Laporan 2 Anjing Fix

June 24, 2019 | Author: Reski Tenri Esa | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

laporan kkkkkkkkkk...

Description

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sebagian besar dokter hewan setuju bahwa 2-3 minggu pertama kehidupan dianggap sebagai periode neonatal  dimana   dimana sama seperti pada manusia, perubahan paling cepat terjadi. Periode neonatal  pada   pada anak anjing dicirikan oleh ketergantungan penuh pada induk karena fungsi neurologis yang tidak lengkap seperti kemampuan pendengaran dan penglihatan serta refleks  spinal  yang   yang tepat. Penting untuk mempertimbangkan pemeriksaan yang cermat pada neonatus di

awal kehidupan untuk membantu deteksi cepat kelainan sebelum perkembangan

 penyakit yang menyebabkan tanda-tanda klinis mengaburkan mengaburkan penyebab asli ( England dan Angelika, 2010). Angka kematian neonatal  tinggi,  tinggi, dengan 5% kematian terjadi selama  partus dan tambahan 10 – 15% 15% pada usia 4 minggu. Ketika anak anjing sakit, maka sangat penting untuk memahami perilaku normal, fisiologi, dan temuan pemeriksaan fisik sehingga kelainan dapat dicatat lebih lebih awal dalam perjalanan diagnosis dan kemungkinan kemungkinan pengobatan pengobatan (Lopate, (Lopate, 2012). Laporan kali ini akan dibahas mengenai penyakit-penyakit yang dapat menjangkit anjing pada masa neonatus antara lain  Distemper, Parvovirus, Parainfluenza, maupun  penyakit-penyakit  penyakit-penyakit lainnya yang dapat menjangkit anak anjing. Pada masa neonatus  tidak mampu untuk menangani berbagai proses patologis sehingga perlu melakukan perawatan dan  penanganan  penanganan lebih dini. Sehingga dalam laporan ini membahas beberapa penyakit neonatus mengenai etiologi, patogenesa, tanda klinis, faktor predisposisi, diagnosa, diagnosa banding,  prognosa, dan dan pengobatan. 1.2 Tujuan Praktikum

a. Mahasiswa dapat mengetahui, menjelasakan dan menganalisa penyakit neonatal Canine distemper  baik

dari etiologi, patogenesa, gejala klinis, faktor predisposisi,

 prognosa, diagnosa, diagnosa banding sampai pada tahap penanganan dan  pengobatannya.  pengobatannya.  b. Mahasiswa dapat mengetahui, menjelasakan dan menganalisa penyakit neonatal Canine parvovirus  baik

dari etiologi, patogenesa, gejala klinis, faktor predisposisi,

 prognosa, diagnosa, diagnosa banding sampai pada tahap penanganan dan  pengobatannya.  pengobatannya. c. Mahasiswa dapat mengetahui, menjelasakan dan menganalisa penyakit neonatal Canine parainfluenza  baik dari

etiologi, patogenesa, gejala klinis, faktor predisposisi,

 prognosa, diagnosa, diagnosa banding sampai pada tahap penanganan penanganan dan  pengobatannya,  pengobatannya,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Canine parvovir us 2.1.1 Etiologi

Penyakit muntaber pada anjing disebabkan oleh virus Canine parvovirus (CPV). Virus ini termasuk dalam family  Parvoviridae. Diameter virus CPV berkisar 20 nm, termasuk virus single stranded DNA, dan virionnya berbentuk partikel ikosahedral serta tidak beramplop serta perkembangbiakan virus ini sangat tergantung pada sel inang yang sedang aktif membelah. Gradien CsCl CPV mempunyai kepadatan gradien 1,43 g/ml. CPV terdiri dari 3  protein virus yaitu VP1, VP2, dan VP3 dengan berat molekul 82.500 sampai 63.500 (Sendow, 2003). Virus ini diisolasi dan diidentifikasi pertama kali pada tahun 1978 (Sardjana dan Kusumawati, 2004). 2.1.2 Patogenesa

Penularan penyakit ini terjadi secara langsung melalui kontak langsung dengan anjing yang sakit, sedangkan penularan tidak langsung dapat melalui kotoran yang terkontaminasi. Anjing yang terinfeksi Canine parvovirus dapat mengeluarkan lebih dari 1 juta partikel virus melalui feses, selama periode akut dan 8 – 10 hari sesudah itu (Sardjana dan Kusumawati, 2004). Kasus CPV lebih banyak terjadi pada hewan muda. Hal ini disebabkan karena sel yang sedang membelah umumnya terdapat pada hewan yang muda. Derajat keparahan manifestasi klinis infeksi CPV sangat tergantung pada umur anjing yang terinfeksi. Demikian pula dengan tipe CPV yang ditimbulkan yaitu makin muda umur anjing yang terinfeksi makin parah klinis yang dihasilkan. Anjing berumur 3 – 4 minggu, sel miosit pada jantung sedang aktif  berkembang sehingga apabila pada umur tersebut anak anjing tersebut terinfeksi virus CPV, umumnya menyerang jantung yang berakibat kematian mendadak anjing tersebut yang disebabkan oleh miokarditis, sehingga tipe yang ditimbulkan umumnya tipe miokarditis. Sedangkan apabila infeksi CPV terjadi pada umur yang lebih tua derajat pembelahan sel miosit mulai menurun tetapi derajat pembelahan sel mitotik pada kripta usus meningkat, terutama pada umur lebih dari 6 minggu, sehingga akibat infeksi ini diare dan muntah lebih  banyak terlihat dibanding gangguan jantung dan tipe ini sering disebut tipe enteritis (Sendow, 2003). Viraemia terjadi 3 – 4

hari setelah infeksi dan bertahan selama 2 hingga 5 hari. Pada

saat viraemia, virus berkembang biak dengan cepat di jaringan yang sedang aktif membelah seperti sumsum tulang belakang, jaringan limfatik seperti limfoid di oropharyngs dan

 Limfoglandula mesentericus

dan epitel kripta usus. Antibodi mulai terbentuk sejalan dengan

 penurunan viraemia (Sendow, 2003). 2.1.3 Gejala Klinis

Gejala klinis pada penderita menunjukkan kondisi umum yang lemah, anoreksia, turgor kulit yang jelek diikuti vomit dan diare demam yang bervariasi, dan terjadi leukopenia (Sardjana dan Kusumawati, 2004). Gejala klinis lainnya yang ditimbulkan terbagi menjadi dua tipe yaitu tipe miokarditis dan tipe enteritis. Sesuai dengan sifat virus CPV yang tumbuh  baik pada sel yang sedang aktif membelah, maka tipe miokarditis lebih banyak ditemukan  pada anak anjing muda, sedangkan pada umur yang lebih tua, tipe   enteritis  lebih banyak ditemukan. (Sendow, 2003) a. Tipe miokarditis Kasus CPV pada tipe ini lebih banyak ditemukan pada anak anjing berumur di  bawah 4 minggu, yang ditandai dengan kematian anak anjing mendadak, tanpa menimbulkan gejala klinis muntaber. Anak anjing tumbuh normal dan pada  pemeriksaan umum, anjing tidak menunjukkan adanya kelainan pada jantung dan  paru-paru, tetapi beberapa jam sebelum mati anak anjing tersebut terlihat lemas, sesak napas, menangis, kadang-kadang muntah dan selaput lendir pucat. Mortalitas tipe miokarditis berkisar antara 20 hingga 100%. Pada anak anjing berumur lebih dari 5  bulan, gejala klinis yang tampak tidak nyata, tetapi pada infeksi yang akut, ritme puls femoral iregular, jantung terdengar murmur dan aritma (Sendow, 2003).  b. Tipe enteritis Tipe  enteritis, sering juga disebut Canine parvovirus enteritis, Infectious hemorrhagic Enteritis, Epidemic gastroenteritis enteritis  merupakan

atau Canine panleukopenia . Tipe

tipe CPV yang paling sering ditemukan, baik pada anjing di

kennel,  pet shop, tempat penitipan anjing dan breeding farm maupun anjing yang dipelihara di rumah dan menyerang semua usia dengan gejala klinis yang khas yaitu muntah dan diare berdarah, dengan aroma yang sangat khas. Masa inkubasi tipe enteritis 7 – 14 hari dengan gejala awal adalah muntah yang diikuti demam, tidak

napsu

makan, lesu dan diare mulai dari mencret berwarna kekuningan, abu-abu dengan bau yang khas hingga berdarah berwarna kehitaman seperti warna aspal. Anak anjing, apabila diare berdarah telah terjadi umumnya hanya bertahan 1 – 3 hari. Sejalan dengan  berkembangnya enteritis,  neutropenia dan limfopenia terjadi. Morbiditas CPV tipe enteritis berkisar antara 20% hingga 100% dan mortalitasnya mencapai 50%, sedangkan pada anak anjing yang masih muda dan belum divaksinasi, mortalitasnya dapat mencapai 100% (Sendow, 2003).

Gambar 1. Diare pada anjing yang terkena  parvovirus (Barr dan Dwight, 2006). 2.1.4 Faktor Predisposisi

 Parvovirus,

diketahui sebagai penyebab viral enteritis dan diare pada anjing dan

kucing.  Parvovirus  pada anjing sering menyerang pada semua umur dan semua jenis anjing. Pada umumnya virus tersebut menyerang anak anjing berumur 2 – 6 bulan. Virus ini merupakan Canine Parvovirus type 2 (CPV-2) yang diisolasi dan diidentifikasi pertama kali  pada tahun 1978 termasuk dalam famili: Parvoviridae. Penularan penyakit ini terjadi secara langsung melalui kontak langsung dengan anjing yang sakit, sedangkan penularan tidak langsung dapat melalui kotoran yang terkontaminasi. Anjing yang terinfeksi canine  parvovirus dapat mengeluarkan lebih dari 1 juta partikel virus melalui feses, selama periode akut dan 8 – 10 hari (Sardjana dan Kusumawati, 2004). 2.1.5 Diagnosa

Cara mendiagnosa canine parvovirus sebagai berikut (Kaur et al ., 2015) : a. Mikroskop elektron Mikroskop elektron memungkinkan identifikasi dan konfirmasi virus CPV-2  berdasarkan ukurannya dan morfologi. Virus diamati dalam kelompok atau dilihat sebagai partikel tunggal dengan uranil asetat, asam fosfotungstik atau tungsten metilamin. Identifikasi CPV-2 virus di faeces hanya dapat dilakukan selama periode eliminasi virus yang terjadi antara hari ke 3 dan hari ke 9 infeksi. Namun, itu

sensitivitas mikroskopi elektron diyakini relatif rendah karena jumlah virus yang besar diperlukan untuk hasil tes positif.  b.  Haemagglutination (HA)  Haemagglutination  haemagglutination.  untuk

(HA)  Assay  Salah satu sifat penting CPV adalah diagnosis CPV, sifat endemik CPV dan penyebaran luas

vaksin CPV, sebagian besar anjing memiliki titer antibodi yang signifikan CPV dengan tidak adanya infeksi aktif. Serologi harus digunakan dengan hati-hati sebagai alat diagnostik. Sampel serum yang dipasangkan biasanya dikumpulkan untuk mendeteksi suatu peningkatan signifikan tite antibodi CPV pada anjing yang terinfeksi. Mendefinisikan kondisi untuk Reaksi HA dan  Haemagglutination Inhibition

(HI) dan menunjukkan bahwa CPV sangat mengaglung  porcine RBC pada

 pH 7.2, 33 persen prevalensi CPV menggunakan tes penghambatan haemagglutination  pada sampel serum anjing dari berbagai belahan. c. Isolasi CPV Isolasi CPV dari sampel klinis oleh menggunakan berbagai kultur sel telah digunakan untuk diagnosis parvovirus anjing. Berbagai jalur sel digunakan untuk tujuan ini adalah sel Crandell Feline Kidney line (CRFK), Madin Darby canine sel ginjal (MDCK), Walter Reed Canine Cell line (WRCC), dll. Budaya primer dibuat dari sel-sel anjing seperti ginjal dan paru-paru juga telah digunakan. Kehadiran virus adalah dicurigai oleh terjadinya efek sitopatik (CPE) termasuk pembulatan sel atau kadang-kadang dengan kehadiran badan inklusi intranuklear yang bias diperiksa oleh  pewarnaan giemsa dan pelepasan sel dalam sistem kultur sel. Isolasi CPV-2 membutuhkan kultur sel kemampuan, personil yang cakap dan terampil dan juga garis sel permisif yang akan digunakan. Apalagi sudah saatnya mengkonsumsi. Kerugian utama dari isolasi virus, namun sensitivitasnya rendah. Telah dibuktikan dalam infeksi alami dan eksperimental yang CPV-2 terdeteksi oleh isolasi virus hanya untuk  beberapa hari postinfection. Isolasi CPV dalam kultur sel tidak dapat diterapkan pada sampel manja di virus mana yang tidak aktif. Sensitivitas garis sel yang berbeda juga  bisa berbeda. d. PCR PCR adalah varian yang baru dikembangkan PCR dan telah dieksploitasi untuk diagnosis Canine Parvovirus. Minor groove binder (MGB) probe assay untuk melakukan diskriminasi antara CPV tipe 2 vaksin dan strain lapangan Parvovirus anjing. Dua probe MGB khusus untuk CPV2 dan varian antigenik (tipe 2a, 2b dan 2c masing-masing diberi label fluorophores berbeda.

2.1.6 Diagnosa Banding

Gambaran klinis kasus CPV sering dikelirukan dengan penyakit lainnya seperti Canine Distemper, infeksi bakteri penyebab enteritis, infeksi parasite cacing, coccidiosis, atau  pankreatitis akut (Sendow, 2003). 2.1.7 Prognosa

Anjing yang bertahan hidup hingga 2-4 hari pertama dengan pengobatan dan  perawatan yang cepat kemungkinan besar anjing tersebut akan pulih sepenuhnya ( Fausta) untuk anjing dengan penyakit berkepanjangan dengan sepsis CPV sampai ke jantung maka anjing tersebut akan susah untuk diselamatkan ( Infausta) (Guptill, 2011). 2.1.8 Pengobatan

Anjing dengan dugaan infeksi CPV harus diisolasi dari anjing lain karena sifat virus yang sangat menular. Pengobatan CPV   sangat mendukung, dengan obat melalui intravena, kadang-kadang transfusi plasma, obat-obatan antivomit dan mungkin obat untuk menurunkan  produksi asam

lambung. Anemia yang parah maka transfusi darah

dapat diberikan.

Antibiotik dapat diberikan untuk infeksi bakteri sekunder ( Guptill, 2011 ). Pengobatan infeksi  parvovirus  pada hewan individu bergantung pada terapi dan kebutuhan yang mendukung menjadi berdasarkan gejala. Pasien dengan CPV   umumnya memiliki masalah berikut yang perlu dikelola (Kelman, 2015): a. Dehidrasi dan syok   b.  penekanan kekebalan c. Infeksi bakteri sekunder  d.  Nyeri gastrointestinal  e. Kemungkinan syok endotoksik  f. Potensi hipoproteinemia Pengobatan pada CPV secara parenteral dan oral (Kelman, 2015). a. Terapi cairan dan elektrolit. Pasien yang mengalami syok, bolus 10-20 g / kg larutan elektrolit seimbang (misalnya larutan ringer laktat) harus diberikan dengan infus cepat (lebih dari 10 hingga 20 menit). Pengulangan pemberian bolus dapat diulang apabila normalisasi jantung meningkat hingga 60-90 ml/kg sebelum pindah ke tahapan koloid. Persyaratan perawatan (50 ml/kg/hari (anjing dengan berat kurang dari 5 kg mungkin membutuhkan sedikit lebih banyak) dan perkiraan defisit cairan (dihitung dengan mengalikan persentase dehidrasi berdasarkan berat badan  per kg) harus dihitung dan cairan diberikan selama 6 hingga 24 jam, tergantung  pada tingkat keparahannya. Banyak anjing dengan masalah gastrointestinal yang  parah akan membutuhkan tingkat cairan yang lebih tinggi.

 b. Terapi koloid dan  FFP . Pasien yang mengalami hipoalbuminaemia, dukungan koloid dapat diberikan sebagai infus laju konstan dengan tarif tipikal 10 hingga 20ml/kg /hari. Crystalloid  konkuren biasanya dikurangi dengan tingkat yang setara. c. Suplemen kalium klorida. Idealnya, elektrolit harus dipantau dan ditambah dengan kalium klorida. Dan dapat ditambahkan dengan aman pada tingkat 20 mmol per 1000ml cairan. d. Suplementasi Glukosa. Psien yang mengalami hipoglikemik glukosa dapat ditambahkan ke cairan intravena, dengan penambahan larutan glukosa pekat untuk membuat 2,5 hingga 5% larutan glukosa, tergantung pada tingkat hipoglikemia. e.  Antiemetik . Muntah dan mual yang sedang berlangsung sangat memperburuk kenyamanan dan morbiditas pasien, dan terapi antiemetik sangat penting untuk  peningkatan pasien.  Metoclopramide  dapat digunakan sebagai infus laju konstan (idealnya) atau sebagai dosis intermiten, dan meningkatkan motilitas G-i juga mengurangi muntah.  Maropitant  juga dapat digunakan tetapi dengan hati-hati pada anak anjing muda, dan Odansetron adalah alternatif lain dalam kasus refraktori. f.  Analgesia. Gastroenteritis CPV   adalah kondisi yang buruk pada anjing dan analgesia 

penting dalam pemberian kenyamanan pasien dan peningkatan

 pemulihan. Opioid , khususnya  Buprenorfin direkomendasikan untuk analgesia kuat dengan efek yang lebih rendah pada G-i motilitas.  NSAID harus dihindari karena risikonya pada pasien usia muda dan dehidrasi dari nefrotoksisitas dan G-i ulserasi. g. Antibiotik. Penting untuk menyediakan pelindung antimikroba untuk pasien CPV , untuk pengobatan septik syok, karena risiko translokasi bakteri karena kerusakan G-i dari virus, karena virus penekanan kekebalan, neutropenia, dan risiko infeksi  bakteri sekunder lainnya. Sefalosporin direkomendasikan sebagai antibiotik utama dan harus diberikan secara  parenteral . Kasus demam berat dapat dilakukan  pemberian  Amoxicillin  atau Sefalosporin  yang  potentiated , dengan  Metronidazole memberikan penutup yang baik terhadap bakteri gram negatif dan anaerob yang mungkin mentranslokasi dari usus.  Amikacin, Gentamicin, Trimethroprim sulfate dan  Enrofloxacin juga biasa digunakan untuk sepsis sekunder, jika menggunakan  Amakacin atau Gentamicin maka

anak anjing harus terisolasi dengan baik karena

risiko dari nefrotoksisitas. h. Terapi interferon.  Inferon rekombinan (Virbagen omega, dan Virbac) telah terbukti mengurangi angka kematian dan memperbaiki tanda-tanda klinis dan dapat digunakan sebagai terapi tambahan.

2.2 Canine parainfluenza 2.2.1 Etiologi

Canine parainfluenza infection Virus  (CPIV)

adalah agen  parainfluenza  pada anjing

yang sering disebut dengan batuk anjing. Virus  parainfluenza anjing masuk dalam golongan virus parainfluenza tipe 5. CPIV ini dapat tumbuh pada ginjal anjing, kucing, lidah kucing dan embrio sapi. Virus ini ditularkan langsung melalui udara. Infeksi biasanya terjadi pada hidung, tenggorokan dan area pernafasan bagian atas (Fauziah et al ., 2018). Canine  parainfluenza

virus 

 Paramyxoviridae

(CPiV) adalah virus RNA untai tunggal dari famili virus

dan biasanya menyebabkan infeksi saluran pernafasan ringan pada anjing.

Genomnya diperkirakan berukuran antara 15 dan 19kb. Penyakit ini sangat menular dan menyebar dengan cepat di antara anjing yang ditampung bersama. Virus ditularkan melalui kontak dengan sekresi hidung anjing yang terinfeksi dan transmisi aerosol. Infeksi CPiV terbatas pada saluran pernapasan bagian atas. Virus ini mampu menyebabkan kerusakan pada epitel yang melapisi trakea dan dapat menyebabkan infeksi sekunder oleh patogen lain, yang dapat memperparah infeksi. (Primerdesign, 2017). 2.2.2 Patogenesa

Canine Parainfluenza Virus  (CPIV) adalah salah satu penyebab utama ITB ( Infectious tracheobronchitis)

atau batuk anjing. Periode inkubasi untuk CPIV telah ditemukan berkisar

antara 1-8 hari. Setelah terpapar virus bisa ditemukan pada bagian oronasal 1-9 hari setelah infeksi. Virus tidak ditemukan dalam darah, karena infeksi sistemik tidak terjadi. Antibodi  penetralisir virus akan muncul dalam serum mulai hari ke-10 pasca infeksi dan akan meningkat jumlahnya hingga 3 atau 4 minggu, kemudian menurun dan biasanya akan hilang dalam 3 atau 4 bulan setelah terpapar (Loftsdóttir, 2007). Infeksi CPIV biasanya terbatas pada saluran pernapasan atas pada anjing usia dua minggu atau lebih tua. CPIV bereplikasi dalam sel-sel mukosa hidung, faring, trakea dan bronkus. Sejumlah kecil virus dapat dipulihkan dari kelenjar getah bening lokal, tetapi tidak dari jaringan limfatik lainnya. Pada anjing yang terinfeksi secara alami, infeksi simultan dengan agen virus dan bakteri lainnya cukup umum dan tanda-tanda klinis mungkin lebih berat (Buonavoglia dan Vito, 2007). 2.2.3 Gejala Klinis

Gejala umumnya terjadi 2-8 hari setelah infeksi. CPIV menghasilkan gejala ringan yang berlangsung kurang dari enam hari, tetapi infeksi biasanya semakin parah jika terkomplikasi dengan patogen lain. (Buonavoglia dan Vito, 2007). Penyakit ini ditandai dengan batuk kering yang tidak produktif dan gejala lainnya seperti keluarnya cairan dari hidung serta demam ringan, yang dalam banyak kasus dapat hilang dalam waktu singkat (Loftsdóttir, 2007). Sebagian besar anjing tampak sehat dan aktif. Gejala dalam bentuk yang

 parah banyak digambarkan pada hewan-hewan immunocompromised atau anak-anak anjing yang belum divaksinasi, gejala-gejalanya dapat berkembang dan termasuk lethargy, demam, kehilangan nafsu makan dan radang paru-paru (Buonavoglia dan Vito, 2007). 2.2.4 Faktor Predisposisi

 Parainfluenza 

mempengaruhi banyak mamalia seperti babi, anjing, monyet, dan

 bahkan manusia (Doods, 2017). Anjing dari segala usia rentan dengan peningkatan insiden dalam populasi, tetapi lebih banyak menyerang pada anak anjing diusia muda (Lopate, 2012). 2.2.5 Diagnosa

Metode laboratorium telah dikembangkan untuk mendeteksi Canine parainfluenza di sekresi pernafasan atau serum anjing yang terinfeksi seperti PCR, ELISA, Pewarnaan immunoperoxidase  dan monoclonal

antibodi. Meskipun tes ini lebih sensitif, spesifik dan

lebih dapat di produksi, tetapi tes ini tergolong mahal dan biasanya perlu waktu untuk dianalisa oleh laboratorium khusus.  Immunochromatography assay   adalah yang paling  banyak metode diagnostic (Mosallajenad, 2009). a. PCR. PCR adalah suatu teknik yang melibatkan beberapa tahap yang berulang (siklus) dan pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah target DNA untai ganda. Untai ganda DNA templat (unamplified DNA) dipisahkan dengan denaturasi termal dan kemudian didinginkan hingga mencapai suatu suhu tertentu untuk memberi waktu  pada primer menempel (anneal primers) pada daerah tertentu dari target DNA. Polimerase DNA digunakan untuk memperpanjang primer (extend primers) dengan adanya dNTPs (dATP, dCTP, dGTP dan dTTP) dan buffer yang sesuai. Umumnya keadaan ini dilakukan antara 20  –   40 siklus. Target DNA yang diinginkan ( short ”target” product )

akan meningkat secara eksponensial setelah siklus keempat dan

DNA non-target (long product ) akan meningkat secara linier seperti tampak pada  bagan di atas (Handoyo dan Ari, 2000).  b. X-ray. Informasi mengenai tubuh hewan menjadi mudah diperoleh tanpa perlu melakukan operasi bedah. Proses pembuatan gambar anatomi hewan dengan sinar-X dapat dilakukan pada permukaan film fotografi. Gambar terbentuk karena adanya  perbedaan intensitas sinar-X yang mengenai permukaan film setelah terjadinya  penyerapan sebagian sinar-X oleh bagain tubuh hewan. Daya serap tubuh terhadap sinar-X sangat bergantung pada kandungan unsur-unsur yang ada di dalam organ. Tulang hewan yang didominasi oleh unsur Ca mempunyai kemampuan menyerap yang tinggi terhadap sinar-X karena penyerapan itu maka sinar-X yang melewati tulang akan memberikan bayangan gambar pada film yang berbeda dibandingkan  bayangan gambar dari organ tubuh yang hanya berisi udara seperti paru-paru, atau air

seperti jaringan lunak pada umumnya. Jadi pada prinsipnya, bayangan gambar anatomi terbentuk karena adanya perbedaan kemampuan dalam menyerap maupun meneruskan sinar-X yang melalui organ-organ tertentu di dalam tubuh (Akhadi, 2006).

c. Uji ELISA.

 Enzyme  Linked Immunosorbent Assay 

(ELISA) adalah metode

immunologi yang melibatkan suatu enzim untuk mendeteksi antibodi atau antigen dalam suatu sampe (Rachmawati, 2013). d. Uji anti monoclonal antibody . pemeriksaan Cystatin C serum. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan kuantitatif secara sandwich enzyme immunoaAASy. Antibodi monoklonal spesifik untuk CysC sebelumnya dilapisi ke microplate. Standar dan sampel dipipet ke dalam well jika terdapat CysC maka akan diikat oleh antibodi. Setelah pencucian substansi yang tidak berikatan, sebuah enzim pengikat antibodi monoclonal spesifik/ enzyme-linked  monoclonal  antibody  specific untuk CysC ditambahkan ke dalam well. Kemudian dilakukan lagi pencucian untuk membuang reagen antibodi-enzim yang tidak berikatan, lalu larutan substrat ditambahkan ke dalam well dan warna yang terbentuk secara proporsional menunjukkan jumlah CysC yang berikatan pada tahap awal. Pembentukan warna dihentikan dan intensitas warna diperiksa (Muliyadi, 2015). 2.2.6 Diagnosa Banding

Canine parainfluenza sering menyerupai trakeobronkitis ("batuk kennel") kennel cough yang disebabkan oleh satu atau lebih infeksi bakteri atau virus, termasuk Bordetella  bronchiseptica, adenovirus-2 dan canine parainfluenza virus (Doods, 2017) 2.2.7 Prognosa

Prognosa dari penyakit ini yaitu  fausta (dapat sembuh) sebab terdapat penelitian yang mengatakan bahwa pada akhir tahun 1970-an, CPIV ( Canine parainflunza virus) diisolasi dari CSF anjing dengan  paresis posterior   yang anjing tersebut kemudian sembuh (Elisa dan Steven, 2012). 2.2.8 Pengobatan

Perawatan untuk kondisi ini sebagian besar bersifat  supportive pada mayoritas anak anjing dengan tanda klinis yang lebih ringan. Cairan intravena, bantuan jalan napas, dan  perwatan mungkin diperlukan. Dalam kasus yang lebih parah, terutama mereka dengan masalah paru-paru yang berat dan bronkopneumonia  bakteri sekunder, terapi antibiotik  bakterisida spektrum luas menjadi perlu. Selain itu, dukungan nutrisi dan agen mukolitik (misalnya, N-acetylcysteine baik melalui nebulisasi atau secara oral  pada 50 mg / kg tiga kali sehari), dan perawatan intensif diperlukan (Peterson dan Michelle, 2011)

2.3 Canine distemper  2.3.1 Etiologi

 Distemper   adalah

salah satu penyakit menular yang menyerang anjing. Penyakit

tersebut disebabkan o leh virus dalam genus  Morbillivirus dari famili  Paramyxoviridae dan mempunyai hubungan dekat dengan virus measles dan rinderpest (Virus distemper dapat menyerang famili Canidae,  Mustelidae, dan  Procyonidae (penyakit tersebut telah dilaporkan kejadiannya pada mamalia air seperti anjing laut dan anjing liar di Afrika. Walaupun kucing dan babi telah dapat diinfeksi secara eksperimental, hal tersebut dianggap tidak penting dalam  penyebaran distemper  anjing Virus distemper tidak dapat bertahan lama di luar induk semang dan peka terhadap desinfektan seperti senyawa fenol atau ammonium kuaterner (Erawan et al., 2009). 2.3.2 Patogenesa

. Anjing terkena virus melalui tetesan aerosol yang menghubungkan saluran  pernapasan bagian atas yaitu tractus epithelium. Virus berkembang biak pada makrofag dan menyebar melalui limfatik menuju tonsil dan kelenjar getah bening dalam waktu 24 jam. Hari ke 2-4 jaringan limfoid mengalami infeksi dan pada hari ke-6 limpa, mukosa  gastrointestinal  dan sel Kupffer hati terinfeksi, pada saat ini ada reaksi sistemik terhadap infeksi yang ditandai oleh pireksia dan limfopenia. Penyebaran hematogenesis bertujuan untuk melibatkan jaringan epitel lainnya dan sistem saraf pusat (SSP). Virus telah terbukti melakukan perjalanan bebas dalam sel plasma serta terkait dengan leukosit dan trombosit, setelah 2 minggu anjing terinfeksi maka respon seluler dan humoral membersihkan infeks tersebuti, dan tidak ada tanda-tanda klinis penyakit yang permanen. Imunitas menengah responsif memungkinkan  penyebaran virus lebih lanjut ke jaringan epitel. Virus terus berlanjut menyebar ke beberapa  jaringan (seperti jaringan saraf dan epitel, terutama bantalan kaki), menghasilkan tanda klinis  pada jaringan ini. Tanggapan kekebalan yang buruk pada titik ini memungkinkan penyebaran virus secara sistemik menyebabkan tanda-tanda gastrointestinal dan pernapasan dengan infeksi akut. Respon antibodi serum bervariasi berbanding terbalik dengan tingkat keparahan  penyakit (Leisewitz, 2001). a. Saluran pernapasan. Pada paru-paru, agen infeksi yang masuk secara aerogen mulamula akan menginfeksi saluran pernafasan bagian atas, lalu berlanjut ke bagian  bronkus, bronkiulus kemudian meluas ke bagian alveoli paru-paru. Secara mikroskopis, paru-paru dari hewan yang terinfeksi akan tampak mengalami  peradangan. Pneumonia interstitialis akan teramati pada paru-paru yang diikuti dengan  banyak infiltrasi sel-sel radang. Bila berlangsung kronis, reaksi peradangan akan meluas sampai ke bagian alveoli. Apabila terjadi infeksi sekunder terutama terinfeksi

oleh bakteri pyogenes, peradangan dengan eksudat purulen dapat juga terjadi pada organ ini (Kardena et al., 2011).  b. Sistem saraf. Beberapa strain CDV memiliki neurotropisme yang cukup besar. Contohnya isolat tertentu seperti strain Snyder Hill   diketahui dapat menyebabkan  polioencephalitis akut, sedangkan strain A75/17 dan R252 dapat menyebabkan demielinasi leukoensefalitis. CDV dapat memasuki otak dengan cara yang berbeda dan melalui beberapa rute infeksi rute utama dari neuroinvasion adalah melalui sel mononuklear yang terinfeksi yang distribusikan melalui sawar darah otak (BBB) yang dapat menghasilkan pelepasan virus lokal. Infeksi selanjutnya dari sel epitel dan sel endotel dan terdapat bukti bahwa infeksi sel endotel SSP primer berkontribusi terhadap neuroinvasion sebelum leukosit positif virus. Faktanya, sel yang terinfeksi CDV pertama kali dideteksi pada sel plexus choroid dan pembuluh otak. Begitu  berada di dalam otak, virus menyebar melalui cairan serebrospinal (CSF), dimana ia dapat menginfeksi sel-sel lapisan ependymal ventrikel dan akhirnya sel glial dan neuron. Virus telah terbukti memasuki otak melalui neuron yang terletak di mukosa  penciuman, diikuti oleh invasi virus sepanjang filamen saraf olfaktori ke glomeruli  penciuman dan anterograde menyebar ke struktur CNS yang lebih dalam (Lempp et al., 2014). 2.3.3 Gejala Klinis

Tanda-tanda klinis yang dilaporkan karena infeksi CDV pada spesies satwa liar sangat mirip dengan anjing peliharaan. Namun, keparahan dan hasil dari infeksi dapat sangat  bervariasi di antara spesies dan tergantung pada beberapa faktor, seperti virulensi, usia dan status imun. Tanda-tanda awal infeksi CDV jarang diamati. Hewan yang memiliki respons kekebalan yang kuat maka tidak ada penyakit klinis yang terjadi. Diperkirakan 50-70% infeksi CDV pada anjing domestik dianggap subklinis. Respons imun yang lemah menghasilkan tanda-tanda yang tidak spesifik seperti lesu, kehilangan nafsu makan, dan demam, meskipun respon kekebalan yang kuat dapat memulihkan hewan yang terinfeksi. CDV dapat bertahan untuk waktu yang lama di neuron, uvea, urothelium   dan kulit (menyebabkan hiperkeratosis paling dominan terlihat pada anjing domestik). Infeksi CDV selama tahap perkembangan awal yaitu sebelum erupsi gigi permanen, juga dapat menginfeksi tunas gigi dan ameloblas yang menyebabkan hipoplasia enamel. Dua bentuk klinis CDV dapat dibedakan pada hewan dengan respon imun minimal atau tidak ada: bentuk sistemik akut dan bentuk syaraf kronis. Penyakit sistemik akut terjadi 2-3 minggu setelah infeksi. Virus ini terus bereplikasi dan menyebar ke seluruh tubuh menyebabkan tanda-tanda klinis yang parah, yang meliputi demam, keluarnya oculonasal   mukopurulen, batuk,

dyspnoea, depresi, anoreksia, muntah dan diare (yang mungkin berdarah). Selama tahap infeksi ini, virus ditemukan di setiap sekresi dan ekskresi tubuh. Tanda-tanda neurologis dapat  bersamaan atau mengikuti penyakit sistemik dalam 2-3 minggu. Tanda-tanda bersifat  progresif dan bervariasi tergantung pada area otak yang terpengaruh tetapi biasanya termasuk  perilaku abnormal, kejang, gerakan mengunyah permen karet pada mulut, kebutaan, serebelum dan tanda-tanda vestibular  , paresis atau kelumpuhan, inkoordinasi dan berputar putar. Infeksi pada sistem saraf pusat menyebabkan demielinisasi akut, dan sebagian besar hewan mati 2-4 minggu setelah infeksi karena kekebalan tubuh tidak dapat melawan CDV. Tanda-tanda klinis sering diperburuk oleh infeksi bakteri sekunder pada kulit dan saluran  pernapasan (Lootz et al., 2017).

Gambar 2 . Tanda klinis penyakit Canine distemper (Arslan et al., 2013). 2.3.4 Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi pada Canine distemper kebanyakan karnivora termasuk hewanhewan liar yang berada di kebun binatang. Akan tetapi, yang lebih rentan terkena adalah anjing yang masih berusia muda ( puppies) karena sistem kekebalan tubuhnya masih lemah (Barr dan Dwight, 2006). 2.3.5 Diagnosa

Diagnosis Canine distemper  dibuat dengan mengenali tanda-tanda penyakit (misalnya demam, hidung dan ocular dicharge, batuk, dan radang paru-paru) (Ohio University, 2017). Isolasi virus dapat dilakukan dengan mengambil sampel limfosit dari hewan yang dicurigai dengan sel menampilkan molekul CD150. Setelah isolasi awal, virus kemudian dapat

diadaptasikan untuk tumbuh di sel paru-paru anjing, termasuk ginjal atau sel Vero. Metode  pewarnaan antibodi imunohistokimia atau fluoresen berguna untuk mendemonstrasikan keberadaan antigen virus dalam sampel swab konjungtiva dan biopsi kulit ( antemortem) atau  bagian jaringan paru-paru, usus, perut, ginjal, otak, dan kandung kemih yang dikumpulkan melalui nekropsi. Tes RT-PCR dapat dilakukan pada swab konjungtiva, sel mononuklear darah, setiap sampel jaringan yang mencakup epitel, dan urin. Hasil RT-PCR dapat dikacaukan oleh penggunaan vaksin hidup modifikasi terbaru. Status serologis anjing dapat dinilai dengan tes virus neutralization, ELISA, atau tes antibodi fluoresen tidak langsung (MachLachlan dan Edward, 2017). 2.3.6 Diagnosa Banding

Canine distemper virus ini

mirip dengan penyakit yang disebabkan oleh  paramyxovirus

lainnya, seperti  Measles virus  (MV), infeksi CDV menyebabkan penipisan limfoid dan imunosupresi, yang mendukung terjadinya infeksi sekunder. Tanda-tanda klinis pada anjing yang terinfeksi mengalami gangguan pernapasan dan  gastrointestinal , perubahan kulit, dan  penyakit sistem saraf pusat (SSP) (Lempp et al.,2014). Anjing dengan infeksi ringan menunjukkan tanda klinis berupa demam, tanda-tanda infeksi saluran pernapasan atas, dan menjadi lesu dan tidak sehat.  Bilateral serous ocular discharge  dapat

menjadi mukopurulent   yang menyebabkan batuk dan sesak napas, tanda-

tanda tersebut sering tidak dapat dibedakan dengan “kennel cough” (penyakit pernafasan akut

 pada anjing) (MachLachlan dan Edward, 2017). 2.3.7 Prognosa

Prognosis tergantung pada strain canine distemper virus  dan respon imun anjing. Setelah demam awal reda, penyakit dapat berkembang dalam beberapa cara. Lebih dari 50% dari anjing mati antara 2 minggu dan 3 bulan setelah terinfeksi, biasanya diakibatkan adanya komplikasi sistem saraf pusat. CDV memiliki tingkat kematian yang tinggi dan merupakan masalah kesejahteraan hewan yang serius (Gerde et al.,  2013). Kebanyakan dokter hewan merekomendasikan euthanasia untuk anjing yang menderita komplikasi neurologis yang berat dan progresif. Anjing yang pulih dapat terjadi masalah sistem saraf pusat kronis atau fatal. Anjing dengan gejala ringan (misalnya  Mioclonus) dapat pulih, meskipun gejalanya dapat  bertahan selama beberapa bulan atau lebih lama. Anjing dengan respons kekebalan yang kuat tidak akan pernah menunjukkan tanda-tanda infeksi. Setelah anjing pulih sepenuhnya, anjing tersebut tidak lagi mengeluarkan virus dan tidak menular (Health Communities, 2014). 2.3.8 Pengobatan

Vaksinasi adalah strategi utama untuk perlindungan, dan begitu tanda-tanda klinis  berkembang, pengobatan hanya terbatas pada perawatan suportif. Bahkan dalam pengaturan

di mana diagnosis cepat dicapai dan standar perawatan yang tinggi tersedia (Gerde et al., 2013). Berikan antiemetik (obat anti-mual dan anti-muntah) jika ada muntah Chlorpromazine  HCl  diberikan 0.5 mg/kg IV ,  Loperamide HCl  

IM atau SC 3-4 kali dalam sehari. Berikan antidiare untuk diare

diberikan 0.08 mg/kg PO 3 – 4 kali dalam sehari. Pantau ketat untuk

dehidrasi. Anjing tanpa nafsu makan yang mengalami muntah dan diare mungkin memerlukan terapi rehidrasi intravena. Antibiotik atau bronkodilator diresepkan untuk  pneumonia  berupa Ceftriaxone sodium 20

mg/kg IV q12h. Antikonvulsan dapat mengontrol

 seizure parsial   berikan  phenobarbital   bolus

sebanyak 2 – 5 mg/kg. Banyak dokter hewan yang

meresepkan mereka sebelum kejang dimulai. Anak-anak anjing yang sembuh tetapi mengalami hipoplasia (gigi unbreeled yang cepat mengikis) dapat mengembalikan email gigi untuk mencegah kerusakan gigi lebih lanjut. Terapi glukokortikoid terkadang dapat membantu kebutaan karena neuritis optic  (radang saraf optik). Ini dapat membantu dalam  jangka pendek, tetapi glukokortikoid melemahkan sistem kekebalan dan dapat memperburuk gejala (Health Communities, 2014 dalam Plumbs, 2011).

BAB III MATERI DAN METODE 3.1 Materi 3.1.1 Alat

a. Arloji/Stopwatch b.  Penlight c.  Reflex Hammer

d. Stetoskop e. Thermometer

3.1.2 Bahan a. Baju Lab  b. Handskun c.  Puppies /Anak Kucing d. Masker 3.2 Metode

a. Siapkan alat dan bahan  b. Letakkan anak anjing di atas meja c. Lakukan handling  agar anak kucing tidak terlalu banyak bergerak d. Lakukan pemeriksaan fisik dengan metode inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi menggunakan alat-alat yang telah disediakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil

4.2 Pembahasan

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

Akhadi., Mukhlis. 2006. Analisis Unsur Kelumit Melalui Pancaran Sinar-X Karakteristik Iptek Ilmiah Populer. Buletin Alara. Volume 8, Nomor 1, 11  –  19. Arslan Tariq., Asim Shahzad., dan Sarwat Tahira. 2013. Clinical Aspects of Canine Distemper in 1.5 Year Old Labrador retriever.  J. vet. pract. 1 (2): 20 –  22.. Buonavoglia, Canio dan Vito Martella. 2007. Canine respiratory viruses. Veterinary  Research, No. 38, Hal. 355 – 373. Doods, W. Jean. 2017. Canine Parainfluenza Virus and Vaccine Review. [online] www.hemopet.org diakses pada 11 september 2018. Ellis, John A., and G. Steven Krakowka. 2012. A review of canine parainfluenza virus infection in dogs.  JAVMA, Vol 240, No. 3 England, Gary and Angelika von Heimendahl. 2010.  BSAVA Manual of Small Animal  Reproduction and Neonatology second edition. BSAVA : UK Erawan I Gusti Made Krisna., I Nyoman Suartha.., Emy Sapta Budiari., Diana Mustikawati., dan I Wayan Batan. 2009. Analisis Faktor Risiko Penyakit Distemper pada Anjing di Denpasar. Jurnal Veteriner . Vol. 10 No. 3 : 173-177 Fauziah, Dewi., Husni Mubarok dan Neng Ika Kurniati. 2018. Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Penyakit Hewan Peliharaan Menggunakan Metode Certainty Factor.  Jurnal Teknik Informatika dan Sistem Informasi, Vol.4, No. 1. Gerde, Elena., Guillermo Pérez., Gerardo Acosta-Jamett., and Barend Mark Bronsvoort. 2013. Characteristics of a Canine Distemper Virus Outbreak in Dichato, Chile Following the February 2010 Earthquake. Animals 2013:3 PP: 843-854. Guptil, Lynn F.. 2011.  Parvovirus in Dogs. Elsevier : UK. Handoyo, Darmo dan Ari Rudiretna. 2000. Prinsip Umum Dan Pelaksanaan Polymerase Chain Reaction (Pcr) [General Principles and Implementation of Polymerase Chain Reaction. Unitas, Vol. 9, No. 1 Health Communities. 2014. Canine Distemper . [E-Article]. Remedy’s Health Communities. http://www.healthcommunities.com/canine-distemper/prevention.shtml (Diakses Pada 11 September 2018. Pukul 21.00) Kardena I Made., IB Oka Winaya., dan I Ketut Berata. 2011. Gambaran Patologi Paru-Paru Pada Anjing Lokal Bali Yang Terinfeksi Penyakit Distemper.  Buletin Veteriner Udayana. Vol.3, No.1, Hal: 17-24.

Kaur, Gurpreet., Mudit Chandra., P N Dwivedi Dan Deepti Narang. 2015. Current Approaches In The Diagnosis Of Canine Parvovirus: An Overview . Journal Of  Microbiology, Immunology And Biotechnology.  Volume 2, Page 01-04. Kelman, Mark. 2015.  Parvovirus Diagnosis and Treatment in Outbreaks and Epidemics . Artikel. Leisewitz A L., A Carter., M van Vuuren., dan L van Blerk. 2001. Canine distemper infections, with special reference to South Africa, with a review of the literature.  Journal of the South African Veterinary Association . 72(3): 127 – 136 (En.) Lempp, Charlotte., Ingo Spitzbarth, Christina Puff, Armend Cana, Kristel Kegler, Somporn Techangamsuwan, Wolfgang Baumgärtner, and Frauke Seehusen. 2014. New Aspects of the Pathogenesis of Canine Distemper Leukoencephalitis. Viruses 2014:6  PP:2571-2601.

Loftsdóttir, Ólöf. 2007.  Presence of Canine Parainfluenza Virus (CPIV) in the Icelandic Dog  Population. Hovedopgave Fagdyrlægeuddannelsen vedr. hund og kat. Loots Angelika K., Emily Mitchell., Desi e L., Dalton,1,3 Antoinette Kotze1,3 and Estelle H. Venter. 2017. Advances in canine distemper virus pathogenesis research: a wildlife  perspective. Journal of General Virology ;98:311 – 321 Lopate, Cheryl. 2012.  Management of Pregnant and Neonatal Dogs, Cats, and Exotic Pets . Wiley-Blackwell : UK MachLachlan, James N. and Edward J. Dubovi. 2017.  Fenner’s Veterinary Virology 4th  Edition. Elsevier:USA Mosallanejad, B., Avizeh, R., Seyfiabad Shapouri, M.R., Ramesh, B. 2009. Antigenic detection of Canine Parainfluenza virus in urban dogs with respiratory disease in Ahvaz area, southwestern Iran.  Archives of Razi Institute, Vol. 64, No. 2, December (2009) 115-120

Muliyadi, H.J Mukono, Haryanto Notopuro. 2015.  Paparan Timbal Udara Terhadap Timbal  Darah, Hemoglobin,Cystatin C Serum Pekerja Pengecatan Mobil   . ISSN 1858-1196 Universitas Negeri Semarang. Ohio, University. 2017. Canine Distemper . [E-Article]. Canine Health Foundation. go.osu.edu/Dk9risk. (Diakses pada 11 September 2018. Pukul 20.00) Peterson, Michael E., and Michelle Anne Kutzler. 2011. Small Animal Pediatrics : the First 12 Months of Life . Elsevier : China Plumbs, Donald C. 2011.  Plumb’s Veter inary Drug Handbook 7 th  Edition. PharmaVet.Inc: Wisconsin. Primerdesign. 2017. Canine parainfluenza virus, Phosphoprotein Gene . Quantification of Canine parainfluenza virus genomes genesig Standard kit handbook.

Rachmawati Sri, Prima Mei W idiyanti, Hasim Munawar,2013.  Pengembangan Indirect  Dipstick ELISA untuk Deteksi Aflatoksin B1 pada Pakan dan Jagung.   Balai Besar Penelitian Veteriner: Bogor. Sardjana IKW dan D Kusumawati. 2004. Pengobatan Infeksi Parvovirus Pada Anjing.  Berk.  Penel. Hayati: 10 (81-83). Sendow, Indrawati. 2003. Canine Parvovirus Pada Anjing. Balai Penelitian Veteriner. Wartazoa Vol. 13 No. 2.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF