Laporan 3 - Penggilingan Rempah
June 2, 2018 | Author: syifa | Category: N/A
Short Description
....
Description
Syifa Noorazizah Husein 240210140109 IV.
HASIL PENGAMATAN PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Praktikum kali ini yaitu mengenai penggilingan dan penepungan rempah. Penggilingan dan penepungan merupakan salah satu pengolahan rempah dengan cara pengecilan ukuran. Menurut Tangirala et al . (2014), grinding (2014), grinding dan dan pengecilan ukuran rempah-rempah telah dilakukan terutama untuk alasan-alasan berikut: (a) untuk mengurangi biaya transportasi dengan meminimalkan volume rempahrempah yang akan diangkut; (b) untuk memiliki bioavailabilitas mudah terhadap isi obat dan gizi melalui bubuk rempah-rempah; (c) untuk menambahkan bubuk dengan mudah ke berbagai makanan dan formulasi obat; serta (d) untuk meningkatkan pengepakan dan penyimpanan rempah-rempah bubuk dengan mudah. Sampel yang digunakan kali ini sudah berbentuk rempah kering, rempah kering yang digunakan adalah daun kemangi, daun salam, ketumbar, bawang puth, cabai merah, kunyit, lada hitam, lada putih, jahe, pala. Rempah bubuk yang dihasilkan juga dilihat waktu kelarutannya dalam air, serta khusus sampel daun kemangi dan daun salam kering dilakukan pengamatan terhadap karakteristik penyeduhan.
4.1
Penggilingan Rempah
Praktikum dilakukan dengan menimbang sampel terlebih dahulu, kemudian sampel dikecilkan ukurannya menggunakan grinder hingga halus lalu diayak menggunakan ayakan 80 mesh untuk mendapatkan butiran yang lebih halus. Meghwal & Goswami (2010) menyatakan bahwa dengan menggiling, ukuran partikel berkurang dan luas permukaan meningkat, dan ketika meningkatkan luas permukaan partikel maka ketersediaan konstituen seperti minyak, aroma dan komponen rasa dalam bahan dapat meningkat. Khusus untuk daun salam dan daun kemangi kering bukan melalui proses penggilingan halus, melainkan melalui proses crushing . Perbedaannya yaitu pada proses crushing , rempah dikecilkan ukurannya namun tidak sampai menjadi bubuk halus dan tidak perlu diayak. Sampel yang sudah dikecilkan ukurannya kemudian ditimbang lagi, lalu dikemas, dan diamati karakteristik warna, aroma dan teksturnya. Hasil
Syifa Noorazizah Husein 240210140109 pengamatan terhadap karakteristik bubuk rempah hasil penggilingan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Pengamatan Penggilingan Rempah Kel
1
W1
Rende men
11
2,62
23,81%
Halus
8
0,9
11,25%
Pedas ++, Manis ++
Halus
9
1,98
22%
Kuning +++ Coklat Kemeraha n
Pedas ++, Manis +
Halus
10
1,76
17,60%
Pedas Halus Menyengat
35
12,2
34,86%
Kunyit Tanpa Perlakuan
Orange Kecoklatan
Khas Kunyit +
Halus
8
4
50%
Kunyit Blansing Kukus
Orange Kecoklatan ++
Khas Kunyit +
Halus
17
11
64,7%
Kunyit Rebus Lunak
Orange Kecoklatan +++
Khas Kunyit +
Halus
11
6
54,5%
Cabe Kering
Merah Gelap
Harum, Pedas +
Halus
92
15,9
17,2%
Bawang Putih
Putih Tulang
Allicin
Halus
164
31,3
19,09%
Lada Hitam
Hitam Kehijauan
Pedas Menusuk
Halus
96
15,9
17,2%
Daun Salam Oven
Hijau Tua +++
Khas Daun Salam +
Agak Lembek, Kasar
20
19
95%
Sampel
Warna
Jahe Tanpa Perlakuan
Kuning Kecoklatan
Pedas ++++, Manis ++
Halus
Coklat Muda ++
Pedas +++, Manis ++
Coklat Muda +
Jahe Blansing Rebus Lunak Jahe Blansing Air Mendidih Jahe NaMetabisulfit Pala
2
3
4
Aroma
Tekstur
Wo
Gambar
-
-
Syifa Noorazizah Husein 240210140109
Kel
Sampel
Tekstur
Wo
W1
Rende men
Warna
Aroma
Daun Salam Sangrai
Hijau Kecoklatan
Khas Daun Salam +++
Kasar
20
20
100%
Lada Putih
Putih Kecoklatan
Pedas, Tajam, Halus Menyengat
95
46
48%
Ketumbar
Kuning Kecoklatan
Pedas, Tajam, Citrus
Halus
69
13
18,84%
Daun Kemangi Oven
Hijau Tua
Citrus
Kasar
12
12
100%
Daun Kemangi Sangrai
Hijau Kehitaman
Herbal
Berserat, Lembab
17,06
17,02
100%
Gambar
-
4
5
(Sumber: Dokumentasi pribadi, 2017) 4.1.1
Penggilingan Jahe
Berdasarkan
hasil
pengamatan
pada
Tabel
1,
diperoleh
bahwa
penggilingan jahe kering dengan berbagai perlakuan pendahuluan menghasilkan karakteristik yang berbeda-beda terkecuali teksturnya. Warna jahe bubuk yang dihasilkan yaitu berwarna kuning hingga coklat muda. Warna paling cerah (kuning) dihasilkan pada jahe bubuk dengan perlakuan blansing Na-metabisulfit, kemudian warna lebih gelap dihasilkan pada jahe bubuk tanpa perlakuan, blansing air mendidih, dan paling gelap yaitu jahe bubuk perlakuan perebusan lunak. Warna yang dihasilkan tersebut berasal dari warna jahe kering sebelum digiling. Jahe dengan perlakuan blansing Na-metabisulfit menghasilkan warna paling cerah, karena penambahan larutan metabisulfit sebagai senyawa anti-browning bekerja dengan cara membentuk ikatan disufida dengan enzim PPO sehingga menghambat pengikatan dengan oksigen (Candra dkk., 2013). Jahe bubuk memiliki aroma khas jahe yang pedas dan sedikit manis. Aroma pedas jahe disebabkan oleh senyawa gingerol dan shogaol. Gingerol dan shogaol adalah komponen fenolik jahe yang merupakan komponen pungent pada jahe yang memberikan citarasa dan aroma khas (Shahidi & Naczk, 1995).
-
Syifa Noorazizah Husein 240210140109 Pelepasan aroma yang cukup kuat pada jahe bubuk dapat disebabkan oleh proses penggilingan, seperti menurut Gopalakrishnan et al . (1991) bahwa penggilingan memfasilitasi pelepasan aroma/rasa dan pencampuran seragam yang lebih baik dengan bahan makanan, namun pada saat yang sama penggilingan rempahrempah juga menghasilkan banyak kehilangan aroma karena panas yang dihasilkan (42-95°C) selama penggilingan konvensional. Tekstur jahe setelah digiling yaitu halus seperti bubuk pada umumnya karena jahe hasil penggilingan tersebut diayak dengan ukuran 80 mesh. Rendemen jahe bubuk dengan berbagai perlakuan yang dihasilkan yaitu dalam kisaran 11,25%-23,81%. Berdasarkan hasil penelitian Fathona (2011), rendemen bubuk jahe yang diperoleh berturut-turut mulai dari yang terbesar hingga terkecil adalah jahe merah 18.21%, jahe emprit 17.15%, dan jahe gajah 8.99%, jahe gajah rendemen jahe bubuk yang paling rendah diantara ketiga jenis jahe karena jahe gajah segar memiliki kadar air yang paling tinggi. Oleh karena itu, dari hasil penelitian tersebut, dapat dikatakan bahwa perbedaan rendemen jahe bubuk yang dihasilkan pada praktikum ini disebabkan perbedaan kandungan kadar air jahe kering (sebelum digiling). Jahe kering tanpa perlakuan diduga memiliki kadar air paling rendah dibandingkan jahe dengan pelakuan blansing karena terdapat kemungkinan terserapnya air ke dalam jaringan jahe selama blansing sehingga meningkatkan kadar air.
4.1.2
Penggilingan Pala
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1, pala bubuk memiliki warna coklat kemerahan, beraroma pedas menyengat, dan bertekstur halus. Warna coklat kemerahan pada pala berasal dari warna biji pala dan bagian fuli buah pala kering yang mungkin juga ikut digiling. Menurut Hadad (2001), biji pala berwarna coklat dan tertutup oleh arillus berwarna merah cerah seperti jala berlubang-lubang, selaput merah ini jika telah kering disebut fuli (mace). Rismunandar (1992) menyatakan bahwa fuli yang sudah tua berwarna merah api, apabila dikeringkan akan berwarna merah coklat, dan bila disimpan dalam waktu yang lama akan berubah menjadi kuning tua hingga kuning oranye seperti warna jerami. Bagian biji pala berwarna coklat keabuan dengan ukuran panjang sekitar 3 cm dan lebar 2 cm, biji lalu digiling menjadi rempah-rempah yang disebut nutmeg . Biji pala
Syifa Noorazizah Husein 240210140109 mempunyai karakteristik rasa pahit, pedas, hangat, dan bau yang manis, menyengat namun hangat (Farrell, 1990). Tekstur halus pada bubuk disebabkan pala hasil penggilingan tersebut diayak dengan ukuran 80 mesh sehingga menjadi butiran-butiran yang lebih halus. Aroma pedas menyengat pada bubuk pala disebabkan oleh senyawa volatil dalam minyak atsiri yang terkandung dalam pala, terutama pada bagian bijinya yang digunakan dalam proses penggilingan. Biji pala mempunyai 5 komponen volatil utama yaitu, β-terpeneol (4,.20%), bergamol (13,40%), miristisin (24,90%), citronelil butirat (8,04%), safrol (7,04%) serta 12 komponen minor (Chairul dan Sulianti 2000). Penggilingan biji pala kering menghasilkan pala bubuk dengan rendemen 34,86%.
4.1.3
Penggilingan Kunyit
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1, warna kunyit bubuk yang dihasilkan adalah oranye kecoklatan dengan intensitas kecerahan yang berbeda beda tiap perlakuan. Warna oranya kecoklatan paling cerah dihasilkan pada kunyit bubuk tanpa perlakuan, diikuti dengan kunyit perlakuan blansing kukus dan perlakuan perebusan lunak yang menghasilkan warna oranye kecoklatan paling gelap. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Shinde et al . (2011) yang melaporkan bahwa kehilangan kurkumin dan oleoresin kunyit pada kunyit yang direbus lebih banyak bila dibandingkan dengan kunyit yang di- steam, diketahui bahwa nilai warna disumbangkan oleh kurkumin, demethoxycurcumin dan bisdemethoxycurcumin. Menurut Stankovic (2004), suhu dan lama pemanasan berpengaruh nyata terhadap peningkatan degradasi kurkumin. Kurkumin sendiri merupakan senyawa yang berkontribusi dalam nilai warna atau pigmen pada kunyit. Aroma kunyit yang dihasilkan yaitu khas kunyit namun baunya tidak terlalu tajam. Aroma pada kunyit disebabkan adanya senyawa volatil berupa minyak atsiri pada kunyit. Senyawa utama yang diidentifikasi dalam minyak atsiri kunyit adalah ar-turmeron, turmeron, ar-kurkumin, zingiberin, α-fellandrin, kurlon, 1,8-sineol dan beberapa seskuiterpen lainnya (Govindarajan dan Stahl, 1980). Aroma kunyit yang tidak terlalu tajam diduga dipengaruhi oleh proses
Syifa Noorazizah Husein 240210140109 penggilingan yang dapat menghilangkan senyawa volatil. Gopalakrishnan et al . (1991) menyatakan bahwa penggilingan memfasilitasi pelepasan aroma/rasa dan pencampuran seragam yang lebih baik dengan bahan makanan, namun pada saat yang sama penggilingan rempah-rempah juga menghasilkan banyak kehilangan aroma
karena
panas
yang
dihasilkan
(42-95°C)
selama
penggilingan
konvensional. Tekstur yang dihasilkan adalah halus seperti bubuk pada umumnya, ini disebabkan oleh proses pengayakan 80 mesh yang dilakukan setelah penggilingan. Rendemen kunyit bubuk yang dihasilkan cukup besar yaitu berkisar antara 50%-64,7%. Hal ini berarti proses penggilingan terjadi secara efisien karena tidak banyak rendemen yang mungkin tersisa pada grinder sehingga dapat mengurangi rendemen.
4.1.4
Penggilingan Cabai
Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh bahwa hasil penggilingan cabai kering, yaitu cabai kering bubuk, memiliki warna merah gelap serta beraroma harum dan tidak terlalu pedas. Menurut Purseglove et al . (1981), pigmen yang menyebabkan cabai berwarna merah atau merah menyala bila telah masak adalah pigmen karotenoid yang terdapat dalam cabai merah sebanyak 0.1 – 0.5% dan terdiri dari kapsanthin, kapsorubin, β-karoten, zeaxanthin, kriptoxanthin, violaxanthin, anteraxanthin, kriptocapsin dan lutein. Warna merah pada cabai bubuk menjadi gelap karena bahan bakunya yaitu cabai merah kering juga berwarna gelap akibat proses pengeringan. Faktor yang dapat membuat penggelapan terhadap warna cabai merah bubuk yaitu kondisi penyimpanan, pada kondisi bahan yang dibiarkan terbuka pada suhu ruang, maka yang terjadi adalah bubuk cabai merah mengalami oksidasi. Menurut Erawati (2006), pengaruh oksidasi lebih dominan jika dibandingkan dengan pengaruh suhu pada penurunan pigmen karotenoid. Aroma cabai yang dihasilkan yaitu harum dan aroma pedasnya tidak tajam. Aroma dan flavor pedas khas cabai dihasilkan oleh senyawa capsaicin dalam cabai. Kobata et al . (1999) menyatakan bahwa rasa pedas yang unik dari cabai adalah karena capsaicinoid , keluarga senyawa yang terdiri dari asam amida vanillylamine dan sebuah asam lemak rantai cabang C8-C13. Berkurangnya
Syifa Noorazizah Husein 240210140109 intensitas aroma pada cabai dapat disebabkan oleh panas yang diberikan saat pengeringan cabai maupun panas yang timbul saat penggilingan. Penelitian oleh Schweiggert et al . (2006) yang memanaskan seluruh bagian atau potongan cabai segar pada 80°C sampai 100°C selama 5 sampai 10 menit dan mengamati penuruan capsaicin sebesar 20,4%-30,2% dan penurunan sebesar 25,6%-34,6% dalam kendungan dihydrocapsaicin. Tekstur cabai merah bubuk yaitu halus akibat proses pengayakan 80 mesh, serta rendemen yang diperoleh sebesar 17,2%.
4.1.5
Penggilingan Bawang Putih
Karakteristik bawang putih bubuk yang diperoleh yaitu berwarna putih tulang, beraroma khas bawang putih ( Allicin), dan bertekstur halus. Warna putih tersebut berasal dari warna umbi bawang putih yang umumnya putih kekuningan. Warna umbi bawang putih dapat dipengaruhi oleh senyawa-senyawa kimia yang terkandung di dalam bawang putih. Penelitian oleh Gadel-Hak et al . (2011) yang mempelajari enam genotipe bawang putih dengan warna kulit yang berbeda (tiga dengan warna putih dan tiga dengan warna ungu), menemukan perbedaan yang signifikan dalam hal vitamin C dan jumlah kandungan minyak terfraksinasi (lebih tinggi dalam warna genotipe ungu) dan juga dalam total senyawa fenolik dan kandungan total flavonoid (lebih tinggi di genotipe warna putih). Aroma khas bawang putih yang tercium merupakan senyawa Allicin yang timbul jika bawang putih dipotong atau dihancurkan. Menurut Blania & Spangenberg (1991) bahwa salah satu senyawa yang paling aktif secara biologis, allicin, tidak ada dalam bawang putih sampai bawang putih tersebut hancur atau dipotong. Luka pada umbi bawang putih akan mengaktifkan enzim allinase yang memetabolisme
asam
amino
alliin menjadi
allicin. Allicin selanjutnya
dimetabolisme menjadi vinyldithiines. Tekstur bawang putih bubuk yang dihasilkan yaitu halus yang disebabkan proses pengayakan 80 mesh. Rendemen bawang putih bubuk yang diperoleh sebesar 19,09%.
4.1.6
Penggilingan Lada Hitam dan Lada Putih
Warna lada bubuk yang diperoleh yaitu hitam kehijauan pada lada hitam dan putih kecoklatan pada lada putih. Keduanya memiliki aroma yang pedas yang
Syifa Noorazizah Husein 240210140109 tajam dan menusuk. Warna yang berbeda pada lada hitam dan lada putih disebabkan oleh proses pengolahan dan umur panen lada yang berbeda. Menurut Syakir (1996), lada hitam dipanen sekitar 7 – 8 bulan setelah pembungaan, cirinya adalah apabila butir-butir buah mencapai ukuran normal, cukup keras sehingga sukar dihancurkan dengan tangan dan berwarna hijau tua. Lada putih dipanen sekitar 8 – 9 bulan setelah pembungaan, saat butir-butir lada berwarna hijau kekuningan hingga kemerahan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 55 Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa lada hitam yaitu lada yang dikeringkan bersama kulitnya (tanpa pengupasan), sedangkan lada putih yaitu lada yang dikeringkan setelah melalui proses perendaman dan pengupasan. Aroma lada hitam dan lada putih bubuk yang dihasilkan yaitu pedas yang tajam dan menusuk. Kepedasan lada, yang ditandai dengan kualitas yang tajam dan menyengat, ini disebabkan oleh piperine senyawa alkaloid, ditemukan baik dalam buah luar dan dalam biji lada. Lapisan buah terluar pada lada juga mengandung senyawa terpen penting yang menghasilkan bau termasuk pinen, sabinen, limonen, kariofilen, dan linalool , yang memberikan aroma seperti citrusy, woody, dan floral (Govindarajan, 1977 dikutip oleh Srinivasan, 2009). Tekstur lada hitam dan lada putih bubuk yaitu halus yang disebabkan proses pengayakan 80 mesh. Rendemen lada hitam dan lada putih yang diperoleh yaitu sebesar 17,2% dan 48%. Menurut Purseglove et al . (1981), rendemen lada dipengaruhi antara lain oleh kondisi buah lada (kerapatan buah lada dalam tangkai), serangan hama penyakit, umur panen, dan cara pengolahan. Pengolahan lada yang kurang tepat, seperti proses perontokan dan pengupasan yang kurang sempurna dapat menghasilkan rendemen yang rendah.
4.1.7
Penggilingan Daun Salam
Warna daun salam yang telah digiling yaitu berwarna hijau tua (daun salam oven) dan hijau kecoklatan (daun salam sangrai), serta beraroma khas daun salam. Perubahan warna pada daun salam disebabkan oleh degradasi klorofil akibat proses pengeringan yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu dengan cara sangrai dan oven. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Tirtaj aya dkk. (2004) bahwa daun yang berwarna hijau disebabkan oleh adanya pigmen klorofil. Pigmen
Syifa Noorazizah Husein 240210140109 klorofil bersifat peka terhadap panas dan tidak stabil. Klorofil dalam tanaman terdapat dalam bentuk ikatan kompleks dengan molekul protein dan lemak, bila daun dipanaskan, maka protein akan terdenaturasi dan klorofil dilepaskan. Pemanasan juga dapat merusak ikatan antara senyawa nitrogen dan magnesium yang terdapat pada klorofil, ketika magnesium dibebaskan maka tempatnya akan digantikan oleh dua molekul hidrogen sehingga terbentuk formasi baru yaitu feofitin yang berwarna kecoklatan. Aroma khas daun salam disebabkan oleh kandungan senyawa volatil dari minyak atisir dalam daun salam itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian Pujiastuti dkk. (1996), sebagian besar komponen minyak daun salam terdiri dari komponen terpenoid. Tekstur yang dihasilkan dari penggilingan daun salam baik oven maupun sangrai adalah kasar, karena pada proses penggilingan daun salam sengaja tidak dibiarkan hingga halus dan tidak melalui proses pengayakan. Rendemen daun salam yang diperoleh yaitu sebesar 95% untuk daun salam oven dan 100% untuk daun salam sangrai.
4.1.8
Penggilingan Ketumbar
Ketumbar bubuk memiliki krakateristik warna yaitu kuning kecoklatan, serta aroma pedas tajam dan berbau seperti sitrus. Warna kuning kecoklatan pada ketumbar bubuk berasal dari warna asli bahan bakunya, yaitu ketumbar segar. Menurut Astawan (2009) dikutip oleh Mulyawan (2014), biji ketumbar berbentuk bulat dan berwarna kuning kecokelatan. Aroma yang timbul dari biji ketumbar kering yaitu aroma pedas dan seperti sitrus. Berdasarkan penelitian oleh Ravi et al . (2006), diperoleh bahwa linalool (57,52-75,14%) merupakan senyawa utama dalam minyak esensial ketumbar yang umumnya berkontribusi terhadap aroma floral , grassy, citrussy dan aroma yang menyenangkan. Selain linalool , beberapa senyawa lain seperti hidrokarbon terpen, aldehid lemak tak jenuh mono dan poli juga berkontribusi terhadap aroma khas ketumbar, selain itu tingkat cuminal merupakan senyawa yang mempengaruhi bau terkait dengan kesan pedas ditemukan untuk hadir dalam ketumbar dengan jumlah yang rendah (0,13-0,54%). Aroma pedas ketumbar cukup tajam walaupun kandungan senyawa kuminal yang menyebabkan pedas hanya sedikit, hal ini mungkin disebabkan proses
Syifa Noorazizah Husein 240210140109 penggilingan, seperti menurut Gopalakrishnan et al . (1991) bahwa penggilingan memfasilitasi pelepasan aroma/rasa dan pencampuran seragam yang lebih baik dengan bahan makanan. Tekstur ketumbar bubuk yang dihasilkan yaitu halus yang disebabkan proses pengayakan 80 mesh. Rendemen ketumbar bubuk yang diperoleh sebesar 18,84%.
4.1.9
Penggilingan Daun Kemangi
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1, warna daun kemangi hasil penggilingan yaitu hijau tua (oven) dan hijau kehitaman (sangrai). Warna pada daun kemangi yang disangrai lebih gelap dibandingkan daun kemangi pengeringan oven, hal ini diduga akibat pada proses penyangraian, daun kemangi kontak langsung dengan wajan yang panas sehingga kerusakannya lebih besar. Warna hijau disebabkan adanya pigmen klorofil yang terkandung pada daun kemangi, sedangkan warna kecoklatan pada daun kemangi kering disebabkan ol eh kerusakan klorofil akibat pengeringan. Pemanasan juga dapat merusak ikatan antara senyawa nitrogen dan magnesium yang terdapat pada klorofil, ketika magnesium dibebaskan maka tempatnya akan digantikan oleh dua molekul hidrogen sehingga terbentuk formasi baru yaitu feofitin yang berwarna kecoklatan (Tirtajaya dkk., 2004). Aroma daun kemangi giling ini yaitu seperti sitrus dan herbal. Senyawa flavor penting yang terkandung dalam kemangi ( sweet basil ) antara lain yaitu methylchavicol , linalool , methyl eugenol (Peter, 2001). Tekstur yang dihasilkan yaitu kasar, bahkan sedikit lembab dan berserat pada daun kemangi sangrai. Tekstur yang agak lembab pada kemangi sangrai mungkin disebabkan kadar airnya yang masih lebih tinggi dibandingkan dengan kemangi oven. Rendemen yang diperoleh yaitu sebesar 100% yang berarti proses penggilingan berjalan dengan baik, tidak ada daun kemangi yang terbuang atau tertinggal pada grinder .
4.2
Waktu Larut Rempah Kering Bubuk
Pengamatan terhadap waktu larut rempah bubuk bertujuan untuk melihat seberapa lama rempah tersebut dapat larut dalam air sehingga dapat diperkirakan sifat kelarutannya jika saat digunakan pada pangan. Pengamatan waktu larut
Syifa Noorazizah Husein 240210140109 dilakukan dengan cara, yaitu rempah bubuk ditimbang sebanyak 1 gram, kemudian dilarutkan di dalam tabung reaksi berisi 5 ml air, waktu larut rempah bubuk dihitung dan dicatat, kemudian diamati karakteristik warna dan aroma dari larutan rempah bubuk tersebut. Hasil pengamatan waktu larut rempah bubuk dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Hasil Pengamatan Waktu Larut Rempah Bubuk Sampel Waktu Warna Larutan Kel Larut (s) Jahe Tanpa 4 Kuning ++ Perlakuan Jahe Blansing 3 Kuning + Rebus Lunak Jahe Blansing Air 8 Kuning + 1 Mendidih Jahe Na6 Kuning ++++ Metabisulfit
Pala
2
3 4
Kunyit Tanpa Perlakuan Kunyit Blansing Kukus Kunyit Rebus Lunak
16
Coklat ++
2,2
Oranye Kecoklatan +
1,2 3
Oranye Kecoklatan ++ Oranye Kecoklatan +++
Cabe Kering
1,9
Merah Gelap
Bawang Putih
4
Putih
Lada Hitam
8
Abu Kecoklatan
Lada Putih
8,45
5 Ketumbar 15 (Sumber: Dokumentasi pribadi, 2017)
Putih Agak Kecoklatan Cokelat Muda
Aroma Larutan
Pedas ++ Pedas + Pedas + Pedas ++++ Pedas Menyengat ++ Khas Kunyit + Khas Kunyit +++ Khas Kunyit ++ Harum Pedas Allicin Pedas, Tajam Pedas, Tajam Citrus
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 2, diperoleh bahwa setiap rempah bubuk memiliki waktu larut yang berbeda-beda. Waktu kelarutan dalam air yang paling cepat dialami pada sampel kunyit bubuk (blansing kukus), sedangkan waktu larut paling lama dialami pada sampel pala bubuk. Kebanyakan pangan bubuk dimaksudkan untuk rehidrasi, oleh karena itu bubuk yang ideal akan basah secara cepat dan menyeluruh, serta cenderung tenggelam daripada
Syifa Noorazizah Husein 240210140109 mengapung dan terdispersi/terlarut tanpa adanya gumpalan (Hogekamp & Schubert, 2003). Kemampuan rempah bubuk larut dalam air dapat digunakan istilah sifat rehidrasi. Sifat rehidrasi dapat dipengaruhi oleh perlakuan pendahuluan yang diberikan terhadap rempah tersebut. Doymaz (2008) menjelaskan bahwa kapasitas rehidrasi sampel dengan perlakuan pendahuluan ditemukan lebih besar dari sampel yang tidak diberi perlakuan pendahuluan untuk suhu masing-masing. Hal ini memastikan bahwa perlakuan pendahuluan menghasilkan struktur lebih kompak setelah proses pengeringan. Kecepatan waktu larut rermpah bubuk juga diduga dipengaruhi oleh kadar air. Semakin tinggi kadar air, maka kemungkinan waktu larut akan semakin lama karena bubuk rempah dengan kadar air rendah akan lebih banyak memiliki ruang dalam granulanya untuk dapat dimasuki oleh air.
4.3
Penyeduhan dengan Air Panas
Penyeduhan dengan air panas dilakukan pada sampel daun kemangi dan daun salam yang telah digiling. Berbeda halnya dengan sampel rempah bubuk, daun kemangi dan daun salam tidak diamati waktu larutnya karena tidak dalam bentuk bubuk. Pengamatan penyeduhan daun kemangi dan daun salam dengan air panas memiliki tujuan untuk melihat karakteristik kedua sampel tersebut saat diseduh sehingga akan diperoleh gambaran bagaimana penerapannya jika ditambahkan pada pangan terutama selama proses pemasakan. Pengamatan dilakukan dengan cara yaitu daun salam dan kemangi ditimbang terlebih dahulu sebanyak 2 gram, lalu sampel diseduh dengan air mendidih selama 5 menit, kemudian dilakukan pengamatan terhadap karakteristik warna larutan, aroma, warna ampas dan tekstur ampas. Hasil pengamatan disaji kan dalam Tabel 3. Tabel 3. Hasil Pengamatan Penyeduhan dengan Air Panas Warna Aroma Warna Tekstur Kel Sampel Larutan Larutan Ampas Ampas Layu, Daun Aroma Hijau Muda Seperti Salam Daun Hijau +, Keruh Daun 4 Oven Kering Segar
Daun
Hijau
Khas
Hijau
Layu +,
Gambar
Syifa Noorazizah Husein 240210140109
Kel
Salam Sangrai
Warna Larutan Kekuningan, Keruh
Aroma Larutan Daun Salam
Warna Ampas Kekuningan
Tekstur Ampas Seperti Daun Segar +
Daun Kemangi Oven
Hijau Kecoklatan +
Citrus
Hijau Tua
Halus
Daun Kemangi Sangrai
Hijau Kecoklatan +++
Teh, Agak Gosong
Hijau
Halus, Berserat
Sampel
Gambar
5
(Sumber: Dokumentasi pribadi, 2017)
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 3, karakteristik daun salam yang diseduh yaitu memiliki warna hijau muda hingga kekuningan dan keruh, beraroma khas daun salam kering, warna ampas hijau hingga hijau kekuningan, dan tekstur ampas yang layu. Berbeda halnya dengan daun kemangi yang diseduh memili warna hijau kecoklatan, beraroma seperti citrus dan teh, warna ampas yaitu hijau, dan tekstur ampas halus berserat. Warna yang timbul pada penyeduhan kedua sampel diduga akibat terlarutnya senyawa-senyawa dalam daun salam dan daun kemangi. Menurut Harborne dikutip oleh Murhadi dan Susilawati (2007) warna kuning kecoklatan sampai coklat tua pada ekstrak karena terekstraksinya senyawa pewarna polar alami (kuning kecoklatan) terutama dari polimer fenol atau polifenol seperti tanin, melanin, lignin dan kuinon yang pada tanaman diketahui memiliki warna mulai dari kuning sampai coklat tua. Aroma yang ditimbulkan berasal dari senyawa aroma volatil khas masing-masing sampel yang disebabkan adanya kandungan minyak atsiri. Warna ampas pun sama seperti warna daun salam dan kemangi kering, namun lebih gelap karena dalam keadaan basah akibat penyeduhan. Tekstur ampas yang dihasilkan antara seduhan daun salam dan daun kemangi berbeda, bergantung pada karakteristik masing-masing sampel, karena tekstur daun kemangi memang cenderung lebih halus.
Syifa Noorazizah Husein 240210140109 V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil praktikum kali ini yaitu :
Warna jahe bubuk yang dihasilkan yaitu berwarna kuning hingga coklat muda, berroma khas jahe yang pedas dan sedikit manis, tekstur halus, rendemen jahe bubuk dengan berbagai perlakuan yang dihasilkan yaitu dalam kisaran 11,25%-23,81%.
Pala bubuk memiliki warna coklat kemerahan, beraroma pedas menyengat, dan bertekstur halus. Penggilingan biji pala kering menghasilkan pala bubuk dengan rendemen 34,86%.
Warna kunyit bubuk tiap perlakuan adalah oranye kecoklatan dengan intensitas kecerahan yang berbeda-beda, beraroma khas kunyit. Rendemen kunyit bubuk yang dihasilkan berkisar antara 50%-64,7%.
Cabai kering bubuk, memiliki warna merah gelap serta beraroma harum dan tidak terlalu pedas, bertekstur halus. Rendemen yang diperoleh sebesar 17,2%.
Bawang putih bubuk berwarna putih tulang, beraroma khas bawang putih ( Allicin), dan bertekstur halus. Rendemen bawang putih bubuk yang diperoleh sebesar 19,09%.
Warna lada bubuk yang diperoleh yaitu hitam kehijauan pada lada hitam dan putih kecoklatan pada lada putih. Keduanya memiliki aroma yang pedas yang tajam, bertekstur halus. Rendemen lada hitam dan lada putih yang diperoleh yaitu sebesar 17,2% dan 48%.
Warna daun salam yang telah digiling yaitu berwarna hijau tua – hijau kecoklatan, beraroma khas daun salam, tekstur kasar. Rendemen diperoleh yaitu sebesar 95% (oven) dan 100% (sangrai).
Ketumbar bubuk memiliki krakateristik warna yaitu kuning kecoklatan, serta aroma pedas tajam dan berbau seperti sitrus, bertekstur halus. Rendemen ketumbar bubuk yang diperoleh sebesar 18,84%.
Warna daun kemangi giling yaitu hijau tua - hijau kehitaman, beraroma sitrus dan herbal, tekstur kasar. Rendemen yang diperoleh yaitu 100%.
Syifa Noorazizah Husein 240210140109
Setiap rempah bubuk memiliki waktu larut yang berbeda-beda. Waktu kelarutan dalam air yang paling cepat dialami pada sampel kunyit bubuk (blansing kukus), sedangkan waktu larut paling lama dialami pada sampel pala bubuk.
Hasil penyeduhan daun salam dan daun kering memiliki karakteristik yang berbeda tergantung pada karakteristik masing-masing sampel sebelum diseduh.
5.2
Saran
Saran yang dapat diberikan untuk praktikum ini yaitu dalam penanganan rempah harus dilakukan dengan baik dan benar dengan memperhatikan faktorfaktor yang akan mempengaruhi hasil pengamatan agar tidak bias.
Syifa Noorazizah Husein 240210140109 DAFTAR PUSTAKA
Blania, G. and B. Spangenberg. 1991. Formation of Allicin from Dried Garlic ( Allium sativum): A Simple HPTLC Method for Simultaneous Determination of Allicin and Ajoene in Dried Garlic and Garlic Preparations. Planta Med, Vol. 57: 371 – 375. Candra, A., H. M. Inggrid, dan Verawati. 2013. Pengaruh pH dan jenis pelarut pada perolehan dan karakterisasi pati dari biji alpukat. LPPM UNPAR, Bandung. Chairul dan Sri Budi Sulianti. 2000. Minyak Atsiri Pala Wegio ( Myristica fatua L) dan Pala ( Myristica fragrans L) dengan GC-MS. Proseding dalam Seminar Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional, 5 November 2000, Bogor. Doymaz, I. 2008. Convective Drying Kinetics of Strawberry. Chemical Engineering and Processing, Vol. 47(5): 914 – 919. Erawati, C. M. 2006. Kendali Stabilitas Beta Karoten selama Proses Produksi Tepung Ubi Jalar ( Ipomea batatas L.) [Thesis]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Farrel, K T. 1985. Spices, Condiments and Seasonings. AVI Publ. Co, Westport, Connecticut. Fathona, D. 2011. Kandungan Gingerol dan Shogaol, Intensitas Kepedasan dan Penerimaan Panelis terhadap Oleoresin Jahe Gajah ( Zingiber officinale Var. Roscoe), Jahe Emprit ( Zingiber officinale Var. Amarum), dan Jahe Merah ( Zingiber officinale Var. Rubrum). [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gadel-Hak, S.-N.H., Y. M. M. Moustafa, G. F. Abdel-Naem, and I. A. AbdelWahab. 2011. Studying Different Quantitative and Qualitative Traits of Some White- and Colored-Bulb Garlic Genotypes Grown Under A Drip Irrigation System. Australian Journal of Basic and Applied Sciences, Vol.5: 1415-1427. Gopalakrishnan, M., R. Luxmi Varma, K. P. Padmakumari, B. Simon, H. Umma and C. S. Narayanan. 1991. Studies on Cryogenic Grinding of Cardamom. Indian Perfumer Vol. 35(1): 1 – 7. Govindarajan, V. S. and W.H. Stahl. 1980. Turmeric- Chemistry, Technology and Quality. CRC critical reviews in food science and nutrition. Vol. 12(3): 199-295. Hadad, H.M. 2001. Perbaikan Budidaya dan Mutu Hasil Tanaman Pala ( Myristica fragrans Houtt). Balai Penelitian Rempah dan Obat, Bogor. Hogekamp, S. and H. Schubert. 2003. Rehydration of Food Powders. Food Sci Tech Int Vol.9(1): 223 – 35.
Syifa Noorazizah Husein 240210140109 Kobata, K., K. Sutoh, T. Todo, S. Yazawa, K. Iwai, and T. Watanabe. 1999. Nordihydrocapsiate, A New Capsinoid from The Fruits of A Non-Pungent Pepper, Capsicum annuum. J. Natural Prod. Vol. 62(2): 335 ‐336. Meghwal, M. and T. K. Goswami. 2010. Cryogenic Grinding of Spices is A Novel Approach whereas Conventional Grinding Needs Improvement. Continental J. Food Sci. Technol. Vol. 4(1): 24-37. Menteri Pertanian RI. 2012. Peraturan Menteri Pretanian No. 55 Tahun 2012 : Pedoman Penanganan Pascapanen Lada. Available online at: http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/ (Diakses 8 April 2017). Mulyawan, H. 2014. Pengaruh Biji Ketumbar ( Coriandrum sativum L) Sangrai dalam Ransum terhadap Organ Dalam Ayam Broiler. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Murhadi, A. S. dan Susilawati. 2007. Aktivitas Antibakteri Daun Salam (Syzygium polyanta) dan Daun Pandan ( Pandanus amarylifolius). Jurnal Teknologi dan Pangan, Vol. 17(1): 32-39. Peter, K.V. 2001. Handbook of Herbs and Spices. Woodhead Publishing Limited, Cambridge. Pujiastuti, L. W. dan A. Chozin. 1996. Analisis GC-FID Minyak Atsiri dan Ekstrak Etanol Simplisia Daun Salam. Kumpulan Abstrak Makalah Seminar Pokjanas Tumbuhan Obat Indonesia XI. Purseglove, J. W., E. G. Brown, C. L. Green and S. R. J. Robbins. 1981. Spices. Longman, London. Ravi, R., M. Prakash, and K. K. Bath. 2006. Aroma Characterization of Coriander (Coriandrum sativum L.) Oil Samples. European Food Research and Technology Vol. 225(3): 367-374. Rismunandar. 1992. Budidaya dan Tata Niaga Pala. Penebar Swadaya, Jakarta. Schweiggert, U., A. Schieber, and R. Carle. 2006. Effects of Blanching and Storage on Capsaicinoid Stability and Peroxidase Activity of Hot Chili Peppers (Capsicum frutescens L.). Innovative Food Sci. and Emerging Tech. Vol. 7(3): 217 ‐224. Shahidi, F dan M. Naczk. 1995. Food Phenolics: Sources, Chemistry, Effects, Application. Technomic Publishing Co., Inc., Lancester. Shinde, U. G., J. Kailas, Kamble, G. Mahesh, Harkari and G. R. More. 2011. Process Optimization in Turmeric Heat Treatment by Design and Fabrication of Blancher.International Conference on Environmental and Agriculture Engineering IPCBEE vol.15, IACSIT Press, Singapore. Srinivasan, K. 2009. Black Pepper ( Piper nigrum) and Its Bioactive Compound, Piperine. In: B. B. Aggarwal and A. B. Kunnumakkara (Eds.), Molecular
Syifa Noorazizah Husein 240210140109 Targets and Therapeutic Uses of Spices: Modern Uses for Ancient Medicine. World Scientific Publishing, Singapore. Stankovic, I. 2004. Curcumin. Chemical and Technical Assessment (CTA), 61st. JECFA. Syakir, M. 1996. Budidaya Lada Perdu. Monograf Tanaman Lada. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Cimanggu, Bogor. Tangirala1, A. D. S., K. Charithkumar and T.K. Goswami. 2014. Modeling of Size Reduction, Particle Size Analysis and Flow Characterisation of Spice Powders Ground in Hammer and Pin Mills. International Journal of Research in Engineering and Technology Vol. 3(12): 269-309. Tirtajaya, I., D. Sofia, L. Ratnawati dan H. F. Lien. Pengaruh Suhu Pengeringan terhadap Komponen Sineol dalam Daun Kayu Putih. Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 2(2): 59-65.
View more...
Comments