Lapa. Kologi Antagonisme Obat

May 9, 2018 | Author: Listya Cindy Softyani | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

anatgonis obat...

Description

KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT seru sekalian alam , berkat rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan laporan praktek farmakologi. Dalam menyusun laporan ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis alami namun berkat dukungan, dorongan dan semangat dari banyak pihak sehingga penulis mampu menyelesaikannya. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung pembuatan laporan ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan ini. Oleh karena itu segala kritikan dan saran sangat dibutuhkan untuk pembuatan laporan berikutnya agar lebih baik lagi.Penulis berharap semoga laporan ini dapat diterima dengan baik oleh pembaca dan  bermanfaat buat kita semua.

JAKARTA, AGUSTUS 2013

PENULIS

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Judul Percobaan : Eksperimen Dasar Eksperimen dasar meliputi antagonisme obat dan dosis obat serta respon. 1.2 Tujuan Percobaan  

Untuk mengetahui efek yang ditimbulkan dari kobalt klorida dan Ca-EDTA, untuk mengetahui obat-obat yang tergolong kolinergik. Memperoleh gambaran bagaimana merancang eksperimen untuk memperoleh DE50 dan DL50 dan memahami konsep indeks terapinya.

1.3 Prinsip Percobaan o

o

o

Ca-EDTA adalah asam amino yang dibentuk dari protein makanan , zat ini sangat kuat menarik logam berat termasuk kalsium dari jaringan dalam tubuh. Pemberian EDTA secara intravena dapat mengikat atau menjepit logam berat yang berada pada posisi patologis. Intensitas efek obat pada makhluk hidup lazimnya meningkat jika dosis obat yang diberikan kepadanya juga ditingkatkan. Prinsip ini memungkinkan untuk menggambarkan kurva efek obat sebagai fungsi dari dosis yang diberikan atau menggambarkan kurva dosis-respon Antagonisme mungkin terjadi, jika kedua obat tersebut bekerja dengan efek farmakologi yang saling bertentangan.

2

BAB I PENDAHULUAN 1.1

Judul Percobaan = Efek obat pada membran dan kulit mukosa Meliputi :

1.2

Tujuan Percobaan o

o

o

1.3

Gugur bulu Efek korosif Efek local fenol dalam berbagai pelarut Efek astringen

Memahami efek local dari berbagai obat atau senyawa kimia terhadap kulit dan membran mukosa berdasarkan cara kerja masing  –   masing, serta dapat di aplikasikan efek obat dalam praktik dan dampak efek local senyawa kimia digunakan sebagai dasar keamanan  penanganan bahan. Memahami sifat dan intesitas kemampuan merusak kulit dan membran mukosa dari  berbagai obat yang bekerja local. Menyimpulkan persyaratan  –   persyaratan farmakologi untuk obat  –   obat yang dipakai secara local.

Prinsip Percobaan a) Zat- zat yang dapat menggurkan bulu bekerja dengan cara memecahkan ikatan S-S pada keratin kulit sehingga bulu mudah rusak dan gugur.  b) Zat-zat korosif bekerja dengan cara oksidasi, mengendapkan protein kulit, sehingga kulit atau membran mukosa akan rusak c) Fenol dalam berbagai pelarut akan menunjukkan efek local yang berbeda pula, karena koefisien partisi yang berbeda-beda dalam berbagai pelarut dan juga karena permeabilitas kulit akan mempengaruhi penetrasi fenol kedalam jaringan. d) Zat-zat yang bersifat astringen bekerja dengan cara mengkoagulasikan protein, sehingga  permeabilitas sel-sel pada kulit atau membran mukosa yang dikenai menjadi turun, dengan akibat menurunnya sensitivitas dibagian tersebut.

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1

Antagonisme obat

Antagonisme obat adalah senyawa yang menurunkan atau mencegah sama sekali efek agonis(Mutscler,1991).Dibedakan jenis-jenis berikut : 1.Antagonis Kompetitif Antagonis Kompetitif seperti halnya agonis, berkaitan dengan reseptor tertentu. Senyawa ini memiliki afinitas terhadap reseptor. Akan tetapi berbeda dengan agonis, senyawa ini tidak mampu menimbulkan efek , senyawa ini tidak menunjukkan aktivitas intrinsik.Karena agonis dan antagonis kompetitif bersaing pada reseptor yang sama( yang disebut bersaing pada tempat kerja ), maka menurut hukum kerja massa, masing-masing dapat mengusir yang lain dari reseptor akibat kenaikan konsentrasi dari salah satu senyawa(Mutscler,1991). Antagonis kompetitif ialah obat yang jika berinteraksi dengan reseptor spesifik membentuk kompleks ikatan antagonis reseptor secara reversible tetapi tidak menyebabkan timbulnya respon. Oleh karena itu aktivitas intrinsik suatu antagonis kompetitif kuat sama dengan nol (Ngatidjan, 2006).Ikatan antara antagonis irreversible dengan reseptor sangat erat sehingga tingkat disosiasi dari kompleks antagonis-reseptor sangat rendah, mendekati nol. Oleh karena itu dengan menaikkan konsentrasi agonis tidak dapt mengurangi efek antagonis, karena efek antagonis terus meningkat seiring waktu dan kadar antagonis itu sendiri. Dengan demikian populasi reseptor yang tersisa untuk antagonis berbanding terbalik dengan kadar antagonis dan efek maksimal agonis menurun. 2. Antagonis Tak Kompetitif Antagonis tak kompetitif mampu melemahkan kerja agonis dengan cara yang  berbeda.Contohnya suatu obat tidak mencapai daerah reseptor yang sebenarnya, tetapi  bekerja pada tempat lain pada protein reseptor , yaitu alosterik(Mutscler,1991). Pada antagonis tak kompetitif, aksi penghalangan adalah reversible, mereka mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor atau membentuk perubahan kimiawi yang irreversible dalam reseptor. Pada perubahan agonis berikutnya tidak menyimpan lagi efek secara penuh,  penghalangan ini dapat memblokir hanya sebagian suatu fraksi reseptor atau dapat keseluruhan. Antagonis mengikat reseptor secara irreversibel, di receptor site maupun di tempat lain, sehingga menghalangi ikatan agonis dengan reseptornya. Dengan demikian antagonis mengurangi jumlah reseptor yang tersedia untuk berikatan dengan agonisnya, sehingga efek maksimal akan  berkurang. Tetapi afinitas agonis terhadap reseptor yang bebas tidak berubah. Anogis parsial adalah anogis yang lemah artinya agonis yang mempunyai aktivitas intristik atau efektivitas yang rendah sehingga menimbulkan efek maksimal yang lemah.

4

2.2

Dosis obat dan respon Mencit digunakan sebagai hewan model hidup dalam berbagai kegiatan penelitan terutama yang akan diterapkan pada manusia. Hewan ini mudah didapat, mudah dikembangbiakkan dan harganya relatip murah, ukurannya kecil sehingga mudah ditangani,  jumlah anak perperanakannya banyak. Sebagaimana makhluk hidup lainnya selama pertumbuhan dan perkembangannya mencit tidak dapat lepas dari pengaruh berbagai faktor lingkungan hidupnya. ( Sundari,2011) Dosis obat yang harus diberikan pada pasien untuk menghasilkan efek yang diharapkan tergantung dari banyak faktor, antara lain usia, bobot badan, jenis kelamin, besarnya permukaan  badan, beratnya penyakit dan keadaan si pasien (Ganiswarna, 1995). Righting reflex adalah reaksi tubuh pada hewan untuk kembali ke posisi semula sehingga kuku dan kakinya menempel ke tanah setelah s e b e l u m n y a diposisikan pada posisi terlentang. Hal tersebut diuji dengan cara mengangkat ekor mencitdan meletakkan nya pada posisi terbal ik.( Udithdi ta, 2011 ) Dilihat dari usia, dosis dapat memberikan efek-efek yang bervariasi. Pada anak-anak kecil dan terutama bayi-bayi yang baru lahir ( neonati) menunjukkan kepekaan yang lebih besar terhadap obat, karena fungsi hati dan ginjal serta sistem-sistem enzimnya belum lengkap  perkembangannya. Untuk orang-orang tua dengan usia di atas 65 tahun, lazimnya lebih peka pula untuk obat, karena sirkulasi darahnya sudah berkurang begitu pula fungsi hati dan ginjalnya hingga eliminasi obat berlangsung lebih lambat, sementara jumlah albumin darahnya lebih sedikit maka pengikatan obat lebih berkurang. Hal ini berarti bahwa bentuk bebas dan aktif dari  obatobat ini menjadi lebih besar dan bahaya keracunan bertambah. Akhirnya pada mereka tidak  jarang terjadi kerusakan-kerusakan umum (difus) pada otak yang mengakibatkan meningkatnya kepekaannya untuk obat-obat dengan kerja sentral, misalnya obat-obat tidur (khususnya barbital-barbital, nitrazepam), morfin dan turunannya, neuroleptika dan antidepresiva (Ganiswarna, 1995). Untuk kebanyakan obat, keseragaman respons pasien terhadap obat terutama disebabkan oleh adanya perbedaan individual yang besar dalam factor- factor farmakokinetik, kecepatan biotransformasi, suatu obat menunjukan variasi yang terbesar. Variasi dalam berbagai factor farmakokinetik dan farmakodinamik ini berasal dari perbedaan individual dalam kondisi

fisiologik,

kondisi

patologik,

factor

genetik,

interaksi

obat

dan

toleransi.

Fasefarmakokinetik berkaitan dengan masuknya zat aktif kedalam didalam organ penerima obat. Fase farmakokinetik ini merupakan salah satu unsur penting yang menentukan profil keberadaan zat aktif pada tingkat biofase dan yang selanjutnya menentukan aktivitas terapetik obat.

Median efektif dosis (ED 50) dapat digunakan untuk pemberian dosis obat yang menyebabkan 50% dari hewan uji: o

Berekasi atau tidak bereaksi (reaksi yang diharapkan) 5

o o o

2.3

Hidup atau mati (LD 50) Positif atau negatif Masuk dalam kategori yang diharapkan atau tidak (Ninda, 2010).

Efek lokal obat pada membran dan kulit mukosa Obat yang diberikan melalui kulit dan membrane mukosa pada prinsipnya menimbulkan efek local. Pemberian topical dilakukan dengan mengoleskannya di suatu daerah kulit, memasang balutan lembab, merendam bagian tubuh dengan larutan, atau menyediakan air mandi yang dicampur obat efek sistemik timbul. Selain dikemas dalam bentuk untuk diminum atau diinjeksikan , berbagai jenis obat dikemas dalam bentuk obat luar seperti lotion, liniment, pasta dan bubuk yang biasanya dipakai untuk pengobatan gangguan dermatologis misalnya gatal-gatal , kulit kering, infeksi dan lain-lain. Obat topical juga dikemas dalam bentuk obat tetes (instilasi) yang dipakai untuk tetes mata, telinga, atau hidung serta dalam bentuk untuk irigasi baik mata, telinga, hidung, vagina, maupun rectum.Dalam memberikan pengobatan kita sebagai perawat harus mengingat dan memahami prinsip enam benar agar kita dapat terhindar dari kesalahan dalam memberikan obat, namun ada sebaiknya kita mengetahui peran masing-masing profesi yang terkait dengan upaya pengobatan.

Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan cedera pada tempat bahan tersebut  bersentuhan dengan tubuh. Efek lokal ini dapat diakibatkan oleh senyawa kaustik, misalnya pada saluran pencernaan, bahan korosif pada kulit, serta iritasi gasu atau uap pada saluran pernapasan. Efek lokal ini menggambarkan perusakan umum pada sel-sel hidup. Efek sistemik terjadi hanya setelah toksikandiserap dan tersebar ke bagian lain dari tubuh. Pada umumnya toksikan hanya mempengaruhi satu atau beberapa organ saja. Organ seperti itu dinamakan “organ sasaran”. Kadar toksikan dalam organ sasaran tidak selalu yang paling tinggi.

6

BAB III PERCOBAAN DAN HASIL PENGAMATAN 3.1

Antagonisme obat Alat : -

Toples kaca Spuit Sarung tangan Koran Kapas

Bahan : -

Tikus jantan 3ekor Alcohol Ca- edta 500mg Ca-edta 20% ( campuran stokiometri dari Na-EDTA dan Cacl2 ) Kobalt klorida ( II )

3.2 Prosedur kerja o

o o

Sebelum masing-masing tikus disuntik dengan kobalt ( II ) klorida dosis sama, masing-masing tikus diamati selama 10 menit untuk mengenali karakteristik normal. Perhatikan secara khusus warna daun telinga , laju dan sifat pernapasan serta ada atau tidaknya tremor. Setelah pemberian kobalt ( II ) klorida, tempatkanlah setiap hewan dalam bejana pengamatan dari kaca. Tikus I disuntik Ca-EDTA setelah 10 menit disuntikkan kobalt ( II ) klorida, Tikus II dan III langsung disuntik kobalt (II) klorida.

3.3 Hasil Pengamatan Obat = kobalt klorida = 40mg/kg bb = 5gram/110ml Ca-EDTA = 500mg/kg bb = 20% = 20gram/100ml *Ca-EDTA = Campuran dari Na-EDTA = 2gram , CaCL2 = 2gram

Hewan percobaan Tikus I Tikus II Tikus III

Berat badan 196 gram 241 gram 238 gram

Aktivitas Aktif Aktif Aktif

Perhitungan dosis Tikus I ( berat 196 gram ) Kobalt klorida = 5 gram/110ml 196 mg : 1000 mg x 40 mg = 7,86 mg 7,86 mg : 5000 mg x 110 ml = 0,17 ml Ca-EDTA 20% = 500 mg 7

196 mg : 1000 mg x 500 mg = 98,25 Dosis = 98,25 : 20.000 x 100 ml = 0,49 ml

Tikus II ( berat 241 gram ) Kobalt klorida = 5 gram/110ml 241 mg : 1000 mg x 40 mg = 9,64 mg Dosis = 9,64 : 5000 x 110 ml = 0,21 ml Ca-EDTA 20% = 500 mg 241 mg : 1000 x 500 mg = 120,5 mg Dosis = 120,5 ml : 20.000 ml x 100 ml = 0,60 ml

Tikus III ( berat 238 gram ) Kobalt klorida = 5 gram/110ml 238 : 1000 mg x 40 mg = 9,52 mg 9,52 : 5000 ml x 110 ml = 0,21 ml Ca-EDTA 20% = 500 mg 238 : 1000 mg x 500 mg = 119 mg Dosis = 119 : 20.000 ml x 100 ml = 0,59 ml Jadi dosis yang digunakan untuk penyuntikan :

Hewan percobaan Tikus I Tikus II Tikus III

Kobalt klorida 0,19 ml 0,21 ml 0,20 ml

Ca-EDTA 0,49 ml 0,60 ml 0,59 ml

Pengamatan Tikus I 11.20 = Penyuntikkan Ca-EDTA 11.10 = Penyutikkan kobalt klorida 11.35 = penggerakan 11.40 = mulai berefek 11.45 = respon berkurang

Tikus II 11.25 = Penyuntikan kobalt 8

11.35 = lemas , aktivitas berkurang 11.37 = mata tertutup , diam 11.41 = respon berkurang 11.45 = penambahan Na-EDTA 0,6 ml

Tikus III 11.30 = Penyuntikan kobalt klorida 11.40 = lemas , aktivitas berkurang

3.2

Dosis obat dan respon Alat = -

Jarum suntik 1 ml Timbangan hewan Toples kaca Sarung tangan Kapas

Bahan =  

Tikus jantan 6 ekor Chlorpromazine injeksi 50mg/2ml

Prosedur kerja o

o

Hewan dibagi delapan kelompok, masing-masing kelompok dengan 5 ekor tikus. Tandai masing-masing tikus hingga mudah dikenali. Dosis yang digunakan lazimnya meningkat dengan faktor perkalian 2 ( untuk obat tertentu dapat dengan faktor perkalian yang berbeda). Dosis yang diberikan sebagai  berikut : KELOMPOK I II III IV V VI

DOSIS (mg/kg) 0,225/200 0,45/200 0,9/200 1,8/200 3,6/200 7,2/200 9

Pengamatan : Konversi dosis = 0,018 x 50mg= 0,9mg/kg Hewan percobaan Tikus I Tikus II Tikus III Tikus IV Tikus V Tikus VI

Berat badan 188 gram 252 gram 152 gram 180 gram 226 gram 182 gram

Obat : Chlorpromazin injeksi 50 mg/ 2 ml Cara Pemberian : Intra Peritoneal (I.P) Perhitungan dosis : 1. Tikus I ; BB 188 gram                      2. Tikus II ; BB 252 gram                   3. Tikus III ; BB 152 gram                      4. Tikus IV ; BB 180 gram                      5. Tikus V ; BB 226 gram        

10

   

     

6. Tikus VI ; BB 182 gram                  

Hasil pengamatan Proses Penyuntikan Perubahan aktivitas Sedasi Hipnotik RR Anastesi  Normal

Tikus I 10.05 10.25

Tikus II 10.10 10.25

Tikus III 10.12 10.28

Tikus IV 10.14 10.30

Tikus V 10.23 10.24

Tikus VI 10.25 10.26

-

-

10.50 10.55 Negatif 11.16

10.50 10.55 Negatif 11.16

10.28 10.32 Negative

10.39

10.39

10.29 10.32 Negatif 10.45 11.13

11

BAB III PERCOBAAN DAN HASIL PENGAMATAN



Efek lokal obat pada membran dan mukosa kulit Alat =

Batang pengaduk / spatel Cawan petri Gunting bedah Kasa steril Kertas saring Wadah kaca Sarung tangan Pipet tetes

o o o o o o o o

Bahan =

Menggugurkan bulu : o o o o o

Kulit tikus 4 potong 2,5 cm x 2,5 cm * Veet cream Jolen cream*  NaOH 20% Larutan NaCL fisiologis

Efek Korosif : o o o o o o o o

Usus dan Kulit tikus Larutan fenol 5% HgCL2 5% HCL p H2SO4 p AgNO3 5% Tingtur Iod  NaOH 10%

Efek lokal fenol dalam berbagai pelarut : o

Jari tangan

o

Fenol

o

Air 12

o

Gliserin

o

Etanol

o

Minyak lemak

Efek astringen : o

Mukosa mulut

o

Larutan tanin 1%

NB : * komposisi Jolen Cream :

Urea Pottasium thioglikolat Ca- Hidroksida

Prosedur : 1. Efek menggugurkan bulu : o

Tikus terlebih dahulu dikorbankan, lalu diambil kulitnya, kemudian kulit dibuat potonongan masing-masing 2,5 x 2,5 cm dan diletakkan diatas kertas saring.

o

Pada potongan-potongan kulit diteteskan larutan-larutan obat yang digunakan (veet cream dan jolen cream cukup dioleskan).

o

Setelah beberapa menit amat dengan batang pengaduk, lihatlah apakah ada  bulu yang gugur.

2. Efek korosif : o

Tikus yang sudah dikorbankan, ususnya diambil, dipotong-potong sepanjang 5 cm. Letakkan di atas kertas saring yang lembab, kemudian diteteskan cairan-cairan obat.

o

Setelah 15 menit, cairan yang berlebihan pada potongan usus diserap dengan kertas saring.

o

Potonga-potongan kulit tikus yang baru diambil, direndam selama 15 menit dalam cairan-cairan obat.

o

Potongan-potongan kulit tersebut kemudian dibilas dengan air dan cairan yang berlebihan akan diserap dengan kertas saring.

13

3. Efek lokal fenol dalam berbagai pelarut : o

Beaker glass telah disiapkan diisi dengan larutan –  larutan fenol.

o

Serentak dicelupkan empat jari tangan selama 5 menit kedalam wadah kaca tersebut.

o

Bila jari terasa nyeri sebelum 5 menit, segera jari diangkat dan bilas dengan etanol.

4. Efek Astringen : o

Mulut dibilas / dikumur dengan larutan tanin 1 %.

HASIL PENGAMATAN

1. Efek menggugurkan bulu :

Percobaan

Mulai pengolesan Veet cream

:

9:47 WIB

Mulai pengolesan Jolen cream

:

9:49 WIB

Mulai penetesan NaCl fis

:

9:55 WIB

Mulai penetesan NaOH 20%

:

10:24 WIB

Bau awal

Kaustik atau

Bahan

Larutan obat

 percobaan

yang diberikan

Efek lainnya

gugur bulu

 pada kulit Larutan NaOH

10.34-10.44

10.25 (warna

20%

(bulu habis)

 bulu menjadi kuning) menyebabkan korosif

Gugur bulu

Kulit tikus

Larutan Nacl

Tidak terjadi

fisiologis

gugur bulu

Veet cream

Bau menyengat

Mulai gugur

-

-

09.57-10.42 (sedikit demi sedikit)

14

Jolen cream

Tidak begitu

10.04-10.44

menyengat

(bulu habis)

-

2. Efek Korosif : Hasil Pengamatan : Percobaan

Bahan percobaan

Larutan obat

Sifat korosif

Kerusakan pada  jaringan 

Mukosa usus



Mukosa usus

H2SO4 pekat



Mukosa usus

HCL pekat



Mukosa usus



Mukosa usus

Lar. Raksa ( II ) klorida 5% Lar. Fenol 5% Lar. NaOH 10% Korosif

Usus tikus

Tingtur iod

_

_

Lar. AgNO3 1%

Keterangan : Lar. HgCl2 5%

: Mukosa usus rusak, berwarna putih dan melarut.

HCL pekat

: Mukosa usus rusak, mudah robek dan tidak elastis warna berubah menjadi putih.

Fenol 5%

: Mukosa korosif, terdapat gumpalan putih pada mukosa.

H2SO4 pekat

: Mukosa rusak, berubah warna menjadi putih.

AgNO3 5%

: Mukosa rusak, berubah warna menjadi hitam.

Tingtur Iod

: Mukosa menjadi lebih pucat, tetapi tidak rusak.

 NaOH 10%

: Mukosa menjadi warna kuning, tidak korosif.

15

3. Efek Lokal fenol dalam berbagai pelarut : Hasil Pengamatan : Percobaan

Bahan percobaan

Fenol

Jari tangan

Jari tangan dicelupkan

Rasa

Larutan fenol 5% dalam

Kebal, manis, kulit

air

menjadi putih

Larutan fenol 5% dalam

Kebal

etanol Larutan fenol 5% dalam

Jari terasa panas

gliserin Larutan fenol 5% dalam

Tidak ada perubahan

minyak lemak

Waktu pengamatan : 

Dalam air, waktu pencelupan

: 10:32, efek : 10:35



Dalam gliserin, waktu pencelupan

: 10:33, efek : 10:35



Dalam etanol, waktu pencelupan

: 10:34, efek : 10:38



Dalam minyak lemak, waktu pencelupan

: 10:38, efek : 10:44

4. Efek Astringen

:

Hasil Pengamatan : Percobaan

Bahan percobaan

Larutan obat dikumur

Pengamatan

 pada mulut Efek astringen

Mulut untuk kumur

Tannin 1%

Langsung terasa kelat

Catatan : Tanin tidak diencerkan menjadi 1%, pemakaian tidak dikumur melainkan hanya dilewatkan / disentuhkan di ujung lidah (praktikkan sedah berpuasa). 16

BAB IV PEMBAHASAN Pada awal tahun 1980 konsep ikatan metal dikemukakan oleh Alfred Welner, kemudian Morgan dan Drew membandingkannya dengan cara ikatan struktur cincin heterosiklik dengan metal, inilah konsep  pertama metal chelation 1920. Chelator yang kita kenal EDTA pertama kali oleh F.Munz seorang pakar ilmuwan dari German yang dipatenkan di Eropa. EDTA dipatenkan di USA 1945. EDTA adalah asam amino yang dibentuk dari  protein makanan. Zat ini sangat kuat menarik ion logam berat termasuk kalsium dari jaringan dalam tubuh. EDTA dalam terapi ini berupa garam natrium (Na) yang berupa kristal putih, mudah larut dalam air, sedikit larut dalam alcohol , sedikit lemah, dan dapat mengikat ion logam sesuai aktivitasnya. Pemberian EDTA secara intravena dapat mengikat atau menjepit logam berat yang berada pada posisi  patologis. EDTA dikeluarkan oleh ginjal kurang lebih 95% melalui urin dan sisanya dimetabolisme dalam hati yang dikeluarkan melalui feses. Meski dalam percobaan EDTA tidak terbukti merusak sel hati dan ginjal, saat pemberian terapi ini disarankan si tikus dalam keadaan baik baik saja. Untuk mengantisipasi kemungkinan terambilnya logam-logam lain dalam setiap pemberian terapi ini dimasukkan zat-zat  penting seperti kalium. Righting reflex adalah reaksi tubuh pada hewan untuk kembali ke posisi semula s e h i n g g a k u k u d a n k a k i n y a m e n e m p e l k e t a n a h s e t e l a h s e b e l u m n y a diposisikan pada  posisi terlentang. Hal tersebut diuji dengan cara mengangkat ekor mencitdan melet akk an nya pa da  po si si te rba li k. ( Ud it hd it a, 20 11 ). Untuk kebanyakan obat, keseragaman respons pasien terhadap obat terutama disebabkan oleh adanya perbedaan individual yang besar dalam factor- factor farmakokinetik, kecepatan biotransformasi, suatu obat menunjukan variasi yang terbesar. Variasi dalam berbagai factor farmakokinetik dan farmakodinamik ini berasal dari perbedaan individual dalam kondisi fisiologik, kondisi patologik, factor genetik, interaksi obat dan toleransi. Fasefarmakokinetik berkaitan dengan masuknya zat aktif kedalam didalam organ penerima obat. Fase farmakokinetik ini merupakan salah satu unsur penting yang menentukan profil keberadaan zat aktif pada tingkat biofase dan yang selanjutnya menentukan aktivitas terapetik obat.

17

BAB IV PEMBAHASAN Pada percobaan untuk efek menggurkan bulu, dari hasil pengamatan dengan menggunakan veet cream efeknya lebih cepat dibandingkan dengan obat lain yang digunakan dalam percobaan. Kulit yang ditetesi oleh asam sulfat pekat dan asam klorida pekat, mengalami penebalan dan membentuk suatu area berwarna putih. Hal ini dikarenakan senyawa-senyawa tersebut bersifat asam kuat. Asam kuat akan merusak ikatan protein sehingga protein pada kulit akan mengalami denaturasi yang menyebabkan timbulnya warna putih pada area yang ditetesi. Pada penetesan senyawa asam sulfat pekat dan asam klorida pekat, terjadi pula korosi yang menyebabkan bulu rontok. Namun dari data pengamatan percobaan kami bahwa asam klorida pekat tidak menunjukan adanya sifat korosif dan tidak ada kerusakan jaringan.Kesalahan dalam penarikan kesimpulan ini disebabkan karena pada saat pengamatan yang tampak hanya kulit menjadi pucat dan kaku.Dan mungkin kesalahan hasil pengujian disebabkan kurang pekatnya kadar asam klorida yang digunakan. Seperti halnya pada kulit, pada mukosa usus yang ditetesi dengan senyawa kimia yang bersifat asam kuat tersebut juga menunjukkan reaksi yang sama yaitu mukosa usus menjadi berwarna putih yang memiliki batas yang jelas. Hanya saja sifat korosif senyawa asam tersebut lebih keras terhadap mukosa usus. Hal ini berkaitan dengan sel- sel penyusun yang terdapat pada mukosa usus. Pada usus tidak memiliki epidermis seperti halnya kulit.

18

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan o

o

o

Ca-EDTA adalah asam amino yang dibentuk dari protein makanan , zat ini sangat kuat menarik logam berat termasuk kalsium dari jaringan dalam tubuh. Pemberian EDTA secara intravena dapat mengikat atau menjepit logam berat yang berada pada posisi  patologis. Antagonisme mungkin terjadi, jika kedua obat tersebut bekerja dengan efek farmakologi yang saling bertentangan. Median efektif dosis (ED50) dapat digunakan untuk pemberian dosis obat yang menyebabkan 50% dari hewan uji: o Bereaksi atau tidak bereaksi (reaksi yang diharapkan) o Hidup atau mati (LD 50) o Positif atau negatif o Masuk dalam kategori yang diharapkan atau tidak

5.2 Saran o

o

Lebih berhati-hati dalam penanganan hewan percobaan dan dalam pembacaan skala spuit agar dosis yang diberikan tepat dan tercapai efek yang dikehendaki. Lebih berhati-hati dalam pemberian obat secara interperitonial agar tidak mengalami kerusakan pada abdomen maupun tusukan pada organ-organ dalam yang vital.

19

Pertanyaan-pertanyaan 

Antagonisme obat 1. Apa yang merupakan landasan untuk gejala-gejala yang diamati ! 2. Bagaimanakah mekanisme antagonisme obat dalam percobaan ini. Jelaskan ! 3. Jelaskan apakah Ca-edta dapat digunakan juga sebagai antagonis keracunan arsel atau timbal 4. Sebutkan tipe-tipe antagonisme obat berikut contoh masing-masing!



Dosis obat dan respon 1. Bagaimana menghitung indeks terapi suatu obat ! 2. Berikan diskusi konsep indeks terapi dari segi efektifitas dan keamanan pemakaian obat ! 3. Diskusikan implikasi terapi suatu obat dengan kurva dosis respon yang terjal dan yang datar ! 4. Sebutkan beberapa pendekatan untuk memperbesar ketelitian eksperimen ini, khususnya untuk DE50 dan DL50 !



Efek obat lokal pada membran dan kulit mukosa 1. Apakah ada perbedaan bau dari obat-obat menggurkan bulu sebelum dan sesudah digunakan ? 2. Mungkinkah suatu obat bekerja korosif tanpa menggugurkan bulu atau sebaliknya ? 3. Sebutkan obat-obat lain yang dapat menyebabkan gugur bulu ? senyawa lain yang dapat menyebabkan korosif 4. Sebutkan menurut saudara beberapa persyaratan yang sebaiknya dipenuhi obat atau sediaan farmasi untuk dapat digunakan sebagai obat berefek lokal agar menjamin keamanan pemakaiannya ?

20

Jawaban 

Antagonisme obat

1. Landasan untuk gejala yang diamati adalah suatu kondisi keracunan dimana akan diantagonis oleh antidotum yang digunakan (antagonism kimia) 2. Mekanisme antagonisme obat dalam percobaan ini, dimana zat beracun cobalt berikatan pada darah sehingga akan terjadi kekurangan oksigen,dengan adanya Ca-EDTA maka Cobalt akan tergeser dan akan digantikan oleh Ca sehingga akan memperlambat kematian.kerja senyawa tersebut bereaksi secara kimia dengan demikian menginaktivasinya, tak bergantung pada reseptor. 3. Ca-EDTA dapat digunakan sebagai antagonis keracunan arsen sebab Ca EDTA merupakan bidentat.Zat kelator bidentat mampu berinteraksi langsung dengan logam-logam dalam darah dan cairan jaringan serta mereaktivasi enzim selular yang mengandung gugusan sulfhidril.Contoh zat kelator lain yang digunakan sebagai antagonis keracunan arsen adalah dimerkaprol (2,3-Dimerkaptopropanol). Ca-EDTA tidak dapat digunakan sebagai antagonis keracunan timbal,sebab hanya zat kelator polidentat seperti dinatrium kalsium edetat yang dapat diikat timbal sehingga dapat membentuk kompleks logam-ligan sehingga mudah diekskresikan tubuh. 4. Tipe-tipe antagonisme obat : o

Antagonisme kompetitif,contohnya antihistamin

o

Antagonisme tak kompetitif, contohnya spasmolitika yang bekerja neurotrop-muskulotrop

o

Antagonisme fungsional dan fisiologi,contohnya antagonism antara senyawa kolinergik atau histaminergik dan ob at βandrenergik pada otot bronchus (contoh-contoh antagonisme

21

fungsional) dan kenaikan volume pompa jantung akibat glikosida  jantung (contoh antagonisme fisiologi). o

Antagonisme kimia,contohnya kerja antidot berbagai pembentuk khelat pada keracunan logam berat.



Dosis obat dan respon 1. Indeks terapi yaitu perbandingan antara DE 50  dan DL50 yaitu dosis yang menghasilkan efek pada 50% dari jumlah binatang dan dosis yang mematikan 50% dari jumlah binatang. Indeks terapi merupakan ukuran keamanan untuk menentukan dosis obat.

Rumus : Indeks Terapi = DL 50 :DE 50

2. Untuk menilai keamanan dan efek suatu obat, dalam laboratorium farmakologi dapat dilakukan percobaan-percobaan binatang dan yang ditentukan adalah khususnya DE50  dan DL50 yaitu dosis yang menghasilkan efek pada 50% dari  jumlah binatang dan dosis yang mematikan 50% dari jumlah binatang. Perbandingan antara kedua dosis ini dinamakan indeks terapi yang merupakan suatu ukuran untuk keamanan obat, semakin besar indeks terapi, semakin aman  penggunaan obat tersebut. Akan tetapi, hendaknya diperhatikan bahwa indeks terapi ini tidak dengan begitu saja dapat dikorelasikan terhadap manusia, seperti halnya dengan semua hasil dari percobaan binatang berhubung perbedaan perbedaan metabolisme. 3. Implikasi terapi suatu obat dengan kurva dosis respon yang terjal dan yang datar. o

Implikasi terapi suatu obat dengan kurva dosis respon yang terjal berarti semakin tinggi dosis akan memberikan respon yang semakin tinggi.

o

Implikasi terapi suatu obat dengan kurva dosis respon yang datar berarti semakin tinggi dosis akan memberikan respon yang sama.

4. Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa menimbulkan efek toksik pada seorang pun pasien.Oleh karena itu, Indeks terapi =

 

   

Dan untuk obat ideal :

 

 22



Efek lokal pada membran dan kulit mukosa

1. Ada 2. Tidak mungkin, obat yang bekerja korosif pasti menggugurkan bulu. Menggugurkan bulu belum tentu karena korosif. 3. Argentum nitricum dan berbagai asam ( asam triklorasetat, asam laktat, asam kromat). 4. Obat yang dicampurkan dalam pembawa tertentu dapat bersatu dengan kulit, obat tersebut memiliki derajat kelarutan yang baik dalam minyak dan air yang penting untuk efektivitas absorpsi perkutan, obat tersebut tidak menimbulkan toksik.

23

DAFTAR PUSTAKA

Tan Hoan Tjay.Drs,Kirana Rahardja.Drs, Obat-Obat Penting,ed.keenam.Penerbit: P.T. Elex Media Komputindo,Jakarta,2008. Mutschler, Ernst., Dinamika Obat Edisi ke-5, Penerbit ITB, Bandung. Departemen Farmakologi dan Terapeutik, Farmakologi dan Terapi,Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2007.

24

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF