Laporan Akhir Pengujian Material pdf

September 21, 2017 | Author: TonyYudhyikaGultom | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Laporan Akhir Pengujian Material...

Description

LAPORAN AKHIR PRATIKUM PENGUJIAN MATERIAL

TONY YUDHYIKA PRADANA GULTOM NIT. BIV/I 13.09.116 KELOMPOK 3

LABORATORIUM METALURGI FISIK DEPARTEMEN TEKNIK METALURGI DAN MATERIAL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA 2014

MODUL 1 PENGUJIAN TARIK

I. II. III.

Tujuan Pratikum Dasar Teori Metodologi Penelitian III. 1. Alat dan Bahan III. 2. Flow Chart Proses Pengujian

IV.

Pengolahan Data IV.1

Data IV.1.1 Data sampel IV.1.2 Tabel IV.1.3 Sketsa Perpatahan

IV.2

Contoh Perhitungan

IV.3

Grafik IV.3.1 Grafik beban vs elongasi IV.3.2 Grafik Eng Stress vs Eng Strain

V.

Analisa Percobaan V.1 Pinsip Pengujian V.2 Analisa Grafik V.2.1 Analisa Grafik Beban vs Elongasi V.2.2 Analisa Grafik Eng. Stress vs Eng Strain V.3 Analisis Hasil Perpatahan

VI.

Kesimpulan

Modul 1 – Pengujian Tarik

I. Tujuan Praktikum 1. Untuk membandingkan kekuatan maksimum beberapa jenis logam (besi tuang, baja, tembaga dan alumunium). 2. Untuk membandingkan titik – titik luluh (yield) logam – logam tersebut. 3. Untuk membandingkan tingkat keuletan logam – logam tersebut melalui presentase elongasi dan persentase pengurangan luas. 4. Untuk membandingkan fenomena necking pada logam – logam tersebut. 5. Untuk membandingkan modulus elastisitas dari logam – logam tersebut. 6. Untuk membuat, membandingkan serta menganalisa kurva tegangan regangan, baik kurva rekayasa maupun kurva sesungguhnya dari beberapa jenis logam. 7. Untuk membandingkan tampilan perpatahan (fractografi) logam – logam tersebut dan menganalisanya berdasarkan sifat – sifat mekanis yang telah dicapai.

II. Dasar Teori Sampel atau benda uji dengan ukuran dan bentuk tertentu ditarik dengan beban continue sambil diukur pertambahan panjannya. Data yang didapat berupa perubahan panjang dan perubahan beban yang selanjutnya ditampilkan dalam bentuk grafik tegangan – regangan. Beberapa sifat mekanik yang diharapkan didapat dari pengujian tarik ini adalah :

A.

Batas Proporsionalitas (Proportionality Limit) Merupakan daerah batas dimana tegangan (stress) dan regangan (strain) mempunyai hubungan proporsionalitas satu dengan yang lainnya. Setiap penambahan tegangan akan diikuti dengan penambahan regangan secara proporsional dalam hubungan linear σ = E ε ((bandingkan dengan hubungan y = mx ;dimana y mewakili tegangan ; x mewakili regangan dan m mewakili slope kemiringan dari modulus.

B.

Elastisitas dan Plastisitas Logam

Bila logam dipengaruhi oleh suatu gaya maka akan berubah bentuknya, yang berarti logam telah mengalami suatu deformasi. Bila gaya yang bekerja pada logam tersebut dihilangkan maka ada logam yang kembali kebentuk semula (recoverable) yang disebut dengan deformasi elastic, tetapi ada juga logam yang tidak kembali ke bentuk atau dimensi semula (irrecoverable) dapat dikatakan logam tersebut telah mengalami deformasi plastis.

C.

Batas elastic (Elastic Limit) Daerah elastic adalah daerah dimana bahan akan kembali kepanjang semula bila tegangan luar dihilangkan. Daerah proporsional merupakan daerah elastic ini. Selanjutnya bila bahan terus diberi tegangan (deformasi dari luar) maka batas elastic akan terlampaui pada akhirnya sehingga bahan tidak akan kembali

kepada ukuran semula. Dengan kata lain dapat

didefinisikan bahwa batas elastic merupakan suatu titik dimana tegangan yang diberikan akan menyebabkan terjadinya deformasi permanen (plastis) pertama kalinya. Kebanyakan material teknik memiliki batas elastic yang hampir berimpitan dengan batas proporsionalitasnya.

D.

Titik Luluh dan Kekuatan Lulus (Yield Strength) Titik ini merupakan suatu batas dimana material akan terus mengalami deformasi tanpa adanya penambahan beban, Tegangan (stress) yang mengakibatkan bahan menunjukkan mekanisme lulus ini disebut tegangan luluh (yield stress). Gejala luluh pada umumnya hanya ditunjukan oleh logam – logam ulet dengan struktur kristal BCC dan FCC yang membentuk interstitial solid solution dari atom – atom carbon, boron, hydrogen dan oksigen. Interaksi antara antara dislokasi dan atom – atom tersebut menyebabkan baja ulet seperti mild steel menunjukan titik luluh bawah (lower yield point) dan titik luluh atas (upper yield point).

Gambar 1. Fenomena yield pada kurva hasil uji tarik

Baja berkekuatan tinggi dan besi tuang yang getas umumnya tidak memperlihatkan batas lulus yang jelas. Untuk menentukan kekuatan luluh material seperti ini maka digunakan suatu metode yang disebut metode offset. Metode Offset adalah metode yang digunakan untuk menentukan titik yielding pada material yang tidak diketahui titik yieldingnya. Kekuatan luluh atau titik luluh merupakan suatu gambaran kemampuan bahan menahan defromasi permanen bila digunakan struktural yang melibatkan pembebanan mekanik seperti tarik, tekan, bending dan puntiran. Disisi lain, batas luluh ini harus dicapai ataupun dilewati bila bahan (logam) dipakai dalam proses manufaktur produk – produk logam seperti proses rolling, drawing, stretching dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa titik luluh adalah suatu tingkat tegangan yang : 

Tidak boleh dilewati dalam penggunaan (in service)



Harus dilewati dalam proses manufaktur logam (forming process)

E.

Kekuatan Tarik Maksimum (Ultimate Tensile Strength) Kekuatan Tarik Maksimum merupakan tegangan maksimum yang dapat ditanggung oleh material sebelum terjadinya perpatahan (fracture). Nilai kekuatan tarik maksimum εuts ditentukan dari beban maksimum Fmaks dibagi luas penampang awal Ao. Pada bahan ulet tegangan maksimum ditunjukkan oleh titik M dan selanjutnya bahan akan deformasi hingga titik perpatahan. Bahan yang bersifat getas memberikan perilaku yang berbeda dimana tegangan maksimum sekaligus perpatahan ada disatu titik yang sama. Dalma kaitannya dengan penggunaan structural maupun dalam proses forming bahan, kekuatan maksimum adalah batas tegangan yang sama sekali tidak boleh dilewati.

F.

Kekuatan Putus (Breaking Strength) Kekuatan putus ditentukan dengan membagi beban pada saat benda uji putus (Fbreaks) dengan luas Ao. Untuk bahan yang bersifat ulet pada saat beban maksimum M terlampaui dan bahan terus terdeformasi hingga titik putus maka terjadi mekanisme penciutan (necking) sebagai akibat adanya suatua deformasi yang terlokalisai. Pada bahan ulet kekuatan putus adalah lebih kecil daripada kekuatan maksimumnya sementara pada bahan getas kekuatan putus adalah sama dengan kekuatan maksimumnya.

Gambar 2. Proses penciutan (necking) pada benda uji

G.

Keuletan (Ductility) Keuletan merupakan suatu sifat yang menggambarkan kemampuan logam menahan deformasi hingga terjadinya perpatahan atau keuletan bahan juga dapat dinyatakan sebagai energy yang diadsorb oleh bahan tersebut samapi pada titik patah, yaitu merupakan luas bidang di bawah kurva tegangan – regangan. Sifat ini dalam beberapa tingkatan harus dimiliki oleh bahan bila ingin dibentuk (forming) melalui proses rolling, bending, stretching, drawing, hamering, cutting dan sebagainya. Pengujian tarik dua metode pengukuran keuletan bahan yaitu : a. Presentase perpanjangan (elongation) diukur sebagai penambahan panjang ukur setelah perpatahan terhadap panjang awalnya. Elongasi, ε (%) = [(Lf – Lo)/Lo] |x 100 % Dimana Lf adalah panjang akhir dan Lo adalah panjang awal dari benda uji.

b.

Presentase pengurangan/reduksipenampang diukur sebagai

pengurangan luas penampang (cross-section) setelah perpatahan terhadap luas penampang awalnya. Reduksi penampangnya, R (%) = [(Ao – Af)/Ao] x 100% Dimana Af adalah luas penampang akhir dan Ao luas penampang awal

H.

Modulus Elastisitas (Modulus Young) Modulus Elastisitas atau modulus young

merupakan ukuran

kekakuan material. Semakin besar harga modulus ini maka semakin kecil regangan elastic yang terjadi pada suatu tingkat pembebanan tertentu, atau dapat dikatakan material tersebut semakin kaku (stiff). Pada grafik tegangan – regangan, modulus kekakuan dapat dihitung dari slope kemiringan garis elastic yang linier, diberikan oleh : E = σ / ε atau E = tan α

Dimana α adalah sudut yang dibentuk oleh daerah elastic kurva tegangan – regangan. Modulus elastisitas suatu material ditentukan oleh energi ikat antar atom – atom sehingga besarnya nilai modulus ini tidak dapat dirubah oleh suatu proses tanpa merubah struktur bahan.

Gambar 3. Grafik tegangan regangan menunjukan kesamaan modulus kekakuan

I.

Modulus Kelentingan (Modulus of Reselience) Modulus kelentingan mewakili material untuk menyerap energi dari luar tanpa terjadinya kerusakan. Nilai modulus dapat diperoleh dari luas segitiga yang dibentuk oleh area elastik diagram tegangan – regangan.

J.

Modulus Ketangguhan (Modulus of Toughness) Modulus Ketangguhan merupakan material dalam menyerap energi hingga terjadinya perpatahan. Secara kuantitatif dapat ditentukan dari luas area keseluruhan di bawah kurva tegangan regangan hasil pengujian tarik. Pertimbangan disain yang mengikut sertakan modulus ketangguhan menjadi sangat penting untuk komponen – komponen yang mungkin mengalami pembebanan berlebih secara tidak sengaja. Material dengan modulus ketangguhan yang tinggi akan mengalami distorsi yang besar karena pembebanan berlebih, tetapi hal ini tetap disukai dibandingkan material dengan modulus yang rendah dimana perpatahan akan terjadi tanpa suatu peringatan terlebih dahulu.

2.

Karateristik Perpatahan Material dikatakan ulet bila material tersebut mengalami deformasi elastis dan plastis sebelum akhirnya putus. Sedangkan material getas tidak mengalami deformasi elastis sebelum mengalami putus. 2.1 Perpatahan Ulet

Gambar 4. Mekanisme perpatahan ulet

Tahapan terjadinya perpatahan ulet pada sampel uji tarik : 1. Penyempitan awal 2. Pembentukan rongga – rongga kecil 3. Penyatuan rongga – rongga membentuk suatu retakan 4. Perambatan retak 5. Perpatahan gesek akhir pada sudut 45o

2.2 Perpatahan Getas Perpatahan getas memiliki ciri – ciri sebagai berikut : 1. Tidak ada atau sedikit sekali deformasi plastis yang terjadi pada material. 2. Retak/perpatahan merambat sepanjang bidang – bidang kristalin membelah atom – atom material 3. Pada material lunak dengan butir kasar (coarse – grain) maka dapat dilihat pola – pola yang dinamakan chevrons or fan – like pattern yang berkembang keluar dari daerah awal kegagalan. 4. Material keras dengan butir halus tidak memiliki pola – pola yang mudah dibedakan. 5. Material amorphous (seperti gelas) memiliki permukaan patahan yang bercahaya dan mulus.

Gambar 5 . Cup and cone fracture dan brittle fracture

III. Metodologi Penelitian Penelitian yang akan dilakukan di Laboratorium Metalurgi Fisik Departemen Teknik Metalurgi dan Material Fakultas Teknik Universitas Indonesia dengan melakukan pengujian tarik yang bertujuan untuk mengetahui nilai kekuatan tarik, luluh, putus, ultimate tensile strength dan keuletan elongasi dari benda yang akan diuji. 1. Alat dan Bahan 1. Universal testing machine 2. Caliper atau micrometer 3. Spidol permanent atau penggores (cutter) 4. Stereoscan macroscope 5. Sampel uji tarik

2. Flow Chart atau Prosedur Proses Ukur dimensi rata - rata benda uji dengan menggunakan alat ukur dan buat sketsa dari benda uji masukkan pada lembar data

Tandai panjang ukur (gauge length) berupa jarak dua titik pada benda uji menggunakan spidol

Pasang benda uji pada grip mesin uji Shimadzu.

Mulai proses penarikan dan amati dengan baik mekanisme deformasi yang terjadi pada benda uji serta tampilan grafik beban - perpanjangan pada recorder

Tandailah pada grafik beban - perpanjangan titik - titik terjadinya beban maksimum dan perpatahan Lepaskan benda uji dari grip mesin uji, satukan kembali patahan benda uji dan ukur panjang akhir antara dua titik. Ukur juga diameter akhir dari bagian benda yang mengalami necking

Amati dan catat karateristik tipe perpatahanyang terjadi dengan menggunakan stereoscan macroscope. Buatlah sketsa tampak samping dan permukaan patahan (fractografi) benda uji pada lembar data anda.

Lakukan pengujian untuk material yang berbeda jenisnya.

Berdasarkan grafik beban – perpanjangan setiap logam, hitunglah dengan formulasi yang sesuai dari nilai – nilai sebagai berikut ini : titik luluh, kekuatan tarik maksimum, elongasi, presentase pengurangan area, modulus elastisitas.

IV. DATA, PERHITUNGAN DAN GRAFIK 1. Tabel Data

Benda Uji

Alumunium (Al)

Tembaga (Cu)

Besi (Fe)

Diameter benda uji 

Awal, do (mm)

10,1 mm

10 mm

9,2 mm



Akhir, df (mm)

6,4 mm

6,4 mm

7 mm

Luas Area 

Awal Ao (mm2)

80,08 mm

78,5 mm

66,44 mm



Akhir Af (mm2)

32,15 mm

32,15 mm

38,46 mm

Panjang ukur 

Awal Lo (mm)

50 mm

50 mm

50 mm



Akhir Lf (mm)

61,2 mm

60 mm

50,8 mm

A. Baja (Fe) p (kg)

dl (mm) 0 3600 4200 4650 5000 5250 5400 6000 6050 6100 6100 5950 5150

ε 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

σ (Mpa) 0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1 0,12 0,14 0,16 0,18 0,2 0,22 0,24

0 531,0054 619,5063 685,882 737,5075 774,3829 796,5081 885,009 892,3841 899,7592 899,7592 877,634 759,6328

B. Alumunium (Al) p (kg)

dl (mm) 0 870 990 1080 1140 1190 1230 1260 1280 1290 1300 1300 1255 1100

ε 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

σ (Mpa) 0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1 0,12 0,14 0,16 0,18 0,2 0,22 0,24 0,26

0 106,4685 121,1538 132,1678 139,5105 145,6294 150,5245 154,1958 156,6434 157,8671 159,0909 159,0909 153,5839 134,6154

C. Tembaga (Cu) p (kg)

dl (mm)

ε

σ (Mpa)

0

0

0

0

2350 2400 2350

1 2 3

0,02 0,04 0,06

293,3758 299,6178 293,3758

2350

4

0,08

293,3758

2250

5

0,1

280,8917

2100

6

0,12

262,1656

1900

6,375

0,1275

237,1975

IV. 1.3 Sketsa Perpatahan Gmbr. 4 Sketsa Perpatahan Alumunium

Gmbr. 5 Sketsa Perpatahan Tembaga

Gmbr. 6 Sketsa Perpatahan Besi

IV. 2. Contoh Perhitungan 

ε = Do : Lo = 1 : 50 = 0,002



σ = P : Ao = 3600 x 9,8 : 66,44 = 531,01 Mpa



Ultimate Tensile Stress (UTS) UTS

= Fmaks / Ao = 6100 / 66,44 = 91,81 kg/mm2



Pertambahan panjang material (elongasi) : % elongasi

=

=

(𝐿𝑓−𝐿𝑜) 𝐿𝑜

𝑥 100 %

(61,2−50) 50

x 100 %

= 22,4 % 

Pengurangan area / diameter sampel (reduksi) : % reduksi

= =

(𝐴𝑜−𝐴𝑓) 𝐴𝑜

𝑥 100 %

(66,44−48,46) 66,44

𝑥 100 %

= 42 % 

Modulus elastisitas (E) : E

=

σ 𝛆

= 531,01 / 0,002 = 265505 Mp.

IV. 3. Grafik IV.3.1. Grafik P (Beban) vs dL (Elongasi) 3000 2500 2000 1500

p (kg) dl (mm)

1000 500 0 1

2

3

4

5

6

7

8

Gambar 1. Tembaga (Cu) 7000 6000 5000 4000

p (kg)

3000

dl (mm)

2000 1000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Gambar 2. Besi (Fe)

IV.3.2. Grafik σ (Eng. Stress) vs 𝛆 (Eng. Strain) 350 300 250 200 σ (Mpa)

150

ε

100

50 0 1

2

3

4

5

6

7

8

Gambar 3. Tembaga (Cu)

1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0

UTS

Titik Putus Titik Luluh

ε σ (Mpa)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Gambar 4. Besi (Fe) Berikan nilai dan titik / tanda untuk : 

Batas elastisitas / proporsional



Titik luluh



Titik kekuatan maksimum (UTS)



Titik putus

V. Analisis Percobaan V.1 Prinsip Pengujian Pengujian ini menghasilkan angka-angka dan ciri-ciri bahan terpenting pada kekuatan, keregangan dan kekenyalan. Dari bahan yang di uji dibuat sebuah batang coba (benda uji) dengan ukuran yang di standarisasikan, ditekan pada sebuah mesin uji

tarik kemudian dibebani gaya tarik yang dinaikkan secara

perlahan-lahan sampai bahan uji putus. Selama percobaan/pengujian beban dan regangan batang coba diukur terus menerus. Kedua besaran ini ditampilkan dalam sebuah gambar diagram. Skala tegak menunjukkan teggangan tarik dalam mm dan 2 dengan berpatokan pada penampang batang semula, sedangkan skala mendatar menyatakan regangan

(perpanjangan) yang bersangkutan dalam prosentase

terhadap panjang awal.

Jika

beban

dinaikkan

melampaui

batas-batas

kekenyalan

(batas

elastisitas), maka regangan membesar relatif lebih pesat dan lengkungan segera menunjukkan sebuah tekukan yang akan tampil semakin jelas, semakin ulet bahan tersebut.Tegangan dalam pengujian ini dinamakan batas rentang atau batas leleh. Hal ini merupakan angka ciri bahan yang penting, karena disini bahan uji untuk pertama kalinya mengalami kelonggaran menetap pada strukturnya yang dapat dikenal melalui munculnya wujud-wujud leleh pada permukaan batang uji. Pada pembebanan yang ditingkatkan lebih lanjut, maka tegangan akan mencatat titik puncaknya seraya melajunya regangan batang uji. Batang uji telah pembebanan tertinggi, dan batang uji kini menyusut nantinya merupakan tempat perpecahan.

mencapai

pada kedudukan yang

V.2 Analisis Grafik V.2.1 Analisis Grafik P (beban) vs dL (elongasi) Grafik beban-pertambahan panjang (grafik P - ΔL). Grafik ini masih belum banyak gunanya karena hanya menggambarkan kemampuan batang uji (bukan kemampuan bahan) untuk menerima beban gaya. Kemampuan besi menerima gaya lebih besar dari pada Aluminium tetapi dengan gaya yang besar Besi hanya mampu ditarik dengan nilai dibawah aluminium. Ini membuktikan bahwa besi lebih bersifat kaku daripada aluminium.

V.2.2 Analisis Grafik 𝛔 (Eng. Stress) vs 𝛆 (Eng. Strain) Grafik stress vs strain dan true strain vs true stress memiliki kesamaan dalam hal bentuk secara kasat mata, namun nilainya memiliki simpangan yang berbeda. Analisa grafik ini sangat efektif untuk menuntukan sifat umum dari suatu bahan. Pada grafik terlihat bahwa garis fungsi pada bahan Fe lebih tinggi dari pada aluminium. Jika dilihat panjangnya garis tersebut maka Fe mempunyai garis yang lebih panjang, ini membuktikan bahwa bahan Fe ini dapat menyerap energy lebih banyak dari pada logam aluinium. Dari modulus slope, bahan Fe memiliki nilai yang lebih tinggi ini membuktikan bahwa modulus elastic besi lebih tinggi dari aluminium sehingga regangan elastic pada Fe lebih kecil atau bisa dikatakan Fe lebih kaku daripada aluminium. Modulus slope didapat dari persamaan Hooke yang membandingkan antara stress dan strain pada keadaan proporsional. Dari grafik tersebut terlihat bahwa Fe bukan merupakan bahan

yang britel, karena titik putus dan Ultimate Tensile

Strengthnya tidak berada pada satu titik. Ini mungkin disebabkan karena bahan Fe yang digunakan sudah tercampur dengan bahan lain seperti carbon dengan suatu komposisi tertentu. Kubah yang terjadi pada garis Aluminium merupakan kesalahan yang terjadi pada saat penarikan. Pada saat penarikan terjadi slip yang menyebabkan tegangan tarik sempat turun sementara, hal tersebut

juga

mempengaruhi pembentukan grafik dan nilai-nilai yang sebenarnya. Dari grafik tampak bahwa pada tegangan yang kecil grafik berupa garis lurus, ini berarti bahwa besamya regangan yang timbul sebagai akibat tegangan yang kecil tersebut berbanding lurus dengan besamya tegangan yang bekerja (Hukum Hook)4.

Hal ini berlaku hingga titik proporsional, yaitu batas kesebandingan atau proportionality limit. beban

Jadi bila pengujian tarik dilakukan dengan penambahan

secara perlahan mula-mula akan terjadi pertambahan panjang yang

sebanding dengan penambahan gaya yang bekerja. Kesebandingan ini berlangsung terus sampai beban mencapai titik P (proportionality

limit), setelah itu

pertambahan panjang yang terjadi sebagai akibat penambahan beban tidak lagi berbanding lurus, pertambahan beban yang sama akan menghasilkan pertambahan panjang yang lebih besar. Dan bahkan pada suatu saat dapat terjadi pertambahan panjang tanpa ada penambahan beban, batang uji bertambah panjang dengan sendirinya. dikatakan batang uji mengalami yield (luluh). Keadaan ini berlangsung hanya beberapa saat dan sesudah itu beban akan naik lagi untuk dapat memperoleh pertambahan panjang (tidak lagiproportional).Kenaikan beban ini akan berlangsung terus sampai suatu maksimum, dan untuk logam Fe dan Aluminium sesudah itu beban mesin tarik akan menurun lagi(tetapi pertambahan panjang terus berlangsung ) sampai akhirnya batang uji putus.Pada saat beban mencapai maksimum pada batang uji terjadi pengecilan penampang setempat ( local necking ), dan pertambahan panjang akan terjadi hanya sekitar necking tersebut. Peristiwa ini seperti hanya terjadi pada logam yang ulet, sedang pada logam -logam yang lebih getas tidak terjadi necking dan logam itu akan putus pada saat beban maksimum.

V.3 Analisis Hasil Perpatahan Ada dua jenis perpatahan: perpatahan ulet (ductile fracture) dan perpatahan rapuh (brittle fracture). Perbedaan utamanya adalah perpatahan ulet terjadi diiringi dengan deformasi plastis, sedangkan perpatahan rapuh tidak. Berikut gambar yang memperlihatkan mekanisme perpatahan ulet.

Tahapan diatas adalah : A.

Necking Necking adalah suatu proses penurunan secara local diameter bahan yang

dinamakan penyempitan. Hal ini terjadi karena kenaikan kekuatan yang disebabkan oleh pengerasan regangan yang akan berkurang, untuk mengimbanginya penurunan permukaan penampang melintang. Pembentukan penyempitan

menimbulkan

keadaan tegangan triaksial pada daerah yang bersangkutan.

B.

Cavity formation Cavity formation adalah terbentuknya rongga-rongga kecil pada daerah

necking akibat komponen hidrostatik terjadi disekitar sumbu benda uji pada pusat daerah necking.

C.

Cavity coalascene to form a crack Cavity coalascene to from a crack adalah terbentuknya retakan pusat

akibat peregangaan yang berlangsung terus.

D.

Crack propagation Crack propagation adalah berkembang retakan pada arah tegak lurus

sumbu benda uji, hingga mencapai permukaan benda uji

tersebut. Kemudian

merambat disekitar bidang geser-geser local, kira-kira berarah 45° terhadap sumbu “ kerucut “ patahan yang terbentuk.

E.

Fracture Fracture adalah terjadi perpatahan campuran akibat peregangan

menerus Semua benda yang diuji mengalami perpatahanan

terus

ulet (ductile).

Identifikasi yang lain adalah pada bekas patahan permukaannya mempunyai serat yang berbentuk dimple yang

menyerap cahaya dan berpenampilan buram.

Perpatahan ini disebut juga perpatahan berserat (fibrous fracture). Perpatahan ini melibatkan mekanisme pergeseran bidang-bidang kristal di dalam bahan logam yang ulet (ductile). Pada kedua benda uji, saat penarikan terjadi proses necking, dan terlihat bahwa kedua bahan tersebut bersifat ductile karena terjadi necking. Tetapi jika dilihat hasil perpatahannya maka akan terlihat

bahwa aluminium

memiliki perpatahan campuran sedangkan Fe memiliki perpatahan beserat. Ini membuktikan bahwa Fe dan aluminium pada bahan uji ini merupakan logam yang ductile

VI. Kesimpulan Dari tujuan awal yang ingin mengetahui respon mekanik terhadap pembebanan tarik satu arah maka diperoleh hasil dari material uji yaitu: Fe dan Aluminium dimana diperoleh hasil bahwa bahan Fe yang diteliti memiliki sifat yang kuat dan ductile, hal ini dilihat dari

cepatnya Baja patah ketika sudah

mencapai Ultimate Strength yang memang sangat besar tetapi memiliki daerah kurva yang panjang sebelum mendapatkan beban maksimum (UTS), sedangkan untuk Alumunium adalah termasuk ulet, dilihat dari peristiwa necking dengan pemuluran yang cukup panjang setelah mencapai UTS dan sebelum patah. Dari kedua bahan itu bisa diurutkan bahan yang paling keras ke yang paling ulet adalah baja lalu alumunium. Fe dapat dikatakan lebih kaku dari pada Aluminium karena memiliki nilai modulus elastik yang lebih tinggi. Dari grafik yang didapatkan pula bahwa Fe yang digunakan bukan

diperoleh

merupakan Fe yang britel

melainkan yang ductile karena telah tercampur dengan material-material yang lainnya. Jenis Perpatahan yang terjadi pada material Fe adalah berserat dan pada aluminium adalah campuran.

Modul 2 – Pengujian Kekerasan I. Tujuan Pratikum 1. Menguasai beberapa metode pengujian yang umum dilakukan untuk mengetahui nilai kekerasan suatu logam. 2. Menjelaskan makna nilai kekerasan material dalam lingkungan ilmu metalurgi dan ilmu – ilmu terapan lainnya. 3. Menjelaskan perbedaan antara pengujian kekerasan dengan metode gores, pantulan dan indentasi. 4. Menjelaskan kekhususan pengujian kekerasan dengan metode Brinell, Vickers, Knoop dan Rockwell 5. Mengaplikasikan beberapa formulasi dasar untuk memperoleh nilai kekerasan material dengan uji Brinell dan Vicker.

II. Dasar Teori Kekerasan suatu material dapat didefinisikan sebagai ketahanan material tersebut terhadapa gaya penekanan dari material lain yang lebih keras. Penekanan tersebut dapat berupa mekanisme penggesekan (scratching), pantulan ataupun indentasi dari material keras terhadap suatu permukaan benda uji. Berdasarkan prinsip penekanan tersebut dikenal 3 metode uji kekerasan :

1. Metode Gesek Metode gesek ini banyak digunakan dalam dunia metalurgi tetapi masih dalam dunia mineralogi. Metode ini dikenal oleh Friedrich Mohs yaitu dengan membagi kekerasan material di dunia ini berdasarkan skala (yang dikenal dengan skala mohs). Skala ini bervariasi dari nilai 1 untuk kekerasan yang paling rendah sebagaimana dimiliki oleh material talk, hingga skala 10 sebagai nilai kekerasan tertinggi sebagaimana dimiliki intan. Dalam skala Mohs urutan nilai kekerasan material di dunia wakili oleh :

1. Talc

6. Ortoclase

2. Gipsum

7. Quartz

3. Calcite

8. Topaz

4. Fluorite

9. Corundum

5. Apatite

Kekerasan Mohs

10. Diamond (intan)

Mineral

Kekerasan

Formula kimia

absolut

1

Talek

Mg3Si4O10(OH)2

1

2

Gipsum

CaSO4·2H2O

3

3

Kalsit

CaCO3

9

4

Fluorit

CaF2

21

5

Apatit



6

7

Feldspar Ortoklas

Kuarsa

Ca5(PO4)3(OH ,Cl



,F–)

48

KAlSi3O8

72

SiO2

100

Gambar

Kekerasan Mohs

Mineral

Formula kimia

Kekerasan absolut

8

Topaz

Al2SiO4(OH–,F–)2

200

9

Korundum

Al2O3

400

10

Intan

C

1600

Gambar

Prinsip pengujian : apabila suatu material mampu digores oleh Orthoclase (no. 6) tetapi tidak mampu digores oleh Apatite (no. 5) maka kekerasan mineral tersebut berada antara 5 dan 6. Berdasarkan hal tersebut, jelas terlihat bahwa metode ini memiliki kekurangan utama berupa ketidak akuratan nila kekerasan suatu material. Bila kekerasan mineral – mineral diuji dengan metode lain, ditemukan bahwa nilai – nilainya berkisar antara 1 – 9 saja, sedangkan nila 9 – 10 memiliki rentang yang besar.

2. Metode Elastik/ Panntul (Rebound) Dengan metode ini, kekerasan suatu material ditentukan oleh alat Sceleroscope yang mengukur tinggi pantulan suatu pemukul (hammer)

dengan berat tertentu yang dijatuhkan dari suatu ketinggian terhadap permukaan benda uji. Tinggi pantulan yang dihasilkan mewakili kekerasan benda uji. Semakin tinggi pantulan tersebut yang ditunjukkan oleh dial pada alat pengukur maka kekerasan benda uji dinilai semakin tinggi.

3. Metode Indentasi Pengujian dengan metode ini dilakukan dengan penekanan benda uji dengan indentor dengan gaya tekan dan waktu indentasi yang ditentukan. Kekerasan suatu material oleh dalam luas area indentasi yang dihasilkan (terganutng jenis indentor dan jenis pengujian). Metode yang umum dipakai adalah :

A. Metode Brinell Metode ini diperkenalkan pertama kali oleh J. A Brinell pada tahun 1900. Pengujian kekerasan dilakukan dengan memakai bola baja yang diperkeras dengan beban dan waktu indentasi tertentu. Prosedur standar pengujian mensyaratkan bola baja dengan diameter 10mm dan bebean 3000kg untuk pengujian logam – logam ferrous atau 500 kg untuk logam – logam non ferrous. Untuk logam – logam ferrous waktu indentasi biasanya sekitar 10 detik sementara untuk logam – logam non ferrous sekitar 30 detik. Walaupun demikian

pengaturan beban dan waktu

indentasi untuk setiap material dapat pula ditentukan oleh karakteristik alat penguji. Nilai kekerasan suatu material yang dinotasikan dengan “HB” tanpa tambahan angka di belakangnya menyatakan kondisi pengujian standar dengan indentor bola baja 10mm, beban 3000 kg selama waktu 1 – 15 detik. Untuk kondisi yang lain, nilai kekerasan HB diikuti angka-angka yang menyatakan kondisi pengujian.

B. Metode Vicker Pada metode ini digunakan indentor intan berbentuk piramida dengan sudut 136o. Prinsip pengujian ini adalah sama dengan metode brinell, walaupun jejak yang dihasilkan berbentuk bujur sangkar berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan skala pada mikroskop pengukur jejak. Nilai kekerasan material diberikan oleh :

VHN =

𝟏.𝟖𝟓𝟒 𝑷 𝒅𝟐

Dimana d adalah panjang diagonal rara – rata dari jejak berbentuk bujur sangkar.

Perbandingan antara kekerasan (Mohs) dan kekerasan (Vickers) :

Nama mineral

Kekerasan (Mohs)

Kekerasan (Vickers) kg/mm2

Grafit

1–2

VHN10=7 - 11

Tin

1½ - 2

VHN10=7 - 9

Bismut

2 - 2½

VHN100=16 - 18

Emas

2½ - 3

VHN10=30 - 34

Perak

2½ - 3

VHN100=61 - 65

Kalkosit

2½ - 3

VHN100=84 - 87

Tembaga

2½ - 3

VHN100=77 - 99

Galena



VHN100=79 - 104

Spalerit

3½ - 4

VHN100=208 - 224

Heazlewoodit 4

VHN100=230 - 254

Karolit

4½ - 5½

VHN100=507 - 586

Goetit

5 - 5½

VHN100=667

Hematit

5–6

VHN100=1,000 - 1,100

Kromit



VHN100=1,278 - 1,456

Anatas

5½ - 6

VHN100=616 - 698

Rutil

6 - 6½

VHN100=894 - 974

Pirit

6 - 6½

VHN100=1,505 - 1,520

Bowieit

7

VHN100=858 - 1,288

Euklas



VHN100=1,310

Kromium

9

VHN100=1,875 - 2,000

Gambar 6. Pengujian kekerasan menggunakan metode vicker

C. Metode Rockwell Berbeda dengan metode Brinell dan Vicker dimana kekerasan suatu bahan dinilai dari diameter/diagonal jejak yang dihasilkan maka metode Rockwell merupakan uji kekerasan dengan pembacaan langsung (directreading). Metode ini banyak dipakai dalam industri karena praktis. Variasi dalam beban dan indentor yang digunakan membuat metode ini banyak macamnya. Skala kekerasan Rockwell suatu material harus dispesifikasikan. Contohnya 82 HRB yang menyatakan material diukur dengan skala B: indentor 1/6 inch dan beban 100kg

Gambar 7. Pengujian kekerasan menggunakan metode rockwell

D. Metode Knoop Merupakan salah satu metode micro-hardness, yaitu uji kekerasan untuk benda uji yang kecil. Nilai kekerasan knoop adalah pembebanan dibagi dengan luas penampang yang terdeformasi permanent. Jejak yang dihasilkan sekitar 0,01 mm – 0,1 mm dan beban yang digunakan berkisar 5 gr – 5 kg. Permukaan benda uji harus benar – benar haslus. Kekerasan Knoop suatu material dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

𝟏𝟒,𝟐 KHN =

𝒍𝟐

Gambar 8. Pengujian Metode Knoop

III. Metodologi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Metalurgi Fisik Departemen Teknik Metalurgi dan Material Fakultar Teknik Universitas Indonesia dengan melakukan pengujian kekerasan. Pengujian kekerasan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui nilai kekerasan benda dan ketahanan material terhadap deformasi plastis akibat penekanan material yang lebih keras. 1. Alat dan Bahan 1. Hoytom macrohardness tester (metode Brinell, Vicker dan Rockwell) 2. Buehler Micromet 2100 series microhardness tester (metode Vicker) 3. Micrometer 4. Measurin microscope 5. Sampel uji silinder pejal dan uji tarik (besi tuang, baja, tembaga dan alumunium)

2. Prosedur : 2.1. Pengujian Kekerasan Makro 2.1.a. Metode Brinell dan Vicker (sampel silinder pejal)

Persiapkan sampel uji kekerasan berbentuk silinder (besi tuang, baja, tembaga dan alumunium) dengan cara melakukan pengamplasan dan pemolesai yang memadai, diindikasikan dengan permukaan benda uji yang cukup mengkilat.

Pastikan bahwa peralatan uji (Brinell dan Vickers) telah di set-up dengan baik. Pasanglah indentor untuk masing – masing metode dengan seksama

Pilihlah beban yang sesuai dengan benda uji

Putar poros tempat dudukan benda uji searah jarum jam hingga indentor menyentuh benda uji dengan perlahan – lahan. Hati – hati ! jagalah agar indentor tidak sampai menghujam benda uji karena hal ini akan mengakibatkan kerusakan berat pada mata indentor itu

Setelah benda uji bersentuhan dengan indentor, putarlah terus poros dudukan sampel hingga jarum merah kecil pada lingkaran dalam menyentuh batas merah. Langkah ini merupakan preload dari indentasi. Jangan teruskan putaran poros apabila batas ini telah tercapai

Putar tuas beban ke arah belakang dengan hati – hati lalu lepaskan tuas tersebut hingga berputar perlahan – lahan. Pada tahap ini berlangsung pembebanan indentasi pada benda uji selama 10 – 15 detik hingga jarum pada lingkaran dalam dan luar kembali ke posisi awal

Lepaskan kontak indentor dengan benda uji secara berhati – hati, yaitu dengan memutar poros dudukan berlawanan arah jarum jam. Berhati – hatilah agar tidak terjadi pemutaran poros tersebut searah jarum jam karena akan mengakibatkan rusaknya jejak jasil indentasi.

Indentasi pada satu lokasi telah selesai. Lakukan tahap – tahap operasional di atas untuk lokasi atau benda uji lainnya

Ukurlah diameter jejak indentasi dengan menggunakan mikroskop pengukur jejak. Catatlah hasil pengukuran pada buku lembar data anda. Hitunglah nilai kekerasan dengan rumus yang sesuai dengan metode uji

2.1.b. Metode Brinell (sampel uji tarik) Amplaslah bagian grip sampel uji tarik dengan kertas amplas hingga diperoleh permukaan yang relatif rata dan mampu memantulkan cahaya. Bila perlu lanjutkan pengamplasan dengan tingkat kehalusan yang lebih tinggi

Tempatkan sampel uji tarik tersebut dalam pemegang khusu (anvil) dalam posisi horisontal.

Pilihlah indentor dan beban yang sesuai

Lakukan pengujian kekerasan Brinell pada beberapa lokasi di bagian grip (min 3 dtk).

Ukurlah diameter jejak yang dihasilkan. Hitung nilai kekerasan dan bandingkan dengan nilai yang diperoleh dari sampel uji silinder pejal. Gunakan keduanya untuk mengestimasi nilai kekuatan tarik logam

Lakukan pada benda uji lainnya

2.1.c. Metode Rockwell (sampel silinder pejal) Persiapkan benda uji dengan baik (amplas dan poles secukupnya).

Pasang indentor yang sesuai (Rockwell B atau C)

Pasang beban yang sesuai, lihatlah buku manual alat Putar ring dari dial pembaca sehingga jarum panjang bewarna hitam menunjuk angka nol pada skala. Sesuai skala tersebut dengan metode Rockwell yang dipilih. Untuk Rockwell pilihlah skala terluar (merah) sedangkan Rockwell pakailah skala dalam (hitam).

Lakukan preload dengan memutar poros dudukan benda uji searah jarum jam hingga jarum kecil pada dial pembaca menyentuh batas merah

Lakukan pembebanan dengan memutar tuas beban kebelakang dengan hati – hati. Biarkan tuas bergerak dengan halus selama beberapa waktu, anttara 10 – 15 detik

Kembalikan tuas beban ke posisi semula dengan hati – hati

Bacalah nilai kekerasan material pada dial yaitu posisi jarum hitam panjang sesuai metode Rockwell yang dipakai

Lepasakan benda uji dengan memutar poros dudukan benda uji berlawanan arah jarum jam

Lanjutkan pengujian untuk lokasi atau material lain

2.2 Pengujian Kekerasan Mikro Siapkan benda uji dengan tahapan – tahapan uji metalografi sebagai berikut : amplas kasar, amplas halus, poles dan etsa. Gunakan zat etsa nital 3% untuk memperoleh fasa – fasa penting dalam material – material tersebut. Konsultasikan dengan teknisi lab bersangkutan bila menemui masalah dalam memunculkan fasa – fasa tersebut

Tempatkan benda uji pada dudukan dengan permukaan yang akan diuji tegak lurus terhadap indentor intan

Nyalakan instrumen Micromet dengan menekan tombol switch – on dibagian samping alat uji. Lampu power berwarna merah akan menyala pada panel muka

Putarlah turet indentor – lensa obyektif hingga diperoleh perbesaran 40X

Aturlah fokus struktur mikro benda uji dengan memutar handel pengangkat di bagian samping alat uji. Dapatkan tingkat pencahayaan yang sesuai dengan mengatur kontrol iluminasi di bagian samping.

Tentukan lokasi (fasa) yang akan diuji. Area yang dipikih harus ditempatkan di tengah – tengah ruang pandang mata pengamat (okuler).

Pilih beban yang sesuai dengan memutar dial beban (dibagian samping atas) dengan hati – hati. Jangan sekali – kali melakukan kejutan

Atur waktu indentasi. Tombol pengatur indentasi terletyak dibagian samping bawah. Direkomendasikan waktu indentasi untuk hampir semua pengujian kekerasan mikro adalah 10 – 15 detik. Bila diperlukan aculah standar ASTM

Putar turet indentor – lensa obyektif hingga diperoleh posisi indentor

Lakukan indentasi dengan menetan tombol “start”. Lampu “loading” akan menandakan indentasi berlangsung selama waktu yang telah ditentukan sebelumnya

Tunggulah agar lampu indikasi loading benar – benar berhenti menyala. Jangan sekali – kali menggerakkan benda uji ataupun mencoba memutar turet indentor – lensa obyektif sebelum indentasi selesai dengan sempurna

Indentasi selesai, putarlah turet ke posisi lensa obyektif kembali (40X) dan mulailah pengukuran lebar jejak

Pengukuran dilakukan dengan memutar left fillar adjustment knob (bagian kiri dari lensa okuler) sehingga bagian garis kiri terdalam menyentuh ujung kiri terluar dari jejak

Putar right fillar adjustment knob sehingga bagian kanan terdalam dari right fillar line berimpit dengan bagian kiri terdalam dari left fillar line. Perhatikan skala nol pada right mikrometer yang terletak pada fillar adjustment knob

Putar fillar adjustment knob sehingga garis kanan akhirnya mencapai ujung kanan terluar dari jejak. Inilah jarak diagonal dari jejak pada benda uji. Catatan : satu kali putaran mikrometer adalah 25 mikron atau penambahan 1 skala adalah sama dengan 0,5 mikron

Ulangi langkah pengukuran untuk jarak diagonal lainnya dengan memutar kedua adjustment knoop dalam posisi vertikal.

Hitunglah nilai kekerasan fasa dengan rumus yang sesuai

Lakukan pengujian untuk fasa atau lokasi lain

LEMBAR DATA UJI KEKERASAN METODE BRINELL

No

1

2

3

Jejak (mm)

Benda

Kondisi

Inde

Uji

Indentasi

ntasi

D = 1/8 inch

1

-0,848 -0,950 0,899

48,19

P = 31,23 kg

2

-1,04

72,88

t = 30 dtk

3

-0,910 -0,970 0,94

43,80

D = 1/8 inch

1

0,996

0,971

0,984

42,89

P = 62,5 kg

2

0,994

0,860

0,907

47,46

t = 15 dtk

3

0,995

1,008

0,982

40,17

D = 1/8 inch

1

1,91

1,36

1,635

13,83

P = 187,3 kg

2

1,145

1,430

1,286

12,95

t = 15 dtk

3

1,132

1,358

1,245

12,88

Al

Cu

Fe

d1

d2

dave

-0,940 0,235

IV. Cara Perhitungan Alumunium (Al) Dik

: P = 31,23 kg D = 1/8 inch d rata – rata = 0,94

Dit

: BHN = ?

Jwb

: 𝐵𝐻𝑁

= =

2𝑃 𝜋𝐷 (𝐷−

𝐷 2 −𝑑 2 ) 2.31,23

𝜋3,175 (3,175−

= 43,375 kg/mm2

3,175 2 −0,94 2 )

BHN

BHN rata-rata

54,956

43,51

13,22

Tembaga (Cu) Dik

: P = 62,5 kg D = 1/8 inch d rata-rata = 0,984

Dit

: BHN = ?

Jwb

: 𝐵𝐻𝑁

= =

2𝑃 𝜋𝐷 (𝐷−

𝐷 2 −𝑑 2 ) 2.62,5

𝜋3,175 (3,175−

3,175 2 −0,984 2 )

= 42,898 kg/mm2 Besi (Fe) Dik

: P = 187,3 kg D = 1/8 inch d rata – rata = 1,635

Dit

: BHN = ?

Jwb

: 𝐵𝐻𝑁

=

=

2𝑃 𝜋𝐷 (𝐷−

𝐷 2 −𝑑 2 ) 2 .187,3

𝜋3,175 (3,175−

= 13,831 kg/mm2

3,175 2 −1,635 2 )

V. Grafik V.1 Grafik BHN vs Alumunium (Al)

BHN vs Alumunium (Al) 80

72,882

70 60 50

48,194

43,801

40

BHN vs Alumunium (Al)

30 20 10 0 1

2

3

V.2 Grafik BHN vs Besi (Fe)

BHN vs Besi (Fe) 14

13,898

13,8 13,6 13,4 13,2 12,95

13

12,88

12,8 12,6 12,4 12,2 1

2

3

BHN vs Besi (Fe)

V.3 Grafik BHN vs Tembaga (Cu)

BHN vs Tembaga (Cu) 50 47,462

48 46 44

42,898 BHN vs Tembaga (Cu)

42 40,167 40 38 36 1

2

3

V.4 Grafik BHN vs Sampel 60

54,956

50 40 30

Al Fe

20

13,22

10 0 1

VI. Analisis VI.1 Prinsip Pengujian Kekerasan suatu material dapat didefinisikan sebagai ketahanan material tersebut terhadap gaya penekanan dari material lain yang lebih keras. Penekanan tersebut dapat berupa mekanisme

penggesekan (scratching), pantulan ataupun

indentasi dari material keras terhadap suatu permukaan benda uji. Dalam pengujian ini digunakan Metode Brinell. Metode Brinell diperkenalkan pertama kali oleh J.A. Brinell pada tahun 1900. Pengujian kekerasan dilakukan dengan memakai bola baja yang dikeraskan (hardenen steel ball) dengan beban dan waktu indentasi tertentu. Prosedur standar pengujian menyaratkan bola baja dengan diameter 10 mm dan beban 187,5 kg untuk pengujian logamlogam ferrous, 31,23 kg untuk Aluminium, dan 62,5 kg untuk tembaga. Untuk logam ferrous, waktu indentasi biasanya sekitar 10 detik sementara untuk bahan non-ferrous sekitar 15 detik. Walaupun demikian pengaturan beban dan waktu indentasi untuk setiap material dapat pula ditentukan oleh karakteristik alat penguji. Nilai kekerasan suatu material yang dinotasikan dengan „HB‟ tanpa tambahan angka dibelakangnya menyatakan kondisi pengujian standar dengan indentor bola baja 10 mm, beban 3000 kg selama waktu 1-15 detik. Untuk kondisi yang lain, nilai kekerasan HB diikuti angka-angka yang menyatakan kondisi pengujian. Contoh : 75 HB 10/500/30 menyatakan nilai kekerasan Brinell 75 dihasilkan oleh suatu pengujian dengan indentor 10 mm, pembebanan 500 kg selama 30 detik. Pengukuran nilai kekerasan suatu material diberikan oleh : dimana P : beban dalam kg, D : diameter indentor dalam mm, d : diameter jejak dalam mm.

2𝑃 𝜋𝐷 (𝐷−

𝐷 2 −𝑑 2 )

Dalam pengujian kekerasan ini diameter indentor, D=10 mm. Kemudian untuk mengukur diameter dari jejak yang ditinggalkan indentor digunakan measuring mikroskop dengan perbesaran 5x dan skala 1:1000 mm. Standar pengujian yang digunakan adalah ASTM E-10. Beban

yang digunakan untuk tiap-tiap bahan

adalah 187,5 kg untuk baja, 62,5 untuk tembaga, dan 31,23 untuk alumunium. Hasil yang didapat berupa diameter jejak. Kemudian data tersebut diolah dan didapat nilai skala kekerasan Brinellnya. Data sudah tertera di subbab table data pengamatan.

Ada beberapa hal yang perlu dianalisis dalam penerapan percobaan kali ini , antara lain : •

Jarak antar titik jejak juga harus diperhatikan, karena pada setiap penjejakan, material di sekeliling jejak tersebut pasti terdeformasi. Jika dilakukan penjejakan pada bagian yang terdeformasi, pasti akan menghasilkan kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan penjejakan sebelumnya.



Pembebanan yang berbeda ini dikarenakan ketahanan material yang berbeda. Contohnya, bila Aluminium dilakukan pembebanan 187,5 kg, maka mungkin pada bagian alasnya akan terjadi penggelembungan, yang tentu saja mempengaruhi data percobaan.



Bola baja yang digunakan adalah baja yang dikeraskan dengan diameter 2.5 mm dan maksimum kekerasan material yang diijinkan adalah kurang lebih 600 Brinnel.



Ketelitian dalam membaca jarum harus dijaga, berhubung alat ini tidak menggunakan pencatat digital. Posisi mata harus tegak lurus dengan jarum untuk mendapatkan data yang tepat.

VI.2 Analisa Grafik BHN vs Sampel Dari grafik dapat jelas dilihat bahwa baja mempunyai tingkat kekerasan Brinnel lebih tinggi dari tembaga dan alumunium. Begitu juga tembaga yang lebih tinggi tingkat kekerasannya dari aluminium. Nilai kekerasan ini tentu berhubungan dengan sifat lainnya. Salah satunya adalah sifat kemampukerasan logam. Suatu logam memiliki kemampukerasan yang tinggi jika pada brinnel test, nilai BHN-nya cukup besar. Semakin tinggi nilai BHN nya maka semakin besar kemampuan meterial tersebut untuk dikeraskan.

VI.3 Analisa Grafik pada tiap-tiap sampel Pada grafik BHN Fe dan Cu ditemukan grafik yang memiliki ketinggian yang tidak sama. Namun ketinggian ini disebabkan penggunaan skala pada grafik yang terlalu kecil jika dilihat dari nilai sebenarnya. Perbedaan pengukuran BHN disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang terjadi pada percobaan, salah satunya penggunaan bahan sampel yang tidak bersih, kesalahan paralaks pada praktikan, dan waktu penekanan indentasi.

VII. Kesimpulan Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa : •

Kekerasan suatu benda dapat

kita ketahui dengan menggunakan

materiallain untuk mengujinya. •

Pengujian tersebut menggunakan beberapa material yang berbeda danbentuknya.

jenis

Modul 3 – Pengujian Impak I. Tujuan Pratikum 1. Menjelaskan tujuan dan prinsip dasar pengukuran harga impak dari logam. 2. Mengetahui temperatur transisi perilaku kegetasan baja struktural ST 42. 3. Menganalisa permukaan patahan (fractografi) sampel impak yang diuji pada beberapa temperatur. 4. Menbandingkan nilai impak beberapa jenis logam. 5. Menjelaskan perbedaan metode Charpy dan Izod.

II. Dasar Teori Pengujian impak merupakan suatu pengujian yang mengukur ketahanan bahan terhadap beban kejut. Pengujian ini merupakan suatu upaya untuk mensimulasikan kondisi operasi material yang sering ditemui dalam perlengkapan transportasi atau konstruksi dimana beban tidak selamanya terjadi secara perlahan – lahan seperti pada pembebanan tarik. Dasar pengujian impak ini adalah penyerapan energi potensial dari pendulum beban yang berayun dari suatu ketinggian tertentu dan menumbuk benda uji sehingga benda uji mengalami deformasi.

Gambar 9. Pengujian Impak

Pada pengujian impak banyaknya energy yang diserap oleh bahan untuk terjadinya perpatahan merupakan ukuran ketahan impak atau ketangguhan bahan tersebut. Pada pengujian impak, energy yang diserap oleh benda uji biasanya dinyatakan dalam satuan joule dan dibaca langsung pada skala (dial) penunjuk yang telah dikalibrasi yang terdapat pada mesin penguji. Harga impak (HI) suatu bahan dapat diuji dengan metode Chrapy diberikan oleh : HI = E/A Dimana E adalah energy yang diserap dalam satuan joule dan A luas penampang dibawah takik dalam satuan mm2. Secara umum benda uji impak dikelompokkan dalam dua golongan sampel standart yaitu : batang uji Chrapy, banyak digunakan di Amerika Serikat dan batang uji Izod yang lazim digunakan Inggris dan Eropa. Benda uji Chrapy memiliki luas penampang lintang bujur sangkar ( 10x10 mm) dan memiliki takik (notch) berbentuk V dengan sudut 45 o, dengan jari-jari dasar 0,25 mm dan kedalaman 2 mm. benda uji diletakkan pada tumpuan dalam posisi mendatar dan bagian yang bertakik diberi beban impak dari ayunan bandul.

Takik (notch) dalam benda uji standar ditunjukan sebagai suatu konsentrasi tegangan sehingga perpatahan diharapkan akan terjadi dibagian tersebut. Selain berbentuk V dengan sudut 45o, takik dapat pula dibuat dengan bentuk lubang kunci (key hole). Pengukuran lain yang bisa dilakukan dalam pengujian impak Chrapy adalah penelaahan permukaan perpatahan untuk menentukan jenis perpatahan yang tejadi. Secara umum perpatahan digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu: 1. Perpatahan berserat (Fibrous fracture) Perpatahan berserat adalah perpatahan yang melibatkan mekanisme pergeseran bidang-bidang kristal di dalam bahan (logam) yang ulet (ductile). Ditadai dengan permukaan

perpatahan berserat yang

berbentuk dimple yang menyerap cahaya dan berpenampilan buram.

2. Perpatahan granular/kristalin Perpatahan granular adalah perpatahan yang dihasilkan oleh mekanisme pembelahan (cleavage) pada butir-butir dari bahan (logam) yang rapuh (brittle). Ditandai dengan permukaanperpatahan yang datar yang mampu memberikan daya pantul

cahaya yang

tinggi (mengkilat).

3. Perpatahan campuran Perpatahan

campuran

adalah

perpatahan

yang

merupakan

kombinasi dua jenis perpatahan yaitu perpatahan granular dan berserat.

Gambar 10. Ilustrasi permukaan patahan (fractografi) benda uji impak Charpy

Selain dengan harga impak yang ditunjukkan oleh alat uji, pengukuran ketangguhan suatu bahan dapat dilakukan dengan memperkirakan berapa persen patahan berserat dan patahan kristalin yang dihasilkan oleh benda uji yang diuji pada temperature tertentu.

Semakin banyak persentase patahan berserat

makasemakin tangguh bahan tersebut. Cara ini dapat dilakukan dengan mengamati permukaan patahan benda uji di bawah mikroskop stereoscan. Informasi lain yang dapat diasilka oleh pengujian impak adalah

temperature transisi. Temperatur

transisi adalah temperature yang menunjukkan transisi perubahan jenis perpatahan suatu bahan bila diuji pada temperature yang berbeda-beda. Pada pengujian dengan temperature yang berbeda-beda maka akan terlihat bahwa benda akan bersifat ulet (ductile) pada temperature tinggi sedangkan pada temperature rendah material akan bersifat rapuh.

Fenomena ini berkaitan dengan vibrasi atom-atom pada temperature yang berbeda

dimana pada temperature kamar vibrasi itu berada dalam kondisi

kesetimbangan dan selanjutnya akan menjadi tinggi bila temperature dinaikkan (ingatlah bahwa energy panas merupakan suatu driving force terhadap pergerakan partikel atom bahan). Vibrasi atom inilah yang berperan sebagai suatu penghalang (obstacle)

terhadap

pergerakan

dislokasi

pada

saat

terjadi

deformasi

kejut/impakdari luar.

Dengan semakin tinggi vibrasi itu maka pergerakan dislokasi

menjadi

relative sulit sehingga dibuthkan energy yang lebih besar untuk mematahkan benda

uji. Sebaliknya pada temperatur dibawah nol drajat celcius, vibrasi atom relatif sedikit sehingga pada saat bahan dideformasi pergerakan dislokasi menjadi lebih mudah dan benda uji menjadi lebih mudah dipatahkan dengan energi yang relatif lebih rendah.

Informasi mengenai temperature transisi menjadi demikian penting bila suatu material akan didesain utuk aplikasi yang melibatkan rentang temperature yang besar, dari temperature di bawah nol derajat celcius hingga temperature tinggi di atas 100 derajat celcius misalnya. Hampir semua logam berkekuatan rendah dengan struktur Kristal FCC seperti tembaga dan aluminium bersifat ulet pada semua temperature sementara bahan dengan kekuatan luluh yang tinggi bersifat rapuh.

Bahan keramik, polimer dan logam-loga BCC dengan

kekuatan luluh

rendah dan sedang memiliki transisi rapuh-ulet bila temperature dinaikkan. Hampir semua baja karbon yang dipakai pada jembatan kapal, jarigan pipa, dan sebagainya bersifat rapuh pada temperature rendah.

III. Metode Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Teknik Metalurgi Fisik Departemen Metalurgi dan Material Fakultas Teknik Universitas Indonesia dengan melakukan pengujian impak. Dari pengujian impak akan didapat respon atau ketahanan dari bahan terhadap pembebanan yang tiba – tiba.

1. Alat dan Bahan 1. Impact testing machine (metode Charpy) kapasitas 30 joule. 2. Caliper atau Micrometer 3. Stereoscan macroscape 4. Termometer 5. Furnace 6. Sampel uji impak baja ST 42 dan Cu-Zn (3 buah) 7. Dry ice

III.2. Flow Chart Proses Pengujian

Mengukur (luas area dibawah takik) dengan caliper. Masukan pada lembar data.

Bersiap melakukan pengujian pada posisi samping benda uji

Melakukan pengereman dengan menarik tuas rem sehingga ayunan pendulum dapat dikurangi

Mempersiapkan sampel uji untuk temperatur rendah dan temperatur tinggi, memasukkan masing-masing ke dalam wadah berisi campuran dry ice + alkohol 70% dan furnace

Menarik centre setting ke posisi semula.

Membaca nilai yang ditunjukkan oleh jarum merah pada skala yang sesuai (300 Joule) dan menghitung harga impak material dengan rumus dasar

Menguji satu demi satu sampel, dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :

Meletakkan benda uji pada tempatnya dengan takik membelakanig arah datangnya pendulum.

Mengambil benda uji dan mengamati permukaan patahannya di bawah stereoscan macroscope dan buat sketsa patahannya, nyatakan dalam persenta sterhadap luas area total di bawah takik

Memastikan jarum skala berwarna merah sebagai petunjuk harga impak material berada pada posisi nol.

Memutar handel untuk menaikkan pendulum hingga jarum petunjuk beban hingga berwarna hitam mencapai batas merah.

Mengulangi pengujian sampelsampel lain. tingkat kehati-hatian lebih tinggi diperlukan dalam menangani sampel bertemperatur tinggi

IV. Pengolahan Data III.1 Data III.1.1 Tabel Bahan

a b A T 2 (mm) (mm) (mm ) (0C)

Fe (Suhu

9.4

10

94

105

E HI (Joule (Joule/ ) mm2)

Bentuk Patahan

Deskripsi Patahan

49

Berserat

Patahan

0.52

Panas)

Lebar

Fe (Suhu

9

10

90

20.3

177

9

10

90

-18.9 65

1.97

Berserat

-

0.72

Berserat

Patahan

Ruangan) Fe (Suhu Dingin)

Sempit

Al (Suhu

9

10

90

170

36

0.4

Berserat

Panas)

Patahan Lebar

Al (Suhu

9.05

10

90.5

20.3

56

0.62

Berserat

Ruangan) Al (Suhu

Sempit 9.6

10

96

-0.2

Dingin)

III.1.2 Sketsa perpatahan III.2 Contoh Perhitungan -

Fe (Suhu Ruang) HI

= EI/A = 177 / 94 = 1.97 Joule/mm2

-

Patahan

Alumunium (Suhu Ruang) HI

= EI/A = 56 / 90.5 = 0.62 Joule/mm2

59

0.61

Berserat

-

III.3 Grafik HI vs T IV.3.1 Grafik HI vs T (Fe)

Fe 2,5 2 1,5 Fe

1 0,5 0 -18,9

20,3

105

IV.3.2 Grafik HI vs T (Al)

Al 0,7 0,6 0,5 0,4 Al

0,3 0,2 0,1

0 -0,2

20,3

170

IV.3.3 Grafik HI vs T 2,5

2

1,5 Fe 1

Al

0,5

0 -20 -10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100110120130140150160170

IV. Analisis IV.1 Prinsip Pengujian Dasar pengujian impak ini adalah penyerapan dari pendulum energi potensial beban yang berayun dari suatu ketinggian tertentu dan menumbuk benda uji sehingga benda uji mengalami deformasi maksimum hingga mengakibatkan perpatahan. pada pengujian impak ini banyaknya energi yang diserap oleh bahan untuk terjadinya perpatahan merupakan ukuran ketahanan impak atau ketangguhan bahan tersebut. Suatu material dikatakan tangguh bila memiliki kemempuan menyerap beban kejut yang kasar tanpa mengalami retak atau deformasi dengan mudah. Pada pengujian impak, energi yang diserap oleh benda uji biasanya dinyatakan dalam satuan Joule dan dibaca langsung pada skala (dial) penunjuk yang telah dikalibrasi yang terdapat pada mesin penguji. Harga impak (HI) suatu bahan yang diuji dengan metode charpy diberikan oleh : 𝐸 𝐴 Dimana E adalah energi yang diserap dan A luas penampang dibawah takik. 𝐻𝐼 =

IV.2 Analisis Grafik HI vs T (Sifat Mekanis hub dg T) IV.2.1 Analisis Grafik HI vs T (Fe) Pada grafik menunjukan pada suhu ruangan besi memiliki harga impak yang tinggi tetapi bila suhu diubah menjadi suhu panas atau suhu dingin material uji tersebut mengalami penurunan harga impak. IV.2.2 Analisis Grafik HI vs T (Al) Pada grafik menunjukan Aluminium cenderung stabil pada semua suhu dikarenakan pada suhu ruangan maupun panas atau dingin harga impak cenderung hampir sama. IV.2.3 Analisis Grafik HI vs T Perbandingan Kedua Sampel Dari kedua material sampel yang telah diuji,pada Aluminium suhu tidak berpengaruh sedangkan pada Besi suhu berpengaruh pada harga impak material uji tersebut. IV.3 Analisa Temperatur Transisi Pada pengujian impak nilai HI pada Fe dapat dipengaruhi oleh penerimaan temperatur yang berbeda pada keadaan yang sama dapat disebut sebagai temperatur transisi. IV.4 Analisa Hasil Perpatahan Sampel pada tiap T IV.4.1 Analisa Hasil Perpatahan Sampel Fe Dari semua pengujian terhadap Fe dapat disimpulkan bahwa Fe cenderung brittle dibanding Al. IV.4.2 Analisa Hasil Perpatahan Sampel Al Dari semua pengujian terhadap Al dapat disimpulkan bahwa Al cenderung ductile dibanding Fe. V. Kesimpulan Perbedaan yang signifikan dari percobaan impak terhadap material Besi (Fe)

dan Aluminium (Al) menunjukan bahwa Aluminium bersifat ulet dan sukar parah dan stabil disemua suhu, sedangkan material besi bersifat tangguh karena penyerapan energy lebih tinggi dibanding Aluminium namun material besi bersifat brittle.

Fe dan Al pada suhu tinggi.

Fe dan Al pada suhu ruangan.

Fe dan Al pada Suhu dingin.

Daftar Pustaka

______Lawrence H. Van Vlack. 1989. Ilmu dan Teknologi Bahan. Terj.Sriati Djeprie. Erlangga ______George E. Dieter. Metalurgi Mekanik. Terj. Sriati Djeprie ______ http://www.wikipedia.org _______Tata surdia. Pengetahuan bahan teknik. Pradnya-\ Paramita.Jakarta.1999 _______Introduction of Material Science, Chapter 6 Mechanical Properties of Material, University of Virginia dan Manufacturing Engineering and edision, Serope Kalpakjian. _______Metalurgi mekanik. George E.Dieter

Technology Third

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF