Lapkas IE

August 23, 2018 | Author: Fildzah Yamami Rizal | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Endokarditis...

Description

LAPORAN KASUS PEREMPUAN USIA 38 TAHUN DENGAN KEMUNGKINAN ENDOKARDITIS INFEKTIF DAN PENYAKIT JANTUNG REMATIK REAKTIVASI

I.

PENDAHULUAN

Endokarditis infektif adalah penyakit yang mematikan. Walaupun penatalaksanaannya sudah lebih baik, namun penyakit ini masih memiliki angka mortalitas serta morbiditas yang tinggi.1 Penyakit ini biasanya paling banyak mengenai katup jantung, namun dapat pula terjadi pada lokasi defek septal, atau corda tendinea, atau endokardium mural.1,2 Terdapat lesi yang khas berupa vegetasi, yaitu massa yang terdiri dari platelet, fibrin, mikroorganisme, dan sel-sel inflamasi, dengan berbagai ukuran yang bervariasi. Endokarditis infektif termasuk penyakit yang jarang terjadi, namun beberapa orang dengan kondisi jantung tertentu memiliki resiko lebih tinggi untuk terkena penyakit ini.1 Dulu endokarditis infektif lebih sering ditemukan pada dewasa muda yang sebelumnya telah di identifikasi menderita  pernyakit reumatik, penyakit katup, namun kini lebih sering ditemukan pada pasien yang lebih tua sebagai hasil dari perawatan kesehatan terkait prosedur, baik pada pasien tanpa kelainan sebelumnya atau pasien dengan katup prostetik.1,3,4 Penyakit jantung rematik adalah penyakit yang jarang dijumpai pada negara maju, namun masih merupakan masalah kesehatan mayor di negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan sekitar 12 juta individu menderita demam rematik rematik dan penyakit jantung rematik dan setidaknya 3 j uta diantaranya menderita gagal jantung kongestif yang memerlukan hospitalisasi berulang. 5 Pada laporan kasus ini akan dilaporkan sebuah kasus kemungkinan endocarditis infektif dengan penyakit jantung rematik reaktivasi yang dialami seorang perempuan usia 38 tahun.

II.

LAPORAN KASUS

Seorang wanita, 38 tahun datang ke IGD RSUP Haji Adam Malik dengan keluhan sesak nafas yang sudah dialami sekitar 1 bulan dan memberat memberat dalam 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Sesak terutama dirasakan jika pasien beraktivitas. beraktivi tas. Pasien menyangkal menyangkal adanya sesak yang mengganggu tidur di malam hari, serta pasien masih dapat tidur telentang tanpa meninggikan bantalnya. Kaki bengkak tidak dijumpai, riwayat kaki bengkak sebelumnya juga tidak dijumpai. Sebelumnya pasien juga mengeluhkan demam selama kurang lebih dua minggu disertai batuk dan nyeri tenggorokan. Karena keluhan ini pasien berobat ke RSUD Tarutung dan dirawat oleh Spesialis Penyakit Dalam dan dikatakan menderita anemia dan pembengkakan jantung. Kemudian pasien dianjurkan untuk kontrol ke spesialis Jantung dan dikatakan menderita kelainan katup jantung. Oleh karena itu kemudian dirujuk ke RSUP HAM untuk tatalaksana lebih lanjut. Riwayat hipertensi, Diabetes mellitus, merokok, keluarga dengan penyakit jantung disangkal. Saat di IGD pasien masih terlihat sesak nafas. Pada pemeriksaan fisik dijumpai kesadaran compos mentis dengan tekanan darah 110/50 mmHg, nadi 105 x/menit, tekanan dan volume cukup, laju nafas 26 x/menit dan suhu tubuh 37,0 C. tekanan vena jugularis normal, (R+2) cm H2O. Pada pemeriksaan thorax dijumpai suara jantung 1 1

dan 2 normal, dijumpai murmur PSM grade 4/6 di LLSB dengan penjalaran ke apex, dan pada auskultasi paru, suara pernafasan vesikuler tanpa dijumpainya suara tambahan baik rhonki, rales ataupun wheezing. Abdomen teraba soepel dengan bising usus normal, dan tidak dijumpai edema  pretibial pada ekstremitas. ekstremitas. Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai Hb : 9,3 g/dl ; Ht: 29%; Leukosit: 19.350/mm3; Trombosit: 460.000/mm3 ; Ureum 41 mg/dL ; Creatinine 1,07 mg/dL mg/dL ; KGD sewaktu: 102 mg/dL, Na 134 meq/L; K 2,9 meq/L; Cl 101 meq/L; PT kontrol 14,0 PT pasien 15,1 dengan INR 1,07, APTT kontrol 33,0, APTT pasien 33,0 , TT kontrol 18,5 TT pasien 19,8 kadar procalcitonin 0,14 ng/ml. Pada pemeriksaan AGDA kesan alkalosis metabolik dengan kompensasi respiratorik.

Gambar Gambar 1 . EKG saat pasien masuk tanggal 23/07/2017

Dari pemeriksaan EKG pada tanggal 23 Juli 2017 menunjukkan sinus takikardia, QRS rate 108x/menit, QRS axis normal, Gel P normal, PR interval 0,16”, 0,16”, QRS duration 0,06”, ST-T changes tidak dijumpai, LVH dan VES tak dijumpai. Kesan gambaran gambaran EKG sebagai sinus takikardia.

2

Gambar 2. Foto Thorax PA pada saat pasien masuk 23/07/2017

Foto Thorax PA dengan kesan kardiomegali dengan CTR 64%, tanpa adanya kongesti maupun infiltrat. Pada saat di IGD pasien di lakukan tindakan quicklook echocardiography dengan kesimpulan fungsi sistolik baik dengan EF 67%, wall motion global normokinetik, dengan tampak kelainan katup  berupa AR severe dengan adanya vegetasi dan penebalan, serta MR severe, dimensi ruang jantung LA, RV dilatasi dan kontraktilitas RV baik TAPSE 24mm. Pasien didiagnosa dengan CHF Fc II ec AR Severe dan MR Severe serta Possible IE karena memenuhi 1 kriteria mayor berupa vegetasi dan 1 kriteria minor berupa demam. Lalu pasien dirawat di ruangan biasa untuk selanjutnya akan dilakukan penjajakan terhadap penyakitnya. Pasien diberikan  penatalaksanaan dengan tirah baring, Oksigen 2-4 L/I dengan nasal canule, IVFD NaCl 0.9% 10gtt/i(micro), inj. Furosemide 20mg/24 jam, Ramipril 1 x 5 mg dan bisoprolol 1 x 2,5 mg. Lalu  pasien direncanakan untuk pemeriksaan ASTO, CRP, LED, kultur darah tiga waktu pengambilan, ekokardiografi lengkap dan TEE. Pada hari rawatan kedua pada tanggal 24/07/2017 keluhan pasien sudah berkurang, dengan TD 110/30 HR 96x/i regular dan RR 20x/i. Pada pemeriksaan fisik, demam tidak dijumpai, pasien tampak anemis, murmur baru tidak dijumpai. Pemeriksaan EKG dijumpai SR. Dari hasil pemeriksaan 3

laboratorium didapati peningkatan leukosit menjadi 20.500/mcl. Hasil pemeriksaan imunoserologi didapati peningkatan ASTO : 800 dan CRP sebesar 1,4mg/dL. Pasien di diagnosa dengan Possible IE dengan Acute Rheumatic Fever dd Rheumatic Heart Disease Reaktivasi dan CHF Fc II ec AR Severe, MS Mod. Terapi dilanjutkan, dengan tambahan inj. Benzathin Penicilline 1,2 Juta IU/IM , serta  prednisone 80mg/hari terbagi dalam 4 dosis (4-4-4-4 sediaan 5mg) dan suplementasi untuk substitusi kalium berupa Aspar K 1 x 300 mg.

Gambar 3. Ekokardiografi lengkap pada tanggal 23/07/2017

Dilakukan ekokardiografi lengkap didapatkan RA mayor 42 mm, RA minor 34 mm, RV basal 37mm, LVEDD 52, LVESD 35, IVSS 10, IVSD 10, EF 60%, TAPSE 21mm, mPAP 20mmHg dengan kesimpulan fungsi sistolik LV baik ( EF 60%), wall motion global normokinetik. Katup-katup dijumpai AR Severe dengan vegetasi di LCC ukuran 20x11mm dan vegetasi di RCC ukuran 12 x 4 mm, MR moderate, TR moderate, PH (+) PASP 41mmHg, LV dilatasi, kontraktilitas RV baik, TAPSE 21mm.

4

Pada hari keempat rawatan 26/07/2017, pasien menjalani prosedur TEE dengan temuan adanya vegetasi di katup aorta pada ketiga cuspis, terbesar di LCC 17x 11 mm, disertai aorta regurgitasi severe, perforasi di AML dengan diameter 6 mm dengan mitral regurgitasi severe, TR Moderate (+) dengan PG 46,8 mmHg, PH (+) dengan PASP 49 mmHg.

Gambar 4. TEE pada tanggal 26/07/2017

Pasien dirawat sambil menunggu hasil pemeriksaan kultur darah. Terapi diteruskan dengan  pemberian Injeksi Benzatin Penicillin dijadwalkan untuk 28 hari berikutnya dan pemberian prednison hingga 2 minggu lalu kemudian di tapering off. Pasien juga dikonsulkan ke bagian Bedah Toraks dan Kardiovaskular untuk tindakan pembedahan evakuasi vegetasi segera karena resiko lepasnya vegetasi dapat menimbulkan emboli. Kesimpulan Konfrensi bedah pada tanggal 31 Juli 2017 dengan rencana operasi DVR + TV Repair + Evakuasi vegetasi dengan penjadwalan segera. Selama perawatan tidak ada perburukan klinis, sesak tidak dijumpai, demam juga tidak dijumpai. Dari vital sign dengan TD berkisar 100-130/20-50 mmHg dengan HR 80-100x/i. Hasil kultur darah tidak dijumpai adanya pertumbuhan bakteri. Setelah pemberian antibiotik serta anti inflamasi berupa prednisone selama 12 hari, dilakukan ekokardiografi ulang untuk evaluasi ukuran vegetasi. Pada laporan disebutkan ukuran vegetasi pertama 11 x 9,7 mm di LCC, ukuran vegetasi kedua 11 x 8 mm. Selanjutnya dilakukan tapering down dosis prednisone setelah pemberian selama dua minggu. Pasien direncanakan untuk operasi tanggal 10/08/2017. Pada tanggal 10/08/2017 dilakukan tindakan operasi berupa AVR+ MVr+ evakuasi vegetasi dengan durasi operasi ± 6 jam. Jumlah perdarahan sekitar 1500cc. Dijumpai kelainan katup mitral 5

 berupa perforasi di AML dengan diameter 6 mm, katup aorta dijumpai vegetasi pada ketiga cuspis dengan ukuran terbesar 8 x 12 mm, kalsifikasi (+), retracted (+), katup tricuspid dengan saline test (+), normal. Dilakukan AVR mekanik 14 jahitan pledget, MVr dilakukan penjahitan perforasi, saline test (+) dan evakuasi vegetasi. Jaringan vegetasi yang diambil dari katup aorta disiapkan untuk  pemeriksaan kultur.

Gambar 5. Hasil evakuasi vegetasi dari katup aorta

Setelah operasi pasien dirawat di ICU Jantung selama 2 hari. Dijumpai masalah berupa efusi  pleura dextra post operasi, sehingga dilakukan pemasangan chest tube (R) + WSD. Setelah  pemasangan dijumpai cairan hemoragik ± 800 cc dengan undulasi (+). Klinis pasien membaik, sehingga diperbolehkan untuk pindah ke ruangan HCU pada hari ke dua post operasi. Terapi post operasi diberikan tambahan berupa simarc 1 x 2 mg serta obat-obatan post-op seperti inotropic, antibiotic dan analgetik untuk manajemen nyeri. Pasien di rawat di HCU selama 6 hari dengan tidak ada keluhan yang bermakna, klinis tampak sangat baik sesak tidak dijumpai, dengan pemeriksaan fisik TD 100 -120/70-80 mmHg dengan HR 70-80x/i. EKG dengan SR. Terapi tambahan diberikan bisoprolol dimulai dari dosis 1 x 1,25 mg. Dilakukan evaluasi dengan ekokardiografi dengan kesimpulan, katup-katup : katup prosthesis letak  baik, leakage (-), EOA 1,3 cm2 , MR Moderate. Hasil kultur jaringan vegetasi tidak dijumpai  pertumbuhan bakteri. Pigtail telah di aff pada tanggal 16/08/2017. Pasien pindah ke ruangan biasa pada tanggal 18/08/2017. Perawatan post-op berupa rehabilitasi dilakukan. Drain di aff pada tanggal 21/08/2017. Karena kondisi pasien stabil, pasien diperbolehkan pulang berobat jalan pada tanggal 23/08/2017 dengan terapi cefixime 2 x 200mg, ibuprofen 3 x 400mg, ranitidine 2 x 150 mg, simarc 1 x 2 mg, concor 1 x 2,5 mg, Ramipril 1 x 10mg, dan prednisone dosis tapering off.

6

III.

DISKUSI Endokarditis Infektif

Endokarditis infektif adalah infeksi yang disebabkan oleh mikroba pada permukaan endotel  jantung. Infeksi biasanya paling banyak mengenai katup jantung, namun dapat pula terjadi pada lokasi defek septal, atau corda tendinea, atau endokardium mural.1,2 Terdapat lesi yang khas berupa vegetasi, yaitu massa yang terdiri dari platelet, fibrin, mikroorganisme, dan sel-sel inflamasi, dengan berbagai ukuran yang bervariasi. Banyak jenis bakteri dan jamur, mycobacteria, rickettsia, chlamydiae, dan mikoplasma menjadi penyebab endokarditis infektif, namun  streptococci, staphylococci, enterococci  dan cocobacilli  gram negatif yang  berkembang lambat merupakan penyebab tersering.1 Insidens di negara maju berkisar antara 5,9 sampai 11,6 episode per 100.000 populasi. Endokarditis infektif lebih sering terjadi pada pria dibandingkan perempuan dengan rasio 1,6 sampai 2,5. Sekitar 36-75% pasien dengan endokarditis infektif katup asli memiliki faktor predisposisi, seperti penyakit jantung reumatik, penyakit jantung kongenital, prolaps katup mitral, penyakit jantung degeneratif, hipertrofi septal asimetrik, atau penyalahgunaan NARKOBA intravena (PNIV). Walaupun banyak spesies bakteri dan fungi yang dapat menyebabkan endokarditis, hanya sedikit spesies bakteri yang menjadi penyebab dari sebagian besar kasus endokarditis. Berbagai jenis  bakteri yang berbeda menimbulkan gejala klinis yang sedikit bervariasi pada EI. Hal ini dikarenakan  jalur masuk masing-masing bakteri juga berbeda. Rongga mulut, kulit, dan saluran pernapasan atas adalah jalur masuk primer bagi Streptococcus viridans, Staphylococcus, dan organisme HACEK ( Haemophyllus, Actinobacillus,Cardiobacterium, Eikenella, dan Kingella) yang menyebabkan native valve endocarditis yang didapatkan dari lingkungan. Streptococcus bovis  berasal dari saluran cerna, dan entreroccus  memasuki aliran darah lewat traktus urogenital.  Native valve endocarditis nosokomial merupakan akibat bakteremia dari infeksi kateter intravaskular, luka nosokomial dan infeksi traktus urinarius, serta prosedur invasif kronis seperti hemodialisis. Pada bakteremia Staphylococcus aureus akibat kateter, 6-25% mengalami komplikasi menjadi endokarditis.3 EI katup  buatan yang muncul dalam 2 bulan setelah pembedahan katup umumnya merupakan akibat dari kontaminasi intraoperatif dari katup buatannya atau komplikasi bakteremia post operatif. Infeksi nosokomial terlihat dari bakteri primer yang menjadi penyebabnya: Staphylococcus koagulase-negatif (CoNS), Staphylococcus aureus, basil gram negatif fakultatif, diphteroid, dan fungi. Jika lebih dari 12  bulan setelah pembedahan muncul endokarditis, maka jalur masuk dan mikroba penyebabnya sama dengan endokarditis katup asli yang infeksinya didapat dari lingkungan. Jika timbul antara 2-12 bulan, sering disebabkan karena infeksi nosokomial yang onsetnya lambat. 3,5 Mekanisme terjadinya EI pada pasien dengan katup normal belum diketahui secara pasti. Mikrotrombi steril yang menempel pada endokardium yang rusak diduga merupakan nodus primer untuk adhesi bakteri. Faktor hemodinamik (stress mekanik) dan proses imunologis mempunyai peran  penting pada kerusakan endokard.1 Adanya kerusakan endotel, selanjutnya akan mengakibatkan deposisi fibrin dan agregasi trombosit, sehingga akan terbentuk lesi nonbacterial thrombotic endocardial (NBTE). Jika terjadi 7

infeksi mikroorganisme yang masuk dalam sirkulasi melalui infeksi fokal atau trauma, maka endokarditis non bakterial akan menjadi endokarditis infektif. Faktor-faktor yang terdapat pada  bakteri seperti dekstran, ikatan fibronektin dan asam teichoic berpengaruh terhadap perlekatan bakteri dengan matriks fibrin-trombosit pada katup yang rusak.1,4 Tahapan patogenesis endokarditis infektif, yaitu : kerusakan endotel katup, pembentukan trombus fibrin-trombosit, perlekatan bakteri pada plak trombus-trombosit, dan proliferasi bakteri lokal dengan penyebaran hematogen.1,4 Penelitian terhadap peran respon imun pejamu dalam proteksi terhadap endokarditis menunjukkan hasil yang beragam. Pada beberapa kasus, imunisasi aktif dapat mencegah terjadinya endokarditis, tanpa memicu laju klirens bakteri dalam sirkulasi. Diduga terdapat mekanisme yang  berhubungan dengan penghambatan perlekatan bakteri terhadap vegetasi. Perkembangan endokarditis, tergantung pada keseimbangan antara kemampuan organisme untuk melekat pada vegetasi dan menolak respon pejamu. Patologi katup asli dapat lokal (kardiak) mencakup valvular dan perivalvular atau distal (nonkardiak) karena perlekatan vegetasi septiks dengan emboli, infeksi metastatik dan septikemia. Vegetasi biasanya melekat pada aspek atrial katup atrioventrikular dan sisi ventrikular katup semilunar, predominan pada garis penutupan katup. Pada katup prostetik, lokasi infeksi adalah  perivalvular dan komplikasi yang biasa adalah periprosthetic leaks dan dehiscence, abses cincin dan fistula, disrupsi sistem konduksi dan perikarditis purulenta. Pada katup bioprotesa, elemen yang  bergerak berasal dari jaringan, mungkin menjadi lokasi infeksi dan perforasi katup serta vegetasi.3,6 Manifestasi klinis pada EI merupakan akibat dari beberapa mekanisme, antara lain: 

Efek destruksi lokal akibat infeksi intrakardiak. Koloni kuman pada katup jantung dan  jaringan sekitarnya dapat mengakibatkan kerusakan dan kebocoran katup, terbentuk abses atau perluasan vegetasi ke perivalvular.



Vegetasi fragmen septik yang terlepas mengakibatkan tromboemboli, mulai dari emboli paru (vegetasi katup trikuspid) atau sampai emboli otak (vegatasi sisi kiri), yang merupakan emboli septik.



Vegetasi melepas bakteri terus menerus ke dalam sirkulasi, mengakibatkan gejala konstitusional seperti demam, malaise, tidak nafsu makan, penurunan berat badan dan sebagainya.



Respon antibodi humoral dan seluler terhadap infeksi mikroorganisme dengan kerusakan  jaringan akibat kompleks imun atau interaksi komplemen-antibodi dengan antigen yang menetap dalam jaringan.4,5 EI mungkin hadir sebagai penyakit akut dengan infeksi progresif cepat, tetapi juga sebagai

 penyakit subakut atau kronis dengan demam ringan dan gejala non-spesifik yang dapat membingungkan penilaian awal. Pasien mungkin datang ke berbagai dokter spesialis yang mungkin mempertimbangkan berbagai diagnosis alternatif termasuk infeksi kronis, rheumatologikal dan  penyakit autoimun, atau keganasan.1 Pada EI akut gejala timbul lebih berat dalam waktu singkat. Pasien kelihatan sakit, biasanya 8

anemis, kurus dan pucat. Demam tidak spesifik merupakan gejala paling umum. Demam mungkin tidak ditemukan atau minimal pada pasien usia lanjut atau pada gagal jantung kronik dan jarang pada EI katup asli yang disebabkan stafilokokus koagulase positif.1 Ditemukan murmur jantung pada 80-85% pasien EI katup asli, dan sering tidak terdengar. Pembesaran limpa ditemukan pada 15-50% pasien dan lebih sering pada EI subakut. Tanda karena kelainan vaskuler seperti  petekie, merupakan manifestasi perifer tersering, dapat ditemukan pada konjungtiva palpebra, mukosa palatal, dan bukal, ektremitas dan tidak spesifik pada EI. Splinter   atau  subungual haemorrhage merupakan gambaran merah gelap, linier atau jarang berupa  flame shaped  streak pada dasar kuku atau jari, biasanya pada bagian proksimal. Osler nodes biasanya berupa nodul subkutan kecil yang nyeri yang terdapat pada jari atau jarang pada jari lebih proksimal dan menetap dalam beberapa jam atau hari, namun tidak patognomonis untuk EI.  Janeway lesions berupa eritema kecil atau makula hemoragik yang tidak nyeri pada tapak tangan atau kaki dan merupakan akibat emboli septik. Roth spots, perdarahan retina oval dengan pusat yang pucat, jarang ditemukan pada infeksi endokarditis. Gejala muskuloskeletal sering ditemukan berupa artralgia, mialgia.1,4 EI subakut setelah 2 minggu inkubasi, keluhan seperti infeksi umum (demam tidak terlalu tinggi, sakit kepala, nafsu makan kurang, lemas, berat badan turun).Timbulnya gejala komplikasi seperti gagal jantung, gejala emboli pada organ, misalnya gejala neurologis, sakit dada, sakit perut kiri atas, hematuria, tanda iskemia di ekstremitas.1,3 Emboli septik merupakan sequellae klinis tersering EI, dapat terjadi sampai 40% pasien dan kejadiannya cenderung menurun selama terapi antibiotik yang efektif. Gejala dan tanda neurologis terjadi pada 30-40% pasien EI dan dikaitkan dengan peningkatan mortalitas. Stroke emboli merupakan manifestasi klinis tersering. Manifestasi klinis lain yaitu perdarahan intrakranial yang  berasal dari ruptur aneurisma mikotik, ruptur arteri karena arteritis septik, kejang dan ensefalopati.2,3 Diagnosis EI ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik yang teliti,  pemeriksaan laboratorium antara lain: kultur darah dan pemeriksaan penunjang ekokardiografi. Investigasi diagnosis harus dilakukan jika pasien demam disertai satu atau lebih gejala kardinal; ada  predisposisi lesi jantung atau pola lingkungan, bakteremia, fenomena emboli dan bukti proses endokard aktif, serta pasien dengan katup prostetik.3 Pada anamnesis, keluhan tersering yang muncul adalah demam (80-85%), kemudian keluhan lainnya yang muncul seperti menggigil, sesak napas, batuk, nyeri dada, mual, muntah, penurunan  berat badan dan nyeri otot atau sendi. 3 Pada pemeriksaan fisik yang cukup penting adalah ditemukannya murmur pada katup yang terlibat (80-85%). Murmur yang khas adalah blowing   holosistolik pada garis sternal kiri bawah dan terdengar lebih jelas saat inspirasi ( Rivello-Carvallo maneuver ). Sedangkan EI pada katup jantung kiri, murmur ditemukan pada lebih dari 90%. Tanda EI pada pemeriksaan fisik yang lain adalah tanda-tanda kelainan pada kulit antara lain fenomena emboli, splenomegali, clubbing , petekie, splinter haemorrhage, osler node, janeway lesions, roth spots .7,8 Pada pemeriksaan laboratorium sering didapatkan hemoglobin rendah, lekositosis, laju endap darah (LED) meningkat, analisis urin menunjukkan hematuria dengan proteinuria. Pemeriksaan kultur 9

darah untuk kuman baik aerob maupun anaerob.7 Kultur darah yang positif merupakan kriteria diagnostik utama dan memberikan petunjuk sensitivitas antimikroba. Beberapa peneliti merekomendasikan kultur darah diambil paad saat suhu tubuh tinggi. Dianjurkan pengambilan darah kultur 3 kali, sekurang-kurangnya dengan interval 1 jam, dan tidak melalui jalur infus. Pemeriksaan kultur darah terdiri atas satu botol untuk kuman aerob dan satu botol untuk kuman anaerob dan diencerkan sekurang kurangnya 1:5 broth media. Minimal  jumlah darah yang diambil 5 ml, lebih baik 10 ml pada orang dewasa. Jika kondisi pasien tidak akut, terapi antibiotika dapat ditunda 2-4 hari.7,8 Ekokardiografi transtorakal dan transoesofageal (TTE / TEE) sekarang sangat penting dalam menegakkan diagnosis, manajemen, dan tindak lanjut dari EI. Ekokardiografi harus dilakukan dengan segera, begitu dicurigai adanya EI. Deteksi ekokardiografi transtorakal (TTE) pada pasien yang dicurigai EI sekitar 50%. Pada katup asli sekitar 20% TTE memperlihatkan kualitas suboptimal. Hanya 25% vegetasi 6mm. Jika  bukti klinis ditemukan, ekokardiografi transesofageal (TEE) meningkatkan sensitivitas kriteria Duke untuk diagnosis pasti EI. Sensitivitas TEE dilaporkan 88-100% dan spesifisitas 91-100%. Pada kasus yang dicurigai terdapat komplikasi seperti pasien dengan katup prostetik dan kondisi tertentu seperti  penyakit paru obstruksi kronis, atau terdapat deformitas pada dinding dada, ekokardiografi transesofageal lebih terpilih daripada transtorakal.9

Gambar 6. Algoritma penegakan diagnosis Endokarditis Infektif

10

Kriteria mayor 1. Kultur darah positif untuk EI

a.

Mikroorganisme tipikal konsisten dengan EI berdasarkan hasil 2 kultur darah yang terpisah: 

Streptokokus viridans, Streptokokus gallolitikus (Streptokokus bovis), grup HACEK (Haemofilus parainfluenzae, H. Afrofilus, H. Parafrofilus, F. Influenzae, Aktinobasilus aktinomisetemkomitans, Kardiobakterium hominis, Eikenella korrodens, Kingella kingae, dan K. Denitirifikans), Stafilokokus aureus; atau



Enterokoki yang didapat dari masyarakat, dengan tidak adanya fokus primer; atau

 b. Mikroorganisme konsisten dengan EI dari kultur darah yang positif secara persisten: 

Kultur darah positif ≥2 kali dari sampel darah yang diambil terpisah ≥12 jam; atau



Semua dari 3 atau mayoritas dari kultur darah yang terpisah ≥4 kali (dengan penarikan sampel pertama kali dan yang terakhir ≥1 jam); atau

c.

Kultur darah tunggal positif untuk Koksiella burnetii atau titer antibodi Ig G fase I > 1:800

2. Pencitraan positif untuk EI

a.

Positif ekokardiogram untuk EI: 

Vegetasi;



Abses, pseudoaneurisma, fistula intrakardiak;



Perforasi katup atau aneurisma;



Dehisense parsial yang baru dari katup prostesis

 b. Aktivitas yang abnormal di sekeliling daerah katup prostetik yang diimplantasi dengan deteksi

F-FDG

PET/CT

(hanya

jika

prostetik

diimplantasi

>3

bulan)

atau

 RadiolabelledWBC  SPECT/CT. c.

Lesi paravalval yang tegak dengan CT kardiak.

Kriteria minor

1. Predisposisi seperti predisposisi kondisi jantung, atau penggunan obat suntikan. 2. Demam yang didefinisikan sebagai temperatur >38 ◦C. 3. Fenomena vaskular (termasuk yang dideteksi hanya dengan pencitraan): emboli arterial mayor, infark pulmonal sepsis, (mikotik) aneurisma infeksius, perdarahan intrakranial,  perdarahan konjungtiva, dan lesi janeway. 4. Fenomena imunologis: glomerulonefritis, nodul Osler, bintik Roth, dan faktor reumatoid. 5. Bukti mikrobiologis: kultur darah positif t etapi tidak memenuhi kriteria mayor sebagaimana di atas atau bukti serologis dari infeksi yang aktif dengan organisme yang konsisten dengan EI. Tabel 1. Kriteria Mayor dan Minor untuk menegakkan Diagnosis Endokarditis Infektif

11

Pasti EI

Kriteria Patologis 

Mikroorganisme ditunjukkan dengan kultur atau pemeriksaan histologis dari vegetasi, vegetasi yang mengalami embolisasi, atau spesimen abses intrakardiak; atau



Lesi patologis; vegetasi atau abses intrakardiak yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan histologis yang menunjukkan edokarditis aktif

Kriteria Klinis 

2 kriteria mayor; atau



1 kriteria mayor dan 3 kriteria minor; atau



5 kriteria minor

Kemungkinan EI 

1 kriteria mayor dan 1 kriteria minor



2 kriteria minor

Ditolak EI 

Tegak diagnosis lain; atau



Resolusi gejala dari awalnya disangkakan EI dengan terapi antibiotik selama ≤4 hari; atau



Tidak ada bukti patologis EI saat pembedahan atau otopsi, dengan antibiotik terapi selama ≤4 hari; atau



Tidak memenuhi kriteria untuk kemungkinan EI seperti di atas Tabel 2. Klasifikasi Endokarditis Infektif

Keberhasilan terapi EI bergantung kepada eradikasi mikroba dengan menggunakan obatobatan antimikroba. Pembedahan akan berkontribusi dalam mengeluarkan material yang terinfeksi dan mendrainase abses. Pertahanan host hanya sedikit membantu. Hal ini menjelaskan kenapa regimen bakterisidal lebih efektif dibandingkan dengan regimen bakteriostatik, pada eksperimen hewan dan pada manusia. 2 Terapi dan tatalaksana terhadap EI dibagi menjadi 2 yaitu terapi antibiotik dan terapi operatif. Perawatan pada pasien EI dapat diberikan terapi simptomatis. Pada keadaan demam dapat diberikan antipiretik, pasien dengan gagal jantung dapat diberikan obat yang mengurangi beban jantung.8 Penatalaksanaan kasus EI biasanya berdasarkan terapi empiris, sementara menunggu hasil kultur. Pemilihan antibiotika pada terapi empiris ini dengan melihat kondisi pasien dalam keadaan akut atau subakut. Faktor lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah riwayat penggunaan antibiotika sebelumnya, infeksi di organ lain dan resistensi obat. Sebaiknya antibiotika yang diberikan  pada terapi empiris berdasarkan pola kuman serta resistensi obat pada daerah tertentu yang evidence based.10 Pada keadaan EI akut, antibiotika yang dipilih haruslah yang mempunyai spektrum luas yang dapat mencakup S. Aureus, Streptokokus dan basil gram negatif. Sedangkan pada keadaan EI subakut regimen terapi yang dipilih harus dapat membasmi streptokokus termasuk E.faecalis.10,11 12

Pada kasus CNE (Culture Negative Endocarditis) sebelum pengobatan dimulai, harus dibuat strategi diagnostic dan riwayat pasien (seperti pengguna obat IV, implantasi katup, daerah dengan  prevalensi MRSA yang tinggi), harus ditinjau untuk memusatkan perhatian pada organisme yang mungkin menjadi penyebab EI, harus diperhatikan pula apakah pasien telah mendapat antibiotik sebelumnya. 1,5,6 Hasil kultur negatif terjadi pada 2,5-31% dari semua kasus EI, dan hal ini sering menyebabkan tertundanya diagnosis dan inisiasi terapi, di mana hal ini dapat berdampak pada outcome  pasien. CNE kebanyakan terjadi karena adanya penggunaan antibiotik sebelumnya, hal ini yang menjadi penyebab dibutuhkannya penggantian antibiotik dan mengulang kuktur darah pada situasi ini. Skenario tersering yaitu infeksi yang disebabkan oleh organisme yang sulit ataupun membutuhkan alat khusus untuk dapat mengidentifikasinya.1,4,12

Tabel 3. Terapi EI untuk hasil kultur darah negatif diambil dari Guidelines for the management Infective Endocarditis ESC 2015

Indikasi dilakukannya terapi operatif pada pasien EI adalah:4,13,14 1. Gagal Jantung 

EI katup mitral atau aorta dengan regurgitasi berat yang akut atau obstruksi katup yang menyebabkan edema paru ataupun syok kardiogenik. 13



EI katup aorta atau mitral dengan fistel ke ruangan jantung atau perikardium yang menyebabkan edema paru dan syok kardiogenik.



EI katup aorta atau mitral dengan regurgitasi berat yang akut atau obstruksi katup dan gejala gagal jantung menetap.

2. Infeksi tidak terkontrol 

Infeksi lokal yang tidak terkontrol (abses, aneurisma palsu, fistula dan vegetasi yang membesar).



Demam yang berkepanjangan dan kultur (+) >7-10 hari.



Infeksi jamur ataupun mikroorganisme multiresisten.

3. Mencegah tromboemboli 

EI mitral atau aorta dengan vegetasi > 10mm dengan kejadian emboli walaupun dengan terapi adekuat.



Vegetasi > 15 mm



Vegetasi >10 mm pada mitral atau aorta dengan kasus sulit.

Tabel 4. Indikasi Operasi pada Endokarditis Infektif

Saat ini, 50% dari pasien menjalani prosedur bedah selama rawat inap. Pada pasien yang membutuhkan operasi mendesak, infeksi persisten dan gagal ginjal merupakan prediktor mortalitas. Diprediksikan, pasien dengan indikasi untuk operasi namun tidak dapat dilakukan karena risiko bedah yang tinggi memiliki prognosis terburuk.1,4 Prognosis dari EI dipengaruhi oleh empat faktor utama yaitu karakteristik pasien, ada atau tidaknya komplikasi kardiak maupun nonkardiak, organisme yang menginfeksi dan temuan 14

ekokardiografi (Tabel 3). Pasien dengan gagal jantung, dengan komplikasi periannular, dan dengan infeksi S. Aureus memiliki resiko yang tinggi untuk menyebabkan kematian dan membutuhkan  pembedahan segera pada fase aktif dari penyakit tersebut. Bila tiga faktor ini ditemukan resikonya menjadi 79%. Pasien dengan DM tipe 2 dan dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun dan adanya temuan stroke juga merupakan prediktor outcome yang buruk pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Sebagai kesimpulan, penjajakan prognosis pada saat pasien datang dapat dilakukan dengan menggunakan parameter klinis, mikrobiologi, dan ekokardiografi sehingga dapat l angsung digunakan untuk menentukan pilihan terapetik yang terbaik.2,5,14

Penyakit Jantung Rematik

Penyakit jantung reumatik merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung reumatik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya.

5,15

Demam rematik dan penyakit jantung

rematik adalah komplikasi non supuratif dari faringitis akibat infeksi Streptokokus Grup A akibat respon imun yang tertunda. Streptokokus grup A merupakan bakteri paling sering yang menyebabkan faringitis, dengan insidensi tertinggi pada anak hingga remaja usia 5-15 t ahun. Diketahui bahwa faktor lingkungan serta status sosioekonomi memegang peranan penting walaupun tidak secara langsung dalam derajat keparahan demam rematik dan penyakit jantung rematik. Untuk menegakkan diagnosis demam rematik dipakai sebuah kriteria. Kriteria Jones pertama kali diusulkan sebagai panduan klinis untuk menegakkan diagnosis demam rematik dan karditis. Gejala klinis dari demam rematik dibagi menjadi kategori mayor dan minor. Kriteria mayor antara lain karditis, gejala sendi, nodul subkutan, dan korea, serta riayat demam rematik atau penyakit  jantung rematik sebelumnya karena demam rematik dapat berulang. Kriteria minor antara lain gejala klinis seperti demam, nyeri perut, epistaksis serta marker laboratorium seperti leukositosis,  peningkatan LED dan CRP (C-Reactive Protein). Untuk membuktikan sebuah aktivitas rematik akut, diperlukan adanya dua kriteria mayor atau satu mayor dan dua minor. Sedangkan untuk menegakkan diagnosis rekurensi, kriteria minor saja sudah cukup. Selain itu, adanya bukti infeksi oleh streptokokus juga penting untuk menegakkan diagnosis demam rematik.5,16

15

Karditis merupakan faktor prognostik paling penting pada demam rematik. Secara klinis, karditis dapat ditegakkan dari adanya murmur yang signifikan (regurgitasi aorta dengan atau tanpa regurgitasi mitral), pericardial rub atau kardiomegali dengan CHF. Keterlibatan rematik pada demam rematik rekuren juga sering terjadi terutama jika episode awal melibatkan jantung. Pada keadaan rekuren atau reaktivasi, karditis dapat muncul dengan gejala klinis failure. Dalam hal ini, penting untuk membedakan karditis rekuren sebagai penyebab failure atau klinis yang timbul sebagai dekompensasi dari kelainan valvular yang progresif. 5,15,16 Intervensi operatif sebagai penatalaksanaan terhadap penyakit jantung rematik yang kronis dapat dipertimbangkan terutama jika kriteria klinis dan ekokardiografi mendukung srta operasi daat dijangkau dan memungkinkan untuk dilakukan. Pada beberapa kasus, kejadian gagal jantung, terutama jika sudah terjadi disfungsi sistolik dari ventrikel kiri menunjukkan bahwa operasi seharusnya sudah dilakukan sejak awal. Pencegahan primer demam rematik meliputi pemberian terapi antibiotik adekuat terhadap infeksi saluran nafas bagian atas yang disebabkan oleh streptokokus grup A untuk mencegah serangan inisial demam rematik akut.17 Pencegahan primer hanya diberikan jika jealas terbukti adanya infeksi streptokokus grup A. Terapi diberikan secara intermiten, berbeda dengan pencegahan sekunder terhadap demam rematik dimana pemberian antibiotik diberikan secara terus menerus. 16

Pencegahan sekunder terhadap demam rematik diartikan sebagai pemberian antibiotik secara terus menerus terhadap pasien dengan riwayat demam rematik sebelumnya atau dengan penyakit  jantung rematik. Tujuannya adalah untuk mencegah kolonisasi atau infeksi dari streptokokus grup A serta terjadinya serangan demam rematik rekuren. Profilaksis sekunder diwajibkan untuk semua  pasien yang mendapat serangan demam rematik dengan atau kelaianan katup rematik residual.5,18

17

Cukup sulit untuk menentukan seberapa lama profilaksis sekunder harus diberikan. Durasi  profilaksis untuk pasien dengan riwayat demam rematik yang tidak jelas dan tidak terbukti adanya kelainan katup jantung berbeda dengan pasien dengan kelainan katup jantung residual serta serangan rekuren yang jelas.5

Pasien yang datang ke rumah sakit harus dilakukan beberapa pemeriksaan untuk memastikan diagnosis. Pemeriksaan awal berupa kultur swab tenggorokan, pemeriksaan titer antibody streptokokus, pemeriksaan reaktan infeksi fase akut (LED atau CRP), foto toraks, ekg serta ekokardiografi. Semua pasien dengan karditis disarankan untuk tirah baraing selama setidaknya 4 minggu, walaupun akan berbeda bagi setiap pasien. Pemberian antibiotik segera diberikan setelah sampel untuk pemeriksaan kultur darah dilakukan. Antibiotik tidak merubah keparahan keterlibatan kardiak dalam hal ini. Eradikasi dari streptokokus harus diikuti dengan profilaksis sekunder jangka panjang untuk mencegah infeksi streptokokus rekuren.5  Selain itu juga diperlukan terapi untuk menekan proses inflamasi. Aspirin 100mg/hari terbagi dalam 4-5 dosis adalah pilihan pertama. Prednison juga merupakan pilihan dengan dosis 2mg/kg per hari dengan dosis maksimal 60-80mg/hari dengan dosis tunggal atau terbagi. Karena  belum ada bukti yang menunjukkan bahwa pemberian aspirin atau kortikosteroid mempengaruhi keparahan karditis atau menurunkan insidensi kelainan jantung, durasi dari terapi anti inflamasi ini tergantung dari respons klinis tiap pasien.5,18

IV.

KESIMPULAN

Endokarditis infektif merupakan suatu penyakit yang terkait dengan penyakit jantung rematik. Ketika kedua penyakit ini dialami sekaligus pada seorang pasien, terjadi peningkatan morbiditas dan mortalitas. Pada pasien-pasien seperti ini, profilaksis terhadap endocarditis infektif direkomendasikan. Akan tetapi, pasien yang menderita demam rematik tetapi dengan tanpa bukti adanya kerusakan katup-katup jantung, tidak memerlukan profilaksis endocarditis. Pada pasien dengan penyakit jantung rematik, endocarditis infektif biasanya terjadi pada katup aorta atau mitral karena kedua katup ini merupakan katup yang umumnya rusak pada penyakit jantung rematik. Pada kasus ini, dilaporkan seorang wanita usia 38 tahun dengan kemungkinan endocarditis infektif bersamaan dengan penyakit jantung rematik reaktivasi (rekurensi). Diagnosa ditegakkan 18

melalui anamnesa yaitu dijumpai keluhan gagal jantung serta riwayat yang mendukung untuk suatu reaktivasi atau rekurensi demam rematik. Kemudian dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan  penunjang, dijumpai adanya kelainan katup berupa AR Severe disertai vegetasi dan MR Severe. Kemudian pasien dianjurkan untuk segera dilakukan operasi evakuasi vegetasi karena resiko terjadinya emboli yang cukup tinggi. Pasien telah dioperasi selama masa rawatannya. Pasien pulang dalam keadaan baik dan stabil, dengan tetap terjadwal untuk mendapat profilaksis sekunder untuk  penyakit jantung rematiknya.

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Infective Endocaditis. Guidelines from the American Heart Association 2007 2. Guidelines on Prevention, Diagnosis and Treatment of infective Endocarditis. The task force on infective Endocarditis of the European Society of Cardiology 2009. 3. Prevention of infective Endocarditis, Guidelines from the American Heart Association 2007 4. Cardiovascular Care Made Incredibly Visual (2nd edition); Lippincott Williams & Wilkins, 2011 5. WHO Technical Report Series. Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease.2004 6.

Guidelines for the management of Infective Endocarditis. The task force on infectiive endocarditis of the Europian Society of Cardiology 2015.

7. Horstkotte D, Follath F, Gutschik E, Lengyel M, Oto A, Pavie A, Soler-Soler J, Thiene G, von Graevenitz A, Priori SG, Garcia MA, Blanc JJ, Budaj A, Cowie M, Dean V, Deckers J, Fernandez BE, Lekakis J, Lindahl B, Mazzotta G, Morais J, Oto A, Smiseth OA, Lekakis J, Vahanian A, Delahaye F, Parkhomenko A, Filipatos G, Aldershvile J, Vardas P. Guidelines on prevention, diagnosis and treatment of infective endocarditis executive summary: the Task Force on Infective Endocarditis of the European Society of Cardiology. Eur Heart J 2004;25:267 – 276 8. Wilson W, Taubert KA, Gewitz M, Lockhart PB, Baddour LM, Levison M, Bolger A, Cabell CH, Takahashi M, Baltimore RS, Newburger JW, Strom BL, Tani LY, Gerber M, Bonow RO, Pallasch T, Shulman ST, Rowley AH, Burns JC,Ferrieri P, Gardner T, Goff D, Durack DT. Prevention of infective endocarditis:guidelines from the American Heart Association: a guideline from the American Heart Association Rheumatic Fever, Endocarditis, and Kawasaki Disease Committee, Council on Cardiovascular Disease in the Young, and the Council on Clinical Cardiology, Council on Cardiovascular Surgery and Anesthesia, and the Quality of Care and Outcomes Research Interdisciplinary Working Group. Circulation 2007;116:1736 – 1754. 9.  Naber CK, Erbel R, Baddour LM, Horstkotte D. New guidelines for infective endocarditis: a call for collaborative research. Int J Antimicrob Agents 2007;29: 615 – 616 10.  Nishimura RA, Carabello BA, Faxon DP, Freed MD, Lytle BW, O’Gara PT, O’Rourke RA, Shah PM. ACC/AHA 2008 guideline update on valvular heart disease:focused update on infective endocarditis: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines: endorsed by the Society of Cardiovascular Anesthesiologists, Society for Cardiovascular Angiography and Interventions, and Society of Thoracic Surgeons.Circulation 2008;118:887 – 896. 11. Kang DH, Kim YJ, Kim SH, Sun BJ, Kim DH, Yun SC, Song JM, Choo SJ, Chung CH, Song JK, Lee JW, Sohn DW. Early surgery versus conventional treatment for infective endocarditis. N Engl J Med 2012;366:2466 – 2473. 12. Botelho-Nevers E, Thuny F, Casalta JP, Richet H, Gouriet F, Collart F, Riberi A, Habib G,Raoult D. Dramatic reduction in infective endocarditis-related mortality with management-based approach. Arch Intern Med 2009;169:1290 – 1298. 13. Thuny F, Grisoli D, Collart F, Habib G, Raoult D. Management of infective endocarditis: challenges and perspectives. Lancet 2012;379:965 – 975 20

14. Habib G. Management of infective endocarditis. Heart 2006;92:124 – 130. 15. Daly CG, Currie BJ, Jeyasingham MS, Moulds RF, Smith JA, Strathmore NF, Street AC, Goss AN. A change of heart: the new infective endocarditis prophylaxis guidelines. Aust Dent J 2008;53:196 – 200 16. Chambers JB, Shanson D, Hall R, Pepper J, Venn G, McGurk M. Antibiotic prophylaxis of endocarditis: the rest of the world and NICE. J R Soc Med 2011;104:138 – 140 17. Sochowski RA, Chan KL. Implication of negative results on a monoplane transesophageal echocardiographic study in patients with suspected infective endocarditis. J Am Coll Cardiol 1993;21:216 – 221 18. Bisno AL et al. Practice guidelines for the diagnosis and management of group A streptococcal  pharyngitis. Clinical Infectious Diseases, 2002, 35(2):113 – 125.

21

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF