Kontrol Kualitas Dan Metode Analisis
February 23, 2018 | Author: preprelle | Category: N/A
Short Description
untuk mata kuliah fitofarmasi...
Description
Makalah Fitofarmasi
Kontrol Kualitas dan Metode Analisis Bahan Alam
Oleh: Aprillia Hardiyani Tanto 051311133066 Kelas A Kelompok 2
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2016 1
DAFTAR ISI COVER …………………………………………………………………………………
1
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………
2
I. Kontrol Kualitas …………………………………………………………………
4
1. 1. Pendahuluan Kontrol Kualitas …………………………………………..
4
1. 2. Parameter untuk Kontrol Kualitas Obat Herbal …………………………
6
1. 2. 1.
Pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis …………………….
6
1. 2. 2.
Penetapan Bahan Asing …………………………………………. 7
1. 2. 3.
Penetapan Abu ………………………………………………….... 7
1. 2. 4.
Logam Berat ……………………………………………………… 8
1. 2. 5.
Penetapan Kontaminan Mikroba dan Aflatoxins ………………… 8
1. 2. 6.
Penetapan Residu Pestisida ………………………………………. 9
1. 2. 7.
Penetapan Residu Radioaktif …………………………………….. 9
1. 2. 8.
Metode Analisis ………………………………………………….. 9
II. Metode Analisis Bahan Alam ……………………………………………………. 10 2. 1.
Pendahuluan …………………………………………………….... 10
2. 2.
Metode Analisis ………………………………………………….. 11
2. 2.1. TLC ………………………………………………………………. 11 2.2.2. HPLC …………………………………………………………….. 12 2.2.3. LC-MS …………………………………………………………… 13 2.2.4. LC-NMR …………………………………………………………. 13 2.2.5. GC-MS …………………………………………………………… 14 2.2.6. GC-FID …………………………………………………………… 14 2.2.7. SFC ……………………………………………………………….. 15 2. 3.
Validasi Metode Analisis …………………………………………. 15
2.3.1. Tujuan Validasi Metode Analisis …………………………………. 15 2.3.2. Panduan Validasi Metode Analisis ……………………………… 16 2.3.3. Karakteristik Kinerja Analitik yang Digunakan dalam Validasi Metode …………………………………………………………... 17 2
2.3.4. Kategori Metode Analisis ………………………………………… 25 III.
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 27
3
I. KONTROL KUALITAS OBAT HERBAL
1.1. PENDAHULUAN Pengendalian mutu untuk efikasi dan dan keamanan dari obat herbal adalah hal yang sangat penting. Kualitas dapat didefinisikan sebagai status obat yang ditentukan oleh identitas, kemurnian, konten, dan sifat fisika, kimia serta biologi atau dari proses manufakturnya. Kontrol kualitas adalah istilah yang mengacu kepada proses yang terjadi dalam mempertahankan kualitas dan validitas dari sebuah produk yang diproduksi. Istilah “obat herbal” menunjukkan tanaman atau bagian tanaman yang telah diubah menjadi sediaan fitofarmasetika dengan proses sederhana yang melibatkan proses panen, pengeringan, dan penyimpanan (EMEA, 1998). Secara umum, kontrol kualitas didasarkan pada tiga definisi penting menurut farmakope, yaitu: 1. Identitas – harus terdiri dari satu tumbuhan. 2. Kemurnian – tidak boleh ada kontaminan lain selain tumbuhan itu sendiri. 3. Konten atau pengujian – Konstituen aktif harus berada dalam batas-batas yang ditentukan. Hal ini jelas bahwa konten merupakan salah satu hal yang paling sulit untuk diuji, karena dalam obat herbal konstituen aktifnya tidak diketahui. Terkadang senyawa marker dapat digunakan, yang mana berarti, secara kimiawi konstituennya dapat ditentukan untuk tujuan pengendalian, terlepas apakah senyawa itu memiliki aktivitas terapetik atau tidak (WHO, 1992). Identitas dapat diketahui melalu pengamatan makro dan mikroskopis. Wabah penyakit tanaman dapat mengakibatkan perubahan fisik tanaman dan menyebabkan identifikasi yang salah (WHO, 1988; Smet, 1999). Pada suatu waktu, pelabelan terhadap kualitas botani yang salah dapat menjadi masalah. Kemurnian, erat hubungannya dengan penggunaan obat-obatan secara aman dan beberapa faktor lain seperti kadar abu, kontaminan (misalnya benda asing dalam bentuk tumbuhan lain), dan logam berat. Namun, sehubungan dengan berkembangnya aplikasi 4
dari metode analisis modern, evaluasi kemurnian juga termasuk mengenai kontaminan mikroba, aflatoxin, radioaktivitas, dan residu pestisida. Metode analisis seperti analisis fotometri, kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), kromatografi lapis tipis kinerja tinggi (HPTLC), dan kromatografi gas dapat digunakan dalam rangka menghasilkan komposisi yang konstan dari preparasi obat herbal. Kandungan atau penetapan adalah adalah hal yang paling sulit dilakukan dalam lingkup kontrol kualitas, karena pada obat herbal konstituen aktifnya tidak diketahui. Dalam kasus lain, di mana tidak terdapat konstituen aktif atau senyawa penanda yang dapat ditentukan untuk obat herbal, persentasi dari senyawa yang dapat diekstraksi dengan sebuah pelarut mungkin digunakan sebagai bentuk pengujian, pendekatan ini dapat dilihat di farmakope (WHO, 1996; WHO, 1998). Bentuk khusus dari pengujian adalah penetapan kadar minyak esensial dengan distilasi uap. Di mana konstituen aktif (misalnya sennosida pada senna) atau senyawa marker (misalnya alkilamida pada Echinacea) diketahui, penetapan kadar dengan metode analisis kimia modern seperti spektrofotometri UV/VIS, TLC, HPLC, HPTLC, GC, spektroskopi massa, atau kombinasi GC/MS dapat digunakan (Watson, 1999). Beberapa masalah yang tidak terjadi pada obat sintetis sering memengaruhi kualitas obat herbal. Contohnya: 1. Obat herbal biasanya merupakan campuran dari banyak konstituen. 2. Senyawa aktifnya, pada banyak kasus tidak diketahui. 3. Metode analisis yang selektif atau senyawa referens mungkin tidak tersedia secara komersial. 4. Bahan tanaman secara kimiawi dan alami bervariasi. 5. Adanya chemo-varieties dan chemo-cultivars. 6. Sumber dan kualitas dari bahan mentah bervariasi. Metode pemanenan, pengeringan, penyimpanan, transportasi, dan pemrosesan (sebagai contoh bentuk ekstraksi dan polaritas dari pelarut ekstraksi, ketidakstabilan konstituen, dll.) juga memengaruhi kualitas obat herbal (Wani, 2007). Senyawa marker adalah konstituen kimiawi yang sudah diketahui dari obat herbal yang penting untuk kualitas produk akhir. Idealnya, senyawa marker yang terpilih juga 5
merupakan senyawa yang memiliki efek farmakologis bagi tubuh. Ada 2 kategori standarisasi. Kategori pertama, “true” standardization, senyawa fitokimia pasti atau kelompok konstituen yang diketahui memiliki aktivitas. Ginkgo dengan kandungan 26% ginkgo flavon dan 6% terpen adalah contoh klasiknya. Senyawa ini sangat terkonsentrasi dan tidak mewakili tumbuhan secara keseluruhan, dan sekarang dianggap sebagai fitofarmasi. Dalam banyak kasus, senyawa ini jauh lebih efektif daripada bila digunakan sebagai satu tumbuhan. Namun, prosesnya dapat memungkinkan berkurangnya efikasi dan potensi efek samping serta interaksi obat herbal dapat meningkat. Kategori standarisasi yang lain didasarkan pada jaminan produsen pada kehadiran senyawa marker dalam jumlah yang pasti; hal ini bukan merupakan indikator aktivitas terapetik atau kualitas dari tumbuhan (Kunle, 2012).
1. 2.
Parameter untuk Kontrol Kualitas Obat Herbal
1.2. 1. Pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis Tanaman obat dikategorikan menurut pengamatan sensorik, karakter mikroskopik dan makroskopiknya. Sebuah pemeriksaan untuk menentukan karakteristik ini adalah langkah awal untuk menunjukkan identitas dan kemurnian dari suatu bahan, dan harus dilakukan sebelum melakukan tes lain yang lebih jauh (lebih kompleks). Jika memungkinkan, spesimen yang telah diautentifikasi dari bahan yang akan diperiksa dan sampel yang sudah sesuai dengan kualitas far makope harus ada untuk dijadikan sebagai referensi. Inspeksi visual merupakan jalan paling sederhana dan cepat untuk membuktikan identitas, kemurnian, dan jika memungkinkan kualitas dari bahan yang diperiksa. Jika sebuah sampel ditemukan berbeda secara signifikan, dari segi warna, konsistensi, aroma atau rasanya, dari spesifikasi, diperkirakan bahan ini tidak memenuhi persyaratan. Namun, penilaian harus diulangi saat menentukan aroma dan rasa, karena penilaian yang bervariasi dari satu orang dengan orang yang lain atau oleh satu orang pada waktu yang berbeda. Identitas makroskopis dari bahan tanaman obat adalah didasarkan pada bentuk, ukuran, warna, karakteristik permukaan, tekstur, karakteristik pecahan, dan penampilan dari bagian yang terpotong. Namun, karena karakteristik-karakteristik ini dinilai secara 6
subyektif, masih memungkinkan senyawa tambahan atau adulterant terlihat sangat mirip dengan senyawa asli yang diperiksa. Sering dibutuhkan pemeriksaan secara mikroskopi atau fisiko-kimia. Inspeksi mikroskopis bahan tanaman obat sangat diperlukan untuk identifikasi bahan yang sudah tidak dalam bentuk asalnya atau bentuk serbuk; spesimennya mungkin harus direaksikan dengan reagen kimia. Pemeriksaan mikroskopi sendiri tidak selalu dapat menyajikan identifikasi yang lengkap, meskipun telah digabungkan dengan metode analisis lain, hal ini sering dapat menambahkan bukti-bukti yang kurang mendukung. Informasi tambahan apapun yang berguna untuk preparasi atau analisis juga harus dimasukkan ke dalam prosedur pemeriksaan untuk bahan tanaman, sebagai contoh penentuan pembuluh tumbuhan dan perbandingan palisade.
1. 2. 2. Penetapan Bahan Asing Tumbuhan yang dikumpulkan harus bersih dari tanah, bagian serangga, atau kotoran hewan dsb. Bahan tanaman obat harus bersih secara keseluruhan dari tanda-tanda kontaminasi yang dapat terlihat oleh mata seperti lumut atau serangga, dan kontaminasi hewan lainnya, termasuk kotoran hewan. Tidak ada bau yang tidak normal, diskolorasi, lendir, dan tanda kemunduran harus sudah dideteksi. Selama penyimpanan, bahan-bahan harus dijaga pada tempat yang bersih dan hieginis sehingga tidak ada kontaminasi. Penanganan khusus harus dilaksanakan untuk menghindari pembentukan lumut, karena lumut memungkinkan pembentukan aflatoxin. Pemeriksaan makroskopis dapat dilakukan untuk menentukan adanya bahan asing pada seluruh bagian tanaman atau bagian yang telah dipotong. Namun, pemeriksaan mikroskopis juga dibutuhkan untuk bahan serbuk. Tanah, pasir, batu, debu, dan bahan asing anorganik lainnya harus dibersihkan sebelum bahan tanaman obat dipotong atau diuji.
1. 2. 3. Penetapan Abu Sisa abu karena pembakaran dari bahan tanaman obat ditentukan dengan 3 metode yang berbeda yang mana mengukur kadar total abu, kadar abu tidak larut asam, dan abu larut air. Metode pengukuran kadar abu total didesain untuk mengukur jumlah 7
total dari bahan yang tersisa setelah pembakaran. Hal ini termasuk baik “abu fisiologis” yang berasal dari jaringan tanaman itu sendiri, dan “abu non-fisiologis” yang merupakan residu dari bahan eksternal yang menempel pada permukaan tanaman. Abu tidak larut asam adalah residu yang didapat setelah merebus abu total dengan asam klorida encer, dan membakar bahan sisa yang tidak larut, kemudian diukur jumlah silica yang ada, terutama sebagai pasir dan tanah yang mengandung silica. Abu larut air adalah perbedaan berat antara abu total dan residu setelah melarutkan abu total dalam air (Belle, 2011).
1. 2. 4. Penetapan Logam Berat Kontaminasi karena logam berat dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak. Kontaminasi karena logam berat seperti merkuri, timbal, tembaga, kadmium, dan arsen pada obat herbal dapat terjadi karena beberapa sebab, termasuk polusi lingkungan dan dapat berakibat berbahaya secara klinis terhadap kesehatan pengguna obat herbal. Oleh karena itu, jumlah logam berat pada obat herbal harus dibatasi (AOAC, 2005; WHO, 1998c; De Smet, 1992). Penentuan logam berat secara langsung dan sederhana banyak ditemukan dalam banyak farmakope dan didasarkan pada reaksi warna dengan reagen khusus seperti thioasetamida atau dietilditiokarbamat, dan jumlah yang ada ditentukan dengan membandingkannya dengan sebuah standar (WHO, 1998). Analisis instrumental harus digunakan ketika ada logam berat dalam jumlah kecil, dalam campuran, atau saat analisis harus bersifat kuantitatif. Secara umum, metode utama yang biasa digunakan adalah atomic absorption spectrophotometry (AAS), inductively coupled plasma (ICP) dan neutron activation analysis (NAA) (Watson, 1999).
1. 2. 5. Penetapan Kontaminan Mikroba dan Aflatoxin Jumlah lempeng total bakteri aerobik, bakteri pathogen seperti enterobacteria, E. coli, salmonella, Pseudomonas aeruginosa, Stapjyloccocus aureus, dan adanya aflatoxin dsb (Belle, 2011).
8
1. 2. 6. Penetapan Residu Pestisida Batasan untuk residu pestisida harus ditetapkan menurut rekomendasi dari Food and Agriculture Organization of United Nations (FAO) dan WHO yang mana sudah dikeluarkan untuk makanan dan pakan hewan. Rekomendasi ini juga termasuk mengenai metodologi analisis untuk penetapan kadar residu pestisida secara spesifik (Belle, 2011). Meskipun tidak ada laporan serius mengenai toksisitas dari pestisida dan fumigants, penting untuk memastikan bahwa tumbuhan dan produk herbal terbebas dari bahan kimia ini atau setidaknya tetap dikontrol agar tetap berada pada rentang aman (De Smet, 1992). Cara untuk menetapkan kadar residu pestisida, sampel dari obat herbal diekstrak dengan prosedur standar, kotoran dibersihkan dengan cara partisi dan/atau adsorpsi, dan masing-masing residu pestisida diukur dengan GC, MS, atau GC-MS. Beberapa prosedur sederhana telah dikeluarkan oleh WHO dan Farmakope Eropa telah menetapkan batasan umum untuk residu pestisida pada obat (WHO, 1996a, 1998a, 2000; De Smet, 1999; AOAC, 2005).
1. 2. 7. Penetapan Residu Radioaktif Di lingkungan banyak sekali sumber ionisasi radiasi, termasuk radionuklida, oleh karena itu perlu pembatasan tingkat paparan radioaktif (AOAC, 2005; WHO, 2000; De Smet, 1992). Paparan radioaktif dari tanaman harus diperiksa menurut acuan dari International Atomic Energy (IAE) di Vienna dan menurut WHO (Shrikumar dkk, 2004).
1. 2. 8. Metode Analisis Penetapan konstituen secara kuantitatif telah dibuat lebih mudah pada perkembangan instrument analisis dalam waktu terakhir. Kemajuan terbaru dalam isolasi, pemurnian, dan elusidasi struktur dari metabolit bahan alam telah memungkinkan untuk membangun strategi yang tepat untuk penentuan dan analisis kualitas dan standarisasi obat herbal. Klasifikasi tumbuhan dan organisme dengan kandungan kimianya disebut sebagai kemotaksonomi. TLC, HPLC, GC, Kuantitatif TLC, dan HPTLC dapat menentukan homogenitas ektrak tumbuhan. Over Pressured Layer Chromatography 9
(OPLC), infra merah dan spektrometri UV/VIS, MS, GC, LC dapat digunakan tersendiri atau dalam kombinasi seperti LC-MS, dan GC-MS, Resonansi Magnetik Inti (RMI), teknik elektroforesa, terutama dengan hyphenated chromatographic techniques adalah alat-alat dengan peforma tinggi, sering digunakan untuk standarisasi dan mengontrol kualitas baik bahan mentah dan produk jadi. Hasil dari teknis yang canggih ini berupa sidik jari kimia terkait dengan bahan alam atau kotoran yang ada pada ekstrak tanaman (WHO, 2002c). Berdasarkan konsep foto ekivalen, sidik jari kromatografi dari obat herbal dapat digunakan untuk kontrol kualitas.
II.
METODE ANALISIS BAHAN ALAM 2.1.
Pendahuluan Obat herbal tradisional telah digunakan dan proses preparasinya telah dilakukan
secara luas selama ribuan tahun baik di negara berkembang maupun negara maju karena berasal dari alam dan karena efek yang lebih rendah atau ketidakpuasan atas obat-obat sintetis. Salah satu karakteristik dari proses pembuatan obat tradisional adalah bahwa semua obat-obatan herbal, baik yang mengandung ramuan tunggal atau beberapa ramuan dalam formula campuran, diekstraksi dengan air mendidih selama proses perebusan. Hal ini mungkin menjadi alasan utama mengapa kontrol kualitas dari obat herbal tradisional menjadi lebih sulit daripada obat-obat sintetis. Seperti yang ditunjukkan dalam “Pedoman Umum Metodologi Riset dan Evaluasi Obat Tradisional (World Health Organization, 2000)”, “Meskipun keberadaannya dirasakan dan penggunaanya dilakukan secara terus menerus selama berabad-abad dan popularitasnya serta penggunaannya yang ekstensif selama beberapa dekade terakhir, obat tradisional belum resmi diakui di sebagian besar Negara.” Pada zaman dahulu obat digunakan untuk mengobati pasien secara individual dan obat disiapkan sesuai dengan kebutuhan pasien tetapi sekarang keadaan telah berubah, obat-obatan herbal sedang diproduksi dalam skala besar dan produsen menemukan banyak permasalahan seperti ketersediaan bahan baku berkualitas baik, otentikasi bahan baku, ketersediaan standar, metodologi standarisasi yang tepat untuk obat tunggal dan
10
formulasinya, parameter kontrol kualitas, dll. Maka, konsep kualitas dari langkah pertama adalah faktor penting yang harus mendapatkan perhatian yang baik (Kamboj, 2012). Kandungan kimia dalam tanaman melibatkan adanya konstituen penting yang memiliki efek terapi yang biasanya terkait dengan banyak bahan inert (zat pewarna, selulosa, lignin, dll). Bahan aktif diekstrak dari tanaman dan dimurnikan untuk mendapatkan efek terapi sesuai dengan aktivitas farmakologisnya. Jadi, kontrol kualitas dari bahan mentah obat tradisional dan konstituennya sangat penting dalam sistem pengobatan modern. Kurangnya parameter standar yang tepat untuk standarisasi obat herbal dan beberapa contoh herbal standar, mengakibatkan adanya obat herbal yang dipalsukan. Untuk menghindari hal tersebut dan memenuhi dorongan rasa ingin tahu akan obat herbal, standarisasi obat herbal adalah wajib (Chaundhry, 1999; Kokate, 2005; Raina, 2003; Raven, 1999; Yan, 1999). Oleh karena itu, setiap obat tradisional perlu diperiksa kualitasnya untuk memastikan bahwa obat tradisional tersebut telah memenuhi persyaratan kualitas dan bersifat konsisten. Standarisasi menjamin bahwa produk yang ada terpercaya dalam hal kualitas, efektifitas, keamanan, dan kinerjanya (Kamboj, 2012).
2. 2.
Metode Analisis
2. 2. 1. TLC (Thin Layer Chromatography)/ KLT (Kromatografi Lapis Tipis) Kromatografi Lapis Tipis, yang dikenal sebagai KLT, adalah salah satu teknik kromatografi paling sederhana dan banyak digunakan untuk pemisahan campuran senyawa. Dalam penaksiran fitokimia dari obat-obatan herbal, KLT secara luas digunakan untuk alasan-alasan sebagai berikut: 1. Analisis ekstrak herbal yang cepat dengan sampel clean-up yang minimal. 2. Dapat menyediakan informasi kualitatif atau semikuantitatif tentang senyawa yang telah dipisahkan. 3. Dapat dilakukan kuantifikasi zat-zat kimia. Proses sidik jari menggunakan KCKT dan GLC juga dilakukan dalam kasus-kasus tertentu.
11
Dalam proses penyidikjarian menggunakan KLT, data yang dapat dicatat menggunakan pemindai KLT kinerja tinggi adalah kromatogram, nilai retardation factor (Rf), warna dari pita-pita yang terpisahkan, spectrum absorpsi, λ maks, dan shoulder infection dari pita-pita yang terpisahkan. Semua hal tersebut, bersama dengan profil derivatisasi dari reagen yang berbeda, menunjukkan profil sidik jari KLT dari sampel. Informasi yang diperoleh dapat diaplikasikan pada identifikasi obat yang asli, mengeluarkan bahan pemalsu, dan menjaga kualitas dan konsistensi obat. Penyidikjarian menggunakan KCKT antara lain pencatatan kromatogram, waktu retensi dari puncak-puncak secara individual, dan spektra absorpsi (pencatatan menggunakan detektor photodiode array) dengan fase mobil yang berbeda-beda. Demikian juga dengan GLC, digunakan untuk menghasilkan profil sidik jari dari minyak-minyak mudah dari obat-obatan herbal. Selain itu, pendekatan-pendekatan
terbaru
dalam
pengaplikasian
kromatografi
dan
spektrometri secara berhubungan seperti Kromatografi Cair Kinerja Tinggi-Diode Array Detection (HPLC-DAD), Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa (GC-MS), Capillary Electrophoresis-Diode Array Detection (CE-DAD), Kromatografi Cair Kinerja Tinggi-Spektroskopi Massa (HPLC-MS) dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi-Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti (HPLC-NMR) dapat menyediakan informasi spektrum tambahan yang akan sangat berguna untuk analisis kualitatif dan bahkan untuk elusidasi struktur secara on-line (Liang et al., 2004, Ong et al., 2002).
2. 2. 2 HPLC (High Peformance Liquid Chromatography) HPLC analisis dan preparatif digunakan secara luas di industry farmasi untuk mengisolasi dan memurnikan senyawa herbal. Pada dasarnya ada dua jenis HPLC preparatif: HPLC dengan tekanan rendah (di bawah 5 bar) dan HPLC tekanan tinggi (tekanan di atas 20 bar) (Chimeze et al. 2008). Parameter penting yang harus diperhatikan adalah resolusi, sensitivitas, dan kecepatan waktu analisis pada analisis menggunakan HPLC di mana baik derajat kemurnian solute dan jumlah senyawa yang dapat dihasilkan per unit waktu, contoh throughput atau 12
recovery pada HPLC preparatif (Rao et al., 2009). Pada HPLC preparative (tekanan di atas 20 bar), kolom stainless steel yang lebih panjang dan packing materials (ukuran partikel 10-30 mikrometer) dibutuhkan. Contoh dari kolom silica fase normal adalah Kromasil 10 mikrometer, Kromasil 16 mikrometer, Chiralcel AS 20 mikrometer dan di mana untuk fase terbalik adalah Kromasil C18, Kromasil C8, YMC C18. Tujuannya adalah untuk mengisolasi atau memurnikan senyawa, di mana tujuan utama analisisnya adalah untuk mendapatkan informasi mengenai sampel. Hal ini begitu penting dalam industri farmasi mengingat untuk sekarang ini produk baru (alami, sintesis) harus dikenalkan pada pasar sesegera mungkin. Memiliki teknik pemurnian yang sangat baik membuat semakin sedikit waktu yang digunakan pada kondisi sintesis (Bhutani, 2000; Marston, 2002; Brandt et al., 2002).
2. 2. 3. Liquid Chromatography-Mass Spectroscopy (LC-MS) LC-MS telah menjadi metode pilihan dalam banyak tingkatan dalam pengembangan obat (Lee, 1999). Hal mutakhir terakhir meliputi teknik electrospray, thermospray, dan ionspray ionization yang mana menawarkan keuntungan unik dalam hal sensitivitas deteksi yang tinggi dan spesifisitas, spektroskopi massa ion cairan sekunder, kemudian spektroskopi massa laser dengan 600 MHz menganalisis penentuan berat molekul protein dan peptide secara akurat. Teknik ini juga dapat mendeteksi pola isotop (Bhutani, 2000). 2. 2. 4. Liquid Chromatography – Nuclear Magnetic Resonance (LC-NMR) LC-NMR mengembangkan kecepatan dan sensitivitas dari pendeteksian dan diketahui berguna dalam bidang farmakokinetik, studi toksisitas, metabolism obat, dan proses penemuan obat. Kombinasi dari teknis pemisahan kromatografi dengan spektroskopi NMR adalah salah satu metode yang sangat baik dan hemat waktu untuk pemisahan dan elusidasi struktur dari campuran senyawa yang tidak diketahui, terutama untuk elusidasi struktur dari senyawa yang sensitive terhadap sinar dan oksigen (Patil et al,. 2010). 13
2. 2. 5. Gas Chromatography (GC-MS) Peralatan GC dapat secara langsung dihubungkan dengan pemindai cepat spektroskopi massa dari berbagai tipe. GC dan GC-MS adalah metode yang digunakan untuk
analisis obat tradisional dengan kandungan senyawa yang
mudah menguap, berhubungan dengan sensitifitasnya, stabilitasnya, dan efisiensi yang tinggi. Terutama, menghubungkan dengan MS akan menghasilkan informasi yang terpercaya untuk analisis kualitatif dari senyawa kompleks (Guo et al., 2006 and Teo et al., 2008). Kecepatan alir dari kolom kapiler secara umum cukup rendah sehingga keluarannya dapat dihubungkan langsung ke dalam ruang ionisasi pada MS. Detektor paling sederhana pada GC adalah Ion Trap Detector (ITD). Pada instrument ini, ion dibuat dari sampel yang telah dieluasi oleh ionisasi kimia dan disimpan dalam sebuah bidang frekuensi radio; ion yang telah dijebak kemudian diejeksikan dari area penyimpanan ke electron multiplier detector. Pengejeksian ini dikontrol sehingga pemindaian pada rasio mass-to-charge menjadi mungkin. Instrumen GC-MS telah digunakan untuk identifikasi dari ratusan komponen senyawa yang ada pada alam dan sistem biologi (Sharma, 2009).
2. 2. 6. GC-FID Banyak detector yang digunakan pada kromatografi gas. Detektor yang paling umum digunakan adalah flame ionization detector (FID) dan thermal conductivity detector (TCD). Penyambungan kolom kapiler kromatografi gas degan FT-IR menghasilkan informasi yang sangat baik dalam pemisahan dan identifikasi dari komponen dalam campuran yang berbeda (Sharma, 2009). Keduanya sensitif untuk berbagai senyawa dalam rentang yang luas dan kedunya juga sensitive bekerja untuk rentang konsentrasi yang luas. TCD merupakan detektor yang universal dan dapat digunakan untuk mendeteksi komponen apapun selain gas pembawa (selama konduktivitas termal senyawa yang dideteksi berbeda dari gas pembawa, pada suhu detektor). FID lebih sensitif dari TCD 14
terutama untuk senyawa hidrokarbon. Namun, FID tidak dapat mendeteksi adanya air. Kedua detektor ini cukup tegar (robust). Karena TCD adalah detektor yang non-destruktif, detektor ini dapat digunakan dalam serangkaian analisis sebelum penggunaan FID (bersifat destruktif), dan demikian dapat menghasilkan deteksi komplementer dari analit yang sama (Patra et al., 2010).
2. 2. 7. Supercritical Fluid Chromatography (SFC) Supercritical
Fluid
Chromatography
adalah
penggabungan
dari
kromatografi gas dan cair yang mengkombinasikan keunggulan dari masingmasing metode analisis. SFC memungkinkan pemisahan dan penentuan dari sekelompok senyawa yang tidak dapat dideteksi oleh kromatografi cair atau gas. SFC telah digunakan pada berbagai material termasuk bahan alam, obat, makanan, dan pestisida (Matthew et al, 2006). Senyawa-senyawa ini bersifat nonvolatil dan labil secara termal sehingga prosedur GC tidak dapat digunakan atau senyawa tersebut tidak mengandung gugus fungsi yang memungkinkan pendeteksian oleh spektroskopi atau teknik elektrokimia pada LC (Patil et al., 2010).
2. 3.
Validasi Metode Analisis
2. 3. 1. Pendahuluan Tujuan dari pengukuran analitis apapun adalah untuk memperoleh data yang konsisten, terpercaya, dan akurat. Metode analisis yang telah divalidasi memiliki peran utama dalam mencapai tujuan ini. Hasil dari validasi metode dapat digunakan untuk menilai kualitas, reliability, dan konsistensi dari hasil analisis, yang merupakan bagian integral dari praktik analisis yang baik. Validasi metode analisis juga dipersyaratkan oleh sebagian besar peraturan dan standar kualitas laboratorium (Huber, 2010). Menurut USP 36, validasi metode analisis adalah pengumpulan bukti terdokumentasi yang menjelaskan bahwa prosedur analisis sesuai untuk digunakan. Penggunaan prosedur yang sudah divalidasi dengan 15
instrumen analisis yang sudah dikualifikasi akan menghasilkan data pengujian yang ajeg dan dapat dipercaya. Metode analisis perlu divalidasi, diverifikasi, atau di re-validasi dalam halhal berikut:
Sebelum penggunaan awal dalam pengujian rutin
Ketika dipindahkan ke laboratorium lain
Kapan saja saat kondisi atau parameter validasi dari metode yang sudah divalidasi berubah (misalnya, instrument dengan karakteristik yang berbeda atau sampel dengan matrix yang berbeda) dan perubahan itu berada di luar lingkup asli dari metode Validasi metode telah mendapat banyak perhatian dalam literatu dari
komite industri dan badan pembuat regulasi (Huber, 2010). Pada bagian ini akan dibahas mengenai bagaimana validasi metode membantu dalam mendapatkan data yang berkualitas tinggi.
2. 3. 2. Tujuan Validasi Metode Validasi metode menurut United State Pharmacopeia (USP) dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis akurat, spesifik, reprodusibel, dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis (Gandjar dan Rohman, 2009). Suatu metode analisis harus divalidasi untuk melakukan verifikasi bahwa parameter-parameter kinerjanya cukup mampu untuk mengatasi problem analisis, karenanya suatu metode harus divalidasi, ketika: 1. Metode baru dikembangkan untuk mengatasi problem analisis tertentu. 2. Metode yang sudah baku direvisi untuk menyesuaikan perkembangan atau karena munculnya suatu problem yang mengarahkan bahwa metode baku tersebut harus direvisi. 3. Penjaminan mutu yang mengindikasikan bahwa metode baku telah berubah seiring dengan berjalannya waktu. 4. Metode baku digunakan di laboratorium yang berbeda, dikerjakan oleh analis yang berbeda, atau dikerjakan dengan alat yang berbeda. 16
5. Untuk mendemonstrasikan kesetaraan antar 2 metode, seperti antara metode baru dan metode baku (Gandjar dan Rohman, 2009).
2. 3. 3. Panduan Validasi Metode Analisis Beberapa panduan yang digunakan dalam melakukan validasi metode analisis antara lain:
ICH Q2A : Text on validation of analytical Procedure
ICH Q2B Validation of analytical procedures methodology
FDA-CDER (Center for Drug Evaluation and Research) a. Reviewer guidance validation of chromatographic methods b. Submitting sample
and analytical data for method
validation c. Analytical procedure and method validation for human studies d. Bioanalytical method validation for human studies
USP: Validation of compendial method (Yuwono, 2014).
2. 3. 4. Karakteristik Kinerja Analitik yang Digunakan dalam Validasi Metode
1)
Akurasi Akurasi suatu prosedur analisis adalah tingkat kedekatan antara hasil pengujian dengan prosedur yang sedang divalidasi terhadap nilai yang benar. Akurasi prosedur analisis harus ditetapkan meliputi rentang nilai benar tersebut. Akurasi dihitung sebagai persentase perolehan kembali dari penetapan sejumlah analit yang ditambahkan dan diketahui jumlahnya ke dalam sampel, atau sebagai selisih antara hasil rata-
17
rata dengan hasil benar yang diterima bersama dengan batas kepercayaannya. Dokumen ICH merekomendasikan bahwa akurasi ditetapkan dengan menggunakan minimal 9 penetapan meliputi 3 tingkat konsentrasi berbeda yang telah ditetapkan (misalnya 3 konsentrasi dan 3 replikasi untuk masing-masing konsentrasi). Penilaian akurasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk menilai persen perolehan kembali dari berbagai rentang pengujian, atau menilai linearitas hubungan antara konsentrasi yang dihitung terhadap konsentrasi sebenarnya (Kemenkes, 2014). Perhitungan perolehan kembali dapat juga ditetapkan dengan rumus sebagai berikut:
Rentang kesalahan yang diijinkan pada setiap konsentrasi analit pada matriks dapat dilihat pada tabel
(Riyanto, 2014) 18
2) Presisi atau precision adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen. Presisi diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi) dari satu seri pengukuran. Presisi meliputi repeatability
(keterulangan),
intermediate
precision
(presisi
antara), dan reproducibility (ketertiruan). a) Repeatability adalah keseksamaan metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi sama dan dalam interval waktu yang pendek. Repeatability dinilai melalui pelaksanaan penetapan terpisah lengkap terhadap sampel-sampel identik yang terpisah dari batch yang sama, jadi memberikan ukuran keseksamaan pada kondisi yang normal. b) Presisi antara menyatakan keragaman dalam laboratorium yang dilakukan pada hari yang berbeda atau oleh analis yang berbeda atau peralatan yang berbeda di laboratorium yang sama (Kemenkes, 2014). c) Reproducibility
adalah
keseksamaan
metode
jika
dikerjakan pada kondisi yang berbeda. Biasanya analisis dilakukan dalam laboratorium-laboratorium yang berbeda menggunakan peralatan, pereaksi, pelarut, dan analis yang berbeda pula. Kriteria seksama diberikan jika metode memberikan simpangan baku relatif (RSD) atau koefisien variasi (CV) 2% atau kurang (Riyanto, 2014).
19
Dokumen ICH merekomendasikan bahwa repetabilitas ditetapkan dengan menggunakan minimal 9 penetapan meliputi suatu rentang konsentrasi khusus untuk prosedur (misalnya 3 konsentrasi dan 3 replikasi untuk masing-masing konsentrasi, atau minimal 6 penetapan pada konsentrasi uji 100%) (Kemenkes, 2014).
3) Spesifisitas Dokumen ICH mendefinisikan spesifisitas sebagai kemampuan menguji secara tepat suatu analit dengan adanya komponen lain dan diperkirakan ada sebagai cemaran, hasil degradasi, dan matriks sampel. Ketiadaan spesifisitas dari prosedur analisis dapat diatasi dengan penggunaan prosedur analitik pendukung. [Catatan beberapa organisasi internasional menggunakan istilah selektivitas untuk menggantikan spesifisitas.] Untuk menjelaskan definisi di atas dapat digunakan implikasi berikut:
a) Uji identifikasi prosedur harus menjamin identitas analit. b) Uji kemurnian prosedur harus menjamin dalam penetapan akurat kandungan cemaran dalam analit (seperti senyawa sejenis, batas logam berat, cemaran organik mudah menguap). c) Penetapan kadar Prosedur harus menjamin dan memberikan pernyataan akurat pada kadar atau potensi analit dalam sampel. Dokumen ICH menyatakan, jika digunakan prosedur kromatografi, maka kromatogram harus disertakan untuk menunjukkan derajat selektivitasnya, dan puncak harus diberi tanda. Uji kemurnian puncak (dengan “Diode Array” atau Spektrometri Massa) dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa puncak kromatogram analit tidak mengandung komponen lain (Kemenkes, 2014). 20
4) Batas Deteksi Batas deteksi adalah karakteristik uji batas. Ini merupakan konsentrasi terendah analit dalam sampel yang dapat dideteksi, tetapi tidak perlu kuantitatif dalam kondisi percobaan yang ditentukan. Batas deteksi umumnya dinyatakan sebagai konsentrasi analit (misalnya persen, bpj, bpm) dalam sampel (Kemenkes, 2014). Pengujian dapat dilakukan dengan 3 cara: a) Based on Visual Evaluation Evaluasi visual bisa digunakan untuk metode noninstrumental maupun instrumental. Batas deteksi ditentukan oleh analisis sampel dengan konsentrasi analit yang diketahui dan dengan melakukan analisis dengan analit yang masih dapat dideteksi pada konsentrasi terkecil. b) Based on Signal-to-Noise Pendekatan ini hanya dapat dilakukan pada prosedur analisis yang menunjukkan baseline noise. Penentuan dari rasio signal-to-noise dilakukan dengan membandingkan sinyal dari blanko dan sinyal dari sampel dengan konsentrasi rendah yang diketahui tetapi analit masih dapat dideteksi. Dikatakan batas deteksi diterima bila perbandingan signal-to-noise adalah 3 atau 2:1. c) Based on the Standard Deviation of the Response and the Slope Batas deteksi dapat ditunjukkan dengan:
Slope S dapat diketahui dari kurva kalibrasi analit (ICH Q2-R1, 2005). 21
5) Batas Kuantitasi Batas kuantitasi adalah konsentrasi terendah dari analit dalam sampel yang ditetapkan dengan akurasi dan presisi yang dapat diterima dalam kondisi percobaan yang telah ditetapkan. Batas kuantitasi dinyatakan sebagai konsentrasi analit (misalnya persen, bpj, bpm) dalam sampel (Kemenkes, 2014). Pengujian dapat dilakukan dengan 3 cara:
a) Based on Visual Evaluation Evaluasi visual bisa digunakan untuk metode noninstrumental
maupun
instrumental.
Batas
kuantitasi
umumnya ditentukan melalui analisis sampel dengan konsentrasi analit yang diketahui dimana konsentrasi minimum analit dapat dikuantisasi dengan akurasi dan presisi yang baik. b) Based on Signal-to-Noise Pendekatan ini hanya dapat dilakukan pada prosedur analisis yang menunjukkan baseline noise. Penentuan dari rasio signal-to-noise dilakukan dengan membandingkan sinyal dari blanko dan sinyal dari sampel dengan konsentrasi rendah yang diketahui tetapi analit masih dapat dideteksi.
Dikatakan
batas
deteksi
diterima
bila
perbandingan signal-to-noise adalah 10:1 c) Based on the Standard Deviation of the Response and the Slope Batas kuantitasi dapat ditentukan dengan cara:
22
Slope S dapat diketahui dari kurva kalibrasi analit (ICH Q2-R1, 2005).
6) Linearitas dan Rentang Linearitas adalah kemampuan untuk menunjukkan hasil uji yang secara langsung atau dengan melalui transformasi matematik yang tepat proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel dalam rentang yang diberikan. Dalam kaitan ini, linearitas mengacu pada hubungan linear antara konsentrasi dan hasil pengukuran pengujian (Kemenkes, 2014). Rentang adalah interval antara batas tertinggi dan batas terendah dari kadar analit yang telah dibuktikan, dapat ditentukan dengan presisi, akurasi, dan linearitas yang sesuai menggunakan prosedur analisis yang ditetapkan. Rentang umumnya dinyatakan dalam satuan yang sama dengan hasil uji (misalnya persen, bpj, bpm) yang diperoleh dengan prosedur analisis ini (Kemenkes, 2014). ICH merekomendasikan bahwa linearitas ditetapkan dengan menggunakan minimal 5 konsentrasi yang digunakan secara normal. Dan juga direkomendasikan rentang minimum yang digunakan sebagai berikut:
Penetapan kadar senyawa obat (atau sediaan farmasi akhir): dari 80% hingga 120% dari konsentrasi uji.
Penetapan cemaran: dari 50% hingga 120% dari kriteria penerimaan.
Untuk keseragaman kandungan: minimal 70% hingga 130% dari konsentrasi uji (sangat tergantung pada sifat alami bentuk sediaan). 23
Untuk uji disolusi: kurang lebih 20% dari rentang spesifik (misalnya pada sediaan pelepasan terkendali, setelah 1 jam 20%, dan setelah 24 jam lebih dari 90%, maka rentangnya dari 0%-110% dari konsentrasi yang dinyatakan pada etiket) (Kemenkes, 2014).
7) Ketegaran (Robustness) Ketegaran adalah ukuran kemampuan prosedur untuk tetap bertahan dan tidak terpengaruh oleh keragaman kecil yang disengaja pada parameter prosedur yang terdapat dalam dokumen. Ketegaran dapat ditentukan pada waktu pengembangan prosedur analisis. Kesesuaian sistem Salah satu konsekuensi dari pengujian ketegaran adalah parameter kesesuaian sistem yang perlu ditetapkan untuk menjamin validitas prosedur agar tetap bertahan selama digunakan. Keragaman yang umum:
Stabilitas larutan analisis
Perbedaan peralatan
Perbedaan analis
Keragaman dalam hal kromatografi cair:
pH fase gerak
Komposisi fase gerak
Perbedaan lot kolom/pemasok kolom
Suhu fase gerak
Kecepatan alir fase gerak
Keragaman dalam kromatografi gas:
Perbedaan lot kolom atau pemasok kolom 24
2. 3. 4.
Suhu fase gerak
Kecepatan alir fase gerak (Kemenkes, 2014).
Kategori Metode Analisis Setiap prosedur analisis yang berbeda membutuhkan skema validasi yang berbeda. Bagian ini hanya mencakup kategori pengujian secara umum yang mensyaratkan data validasi. Kategori-kategori tersebut adalah sebagai berikut: 1)
Kategori I Prosedur analisis untuk penetapan kadar komponen utama dalam bahan baku obat atau bahan aktif (termasuk pengawet) dalam sediaan obat jadi.
2)
Kategori II Prosedur analisis untuk penetapan cemaran dalam bahan baku obat atau senyawa hasil degradasi dalam sediaan obat jadi. Prosedur ini terdiri dari penetapan kuantitatif dan uji batas.
3)
Kategori III Prosedur analisis untuk penetapan karakteristik kinerja sediaan (misalnya disolusi, pelepasan obat).
4)
Kategori IV Prosedur analisis untuk identifikasi.
Untuk setiap kategori diperlukan informasi analitik yang berbeda. Tabel berikut ini mencantumkan unsur data yang diperlukan untuk setiap kategori.
25
(Kemenkes, 2014) Parameter yang harus diperhatikan, menurut ICH Q2-R1
Lebih jauh, re-validasi mungkin dibutuhkan dalam kondisi berikut:
Perubahan dalam sintesis dari zat obat
Perubahan komposisi dari produk akhir
Perubahan dari prosedur analisis
Tingkat revalidasi yang diperlukan bergantung pada sifat perubahan yang terjadi. Beberapa perubahan lainnya juga dapat membutuhkan validasi (ICH Q2-R1, 2005). 26
III.
DAFTAR PUSTAKA
EMEA. Quality of herbal medicinal products. Guidelines. European Agency for the Evaluation o Medicinal products (EMEA), London, 1998. WHO. Quality Control Methods for Medicinal Plant Materials. World Health Organisation, Geneva, 1992. WHO. The International Pharmacopeia, Vol.3: Quality Specifications for Pharmaceutical Substances, Excipients, and Dosage forms, 3rd edn. World Health organization Geneva, 1988. De Smet. PAGM. Drug Information Journal, 33, 1999, 717-724. De Smet PAGM, Keller K, Hansel R, Chandler RF (1992). Aristolochia species In: Adverse Effects of Herbal Drugs, Springer-Verlag, Heidelberg. 1. WHO. Guidelines for the appropriate use of Herbal Medicines. WHO Regional publications, Western pacific series No 3, WHO Regional office for the Western Pacific, Manila, 1998. WHO. Guidelines for the Assessment of Herbal Medicines. WHO Technical Report Series, No863. World Health Organization, Geneva, 1996. AOAC (2005). Official Methods of Analysis of AOAC International, 18th edn. AOAC International, Gaithersburg, MD. Watson DG. Pharmaceutical Analysis. Churchill Livingstone, Edinburgh, 1999. Wani MS (2007). Herbal medicine and its standardization. Pharma. info., 1: 6. WHO (1996a). Quality Assurance of Pharmaceuticals: A Compendum of Guidelines and Related Materials, Good Manufacturing Practices and Inspection. World Health Organization, Geneva. 2. WHO (1998a). Quality Control Methods for Medicinal Plant Materials, World Health Organization, Geneva. WHO (2000). The WHO Recommended Classification of Pesticides by Hazard and Guidelines to Classification 2000–2002 (WHO/PCS/01.5). International Programme on Chemical Safety, World Health Organization, Geneva. WHO (2002c). General Guidelines for Methodologies on Research and Evaluation of Traditional Medicine. World Health Organization, Geneva. 27
Shapna, Shrikumar, M. Uma Maheswari, A. Suganthi, T. K.Ravi, Pharma infonet vol 2, 2004 Standardization of herbal medicines - A review Kunle, Oluyemisi Folashade1*, Egharevba, Henry Omoregie1 and Ahmadu, Peter Ochogu2 1Department of Medicinal Plant Research and Traditional Medicine, National Institute for Pharmaceutical Research and Development (NIPRD), Idu Industrial Layout Idu, PMB 21 Garki, Abuja, Nigeria. Bele, A. Khale, A. 2011. Standardization of Herbal Drugs : an Overview. Internatiol Research Journal of Pharmacy. Kamboj, Anjoo. 2012. Analytical Evaluation of Herbal Drugs, Drugs Discovery Research in Pharmacognosy. In Tech: Rijeka, Croatia Nikam, Parvin H., 2012, “Future Trends in Standardization of Herbal Drugs”. Journal of Applied
Pharmaceutical
Science.
Volume
2,
No.
6,
www.japsonline.com/admin/php/uploads/499_pdf.pdf, 11 Maret 2016 Kementeterian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI ICH Validation Of Analytical Procedures: Text And Methodology November 2005 Riyanto, Ph.D. 2014. Validasi & Verifikasi Metode Uji Sesuai dengan ISO/IEC 17025 Laboratorium Pengujian dan Kalibrasi. Yogyakarta: Deepublish
Chaudhury RR. 1999. Herbal medicine for human health. World Health Organization Geneva, CBS publishers and distributors LTD, New Delhi, Kokate CK, Purohit AP, Gokhale SB. 2005. Pharmacognosy, 31st edition Nirali Prakshan, 97131. Raina MK. 2003. Quality control of herbal and herbo-mineral formulations, Indian journal of natural products, 19, 11-15. Raven PH, Evert RF, Eichhorn SE. 1999. Biology of Plants, sixth ed.,Freeman, New York. Yan XJ, Zhou JJ, Xie GR, Milne GWA. 1999. Traditional Chinese Medicines: Molecular Structures, Natural Sources and Applications, Aldershot, Ashgate. Liang YZ, Xie P, Chan K, J., Quality control of herbal medicines, Chromatogr B, 2004; 812: 53– 70. Ong ES, Chemical assay of glycyrrhizin in medicinal plants by pressurized liquid extraction (PLE) with capillary zone electrophoresis (CZE). J Sep Sci, 2002; 25: 825-831 28
Chimezie A, Ibukun A, Teddy E, Francis O. HPLC analysis of nicotinamide, pyridoxine, riboflavin and thiamin in some selected food products in Nigeria. Afr J Pharm Pharmacol 2008; 2(2):29-36 Rao Udaykumar B, Anna NP .Stability- indicating HPLC method for the determination of efavirenz in bulk drug and in pharmaceutical dosage form. Afr J Pharm Pharmacol 2009;3(12):643-650 Bhutani KK, Finger-Printing of Ayurvedic Drugs, The Eastern Pharmacist, 2000; 507: 21-26 Marston A, Role of advances in chromatographic techniques in phytochemistry. Phytochem, 2002; 68: 2785-2797 Brandt A, Schering AG, Kueppers S, Practical Aspects of Preparative HPLC in Pharmaceutical a and Development Production. (www.lcgceurope.com), 2002; 2-5 Mike Lee S, Edward Kerns H. LC/MS applications in drug development. Milestone Development Services, Pennington, New Jersey, 24 July 1999. Patil PS, Rajani S. An advancement of analytical techniques in herbal research. J Adv Sci Res 2010; 1(1):8-14. Guo F.Q., Huang L.F., Zhou S.Y., Zhang T.M., Liang Y.Z., Comparison of the volatile compounds of Atractylodes medicinal plants by headspace solid-phase microextractiongas chromatography–mass spectrometry.Anal. Chim. Acta 570: (2006) 73-78 . Sharma, Handbook of Thin Layer Chromatography. Chromatographic Science Series, Marcel Dekker, Inc, New York Press 2009; 55: 353-387. Patra, Kartik Chandra, Surendra K. Pareta, Ranjit K. Harwansh, K. Jayaram Kumar. Traditional Approaches towards Standardization of Herbal Medicines. Journal of Pharmaceutical Science and Technology 2010; 2 (11):372-379. Matthew C, Henry R. Supercritical fluid chromatography, Pressurized liquid extraction, and supercritical fluid extraction. Anal Chem 2006; 78: 3909. Gandjar, Gholib., dan Rohman, 2009. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Sudjadi,1985. Metode Pemisahan. Kanisius, Yogyakarta Huber, Ludwig. 2010. Validation of Analytical Methods. Agilent Technologies: German.
29
View more...
Comments