaan luar kapiler glomeruli menempel sel berbentuk spesifik dan memiliki penjuluran-penjuluran yang disebut podosit (sel kaki). Antara sel-sel endotel kapiler dan podosit membentuk strukrur kontinyu yang
8
berlubang-lubang yang memisahkan darah yang terdapat dalam k apiler dengan ruang kapsuler. Podosit berfungsi membantu filtrasi cairan darah menjadi cairan ultra filtrat (urin primer). Cairan ultra filtrat ditampung di dalam ruang urin yaitu ruang antara kapiler dengan dinding kapsula Bowmani dan selanjutnya mengalir menuju tubulus contortus proksimal. Komposisi kimia cairan ultra filtrat hampir sama dengan plasma darah. 5. Capsula Bowman Lapisan parietal kapsula bowman terdiri atas epitel selapis gepeng. Ruang kapsuler berfungsi menampung urine primer (ultra filtrat). Sel podosit, sel epitel kapsula Bowman yang mengalami spesialisasi untuk filtrasi cairan darah. Oleh karena itu komposisi cairan ultra filtrat hampir sama dengan plasma darah kecuali tidak mengandung protein plasma. 6. Sel Mesangial Pada sel-sel endotel dan lamina basalis kapiler glomerulus terdapat sel mesangial yang berperan sebagai makrofage. 7. Tubulus Kontortus Proksimal Tubulus kontortus proksimal kebanyakan terdapat di bagian korteks ginjal. Mukosa tubulus kontortus proksimal tersusun atas sel-sel epitel kubus selapis, apeks sel menghadap lumen tubulus dan memiliki banyak mikrovili (brush border ). Sel epitel tubulus contortus proksimal berfungsi untuk reabsorpsi. 8. Lengkung Henle (loop of Henle) Lengkung Henle berbentuk seperti huruf U terdiri atas segmen tipis dan diikuti segmen tebal. Bagian tipis lengkung henle yang merupakan lanjutan tubulus kontortus proksimal tersusun atas sel gepeng dan inti menonjol ke dalam lumen. Cairan urin ketika berada dalam loop of Henle bersifat hipotonik, tetapi setelah melewati loop of Henle urin menjadi bersifat hipertonik. Hal ini dikarenakan bagian descenden loop of Henle sangat permeabel terhadap pergerakan air, Na+, dan Cl, sedangkan bagian ascenden tidak permeabel terhadap air dan sangat aktif untuk transpor klorida bertanggung jawab terhadap hipertonisitas
9
cairan interstitial daerah medulla. Sebagai akibat kehilangan Na dan Cl filtrat yang mencapai tubulus kontortus distal bersifat hipertonik. 9. Tubulus Kontortus Distalis Tubulus contortus distalis tersusun atas sel-sel epithelium berbentuk kuboid, sitoplasma pucat, nuklei tampak lebih banyak, tidak ada brush border . 10. Tubulus Koligens Urin berjalan dari tubulus kontortus distal ke tubulus koligens yang apabila bersatu membentuk saluran lurus yang lebih besar yang disebut duktus papilaris Bellini. Tubulus koligens dibatasi oleh epitel kubis. Peristiwa penting pada tubulus koligens adalah mekanisme pemekatan atau pengenceran urin yang diatur oleh hormon antidiuretik (ADH). Dinding tubulus distal dan tubulus koligens sangat permeabel terhadap air bila terdapat ADH dan sebaliknya. 11. Tubulus Kolektivus Tubulus kolektivus dari Bellini merupakan tersusun atas sel-sel epithelium kolumnar, sitoplasma jernih, nukleus spheris. 12. Aparatus Jukstaglomerulus Tunika media ateriol aferen yang terletak didekat korpuskula malphigi mengalami modifikasi seperti sel-sel epiteloid bukan otot polos yang disebut sel jukstaglomelurus. Sel-sel jukstaglomelurus menghasilkan enzim renin. 13. Macula Densa Macula densa merupakan bagian dari tubulus kontortus distalis yang melalui daerah di muka kapsula Bowmani terdiri atas sel-sel yang nampak meninggi, nuklei berderet rapat dan berbentuk spheris. Macula densa berfungsi untuk reseptor tekanan osmotic (osmoreseptor).
10
2.1.3. Vaskularisasi dan inervasi a. Vaskularisasi Ginjal
Ginjal Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra lumbalis II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena kavainferior yang terletak disebelah kanan garis tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid selanjutnya membentuk arteri arkuata kemudian membentuk arteriola nterlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteri interlobularis ini kemudian membentuk arteriola aferen pada glomerulus.6
Gambar 2.5 Vaskularisasi pada renal 7
Arteri pada ginjal bercabang bercabang anterior dan posterior saat memasuki parenkim. Segmen anterior ini kemudian dibagi menjadi empat, yaitu segmen bagian apeks, segmen bagian atas, segmen bagian tengah permukaan anterior, segmen bagian bawah ginjal. Segmen bagian posterior memperdarahi bagian lainnya.8
11
Glomeruli bersatu membentuk arteriola aferen yang kemudian bercabang membentuk sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan disebut kapiler peritubular. Darah yang mengalir melalui sistem portal ini akan dialirkan kedalam jalinan vena selanjutnya menuju vena interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris, dan vena renalis untuk akhirnya mencapai vena cava inferior. Ginjal dilalui oleh sekitar 1200 ml darah permenit suatu volume yang sama dengan 20-25% curah jantung (5000 ml/menit) lebih dari 90% darah yang masuk keginjal berada pada korteks sedangkan sisanya dialirkan ke medulla. Sifat khusus aliran darah ginjal adalah otoregulasi aliran darah melalui ginjal arteiol afferen mempunyai kapasitas intrinsik yang dapat merubah resistensinya sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah arteri dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus tetap konstan. 6
b. Inervasi Ginjal Ginjal mendapat persarafan dari nervus renalis (vasomotor), saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk kedalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal.6
12
Gambar 2.6 Inervasi pada renal 9
Ginjal mendapatkan persarafan melalui pleksus renalis yang seratnya berjalan bersama dengan arteri renalis. Impuls sensorik dari ginjal berjalan menuju korda spinalis segmen T10-11 dan memberikan sinyal sesuai dengan level dermatomnya. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa nyeri di daerah pinggang (flank) bisa merupakan nyeri alih dari ginjal.10
13
2.1.4. Hormon-hormon yang mempengaruhi 5,11
a. Hormon yang dihasilkan oleh ginjal Terdapat beberapa hormone yang dihasilkan oleh ginjal, antara lain: a) Renin Sel granular apararus jukstagiomerulus mengeluarkan suatu hormon enzimatik, renin, ke dalam darah sebagai respons terhadap penurunan NaCl/ volume CES/tekanan darah. Fungsi ini adalah tambahan
terhadap
peran
sel
makula
densa
aparatus
jukstaglomerulus dalam otoregulasi. Setelah dikeluarkan ke daiam darah,
renin
bekerja
sebagai
enzim
untuk
mengaktifkan
angiotensinogen menjadi angiotensin I. Angiotensinogen adalah suatu protein plasma yang disintesis oleh hati dan selalu terdapat di plasma dalam konsentrasi tinggi. Ketika melewati paru melalui sirkulasi paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II oleh angiotensin-conaerting enzrye (ACE), yang banyak terdapat di kapiler paru. Angiotensin II adalah perangsang utama sekresi hormon aldosteron dari korteks adrenal. Korteks adrenal adalah kelenjar endokrin yang menghasilkan beberapa hormon berbeda, masing-masing disekresikan sebagai respons terhadap rangsangan yang berbeda. b) Vitamin D Merupakan hormon steroid yang dimetabolisme di ginjal menjadi bentuk aktif 1,25-dihidroksikolekalsiferol, yang terutama berperan meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat dari usus c) Eritropoietin Suatu hormon yang diproduksi di ginjal, hormon ini meningkatkan pembentukan sel darah merah di sumsum tulang. d) Prostaglandin Hormone yang diproduksi di ginjal, memiliki berbagai efek terutama pada tonus pembuluh darah ginjal.
14
b. Hormone yang mempengaruhi kerja ginjal Hormon yang bekerja pada ginjal, antara lain: a) Hormon antidiuretik (ADH atau vasopressin) Merupakan peptida yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis posterior, hormon ini menngkatkan reabsorbsi air pada duktus kolektivus. b) Aldosteron Merupakan hormon steroid yang diproduksi oleh korteks adrenal, hormon ini meningkatkan reabsorbsi natrium pada duktus kolektivus. Di antara berbagai efeknya, aldosteron meningkatkan reabsorpsi Na+ oleh tubulus distal dan koligentes. Hormon ini melakukannya dengan mendorong penyisipan saluran Na. tambahan ke dalam membran luminal dan penambahan pembawa Nat-K- AfPase ke dalam membran basolateral sel tubulus distal dan koligentes. Hasil akhirnya adalah peningkatan fluks pasif Na- masuk ke dalam sel tubulus dari lumen dan peningkatan pemompaan Na. keluar sel ke dalam plasma-yaitu, peningkatan reabsorpsi Na-, disertai Cl mengikuti secara pasif. c) Peptida Natriuretik (NP) Diproduksi oleh sel jantung dan meningatkan ekskresi natrium pada duktus kolektivus. d) Hormon paratiroid Merupakan protein yang diproduksi oleh kelenjar paratiroid, hormon ini meningkatkan ekskresi fosfat, reabsorbsi kalsium dan produksi vitamin D pada ginjal.
15
2.2.
Fisiologi keinginan BAK 12
Urin yang sudah terbentuk mengalir melalui ureter ke dalam kandung kemih dengan bantuan kontraksi otot polos. Kandung kemih adalah organ kosong yang dindingnya memiliki lapisan otot polos. Di dalam kandung kemih, urin disimpan sampai akan dikeluarkan dalam proses yang dikenal BAK atau mikturisi. Kandung kemih bisa mengembang untuk menyimpan cairan hingga sekitar 500 ml. Leher pada kandung kemih akan berlanjut menjadi uretra. Lubang antara kandung kemih dan uretra ditutup dengan 2 lingkaran otot yang disebut sfingter. Sfingter internal adalah kelanjutan dari dinding kandung kemih dan terdiri dari otot polos. Tonus normalnya akan membuatnya tetap berkontraksi. Sfingter eksternal adalah cincin otot skeletal yang dikontrol oleh neuron motor somatik. Stimulasi tonus dari sistem saraf pusat mempertahankan kontraks sfingter eksternal kecuali saat BAK. Mikturisi merupakan refleks spinal sederhana yang dipengaruhi oleh kontrol sadar dan tidak sadar dari pusat otak yang lebih tinggi. Ketika kandung kemih terisi oleh urin dan dindingnya mengembang, reseptor regangan mengirim sinyal melalui neuron sensorik ke saraf tulang belakang. Di tulang belakang informasi terintegrasi dan dikirim ke dua set neuron. Stimulus kandung kemih penuh merangsang neuron parasimpatik yang mengarah ke otot polos di dinding kandung kemih. Otot polos kontraksi, meningkatkan tekanan isi kandung kemih. Pada saat yang bersamaan neuron motor somatic yang mengarah ke sfingter ekternal diinhibisi. Kontraksi
kandung
kemih
terjadi
dalam
gelombang
yang
mendorong urin ke arah uretra. Tekanan yang ditimbulkan urin membuat sfingter internal terbuka ketika sfingter eksternal relaksasi. Refleks mikturisi sederhana ini hanya terjadi pada bayi yang belum terlatih ke toilet. Seseorang yang telah terlatih ke toilet telah mendapat refleks untuk menjaga refleks mikturisi terinhibisi sampai ia secara sadar ingin BAK. Refleks yang didapat akan melibatkan saraf sensorik tambahan pada kandung kemih yang memberi sinyal rasa penuh. Pusat di batang dan 16
korteks otak menerima informasi itu dan membatalkan refleks dasar mikturisi dengan secara langsung menginhibisi saraf parasimpatik dan memperkuatkan kontraksi sfingter eksternal. Ketika waktu untuk BAK tiba, pusat tersebut akan menghilangkan inhibisi dan memfasilitasi refleks dengan menginhibisi kontraksi sfingter eksternal. 2.3.
Fisiologi pembentukan urin13
Urin dibentuk di ginjal sebagai zat sisa metabolisme untuk diekskresikan dari tubuh. Pembentukan utin dihasilkan dari filtrasi glomerulus, reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus. a. Filtrasi glomerulus Pembentukan urin dimulai dari filtrasi sejumlah besar cair an melalui kapiler glomerulus ke dalam kapsula Bowmen. Kapiler glomerulus bersifat relatif impermeabel terhadap protein sehingga filtrattidak mengandung protein dan sel, termasuk sel darah merah. Membran kapiler glomerulus mengandung tiga lapisan yaitu: () endotel kapiler, (2) membran basalis, (3) lapisan sel epithelial (podosit). Faktor yang mempengaruhi laju filtrasi glomerulus (LFG) adalah ukuran molekul, muatan molekul, koefisien filtrasi kapiler glomerulus, tekanan hidrostatik di kapsula Bowmen, tekanan osmotic koloid di kapiler glomerulus, dan tekanan hidrostatik di kapiler glomerulus. Kontrol fisiologis filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal Kontrol fisiologis
LFG
Aktivasi system saraf simpatis
Norepinefrin
Epinefrin
Endotelin
Angiotensin II
(Mencegah )
Endothelial-derived nitric oxide
Prostaglandin
17
b. Reabsorbsi tubulus Reabsorbsi air dan zat terlarut meliputi serangkaian langkah transport karena zat tersebut harus melalui membran epitel tubulus ke dalam cairan interstisial dan dari membran kapiler peritubulus kembali ke darah. Transpor tersebut terdiri dari transport aktif primer (contoh: Na-K ATPase, Hidrogen ATPase, H-K ATPase, dan Kalium ATPase), transport aktif sekunder (contoh: SGLT, SGLT2, GLUT 1 dan GLUT2), pinositosis (untuk mereabsorbsi molekul besar seperti protein. Reabsorbsi air dilakukan secara pasif melalui osmosis terutama berhubungan dengan reabsorbsi Na. Sedangkan reabsorbsi klorida, ureum, dan zat terlarut lainnya dilakukan melalui difusi pasif. Pengaturan
reabsorbsi
tubulus
yaitu:
keseimbangan
glomerulotubulus (kemampuan tubulus untuk meningkatkan kecepatan reabsorbsi sebagai respon terhadap peningkatan beban tubulus), tekanan arteri, aktivasi system saraf simpatis, dan pengendalian hormone seperti: Hormon
Pengaruh
Aldosteron
Reabsorbsi: NaCl dan H 2O Sekresi: K +
Aldosteron II
Reabsorbsi: NaCl dan H 2O Sekresi: H+
Hormone antidiuretik
Reabsorbsi: H2O
Peptida natriuretik atrium
Reabsorbsi: NaCl
Hormon paratiroid
Reabsorbsi: Ca2+ Reabsorbsi: PO43-
c. Sekresi tubulus Sekresi tubulus memiliki kesamaan dengan reabsorbsi tubulus, hanya dengan arah yang berbeda. Beberapa zat disekresikan di tubulus dengan cara transport aktif sekunder dengan melibatkan countertransport zat dengan ion lain misalnya ion natrium. Sekresi asam-basa organik dilakukan di tubulus proksimal sebagai hasil akhir metabolisme yang harus segera dibuang. Zat lain yang disekresikan oleh ginjal antara
18
lain obat dan toksin yang berpotensi membahayakan tubuh serta ion kalium yang akan direabsorbsi kembali untuk menyekresikan ion hidrogen. Pengaturan
reabsorbsi
tubulus
yaitu:
keseimbangan
glomerulotubulus (kemampuan tubulus untuk meningkatkan kecepatan reabsorbsi sebagai respon terhadap peningkatan beban tubulus), tekanan arteri, aktivasi system saraf simpatis, dan pengendalian hormone seperti: Hormon
Pengaruh
Aldosteron
Reabsorbsi: NaCl dan H 2O Sekresi: K +
Aldosteron II
Reabsorbsi: NaCl dan H 2O Sekresi: H+
2.4.
Mekanisme rasa haus 12
Pengaturan osmolaritas dilakukan dengan cara mengatur air. Sumber air dalam tubuh antara lain air yang diminum, air dalam makanan yang dimakan, serta air yang diproduksi dari proses metabolisme. Sedangkan sumber output air dalam tubuh kita antara lain berupa insensible water loss, keringat, feses dan urin.11 Berkeringat bukanlah mekanisme normal tubuh untuk mengatur pembuangan air di dalam tubuh, karena berkeringat lebih karena proses tubuh untuk mengatur suhu dan bukan cara tubuh untuk mengatur status hidrasi. Pengeluaran air melalui insensible water loss juga tidak dapat kendalikan oleh tubuh. Begitu pula pengeluaran feses juga tidak dimaksudkan untuk mengatur status hidrasi tubuh. dengan demikian tubuh mengatur jumlah air melalui kerja ginjal dan mekanisme haus.14 Peningkatan osmolaritas cairan ekstraselular akan dideteksi oleh osmoreseptor di hipotalamus, yang kemudian akan merangsang neuron hipotalamus sehingga menimbulkan rasa haus dan akan meningkatkan sekresi hormon vasopresin. Rangkaian peristiwa tadi juga dapat terjadi ketika terjadi penurunan volume cairan ekstraselular. Rasa haus yang timbul
19
akan menyebabkan seseorang lebih banyak minum air, sehingga akan menyebabkan penurunan osmolaritas cairan ekstraselular. Penurunan osmolaritas ekstraselular sebagai cara tubuh untuk mengkompensasi peningkatan osmolaritas juga dilakukan oleh hormon vasopresin.14 Hormon vasopresin akan menyebabkan protein aquaporin (AQP) menempatkan dirinya di membran sel tubulus koligentes, sehingga permeabilitas membran terhadap air meningkat.
2.5.
Renal clearance4 Renal plasma clearance (pembersihan plasma ginjal) adalah volume
darah yang “dibersihkan” dari suatu zat setiap unit waktu, biasanya ditunjukkan dalam milliliter per menit. Renal plasma clearance yang tinggi menunjukkan ekskresi suatu zat dalam urin yang efisien; clearance yang rendah menunjukkan ekskresi yang tidak efisien. Contohnya, clearance dari glukosa normalnya adalah nol karena glukosa sepenuhnya direabsorbsi; maka, glukosa tidak diekskresikan sama sekali. Pentingnya mengetahui clearance suatu obat adalah untuk menentukan jumlah dosis yang benar. Jika clearance tinggi (contohnya penicillin), maka dosisnya harus tinggi, dan obat tersebut harus diberikan beberapa kali dal am sehari untuk menjaga tingkat terapeutik yang cukup dalam darah. Rumus yang digunakan untuk menghitung clearance adalah:
= ( ) dimana U adalah konsentrasi dari zat dalam urin dan dan P adalah konsentrasi dalam plasma yang masing-masing diekspresikan dalam mg/ml, dan V adalah laju aliran urin dalam ml/menit. Clearance zat terlarut tergantung pada tiga proses dasar nefron: filtrasi glomelurus, reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus. Suatu zat yang difiltrasi namun tidak direabsorbsi ataupun disekeresikan, maka clearancenya sama dengan filtrasi glomelurus karena semua molekulnya yang melewati membran filtrasi ada di dalam urin. Ini terjadi pada polisakarida tumbuhan inulin yang dengan mudah melewati membran filtrasi, tidak
20
direabsorbsi, dan tidak disekresikan. Umumnya, clearance dari inulin adalah sekitar 125 ml/menit, setara dengan GFR (Glomerular Filtration Rate). 2.6.
Homeostasis cairan tubuh 15
Air di dalam tubuh manusia didistribusikan ke dua kompartemen yaitu ruang ekstraselular dan intraselular. dua pertiga dari total cairan tubuh berada dalam ruang intraselular, lebih banyak dibandingkan yang berada dalam ruang ekstraselular (sepertiga dari total cairan tubuh). Cairan ekstraselular terdiri dari plasma dan cairan interstitial, di mana cairan interstitial lebih banyak jumlahnya (4/5 dari cairan ekstraselular) dibandingkan plasma (/5 dari cairan intraselular). Sebenarnya cairan ekstraselular juga terdapat ditempat lain tetapi jumlahnya sangat sedikit, yaitu cairan serebrospinal, cairan intraokular, cairan sendi, cairan perikardial,
cairan
intrapleura,
cairan
intraperitoneal,
dan
cairan
pencernaan. Keseimbangan cairan merupakan bagian dari kontrol tubuh untuk
mempertahankan
homeostasis.
Homeostasis
cairan
dapat
dipertahankan oleh tubuh dengan cara mengatur cairan ekstraselular, yang selanjutnya akan `mempengaruhi cairan intraselular. Agar tubuh dapat mencapai keseimbangan cairan yang dibutuhkan maka tubuh harus mengatur agar input cairan sama dengan out put cairan (balance concept). Tubuh juga dapat mengalami perubahan keseimbangan cairan, yaitu keseimbangan
positif
(input
lebih
banyak
daripada
ouput)
atau
keseimbangan negatif (output lebih banyak daripada input). Terdapat dua faktor yang diatur tubuh untuk mempertahankan keseimbangan cairan, yaitu volume dan osmolaritas cairan ekstraselular. Volume cairan ekstraselular penting dipertahankan keseimbangannya karena dapat mempengaruhi tekanan darah sedangkan osmolaritas cairan ekstraselular penting dipertahankan untuk mencegah sel mengerut ataupun membengkak. Tubuh dapat mempertahankan volume cairan ekstraselular dengan cara mengatur garam
(natrium),
dan
dapat
mempertahankan
osmolaritas
cairan
ekstraselular dengan cara mengatur air di dalam tubuh.
21
a. Pengaturan Volume Cairan Ekstraselular Sebelum
mendalami
mekanisme
tubuh
mempertahankan
keseimbangan volume cairan ekstraselular perlu diketahui sumber input dan output garam yang ada dalam tubuh kita, karena dengan mengatur garam maka tubuh dapat mengatur volume cairan ekstraselular.Sumber input garam berasal dari garam yang masuk melalui saluran pencernaan, sedangkan output garam berasal dari pengeluaran secara obligat pada keringat dan feses serta pengeluaran garam secara terkontrol melalui ginjal.Jumlah garam yang masuk ke dalam tubuh sebanyak 0,5 g/hari, sedangkan pengeluarannya adalah 0,5 g/hari melalui keringat dan feses serta 0 g/hari pengeluaran yang terkontrol dari ginjal. Mekanisme pengaturan volume cairan ekstraselular oleh ginjal dapat lebih mudah dipahami melalui contoh keadaan dimana terjadi penurunan jumlah natrium tubuh. Jika natrium dalam tubuh menurun, maka volume cairan ekstraselular akan menurun, yang menyebabkan tekanan darah juga menurun. Tekanan darah yang menurun menyebabkan laju filtrasi glomerulus menurun, hal ini menyebabkan natrium yang difiltrasi juga menurun, sehingga terjadi penurunan jumlah natrium yang dieksresi oleh ginjal. Tekanan darah yang menurun juga menyebabkan peningkatan sekresi aldosteron yang kemudian akan bekerja di ginjal dengan cara meningkatkan reabsorpsi natrium. Karena kerja dari aldosteron di ginjal maka natrium yang diekskresi akan menurun, menambah efek dari GFR yang menurun. b. Pengaturan Osmolaritas Cairan Ekstraselular Pengaturan osmolaritas dilakukan dengan cara mengatur air. Sumber air dalam tubuh antara lain air yang diminum, air dalam makanan yang dimakan, serta air yang diproduksi dari proses metabolisme. Sedangkan sumber output air dalam tubuh kita antara lain berupa insensible water loss, keringat, feses dan urin. Berkeringat bukanlah mekanisme normal tubuh untuk mengatur pembuangan air di dalam tubuh, karena berkeringat lebih karena proses tubuh untuk
22
mengatur suhu dan bukan cara tubuh untuk mengatur status hidrasi. Pengeluaran air melalui insensible water loss juga tidak dapat kendalikan oleh tubuh. Begitu pula pengeluaran feses juga tidak dimaksudkan untuk mengatur status hidrasi tubuh. Dengan demikian tubuh mengatur jumlah air melalui kerja ginjal dan mekanisme haus. Peningkatan osmolaritas cairan ekstraselular akan dideteksi oleh osmoreseptor di hipotalamus, yang kemudian akan merangsang neuron hipotalamus sehingga menimbulkan rasa haus dan akan meningkatkan sekresi hormon vasopresin. Rangkaian peristiwa tadi juga dapat terjadi ketika terjadi penurunan volume cairan ekstraselular. Rasa haus yang timbul akan menyebabkan seseorang lebih banyak minum a ir, sehingga akan menyebabkan penurunan osmolaritas cairan ekstraselular. Penurunan osmolaritas ekstraselular sebagai cara tubuh untuk mengkompensasi peningkatan osmolaritas juga dilakukan oleh hormon vasopresin. Hormon vasopresin akan menyebabkan protein aquaporin (AQP) menempatkan dirinya di membran sel tubulus koligentes, sehingga permeabilitas membran terhadap air meningkat.
2.7.
Hubungan produksi urin terhadap
2.7.1. Aktivitas fisik 16
Aktivitas fisik adalah aktivitas yang terjadi sebagai akibat dari kontraksi otot dengan menggunakan energi secara proporsional, yang sangat erat kaitannya dengan kebugaran fisik. Ketika kita aktif beraktifitas fisik (intensitas tinggi), otomatis semakin banyak pula kita merilbatkan otototot pada tubuh dan berimbas pada meningkatnya energi yang dibutuhkan. Oleh karena itu cairan tubuh akan lebih banyak digunakan untuk pembentukan energi agar dapat menyesuaikan dengan aktivitas fisik yang tinggi (dikeluarkan lebih banyak dalam bentuk keringat). Yang akhirnya berpengaruh terhadap produksi urin yang akan menjadi lebih pekat dan lebih sedikit dibanding dengan ketika aktivitas fisik rendah.
23
2.7.2. Konsumsi cairan11
Air adalah komponen tubuh yang paling banyak rata-rata membentuk 60% berat tubuh tetapi berkisar dari 40-80%. Kandungan H 2O sesesorang relatif tidak berubah terutama karena ginjal secara efisien mengatur keseimbangan H2O, tetapi persentase H2O tubuh bervariasi dari orang ke orang. Kontrol keseimbangan H 2O bebas penting untuk meregulasi osmolaritas
cairan
ekstraseluler.
Karena
peningkatan
H 2O
bebas
menyebabkan cairan ekstraseluler menjadi terlalu encer dan kekurangan H2O bebas menyebabkan cairan ekstraseluler menjadi terlalu terkonsentrasi, osmolaritas
cairan
ekstraseluler
harus
segera
diperbaiki
dengan
mengembalikan keseimbangan H2O bebas untuk menghindari perpindahan osmotik cairan yang ke dalam atau keluar sel yang berbahaya. Untuk menjaga keseimbangan H 2O yang stabil, input H 2O harus seimbang dengan output H 2O.
Salah satu dari sumber input H 2O adalah melalui oral. Lebih dari seliter air masuk ke dalam tubuh dengan meminum cairan. Sedangkan salah satu sumber output H 2O adalah dengan melalui ekskresi urin. Ekskresi urin merupakan mekanisme pengeluaran cairan yang paling penting dengan memproduksi ,5 l urin setiap harinya.
24
Dari berbagai mekanisme input dan output H 2O, hanya dua yang bisa diregulasi untuk menjaga keseimbangan H2O. Pada sisi input, rasa haus mempengaruhi jumlah asupan cairan dan pada sisi output, ginjal dapat mengatur jumlah urin yang diproduksi. 2.7.3. Jenis kelamin11
Presentase H2O tubuh dipengaruhi oleh jenis kelamin dan usia individu. Wanita memiliki persentase H2O yang lebih rendah daripada pria, trutama karena hormon seks wanita, esterogen, mendorong pengendapan lemak di payudara, bokong, dan tempat lain. Hal ini tidak saj a menghasilkan bentuk tubuh wanita tetapi juga memberi wanita proporsi jaringan lemak yang lebih banyak dan karenanya proporsi H 2O yang lebih kecil, sehingga mempengaruhi jumlah dari urin yang dikeluarkan. 2.7.4. Usia4
Pada seseorang dengan usia tua, ukuran ginjalnya mengalami penyusutan, terjadi penurunan aliran darah, sehingga darah yang difiltrasi pun berkurang. Perubahan yang berkaitan dengan usia dalam ukuran dan fungsi ginjal ini tampaknya terkait dengan pengurangan progresif dalam suplai darah ke ginjal seiring bertambahnya usia seseorang; misalnya, pembuluh darah seperti glomeruli menjadi rusak atau berkurang jumlahnya. Massa dari dua ginjal menurun dari rata-rata hampir 300 g pada usia 20 tahun menjadi kurang dari 200 g pada usia 80. Demikian pula aliran darah ginjal dan laju filtrasi menurun 50% antara usia 40 dan 70. Pada usia 80, sekitar 40% glomeruli tidak berfungsi; dengan demikian filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi menurun. Karena sensasi haus berkurang seiring bertambahnya usia, individu yang lebih tua juga rentan terhadap dehidrasi. Perubahan kandung kemih urin yang terjadi dengan penuaan termasuk pengurangan ukuran dan kapasitas dan melemahnya otot. Infeksi saluran kemih lebih sering terjadi pada orang tua, seperti poliuria (produksi urin berlebihan), nokturia (buang air kecil berlebihan di malam hari), peningkatan frekuensi buang air kecil,
25
disuria (buang air kecil yang menyakitkan), retensi urin atau inkontinensia, dan hematuria (darah dalam urin ) 2.8.
Karakteristik urin normal 17,18
1. Warna: bening hingga kuning bening 2. Busa: ketika di kocok terdapat busa putih yang langsung hilang 3. Kandungan: ion mineral (Na +, Cl-, K +), produk pembuangan nitrogen (ammonia, urea, asam urat), dan pewarna urin (urochrome/ produk metabolisme bilirubin) 4. Aroma: sedikit berbau 5. pH: 4,6-8,0 (rata-rata 6,0) 6. Volume sekitar 600-800 mL/hari
2.9.
Dehidrasi
2.9.1. Definisi19
Secara definisi, dehidrasi adalah suatu keadaan penurunan total air di dalam tubuh karena hilangnya cairan secara patologis, asupan air tidak adekuat, atau kombinasi keduanya. Dehidrasi terjadi karena pengeluaran air lebih banyak daripada jumlah yang masuk, dan kehilangan cairan ini juga disertai dengan hilangnya elektrolit. Pada dehidrasi terjadi keseimbangan negatif cairan tubuh akibat penurunan asupan cairan dan meningkatnya jumlah air yang keluar (lewat ginjal, saluran cerna atau insensible water loss/IWL), atau karena adanya perpindahan cairan dalam tubuh. 2.9.2. Klasifikasi20
Kehilangan cairan tubuh biasanya disertai gangguan keseimbangan elektrolit. Dehidrasi dapat dikategorikan berdasarkan osmolaritas dan derajat
keparahannya.
Kadar
natrium
serum
merupakan
penanda
osmolaritas yang baik selama kadar gula darah normal. Berdasarkan perbandingan jumlah natrium dengan jumlah air yang hilang, dehidrasi dibedakan menjadi tiga tipe yaitu dehidrasi isotonik, dehidrasi hipertonik, dan dehidrasi hipotonik. Variasi kadar natrium
26
mencerminkan jumlah cairan yang hilang dan memiliki efek patofisiologi berbeda. 1. Dehidrasi isotonik (isonatremik). Tipe ini merupakan yang paling sering (80%). Pada dehidrasi isotonik kehilangan air sebanding dengan jumlah natrium yang hilang, dan biasanya tidak mengakibatkan cairan ekstrasel berpindah ke dalam ruang intraseluler. Kadar. natrium dalam darah pada dehidrasi tipe ini 35-45 mmol/L dan osmolaritas efektif serum 275-295 mOsm/L. 2. Dehidrasi hipotonik (hiponatremik). Natrium hilang yang lebih banyak daripada air. Penderita dehidrasi hipotonik ditandai dengan rendahnya kadar natrium serum (kurang dari 35 mmol/L) dan osmolalitas efektif serum (kurang dari 270 mOsml/L). Karena kadar natrium rendah, cairan intravaskuler berpindah ke ruang ekstravaskuler, sehingga terjadi deplesi cairan intravaskuler. Hiponatremia berat dapat memicu kejang hebat; sedangkan koreksi cepat hiponatremia kronik (2 mEq/L/jam) terkait dengan kejadian mielinolisis pontin sentral, 3. Dehidrasi hipertonik (hipernatremik). Hilangnya air lebih banyak daripada natrium. Dehidrasi hipertonik ditandai dengan tingginya kadar natrium serum (lebih dari 45 mmol/L) dan peningkatan osmolalitas efektif serum (lebih dari 295 mOsm/L). Karena kadar natrium serum tinggi, terjadi pergeseran air dari ruang ekstravaskuler ke ruang intravaskuler. Untuk mengkompensasi, sel akan merangsang partikel aktif (idiogenik osmol) yang akan menarik air kembali ke sel dan mempertahankan volume cairan dalam sel. Saat terjadi rehidrasi cepat untuk mengoreksi kondisi hipernatremia, peningkatan aktivitas osmotik sel tersebut akan menyebabkan infl uks cairan berlebihan yang dapat menyebabkan pembengkakan dan ruptur sel; edema serebral adalah konsekuensi yang paling fatal. Rehidrasi secara perlahan dalam lebih dari 48 jam dapat meminimalkan risiko ini.
27
2.9.3. Manifestasi20
Derajat Dehidrasi Tanpa Dehidrasi Dehidrasi Ringan Dehidrasi Sedang
Persentase Kehilangan Air Tubuh berdasarkan BB
Keadaan Umum
Mata
Mulut
Turgor
Normal
Baik
Biasa
Biasa
Baik
Lesu/haus
Cekung
Kering
Kurang
Sangat cekung
Sangat kering
Jelek
4% 6%
Dehidrasi Berat
8%
Gelisah, lemas, mengantuk hingga shock
Derajat Dehidrasi
Defisit Cairan
Hemodinamik
Jaringan
Urin
SSP
Tanpa Dehidrasi
Normal
Normal
Biasa
Normal
Baik
Takikardi Nadi lemah
Lidah kering Turgor turun
Pekat
Mengantuk
Lidah keriput Turgor kurang
Jumlah turun
Apatis
Atonia Turgor buruk
Oliguria kering
Koma
Dehidrasi Ringan
Dehidrasi Sedang
Dehidrasi Berat
3-5%
6-8%
>0%
Takikardi Nadi sangat lemah Volume kolaps Hipotensi orostatik Takikardi Nadi tak teraba Akral dingin, sianosis
28
2.9.4. Tata laksana20
Prinsip tata laksana adalah mengganti cairan yang hilang dan mengembalikan
keseimbangan
elektrolit
sehingga
keseimbangan
hemodinamik tercapai. Pengobatan dilakukan berdasarkan derajat dehidrasi dan status osmolaritas pasien. a. Dehidrasi derajat ringan-sedang Pemberian
cairan
ORS
(oral
rehydration
solution)
untuk
mengembalikan volume intravaskuler dan mengoreksi asidosis. jenis ORS yang diterima sebagai cairan rehidrasi adalah kandungan glukosa 2-3 g/dL, natrium 45-90 mEq/L, basa 30 mEq, kalium 20-25 mEq/L, dan osmolaritas 200-30 mOsm/L. b. Dehidrasi derajat berat Tahap pertama: mengatasi kedaruratan dehidras, yaitu syok hypovolemia dengan pemberian cairan kristalois isotonik, seperti RL (ringer lactate) atau NaCl 0,9% sebesar 20 mL/kgBB. Tahap kedua: mengatasi defisit, pemberian cairan pemeliharaan dan penggantian kehilangan yang masih berlangsung. Kebutuhan cairan pemeliharaan diukur dari jumlah kehilangan cairan (urin, tinja) ditambah IWL. Jumlah IWL adalah antara 400-500 mL/m 2 luas permukaan tubuh dan dapat meningkat pada kondisi demam dan kaipnea. Secara kasar kebutuhan cairan berdasarkan berat badan adalah:
BB < 0 kg = 00 mL/kgBB
BB 0-20 kg = 000 + 50 mL/kgBB untuk setiap kgBB di atas 0 kg
BB > 20 kg = 500 + 20 mL/kgBB untuk setiap kgBB di atas 20 kg
c. Dehidrasi isotonik Defisit natrium pada kondisi ini dapat dikoreksi dengan mengganti dafisit cairan ditambah dengan cairan pemeliharaan dextrose 5% dalam NaCl 0,45-0,9%. Kalium (20 mEq/L kalium klorida) dapat ditambahkan ke dalam cairan pemeliharaan saat produksi urin membaik dan kadar kalium serum berada dalam rentang aman.
29
d. Dehidrasi hipotonik Cairan pengganti intravaskuler NaCl 0,9% RL 20 mL/kgBB sampai perfusi jaringan tercapai. Pada hipoyermia derajat berat (
View more...
Comments