Konsili Vatikan 2

July 18, 2017 | Author: Toni Mcguy | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

konsili vatikan...

Description

DOKUMEN KONSILI VATIKAN II

KATA PENGANTAR Ketua Presidium KWI Ketika persediaan buku Tonggak Sejarah Pedoman Arah, dokumen Konsili Vatikan II terbitan Departemen Dokumentasi dan Penerangan MAWI tahun 1983 mulai menipis jumlahnya, telah dipikirkan masak-masak oleh KaDokPen KWI, apakah akan mencetak ulang ataukah justru mengusahakan sekaligus adanya suatu terjemahan baru. Mengingat buku tersebut disana-sini dirasa perlu disempurnakan terjemahannya, baik yang menyangkut judul, ungkapan maupun isi, maka dianggap mendesak adanya terjemahan baru. Semula dipikirkan oleh KaDokPen KWI, dokumen tersebut akan diterjemahkan oleh sebuah team yang terdiri dari beberapa teolog dosen STFT dan STFKAT dari berbagai daerah diseluruh Indonesia. Namun cita-cita tersebut ternyata sulit dilaksanakan, karena tidak mudah menemukan dikalangan mereka seseoarang yang mempunyai waktu dan bersedia menterjemahkan dokumen tersebut. Presidium bersyukur bahwa Pater R. Hardawiryana SJ yang semula diharapkan menjadi koordinator para penterjemah akhirnya bersedia menjadi penterjemah tunggal. Pada rapat tanggal 18 s/d 20 April 1990, Presidium menyetujui usulan KaDokPen agar Pater R. Hardawiryana SJ, akan menterjemahkan seluruh dokumen Vatikan II, sedikit demi sedikit. Untuk tahap pertama, setiap kali satu dokumen selesai diterjemahkan, langsung diterbitkan oleh DOKPEN KWI sebagai Seri Dokumen Gerejani, kemudian disebar, sambil mohon agar mereka yang telah membaca, dan memakai untuk sarana perkuliahan, seminar dls., berkenan menyampaikan koreksi dan usulan penyempurnaan. Setelah semua dokumen selesai diterjemahkan, sertakoreksi telah masuk pula, seluruh dokumen akan dicetak ulang menjadi satu kesatuan, setelah diperiksa ulang oleh para ahli yang berkompeten. Kami bergembira bahwa akhirnya dapat diterbitkan seluruh dokumen Konsili Vatikan II dalam satu buku. Semoga buku baru ini dapat melayani kebutuhan Gereja Indonesia, karena buku lama telah habis. Dengan semakin sempurna diterjemahkan, inspirasi semangat dan ajaran Konsili Vatikan II yang kita hargai bersama itu dapat semakin baik dibaca, ditangkap, direnungkan, dan diresapkan. Dalam kesempatan ini, tak lupa kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Pater R. Hardawiryana SJ yang telah begitu banyak menyisihkan waktu karena berkenan menjadi penerjemah tunggal. Demikian pula kepada DOKPEN KWI serta semua pihak yang turut serta dalam usaha penerbitan buku baru ini, kami ucapkan banyak terima kasih. Setiap saran, koreksi dan usulan perbaikan tidak hanya kami terima dengan senang hati, melainkan juga sangat kami harapkan. Jakarta, 2 Februari 1993

Mgr. J. Darmaatmadja. SJ Ketua Presidium KWI

KATA PENGANTAR DOKPEN KWI Dokumen-dokumen Konsili Vatikan II telah diterjemahkan secara lengkap atas mandat dari MAWI (KWI) oleh Bapak Dr. J. Riberu yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Dokpen MAWI. Terjemahan ini terbit menjadi satu buku pada permulaan tahun 1984 dan sampai dengan tahun 1992 telah mengalami cetak ulang beberapa kali. Dalam cetakan ulang judul buku diubah dengan judul yang lebih tepat : “DOKUMEN KONSILI VATIKAN II. Tonggak Sejarah, Pedoman Arah”. Tak dapat disangkal bahwa buku ini dipakai secara luas diseluruh Indonesia, tidak hanya dikalangan umat Katolik tetapi juga yang bukan Katolik. Sementara itu, dirasakan oleh para pe makai bahwa dalam terjemahan ini terdapat pelbagai kelemahan dan ketidaktepatan: judul buku, bahasa, kosakata dan sebagainya. Presidium KWI akhirnya dalam rapatnya tanggal 18 s/d 20 April 1990 memutuskan supaya seluruh dokumen itu diterjemahkan sekali lagi dengan melibatkan sebanyak mungkin ahli, sehingga terjemahan baru tersebut dapat lebih sempurna dan diterima oleh seluas mungkin pemakai. Tugas ini diserahkan kepada Departemen Dokumentasi dan Penerangan (DOKPEN) KWI. Setelah semua teolog dari STFT dan STF yang ada di Indonesia di Hubungi, ternyata hampir tak ada yang sanggup untuk membantu menterjemahkannya. Syukur kepada Tuhan, bahwa Rama R. Hardawiryana, SJ menyanggupkan diri untuk melakukannya sedikit demi sedikit. Sekarang pekerjaan besar dan berat itu sudah selesai dan sementara itu sudah diterbitkan secara periodik dalam Dokumen Gerejawi yang diterbitkan oleh DOKPEN KWI. Dan sekarang buku yang ada di tangan Anda ini menjadi bukti kerja keras tadi. Kita patut berterimakasih yang sebesar-besarnya kepa danya. Bahaya dari penerjemahan tunggal ini ialah bahwa kemungkinan untuk berbuat salah menjadi cukup besar. Hal ini kami coba imbangi dengan mengundang para pemakai, khususnya para ahli, untuk menyampaikan penyempurnaannya kepada penerjemah atau kepada kami selaku koordinator. Keuntungan dari penerjemahan tunggal ialah bahwa mutu dan gaya bahasa serta kadar ketelitian dapat dipertanggungjawabkan dalam seluruh dokumen; sesuatu yang agak sulit dipertahankan bila dokumen yang sama diterjemahkan oleh banyak orang. Akhirnya kami berharap bahwa para pemakai dapat merasakan bahwa terjemahan baru ini sungguh lebih baik dari yang lama dan buku ini dapat lebih berguna bagi keberadaan Gereja Katolik di Indonesia dalam, bersama dengan umat lain, bergereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia tercinta ini.

Jakarta, 17 Februari 1993 Alfons S. Suhardi, OFM KADOKPEN KWI

KONSILI VATIKAN II : 1962 – 1965 Konsili Vatikan II merupakan Konsili Ekumenis ke-21 dalam sejarah Gereja. Antara tgl. 11 Oktober 1962 dan tgl. 8 Desember 1965 diadakan empat periode sidang. Jumlah Uskup yang hadir lebih banyak dan berasal dari lebih banyak negara daripada yang menghadiri Konsili-Konsili sebelumnya(1). Jumlah dokumen yang dihasilkannyapun lebih banyak, dan dampak-pengaruhnya atas kehidupan Gereja katolik lebih besar dari peristiwa manapun sesudah jaman reformasi pada abad XVI. PERSIAPAN Baik Paus Pis XI (1922-1939) maupun Paus Pius XII (1939-1958) pernah berfikir tentang membuka kembali Konsili Vatikan I (1869-1870), yang karena pecahnya perang antara Perancis dan Prusia (Jerman) terpaksa dihentikan secara mendadak ( 2). Tetapi Paus Yohanes XXIII-lah yang mengejutkan umat katolik sedunia dengan maklumat beliau yang penuh optimisme pada tgl. 25 Januari 1959, bahwa beliau bermaksud mengundang suatu Konsili ( 3). Yang beliau maksudkan bukan sekedar melanjutkan Konsili Vatikan I, melainkan menyelenggarakan Konsili yang baru sama sekali (4). Beliau mengharapkan Konsili akan mengajak Gereja semesta mengevaluasi kehidupan serta pelaksanaan misinya. Ada tiga sasaran yang mau dicapai, yakni : pembaharuan rohani dalam terang injil, penyesuaian dengan masa sekarang (“aggiornamento”) untuk menanggapi tantangantantangan zaman modern(5), dan pemulihan persekutuan penuh antara segenap umat kristen (6). Persiapan Konsili dimulai dengan undangan yang ditujukan kepada semua Uskup diseluruh dunia, para pemimpin tarekat-tarekat imam religius, universitas-universitas serta fakultas-fakultas katolik, dan para anggota Kuria Romawi, untuk mengemukakan saransaran mereka bagi permusyawarahan dan penyusuanan acar Konsili. Disepanjang sejarah Gereja belumpernah diadakan konsultasi seluas itu (7). Hasilnya ialah lebih dari 9300 saran. Seluruh bahan itu dipilah-pilah, didaftar, dan dibagi-bagikan kepada sepuluh komisi persiapan, yang oleh Paus Yohanes diangkat pada tgl. 5 Juni 1960 untuk menyiapkan konsep-konsep naskah (“schemata”) untuk dibahas dalam Konsili. Komisi-komisi mengadakan rapat-rapat kerja antara bulan November 1960 dan bulan Juni 1962, dan menghasilkan lebih dari 70 naskah yang kemudian dirangkum menjadi sekitar 20 naskah. Setiap naskah diperiksa oleh Komisi Persiapan Pusat, 1

Pada Pembukaan Konsili hadirlah 2540 Bapa Konsili. Baiklah dikenangkan pula dampak relatif cukup besar 29 pengamat dari 17 Gereja lain dan undangan yang bukan katolik, para pendengar pria maupun wanita, perhatian besar media cetak, dan makin banyak tersedianya informasi tentang Konsili.

2

Tentang Konsili Vatikan I, lihat : H. Jedin, “Sejarah Konsili”, Yogyakarta: Kanisius 1973, hlm.111-138; T. Jacobs, “Latar Belakang dekat Konsili Vatikan II”, khususnya hlm.60-63

3

Paus Yohanes XXIII, Konstitusi apostolik “Humanae Salutis”, tgl. 25 Desember 1961, memandang sebagai suatu motivasi untuk mengundang Konsili; membuka kemungkinan bagi Gereja untuk memberi sumbangan efektif demi pemecahan soal-soal zaman modern.

4

Dalam konstitusi apostolik “Humanae Salutis”, tgl. 25 Desember 1961Paus Yohanes XXIII mencetuskan harapan beliau: semoga Konsili Vatikan II merupakan ulangan Pentekosta bagi umat kristen. Juga dogmadogma Tradisi Gereja ditempatkan dalam konteks baru dan ditafsirkan secara baru.

5

Paus Paulus VI pada sidang terakhir Konsili mengartikan “aggiornamento” sebagai usaha untuk makin mendalami semangat Konsili dan penerapan setia norma-norma yang digariskan.

6

Amanat Paus Yohanes XXIII pada pembukaan Konsili, tgl. 11 Oktober 1962, antara lain menekankan perlunya meningkatkan persatuan kristen, bahkan seluruh “keluarga manusia”. Maksud itu terungkap dengan jelas misalnya ketika pada tgl.5 Januari 1964 Paus Paulus VI dalam kunjungan beliau ke Tanah Suci merangkul Atenagoras, Patriark Ortodoks utama dari Gereja Timur. Peristiwa lain: pernyataan bersama, yang diumumkan di Istanbul dan di Vatikan pada tgl. 7 Desember 1965, tentang peristiwa-peristiwa pada tahun 1054, yang menimbulkan perpecahan antara Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks di Istanbul. “Pernyataan Katolik-Ortodoks” itu mengungkapkan kerinduan akan persekutuan makin penuh antara Gereja di Istanbul dan Gereja katolik.

7

Konstitusi apostolik Paus Yohanes XXIII “Humanae Salutis”, tgl. 25 Desember 1961, menampilkan pentingnya konsultasi seluas itu dalam proses persiapan Konsili.

diperbaiki dengan memperhatikan catatan-catatan yang dilampirkan, dan akhirnya dimohonkan persetujuan Paus. Pada musim panas tahun 1962 sejumlah naskah diedarkan diantara para Uskup sedunia sebagai bahan untuk periode Sidang yang akan dimulai pada musim gugur.

SIDANG PERTAMA Konsili Vatikan II menyelenggarakan empat periode sidang, yakni: 11 Oktober – 8 Desember 1962, 29 September – 4 Desember 1963, 14 September – 21 November 1964, dan 14 September – 8 Desember 1965. Dalam uraian pengantar ini tidak mungkin memaparkan ikhtisar sejarah Konsili(8). Tetapi baiklah disajikan catatan tentang periode Sidang Pertama, yang paling dramatis dan paling penting. Suasana dan keputusan-keputusan yang diambil ketika itu menggariskan haluan dasar seluruh Konsili. Ada empat moment yang mempunyai relevansi khas. Momen relevan yang pertama ialah Amanat Pembukaan yang disampaikan oleh Paus Yohanes XXIII pada tgl.11 Oktober 1962. Beliau mendesak supaya Konsili menempuh arah pastoral ( 9). Menghadapi dunia yang memerlukan uluran belaskasihan(10). Bukan maksud utamanya untuk mengulang-ulangi saja apa yang jelas sudah merupakan ajaran katolik, atau melontarkan kecaman-kecaman (“anathema”) terhadap kesesatan-kesesatan. Kendati mendesaknya tantangan-tantangan zaman, para Uskup diundang untuk menjauhkan sikap murung terhadap dunia modern, dan untuk merenungkan : mungkinkah Allah justru hendak memulai suatu era baru dalam sejarah manusia? Mereka diharapkan membedakan antara pokok-pokok iman disatu pihak, dan dipihak lain cara-cara mengungkapkannya yang tergantung juga dari situasi dan kondisi yang silih berganti, serta bagaimanapun juga harus menanggapinya. Jadi soal utama ialah : bagaimana pusaka iman diungkapkan dalam konteks situasi masa kini, untuk sungguh menyentuh hati manusia zaman sekarang dan memecahkan masalah-masalahnya yang aktual. Momen kedua yang relevan ialah : ketika pada sidang kerja pertama para Uskup menyatakan tidak bersedia untuk begitu saja menerima para anggota komisi-komisi Konsili, yang disodorkan dalam daftar yang sudah siap, melainkan memutuskan untuk memilih sendiripara anggota komisi-komisi. Ketika itu peristiwa itu dianggap mengungkapkan, bahwa cukup banyak Uskup tidak setuju dengan nada dan isi pokok banyak naskah yang telah disiapkan. Mereka menginginkan waktu secukupnya untuk saling mengenal, dan memilih para anggota komisi-komisi, sehingga tidak begitu saja diulangi tekanan-tekanan naskah-naskah persiapan. Momen ketiga yang sinyifikatif ialah perdebatan Konsili tentang Skema mengenai Liturgi. Diskusi itu mencerminkan, bahwa mayoritas para Uskup mendukung ajakan Paus untuk membaharui kehidupa n Gereja. Maksud mereka makin jelas, ketika dimulai perdebatan tentang Skema “Tentang Sumber-Sumber Pewahyuan”. Teks itu oleh banyak Uskup dikritik dengan tajam sekali, dan pada pemungutan suara menjelang akhir diskusi lebih dari 60% menghendaki agar Skema dibatalkan. Meskipun jumlah suara itu tidak mencukupi untuk mengembalikan Skema, Paus Yohanes memerintahkan perombakannya sama sekali. Momen keempat yang dramatis itu menampilkan maksud mayoritas para Uskup untuk menempuh haluan, yang dalam berbagai aspek menyimpang dari sikap-sikap dan strategi-strategi, yang menandai Katolisisme Romawi selama 150 tahun sebelumnya. Paus Yohanes XXIII meninggal pada bulan Juli 1963, dan digantikan oleh Paus Paulus VI. Salah satu tindakan Paus baru yakni : mengumumnkan bahwa Konsili akan dilanjutkan, dan harus tetap mengikuti haluan yang telah digariskan oleh Paus Yohanes dan dikukukhkan selama periode Sidang I. Selama tiga periode Sidang berikut yang diketuai oleh Paus Paulus VI terlaksanalah karya pokok Konsili. 8

Lihat : Daftar “Beberapa Peristiwa Penting Selama Konsili Vatikan II”.

9

Menurut “Presbyterorum Ordinis” 12, tujuan pastoral Konsili ialah : 1) Pembaharuan Gereja, 2) pewartaan Injil diseluruh dunia, dan 3) dialog dengan dunia modern.

10

Amanat Paus Paulus VI pada hari raya Natal 1965 menggarisbawahi, bahwa suasana dominan selama Konsili diilhami oleh gambaran Injili tentang Gembala Baik, yang tidak berhenti mencari sebelum menemukan domba yang sesat.

DOKUMEN-DOKUMEN KONSILI Konsili Vatikan II menghasilkan enam belas dokumen, yakni empat Konstitusi (tentanag Liturgi, tenteng Gereja, tentang Wahyu Ilahi, dan tentang Gereja dalam Dunia Modern), sembilan Dekrit (tentang Upaya-Upaya komunikasi sosial, tentang Gereja-Gereja Timur Katolik, tentang Ekumenisme, tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam Gereja, tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius, tentang Pembinaan Imam, tentang Kerasulan Awam, tentang Kegiatan Misioner Gereja, dan tentang Pelayanan dan Kehidupan para Imam), dan tiga Pernyataan (tentang Pendidikan Kristen, tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristen, dan tentang Kebebasan Beragama). Judul-judul itu sudah menampakkan, betapa luaslah jangkauan Konsili. Dokumen utama Konsili ialah Konstitusi dogmatis tentang Gereja (“Lumen Gentium”) ( 11). Titik tolaknya ialah Eklesiologi resmi yang dominan menjelang Konsili, dan ditandai dengan tekanan pada dimensi-dimensi kelembagaan Gereja ( 12). Konstitusi mulai dengan pandangan tentang Gereja sebagai Misteri, sebagai persekutuan beriman, yang dipanggil untuk ikut menghayati hidup Tritunggal maha kudus. Persekutuan dalam Allah itu memperbuahkan persekutuan antara para anggota Gereja, yang menjadikan mereka umat Allah, Tubuh Kristus dan Kenisah Roh Kudus. Dalam satu Gereja dimensi Ilahi dan manusiawi menciptakan suatu gejala sosial tersendiri, Gereja Kristus yang “berada dalam” Gereja Katolik Romawi, kendati banyak unsur-unsurnya yang baku terdapat juga diluar batas-batasnya yang kelihatan (13). Selanjutnya “Lumen Gentium” menguraikan, bahwa dalam Gereja sebagai umat Allah terwujudlah Misteri dalam kurun sejarah antara Kenaikan Kristus ke Sorga dan Kedatangan-Nya pada akhir zaman ( 14). Ditekankan kesejahteraan fundamental martabat para anggota, yang mendasari pembedaan-pembedaan antara hirarki, kaum awam dan para religius. Orang menjadi warga penuh dalam Gereja, bila ia memiliki Roh Kristus, dan berada dalam persekutuan iman, Sakramen – Sakramen, dan tata-laksana serta struktur Gerejawi. Gereja itu bersifat “ katolik”, artinya : menjangkau semua bangsa dan kebudayaan, dipanggil untuk menghimpunnya dibawah Kristus Tuhan, dan untuk memperkaya Gereja semesta melalui pertukaran timbal balik sumber-sumber budaya pelbagai bangsa. Dalam Konstitusi ini dan dalam dokumen-dokumen Konsili kuat-kuat menekankan teologi Gereja setempat; dengan kata lain : prinsip, bahwa misteri Gereja selalu diwujudkan dalam jemaat-jemaat setempat, paroki-paroki, keuskupan-keuskupan, wilayah-wilayah geografis dan budaya yang lebih luas. Perspektif itu khususnya nampak dengan jelas dalam Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja (“Ad Gentes”). Perspektif teologis dan rohani dua bab pertama “Lumen Gentium” dijabarkan dalam Konstitusi dogmatis tentang Wahyu Ilahi (“Dei Verbum” ) dan Konstitusi tentang Liturgi (“Sacrosanctum Consilium” ) ( 15). “Dei Verbum” memandang perwahyuan sebagai komunikasi diri Allah melalui sabda dan karya-Nya, yang mencapai kesempurnaannya dalam Yesus Kristus. Perwahyuan pembawa penebusan itu disalurkan melalui Kitab Suci dan Tradisi. Dalam uraiannya tentang kedua pengantara perwahyuan itu Konsili menekankan peranan sentral Kitab suci, dan mendukung sahnya penelitian modern secara kritis ilmiah. Digarisbawahi pula peranan Tradisi, yang dimengerti sebagai proses hidup menerima serta menafsirkan Kitab suci dalam kenyataan hidup Gereja sehari-hari.

11

Lih. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan pokok …”, hlm.25-38. Suatu “Skematisasi” dokumen-dokumen Konsili Vatikan II dalam tiga bagian (pemahaman diri Gereja, pendalaman tentang hidup Gereja sendiri, dan pendalaman tentang misi Gereja): lih. Martadiatmaja, “Gagasan-gagasan Dogmatik …”, hlm.10-11.

12

“Lumen Gentium”, dan karena itu seluruh Eklesiologi Vatikan II, dikembangkan berpangkal pada pandangan “Mystici Corporis”, seperti dirumuskan dalam skema I tentang Gereja. “Vatikan II memang membuka pandangan baru terhadap Gereja, tetapi tidak menolak yang lama”, bdk. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm.44.

13

Lih. LG.8; bdk. UR.3.

14

Seperti terungkap dalam Bab I dan II, pandangan baru tentang Gereja berarti, Suatu sentralisasi vertikal pada Kristus dan suatu desentralisasi horisontal pada umat Allah”, Y. Congar, “L’Eglise : De saint Augustin a I’epoque modernr:, Paris : Cerf 1970, hlm.473.

15

Tentang bagaimana “Sacrosanctum Concilium” melengkapi “Lumen Gentium”, lihat T. Jacobs, “Gagasangagasan Pokok …”, hlm. 28.

Sesudah pengantar teologis tentang peranan Liturgi dan khususnya Ekaristi suci yang bagi Gereja penting sekali, Konstitusi “Sacrosanctum Concilium” menggariskan prinsip-prinsip pembaharuan hidup liturgis Gereja secara mendalam. Upacara-upacar perlu diperbaharui sedemikian rupa, sehingga lebih jelas melambangkan misteri penyelamatan dan memungkinkan partisipasi aktif yang lebih penuh oleh semua warga Gereja. Seusai pembahasan Gereja sebagai Misteri dan Umat Allah, “Lumen Gentium” mengarahkan perhatian kepada penggolongan anggota Gereja. Bab III menguraikan peranan hirarki (16), khususnya episkopat, dengan maksud mengimbangi tekanan Konsili Vatikan I pada wewenang dan “tidak dapat sesatnya” (“infallibilitas”) Paus, dengan menempatkan pelayanan kesatuan dalam konteks lebih luas Dewan para Uskup. Diajarkan sifat sakramental episkopat, begitu pula tanggung jawab Uskup atas Gereja setempat dan atas kesejahteraan Gereja semesta. Ajaran Konsili Vatikan I tentang Wewenang Mengajar (“Magisterium”) diulangi, tetapi sekaligus ditafsirkan secara lebih penuh dari yang mungkin tercapai pada tahun 1870. Dua artikel terakhir menguraikan imamat, dan mencantumkan keputusan untuki memulihkan diakonat sebagai pelayanan tetap. Bahan Bab III itu dilengkapi dengan Dekrit-Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup (“Christus Dominus”), tentang Pelayanan dan Kehidupan para Imam (“Presbyterorum Ordinis”), dan tentang Pembinaan Imam (“Optatam Totius”). Bab IV “Lumen Gentium” menguraikan peranan kaum awam ( 17). Disajikan “gambaran tipologis” awam sebagai orang kristen, yang berhak penuh untuk ikut menghayati hidup dan menunaikan misi Gereja, dengan hidup secara kristen dalam dunia sekular. Awam menghadirkan Gereja didunia, dan dipanggil untuk menghadapi masalahpersoalan sehari-hari dengan sabda serta rahmat Kristus. Sekaligus ia menyumbangkan pandangan maupun pengalamannya tentang hidup sekular demi pembangunan Gereja. Prinsip-prinsip yang digariskan dalam Bab ini secara lebih penuh dijabarkan dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam (“Apostolicam Actuositatem”). Bab VI tentang para religius dalam Gereja menjelaskan makna tiga kaul, yang diikrarkan oleh para religius untuk menerima tangtangan nasehat-nasehat Injili. Bab ini mendorong mereka untuk menunaikan tanggung jawab mereka sendiri demi kehidupan dan misi Gereja. Dekrit “Perfectae Caritatis” menyajikan prinsip-prinsip tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius ( 18), yang sekaligus mencerminkan cita-cita “aggiornamento” untuk seluruh Gereja. 1) kembali kepada Injil sebagai pedoman hidup yang utama; 2) kembali kepada sumber-sumber karisma dan spiritualitas masing-masing tarekat; 3) integrasi dalam Gereja seluruhnya; 4) menanggapi kebutuhan jaman dalam perihidup maupun kerasulan; 5) penghapusan deskriminasi antara para anggota (19). Dalam Bab V dan VII “Lumen Gentium” kembali memandang Gereja semesta, sambil menekankan panggilan semua orang untuk kesucian dan persekutuan Gereja di dunia dengan Gereja yang jaya dalam Kerajaan Allah. Bab terakhir Konstitusi dipersembahkan kepada Santa Perawan Maria, dan menjadikan peranannya sebagai anggota maupun lambang Gereja kunci untuk menafsirkan teologi tentang Maria. Eklesiologi “Lumen Gentium” yang lebih mendalam dan lebih kaya besar sekali dampaknya atas hubungan-hubungan ekumenis antara Gereja katolik dengan GerejaGereja serta jemaat-jemaat kristen lainnya. Hubungan-hubungan itu oleh Konsili dijajagi baik dalam “Lumen Gentium” maupun dalam Dekrit tentang Ekumenisme (“Unitaris redintegratio”), Dekrit tentang Gereja-Gereja Timur Katolik (“Orientalium Redintegratio”), dan Dekrit tentang hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan kristen (“Nostra Aetate”). Dokumen-dokumen itu mencetuskan kesanggupan Gereja yang antusias untuk menggantikan sikap curiga dan bermusuhan antar Gereja dan antar Agama dengan sikap dialog dan kerjasama (20). 16

Lih. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm.31-32.

17

Lih. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm.33-35.

18

J. A. Komonchak membuat kesalahan dengan menukarkan bab V (tentang panggilan untuk kesempurnaan) dengan bab VI (para religius), cf. hlm.1075.

19

Bdk. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm.37.

20

Sebelas hari sesudah Konstitusi tentang Gereja resmi diumumkan pada tgl.21 November 1964, Paus Paulus VI untuk pertama kalinya mengunjungi India, sesudah pada awal tahun itu juga beliau mengunjungi Yordania dan Israel.

Konsili juga menyajikan dua dokumen untuk menanggapi situasi Gereja dalam dunia modern. “Gaudim Et Spes”, Konstitusi Pastoral tentang Gereja Dalam Dunia Modern, menyajikan citra Gereja yang berbagi kegembiraan dan harapan, penderitaan dan kegelisahan dengan sesama sezaman ( 21).Konstitusi GS mengandaikan semua yang telah ditetapkan oleh Konsili tentang Gereja, tetapi juga melengkapinya, sejauh menekankan bahwa anggota Gereja ialah anggota masyarakat (bdk. GS 1). Dan bahwa Gereja wajib bekerja sama dengan masyarakat (bdk. GS 40) (22). Bersama mereka semua Gereja ikut merasa bertanggung jawab untuk mengisi sejarah dunia. Bagian I dokumen menyajikan refleksi teologis tentang hubungan Gereja dan Dunia, serta secara istimewa menekankan, bahwa pihak yang satu mempunyai sumbangannyakepada pihak lain. Asas-asas itu diterapkan dalam bagian II pada masalah-masalah aktual tentang perkawinan dan keluarga, kebudayaan, kehidupan ekonomi, sosial dan politik, serta tentang damai dan perang (23). Deklarasi tentang Kebebasan Beragama (“Dignitatis Humanae”) mencantumkan pandangan Konsili tentang soal Gereja dan negara. Konsili membela hak pribadi manusiaatas kebebasan beragama, dan menentang camput tangan pemerintah dalam pelaksanaan hak itu. Dalam dokumen itu dan dalam Konstitusi “Gaudium et Spes” Konsili menganjurkan sikap yang jauh lebih terbuka terhadap dunia modern daripada yang terdapat dalam gereja katolik Roma selama 150 tahun sebelumnya. Konsili ditutup pada tgl. 8 Desember 1965 dengan amanat Paus Paulus VI ( 24), dan pembacaan “Pesan- Pesan Konsili”, yang atas nama para Bapa Konsili dibawakan oleh beberapa Kardinal, dan ditujukan kepada pelbagai kelompok: para pemimpin negara, kaum intelektual, para seniman, kaum wanita, kaum miskin, mereka yang sakit dan menderita, kaum buruh dan generasi muda.

DAMPAK – PENGARUH KONSILI Sebagai peristiwa Konsili mempunyai pengaruh yang besar sekali. Dalam kenangan Gereja Konsili merupakan pengalaman pertama pelaksanaan kolegial Kewibawaan tertinggi gerejawi (25). Gereja, yamh samapai saat itu sering membanggakan sifatnya tetap tak berubah, menjalani evaluasi diri yang mendalam dan bersikap kritis terhadap dirinya. Banyak sikap-sikap dan strategi-strateginya ditinjau kembali dan ditantang dalam terang Injil dan dalam Konfrontasi dengan kebutuhan-kebutuhan zaman sekarang. Gejala itu berkelanjutan dimasa pasca Konsili. Perubahan-perubahan yang paling menonjol terjadi dalam Liturgi. Sebab Paus Paulus VI tidak hanya menghendaki supaya seruan Konsili untuk membaharui diri dilaksanakan sepenuhnya, tetapi bahkan supaya pembaharuan itu lebih jauh lagi dari apa yang diharapkan Konsili. Dipelbagai bidang kehidupan Gereja disetujuai usaha-usaha pembaharuan : hubungan-hubungan antara klerus dan awam, antara Uskup dan para imam, antara Roma dan Gereja-Gereja setempat, 21

Amanat Para Bapa Konsili pada awal Periode Sidang I, tgl.20 Oktober 1962, memandang sebagai isyu yang mendesak secara khas; disamping perdamaian, masalah keadilan sosial, mengacu kepada Ensiklik Paus Yohanes XXIII “Mater et Magistra”. Juga “Pesan-Pesan Akhir Konsili”, Yang disampaikan oleh Paus Paulus VI dan para Bapa Konsili pada tgl.8 Desmber 1965, menggarisbawahi makin perlunya umat kristen melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat modern. Tentang GS lihat T. Jacobs, “Gagasan-Gagasan Pokok …”, hlm.3942.

22

Boleh dikatakan juga, bahwa “Lumen Gentium” harus dibaca kearah “Gaudium et Spes”, “Gagasan-Gagasan Pokok …”, hlm.23.

23

Amanat para Bapa Konsili pada awal Periode Sidang I, tgl.20 Oktober 1962, mengacu kepada amanat radio Paus Yohanes XXIII , tgl. 11 September 1962, yang menekankan kerinduan umat manusia akan perdamaian.

24

Dibacakan “Breve” (amanat tertulis singkat) Paus pada hari itu juga, yang menyatakan Konsili ditutup secara resmi, dan bahwa semua Dekrit harus “dilaksanakan dengan seksama oleh segenap umat beriman”.

25

Dengan diselenggarakannya Konsili Vatikan II ternyata prinsip kolegial dan sinodal dalam kepemimpinan Gereja bukan hanya tidak dihapus, melainkan bahkan dilaksanakan. Sementara Paus diakui primatnya (Vatikan I dan II), Paus tidak dapat diidentikkan begitu saja dengan Dewan para Uskup (Vatikan II).

bdk. T. Jacobs,

antara umat katolik dan umat beragama lain, dan sebagainya. Usaha-usaha pembahruan yang secara resmi di restui dan didukung sering pula diirngi dengan gerakan-gerakan dikalangan umat yang penuh semangat. Diantara gerakan-gerakan itu ada yang menanggapi serua Konsili dan serasi dengan usaha-usaha pembaruan yang resmi. Ada pula yang bersifat lebih radikal dari apa yang digambarkan atau diperintahkan oleh Konsili. Konsili disambut secara berlain-lainan dipelbagai kawasan dunia dan oleh bermacam-macam lingkungan buday. Tetapi kiranya tidak berlebihan mengatakan, bahwa tiada Gereja di dunia yang sama sekali tidak terkena dampak dari pembaharuan yang diamanatkan oleh Konsili. Itu sendiri sudah membenarkan tekanan Konsili dalam Gereja setempat dan pada peran serta dan tanggung jawab semua orang kristen dalam kehidupan Gereja. Di beberapa bidang perubahan-perubahan itu begitu pesat dan cukup mendalam, sehingga boleh dipandang sebagai suatu “krisis” dalam Gereja. Dua puluh tahun sesudah Konsili masih berlangsunglah suatu diskusi yang hangat baik tentang makna Konsili maupun tentang nilai apa yang terjadi sejak saat itu. Pada garis besarnya terdapat tiga tafsiran. Pandangan yang progresif menganggap Konsili moment yang sudah sangat terlambat bagi Gereja yang terlanjur sudah tidak relevan lagi, yang akhirnya mau menatap tantangan-tantangan zaman modern. Pandangan yang tradisional menyepakati, bahwa Konsili mengakibatkan perubahan-perubahan yang cukup besar, tetapi apa yang oleh kelompok yang progresif tadi disambut baik, oleh kelompok tradisional dianggap sebagai suatu “kapitulasi” Gereja yang patut disayangkan terhadap prinsip-prinsip dan gerakan-gerakan yang sebelum itu dengan tepat ditentangnya sejak Revolusi Perancis. Kedua pandangan itu sepakat melihat makna Konsili yang cukup berbobot, sungguhpun keduanya sama sekali tidak setuju dalam cara mereka menilai perkembangan itu. Diantara kedua posisi yang sama-sama ekstrim itu terdapat pandangan “jalan tengah” yang masih penuh ketegangan juga. Ada yang menganggap Konsili “melulu” sebagai usaha pembahruan, sebenarnya tanpa memaksudkan banyak perkembangan yang de facto menyusulnya. Atas perkembangan-perkembangan itu yang mereka anggap bertanggungjawab ialah kaum progresif, yang mengabaikan cara Konsili merumuskan amanatnya (“huruf” Konsili) untuk membela apa yang mereka anggap “semangat Konsili”. Menurut kelompok “jalan tengah” yang pertama itu, kekeruhan-kekeruhan pasca Vatikan II hanya dapat dijernihkan dengan kembali baik kepada “huruf” maupun kepada semangat Konsili yang sejati. Kelompok “jalan tengah” lainnya mempertahankan, bahwa - entah apa yang dimaksudkan oleh para Bapa Konsili sendiri- banyak usaha “pembaharuan” yang dulu mereka dukung de facto mempunyai dampak cukup “revolusioner” bagi sikap-sikap, strategi-strategi dan adat kebiasaan umat katolik sehari-hari. Secara khas mereka menunjuk kepada sikap Konsili yang lebih terbuka terhadap dunia modern, kepada seruannya untuk “mawas diri”, dan kepada dukungannya terhadap perwujudan Gereja secara konkrit ditingkat lokal. Menurut tafsiran mereka, Konsili sendirilah yang bertanggungjawab atas banyaknya perubahan-perubahan yang cukup besar dalam Gereja sejak Konsili. Dokumen-dokumen Konsili perlu ditekankan makna historis-sosiologisnya dalam konteks dunia katolik modern. Sinode para Uskup di Roma pada tahun 1985, yang bersidang untuk merayakan ulang tahun ke-20 penutupan Vatikan II, membuka forum diskusi tentang makna Konsili. Perdebatan tidak menampakkan tanda-tanda mereda, Apakah sebenarnya Konsili itu, betapa relevan dan berjasanya Konsili bagi Gereja, hanya dapat ditentukan dalam rangka penerimaannya oleh Gereja semesta. Agaknya dua dasawarsa masih terlampau singkat untuk mengadakan evaluasi final tentang Konsili Vatikan II. Banyak unsur ajaran Konsili telah dipraktekkan dan diterima penuh syukur dikalangan luas Gereja. Unsurunsur lain sekarangpun masih perlu dilaksanakan. Tetapi sudah jelaslah, bahwa Konsili Vatikan II merupakan titik balik dalam sejarah dunia modern Gereja katolik, suatu momen dalam proses Gereja mewujudkan diri secara nyata, proses yang baru mulai menampilkan kesungguhan dan kekuatannya.

CATATAN : 1. Uraian pe ngantar tentang konsili Vatikan II ini sebagian merupakan saduran karangan Joseph A. Komonchak, “Vatikan Council II” dalam The New Dictionary of Theology, diterbitkan oleh Joseph A. Komonchak, Mary Collins, Dermot A. Lane, Dublin: Gill and Mac-milland Ltd, edisi 1, 1987, hlm.1072-1077. Kecuali itu digunakan sebagai nara sumber antara lain : 2. Konstitusi Paus Yohanes XXIII, Humanae Salutis, tgal.25 Desember 1961 untuk mengundang Konsili Vatikan II. 3. Amanat Paus Yohanes XXIII pada pembukaan Konsili, tgl.11 Oktober 1962. 4. Amanat para Bapa Konsili kepada umat manusia pada awal periode Sidang I Konsili, tgl. 20 Oktober 1962 5. Dr. B. S. Mardiatmaja SJ, “Gagasan – Gagasan Dogmatik Seputar Konsili Vatikan Kedua”, Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm.1-22 (termasuk Daftar Kepustakaan). 6. Tom Jacobs, “Gagasan-Gagasan Pokok Konsili Vatikan II”. Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 23-53 (termasuk Daftar Kepustakaan). 7. Tom Jacobs, “Latar Belakang Dekat Konsili Vatikan II, Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 54-71 (termasuk Daftar Kepustakaan). 8. Dr. C.Groenen OFM, “Gereja Yesus Kristus dari awal (th. ±30) samapai Konsili Vatikan I (1870)”, Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 72-104 (termasuk Daftar Kepustakaan). 9. Dr. P.Go O.Carm, “Beberapa Aspek Moral Hasil Konsili Vatikan II”, Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 105-150. 10. Dr. P. Go O.Carm, “Beberapa Aspek Hukum Kanonik Hasil Konsili Vatikan II”, Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 151-165 11. Adolf heuken SJ, Katekismus Konsili Vatikan II, Jakarta: Cipta Loka Caraka 1987, 224 hlm.

Robert Hardawiryana SJ.

DAFTAR ISI KONSILI VATIKAN II : 1662-1965 SIDANG III (4 Desember 1965) KONSTITUSI “SACROSANCTUM CONCILIUM” TENTANG LITURGI SUCI PENDAHULUAN BAB I : I.

ASAS-ASAS UMUM UNTUK MEMBAHARUI DAN MENGEMBANGKAN LITURGI

37. 38. 39. 40.

Hakekat dan Makna Liturgi Suci Dalam Kehidupan Gereja Karya keselamatan dilaksanakan oleh Kristus Karya keselamatan, yang dilestarikan oleh Gereja, terlaksana dalam liturgi Kehadiran Kristus dalam Liturgi Liturgi di dunia ini dan Liturgi di sorga Liturgi bukan satu-satunya kegiatan Gereja Liturgi puncak dan sumber kehidupan Gereja Perlunya persiapan pribadi Liturgi dan ulah kesalehan Pendidikan Liturgi dan Keikut-sertaan aktif Pendahuluan Pembinaan para dosen Liturgi Pendidikan Liturgi kaum Rohaniwan Pembinaan Liturgis kaum beriman Sarana-sarana audio-visual dan perayaan Liturgi Pembaharuan Liturgi Pendahuluan Kaidah-kaidah umum Pengaturan Liturgi Tradisi dan perkembangan Kitab suci dan Liturgi Peninjauan kembali buku-buku Liturgi Kaidah-kaidah berdasarkan hakekat Liturgi sebagai tindakan Hirarki dan jemaat Liturgi sebagai perayaan Gereja Perayaan bersama Martabat perayaan Keikut-sertaan aktif umat beriman Liturgi dan kelompok-kelompok sosial Kaidah-kaidah berdasarkan sifat pembinaan dan pastoral Liturgi Pendahuluan Keserasian upacara-upacara Kitab suci, pewartaan dan katekese dalam Liturgi Bahasa Liturgi Kaidah-kaidah untuk menyesuaikan Liturgi dengan tabiat perangai dan tradisi bangsa-bangsa Gereja memelihara kekayaan bangsa-bangsa Penyesuaian dan tuntutan masa dan tempat Batas-batas penyesuaian Penyesuaian Liturgi, terutama di daerah misi

IV. 41.

Pembinaan kehidupan Liturgi dalam keuskupan dan paroki Kehidupan Liturgi dalam keuskupan

5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12-13 II. 14. 15. 16-18 19. 20. III. 21. A. 22. 23. 24. 25. B. 26. 27. 28-29 30-31 32. C. 33. 34. 35. 36. D.

42.

Kehidupan Liturgi dalam paroki

V. 43. 44. 45. 46.

Pengembangan pastoral Liturgi Pembaharuan Liturgi, rahmat Roh Kudus Komisi Liturgi nasional Komisi Liturgi keuskupan Komisi-komisi musik dan kesenian Liturgi

BAB II : MISTERI EKARISTI SUCI 47. 48-49 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57-58

Ekaristi suci dan misteri Paska Keikut-sertaan aktif kaum beriman Peninjauan kembali Tata Perayaan Ekaristi Supaya Ekaristi diperkaya dengan sabda Kitab suci Homili Doa umat Bahasa Latin dan bahasa pribumi dalam perayaan Ekaristi Komuni suci, puncak keikut-sertaan dalam Misa suci, Komuni dua rupa Kesatuan Misa Konselebrasi

BAB III : SAKRAMEN-SAKRAMEN LAINNYA DAN SAKRAMENTALI 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82.

Hakekat sakramen Sakramentali Nilai pastoral Liturgi, hubungannya dengan misteri Paska Perlunya meninjau kembali upacara Sakramen-Sakramen Bahasa; rituale Romawi dan rituale khusus Katekumenat Inkulturasi inisiasi Peninjauan kembali upacara babtis Peninjauan kembali upacara pembabtisan kanak-kanak Upacara pembabtisan yang singkat Upacara pelengkap Pemberkatan air babtis Peninjauan kembali Sakramen Krisma Peninjauan kembali upacara tobat Peninjauan kembali upacara Pengurapan Orang Sakit Upacara berkesinambungan untuk orang sakit Upacara pengurapan Orang Sakit Peninjauan kembali Sakramen Tahbisan Peninjauan kembali Sakramen Perkawinan Perayaan perkawinan Peninjauan kembali sakramentali Pengikraran kaul religius Peninjauan kembali upacara pemakaman Upacara penguburan anak-anak

BAB IV : IBADAT HARIAN 83-85 86-87 88-89 90. 91. 92. 93. 94. 95-97

Ibadat harian, karya Kristus dan Gereja Nilai pastoral Ibadat Harian Peninjauan kembali pembagian waktu Ibadat menurut tradisi Ibadat harian, sumber kesalehan Pembagian mazmur-mazmur Penyusunan bacaan-bacaan Peninjauan kembali madah-madah Saat mendoakan Ibadat Harian Kewajiban mendoakan Ibadat harian

98. 99. 100. 101.

Pujian kepada Allah dalam tarekat-tarekat religius Ibadat Harian bersama Keikut-sertaan umat beriman Bahasa

BAB V : TAHUN LITURGI 102-105 106. 107-108 109-110 111.

Makna tahun Liturgi Makna hari Minggu ditekankan lagi Peninajauan kembali tahun Liturgi Masa Prapaska Pesta para kudus

BAB VI : MUSIK LITURGI 112. 113. 114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121.

Matabat musik Liturgi Liturgi meriah Umat beriman diharapkan berperan serta Pendidikan musik Nyanyian Gregorian dan Polifoni Penerbitan buku-buku nyanyian Gregorian Nyanyian rohani umat Musik Liturgi di daerah-daerah Misi Orgel dan alat-alat musik lainnya Panggilan para pengarang musik

BAB VII : KESENIAN RELIGIUS DAN PERLENGKAPAN IBADAT 122. 123. 124. 125. 126. 127. 128. 129. 130.

Martabat kesenian religius Corak-corak artistik Karya-karya seni yang menyinggung cita rasa keagamaan Gambar-gambar dan patung-patung Panitia keuskupan untuk Kesenian Liturgi Pembinaan para seniman Peninjauan kembali peraturan tentang kesenian ibadat Pembinaan kesenian bagi kaum rohaniwan Penggunaan lambang-lambang jabatan Uskup

LAMPIRAN : Pernyataan Konsili Ekumenis Vatikan II tentang Peninjauan Kembali Penanggalan Liturgi

DEKRIT “INTER MIRIFICA” TENTANG UPAYA-UPAYA KOMUNIKASI SOSIAL PENDAHULUAN 1. Makna suatu ungkapan 2. Mengapa Konsili membahas masalah komunikasi sosial BAB I: 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

AJARAN GEREJA Tugas-kewajiban Gereja Hukum moral Hak dan informasi Kesenian dan moral Pemberitaan kejahatan moral Pendapat umum Kewajiban-kewajiban para pemakai media komunikasi sosial

10. 11. 12.

Kewajiban-kewajiban kaum muda dan para orang tua Kewajiban-kewajiban para penyelenggara Kewajiban-kewajiban pemerintah

BAB II: 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.

KEGIATAN PASTORAL GEREJA Kegiatan para gembala dan umat beriman Prakarsa-prakarsa umat katolik Pembinaan para produsen Pembinaan para pemakai jasa Upaya-upaya teknis dan ekonomis Sekali setahun : hari komunikasi nasional Sekretariat pada Takhta suci Wewenang para Uskup Biro Nasional Organisasi-organisasi internasional

PENUTUP 23. Instruksi pastoral 24. Anjuran akhir

S I D A N G V (21 November 1964) KONSTITUSI DOGMATIS “LUMEN GENTIUM” TENTANG GEREJA BAB I: 1. 2. 3. 3. 4. 5. 6. 7.

MISTERI GEREJA Pendahuluan Rencana Bapa yang bermaksud menyelamatkan semua orang Perutusan Putera Roh Kudus yang menguduskan Gereja Kerajaan Allah Aneka gambaran Gereja Gereja, Tubuh mistik Kristus Gereja yang kelihatan dan sekaligus rohani

BAB II:

UMAT ALLAH

9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.

Perjanjian Baru dan Umat Baru Imamat umum Pelaksanaan imamat umum dalam Sakramen-Sakramen Perasaan iman dan karisma-karisma umat kristiani Sifat umum dan katolik Umat Allah yang Satu Umat beriman katolik Hubungan Gereja dengan orang kristen bukan katolik Umat bukan kristen Sifat misioner Gereja

BAB III: SUSUNAN HIRARKIS GEREJA, KHUSUSNYA EPISKOPAT 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.

Pendahuluan Dewan para Rasul didirikan oleh Kristus Para Uskup pengganti para Rasul Sakramentalitas episkopat Dewan para Uskup dan Ketuanya Uskup setempat dan Gereja universal Tugas para Uskup pada umumnya Tugas mengajar

26. 27. 28. 29.

Tugas menguduskan Tugas menggembalakan Para imam biasa Para diakon

BAB IV: PARA AWAM 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38.

Prakata Apa yang dimaksud dengan istilah “awam” Martabat kaum awam sebagai anggota umat Allah Hidup kaum awam berhubungan dengan keselamatan dan kerasulan Keikut-sertaan kaum awam dalam imamat umum dan ibadat Keikut-sertaan kaum awam dalam tugas kenabian Kristus Keikut-sertaan kaum awam dalam pengabdian rajawi Kristus Hubungan kaum awam dengan Hirarki Penutup

BAB V : PANGGILAN UMUM UNTUK KESUCIAN DALAM GEREJA 39. 40. 41. 42.

Prakata Panggilan umum untuk kesucian Bentuk pelaksanaan kesucian Jalan dan upaya kesucian

BAB VI : PARA RELIGIUS 43. 44. 45. 46. 47.

Pengikraran nasehat-nasehat Injil dalam Gereja Makna dan arti hidup religius Hubungan para religius dengan Hirarki Penghargaan terhadap hidup religius Penutup

BAB VII : SIFAT ESKATOLOGIS GEREJA MUSAFIR DAN PERSATUANNYA DENGAN GEREJA DI SORGA 48. 49. 50. 51.

Pendahuluan Persekutuan antara Gereja di sorga dan Gereja di dunia Hubungan antara Gereja didunia dan Gereja di sorga Beberapa pedoman pastoral

BAB VIII : SANTA PERAWAN MARIA BUNDA ALLAH DALAM MISTERI KRISTUS DAN GEREJA I. 52. 53. 54.

Pendahuluan Santa Perawan dalam misteri Kristus Santa Perawan dan Gereja Maksud Konsili

II. 55. 56. 57. 58. 59.

Peran Santa Perawan dalam tata keselamatan Bunda Almasih dalam Perjanjian Lama Maria menerima warta gembira Santa Perawan dan kanak-kanak Yesus Santa Perawan dan hidup Yesus dimuka umum Santa Perawan sesudah Yesus naik ke sorga

III. 60-62 63-64 65.

Santa Perawan dan Gereja Maria hamba Tuhan Maria pola Gereja Keutamaan-keutamaan Maria, pola bagi Gereja

IV. 66. 67.

Kebaktian kepada Santa Perawan dalam Gereja Makna dan dasar bakti kepada Santa Perawan Semangat mewartakan sabda dan kebaktian kepada Santa Perawan

V.

Maria, tanda harapan yang pasti dan penghiburan bagi umat Allah ……………………………………………………………………………………..

68-69

PENGUMUMAN OLEH SEKRETARIS JENDRAL KONSILI 1. 2.

Kadar teologis Konstitusi “De Ecclesia” Arti kolegialitas

CATATAN PENJELASAN PENDAHULUAN

DEKRIT “ORIENTALIUM ECCLESIARUM” TENTANG GEREJA-GEREJA KATOLIK 1.

Pendahuluan Gereja-gereja khusus atau ritus-ritus

2. 3. 4.

Kemacam-ragaman dalam persekutuan Gereja katolik Kesamaan martabat, hak-hak dan kewajiban-kewajiban Kelestarian Ritus-Ritus dalam suatu persekutuan Melestarikan pusaka rohani Gereja-Gereja Timur

5. 6.

Hak serta kewajiban Gereja-Gereja untuk melestarikan tata-laksana masing-masing Melestarikan upacara-upacara Liturgis Ritus Timur Para Patriark Timur

7. 8. 9. 10. 11.

Siapa Patriark Timur itu? Semua Patriark sederajat martabatnya Wewenang Patriark dan sinode Uskup Agung Utama Didirikan patriarkat-patriarkat baru sejauh perlu Tata-laksana Sakramen-Sakramen

12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.

Konsili mengukuhkan tata-laksana Sakramen-Sakramen Pelayanan Sakramen Krisma Penerimaan Sakramen Krisma Ekaristi suci Pelayanan Sakramen Tobat Diakonat dan tahbian-tahbisan tingkat rendah Pernikahan campur Liturgi

19. 20. 21.

Hari-hari raya Hari raya Paska Penyesuaian diri dengan Ritus setempat

22. 23.

Pujian Ilahi (ibadat harian) Penggunaan bahasa daerah Pergaulan dengan para anggota Gereja-Gereja yang terpisah

24. 25. 26-28 29. 30.

Memelihara persekutuan menurut Dekrit tentang Ekumenisme Syarat untuk kesatuan; kewenangan menjalankan kuasa Tahbisan “Communicatio in sacris” Bimbingan para Hirark setempat Penutup

DEKRIT “UNITATIS REDINTEGRATIO” TENTANG EKUMENISME PENDAHULUAN BAB I :

PRINSIP-PRINSIP KATOLIK UNTUK EKUMENISME.

2. 3. 4.

Gereja yang satu dan tunggal Hubungan antara saudara-saudari yang terpisah dan Gereja katolik Ekumenisme

BAB II : PELAKSANAAN EKUMENISME 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Ekumenisme : tanggung jawab segenap umat beriman Pembaharuan Gereja Pertobatan hati Doa bersama Saling mengenal sebagai saudara Pembinaan ekumenis Cara mengungkapkan dan menguraikan ajaran iman Kerja sama dengan saudara-saudari yang terpisah

BAB II :

GEREJA-GEREJA DAN JEMAAT GEREJAWI YANG TERPISAHKAN DARI TAKHTA APOSTOLIK DI ROMA

13.

Pendahuluan

I. 14. 15. 16. 17.

Tinjauan khusus tentang Gereja-Gereja Timur Semangat dan sejarah Gereja-Gereja Timur Tradisi Liturgi dan hidup rohani dalam Gereja-Gereja Timur Ciri khas Gereja-Gereja Timur berkenaan dengan soal-soal ajaran Penutup

II.

Gereja-Gereja dan jemaat-jemaat gerejawi yang terpisah di dunia Barat Situasi khusus Gereja-Gereja dan jemaat-jemaat Iman akan Kristus Pendalaman Kitab suci Hidup sakramental Kehidupan dalam Kristus Penutup

19. 20. 21. 22. 23. 24.

S I D A N G VII ( 28 Oktober 1965) DEKRIT “CHRISTUS DOMINUS” TENTANG TUGAS PASTORAL PARA USKUP DALAM GEREJA PENDAHULUAN BAB I :

PARA USKUP DAN GEREJA SEMESTA

I. 4. 5. 6. 7.

Peranan para Uskup terhadap Gereja semesta Pelaksanaan kekuasaan oleh Dewan para Uskup Majelis atau sinode para Uskup Para Uskup ikut serta memperhatikan semua Gereja-Gereja Cinta kasih yang nyata terhadap para Uskup yang dianiaya

II. 8. 9. 10.

Para Uskup dan Takhta suci Kuasa para Uskup dalam keuskupan mereka sendiri Konggregasi-konggregasi dalam Kuria Romawi Para anggota dan para pejabat konggregasi-konggregasi

BAB II : PARA USKUP DAN GEREJA-GEREJA KHUSUS ATAU KEUSKUPANKEUSKUPAN I. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.

Para Uskup diosesan Faham “diosis” atau keuskupan, dan peranan para Uskup dalam keuskupan mereka Tugas mengajar Cara menyajikan ajaran Kristen Pendidikan kateketis Tugas para Uskup untuk menguduskan Tugas penggembalaan Uskup Bentuk-bentuk khusus kerasulan Keprihatinan khusus terhadap kelompok-kelompok umat tertentu Kebebasan para Uskup, hubungan mereka dengan Pemerintah Kebebasan dalam pengangkatan para Uskup Pengunduran diri Uskup dari jabatannya

II.

Penentuan batas-batas keuskupan

22. 23. 24.

Perlunya meninjau kemabali batas-batas keuskupan Peraturan-peraturan yang harus dipatuhi Diperlukan pendapat Konferensi Uskup

III.

Para rekan sekerja Uskup diosesan dalam reksa pastoral

1.

Para Uskup Koajutor dan Auksilier

25. 26.

Peraturan-peraturan untuk mengangkat Uskup koajutor dan Auksilier Wewenang Uskup Auksilier dan Koajutor

2.

Kuria dan Panitia-Panitia Keuskupan

27.

Organisasi Kuria Keuskupan dan pembentukan Panitia Pastoral

3.

Klerus Diosesan

28. 29. 30.

Para imam disesan Para imam yang menjalankan karya antar paroki Para pastor paroki

31. 32.

Penunjukan, pemindahan, pemberhentian dan pengunduran diri pastor paroki Pembubaran dan pengubahan paroki

4.

Para Religius

33. 34. 35.

Para religius dan karya-karya kerasulan Para religius rekan sekerja Uskup dalam karya kerasulan Asas-asas kerasulan para religius dalam keuskupan

BAB III : KERJASAMA PARA USKUP DEMI KESEJAHTERAAN UMUM BERBAGAI GEREJA I.

Sinode, Konsili, dan Khususnya Konferensi Uskup

36. 37. 38.

Sinode dan Konsili khusus Pentingnya Konferensi Uskup Hakekat, wewenang dan kerjasama Konferensi-Konferensi

II.

Penentuan batas-batas Provinsi-Provinsi gerejawi dan penetapan kawasan-kawasan gerejawi

39. 40. 41.

Prinsip untuki meninjau kembali batas-batas yang telah ditetapkan Beberapa pedoman yang harus yang harus dipatuhi Perlu dimintakan pandangan Konferensi-Konferensi Uskup

III.

Para Uskup yang menjalankan tugas antar keuskupan

42. 43. 44.

Pembentukan biro-biro khusus dan kerjasama dengan para Uskup Vikariat Angkatan Bersenjata KETETAPAN UMUM

DEKRIT “PERFECTAE CARITATIS” TENTANG PEMBAHARUAN DAN PENYESUAIAN HIDUP RELIGIUS 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.

Pendahuluan Asas-asas umum untuk mengadakan pembaharuan yang sesuai Norma-norma praktis pembaharuan yang disesuaikan Mereka yang harus melaksanakan pembaharuan Unsur-unsur yang umum pada pelbagai bentuk hidup religius Hidup rohani harus diutamakan Tarekat-tarekat yang seutuhnya terarah kepada kontemplasi Tarekat-tarekat yang bertujuan kerasulan Kelestarian hidup monastik konventual Hidup religius kaum awam Serikat-serikat sekular Kemurnian Kemiskinan Ketaatan Hidup bersama Pingitan / klausura para rubiah Busana religius Pembinaan para anggota Pendirian tarekat-tarekat baru Bagaimana melestarikan, menyesuaiakan atau meninggalkan karya khusus tarekat

21. 22. 23. 24. 25.

Tarekat-tarekat dan biara-biara yang mengalami kemerosotan Perserikatan antara tarekat-tarekat religius Konferensi para Pemimpin tinggi Panggilan religius Penutup

DEKRIT “OPTATAM TOTIUS” TENTANG PEMBINAAN IMAN PENDAHULUAN 1. I.

Penyusunan metode pembinaan imam disetiap negara

II.

Pengembangan panggilan imam secara lebih intensif

III. 4. 5.

Tata-laksana Seminari-seminari tinggi Seluruh pembinaan harus berhubungan erat dengan tujuan pastoral Para pembimbing seminari hendaknya dipilih dengan saksama dan dibina secara efektif Penyaringan dan pengujian para seminaris Seminari hendaknya diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan para seminaris

6. 7. IV.

Pembinaan rohani yang lebih intensif

8. 9. 10. 11. 12.

Belajar hidup dalam persekutuan dengan Allah Tritunggal Belajar membaktikan diri dalam Gereja Belajar menghayati selibat imam Menuju kedewasaan kepribadian Waktu untuk pembinaan rohani yang lebih intensif; masa pembinaan pastoral

V.

Peninjauan kembali studi gerejawi

13. 14. 15. 16. 17. 18.

Studi persiapan untuk studi gerejawi Studi gerejawi hendaknya lebih diserasikan Peninjauan kembali studi filsafat Peningkatan studi teologi Metode pendidikan yang cocok dalam pelbagai vak Studi khusus bagi mereka yang berbakat tinggi

VI.

Pembinaan pastoral

19. 20. 21.

Pembinaan dalam pelbagai bentuk reksa pastoral Pembinaan untuk pengembangan kerasulan Melatih diri melalui praktek pastoral

22. VII.

Pembinaan seusai studi

PENUTUP

PERNYATAAN “GRAVISSIMUM EDUCATIONIS” TENTANG PENDIDIKAN KRISTEN Pendahuluan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Hak semua orang atas pendidikan Pendidikan kristen Mereka yang bertanggung jawab atas pendidikan Aneka upaya untuk melayani pendidikan kristen Pentingnya sekolah Kewajiban dan hak-hak orang tua Pendidikan moral dan keagamaan disekolah Sekolah-sekolah katolik Berbagai macam sekolah katolik Fakultas dan universitas katolik Fakultas teologi Koordinasi di bidang persekolahan

Penutup

PERNYATAAN “NOSTRA AETATE” TENTANG HUBUNGAN GEREJA DENGAN AGAMA-AGAMA BUKAN KRISTEN 1. 2. 3. 4. 5.

Pendahuluan Berbagai agama bukan kristen Agama Islam Agama Yahudi Persaudaraan semesta tanpa diskriminasi

S I D A N G VIII (18 November 1965) KONSTITUSI DOGMATIS “DEI VERBUM” TENTANG WAHYU ILAHI PENDAHULUAN BAB I :

TENTANG WAHYU SENDIRI

2. 3. 4. 5. 6.

Hakekat wahyu Persiapan wahyu Injili Kristus kepenuhan wahyu Menerima wahyu dalam iman Kebenaran-kebenaran yang diwahyukan

BAB II :

MENERUSKAN WAHYU ILAHI

7. 8. 9. 10.

Para Rasul dan pengganti mereka sebagai pewarta Injil Tradisi suci Hubungan antara Tradisi dan Kitab suci Hubungan keduanya dengan seluruh Gereja dan Magisterium

BAB III : ILHAM ILAHI KITAB SUCI DAN PENAFSIRAN 11. 12. 13.

Fakta ilham dan kebenaran Kitab suci Bagaimana Kitab suci harus ditafsirkan Turunnya Allah

BAB IV : PERJANJIAN LAMA 14. 15. 16.

Sejarah keselamatan dalam kitab-kitab Perjanjian Lama Arti Perjanjian Lama untuk umat kristen Kesatuan antara kedua perjanjian

BAB V : PERJANJIAN BARU 17. 18. 19. 20.

Keluhuran Perjanjian Baru Asal-usul Injil dari para Rasul Sifat historis Injil Kitab-kitab Perjanjian Baru lainnya

BAB VI : KITAB SUCI DALAM KEHIDUPAN GEREJA 21. 22. 23. 24. 25. 26.

Gereja menghormati kitab-kitab suci Dianjurkan terjemahan-terjemahan yang tepat Tugas kerasulan para ahli katolik Pentingnya Kitab suci bagi teologi Dianjurkan pembacaan Kitab suci Akhir kata

DEKRIT “APOSTOLICAM ACTUOSITATEM” TENTANG KERASULAN AWAM PENDAHULUAN BAB I :

PANGGILAN KAUM AWAM UNTUK MERASUL

2. 3. 4.

Keikut-sertaan awam dalam perutusan Gereja Asas-asas kerasulan awam Spiritualitas awam dalam tata kerasulan

BAB II : TUJUAN-TUJUAN YANG HARUS DICAPAI 5. 6. 7. 8.

Pendahuluan Kerasulan dimaksudkan untuk mewartakan Injil dan menyucikan umat manusia Pembaharuan tata dunia secara kristen Amal kasih, meterai kerasulan kristen

BAB III : PELBAGAI BIDANG KERASULAN 9. 10. 11. 12. 13. 14.

Pendahuluan Jemaat-jemaat gerejawi Keluarga Kaum muda Lingkungan sosial Bidang-bidang nasional dan internasional

BAB IV : BERBAGAI CARA MERASUL

15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.

Pendahuluan Pentingnya aneka bentuk kerasulan perorangan Kerasulan awam dalam situasi-situasi tertentu Pentingnya kerasulan yang terpadu Aneka bentuk kerasulan terpadu “Aksi Katolik” Pengharapan terhadap organisasi-organisasi Kaum awam yang secara istimewa berbakti kepada gereja

BAB V : TATA-TERTIB YANG HARUS DIINDAHKAN 23. 24. 25. 26. 27.

Pendahuluan Hubungan-hubungan dengan hirarki Bantuan para imam bagi kerasulan awam Upaya-upaya yang berguna bagi kerja sama Kerja sama dengan umat kristen dan umat beragama lain

BAB VI : PEMBINAAN UNTUK MERASUL 28. 29. 30. 31.

Perlunya pembinaan untuk merasul Dasar-dasar pembinaan awam untuk kerasulan Mereka yang wajib membi na sesama untuk kerasulan Upaya-upaya yang digunakan

AJAKAN

SIDANG IX

(7 Desember 1965)

PERNYATAAN “DIGNITATIS HUMANAE” TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA PENDAHULUAN I:

AJARAN UMUM TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Objek dan dasar kebebasan beragama Kebebasan beragama dan hubungan manusia dengan Allah Kebebasan jemaat-jemaat keagamaan Kebebasan beragama dan keluarga Tanggung jawab atas kebebasan beragama Batas-batas kebebasan beragama Pembinaan penggunaan kebebasan

II :

KEBEBASAN BERAGAMA DALAM TERANG WAHYU

9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

Ajaran tentang kebebasan beragama berakar dalam Wahyu Kebebasan dan Faal iman Cara bertindak Kristus dan para Rasul Gereja menempuh jalan Kristus dan para rasul Kebebasan Gereja Peranan Gereja Penutup

DEKRIT “AD GENTES” TENTANG KEGIATAN MISIONER GERAJA PENDAHULUAN BAB I:

ASAS-ASAS AJARAN

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Rencana Bapa Perutusan Putera Perutusan Roh Kudus Gereja diutus oleh Kristus Kegiatan misioner Alasan dan perlunya kegiatan misioner Kegiatan misioner dalam hidup dan sejarah umat manusia Sifat eskatologis kegiatan misioner

BAB II : KARYA MISIONER SENDIRI 10.

Pendahuluan

Art I.

Kesaksian kristen

11. 12.

Kesaksian hidup dan dialog Kehadiran cinta kasih

Art II.

Pewartaan Injil dan penghimpunan umat Allah

13. 14.

Pewartaan Injil dan pertobatan Katekumenat dan inisiasi kristen

Art III.

Pembinaan jemaat kristen

15. 16. 17. 18.

Pembinaan jemaat kristen Pengadaan klerus setempat Pendidikan para katekis Pengembangan hidup religius

BAB III : GEREJA-GEREJA KHUSUS 19. 20. 21.

Kemajuan Gereja-Gereja muda Kegiatan misioner Gereja-Gereja khusus Pengembangan kerasulan awam Kemacam-ragaman dalam kesatuan

BAB IV : PARA MISIONARIS 23. 24. 25. 26. 27.

Panggilan misioner Spiritualitas misioner Pembinaan rohani dan moral Pembinaan dalam ajaran dan kerasulan Lembaga-lembaga yang berkarya di daerah-daerah misi

BAB V : PENGATURAN KARYA MISIONER 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34.

Pendahuluan Organisasi umum Organisasi setempat di daerah Misi Koordinasi pada tingkat Regio Organisasi kegiatan Lembaga-Lembaga Koordinasi antara Lembaga-Lembaga Koordinasi antara Lembaga-Lembaga ilmiah

BAB VI : KERJA SAMA 35. 36. 37. 38. 39. 40.

Pendahuluan Kewajiban misioner segenap umat Allah Kewajiban misioner jemaat-jemaat kristen Kewajiban misioner para imam Kewajiban misioner tarekat-tarekat religius Kewajiban misioner kaum awam

PENUTUP DEKRIT “PRESBYTERORUM ORDINIS” TENTANG PELAYANAN DAN KEHIDUPAN PARA IMAM PENDAHULUAN BAB I :

IMAMAT DALAM PERUTUSAN GEREJA

2. 3.

Hakekat imam Situasi para imam di dunia

BAB II : PELAYANAN PARA IMAM I. 4. 5. 6.

Para imam, pelayan sabda Allah Para imam, pelayan Sakramen-Sakramen dan Ekaristi Para imam, pemimpin umat Allah II.

7. 8. 9.

Hubungan para imam dengan sesama Hubungan para Uskup dengan para imam Persatuan persaudaraan dan kerja sama antara para imam Hubungan para imam dengan kaum awam

III. 10. 11.

Fungsi para imam

Penyebaran para imam dan panggilan-panggilan imam Penyebaran para imam Usaha para imam untuk mendapat panggilan-panggilan imam

BAB III : KEHIDUPAN PARA IMAM I. Panggilan para imam untuk kesempurnaan 12. Panggilan para imam untuk kesucian 13. Pelaksanaan ketiga fungsi imamat menuntut dan sekaligus mendukung kesucian 14. Keutuhan dan keselarasan kehidupan para imam II. Tuntutan-tuntutan rohani yang khas dalam kehidupan imam 15. Kerendahan hati dan ketaatan 16. Selibat : diterima dan dihargai sebagai kurnia 17. Sikap terhadap dunia dan harta duniawi. Kemiskinan sukarela III. Upaya-upaya yang mendukung kehidupan para imam 18. Upaya-upaya untuk mengembangkan hidup rohani 19. Studi dan ilmu pastoral 21. Balas jasa yang wajar bagi para imam 22. Pembentukan kas umu, dan pengadaan jaminan sosial bagi para imam KATA PENUTUP DAN AJAKAN

KONSTITUSI PASTORAL “GAUDIUM ET SPES” TENTANG GEREJA DALAM DUNIA MODERN PENDAHULUAN 1. 2. 3.

Hubungan erat antara Gereja dan segenap keluarga bangsa-bangsa Kepada siapa amanat Konsili ditujukan? Pengabdian kepada manusia

PENJELASAN PENDAHULUAN : KENYATAAN MANUSIA DI DUNIA MASA KINI 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Harapan dan kegelisahan Perubahan situasi yang mendalam Perubahan-perubahan dalam tata masyarakat Perubahan-perubahan psikologis, moral dan keagamaan Berbagai ketidak-seimbangan dalam dunia sekarang Aspirasi-aspirasi umat manusia yang makin universal Pertanyaan-pertanyaan mendalam umat manusia

BAGIAN I : GEREJA DAN PANGGILAN MANUSIA 11.

Menanggapi dorongan Roh Kudus

BAB I :

MARTABAT PRIBADI MANUSIA

12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.

Manusia diciptakan menurut gambar Allah Dosa manusia Kodrat manusia Martabat akalbudi, kebenaran dan kebijaksanaan Martabat hati nurani Keluhuran kebebasan Rahasia maut Bentuk-bentuk dan akar-akar ateisme Ateisme sistematis Sikap Gereja menghadapi ateisme Kristus Manusia Baru

BAB II : MASYARAKAT MANUSIA 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.

Maksud Konsili Sifat kebersamaan panggilan manusia dalam rencana Allah Pribadi manusia dan masyarakat manusia saling tergantung Memajukan kesejahteraan umum Sikap hormat terhadap pribadi Sikap hormat dan cinta kasih terhadap lawan Kesamaan hakiki antara semua orang dan keadilan sosial Etika individualis harus diatasi Tanggung jawab dan keikut-sertaan Sabda yang menjelma dan solidaritas manusia

BAB III : KEGIATAN MANUSIA DISELURUH DUNIA 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39.

Masalah-persoalannya Nilai kegiatan manusiawi Norma kegiatan manusia Otonomi hal-hal duniawi yang sewajarnya Kegiatan manusia dirusak karena dosa Dalam misteri Paska kegiatan manusia mencapai kesempurnaannya Bumi baru dan langit baru

BAB IV: PERANAN GEREJA DALAM DUNIA JAMAN SEKARANG 40. 41. 42. 43. 44. 45.

Hubungan timbal balik antara Gereja dan dunia Bantuan yang oleh Gereja mau diberikan kepada setiap orang Bantuan yang diusahakan oleh Gereja untuk diberikan kepada masyarakat manusia Bantuan yang diusahakan oleh Gereja melalui umat Kristen bagi kegiatan manusiawi Bantuan yang diperoleh Gereja dari dunia jaman sekarang Kristus, Alfa dan Omega

BAGIAN II : BEBERAPA MASALAH YANG AMAT MENDESAK PENDAHULUAN BAB I :

MARTABAT PERKAWINAN DALAM KELUARGA

47. 48. 49. 50. 51.

Perkawinan dan keluarga dalam dunia jaman sekarang Kesucian perkawinan dalam keluarga Cinta kasih suami-istri Kesuburan perkawinan Penyelarasan cinta kasih suami-istri dengan sikap hormat terhadap hidup manusiawi Pengembangan perkawinan dan keluarga merupakan tugas semua orang

52. BAB II:

PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN Pendahuluan

Art I 54. 55. 56. Art II 57. 58. 59. Art III 60. 61. 62.

Situasi kebudayaan pada jaman sekarang Pola-pola hidup yang baru Manusia pencipta kebudayaan Kesukaran-kesukaran dan tugas-tugas Berbagai kaidah untuk dengan tepat mengembangkan kebudayaan Iman dan kebudayaan Hubungan antara Warta Gembira tentang Kristus dan kebudayaan manusia Mewujudkan keserasian berbagai nilai dalam pola-pola kebudayaan Beberapa tugas umat kristen yang cukup mendesak tentang kebudayaan Hak atas buah-hasil kebudayaan hendaknya diakui oleh semua dan diwujudkan secara nyata Pendidikan untuk kebudayaan manusia seutuhnya Menyelaraskan kebudayaan manusia dan masyarakat dengan pendidikan kristen

BAB III: KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI 63. Beberapa segi kehidupan ekonomi Art I Perkembangan ekonomi 64. Perkembangan ekonomi melayani manusia 65. Kemajuan ekonomi dikendalikan oleh manusia 66. Perbedaan-perbedaan besar dibidang sosial ekonomi perlu disingkirkan Art II Beberapa prinsip yang mengatur seluruh kehidupan sosial ekonomi 67. Kerja, Persyaratan kerja, istirahat 68. Peran-serta dalam tanggung jawab atas perusahaan dan seluruh pengaturan perekonomian; konflik-konflik mengenai kerja 69. Harta-benda bumi diperuntukkan bagi semua orang 70. Penanaman modal dan masalah moneter

71. 72.

Soal memperoleh harta-milik dan milik perorangan; masalah tuan tanah Kegiatan sosial ekonomi dan Kerajaan Kristus

BAB IV: HIDUP BERNEGARA 73. Kehidupan umum jaman sekarang 74. Hakekat dan tujuan negara 75. Kerja sama semua orang dalam kehidupan umum 76. Negara dan gereja BAB V: 78. Art I 79. 80. 81. 82. Art II 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90.

USAHA DEMI PERDAIAN DAN PEMBENTUKAN PERSEKUTUAN BANGSA-BANGSA Pendahuluan Hakekat perdamaian Menghindari perang Keganasan perang harus dikendalikan Perang total Perlombaan senjata Larangan mutlak terhadap perang, dan kegiatan internasional untuk mencegah perang Pembangunan masyarakat internasional Sebab-musabab perpecahan dan cara mengatasinya Persekutuan bangsa-bangsa dan lemba ga-lembaga internasional Kerja sama internasional dibidang ekonomi Beberapa pedoman yang sesuai untuk jaman sekarang Kerja sama internasional sehubungan dengan pertambahan penduduk Peranan umat kristen dalam pemberian bantuan Kehadiran Gereja yang efektif dalam masyarakat internasional Peranan orang-orang kristen dalam lembaga-lembaga internasional

PENUTUP 91. Tugas setiap orang beriman dan Gereja-Gereja khusus 92. Dialog antara semua orang 93. Membangun dunia dan mengarahkannya kepada tujuannya

INDEKS ANALITIS

LAMPIRAN 1. BEBERAPA PERISTIWA PENTING SELAMA KONSILI VATIKAN II 2. KONSILI-KONSILI EKUMENIS

PAULUS USKUP HAMBA PARA HAMBA ALLAH BERSAMA-BAPA-BAPA KONSILI SUCI DEMI KENANGAN ABADI

KONSTITUSI TENTANG LITURGI SUCI PENDAHULUAN 1. KONSILI SUCI bermaksud makin meningkatkan kehidupan kristiani diantara Umat beriman; menyesuaikan lebih baik lagi lembaga-lembaga yang dapat berubah dengan kebutuhan zaman kita; memajukan apa saja yang dapat membantu persatuan semua orang yang beriman akan Kristus; dan meneguhkan apa saja yang bermanfaat untuk mengundang semua orang dalam pangkuan Gereja. Oleh karena itu Konsili memandang sebagai kewajibannya untuk secara istimewa mengusahakan juga pembaharuan dan pengembangan Liturgi. 2. Sebab melalui Liturgilah dalam Korban Ilahi Ekaristi, “terlaksanalah karya penebusan kita”(1). Liturgi merupakan upaya yang sangat memba ntu kaum beriman untuk dengan penghayatan mengungkapkan Misteri Kristus serta hakekat asli Gereja yang sejati, serta memperlihatkan itu kepada orang-orang lain, yakni bahwa Gereja bersifat sekaligus manusiawi dan Ilahi, kelihatan namun penuh kenyataan yang tak kelihatan, penuh semangat dalam kegiatan namun meluangkan waktu juga untuk kontemplasi, hadir di dunia namun sebagai musafir. Dan semua itu berpadu sedemikian rupa, sehingga dalam Gerja apa yang insani diarahkan dan diabdikan kepada yang ilahi, apa yang kelihatan kepada yang tidak nampak, apa yang termasuk kegiatan kepada kontemplasi, dan apa yang ada sekarang kepada kota yang akan datang, yang sedang kita cari(2). Maka dari itu Liturgi setiap hari membangun mereka yang berada didalam Gereja menjadi kenisah suci dalam Tuhan, menjadi kediaman Allah dalam Roh(3), sampai mereka mencapai kedewasaan penuh sesuai dengan kepenuhan Kristus(4). Maka Liturgi sekaligus secara mengagumkan menguatkan tenaga mereka untuk mewartakan Kristus, dan dengan demikian menunjukan Gereja kepada mereka yang diluarnya sebagai tanda yang menjulang diantara bangsa-bangsa(5). Dibawah tanda itu puter-putera Allah yang tercerai berai dihimpun menjadi satu( 6), sampai terwujudlah satu kawanan dan satu gembala(7). 3. Oleh karena itu pengembangan dan pembaharuan Liturgi Konsili suci berpendapat: perlu meningkatkan lagi azas-azas berikut dan menetapkan kaedahkaedah praktis. Diantara azas-azas dan kaedah-kaedah itu ada beberapa yang dapat dan harus diterapkan pada ritus romawi maupun pada semua ritus lainnya. Namun kaedah-kaedah praktis berikut harus dipandang hanya berlaku bagi ritus romawi, kecuali bila menyangkut hal-hal yang menurut hakekatnya juga mengenai ritus-ritus ini.

1

Doa persembahan pada hari Minggu IX sesudah Pentekosta. Lih. Ibr 13:14. 3 Lih. Ef 2:21-22. 4 Lih. Ef 4:13. 5 Lih. Yes 11:12 6 Lih. Yoh 11:52. 7 Lih. Yoh 10:16 2

4. Akhirnya, setia mengikuti tradisi, Konsili suci menyatakan pandangan Bunda Gereja yang kudus, bahwa semua ritus yang diakui secara sah mempunyai hak dan martabat yang sama. Gereja menhendaki agar ritus-ritus itu dimasa mendatang dilestarikan dan dikembangkan dengan segala daya upaya.Konsili menghimbau agar bilamana perlu ritus-ritus itu ditinjau kembali dengan seksama dan secara menyeluruh, sesuai dengan jiwa tradisi yang sehat, lagi pula diberi gairah baru, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan zaman sekarang.

BAB SATU AZAS-AZAS UMUM UNTUK MEMBAHARUI DAN MENGEMBANGKAN LITURGI I.

HAKEKAT DAN MAKNA LITURGI SUCI DALAM KEHIDUPAN

5. (Karya keselamatan dilaksanakan oleh Kristus) Allah menghendaki supaya semua manusia selamat dan mengenal kebenaran (1 Tim 2:4). Setelah Ia pada zaman dahulu berulang kali dan dengan pelbagai cara bersabda kepada nenek-moyang kita dengan perantaraan para nabi (Ibr 1:1), ketika genaplah waktunya, Ia mengutus PuteraNya, sabda yang menjadi daging dan diurapi Roh Kudus, untuk mewartakan Kabar Gembira kepada kaum miskin, untuk menyembuhkan mereka yang remuk redam hatinya(8), “sebagai tabib jasmani dan rohani” ( 9), Pengantara Allah dan manusia(10). Sebab dalam kesatuan pribadi sabda kodrat kemanusiaan-Nya menjadi upaya keselamatan kita. Oleh karena itu dalam Kristus “pendamaian kita mencapai puncak kesempurnaannya, dan kita dapat melaksanakan ibadat Ilahi secara penuh”(11). Adapun karya penebusan umat manusia dan permuliaan Allah yang sempurna itu telah diawali dengan karya agung Allah ditengah umat Perjanjian Lama. Karya itu diselesaikan oleh Kristus Tuhan, terutama dengan misteri Paska: sengsara-Nya yang suci, kebangkitan-Nya dari alam maut, dan kenaikan-Nya dalam kemuliaan. Dengan misteri itu Kristus “menghancurkan maut kita dengan wafat-Nya, dan membangun kembali hidup kita dengan kebangkitan-Nya”(12). Sebab dari lambung Kristus yang beradu di salib muncullah Sakramen seluruh Gereja yang mengagumkan(13). 6. (Karya keselamatan yang dilestarikan oleh Gereja, terlaksana dalam Liturgi) Oleh karena itu, seperti Kristus diutus oleh Bapa, begitu pula Ia mengutus para rasul yang dipenuhi Roh Kudus. Mereka itu diutus bukan hanya untuk mewartakan Injil kepada makhluk( 14), dan memberitakan bahwa Putera Allah dengan wafat dan kebangkitan-Nya telah membebaskan kita dari kuasa setan(15) dan maut, dan telah memindahkan kita ke Kerajaan Bapa; melainkan juga untuk mewujudkan karya keselamatan yang mereka wartakan itu melalui kurban dan 8

Lih. Yes 61:1; Luk 4:18 S. IGNASIUS Martir, Surat kepada Jemaat di Efesus, 7,2:FUNK I, 218. 10 Lih. 1 Tim 2:5. 11 Tata-upacara sakramen dari Verona (Sacramentarium Veronense/Leonianum): MOHLBERG, Roma 1956, n. 1265, hlm.162. 12 Prefasi pada hari Raya Paska dalam Misal Romawi. 13 Lih. Doa sesudah bacaan kedua pada malam Paska menurut Misal Romawi, sebelum pembaharuan Pekan Suci. 14 Lih. Mrk 16:15. 15 Lih. Kis 26:18. 9

Sakramen-sakramen, sebagai pusat seluruh hidup Liturgis. Demikianlah melalui babtis orang-orang dimasukkan kedalam misteri Paska Kristus : mereka mati, dikuburkan dan dibangkitkan bersama Dia(16); mereka menerima Roh pengangkatan menjadi putra, dan dalam Roh itu kita berseru : Abba, Bapa (Rom 8:15); demikianlah mereka menjadi penyembah sejati, yang dicari oleh Bapa(17). Begitu pula setiap kali mereka makan perjamuan Tuhan, mereka mewartakan wafat Tuhan sampai Ia datang( 18). Oleh karena itu pada hari Pentekosta, ketika Gereja tampil didepan dunia, mereka yang menerima amanat Petrus “dibabtis”. Dan mereka “bertekun dalam ajaran para Rasul serta selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa … sambil memuji Allah, dan mereka disukai seluruh rakyat” (Kis 2:41-47). Sejak itu Gereja tidak pernah lalai mengadakan pertemuan untuk merayakan misteri Paska; disitu mereka membaca “apa yang tercantum tentang Dia dalam seluruh Kitab suci (Luk 24:27); mereka merayakan Ekaristi, yang menghadirkan kejayaan-Nya atas maut”(19), dan sekaligus mengucap syukur kepada “Allah atas karunia-Nya yang tidak terkatakan” (2Kor 9:15) dalam Kristus Yesus, “untuk memuji keagungan-Nya” (Ef 1:12) dengan kekuatan Roh Kudus. 7. (Kehadiran Kristus dalam Liturgi) Untuk melaksanakan karya sebesar itu, Kristus selalu mendampingi Gereja-Nya terutama dalam kegiatan-kegiatan liturgis. Ia hadir dalam Korban Misa, baik dalam pribadi pelayan, “karena yang sekarang mempersembahkan diri melalui pelayanan imam sama saja dengan Dia yang ketika itu mengorbankan Diri di kayu salib( 20), maupun terutama dalam (kedua) rupa Ekaristi. Dengan kekuatan-Nya Ia hadir dalam Sakramen-sakramen sedemikian rupa, sehingga bila ada orang yang membabtis, Kristus sendirilah yang membabtis(21). Ia hadir dalam sabda-Nya, sebab Ia sendiri bersabda bila Kitab suci dibacakan dalam Gereja. Akhirnya Ia hadir, sementara Gereja memohon dan bermazmur karena Ia sendiri berjanji : bi la dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, disitulah Aku berada diantara mereka (Mat 18:28). Memang sungguh, dalam karya seagung itu, saat Allah dimuliakan secara sempurna dan manusia dikuduskan, Kristus selalu menggabungkan Gereja, mempelai-Nya yang amat terkasih, dengan diri-Nya Gereja yang berseru kepada Tuhannya dan melalui Dia berbakti kepada Bapa yang kekal. Maka memang sewajarnya juga Liturgi dipandang bagaikan pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus; disitu pengudusan manusia dilambangkan dengan tandatanda lahir serta dilaksanakan dengan cara yang khas bagi masing-masing; disitu pula dilaksanakan ibadat umum yang seutuhnya oleh Tubuh mistik Yesus Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya. Oleh karena itu setiap perayaan liturgis sebagai karya Kristus sang Imam serat Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama. 8. (Liturgi di dunia ini dan Liturgi di Sorga) Dalam Liturgi di dunia ini kita ikut mencicipi Liturgi sorgawi, yang di rayakan dikota suci Yerusalem, tujuan peziarahan kita. Disana Kristus duduk disisi kanan Allah, sebagai pelayan tempat tersuci dan kemah yang sejati(22). Bersama dengan 16

Lih. Rom 6:4; Ef 2:6; Kol 3:1; 2Tim 2:11. Lih. Yoh 4:23. 18 Lih. 1Kor 11:26. 19 KONSILI TRENTE, Sidang 13, 11 Oktober 1551, Dekrit tentang Ekaristi Suci, bab 5: CONCILIUM TRIDENTINUM, Diariorum, Actorum, Epistolarum, Tractatuum nova collectio, terb. Soc. Gorresiana, jilid VIII, Actorum, bagian IV Freiburg im Breisgau, 1961,hlm.202. 20 KONSILI TRENTE, Sidang XXII, 17 September 1562: Ajaran tentang korban Misa suci, Bab 2: CONCILIUM TRIDENTINUM, terbitan yang telah dikutib, jilid VIII, Actorum, bagian V, Freiburg im Breisgau 1919, hlm. 960. 21 Lih. S. AGUSTINUS, Tentang Injil Yohanes, Tractat VI, I, 7: PL 35,1428. 22 Lih. Why 21:2; Kol 3:1; Ibr 8:2. 17

segenap bala tentara sorgawi kita melambungkan kidung kemuliaan kepada Tuhan. Sementara menghormati dan mengenangkan para Kudus kita berharap akan ikut serta dalam persekutuan dengan mereka. Kita mendambakan Tuhan kita Yesus Kristus penyelamat kita, sampai Ia sendiri, hidup kita, akan nampak, dan kita akan nampak bersama dengan-Nya dalam kemuliaan(23). 9. (Liturgi bukan satu-satunya kegiatan Gereja) Liturgi suci tidak mencakup seluruh kegiatan Gereja. Sebab sebelum manusia dapat mengikuti Liturgi, ia perlu dipanggil untuk beriman dan bertobat: “bagaimana ia akan berseru kepada Dia yang tidak mereka imani? Atau bagaimana mereka akan mengimani-Nya bila mereka tidak mendengar tentang Dia? Dan bagaimana mereka akan mendengar bila tidak ada pewarta? Lalu bagaimana mereka akan mewartakan kalau tidak diutus?” (Rom 10:14-15). Oleh karena itu Gereja mewartakan berita keselamatan kepada kaum tak beriman, supaya semua orang mengenal satu-satunya Allah yang sejati dan Yesus Kristus yang diutus-Nya lalu bertobat dari jalan hidup mereka seraya menjalankan ulah tapa(24). Tetapi kepada Umat berimanpun Gereja selalu wajib mewartakan iman dan pertobatan; selain itu harus menyiapkan mereka untuk menerima sakramen-sakramen, mengajar mereka mengamalkan segala sesuatu yang telah dipe rintahkan oleh Kristus(25), dan mendorong mereka untuk menjalankan semua amal cinta kasih, kesalehan dan kerasulan. Berkat karya-karya itu akan menjadi jelas bahwa kaum beriman kristiani memang bukan dari dunia ini, melainkan menjadi terang dunia dan memuliakan Bapa dihadapan orang-orang. 10. (Liturgi puncak dan sumber kehidupan Gereja) Akan tetapi Liturgi itu puncak yang dituju kegiatan Gereja, dan serta merta sumber segala daya-kekuatannya. Sebab usah-usaha kerasulan mempunyai tujuan ini: supaya semua orang melalui iman dan babtis menjadi putear-putera Allah, berhimpun menjadi satu, meluhurkan Allah ditengah Gereja, ikut serta dalam Korban dan menyantap perjamuan Tuhan. Dilain pihak Liturgi sendiri mendorong Umat beriman, supaya sesudah dipuaskan “dengan Sakramen-sakramen Paska menjadi sehati-sejiwa dalam kasih”(26). Liturgi berdoa supaya “mereka mengamalkan dalam hidup sehari-hari apa yang mereka peroleh dalam iman”(27). Adapun pembaharuan perjanjian Tuhan dengan manusia dalam Ekaristi menarik dan mengobarkan Umat beriman dalam cinta kasih Kristus yang membara. Jadi dari Liturgi, terutama dari Ekaristi, bagaikan dari sumber, mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan permuliaan Allah dalam Kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya. 11. (Perlunya persiapan pribadi) Akan tetapi supaya hasil guna itu diperoleh sepenuhnya, Umat beriman perlu datang menghadiri Liturgi suci dengan sikap-sikap batin yang serasi. Hendaklah mereka menyesuaikan hati dengan apa yang mereka ucapkan, serta bekerja sama dengan rahmat sorgawi, supaya mereka jangan sia-sia saja menerimanya(28). Maka dari itu hendaklah para gembala rohani memperhatikan dengan seksama, supaya dalam kegiatan Liturgi jangan hanya dipatuhi hukum-hukumnya untuk merayakannya secara sah dan halal, melainkan supaya Umat beriman ikut merayakannya dengan sadar, aktif dan penuh makna.

23

Lih. Flp 3:20; Kol 3:4. Lih. Yoh 17:3; Luk 24:27; Kis 2:38. 25 Lih. Mat 28:20. 26 Doa Penutup pada malam pasaka dan hari Minggu Paska. 27 Doa Pembukaan pada hari Selasa dalam Pekan Paska. 28 Lih. 2Kor 6:1. 24

12. (Liturgi dan ulah kesalehan) Akan tetapi hidup rohani tidak tercakup seluruhnya dengan hanya ikut serta dalam Liturgi. Sebab semua manusia kristiani; yang memang dipanggil untuk berdoa bersama, toh harus memasuki biliknya juga untuk berdoa kepada Bapa ditempat yang tersembunyi(29). Bahkan menurut amanat Rasul (Paulus) ia harus bertanjang dalam doa(30). Dan Rasul itu juga mengajar, supa ya kita selalu membawa kematian Yesus dalam tubuh kita, supaya hidup Yesus pun menjadi nyata dalam daging kita yang fana(31). Maka dari itu dalam korban Misa kita memohon kepada Tuhan, supaya dengan menerima persembahan korban rohani, Ia menyempurnakan kita sendiri menjadi korban abadi bagi diri-Nya(32). 13. Ulah kesalehan Umat kristiani, asal saja sesuai dengan hukum-hukum dan norma-norma Gereja, sangat dianjurkan, terutama bila dijalankan atau penetapan Takhta Apostolik. Begitu pula ulah kesalehan yang khas bagi Gereja-gereja setempat memiliki makna istimewa, bila dilakukan atas penetapan para Uskup, menurut adatkebiasaan atau buku-buku yang telah disahkan. Akan tetapi, sambil mengindahkan masa-masa Liturgi, ulah kesalehan itu perlu diatur sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan Liturgi suci; sedikit banyak harus bersumber pada Liturgi, dan menghantar Umat kepadaNya; sebab menurut hakekatnya hal besar Liturgi memang jauh unggul dari semua ulah kesalehan itu.

II.

PENDIDIKAN LITURGI DAN KEIKUT-SERTAAN AKTIF

14. Bunda Gereja sangat menginginkan, supaya semua orang beriman dibimbing kearah keikut-sertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan Liturgi. Keikut-sertaan seperti itu dituntut oleh Liturgi sendiri, dan berdasarkan Babtis merupakan hak serta kewajiban umat kristiani sebagai “bangsa terpilih, imamat rajawai, bangsa yang kudus, Umat kepunyaan Allah sendiri” (1Ptr 2:9; Lih. 2:4-5). Dalam pembaharuan dan pengembangan Liturgi suci keikut-sertaan segenap Umat secara penuh dan aktif itu perlu beroleh perhatian yang terbesar. Sebab bagi kaum beriman merupakan sumber utama yang tidak tergantikan, untuk menimba semangat kristiani yang sejati. Maka dari itu dalam seluruh kegiatan pastoral mereka para gemabala jiwa harus mengusahakannya dengan rajin melalui pendidikan yang seperlunya. Akan tetapi supaya itu tercapai tiada harapan lain kecuali bahwa lebih dahulu para gembala jiwa sendiri secara mendalam diresapi semangat dan daya Liturgi, serta menjadi mahir untuk memberi pendidikan Liturgi. Oleh karena itu sangat perlulah bahwa pertama-tama pendidikan Liturgi klerus dimantapkan. Maka Konsili suci memutuskan ketetapan-ketetapan berikut. 15. (Pembinaan para dosen Liturgi) Para dosen, yang ditugaskan untuk mengajarkan mata kuliah Liturgi di seminariseminari, rumah-rumah pendidikan para religius dan fakultas-fakultas teologi, perlu dididik dengan sungguh-sungguh dilembaga-lembaga yang secara istimewa diperuntukkan bagi tujuan itu, untuk menunaikan tugas mereka.

29 30 31 32

Lih. Mat 6:6. Lih. 1Tes 5:17. Lih. 2Kor 4:10-11. Doa Persembahan pada hari Senin dalam Pekan Pentekosta.

16. (Pendidikan Liturgi kaum rohaniwan) Di seminari-seminari dan dirumah-rumah pendidikan para religius mata kuliah Liturgi harus dipandang sebagai mata kuliah wajib dan penting, sedangkan di fakultas-fakultas teologi sebagai salah satu mata kuliah utama. Mata kuliah Liturgi hendaknya diajarkan dari segi teologi dan sejarah maupun dari segi hidup rohani, pastoral dan hukum. Selain itu hendaklah para dosen mata kuliah lain-lainnya, terutama teologi dogmatis, Kitab suci, teologi hidup rohani dan pastoral, - dengan bertolak dari persyaratan instrinsik masing-masing pokok bahasan, - menguraikan misteri Kristus dan sejarah keselamatan sedemikian rupa, sehingga jelas-jelas nampak hubungannya dengan Liturgi dan keterpaduan pembinaan iman. 17. Hendaklah para rohaniwan di seminari-seminari maupun di rumah-rumah religius, mendapat pembinaan liturgis demi hidup rohani mereka, baik melalui bimbingan yang memadai untuk memahami upacara-upacara suci sendiri, pun juga melalui ulah kesalehan lainnya yang diresapi oleh semangat Liturgi. Begitu pula hendaklah mereka belajar mematuhi hukum-hukum Liturgi, sehingga kehidupan diseminari-seminari dan tarekat-tarekat religius dirasuki semangat Liturgi secara mendalam. 18. Hendaklah para imam baik diosesan maupun religius, yang sudah berkarya di kebun anggur Tuhan, dibantu dengan segala upaya yang memadai, supaya mereka semakin mendalam memahami apa yang mereka laksanakan dalam pelayanan-pelayanan suci, menghayati hidup liturgis, dan menyalurkannya kepada Umat beriman yang dipercayakan kepada mereka. 19. (Pembinaan kaum Liturgis beriman) Hendaklah para gembala jiwa dengan tekun dan sabar mengusahakan pembinaan Liturgi kaum beriman serta secara aktif, baik lahir maupun batin, sesuai dengan umur, situasi, corak hidup dan taraf perkembangan religius mereka. Dengan demikian mereka menunaikan salah satu tugas utama pembagi misteri-misteri Allah yang setia. Dalam hal ini hendaklah mereka membimbing kawanan mereka bukan saja dengan kata-kata, melainkan juga dengan teladan. 20. (Sarana-sarana audio-visual dan perayaan Liturgi) Siaran-siaran upacara suci melaui radio dan televisi, terutama bila meliput perayaan Ekaristi, hendaklah berlangsung dengan bijak dan penuh hormat, dibawah bimbingan dan tanggung jawab seorang ahli, yang ditunjuk oleh para Uskup untuk tugas itu.

III.

PEMBAHARUAN LITURGI

21. Supaya lebih terjaminlah bahwa Umat kristiani memperoleh rahmat berlimpah dalam Liturgi suci, Bunda Gereja yang penuh kasih ingin mengusahakan dengan seksama pembaharuan umum Liturgi sendiri. Sebab dalam Liturgi terdapat unsur yang tidak dapat diubah karena ditetapkan oleh Allah, maupun unsur-unsur yang dapat berubah, yang disepanjang masa dapat atau bahkan mengalami perubahan, sekiranya mungkin tel;ah disusupi hal-hal yang kurang serasi dengan inti kakekat Liturgi sendiri, atau sudah menjadi kurang cocok. Adapun dalam pembaharuan itu naskah-naskah dan upacara-upacara harus diatur sedemikian rupa, sehingga lebih jelas mengungkapkan hal-hal kudus yang dilambangkan. Dengan demikian Umat kristiani sedapat mungkin menangkapnya dengan mudah, dan dapat ikut serta dalam perayaan secara penuh, aktif dan dengan cara yang khas bagi jemaat. Maka Konsili suci menetapkan norma-norma berikut yang lebih bersifat umum.

A. Kaidah-kaidah umum 22. (Pengaturan Liturgi) (1) Wewenang untuk mengatur Liturgi semata-mata ada pada pi mpinan Gereja, yakni Takhta Apostolik, dan menurut kaidah hukum pada uskup. (2) Berdasarkan kuasa yang diberikan hukum, wewenang untuk mengatur perkara-perkara Liturgi dalam batas-batas tertentu juga ada pada pelbagai macam Konferensi Uskup sedaerah yang didirikan secara sah. (3) Maka dari itu tidak seorang lainnya pun, meskipun imam, boleh menambahkan, meniadakan atau mengubah sesuatu dalam Liturgi atas prakarsa sendiri. 23. (Tradisi dan perkembangan) Supaya tradisi yang sehat dipertahankan, namun dibuka jalan juga bagi perkembangan yang wajar, hendaknya selalu diadakan lebih dulu penyeklidikan teologis, historis, dan pastoral, yang cermat tentang setiap bagian Liturgi yang perlu ditinjau kembali. Kecuali itu hendaklah dipertimbangkan baik patokanpatokan umum tentang susunan dan makna Liturgi, maupun pengalaman yang diperoleh dari pembaharuan Liturgi belakangan ini serta dari izin-izin yang diberikan di sana-sini. Akhirnya janganlah kiranya diadakan hal-hal baru, kecuali bila sungguh-sungguh dan pasti dituntut oleh kepentingan Gereja; dan dalam hal ini hendaknya diusahakan dengan cermat, agar bentuk-bentuk baru itu bertumbuh secara kurang lebih organis dari bentuk-bentuk yang sudah ada. Sedapat mungkin hendaknya dicegah juga, jangan sampai ada perbedaanperbedaan yang menyolok dalam upacar-upacara di daerah-daerah yang berdekatan.

24. (Kitab suci dan Liturgi) Dalam perayaan Liturgi Kitab suci sangat penting. Sebab dari Kitab sucilah dikutib bacaan-bacaan, yang dibacakan dan dijelaskan dalam homili, serta mazmurmazmur yang dinyanyikan. Dan karena ilham serta jiwa Kitab sucilah dilambungkan permohonan, doa-doa dan madah-madah Liturgi; dari padanya pula upacara serta lambang-lambang memperoleh maknanya. Maka untuk membaharui, mengembangkan dan menyesuaikan Liturgi suci perlu dipupuk cinta yang hangat dan hidup terhadap Kitab suci, seperti ditunjukkan oleh tradisi luhur ritus Timur maupun ritus Barat. 25. (Peninjauan kembali buku-buku Liturgi) Hendaknya buku-buku Liturgi selekas mungkin ditinjau kembali, dengan meminta bantuan para ahli dan berkonsultasi dengan para Uskup di pelbagai kawasan dunia.

B. Kaidah-kaidah berdasarkan hakekat Liturgi sebagai tindakan Hirarki dan jemaat 26.

33

Upacara-upacara Liturgi bukanlah tindakan perorangan, melainkan perayaan Gereja sebagai sakramen kesatuan, yakni Umat kudus yang berhimpun dan diatur dibawah para Uskup( 33).

S. SIPRIANUS, Tentang Kesatuan Gereja Katolik, 7: CSEL (HARTEL) III, 1, hlm.215-216. Lih. Surat 66, n. 8,3: CSEL III, 2, hlm. 732-733

Maka upacara-upacara itu menyangkut seluruh Tubuh Gereja dan menampakkan serta mempengaruhinya; sedangkan masing-masing anggota disentuhnya secara berlain-lainan, menurut keanekaan tingkatan, tugas serta keikut-sertaan aktual mereka. 27. (Perayaan bersama) Setiap kali suatu upacara, menurut hakekatnya yang khas, diselenggarakan sebagai perayaan bersama, dengan dihadiri banyak Umat yang ikut-serta secara aktif, hendaknya ditandaskan, agar bentuk itu sedapat mungkin diutamakan terhadap upacara perorangan yang seolah-olah bersifat pribadi. Terutama itu berlaku bagi perayaan Misa, tanpa mengurangi kenyataan, bahwa setiap Misa pada hakekatnya sudah bersifat resmi dan umum, begitu pula bagi pelayanan Sakramen-sakramen. 28. (Martabat perayaan) Pada perayaan-perayaan Liturgi setiap anggota, entah pelayan (pemimpin) entah Umat, hendaknya dalam menunaikan tugas hanya menjalankan, dan melakukan seutuhnya, apa yang menjadi perannya menurut hakekat perayaan serta kaidahkaidah Liturgi. 29. Juga para pelayan Misa (putera altar), para lektor, para komentator dan para anggota paduan suara benar-benar menjalankan pelayanan liturgis. Maka hendaknya mereka menunaikan tugas dengan saleh, tulus dan saksama, sebagaimana layak untuk pelayanan seluhur itu, dan sudah semestinya dituntut dari mereka oleh Umat Allah. Maka perlulah mereka secara mendalam diresapi semangat Liturgi, masingmasing sekadar kemampuannya, dan dibina untuk membawakan peran mereka dengan tepa t dan rapih. 30. (Keikut-sertaan aktif Umat beriman) Untuk meningkatkan keikut-sertaan aktif, hendaknya aklamasi oleh Umat, jawaban-jawaban, pendarasan mazmur, antifon-antifon dan lagu-lagu, pun pula gerak-gerik, peragaan serta sikap badan dikembangkan. Pada saat yang tepat hendaklah diadakan juga saat hening yang kidmat. 31. Dalam meninjau kembali buku-buku Liturgi hendaklah diperhatikan dengan saksama, supaya rubrik-rubrik juga mengatur peran Umat beriman. 32. (Liturgi dan kelompok-kelompok sosial) Kecuali perbedaan berdasarkan tugas Liturgi dan Tahbisan suci, dan selain penghormatan yang menurut kaidah-kaidah Liturgi harus diberikan kepada para pemuka-pemuka masayarakat, janganlah diberikan kedudukan istimewa kepada pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok tertentu, baik dalam upacara maupun dengan penampilan lahiriah.

C. Kaidah-kaidah berdasarkan sifat pembinaan dan pastoral Liturgi 33. Meskipun Liturgi suci terutama merupakan ibadat kepada Keagungan Ilahi, namun mencakup banyak pengajaran juga bagi Umat beriman(34). Sebab dalam Liturgi Allah bersabda kepada Umat-Nya; Kristus masih mewartakan Injil. Sedangkan Umat menanggapi Allah dengan nyanyian-nyanyian dan doa. Bahkan bila imam, yang selaku wakil Kristus memimpin jemaat, memanjatkan doa-doa kepada Allah, doa-doa itu diucapkan atas nama segenap Umat suci dan semua orang yang hadir. Adapun lambang-lambang lahir, yang digunakan dalam Liturgi suci untuk menandakan hal-hal ilahi yang tidak nampak, dipilih oleh Kristus atau Gereja. Oleh karena itu bukan hanya bila dibacakan “apa yang telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita” (Rom 15:4), melainkan juga sementara Gereja berdoa atau bernyanyi atau melakukan sesuatu, dipupuklah iman para peserta, dan hati mereka diangkat kepada Allah, untuk mempersembahkan penghormatan yang wajar kepada-Nya, dan menerima rahmat-Nya secara lebih melimpah. Maka dari iru dalam mengadakan pembaharuan kaidah-kaidah umum berikut harus dipatuhi. 34. (Keserasian upacara-upacara) Hendaklah upacara-upacara bersifat sederhana namun luhur, singkat, jelas, tanpa pengulangan-pengulangan yang tiada gunanya. Hendaknya disesuaikan dengan daya tangkap Umat beriman, dan pada umumnya jangan sampai memerlukan banyak penjelasan. 35. (Kitab suci, pewartaan dan katekese dalam Liturgi) Supaya nampak dengan jelas bahwa dalam Liturgi upacara dan sabda berhubungan erat, maka : (1) Dalam peryaan-perayaan suci hendaknya dimasukkan bacaan Kitab suci yang lebih banyak, lebih bervariasi dan lebih sesuai. (2) Dalam rubrik-rubrik hendaknya dicatat juga, sejauh tata upacara mengizinkan, saat yang lebih tepat untuk kotbah, sebagai bagian perayaan Liturgi. Dan pelayanan pewartaan hendaknya dilaksanakan dengan amat tekun dan saksama. Bahannya terutama hendaklah bersumber pada Kitab suci dan Liturgi, sebab kotbah merupakan pe wartaan keajaiban-keajaiban Allah dalam sejarah keselamatan atau misteri Kristus, yang selalu hadir dan berkarya ditengah kita, teristimewa dalam perayaan-perayaan Liturgi. (3) Dengan segala cara hendaknya diusahakan pula katekese yang secara lebih langsung be rsifat liturgis; dan dalam upacar-upacara sendiri bila perlu, hendaklah disampaikan ajakan-ajakan singkat oleh imam atau pelayan (petugas) yang berwenang. Tetapi ajakan-ajakan itu hendaknya hanya disampaikan pada saat-saat yang cocok, menurut teks yang sudah ditentukan atau dengan kata-kata yang senada. (4) Hendaknya dikembangkan peryaan Sabda Allah pada malam menjelang harihari raya agung, pada beberapa hari biasa dalam masa Adven dan Prapaska, begitu pula pada hari-hari minggu dan hari-hari raya, terutama ditempattempat yang tiada imamnya. Dalam hal itu perayaan hendaknya dipimpin oleh diakon atau orang lain yang diberi wewenang oleh Uskup. 36. (Bahasa Liturgi) (1) Penggunaan bahasa latin hendaknya dipertahankan dalam ritus-ritus lain, meskipun ketentuan-ketentuan hukum khusus tetap berlaku.

34

Lih. KONSILI TRENTE, Sidang 22, 17 September 1562, Ajaran tentang Korban Misa, bab 8: CONCILIUM TRIDENTINUM, terbitan yang telah dikutib, VIII, 961.

(2) Akan tetapi dalam Misa, dalam pelayanan Sakramen-sakramen maupun bagian-bagian Liturgi lainnya, tidak jarang penggunaan bahasa pribumi dapat sangat bermanfaat bagi Umat. Maka seyogyanyalah diberi kelonggaran yang lebih luas, terutama dalam bacaan-bacaan dan ajakan-ajakan, dan berbagai doa dan nyanyian, menurut kaidah-kaidah yang mengenai hal itu ditetapkan secara tersendiri dalam bab-bab berikut. (3) Sambil mematuhi kaidah-kaidah itu, pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti disebut pada artikel 22: (2), menetapkan apakah dan bagaimanakah bahasa pribumi digunakan, bila perlu hendaknya ada konsultasi dengan para Uskup tetangga dikawasan yang menggunakan bahasa yang sama. Ketetapan itu memerlukan persetujuan atau pengesahan dari Takhta Apostolik. (4) Terjemahan teks latin kedalam bahasa pribumi, yang hendak digunakan dalam Liturgi, harus disetujui oleh pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti tersebut diatas.

D. Kaidah-kaidah untuk menyesuaikan Liturgi dengan tabiat perangai dan tradisi bangsa-bangsa 37. Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan segenap jemaat, Gereja dalam Liturgi pun tidak ingin mengharuskan suatu keseragaman yang kaku. Sebaliknya Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhayul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dengan hakekat semangat Liturgi yang sejati dan asli. 38. Asal saja kesatuan hakiki ritus Romawi dipertahankan, hendaknya diberi ruang kepada kemajemukan bentuk dan penyesuaian yang wajar dengan pelbagai kelompok, daerah, dan bangsa, terutama didaerah-daerah Misi, juga bila bukubuku Liturgi ditinjau kembali. Hal itu hendaklah diperhatikan dengan baik dalam penyusunan upacar-upacara dan penataan rubrik-rubrik. 39. Dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh terbitan otentik buku-buku Liturgi, pimpinan Gereja setempat yang berwenang, seperti disebut dalam art. 22, (2), berhak untuk memerinci penyesuaian-penyesuaian, terutama mengenai pelayanan Sakramen-sakramen, sakramentali, perarakan, bahasa Liturgi, musik Gereja dan kesenian, asal saja sesuai dengan kaidah-kaidah dasar yang terdapat dalam konsultasi ini. 40. Tetapi di pelbagai tempat dan situasi, mendesaklah penyesuaian Liturgi secara lebih mendalam; karena itu juga menjadi lebih sukar. Maka : (1) Hendaknya pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti dalam art. 22, (2), dengan tekun dan bijaksana mempertimbangkan, unsur-unsur manakah dari tradisi-tradisi dan ciri khas masing-masing bangsa yang dalam hal itu sebaiknya ditampung dalam ibadat ilahi. Penyesuaianpenyesuaian, yang dipandang berfaedah atau memang perlu, hendaklah diajukan kepada Takhta Apostolik, supaya atas persetujuannya dimasukkan dalam Liturgi. (2) Tetapi supaya penyesuaian dijalankan dengan kewaspadaan seperlunya, maka Takhta Apostolik akan memberi wewenang kepada pimpinan gerejawi setempat, untuk – bila perlu – dalam beberapa kelompok yang cocok untuk

itu dan selama waktu yang terbatas mengizinkan dan memimpin eksperimen-eksperimen pendahuluan yang diperlukan. (3) Ketetapan-ketetapan tentang Liturgi biasanya menimbulkan kesulitankesulitan khas mengenai penyesuaian, terutama di daerah-daerah Misi. Maka dalam menyusun ketetapan-ketetapan ini hendaknya tersedia ahliahli untuk bidang yang bersangkutan.

IV.

PEMBINAAN KEHIDUPAN LITURGI DALAM KEUSKUPAN DAN PAROKI.

41. (Kehidupan Liturgi dalam keuskupan) Uskup harus dipandang sebagai imam agung kawanannya. Kehidupan Umatnya yang beriman dalam Kristus bersumber dan tergantung dengan cara tertentu dari padanya. Maka dari itu semua orang harus menaruh penghargaan amat besar terhadap kehidupan Liturgi keuskupan di sekitar Uskup, terutama di gereja katedral. Hendaknya mereka yakin, bahwa penampilan Gereja yang istimewa terdapat dalam keikutsertaan penuh dan aktif seluruh Umat kudus Allah dalam perayaan Liturgi yang sama, terutama dalam satu Ekaristi, dalam satu doa, pada satu altar, dipimpin oleh Uskup yang dikelilingi oleh para imam serta para pelayan lainnya[35]. 42. (Kehidupan Liturgi dalam Paroki) Dalam Gerejanya Uskup tidak dapat selalu atau dimana-mana memimpin sendiri segenap kawanannya. Maka haruslah ia membentuk kelompok-kelompok orang beriman, diantaranya yang terpenting yakni paroki-paroki, yang di setiap tempat dikelola dibawah seorang pastor yang mewakili Uskup. Sebab dalam arti tertentu paroki menghadirkan Gereja semesta yang kelihatan. Maka dari itu hendaknya kehidupan Liturgi paroki serta hubungannya dengan Uskup dipupuk dalam hati dan praktik jemaat beriman serta para rohaniwan. Hendaknya diusahakan, supaya jiwa persekutuan dalam paroki berkembang, terutama dalam perayaan Misa Umat pada hari Minggu.

V.

PENGEMBANGAN PASTORAL LITURGI

43. (Pembaharuan Liturgi, rahmat Roh Kudus) Usaha mengembangkan dan membaharui Liturgi suci memang tepat dipandang sebagai tanda penyelenggaraan Allah atas zaman kita, sebagai gerakan Roh Kudus dalam Gerejanya. Dan usaha itu menandai kehidupan Gereja-Nya. Dan usaha itu menandai kehidupan Gereja, bahkan seluruh cara berpandangan dan bertindak relegius zaman kita ini dengan ciri yang khas. Maka untuk makin mengembangkan kegiatan pastoral liturgis dalam Gereja, Konsili suci memutuskan: 44. (Komisi Liturgi nasional) Sebaiknya pemimpin gerejawi setempat yang berwenang, seperti disebut dalam art. 22, (2), mendirikan Komisi Liturgi, yang harus didampingi oleh orang-orang ahli dalam ilmu Liiturgi, Musik serta Kesenian Liturgi, dan di bidang pastoral. Komisi itu sedapat mungkin hendaknya dibantu oleh suatu Lembaga Liturgi Pastoral, yang terdiri dari anggota-anggota yang mahir di bidang itu, bila perlu juga awam. 35. Lih. S. IGNATIUS Martir, Surat kepada jemaat di Magnesia 7; kepada jemaat di Filipi 4; kepada jemaat di Smirna 8: FUNK 1, 236, 266, 281.

Di bawah ini bimbingan pimpinan gerejawi setempat, seperti tersebut diatas, komisi itu bertugas membina kegiatan pastoral liturgis dalam kawasannya, dan memajukan studi serta eksperimen-eksperimen yang perlu, kapan saja ada penyesuaian-penyesuaian yang perlu diajukan kepada Takhta Apostolik. 45. (Komisi Liturgi Keuskupan) Begitu pula di setiap keuskupan hendaknya ada Komisi Liturgi untuk memajukan kegiatan liturgis di bawah bimbingan Uskup. Ada kalanya dapat berguna, bila berbagai keuskupan mendirikan satu komisi, untuk mengembangkan Liturgi melalui musyawarah bersama. 46. (Komisi-komisi lain) Selain Komisi Liturgi, hendaknya di setiap keuskupan sedapat mungkin didirikan Komisi Musik Liturgi dan Komisi Kesenian Liturgi. Penting sekali bahwa ketiga Komisi itu bekerja sama secara terpadu; bahkan tidak jarang akan lebih cocok bahwa ketiganya berpadu menjadi satu komisi.

BAB DUA MISTERI EKARISTI SUCI 47. (Ekaristi suci dan misteri Paska) Pada perjamuan terakhir, pada malam ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan Korban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian Ia mengabdikan Kprban Salib untuk selamanya, dan mempercayakan kepada Gereja Mempelai-Nya yang terkasih kenangan Wafat dan Kebangkitan-nya: sakramen cintakasih, lambang kesatuan, ikatan cintakasih[36], perjamuan Paskah. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikurniai jaminan kemuliaan yang akan datang[ 37]. 48. (Keikut-sertaan aktif kaum beriman) Maka dari itu Gereja dengan susah payah berusaha, jangan sampai Umat beriman menghadiri misteri iman itu sebagai orang luar atau penonton yang bisu, melainkan supaya melalui upacara dan doa-doa memahami misteri itu dengan baik, dan ikut-serta penuh khidmat dan secara aktif. Hendaknya mereka rela diajar oleh sabda Allah, disegarkan oleh santapan Tubuh Tuhan, bersyukur kepada Allah. Hendaknya sambil mempersembahkan Hosti yang tak bernoda bukan saja melalui tangan imam melainkan juga bersama dengannya, mereka belajar mempersembahkan diri, dari hari ke hari – berkat perantaraan Kristus[38] – makin penuh dipersatukan dengan Allah dan antar mereka sendiri, sehingga akhirnya Allah menjadi segalanya dalam semua. 49. Maka dari itu, dengan memperhatikan perayaan Ekaristi yang dihadiri Umat, terutama pada hari Minggu dan hari-hari raya wajib, konsili suci menetapkan halhal berikut, supaya korban Misa, pun juga bentuk upacara-upacaranya, mencapai hasil guna pastoral yang sepenuhnya. 50. (Peninjauan kembali Tata perayaan Ekaristi) Tata perayaan Ekaristi hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga lebih jelaslah makna masing-masing bagiannya serta hubungannnya satu dengan

36 37 38

Lih. S. AGUSTINUS, Tentang Injil Yohanes, Traktat XXVI, VI, 13: PL 35, 1613. Brevir Romawi, pada hari raya Tubuh Kristus yang mahakudus, Ibadat sore II antifon pada Magnificat. Lih. S. SIRILUS dari Iskandaria, Komentar pada Injil Yohanes, Jilid XI, bab XI-XII: PG 74, 557-564.

yang lain. Dengan demikian Umat beriman akan lebih mudah ikut-serta dengan khidmat dan aktif. Maka dari itu hendaknya upacara-upacara disederhanakan, dengan tetap mempertahankan hal-hal yang pokok. Hendaknya dihilangkan saja semua pengulangan dan tambahan yang kurang berguna, yang muncul dalam perjalanan sejarah. Sedangkan beberapa hal, yang telah memudar karena dikikis waktu, hendaknya dihidupkan lagi selaras dengan kaidah-kaidah semasa para Bapa Gereja, bila itu nampaknya memang berguna atau perlu. 51. (Supaya Ekaristi diperkaya dengan sabda Kitab suci) Agar santapan sabda Allah dihidangkan secara lebih melimpah kepada umat beriman, hendaklah khazanah harta Alkitab dibuka lebih lebar, sehingga dalam kurun waktu beberapa tahun bagian-bagian penting Kitab suci dibacakan kepada Umat. 52. (Homili) Homili sebagai bagian Liturgi sendiri sangat dianjurkan. Di situ hendaknya sepanjang tahun Liturgi diuraikan mister-misteri iman dan kaidah-kaidah hidup kristiani berdasarkan teks Kitab suci. Oleh karena itu dalam Misa hari Minggu dan hari raya wajib yang dihadiri Umat homili jangan ditiadakan, kecuali bila ada alasan yang berat. 53. (Doa Umat) Hendaknya sesudah Injil dan homili, terutama pada hari Minggu dan hari raya wajib, diadakan lagi Doa Umat atau Doa kaum beriman, supaya bersama dengan Umat dipanjatkanlah doa-doa permohonan bagi Gereja kudus, bagi para pejabat pemerintah, bagi mereka yang sedang tertekan oleh pelbagai kebutuhan, dan bagi semua orang serta keselamatan seluruh dunia[39]. 54. (Bahasa latin dan bahasa pribumi dalam perayaan Ekaristi) Sesuai dengan artikel 36 konstitusi ini, dalam Misa suci yang dirayakan bersama Umat bahasa pribumi dapat diberi tempat yang sewajarnya, terutama dalam bacaan-bacaan dan doa Umat, dan – sesuai dengan situasi setempat – juga dalam bagian-bagian yang menyangkut Umat. Tetapi hendaknya diusahakan, supaya kaum beriman dapat bersama-sama mengucapkan atau menyayikan dalam bahasa latin juga bagian-bagian Misa yang tetap yang menyangkut mereka. Namun bila pemakaian bahasa pribumi yang lebih luas dalam Misa nampaknya cocok, hendaknya ditepati peraturan art. 40 Konstitusi ini. 55. (Komuni suci, puncak keikut-sertaan dalam Misa suci; Komuni dua rupa) Dianjurkan dengan sangat partisipasi Umat yang lebih sempurna dalam Misa, dengan menerima Tubuh Tuhan dari Korban itu juga sesudah imam menyambut Komuni. Atas kebijaksanaan para Uskup, Komuni dua rupa dapat diizinkan baik bagi kaum rohaniwan dan relegius, maupun bagi kaum awam, dalam hal-hal yang perlu ditentukan oleh Takhta suci, misalnya bagi para tahbisan baru dalam Misa pentahbisan mereka, bagi para prasetyawan dalm Misa pengikraran kaul-kaul relegius, bagi para baptisan baru dalam Misa sesudah pembabtisan. Dalam hal itu prinsip-prinsip dokmatis Konsili Trente[40] hendaknya tetap dipertahankan. 56. (Kesatuan Misa) Misa suci dapat dikatakan terdiri dari dua bagian, yakni Liturgi sabda dan Liturgi Ekaristi. Keduanya begitu erat berhubungan, sehingga merupakan satu tindakan ibadat. Maka Konsili suci dengan sangat mengajak para gembala jiwa, supaya 39 40

Lih. Tim 2:1-2. Lih. KONSILI TRENTE, Sidang XXI, 16 Juli 1562, Ajaran tentang Komuni dua rupa dan Komuni kanakkanak, bab I-3: CONCILIUM TRIDENTINUM, terbitan yang telah dikutip, VIII, 698-699.

mereka dalam menyelenggarakan katekese dengan tekun mengajarkan agar Umat beriman menghadiri seluruh Misa, terutama pada hari Minggu dan hari raya wajib. 57. (Konselebrasi) 1. Konselebrasi sungguh cocok untuk menampakkan kesatuan imamat. Hingga sekarang konselebrasi tetap masih dijalankan dalam Gereja Timur maupun Barat. Maka Konsili berkenan memperluas izin untuk berkonselebrasi sehingga meliputi kesempata-kesempatan berikut: 1). a). pada hari Kamis Putih, baik dalam Misa Krisma maupun dalam Misa sore Perjamuan Tuhan; b). pada Misa suci selama Konsili, sidang Konferensi Uskup dan sidang Sinode; c). pada Misa suci pelantikan seorang Abas. 2). Selain itu, seizin Uskup setempat, yang berwenang menilai baik tidaknya mengadakan konselebrasi: a). pada Misa komunitas biara dan pada Misa utama dalam gereja-gereja, bila demi kepentingan Umat beriman tidak diinginkan, bahwa semua imam yang hadir mempersembahkan Misa sendiri-sendiri; b). pada Misa dalam pertemuan manapun juga, yang dihadiri para imam diosesan maupun religius; 2. 1). Adalah wewenang Uskup untuk mengatur tata cara konselebrasi di keuskupannya. 2). Namun hendaknya setiap imam tetap diperbolehkan mengorbankan Misa sendiri, asal jangan pada saat yang bersamaan dalam gereja yang sama; juga asal jangan pada hari Kamis Putih Perjamuan Tuhan. 58. Hendaknya disusun upacara konselebrasi yang baru, dan disisipkan dalam buku Pontificale dan dalam buku Missale Romanum.

BAB TIGA SAKRAMEN-SAKRAMEN LAINNYA DAN SAKRAMENTALI 59. (Hakekat Sakramen) Sakramen-sakramen dimaksudkan untuk menguduskan manusia, membangun Tubuh Kristus, dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah. Tetapi sebagai tanda sakramen juga dimaksudkan untuk mendidik. Sakramen tidak hanya mengandaikan iman, melainkan juga memupuk, meneguhkan dan mengungkapkannya dengan kata-kata dan benda. Maka juga disebut sakramen iman. Memang sakramen memperolehkan rahmat, tetapi perayaan sakramen itu sendiri juga dengan amat baik menyiapkan kaum beriman untuk menerima rahmat itu yang membuahkan hasil nyata, untuk menyembah Allah secara benar, dan untuk mengamalkan cinta kasih. Maka dari itu sangat pentinglah bahwa Umat beriman dengan mudah memahami lambang-lambang Sakramen, dan dengan sepenuh hati sering menerima Sakramen-sakramen, yang diadakan untuk memupuk hidup kristiani. 60. (Sakramentali) Selain itu Bunda Gereja kudus telah mengadakan sakramentali, yakni tanda-tanda suci, yang memiliki kemiripan dengan Sakramen-sakramen. Sakramentali itu menandakan kurnia-kurnia, terutama yang bersifat rohani, dan yang diperoleh berkat doa permohonan Gereja. Melalui sakramentali itu hati manusia disiapkan untuk menerima buah utama Sakramen-sakramen dan pelbagai situasi hidup disucikan.

61. (Nilai pastoral Liturgi; hubungannya dengan misteri Paska) Dengan demikian berkat Liturgi Sakramen-sakramen dan sakramentali bagi kaum beriman yang hatinya sungguh siap hampir setiap peristiwa hidup dikuduskan dengan rahmat ilahi yang mengalir dari misteri Paska Sengsara, Wafat dan Kebangkitan Kristus. Dari misteri itulah semua Sakramen dan sakramentali menerima daya kekuatannya. Dan bila manusia menggunakan benda-benda dengan pantas, boleh dikatakan tidak ada satupun yang tak dapat dimanfaatkan untuk menguduskan manusia dan memuliakan Allah. 62. (Perlunya meninjau kembali upacara Sakramen-sakramen) Akan tetapi dalam perjalanan sejarah ada beberapa hal yang menyusupi upacara Sakramen-sakramen dan sakramentali, sehingga hakekat serta tujuannya menjadi kurang jelas bagi kita sekarang. Oleh karena itu perlulah beberapa hal dalam upacara itu disesuaikan dengan kebutuhan zaman kita. Maka Konsili suci menetapkan pokok-pokok pembaharuan berikut. 63. (Bahasa; Rituale Romawi dan rituale khusus) Dalam pelayanan Sakramen-sakramen dan sakramentali tidak jarang pemakaian bahasa pribumi dapat sangat berguna bagi Umat. Maka hendaknya bahasa pribumi digunakan secara lebih luas menurut kaidah-kaidah berikut: 1. Dalam pelayanan Sakramen-sakramen dan sakramentali dapat digunakan bahasa pribumi menurut kaidah art. 36. menurut terbitan baru Rituale Romawi hendaknya oleh pimpinan Gereja setempat yang berwenang menurut art. 22 (2) Konstitusi ini selekas mungkin disiapkan rituale-rituale khusus yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah juga mengenai bahasanya. Dan hendaknya rituale-rituale itu digunakan didaerah-daerah yang bersangkutan, setelah mendapat persetujuan Takhta Apostolik. Tetapi dalam menyusun rituale atau kumpulan khas upacara-upacara itu janganlah diabaikan petunjuk-petunjuk yang tercantum dalam Rituale Romawi untuk setiap upacara, entah yang bersifat pastoral dan berupa rubrik, entah yang mempunyai makna sosial istimewa. 64. (Katekumenat) Katekumenat bertahap untuk orang dewasa hendaklah dihidupkan lagi dan dilaksanakan menurut kebijaksanaan Uskup setempat. Dengan demikian masa katekumenat, yang dimaksudkan untuk pembi naan yang memadai, dapat disucikan dengan merayakan upacara-upacara suci secara berturut-turut. 65. Selain apa yang terdapat dalam tradisi kristiani, didaerah-daerah Misi boleh dimasukkan juga unsur-unsur inisiasi yang terdapat sebagai kebiasaan masingmasing bangsa, sejauh itu dapat disesuaikan dengan upacara kristiani, menurut kaidah art. 37 – 40 Konstitusi ini. 66. (Peninjauan kembali upacara babtis) Kedua bentuk upacara pembabtisan orang dewasa, maupun – dengan memperhatikan katekumenat yang diperbaharui – yang meriah, hendaknya ditinjau kembali. Selain itu kedalam Misal Romawi hendaknya dimasukkan Misa khusus: Pada upacara pembabtisan. 67. Upacara pembabtisan kanak-kanak hendaknya ditinjau kembali dan disesuaikan dengan kenyataan bahwa yang dibabt is itu masih bayi. Dalam upacara itu hendaknya menjadi lebih jelas peran orang tua dan orangtua babtis beserta tugas-tugas mereka. 68. Hendaknya dalam upacara Baptis diadakan penyesuaian-penyesuaian menurut kebijaksanaan Uskup setempat, bila banyak orang meminta dibabtis. Begitu pula hendaknya disusun Tata upacara yang lebih ringkas, yang terutama di daerah-daerah Misi dapat dipakai oleh para katekis, dan pada umumnya juga dalam bahaya maut oleh kaum beriman, bila tiada imam atau diakon.

69. Untuk menggantikan apa yang disebut Tata laksana untuk melengkapi apa yang dilewati dalam pembabtisan kanak-kanak hendaknya disusun upacara baru, supaya secara lebih jelas dan memadai dinyatakan bahwa kanak-kanak yang telah dibabtis dengan rumus singkat sudah diterima kedalam Gereja. Begitu pula hendaknya disusun upacara baru untuk mereka yang sudah dibabtis secara sah, lalu hendak berpindah masuk Gereja katolik yang kudus, untuk menyatakan, bahwa mereka diterima kedalam persekutuan Gereja. 70. Diluar masa Paska air baptis dapat diberkati dalam upacara Baptis sendiri dengan rumus lebih singkat yang sudah disahkan. 71. (Peninjauan kembali upacara sakramen Krisma) Upacara Krisma hendaknya ditinjau kembali juga supaya lebih nampak jelas hubungan erat Sakramen itu dengan seluruh inisiasi kristiani. Maka dari itu pembaharuan janji-janji Baptis seyogyanya mendahului penerimaan Sakramen Krisma. Bila ada kesempatan baik, penerimaan Krisma dapat diselenggarakan dalam Misa suci. Sedangkan mengenai upacara di luar Misa, hendaknya disediakan upacara pendahuluan. 72. (Penijauan kembali upacara Tobat) Upacara dan rumus untuk Sakramen Tobat hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga hakekat dan buah Sakramen terungkap secara lebih jelas. 73. (Peninjauan kembali upacara Pengurapan Orang Sakit) “Pengurapan terakhir”, atau lebih tepat lagi disebut “Pengurapan Orang Sakit”, bukanlah Sakramen bagi mereka yang berada diambang kematian saja. Maka saat yang baik untuk menerimanya pasti sudah tiba, bila orang beriman mulai ada dalam bahaya maut karena menderita sakit atau sudah lanjut usia. 74. Selain upacara Pengurapan Orang Sakit dan upacara Komuni bekal suci secara terpisah, hendaknya disusun Tata upacara berkesinambungan, yang mencantumkan penerimaan Pengurapan Orang Sakit sesudah Sakramen Tobat dan sebelum Komuni bekal suci. 75. Jumlah pengurapan hendaknya disesuaikan dengan keadaan si penderita, dan doa-doa yang termasuk upacara Pengurapan Orang Sakit hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga cocok dengan pe lbagai keadaan para penderita yang menerima Sakramen. 76. (Peninjauan kembali Sakramen Tahbisan) Upacara Tahbisan hendaknya ditinjau kembali baik tata-laksananya maupun naskahnya. Amanat Uskup, pada awal Tahbisan imam atau Tahbisan Uskup, dapat disampaikan dalam bahasa pribumi Dalam Tahbisan Uskup penumpangan tangan boleh dilakukan oleh semua Uskup yang hadir. 77. (Peninjauan kembali Sakramen Perkawinan) Upacara perayaan Perkawinan, yang terdapat dalam Rituale Romawi, hendaknya ditinjau kembali dan diperkaya, sehingga lebih jelas dilambangkan rahmat Sakramen serta tugas-tugas suami – istri. “Konsil suci sangat mengharapkan, supaya – sekiranya ada wilayah-wilayah yang dalam merayakan Sakramen Perkawinan mempunyai adat-kebiasaan atau upacara-upacara lain yang layak dipuji, - itu dipertahankan sepenuhnya”[41].

41

KONSILI TRENTE, Sidang XXIV, 11 November 1563, Tentang Pembaharuan, bab I: CONCILIUM TRIDENTINUM, terbitan yang telah dikutip IX, Acta bagian VI, Freibureg im Breisgau 1924, hlm. 969. Lih Rituale Romanum, judul VIII, bab II n. 6.

Kecuali itu pimpinan gerejawi setempat, seperti disebut dalam art. 22, (2) Konstitusi ini, berwenang menyusun upacara khusus yang sesuai dengan adat kebiasaan daerah-daerah serta bangsa-bangsa, menurut kaidah art. 63, dengan tetap mempertahankan hukum, bahwa iman yang menjadi saksi menanyakan dan menerima persetujuan mereka yang menikah. 78. Pada umumnya upacara perkawinan hendaknya dilangsungkan dalam Misa suci, sesudah pembacaan Injil dan Homili, sebelum Doa Umat. Doa atas mempelai wanita hendaknya, dipugar dengan baik, sehingga mencantumkan dengan jelas bahwa kedua mempelai sama-sama mempunyai kewajiban untuk saling setia. Doa itu dapat diucapkan dalam bahasa pribumi. Tetapi bila Sakramen Perkawinan dirayakan tanpa Misa, hendaknya pada awal upacara dibacakan Epistola dan Injil Misa untuk mempelai, dan berkat mempelai hendaknya selalu diberikan. 79. (Peninjauan kembali sakramentali) Hendaknya sakramentali ditinjau kembali mengan mengindahkan kaidah-kaidah dasar tentang keikut-sertaan kaum beriman secara sadar dan aktif dan dengan mudah, dan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan zaman kita. Dalam meninjau kembali buku-buku Kumpulan Upacara (rituale) menurut kaidah art. 63, dapat ditambahkan juga sakramentali baru sejauh diperlukan. Pemberkatan-pemberkatan dengan kuasa khusus hendaknya sedikit mungkin, dan hanya diperuntukan bagi para Uskup dan pimpinan gerejawi. Hendaknya diusahakan agar beberapa sakramentali dapat dilayani oleh para awam yang pantas untuk tugas itu, sekurang-kurangnya dalam keadaan-keadaan istimewa dan sesuai dengan kebijakan Uskup. 80. (Pengikraran kaul relegius) Upacara Prasetya para Perawan, yang terdapat dalam Pontifikale Romawi, hendaknya ditinjau kembali. Selain itu hendaknya disusun upacara pengikraran kaul relegius dan pembaharuan kaul-kaul, meningkatkan keutuhan, kesederhanaan dan keluhuran upacara. Upacara itu hendaknya dilaksanakan oleh mereka, yang mengikrarkan atau membaharui kaul-kaul dalam Misa. Hukum khas tetap dipertahankan. Sangat dianjurkan supaya pengikraran kaul relegius dilaksanakan dalam Misa. 81. (Peninjauan kembali upacara pemakaman) Upacara pemakaman hendaknya mengungkapkan dengan lebih jelas ciri Paska kematian kristiani, dan hendaknya lebih disesuiakan dengan situasi dan adat-istiadat masing-masing daerah, termasuk mengenai warna liturginya. 82. Hendaknya upacara penguburan anak-anak ditinjau kembali, dan disusun rumus Misa yang khusus.

BAB EMPAT IBADAT HARIAN 83. (Ibadat harian, karya Kristus dan Gereja) Dengan mengenakan kodrat manusiawi, Kristus Yesus, Imam Agung Perjanjian Baru dan kekal, telah memasukkan ke dalam pengasingan di dunia ini madah, yang di sepanjang segala abad dinyayikan di bangsal sorgawi. Ia menghimpun seluruh umat manusia di sekeliling-Nya, dan mengikutsertakannya melambungkan kidung pujian ilahi-Nya.

Sebab Ia melestarikan tugas imamat-Nya itu melalui Gereja-nya. Gereja tiada putusnya memuji Tuhan dan memohonkan keselamatan seluruh dunia bukan hanya dengan merayakan Ekaristi, melainkan dengan cara-cara lain juga, terutama dengan mendoakan Ibadat Harian. 84. Berdasarkan Tradisi kristiani yang kuno Ibadat Harian disusun sedemikian rupa, sehingga seluruh kurun hari dan malam disucikan dengan pujian kepada Allah. Adapun bila nyayian pujian yang mengagumkan itu dilaksanakan dengan baik oleh para imam dan orang-orang lain, yang atas ketetapan Gereja ditugaskan untuk maksud itu, atau oleh Umat beriman, sambil berdoa bersama dengan Imam memakai bentuk yang telah disahkan, pada saat itu sungguh merupakan suara Sang Mempelai sendiri, yang berwawancara dengan Mempelai Pria, bahkan juga doa Kristus beserta Tubuh-Nya kepada Bapa. 85. Maka dari itu semua orang yang mendoakan Ibadat Harian, menunaikan tugas Gereja, maupun ikut serta dalam kehormatan tertinggi Mempelai Kristus. Sebab seraya melambungkan pujian kepada Allah mereka berdiri di hadapan takhta atas nama Bunda Gereja. 86. (Nilai pastoral Ibadat Harian) Para imam yang mengemban pelayanan pastoral yang suci, akan mendoakan Ibadat Harian dengan makin bersemangat, semakin mereka sadari secara mendalam bahwa mereka harus mematuhi nasehat Paulus: “Berdoalah tiada hentinya” (1Tes 5:17). Sebab hanya Tuhanlah yang dapat mengurniakan hasil guna dan pertumbuhan kepada karya yang mereka laksanakan, menurut sabda-Nya: “Tanpa Aku kamu tidak berbuat apa -apa” (Yoh 15:5). Maka ketika mengangkat para diakon, para Rasul berkata: “Kamu sendiri akan memusatkan pikiran pada pelayanan sabda” (Kis 6:4). 87. Tetapi supaya dalam kenyataan sekarang ini Ibadat Harian didoakan dengan lebih baik dan lebih sempurna oleh para imam maupun para anggota Gereja lainnya, konsili suci – seraya melanjutkan pembaharuan yang telah dirintis dengan baik oleh Takhta suci – berkenan menetapkan hal-hal berikut tentang Ibadat Harian menurut Ritus Romawi. 88. (Peninjauan kembali pembagian waktu Ibadat menurut Tradisi) Tujuan Ibadat Harian yakni pengudusan seluruh hati. Maka pembagian waktu ibadat yang kita waris hendaknya ditata kembali sedemikian rupa, sehingga ibadat-ibadat sedapat mungkin dilaksanakan pada saat yang tepat, sekaligus juga diperhitungkan situasi hidup zaman sekarang, terutama bagi mereka yang bertekun menjalankan karya-karya kerasulan. 89. Maka penataan kembali Ibadat harian hendaknya dilaksanakan menurut kaidahkaidah berikut: a) menurut tradisi mulia Gereja semesta, Laudes atau Ibadat Pagi dan Vesper atau Ibadat Sore harus dipandang dan dirayakan sebagai poros rangkap Ibadat Harian, sebagai dua Ibadat yang utama; b) Ibadat penutup (Kompletorium) hendaknya disusun sedemikian rupa, sehingga sungguh cocok dengan akhir hari; c) Yang disebut Matutinium, meskipun bila didaras dalam koor tetap memiliki ciri pujian malam, hendaklah disesuaikan sedemikian rupa,sehingga dapat didoakan setiap saat pada siang hari; dan jumlah mazmurnya hendaknya jangan terlalu banyak, sedangkan bacaan-bacaannya hendaknya lebih panjang; d) Ibadat Prima hendaklah ditiadakan; e) Dalam koor ibadat-ibadat singkat, yakni Tertia, Sexta dan Nona, hendaklah dipertahankan. Dalam pendarasan diluar koor boleh dipilih salah satu dari ketiganya, yakni yang cocok dengan saat hari yang bersangkutan. 90. (Ibadat Harian sumber kesalehan) Kecuali itu sebagai doa resmi Gereja Ibadat Harian menjadi sumber kesalehan dan membekali doa pribadi. Oleh karena itu para imam dan semua orang lain yang ikut

mendaras Ibadat Harian diminta dalam Tuhan supaya dalam melaksanakannya hati mereka berpadu dengan apa uang mereka ucapkan. Supaya itu tercapai dengan lebih baik , hendaknya mereka mengusahakan pembinaan yang lebih mendalam tentang Liturgi dan Kitab suci, terutama mazmur-mazmur. Adapun dalam melaksanakan pembaharuan hendaknya perbendaharaan Ibadat Romawi yang terpuji dan abadi itu disesuaikan sedemikian rupa, sehingga siapa saja yang mewarisinya dapat menikmatinya secara lebih leluasa dan lebih mudah. 91. (Pembagian mazmur-mazmur) Supaya pembagian waktu Ibadat Harian, seperti telah diutarakan dalam art. 89, sungguh dapat ditepati, hendaknya mazmur-mazmur jangan lagi dibagi-bagikan dalam lingkaran satu pekan, melainkan dalam kurun waktu yang lebih lama. Karya peninjauan kembali lingkaran mazmur, yang sudah dirintis dengan begitu baik, hendaknya disesuaikan selekas mungkin. Hendaklah diperhatikan gaya bahasa Latin kristiani, pemakiannya dalam Liturgi, juga dalam nyayian, dan seluruh tradisi Gereja Latin. 92. (Penyusunan bacaan-bacaan) Mengenai bacaan-bacaan hendaklah dijalankan hal-hal berikut: a) Bacaan-bacaan Kitab suci hendaknya disusun sedemikian rupa, sehingga harta kekayaan sabda ilahi dengan mudah tersedia dalam kelimpahannya yang lebih penuh; b) Bacaan-bacaan dari karya para Bapa dan para Pujangga Gereja serta dari Pengarang gerejawi hendaknya dipilih dengan lebih baik; c) Kisah para Martir atau riwayat para Kudus hendaknya disesuaikan dengan kebenaran sejarah. 93. (Peninjauan kembali madah-madah) Bila dirasa berguna, hendaknya madah-madah dikembalikan kepada bentuknya yang asli, dengan meniadakan atau mengubah apa yang berbau mitologi atau kurang selaras dengan kesalehan kristiani. Bila dipandang sesuai, hendaknya ditampung juga madah-madah yang terdapat dalam perbendaharaan madah. 94. (Saat mendoakan Ibadat Harian) Supaya seluruh hari sungguh disucikan, dan Ibadat Harian didaras dengan penuh buah rohani, lebih baiklah bahwa untuk menunaikan iba dat-ibadat diambil saat, yang paling dekat dengan yang sesungguhnya bagi setiap ibadat kanonik. 95. (Kewajiban mendoakan Ibadat Harian) Komunitas-komunitas yang terikat kewajiban doa koor, disamping mengadakan Misa komunitas, setiap hari wajib merayakan Ibadat Harian dalam koor. Khususnya: a) Dewan Pembantu Uskup, para rahib dan rubiah, serta para imam biarawan lainya, yang terikat pada Ibadat Harian bersama menurut hukum atau konstitusi tarekat, wajib mendoakan seluruh Ibadat Harian; b) Dewan para imam katedral atau para penasehat Uskup wajib mendoakan bagianbagian Ibadat Harian, yang diwajibkan berdasarkan hukum umum atau hukum khusus; c) Semua anggota komunitas-komunitas itu, yang telah menerima Tahbisan tinggi, atau sudah mengikrarkan kaul-kaul meriah, kecuali para bruder, wajib mendaras sendiri bagian-bagian Ibadat Harian yang tidak mereka doakan dalam koor. 96. Para rohaniwan (klerus), yang tidak terikat kewajiban doa koor, bila sudah menerima Tahbisan tinggi, setiap hari wajib mendoakan seluruh Ibadat Harian, entah secara bersama, entah sendiri-sendiri, menurut kaidah art. 89. 97. Hendaknya ada rubrik yang menetapkan, kapan ibadat harian seyogyanya diganti dengan kegiatan liturgis lain. Bila ada hal-hal khusus dan ada alasan yang memadai, Uskup dapat membebaskan bawahannya dari kewajiban mendoakan Ibadat Harian seluruhnya atau sebagian, atau menggantinya dengan kewajiban lain.

98. (Pujian kepada Allah dalam tarekat-tarekat relegius) Para anggota setiap Tarekat status kesempurnaan, yang berdasarkan Konstitusi mendoakan beberapa bagian Ibadat Harian, melaksanakan doa resmi Gereja. Begitu pula mereka melakukan doa resmi Gereja, bila berdasarkan Konstitusi mendaras suatu Ofisi singkat, asal Ofisi itu disusun menurut pola Ibadat Harian dan disahkan menurut hukum.

99. (Ibadat Harian bersama) Ibadat harian merupakan suara Gereja atau segenap Tubuh mistik yang memuji Allah secara resmi. Maka dianjurkan supaya para rohaniwan yang tidak terikat kewajiban doa koor, pun terutama para imam yang hidup bersama atau sedang bersidang, sekurang-kurangnya mendoakan bersama suatu bagian Ibadat Harian. Semua saja yang mendoakan Ibadat Harian dalam koor atau hanya bersama, hendaklah menunaikan tugas yang dipercayakan kepada mereka itu sesempurna mungkin, baik dengan sikap batin yang saleh, maupun dengan penampilan yang khidmat. Selain itu lebih baiklah, bahwa – bila keadaan mengizinkan – Ibadat Harian dinyayikan dalam koor maupun secara bersama. 100. (Keikut-sertaan Umat beriman) Para gembala jiwa hendaknya berusaha, supaya ibadat-ibadat pokok, terutama Ibadat Sore, pada hari Minggu dan hari-hari raya yang lebih meriah dirayakan bersam di gereja. Dianjurkan agar para awam pun mendaras Ibadat Harian, entah bersama para imam, entah antar mereka sendiri, atau bahkan secara perorangan. 101. (Bahasa) (1) Sesuai dengan tradisi Ritus Latin yang sudah berabad-abad, hendaknya dalam Ibadat Harian dipertahankan bahasa Latin bagi kaum rohaniwan. Namun dalam halhal tertentu Uskup berwenag mengizinkan penggunaan terjemahan dalam bahasa pribumimenurut kaidah art. 36, bagi para rohaniwan, yang dengan memakai bahasa Latin mengalami hambatan berat untuk mendoakan Ibadat Harian sebagaimana mestinya. (2) Para rubiah, begitu pula para anggota Tarekat-tarekat hidup membiara, baik pr ia bukan rohaniwan maupun wanita, dapat diizinkan oleh Pembesar yang berwenang untuk mendoakan Ibadat Harian, juga dalam koor, dalam bahasa pribumi, asal terjemahan itu sudah disahkan. (3) Setiap rohaniwan yang wajib mendoakan Ibadat Harian, bila bersama dengan jemaat beriman, atau bersama dengan mereka yang disebutkan pada (2), merayakan Ibadat itu dalam bahasa pribumi, sudah memenuhi kewajibannya, asal naskah terjemahannya sudah disahkan.

BAB LIMA TAHUN LITURGI 102. (Makna tahun Liturgi) Bunda Gereja yang penuh kasih memandang sebagai tugasnya: pada hari-hari tertentu disepanjang tahun merayakan karya penyelamatan Mempelai ilahinya dengan kenangan suci. Sekali seminggu, pada hari yang disebut Hari Tuhan, Gereja mengenangkan Kebangkitan Tuhan, yang sekali setahun, pada hari raya agung Paska, juga dirayakannya bersama dengan Sengsara-Nya yang suci. Namun selama kurun waktu setahun Gereja memaparkan seluruh misteri Kristus, dari Penjelmaan serta Kelahiran-Nya hingga Kenaikan-Nya, sampai hari

Pentekosta dan sampai penantian kedatangan Tuhan yang bahagia dan penuh harapan. Dengan mengenangkan misteri-misteri Penebusan itu Gereja membuka bagi kaum beriman kekayaan keutamaan serta pahala Tuhan-nya sedemikian rupa, sehingga rahasia-rahasia itu senantiasa hadir dengan cara tertentu. Umat mencapai misteri-misteri itu dan dipenuhi dengan rahmat keselamatan. 103. Dalam merayakan lingkaran tahunan misteri-misteri Kristus itu Gereja suci menghormati Santa Maria Bunda Allah dangan cintakasih yang istimewa, karena secara tak terceraikan terlibat dalam karya penyelamatan Puteranya. Dalam diri Maria Gereja mengagumi dan memuliakan buah Penebusan yang serba unggul, dan dengan gembira merenungkan apa yang sepenuhnya dicita-citakan dan didambakan sendiri bagaikan dalam citra yang paling jernih. 104. Selain itu Gereja menyisipkan kenangan para Martir dan para Kudus lainnya ke dalam lingkaran tahun Liturgi. Berkat rahmat Allah yang bermacam-macam mereka telah mencapai kesempurnaan dan memperoleh keselamatan kekal, dan sekarang melambungkan pujian sempurna kepada Allah di sorga, serta menjadi pengantara kita. Sebab dengan mengenangkan hari kelahiran para Kudus (di sorga) Gereja mewartakan misteri Paska dalam diri para Kudus yang telah menderita dan dimuliakan bersama Kristus. Gereja menyajikan kepada kaum beriman teladan mereka, yang menarik semua orang kepada Bapa melalui Kristus, dan karena pahalapahala mereka, yang menarik semua orang kepada Bapa melalui Kristus, dan karena pahala-pahala mereka Gereja memohonkan karunia-karunia Allah. 105. Akhirnya dalam berbagai masa sepanjang tahun, menganut adat-istiadat yang diwariskan, Gereja menyempurnakan pembinaan Umat beriman, melalui kegiatankegiatan kesalehan yang bersifat rohani maupun jasmani, pengajaran, doa permohonan, ulah tobat dan amal belas kasihan. Oleh karena itu Konsili suci berkenan menetapkan pokok-pokok berikut. 106. (Makna hari Minggu ditekankan lagi) Berdasarkan Tradisi para Rasul yang berasal mula pada hari Kebangkitan Kristus senditi, Gereja merayakan misteri Paskah sekali seminggu, pada hari yang tepat sekali disebut Hari Tuhan atau hari Minggu. Pada hari itu Umat beriman wajib berkumpul untuk mendengarkan sabda Allah dan ikut-serta dalam perayaan Ekaristi, dan dengan demikian mengenagkan Sengsara, Kebangkitan dan kemuliaan Tuhan Yesus, serta mengucap syukur kepada Allah, yang melahirkan mereka kembali ke dalam pengharapan yang hidup berkat Kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati (1Ptr 1:3). Demikianlah hari Minggu itu pangkal segala hari pesta. Hari itu hendaknya dianjurkan dan ditandaskan bagi kesalehan kaum beriman, sehingga juga menjadi hari kegembiraan dan bebas dari kerja. Kecuali bila memang sungguh sangat penting, perayaan-perayaan lain jangan diutamakan terhadap Minggu, sebab perayaan Minggu memang merupakan dasar dan inti segenap tahun Liturgi. 107. (Peninjauan kembali tahun Liturgi) Tahun Liturgi hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga kebiasaankebiasaan dan tata-tertib masa-masa suci yang sudah turun-temurun tetap dipelihara, atau dikembalikan sesuai dengan keadaan zaman sekarang, namun cirinya yang asli tetap dipertahankan, untuk sungguh-sungguh memupuk kesalehan kaum beriman dalam merayakan misteri-misteri Penebusan kristiani, terutama misteri Paska. Sekiranya diperlukan penyesuaian-penyesuaian menurut situasi setempat hendaknya itu dijalankan menurut kaidah art. 39 dan 40. 108. Perhatian kaum beriman hendaknya pertama-tama diarahkan kepada hari-hari raya Tuhan, sebab pada hari-hari itulah dirayakan mister-misteri keselamatan sepanjang tahun. Maka dari itu Masa Liturgi sepanjang tahun hendaklah diberi tempat yang serasi, dan didahulukan terhadap pesta-pesta para Kudus, supaya seluruh lingkaran misteri-misteri keselamatan dikenagkan sebagaimana mestinya.

109. (Masa Prapaska) Hendaklah baik dalam Liturgi maupun dalam katekese liturgis ditampilkan lebih jelas dua ciri khas mas “empat puluh hari”[42], yakni terutama mengenagkan atau menyiapkan Baptis dan membina pertobatan. Masa itu secara lebih intensif mengajak Umat beriman untuk mendengarkan sabda Allah dan berdoa, dan dengan demikian menyiapkan mereka untuk merayakan misteri Paska. Maka dari itu: a) Unsur-unsur Liturgi empat puluh hari yang berkenaan dengan Baptis hendaknya dimanfaatkan secara lebih luas; bila dipandang bermanfaat, hendaknya beberapa unsur dari Tradisi zaman dahulu dikembalikan; b) Hal itu berlaku juga bagi unsur-unsur yang menyangkut pertobatan Mengenai katekese hendaknya ditamankan dalam hati kaum beriman baik dampak sosial dosa, maupun hakekat khas pertobatan, takni menolak dosa sebagai penghinaan terhadap Allah; jangan pula diabaikan peran Gereja dalam tindak pertobatan, dan hendaknya doa-doa untuk para pendosa sangat dianjurkan. 110. Pertobatan selama masa empat puluh hari hendaknya jangan hanya bersifat batin dan perorangan, melainkan hendaknya bersifat lahir dan sosialkemasyarakatan. Adapun praktek pertobatan, sesuai dengan kemungkinankemungkinan zaman kita sekarang dal pelbagai daerah pun juga dengan situasi Umat beriman, hendaknya makin digairahkan, dan dianjurkan oleh pimpinan gerejawi seperti disebut dalam artikel 22. Namun puasa Paska hendaknya dipandang keramat, dan dilaksanakan di mana-mana pada hari Jumat kengan Sengsara dan Wafat Tuhan, dan bila dipandang berfaedah, diteruskan sampai Sabt u suci, supaya dengan demikian hati kita terangkat dan terbuka, untuk menyambut kegembiraan hari Kebangkitan Tuhan. 111. (Pesta para Kudus) Menurut Tradisi para Kudus dihormati dalam Gereja, dan relikwi asli serta gambar dan arca mereka mendapat penghormatan. Pesta para Kudus mewartakan karyakarya agung Kristus dalam diri para hamba -Nya dan menyajikan kepada Umat beriman teladan-teladan yang patut ditiru. Agas pesta para Kudus jangan diutamakan terhadap hari-hari raya uang merupakan kenangan misteri-misteri keselamatan sendiri, hendaknya banyak di antaranya diserahkan perayaannya kepada masingmasing Gereja khusus atau bangsa atau Tarekat relegius. Hendaknya yang dirayakan oleh seluruh Gereja hanyalah pesta-pesta, yang mengenangkan para Kudus yang sungguh-sungguh penting bagi Gereja semesta.

BAB ENAM MUSIK LITURGI 112. (Martabat musik Liturgi) Tradisi musik Gereja semesta merupakan kekayaan yang tak terperikan nilainya, lebih gemilang dari ungkapan-ungkapan seni lainnya, terutama karena nyayian suci yang terikat pada kata-kata merupakan bagian Liturgi meriah yang penting atau integral. Ternyata lagu-lagu ibadat sangat dipuji baik oleh Kitab suci[43], maupun oleh para Bapa Gereja; begitu pula oleh para Paus, yang – dipelopori oleh Santo Pius X, akhir-akhir ini semakin cermat menguraikan peran serta Musik Liturgi mendukung ibadat Tuhan. Istilah latin: tempus quadragesimale secara harafiah berarti “masa empat puluh hari”; dulu diartikan sebagai “masa Puasa”; sekarang diistilahkan “masa Prapaska”. 43 Lih. Ef 5:19; Kol 3:16. 42

Maka Musik Liturgi semakin suci, bila semakin eret hubungannya dengan upacara ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebig semarak. Gereja menyetujui segala bentuk kesenian yang sejati, yang memiliki sifat-sifat menurut persyaratan Liturgi, dan mengizinkan penggunaannya dalam ibadat kepada Allah. Maka dengan mengindahkan kaidah-kaidah serta peraturan-peraturan menurut Tradisi dan tertib gerejawi, pun dengan memperhatikan tujuan Musik Liturgi, yakni kemuliaan Allah dan pengudusan Umat beriman, Konsili suci menetapkan gal-hal berikut. 113. (Liturgi meriah) Upacara Liturgi menjadi lebih agung, bila ibadat kepada Allah dirayakan dengan nyayian meriah, bila dilayani oleh petugas-petugas Liturgi, dan bila Umat ikut serta secara aktif, Mengenai bahasa yang harus dipakai hendaknya dipatuhi ketentuan-ketentuan menurut art. 36; mengenai Misa suci lihat art. 54; mengenai Sakramen0sakramen lihat art. 63; mengenai Ibadat Harian lihat art. 101. 114. Khazanah Musik Liturgi hendaknya dilestarikan dan dikembangkan secermat mungkin. Paduan suara hendaknya dibi na dengan sungguh-sungguh, terutama di gereja-gereja katedral. Para Uskup dan para gembala jiwa lainnya hendaknya berusaha dengan tekun, supaya pada setiap upacara Liturgi yang dinyayikan segenap jemaat beriman dapat ikut serta secara aktif dengan membawakan bagian yang diperuntukkan bagi mereka, menurut kaidah art. 28 dan 30. 115. (Pendidikan musik) Pendidikan dan pelaksanaan musik hendaknya mendapat perhatian besar di Seminari-seminari, di novisiat-novisiat serta rumah-rumah pendidikan para relegius wanita maupun pria, pun juga di lembaga-lembaga lainnya dan disekolah-sekolah katolik. Untuk melaksanakan pendidikan seperti itu hendaknya para pengajar Musik Liturgi disiapkan dengan saksama. Kecuali itu dianjurkan, supaya – bila keadaan mengizinkan – didirikan Lembaga-lembaga Musik Liturgi tingkat lebih lanjut. Para pengarang lagu dan para penyayi, khususnya anak-anak, hendaknya mendapat kesempatan kesempatan untuk pembinaan Liturgi yang memadai. 116. (Nyayian Gregorian dan Polifoni) Gereja memandang nyayian Gregorian sebagai nyayian khas bagi Liturgi Romawi. Maka dari itu – bila tiada pertimbangan-pertimbangan yang lebih penting – nyayian Gregorian hendaknya diutamakan dalam upacara-upacara Liturgi. Jenis-jenis lain Musik Liturgi, terutama polifoni, sama sekali tidak dilarang dalam perayaan ibadat suci, asal saja selaras dengan jiwa upacara Liturgi, menurut ketentuan pada art. 30. 117. (Penerbitan buku-buku nyayian Gregorian) Hendaknya terbitan, otentik buku-buku nyayian Gregorian diselesaikan. Di sampi ng itu hendaknya disiapkan terbitan lebih kritis buku-buku yang telah diterbitkan sesudah pembaharuan oleh Santo Pius X. Berfaedah pula bila disiapkan terbitan yang mencantumkan lagu-lagu yang lebih sederhana, untuk dipakai dalam gereja-gereja kecil. 118. (Nyayian rohani umat) Nyayian rohani Umat hendaknya dikembangkan secara ahli, sehingga kaum beriman dapat bernyayi dalam kegiatan-kegiatan devosional dan perayaan-perayaan ibadat, menurut kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan rubrik.

119. (Musik Liturgi di daerah-daerah Misi) Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah Misi, terdapat bangsa-bangsa yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memanikan peran penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hendaknya musik itu mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang sewajarnya , baik dalam membentuk sikap religius mereka, maupun dalam menyelesaikan ibadat dengan sifat-perangai mereka, menurut maksud art. 39 dan 40. Maka dari itu dalam pendidikan musik bagi para misionaris hendaknya sungguh diusahakan, supaya mereka sedapat mungkin mampu mengembangkan musik tradisional bangsa-bangsa itu disekolah-sekolah maupun dalam ibadat. 120. (Orgel dan alat-alat musik lainnya) Dalam Gereja Latin orgel pipa hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat musik tradisional, yang suaranya mampu memeriahkan upacara-upacara Gereja secara mengagumkan, dan mengangkat hati Umat kepada Allah dan ke sorga. Akan tetapi, menurut kebijaksanaan dan dengan persetujuan pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, sesuai dengan kaidah art. 22 (2), 37 dan 40, alatalat musik lain dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam Liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan penghayatan Umat beriman. 121. (Panggilan para pengarang musik) Dipenuhi semangat kristiani, hendaknya para seniman musik menyadari, bahwa mereka dipanggil untuk mengembangkan Musik Liturgi dan memperkaya khazanahnya. Hendaklah mereka mengarang lagu-lagu, yang mempunyai sifat-sifat musik Liturgi yang sesungguhnya, dan tidak hanya dapat dinyayikan oleh paduan-paduan suara yang besar, melainkan cocok juga bagi paduan-paduan suara yang kecil, dan mengembangkan keikut-sertaan aktif segenap jemaat beriman. Syair-syair bagi nyayian Liturgi hendaknya selaras dengan ajaran katolik, bahkan terutama hendaklah ditimba dari Kitab suci dan sumber-sumber Liturgi.

BAB TUJUH KESENIAN RELEGIUS DAN PERLENGKAPAN IBADAT 122. (Martabat kesenian relegius) Pada budidaya rohani manusia yang paling luhur sangat wajarlah digolongkan seni indah, terutama kesenian relegius beserta puncaknya, yakni kesenian Liturgi. Pada hakekatnya lkesenian Liturgi itu dimaksudkan untuk dengan cara yang tak terperikan dalam karya manusia. Lagi pula semakin dikhususkan bagi Allah dan untuk memajukan puji-syukur serta kemuliaan-Nya, karena tiada tujuannya yang lain kecuali untuk dengan buah-hasilnya membantu manusia sedapat mungkin mengangkat hatinya kepada Allah. Maka dari itu Bunda Gereja yang mulia senantiasa bersikap terbuka terhadap seni indah. Gereja selalu berusaha menemukan pelayanannya yang luhur, terutama supaya perlengkapan ibadat suci sungguh menjadi layak, indah dan permai, merupakan tanda dan lambang kenyataan sorgawi; dan untuk itu Gereja selalu membina para seniman. Bahkan tepatlah Gereja selalu memandang diri berhak menilai seni indah, dan menetapkan manakah di antara karya para seniman yang selaras dengan iman, ketaqwaan dan hukum-hukum keagamaan yang tradisional, serta yang cocok untuk digunakan dalam ibadat.

Secara istimewa Gereja mengusahakan, supaya perlengkapan ibadat secara layak dan indah menyemarakkan ibadat, dengan mengizinkan dalam bahan, bentuk atau motif hiasan perubahan-perubahan, yang berkat kemajuan tehnik muncul di sepanjang sejarah. Maka mengenai hal-hal itu para Bapa Konsili berkenan menetapkan pokokpokok berikut. 123. (Corak-corak artistik) Gereja tidak menganggap satu corak kesenian pun sebagai khas bagi dirinya. Melainkan seraya memperhatikan sifat-perangai dan situasi para bangsa dan kebutuhan-kebutuhan pelbagai Ritus Gereja menyambut baik bentuk-bentuk kesenian setiap zaman, serta mengusahakan agar di sepanjang zaman khazanah kesenian dikelola dengan cermat. Juga kesenian zaman kita sekarang, pun kesenian semua bangsa dan daerah, hendaknya diberi keleluasaan dalam Gereja, asal dengan khidmat dan hormat sebagaimana harusnya mengabdi kepada kesucian gereja-gereja dan hormat sebagaimana harusnya mengabdi kepada kesucian gereja-gereja dan ritus-ritus. Dengan demikian kesenian diharapkan dapat menggabungkan suaranya pada kidung pujian yang mengagumkan, yang di masa lampau oleh para seniman yang ulang telah dianjungkan kepada imam katolik. 124. Dalam memajukan dan mendukung kesenian ibadat para pemimpin Gereja hendaknya berusaha memperhatikan pertama-tama keindahan yang luhur dan bukan kemewahan. Itu hendaknya berlaku juga bagi busana dan hiasan-hiasan untuk ibadat. Hendaknya para Uskup sungguh berusaha untuk mencegah, jangan sampai rumah-rumah Allah dan tempat-tempat ibadat lainnya kemasukan karya-karya para seniman, yang bertentangan dengan iman serta kesusilaan dan dengan kesalehan kristiani, ataupun menyinggung cita-rasa keagamaan yang sejati entah karena bentuknya serba jelek, entah karena kurangnya mutu seni, entah karena hanya setengah-setengah atau tiruan belaka. Dalam mendirikan gereja-gereja hendaknya diusahakan dengan saksama, supaya gedung-gedung itu memadai untuk menyelenggarakan upacara-upacara Liturgi dan memungkinkan Umat beriman ikut-serta secara aktif. 125. (Gambar-gambar dan patung-patung) Kebiasaan menempatkan gambar-gambar atau patung-patung kudus dalam gereja untuk dihormati oleh kaum beriman hendaknya dilestarikan. Tetapi jumlahnya jangan berlebih-lebihan, dan hendaknya disusun dengan laras, supaya jangan terasa janggal oleh Umat kristiani, dan jangan memungkinkan timbulnya devosi yang kurang kuat. 126. Untuk menilai karya-karya seni hendaknya para Uskup mendengarkan Panitia keuskupan untuk Kesenian Liturgi, dan – bila perlu – juga pakar-pakar lain, serta Panitia-panitia yang disebut dalam art. 44, 45, 46. Hendaknya para Pimpinan Gereja menjaga dengan saksama, jangan sampai perlengkapan ibadat atau karya-karya seni, yang merupakan hiasan rumah Allah, dipindah-tangankan atau rusak. 127. (Pembinaan para seniman) Hendaknya para Uskup – entah mereka sendiri, atau melalui imam yang cocok untuk tugas itu, mahir dan mempunyai minat besar terhadap kesenian, - memberi perhatian kepada para seniman, supaya mereka diresapi semangat kesenian ibadat dan Liturgi suci. Selain itu dianjurkan, supaya didaerah-daerah yang kiranya memerlukannya didirikan sekolah-sekolah atau akademi-akademi kesenian ibadat untuk membina para seniman. Semua seniman, yang terdorong oleh bakat mereka bermaksud mengabdikan diri kepada kemuliaan Allah dalam Gereja suci hendaknya selalu ingat, bahwa mereka dipanggil untuk dengan cara tertentu meneladan Allah Pencipta, dan menghadapi

karya-karya yang dikhususkan bagi ibadat katolik, bagi pembinaan serta ketaqwaan Umat beriman, dan bagi pendidikan keagamaan mereka. 128. (Peninjauan kembali peraturan tentang kesenian ibadat) Bersama dengan peninjauan kembali buku-buku liturgi menurut kaidah art. 25, hendaknya Hukum serta ketetapan-ketetapan Gereja mengenai benda-benda perlengkapa n ibadat pun selekas mungkin ditinjau kembali. Adapun peraturanperaturan itu terutama menyangkut pembangunan rumah-rumah ibadat yang pantas dan cocok, mengenai bentuk dan pembuatan altar, mengenai keanggunan, penempatan serta keamanan tabernakel untuk Ekaristi suci, mengenai letak panti Baptis yang baik dan kelayakannya, begitu pula mengenai cara memperlakukan dengan tepat gambar-gambar atau patung-patung kudus, hiasan maupun pajangan. Apa saja yang kiranya kurang cocok dengan Liturgi baru hendaknya diperbaiki atau ditiadakan. Sedangkan apapun yang memajukannya dilestarikan atau ditambahkan. Dalam hal itu, terutama berkenaan dengan bahan dan bentuk perlengkapan serta pakaian ibadat, diberikan wewenang kepada Konferensi Uskup sewilayah, untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan serta adat-istiadat setempat, menurut kaidar art. 22 Konferensi ini. 129. (Pembinaan kesenian bagi kaum rohaniwan) Selama menekuni studi filsafah dan teologi, para rohaniwan hendaknya mendapat pelajaran tentang sejarah kesenian gerejawi serta perkembangannya, pun juga tentang azaz-azaz yang sehat, yang harus mendasari karya-karya kesenian itu. Dengan demikian mereka akan menghargai dan menjaga lestarinya peninggalanpeninggalan Gereja yang terhormat, dan akan mampu memberi nasehat-nasehat yang cocok kepada para seniman untuk mengerjakan karya mereka. 130. (Penggunaan lambang-lambang jabatan Uskup) Sudah sepantasnyalah lambang-lambang jabatan Uskup hanya boleh dikenakan oleh para rohaniwan yang ditandai oleh materai episkopal, atau mempunyai suatu yurisdiksi istimewa.

LAMPIRAN PERNYATAAN KONSILI EKUMENIS VATIKAN II TENTANG PENINJAUAN KEMBALI PENANGGALAN LITURGI Banyaklah jumlah mereka yang berhasrat, agar hari raya Paska ditetapkan pada hari Minggu tertentu, dan disusun penanggalan Liturgi yang tetap. Konsili Ekumenis Vatikan II menilai hasrat itu sangat penting, dan telah mempertimbangkan dengan cermat semua akibat yang mungkin timbul bila penanggalan baru itu mulai digunakan. Maka Konsili menyampaikan pernyataan sebagai berikut: 1. Konsili suci tidak berkeberatan, bahwa hari raya Paska ditetapkan pada hari Minggu tertentu dalam Penaggalan Gregorian, asal mereka yang berkepentingan menyetujuinya, terutama para saudara yang berada diluar persekutuan dengan Takhta Apostolik. 2. Begitu pula Konsili suci menyatakan dirinya tidak berkeberatan terhadap usahausaha yang telah dirintis, untuk mengadakan penaggalan tetap dalam masyarakat sipil. Akan tetapi diantara pelbagai sistem, yang dipikirkan untuk menciptakan penanggalan yang tetap dan memberlakukannya bagi masyarakat sipil, yang tidak ditentang oleh Gereja hanyalah sistem-sistem, yang melestarikan serta mempertahankan pekan dengan tujuh hari termasuk hari Minggu, tanpa menyisipkan hari-hari lain diluar pekan itu, sehingga rangkaian pekan-pekan tetap terpelihara

seutuhnya kecuali bila ada alasan-alasan yang sungguh berat. Mengenai hal itu Takhta Apostoliklah yang akan mengambil keputusan. Semua itu dan setiap hal yang dinyatakan dalam Konstitusi ini telah berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Adapun Kami, dengan kuasa kerasulan yang diserahkan Kristus kepada Kami, bersama dengan para Bapa yang terhormat, mengesahkan, menetapkan serta mengundangkannya dalam Roh Kusus. Dan Kami memerintahkan, agar apa yang telah ditetapkan bersama dalam Konsili ini diumumkan demi kemuliaan Allah. Roma, di Gereja Santo Petrus, tanggal 4 Desember tahun 1963 Saya PAULUS Uskup Gereja Katolik (Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)

PAULUS USKUP HAMBA PARA HAMBA ALLAH BERSAMA-BAPA-BAPA KONSILI SUCI DEMI KENANGAN ABADI

DEKRIT TENTANG UPAYA-UPAYA KOMUNIKASI SOSIAL PENDAHULUAN 1. (Makna suatu ungkapan) DI ANTARA penemuan-penemuan teknologi yang MENGAGUMKAN, yang terutama pada zaman sekarang, berkat perkenaan Allah, telah digali oleh kecerdasan manusia dari alam tercipta, yang oleh Bunda Gereja disambut dan diikuti dengan perhatian istimewa ialah penemuan-penemuan, yang pertama-tama menyangkut jiwa manusia, dan membuka peluang-peluang baru untuk menyalurkan dengan lancar sekali segala macam berita, gagasan-gagasan, pedoman-pedoman. Diantara penemuan-penemuan itu yang paling menonjol ialah upaya-upaya, yang pada hakekatnya mampu mencapai dan menggerakkan gukan hanya orang-orang perorangan, melainkan juga massa, bahkan seluruh umat manusia; misalnya: media cetak, sinema, radio, televisi dan sebagainya, yang karena itu memang tepatlah disebut media komunikasi sosial. 2. (Mengapa Konsili membahas masalah komunikasi sosial) Bunda Gereja menyadari, bahwa upaya-upaya itu, kalau digunakan dengan tepat, dapat berjasa besar bagi umat manusia, sebab sangat membantu untuk menyegarkan hati dan mengembangkan budi, dan untuk menyiarkan serta memantapkan Kerajaan Allah. Gereja menyadari pula bahwa manusia dapat menyalahgunakan media itu melawan maksud Sang Pencipta ilahi dan memutarbalikannya sehingga mengakibatkan kebinasaan. Bahkan hatinya yang penuh keibuan merasa cemas dan sedih, menyaksikan betapa besarlah kerugian yang sering sekali ditimbulkan bagi masyarakat karena penyalahgunaannya. Maka Konsili mendukung sepenuhnya perhatian dan kewaspadaan para Paus dan Uskup dalam perkara sepenting itu, dan memandang sebagai kewajibannya membahas masalah-masalah utama berkenaan dengan upaya-upaya komunikasi sosial. Selain itu Konsili percaya, bahwa ajarannya maupun tata-laksana yang disajikannya, akan bermanfaat bukan saja bagi keselamatan umat beriman kristen, melainkan juga bagi kemajuan seluruh masyarakat.

BAB SATU

AJARAN GEREJA 3. (Tugas-kewajiban Gereja) Gereja katolik didirikan oleh Kristus Tuhan demi keselamatan semua orang; maka merasa terdorong oleh kewajiban untuk mewartakan Injil. Karena itulah Gereja memandang sebagai kewajibannya, untuk juga dengan memanfaatkan media komunikasi sosial menyiarkan Warta Keselamatan, dan mengajarkannya, bagaimana manusia dapat memakai media itu dengan tepat.

Maka pada hakikatnya Gereja berhak menggunakan dan memiliki semua jenis media itu, sejauh diperlukannya atau berguna bagi pendidikan kristen dan bagi seluruh karyanya demi keselamatan manusia. Adapun cara Gembala bertugas memberi pengajaran dan bimbingan kepada umat beriman, supaya dengan bantuan upaya-upaya itu mereka mengejar keselamatan dan kesempurnaan mereka sendiri dan segenap keluarga manusia. Terutama termasuk panggilan kaum awam, untuk menjiwai media komukasi itu dengan semangat manusiawi dan kristen, supaya menanggapi sepenuhnya harapan besar masyarakat dan maksud Allah. 4. (Hukum moral) Untuk menggunakan upaya-upaya itu dengan tepat, sungguh perlulah bahwa sipa saja yang memakainya mengetahui norma-norma moral, dan dibidang itu mempraktekkannya dengan setia. Maka hendaknya mereka menelaah bahan, yang dikomunikasikan sesuai dengan sifat khas masing-masing medium. Sekaligus hendaklah mereka pertimbangkan juga situasi maupun kondisi-kondisi, yakni : tujuan, orang-orang, tempat, waktu, dan hal-hal lain yang menyangkut komunikasinya sendiri. Sebab konteks itu dapat mengubah kadar moralnya, bahkan mengubahnya sama sekali. Antara lain perlu diperhatikan cara berfungsi yang khas bagi masing-masing medium; begitu pula daya pengaruhnya, yang dapat sedemikian besar, sehingga orang-orang, terutama kalau tidak siap, cukup sulit menyadarinya, mengendalikannya, dan bila perlu menolaknya. Pertama-tama sungguh perlulah, bahwa siapa saja yang berkepentingan dengan cermat membina suara hatinya sendiri tentang pemakaian media itu, terutama berkenaan dengan berbagai masalah, yang sekarang ini sedang diperdebatkan dengan sengit. 5. (Hak atas informasi) Masalah pertama menyangkut apa yang disebut informasi, atau pengumpulan dan penyiaran berita-berita. Tentu sudah jelaslah, bahwa, karena kemajuan masyarakat zaman sekarang dan ikatan-ikatan yang makin erat antara para warganya, informasi itu berfaedah sekali dan kebanyakan amat dibutuhkan. Sebab komunikasi peristiwa-peristiwa maupun hal-hal yang berlangsung secara umum dan tepat pada waktunya menyajikan pengertian yang cukup lengkap dan berkesinambungan kepada siapa saja, sehingga khalayak ramai dapat secara efektif bekerja sama demi kesejahteraan umum, dan serentak serta lebih mudah mendukung usaha meningkatkan kemajuan seluruh masyarakat. Jadi masyarakat berhak atas informasi tentang apa saja yang menyangkut kepentingan baik perorangan maupun masyarakat itu secara keseluruhan, sesuai dengan situasi masing-masing. Tetapi cermatnya pelaksanaan hak itu meminta, supaya mengenai objeknya komunikasi itu selalu benar dan – dengan mengindahkan keadilan serta cinta kasih – bersifat lengkap. Selain itu mengenai caranya, hendaklah berlangsung dengan jujur dan memenuhi syarat; maksudnya: hendaknya komunikasi itu mengindahkan sepenuhnya hukum-hukum moral, hak-hak manusia yang semestinya serta martabat pribadinya, dalam mengumpulkan maupun menyiarkan berita-berita. Sebab tidak setiap pengetahuan itu berguna, “tetapi cinta kasih membangun” (1Kor 8:1). 6. (Kesenian dan moral) Soal kedua menyangkut hubungan timbal-balik antara apa yang sekarang lazim disebut hak-hak kesenian dan kaedah-kaedah hukum moral. Perdebatan yang makin gencar tentang masalah itu tidak jarang bersumber pada ajaran-ajaran sesat tentang etika dan estetika. Maka Konsili menyatakan, bahwa semua orang secara mutlak wajib berpegang teguh pada prioritas tata moral yang objektif. Karena tata moral itulah satu-satunya yang mengatasi dan memperpadukan secara serasi tata nilai-nilai manusiawi lainnya, tidak terkecualikan kesenian, betapa pun luhur nilai-nilai itu. Sebab hanya tata moral itulah yang melibatkan manusia, makhluk Allah yang berbudi dan dipanggil untuk tujuan adikodrati, menurut hakekatnya seutuhnya. Tata moral itu jugalah, yang bila dipatuhi

sepenuhnya dan dengan setia, mengatur manusia untuk mencapai kepenuhan, kesempurnaan serta kebahagiannya. 7. (Pemberitaan kejahatan moral) Akhirnya pemberitaan, penguraian atau penggambaran kejahatan moral, juga melalui media komunikasi sosial, memang dapata membantu secara lebih mendalam memahami dan menjajagi manusia, untuk menampilkan dan mengagungkan keluruhan, kebenaran dan kebaikan, dan dengan pemberitaan itu dapat diperoleh dampak-dampak dramatis yang lebih berfaedah juga. Akan tetapi, supaya jangan lebih merugikan daripada menguntungkan khalayak ramai, hendaknya penuturan dan penampilannya sepenuhnya mematuhi hukum-hukum moral, terutama bila menyangkut hal-hal yang meminta dihormati semestinya, atau yang lebih mudah merangsang nafsu-nafsu jahat manusia, yang terluka akibat dosa asal. 8. (Pendapat umum) Sekarang ini pendapat-pendapat umum mempunyai dampak dan daya pengaruh yang besar sekali atas perihidup disegala lapisan, baik masyarakat secara keseluruhan maupun warganya secara perorangan. Maka perlulah semua anggota masyarakat memenuhi tugas-kewajiban keadilan dan cinta kasih, juga dibidang komunikasi sosial. Oleh karena itu hendaklah mereka, juga melalui media komunikasi itu, berusaha membentuk dan menyebarluaskan pandanganpandangan umum yang sesuai dengan kebenaran. 9. (Kewajiban-kewajiban para pemakai media komunikasi sosial) Kewajiban-kewajiban khusus mengikat semua penerima, yakni para pembaca, pemirsa dan pendengar, yang atas pilihan pribadi dan bebas menampung informasi-informasi yang disiarkan oleh media itu. Sebab cara memilih yang tepat meminta, supaya mereka mendukung sepenuhnya segala sesuatu yang menampilkan nilai keutamaan, ilmu-pengetahuan dan pengetahuan. Sebaliknya hendaklah mereka menghindari apa saja, yang bagi diri mereka sendiri menyebabkan atau memungkinkan timbulnya kerugian rohani, atau yang dapat membahayakan sesama karena contoh yang bururk, atau menghalang-halangi tersebarnya informasi yang baik dan mendukung tersiarnya informasi yang buruk. Hal itu kebanyakan terjadi dengan membayar iuran kepada para penyelenggara, yang memanfaatkan media itu karena alasan-alasan ekonomi semata-mata. Maka supaya para penerima itu mematuhi hukum moral, hendaknya mereka jangan melalaikan kewajiban, untuk pada waktunya mencari informasi tentang penilaian-penilaian yang mengenai semuanya itu diberikan oleh instansi-instansi yang berwenang, dan untuk mengikutinya sebagai pedoman menurut suara hati yang cermat. Untuk lebih mudah melawan dampak-dampak yang merugikan, dan mengikuti sepenuhnya pengaruh-pengaruh yang baik, hendaknya mereka berusaha mengarahkan dan membina suara hati mereka dengan upaya-upaya yang cocok. 10. (Kewajiban-kewajiban kaum muda dan para orang tua) Hendaknya para penerima, terutama dikalangan kaum muda berusaha, supaya dalam memakai upaya-upaya komunikasi sosial mereka belajar mengendalikan diri dan menjaga ketertiban. Kecuali itu hendaklah mereka berusaha memahami secara lebih mendalam apa yang mereka lihat, dengar dan baca. Hendaklah itu mereka percakapkan dengan para pendidik dan para ahli, dan dengan demikian mereka belajar memberi penilaian yang saksama. Sedangkan para orang-tua hendaknya menyadari sebagai kewajiban mereka: menjaga dengan sungguhsungguh, supaya tayangan-tayangan, terbitan-terbitan tercetak dan lain sebagainya, yang bertentangan dengan iman serta tata susila, jangan sampai memasuki ambang pintu rumah tangga, dan jangan sampai anak-anak menjumpainya diluar lingkup keluarga.

11. (Kewajiban-kewajiban para penyelenggara) Kewajiban moral utama untuk dengan tepat menggunakan upaya-upaya komunikasi sosial ada pada para wartawan, pengarang, aktor, penulis skenario, pelaksana, penyusun acara, distributor, produsen, pemasar, resensor, dan orangorang lain, yang dengan cara manapun juga berperan serta dalam pelaksanaan dan penyaluran komunikasi. Sebab sudah jelas sekali manakah dan betapa berat kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggungan mereka semua dalam situasi zaman sekarang, karena mereka itulah yang dengan memberi informasi dan menggerakkkan sesama dapat menempatkan umat manusia pada jalan yang benar atau yang salah. Maka termasuk tugas merekalah menyelaraskan faktor-faktor ekonomi, politik dan kesenian sedemikian rupa, sehingga tidak pernah akan ada yang berlawanan dengan kesejahteraan umum. Supaya maksud itu tercapai dengan lebih lancar, seyogyanyalah mereka menggabungkan diri dengan organisasi-organisasi profesi mereka, yang mampu mewajibkan para anggotanya menghormati hukum-hukum moral dalam menghadpi masalah-masalah maupun kegiatan profesi mereka, juga bila perlu dengan mengadakan perjanjian untuk mematuhi kode moral. Hendaklah mereka senantiasa menyadari bahwa sebagian besar para pembaca dan pirsawan terdiri dari angkatan muda, yang membutuhkan media cetak maupun tayangan-tayangan, yang menyajikan hiburan-hiburan sehat dan mengarahkan hati kepada perkara-perkara yang lebih luhur selain itu hendaknya mereka mengusahakan, supaya komunikasi tentang soal-soal keagamaan dipercayakan kepada pribadi-pribadi yang layak dan ahli, dan pelaksanaanya disertai sikap hormat sebagaimana mestinya. 12.(Kewajiban-kewajiban pemerintah) Dalam hal komunikasi sosial pemerintah terikat kewajiban-kewajiban khas demi kesejahteraan umum, yang merupakan tujuan media itu. Sebab termasuk tugas pemerintah, sesuai dengan fungsinya, untuk membela dan melindungi kebebasan yang sejati dan sewajarnya perihal informasi, terutama kebebasan media cetak. Sebab kebebasan itulah yang sungguh diperlukan bagi masyarakat zaman sekarang demi perkembangannya. Pemerintah wajib pula ikut mengembangkan nilai-nilai keagamaan, budaya dan kesenian; begitu pula melindungi para pemakai jasa komunikasi sosial, supaya dapat dengan bebas menggunakan hak-hak mereka yang sewajarnya. Selain itu pemerintah wajib membantu usaha-usaha, yang sungguhpun terutama bagi generasi muda berfaedah sekali, tidak dapat dijalankan tanpa bantuan itu. Akhirnya pemerintah, yang sudah sewajarnya memelihara kesehatan para warga negara, terikat kewajiban, melalui perundang-undangan yang pelaksanaannya ditegakkan dengan sungguh, untuk menjamin dengan adil dan saksama, jangan sampai dari penyalahgunaan media komunikasi sosial timbul bahaya-bahaya yang gawat bagi kesusilaan umum serta kemajuan masyarakat. Dengan adanya perhatian penuh kewaspadaan itu kebebasan perorangan maupun kelompok-kelompok sedikitpun tidak terancam, terutama bila dari pihak mereka, yang menggunakan media itu berdasarkan profesi mereka, tidak ada langkahlangkah pengamanan efektif. Secara istimewa hendaklah ada usaha-usaha pengamanan untuk melindungi angkatan muda terhadap media cetak dan tayangan-tayangan, yang mengingat umur mereka merugikan.

BAB DUA

KEGIATAN PASTORAL GEREJA 13.(Kegiatan para Gembala dan umat beriman) Hendaklah semua putera-puteri Gereja serentak dan secara sekarela mengusahakan, agar upaya-upaya komunikasi sosial dengan cekatan dan seintensif mungkin dimanfaatkan secara efektif dalam aneka macam karya kerasulan, menganggapi tuntutan situasi setempat dan semasa. Hendaknya mereka mencegah usaha-usaha yang merugikan, terutama didaerah-daerah, yang perkembangan moril serta keagamaannya mengundang kegiatan-kegiatan yang lebih mendesak. Hendaklah para Gembala dibidang itu pun dengan tangkas menunaikan tugas mereka, karena tugas itu berhubungan erat dengan kebajiban harian mereka mewartakan Injil. Para awam pun yang berperan dalam penggunaan media itu, hendaknya berusaha memberi kesaksian tentang Kristus, terutama dengan menunaikan tugas mereka masing-masing penuh keahlian dan berjiwa kerasulan; bahkan juga dengan secara langsung menyumbangkan jasa-jasa mereka dibidang tehnik, ekonomi, kebudayaan dan kesenian bagi kegiatan pastoral Gereja, sesuai dengan posisi mereka. 14.(Prakarsa-prakarsa umat katolik) Terutama hendaklah didukung pengembangan pe rs yang sehat. Untuk sepenuhnya meresapkan semangat kristen di kalangan pembaca, hendaklah dibangun dan dikembangkan pers katolik yang sejati, yakni: - entah itu secara langsung di dukung oleh dan tergantung dari Pimpinan Gereja sendiri, entah dari orang-orang katolik perorangan, - media cetak itu hendaknya jelas-jelas diterbitkan dengan maksud untuk membina, meneguhkan dan menumbuhkan pandangan-pandangan umum selaras dengan hak-hak asasi dan dengan ajaran serta prinsip-prinsip katolik, begitu pula untuk menyebarluaskan serta mebahas dengan cermat peristiwa-peristiwa yang menyangkut kehidupan Gereja. Hendaklah umat beriman diingatkan akan perlunya membaca dan menyebarkan pers katolik, untuk membuat penilaian kristen tentang segala kejadian. Produksi dan penayangan film-film sebagai upaya untuk menyajikan hiburan yang sehat, untuk mengembangkan kebudayaan dan meningkatkan mutu kesenian, khususnya yang dipruntukkan bagi kaum muda, hendaklah didorong dan dijamin mutunya dengan segala upaya yang efektif. Itu terutama dapat dilaksanakan dengan membantu serta bekerja sama dengan kegiatan-kegiatan serta prakarsa-prakarsa para produsen maupun distributor yang beritikad baik, dengan mempromosikan film-film yang layak dipuji melalui kritik yang positif maupun hadiah-hadiah, dengan mendukung serta menggabungkan gedunggedung bioskop milik usahawan-usahawan katolik yang terpandang. Begitu pula hendaklah disediakan bantuan yang efektif bagi siaran-siaran radio dan televisi yang bermutu, terutama yang cocok bagi keluarga. Hendaknya dikembangkan secara intensif siaran-siaran katolik, yang dapat mengundang para pendengar dan pemirsa untuk ikut menghayati kehidupan Gereja, dan meresapkan kebenaran-kebenaran keagamaan dihati mereka. Bila perlu hendaklah diusahakan dengan sungguh pembangunan pemancar-pemancar katolik. Tetapi hendaknya diusahakan pula, agar siaran-siarannya unggul karena mutu maupun efisiensinya. Kecuali itu hendaklah diupayakan juga, supaya seni sandiwara yang sudah ada sejak dulu dan sungguh bermutu, pun sudah luas tersebar berkat media komunikasi sosial, mendukung pembinaan kemanusiaan dan kesusilaan para penonton.

15.(Pembinaan para produsen) Supaya kebutuhan-kebutuhan itu tadi benar-benar ditanggapi, hendaklah para imam, para religius dan kaum awam dibenahi pada waktunya, supaya mereka mempunyai kemahiran secukupnya untuk mengarahkan media komunikasi itu kepada tujuan kerasulan. Pertama-tama kaum awam perlu dibekali dengan persiapan ketrampilan, pengetahuan ajaran dan moral. Untuk maksud itu perlu ditingkaykan jumlah sekolah-sekolah, fakultas-fakultas dan lembaga-lembaga, yang membuka peluang bagi para wartawan, para pencipta film serta pengarang siaran radio maupun televisi, begitu pula pihak-pihak lain yang berkepentingan, untuk menerima pendidikan yang lengkap dan diresapi semangat kristen, terutama berkenaan dengan ajaran sosial Gereja. Juga para aktor memerlukan pendidikan dan pertolongan, supaya melalui kesenianmereka dapat memberi sumbangan kepada masyarakat. Akhirnya perlu disiapkan secara intensif pula para kritikus di bidang sastra, sinema, radio, televisi dan sebagainya, yang sungguh mahir di bidang kejuruan masing-masing, dan dilatih serta didorong untuk menyampaikan penilaian mereka, yang selalu dengan jelas menggaribawahi segi moralnya. 16.(Pembinaan para pemakai jasa) Tepatnya penggunaan media komunikasi sosial yang tersedia bagi para pemakai jasa dalam usia dan dengan tingkatan budaya yang begitu beraneka, memerlukan pendidikan maupun latihan yang khas dan sesuai bagi mereka. Maka disekolahsekolah katolik pada segala tingkat, diseminari-seminari maupun dalam kelompokkelompok kerasulan awam, usaha-usaha yang menolong untuk mencapai tujuan itu – terutama bila diperlukan bagi kaum muda – hendaklah dikembangkan, dilipatgandakan dan diarahkan menurut asas-asas moral kristen. Supaya pelaksanaannya lebih lancar, hendaklah ajaran dan tata-laksana katolik dibidang itu disampaikan dan dijelaskan dalam katekese. 17.(Upaya-upaya teknis dan ekonomis) Sama sekali tidak pantaslah bagi putera-puteri Gereja untuk secara apatis membiarkan saja sabda tentang keselamatan terikat dan terhalang akibat kesulitan-kesulitan teknis atau tersendatnya pembiayaan yang memang berat sekali, dan khusus terkait pada pemakaian media komunikasi sosial. Maka Konsili suci ini mengingatkan, bahwa mereka wajib menopang kelestarian serta membantu harian-harian atau majalah-majalah katolik, kegiatan-kegiatan perfilman katolik, dan pemancar-pemancar serta siaran-siaran radio maupun televisi katolik, yang tujuan utamanya ialah : serentak mewartakan dan membela kebenaran, dan menyelenggarakan pendidikan kristen bagi masyarakat luas. Skalihus Konsili menganjurkan dengan sangat kepada organisasi-organisasi serta tokoh-tokoh perorangan, yang berpengaruh besar dibidang ekonomi maupun teknologi, supaya mereka yang sukarela dan murah hati membantu dengan sumber dana serta keahlian mereka kelangsungan media komunikasi sosial, sejauh mendukung kebudayaan sejati dan kerasulan. 18.(Sekali setahun: hari komunikasi sosial) Supaya kerasulan Gereja yang bermacam-macam dibidang upaya-upaya komunikasi sosial makin dimantapkan secara efektif, hendaknya disemua keuskupan, atas kebijaksanaan para Uskup, setiap tahun dirayakan hari komunikasi sosial. Pada hari itu umat beriman diajak menyadari kewajibankewajiban mereka dibidang itu, memanjatkan doa-doa baginya, dan mengumpulkan dana untuk maksud itu. Dana itu hendaknya digunakan dengan cermat untuk menghidupi dan menyokong lembaga-lembaga serta usaha-usaha yang dianjurkan oleh Gereja, menanggapi kebutuhan-kebutuhan seluruh dunia katolik.

19.(Sekretariat pada Takhta suci) Dalam menunaikan reksa pastoral tertinggi sekitar media komunikasi sosial tersedialah untuk mendampingi Sri Paus Sekretariat khusus pada Takhta suci(1). 20.(Wewenang para Uskup) Termasuk wewenang para Uskup menyimak dan memajukan kegiatan-kegiatan serta usaha-usaha dibidang itu dalam keuskupan mereka, dan mengarahkannya sejauh menyangkut kerasulan umum, tidak terkecualikan usaha-usaha yang dikelola oleh para religius eksem. 21.(Biro nasional) Supaya kerasulan menjadi efektif untuk seluruh negara, diperlukan kesatuan perencanaan dan usaha-usaha. Maka Konsili menetapkan dan memerintahkan, agar dimana-mana didirikan Biro Nasional untuk media cetak, film, radio dan televisi, dan Biro itu dibantu sedapat mungkin. Tugasnya terutama ialah mengusahakan, agar suara hati umat beriman dibina dengan tepat untuk memanfaatkan upaya-upaya komunikasi sosial sebagaimana mestinya, dan untuk mendorong serta mengarahkan usaha mana pun yang dibidang ini dijalankan oleh umat katolik. Hendaklah disetiap Negara kepengurusan Biro dipercayakan kepada kelompok khusus Uskup-Uskup, atau seorang Uskup sebagai wakil. Dalam Biro itu hendaknya berperan-serta juga sejumlah awam, yang mahir dalam ajaran katolik dan berkualifikasi di bidang teknologi yang bersangkutan. 22.(Organisasi-organisasi internasional) Selain itu dampak-pengaruh media komunikasi sosial melampaui batas-batas negara, dan setiap orang bagaikan menjadi warga segenap persekutuan manusia. Maka hendaklah dibidang itu usaha-usaha ditingkat nasional menggalang kerja sama juga dalam lingkup internasional. Hendaknya Biro-Biro, yang disebutkan dalam artikel 21, bekerja sama secara aktif dengan Organisasi Katolik Internasional yang berkaitan. Organisasi-organisasi Katolik Internasional itu hanya dapat disetujui secara sah oleh Takhta suci, dan tergantung daripadanya.

PENUTUP 23.(Instruksi pastoral) Supaya semua prinsip-prinsip maupun pedoman-pedoman Konsili suci tentang media komunikasi sosial sungguh dilaksanakan, atas perintah eksplisit Konsili hendaklah diterbitakan Instruksi pastoral yang disusun oleh Sekretariat pada Takhta suci, yang disebut dalam artikel 19, dengan bantuan pakar-pakar dari pelbagai negara. 24.(Anjuran akhir) Konsili percaya, bahwa prinsip-prinsip dan pedoman-pedoman dalam Dekrit ini akan diterima dengan senang hati dan dipatuhi dengan tertib oleh semua puteraputeri Gereja. Dengan menggunakan upaya bantuan itu mereka tidak akan mengalami kerugian, melainkan justru bagaikan garam dan terang akan mengasinkan bumi dan menyinari dunia. Selain itu Konsili mengundang semua orang yang beritikad baik, terutama mereka yang mengatur penggunaan media itu, 1

Para Bapa Konsili dengan senang hati mendukung himbauan “Sekretariat untuk Pers dan Teater”, yang memohon penuh hormat kepada Paus, supaya tugas-tugas serta kewenangan Sekretariat diperluas meliputi semua media komunikasi sosial, tidak terkecuali media cetak, dengan mengikutsertakan para pakar, juga para awam, dari pelbagai bangsa.

supaya mereka berusaha mengarahkan upaya-upaya itu kepada kesejahteraan masyarakat semata-mata, yang untung-malangnya semakin tergantung dari tepatnya penggunaan media. Maka dari itu hendaklah Nama Tuhan diluhurkan oleh penemuan-penemuan baru itu, seperti sejak semula telah dimuliakan oleh monumen-monumen kesenian yang agung, seturut sabda Rasul : “Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya” (Ibr 13:8).

Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah. Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 4 bulan Desember tahun 1963 Saya PAULUS Uskup Gereja Katolik

(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)

PAULUS USKUP HAMBA PARA HAMBA ALLAH BERSAMA-BAPA-BAPA KONSILI SUCI DEMI KENANGAN ABADI

KONSTITUSI DOGMATIS TENTANG GEREJA BAB SATU

MISTERI GEREJA 1. (Pendahuluan) TERANG PARA BANGSALAH Kristus itu. Maka Konsili suci ini, yang terhimpun dalam Roh Kudus, ingin sekali menerangi semua orang dalam cahaya Kristus, yang bersinar pada wajah Gereja, dengan mewartakan Injil kepada semua makhluk (Lih. Mrk 16:15). Namun Gereja itu dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia. Maka dari itu menganut ajaran Konsili-konsili sebelum ini, Gereja bermaksud menyatakan dengan lebih cermat kepada umatnya yang beriman dan kepada seluruh dunia, manakah hakekat dan perutusannya bagi semua orang. Keadaan zaman sekarang lebih mendesak Gereja untuk menunaikan tugas secara lebih erat berkat pelbagai hubungan sosial, teknis dan budaya, memperoleh kesatuan sepenuhnya dalam Kristus. 2. (Rencana Bapa yang bermaksud menyelamatkan semua orang) Atas keputusan kebijaksanaan serta kebaikan-Nya yang sama sekali bebas dan rahasia, Bapa yang kekal menciptakan dunia semesta. Ia menetapkan, bahwa Ia akan mengangkat manusia untuk ikut serta menghayati hidup Ilahi. Ketika dalam diri Adam umat manusia jatuh, Ia tidak meninggalkan mereka, melainkan selalu membantu mereka supaya selamat, demi Kristus Penenbus, “citra Allah yang tak kelihatan, yang sulung dari segala makluk” (Kol 1:15). Adapun semua orang, yang sebelum segala zaman telah dipilih oleh Bapa, telah dikenal-Nya dan ditentukanNya sejak semula, untuk menyerupai citra putera-Nya, supaya Dialah yang menjadi sulung diantara banyak saudara (Rom 8:29). Bapa menetapkan untuk menghimpun mereka yang beriman akan Kristus dalam Gereja kudus. Gereja itu sejak awal dunia telah dipr alambangkan, serta disiapkan dalam sejarah bangsa Israel dan dalam perjanjian lama(1). Gereja didirikan pada zaman terakhir, ditampilkan berkat pencurahan Roh, dan akan disempurnakan pada akhir zaman. Dan pada saat itu seperti tercantum dalam karya tulis para Bapa yang suci, semua orang yang benar sejar Adam, “dari Abil yang saleh hingga orang terpilih yang terakhir”(2), akan dipersatukan dalam Gereja semesta dihadirat Bapa. 3. (Perutusan Putera) Maka datanglah Putera. Ia diutus oleh Bapa, yang sebelum dunia terjadi telah memilih kita dalam Dia, dan menentukan, bahwa kita akan diangkat-Nya menjadi putera-putera-Nya. Sebab Bapa berkenan membaharui segala sesuatu dalam Kristus (lih Ef 1:4-5 dan 10). Demikianlah untuk memenuhi kehendak Bapa Kristus memulai Kerajaan sorga didunia, dan mewahyukan rahasia-Nya kepada 1

2

Lih S. SIPRIANUS, Surat 64, 4: PL. 3,1017; CSEL (Hartel), III B, hlm.720. – S. SIPRIANUS dari Poiteirs, Komentar pada Mat 23:6: PL. 9,1047. – S.AGUSTINUS, di pelbagai karyanya. – S. SIRILUS dari Iskandaria, Tentang Kej, 2:10: PG. 69,110A. Lih S. GREGORIUS AGUNG, Homili tentang Injil, 19,1: PL 76,1154B. – S. AGUSTINUS, Kotbah 341,9,11: PL 39,1499 dsl. – S. YOHANES dari Damsyik, Melawan par a pengrusak Ikon 11: PG 96, 1357.

kita, serta dengan ketaatan-Nya Ia melaksanakan penebusan kita. Gereja, atau kerajaan Kristus yang sudah hadir dalam misteri, atas kekuatan Allah berkembang secara nampak didunia. Permulaan dan pertumbuhan itulah yang ditandakan dengan darah dan air, yang mengalir dari lambung Yesus yang terluka dikayu salib (lih Yoh 19:34). Itulah pula yang diwartakan sebelumnya ketika Tuhan bersabda tentang wafat-Nya disalib: “Dan apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang kepada-Ku” (Yoh 12:32 yun). Setiap kali dialtar dirayakan korban salib, tempat “Anak Domba Paska kita, yakni Kristus, telah dikorbankan” (1Kor 5:7), dilaksanakanlah karya penebusan kita. Dengan sakramen roti Ekaristi itu sekaligus dilambangkan dan dilaksanakan kesatuan umat beriman, yang merupakan satu tubuh dalam Kristus (lih 1Kor 10:17). Semua orang dipanggil kearah persatuan dengan Kristus itu. Dialah terang dunia. Kita berasal daripadaNya, hidup karena-Nya, menuju kepada-Nya. 4. (Roh Kudus yang menguduskan Gereja) Ketika sudah selesailah karya, yang oleh Bapa dipercayakan kepada Putera untuk dilaksanakan didunia (lih Yoh 17:4), diutuslah Roh Kudus pada hari Pentekosta, untuk tiada hentinya menguduskan Gereja. Dengan demikian umat beriman akan dapat mendekati Bapa melalui Kristus dalam satu Roh (lih Ef 2:18). Dialah Roh kehidupan atau sumber air yang memancar untuk hidup kekal (lih Yoh 4:14; 7:3839). Melalui Dia Bapa menghidupkan orang-orang yang mati karena dosa, sampai Ia membangkitakan tubuh mereka yang fana dalam Kristus (lih Rom 8:10-11). Roh itu tinggal dalam Gereja dan dalam hati umat beriman bagaikan dalam kenisah (lih 1Kor 3:16; 6:19). Dalam diri mereka Ia berdoa dan memberi kesaksian tentang pengangkatan mereka menjadi putera (lih Gal 4:6; Rom 8:15-16 dan 26). Oleh Roh Gereja diantar kepada segala kebenaran (lih Yoh 16:13), dipersatukan dalam persekutuan serta pelayanan, diperlengkapi dan dibimbing dengan aneka kurnia hirarkis dan karismatis, serta disemarakkan dengan buah-buah-Nya (lih Ef 4:1112; 1Kor 12:4; Gal 5:22). Dengan kekuatan Injil Roh meremajakan Gereja dan tiada hentinya membaharuinya, serta mengantarkannya kepada persatuan sempurna dengan Mempelainya(3). Sebab Roh dan Mepelai berkata kepada Tuhan Yesus: “Datanglah!” (lihat Why 22:17). Demikianlah seluruh Gereja nampak sebagai “umat yang disatukan berdasarkan kesatuan Bapa dan Putera dan Roh Kudus”(4). 5. (Kerajaan Allah) Misteri Gereja Kudus itu diperlihatkan ketika didirikan. Sebab Tuhan Yesus mengawali Gereja-Nya dengan mewartakan kabar bahagia, yakni kedatangan Kerajaan Allah yang sudah berabad-abad lamanya dijanjikan dalam Alkitab: “Waktunya telah genap, dan Kerajaan Allah sudah dekat” (Mrk 1:15; lih Mat 4:17). Kerajaan itu menampakkan diri kepada orang-orang dalam sabda, karya dan kehadiran Kristus. Memang, sabda Tuhan diibaratkan benih, yang ditaburkan diladang (lih Mrk 4:14), mereka yang mendengarkan sabda itu dengan iman dan termasuk kawanan kecil Kristus (lih Luk 12:32), telah menerima kerajaan itu sendiri. Kemudian benih itu bertunas dan bertumbuh atas kekuatannya sendiri hingga waktu panen (lih Mrk 4:26-29). Mukjizat-mukjizat Yesus pun menguatkan, bahwa Kerajaan itu sudah tiba di dunia: “Jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Luk 11:20; lih Mat 12:28). Tetapi terutama Kerajaan itu tampil dalam Pribadi Kristus sendiri, Putera Allah dan Putera manusia, yang datang “untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:45). Adapaun sesudah menanggung maut dikayu salib demi umat manusia, kemudian bangkit, Yesus nampak ditetapkan sebagai Tuhan dan Kristus serta 3 4

Lih S. IRENEUS, Melawan bidaah-bidaah III,24,1: PG 7,966B; HARVEY 2,131; SAGNARD, Source Chr.,hlm. 398. Lih S. SIPRIANUS, Tentang doa Bapa Kami, 23: PL 4,553; HARTEL,, IIIA, HLM. 285, - S. AGUSTINUS, Kotbah 71, 20, 33: PL 38, 463 dsl. – S. YOHANES dari Damsyik, Melawan para Pengrusak Ikon 12 : PG 96,1358D

Iman untuk selamanya (lih Kis 2:36; Ibr 5:6; 7:17-21). Ia mencurahkan Roh yang dijanjikan oleh Bapa ke dalam hati para murid-Nya (lih Kis 2:33). Oleh karena itu Gereja, yang diperlengkapi dengan kurnia-kurnia Pendirinya, dan yang dengan setia mematuhi perintah-perintah-Nya tentang cinta kasih, kerendahan hati dan ingkar diri, menerima perutusan untuk mewartakan Kerajaan Kristus dan Kerajaan Allah, dan mendirikannya ditengah semua Bangsa. Gereja merupakan benih dan awal mula Kerajaan itu didunia. Sementara itu Gereja lambat-laun berkembang, mendambakan Kerajaan yang sempurna, dan dengan sekuat tenaga berharap dan menginginkan, agar kelak dipersatukan dengan Rajanya dalam kemuliaan. 6. (Aneka Gambaran Gereja) Seperti dalam Perjanjian Lama wahyu tentang Kerajaan sering disampaikan dalam lambang-lambang, begitu pula sekarang makna Gereja yang mendalam, kita tangkap melalui pelbagai gambaran. Gambaran-gambaran itu diambil entah dari alam gembala atau petani, entah dari pembangunan ataupun dari hidup keluarga dan perkawinan. Semua itu telah disiapkan dalam kitab-kitab para nabi. Adapun Gereja itu kandang, dan satu-satunya pi ntu yang harus dilalui ialah Kristus (lih Yoh 10:1-10). Gereja juga kawanan, yang seperti dulu telah difirmankan akan digembalakan oleh Allah sendiri (lih Yes 40:11; Yeh 34:11 dst). Domba-dombanya, meskipun dipimpin oleh gembala-gembala manusiawi, namun tiada hentinya dibimbing dan dipelihara oleh Kristus sendiri, Sang Gembala Baik dan Pemimpin para gembala (bdk Yoh 10:11; 1Ptr 5:4), yang telah merelakan hidup-Nya demi domba -domba (lih Yoh 10:11-15). Gereja itu tanaman atau ladang Allah (lih 1Kor 3:9). Diladang itu tumbuhlah pohon zaitun bahari, yang akar Kudusnya ialah para Bapa bangsa. Disitu telah terlaksana dan akan terlaksanalah perdamaian antara bangsa Yahudi dan kaum kafir (lih Rom 11:13-26). Gereja ditanam oleh Petani Sorgawi sebagai kebun anggur terpilih (lih Mat 21:33-43 par.; Yes 5:1 dst.). Kristuslah pokok anggur yang sejati. Dialah yang memberi hidup dan kesuburan kepada cabang-cabang, yakni kita, yang karena Gereja tinggal dalam Dia, dan yang tidak mampu berbuat apa pun tanpa Dia (lih Yoh 15:1-15). Sering pula Gereja disebut bangunan Allah (lih 1Kor 3:9). Tuhan sendiri mengibaratkan diri-Nya sebagai batu, yang dibuang oleh para pembangun, tetapi malahan menjadi batu sendi (lih Mat 21:42 par.; Kis 4:11; 1Ptr 2:7; Mzm 117:22). Diatas dasar itulah Gereja dibangun oleh para Rasul (lih 1Kor 3:11), dan memperoleh kekuatan dan kekompakan dari pada-Nya. Bangunan itu diberi pelbagai nama; rumah Allah (lih 1Tim 3:15), tempat tinggal keluarga-Nya; kediaman Allah dalam Roh (lih Ef 2:19-22), kemah Allah ditengah manusia (Why 21:3), dan terutama Kenisah Kudus. Kenisah itu diperagakan sebagai gedunggedung ibadat dan dipuji-puji oleh para Bapa suci, Yerusalem baru( 5). Sebab disitulah kita bagaikan batu-batu yang hidup dibangun didunia ini (lih 1Ptr 2:5). Yohanes memandang kota suci itu, ketika pembaharuan bumi turun dari Allah di sorga, siap sedia ibarat mempelai yang berhias bagi suaminya (Why 21:1 dsl.). Gereja juga digelari “Yerusalem yang turun dari atas” dan “bunda kita” (Gal 4:26; lih Why 12:17), dan dilukiskan sebagai mempelai nirmala bagi Anak Domba yang tak bernoda (lih Why 19:7; 21:2 dan 9:22:17). Kristus “mengasihinya dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya” (Ef 5:29). Ia memurnikan dan menghendakinya bersatu dengan diri-Nya serta patuh kepadaNya dalam cinta kasih dan kesetiaan (lih Ef 5:24). Akhirnya Kristus melimpahinya dengan kurnia-kurnia sorgawi untuk selamanya, supaya kita memahami cinta Allah dan Kristus terhadap kita, yang melampaui segala pengetahuan (lih Ef 3:19). Adapun selama mengembara didunia ini jauh dari tuhan (lih 2Kor 5:6), Gereja 5

Lih ORIGENES, Komentar pada Mat 16:21: PG 13,1443C. – TERTULIANUS, Melawan Marcion 3,7: PL 2,357C; CSEL 47,3 hlm. 386. – Untuk dokumen-dokumen liturgi, lih Sacramentarium Gregorianum: PL 78,160B; atas C. MOHLBERG, Liber Sacramentorum Roma nae Ecclesiae, Roma 1960, hlm. 111, XC: “Allah, yang dari segala perpaduan para kudus membangun kediaman kekal bagi-Mu …” Madah Urbs Jerusalem beata (Kota Yerusalem yang bahagia) dalam brevir monastik, dan Coelestis Urbs (Kota Sorgawi) dalam brevir Romawi.

merasa diri sebagai buangan, sehingga ia mencari dan memikirkan perkaraperkara yang diatas, tempat Kristus duduk disisi kanan Allah. Disitulah hidup Gereja tersembunyi bersama Kristus dalam Allah, sehingga saatnya tampil dalam kemuliaan bersama dengan Mempelainya (lih Kol 3:1-4). 7. (Gereja, Tubuh mistik Kristus) Dalam kodrat manusiawi yang disatukan dengan diri-Nya Putera Allah telah mengalahkan maut dengan wafat dan kebangkitan-Nya. Demikianlah Ia telah menebus manusia dan mengubahnya menjadi ciptaan baru (lih Gal 6:15; 2Kor 5:17). Sebab Ia telah mengumpulkan saudara-saudara-Nya dari sagala bangsa, dan dengan mengaruniakan Roh-Nya Ia secara gaib membentuk mereka menjadi Tubuh-Nya. Dalam Tubuh itu hidup Kristus dicurahkan kedalam umat beriman. Melalui sakramen-sakramen mereka itu secara rahasia namun nyata dipersatukan dengan Kristus yang telah menderita dan dimuliakan[6]. Sebab berkat Babtis kita menjadi serupa dengan Kristus : “karena dalam satu Roh kita semua telah dibabtis menjadi satu Tubuh” (1Kor 12:13). Dengan upacara suci itu dilambangkan dan diwujudkan persekutuan dengan wafat dan Kebangkitan Kristus : “Sebab oleh babtis kita telah dikuburkan bersama dengan Dia ke dalam kematian”; tetapi bila “kita telah dijadikan satu dengan apa yang serupa dengan wafat-Nya, kita juga akan disatukan dengan apa yang serupa dengan kebangkitan-Nya” (Rom 6:4-5). Dalam pemecahan roti ekaristis kita secara nyata ikut serta dalam Tubuh Tuhan; maka kita diangkat untuk bersatu dengan Dia dan bersatu antara kita. “Karena roti adalah satu, maka kita yang banyak ini merupakan satu Tubuh; sebab kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1Kor 10:17). Demikianlah kita semua dijadikan anggota Tubuh itu (lih 1Kor 12:27), “sedangkan masing-masing menjadi anggota yang seorang terhadap yang lain” (Rom 12:5). Adapun semua anggota tubuh manusia, biarpun banyak jumlahnya, membentuk hanya satu Tubuh, begitu pula para beriman dalam Kristus (lih 1Kor 12:12). Juga dalam pembangunan Tubuh Kristus terhadap aneka ragam anggota dan jabatan. Satulah Roh, yang membagikan aneka anugrah-Nya sekedar kekayaan-Nya dan menurut kebutuhan pelayanan, supaya bermanfaat bagi Gereja (lih 1Kor 12:1-11). Diantara karunia-karunia itu rahmat para Rasul mendapat tempat istimewa. Sebab Roh sendiri menaruh juga para pengemban karisma dibawah kewibawaan mereka (lih 1Kor 14). Roh itu juga secara langsung menyatukan Tubuh dengan daya-kekuatan-Nya dan melalui hubungan batin antara para anggota. Ia menumbuhkan cinta kasih diantara umat beriman dan mendorong mereka untuk mencintai. Maka, bila ada satu anggota yang menderita, semua anggota ikut menderita; atau bila satu anggota dihormati, semua anggota ikut bergembira (lih 1Kor 12:26). Kepala Tubuh itu Kristus. Ia citra Allah yang tak kelihatan, dan dalam Dia segala-sesuatu telah diciptakan. Ia mendahului semua orang, dan segala-galanya berada dalam Dia. Ialah Kepala Tubuh yakni Gereja. Ia pula pokok pangkal, yang sulung dari orang mati, supaya dalam segala-sesuatu Dialah yang utama (lih Kor 1:15-18). Dengan kekuatan-Nya yang agung Ia berdaulat atas langit dan bumi; dan dengan kesempurnaan serta karya-Nya yang amat luhur Ia memenuhi seluruh Tubuh dengan kekayaan kemuliaan-Nya (lih Ef 1:18-23).[7] Semua anggota harus menyerupai Kristus, sampai Ia terbentuk dalam mereka (lih Gal 4:19). Maka dari itu kita diperkenankan memasuki misteri-misteri hidupNya, disamakan dengan-Nya, ikut mati dan bangkit bersama dengan-Nya, hingga kita ikut memerintah bersama dengan-Nya (lih Flp 3:21; 2Tim 2:11; Ef 2:6; Kol 2:12; dan lain-lain). Selama masih mengembara didunia, dan mengikut-jejak-Nya dalam kesusahan dan penganiyaan, kita digabungkan dengan kesengsaraan-Nya sebagai Tubuh dan Kepala; kita menderita bersama dengan-Nya, supaya kelak ikut dimuliakan bersama dengan-Nya pula (lih Rom 8:17).

6

Lih. S. TOMAS, Summa Theol. III, Soal 62, art. 5,ad 1.

7

Lih. PIUS XII, Ensiklik MyStici Corporis, 29 Juni 1943: AAS 35 (1943) hlm. 208.

Dari Kristus “seluruh Tubuh, yang ditunjang dan diikat menjadi satu oleh uraturat dan sendi-sendi, menerima pertumbuhan ilahinya” (Kol 2:19). Senantiasa Ia membagi-bagikan karunia-karunia pelayanan dalam Tubuh-Nya, yakni Gereja. Berkat kekuatan-Nya, kita saling melayani dengan karunia-karunia itu agar selamat. Demikianlah, sementara mengamalkan kebenaran dalam cinta kasih, kita bertumbuh melalui segalanya menjadi Dia, yang menjadi Kepala kita (lih Ef 4:1116 yun). Supaya kita tiada hentinya diperbaharui dalam Kristus (lih Ef 4:23), Ia mengaruniakan Roh-Nya kepada kita. Roh itu satu dan sama dalam Kepala maupun dalam para anggota-Nya dan menghidupkan, menyatukan serta menggerakkan seluruh Tubuh sedemikian rupa, sehingga peran-Nya oleh para Bapa suci dapat dibandingkan dengan fungsi, yang dijalankan oleh azas kehidupan atau jiwa dalam tubuh manusia[8]. Adapun Kristus mencintai Gereja sebagai Mempelai-Nya. Ia menjdi teladan bagi suami yang mengasihi isterinya sebagai TubuhNya sendiri (lih Ef 5:25-28). Sedangkan Gereja patuh kepada Kepalanya (Ay. 23-24). “Sebab dalam Dia tinggallah seluruh kepenuhan Allah secara badaniah” (Kol 2:9). Ia memenuhi Gereja, yang merupakan Tubuh dan kepenuhan-Nya, dengan karunia-karunia ilahi-Nya (lih Ef 1:22-23), supaya Gereja menuju dan mencapai segenap kepenuhan Allah (lih Ef 3:19). 8. (Gereja yang kelihatan dan sekaligus rohani) Kristus, satu-satunya Pengantara, didunia ini telah membentuk Gereja-Nya yang kudus, persekutuan iman, harapan dan cinta kasih, sebagai himpunan yang kelihatan. Ia tiada hentinya memelihara Gereja[9]. Melalui Gereja Ia melimpahkan kebenaran dan rahmat kepada semua orang. Adapun serikat yang dilengkapi dengan jabatan hirarkis dan Tubuh mistik Kristus, kelompok yang nampak dan persekutuan rohani, Gereja didunia dan Gereja yang diperkaya dengan karuniakarunia sorgawi janganlah dipandang sebagai dua hal; melainkan semua itu merupakan satu kenyataan yang kompleks, dan terwujudkan karena perpaduan unsur manusiawi dan ilahi[10]. Maka berdasarkan analogi yang cukup tepat Gereja dibandingkan dengan misteri Sabda yang menjelma. Sebab seperti kodrat yang dikenakan oleh Sabda ilahi melayani-Nya sebagai upaya keselamatan yang hidup, satu dengan-Nya dan tak terceraikan daripada-Nya, begitu pula himpunan sosial Gereja melayani Roh Kristus, yang menghimpunkannya demi pertumbuhan Tubuh-Nya (lih Ef 4:16)[11]. Itulah satu-satunya Gereja Kristus yang dalam Syahadat iman kita akui sebagai Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik[ 12]. Sesudah kebangkitanNya Penebus kita menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan (lih. Yoh 21:17). Ia mempercayakannya kepada Petrus dan para rasul lainnya untuk diperluaskan dan dibimbing (lih. Mat 28:18 dsl), dan mendirikannya untuk selama-lamanya sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran” (lih. 1Tim 3:15). Gereja itu, yang didunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam Gereja katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya[13], walaupun diluar persekutuan itupun terdapat banyak unsur pengudusan dan kebenaran, yang merupakan karunia-karunia khas bagi Gereja Kristus dan mendorong ke arah kesatuan katolik.

8

Lih. LEO XIII, Ensiklik Illud, 9 Mmey 1897: AAS 29 (1896-1897) hllm.650. PIUS XII, Ensiklik MyStici Corporis : AAS 35 (1943) hlm. 219220, DENZ. 2288 (3808). S. AGUSTINUS, Kotbah 268, 2 PL 38, 1232 dan lain -lain. S. Yoh. CRISOSTOMUS, Tentang Ef, Homili 9,3: 2 PG 62,, 72. DIDIMUS dari Iskandaria, Tentang Tritunggal 2,1:: PG 39,449 dsl.D. TOMAS, Tentang Kol 1:18, pelaj.5.2 terb. MARIETTI II no.46:”Seperti satu Tubuh terwujudkan dari kesatuan jiwa, begitu pula Gereja dari kesatuan Roh…”.

9

Lih. LEO XIII Ensiklik Sapientiae christianae, 10 Januari 1890: AAS 22 (1889-90)hlm. 392; Ensiklik Satis coknitum, 29 Juni 1896: AAS 28 (1895-96))hlm. 710 dan 724 dsl. PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis: AAS 35 (1943)hlm.199-200.

10

Lih. PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis, hlm.22 dsl.; ensiklik Humani generis, 12 Agustus 1950: AAS 42 (1950) hlm.571.

11

Lih. LEO XIII, Ensiklik Satis coknitum, AAS 28 (1895-96) hlm. 713.

12

Lih. Syahadat para Rasul, DENZ. 6-9 (10-30); Syahadat Nicea-Konstantinopel, DENZ. 86 (150); bandingkan dengan Pengakuan iman konsili Trente, DENZ. 994 dan 999 (1862 dan 1868). 13 Disebut “Gereja kudus (katolik apostolik) Romawi “dalam Pengakuan iman konsili Trente dan oleh Konsili Vatikan I, Konstitusi dogmatis Dei Filius tentang iman katolik, DENZ. 1782 (3001).

Seperti Kristus melaksanakan karya penebusan dalam kemiskinan dan penganiayaan, begitu pula Gere dipanggil untuk menempuh jalan yang sama, supaya menyalurkan buah-buah keselamatan kepada manusia. Kristus Yesus “walaupun dalam rupa Allah, … telah mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba” (Flp 2:6-7). Dan demi kita Ia “menjadi miskin, meskipun Ia kaya” (2Kor 8:9). Demikianlah Gereja, kendati memerlukan upaya-upaya manusiawi untuk menunaikan perutusan-Nya, didirikan bukan untuk mengejar kemuliaan duniawi, melainkan untuk menyebarluaskan kerendahan hati dan pengikraran diri juga melalui tedanNya. Kristus diutus oleh Bapa untuk “menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, … untuk menyembuhkan mereka yang putus asa” (Luk 4:18), untuk “mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Luk 19:10). Begitu pula Gereja melimpahkan cinta kasihnya kepada semua orang yang terkena oleh kelemahan manusiawi. Bahkan dalam mereka yang miskin dan menderita Gereja mengenali citra Pendirinya yang miskin dan menderita, berusaha meringankan kemelaratan mereka dan bermaksud melayani Kristus dalam diri mereka. Namun sedangkan Kristus, yang “suci, tanpa kesalahan, tanpa noda” (Ibr 7:26), tidak mengenal dosa (lih Ibr 2:17), Gereja merangkum pendosa-pendosa dalam pengakuannya sendiri. Gereja itu suci, dan sekaligus harus selalu dibersihkan, serta terus menerus menjalankan pertobatan dan pembaharuan. “Dengan mengembara diantara penganiayaan dunia dan hiburan yang diterimanya dari Allah Gereja maju”[14]. Gereja mewartakan salib dan wafat Tuhan, hingga Ia datang (lih 1Kor 11:26). Sementara itu Gereja diteguhkan oleh daya Tuhan yang telah bangkit, untuk dapat mengatasi sengsara dan kesulitannya, baik dari dalam maupun dari luar, dengan kesabaran dan cinta kasih, dan untuk dengan setia mewahyukan misteri Tuhan di dunia, kendati dalam kegelapan, sampai ditampakkan pada akhir Zaman dalam cahaya yang penuh.

BAB DUA UMAT ALLAH 9. (Perjanjian Baru dan Umat Baru) Disegala zaman dan pada semua bangsa Allah berkenan akan siapa saja yang menyegani-Nya dan mengamalkan kebenaran (lih. Kis 10:35). Namun Allah bermaksud menguduskan dan menyelatkan orang-orang bukannya satu per satu, tanpa hubungan satu dengan yang lainnya. Tetapi Ia hendak membentuk mereka menjadi umat, yang mengakui-Nya dalam kebenaran dan mengabdi kepada-Nya dengan suci. Maka Ia memilih bangsa Israel sebagai umat-Nya, mengadakan perjanjian dengan mereka, dan mendidik mereka langkah demi langkah, dengan menampakkan diri-Nya serta rencana kehendak-Nya dalam sejarah, dan dengan menguduskan mereka bagi diri-Nya. Tetapi itu semua telah terjadi untuk menyiapkan dan melambangkan perjanjian baru dan sempurna, yang akan diadakan dalam Kristus, dan demi perwahyuan lebih penuh yang akan disampaikan melalui sabda Allah sendiri yang menjadi daging. “Sesungguhnya akan tiba saatnya – demikianlah firman Tuhan, - Aku akan mengikat perjanjian baru dengan keluarga Israel dan keluarga Yuda … Aku menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka, dan akan menulisnya dalam hati mereka, dan Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku … Sebab semua akan mengenal aku, mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar – itulah firman Tuhan” (Yer 31:31-34). Perjanjian baru itu diadakan oleh Kristus, yakni wasiat baru dalam darah-Nya (lih. 1Kor 11:25). Dari bangsa Yahudi maupun kaum kafir Ia memanggil suatu bangsa, yang akan bersatu padu bukan menurut daging, melainkan dalam Roh, dan akan menjadi umat Allah yang baru. Sebab mereka yang beriman akan 14

S. AGUSTINUS, Tentang Kota Allah, XVIII, 51, 2.2 PL 41,614.

Kristus, yang dilahirkan kembali bukan dari benih yang punah, melainkan dari yang tak dapat punah karena sabda Allah yang hidup (lih. 1Ptr 1:23), bukan dari daging, melainkan dari air dan Roh kudus (lih. Yoh 3:5-6), akhirnya dihimpun menjadi “keturunan terpilih, imamat rajawi, bangsa suci, umat pusaka … yang dulu bukan umat, tetapi sekarang umat Allah” (1Ptr 2:9-10). Kepala umat masehi itu Kristus, “yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan demi pembenaran kita” (Rom 4:25), dan sekarang setelah memperoleh nama – berdaulat dengan mulia di sorga. Kedudukan umat itu ialah martabat dan kebebasan anak-anak Allah. Roh kudus diam di hati mereka bagaikan dalam kenisah. Hukumnya perintah baru itu mencintai, seperti Kristus sendiri telah mencintai kita (lih. Yoh 13:34). Tujuannya Kerajaan Allah, yang oleh Allah sendiri telah dimulai di dunia, untuk selanjutnya disebarluaskan, hingga pada akhir zaman diselesaikan oleh-Nya juga, bila Kristus, hidup kita, menampakkan diri (lih. Kol 3:4), dan bila “makhluk sendiri akan di merdekakan dari perbudakan kebinasaan dan memasuki kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah” (Rom 8:21). Oleh karena itu umat masehi, meskipun kenyataannya tidak merangkum semua orang, dan tak jarang nampak sebagai kawanan kecil, namun bagi seluruh bangsa manusia merupakan benih kesatuan, harapan dan keselamatan yang kuat. Terbentuk oleh Kristus sebagai persekutuan hidup, cinta kasih dan kebenaran, umat itu oleh-Nya diangkat juga menjadi upaya penebusan bagi semua orang, dan diutus keseluruh bumi sebagai cahaya dan garam dunia (lih. Mat 5:13-16). Adapun seperti Israel menurut daging, yang mengembara di padang gurun, sudah di sebut Gereja (jemaat) Allah (lih. Neh 13:1; Bil 20:4; Ul 23:1 dst), begitu pula Israel baru, yang berjalan dalam masa sekarang dan mencari kota yang tetap dimasa mendatang (lih. Ibr 13:14), juga disebut Gereja Kristus (lih. Mat 16:18). Sebab Ia sendiri telah memperolehnya dengan darah-Nya (lih. Kis 20:28), memenuhinya dengan Roh-Nya, dan melengkapinya dengan sarana-sarana yang tepat untuk mewujudkan persatuan yang nampak dan bersifat sosial. Allah memanggil untuk berhimpum mereka, yang penuh iman mengarahkan pandangan kepada Yesus, pencipta keselamatan serta dasar kesatuan dan perdamaian. Ia membentuk mereka menjadi Gereja, supaya bagi semua dan setiap orang menjadi sakramen kelihatan, yang menandakan kesatuan yang menyelamatkan itu( 15). Gereja, yang harus diperluas ke segala daerah, memasuki sejarah umat manusia, tetapi sekaligus melampaui masa dan batas-batas para bangsa. Dalam perjalannya menghadapi cobaan-cobaan dan kesulitan-kesulitan Gereja diteguhkan oleh daya rahmat Allah, yang dijanjikan oleh Tuhan kepadanya. Maksudnya supaya jangan menyimpang dari kesetiaan sempurna akibat kelemahan daging, melainkan tetap menjadi mempelai yang pantas bai Tuhannya, dan tiada hentinya membaharui diri dibawah gerakan Roh Kudus, sehingga kelak melalui salib mencapai cahaya yang tak kunjung terbenam. 10. (Imamat umum) Kristus Tuhan, Imam Agung yang dipilih dari antara manusia (lih. Ibr 5:1-5), menjadikan umat baru “kerajaan dan imam-imam bagi Allah dan Bapa -Nya” (Why 1:6; lih. 5:9-10). Sebab mereka yang di babtis karena kelahiran kembali dan pengurapan Roh Kudus disucikan menjadi kediaman rohani dan imamat suci, untuk sebagai orang kristiani, dengan segala perbuatan mereka, mempersembahkan korban rohani, dan untuk mewartakan daya-kekuatan Dia, yang telah memanggil mereka dari kegelapan kedalam cahaya-Nya yang mengagumkan(lih. 1Ptr 2:4-10). Maka hendaknya seluruh murid Kristus, yang bertekun dalam doa dan memuji Allah (lih. Kis 2:42-47), mempersembahkan diri sebagai korban yang hidup, suci, berkenan kepada Allah (lih. Rom 11:1). Hendaknya mereka diseluruh bumi memberi kesaksian tentang Kristus, dan kepada mereka yang memintanya memberi pertanggung-jawaban tentang harapan akan hidup kekal, yang ada pada mereka (lih. 1Ptr 3:15). Adapun imamat umum kaum beriman dan imamat jabatan atau hirarkis, kendati berbeda hakekatnya dan bukan hanya tingkatnya, saling terarahkan. 15

Lih. S. SIPRIANUS, Surat 69,6: PL 3,1142; HARTEL 3B, hlm. 754; “Sakramen kesatuan yang tak terceraikan”.

Sebab keduanya dengan cara khasnyamasing-masing mengambil bagian dalam satu imamat Kristus16). Dengan kekuasaan kudus yang ada padanya imam pejabat membentuk dan memimpin umat keimaman. Ia menyelenggarakan korban Ekaristi atas nama Kristus, dan mempersembahkannya kepada Allah atas nama segenap umat. Sedangkan umat beriman berkat imamat rajawi mereka ikut serta dalam persembahan Ekaristi 17). Imamat itu mereka laksanakan dalam menyambut sakramen-sakramen, dalam berdoa dan bersyukur, dengan memberi kesaksian hidup suci, dengan pengingkaran diri serta cinta kasih yang aktif. 11. (Pelaksanaan imamat umum dalam sakramen-sakramen) Sifat suci persekutuan keimanan yang tersusun secara organis itu diwujudkan baik dengan menerima sakramen-sakramen maupun dengan mengamalkan keutamaan-keutamaan. Dengan babtis kaum beriman dimasukkan ke dalam tubuh Gereja; dengan menerima meterai mereka ditugaskan untuk menyelenggarakan ibadat agama kristiani; karena sudah dilahirkan kembali menjadi anak-anak Allah, mereka wajib mengakui dimuka orang-orang iman, yang telah mereka terima dari Allah melalui Gereja(18). Berkat sakramen penguatan mereka terikat pada Gereja secara lebih sempurna, dan diperkaya dengan daya kekuatan Roh Kudus yang istimewa; dengan demikian mereka semakin diwajibkan untuk menyebarluaskan dan membela iman sebagai saksi Kristus yang sejati, dengan perkataan maupun perbuatan(19). Dengan ikut serta dalam korban Ekaristi, sumber dan puncak seluruh hidup kristiani, mereka mempersembahkan Anak Domba ilahi dan diri sendiri bersama dengan-Nya kepada Allah(20); demikianlah semua menjalankan peranannya sendiri dalam perayaan liturgis, baik dalam persembahan maupun dalam komuni suci, bukan dengan campur baur, melainkan masing-masing dengan caranya sendiri. Kemudian, sesudah memperoleh kekuatan dari Tubuh Kristus dalam perjamuan suci, mereka secara konkrit menampilkan kesatuan Umat Allah, yang oleh sakramen mahaluhur itu dilambangkan dengan tepat dan diwujudkan secara mengagumkan. Mereka yang menerima sakramen tobat memperoleh pengampunan dari belaskasihan Allah atas penghinaan mereka terhadap-Nya; sekaligus mereka didamaikan oleh gereja, yang telah mereka lukai dengan berdosa, dan yang membantu pertobatan mereka dengan cinta kasih, teladan serta doa-doanya. Melalui perminyakan suci orang sakit dan doa para imam seluruh Gereja menyerahkan mereka yang sakit kepada Tuhan yang bersengsara dan telah dimuliakan, supa Ia menyembuhkan dan menyelamatkan mereka (lih. Yak 5:1416); bahkan Gereja mendorong mereka untuk secara bebas menggabungkan diri dengan sengsara dan wafat Kristus (lih. Rom 8:17; Kol 1:24; 2Tim 2:11-12; 1Ptr 4:13), dan dengan demikian mereka memberi sumbangan bagi kesejahteraan Umat Allah. Lagi pula, mereka diantara umat beriman yang ditandai dengan tahbisan suci, diangkat untuk atas nama Kristus menggembalakan Gereja dengan sabda dan rahmat Allah. Akhirnya para suami-isteri Kristiani dengan sakramen perkawinan menandakan misteri kesatuan dan cinta kasih yang subur antara Kristus dan gereja, dan ikut serta menghayati misteri itu (lih. Ef 5:32); atas kekuatan sakramen mereka itu dalam hidup berkeluarga maupun dalam menerima serta mendidik anak saling membantu untuk menjadi suci; dengan demikian dalam status hidup dan kedudukannya mereka mempunyai kurnia yang khas ditengah Umat Allah (lih. 1Kor 7:7) (21). Sebab dari persatuan suami-isteri itu 16

Lih. PIUS VII, Amanat Magnificate Dominum, 2 November 1954; AAS 46 (1954) hlm 669; Ensiklik Mediator Dei, 20 November 1947: AAS 39 (1947) hlm. 555 17 Lih. PIUS XI, Ensiklik Miserentissimus Redemptor, 8 Mei 1928: AAS 20 (1928) hlm. 17 dsl. PIUS XII, Amanat nous avez, 22 September 1956: AAS 48 (1956) hlm. 714. 18 Lih. S. TOMAS, Summa Theol. III. Soal 63, art. 2. 19 Lih. S. SIRILUS dari Yerusalem, katekese 17 tentang Roh Kudus, II, 35-37: PG 33, 1009-1012. NIK. KABASILAS, Tentang hidup dalam kristus, buku III, tentang manfaat krisma: PG 150,569-580. S. TOMAS, Summa Theol. III, soal 65 art. 3, dan soal 72 art. 1 dan 5. 20 Lih. PIUS XII, Ensiklik Mediator Dei, 20 November 1947; AAS 39 (1947) khususnya hlm. 552 dsl. 21 1Kor 7:7: “Setiap orang menerima dari Allah kurnianya yang khas, yang seorang kurnia ini, yang lain kurnia itu.” Lih. S. AGUSTINUS, Tentang kurnia ketabahan 14, 37: PL 45,1015 dsl.: “Bukan pengendalian diri saja kurnia Allah, melainkan juga kemurnian suami-isteri.”

tumbuhlah keluarga, tempat lahirnya warga-warga baru masyarakat manusia, yang berkat rahmat Roh Kudus karena babtis diangkat menjadi anak-anak Allah dari abda ke abad. Dalam Gereja-keluarga itu hendaknya orang tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka; orang tua wajib memelihara pa nggilan mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani. Diteguhkan dengan upaya-upaya keselamatan sebanyak dan sebesar itu, semua orang beriman, dalam keadaan dan status manapun juga, dipanggil oleh Tuhan untuk menuju kesucian yang sempurna seperti Bapa sendiri sempurna, masing-masing melalui jalannya sendiri. 12. (Perasaan iman dan karisma-karisma umat kristiani) Umat Allah yang kudus mengambil bagian juga dalam tugas kenabian Kristus, dengan menyebarluaskan kesaksian hidup tentang-Nya terutama melalui hidup iman dan cinta kasih, pun pula dengan mempersembahkan kepada Allah korban pujian, buah hasil bibir yang mengakui nama-Nya(lih. Ibr 13:15). Keseluruhan kaum beriman, yang telah diurapi oleh Yang Kudus (lih 1Yoh 2:20 dan 27), tidak dapat sesat dalam beriman; dan sifat mereka yang istimewa itu mereka tampilkan melalui perasaan iman adikodrati segenap umat, bila dari Uskup hingga para awam beriman yang terkecil”(22). Mereka secara keseluruhan menyatakan kesepakatan mereka tentang perkara-perkara iman dan kesusilaan. Sebab dibawah bimbingan wewenang mengajar yang suci, yang dipatuhi dengan setia, Umat Allah sudah tidak menerima perkataan manusia lagi, melainkan sesungguhnya menerima sabda Allah (lih 1Tes 2:13). Dengan perasaan iman yang dibangkitkan dan dipelihara oleh Roh Kebenaran, umat tanpa menyimpang berpegang teguh pada iman, yang sekali telah diserahkan kepada para kudus (Yud 3); dengan pengertian yang tepat semakin mendalam menyelaminya, dan semakin penuh menerapkannya dalam hidup mereka. Selain itu Roh Kudus juga tidak hanya menyucikan dan membimbing Umat Allah melalui sakramen-sakramen sarta pelayanan-pelayanan, dan menghiasnya dengan keutamaan-keutamaan saja. Melainkan Ia juga “membagi-bagikan” kurniakurnia-Nya “kepada masing-masing menurut kehendak-Nya” (1Kor 12:11). Dikalangan umat dari segala lapisan Ia membagi-bagikan rahmat istimewa pula, yang menjadikan mereka cakap dan bersedia untuk menerima pelbagai karya atau tugas, yang berguna untuk membaharui Gereja serta meneruskan pembangunannya, menurut ayat berikut : “Kepada setiap orang dianugerahkan pernyataan Roh demi kepentingan bersama” (1Kor 12:7). Karisma-karisma itu, entah yang amat menyolok, entah yang lebih sederhana dan tersebar lebih luas, sangat sesuai dan berguna untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan Gereja; maka hendaknya diterima dengan rasa syukur dan gembira. Namun kurnia-kurnia yang luar biasa janganlah dikejar-kejar begitu saja; jangan pula terlalu banyak hasil yang pasti diharapkan daripadanya untuk karya kerasulan. Adapun keputusan tentang tulennya karisma-karisma itu, begitu pula tentang pengalamannya secara teratur, termasuk wewenang mereka yang bertugas memimpin dalam Gereja. Terutama mereka itulah yang berfungsi, bukan untuk memadamkan Roh, melainkan untuk menguji segalanya dan mempertahankan apa yang baik (lih. 1Tes 5:12 dan 19-21). 13. (Sifat umum dan katolik Umat Allah yang satu) Semua orang dipanggil kepada Umat Allah yang baru. Maka umat itu, yang tetap satu dan tunggal, harus disebarluaskan keseluruh dunia dan melalui segala abad, supaya terpenuhilah rencana kehendak Allah, yang pada awal mula menciptakan satu kodrat manusia, dan menetapkan untuk akhirnya menghimpun dan mempersatukan lagi anak-anak-Nya yang tersebar (lih. Yoh 11:52). Sebab demi tujuan itulah Allah mengutus Putera-Nya, yang dijadikan-Nya ahli waris alam semesta (lih. Ibr 1:2), agar Ia menjadi Guru, Raja dan Imam bagi semua orang, Kepala umat anak-anak Allah yang baru dan universal. Demi tujuan itu pulalah 22

S. AGUSTINUS, Tentang predestinasi para kudus, 14,27:PL 44, 980.

Allah mengutus Roh Putera-Nya, Tuhan yang menghidupkan, yang bagi seluruh Gereja dan masing-masing serta segenap orang beriman menjadi azas penghimpun dan pemersatu dalam ajaran para rasul dan persekutuan, dalam pemecahan roti, dan doa-doa (lih. Kis 1:42 yun.). Jadi satu Umat Allah itu hidup ditengah segala bangsa dunia, warga Kerajaan yang tidak bersifat duniawi melainkan sorgawi. Sebab semua orang beriman, yang tersebar diseluruh dunia, dalam Roh Kudus berhubungan dengan anggota-anggota lain. Demikianlah “dia yang tinggal di Roma mengakui orang-orang India sebagai saudaranya”(23). Namun karena Kerajaan Kristus bukan dari dunia ini (lih. Yoh 18:36), maka Gereja dan Umat Allah, dengan membawa masuk Kerajaan itu, tidak mengurangi sedikitpun kesejahteraan materiil bangsa manapun juga. Malahan sebaliknya, Gereja memajukan dan menampung segala kemampuan, kekayaan dan adat-istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik; tetapi dengan menampungnya juga memurnikan, menguatkan serta mengangkatnya. Sebab Gereja tetap ingat, bahwa harus ikut mengumpulkan bersama dengan Sang Raja, yang diserahi segala bangsa sebagai warisan (lih. Mzm 2:8), untuk mengantarkan persembahan dan upeti kedalam kota-Nya (lih. Mzm 71/72:10; Yes 60:4-7; Why 21:24). Sifat universal, yang menyemarakkan Umat Allah itu, merupakan kurnia Tuhan sendiri. Karenanya Gereja yang katolik secara tepat-guna dan tiada hentinya berusaha merangkum segenap umat manusia beserta segala harta kekayaannya dibawah kristus Kepala, dalam kesatuan Roh-Nya(24). Berkat ciri katolik itu setiap bagian Gereja menyumbangkan kepunyaannya sendiri kepada bagian-bagian lainnya dan kepada seluruh Gereja. Dengan demikian Gereja semesta dan masing-masing bagiannya berkembang, karena semuanya saling berbagi dan serentak menuju kepenuhannya dalam kesatuan. Maka dari itu umat Allah bukan hanya dihimpun dari pelbagai bangsa, melainkan dalam dirinya sendiri pun tersusun dari aneka golongan. Sebab diantara para anggotanya terdapat kemacam-ragaman, entah karena jabatan, sebab ada beberapa yang menjalankan pelayanan suci demi kesejahteraan saudara-saudara mereka, entah karena corak dan tata-tertib kehidupan, sebab cukup banyaklah yang dalam status hidup bakti (religius) menuju kesucian melalui jalan yang lebih sempit, yang mendorong saudara-saudara dengan teladan mereka. Maka dalam persekutuan Gereja selayaknya pula terdapat Gereja-Gereja khusus, yang memiliki tradisi mereka sendiri, sedangkan tetap utuhlah primat takhta Petrus, yang mengetuai segenap persekutuan cinta kasih(25), melindungi keanekaragam yang wajar, dan sekaligus menjaga, agar hal-hal yang khusus jangan merugikan kesatuan, melainkan justru menguntungkannya. Maka antara pelbagai bagian Gereja perlu ada ikatan persekutuan yang mesra mengenai kekayaan rohani, para pekerja dalam kerasulan dan bantuan materiil. Sebab para anggota umat Allah dipanggil untuk saling berbagi harta-benda, dan bagi masing-masing Gereja pun berlaku amnat Rasul: “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan kurnia yang telah diperoleh setiap orang, sebabgia pengurus aneka rahmat Allah yang bai” (1Ptr 4:10). Jadi kepada kesatuan katolik Umat Allah itulah, yang melambangkan dan memajukan perdamaian semesta, semua orang dipanggil. Mereka termasuk kesatuan itu atau terarahkan kepadanya dengan aneka cara, baik kaum beriman katolik, umat lainnya yang beriman akan Kristus, maupun semua orang tanpa kecuali, yang karena rahmat Allah dipanggil kepada keselamatan. 14. (Umat beriman katolik) Maka terutama kepada umat beriman katoliklah Konsili suci mengarahkan perhatiannya. Berdasarkan Kitab suci dan Tradisi konsili mengajarkan, bahwa Gereja yang sedang mengembara ini perlu untuk keselamatan. Sebab hanya satulah Pengantara dan jalan keselamatan, yakni Kristus. Ia hadir bagi kita dalam 23

S. YOH. KRISOSTOMUS, Tentang Yoh., Homili 65,1:PG 59,361. Lih. S. IRENEUS, Melawan bidaah-bidaah, III, 16,6; III, 22,-3: PG 7,925C-926A dan 955C-958A; HARVEY 2,87 dsl. Dan 120-123; SAGNARD, terb. Sources Chrtiennes, hlm. 290-292 dan 372 dsl. 25 Lih. S. IGNASIUS martir, Surat kepada umat di Roma, Pendahuluan: terb. FUNK, 1,252. 24

tubuh-Nya, yakni Gereja. Dengan jelas-jelas menegaskan perlunya iman dan babtis (lih. Mrk 16:16; Yoh 3:5). Kristus sekaligus menegaskan perlunya Gereja, yang dimasuki orang-orang melalui babtis bagaikan pintunya. Maka dari itu andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan. Dimasukkan sepenuhnya kedalam sertifikat Gereja mereka, yang mempunyai Roh Kristus, menerima baik seluruh tata-susunan Gereja serta semua upaya keselamatan yang diadakan didalamnya, dan dalam himpunannya yang kelihatan digabunggkan dengan Kristus yang membimbingnya melalui Imam Agung dan para uskup, dengan ikatan-ikatan ini, yakni: pengakuan iman, sakramen-sakramen dan kepemimpinan gerejani serta persekutuan. Tetapi tidak diselamatkan orang, yang meskipun termasuk anggota Gereja namun tidak bertambah dalm cinta-kasih; jadi yang “dengan badan” memang berada dalam pangkuan Gereja, melainkan tidak “dengan hatinya”(26). Pun hendaklah semua Putera Gereja menyadari, bahwa mereka menikmati keadaan yang istimewa itu bukan karena jasa-jasa mereka sendiri, melainkan berkat rahmat Kristus yang istimewa pula. Dan bila mereka tidak menanggapi rahmat itu dengan pikiran, perkataan dan perbuatan, mereka bukan saja tidak diselamatkan, malahan akan diadili lebih keras(27). Para calon babtis, yang karena dorongan Roh Kudus dengan jelas meminta supaya dimasukkan kedalam Gereja, karena kemauan itu sendiri sudah tergabung padanya. Bunda Gereja sudah memeluk mereka sebagai putera-puteranya dengan cinta kasih dan perhatiannya. 15. (Hubungan gereja dengan orang kristen bukan katolik) Gereja tahu, bahwa karena banyak alasan ia berhubungan dengan mereka, yang karena dibabtis mengemban nama kristen, tetapi tidak mengakui ajaran iman seutuhnya atau tidak memelihara kesatuan persekutuan dibawah Pengganti Petrus(28). Sebab memang banyaklah yang menghormati Kitab suci sebagai tolak ukur iman dan kehidupan, menunjukkan semangat keagamaan yang sejati, penuh kasih beriman akan Allah Bapa yang mahakuasa dan akan Kristus, Putera Allah dan Penyelamat(29), ditandai oleh babtis yang menghubungkan mereka dengan Kristus, bahkan mengakui dan menerima sakramen-sakramen lainnya juga di Gereja-Gereja atau jemaat-jemaat gerejani mereka sendiri. Banyak pula diantara mereka yang mempunyai Uskup-uskup, merayakan Ekaristi suci, dan memelihara hormat bakti kepada Santa Perawan Bunda Allah(30). Selain itu ada persekutuan doa-doa dan kurnia-kurnia rohani lainnya; bahkan ada suatu hubungan sejati dalam Roh Kudus, yang memang dengan daya pengudusan-Nya juga berkarya diantara mereka dengan melimpahkan anugerah-anugerah serta rahmat-rahmatNya, dan menguatkan beberapa dikalangan mereka hingga menumpahkan darahnya. Demikianlah Roh membangkitkan pada semua murid Kristus keinginan dan kegiatan, supaya semua saja dengan cara yang ditetapkan oleh Kristus secara damai dipersatukan dalam satu kawanan dibawah satu Gembala(31).. Untuk mencapai tujuan itu Bunda Gereja tiada hentinya berdoa, berharap dan berusaha, serta mendorong para puteranya untuk memurnikan dan membaharui diri, supaya tanda Kristus dengan lebih cemerlang bersinar pada wajah Gereja. 26

Lih. S. AGUSTINUS, Tentang babtis melawan Donatus, V,28,39: PL 43,197: “Pasti sudah jelas, bahwa bila dikatakan: di dalam dan di luar Gereja, itu harus diartikan : dengan hatinya, dan bukan dengan badannya.” Lihat dalam karya tulis yang sama, III, 19, 26: kolom 152; V, 18,24: kolom 189; Tentang Yoh, uraian 61,2:PL 35, 1800; pun sering dilain tempat. 27 Luk 12:48: “Barang siapa menerima banyak, dari padanya akan dituntut banyak pula.” Lih. Mat 5:19-20; 7:2-22; 25:4-46; Yak 2:14. 28 Lih. LEO XIII, Surat apostolik Praeclara gratulationis, 20 Juni 1894: ASS 26 (1893-94) hlm. 707. 29 Lih. LEO XIII, Ensiklik Satis cognitum, 29 juni 1896: ASS 28 (1895-96)hlm. 738. Ensiklik Caritatis studium, 25 Juli 1898: ASS 3 (1898-99) hlm. 11. PIUS XII, Amanat radio Nell’alba, 24 Desember 1941: AAS 34 (1942) hlm. 41. 30 Lih. PIUS XI, Ensiklik Rerum Orientalium, 8 September 1928: AAS 20 (1928) hlm. 287. PIUS XII, Ensiklik Orientalis Ecclesiae, 9 April 1944: AAS 36 (1944) hlm. 137. 31 Lih. Instruksi Kongregasi S. OFFICII, 20 Desember 1949: AAS 42 (1950) hlm. 142.

16. (Umat bukan-kristiani) Akhirnya mereka yang belum menerima Injil dengan berbagai alasan diarahkan kepada Umat Allah(32). Terutama bangsa yang telah dianugerahi perjanjian dan janji-janji, serta merupakan asal kelahiran Kristus menurut daging (lih. Rom 9:45), bangsa terpilih yang amat disayangi karena para leluhur; sebab Allah tidak menyesali kurnia-kurnia serta panggilan-Nya (lih. Rom 11:28-29). Namun rencana keselamatan juga merangkum mereka, yang mengakui Sang Pencipta; diantara mereka terdapat terutama kaum muslimin, yang menyatakan bahwa mereka berpegang pada iman Abraham, dan bersama kita bersujud menyembah Allah yang tunggal dan maharahim, yang akan menghakimi manusia pada hari kiamat. Pun dari umat lain, yang mencari Allah yang tak mereka kenal dalam bayangan dan gambaran, tidak jauhlah Allah, karena Ia memberi semua kehidupan dan nafas dan segalanya (lih. Kis 17:25-28), dan sebagai Penyelamat menhendaki keselamatan semua orang (lih. 1Tim 2:4). Sebab mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal(33). Penyelenggaraan ilahi juga tidak menolak memberi bantuan yang diperlukan untuk keselamatan kepada mereka, yang tanpa bersalah belum sampai kepada pengetahuan yang jelas tentang Allah, namun berkat rahmat ilahi berusaha menempuh hidup yang benar. Sebab apapun yang baik dan benar, yang terdapat pada mereka, Gereja dipandang sebagai persiapan Injil(34), dan sebagai kurnia Dia, yang menerangi setiap orang, supaya akhirnya memperoleh kehidupan. Tetapi sering orang-orang, karena ditipu oleh si Jahat, jatuh ke dalam pikiran-pikiran yang sesat, yang mengubah kebenaran Allah menjadi dusta, dengan lebih mengabdi kepada ciptaan daripada Sang Pencipta (lih. Rom 1:21 dan 25). Atau mereka hidup dan mati tanpa Allah di dunia ini dan menghadapi bahaya putus asa yang amat berat. Maka dari itu, dengan mengingat perintah Tuhan: “Wartakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk 16:15), Gereja dengan sungguhsungguh berusaha mendukung misi-misi, untuk memajukan kemuliaan Allah dan keselamatan semua orang itu. 17. (Sifat misioner Gereja) Sebab seperti Putera diutus oleh Bapa, begitu pula Ia sendiri mengutus para Rasul (lih. Yoh 20:21), sabda-Nya: “Pergilah, ajarilah semua bangsa, dan babtislah mereka atas nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka menaati segala-sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat 28:19-20). Perintah resmi Kristus itu mewartakan kebenaran yang menyelamatkan itu oleh Gereja diterima dari para Rasul, dan harus dilaksanakan sampai ujung bumi (lih. Kis 1:8). Maka Gereja mengambil alih sabda Rasul: “Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil!” (1Kor 9:16). Maka dari itu gereja terus-menerus mengutus para pewarta, sampai Gereja-Gereja baru terbentuk sepenuhnya, dan mereka sendiripun melanjutkan karya pewartaan Injil. Sebab Gereja didorong oleh Roh Kudus untuk ikut mengusahakan, agar rencana Allah, yang menetapkan Kristus sebagai azas keselamatan bagi seluruh dunia, terlaksana secara efektif. Dengan mewartakan Injil Gereja mengundang mereka yang mendengarnya kepada iman dan pengakuan iman, menyiapkan mereka untuk menerima babtis, membebaskan mereka dari perbudakan kesesatan, dan menyaturagakan mereka kedalam Kristus, supaya karena cinta kasih mereka bertumbuh ke arah Dia hingga kepenuhannya. Dengan usaha-usahanya Gereja menyebabkan, bahwa segala kebaikan yang tertaburkan dalam hati serta budi orang-orang, atau dalam upacara-upacara dan kebudayaan para bangsa sendiri, bukan saja tidak hilang, melainkan disehatkan, diangkat dan disempurnakan demi kemuliaan Allah, demi tersipu-sipunya setan dan 32

Bdk. S. THOMAS, Summa Theol. III, soal 8, art. 3 ad 1. Lih. Surat Kongegrasi S.OFFICII kepada Uskup Agung Boston, DENZ, 3869-72 34 Lih. EUSEBIUS dari Sesarea, Persiapan Injil, 1,1: PG 21, 28AB. 33

kebahagiaan manusia. Setiap murid Kristus mengemban beban untuk menyiarkan iman sekadar kemampuannya(35). Setiap orang dapat membabtis orang beriman. Tetapi tugas imamlah melaksanakan pembangunan Tubuh Kristus dengan mempersembahkan korban Ekaristi. Dengan demikian terpenuhilah sabda Allah melalui nabi: “Dari terbitnya matahari sampai terbenamnya besarlah nama-Ku diantara para bangsa, dan disetiap tempat dikorbankan dan dipersembahkanlah persembahan murni kepada nama-Ku” (Mal 1:11) (36). Begitulah Gereja sekaligus berdoa dan berkarya, agar kepenuhan dunia seluruhnya beralih menjadi Umat Allah, Tubuh Tuhan dan Kenisah Roh Kudus, dan supaya dalam Kristus, Kepala semua orang, di persembahkan kepada Sang Pencipta dan Bapa semesta alam segala hormat dan kemuliaan.

BAB TIGA SUSUNAN HIRARKIS GEREJA, KHUSUSNYA EPISKOPAT 18. (Pendahuluan) Untuk menggembalakan dan senantiasa mengembangkan umat Allah, Kristus Tuhan mengadakan dalam Gereja-Nya aneka pelayanan, yang tujuannya kesejahteraan seluruh Tubuh. Sebab para pelayan, yang mempunyai kekuasaan kudus, melayani saudara-saudara mereka, supaya semua yang termasuk Umat Allah, dan karena itu mempunyai martabat kristiani sejati, dengan bebas dan teratur bekerja sama untuk mencapai tujuan tadi, dan dengan demikian mencapai keselamatan. Mengikuti jejak Konsili Vatikan I, Konsili suci ini mengajarkan dan menyatakan, bahwa Yesus Kristus Gembala kekal telah mendirikan Gereja Kudus, dengan mengutus para Rasul seperti Ia sendiri di utus oleh bapa (lih. Yoh 20:21). Para pengganti mereka yakni para Uskup, dikehendaki-Nya untuk menjadi gembala dalam gereja-Nya hingga akhir zaman. Namun supaya episkopat itu sendiri tetap satu dan tak terbagi, Ia mengankat santo Petrus menjadi ketua para Rasul lainnya. Dan dalam diri Petrus itu Ia menetapkan adanya azas dan dasar kesatuan iman serta persekutuan yang tetap dan kelihatan(37). Ajaran tentang penetapan, kelestarian, kuasa dan arti Primat Kudus Imam Agung di Roma maupun tentang Wewenag Mengajarnya yang tak dapat sesat, oleh Konsili suci sekali lagi dikemukakan kepada semua orang beriman untuk diimani dengan teguh. Dan melanjutkan apa yang sudah dimulai itu Konsili memutuskan, untuk menyatakan dan memaklumkan dihadapan mereka semua ajaran tentangpara uskup, pengganti para Rasul, yang beserta pengganti petrus, Wakil Kristus(38) dan Kepala gereja semesta yang kelihatan, memimpin rumah Allah yang hidup. 19. (Dewan para Rasul didirikan oleh Kristus) Setelah berdoa kepada Bapa, Tuhan Yesus memanggil kepada-Nya mereka yang dikendaki-Nya sendiri. Diangkat-Nya duabelas orang, untuk ikut serta denganNya, dan untuk diutus mewartakan Kerajaan Allah (lih. Mark 3:13-19; Mat 10:135

Lih. BENEDIKTUS XV, Surat apostolik Maximum illud: AAS 1 (1919)hlm. 440, terutama hlm. Dsl. PIUS XI, Ensiklik Rerum Ecclesiae: AAS 18 (1926) hlm. 68-69. PIUS XII, Ensiklik Fidei Donum, 2 April 1957: AAS 49 (1957) hlm. 236-237). 36 Lih Didache (Pengajaran) 14: terb. FUNK, 1, 32. S. YUSTINUS, Dialog 41: PG 6,564. S. IRENEUS, Melawan bidaah-bidaah, IV, 17,5: PG 7,1023; HARVEY 2, hlm. 199 dsl. KONSILI TRENTE, Sidang 22, bab 1: DENZ. 939 (1742). 37 Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang Gereja Kristus Pastor Aeternus: DENZ. 1821 (3050 DSL.). 38 Lih. KONSILI FLORENSIA, Dekrit untuk umat Yunani: DENZ. 694 (1307) dan KONSILI VATIKAN I, di tempat yang sama: DENZ. 1826 (3059).

42). Para Rasul itu (lih. Luk 6:13) di bentuk-Nya menjadi semacam dewan atau badan yang tetap. Sebagai ketua dewan diangkat-Nya Petrus, yang dipilih dari antara mereka (lih. Yoh 21:15-17). Ia mengutus mereka pertama-tama kepada umat Israel, kemudian kepada semua bangsa (lih. Rom 1:16), supaya mereka, dengan mengambil bagian dalam kekuasaan-Nya, menjadikan semua bangsa murid-murid-Nya, serta menguduskan dan memimpin mereka (lih. Mat 28:16-20; Mrk 16:15; Luk 24:45-48; Yoh 20:21-23). Demikianlah mereka akan menyebarluaskan Gereja, dan di bawah bimbingan Tuhan menggembalakannya dalam pelayanan, di sepanjang masa hingga akhir jaman (lih. Mat 28:20). Pada hari Pentekosta mereka diteguhkan sepenuhnya dalam perutusan itu (lih. Kis 2:136) sesuai dengan janji Tuhan: Kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi (Kis 1:8). Adapun para Rasul dimana-mana mewartakan Injil (lih. Mrk 16:20), yang berkat karya Roh kudus diterima baik oleh mereka dan diatas Santo petrus, ketua mereka, sedangkan Yesus Kristus sendiri menjadi batu sendinya (lih. Why 21:14; Mat 16:18; Ef 2:20) (39).

20. (Para Uskup pengganti para Rasul) Perutusan ilahi, yang dipercayakan kristus kepada para rasul itu, akan berlangsung sampai akhir zaman (lih. Mat 28:20). Sebab Injil, yang harus mereka wartakan, bagi Gereja merupakan azas seluruh kehidupan untuk selamanya. Maka dari itu dalam himpunan yang tersusun secara hirarkis iotu para Rasul telah berusha mengangkat para pengganti mereka. Mereka tidak hanya mempunyai berbagai macam pembantu dalam pelayanan(40). Melainkan supaya perutusan yang dipercayakan kepada para Rasul dapat dilanjutkan sesudah mereka meninggal, mereka menyerahkan kepada para pembantu mereka yang terdekat – seakan-akan sebagai wasiat – tugas untuk menyempurnakan dan meneguhkan karya yang telah mereka mulai(41). Kepada mereka itu pra Rasul berpesan, agar mereka menjaga seluruh kawanan, tempat Roh Kudus mengangkat mereka untuk menggembalakan jemaat Allah (lih. Kis 20:28). Jadi para Rasul mengangkat orang-orang seperti itu; dan kemudian memberi perintah, supaya bila mereka sendiri meninggal, orang-orang lain yang terbukti baik mengambil alih pelayanan mereka (42). Diantara pelbagai pelayanan, yang sejak awal mula dijalankan dalam Gereja itu, menurut tradisi yang mendapat tempat utama ialah tugas mereka yang diangkat menjadi Uskup, dan yang karena pergantian yang berlangsung sejak permulaan(43) membawa ranting benih rasuli(44). Demikianlah menurut kesaksian S. Ireneus, melalui mereka yang oleh para Rasul diangkat menjadi uskup serta para pengganti mereka sampai akhir zaman kita, tradisi rasuli dinyatakan(45) dan dipelihara(46) diseluruh dunia. Jadi para Uskup menerima tugas melayani jemaat bersama dengan para pembantu mereka, yakni para imam dan diakon(47). Sebagai wakil Allah mereka 39

Lih. S. Gregorius, Kitab sakramen-sakramen, Prefasi pada hari raya S. Matias dan S. Tomas: PL 78,51 dan 152; lih. Kodeks Vatikan latin 3548, hlm. 18. S. HILARIUS, Tentang Mzm 67:10: PL 9,450; CSEL 22, hlm. 286. S. HIRONIMUS, Melawan Yovin. 1, 26: PL 23,247A. S. AGUSTINUS, Tentang Mzm 86:4: PL 37,1103. S. GREGORIUS AGUNG, Mor. Tentang Ayub, XXVIII, V:PL 76,455-456. PRIMASIUS, Komentar pada Why V: PL 68,924BC. PASKASIUS RADBERTUS, Tentang Mat, jil. VIII, bab 16: PL 120,561C. Lih. Leo XIII, Surat Et sane, 17 Desember 1888: AAS 21(1888) hlm. 321. 40 Lih. Kis 6:2-6; 11:30; 13:1; 14:23; 20:17; 1Tes 5:12-13; Flp 1:1; Kol 4:11 dan di berbagai tempat. 41 Lih. Kis 20:25-27; 2Tim 4:6 dsl. Bdk. 1Tim 5:22; 2Tim 2:2; Tit 1:5; S. KLEMENS dari roma, Surat kepada umat di Korintus 44,2: terb. FUNK, I, hlm. 156. 42 Lih. S. KLEMENS dari Roma, Surat kepada umat di Korintus 44,3: terb. FUNK, I, hlm. 154 dsl. 43 Lih. TERTULIANUS, Melawan kaun bidaah 32: PL 2,52 dsl. S. IGNASIUS Martir, di pelbagai tempat. 44 Lih. TERTULIANUS, Melawan kaun bidaah 32: PL 2,53. 45 Lih. S. IRENEUS, Melawan bidaah-bidaah III,3,1: PG 7,848A; HARVEY 2,8; SAGNARD, hlm. 100 dsl.: dinyatakan. 46 Lih. S. IRENEUS, Melawan bidaah-bidaah III,2,2: PG 7,847; HARVEY 2,7; SAGNARD, hlm. 100: dipelihara, juga IV,26,2: kolom 1053; HARVEY 2,236, juga IV,33,8: kolom 1077; HARVEY 2,262. 47 Lih. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Filadelfia, Pendahuluan: terb. FUNK, I, hlm. 264.

memimpin kawanan(48) yang mereka gembalakan, sebagai guru dalam ajaran, imam dalam ibadat suci, pelayanan dalam bimbingan(49). Seperti tugas, yang oleh Tuhan secara khasdiserahkan kepada Petrus ketua para rasul, dan harus diteruskan kepada para penggantinya, tetaplah adanya, begitu pula tetaplah tugas para rasul menggembalakan Gereja, yang tiada hentinya harus dilaksanakan oleh pangkat suci para Uskup(50). Maka dari itu Konsili suci mengajarakan, bahwa atas penetapan ilahi para Uskup menggantikan para Rasul (51) sebagai gembala Gereja. Barang siapa mendengarkan mereka, mendengarkan Kristus; tetapi barang siapa menolak mereka, menolak Kristus dan Dia yang mengutus Kristus (lih. Luk 10:16) (52). 21. (Sakramen imamat) Jadi dalam diri para Uskup, yang dibantu oleh para imam, hadirlah ditengah umat beriman Tuhan Yesus kristus, Imam Agung tertinggi. Sebab meskipun Ia duduk di sisi kanan Allah Bapa, Ia tidak terpisahklan dari himpunan para imam agungNya(53). Melainkan terutama melalui pengabdian mereka yang mulia Ia mewartakan sabda Allah kepada semua bangsa, dan tiada hentinya Ia menerima sakramensakramen iman kepada umat beriman. Melalui tugas kebapaan mereka (lih. 1Kor 4:15) Yesus menyaturagakan anggota-anggota baru ke dalam tubuh-Nya karena kelahiran kembali dari atas. Akhirnya melalui kebijaksanaan dan kearifan mereka ia membimbing dan mengarahkan Umat Perjanjian baru dalam perjalanannya menuju kebahagiaan kekal. Para gembala yang dipilih untuk menggembalakan kawanan Tuhan itu pelayan-pelayan Kristus dan pembagi rahasia-rahasia Allah (lih. 1Kor 4:1). Kepada mereka dipercayakan kesaksian akan Injil tentang rahmat Allah (lih. Rom 15:16; Kis 20:24) serta pelayanan Roh dan kebenaran dalam kemuliaan (lih. 2Kor 3:8-9). Untuk menunaikan tugas-tugas yang semulia itu para rasul diperkaya dengan pencurahan istimewa Roh Kudus, yang turun dari Kristus atas diri mereka (lih. Kis 1:8; 2:4; Yoh 20:22-23). Dengan penumpangan tangan mereka sendiri meneruskan kurnia rohani itu kepada para pembantu mereka (lih. 1Tim 4:14; 2Tim 1:6-7). Kurnia itu sampai sekarang disampaikan melalui tahbisan Uskup(54). Adapun Konsili suci mengajarkan bahwa dengan tahbisan Uskup diterimakan kepenuhan sakramen Imamat, yakni yang dalam kebiasaan liturgi Gereja maupun melalui suara para Bapa suci disebubt imamat tertinggi, keseluruhan pelayan suci(55). Adapun dengan tahbisan (konsekrasi) Uskup diberikan tugas menyucikan, selain itu juga tugas mengajar dan membimbing. Namun menurut hakekatnya tugastugas itu hanya dapat dilaksanakan dalam persekutuan hirarkis dengan Kepala serta para anggota Dewan. Sebab menurut tradisi, yang dinyatakan terutama dalam upacara-upacara liturgis dan kebiasaan Gereja Timur maupun barat, cukup jelaslah, bahwa dengan penumpangan tangan dan kata-kata tahbisan diberikan 48

Lih. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Filadelfia 1,1; kepada umat di Magnesia 6,1: terb. FUNK, I, hlm. 264 dan 234. 49 S. KLEMENS dari roma, Surat kepada umat di Korintus, 42, 3-4; 44,3-4; 57,1-2; terb. FUNK, I, 152, 156, 171 dsl. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Filadelfia 2; kepada umat di Smirna 8; kepad umat di Magnesia 3; kepada umat di Tralles 7; terb. FUNK, I, hlm. 265 dsl.; 282; 232; 256 dsl. Dll.; S. YUSTINUS, Apologia 1,65: PG 6,428; S. SIPRIANUS, seringkali disurat-suratnya. 50 Lihat LEO XIII, Ensiklik Satis cognitum, 29 Juni 1896: ASS 28 (1895-96) hlm. 732. 51 Lih. KONSILI TRENTE, Tentang sakramen tahbisan, bab 4: DENZ. 960 (1768); KONSILI VATIKAN I, Konstitusi tentang Gereja Kristus Pastor Aeternus, bab 3: DENZ. 1828 (3061). PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis, 29 Juni 1943: AAS 35 (1943) hlm. 209 dan 212. Kitab Hukum Kanonik (lama), kanon 329 par. 1. 52 Lih. LEO XIII, Surat Et sane, 17 Desember 1888, ASS 21 (1888) hlm. 321 dsl. 53 Lih. S. LEO AGUNG, Kotbah 5,3: PL 54,154. 54 KONSILI TRENTE, Sidang 23, bab 3, mengutip 2Tim 1:6-7, untuk membuktikan, bahwa tahbisan itu sakramen yang sesungguhnya: DENZ. 959 (1766(. 55 Menurut tradisi para Rasul, 3: terb. BOTTE, Sources chrtiennes, hlm. 27-30, kepada Uskup diserahkan primat imamat. Lih. Buku upacara Leonian tentang Sakramen-Sakramen; terb. C. MOHLBERG, Sacramentarium Veronense, Roma 1955, hlm. 119: “Kepada pelayanan imamat yang tertinggi … Laksanakanlah dalam diri para imammu keutuhan rahasia-Mu” … IDEM, Kitab Sakramen-Sakramen Gereja di Roma, Roma 1960, hlm. 121-122: Kurniakanlah kepada mereka, ya Tuhan, takhta keuskupan untuk membimbing Gerejamu serta segenap rakyat. Lih. PL 78,224.

rahmat Roh Kudus(56) serta meterai suci(57) sedemikian rupa, sehingga para Uskup secara mulia dqan kelihatan mengemban peran Kristus sebagai Guru, Gembala, dan Imam Agung, dan bertindak atas nama-Nya(58). Adalah wewenang para Uskup untuk dengan sakramen tahbisan mengangkat para terpilih baru ke dalam Dewan para Uskup.

22. (Kolegialitas Dewan para Uskup) Seperti Santo Petrus dan para Rasul lainnya atas penetapan Tuhan merupakan satu Dewan para Rasul, begitu pula Imam Agung di Roma, pengganti Petrus, bersama para Rasul, merupakan himpunan yang serupa. Adanya kebiasaan amat kuno, bahwa para Uskup di seluruh dunia berhubungan satu dengan lainnya serta dengan Uskup di Roma dalam ikatan kesatuan, cinta kasih dan damai(59), begitu pula adanya Konsili-konsili yang dihimpun(60) untuk mengambil keputusankeputusan bersama yang amat penting(61), sesudah ketetapan dipertimbangkan dalam musyawarah banyak orang(62), semua itu memperlihatkan sifat dan hakekat kolegial pangkat Uskup. Sifat itu dengan jelas sekali terbukti dari Konsili-konsili Ekumenis, yang diselenggarakan disepanjang abad-abad yang lampau. Sifat itu tercermin pula pada kebiasaan yang berlaku sejak zaman kuno, yakni mengundang Uskup-Uskup untuk ikut berperan dalam mengangkat orang terpilih baru bagi pelayanan imamat agung. Seseorang menjadi anggota Dewan para Uskup dengan menerima tahbisan sakramental dan berdasarkan persekutuan hirarkis dengan Kepala maupun para anggota Dewan. Adapun Dewan atau Badan para Uskup hanyalah berwibawa bila bersatu dengan Imam Agung di Roma, pengganti Petrus, sebagai Kepalanya, dan selama kekuasaan Primatnya terhadap semua, baik para Gembala maupun para beriman, tetap berlaku seutuhnya. Seba b Imam Agung di Roma berdasarkan tugasnya, yakni sebagai Wakil Kristus dan Gembala Gereja semesta, mempunyai kuasa penuh, tertinggi dan universal terhadap Gereja; dan kuasa itu selalu dapat dijalankannya dengan bebas. Sedangkan Badan para Uskup, yang menggantikan Dewan para Rasul dan tugas mengajar dan bimbingan pastoral, bahkan yang melestarikan Badan para Rasul, bersama dengan Imam Agung di Roma selaku Kepalanya, dan tidak pernah tanpa Kepala itu, merupakan subjek kuasa tertinggi dan penuh juga terhadap Gereja (63); tetapi kuasa itu hanyalah dapat dijalankan dengan persetujuan Imam Agung di Roma. Hanya Simonlah yang oleh Tuhan ditempatkan sebagai batu karang dan juru kunci Gereja (lih. Mat 16:18-19), dan diangkat menjadi Gembala seluruh kawanan-Nya (lih. Yoh 21:15 dsl.). Tetapi tugas mengikat dan melepaskan, yang diserahkan kepada Petrus (lih. Mat 16:19), ternyata diberikan juga kepada Dewan para Rasul dalam persekutuan dengan Kepalanya (lih. Mat 18:18; 28:16-20) (64). Sejauh terdiri dari banyak orang, Dewan 56

Lih. Tradisi para rasul, 2: terb. BOTTE, hlm. 27. KONSILI TRENTE, Sidang 23, bab 4, mengajarkan bahwa sakramen tahbisan memberikan meterai yang tidak terhapus: DENZ. 960 (1767). Lih. YOHANES XXIII, Amanat lubilate Deo, o8 Mei 1960: AAS 52 (1960) hlm. 446. PAULUS VI, Homili di basilika Vatikan, 20 Oktober 1963: AAS 55 (1963) hlm. 1014. 58 S. SIPRIANUS, Surat 63,14: PL 4,386; HARTEL, iii b, HLM. 713: “Imam benar-benar mewakili Kristus”. S. YOH. KRISOSTOMUS, Tentang 2Tim, Homili 2,4: PG 62,612: Imam itu symbolon (lambang) Kristus. S. AMBROSIUS, Tentang Mzm 38:25-26: PL 14,1051-52; CSEL 64,203-204. AMBROSIASTER, Tentang 1Tim 5:19: PL 17,479 C dan Tentang Ef 4:11-12: kolom 387 C. TEODORUS dari Mopsuesta, Homili-Katek. XV,21 dan 24: terb. TONNEAU, hlm. 497 dan 503. HESIKIUS dari Yerusalem, Tentang kitab Imamat, buku 2,9,23: PG 93,894B. 59 Lih. EUSEBIUS, Sejarah Gereja, V, 24,10: GCS II, 1, hlm. 495; terb. BARDY, Sourses Chrtiennes II, hlm. 69. DIONISIUS, pada EUSEBIUS, Sej. Gereja VII,5,2: GCS II,2, hlm. 638 dsl.; BARDY, II, hlm. 168 dsl. 60 Lih. Tentang konsili-konsili di zaman kuno, EUSEBIUS, Sej. Ger. V,23-24, GCS II, 1, hlm. 488 dsl.;BARDY,II, hlm. 66 dsl, dan di pelbagai tempat. KONSILI NISEA, kanon 5: conc. Oec. Decr., hlm. 7. 61 Lih. TERTULIANUS, Tentang Puasa, 13:PL 2, 972B; CSEL 20, hlm. 292 baris 13-16. 62 Lih. S. SIPRIANUS, Surat 56,3: HARTEL, III B, hlm. 650; BA-YARI, hlm. 154. 63 Lih. Risalah resmi ZINELLI, dalam KONSILI VATIKAN I: MANSI 52,11092C. 64 Lih. KONSILI VATIKAN I, Skema Konstitusi dogmatis II tentang Gereja Kristus, bab 4: MANSI 53,310. Lih. Risalah KLEUTGEN tentang skema yang ditinjau kembali: MANSI 53,321B-322B dan penjelasan ZINELLI: MANSI 52,110A. Lih. Juga S. LEO AGUNG, Kotbah 4,3: PL 54,151A. 57

itu mengungkapkan kemacam-ragaman dan sifat universal Umat Allah; tetapi sejauh terhimpun dibawah satu kepala, mengungkapkan kesatuan kawanan Kristus. Dalam Dewan itu para Uskup, sementara mengakui dengan setia kedudukan utama dan tertinggi Kepalanya, melaksanakan kuasanya sendiri demi kesejahteraan umat beriman mereka, bahkan demi kesejahteraan Gereja semesta; dan Roh Kudus tiada hentinya meneguhkan tata-susunan organis serta kerukunannya. Kuasa tertinggi terhadap Gereja seluruhnya, yang ada pada dewan itu, secara meriah dijalankan dalam Konsili Ekumenis. Tidak pernah ada Konsili Ekumenis, yang tidak disahkan atau sekurang-kurangnya diterima baik oleh pengganti Petrus. Adalah hak khusus Imam Agung di Roma untuk mengundang Konsili itu, dan memimpin serta mengesahkannya(65). Kuasa kolegial itu dapat juga dijalankan oleh para Uskup bersama Paus, kalau mereka tersebar diseluruh dunia, asal saja Kepala Dewan mengundang mereka untuk melaksanakan tindakan kolegial, atau setidak-tidaknya menyetujui atau dengan bebas menerima kegiatan bersama para Uskup yang terpencar, sehingga sungguh-sungguh terjadi tindakan kolegial. 23. (Uskup setempat dan Gereja universal) Persatuan kolegial nampak juga dalam hubungan timbal-balik antara masingmasing Uskup dan Gereja-Gereja khusus serta Gereja semesta. Imam Agung di Roma, sebagai pengganti Petrus, menjadi azas dan dasar yang kekal dan kelihatan bagi kesatuan para Uskup maupun segenap kaum beriman(66). Sedangkan masingmasing Uskup menjadi azas dan dasar kelihatan bagi kesatuan dalam Gereja khususnya(67), yang terbentuk menurut citra Gereja semesta. Gereja katolik yang satu dan tunggal berada dalam Gereja-Gereja khusus dan terhimpun daripadanya(68). Maka dari itu masing-masing Uskup mewakili Gerejanya sendiri, sedangkan semua Uskup bersama Paus mewakili seluruh Gereja dalam ikatan damai, cinta kasih dan kesatuan. Masing-masing Uskup, yang mengetuai Gereja khusus, menjalankan kepemimpinan pastoralnya terhadap bagian Umat Allah yang dipercayakan kepadanya, bukan terhadap Gereja-Gereja lain atau Gereja semesta. Tetapi sebagai anggota Dewan para Uskup dan pengganti para Rasul yang sah mereka masingmasing – atas penetapan dan perintah Kristus – wajib menaruh perhatian terhadap seluruh Gereja(69). Meskipun perhatian itu tidak diwujudkan melalui tindakan menurut wewenang hukumnya, namun sangat bermanfaat bagi seluruh Gereja. Sebab semua Uskup wajib memajukan dan melindungi kesatuan iman dan tatatertib yang berlaku umum bagi segenap Gereja, mendidik umat beriman untuk mencintai seluruh Tubuh Kristus yang mistik, terutama para anggotanya yang miskin serta bersedih hati, dan mereka yang menanggung penganiayaan demi kebenaran (lih. Mat 5:10); akhirnya memajukan segala kegiatan, yang umum bagi seluruh Gereja, terutama agar supaya iman berkembang dan cahaya kebenaran yang penuh terbit bagi semua orang. Memang sudah pastilah bahwa, bila mereka membimbing dengan baik Gereja mereka sendiri sebagai bagian Gereja semesta, mereka memberi sumbangan yang nyata bagi kesejahteraan seluruh Tubuh mistik, yang merupakan badan Gereja-Gereja itu(70). Penyelenggaraan pewartaan Injil di seluruh dunia merupakan kewajiban badan para Gembala, yang kesemuanya bersama-sama menerima perintah Kristus, dan dengan demikian juga mendapat tugas bersama, seperti telah ditegaskan oleh Paus

65

Lih. Kitab Hukum Kanonik (lama), kanon 222 dan 227. Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis Pastor Aeternus: DENZ. 1821 (3050 dsl.). 67 Lih. S. SIPRIANUS, Surat 66,8: HARTEL III, 2, hlm. 733: “Uskup dalam Gereja dan Gereja dalam Uskup”. 68 Lih. S. SIPRIANUS, Surat 55, 24: HARTEL , hlm. 624, baris 13: “Satu Gereja, tersebar diseluruh dunia, dan terbagi menjadi banyak anggota”. Surat 36,4: HARTEL, hlm. 575, baris 20-21. 69 Lih. PIUS XII, Ensiklik Fidei Donum, 21 April 1957: AAS 49 (1957) hlm. 237. 70 Lih. S. HILARIUS dari Poitiers, Tentang Mzm 14:3: PL 9,206; CSEL 22, hlm. 86. S. GREGORIUS AGUNG, Moral. IV,7,12: PL 75,643C. Pseudo BASILIUS, Tentang Yes 15,296: PG 30,637C. 66

Coelestinus kepada para bapa Konsili di Efesus(71). Maka masing-masing Uskup, sejauh pelaksanaan tugas mereka sendirimengizinkannya, wajib ikut serta dalam kerja sama antara mereka sendiri dan dengan pengganti Petrus, yang secara istimewa diserahi tugas menyiarkan iman kristiani(72). Maka untuk daerah-daerah misi mereka wajib sedapat mungkin menyediakan pekerja-pekerja panenan, maupun bantuan-bantuan rohani dan jasmani, bukan hanya langsung dari mereka sendiri, melainkan juga dengan membangkitkan semangat kerjasama yang berkobar diantara umat beriman. Akhirnya hendaklah para Uskup, dalam persekutuan semesta cinta kasih, dengan sukarela memberi bantuan persaudaraan kepada Gereja-Gereja lain, terutama yang lebih dekat dan miskin, menurut teladan mulia Gereja kuno. Berkat penyelenggaraan ilahi terjadilah, bahwa pelbagai Gereja, yang didirikan di pelbagai tempat oleh para Rasul serta para pengganti mereka, sesudah waktu tertentu bergabung menjadi berbagai kelompok yang tersusun secara organis. Dengan tetap mempertahankan kesatuan iman serta susunan satu-satunya yang berasal dari Allah bagi seluruh Gereja, kelompok-kelompok itu mempunyai tatatertib mereka sendiri, tata-cara liturgi mereka sendiri, dan warisan teologis serta rohani mereka sendiri(73). Diantaranya ada beberapa, khususnya Gereja-Gereja patriarkal kuno, yang ibarat ibu dalam iman, melahirkan Gereja-Gereja lain sebagai anak-anaknya. Gereja-Gereja kuno itu sampai sekarang tetap berhubungan dengan Gereja-gereja cabang mereka karena ikatan cinta kasih yang lebih erat dalam hidup sakramental dan dengan saling menghormati hak-hak serta kewajiban mereka (74). Keanekaragaman Gereja-Gereja setempat yang menuju kesatuan itu dengan cemerlang memperlihatkan sifat katolik Gereja yang tak terbagi. Begitu pula konferensi-konferensi Uskup sekarang ini dapat memberi sumbangan bermacam-macam yang berfaedah, supaya semangat kolegial mencapai penerapannya yang kongkret. 24. (Tugas para Uskup pada umumnya) Dari Tuhan, yang diserahi segala kuasa di langit dan di bumui, para Uskup selaku pengganti para Rasul menerima perutusan untuk mengajar semua suku bangsa dan mewartakan Injil kepada segenap makhluk, supaya semua orang, karena iman, babtis dan pelaksanaan perintah-perintah memperoleh keselamatan (lih. Mat 28:18-20; Mrk 16:15-16; Kis 26:17 dsl.). Untuk menunaikan perutusan itu, Kristus Tuhan menjanjikan Roh Kudus kepada para Rasul, dan pada hari Pantekosta mengutus-Nya dari sorga, supaya mereka karena kekuatan Roh menjadi saksi-saksi-Nya hingga ke ujung bumi, dihadapan kaum kafir, para bangsa dan raja-raja (lih. Kis 1:8; 2:1; dsl; 9:15). Adapun tugas yang oleh Tuhan diserahkan kepada para gembala umat-Nya itu, sungguh-sungguh merupakan pengabdian, yang dalam Kitab suci dengan tepat di sebut diakonia atau pelayanan (lih. Kis 1:17 dan 25; 21:19; Rom 11:13; 1Tim 1:12). Para Uskup dapat menerima misi kanonik menurut adat-kebiasaan yang sah, yang tidak di cabut oleh kuasa tertinggi dan universal Gereja, atau sesuai dengan hukum yang oleh kewibawaan itu juga ditetapkan atau diakui, atau secara langsung oleh pengganti Petrus sendiri. Bila beliau tidak setuju atau tidak

71

Lih. S. COLESTINUS, Surat 18,1-2, kepada Konsili di Efese: PL 50,505 AB; SCHWARTZ, Acta Conc. Oec. 1,1,1, hlm. 22. Lih. BENEDIKTUS XV, Surat apostolik Maximum illud: AAS 11 (1919) hlm. 440. PIUS XI, Ensiklik Fidei Donum, di tempat yang sama. 72 LEO XIII, Ensiklik Grande munus, 30 September 1880: ASS 13 (1880) hlm. 145. Lih. Kitab Hukum Kanonik (lama), kanon 1327; kanon 1350 par. 2. 73 Lih. LEO XIII, Ensiklik Grande munus, 30 September 1880: ASS 13 (1880) hlm. 145. Lih. Kitab Hukum Kanonik (lama), kanon 1350 par. 2. 74 Tentang hak-hak Takhta-takhta patriarkal, lih. KONSILI NISEA, kanon 6 tentang Iskandaria dan Antiokia, dan kanon 7 tentang Yerusalem: Conc. Oec. Decr. Hlm. 8. KONSILI LATERAN IV, tahun 1215, Konstitusi V: Tentang martabat para Baterik: hlm. 212. KONSILI FERRARA-FLORENSIA, hlm. 504.

menerima mereka ke dalam persekutuan apostolis, para Uskup tidak dapat diterima dalam jabatan itu(75).

25. (Tugas mengajar) Diantara tugas-tugas para Uskup pewartaan Injillah yang terpenting(76). Sebab para Uskup itu pewarta iman, yang mengantarkan murid-murid baru kepada Kristus.Mereka mengajar yang otentik, atau mengemban kewibawaan Kristus, artinya: mewartakan kepada Umat yang diserahkan kepada mereka iman yang harus dipercayai dan diterapkan pada perilaku manusia. Dibawah cahaya Roh Kudus mereka menjelaskan iman dengan mengeluarkan harta yang baru dan yang lama dari perbendaharaan Perwahyuan (lih. Mat 13:52). Mereka membuat iman itu berubah, dan dengan waspada menanggulangi kesesatan-kesesatan yang mengancam kawanan mereka (lih. 2Tim 4:1-4). Bila para Uskup mengajar dalam persekutuan dengan Imam Agung di Roma, mereka harus dihormati oleh semua sebagai saksi kebenaran ilahi dan katolik. Kaum beriman wajib menyambut dengan baik ajaran Uskup mereka tentang iman dan kesusilaan, yang disampaikan atas nama Kristus, dan mematuhinya dengan ketaatan hati yang suci. Kepatuhan kehendak dan akalbudi yang suci itu secara istimewa harus ditunjukkan terhadap wewenang mengajar otentik Imam Agung di Roma, juga bila beliau tidak beramanat ex cathedra; yakni sedemikian rupa, sehingga wewenang beliau yang tertinggi untuk mengajar diakui penuh hormat, dan ajaran yang beliau kemukakan diterima setulus hati, sesuai dengan maksud dan kehendak beliau yang nyata, yang dapat diketahui terutama atau dari sifat dokumen-dokumen, atau karena ajaran tertentu sering beliau kemukakan, atau juga dari cara beliau berbicara. Biarpun Uskup masing-masing tidak mempunyai kurnia istimewa tidak dapat sesat, namun kalau mereka – juga bila tersebar diseluruh dunia, tetapi tetap berada dalam persekutuan antar mereka dan dengan pengganti Petrus – dalam ajaran otentik tentang perkara iman dan kesusialaan sepakat bahwa suatu ajaran tertentu harus diterima secara definitif, merekapun memaklumkan ajaran Kristus tanpa dapat sesat(77). Dan itu terjadi dengan lebih jelas lagi, bila mereka bersidang dalam Konsili Ekumenis, serta bertindak sebagai guru dan hakim iman serta kesusilaan terhadap Gereja semesta; keputusan-keputusan mereka harus diterima dengan kepatuhan iman(78). Adapaun ciri tidak dapat sesat itu, yang atas kehendak Penebus ilahi dimiliki Gereja-Nya dalam menetapkan ajaran tentang iman atau kesusilaan, meliputi seluruh perbendaharaan Wahyu ilahi, yang harus dijagai dengan cermat dan diuraikan dengan setia. Ciri tidak dapat sesat itu ada pada Imam Agung di Roma, Kepala Dewan para Uskup, berdasarkan tugas beliau, bila selaku gembala dan guru tertinggi segenap Umat beriman, yang meneguhkan saudara-saudara beliau dalam iman (lih. Luk 22:32), menetapkan ajaran tentang iman atau kesusilaan dengan tindakan definitif(79). Oleh karena itu sepantasnyalah dikatakan, bahwa ketetapan-ketetapan ajaran beliau tidak mungkin diubah dari dirinya sendiri, dan bukan karena persetujuan Gereja. Sebab ketetapan-ketetapan itu dikemukakan dengan bantuan Roh Kudus, yang dijanjikan kepada Gereja dalam diri Santo Petrus. Oleh karena itu tidak membutuhkan persetujuan orang-orang lain, lagi pula tidak ada kemungkinan naik banding kepada keputusan yang lain. Sebab 75

Lih. Kitab Hukum Kanonik untuk Gereja-Gereja Timur, kanon 216-314: tentang para Batrik; kanon 324-339: Tentang para Uskup Agung yang lebih tinggi derajdnya; kanon 362-391: tentang para pejabat lainnya; khususnya kanon 238 par.3; 216; 240; 251; 255: tentang pengangkatan para Uskup oleh baterik. 76 Lih. KONSILI TRENTE, Ketetapan tentang Pembaharuan, sidang V, bab 2 no. 9, dan sidang XXIV, kanon 4; Conc. Oec. Decr., hlm. 645 dan 739 77 Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis Dei Filius, 3: DENZ, 1792 (3001). Lih. Catatan yang dibutuhkan pada Skema I “tentang Gereja” (dikutib dari S. ROBERTUS BELLARMINUS): MANSI 51, 579C; Juga Skema Konstitusi II “tentang Gereja kristus yang telah di revisi, beserta komentar KLEUTGEN: MANSI 53, 313AB. PIUS IX, Surat Tuas Libenter: DENZ. 1683 (2879). 78 Lih. Kitab Hukum Kanonik (lama), kanon 1322-1323). 79 Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis Pastor Aeternus: DENZ 1839 (3074).

disitulah Imam Agung di Roma mengemukakan ajaran beliau bukan sebagai perorangan prive; melainkan selaku guru tertinggi Gereja semesta, yang secara istimewa mengemban kurnia tidak dapat sesat Gereja sendiri, beliau menjelaskan atau menjaga ajaran iman katolik(80). Sifat tidak dapat sesat yang dijanjikan kepada Gereja, ada pula pada badan para Uskup, bila melaksanakan wewenang tertinggi untuk mengajar bersama dengan pengganti Petrus. Ketetapan-ketetapan ajaran itu tidak akan pernah tidak disetujui oleh Gereja berkat karya Roh Kudus itu juga, yang memelihara dan memajukan seluruh kawanan Kristus dalam kesatuan iman(81). Tetapi bila Imam Agung di Roma atau badan para Uskup bersama dengan beliau menetapkan ajaran, itu mereka kemukakan sesuai dengan Wahyu sendiri, yang harus dipegang teguh oleh semua orang yang menjadi pedoman hidup mereka. Wahyu itu secara tertulis atau melalui tradisi secara utuh diteruskan melalui pergantian para Uskup yang sah, dan terutama berkat usaha Imam Agung di Roma sendiri. Berkat cahaya Roh kebenaran wahyu itu dalam Gereja dijaga dengan cermat dan diuraikan dengan setia(82). Untuk mendalaminya dengan seksama dan menyatakannya dengan tepat, Imam Agung di Roma dan para Uskup, sesuai dengan jabatan mereka dan pentingnya perkaranya, harus memberi perhatian sepenuhnya dan menggunakan upaya-upaya yang serasi(83). Tetapi mereka tidak menerima adanya wahyu umum yang baru, yang termasuk perbendaharaan ilahi iman(84). 26. (Tugas menguduskan) Uskup mempunyai kepenuhan sakramen Tahbisan, maka ia menjadi “pengurus rahmat imamat tertinggi”(85), terutama dalam Ekaristi, yang dipersembahkannya sendiri atau yang dipersembahkan atas kehendaknya(86), dan yang tiada hentinya menjadi sumber kehidupan dan pertumbuhan Gereja. Gereja Kristus itu sungguh hadir dalam semua jemaat beriman setempat yang sah, yang mematuhi para gembala mereka, dan dalam Perjanjian Baru disebut Gereja(87) . Gereja-Gereja itu ditempatnya masing-masing merupakan umat baru yang dipanggil oleh Allah, dalam Roh Kudus dan dengan sepenuh-penuhnya (lih 1Tes 1:5). Disitu umat beriman berhimpun karena pewartaan Injil Kristus, dan dirayakan misteri Perjamuan Tuhan, “supaya karena Tubuh dan Darah Tuhan semua saudara perhimpunan dihubungkan erta-erat”(88). Disetiap himpunan disekitar altar, dengan pelayanan suci Uskup(89), tampillah lambang cinta kasih dan “kesatuan tubuh mistik itu, syarat mutlak untuk keselamatan”(90). Di jemaat-jemaat itu, meskipun sering hanya kecil dan miskin, atau tinggal tersebar, hiduplah Kristus; dan berkat kekuatan-Nya terhimpunlah Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik(91). Sebab “keikut-sertaan dalam tubuh dan darah Kristus tidak lain berarti berubah menjadi apa yang kita sambut”(92). Adapun semua perayaan Ekaristi yang sah dipimpin oleh Uskup. Ia diserahi tugas mempersembahkan ibadat agama kristiani kepada Allah yang maha agung, dan mengaturnya menurut perintah Tuhan dan hukum Gereja, yang untuk keuskupan masih perlu diperinci menurut pandangan Uskup sendiri. 80

Lih. Penjelasan GASSER dalam KONSILI VATIKAN I: MANSI 52, 1213 AC. Lih. GASSER, di tempat itu juga: MANSI 1214A. 82 Lih. GASSER, di tempat itu juga: MANSI 1215CD, 1216-1217A. 83 Lih. GASSER, di tempat itu juga: MANSI 1213. 84 Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis Pastor Aeternus, 4: DENZ. 1836 (3070). 85 Doa tahbisan Uskup menurut tata-upacara (ritus) bizantin: Euchologion to mega, Roma 1873, hlm. 139. 86 Lih. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Smirna, 8,1: terb. FUNK, I, hlm. 282. 87 Lih. Kis 8:1; 14:22-23; 20:17, dan di berbagai tempat lainnya. 88 Doa mozarabis: PL 96,759B. 89 Lih. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Smirna 8,1: terb. FUNK, I, hlm. 282. 90 S. TOMAS, Summa Theol. III, soal 73, art. 3. 91 Lih. S. AGUSTINUS, Melawan faustus, 12, 20: PL 42, 265; Kotbah 57,7: PL 38, 389, dan lain-lain. 92 S. LEO AGUNG, Kotbah 63,7: PL 54, 357C. 81

Demikianlah para Uskup, dengan berdoa dan bekerja bagi Umat, membagikan kepenuhan kesucian Kristus dengan pelbagai cara dan secara melimpah. Dengan pelayanan sabda mereka menyampaikan kekuatan Allah kepada Umat beriman demi keselamatannya (lih. Rom 1:16). Dengan sakramen-sakramen, yang pembagiannya mereka urus dengan kewibawaan mereka supaya teratur dan bermanfaat(93), mereka menguduskan umat beriman. Mereka mengatur penerimaan babtis, yang memperoleh keikut-sertaan dalam imamat rajawi Kristus. Merekalah pelayan sesungguhnya sakramen penguatan, mereka pula yang menerima tahbisan-tahbisan suci dan mengatur dan mengurus tata-tertib pertobatan. Dengan saksama mereka mendorong dan mendidik Umat, supaya dengan iman dan hormat menunaikan perannya dalam liturgi, dan terutama dalam korban kudus misa. Akhirnya mereka wajib membantu umat yang mereka pimpin dengan teladan hidup mereka, yakni dengan mengendalikan perilaku mereka dan menjauhkan dari segala cela, dan – sedapat mungkin, dengan pertolongan Tuhan – mengubahnya menjadi baik. Dengan demikian mereka akan mencapai hidup kekal, bersama dengan kawanan yang dipercayakan kepada mereka (94).

27.(Tugas menggembalakan) Para Uskup membimbing Gereja-Gereja khusus yang dipercayakan kepada mereka sebagai wakil dan utusan Kristus(95), dengan petunjuk-petunjuk, nasehat-nasehat dan teladan mereka, tetapi juga dengan kewibawaan dan kuasa suci. Kuasa itu hanyalah mereka gunakan untuk membangun kawanan mereka dalam kebenaran dan kesucian, dengan mengingat bahwa yang terbesar hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan (lih. Luk 22:26-27). Kuasa, yang mereka jalankan sendiri atas nama Kristus itu, bersifat pribadi, biasa dan langsung, walaupun penggunaannya akhirnya diatur oleh kewibawaan tertinggi Gereja, dan dapat diketahui batasan-batasan tertentu, demi faedahnya bagi Gereja atau Umat beriman. Berkat kuasa itu para Uskup mempunyai hak suci dan kewajiban dihadapan Tuhan untuk menyusun undang-undang bagi bawahan mereka, untuk bertindak sebagai hakim, dan untuk mengatur segala-sesuatu, yang termasuk ibadat dan kerasulan. Secara penuh mereka diserahi tugas kegembalaan, atau pemeliharaan biasa dan sehari-hari terhadap kawanan mereka. Mereka itu jangan dianggap sebagai wakil Imam Agung di Roma, sebab mereka mengemban kuasa mereka sendiri, dan dalam arti yang sesungguhnya disebut pembesar umat yang mereka bimbing(96). Maka kuasa mereka tidak dihapus oleh kuasa tertinggi dan universal, melainkan justru ditegaskan, diteguhkan dan dipertahankan(97). Sebab Roh Kudus memelihara secara utuh bentuk pemerintahan yang ditetapkan oleh Kristus Tuhan dalam Gereja-Nya. Uskup diutus oleh Bapa -keluarga untuk memimp[in keluarga-Nya. Maka hendaknya ia mengingat teladan Gembala Baik, yang datang tidak untuk dilayani melainkan untuk melayani (lih. Mat 20:28; Mrk 10:45), dan menyerahkan nyawaNya untuk domba -domba-Nya (lih. Yoh 10:11). Ia diambil dari manusia dan merasa lemah sendiri. Maka ia dapat memahami mereka yang tidak tahu dan sesat (lih. Ibr 93

Lih. Tradisi para rasul menurut Hipolitus, 2,3: terb. BOTTE, hlm. 26-30. Lih. “teks penyelidikan” pada awal tahbisan Uskup, dan Doa pada akhir Misa tahbisan itu, sesudah Te Deum. 95 BENEDIKTUS XIV, Breve Romana Ecclesia, 5 Oktober 1752, par. 1: Bullarium Benedicti XIV, jilid IV, Roma 1758, 21: “Uskup membawa citra Kristus, dan melaksanakan tugas-Nya”. PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis, AAS 35 (1943) hlm. 211: “Mereka menggembalakan dan membimbing kawanan yang diserahkan kepada mereka masing-masing atas nama Kristus”. 96 Lih. LEO XIII, Ensiklik Satis Cognitum, 29 Juni 1896: ASS 28 (1895-96) hlm. 732. IDEM, Surat Officio sanctissimo, 22 Desember 1887: ASS 20 (1887) hlm. 264. PIUS IX, Surat apostolik kepada para Uskup di Jerman, 12 Maret 1875, dan amanat Konsistori, 15 Maret 1875: DENZ 3112-3117, hanya dalam terbitan baru. 97 Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi Dogmatis Pastor Aeternus, 3: DENZ. 1828 (3061). Lih. Risalah ZINELLI: MANSI 52, 1114D. 94

5:1-2). Hendaklah ia selalu bersedia mendengarkan bawahannya, yang dikasihinya sebagai anak-anaknya sendiri dan diajaknya untuk dengan gembira bekerja sama dengannya. Ia kelak akan memberikan pertanggunjawaban atas jiwa-jiwa mereka dihadapan Allah (lih. Ibr 13:17). Maka hendaklah ia dalam doa, pewartaan dan segala macam amal cinta kasih memperhatikan mereka maupun orang-orang, yang telah dipercayakan kepadanya dalam Tuhan. Seperti Rasul Paulus ia berhutang kepada semua. Maka hendaklah ia bersedia mewartakan Injil kepada semua orang (lih. Rom 1:14-15), dan mendorong Umatnya yang beriman untuk ikut serta dalam kegiatan kerasulan dan misi. Adapun kaum beriman wajib patuh terhadap uskup, seperti Gereja terhadap Yesus Kristus, dan seperti Yesus Kristus terhadap Bapa. Demikianlah semua akan sehati karena bersatu(98), dan melimpah rasa syukurnya demi kemuliaan Allah (lih. 2Kor 4:15). 28. (Para imam biasa) Kristus, yang dikuduskan oleh Bapa dan diutus ke dunia (lih. Yoh 10:36), melalui para Rasul-Nya mengikut-sertakan para pengganti mereka, yakni Uskup-Uskup, dalam kekudusan dan perutusan-Nya(99). Para Uskup yang sah menyerahkan tugas pelayanan mereka kepada pelbagai orang dalam Gereja dalam tingkat yang berbeda-beda. Demikianlah pelayanan gerejani yang di tetapkan oleh Allah dijalankan dalam berbagai pangkat oleh mereka, yang sejak kuno di sebut Uskup, Iman dan Diakon(100). Para imam tidak menerima puncak imamat, dan dalam melaksanakan kuasa mereka tergantung dari para Uskup. Namun mereka samasama imam seperti para Uskup(101), dan berdasarkan sakramen Tahbisan(102) mereka ditahbiskan menurut citra Kristus, Imam Agung yang abadi (lih. Ibr 5:1-10; 7:24; 9:11-28), untuk mewartakan Injil serta menggembalakan Umat beriman, dan untuk merayakan ibadat ilahi, sebagai imam sejati Perjanjian Baru(103). Mereka ikut serta dalam tugas Kristus Pengantara tunggal (lih 1Tim 2:5) pada tingkat pelayanan mereka, dan mewartakan sabda ilahi pada semua orang. Tetapi tugas suci mereka terutama mereka laksanakan dalam ibadat Ekaristi atau synaxys. Di situ mereka bertindak atas nama Kristus(104), dan dengan memaklumkan misteriNya mereka menggabungkan doa-doa Umat beriman dengan korban Kepala mereka. Dalam korban Misa mereka menghadirkan serta menerapkan(105) satusatunya korban Perjanjian Baru, yakni korban Kristus, yang satu kali mempersembahkan diri kepada Bapa sebagai korban tak bernoda (lih. Ibr 9:11-28), hingga kedatangan Tuhan (lih. 1Kor 11:26). Bagi kaum beriman yang bertobat atau sedang sakit mereka menjalankan pelayanan amat penting, yakni pelayanan pendamaian dan peringatan, serta mereka mengantarkan kebutuhan-kebutuhan dan doa kaum beriman kepada Allah Bapa (lih. Ibr 5:1-3). Dengan menunaikan tugas Kristus selaku Gembala dan Kepala menurut tingkat kewibawaan mereka (106), mereka menghimpun keluarga Allah sebagai rukun persaudaraan yang berjiwa kesatuan(107), dan dalam Roh menghantarkannya kepada Allah Bapa melalui Kristus. Ditengah kawanan mereka bersujud kepada-Nya dalam Roh dan kebenaran (lih. Yoh 4:24). Akhirnya, mereka berjerih-payah dalam pewartaan 98

Lih. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Efesus 5,1: terb. FUNK, I, hlm. 216. Lih. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Efesus 5,1: terb. FUNK, I, hlm. 218. 100 Lih. KONSILI TRENTE, Tentang sakramen Tahbisan, bab 2: DENZ. 958 (1765), dan kanon 6: DENZ. 966 (1776) 101 Lih. INOSENSIUS I, Surat kepada Desensius: PL 20,554A; MANSI 3,1029; DENZ. 98 (215): “Meskipun para imam itu imam tingkat dua, namun tidak menerima puncak imamat”. S. SIPRIANUS, Surat 61,3: terb. HARTEL, HLM. 696. 102 Lih. KONSILI TRENTE, Tentang sakramen Tahbisan, DENZ. 956a-968 (1763-1778), dan khususnya kanon 7: DENZ. 967 (1777). PIUS XII, Konstitusi apostolik Sacramentum Ordinis: DENZ. 2301 (3857-61). 103 Lih. INOSENSIUS I, Surat kepada Desensius. S. GREGORIUS dari Nazianze, Apologia II,22: PG 35,432B. Pseudo-DIONISIUS, Gereja Hie, 1,2: PG 3,372D. 104 Lih. KONSILI TRENTE, Sidang 22: DENZ. 940 (1743). PIUS XII, Ensiklik Mediator Dei, 20 November 1947: AAS 39 (1947) hlm. 553: DENZ. 2300 (3850). 105 Lih. KONSILI TRENTE, Sidang 22: DENZ. 940 (1739-40). KONSILI VATI8KAN II, Konstitusi tentang Liturgi suci, Sacrosanctum Concilium, n. 7 dan no. 47, AAS 56 (1964) hlm. 100 dan 113. 106 Lih. PIUS XII, Ensiklik Mediator Dei, no. 67. 107 Lih. S. SIPRIANUS, Surat 11,3: PL 4,242B; HARTEL, II,2, hlm. 497. 99

sabda dan pengajaran (lih. 1Tim 5:17), sambil mengimani apa yang dalam renungan mereka baca dalam hukum Tuhan; sambil mengajarkan apa yang mereka imani, dan menghayati apa yang mereka ajarkan(108). Sebagai pembantu yang arif badan para Uskup(109), sebagai penolong dan organ mereka, para imam dipanggil untuk melayani Umat Allah. Bersama uskup mereka imam-imam merupakan satu presbiterium (dewan imam) (110), NAMUN DIBEBANI PELBAGAI TUGAS. Dimasing-masing jemaat setempat, mereka dalam arti tertentu menghadirkan Uskup, yang mereka dukung dengan semangat percaya dan kebesaran hati. Sesuai dengan bagian mereka, mereka ikut mengemban tugas serta keprihatinan Uskup dan ikut menunaikannya dengan ketekunan setiap hari. Dibawah kewibawaan Uskup para imam menguduskan dan membimbing bagian kawanan Tuhan yang di serahkan kepada mereka. Mereka menampilkan Gereja semesta di tempat mereka, dan mereka memberi sumbangan sungguh berarti dalam membangun seluruh tubuh Kristus (lih. Ef 4:12). Sambil selalu memperhatikan kesejahteraan anak-anak Allah, mereka hendaknya mendukung karya pastoral seluruh keuskupan, bahkan seluruh Gereja. Karena keterlibatan mereka dalam imamat dan perutusan itu hendaklah para imam memandang Uskup sebagai bapa mereka, dan mematuhinya penuh hormat. Sedangkan Uskup hendaknya memandang para imam, rekan-rekan sekerjanya, sebagai putera dan sahabat, sepe rti Kristus sudah tidak menyebut para murid-Nya hamba lagi, melainkan sahabat (lih. Yoh 15:15). Jadi berdasarkan Tahbisan dan pelayanan, semua imam, baik diosesan maupun religius, digabungkan dengan badan para Uskup, dan sesuai dengan panggilan serta rahmat yang mereka terima mengabdi kepada kesejahteraan segenap Gereja. Oleh karena tahbisan suci dan perutusan bersama, semua imam saling berhubungan dalam persaudaraan yang akrab. Persaudaraan itu dengan iklas dan rela hati akan tampil dalam saling memberi bantuan, baik rohani maupun jasmani, di bidang pastoral maupun pribadi, dalam pertemuan-pertemuan maupun dalam persekutuan hidup, karya dan cinta kasih. Hendaklah mereka sebagai bapa dalam Kristus memelihara kaum beriman, yang mereka lahirkan secara rohani dengan Babtis dan pengajaran (lih. 1Kor 4:15; 1Ptr 1:23). Hendaklah mereka penuh semangat menjadi teladan bagi kawanan mereka (lih. 1Ptr 5:3), dan mengetuai serta melayani jemaat setempat mereka sedemikian rupa, sehingga jemaat itu layak dapat di sebut dengan nama, yang menjadi lambang kehormatan bagi satu Umat Allah seluruhnya, yakni Gereja Allah (lih. 1Kor 1:2; 2Kor 1:1; dan di tempat-tempat lain). Hendaklah mereka menyadari, bahwa dengan perilaku serta kesibukan-kesibukan mereka sehari-hari mereka harus memperlihatkan citra pelayanan imam dan pastoral yang sejati, kepada kaum beriman maupun tak beriman, kepada Umat katolik maupun bukan katolik, dan wjib memberikan kesaksian kebenaran dan hidup kepada semua orang. Hendaklah mereka sebagai gembala baik juga mencari mereka (lih. Luk 15:4-7), yang memang di babtis dalam Gereja katolik, tetapi tidak lagi menerima sakramensakramen, bahkan telah meninggalkan iman. Karena sekarang ini umat manusia semakin merupakan kesatuan dibidang kenegaraan, ekonomi dan sosial, maka semakin perlu pulalah para imam bersatu padu dalam segala usaha dan karya dibawah bimbingan para Uskup dan Imam Agung Tertinggi. Hendaklah mereka menyingkirkan apa saja yang menimbulkan perpecahan, supaya segenap umat manusia dibawa ke dalam kesatuan keluarga Allah.

108

Lih. Pontificale Romanum, tentang Tahbisan imam, pada pengenaan pakaian Misa. Lih. Pontificale Romanum, tentang Tahbisan imam, pendahuluan 110 Lih. S. INNASIUS Martir, Surat kepada umat di Filadelfia, 4: terb. FUNK, I, hlm. 266. S. KORNELIUS I, S. SIPRIANUS, Surat 48,2: HARTEL, III, 2, HLM. 610. 109

29. (Para diakon) Pada tingkat hirarki yang lebih rendah terdapat para Diakon, yang ditumpangi tangan “bukan untuk imamat, melainkan untuk pelayanan”(111). Sebab dengan diteguhkan rahmat sakramental mereka mengabdikan diri kepada Umat Allah dalam perayaan liturgi, sabda dan amal kasih, dalam persekutuan dengan Uskup dan para imamnya. Adapun tugas diakon, sejauh dipercayakan kepadanya oleh kewibawaan yang berwenang, yakni: menerimakan Babtis secara meriah, menyimpan dan membagikan Ekaristi, atas nama Gereja menjadi saksi perkawinan dan memberkatinya, mengantarkan Komuni suci terakhir kepada orang yang mendekati ajalnya, membacakan Kitab suci kepada kaum beriman, mengajar dan menasehati Umat, memimpin ibadat dan doa kaum beriman, menerimakan sakramen-sakramentali, memimpin upacara jenazah dan pemakaman. Sambil membaktikan diri kepada tugas-tugas cinta kasih dan administrasi, hendaklah para diakon mengingat nasehat Santo Polikarpus: “Hendaknya mereka selalu bertindak penuh belaskasihan dan rajin, sesuai dengan kebenaran Tuhan, yang telah menjadi hamba semua orang”(112). Namun karena tugas-tugas yang bagi kehidupan Gereja sangat penting itu menurut tata-tertib yang sekarang berlaku di Gereja latin di pelbagai daerah sulit dapat dijalankan, maka dimasa mendatang Diakonat dapat diadakan lagi sebagai tingkat hirarki tersendiri dan tetap. Adalah tugas berbagai macam konferensi Uskup setempat yang berwewenang, untuk menetapkan dengan persetujuan Imam Agung Tertinggi sendiri, apakah dan dimanakah sebaiknya diangkat diakon-diakon seperti itu demi pemeliharaan jiwa.jiwa. Dengan ijin Imam Agung di Roma diakonat itu dapat diterimakan kepada pria yang sudah lebih masak usianya, juga yang berkeluarga; pun juga kepada pemuda yang cakap tetapi bagi mereka ini hukum selibat harus dipertahankan.

BAB EMPAT

PARA AWAM 30.(Prakata) Seusai menguraikan tugas hirarki, Konsili suci dengan rela mengarahkan perhatiannyakepada status kaum beriman kristiani yang disebut awam. Segala sesuatu, yang telah dikatakan tentang Umat Allah, sama-sama dimaksudkan bagi kaum awam, pria maupun wanita, mengingat kedudukan dan perutusan mereka. Karena situasi khas seperti zaman kita sekarang hal-hal itu perlu diselidiki azasazasnya secara lebih mendalam. Sebab para Gembala Gereja betul-betul memahami, betapa besar sumbangan kaum awam bagi kesejahteraan seluruh Gereja. Para Gembala mengetahui bahwa mereka diangkat oleh Kristus bukan untuk mengemban sendiri seluruh misi penyelamatan Gereja di dunia. Melainkan tugas mereka yang mulia yakni: menggembalakan Umat beriman dan mengakui pelayanan-pelayanan serta kurnia-kurnia (karisma) mereka sedemikian rupa sehingga semua saja dengan cara mereka sendiri sehati-sejiwa bekerja sama untuk mendukung karya bersama. Sebab mereka semua wajib “menjalankan kebenaran 111

112

“Ketetapan-ketetapan Gereja di Mesir”, III, 2: terb. FUNK, Didascalia (pengajaran), II, hlm. 103. Statuta Eccl. Ant. 37-41: MANSI 3,954. S. POLIKARPUS, Surat kepada Fil. 5,2: terb. FUNK, I, hlm. 300: Dikatakan bahwa Kristus “telah menjadi pelayan semua orang”. Lih. Didache (pengajaran), 15,1: FUNK, I, hlm. 32. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Tralles, 2, 3: FUNK, I, hlm. 242. “Ketetapan-ketetapan para Rasul”, 8, 28, 4: terb. FUNK, Didascalia, I, hlm. 530.

dalam cinta kasih, dan dalam segalanya bertumbuh dalam Kristus, yakni Kepala kita: dari pada-Nya bertumbuhlah seluruh tubuh, guna membangun diri dalam cinta kasih, dipersatukan dan di hubungkan dengan segala macam sendi-sendi, yang harus melayani keseluruhannya sekedar pekerjaan yang sesuai dengan tenaga masing-masing anggota” (Ef 4:15-16). 31.(Apa yang dimaksud dengan istilah “awam”) Yang dimaksud dengan istilah awam disini ialah semua orang beriman kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan imam atau status religius yang diakui dalam Gereja. Jadi kaum beriman kristiani, yang berkat Babtis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun menjadi Umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus, dan dengan demikian sesuai dengan kemampuan mereka melaksanakan perutusan segenap Umat kristiani dalam Gereja dan di dunia. Ciri khas dan istimewa kaum awam yakni sifat keduniaannya.Sebab mereka yang termasuk golongan imam, meskipun kadang-kadang memang dapat berkecimpung dalam urusan-urusan keduniaan, juga dengan mengamalakan profesi keduniaan, berdasarkan panggilan khusus dan tugas mereka terutama diperuntukkan bagi pelayanan suci. Sedangkan para religius dengan status hidup mereka memberi kesaksian yang cemerlang dan luhur, bahwa dunia tidak dapat diubah dan dipersembahkan kepada Allah, tanpa semangat Sabda bahagia. Berdasarkan panggilan mereka yang khas, kaum awam wajib mencari kerajaan Allah, dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah. Mereka hidup dalam dunia, artinya: menjalankan segala macam tugas dan pekerjaan duniawi, dan berada ditengah kenyataan biasa hidup berkeluarga dan sosial. Hidup mereka kurang lebih terjalin dengan itu semua. Di situlah mereka dipanggil oleh Allah, untuk menunaikan tugas mereka sendiri dengan dijiwai semangat Injil, dan dengan demikian ibarat ragi membawa sumbangan mereka demi pengudusan dunia bagaikan dari dalam. Begitulah mereka memancarkan iman, harapan dan cinta kasih terutama dengan kesaksian hidup mereka, serta menampakkan Kristus kepada sesama. Jadi tugas mereka yang istimewa yakni: menyinari dan mengatur semua hal-hal fana, yang erat-erat melibatkan mereka, sedemikian rupa, sehingga itu semua selalu terlaksana dan berkembang menurut kehendak Kristus, demi kemiliaan Sang Pencipta dan Penebus.

32.(Martabat kaum awam sebagai anggota Umat Allah) Atas penetapan ilahi Gereja kudus diatur dan dipimpin dengan keanekaragaman yang mengagumkan. “Sebab seperti kita dalam satu tubuh mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota mempunyai tugas yang sama: begitu pula kita yang banyak ini merupakan satu tubuh dalam Kristus, sedangkan kita masingmasing merupakan anggota yang seorang terhadap yang lain” (Rom 12:4-5). Jadi satulah Umat Allah yang terpilih: satu Tuhan, “satu iman, satu Babtis” (Ef 4:5). Samalah martabat para anggota karena kelahiran mereka kembali dalam Kristus; sama rahmat para putera; sama pula panggilan kepada kesempurnaan; satu keselamatan, satu harapan dan tak terbagilah cinta kasih. Jadi dalam kristus dan dalam Gereja tidak ada perbedaan karena suku atau bangsa, karena kondisi sosial atau jenis kelamin. Sebab “tidak ada Yahudi atau Yunani: tidak ada budak atau orang merdeka: tidak ada pria atau wanita. Sebab kamu semua itu ‘satu’ dalam Kristus Yesus” (Gal 3:28 yun; lih. Kol 3:11). Maka kendati dalam Gereja tidak semua menempuh jalan yang semua jalan yang sama, namun semua dipanggil dalam kesucian, dan menerima iman yang sama dalam kebenaran Allah (lih 2Ptr 1:1). Meskipuan ada yang atas kehendak Kristus diangkat menjadi guru, pembagi misteri-misteri dan gembala bagi sesam,

namun semua toh sungguh-sungguh sederajat martabatnya, sederajat pula kegiatan yang umum bagi semua orang beriman dalam membangun Tubuh Kristus. Sebab pembedaan yang diadakan Tuhan antara lain para pelayan yang ditahbiskan dan para anggota Umat Allah yang lain, membawa serta suatu hubungan, sebab para gembala dan orang-orang beriman lainnya saling terikat karena kebutuhan mereka bersama. Dengan menganut teladan Tuhan, pa ra Gembala Gereja saling mengabdi dan melayani Umat beriman lainnya. Sedangkan kaum beriman dengan suka hati bekerja sama dengan para Gembala dan guru mereka. Begitulah dengan aneka cara semua memberi kesaksian tentang kesatuan yang mengagumkan dalam Tubuh Kristus: sebab keanekaan rahmat, pelayanan dan kegiatan manghimpun para anak Allah menjadi satu, sebab “semua itu dikerjakan oleh Roh yang satu dan sama” (1Kor 12:11). Berkat kerahiman Allah para awam bersaudarakan Kristus, yang sungguhpun Ia Tuhan segala sesuatu – telah datang tidak untuk dilayani melainkan untuk melayani (lih Mat 20:28). Begitu pula kaum awam bersaudarakan mereka, yang diangkat kedalam pelayanan suci, dan dengan mengajar, menguduskan serta membimbing dengan kewibawaan Kristus menggembalakan keluarga Allah sedemikian rupa, sehingga perintah baru tentang cinta kasih dilaksanakan oleh semua.Perihal itu bagus sekali dikatakan oleh S. Agustinus : “Bila saya merasa takut karena saya ini untuk kamu, saya merasa terhibur karena saya bersama kamu. Sebab bagi kamu saya ini uskup, bersama kamu saya orang krisstiani. Uskup itu nama jabatan, kristiani nama rahmat; yang pertama merupakan resiko, yang lain keselamatan”(113).

33. (Hidup kaum awam berhubung dengan keselamatan dan kerasulan) Semua para awam, yang terhimpun dalam Umat Allah dan berada dalam satu Tubuh Kristus di bawah satu kepala, tanpa kecuali dipanggil untuk sebagai anggota yang hidup menyumbangkan segenap tenaga, yang mereka terima berkat kebaikan Sang Pencipta dan rahmat Sang Penebus demi perkembangan Gereja serta pengudusannya terus menerus. Adapun kerasulan kaum awam itu keikut-sertaan dalam perutusan keselamatan Gereja sendiri. Dengan babtis dan penguatan semua ditugaskan oleh Tuhan sendiri untuk kerasulan itu. Dengan sakramen-sakramen, terutama Ekaristi suci, diberikan dan dipelihara cinta kasih terhadap Allah dan manusia, yang menjiwai seluruh kerasulan. Tetapi kaum awam khususnya dipanggil untuk menghadirkan dan mengaktifkan Gereja di daerah-daerah dan keadaan-keadaan, tempat Gereja tidak dapat menggarami dunia selain berkat jasa mereka (114). Demikianlah setiap orang awam, karena kurnia-kurnia yang diterimanya, menjadi saksi dan sarana hidup perutusan Gereja sendiri “menurut ukuran anugerah Kristus” (Ef 4:7). Selain kerasulan yang merupakan kewajiban semua orang beriman kristiani tanpa kecuali itu, kaum awam juga dapat dipanggil dengan aneka cara untuk bekerja sama secara lebih langsung dengan kerasulan Hirarki (115), menyerupai pria-pria dan wanita-wanita, yang membantu Rasul paulus dalam pewartaan Injil dengan banyak berjerih-payah dalam Tuhan (lih. Flp 4:3; Rom 16:3 dsl.). Disamping itu mereka cakap juga untuk diangkat oleh Hirarki, guna menunaikan berbagai tugas gerejani demi tujuan rohani. Jadi semua orang awam mengemban kewajiban mulia untuk berusaha, supaya rencana keselamatan ilahi semakin mencapai semua orang di segala zaman dan 113

S. AGUSTINUS, Kotbah 340,1: PL 38, 1483. Lih. PIUS XI, Ensiklik Quadragesimo anno, 15 Mei 1931: AAS 23 (1931) hlm. 221 dsl. PIUS XII, Amanat De quelle consolation, 14 Oktober 1951: AAS 43 (1951) hlm. 790 dsl. 115 Lih. PIUS XII, Amanat Six ans se sont coules, 5 Oktober 1957: AAS 49 (1957) hlm. 927. 114

dimana-mana. Oleh karena itu hendaklah dengan cara manapun juga terbuka jalan bagi mereka, supaya mereka sendiri sekadar kemampuan mereka dan sesuai dengan kebutuhan zaman – dengan giat ikut serta melaksanakan karya keselamatan Gereja.

34.(Keikut-sertaan kaum awam dalam imamat umum dan ibadat) Imam Tertinggi dan Abadi Kristus Yesus bermaksud melangsungkan kesaksian dan palayanan-Nya melalui kaum awam juga. Maka oleh Roh-Nya Ia tiada hentinya menghidupkan dan mendorong mereka untuk menjalankan segala karya yang baik dan sempurna. Sebab mereka, yang erat-erat disatukan-Nya dengan hidup dan perutusan-Nya, juga diikutsertakan-Nya dalam tugas imamat-Nya untuk melaksanakan ibadat rohani, supaya Allah dimuliakan dan umat manusia diselamatkan. Oleh karena itu para awam, sebagai orang yang menyerahkan diri kepada Kristus dan diurapi dengan Roh Kudus, secara ajaib dipanggil dan disiapkan, supaya secara makin melimpah menghasilkan buah-buah Roh dalam diri mereka. Sebab semua karya, doa-doa dan usaha kerasulan mereka, hidup mereka selaku suami-isteri dan dalam keluarga, jerih-payah mereka sehari-hari, istirahat bagi jiwa dan badan mereka, bila dijalankan dalam Roh, bahkan beban-beban hidup bila ditanggung dengan sabar, menjadi korban rohani, yang dengan perantaraan Yesus Kristus berkenan kepada Allah (lih. 1Ptr 2:5). Korban itu dalam perayaan Ekaristi, bersama dengan persembahan Tubuh Tuhan, penuh khidmat dipersembahkan kepada Bapa. Demikianlah para awam pun juga sebagai penyembah Allah, yang dimana-mana hidup dengan uci, membaktikan dunia kepada Allah.

35. (Keikut-sertaan kaum awam dalam tugas kenabian Kristus) Kristus Nabi Agung telah memaklumkan Kerajaan Bapa dengan kesaksian hidup maupun kekuatan sabda-Nya. Ia menunaikan tugas kenabian-Nya hingga penampakan kemuliaan sepenuhnya bukan saja melalui Hirarki yang mengajar atas nama dan dengan kewibawaan-Nya, malainkan juga melalui para awam. Karena itulah awam diangkat-Nya menjadi saksi dan dibekali-Nya dengan perasaan iman dan rahmat sabda (lih. Kis 2:17-18; Why 19:10), supaya kekuatan Injil bersinar dalam hidup sehari-hari, dalam keluarga maupun masyarakat. Mereka membawakan diri sebagai pengemban janji-janji, bila dengan keteguhan iman dan harapan menggunakan waktu sekarang dengan tepat (lih. Ef 5:16; Kol 4:5), dan mendambakan dengan dengan sabar kemuliaan yang akan datang (lih. Rom 8:25). Namun harapan itu janganlah mereka sembunyikan dilubuk hati. Hendaklah itu mereka ungkapkan dengan pertobatan tiada hentinya dan dengan perjuangan “melawan para penguasa dunia kegelapan, menentang roh-roh jahat” (Ef 6:12), juga melalui struktur-struktur hidup duniawi. Sakramen-sakramen Hukum Baru, yang memelihara hidup dan kerasulan kaum beriman, melambangkan sorga baru dan dunia baru (lih. Why 21:1). Begitu pula para awam menjadi bentara yang tangguh, pewarta iman akan hal-hal yang diharapkan (lih. Ibr 11:1), bila mereka tanpa ragu-ragu memadukan pengakuan iman dengan penghayatan iman. Penyiaran Injil itu, yakni pewartaan Kristus, yang disampaikan dengan kesaksian hidup dan kata-kata, memperoleh ciri yang khas dan daya-guna yang istimewa justru karena dijalankan dalam keadaan-keadaan biasa dunia ini. Dalam tugas itu nampak sangat berharga status kehidupan yang dikuduskan dengan sakramen khusus, yakni hidup perkawinan dan berkeluarga. Di sini terdapat latihan dan pendidikan yang sangat baik bagi kerasulan awam, bila agama kristiani merasuki dan makin mengubah seluruh tata-susunan

kehidupan. Di situ suami-isteri mempunyai panggilan mereka sendiri, yakni: memberi kesaksian iman dan cinta akan Kristus seorang terhadap yang lain, dan kepada anak-anak mereka. Keluarga kristiani dengan lantang mewartakan baik kekuatan Kerajaan Allah sekarang maupun harapan akan hidup bahagia. Demikianlah keluarga dengan teladan maupun kesaksiannya menunjukkan dosa dunia, dan menerangi mereka yang mencari kebenaran. Maka dari itu para awam, juga kalau mereka sibuk dengan urusan keduniaan, dapat dan harus menjalankan kegiatan yang berharga untuk mewartakan Injil kepada dunia. Memang, karena tidak ada imam-imam atau mereka dihang-halangi dalam penganiayaan, beberapa awam sekedar kemampuan mereka mengambil alih beberapa tugas suci. Banyaklah sudah yang membaktikan segenap tenaga mereka dalam karya kerasulan. Akan tetapi semua wajib bekerja sama demi penyebarluasan dan perkembangan Kerajaan Kristus di dunia. Oleh karena itu hendaklah para awam dengan tekun berusaha makin mendalami arti kebenaran yang di wahyukan, dan sepenuh hati memohon kurnia kebijaksanaan dari Allah.

36. (Keikut-sertaan kaum awam dalam pengabdian rajawi Kristus) Kristus, yang taat sampai mati dan karena itu dimuliakan oleh Bapa (lih. Flp 2:89), telah memasuki kemuliaan kerajaan-Nya. Segala-sesuatu ditaklukkan kepadaNya, sampai Ia menaklukkan diri dan segenap alam tercipta kepada Bapa, supaya Allah menjadi semua dalam segalanya (lih. 1Kor 15:27-28). Kuasa itu disalurkanNya kepada para murid, supaya merekapun diangkatke dalam kebebasan rajawi, dan dengan mengingkari diri serta hidup suci mengalahkan kerajaan dosa dalam diri mereka sendiri (lih. Rom 6:12); bahkan supaya mereka melayani Kristus juga dalam sesama, dan dengan demikian dengan rendah hati dan kesabaran mengantarkan saudara-saudaranya kepada Sang Raja: mengabdi kepada-Nya berarti memerintah. Sebab Tuhan ingin memperluas kerajaan-Nya juga melalui kaum beriman awam, yakni kerajaan kebenaran dan kehidupan, kerajaan kesucian dan rahmat, kerajaan keadilan, cinta kasih dan damai(116). Dalam kerajaan itu makhluk akan dibebaskan dari perbudakan kebinasaan, dan memasuki kebebasan kemuliaan anak-anak Allah (lih. Rom 8:21). Sungguh agunglah janiji, agung pula perintah yang di berikan kepada para murid : “Sebab segala-sesuatu itu milikmu, tetapi kamu milik Kristus, dan Kristus milik Allah” (1Kor 3:23). Jadi kaum beriman wajib mengakui makna sedalam-dalamnya, nilai serta tujuan segenap alam tercipta, yakni : demi kemuliaan Allah. Lagi pula mereka wajib saling membantu juga melalui kegiatan duniawi untuk hidup dengan lebih suci, supaya dunia diresapi semangat Kristus, dan dengan lebih tepat mencapai tujuannya dalam keadilan, cinta kasih dan damai. Dalam menunaikan tugas umum itu para awam memainkan peran utama. Maka dengan kompetisinya di bidang profan serta dengan kegiatannya, yang dari dalam diangkat oleh rahmat Kristus, hendaklah mereka memberi sumbangan yang andal, supaya hal-hal tercipta dikelola dengan kerja manusia, keahlian teknis, serta kebudayaan yang bermutu, menurut penetapan Sang Pencipta dan dalam cahaya Sabda-Nya, sehingga bermanfaat bagi semua orang tanpa kecuali, dan dengan caranya sendiri mengantar kepada kemajuan umum dalam kebebasan manusiawi dan kristiani. Demikianlah Kristus melalui para anggota Gereja akan semakin menyinari segenap masyarakat manusia dengan cahaya-Nya yang menyelamatkan. Selain itu hendaklah kaum awam dengan kerja sama yang erta menyehatkan lembaga-lembaga dan kondisi-kondisi masyarakat, bila ada yang merangsang untuk berdosa. Maksudnya yakni supaya itu semua disesuaikan dengan normanorma keadilan, dan menunjang pengamalan keutamaan-keutamaan, bukan 116

Dari Prefasi hari raya Kristus Raja.

malahan merintanginya. Dengan demikian mereka meresapi kebudayaan dan kegiatan manusia dengan nilai moral. Begitu pula ladang dunia disiapkan lebih baik untuk menampung benih sabda ilahi; pun pintu gerbang Gereja terbuka lebih lebar, supaya pewartaan perdamaian dapat memasuki dunia. Demi terlaksananya tata-keselamatan hendaklah kaum beriman belajar membedakan dengan cermat antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka selaku anggota Gereja, dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban mereka sebagai anggota masyarakat manusia. Hendaklah mereka berusaha memperpadukan keduanya secara selaras, dengan mengingat bahwa dalam perkara duniawi manapun mereka wajib menganut suara hati kristiani. Sebab tindakan manusia satu pun, juga dalam urusan-urusan duniawi, yang dapat dilepaskan dari kedaulatan Allah. Tetapi pada zaman kita sekarang sangat perlu bahwa dalam cara bertindak kaum beriman pembedaan dan sekaligus keselarasanitu menjadi sejelas mungkin, supaya perutusan Gereja dapat lebih penuh menanggapi situasi-situasi khas dunia masa kini. Sebab memang harus diakui bahwa masyarakat duniawi, yang dengan tepat menyelenggarakan urusan-urusan duniawi, mempunyai azasazasnya sendiri. Begitu pula sudah sepantasnya ditolak ajaran sesat, yang memperjuangkan pembangunan masyarakat tanpa mengindahkan agama sedikitpun, dan bermaksud memerangi serta menghapus kebebasan beragama para warga negara.117) 37.(Hubungan kaum awam dengan Hirarki) Dari harta-kekayaan rohani Gereja kaum awam, seperti semua orang beriman kristiani, berhak menerima secara melimpah melalui pelayanan para Gembala hirarkis, terutama bantuan sabda Allah dan sakramen-sakramen(118). Hendaklah para awam mengemukakan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka kepada para imam, dengan kebebasan dan kepercayaan, seperti layaknya bagi anak-anak Allah dan saudara-saudara dalam Kristus. Sekadar ilmupengetahuan, kompetensi dan kecakapan mereka para awam mempunyai kesempatan, bahkan kadang-kadang juga kewajiban, untuk menyatakan pandangan mereka tentang hal-hal yang menyangkut kesejahteraan Gereja(*119). Bila itu terjadi, hendaklah itu dijalankan melalui lembaga-lembaga yang didirikan gereja untuk itu, dan selalu dengan jujur, tegas dan bijaksana, dengan hormat dan cinta kasih terhadap mereka, yang karena tugas suci bertindak atas nama Kristus. Hendaklah para awam, seperti semua orang beriman kristiani, mengikuti teladan Kristus, yang dengan ketaatan-Nya sampai mati, membuka jalan yang membahagiakan bagi semua orang, jalan kebebasan anak-anak Allah. Hendaklah mereka dengan ketaatan kristiani bersedia menerima apa yang ditetapkan oleh para Gembala hirarkis sejauh menghadirkan Kristus, sebagai guru dan pemimpin dalam Gereja. Dan janganlah mereka lupa mendoakan di hadirat Allah para Pemimpin mereka, - sebab para Pemimpin itu berjaga karena akan memberi pertanggungjawaban atas jiwa-jiwa kita, - supaya itu mereka jalankan dengan gembira tanpa keluh-kesah (lih. Ibr 13:1). Sebaliknya hendaklah para Gembala hirarkis mengakui dan memajukan martabat serta tanggung jawab kaum awam dalam gereja. Dan hendaklah mereka diberi kebebasan dan keleluasaan untuk bertindak; bahkan mereka pantas diberi hati, supaya secara spontan memulai kegiatan-kegiatan juga. Hendaklah para Gembala dengan kasih kebapaan, penuh perhatian dalam Kristus, mempertimbangkan prakarsa-prakarsa , usul-usul serta keinginan-keinginan yang 117

Lih. LEO XIII, Ensiklik Immortale Dei, 1 November 1885: AAS 18 (1885) hlm. 166 dsl. IDEM, Ensiklik Sapientiae Christiance, 10 Januari 1890: AAS 22 (1889-90) hlm. 397 dsl. PIUS XII, Amanat Alla vostra filiale, 23 Maret 1958: AAS 50 (1958) hlm. 220: “sifat keawaman yang sah dan sehat pada negara”. 118 Kitab Hukum Kanonik (lama), kanon 682. 119 Lih. PIUS XII, Amanat De quelleconsolation, 14 oktober 1951: AAS 43 (1951) hlm. 789: “Dalam pertempuranpertempuran yang menentukan ada kalanya dari baris depanlah muncul prakarsa-prakarsa yang paling mengena …” IDEM, Amanat L’importance de la presse catholique, 17 Februari 1950: AAS 42 (1950) hlm. 256.

diajukan oleh kaum awam(120). Hendaklah para Gembala dengan saksama mengakui kebebasan sewajarnya, yang ada pada semua warga masyarakat duniawi. Dari pergaulan persaudaraan antara kaum awam dan para Gembala itu boleh diharapkan banyak manfaat bagi Gereja. Sebab dengan demikian dalam para awam diteguhkan kesadaran bertanggungjawab dan ditingkatkan semangat. Lagi pula tenaga kaum awam lebih mudah digabungkan dengan karya para Gembala. Sebaliknya, dibantu oleh pengalaman para awam, para Gembala dapat mengadakan penegasan yang lebih jelas dan tepat dalam perkara-perkara rohani maupun jasmani. Dengan demikian seluruh Gereja, dikukuhkan oleh semua anggotanya akan menunaikan secara lebih tepat guna perutusannya demi kehidupan dunia.

38.(Penutup) Setiap orang awam wajib menjadi saksi kebangkitan dan kehidupan Tuhan Yesus serta menjadi tanda Allah yang hidup dihadapan dunia. Semua serentak dan masing-masing untuk bagiannya sendiri wajib memperkaya dunia dengan buahbuah rohani (lih. Gal 5:22), dan menyebarkan di dalamnya semangat, yang menjiwai mereka yang miskin, lemah lembut dan cinta damai, yang dalam Injil dinyatakan bahagia oleh Tuhan (lih. Mat 5:3-9). Pendek kata: “Seperti jiwa dalam tubuh, begitulah umat kristiani dalam dunia”(121).

BAB LIMA

PANGGILAN UMUM UNTUK KESUCIAN DALAM GEREJA

39.(prakata) Kita mengimani bahwa gereja, yang misterinya diuraikan oleh Konsili suci, tidak dapat kehilangan kesuciannya. Sebab Kristus, Putera Allah, yang bersama bapa dan Roh dipuji bahwa “hanya Dialah Kudus”(122), mengasihi Gereja sebagai mempelai-Nya. Kristus menyerahkan diri baginya, untuk menguduskannya (lih. Ef 5:25-26), dan menyatukannya dengan diri-Nya sebagai tubuh-Nya. Ia melimpahinya dengan kurnia Roh Kudus, demi kemuliaan Allah. Maka dalam Gereja semua anggota, entah termasuk Hirarki entah digembalakan olehnya, dipanggil untuk kesucian, menurut amanat rasul: “Sebab inilah kehendak Allah: pengudusanmu” (1Tes 4:3; lih. Ef 1:4). Adapun kesucian gereja itu tiada hentinya tampil dan harus nampak pada buah-buah rahmat, yang dihasilkan oleh Roh dalam kaum beriman. Kekudusan itu dengan aneka cara terungkapkan pada masing-masing orang, yang dalam corak hidupnya menuju kesempurnaan cinta kasih dengan memberi teladan baik kepada sesama. Secara khas pula nampak dalam penghayatan nasehat-nasehat, yang lazim disebut “nasehat Inji8l”. Penghayatan nasehat-nasehat itu atas dorongan Roh Kudus ditempuh oleh orang 120

Lih. 1Tes 5:19 dan 1Yoh 4:1 Surat kepada Diognetus, 6: terb. FUNK, I, hlm. 400. Lihat S. YOH. KRISOSTOMUS, Tentang Mat, Homili 46 (47) 2: PG 58,478, Tentang ragi dalam adonan. 122 Misal Romawi, “Kemuliaan kepada Allah di sorga”. Lih. Luk 1:35; Mrk 1:24; Luk 4:34; Yoh 6:69: “Yang Kudus dari Allah”; Kis 3:14; 4:27 dan 30; Ibr 7:26; 1Yoh 2:20; Why 3:7. 121

banyak kristiani, entah secara perorangan, eantah dalam corak atau status hidup yang disahkan oleh Gereja, serta menyajikan dan harus menyajikan di dunia ini kesaksian dan teladan yang ulung tentang kesucian itu.

40.(Panggilan umum kepada kesucian) Tuhan Yesuslah Guru dan Teladan ilahi segala kesempurnaan. Dengan kesucian hidup, yang dikerjakan dan dipenuhi-Nya sendiri, Ia mewartakan kepada semua dan masing-masing murid-Nya, bagaimanapun juga corak hidup mereka: “Kamu harus sempurna, seperti Bapamu yang di sorga sempurna adanya” (Mat 5:48) (123). Sebab kepada semua diutus-Nya Roh Kudus, untuk menggerakkan mereka dari dalam, supaya mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi dan dengan segenap tenaga mereka (lih. Mrk 12:30), dan saling mencintai seperti Kristus telah mencintai mereka (lih. Yoh 13:34; 15:12). Para pengikut Kristus dipanggil oleh Allah bukan berdasarkan perbuatan mereka, melainkan berdasarkan rencana dan rahmat-Nya. Mereka dibenarkan dalam tuhan Yesus, dan dalam babtis iman sungguh-sungguh dijadikan anak-anak Allah dan ikut serta dalam kodrat ilahi, maka sungguh menjadi suci. Maka dengan bantuan Allah mereka wajib mempertahankan dan mengembangkan dalam hidup mereka kesucian yang telah mereka terima. Oleh rasul mereka dinasehati, supaya hidup “sebagaimana layak bagi orang-orang kudus” (Ef 5:3); supaya “sebagai kaum pilihan Allah, sebagai orang-orang Kudus yang tercinta, mengenakan sikap belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah-lembutan dan kesabaran” (Kol 3:12); dan supaya menghasilakn buah-buah Roh yang membawa kepada kesucian (lih. Gal 5:22; Rom 6:22). Akan tetapi karena dalam banyak hal kita semua bersalah (lih. Yak 3:2), kita terus-menerus mebutuhkan belaskasihan Allah dan wajib berdoa setiap hari: “Dan ampunilah kesalahan kami” (Mat 6:12) (124). Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua orang kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidupkristiani dan kesempurnaan cinta kasih(125). Dengan kesian itu juga dalam masyarakat di dunia in cara hidup menjadi lebih manusiawi. Untuk memperoleh kesempurnaan itu hendaklah kaum beriman mengerahkan tenaga yang mereka terima menurut ukuran yang dikurniakan oleh Kristus, supaya dengan mengikuti jejak-Nya dan merupai citra-Nya, dengan melaksanakan kehendak Bpa dalam segalanya, mereka dengan segenap jiwa membaktikan diri kepada kemuliaan Allah dan pengabdian terhadap sesama. Begitulah kesucian Umat Allah akan bertumbuh dan menghasilkan buah berlimpah, seperti dalam sejarah Gereja telah terbukti dengan cemerlang melalui hidup sekian banyak orang kudus.

41.(Bentuk pelaksanaan kesucian) Dalam aneka bentuk kehidupan serta tugas satu kesucian yang sama diamalkan oleh semua, yang digerakkan oleh Roh Allah, dan yang dengan mematuhi suara Bapa serta bersujud kepada Allah Bapa dalam roh dan kebenaran, mengikuti Kristus yang miskin, rendah hati dan memanggul salib-Nya, agar mereka pantas ikut menikmati kemuliaany-Nya. Adapun masing-masing menurut kurnia dan

123

124

125

Lih. ORIGENES, Komentar pada Rom 7:7 PG 14,1122B. Pseudo MAKARIUS, Tentang Doa 11 : PG 34,861AB. S. TOMAS, Summa Theol. II-II, soal 184, art. 3. Lih. S. AGUSTINUS, Penarikan Kembali, II, 18: PL 32,637 dsl. PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis, 29 Juni 1943: AAS 35 (1943) hlm. 225. Lih. PIUS XI, Ensiklik Rerum omnium, 26 januari 1923: AAS 15 (1923) hlm. 50 dan 59-60. Ensiklik Casti Connubii, 31 Desember 1930: AAS 22 (1930) hlm. 548. PIUS XII, Konstitusi apostolis Provida Mater, 2 Februari 1947: AAS 39 (1947) hlm. 117. Amanat Annus sacer, 8 Desember 1950: AAS 43 (1951) hlm. 27-28. Amanat Nel darvi, Juli 1956: AAS 48 (1956) hlm. 574 dsl.

tugasnya sendiri wajib melangkah tanpa ragu-ragu menempuh jalan iman yang hidup, yang membangkitkan harapan dan mewujudkan diri melalui cinta kasih. Terutama para Gembala kawanan Kristuslah yang wajib menjalankan pelayanan mereka dengan suci dan gembira, dengan rendah hati dan tegas, menurut citra Imam Agung dan Abadi, Gembala dan Pengawas jiwa kita. Dengan demikian pelayanan yang mereka lakukan juga bagi mereka sendiri akan menjadi upaya penyucian yang ulung. Mereka dipilih untuk mengemban kepenuhan imamat, dan dikurniai rahmat sakramental, supaya dengan berdoa, mempersembahkan korban dan mewartakan sabda, melalui segala macam perhatian dan pengabdian Uskup, melaksanakan tugas sempurna cinta kasih kegembalaan(126), dan supaya jangan takut menyerahkan jiwa demi domba -domba, dan dengan menjadi teladan bagi kawanan (lih. 1Ptr 5:3), lagi pula dengan contohnya memajukan Gereja menuju tingkat kesucian yang kian hari makin tinggi. Hendaklah para imam, serupa dengan para Uskup yang mempunyai mereka sebagai mahkota rohani(127), dan dengan ikut-serta mengemban rahmat tugas para Uskup, melalui Kristus satu-satunya Pengantara abadi, dengan menunaikan tugas harian mereka, berkembang dalam cinta kasih akan Allah dan sesama. Hendaklah mereka melayani ikatan persekutuan para imam, melimpah dalam segala kebaikan rohani, dan memberi kesaksian hidup tentang Allah kepada semua orang(128). Semoga mereka meneladan para imam, yang dalam peredaran masa meninggalkan contoh kesucian yang gemilang, dengan pengabdian mereka yang sering amat sederhana dan tersembunyi. Pujian terhadap mereka menggema dalam gereja Allah. Hendaklah mereka berdasarkan jabatan berdoa dan mempersembahkan korban bagi jemaat mereka dan segenap Umat Allah, menyadari apa yang mereka jalankan dan berusaha menghayati apa yang mereka lakukan(129). Jangan hendaknya mereka dihambat oleh kesibukan-kesibukan, bahaya-bahaya dan kesukaran-kesukaran dalam kerasulan, melainkan hendaklah justru karena itu semua mereka mencapai taraf kesucian yang lebih tinggi; sebab mereka menguatkan serta memupuk kegiatan mereka dengan kelimpahan hasil kontemplasi, sehingga menggembirakan seluruh Gereja Allah. Hendaklah semua imam, dan terutama mereka yang karena alasan khas tahbisan mereka disebut imam diosesan (projo), mengingat betapa pentingnya bagi kesucian mereka hubungan yang setia dan kerjasama yang ikhlas dengan Uskup mereka. Dalam perutusan dan rahmat Imam tertinggi secara khusus ikut serta pula para pelayan tingkat lebih rendah, terutama para Diakon, yang melayani misterimisteri Kristus dan Gereja(130), dan karena itu wajib mempertahankan kemurniannya dari segala cacat dan berkenan kepada Allah, serta menyediakan segala macam kebaikan dihadapan orang-orang (lih. 1Tim 3:8-10 dan 12-13). Para rohaniwan, yang dipanggil oleh Tuhan dan di khususkan bagi-Nya, menyiapkan diri untuk tugas-tugas pelayanan dibawah pengawasan para Gembala. Mereka wajib menyesuaikan budi dan hati mereka dengan pilihan seluhur itu, bertekun dalam doa, berkobar cinta kasihnya, mencita-citakan apa saja yang benar, adil dan pantas dipuji, dan menjalankan semuanya demi kemuliaan dan keluhuran Allah. Menyusul para awam yang terpilih oleh Allah, dan – untuk membaktikan diri sepenuhnya kepada karya kerasulan – dipanggil oleh Uskup, serta bekerja diladang Tuhan dengan menghasilkan banyak buah(131).

126

Lih. S. TOMAS, Summa Theol, II-II, soal 184, art. 5 dan 6. Tentang kesempurnaan hidup rohani, bab 18. ORIGENES, Tentang Yesaya, Homili 6,1: PG 13,239. 127 Lih. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Magnesia, 13,1: terb. FUNK, I, hlm. 241. 128 Lih. S. PIUS X, Amanat Haerent animo, 4 Agustus 1908: ASS 41 (1908) hlm. 560 dsl. Kitab Hukum Kanonik (lama) kanon 124. PIUS XI, Ensiklik Ad catholic sacerdotii, 20 Desember 1935: AAS 28 (1936) hlm. 22 dsl. 129 Tata-laksana Tahbisan Imam, dalam kotbah pada awal upacara. 130 Lih. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Tralles 2,3: terb. FUNK, I, hlm. 244. 131 PIUS XII, Amanat Sous la maternelle protection, 9 Desember 1957: AAS 50 (1958) hlm. 36.

Para suami-isteri dan orang tua kristiani wajib, menurut cara hidup mereka, dengan cinta yang setia seumur hidup saling mendukung dalam rahmat, dan meresapkan ajarn kristiani maupun keutamaan-keutamaan Injil dihati keturunan, yang penuh kasih mereka terima dari Allah. Sebab dengan demikian mereka memberi teladan cinta kasih yang tak kenal lelah dan penuh kerelaan kepada semua orang, memberi contoh kepada persaudaraan kasih, dan menjadi saksi serta pendukung kesuburan Buda Gereja. Mereka menjadi tanda pun sekaligus ikut serta dalam cinta kasih Kristus terhadap Mempelai-Nya, sehingga Ia menyerahkan diri untuknya(132). Teladan serupa disajikan dengan cara lain oleh para janda dan mereka yang tidak menikah, yang juga dapat menyumbang banyak sekali bagi kesucian dan kegiatan Gereja. Adapun mereka yang sering menanggung beban kerja berat hendaknya menyempurnakan diri melalui pekerjaan manusia, membantu sesama warga, dan mengangkat segenap masyarakat serta alam tercipta kepada keadaan yang lebih baik. Selain itu hendaklah mereka dengan cinta kasih yang aktif meneladan Kristus, yang dulu menjalankan pekerjaan tangan, dan selalu berkarya bersama Bapa demi keselamatan semua orang. Hendaklah mereka berharap dan gembira, saling menanggung beban, dan melalui pekerjaan mereka sehari-hari mencapai kesucian yang lebih tinggi dan bersifat apostolis. Khususnya hendaklah mereka yang ditimpa oleh kemiskinan, kelemahan, penyakit dan pelbagai kesukaran, atau menanggung penganiayaan demi kebenaran – merekalah, yang dalam Injil dinyatakan bahagia oleh Tuhan, dan yang “Allah, sumber segala rahmat, yang dalam Kristus Yesus telah memanggil kita ke dalam kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan dan mengokohkan, sesudah mereka menderita seketika lamanya” (1Ptr 5:10), hendaklah mereka semua mengetahui, bahwa mereka dipersatukan dengan Kristus yang menderita sengsara demi keselamatan dunia. Jadi semua orang beriman kristiani dalam kondisi-kondisi hidup mereka, dalam tugas-tugas serta keadaan mereka, dan melalui itu semua, dari hari ke hari akan makin dikuduskan, bila mereka dalam iman menerima segala-sesuatu dari tangan Bpa di sorga, dan bekerja sama dengan kehendak ilahi, dengan menampakkan dalam tugas sehari-hari kepada semua orang cinta kasih Allah terhadap dunia.

42. (Jalan dan upaya kesucian) “Allah itu kasih, dan barang siapa tetap berada dalam kasih, ia tinggal dalam Allah dan Allah dalam dia” (1Yoh 4:16). Adapun Allah mencurahkan cinta kasih-Nya ke dalam hati kita melalui Roh Kudus yang dikurniakan kepada kita (lih. Rom 5:5). Maka dari itu kurnia yang pertama dan paling perlu yakni cinta kasih, yang membuat kita mencintai Allah melampaui segalanya dan mengasihi sesama demi Dia. Akan tetapi, Supaya cinta kasih bagaikan benih yang baik bertunas dalam jiwa dan menghasilkan buah, setiap orang beriman wajib mendengarkan sabda Allah dengan suka hati, dan dengan bantuan rahmat-Nya, dengan tindakan nyata melaksanakan kehendak-Nya. Ia wajib sering menerima sakramen-sakramen, terutama Ekaristi, dan ikut serta dalam perayaan liturgi, pun juga dengan tabah berdoa, mengingkari diri, melayani sesama secara aktif, dan mengamalakan segala keutamaan. Sebab cinta kasih, sebagai pengikat kesempurnaan dan kepenuhan hukum (lih. Kol 3:14); Rom 13:10), mengarahkan dan menjiwai semua upaya kesucian, dan memba wanya sampai ke tujuannya(133). Maka cinta kasih akan Allah maupun akan sesama merupakan ciri murid Kristus yang sejati.

132 133

PIUS XI, Ensiklik Casti Connubii, 31 Desember 1930: AAS 22 (1930)hlm. 548 dsl. Lih. S. YOH. KRISOSTOMUS, Tentang Ef, Homili 20,2: PG 62,136 dsl. Lih. S. AGUSTINUS, Enchriridion (kamus) 121,32: PL 40,288. S. TOMAS, Summa Theol, II-II, soal 184, art. 1. PIUS XII, Amanat apostolik Mentinostrae, 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 660.

Yesus, Putera Allah, telah menyatakan cinta kasih-Nya dengan menyerahkan nyawa-Nya bagi kita. Maka tidak seoarng pun mempunyai cinta kasih yang lebih besar dari pada dia yang merelakan nyawanya untuk Dia dan saudara-saudaranya (lih. 1Yoh 3:16; Yoh 15:13). Sudah sejak masa permulaan ada orang-orang kristiani yang telah dipanggil, dan selalu masih ada yang akan dipanggil, untuk memberi kesaksian cinta kasih yang tertinggi itu dihadapan semua orang, khususnya di muka penganiaya. Maka Gereja memandang sebagai kurnia luar biasa dan bukti cinta kasih tertinggi kematian sebagai martir, yang menjadikan murid serupa dengan Guru yang dengan rela menerima wafat-Nya demi keselamatn dunia, serupa dengan Dia dalam menumpahkan darah. Meskipun hanya sedikit yang diberi, namun semua harus siap-sedia mengakui Kritus di muka orang-orang, dan mengikuti-Nya menempuh jalan salib di tengah penganiayaan, yang selalu saja menimpa Gereja. Kesucian Gereja secara istimewa dipupuk pula dengan aneka macam nasehat, yang oleh Tuhan dalam Injil disampaikan kepada para murid-Nya untuk dilaksanakan[134]. Di antaranya sangat menonjol kurnia luhur rahmat ilahi, yang oleh Bapa dianugerahkan kepada beberapa orang (Lih. Mat 19:11; 1Kor 7:7), yakni supaya dalam keperawanan atau selibat mereka lebih mudah membaktikan diri seutuhnya kepada Allah, dengan hati tak terbagi (lih. 1Kor 7:32-34) [135]. Tarak sempurna demi Kerajaan sorga itu dalam gereja selalu dihargai secara istimewa, sebagai tanda dan dorongan cinta kasih, dan sebagai suatu sumber kesuburan rohani yang luar biasa di dunia. Gereja juga tetap mengingatkan anjuran Rasul, yang mengundang kaum beriman untuk mengamalkan cinta kasih, dan mendorong mereka supaya menaruh perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, “yang telah mengosongkan Diri-Nya dan mengenakan rupa seorang hamba, … dan menjadi taat sampai mati” (Flp 2:7-8), lagi pula demi kita “menjadi miskin, meskipun Ia kaya” (2Kor 8:9). Perlulah bahwa cinta kasih dan kerendahan hati Kristus itu senantiasa ditealadan dan diberi kesaksian oleh para murid. Maka Bunda Gereja bergembira, bahwa dalam pangkuannya terdapat banyak pria dan wanita, yang mengikuti dari dekat dan memperlihatkan lebih jelas pengosongan Diri Sang Pneyelamat, dengan menerima kemiskinan dalam kebebasan anak-anak Allah serta mengingkari keinginan-keinginan mereka senri. Mereka itulah yang demi Allah tunduk kepada seorang manusia dalam mengejar kesempurnaan melampaui apa yang diwajibkan, untuk lebih menyerupai Kristus yang taat[136]. Maka semua orang beriman kristiani diajak dan memang wajib mengejar kesucian dan kesempurnaan status hidup mereka. Oleh karena itu hendaklah semua memperhatikan, agar mereka mengarahkan keinginan-keinginan hati dengan tepat, supaya mereka dalam mengejar cinta kasih yang sempurna jangan dirintangi karena menggunakan hal-hal duniawi dan melekat pada kekayaan melawan semangat kemiskinan menurut Injil. Itulah maksud nasehat Rasul: orang yang menggunakan barang dunia ini jangan samapi berhenti di situ: sebab berlalulah dunia seperti yang kita kenal sekarang (lih. 1Kor 7:31 yun.)[137].

134

135

136

137

Tentang nasehat-nasehat itu pada umumnya, Lih. ORIGENES, Komentar Rom X, 14: PG 14,1275B. S. AGUSTINUS, Tentang keperawanan suci, 15,15: PL 40,403. S. TOMAS, Summa Theol, I-II, soal 100, art. 2 C (pada akhir); II-II, soal 44, art. 4, ad 3. Tentang keunggulan keperawanan suci, lih. TERTULIANUS, Anjuran tentang kemurnian, 10: PL 2,225C. S. SIPRIANUS, tentang para perawan 3 dan 22: PL 4,443B dan 461A dsl. S. ATANASIUS (?), Tentang para perawan: PG 28,252 dsl. S. YOH KRISOSTOMUS, Tentang para perawan: PG 48,533 dsl. Tentang kemiskinan rohani, lih. Mat 5:3 dan 19:21; Mrk 10:21; Luk 18:22; tentang ketaatan terdapat contoh Kristus dalam Yoh 4:34 dan 6:38; Flp 2:8-10; Ibr 10:5-7. Banyak sekali teladan dikemukakan oleh para Bapa Gereja dan para pendiri tarekat. Tentang pelaksanaan nyata nasehat-nasehat, yang tidak di haruskan kepada semua orang, lih. S. YOH KRISOSTOMUS, Tentang Mat, Homili 7,7: PG 57,81 dsl. S. AMBROSIUS, Tentang para janda, 3,23: PL 16,241 dsl.

BAB ENAM

PARA RELIGIUS 43. (Pengikraran nasehat-nasehat Injil dalam Gereja) Nasehat-nasehat Injil tentang kemurnian yang dibaktikan kepada Allah, kemiskinan dan ketaatan, didasarkan pada sabda dan teladan Tuhan, dan dianjurkan oleh para Rasul, para Bapa, para guru serta para gembala Gereja. Maka nasehat-nasehat itu merupakan kurnia ilahi, yang oleh Gereja diterima dari Tuhannya dan selalu dipelihara dengan bantuan rahmat-Nya. Adapun pimpinan Gereja sendiri, di bawah bimbingan Roh Kudus, telah memperhatikan penafsirannya, pengaturan pelaksanaannya, pun juga penetapan bentuk-bentuk penghayatan yang tetap. Dengan demikian berkembanglah pelbagai bentuk kehidupan menyendiri maupun bersama, dan pelbagai keluarga, bagaikan pada pohon yang tumbuh di ladang Tuhan dari benih ilahi, dan yang secara ajaib telag banyak bercabang-cabang. Itu semua menambah jasa sumbangan baik bagi kemajuan para anggotanya maupun bagi kesejahteraan seluruh Tubuh Kristus[138]. Sebab keluarga-keluarga itu menyediakan upaya-upaya bagi para anggotanya berupa cara hidup yang lebih tetap dan teguh, ajaran yang tanggunh untuk mengejar kesempurnaan, persekutuan antar saudara dalam perjuangan untuk Kristus, kebebasan yang diteguhkan oleh ketaatan. Dengan demikian para anggota mampu menepati ikrar religius mereka dengan aman dan mengamalkannya dengan setia, dan melangkah maju di jalan cinta kasih dengan hati gembira[139]. Ditinjau dari sudut susunan ilahi dan hirarkis Gereja, status religius itu bukan jalan tengah antara perihidup para imam dan kaum awam. Tetapi dari kedua golongan itu ada sejumlah orang beriman kristiani, yang dipanggil oleh Allah untuk menerima kurnia istimewa dalam kehidupan Gereja, dan untuk dengan cara masing-masing menyumbangkan jasa mereka bagi misi keselamatan Gereja [140]. 44. (Makna dan arti hidup religius) Dengan kaul-kaul atau ikatan suci lainnya yang dengan caranya yang khas menyerupai kaul, orang beriman kristiani mewajibkan diri untuk hidup menurut tiga nasehat Injil tersebut. Ia mengabdikan diri seutuhnya kepada Allah yang dicintainya mengatasi segala sesuatu. Dengan demikian ia terikat untuk mengabdi Allah serta meluhurkan-Nya karena alasan yang baru dan istimewa. Karena babtis ia telah mati bagi dosa dan dikuduskan kepada Allah. Tetapi supaya dapat memperoleh buah-buah rahmat babtis yang lebih melimpah, ia menghendaki untuk dengan mengikrarkan nasehat-nasehat Injil dalam Gereja dibebaskan dari rintanganrintangan, yang mungkin menjauhkannya dari cinta kasih yang berkobar dan dari kesempurnaan bakti kepada Allah, dan secara lebih erat ia disucikan untuk mengabdi Allah [141]. Adapun pentakdisan akan makin sempurna, bila dengan ikatan

138

Lih. ROSWEYDUS, Vitae Patrium (riwayat hidup para Bapa), Antwerpen 1628. Apophtegmata Patrum : PG 65. PALLADIUS, Historia Lausiaca: PG 34,995 dsl.: terb. C. BUTLER, Cambridge 1898 (1904). PIUS XI, Konstitusi apostolik Umbratilem, 8 Juli 1924: AAS 16 (1924) hlm. 386-387. PIUS XII, Amanat Nous sommes heureux, 11 April 1958: AAS 50 (1958) hlm. 283. 139 PAULUS VI, Amanat Magno Gaudio, 23 Mei 1964: AAS 56 (1964) hlm. 566. 140 Lih. Kitab Hukum Kanonik (Lama), kanon 487 dan 488,4. PIUS XII, Amanat Annus sacer, 8 Desember 1950: AAS 43 (1951) hlm. 27 dsl. PIUS XII, Konstitusi apostolik Provida Mater, 2 Februari 1947: AAS 39 (1947) hlm. 120 dsl. 141 PAULUS VI, Amanat Magno Gaudio: AAS 56 (1964) hlm. 567.

yang lebih kuat dan tetap makin jelas dilambangkan Kristus, yang dengan ikatan tak terputuskan bersatu dengan Gereja mempelai-Nya. Nasehat-nasehat Injil, karena mendorong mereka yang mengikrarkannya kepada cinta kasih [142], secara istimewa menghubungkan mereka itu dengan Gereja dan misterinya. Maka dari itu hidup rohani mereka juga harus dibaktikan kepada kesejahteraan seluruh Gereja. Dari situ muncullah tugas, untuk – sekadar tenaga dan menurut bentuk khas panggilannya- entah dengan doa atau dengan karya-kegiatan, berjerih-payah guna mengakarkan dan mengukugkan Kerajaan kristus di hati orangorang, dan untuk memperluasnya ke segala penjuru dunia. Oleh karena itu Gereja melindungi dan memajukan corak khas pelbagai tarekat religius. Maka pengikraran nasehat-nasehat Injil merupakan tanda, yang dapat dan harus menarik secara efektif semua anggota Gereja, untuk menunaikan tugas-tugas panggilan kristiani dengan tekun. Sebab umat Allah tidak mempunyai kediaman tetap disini, melainkan mencari kediaman yang akan datang. Maka status religius, yang lebih membebaskan para anggotanya dari keprihatinan-keprihatinan duniawi, juga lebih jelas memperlihatkan kepada semua orang beriman harta sorgawi yang sudah hadir di dunia ini, memberi kesaksian akan hidup baru dan kekal yang diperoleh berkat penebusan Kristus, dan mewartakan kebangkitan yang akan datang serta kemuliaan Kerajaan sorgawi. Corak hidup, yang dikenakan oleh Putera Allah ketika Ia memasuki dunia ini untuk melaksanakan kehendak Bapa, dan yang dikemukakan-Nya kepada para murid yang mengikuti-Nya, yang diteladan dari lebih dekat oleh status religius, dan senantiasa dihadirkan dalam Gereja. Akhirnya status itu juga secara istimewa menampilkan keunggulan Kerajaan Allah melampaui segalanya yang serba duniawi, dan menampakkan betapa pentingnya Kerajaan itu. Selain itu juga memperlihatkan kepada semua orang keagungan mahabesar kekuatan Kristus yang meraja dan daya Roh Kudus yang tak terbatas, yang berkarya secara mengagumkan dalam Gereja. Jadi meskipun status yang terwujudkan dengan pengikraran nasehat-nasehat Injil itu tidak termasuk susunan hirarkis Gereja, namun tidak dapat diceraikan dari kehidupan dan kesucian Gereja. 45. (Hubungan para religius dengan Hirarki) Tugas Hirarki Gereja yakni menggembalakan umat Allah dan membimbingnya ke ladang yang berumput lebat (Lih. Ye 34:14). Maka Hirarki juga harus secara bijaksana mengatur dengan undang-undangnya pelaksanaan nasehat-nasehat Injil, yang secara istimewa mendukung penyempurnaan cinta kasih akan Allah dan terhadap sesama [143]. Dengan penuh perhatian mengikuti doronganh Roh Kudus, Hirarki menerima pedoman-pedoman hidup, yang diajukan oleh tokoh-tokoh religius pria maupun wanita, dan setelah dibubuhi ketentuan-ketentuan lebih rinci, mengesahkannya dengan resmi. Tarekat-tarekat yang telah didirikan di mana-mana untuk membangun Tubuh Kristus, didampingi dengan pengawasan dan perlindungan kewibawaannya, supaya berkembang dan subur berbuah menurut semangat pera pendirinya. Namun supaya kebutuhan-kebutuhan seluruh kawanan Tuhan ditanggapi secara lebuh baik, Imam Agung, berdasarkan kedudukannya sebagai kepala seluruh Gereja, demi kepentingan bersama dapat menarik setiap lembaga kesempurnaan untuk masing-masing anggotanya dari lingkup kuasa para Uskup setempat, dan 142

143

Lih. S. TOMAS, Summa Theol. I-II, soal 184 art. 3 dan soal 188 art. 2. S. BONAVENTURA, karya-tulis XI, Pembelaan kaum miskin, bab 3,3: terb. Quaracci, jilid 8, 1898, hlm. 245 a. Lih. KONSILI VATIKAN I, Skema tentang Gereja kristus, bab XV dan catatan 48: MANSI 51,549 dsl. Dan 619 dsl. LEO XIII, Surat Au milieu des consolations, 23 Desember 1900: AAS 33 (1900-01) hlm. 361. PIUS XII, Konstitusi apostolik Provida Mater: AAS 39 (1947) hlm. 114 dsl.

membawahkan mereka hanya kepada dirinya [144]. Begitu juga mereka dapat dibiarkan atau diserahkan dibawah kewenangan patriarkat mereka sendiri. Dalam menunaikan tugas terhadap Gereja menurut corak khas hidup mereka, para anggota tarekat wajib menunjukkan sikap hormat dan taat menurut hukum Gereja kepada para Uskup, demi kewibawaan pastoral mereka di Gereja-Gereja khusus, serta demi kesatuan dan kerukunan yang diperlukan dalam karya kerasulan [145]. Adapun dengan pengesahannya Gereja tidak hanya mengangkat ikrar religius kepada martabat status kanonik, melainkan juga menampilkannya sebagai status yang ditakdiskan kepada Allah dalam upacara Liturgi. Sebab dengan kewibawaan yang oleh Allah diserahkan kepadanya Gereja menerima kaul-kaul yang diikrarkan, dengan doanya yang resmi memohonkan bantuan dan rahmat Allah bagi mereka yang mengikrarkannya, mempercayakan mereka kepada Allah, dan memberi mereka berkat rohani, sambil menyatukan persembahan diri mereka dengan korban Ekaristi. 46. (Penghargaan terhadap hidup religius) Hemdaklah para religius sungguh-sungguh berusaha, supaya melalui mereka Gereja benar-benar makin hari makin jelas menampilkan Kristus kepada kaum beriman maupun tidak beriman, entah bila ia sedang berdoa diatas bukit, entah bila sedang mewartaakan Kerajaan Allah kepada rakyat, entah bila Ia sedang menyembuhkan mereka yang sakit dan terluka, serta mempertobatkan kaum pendosa kepada hidup yang baik, atau sedang memberkati kanak-kanak dan berbuat baik terhadap semua orang, senantiasa dalam kepatuhan kepada kehendak bapa yang mengutus-Nya [146]. Akhirnya hendaklah semua orang menginsyafi, bahwa mengikrarkan nasehatnasehat Injil memang berarti mengorbankan hal-hal yang pantas dinilai tinggi, namun tidak merintangi kemajuan pribadi manusia yang sejati, melainkan pada hakekatnya sangan mendukungnya. Sebab seperti nampak jelas pada teladansekian banyak pendiri yang kudus – nasehat-nasehat itu, bila diterima secara sukarela menurut panggilan pribadi masing-masing, sangat mendukung pemurnian hati dan kebebasan rohani, tiada hentinya membangkitkan semangat cinta kasih, dan terutama mampu menjadikan hidup orang kristenlebih serupa dengan corak hidup dalam keperawanan dan kemiskinan, yang telah dipilih oleh Kristus Tuhan sendiri, dan yang telah dihayati penuh semangat oleh Bunda-Nya yang tetap perawan. Jangan pula orang mengira, bahwa para religius karena serah diri mereka atau terasingkan dari orang-orang, atau tidak berguna lagi bagi masyarakat duniawi. Sebab meskipun ada kalanya mereka itu tidak langsung berhubungan dengan sesama, namun secara lebih mendalam mereka mengenangkan sesama dalam kasih mesra Kristus, dan secara rohani bekerja sama dengan sesama, supaya pembangunan masyarakat duniawi selalu bertumpu pada Tuhan dan diarahkan kepada-Nya, sehingga para pembangunnya jangan bekerja dengan sia-sia [147]. Oleh sebab itu Konsili suci akhirnya meneguhkan dan memuji semua pria dan wanita, para Bruder dan Suster, yang dalam biara-biara, atau disekolah-sekolah dan rumahsakit, atau di daerah-daerah misi, dengan kesetiaan yang andal dan kerendahan hati, ikut merias Mempelai Kristus dalam serah diri kepada Allah

144

Lih. LEO XIII, Konstitusi Romanos Pontifices, 8 Mei 1881: AAS 48 (1880-81) hlm. 483. PIUS XII, Amanat Annus sacer, 8 Desember 1950: AAS 48 (1951) hlm. 28 dsl. 145 Lih. PIUS XII, Amanat Annus sacer: AAS 43 (1951) hlm. 28. PIUS XII, Konstitusi apostolik Sedes Sapientiae, 31 Mei 1959: AAS 48 (1956) hlm. 355. PAULUS VI, Amanat Mgno gaudio: AAS 56 (1964) hlm. 570-571. 146 Lih. PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis, 29 Juni 1943: AAS 35 (1943) hlm. 214 dsl. 147 Lih. PIUS XII, Amanat Annus sacer: AAS 43 (1951) hlm.30. Amanat Sous la meternelle protection, 9 Desember 1957: AAS 50 (1958) hlm. 39 dsl.

seperti telah diuraikan, dan berbakti kepada semua orang dengan kebesaran hati, dalam pengabdian yang bermacam ragam. 47. (Penutup) Maka dari itu hendaklah setiap orang yang dipanggil untuk mengikrarkan nasehatnasehat Injil sungguh-sungguh berusaha, supaya ia bertahan dan semakin maju dalam panggilan yang diterimanya dari Allah, demi makin suburnya kesudian Gereja, supaya makin dimuliakanlah Tritunggal yang satu tak terbagi, yang dalam Kristus dan dengan perantaraan Kristus menjadi sumber dan asal segala kesucian.

BAB TUJUH SIFAT ESKATOLOGIS GEREJA MUSAFIR DAN PERSATUANNYA DENGAN GEREJA DI SORGA

48. (Pendahuluan) Dalam Yesus Kristus kita semua dipanggil kepada Gereja, dan disitu kita memperoleh kesucian berkat rahmat Allah. Gereja itu baru mencapai kepenuhannya dalam kemuliaan di sorga, bila akan tiba saatnya segala-sesuatu diperbaharui (Kis 3:21), dan bila bersama dengan umat manusia dunia semesta pun, yang berhubungan erat secara dengan manusia dan bergerak ke arah tujuannya melalui manusia, akan diperbaharui secara sempurna dalam Kristus (lih. Ef 1:10; Kol 1:20; 2Ptr 3:10-13).

Adapun Kristus, yang ditinggikan dari bumi, menarik semua orang kepada diriNya (lih. Yoh. 12:32 yun). Sesudah bangkit dari kematian (lih. Rom 6:9) Ia mengutus Roh-Nya yang menghidupkan ke dalam hati para murid-Nya, dan melalui Roh itu Ia menjadikan Tubuh-Nya, yakni Gereja, sakramen keselamatan bagi semua orang. Ia duduk di sisi kanan Bapa, namun tiada hentinya berkarya di dunia, untuk mengantar orang-orang kepada Gereja, dan melalui Gereja menyatukan mereka lebih erat dengan diri-Nya; lagipula untuk memberi mereka santapan Tubuh dan Darah-Nya sendiri, serta dengan demikian mengikut-sertakan mereka dalam kehidupan-Nya yang mulia. Jadi pembaharuan, janji yang kita dambakan, telah mulai dalam kristus, digerakkan dengan perutusan Roh Kudus, dan karena Roh itu berlangsung terus dalam Gereja. Berkat iman kita disitu menerima pengertian tentang makna hidup kita yang fana, sementara karya yang oleh Bapa dipercayakan kepada kita di dunia kita selesaikan dengan baik dalam harapan akan kebahagiaan di masa mendatang, dan kita mengerjakan keselamatan kita (lih. Flp 2:12). Jadi sudah tibalah bagi kita akhir zaman (lih. 1Kor 10:11). Pembaharuan dunia telah ditetapkan, tak dapat dibatalkan, dan secara nyata mulai terlaksana di dunia ini. Sebab sejak di dunia ini Gereja ditandai kesucian yang sesungguhnya meskipun tidak sempurna. Tetapi sampai nanti terwujudkan langit baru dan bumi baru, yang diwarnai keadilan (lih. 2Ptr 3:13), Gereja yang tengah mengembara, dalam sakramen-sakramen serta lembaga-lembaganya yang termasuk zaman ini, mengemban citra zaman sekarang yang akan lalu. Gereja berada di tengah alam tercipta, yang hingga kini berkeluh-kesah dan menanggung sakit bersalin, serta merindukan saat anak-anak Allah dinyatakan (lih. Rom 8:19-22). Jadi kita, yang bersatu dengan kristus dalam Gereja, dan ditandai dengan Roh Kudus yakni “jaminan warisan kita” (Ef 1:14), disebut anak-anak Allah dan memang demikian adanya (lih. 1Yoh 3:2). Namun kita belum tampil bersama Kristus dalam kemulian (lih. Kol 3:4), saatnya kita akan menyerupai Allah, karena kita akan memandang Dia sebagaimana adanya (lih. 1Yoh 3:2). Maka “selama mediami tubuh

ini, kita masih jauh dari Tuhan” (2Kor 5:6); dan kita, yang membawa kurnia-sulung Roh, berkeluh-kesah dalam hati (lih. Rom 8:23) serta ingin bersama dengan kristus (lih. Flp 1:23). Namun oleh cinta itu juga kita di desak, untuk lebih penuh hidup bagi Dia, yang telah wafat dan bangkit bagi kita (lih. 2Kor 5:15). Maka kita berusaha untuk dalam segalanya berkenan kepada Tuhan (lih. 2Kor 5:9). Dan kita kenakan perlengkapan senjata Allah, supaya kita mampu bertahan menentang tipu muslihat iblis serta mengadakan perlawanan pada hari yang jahat (lih. Ef 6:11-13). Tetapi karena kita tidak mengetahui hari maupun jamnya, atas anjuran Tuhan kita wajib berjaga terus-menerus, agar setelah mengakhiri perjalanan hidup kita di dunia hanya satu kali saja (lih. Ibr 9:27), kita bersama dengan-Nya memasuki pesta pernikahan, dan pantas digolongkan pada mereka yang diberkati (lih. Mat 25: 3146), dan supaya janganlah kita seperti hamba yang jahat dan malas (lih. Mat 25:26) diperintahkan enyah ke dalam api yang kekal (lih. Mat 25:41), ke dalam kegelapan di luar, di temapat “ratapan dan kertakan gigi” (Mat 22:13 dan 25:30). Sebab, sebelum memerintah bersama Kristus dalam kemuliaan-Nya, kita semua akan menghadapi “takhta pengadilan Kristus, supaya masing-masing menerima ganjaran bagi apa yang dijalankannya dalam hidup ini, entah itu baik atau jahat” (2Kor 5:10). Dan pada akhir zaman “mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk kehidupan kekal, sedangkan mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum” (Yoh 5:29); lih. Mat 25:46). Maka dari itu, mengingat bahwa “penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita kelak” (Rom 8:18; lih. 2Tim 2:11-12), dalam keteguhan iman kita mendambakan “pengharapan yang membahagiakan serta pernyataan kemuliaan Allah dan Penyelamat kita yang mahaagung, Yesus Kristus” (Tit 2:13), “yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga menyerupai Tubuh-Nya yang mulia” (Flp 3:21), dan yang akan datang “untuk dimuliakan di antara para kudus-Nya, dan untuk dikagumi oleh semua orang yang beriman” (2Tes 1:10). 49. (Persekutuan antara Gereja di sorga dan Gereja di dunia) Jadi hingga saat ini Tuhan datang dalam keagungan-Nya beserta semua malaikat (lih Mat 25:31), dan saatnya segala sesuatu takhluk kepada-Nya sesudah maut dihancurkan (lih. 1Kor 15:26-27), ada diantara para murid-Nya yang masih mengembara di dunia, dan ada yang telah meninggal dan mengalami penyucian, ada pula yang menikmati kemuliaan sambil memandang “dengan jelas Allah Tritunggal sendiri sebagaimana ada-Nya” [148]. Tetapi kita semua, kendati pada taraf dan dengan cara yang berbeda, saling berhubungan dalam cinta kasih yang sama terhadap Allah dan sesama, dan melambungkan madah pujian yang sama kehadirat Allah kita. Sebab semua orang, yang menjadi milik Kristus dan didiami oleh RohNya, berpadu menjadi satu Gereja, dan saling erat berhubungan dalam Dia (lih. Ef 4:16). Jadi persatuan mereka yang sedang dalam perjalanan dengan para saudara yang sudah beristirahat dalam damai kristus, sama sekali tidak terputus. Bahkan menurut iman Gereja yang abadi diteguhkan karena saling berbagi harta rohani [149]. Sebab karena para penghuni sorga bersatu lebih erat dengan kristus, mereka lebih meneguhkan seluruh Gereja dalam kesuciannya; mereka menambah keagungan ibadat kepada Allah, yang dilaksanakan oleh Gereja di dunia; dan dengan pelabagi cara mereka membawa sumbangan bagi penyempurnaan pembangunannya (lih.

148 149

KONSILI FLORENSIA, Dekrit untuk umat Yunani: DENZ. 693 (1305). Selain dokumen-dokumen yang lebih kuno melawan setiap bentuk memanggil roh-roh, sejak ALEKSANDER IV, 27 September 1258, lih. Surat edaran Kongregasi S. OFFICII, Tentang penyalahgunaan magnetisme: 4 Agustus 1856: AAS (1865 hlm. 177-178, DENZ. 1653-1654 (2823-2825); jawaban Kongregasi S. OFFICII, 24 April 1917: AAS 9 (1917) hlm. 268, DENZ. 2182 (3642).

1Kor 12:12-27) [150]. Sebab mereka, yang telah ditampung di tanah air dan menetap pada Tuhan (lih. 2Kor 5:8), karena Dia, bersama Dia dan dalam Dia tidak pernah berhenti menjadi pengantara kita di hadirat Bapa [151], sambil mempersembahkan pahala-pahala, yang telah mereka peroleh di dunia, melalui pengantara tunggal antara Allah dan manusia, yakni kristus Yesus (lih. 1Tim 2:5), sambil melayani Tuhan dalam segalanya, dan melengkapi Tubuh-Nya, yakni Gereja (lih. Kol 1:24) [152] . Demikianlah kelemahan kita amat banyak dibantu oleh perhatian mereka sebagai saudara. 50. (Hubungan antara Gereja di dunia dan gereja di sorga) Gereja kaum musafir menyadari sepenuhnya persekutuan dalam Tubuh mistik Kristus itu. Sejak masa pertama agama kristiani Gereja dengan sangat khidmat merayakan kenangan mereka yang telah meninggal [153]. Dan karena “inilah suatu pikiran yang murshid dan saleh: mendoakan mereka yang meninggal supaya dilepaskan dari dosa-dosa mereka” (2Mak 12:46), maka Gereja juga mempersembahkan korban-korban silih bagi mereka. Adapun Gereja selalu percaya, bahwa Rasul-Rasul dan para martir kristus, yang dengan menumpahkan darah memberi kesaksian iman dan cinta kasih yang amat luhur, dalam Kristus berhubungan lebih erat dengan kita. Dengan bakti yang istimewa Gereja menghormati mereka bersama dengan Santa Perawan Maria dan para Malaikat kudus [154], serta dengan khidmat memohon bantuan perantaraan mereka. Pada golongan mereka segera bergabunglah orang-orang lain, yang lebih dari dekat meneladan keperawanan dan kemiskinan Kristus [155]; lalu akhirnya kelompok lain lagi, yang – karena mereka dengan cemerlang mengamalkan keutuamaankeutamaan kristiani [156] serta menampilkan kurnia-kurnia ilahi – mengundang kaum beriman untuk berbakti dengan takzim dan meneladan mereka [157]. Sebab sementara merenungkan hidup mereka yang dengan setia mengikuti Kristus, kita mendapat dorongan baru untuk mencari kota yang akan datang (lih. Ibr 13:14 dan 11:10). Sekaligus kita ditunjukkan jalan yang sangat aman, untuk ditengah situasi dunia yang silih berganti, sesuai dengan kedudukan dan kondisi masingmasing, dan dapat mencapai persatuan yang sempurna dengan Kristus atau kesucian [158]. Dalam hidup mereka yang sama-sama manusia seperti kita, tetapi secara lebih sempurna diubah menjadi serupa dengan citra Kristus (lih. 2Kor 3:18), Allah secara hidup-hidup menampakkan kehadiran serta wajah-Nya. Dalam diri mereka Ia menyapa kita, dan menyampaikan kepada kita tanda Kerajaan-Nya [159]. Kita yang mempunyai banyak saksi ibarat awan yang meliputi kita (lih. Ibr 12:1), dan yang menghadapi kesaksian sejelas itu tentang kebenaran Injil, kuat-kuat tertarik kepadanya. 150

Lih. Penjelasan sintetis ajaran paulus ini dalam: PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis: AAS 35 (1943) hlm. 200 dan di pelbagai temapt lainnya. 151 Lih., antara lain, S. AGUSTINUS, Uraian tentang Mzm 85,24: PL 37,1099. S. HIRONIMUS, Kitab melawan Vigilansius, 6: PL 23,344. S. TOMAS, pada kitab IV Sententiae, dist. 45, soal 3, art. 2. S. BONAVENTURA, pada kitab IV Sententiae, dist. 45, soal 3, art. 2, dan lain-lain. 152 Lih. PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis: AAS 35 (1943) hlm. 245. 153 Lih. banyak tulisan dalam katakombe-katakombe di roma. 154 Lih. GELASIUS I, Surat ketetapan tentang kitab-kitab yang harus diterima, 3: PL 59,160, DENZ. 165 (353). 155 Lih. S. METODIUS, Symposium, VII,3: GCS (Bonwetsch), hlm. 74. 156 Lih. BENEDIKTUS XV, Dekrit pengakuan Keutamaan-keutamaan dalam proses beatifikasi dan kanonisasi hamba Allah Yohanes Nepomusesnus Neumann: AAS 14 (1922) hlm. 23. Berbagai amanat PIUS XI tentang para Kudus: “Inviti all eroismo: Dis corsi …” jilid I-III, Roma 1941-1942, di pelbagai temapat, PIUS XII, Discorsi e Radiomessaggi (amanat-amanat dan pidato-pidato radio), jilid X, 1949, hlm. 37-43. 157 Lih. PIUS XII, Ensiklik Mediator Dei: AAS 39 (1947) hlm. 581. 158 Lih. Ibr 13:7; Pkh 44-50; Ibr 11:3-40; Lih. juga PIUS XII, Ensiklik Mediator Dei: AAS 39 (1947), hlm. 582-583. 159 Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi tentang Iman Katolik, bab 3: DENZ. 1794 (3013).

Namun kita merayakan kenangan para penghuni sorga bukan hanya karena teladan mereka. Melainkan lebih supaya persatuan segenap Gereja dalam Roh diteguhkan dengan mengamalkan cinta kasih persaudaraan (lih. Ef 4:1-6). Sebab seperti persekutuan kristiani antara para musafir mengantarkan kita untuk mendekati Kristus, begitu pula untuk keikutsertaan dengan para Kudus menghubungkan kita dengan kristus, yang bagaikan Sumber dan Kepala mengalirkan segala rahmat dan kehidupan Umat Allah sendiri [160]. Jadi memang sungguh sepantasnya, bahwa kita mengasihi para sahabat serta sesama ahli waris Yesus Kristus itu, serta-merta saudara-saudara dan penderma-penderma kita yang ulung. Sudah selayaknya pula kita bersyukur kepada Allah atas mereka [161]. Sepantasnya juga “kita dengan rendah hati berseru kepada mereka, dan mempercayakan diri kepada doa-doa, bantuan serta pertolongan mereka, untuk memperoleh kurnia-kurnia Allah dengan perantaraan Putera-Nya Yesus Kristus Tuhan kita, satu-satunya Penebus dan Penyelamat kita” [162]. Sebab segala kesaksian cinta kasih kita yang sejati terhadap para penghuni sorga pada hakekatnya tertujukan kepda Kristus dan bermuara pada Dia, “mahkota semua para Kudus” [163] , serta dengan perantaraan-Nya mencapai Allah, yang mengagumkan dalam para Kudus-Nya, dan diagungkan dalam diri mereka [164]. Akan tetapi terutama dalam Liturgi suci secara paling luhur persatuan kita dengan Gereja di sorga diwujudkan dengan nyata. Di situlah kekuatan Roh Kudus melalui perlambangan sakramen berkarya pada diri kita. Dalam Liturgi kita bersama bergembira merayakan dan memuji keagungan Allah [165]. Kita semua, yang dalam darah Kristus di tebus dari setiap suku dan bahasa dan kaum bangsa (lih. Why 5:9), serta dihimpun ke dalam satu Gereja, dengan satu madah pujian meluhurkan Allah Tritunggal. Jadi sambil merayakan korban Ekaristi kita seerat mungkin digabungkan dengan ibadat Gereja di sorga, sementara kita berada dalam satu persekutuan, dan merayakan kenangan terutama S. Maria yang mulia dan tetap Perawan, pun pula S. Josef, para Rasul serta para martir yang suci, dan semua para Kudus [166]. 51. (Beberapa pedoman pastoral) Itulah iman yang layak kita hormati, pusaka para leluhur kita: iman akan persekutuan hidup dengan para saudara yang sudah mulai di sorga, atau sesudah meninggal masih mengalami pentahiran. Konsili suci ini penuh khidmat menerima iman itu, dan menyajikan lagi ketetapan-ketetapan Konsili-konsili suci Nisea II [167], Florensia [168] dan Trente [169]. Namun sekaligus Konsili dalam keprihatinan pastoralnya mendorong semua pihak yang bersangkutan, supaya di sana-sini bila terjadi penyalahgunaan, penyelewengan atau penyimpangan, mereka berusaha menyangkal atau membetulkannya, dan membaharui segalanya demi pujian yang lebih penuh kepada Kristus dan Allah. Maka hendaklah mereka mengajarkan kepada Umat beriman, bahwa ibadat yang sejati kepada para kudus bukan pertama160

Lih. PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis: AAS 35 (1943) hlm. 216. Tentang rasa terima kasih terhadap para Kudus sendiri, lih. E. DIEHL, Inscriptiones latinae christianae veteres (tulisan-tulisan latin kristiani kuno) I, 1925, no. 2008, 2382, dan ditempat-tempat lain. 162 KONSILI TRENTE, Sidang 25: Tentang doa kepada para Kudus: DENZ. 984 (1821). 163 Brevir Romawi, antifon pembukaan pada hari raya Semua Orang Kudus. 164 Lih. misalnya 2Tes 1:10. 165 KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, bab 5, art. 104. 166 Doa Syukur Agung Misa Romawi. 167 KONSILI NISEA II, Actio VII: DENZ. 302 (600). 168 KONSILI FLORENSIA, Dekrit untuk umat Yunani: DENZ. 693 (1304). 169 KONSILI TRENTE, Sidang 25, tentang seruan dan penghormatan terhadap para Kudus, relikwi-relikwi (peninggalan) mereka, dan tentang patung-patung suci: DENZ. 984-988 (1821-1824); Sidang 25, Dekrit tantang Api Penyucian: DENZ. 983 (1820); Sidang 6, Dekrit tentang Pembenaran pendosa, kanon 30: DENZ. 840 (1580). 161

tama diwujudkan dalam banyaknya perbuatan lahiriah, melainkan terutama dalam besarnya cinta kasih kita yang disertai tindakan nyata. Demikianlah, supaya kita dan gereja bertambah sejahtera, kita mencari “teladan melalui pergaulan dengan para Kudus, kebahagiaan yang sama melalui persekutuan dengan mereka, dan bantuan melalui pengantaraan mereka” [170]. Di lain pihak hendaklah mereka ajarkan kepada kaum beriman, bahwa hubungan kita dengan penghuni sorga itu – asal ditinjau dalam terang iman yang lebih penuh – sama sekali tidak melemahkan ibadat sujud, yang dalam Roh kita persembahkan kepada Allah Bapa melalui Kristus, melainkan justru memperkaya secara limpah [171]. Sebab kita semua anak-anak Allah, dan merupakan satu keluarga dalam Kristus (lih. Ibr 3:6). Sementara kita saling mencintai dan serentak memuji Tritunggal Mahakudus, dan dengan demikian berhubungan seoarng dengan yang lain, kita memenuhi panggilan Gereja yang terdalam, dan sekarang pun sudah mulai menikmati Liturgi dalam kemuliaan yang sempurna [172]. Bila Kristus kelak menampakkan Diri, dan mereka yang mati akan bangkit mulia, kemuliaan Allah akan menyinari Kota Surgawi, dan Anak Dombalah lampunya (lih. Why 21:24). Pada saat itulah seluruh gereja para Kudus dalam kebahagiaan cinta kasih yang terluhur akan bersujud menyembah Allah dan “Anak Domba yang telah di sembelih” (Why 5:12). Mereka akan serentak berseru: “Bagi Dia yang duduk di takhta dan bagi Anak Domba: puji-pujian, dan hormat, dan kemuliaan, dan kuasa sampai selamalamanya” (Why 5:13-14).

BAB DELAPAN SANTA PERAWAN MARIA BUNDA ALLAH DALAM MISTERI KRISTUS DAN GEREJA

I. PENDAHULUAN 52. (Santa Perawan dalam misteri kristus) Ketika Allah yang mahabaik dan mahabijkasana hendak melaksanakan penebusan dunia, “setelah genap waktunya, Ia mengutus Putera-Nya, yang lahir dari seorang wanita … supaya kita diterima menjadi anak” (Gal 4:4-5). “Untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita Ia turun dari sorga, dan Ia menjadi Daging oleh Roh Kudus dari perawan Maria [173]. Misteri ilahi keselamatan itu diwahyukan kepada kita dan tetap berlangsung dalam Gereja, yang oleh Tuhan dijadikan Tubuh-Nya. Di situ kaum beriman, dalam persatuan dengan Kristus Kepala, dan dalam persekutuan dalam semua para Kudus-Nya, wajib pula merayakan kenangan “pertama-tama

170

Misal Romawi, dari Prefasi para Kudus yang diizinkan untuk keuskupan-keuskupan di Perancis. Lih. S. PETRUS KANISIUS, Catechismus Maior seu Summa Doctrinae christianae (Katekismus Besar atau Rangkuman Ajaran Kristiani), bab III (terb. Kristis F. Streicher), bagian I, hlm. 15-16, no. 44, dan hlm. 100-101, no. 49. 172 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, bab 1, art. 8. 173 Syahadat iman dalam Misa Romawi: Syahadat Konstantinopel: MANSI 3,566. Lih. KONSILI EFESUS, dalam MANSI 4,1130 (juga 2,665 dan 4,1071). KONSILI KALSEDON, dalam MANSI 7,111-116. KONSILI KONSTANTINOPEL II, dalam MANSI 9,375-396. 171

Maria yang mulia dan tetap Perawan, Bunda Allah serta Tuhan kita Yesus Kristus” [174] . 53. (Santa Perawan dan Gereja) Sebab perawan Maria, yang sesudah warta Malaikat menerima Sabda Allah dalam hati maupun tubuhnya, serta memberikan Hidup kepada dunia, diakui dan dihormati sebagai Bunda Allah dan penebus yang sesungguhnya. Karena pahala putera-Nya ia ditebus secara lebih unggul, serta dipersatukan dengan-Nya dalam ikatan yang erat dan tidak terputuskan. Ia dianugerahi kernia serta martabat yang amat luhur, yakni menjadi Bunda Putera Allah, maka juga menjadi Puteri Bapa yang terkasih dan kenisah Roh Kudus. Karena anugerah rahmat yang sangat istimewa itu ia jauh lebih unggul dari semua makhluk lainnya, baik di sorga maupun di bumi. Namun sebagai keturunan Adam Ia termasuk golongan semua orang yang harus diselamatkan. Bahkan “ia memang Bunda para anggota (Kristus), …. Karena dengan cinta kasih ia menyumbangkan kerjasamanya, supaya dalam gereja lahirlah kaum beriman, yang menjadi anggota Kepala itu” [175]. Oleh karena itu ia menerima salam sebagai anggota Gereja yang serba unggul dan sangat istimewa, pun juga sebagai pola-teladannya yang mengagumkan dalam iman dan cinta kasih. Menganut bimbingan Roh Kudus Gereja katolik menghadapinya penuh rasa kasih-sayang sebagai bundanya yang tercinta. 54. (Maksud Konsili) Maka sementara meguraikan ajaran tentang Gereja, tempat Penebus ilahi melaksanakan penyelamatan, Konsili suci hendak menjelaskan dengan cermat baik peran Santa Perawan dalam misteri Sabda yang menjelma serta Tubuh mistik_Nya, maupun tugas kewajiban mereka yang sudah ditebus terhadap Bunda Allah, Bunda kristus dan Bunda orang-orang, terutama yang beriman. Namun Konsili tidak bermaksud menyajikan ajaran yang lengkap tentang Maria, atau memutuskan soalsoalyang kendati jerih payah para teolog belum sepenuhnya menjadi jelas. Oleh karena itu tetap berlakulah pandangan-pandangan, yang dalam aliran-aliran katolik dikemukakan secara bebas tentang Maria, yang dalam Gereja kudus menduduki tempat paling luhur sesudah Kristus dan paling dekat dengan kita [176].

II. PERAN SERTA PERAWAN DALAM TATA KESELAMATAN 55. (Bunda Almasih dalam Perjanjian Lama) Kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Baru, begitu pula Tradisi yang terhormat, memperlihatkan peran Bunda Penyelamat dalam tata keselamatan dengan cara yang semakin jelas, dan seperti menyajikannya untuk kita renungkan. Ada pun Kitab-kitab Perjanjian Lama melukiskan sejarah keselamatan, yang lambat-laun menyiapkan kedatangan Kristus di dunia. Naskah-naskah kuno itu, sebagaimana dibaca dalam Gereja dan dimengerti dalam terang perwahyuan lebih lanjut yang penuh, langkah-demi langkah makin jelas mengutarakan citra seorang wanita, Bunda Penebus. Dalam terang itu ia sudah dibayangkan secara profetis dalam janji yang diberikan kepada leluhur pertama yang jatuh berdosa, yang akan diberi nama Imanuel (lih. Yes 7:14; bdk. Mi 5:2-3; Mat 1:22-23). Dialah yang unggul di tengah umat Tuhan yang rendah dan miskin, yang penuh kepercayaan 174

Doa Syukur Agung Misa Romawi. S. AGUSTINUS, Tentang Keperawanan suci, 6: PL 40,399. 176 Lih. PAULUS VI, Amanat dalam konsili, tanggal 4 Desember 1963: AAS 56 (1964) hlm. 37. 175

mendambakan serta menerima keselamatan dari pada-Nya. Akhirnya ketika muncullah ia, Puteri Sion yang amat mulia, sesudah pemenuhan janji lama dinanti-nantikan, genaplah masanya. Mulailah tata keselamatan yang baru, ketika Putera Allah mengenakan kodrat manusia dari padanya, untuk membebaskan manusia dari dosa melalui rahasia-rahasia hidup-Nya dalam daging.

56. (Maria menerima warta gembira) Adapun Bapa yang penuh belaskasihan menghendaki, supaya penjelmaan Sabda di dahului oleh persetujuan dari pihak dia, yang telah ditetapkan menjadi Bunda-Nya. Dengan demikian, seperti dulu wanita mendatangkan maut, sekarang pun wanitalah yang mendatangkan kehidupan. Itu secara amat istimewa berlaku tentang Bunda Yesus, yang telah melimpahkan kepada dunia Hidu sendiri yang membaharui segalanya, dan yang oleh Allah danugerahkan kurnia-kurnia yang layak bagi tugas seluhur itu. Maka mengherankan juga, bahwa di antara para Bapa suci menjadi lazim untuk menyebut Bunda Allah suci seutuhnya dan tidak terkena oleh cemar dosa manapun juga, bagaikan makhluk yang diciptakan dan dibentuk baru oleh roh Kudus [177]. Perawan dari Nazaret itu sejak saat pertama dalam rahim dikurniai dengan semarak kesucian yang istimewa. Atas titah Allah ia diberi salam oleh Malaikat pembawa Warta dan disebut “penuh rahmat” (Luk 1:38). Demikianlah Maria Puteri Adam menyetujui sabda ilahi, dan menjadi Bunda Yesus. Dengan sepenuh hati yang tak terhambat oleh dosa mana pun ia memeluk kehendak Allah yang menyelamatkan, dan membaktikan diri seutuhnya sebagai hamba Tuhan kepada pribadi serta karya Putera-Nya, untuk di bawah Dia dan beserta Dia, berkat rahmat Allah yang mahakuasa, mengabdikan diri kepada misteri penebusan. Maka memang tepatlah pandangan para Bapa suci, bahwa Maria tidak secara pasif belaka digunakan oleh Allah, melainkan bekerja sama dengan penyelamatan umat manusia dengan iman serta kepatuhannya yang bebas. Sebab, seperti dikatakan oleh S. Ireneus, “dengan taat Maria menyebabkan keselamatan bagi dirinya maupun bagi segenap umat manusia” [178]. Maka tidak sedikitlah para Bapa zaman kuno, yang dalam pewartaan mereka dengan rela hati meyatakan bersama Ireneus: “Ikatan yang disebabkan oleh ketidak-taatan Hawa telah diuraikan karena ketaan Maria; apa yang diikat oleh perawan Hawa karena ia tidak percaya, telah dilepaskan oleh perawan Maria karena imannya” [179]. Sambil membandingkannya dengan Hawa, mereka menyebut Maria “bunda mereka yang hidup” [180]. Sering pula mereka menyatakan: “maut melalui Hawa, hidup melalui Maria” [181]. 57. (Santa Perawan dan masa kanak-kanak Yesus) Adapun persatuan Bunda dengan Puteranya dalam karya penyelamatan itu terungkapkan sejak saat kristus dikandung oleh Santa perawan hingga wafat-Nya. Pertama-tama, ketika Maria berangkat dan bergegas-gegas mengunjungi Elisabet, dan diberi ucapan salam bahagia olehnya karena Maria beiman akan keselamatan yang dijanjikan, dan ketika pendahulu melonjak gembira dalam rahim ibunya (lih. Luk 1:41-45). Kemudian pada hari kelahiran yesus, ketika Bunda Allah penuh 177

Lih. S. GERMANUS dari Konstantinopel, homili pada hari raya Warta gembira kepada Bunda Allah: PG 98,328A; Homili pada hari Meninggalnya S. Maria 2: kolom 357. ANASTASIUS dari Antiokia, Kotbah 2 tentang Warta gembira, 2: PG 89,1377AB; Kotbah 3,2: kolom 1388C. S. ANDREAS dari Kreta, Madah pada hari kelahiran S. Perawan 1: kolom 812A; Homili pada hari raya Meninggalnya S. Maria 1: kol. 1068C. S. SOFRONIUS, Amanat 2 pada hari raya Warta gembira, 18: PG 87 (3),3237BD. 178 Lih. S. IRENEUS, Melawan bidaah-bidaah III, 22,4: PG 7,959A; HARVEY 2,123. 179 S. IRENEUS, di tempat yang sama: HARVEY 2,124. 180 S. EPIFANIUS, Melawan bidaah, 78,18: PG 42,728CD-729AB. 181 S. HIRONIMUS, Surat 22,21: PL 22,408. Lih. S. AGUSTINUS, Kotbah 51,2,3: PL 38,335; Kotbah 232,2: kolom 1108. S. SIRILUS dari yerusalem, Katekese 12,15: PG 33,741 AB. S. YOHANES dari Damsyik, Homili 2 pada hari raya Meninggalnya S. P. Maria, 3: PG 96,728.

kegembiraan menunjukkan kepada para Gembala dan para Majus Puteranya yang sulung, yang tidak mengurangi keutuhan keperawanannya, melainkan justru menyucikannya [182]. Ketika ia dikenisah, sesudah menyerahkan persembahan kaum miskin, menghadapkan-Nya kepada Tuhan, ia mendengarkan Simeon sekaligus menyatakan, bahwa Puteranya akan menjadi tanda yang akan menimbulkan perbantahan dan bahwa suatu pedang akan menembus jiwa Bunda-Nya, supaya pikiran hati banyak orang menjadi nyata (lih. Luk 2:34-35). Ketika orang tua Yesus dengan sedih Hati mencari Putera mereka yang hilang, mereka menemukan-Nya di kenisah sedang berada dalam perkara-perkara Bapa-Nya, dan mereka tidak memahami apa yang dikatakan oleh Putera mereka. Tetapi Bundanya menyimpan itu semua dalam hatinya dan merenungkannya (lih. Luk 2:41-51). 58. (Santa Perawan dan hidup Yesus di muka umum) Dalam hidup Yesus di muka umum tampillah Bunda-Nya dengan penuh makna, pada permulaan, ketika pada pesta pernikahan di Kana yang di Galilea ia tergerak oleh belaskasihan, dan dengan perantaraannya mendorong Yesus Almasih untuk mengerjakan tanda-Nya yang pertama (lih. Yoh 2:1-11). Dalam pewartaan Yesus ia menerima sabda-Nya, ketika Puteranya mengagungkan Kerajaan diatas pemikiran dan ikatan daging serta darah, dan meyatakan bahagia mereka yang mendengar dan melakukan sabda Allah (lih. Mrk 3:35 dan pararel; Luk 11:27-28), seperti dijalankannya sendiri dengan setia (lih. Luk 2:19 dan 51). Demikianlah Santa Perawan juga melangkah maju dalam peziarahan iman. Dengan setia ia mempertahankan persatuannya dengan Puteranya hingga di salib, ketika ia sesuai dengan rencana Allah berdiri di dekatnya (lih. Yoh 19:25). Disitulah ia menanggung penderitaan yang dasyat bersama dengan puteranya yang tunggal. Dengan hati keibuannya ia menggabungkandiri dengan korban-Nya, yang penuh kasih menyetujui persembahan korban yang dilahirkannya. Dan akhirnya Yesus Kristus juga, menjelang wafat-Nya di kayu salib, ia dikurniakan kepada murid menjadi Bundanya dengan kata-kata ini: “Wanita, inilah anakmu” (lih. Yoh 19:26-27) [183]. 59. (Santa Perawan sesudah Yesus naik ke sorga) Allah tidak berkenan mewahyukan misteri keselamatan umat manusia secara resmi, sebelum mencurahkan Roh yang dijanjikan oleh kristus. Maka kita saksikan para Rasul sebelum hari pentekosta “bertekun sehati sejiwa dalam doa bersama beberapa wanita, dan Maria Bunda Yesus serat saudara-saudari-Nya” (Kis 1:14). Kita lihat Maria juga dengan doa-doanya memohon kurnia Roh, yang pada saat Warta Gembira dulu sudah menaunginya. Akhirnya Perawan tak bernoda, yang tidak pernah terkena oleh segala cemar dosa asal [184], sesudah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, telah diangkat melalui kemuliaan di sorga beserta badan dan jiwanya [185]. Ia telah ditinggikan oleh Tuhan sebagai Ratu alam semesta, supaya secara lebih penuh menyerupai Puteranya, Tuan di atas segala tuan (lih. Why 19:16), yang telah mengalahkan dosa dan maut [186].

182

Lih. KONSILI LATERAN tahun 649, kanon 3: MANSI 10,1151. S. LEO AGUNG, surat kepada Flavianus: PL 54,759. KONSILI KALSEDON: MANSI 7,462. S. AMBROSIUS, tentang pendidikan para perawan: PL 16,320. 183 Lih. PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis, 29 Juni 1943: AAS 35 (1943) 247-248. 184 Lih. PIUS IX, Bulla Ineffabilis, 8 Desember 1854: Acta Pii IX, I, I, 616: DENZ. 1641 (2803). 185 Lih. PIUS XII, Konstitusi apostolik Munificentissimus, 1 November 1950: AAS 42 (1950); DENZ. 2333 (3903). Lih. S. YOHANES dari Damsyik, Pada hari raya Meninggalnya Bunda Allah, Homili 2 dan 3: PG 96,721-761, khususnya kolom 728B. S. GERMANUS dari Konstantinopel, pada hari raya meninggalnya Santa Bunda Allah, Kotbah 1: PG 98 (6),340-348; Kotbah 3: kolom 361. S. MODESTUS dari Yerusalem, Pada hari raya meninggalnya Santa Bunda Allah: PG 86 (2), 3277-3312. 186 Lih. PIUS XII, Ensiklik Ad coeli Reginam, 11 Oktober 1954: AAS 46 (1954) hlm. 633-636: DENZ. 3913 dsl.

III. SANTA PERAWAN DAN GEREJA 60. (Maria hamba Tuhan) Pengantara kita hanya ada satu, menurut sabda Rasul: “Sebab Allah itu esa, dan esa pula pengantara antara Allah dan manusia, yakni manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua orang” (1Tim 2:5-6). Adapun peran keibuan Maria terhadap umat manusia sedikit pun tidak menyuramkan atau mengurangi pengantaraan Kritus yang tunggal itu, melainkan justru menunjukkan kekuatannya. Sebab segala pengaruh Santa Perawan yang menyelamatkan manusia tidak berasal dari suatu keharusan objektif, melainkan dari kebaikan ilahi, pun dari kelimpahan pahala Kristus. Pengaruh itu bertumpu pada pengantaraan-Nya, sama sekali tergantung dari padanya, dan menimba segala kekuatannya dari padanya. Pengaruh itu sama sekali tidak merintangi persatuan langsung kaum beriman dengan Kristus, melainkan justru mendukungnya.

61. Sehubungan dengan penjelmaan Sabda ilahi Santa Perawan sejak kekal telah ditetapkan untuk menjadi Bunda Allah. Berdasarkan rencana penyelenggaraan ilahi ia di dunia ini menjadi Bunda Penebus ilahi yang mulia, secara sangat istimewa mendampingi-Nya dengan murah hati, dan menjadi Hamba Tuhan yang rendah hati. Dengan mengandung Kristus, melahirkan-Nya, membesarkan-Nya, menghadapkan-Nya kepada Bapa di kenisah, serta dengan ikut menderita bengan Puteranya yang wafat di kayu salib, ia secara sungguh istimewa bekerja sama dengan karya juru selamat, dengan ketaatannya, iman, pengharapan serta cinta kasihnya yang berkobar, untuk membaharui hidup adikodrtai jiwa-jiwa. Oleh karena itu dalam tata rahmat ia menjadi Bunda kita. 62. Ada pun dalam tata rahmat itu peran Maria sebagai Bunda tiada hentinya terus berlangsung, sejak persetujuan yang dengan setia diberikannya pada saat Warta Gembira, dan yang tanpa ragu-ragu dipertahankan di bawah salib, hingga penyempurnaan kekal semua para terpilih. Sebab sesudah diangkat ke sorga ia tidak meninggalkan peran yang membawa keselamatan itu, melainkan dengan aneka perantaraannya ia terus-menerus memperolehkan bagi kita kurnia-kurnia yang menghantar kepada keselamatan kekal [187]. Dengan cinta kasih keibuannya ia meperhatikan saudara-saudara Puteranya, yang masih dalam peziarahan dan menghadapi bahaya-bahaya serta kesukaran-kesukaran, sampai mereka mencapai tanah air yang penuh kebahagiaan. Oleh karena itu dalam gereja Santa Perawan disapa dengan gelar Pembela, Pmebantu, Penolong, Perantara [188]. Akan tetapi itu diartikan sedemikian rupa, sehingga tidak mengurangi pun tidak menambah martabat serta dayaguna Kristus satu-satunya Pengantara [189]. Sebab tiada makhluk satu pun yang pernah dapat disejajarkan dengan Sabda yang menjelma dan Penebus kita. Namun seperti imamat Kristus secara berbedabeda ikut dihayati oleh para pelayan (imam) maupun oleh Umat beriman, dan untuk satu kebaikan Allah dengan cara yang berbeda-beda pula terpancarkan secara nyata dalam makhluk-makhluk, begitu pula satu-satunya pengantaraan Penebus tidak

187

Lih. KLUTGEN, Naskah yang diperbaharui tentang Misteri Sabda ilahi, bab IV, MANSI 53,290. Lih juga S. ANDREAS dari Kreta, Pda hari kelahiran Maria, Kotbah 4: PG 97,865A. S. GERMANIUS dari Konstantinopel, Pada Warta gembira Bunda Allah: PG 98, 321BC; Pada meninggalnya Bunda Allah, III: kolom 361D. S. YOHANES dari Damsyik, Pada hari meninggalnya Santa Perawan Maria, Homili 1,8: PG 96,712BC-713A. 188 Lih. LEO XIII, Ensiklik Adiutricem populi, 5 September 1895: AAS 15 (1895-96) hlm. 303. S. PIUS X, Ensiklik Ed diem illum, 2 Februari 1904: Acta, I, hlm. 154: DENZ. 1978A (3370). PIUS XI, Ensiklik Miserentissimus, 8 Mei 1928: AAS 20 (1928) hlm. 178. PIUS XII, Amanat radio, 13 Mei 1946: AAS 38 (1946) hlm. 266. 189 S. AMBROSIUS, Surat 63: PL 16,1218.

meniadakan, melainkan membangkitkan pada makhluk-makhluk aneka bentuk kerja sama yang berasal dari satu-satunya sumber. Adapun Gereja tanpa ragu-ragu mengakui, bahwa Maria memainkan peran yang terbawah kepada Kristus seperti itu. Gereja tiada hentinya mengalaminya, dan menganjurkan kepada kaum beriman, supaya mereka ditopang oleh perlindungan Bunda itu lebih erat menyatukan diri dengan Sang pengantara dan penyelamat. 63. (Maria pola Gereja) Karena kurnia serta peran keibuannya yang ilahi, yang menyatukannya dengan Puternya Sang penenbus, pun pula karena segala rahmat serta tugas-tugasnya, Santa Perawan juga erat berhubungan dengan gereja. Seperti telah diajarkan oleh S. Ambrosius, Bunda Allah itu pola Gereja, yakni dalam hal iman, cinta kasih dan persatuan sempurna dengan Kristus [190]. Sebab dalam misteri Gereja, yang tepat juga disebut Bunda dan perawan, Santa Perawan Maria mempunyai tempat utama, serta secara ulung dan istimewa memberi teladan perawan maupun ibu [191]. Sebab dalam iman dan ketaatan ia melahirkan Putera Bapa sendiri di dunia, dan itu tanpa mengenal pria, dalam naungan Roh Kudus, sebagai Hawa yang baru, bukan karena mempercayai ular yang kuno itu, melainkan karena percaya akan utusan Allah, dengan iman yang tak tercemar oleh kebimbangan. Ia telah melahirkan Putera, yang oleh Allah dijadikan ynag sulung di antara banyak saudara (Rom 8:29), yakni Umat beriman. Maria bekerja sama dengan cinta kasih keibuannya untuk melahirkan dan mendidik mereka. 64. Adapun Gereja sendiri – dengan merenungkan kesucian Santa Perawan yang penuh rahasia serta meneladan cinta kasihnya, dengan melaksanakan kehendak Bapa dengan patuh, dengan menerima sabda Allah dengan setia pula – menjadi ibu juga. Sebab melalui pewartaan dan babtis, Gereja melahirkan bagi hidup baru yang kekal-abadi putera-puteri yang dikandungnya dari Roh Kudus dan lahir dari Allah. Gereja pun perawan, yang dengan utuh murni menjaga kesetiaan yang dijanjikannya kepada Sang Mmepelai. Dan sambil mencontoh Bunda Tuhannya, Gereja dengan kekuatan Roh Kudus secara perawan mempertahankan keutuhan imannya, keteguhan harapannya, dan ketulusan cinta kasihnya [192]. 65. (Keutamaan-keutamaan Maria, pola bagi Gereja) Namun sementara dalam diri Santa perawan Gereja telah mencapai kesempurnaannya yang tanpa cacat atau kerut (lih. Ef 5:27), kaum beriman kristisni sedang berusaha mengalahkan dosa dan mengembangkan kesuciannya. Maka mereka mengangkat pandangannya ke arah Maria, yang bercahaya sebagai pola kutamaan, menyinari segenap jemaat para terpilih. Penuh khidmat Gereja mengenangkan Maria, serta merenungkannya dalam terang Sabda yang menjadi manusia, dan dengan demikian ia penuh hormat makin mendalam memasuki sejarah keselamatan, dan dengan cara tertentu merangkum serta memantulakn pokokpokok iman yang terluhur dalam dirinya. Sementara ia diwartakan dan dihormati, ia mengundang Umat beriman untuk mendekati Puteranya serta korban-Nya, pun cinta kasih Bapa. Sedangkan Gereja sambil mencari kemuliaan kristus makin menyerupai Polanya yang amat mulia. Gereja terus menerus maju dalam iman, harapan dan cinta kasih, serta dalam segalanya mencari dan melaksanakan kehendak Allah. Maka tepatlah, bahwa juga dalam karya kerasulannya Gereja memandang Maria yang melahirkan Kristus; Dia yang 190

S. AMBROSIUS, Penjelasan tantng Lukas II, 7: PL 15,1555. Lih. Pseudo-PETRUS DAMIANUS, Kotbah 63: PL 144,861AB. GODEFRIDUS dari S. VIKTOR, pada hari kelahiran Santa Maria, manuskrip Paris, Mazarine, 1002, lembar 109 r. GERHOHUS REICH, De gloria et honore filii hominis (tentang kemuliaan dan kehormatan Putera manusia), 10: PL 194,1105AB. 192 S. AMBROSIUS, di tempat yang sama, dan dalam penjelasan Luk X, 24-25: PL 15,1810. S. AGUSTINUS, tentang Yoh. Traktat 13,12: PL 35,1499. Lih. Kotbah 191,2,3: PL 38, 1010, dan lain-lain. Lih. juga BEDA terhormat, Tentang Luk Penjelasan I, bab 2: PL 92,330. ISAAK DE STELLA, Kotbah 51: PL 194,1863A. 191

dikandung dari Roh Kudus serta lahir dari Perawan, supaya melalui Gereja lahir dan berkembang juga dalam hati kaum beriman. Dalam hidupnya Santa Perawan menjadi teladan cinta kasih keibuan, yang juga harus menjiwai siapa saja yang tergabung dalam misi kerasulan Gereja demi kelahiran baru sesama mereka.

IV. KEBAKTIAN KEPADA SANTA PERAWAN DALAM GEREJA 66. (Makna dan dasar bakti kepada Santa Perawan) Berkat rahmat Allah Maria diangkat di bawah Puteranya, diatas semua malaikat dan manusia, sebagai Bunda Allah yang tersuci, yang hadir pada misteri-misteri Kristus; dan tepatlah bahwa ia dihormati oleh Gereja dengan kebaktian yang istimewa. Memang sejak zaman kuno Santa Perawan dihormati dengan gelar “Bunda Allah”; dan dalam segala bahaya serta kebutuhan mereka Umat beriman sambil berdoa mencari perlindungannya [193]. Terutama sejak Konsili di Efesus kebaktian Umat Allah terhadap Maria meningkat secara mengagumkan, dalam penghormatan serta cinta kasih, dengan menyerukan namanya dan mencontoh teladannya, menurut ungkapan profetisnya sendiri: “Segala keturunan akan menyebutku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan karya-karya besar padaku” (Luk 1:48). Meskipun kebaktian itu, seperti selalu dijalankan dalam Gereja, memang bersifat istimewa, namun secara hakiki berbeda dengan bakti sembah sujud, yang dipersembahkan kepada Sabda yang menjelma seperti juga kepada Bapa dan Roh Kudus, lagi pula sangat mendukungnya. Sebab ada pelbagai ungkapan sikap bakti terhadap Bunda Allah, yang dalam batas-batas ajaran yang sehat serta benar, menurut situasi semasa dan setempat serta sesuai dengan tabiat dan watak-perangai kaum beriman, telah disetujui oleh Gereja. Dengan ungkapan-ungkapan itu, bila Bunda dihormati, Puteranya pun – segala sesuatu diciptakan untuk Dia (lih. Kol 1:15-16), dan Bapa yang kekal menghendaki agar seluruh kepenuhan-Nya diam dalam Dia (Kol :19), - dikenal, dicintai dan dimuliakan sebagaimana harusnya, serta perintah-perintah-Nya dilaksanakan. 67. (Semangat mewartakan sabda dan kebangkitan kepada S. Perawan) Ajaran Katolik itu oleh Konsili suci disampaikan sungguh-sungguh. Serta-merta Konsili suci mendorong semua putera Gereja, supaya mereka dengan rela hati mendukung kebaktian kepada Anta perawan, terutama yang bersifat liturgis. Juga supaya mereka sungguh menghargai praktik-praktik dan pengamalan bakti kepadanya, yang disepanjang zaman oleh dianjurkan oleh wewenang mengajar Gereja; pun juga supaya mereka dengan khidmat mempertahankan apa yang di masa lampau telah ditetapkan mengenai penghormatan patung-patung Kristus, Santa Perawan dan para Kudus [194]. Kepada para teolog serta pewarta sabda Allah Gereja menganjurkan dengan sangat, supaya dalam memandang martabat Bunda Allah yang istimewa mereka pun, dengan sungguh-sungguh mencegah segala ungkapan berlebihan yang palsu seperti juga kepicikan sikap batin [195]. Hendaklah mereka mempelajari Kitab suci, ajaran para Bapa dan Pujangga suci serta liturgi193

Doa Di bawah perlindunganmu. KONSILI NISEA II, tahun 787: MANSI 13,378-379; DENZ. 302 (600-601). KONSILI TRENTE, Sidang 25: MANSI 33,171-172. 195 Lih. PIUS XII, Amanat radio, 24 Oktober 1954: AAS 46 (1954), hlm. 679. Ensiklik Ad coeli Reginam, 11 Oktober 1954: AAS 46 (1954) hlm. 637. 194

liturgi Gereja di bawah bimbingan Wewenang mengajar Gereja, , dan dengan cermat menjelaskan tugas-tugas serta kurnia-kurnia istimewa Santa Perawan, yang senantiasa tertujukan pada Kristus, sumber segala kebenaran, kesucian dan kesalehan. Hendaknya mereka dengan sungguh-sungguh mencegah apa-apa saja, yang dalam kata-kata atu perbuatan dapat menyesatkan para saudara terpisah atau siapa saja selain mereka mengenai ajaran Gereja yang benar. Selanjutnya hendaklah kaum beriman mengingat, bahwa bakti yang sejati tidak terdiri dari perasaan yang mandul dan bersifat sementara, tidak pula dalam sikap mudah percaya tanpa dasar. Bakti itu bersumber pada iman yang sejati, yang mengajak kita untuk mengakui keunggulan Bunda Allah, dan mendorong kita untuk sebagai putera-puteranya mencintai Bunda kita dan meneladan keutamaan-keutamaannya.

V. MARIA, TANDA HARAPAN YANG PASTI DAN PENGHIBURAN BAGI UMAT ALLAH YANG MENGEMBARA DI DUNIA 68. Sementara itu Bunda Yesus telah di muliakan di sorga dengan badan dan jiwanya, dan menjadi citra serta awal Gereja yang harus mencapai kepenuhannya di masa yang akan datang. Begitu pula di dunia ini ia menyinari Umat Allah yang sedang mengembara sebagai tanda harapan yang pasti dan penghiburan, sampai tibalah hari Tuhan (lih. 2Ptr 3:10). 69. Bagi Konsili suci ini merupakan kegembiraan dan penghiburan yang besar, bahwa juga dikalangan para saudara yang terpisah ada yang menghormati Bunda Tuhan dan Penyelamat sebagaimana harusnya, khususnya dalam Gereja-Gereja Timur, yang dengan semangat berkobar dan jiwa bakti yang tulus merayakan ibadat kepada Bunda Allah yang tetap Perawan [196]. Hendaklah segenap Umat kristiani sepenuh hati menyampaikan doa-permohonan kepada Bunda Allah dan Bunda umat manusia, supaya dia, yang dengan doa-doanya menyertai Gereja pada awalmula, sekarang pun di sorga – dalam kemuliaannya melampaui semua para suci dan para malaikat, dalam persekutuan para kudus – menjadi pengantara pada Puteranya, sampai semua keluarga bangsa-bangsa, entah yang ditandai nama kristiani, entah yang belum mengenal Penyelamat mereka, dalam damai dan kerukunan di himpun dalam kebahagiaan menjadi satu Umat Allah, demi kemuliaan Tritunggal yang Mahakudus dan Esa tak terbagi. Semua dan masing-masing pokok yang telah diuraikan dalam Konstitusi dogmatis ini berkenan kepada para Bapa. Dan Kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada Kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, di maklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah. Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 21 bulan November tahun 1964.

196

Lih. PIUS XI, Ensiklik Ecclesiam Dei, 12 November 1923: AAS 15 (1923) hlm. 581. PIUS XII, Ensiklik Fulgens corona, 8 September 1953: AAS 45 (1953) hlm. 590-591.

Saya PAULUS Uskup Gereja Katolik

(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)

DARI RISALAH KONSILI EKUMENIS VATIKAN II

PENGUMUMAN Oleh Sekretaris Jendral Konsili Pada Sidang Umum ke-125, tanggal 16 November 1964.[1] (1. Kadar teologis Konstitusi “De Ecclesia”) Ditanyakan manakah seharusnya kualifikasi teologis ajaran, yang dipaparkan dalam Skema “de Ecclesia” dan yang diajukan untuk pemungutan suara. Komisi untuk Ajaran menjawab pertanyaan itu dalam membahas “Modi” (amandemen-amandemen) mengenai bab III Skema “De Ecclesia”, sebagai berikut: “Dengan sendirinya sudah jelaslah, bahwa teks Konsili selalu harus ditafsirkan menurut peraturan-peraturan umum, yang diketahui oleh siapa pun”. Pada kesempatan itu Konstitusi untuk Ajaran mengacu kepada Pernyataan pada tgl. 6 maret 1964, yang teksnya kami kutib di sini: “Mengingat kebiasaan Konsili-Konsili serta tujuan pastoral Konsili sekarang ini, Konsili ini hanyalah mendefinisikan perkara-perkara iman dan kesusilaan yang harus dipegang teguh oleh Gereja, dan yang oleh Konsili sendiri secara eksplisit dinyatakan sebagai perkara iman dan kesusilaan”. “Sedangkan hal-hal lain, yang dikemukakan oleh Konsili sebagai ajaran Magisterium Tertinggi Gereja, harus diterima dan dimengerti oleh semua dan stiap orang beriman, menurut maksud Konsili sendiri, yang menjadi nyata baik dari bahan yang diuraikan, maupun dari cara merumuskannya, menurut norma-norma penafsiran teologis”.

1

Dua catatan yang di kutib dari Risalah Konsili ini disampaikan kepada para Bapa Konsili untuk menjelaskan suara yang mereka berikan. Keduanya penting untuk menafsirkan Konstitusi ini. Paus Paulus VI menggarisbawahinya dalam amanat beliau kepada para Bapa Konsili menjelang penutupan Sidang III Konsili, pada tanggal 21 November 1964, pada saat beliau secara resmi mengumumkan Konstitusi tentang Gereja, mengenai ajaran tentang martabat Uskup: “… sambil mengindahkan penjelasan-penjelasan yang diberikan baik untuk penafsiran yang harus diberikan kepada istilah-istilah yang digunakan, maupun untuk kualifikasi teologis yang oleh Konsili mau diberikan kepada ajaran yang diuraikan, kami tidak ragu-ragu, berkat pertolongan Allah, untuk secara resmi mengumumkan Konstitusi tentang Gereja” (Doct. Cath. LXI, tgl. 6 Desember 1964, kolom 1589).

(2. Arti kolegialitas).[2] Oleh kewibawaan tertinggi kemudian telah disampaikan kepada para Bapa Konsili Catatan penjelasan Pnedahuluan pada “Modi” [3] tenatng bab III Skema “de Ecclesia”. Ajaran, yang diuraikan dalam bab III itu harus dijelaskan dan dimengerti menurut maksud catatan itu.

CATATAN PENJELASAN PENDAHULUAN “Komisi memutuskan untuk mengawali pembahasan amandemen-amandemen dengan catatan-catatan umum berikut: 1. “Collegium” (“Dewan”) tidak diartikan secara yuridis melulu, yakni dalam arti kelompok yang terdiri dari anggota-anggota yang sederajat, seolah-olah mereka mendelegasikan kekuasaan mereka kepada ketua, melainkan dalam arti kelompok yang tetap, yang struktur maupun kewibawaannya harus dijabarkan dari Perwahyuan. Oleh karena itu dari Jawaban terhadap Modus 12 secara eksplisit dikatakan tentang “Dua belas”, bahwa Tuhan menetapkan mereka “bagaikan Dewan atau kelompok yang tetap” (ad modum collegii seu coetus stabilis [4]). Bdk. Juga Modus 53, c. – berdasarkan itu pula, tentang Dewan para Uskup acap kali dipakai juga istilah “Ordo” (Tingkat) atau “Corpus” (Badan). Kesejajaran antara Petrus serta para Rasul lainnya di satu pihak, dan Imam Agung Tertinggi serta para Uskup di lain pihak, tidak berarti penerusan kekuasaan luar biasa para Rasul kepada para pengganti mereka; jadi juga tidak berarti – seperti sudah jelas – kesetaraan (“aequalitas”) antara Kepala dan anggota Dewan, melainkan melulu keserupaan, kemiripan (“proportionalitas”) antara relasi pertama (Petrus – para Rasul) dan relasi kedua (Paus – para Uskup). Maka Komisi memutuskan untuk menulis dalam artikel 22: bukan “eadem” melainkan “pari ratione”. Bdk. Modus 57. 2. Seseorang menjadi anggota Dewan berdasarkan pentakdisan menjadi Uskup dan persekutuan hirarkis dengan Kepala maupun para anggota Dewan. Bdk. Art 22, pada akhir § 1. Dalam pentakdisan diberikan partisipasi antologis dalam tugas-tugas (“munera”) kudus, seperti jelas sekali ternyata dari Tradisi, juga Tradisi Liturgi. Dengan sengaja digunakan istilah “munerum” (tugas-tugas), bukan “potestatu” (kekuasaan), karena istilah terakhir itu dapat dimengerti sebagai kekuasaan yang langsung siap untuk bertindak. Tetapi supaya ada kekuasaan yang sia langsung bertindak itu, masih juga diperlukan penentuan kanonik atau yuridis oleh kewibawaan hirarkis. Penentuan kekuasaan itu dapat berupa penyerahan fungsi khusus atau pengangkatan bawahan untuk suatu fungsi, dan diberikan menurut norma-norma yang disetujui oleh Kewibawaan tertinggi. Norma lebih lanjut seperti itu pada hakekatnya diperlukan, karena yang dimaksudkan ialah fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh pelbagai subjek, yang atas kehendak Kristus bekerja sama dengan hirarkis. Sudah jelaslah,

2

Kewibawaan tertinggi, yang telah meminta, supaya pembahasan amandemen-amandemen naskah “de Ecclesia” didahului dengan penjelasan pendahuluan, jelas ialah paus Pulus VI sendiri. 3 “Modi” ialah amandemen-amandemen yang diajukan oleh para Bapa Konsili kepada Komisi untuk Ajaran. 4 Lih. Konsili dogmatis tentang gereja, art. 19.

bahwa “persekutuan” itu berlangsung dalam kehidupan Gereja menurut situasi zaman, sebelum bagaikan “dibikukan” dalam hukum. Oleh karena itu dikatakan secara eksplisit, bahwa diperlukan persekutuan Hirarkis dengan Kepala serta anggota Gereja. Persekutuan ialah pengertian, yang dalam Gereja kuno (seperti sekarang pula, terutama di Timur) dianggap sangat penting. Yang dimaksudkan bukanlah suatu perasaan yang kabur, melainkan suatu kenyataan organis, yang memerlukan bentuk yuridis pun sekaligus dijiwai oleh cinta kasih. Maka Komisi, praktis dengan kesepakatan bulat, memutuskan: harus ditulis “dalam persekutuan hirarkis”. Bdk. Modus 40, pun juga apa yang dikatakan tentang “misi kanonik”, dalam art. 24. Dokumen-dokumen para paus pada masa akhir ini tentang yurisdiksi para Uskup harus ditafsirkan dalam arti penentuan kekuasaan yang masih perlu itu. 3. Tentang Dewan (“Collegium”), yang tidak dapat tanpa Kepala, dikatakan: “merupakan subyek kuasa tertinggi dan penuh terhadap seluruh Gereja”. Hal itu perlu disetujui, supaya kepenuhan kekuasaan paus jangan dipertanyakan. Sebab Dewan harus selalu mencakup Kepalanya, yang di dalam Dewan itu tetap menjalankan tugasnya seutuhnya selaku Wakil Kristus dan Gembala Gereja semesta. Dengan kata lain pembedaan bukan antara Paus (di satu pihak) dan para Uskup secara kolektif (di pihak lainnya), melainkan antara Paus dipandang tersendiri dan paus bersama para Uskup. Karena Paus ialah Kepala Dewan, maka dia seorang diri dapat menjalankan berbagai tindakan, yang sama sekali tidak dapat dijalankan oleh para Uskup; misalnya: mengundang Dewan untuk berkumpul dan memimpinnya, menyetujui norma-norma untuk bertindak, dan lain-lain. Bdk. Modus 81. Terserah kepada kebijakan Paus, yang diserahi reksa pastoral terhadap seluruh kawanan kristus, untuk – sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan gereja yang silih silih-berganti di sepanjang sejarah, - menentukan cara reksa pastoral itu seyogyanya dijalankan, entah secara pribadi, entah secara kolegial. Paus mengambil langkah untuk mengatur, mendorong, menyetutujui pelaksanaan kolegial, demi kesejahteraan Gereja, menurut kebijaksanaannya. 4. Sebagai Gembala Tertinggi Gereja paus setiap saat dapat menjalankan kekuasaannya, kapan saja berkenan kepadanya, bila itu diperlukan oleh tugasnya. Sedangkan Dewan para Uskup, walaupun senantiasa ada, tidak dengan sendirinya terus menerus bertindak secara kolegial dalam arti yang sempit, sebagaimana ternyata juga dari Tradisi Gereja. Dengan kata lain, Dewan tidak selalu “dalam keadaan bertindak sepenuhnya”, bahkan hanya saat-saat tertentu saja menjalankan tindakan kolegial dalam arti yang sempit, itu pun hanya atas persetujuan Kepala. Di katakan “atas persetujuan Kepala”, supaya jangan ada yang berfikir tentang sifat tergantung bagaikan dari seseorang yang berada di luar Dewan. Istilah “persetujuan” justru menunjukkan adanya persekutuan antara Kepada dan para anggota, dan mencakup perlunya tindakan yang termasuk kompetensi kepala. Hal itu secara eksplisit ditegaskan dalam artikel 22 § 2, dan di sana dijelaskan juga, menjelang akhir artikel. Rumus negatif “hanya” mencakup semua kasus. Maka jelaslah, bahwa norma-norma yang telah disetujui oleh Kewibawaan tertinggi selalu harus diindahkan. Bdk. Modus 84. Semuanya itu menyatakan, bahwa yang menjadi pokok yakni: hubungan para Uskup dengan Kepala mereka, dan tidak pernah dimaksudkan: kegiatan para Uskup tanpa tergantung dari Paus. Dalam kasus terakhir ini, karena Kepala tidak mengadakan tindakan, para Uskup juga tidak dapat bertindak sebagai Dewan, seperti jelas pula dari pengertian “Dewan” (“Collegium”). Persekutuan hirarkis semua para Uskup dengan Paus dalam Tradisi jelas sudah lazim.

NB. Tanpa persekutuan hirarkis itu mustahil dijalankan tugas sakramentalontologis, yang harus dibedakan dari aspek kanonik-yuridis. Akan tetapi Komisi untuk Ajaran berpandangan: bahwa soal-soal sekitar “liseitas” (halalnya) atau “validitas” (sahnya) tindakan disini tidak usah di bahas, melainkan diserahkan kepada perdebatan para teolog, khususnya melalui kekuasaan, yang di facto dijalankan dalam Gereja-Gereja Timur yang terpisah; mengenai penjelasan hal terakhir itu terdapat pelbagai pendapat. + PERICLES FELICI Uskup Agung tituler Samosata, Sekretaris Jendaral, Konsili Ekumenis Vatikan II.

PAUS PAULUS USKUP HAMBA PARA HAMBA ALLAH BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI DEMI KENANGAN ABADI

DEKRIT TENTANG GEREJA-GEREJA TIMUR KATOLIK

PENDAHULUAN

1. Gereja Katolik sangat menghargai lembaga-lembaga, upacara-upacara liturgi, tradisitradisi gerejawi dan tata-laksana hidup kristen dalam GEREJA-GEREJA TIMUR. Sebab semuanya itu mempunyai keunggulan sebagai warisan zaman kuno yang terhormat, menampilkan tradisi yang melalui para Bapa Gereja berasal dari para Rasul(1), dan merupakan sebagian dalam pusaka perwahyuan ilahi, yang utuh-utuh diserahkan kepada Gereja semesta. Maka penuh perhatian terhadap Gereja-Gereja Timur, saksi-saksi hidup Tradisi itu, Konsili Ekumenis ini menyatakan keinginannya, supaya Gereja-gereja itu tetap subur, dan dengan kekuatan rasuli yang diperbaharui menunaikan tugas perutusan yang dipercayakan kepadanya. Selain apa yang berlaku bagi Gereja semesta, Konsili memutuskan untuk menetapkan beberapa pokok, sementara hal-hal lain diserahkan kepada penyelenggaraan Sinode-Sinode Timur dan Takhta Apostolik.

GEREJA-GEREJA KHUSUS ATAU RITUS-RITUS 2. (Kemacam-ragaman dalam persekutuan Gereja katolik) Gereja katolik yang kudus, Tubuh Mistik Kristus, ialah umat beriman yang dipersatukan secara laras-serasi karena iman yang sama, Sakramen-sakramen yang sama, dan kepemimpinan yang sama dalam Roh Kudus. Umat itu merupakan perpaduan pelbagai golongan yang tergabung di bawah bimbingan hirarki, yang terhimpun sebagai GerejaGeraja khusus atau Ritus-Ritus. Antara Gereja-gereja itu ada persekutuan yang mengagumkan, sehingga kemacam-ragaman dalam Gereja bukannya merugikan kesatuannya, melainkan justru mengungkapkannya. Gereja katolik memang menghendaki, agar tradisi-tradisi masing-masing Gereja khusus atau Ritus tetap utuh dan lestari. Lagi pula Gereja hendak menyesuaikan perihidupnya dengan bermacam-macam kebutuhan setempat dan semasa(2). 1 2

LEO XIII, Surat apostolik Orientalium dignitas, tgl. 30 November 1984: Acta Leonis XIII”, jilid XIV (1894) hlm. 201202. S. LEO IX, Surat In terra pax, tahun 1053 : “Ut enim”. – INOSENSUS III, Konsili Lateran IV, Tahun 1215, bab IV : Licet Graecos; Surat Inter Quattuor, tagl 2 Agustus 1206 : Postulasi Postmodum. – INOSENSUS IV, Surat Cum de cetero, tgl. 27 Agustus 1247; Surat Sub catholicae, tgl. 6 Maret 1254, pendahuluan . – NIKOLAUS III, Instruksi Istut est memoriale, tgl. 9 Oktober 1278. – LEO X, Surat apostolik Accepimus nuper, tgl. 18 Mei 1521. – PAULUS III, Surat apostolik Dudum, tgl. 23 Desember 1534. – PIUS IV, Konstitusi Romanus Pontifex, tgl. 16 Februari 1564, 5. – KLEMENS VIII, Konstitusi Magnus Dominus, tgl. 23 Desember 1595, 10. – PAULUS V, Konstitusi Solet circumspecta, tgl. 10 Dsember 1615, 3. – BENEDICTUS XIV, Ensiklik Demandatam, tgl. 24 Desember 1743, 3; Ensiklik “Allatae sunt”, tgl. 26 Juni 1755, 3, 6-19, 32. – PIUS VI, Ensiklik Catholicae communionis, tgl. 24 Mei 1787. – PIUS IX, Surat In Suprema, tgl. 6 Januari 1848, 3; Surat apostolik Ecclesiam Christi, tgl. 26 November 1853; Konstitusi Romani Pontificis, tgl. 6 Januari 1862. – LEO XIII, Surat apostolik Praeclara, tgl. 20 Juni 1894, no. 7; Surat apostolik Orientalium dignitas, tgl. 30 November 1894, pendahuluan; dan lain-lain.

3. (Kesamaan martabat, hak-hak dan kewajiban-kewajiban) Gereja-gereja khusus seperti itu, baik di Timur maupun di Barat, sebagian saling berbeda perihal apa yang disebut ritus, Yakni Liturgi, tat-laksana gerejawi, dan pusaka warisan rohani. Tetapi sama-sama dipercayakan kepada kepemimpinan pastoral Imam Agung di Roma, yang berdasarkan ketetapannya atas Gereja semesta. Maka Gereja-Gereja itu mempunyai martabat yang sama, sehingga tiada satupun unggul terhadap yang lain-lain karena rirusnya; begitu pula mempunyai hak-hak yang sama dan terikat kewajibankewajiban yang sama, juga perihal pewartaan Injil ke seluruh dunia (lih. Mrk 16:15), dibawah kepemimpinan paus di Roma. 4. (Kelestarian Ritus-Ritus dalam satu persekutuan) Maka diseluruh dunia hendaknya diusahakan kelestarian dan perkembangan semua Gereja khusus. Oleh karena itu hendaklah dibentuk paroki-paroki beserta hirarkinya sendiri, bila itu diperlukan bagi kesejahteraan rohani umat beriman. Tetapi hendaknya para Hirark berbagai Gereja khusus, yang mempunyai yurisdiksi di daerah yang sama, berusaha - dengan mengadakan musyawarah dalam sidang-sidang berkala – memelihara kesatuan kegiatan, dan dengan berpadu tenaga mendukung karya-karya bersama, untuk mempermudah peningkatan kesejahteraan agama, dan secara lebih aktif menjaga tatalaksana di anatra klerus[3]. Segenap klerus dan mereka yang menyiapkan diri untuk menerima Tahbisan suci hendaknya mendapat penyuluhan yang memadai tentang RitusRitus, dan terutama tentang norma-norma praktis mengenai perkara-perkara antar Ritus. Bahkan kaum awam pun hendaklah dalam pendidikan katekis mendapat penjelasan tentang Ritus-Ritus orang katolik, dan mereka yang menerima Babtis di Gereja atau jemaat bukan katolik mana pun juga, yang menggabungkan diri dalam kepenuhan persekutuan katolik, dimanapun juga tetap hidup menurut Ritus mereka sendiri, memeliharanya dan sedapat mungkin mematuhinya[4]. Sementara itu tetap dipertahankan hak untuk mengajukan persoalan kepada Takhta Apostolik, bila ada kasus kasus khas menyangkut pribadi-pribadi jemaat-jemaat, atau daerah-daerah. Takhta suci, sebagai instansi tertinggi yang berwenang atas hubungan-hubungan antar Gereja, akan menanggapi kebutuhan-kebutuhan dalam semangat ekumenis, secara langsung atau melalui instansi-instansi lainnya, melalui norma-norma, dekrit-dekrit dan jawabanjawaban resmi.

MELESTARIKAN PUSAKA ROHANI GEREJA-GEREJA TIMUR 5.

(Hak serta kewajiban Gereja-Gereja untuk melestarikan tata-laksana masingmasing) Sejarah, tradisi-tradisi, dan amat banyak lembaga-lembaga gerejawi memberi kesaksian gemilang, betapa besar jasa-sumbangan Gereja-Gereja Timur bagi Gereja semesta[5]. Maka itu konsili suci tidak hanya menyambut pusaka gerejawi dan rohani itu dengan penghargaan dan pujian semestinya, melainkan dengan tegas memandangnya juga sebagai pusaka seluruh gereja Kristus. Oleh sebab itu Konsili secara resmi menyatakan, bahwa Gereja-Gereja Timur seperti juga Gereja-Gereja Barat mempunyai hak maupun 3

PIUS XII, Motu proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 4. PIUS XII, Motu proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 8: “Sine Licentia Sedis Apostolicae” (tanpa izin Takhta Apostolik), dengan menganut praksis abad-abad sebelumnya; begitu pula tentang mereka yang di Babtis di luar Gereja Katolik, dalam kanon 11 tercantum : “ritum quem maluerint amplecti possunt” (mereka boleh berpegang teguh pada Ritus, yang mereka pilih sendiri); dalam teks yang diajukan diambil keputusan positif tentang “tetap mempertahankan Ritusnya” bagi semua kaum beriman di seluruh dunia. 5 Lih. LEO XIII, Surat apostolik Orientalium dignitas, tgl. 30 November 1894; Surat apostolik praeclara gratulationis, tgl. 0 Juni 1894, dan dokumen-dokumen yang disebutkan pada catatan kaki 2. 4

kewajiban, masing-masing untuk mengatur diri menurut tata-laksana yang khas. Sebab tata-laksana itu dianjurkan karena riwayatnya yang kuno dan terhormat, karena lebih sesuai dengan sifat dan perilaku umat beriman, dan nampak lebih sesuai untuk mengembangkan kesejahteraan umat. 6. (Melestarikan upacara-upacara Liturgi Ritus Timur) Hendaklah segenap umat Gereja-Gereja Timur menyadari dan merasa yakin, bahwa mereka selalu dapat dan wajib melestarikan upacara-upacara Liturgi mereka yang sah serta tata-laksana mereka, dan bahwa perubahan-perubahan hanya hanya boleh diadakan berdasarkan motivasi kemajuan mereka yang laras-serasi. Maka hendaklah itu semua oleh umat gereja-Gereja Timur dipatuhi dengan kesetiaan sepenuhnya. Mengenai semuanya itu mereka harus memperoleh pengertian yang makin mendalam dan mencapai tingkat pelaksanaan yang makin sempurna. Dan bila tanpa alasan yang wajar, karena situasi jaman atau pribadi-pribadi tertentu, mereka telah menyimpang dari padanya, hendaklah mereka berusaha kembali kepada tradisi-tradisi para leluhur. Adapun mereka, yang karena tugas atau pelayan kerasulan seringkali berhubungan dengan Gereja-Gereja Timur atau dengan umatnya, hendaknya – sesuai dengan beratnya kewajiban mereka – dibenahi dengan pengertian yang cermat tentang upacara-upacara, tata-laksana, ajaran, sejarah serta sifat-sifat umat, dengan penghargaan terhadapnya[6]. Kepada tarekat-tarekat religius serta perserikatan-perserikatan Ritus Latin, yang berkarya didaerah-daerah timur atau ditengah umat Gereja-Gereja Timur, dianjurkan dengan sangat, supaya demi efektifnya kerasulan mereka, mereka sedapat mungkin mendirikan rumah-rumah atau juga provinsi-provinsi Ritus Timur[7].

PARA PATRIARK TIMUR 7. (Siapa Patriark Timur itu?) Sejak jaman kuno terdapatlah dalam Gereja lembaga patriarkal, yang sudah diakui oleh Konsili-Konsili Ekumenis pertama[8]. Yang disebut Patriark Timur ialah Uskup, yang mempunyai yurisdiksi atas semua Uskup, tidak terkecuali uskup Metropolit, atas klerus dan umat wilayah atau Ritusnya sendiri, menurut norma hukum dan tanpa mengurangi primat Paus di Roma[9]. Dimanapun diangkat seorang Hirark dari suatu Ritus diluar batas-batas wilayah patriarkal, ia tetap termasuk hirarki patriarkat Ritus itu juga menurut norma hukum. 8. (Semua Patriark sederajat martabatnya) Meskipun patriarkat-patriarkat muncul pada waktu yang berlainan, semua Patraiark Gereja-Gereja Timur sederajat berdasarkan martabat patriarkal, tanpa mengurangi adanya urutan kehormatan antara mereka, yang telah ditetapkan secara sah[10].

6

Lih. BENEDIKTUS XV, Motu Proprio Orientis cattholici, tgl. 15 Oktober 1917. – PIUS XI, Ensiklik Rerum orientalium, tgl. 8 September 1928, dan lain-lain. 7 Praktek Gereja katolik pada zaman Pius XI, Pius XII, dan Yohanes XXIII secara melimpah menunjukkan adanya gerakan itu. 8 Lih. KONSILI NIKAIA I, kanon 6. – KONSILI KONSTANTINOPEL I, kanon 2 dan 3. – KONSILI CHALKEDON, kanon 28; kanon 9. – KONSILI KONSTANTINOPEL IV, kanon 17; kanon 21. – KONSILI LATERAN IV, kanon 5; kanon 30. – KONSILI FIRENZE, Dekrit untuk umat Yunani, dan lain-lain. 9 Lih. KONSILI NIKAIA, kanon 6. – KONSILI KONSTANTINOPEL IV, kanon 17. – PIUS XII, , Motu proprio Cleri sanctitati, kanon 216, 2, 1. 10 Dalam Konsili-Konsili Ekumenis: NIKAIA I, kanon 6. – KONSTANTINOPEL I, kanon 21. – LATERAN IV, kanon 5. – FIRENZE, Dekrit untuk umat Yunani, tgl. 6 Juli 1439, 9. – Lih. PIUS XII, , Motu proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 219, dan lain-lain.

9. (Wewenang patriark dan Sinode) Menurut tradisi Gereja yang sangat kuno para Patriark Gereja-Gereja Timur layak mendapat kehormatan istimewa, karena mereka mengetuai patrairkat mereka masingmasing sebagai bapa dan kepala. Maka Konsili suci ini menetapkan, agar hak-hak serta privilegi-privilegi mereka dipulihkan, seturut tradisi-tradisi kuno masing-masing Gereja serta dekrit-dekrit KonsiliKonsili Ekumenis[11]. Hak-hak dan privilegi-privilegi itu ialah : yang berlaku pada waktu persatuan antara Timur dan Barat, sungguhpun semuanya perlu sekedar disesuaikan dengan situasi zaman sekarang. Patriark beserta sinode-sinodenya merupakan instansi yang lebih tinggi untuk urusan-urusan mana pun juga dalam patriarkat, tidak terkecuali hak-hak untuk menetapkan eparkia-eparkia baru dan mengangkat Uskup-Uskup Ritusnya dalam batasbatas wilayah patriarkal, tanpa mengurangi hak paus di Roma yang tidak dapat diganggu-gugat untuk bercampur tangan pada setiap kasus. 10. (Uskup Agung Utama) Apa yang dikatakan tentang para Patriark, menurut norma hukum berlaku juga bagi para Uskup Agung Utama, yang memimpin suatu Gereja khusus secara keseluruhan atau suatu Ritus[12]. 11. (Didirikan patriarkat-patriarkat baru sejauh perlu) Karena dalam gereja-Gereja Timur lembaga patriarkal merupakan bentuk kepemimpinan yang tradisional, Konsili Ekumenis ini menghimbau, supaya bilamana perlu didirikan patriarkat-patriarkat baru. Termasuk wewenang khusus Konsili Ekumenis atau Paus di Roma, untuk mendirikannya[13]. TATA-LAKSANA SAKRAMEN-SAKRAMEN 12. (Konsili mengukuhkan tata-laksana Sakramen-Sakramen) Konsili Ekumenis ini mengukuhkan serta memuji tata-laksana Sakramen-Sakramen, yang sejak dulu kala berlaku di Gereja-Gereja Timur, begitu pula praktek perayaan serta pelayanannya. Konsili menginginkan, supaya sejauh perlu tata-laksana itu dipulihkan. 13. (Pelayan Sakramen Krisma) Tata-laksana menyangkut pelayan Sakramen Krisma, yang sejak dahulu berlaku di Gereja-gereja Timur, hendaknya dipulihkan seutuhnya. Maka para Imam dapat menerimakan Sakramen itu, dengan menggunakan Krisma yang diberkati oleh Patriark atau Uskup[14].

11

Lih. Catatan kakai 8. Lih. KONSILI EFESUS, kanon 8. – KLEMENS VII, Decet Romanum Pontificem, tgl. 23 Februari 1596. – PIUS VII, Surat Apostolik In universalis Ecclesiae, tgl. 22 februari 1807. – PIUS XII, , Motu proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 324-339. KONSILI KARTAGO, tahun 419, kanon 17. 13 KONSILI KARTAGO, tahun 419, kanon 17 dan 57. – KONSILI CHALKEDON, tahun 451, kanon 12. – S. INOSENSIUS I, Surat Ad consulta vestra, tgl. 13 November 866: A quo autem. INOSENSIUS III, Surat Rex regum, tgl. 25 Februari 1204. – LEO XII, Surat apostolik Petrus Apostolorum Princeps, tgl. 15 Agustus 1824. – LEO XIII, Surat apostolik Christi Domini, tahun 1895. – PIUS XII, , Motu proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 159. 14 Lih. INOSENSIUS IV, Surat Sub catholicae, tgl. Maret 1254, 3, n.4. – KONSILI LYON II, tahun 1274 (Ikrar iman Mikael Paleologos yang dipersembahkan kepada Gregorius X). – EUGENIUS IV, dalam Konsili Firenze, Konstitusi Exsultate Deo, tgl. 22 November 1439, 11. – KLEMENS VIII, Instruksi Sanctissimus, tgl. 31 Agustus 1595. – BENEDIKTUS XIV, Konstitusi Etsi pastoralis, tgl. 26 Mei 1742, II, n.1, dan lain-lain. – SINODE LAODIKAIA, tahun 347/381, kanon 48. – SINODE SIS GEREJA ARMENIA, tahun 1342. – SINODE LIBANON GEREJA MARONIT, tahun 1736, Bag. II, Bab III, n.2, dan Sinode-Sinode khusus lainnya. 12

14. (Penerimaan Sakramen Krisma) Semua imam Gereja-Gereja Timur dapat secara sah menerimakan Sakramen Krisma, entah bersama dengan Babtis atau terpisah dari padanya, kepada sekalian umat beriman dari Ritus manapun juga, tak terkecualikan Ritus Latin, dengan mematuhi demi halalnya peraturan-peraturan hukum yang bersifat umum maupun khusus[15]. Juga para imam Ritus Latin, menurut kewenangan yang mereka terima untuk menerimakan Sakramen itu, dapat menerimakannya secara sah juga kepada umat beriman Gereja-Gereja timur, entah mereka termasuk Ritus mana, dengan mematuhi demi halalnya peraturan-peraturan hukum yang bersifat umum maupun khusus[16]. 15. (Ekaristi suci) Umat beriman wajib ikut merayakan Liturgi ilahi pada hari Minggu dan hari Raya, atau – menurut peraturan-peraturan atau adat kebiasaan Ritusnya – ikut mendoakan Pujian ilahi (ibadat harian)[17]. Untuk mempermudah umat beriman menunaikan kewajiban itu, ditetapkan, bahwa waktu yang cocok untuk menaati perintah itu berlangsung dari sore sebelumnya hingga akhir Minggu atau hari raya[18]. Dianjurkan dengan sangat, supaya umat beriman pada hari-hari itu, atau lebih sering, bahkan setiap hari, menerima Ekaristi suci[19]. 16. (Pelayan Sakramen Tobat) Karena umat beriman pelbagai Gereja khusus sehari-harian bercampur-baur di wilayah atau daerah Gereja Timur yang sama, kewenangan para imam dari Ritus mana pun juga untuk menerima pengakuan dosa, yang mereka peroleh secara sah dan tanpa syarat dari Hirarki mereka, diperluas hingga meliputi seluruh wilayah Hirarki yang memberinya, pun juga meliputi tempat-tempat serta umat beriman yang termasuk Ritus mana pun juga diwilayah itu, kecuali bila Hirark setempat jelas-jelas menolaknya untuk daerah Ritusnya[20]. 17. (Diakonat dan tahbisan-tahbisan tingkat rendah) Supaya tata-laksana Sakramen Tahbisan dari zaman dahulu berlaku lagi di Gereja-gereja Timur, Konsili suci ini menganjurkan, agar lembaga diakonat yang tetap, bila kebiasaan itu telah hilang, dipulihkan[21]. Mengenai sub diakonat dan tingkat-tingkat Tahbisan yang lebih rendah beserta hak-hak maupun kewajiban-kewajibannya, hendaklah itu diurus oleh wewenang legislatif setiap Gereja khusus[22]. 15

Lih. KONGREGASI OFISI SUCI, Instruksi (kepada Uskup di Zips), tahun 1783. – KONGEGRASI PENYIARAN IMAN (untuk umat Koptis), tgl. 15 Maret 1790, n.XIII; Dekrit tgl. 6 Oktober 1863, C, a; KONGREGASI UNTUK GEREJA-GEREJA TIMUR, tgl. 1 Mei 1948. – KONGREGASI OFISI SUCI, Jawaban tgl. 22 April 1896 dengan surat tgl. 19 Mei 1896. 16 Kitab Hukum Kanonik, kanon 782, 4. – KONGREGASI UNTUK GEREJA-GEREJA TIMUR, Dekrit “tentang pelayanan Sakramen Krisma juga kepada umat Gereja-Gereja Timur, oleh imam-imam Ritus Latin, yang mempunyai wewenang itu terhadap umat dari Ritusnya:, tgl. 1 Mei 1948. 17 Lih. SINODE LAODIKAIA, tahun 347/381, kanon 29. – S. NIKEFOROS dari Konstantinopel, bab 14. – SINODE GEREJA ARMENIA di DWIN, tahun 719, kanon 31. – S. TEODOROS STUDITA, kotbah 21. – S. NIKOLAUS I, Surat Ad consulta vestra, tgl. 13 November 866: In quorum Aposlotorum; Nos cupitis; quod interrogatis; Praterea consulitis; Si die Dominico; dan sinode-sinode khusus. 18 Itu sesuatu yang baru, sekurang-kurangnya dimana berlaku kewajiban untuk ikut merayakan Liturgi suci; tetapi itu cocok dengan “hari liturgi” menurut Gereja-Gereja Timur. 19 Lih. Canones Apostolorum, 8 dan 9. – SINODE ANTIOKIA, tahun 341, kanon 2. – TIMOTEOS dari Iskandaria, Interrogatio (pertanyaan) 3. – INOSENSIUS III, Konstitusi Quia divinae, tgl. 4 Januari 1215; dan amat banyak Sinode khusus Gereja-Gereja Timur yang lebih resen. 20 Tanpa mengurangi sifat teritorial yurisdiksi, kanon itu demi kesejahteraan umat beriman bermaksud menanggapi situasi yang timbul dari kemajemukan yurisdiksi di satu tempat yang sama. 21 Lih. KONSILI NIKAIA I, kanon 18. – SINODE NEOKAISAREA, tahun 314/325, kanon 12. – SINODE SARDIKA, tahun 343, kanon 8. – S. LEO AGUNG, Surat Omnium quidem, tgl 13 Januari 444. – KONSILI CHALKEDON, kanon 6. – KONSILI KONSTANTINOPEL IV, kanon 23, 26, dan lain-lain. 22 Di berbagai Gereja Timur subdiakonat dipandang sebagai Tahbisan tingkat rendah. Tetapi Motu Proprio PIUS XII Cleri sanctitati mengenakan padanya kewajiban-kewajiban yang berlaku bagi tingkat-tingkat Tahbisan yang lebih tinggi. Kanon menganjurkan, supaya diikuti lagi tata-laksana tata-laksana zaman dahulu, yang ada pada masing-masing Gereja, mengenai kewajiban-kewajiban para subdiakon, menyimpang dari hukum umum menurut Cleri sanctitati.

18. (Pernikahan campur) Untuk mencegah perkawinan-perkawinan yang tidak sah, bila anggota Gereja Timur katolik menikah dengan orang yang dibabtis dalam gereja Timur bukan katolik, dan untuk memeliharakelestarian serta kekudusan perkawinan dan kedamaian rumah tangga, Konsili menetapkan, bahwa bentuk kanonik perayaan untuk perkawinan itu hanya diwajibkan supaya perkawinan itu halal, dan bahwa untuk sahnya perkawinan cukuplah kehadiran pejabat gerejawi, dengan mengindahkan ketetapan-ketetapan hukum lainnya[23]. LITURGI 19. (Hari-hari raya) Selanjutnya hanya Konsili Ekumenis atau Takhta apostoliklah, yang berwenang menetapkan, memindahkan atau meniadakan hari-hari raya yang berlaku umum bagi semua Gereja Timur. Sedangkan yang berwenang menetapkan, memindahkan atau meniadakan hari-hari raya untuk masing-masing Gereja khusus, ialah: kecuali Takhta apostolik, Sinode-Sinode patriarkal atau arkiepiskopal; tetapi perlu dipertimbangkan kepentingan seluruh daerah serta Gereja-Gereja khusus lainnya[24]. 20. (Hari raya Paska) Sampai tercapainya persetujuan yang diinginkan oleh segenap umat kristen tentang hari tunggal bagi semua untuk merayakan hari raya Paska, dan untuk meningkatkan kesatuan umat kristen di satu daerah atau negara, untuk sementara diserahkan kepada para Patriark atau para penguasa gerejawi setempat yang tertinggi, untuk berdasarkan mufakat bulat dan musyawarah antara pihak-pihak yang berkepentingan, menetapkan satu hari Minggu guna merayakan hari raya Paska[25]. 21. (Penyesuaian diri dengan Ritus setempat) Setiap orang beriman, yang tinggal diluar wilayah atau daerah Ritusnya sendiri, berkenaan dengan hukum tentang masa-masa kudus, dapat menyesuaikan diri sepenuhnya dengan tata-laksana gerejawi yang berlaku ditempat kediamannya. Dalam keluarga-keluarga, yang para anggotanya menganut Ritus yang berbeda-beda, hukum itu boleh diakui menurut satu Ritus saja[26]. 22. (Pujian ilahi [ibadat harian]) Hendaknya para anggota klerus dan religius Gereja-Gereja Timur mematuhi peraturanperaturan tata-laksana serta tradisi-tradisi mereka sendiri dalam merayakan Pujian ilahi (ibadat harian), yang sejak dulu kala dijunjung tinggi di semua Gereja-Gereja Timur[27]. 23

Lih. PIUS XII, Motu Proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 267 (kewenangan para Patriark untuk memberi penyembuhan pada akarnya). – KONGREGASI OFISI SUCI dan KONGREGASI UNTUK GEREJA-GEREJA TIMUR pada tahun 1957 memberi kewenangan mendispensasikan dari bentuk kanonik dan menyembuhkan, bila perkawinan dilangsungkan tanpa bentuk kanonik (untuk lima tahun): “diluar patriarkat, kepada para Metropolit dan para Ordinaris wilayah lainnya … yang tidak mempunyai Atasan di bawah Takhta suci”. 24 Lih. S. LEO AGUNG, Surat Quod sapissime, tgl 15 April 454: Petitionem autem. – S. NIKEFOROS dari Konstantinopel, bab 13. – SINODE PATRIARK SERGIUS, tgl 18 September 1956, kanon 17. – PIUS VI, Surat apostolik Assueto paterne, tgl. 8 April 1775, dan lain-lain. 25 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi 26 Lih. KLEMENS VIII, Instruksi Sanctissimus, tgl. 31 Agustus 1595, 6: Si ipsi graeci. – KONGREGASI OFISI SUCI, tgl. 7 Juni 1673, ad 1 dan 3; tgl. 13 Maret 1916, art. 14.- KONGREGASI UNTUK PENYIARAN IMAN, Dekrit tgl. 18 Agustus 1913, art. 33; Dekrit tgl. 14 Agustus 1914, art. 27; Dekrit tgl. 27 Maret 1916, art. 14. – KONGREGASI UNTUK GEREJA-GEREJA TIMUR, Dekrit tgl. 1 Maret 1929, art. 36; Dekrit tgl. 4 Mei 1930, art. 41. 27 Lih. SINODE LAODIKAIA, tahun 347/381, kanon 18. – SINODE MARISSAC, GEREJA CHALDEA, tahun 410, kanon 15. – SINODE NERSESHROMKLAY, GEREJA ARMENIA, tahun 1166. – INOSESNSIUS IV, Surat Sub catholicae, tgl. 6 Maret 1254, 8. – BENEDIKTUS XIV, Konstitusi Etsi pastoralis, tgl. 26 Mei 1742, 7, n.5; Instruksi Eo quamvis tempore, tgl. 4 Mei1745, 42 dan selanjutnya. – Sinode-sinode khusus: Gereja Armenia (1911), Koptik (1898), Maronit (1736), Rumania (1872), Ruthenia (1891), Syria (1888).

23. (Penggunaan bahasa daerah) Patriark beserta sinode, atau Pemimpin Tertinggi setiap Gereja beserta Dewan para Hiark, mempunyai hak untuk mengatur penggunaan bahasa-bahasa dalam upacara-upacara Liturgi, pun juga – sesudah melaporkannya kepada Takhta Apostolik – menyetujui terjemahan-terjemahan teks-teks dalam bahasa daerah[28].

PERGAULAN DENGAN PARA ANGGOTA GEREJA-GEREJA YANG TERPISAH 24. (Memelihara persekutuan menurut Dekrit tentang Ekumenisme) Termasuk tuga khusus Gereja-Gereja Timur yang berada dalam persekutuan dengan Takhta Apostolik di Roma, memelihara kesatuan segenap umat kristen, terutama umat Gereja-Gereja Timur, menurut prinsip-prinsip dekrit Konsili ini tentang Ekumenisme, pertama-tama melalui doa-doa, teladan hidup, kesetiaan keagamaan terhadap tradisitradisi Timur yang kuno, saling pengertian yang makin mendalam, kerja sama dan penghargaan persaudaraan terhadap orang-orang maupun berbagai hal[29]. 25. (Syarat untuk kesatuan; kewenangan menjalankan kuasa Tahbisan) Dari umat Gereja-Gereja Timur terpisah, yang berkat dorongan rahmat Roh Kudus memasuki kesatuan katolik, hendaklah jangan dituntut lebih dari ikrar iman katolik yang sederhana. Dan bila diantara mereka masih tetap dipertahankan imamat yang sah, para anggota klerus Gereja-Gereja Timur, yang bergabung dengan kesatuan katolik, mempunyai kewenangan menjalankan kuasa Tahbisannya, menurut norma-norma yang ditetapkan oleh Pimpinan yang berwenang[30]. 26. (“Communicatio in sacris”) Perayaan bersama Sakramen-Sakramen (“communicatio in sacris”), yang melanggar kesatuan Gereja, atau mencakup persetujuan formal terhadap kesesatan atau bahaya menyimpang dari iman, batu sandungan, atau indeferentisme, dilarang berdasarkan hukum ilahi [31]. Akan tetapi berkenaan dengan para anggota Gereja-Gereja Timur praktek pastoral menunjukkan, bahwa dapat dan harus dipertimbangkan pelbagai situasi masingmasing pribadi, yang tidak menimbulkan pelanggaran terhadap kesatuan Gereja atau bahaya-bahaya yang perlu dielakkan, melainkan mengisyaratkan mendesaknya kebutuhan akan keselamatan dan kesejahteraan rohani umat. Oleh karena itu Gereja katolik sesuai dengan situasi waktu, tempat serta pribadi-pribadi, seringkali telah dan masih tetap menempuh cara bertindak yang lebih lunak, dengan menyajikan kepada semua upaya-upaya keselamatan serta kesaksian cinta kasih antar umat kristen, melalui keikut-sertaan dalam perayaan Sakramen-Sakramen, partisipasi dalam perayaanperayaan serta kegiatan-kegiatan lain. Memperhatikan itu semua, dan “untuk tidak menjadi halangan bagi mereka yang diselamatkan karena kerasnya penilaian”[32], pun juga untuk mempererat persatuan dengan Gereja-Gereja Timur yang tercerai dari kita, menetapkan cara bertindak berikut.

28

Menurut tradisi Timur. Menurut isi Piagam-Piagam persatuan masing-masing Gereja Timur katolik. 30 Kewajiban berdasarkan ketetapan Konsili, menyangkut para anggota Gereja-Gereja Timur yang terpisah, serta mengenai semua Tahbisan mana pun, atas ketetapan ilahi maupun gerejawi. 31 Ajaran itu berlaku juga di Gereja-Gereja yang terpisah. 32 S. BASILIUS AGUNG, “Surat kanonik kepada Amfilokios”: PG 32, 669 B. 29

27. Berdasrkan prinsip-prinsip yang telah disebutkan, kepada para anggota Gereja-Gereja Timur, yang tanpa kesalahan apapun terpisah dari Gereja katolik, dapat diterimakan Sakramen Tobat, Ekaristi dan Pengurapan Orang Sakit, bila mereka sendiri memintanya dan berada dalam disposisi baik. Bahkan orang-orang katolik pun boleh meminta Sakramen-Sakramen itu kepada pelayan-pelayan yang tidak katolik, bila Gereja-Gereja mereka mempunyai Sakramen-Sakramen yang sah, setiap kali iti dibutuhkan, atau sungguh ada manfaat rohaninya, dan bila secara fisik atau moril tidak dapat ditemui seorang imam katolik[33]. 28. Begitu pula, berdasarkan prinsip-prinsip yang sama, serta dengan alasan yang wajar, umat katolik dan para anggota Gereja-gereja Timur yang terpisah diperbolehkan bersama-sama merayakan ibadat dan menggunakan hal-hal serta tempat-tempat kudus[34]. 29. (Bimbingan para Hirark setempat) Pelaksanaan peraturan yang diperlunak tentang perayaan bersama Sakramen-Sakramen dengan saudara-saudari Gereja-Gereja Timur yang terpisah itu dipercayakan kepada pengawasan dan bimbingan para Hiraki setempat, supaya mereka – berdasarkan musyawarah antara mereka, dan bila perlu juga dengan menampung pendapat Hirark Gereja-Gereja yang terpisah – dengan peraturan-peraturan serta norma-norma yang menunjang dan efektif, mengatur hubungan antar umat kristen. PENUTUP

30. Konsili suci sangat bergembira atas kerja sama aktif yang berhasil antara Gereja-Gereja katolik Timur dan Barat, pun sekaligus menyatakan : bahwa semua peraturan hukum itu ditetapkan untuk situasi sekarang ini, sampai Gereja katolik dan Gereja-Gereja Timur yang terpisah menyatu dalam persekutuan sepenuhnya. Sementara itu seluruh umat kristen yang termasuk Gereja-Gereja Timur maupun barat diminta dengan sangat, supaya penuh semangat dan dengan tekun, bahkan setiap hari memanjatkan doa-doa kepada Allah, supaya berkat bantuan Santa Bunda Allah, mereka semua menjadi satu. Hendaklah mereka berdoa pula, supaya sekian banyak orang kristen dalam Gereja mana pun juga, yang dengan berani menyerukan nama Kristus dan karena itu menanggung penderitaan dan penindasan, dilimpahi peneguhan dan penghiburan sepenuhnya oleh Roh Kudus Sang Penghibur. Marilah kita semua saling mengasihi sebagai saudara, dan saling mendahului dalam memberi hormat (Rom 12:10). Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah. Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 21 bulan November tahun 1964.

33

Sebagai motivasi untuk sikap yang lebih lunak itu dikemukakan pokok-pokok berikut : 1 sahnya Sakramen-Sakramen; 2 tiada kesalahan, dan disposisi baik; 3 kebutuhan akan keselamatan kekal; 4 tidak adanya imam dari Gereja sendiri; 5 tidak adanya bahaya yang perlu dielakkan, pun tidak adanya persetujuan formal terhadap kesesatan. 34 Yang dimaksudkan ialah apa yang disebut communicatio extrasacramentalis in sacris (kegiatan suci bersama diluar perayaan Sakramen). Konsililah yang di sini memperlunak peraturan, dengan syarat, bahwa tetap diindahkan apa yang harus ditaati.

Saya PAULUS Uskup Gereja Katolik

(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)

PAULUS USKUP HAMBA PARA HAMBA ALLAH BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI DEMI KENANGAN ABADI

DEKRIT TENTANG EKUMENISME PENDAHULUAN 1. Mendukung PEMULIHAN KESATUAN antara segenap umat kristen merupakan salah satu maksud utama Konsili Ekumenis Vatikan II. Sebab yang didirikan oleh Kristus Tuhan ialah Gereja yang satu dan tunggal. Sedangkan banyak persekutuan kristen membawakan diri sebagai pusaka warisan Yesus Kristus yang sejati bagi umat manusia. Mereka semua mengaku sebagai murid-murid Tuhan, tetapi berbeda-beda pandangan dan menempuh jalan yang berlain-lainan pula, seolah-olah Kristus sendiri terbagi-bagi[1]. Jelaslah perpecahan itu terang-terangan berlawanan dengan kehendak Kristus, dan menjadi batu sandungan bagi dunia, serta merugikan perutusan suci, yakni mewartakan Injil kepada semua makhluk. Adapun Tuhan segala zaman, yang penuh kebijaksanaan serta kesabaran melaksanakan rencana rahmat-Nya terhadap kita para pendosa, masa terakhir ini telah mulai makin melimpah mencurahkan semangat pertobatan dan kerinduan akan persatuan ke dalam hati umat kristen yang tercerai-berai. Dimana-mana banyak sekali orang yang terdorong oleh rahmat itu, dan di antara saudara-saudari kita yang terpisah pun berkat rahmat Roh Kudus telah timbul gerakan yang makin meluas untuk memulihkan kesatuan segenap umat kristen. Dalam gerakan penyatuan yang disebut “ekumenis” itu berperansertalah mereka, yang menyerukan Allah Tritunggal dan mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Penyelamat, itu pun bukan hanya masing-masing secara perorangan, melainkan juga sebagai jemaat. Disitulah mereka mendengarkan Injil. Jemaat-jemaat itulah yang oleh masing-masing di akui sebagai Gereja mereka dan gereja Allah. Tetapi hampir semua, kendati melalui aneka cara, mencita-citakan satu gereja Allah yang kelihatan, yang sungguh-sungguh bersifat universal, dan diutus ke seluruh dunia, supaya dunia bertobat kepada Injil, dan dengan demikian diselamatkan demi kemuliaan Allah. Maka, sambil mempertimbangkan itu semua dengan hati gembira, konsili suci ini, karena sudah mengurakan ajaran tentang Gereja, terdorong oleh keinginan untuk memulihkan kesatuan antara semua murid Kristus, bermaksud menyajikan kepada segenap umat katolik bantuan-bantuan, upaya-upaya dan cara-cara, untuk menolong mereka menanggapi panggilan serta rahmat ilahi itu.

1

Lih. 1Kor 1:13.

BAB SATU PRINSIP-PRINSIP KATOLIK UNTUK EKUMENISME 2. (Gereja yang satu dan tunggal) Di sini nyatalah cinta kasih Allah terhadap kita, bahwa Putera Tunggal Allah telah diutus oleh Bapa ke dunia, untuk menjadi manusia, dengan karya penebusan-Nya melahirkan kembali seluruh umat manusia, serta menyatukannya[2]. Sebelum mempersembahkan diri sebagai korban tak bernoda di altar salib, Ia berdoa kepada bapa bagi umat beriman: “Semoga semua bersatu, seperti Engkau, ya Bapa, dalam Aku, dan Aku dalam Dikau, supaya mereka pun bersatu dalam kita : supaya percayalah dunia, bahwa Engkau telah mengutus aku” (Yoh 17:21). Dalam Gereja-Nya Ia mengadakan Sakramen Ekaristi yang mengagumkan dan melambangkan serta memperbuahkan kesatuan Gereja. Kepada para murid-Nya Ia telah memberi perintah baru untuk saling mengasihi [3], serta menjanjikan Roh Penghibur[4], untuk menyertai mereka selamanya sebagai Tuhan sumber kehidupan. Ketika Tuhan yesus telah ditinggikan di salib dan di muliakan, Ia mencurahkan Roh yang di janjikan-Nya. Melalui Roh itulah Ia memanggil dan menghimpun umat Perjanjian Baru, yakni Gereja, dalam kesatuan iman, harapan dan cinta kasih, menurut ajaran Rasul: “Satu Tubuh dan satu Roh, seperti kalian telah dipanggil dalam satu harapan panggilan kalian. Satu Tuhan, satu iman, satu babtis” (Ef 4:4-5). Sebab “barang siapa telah dibabtis dalam Kristus, telah menganakan Kristus …. Sebab kalian semua ialah satu dalam Kristus Yesus” (Gal 3:27-28). Ro Kudus, yang tinggal dihati umat beriman, dan memenuhi serta membimbing seluruh Gereja, menciptakan persekutuan umat beriman yang mengagumkan itu, dan sedemikian erat menghimpun mereka sekalian dalam Kristus, sehingga menjdi Prinsip kesatuan Gereja. Dialah yang membagi-bagikan aneka rahmat dan pelayanan[5], serta memperkaya Gereja Yesus Kristus dengan pelbagai anugrah, untuk memperlengkapi para kudus bagi pekerjaan pelayanan, demi pembangunan Tubuh Kristus” (Ef 4:12). Untuk mendirikan Gereja-Nya yang kudus itu di mana-mana hingga kepenuhan zaman, Kristus mempercayakan tugas mengajar, membimbing dan menguduskan kepada Keduabelas Rasul[6]. Di antara mereka Ia memilih Petrus. Ia memutuskan untuk membangun Gereja-Nya di atas petrus sesudah pengakuan imannya. Kepadanya dijanjikan-Nya kunci Kerajaan Sorga[7]. Kepadanya pula, sesudah pernyataan cinta kasihnya, Kristus mempercayakan semua domba-domba-Nya, supaya mereka diteguhkan dalam iman[8] dan digembalakan dalam kesatuan yang sempurna[9], sedangkan Kristus yesus sendiri untuk selamanya menjadi batu penjuru [10] dan Gembala jiwa-jiwa kita[11]. Melalui pewartaan Injil yang setia oleh para Rasul serta pengganti-pengganti mereka, yakni para Uskup, diketuai oleh pengganti petrus, melalui pelayanan SakramenSakramen , dan melalui pembimbingan dalam cinta kasih, Yesus Kristus menghendaki umat-Nya berkembang berkat karya Roh Kudus, serta menyempurnakan persekutuannya dalam kesatuan: dalam pengakuan satu iman, dalam perayaan bersama ibadat ilahi, dan dalam kerukunan persaudaraan keluarga Allah.

2

Lih. 1Yoh 4:9; Kol 1:18-20; Yoh 11:52. Lih. Yoh 13:34. 4 Lih. Yoh 16:7. 5 Lih 1Kor 12:4-11 6 Lih. Mat 28:18-20, bdk. Yoh 20:21-23. 7 Lih. Mat 16:19, bdk. Mat 18:18. 8 Lih. Luk 22:32. 9 Lih. Yoh 21:15-17. 10 Lih Ef 2:20. 11 Lih 1Ptr 2:25. – KONSILI VATIKAN I, Sidang 4 (1870), Konstitusi Pastor Aeternus: Coll.Lac. 7, 482 a. 3

Demikianlah Gereja, kawanan tunggal Allah, bagaikan panji-panji yang dinaikkan bagi bangsa-bangsa[12], sambil melayani Injil kedamaian bagi segenap umat manusia[13], berziarah dalam harapan menuju cita-cita tanah air di Sorga[14]. Itulah misteri kudus kesatuan Gereja, dalam Kristus dan dengan perantaraan Kristus, disertai oleh Roh Kudus yang mengerjakan kemacam-ragaman kurnia-kurnia. Pola dan Prinsip terluhur misteri misteri itu ialah kesatuan Allah Tri Tunggal dalam tiga Pribadi Bapa, Putera dan Roh Kudus. 3. (Hubungan antara saudara-saudari yang terpisah dan Gereja Katolik) Dalam satu dan satu-satunya Gereja Allah itu sejak awalmula telah timbul berbagai perpecahan[15], yang oleh Rasul dikecam dengan tajam sebagai hal yang layak di hukum[16]. Dalam abad-abad sesudahnya timbullah pertentanga-pertentangan yang lebih luas lingkupnya, dan jemaat-jemaat yang cukup besar terpisahkan dari persekutuan sepenuhnya dengan Gereja katolik, kadang-kadang bukan karena kesalahan kedua belah pihak. Tetapi mereka, yang sekarang lahir dan di besarkan dalam iman akan Kristus di jemaat-jemaat itu, tidak dapat dipersalahkan dan dianggap berdosa karena memisahkan diri. Gereja katolik merangkul mereka dengan sikap bersaudara penuh hormat dan cinta kasih. Sebab mereka itu, yang beriman akan Kristus dan dibabtis secara sah, berada dalam suatu persekutuan dengan Gereja katolik, baik perihal ajaran dan ada kalanya juga dalam tata-tertib, maupun mengenai tata-susunan Gereja, persekutuan gerejawi yang sepenuhnya terhalang oleh cukup banyak hambatan, diantaranya ada yang memang agak berat. Gerakan ekumenis bertujuan mengatasi hambatan-hambatan itu. Sungguhpun begitu, karena mereka dalam Baptis dibenarkan berdasarkan iman, mereka [17] disaturagakan dalam Kristus . Oleh karena itu mereka memang dengan tepat menyandang nama kristen, dan tepat pula oleh putera-puteri Gereja katolik diakui selaku saudara-saudari dalam Tuhan[18]. Kecuali itu, dari unsur-unsur atau nilai-nilai, yang keseluruhannya ikut berperanan dalam pembangunan serta kehidupan Gereja sendiri, beberapa bahkan banyak sekali yang sangat berharga, yang dapat ditemukan diluar kawasan Gereja katolik yang kelihatan: Sabda Allah dalam Kitab suci, kehidupan rahmat, iman, harapan dan cinta kasih, begitu pula kurnia-kurnia Roh kudus lainnya yang bersifat batiniah dan unsurunsur lahiriah. Itu semua bersumber pada Kristus dan mengantar kepada-Nya, dan memang selayaknya termasuk gereja Kristus yang tunggal. Tidak sedikit pula upacara-upacara agama kristen, yang diselenggarakan oleh saudara-saudari yang tercerai dari kita. Upacara-upacara itu dengan pelbagai cara dan menurut bermacam-ragam situasi masing-masing Gereja dan jemaat sudah jelas memang dapat menyalurkan hidup rahmat yang sesungguhnya, dan harus diakui dapat membuka pintu memasuki persekutuan keselamatan. Oleh karena itu Gereja-Gereja[19]dan Jemaat-Jemaat yang terpisah, walaupun menurut pandangan kita diwarnai oleh kekurangan-kekurangan, sama sekali bukannya tidak berarti atau bernilai dalam misteri keselamatan. Sebab Roh Kristus tidak menolak untuk menggunakan mereka sebagai upaya-upaya keselamatan, yang kekuatannya bersumber pada kepenuhan rahmat serta kebenaran sendiri, yang dipercayakan kepada Gereja katolik. Akan tetapi saudara-saudari yang tercerai dari kita, baik secara perorangan maupun sebagai Jemaat dan Gereja, tidak menikmati kesatuan, yang oleh yesus Kristus hendak 12

Lih. Yes 11:10-12. Lih Ef 2:17-18, bdk. Mrk 16:15. 14 Lih. 1Ptr 1:3-9. 15 Lih. 1Kor 11:18-19; Gal 1:6-9; 1Yoh 2:18-19. 16 Lih. 1Kor 1:11 dan selanjutnya; 11:22. 17 Lih. KONSILI FIRENZE, Sidang 8 (1439), Dekrit Exsultate Deo: MANSI 31, 1055 A. 18 Lih. S. AGUSTINUS, Uraian tentang Mzm 32, Ur.II, 29: PL 36, 299. 19 Lih. KONSILI LATERAN IV (1215), Konstitusi Iva: MANSI 22, 990. – KONSILI LYON II (1274), Ikrar Imam Mikael paleologus: MANSI 24, 71E. – KONSILI FIRENZE, Sidang 6 (1439), Definisi Laetentur Coeli: MANSI 31, 1026e. 13

dikurniakan kepada mereka semua, yang telah dilahirkan-Nya kembali dan dihidupkanNya untuk menjadi satu tubuh, bagi kehidupan yang serba baru, menurut kesaksian Kitab suci dan tradisi Gereja yang terhormat. Sebab hanya melalui Gereja Kristus yang katoliklah, yakni upaya umum untuk keselamatan, dapat dicapai seluruh kepenuhan upaya-upaya penyelamatan. Sebab kita percaya, bahwa hanya kepada Dewan Para Rasul yang diketuai oleh Petruslah Tuhan telah mempercayakan segala harta Perjanjian Baru, untuk membentuk satu Tubuh kristus di dunia. Dalam tubuh itu harus disaturagakan sepenuhnya siapa saja, yang dengan suatu cara telah termasuk umat Allah, Selama berziarah di dunia, umat itu, meskipun dalam para anggotanya tetap tidak terluputkan dari dosa, berkembang dalam Kristus, dan secara halus dibimbing oleh Allah, menurut rencana-Nya yang penuh rahasia, sampai akhirnya penuh kegembiraan meraih seluruh kepenuhan kemuliaan kekal di kota Yerusalem sorgawi. 4. (Ekumenisme) Sekarang ini, atas dorongan rahmat Roh Kudus, di cukup banyak daerah berlangsunglah banyak usaha berupa doa, pewrtaan dan kegiatan, untuk menuju ke arah kepenuhan kesatuan yang dikehendaki oleh Yesus Kristus. Maka Konsili suci mengundang segenap umat katolik, untuk mengenali tanda-tanda zaman, dan secara aktif berperanserta dalam kegiatan ekumenis. Yang dimaksudkan dengan “Gerakan Ekumenis” ialah: kegiatan-kegiatan dan usahausaha, yang – menanggapi bermacam-macam kebutuhan Gereja dan berbagai situasi – diadakan dan ditujukan untuk mendukung kesatuan umat kristen; misalnya: pertama, semua daya-upaya untuk menghindari kata-kata, penilaian-penilaian serta tindakantindakan, yang ditinjau dari sudut keadilan dan kebenaran tidak cocok dengan situasi saudara-saudari yang terpisah, dan karena itu mempersukar hubungan-hubungan dengan mereka; kemudian, dalam pertemuan-pertemuan umat kristen dari berbagai Gereja atau Jemaat, yang diselenggarakan dalam suasana religius, “dialog” antara para pakar yang kayainformasi, yang memberi ruang kepada masing-masing peserta untuk secara lebih mendalam menguraikan ajaran persekutuannya, dan dengan jelas menyajikan corak-cirinya. Sebab melalui dialog itu semua peserta memperoleh pengertian yang lebih cermat tentang ajaran dan perihidup kedua persekutuan, serta penghargaan yang lebih sesuai dengan kenyataan. Begitu pula persekutuan-persekutuan itu menggalang kerja sama yang lebih luas lingkupnya dalam aneka usaha demi kesejahteraan umum menurut tuntutan setiap suara hati kristen; dan bila mungkin mereka bertemu dalam doa sehati sejiwa. Akhirnya mereka semua mengadakan pemeriksaan batin tentang kesetiaan mereka terhadap kehendak Kristus mengenai Gereja, dan sebagaimana harusnya menjalankan dengan tekun usaha pembaharuan dan perombakan. Bila itu semua oleh umat katolik dilaksanakan dengan bijaksana dan sabar dibawah pengawasan para gembala, akan membantu terwujudnya nilai-nilai keadilan dan kebenaran, kerukunan dan kerja sama, semangat persaudaraan dan persatuan. Semoga dengan demikian lambat-laun teratasilah hambatan-hambatan, yang menghalang-halangi persekutuan gerejawi yang sempurna, dan semua orang kristen dalam satu perayaan Ekaristi dihimpun membentuk kesatuan Gereja yang satu dan tunggal. Kesatuan itulah yang sejak semula dianugerahkan oleh kristus kepada Gereja-Nya. Kita percaya, bahwa kesatuan itu tetap lestari terdapat dalam Gereja katolik, dan berharap, agar kesatuan itu dari hari ke hari bertambah erat sampai kepenuhan zaman. Jelaslah bahwa karya menyiapkan dan mendamaikan para anggota perorangan, yang ingin memasuki persekutuan sepenuhnya dengan Gereja katolik, menurut hakekatnya terbedakan dari usaha ekumenis. Tetapi juga tidak bertentangan; sebab keduanya berasal dari penyelenggaraan Allah yang mengagumkan. Dalam kegiatan Ekumenis hendaknya umat katolik tanpa ragu-raga menunjukkan perhatian sepenuhnya terhadap saudara-saudari yang terpisah, dengan mendoakan mereka, dengan bertukar pandangan tentang hal-ihwal Gereja dengan mereka, dengan

mengambil langkah-langkah pendekatan pertama terhadap mereka. Akan tetapi umat katolik sendiri pertama-tama wajib mempertimbangkan dengan jujur dan penuh perhatian segala sesuatu, yang dalam keluarga katolik sendiri perlu diperbaharui dan dilaksanakan, supaya perihidupnya memberi kesaksian yang lebih setia dan lebih jelas tentang ajaran dan segala sesuatu yang ditetapkan oleh Kristus serta diwariskan melalui para Rasul. Sebab sungguhpun Gereja katolik diperkaya dengan segala kebenaran yang diwahyukan oleh Allah dan dengan semua upaya rahmat, para anggotanya tidak menghayatinya penuh semangat sebagaimanamestinya. Oleh karena itulah wajah Gereja kurang terang bersinar bagi saudara-saudari yang tercerai dari kita dan bagi seluruh dunia, dan pertumbuhan Kerajaan Allah mengalami hambatan. Maka dari itu segenap umat katolik wajib menuju kesempurnaan kristen[20], dan menurut situasi masing-masing mengusahakan, supaya Gereja, seraya membawa kerendahan hati dan kematian Yesus dalam tubuhnya[21], dari hari ke hari makin dibersihkan dan diperbaharui, sampai Kristus menempatkannya dihadapan Dirinya penuh kemuliaan, tanpa cacat atau kerut[22]. Semoga dengan memelihara kesatuan dalam apa yang sungguh perlu semua anggota Gereja, sesuai dengan tugas-kewajiban masing-masing, dalam aneka bentuk hidup rohani dan tertib gerejawi , maupun dalam kemacam-ragaman tata-upacara Liturgi, bahkan juga dalam mengembangkan refleksi teologis tentang kebenaran yang diwahyukan, tetap memupuk kebebasan yang sewajarnya. Tetapi dalam segalanya hendaklah mereka memelihara cinta kasih. Sebab dengan bertindak demikian mereka akan makin penuh menampilkan ciri katolik dan sekaligus apostolik Gereja dalam arti yang sesungguhnya. Dilain pihak perlulah umat katolik dengan gembira mengakui dan menghargai nilainilai sungguh kristen, yang bersumber pada pusaka warisan bersama, dan terdapat pada saudara-saudari yang tercerai dari kita. Sungguh layaklah dan mengantar kepada keselamtan, mengakui kekayaan Kristus serta kuasa-Nya yang berkaya dalam kehidupan orang-orang lain, yang memberi kesaksian akan Kristus, ada kalanya hingga menumpahkan darah. Sebab Allah senantiasa mengagumkan dan layak dikagumi dalam karya-karya-Nya. Jangan pula dilupakan, bahwa apa saja yang dilaksanakan oleh rahmat Roh Kudus diantara saudara-saudari yang terpisah, dapat juga membantu kita membangun diri. Apa pun yang sungguh bersifat kristen, tidak pernah berlawanan dengan nilai-nilai iman yang sejati. Bahkan selalu dapat membantu untuk mencapai secara lebih sempurna misteri Kristus dan Gereja sendiri. Akan tetapi bagi Gereja perpecahan umat kristen merupakan halangan untuk mewujudkan secara nyata kepenuhan ciri katoliknya dalam diri putera-puterinya, yang berkat Bptis memang ditambahkan padanya, tetapi masih tercerai dari kepenuhan persekutuan dengannya. Bahkan bagi Gereja sendiri pun menjadi lebih sukar untuk dalam kenyataan hidupnya mengungkapkan kepenuhan sifat katoliknya dalam segala seginya. Inilah yang penuh kegembiraan disaksikan oleh Konsili : bahwa peran serta umat katolik dalam gerakan ekumenis makin intensif. Konsili menganjurkan kepada para Uskup dimanapun juga, supaya gerakan itu mendukung mereka secara intensif, dan mereka bimbing dengan bijaksana.

20

Lih. Yak 1:4; Roma 12:1-2. Lih. 2Kor 4:10; Flp 2:5-8. 22 Lih. Ef 5:27. 21

BAB DUA PELAKSANAAN EKUMENISME

5. (Ekumenisme : tanggung jawab segenap umat beriman) Keprihatinan untuk memulihkan kesatuan melibatkan segenap Gereja, baik umat Beriman, maupun para Gembala dan siapa pun juga seturut kemampuannya, dalam hidup kristen sehari-hari, pun dalam penelitian-penelitian teologis dan historis. Secara tertentu usaha-usaha itu sudah menampakkan hubungan yang sudah terjalin antara semua orang kristen, dan mengantar menuju kesatuan yang penuh-purna, menurut kemurahan hati benevolentia Allah. 6. (Pembaharuan Gereja) Semua pembaharuan Gereja[23] pada hakekatnya terletak pada berkembangnya kesetiaan terhadap panggilannya. Maka jelaslah sudah, bahwa pembaharuan itulah sebabnya, mengapa gerakan ekumenis menuju kesatuan. Selama ziarahnya Gereja dipanggil oleh Kristus untuk terus-menerus merombak dirinya, seperti memang selamanya dibutuhkan olehnya sebagai suatu lembaga manusiawi dan duniawi. Oleh karena itu bila, menilik situasi zaman, baik di bidang moral, dalam tata-tertib gerejawi, maupun dalam cara merumuskan ajaran, - dan itu harus dibedakan dengan cermat dari perbendaharaan iman sendiri, - ada hal-hal yang telah dilestarikan secara kurang seksama, hendaknya itu pada suatu saat yang baik dipulihkan secara tepat sebagaimana harusnya. Maka pembaharuan itu mendapat makna ekumenis yang istimewa. Aneka bentuk kehidupan Gereja, yang sudah mengalami pembaharuan – misalnya : gerakan Kitab suci dan Liturgi, pewrtaan sabda Allah dan katekese, kerasulan awam, bentuk-bentuk baru hidup religius, spiritualitas perkawinan, ajaran serta kegiatan gereja di bidang sosial, dapat dipandang sebagai jaminan dan pertanda, yang meramalakan, bahwa di masa mendatang ekumenisme akan berkembang dengan baik. 7. (Pertobatan hati) Tidak ada ekumenisme sejati tanpa pertobatan batin. Sebab dari pembaharuan hati [24], dari ingkar diri dan dari kelimpahan cinta kasih yang sungguh ikhlaslah kerinduan akan kesatuan timbul dan makin menjadi masak. Maka hendaklah dari Roh ilahi kita mohon rahmat penyangkalan diri yang tulus, kerendahan hati dan sikap lemah lembut dalam memberi pelayanan, begitu pula kemurahan hati dalam persaudaraan terhadap sesama. “Kunasehatkan kepada kalian”, demikianlah Rasul para bangsa berpesan, “aku yang dipenjarakan dalam Tuhan, supaya menempuh cara hidup yang pantas meurut panggilan kalian. Hendaklah selalu bersikap rendah hati dan lemah-lembut. Hendaklah kalian dengan sabar saling membantu dalam cinta kasih., dan sungguh berusaha memelihara kesatuan Roh dalam ikatan damai” (Ef 4:1-3). Dorongan itu terutama ditujukan kepada mereka, yang telah ditahbiskan dengan maksud, agar tetap berlangsunglah perutusan Kristus, “yang datang tidak untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Mat 20:28). Pada kesalahan-kesalahan melawan kesatuan dapat diterapkan pula kesaksian- S. Yohanes: “Sekiranya kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, kita menjadikan Dia pendusta, dan sabda-Nya tidak tinggal dihati kita” (1Yoh 1:10). Maka dalam doa penuh kerendahan hati kita memohon pengampunan dari Allah dan saudara-saudari yang terpisah, seperti kita pun mengampuni mereka yang bersalah terhadap kita. Hendaklah segenap kaum beriman menyadari, bahwa mereka makin pesat memajukan persatuan umat kristen, bahkan makin baik melaksanakannya, semakin 23 24

Lih. KONSILI LATERAN V, Sidang 12 (1517), Konstitusi Constituti: MANSI 32, 988 B-C. Lih. Ef 4:23.

mereka berusaha menhayati hidup jernih menurut Injil. Sebab semakin erat mereka bersatu dalam persekutuan dengan Bapa, Sang Sabda dan roh Kudus, semakin mampu jugalah mereka untuk meningkatkan persaudaraan timbal-balik, dengan cara yang lebih mesra dan lebih mudah. 8. (Doa bersama) Pertobatan hati dan kesucian hidup itu, disertai doa-doa permohonan perorangan maupun bersama untuk kesatuan umat kristen, harus dipandang sebagai jiwa seluruh gerakan ekumenis, dan memang tepat juga disebut ekumenisme rohani. Sebab bagi umat katolik merupakan kebiasaan baik sekali : sering berkumpul untuk mendoakan kesatuan Gereja, seperti oleh Sang Penyelamat sendiri pada malam menjelang wafat-Nya telah dimohon secara mendesak dari Bapa : “Supaya bersatulah mereka semua” (Yoh 17:21). Dalam berbagai situasi yang istimewa, misalnya bila dipanjatkan doa permohonan “untuk kesatuan”, begitu pula dalam pertemuan-pertemuan ekumenis, umat katolik diperkenankan, bahkan dianjurkan, untuk bergabung dalam doa bersama dengan saudara-saudari yang terpisah. Pastilah doa-doa bersama seperti itu merupakan upaya yang sangat efektif untuk memperoleh rahmat kesatuan, serta merta menjadi lambang otentik ikatan-ikatan, yang masih ada antara umat katolik dan saudara-saudari terpisah : “Sebab dimana pun ada dua atau tiga yang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku berada di tengah mereka” (Mat 18:20). Akan tetapi kebersamaan merayakan Sakramen-Sakramen (Comunicatio in sacris) janganlah dianggap sebagai upaya yang boleh digunakan secara acak-acakan untuk memulihkan kesatuan umat kristen. Kebersamaan dalam perayaan itu terutama tergantung dari dua prinsip, yakni : mengungkapkan kesatuan gereja, dan mengikutsertakan pihak lain dalam upaya-upaya rahmat. Ditinjau dari sudut mengungkapkan kesatuan, kebanyakan kebersamaan itu dilarang. Rahmat yang dapat diperoleh kadang-kadang menganjurkannya. Hendaklah mengenai cara bertindak konkrit, sambil mengindahkan segala situasi masa, tempat dan pribadi-pribadi, keputusan diambil dengan bijaksana oleh kewibawaan Uskup setempat, kecuali bila ditetapkan lain oleh konferensi Uskup menurut Anggaran Dasarnya, atau oleh Takhta suci. 9. (Saling mengenal sebagai saudara) Semangat saudara-saudari yang terpisah perlu dimengerti. Untuk itu perlu sekalilah studi, yang harus ditempuh dengan menjunjung tinggi kebenaran dan dengan hati terbuka. Umat katolik hendaknya disiapkan sebagaimana mestinya, dan perlu meningkatkan pengertiannya tentang ajaran dan sejarah, hidup rohani dan peribadatan, psikologi agama dan kebudayaan, yang khas menyangkut saudara-saudari yang terpisah. Untuk mencapai semuanya itu pertemuan-pertemuan akan banyak membantu kedua pihak, terutama untuk membahas soal-soalteologis. Disitu mereka berdialog sebagai peserta yang sederajat. Suatu syarat ialah, bahwa mereka yang ikut serta dibawah pengawasan para Uskup, memang sungguh kompeten. Dari dialog semacam itu akan nampak lebih jelas pula, bagaimanakah sesungguhnya posisi Gereja katolik. Dengan demikian akan diketahui lebih baik pula pemikiran saudara-saudari yang terpisah, dan mereka akan mendapat penjelasan yang lebih baik tentang iman kita. 10. (Pembinaan ekumenis) Pendidikan teologi dan vak-vak lainnya, terutama sejarah, harus diberikan juga dalam perspektif ekumenis, supaya lebih cermat mengungkapkan kebenaran. Sebab bagi para calon gembaladan imam penting sekali mendalami teologi yang dikembangkan dengan seksama secara demikian, bukan lagi secara polemis, terutama dalam hal-hal yang menyangkut yang menyangkut hubungan-hubungan saudara-saudari yang terpisah dengan Gereja katolik.

Sebab dari pembinaan para imam tergantunglah terutama pendidikan dan pembinaan rohani yang amat dibutuhkan oleh umat beriman dan para para religius. Juga para misionaris katolik yang berkarya di daerah-daerah yang sama seperti orangorang kristen lainnya sekarang ini terutama harus mengetahui masalah-persoalan serta hasil-hasil, yang diperbuahkan oleh ekumenisme dalam kerasulan mereka. 11. (Cara mengungkapkan dan menguraikan ajaran iman) Metode serta cara mengungkapkan iman katolik jangan sampai menghambat dialog dengan saudara-saudari kita. Memang seharusnyalah ajaran seutuhnya diuraikan dengan jelas. Tiada sesuatupun yang begitu asing bagi ekumenisme seperti irenisme (sikap “suka damai”) palsu, yang merugikan bagi kemurnian ajaran katolik, serta mengaburkan artinya yang otentik dan pasti. Iman katolik hendaknya diuraikan secara lebih mendalam sekaligus lebih cermat, dengan cara dan bahasa yang sungguh dapat difahami juga oleh saudara-sudari yang terpisah. Kecuali itu dalam dialog ekumenis para teolog katolik harus stia sepenuhnya terhadap ajaran Gereja, dan dalam usaha mereka bersama dengan saudara-saudari yang terpisah untuk semakin menyelami misteri-misteri ilahi, harus melangkah maju dengan cinta akan kebenaran, kasih-sayang dan kerendahan hati. Dalam membandingkan ajaran-ajaran hendaknya mereka sadari adanya tata-urutan atau “hirarki” kebenaran-kebenaran ajaran katolik, karena berbeda-bedalah hubungannya dengan dasar iman kristen. Dengan demikian akan terbukalah jalan, yang mendorong semua mitra dialog untuk berlombalomba secar persaudaraan, menuju pengertian yang makin mendalam tentang kekayaan Kristus yang tidak terduga dalamnya[25], serta penampilannya yang makin gemilang. 12. (Kerja sama dengan saudara-saudari yang terpisah) Hendaklah segenap umat kristen dihadapan segala bangsa menyatakan iman mereka akan Allah Tritunggal, akan Putera Allah yang menjelma, Penebus dan Tuhan kita. Hendaknya mereka melalui usaha-usaha bersama yang ditandai sikap saling menghargai memberi kesaksian tentang harapan kita, yang tidak akan sia-sia. Zaman sekarang ini sangat meluaslah kerja sama di bidang sosial. Memanglah semua orang tanpa terkecuali dipanggil utuk menggalang kerja sama itu, terutama mereka yang beriman akan Allah, pertama-tama semua orang kristen karena ditandai oleh nama Kristus. Kerja sama antara semua orang kristen secara cemerlang mengungkapkan persatuan yang sudah ada antara mereka, dan lebih jelas menampilkan wajah Kristus Sang Hamba. Kerja sama itu, yang sudah dimulai dibanyak negara, hendaknya makin dipererat, terutama di daerah-daerah, yang tengah mengalami perkembangan sosial dan teknologi, dalam usaha menghargai sepantasnya martabat pribadi manusia, dalam memajukan perdamaian, dalam menerapkan Injil pada situasi kemasyarakatan, dalam mengembangkan ilmupengetahuan maupun kesenian dalam suasana kristen, dalam menggunakan segala macam usaha untuk menanggulangi penderitaan-penderitaan zaman sekarang, misalnya : kelaparan dan bencana-bencana, buta aksara dan kemelaratan, kekurangan akan perumahan, dan pembagian harta benda yang tidak adil. Berkat kerja sama itu semua orang yang beriman akan Kristus dengan mudah dapat belajar, sebagaimana orang0orang dapat lebih saling mengenal dan saling menghargai, dan bagaimana dibukalah jalan menuju kesatuan umat kristen.

25

Lih. Ef 3:8

BAB TIGA GEREJA-GEREJA DAN JEMAAT-JEMAAT GEREJAWI YANG TERPISAH DARI TAKHTA APOSTOLIK DI ROMA

13. Perhatian kita arahkan kepada dua golongan perpecahan utama, yang menimpa jubah Kristus yang tidak berjahit, hanya satu tenunan saja. Perpecahan pertama terjadi di Timur, akibat perdebatan tentang perumusanperumusan dogmatis Konsili Efesus dan Khalkedon, dan kemudian akibat perpecahan persekutuan gerejawi antara Patriarkat-Patriarkat Timur dan Takhta Roma. Perpecahan lainnya, sesudah lebih dari empat abad, timbul di Barat akibat peristiwaperistiwa, yang secara keseluruhan disebut “Reformasi”. Sejak itu banyak persekutuan, yang bersifat nasional maupun konfesional (menyangkut ikrar iman), terceraikan dari Takhta di Roma. Diantara persekutuan-persekutuan, yang tetap melestarikan sebagian tradisi-tradisi maupun struktur-struktur katolik, yang mempunyai posisi istimewa ialah Persekutuan aglikan. Adapun pelbagai kelompok yang terpisah itu banyak berbeda satu dengan lainnya, bukan hanya berdasarkan asal-usul, tempat ataupun zamannya, melainkan pertama-tama karena hakekat maupun bobot masalah-persoalan, yang menyangkut iman dan struktur gerejawi. Oleh karena itu Konsili ini tidak menganggap remeh situasi pelbagai golongan kristen yang serba aneka itu. Kendati adanya perpecahan itu, Konsili tidak pula mengabaikan hubungan-hubungan antar golongan yang masih ada. Konsili menetapkan untuk menyajikan pertimbangan-pertimbangan berikut, untuk dengan bijaksana menjalankan kegiatan-kegiatan ekumenis.

I. TINJAUAN KHUSUS TENTANG GEREJA-GEREJA TIMUR 14. (Semangat dan sejarah Gereja-Gereja Timur) Sudah berabad-abad lamanya Gereja-Gereja Timur dan Barat menempuh perjalanan masing-masing, namun tetap berhubungan karena persekutuan persaudaraan dalam iman dan kehidupan sakramental. Sementara itu berdasarkan persetujuan Takhta di Roma ikut memainkan peranan, bila antara Gereja-Gereja itu timbul sengketa tentang iman dan tata-tertib. Konsili suci – diantara hal-hal lain yang penting sekali – berkenan mengingatkan kepada segenap umat beriman, bahwa di Timur banyaklah Gereja-Gereja khusus atau setempat yang berkembang dengan subur. Diantaranya yang terpenting ialah Gereja-Gereja patriarkal. Cukup banyak diantaranya membanggakan para Rasul sendiri sebagai asal-usulnya. Maka dari itu di kalangan Gereja-Gereja Timur telah dan masih tetap diutamakan usaha yang istimewa untuk melestarikan hubungan –hubungan kekerabatan dalam persekutuan iman dan cinta kasih, yang harus tetap terjalin antara Gereja-Gereja setempat, bagaikan antra saudari. Jangan pula dilupakan, bahwa Gereja-Gereja Timur sejak awal mula mengemban harta-kekayaan, yang cukup banyak unsur-unsurnya di bidang Liturgi, dalam tradisi rohani maupun perihal tata-hukum tersalurkan ke dalam gereja Barat. Janganlah kurang dihargai pula, bahwa dogma-dogma fundamental iman kristiani tentang Tritunggal dan Sabda Allah yang menjelma dari Perawan Maria telah resmi ditetapkan dalam Konsili-

Konsili ekumenis yang diselenggarakan di Timur. Untuk mempertahankan iman itu Gereja-Gereja Timur telah dan tetap masih masih menanggung banyak penderitaan. Pusaka iman yang diwariskan oleh para rasul telah diterima dalam aneka bentuk dan dengan berbagai cara. Kemudian sejak awal mula Gereja warisan itu di pelbagai tempat telah diuraikan dengan aneka cara sesuai pula dengan majemuknya keunggulan akal budi dan kenyataan-kenyataan hidup. Itu semua, disamping faktor-faktor lahiriah, juga karena kurangnya saling pengertian dan saling cinta kasih, telah membuka pintu bagi perpecahan-perpecahan. Oleh karena itu Konsili suci mendorong siapa saja, tetapi terutama mereka, yang bermaksud memperjuangkan pemulihan persekutuan sepenuhnya yang diinginkan antara Gereja-Gereja Timur dan Gereja katolik, supaya mereka memberi perhatian yang sewajarnya kepada situasi istimewa Gereja-Gereja Timur yang telah muncul dan berkembang, begitu pula pada corak dan hubungan-hubungan, yang semula, sebelum perpecahan, ada antara Gereja-Gereja itu dan Takhta di Roma, pun juga supaya mereka dengan seksama membentuk penilaian mereka tentang itu semua. Bila semuanya itu dipatuhi dengan cermat, akan sangat membantu untuk menjalin dialog yang dimaksudkan. 15. (Tradisi Liturgi dan hidup rohani dalam Gereja-Gereja Timur) Semua orang mengetahui juga, betapa umat kristen Gereja-Gereja Timur sepenuh hati melaksanakan Liturgi suci, terutama peryaan Ekaristi, sumber kehidupan Gereja dan jaminan kemuliaan di masa yang akan datang. Perayaan itu bagi umat beriman dalam persatuan dengan Uskup membuka jalan untuk menghadap Allah Bapa dengan perantaraan Putera, Sabda yang menjelma, menderita sengsara dan dimuliakan, dalam pencurahan Roh Kudus, dan memasuki persekutuan dengan Tritunggal Mahakudus, “ikutserta menghayati kodrat ilahi” (2Ptr 1:4). Maka melalui perayaan Ekaristi Tuhan di masing-masing Gereja itu, Gereja Allah di bangun dan berkembang[26], dan persekutuan Gereja-Gereja itu ditampakkan melalui konselebrasi. Dalam ibadat Liturgi itu umat Gereja-Gereja Timur dengan kidung-kidung yang amat indah mengagungkan Santa Maria selalu Perawan, yang oleh Konsili ekumenis Efesus secara resmi dimaklumkan sebagai Bunda Allah yang suci, supaya Kristus sungguhsungguh dan dalam arti yang sejati diakui sebagai Putera Allahdan Putera manusia menurut Kitab suci. Umat Gereja-Gereja Timur juga menghormati dan memuji banyak orang kudus, diantara mereka para Bapa Gereja semesta. Sungguhpun terpisah, Gereja-Gereja Timur mempunyai Sakramen-Sakramen yang sejati, terutama berdasarkan pergantian apostolik, Imamat dan Ekaristi. Melalui Sakramen-Sakramen itu mereka masih berhubungan erat sekali dengan kita. Maka dari itu suatu kebersamaan dalam perayaan Sakramen-Sakramen, bila situasi memang menguntungkan dan dengan persetujuan Pimpinan gerejawi, bukan hanya mungkin, melainkan juga dianjurkan. Di Timur terdapat kekayaan tradisi-tradisi rohani, yang terutama terungkap dalam perihidup para rahib. Sebab disitu sejak zaman kekayaan para Bapa kudus berkembanglah spiritualitas monastik, yang kemudian menjalar ke kawasan Gereja barat. Spiritualitas itulah yang menjadi sumber bagi lembaga hidup religius dalam Gereja Latin, dan kemudian memberinya daya-kekuatan baru. Maka dari itu sangat dianjurkan, supaya umat katolik lebih sering menikmati kekayaan rohani para Bapa Gereja Timur, yang mengangkat manusia seutuhnya untuk merenungkan misteri ilahi. Hendaknya semua menyadari betapa sangat pentinglah mengenal, menghormati, melestarikan dan mendukung pusaka-warisan Liturgi dan hidup rohani Gereja-Gereja Timur yang kaya sekali, untuk dengan setia melindungi kepenuhan tradisi kristen, dan untuk mewujudkan pendamaian umat kristen gereja-Gereja Timur dan Barat.

26

Lih. S. YOHANES KRISOSTOMUS, Homili tentang Yoh. : PG 59, 260-262.

16. (Tata-tertib khas Gereja-Gereja Timur) Selain itu sudah sejak awal mula Gereja-Gereja Timur mematuhi tata-tertib mereka sendiri, yang telah dikukuhkan oleh para Bapa kudus dan Sinode-Sinode, juga yang bersifat ekumenis. Adanya kemacam-ragaman adat-istiadat serta kebiasaan-kebiasaan, seperti sudah dikemukakan, sama sekali tidak menghalang-halangi kesatuan Gereja, bahkan menambah seri-semaraknya dan tidak sedikit membantu pelaksanaan perutusannya. Maka untuk menghilangkan segala keragu-raguan, Konsili menyatakan, bahwa Gereja-gereja timur – seraya tetap menyadari pentingnya kesatuan Gereja semesta – dapat mengatur peri hidup mereka dengan leluasa seturut tata-tertib mereka sendiri, karena lebih sesuai dengan sifat perangai umat mereka, dan lebih memadai untuk memelihara kesejahteraan umat. Sempurnanya pelaksanaan asas tradisional itu, yang tidak selalu tercapai, termasuk prasyarat yang sungguh perlu dipenuhi untuk memulihkan kesatuan. 17. (Ciri khas Gereja-gereja Timur berkenaan dengan soal-soal ajaran) Apa yang telah di uraikan tentang keanekaragaman yang sewajarnya, Konsili berkenan menyatakan juga tentang pelbagai perumusan teologis ajaran-ajaran. Sebab, untuk mendalami kebenaran yang diwahyukan, di Timur dan di Barat telah ditempuh bermacam-macam metode dan upaya untuk mengenal misteri ilahi dan merumuskan iman akannya. Maka tidak mengherankan, bahwa berbagai aspek misteri yang diwahyukan ada kalanya lebih seksama ditangkap dan lebih jelas diungkapkan oleh pihak tertentu dari pada oleh pihak lain, sehingga pelbagai perumusan teologis tidak jarang lebih tepat dipandang saling melengkapi dari pada saling bertentangan. Mengenai tradisi-tradisi teologis Gereja-gereja Timur yang otentik, harus diakui bahwa tradisitradisi itu memang berakar secara mantap dalam Kitab suci, diteguhkan dan diungkapakan oleh kehidupan liturgis, diperkaya oleh tradisi apostolik yang hidup maupun karya tulis para bapa gereja Timur serta para penulis hidup rohani. Tradisitradisi itu mengantar umat kepada pola hidup yang baik, bahkan juga kepada kontemplasi kebenaran kristen sepenuhnya. Konsili melambungkan syukur kepada Allah, bahwa banyak putera-puteri Gereja katolik dari ritus Timur, yang melestarikan pusaka-warisan itu dan ingin menghayatinya secara lebih murni dan lebih utuh, sudah hidup dalam persekutuan penuh dengan saudara-saudari yang termasuk tradisi barat. Konsili menyatakan, bahwa seluruh pusakawarisan di bidang hidup rohani dan liturgi, tata-tertib gerejawi dan teologi, beserta bermacam-ragam tradisi-tradisinya, termasuk kepenuhan katolisitas dan apostolitas Gereja. 18. (penutup) Menyadari semuanya itu sepenuhnya, Konsili suci ini membaharui apa yang pernah dinyatakan oleh Konsili-Konsili di masa lampau dan oleh para Paus, yakni : untuk memulihkan dan melestarikan persekutuan serta kesatuan perlulah tidak menaruh beban lebih berat dari yang memang sungguh diperlukan” (Kis 15:28). Konsili meminta dengan sangat pula, supaya selanjutnya semua usaha ditujukan untuk setapak demi setapak mencapai kesatuan itu, di pelbagai unsur kelembagaan serta bentuk-bentuk kehidupan Gereja, terutama dalam doa dan dialog persaudaraan tentang ajaran-ajaran maupun kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendesak akan reksa pastoral pada zaman sekarang. Begitu pula Konsili menganjurkan kepada para Gembala serta umat Gereja katolik untuk menjalin hubungan-hubungan dengan mereka, yang tidak hidup di Timur lagi, melainkan merantau jauh dari tanah air. Maksudnya supaya makin meningkatlah kerja sama persaudaraan dengan mereka itu dalam semangat cinta kasih, dengan menyisihkan segala segala keinginan untuk bersaing. Kalau usaha itu digiatkan sepenuh hati, Konsili suci menharapkan, supaya robohlah dinding pemisah antara Gereja Barat dan Gereja Timur,

pada akhirnya terwujudlah kediaman satu-satunya, dibangun atas Batu Penjuru, yakni Kristus Yesus, yang akan menyatukan kedua pihak[27].

II. GEREJA-GEREJA DAN JEMAAT-JEMAAT GEREJAWI YANG TEPISAH DI DUNIA BARAT 19. (Situasi khusus Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat) Gereja-Gereja dan Jemaat-jemaat gerejawi, yang pada masa krisis parah sekali, - krisis itu di Barat sudah mulai menjelang akhir Abad pertengahan, - atau sesudah itu, telah terpisahkan dari Takhta Apostolik di Roma, masih tetap mempunyai ikatan dengan Gereja katolik karena kekerabatan yang istimewa serta hubungan-hubungan berkat kehidupan umat kristen dalam satu persekutuan gerejawi selama abad-abad sebelumnya. Akan tetapi Gereja-Gereja serta Jemaat-Jemaat gerejawi itukarena beragamnya asalusul, ajaran dan hidup rohani tidak sedikit pula berbeda bukan hanya dari kita, melainkan juga antara mereka sendiri. Maka sukar sekali memberi gambaran semestinya tentang mereka. Dan itu memang tidak kami maksudkan di sini. Sungguhpun gerakan ekumenis dan kerinduan untuk berdamai dengan Gereja katolik belum dimana-mana merupakan arus yang kuat, kami berharap, supaya dalam hati segenap umat kristen semangat ekumenis dan sikap saling menghargai lambat-laun makin berkembang. Akan tetapi harus diakui, bahwa antara Gereja-Gereja serta Jemaat-Jemaat itu dan Gereja katolik masih terdapat perbedaan-perbedaan cukup penting, bukan hanya yang bersifat historis, sosiologis, psikologis dan budaya, melainkan terutama menyangkut cara menafsirkan kebenaran yang diwahyukan. Supaya kendati perbedaan-perbedaan itu dialog ekumenis dapat lebih mudah diadakan, dalam artikel-artikel berikut kami bermaksud mengutarakan apa yang dapat dan harus merupakan dasar maupun dorongan bagi dialog itu. 20. (Iman akan Kristus) Yang kami maksudkan pertama-tama ialah umat kristen, yang secara terbuka mengikrarkan iman akan Yesus Kristus sebagai Allah dan Tuhan serta Pengantara tunggal antara Allah dan manusia, demi kemuliaan Allah yang Esa, Bapa, Putera dan Roh Kudus. Memang kami menyadari adanya perbedaan-perbedaan yang cukup berarti dengan ajaran Gereja katolik juga tentang Kristus Sabda Allah yang menjelma serta karya penebusan-Nya, kemudian tentang misteri serta pelayanan Gereja, begitu pula tentang peranan Mariadalam karya penyelamatan. Tetapi kami bergembira menyaksikan saudarasaudari yang terpisah mengarahkan pandangan kepada Kristus selaku sumber dan pusat persekutuan gerejawi. Tersentuh oleh kerinduan akan persatuan dengan Kristus, mereka terdorong untuk semakin mengusahakan kesatuan, pun juga untuk memberi kesaksian iman mereka ditengah bangsa-bangsa dimanapun juga. 21. (Pendalaman Kitab Suci) Cinta serta sikap hormat – hampir-hampir ibadat bakti – terhadap Kitab suci menggerakkan saudara-saudari kita untuk terus menerus dan dengan tekun mendalami Kitab suci : sebab Injil “merupakan kekuatan Allah yang menyelamatkan siapapun yang beriman, pertama orang yahudi, kemudian orang Yunani” (Rom 1:16). Sambil menyerukan Roh Kudus, mereka mencari dalam Kitab suci Allah sendiri, yang bagaikan menyapa mereka dalam Kristus, yang dinubuatkan oleh para Nabi, Sabda Allah 27

Lih. KONSILI FIRENZE, Sidang 6 (1439), Definisi Laetentur Coeli: MANSI 31, 1026 E.

yang menjelma untuk kita. Dalam kitab suci mereka renungkan hidup Kristus serta apa saja yang diajarkan dan diperbuat oleh Sang Guru ilahi demi keselamatan manusia, terutama misteri wafat serta kebangkitan-Nya. Tetapi, sedangkan umat kristen yang tercerai dari kita mengakui kewibawaan ilahi Kitab suci, mereka – dengan cara yang berbeda-beda antara mereka sendiri – berpandangan lain dengan kita mengenai hubungan antara Kitab suci dan Gereja. Sebab menurut iman katolik Wewenang Mengajar yang otentik berada dalam posisi yang istimewa dalam menguraikan dan mewrtakan Sabda Allah yang termaktub. Akan tetapi dalam dialog sendiri sabda Allah merupakan upaya yang luar biasa dalam tangan Allah yang penuh kuasa untuk mencapai kesatuan, yang oleh Sang Penyelamat ditawarkan kepada semua orang. 22. (Hidup sakramental) Berkat Sakramen babtis, bilaman pun itu diterimakan dengan semestinya menurut ketetapan tuhan, dan diterima dengan disposisi batin yang selayaknya, manusia sungguh disaturagakan dalam Kristus yang disalibkan dan dimuliakan, serta dilahirkan kembali untuk ikut serta menghayati hidup ilahi, menurut sabda rasul: “kalian telah dikuburkan bersama Dia dalam baptis; dalam Dia pula kalian telah bangkit berkat iman akan karya Allah, yang telah membangkitkan-Nya dari kematian” (Kol 2:12)[28]. Maka Baptis merupakan ikatan sakramental kesatuan antara semua orang yang dilahirkan kembali karenanya. Akan tetapi Baptis sendiri baru merupakan awal-mula dan titik-tolak, sebab seluruhnya tertujukan untuk memperoleh kepenuhan hidup dalam Kristus. Oleh karena itu Baptis terarahkan kepada pengikraran iman yang seutuhnya, kepada integrasi sepenuhnya ke dalam tata-keselamatan seperti dimaksudkan oleh Kristus sendiri, akhirnya kepada integrasi seutuhnya ke dalam persekutuan Ekaristi. Jemaat-jemaat gerejawi yang terpisah dari kita tidak bersatu sepenuhnya dengan kita berdasarkan Baptis; dan kita percaya bahwa mereka, terutama karena tidak memiliki Sakramen Tahbisan, sudah kehilangan hakekat misteri Ekaristi yang otentik dan sepenuhnya. Kendati begitu, bila dalam Perjamuan Kudus mereka mengenangkan wafat dan kebangkitan Tuhan, mereka mengimani, bahwa kehidupan terdapat dalam persekutuan dengan Kristus, dan mereka mendabakan kedatangan-Nya kembali dalam kemuliaan. Oleh karena itu ajaran tentang Perjamuan Tuhan, Sakramen-Sakramen lainnya, ibadat serta pelayanan-pelayanan Gereja harus merupakan bahan dialog. 23. (Kehidupan dalam Kristus) Hidup kristen saudara-saudari itu tumbuh berkat iman akan Kristus, dan berkembang karena rahmat baptis dan dengan mendengarkan Sabda Allah. Hidup itu nampak dalam doa pribadi, dalam renungan tentang Kitab suci, dalam kehidupan keluarga kristen, dalam ibadat jemaat yang berhimpun untuk memuji Allah. Selain itu ibadat mereka acap kali menampilkan dengan jelas unsur-unsur liturgi kuno yang bersifat umum bagi umat umat kristen. Iman akan Kristus berbuah dalam pujian dan ucapan syukur atas kurnia-kurnia yang diterima dari Allah. Kecuali itu terdapat rasa keadilan yang peka dan cinta ksih yang tulus terhadap sesama. Iman yang mewujud dalam tindakan-tindakan nyataitu memperbuahkan cukup banyak lembaga juga untuk meringankan penderitaan rohani maupun jasmani, untuk mengembangkan pendidikan kaum muda, untuk menjadikan kondisi-kondisi sosial kehidupan lebih manusiawi, untuk menciptakan perdamaian di mana pun juga. Meskipun banyak juga diantara umat kristen, yang dibidang moral tidak selalu memberikan tafsiran yang sama tentang Injil seperti umat katolik, dan tidak menyetujui cara-cara yang sama untuk memecahkan persoalan-persoalan masyarakat zaman sekarang yang cukup sulit, tetapi seperti kita mereka pun hendak berpegang teguh pada 28

Lih. Rom 6:4.

sabda Kristus sebagai sumber keutamaan kristen, serta mematuhi perintah Rasul: “Apa pun yang kalian lakukan dengan kata-kata maupun perbuatan, itu semua hendaknya dilakukan demi nama Tuhan Yesus Kristus, seraya bersyukur kepada Allah Bapa dengan perantaraan-Nya” (Kol 3:17). Maka dialog ekumenis dapat diawali dengan penerapan Injil di bidang moral. 24. (Penutup) Demikianlah, sesudah dengan singkat menjelaskan syarat-syarat untuk melaksanakan kegiatan ekumenis, begitu pula prinsip-prinsip untuk mengaturnya, kami penuh percaya mengarahkan pendangan ke masa depan. Konsili suci ini mengajak umat beriman, untuk menjauhkan diri dari setiap sikap acak-acakan atau dari semangat yang tidak bijaksana, yang justru dapat merugikan kemajuan kesatuan yang sesungguhnya. Kegiatan ekumenis mereka tidak dapat lain kecuali bersifat katolik sepenuhnya dan setulus-tulusnya, artinya: setia terhadap kebenaran, yang telah kita waris dari para Rasul dan para Bapa Gereja; begitu pula sesuai dengan iman, yang senantiasa di ikrarkan oleh Gereja katolik, sekaligus pula menuju kepenuhan, yang seturut kehendak Tuhan harus semakin terwujudkan pada Tubuh-Nya di sepanjang masa. Konsili suci ini sungguh menginginkan, supaya usaha-usaha putera-puteri Gereja katolik makin mengalami kemajuan terpadu dengan usaha-usaha saudara-saudai yang terpisah, dan supaya jangan sampai ada hambatan terhadap jalan Penyelenggaraan ilahi, jangan pula ada prasangka-prasangka terhadap dorongan-dorongan Roh Kudus di masa mendatang. Kecuali itu Konsili menyatakan keyakinannya, banyak maksud yang suci untuk mendamaikan segenap umat kristen menjadi satu dalam Gereja Kristus yang satu dan tunggal melampaui daya-kekuatan serta bakat-kemampuan manusiawi. Oleh karena itu konsili menaruh harapan sepenuhnya pada doa Kristus bagi Gereja, pada cinta kasih Bapa terhadap kita, dan pada kekuatan Roh Kudus. “Harapan tidak mengecewakan: sebab cinta kasih Allah telah dicurahkan ke dalam hati kita berkat Roh Kudus, yang dianugerahkan kepada kita” (Rom 5:5). Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan kami, atas kuasa Rasul yang oleh Kristus diserahkan kepada kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagipula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah. Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 21 bulan November tahun 1964. Saya PAULUS Uskup Gereja katolik

(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)

PAULUS USKUP HAMBA PARA HAMBA ALLAH BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI DEMI KENANGAN ABADI

DEKRIT TENTANG TUGAS PASTORAL PARA USKUP DALAM GEREJA PENDAHULUAN 1. KRISTUS TUHAN, Putera Allah yang hidup, telah datang untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa[1], dan supaya semua orang dikuduskan. Seperti Ia sendiri di utus oleh bapa, begitu pula Ia mengutus para rasul-Nya[2]. Ia menyucikan mereka dengan menyerahkan Roh Kudus kepada mereka, supaya merekapun memuliakan Bapa diatas bumi dan menyelamatkan orang-orang, “demi pembangunan Tubuh Kristus” (Ef 4:12), yakni Gereja. 2. Dalam Gereja Kristus itu, Imam agung di Roma sebagai pengganti Petrus, yang oleh Kristus telah dipercaya untuk menggembalakan domba-domba dan anak-anak dombaNya, atas penetapan ilahi mempunyai kuasa tertinggi, sepenuhnya, langsung dan universal atas reksa jiwa-jiwa. Maka dari itu, karena selaku gembala semua orang beriman ia utus, untuk mengusahakan kesejahteraan bersama Gereja semesta maupun kesejahteraan Gereja masing-masing, ia memperoleh primat kuasa biasa atas semua Gereja. Adapun para Uskup sendiri, yang diangkat oleh Roh Kudus menggantikan para Rasul sebagai gembala jiwa-jiwa[3], dan bersama dengan Imam Agung Tertinggi serta dibawah kewibawaannya, telah diutus untuk melestarikan karya Kristus, Gembala yang kekal[4]. Sebab kepada Rasul-Rasul dan para pengganti mereka Kristus telah memerintahkan dan memberikan kuasa untuk mengajar semua bangsa, dan menguduskan orang-orang dalam kebenaran, serta menggembalakan mereka, Maka para Uskup, Berkat Roh Kudus yang kurniakan kepada mereka, menjadi guru iman, Imam Agung dan Gembala yang sejati dan otentik[5]. 3. Tugas mereka sebagai Uskup, yang telah mereka terima melalui tahbisan Uskup itu [6], mereka laksanakan sambil ikut memperhatikan semua Gereja-Gereja, dalam persekutuan dan dibawah kewibawaan Imam Agung Tertinggi sehubungan dengan kuasa mengajar dan kepemimpinan kegembalaan, sementara mereka semua bersatu dalam suatu Dewan atau badan menghadapi Gereja Allah yang semesta. Masing-masing Uskup menunaikan tugas itu terhadap bagian kawanan Tuhan yang diserahkan kepadanya. Masing-masing mengasuh gereja khusus yang dipercayakan kepadanya, atau adakalanya beberapa Uskup bersama-sama berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan bersama berbagai gereja.

1

Lih. Mat 1:21. Lih. Yoh 20:21. 3 Lih. KONSILI VATIKAN I, Sidang 4, Konstitusi dogmatis tentang Gereja Kristus, bab 3: DENZINGER 1828 (3061). 4 Lih. KONSILI VATIKAN I, , Sidang 4, Konstitusi dogmatis tentang Gereja Kristus, Pendahuluan: DENZ. 1821 (3050) 5 KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 21, 24, 25. 6 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 21 2

Maka dari itu Konsili suci, sambil mengindahkan pula kondisi-kondisi umat manusia, yang pada zaman sekarang ini berkembang menuju tata masyarakat yang baru [7], dan dengan maksud menguraikan tugas pastoral para Uskup secara lebih cermat, menetapkan hal-hal berikut ini. BAB SATU PARA USKUP DAN GEREJA SEMESTA

I. PERAN PARA USKUP TERHADAP GEREJA SEMESTA 4. (Pelaksanaan kekuasaan oleh Dewan para Uskup) Berdasarkan tahbisan sakramental dan persekutuan hirarkis dengan Ketua Dewan serta para anggotanya, para uskup diangkat menjadi anggota Badan para uskup[8]. Adapun “Badan para Uskup, yang menggantikan Dewan para rasul dalam tugas mengajar dan bimbingan pastoral, bahkan yang melestarikan Badan para Rasul, bersama dengan Imam Agung di Roma selaku Kepalanya, dan tidak pernah tanpa Kepala itu, merupakan subjek kuasa tertinggi yang penuh juga terhadap seluruh Gereja; tetapi kuasa itu hanyalah dapat dijalankan dengan persetujuan Imam Agung di Roma”[9]. Kuasa itu “secara meriah dijalankan dalam Konsili Ekumenis”[10]. Maka Konsili suci menetapkan, bahwa semua Uskup, yang menjadi anggota Dewan para Uskup, berhak menghadiri Konsili Ekumenis. “Kuasa kolegial itu dapat juga dijalankan oleh para Uskup bersama Paus, kalau mereka tersebar diseluruh dunia, asal saja kepala Dewan mengundang mereka untuk melaksanakan tindakan kolegial, atau setidak-tidaknya menyetujui atau dengan bebas menerima kegiatan bersama para Uskup yang terpencar, sehingga sungguh-sungguh terjadi tindakan kolegial”[11]. 5. (Majelis atau Sinode para Uskup) para Uskup yang terpilih dari pelbagai wilayah dunia, menurut cara-cara dan kaidahkaidah yang telah atau masih harus ditetapkan oleh Imam Agung di Roma, memberi bantuan yang lebih berbobot kepada Gembala tertinggi Gereja, dalam musyawarah yang secara khas di sebut Sinode para Uskup[12]. Karena sinode membawakan peran seluruh Episkopat katolik, maka sekaligus melambangkan, bahwa semua Uskup dalam persekutuan hirarkis ikut serta menanggung keprihatinan Gereja semesta[13]. 6. (para Uskup ikut serta memperhatikan semua Gereja-Gereja) Hendaknya para Uskup, sebagai pengganti para Rasul yang sah dan anggota Dewan para Uskup, selalu menyadari bahwa mereka berhubungan satu dengan yang lain. Hendaknya mereka juga memperhatikan semua Gereja-Gereja, karena atas ketetapan Allah dan kewajiban tugas rasuli mereka masing-masing bersama para Uskup lainnya bertanggung jawab atas Gereja[14]. Terutama hendaknya mereka penuh perhatian terhadap kawasankawasan dunia ini, yang belum menerima pewartaan sabda Allah, atau di mana, terutama 7

Lih. YOHANES XXIII, Konstitusi apostolik Humanae salutis, 25 Desember 1961: AAS 54 (1962) hlm. 6. Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 22. 9 Ibidem 10 Ibidem 11 Ibidem 12 Lih. PAULUS VI, motu proprio Apostolica Sollicitudo, tgl. 15 September 1965. 13 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 23. 14 Lih. PIUS XII, Ensiklik Fidei donum, tgl. 21 April 1957: AAS 49 (1957) hlm. 237 dsl. – Lih. Juga BENEDIKTUS XV, Surat apostolik Maximum illud, tgl. 30 November 1919: AAS 11 (1919) hlm. 440. – PIUS XI, Ensiklik Rerum Ecclesiae, tgl. 28 Februari 1926: AAS 18 (1926)hlm. 68. 8

karena sedikitnya jumlah imam, Umat beriman kristiani terancam bahaya menjauh dari perintah-perintah hidup kristiani, bahkan kehilangan iman sendiri. Maka hendaknya mereka berusaha sekuat tenaga supaya karya-karya pewartaan Injil dan kerasulan dengan gembira ditanggung dan di dukung oleh kaum beriman. Selain itu hendaknya mereka mengusahakan, supaya disiapkan imam-imam yang cakap, begitu pula tenaga-tenaga bantuan baik religius maupun awam untuk tanah-tanah Misi maupun daerah-daerah yang kekurangan klerus. Hendaknya mereka usahakan juga, supaya sedapat mungkin beberapa diantara imam-imam mereka mengunjungi tanah-tanah Misi atau keuskupan-keuskupan tersebut di atas, untuk disitu menjalankan pelayanan suci untuk selamanya atau sekurang-kurangnya untuk waktu tertentu. Kecuali itu hendaklah para Uskup selalu ingat, bahwa dalam penggunaan harta milik gerejawi perlu diindahkan bukan hanya kebutuhan-kebutuhan keuskupan mereka saja, melainkan juga keperluan-keperluan Gereja-gereja khusus lainnya, sebab itu semua merupakan bagian Gereja Kristus yang satu. Akhirnya hendaklah mereka berusaha, untuk sedapat mungkin meringankan malapetaka, yang sedang diderita oleh keuskupankeuskupan atau daerah-daerah lain. 7. (Cinta kasih yang nyata terhadap para Uskup yang dianiaya) Terutama hendaklah para Uskup dengan semangat persaudaraan merangkul para Pemimpin Gereja, yang demi nama Kristus menanggung fitnahan dan kegelisahan, dipenjarakan, atau dirintangi dalam menjalankan pelayanan mereka. Hendaklah para Uskup menunjukkan cinta kasih yang tulus sejati dan nyata terhadap mereka, supaya berkat doa dan tindakan Rekan-Rekan sejawat penderitaan mereka diringankan dan diredakan.

II. PARA USKUP DAN TAKHTA SUCI 8. (Kuasa para Uskup dalam keuskupan mereka sendiri) a) Dalam keuskupan, yang dipercayakan kepada mereka, para Uskup sebagai pengganti para Rasul dengan sendirinya mempunyai segala kuasa biasa, khusus dan langsung, yang diperlukan untuk menjalankan tugas pastoral mereka. Tetapi selalu dan dalam segala hal tetap utuhlah kuasa, yang berdasarkan jabatannya ada pada Imam Agung di Roma, untuk mengkhususkan hal-hal tertentu bagi wewenangnya sendiri atau bagi kuasa gerejawi lainnya. b) Masing-masing Uskup diosesan dikuasakan untuk dalam perkara khusus memberi dispensasi dari hukum umum. Gereja kepada umat beriman, yang menurut kaedah hukum berada di bawah wewenangnya, setiap kali menurut pertimbangannya hal itu berguna bagi kesejahteraan rohani mereka; kecuali bila oleh Kewibawaan Tertinggi Gereja hal itu telah dikecualikan secara khusus. 9. (Kongregasi-Kongregasi dalam Kuria Roma) Untuk menjalankan kuasanya tertinggi, penuh dan langsung atas Gereja semesta, Imam agung di Roma menggunakan jasa Kongregasi-Kongregasi itu, yang memang telah amat banyak berjasa kepada Imam Agung di Roma maupun para Gembala Gereja, ditata secara baru dan lebih sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman, daerah-daerah dan RitusRitus, terutama mengenai jumlah dan namanya, mengenai wewenang dan cara bertindaknya masing-masing, serta mengenai koordinasi karya antar Kongreagasi[15]. Para Bapa Konsili menghendaki juga, supaya, - dengan mempertimbangkan tugas kegembalaan yang khas bagi para Uskup – tugas para Duta Imam Agung di Roma ditetapkan dengan lebih jelas. 15

Lih. PAULUS VI, Amanat kepada para Bapa Kardinal, para Uskup, para Prelat dan pejabat-pejabat Kuria Roma lainnya, tgl. 21 September 1963: AAS 55 (1963) hlm. 793 dsl.

10. (Para anggota dan para pejabat Kongregasi-Kongregasi) Selain itu, - karena Kongregasi-Kongregasi itu didirikan demi kesejahteraan Gereja semesta, - dihimbau, supaya para anggota, para pejabat serta penasehat-penasehat mereka, begitu pula para Duta Imam Agung di Roma, sedapat mungkin lebih di pilih dari pelbagai kawasan Gereja, sehingga jabatan-jabatan atau organ-organ pusat Gereja Katolik sungguh menampilkan sifatnya yang sungguh universal. Diusulkan pula, supaya untuk menjabat anggota Kongregasi-Kongregasi diangkat pula beberapa Uskup, terutama dari keuskupan-keuskupan, yang mampu menyampaikan secara lebuh lengkap maksud-maksud, keinginan-keinginan serta kebutuhan-kebutuhan semua Gereja kepada Imam Agung Tertinggi. Akhirnya para Bapa Konsili memandang sangat berguna, sekiranya KongregasiKongregasi itu lebih mendengarkan para awam yang unggul karena keutamaan, ilmu pengetahuan serta pengalaman mereka, sehingga para awam itu pun menjalankan peran serta yang cocok bagi mereka dalam perkara-perkara Gereja.

BAB DUA PARA USKUP DAN GEREJA-GEREJA KHUSUS ATAU KEUSKUPAN-KEUSKUPAN

I. PARA USKUP DIOSESAN 11. (Faham “diosis” atau keuskupan, dan peran serta para Uskup dalam keuskupan mereka) “Diosis” (keuskupan) merupakan sebagian Umat allah, yang dipercayakan kepada Uskup dalam kerja sama dengan “Dewan Imam”-nya (presbiterium) untuk digembalakan. Dengan demikian bagian Umat yang patuh pada gembalanya, dan yang dihimpun olehnya dalam roh Kudus melalui Injil dan Ekaristi itu, merupakan Gereja khusus. Disitu sungguh hadir dan berkaryalah Gereja Kristus yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik. Masing-masing Uskup, yang diserahi reksa pastoral atas gereja khusus, di bawah kewibawaan Imam Agung Tertinggi menggembalakan kawanannya atas nama Tuhan, sebagai gembalanya sendiri yang biasa dan langsung, dengan menunaikan tugas mengajar, menguduskan dan memimpin terhadapnya. Adapun Jemaat itu hendaknya mengakui hak-hak, yang secara sah ada pada baterik (Patriarka0 atau pemimpin Hirarkis lainnya[16]. Hendaklah para uskup melaksanakan tugas rasuli mereka sebagai saksi-saksi Kristus diantara semua orang, bukan hanya dengan mengasuh mereka yang sudah mengikuti Sang Pemimpin para Gembala, melainkan juga dengan sepenuh hati membaktikan diri kepada mereka , yang entah bagaimana telah menyimpang dari jalan kebenaran, atau tidak mengenal Injil kristus serta belaskasihan-Nya yang membawa keselamatan, hingga akhirnya semua orang berjalan “dalam segala kebaikan dan keadilan serta kebenaran” (Ef 5:9).

16

Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 7-11.

12. (Tugas mengajar) Dalam menjalankan tugas mereka mengajar, hendaklah para Uskup mewartakan Injil Kristus kepada orang-orang, - diantara tugas mereka yang utama memang itulah yang paling luhur[17], - sambil memanggil mereka untuk beriman atau meneguhkan mereka dalam iman yang hidup, dalam kekuatan Roh. Hendaknya para Uskup menyajikan misteri Kristus seutuhnya kepada mereka; yakni : kebenaran-kebenaran, yang kalau tidak dikenal, Kristus juga tidak dikenal. Begitu pula hendaklah para Uskup mengajarkan jalan yang diwahyukan oleh Allah, untuk meluhurkan-Nya, dan dengan demikian untuk memperoleh kebahagiaan kekal[18]. Selain itu hendaklah mereka tunjukkan juga, bahwa hal-hal duniawi dan pranatapranata manusiawi menurut rencana Allah Pencipta dapat diarahkan juga kepada keselamatan manusia, dan oleh karena itu tidak sedikit faedahnya bagi pembangunan Tubuh Kristus. Oleh karena itu hendaknya mereka ajarkan, betapa – menurut ajaran Gereja – pribadi manusia harus dijunjung tinggi, beserta kebebasannya dan kehidupan tubuhnya; begitu pula, betapa harus dihormati keluarga beserta kesatuan dan sifat tetapnya, munculnya keturunan serta pendidikannya; betapa harus dihargai masyarakat beserta hukum-hukum dan profesi-profesinya; kerja dan waktu libur, kesenian dan penemuan-penemuan teknis; kemiskinan dan kekayaan. Akhirnya hendaknya para Uskup menjelaskan, bagaiman memecahkan masalah-masalah yang amat berat tentang cara-cara memiliki, mengembangkan serta membagi-bagikan harta duniawi dengan tepat, tentang perdamaian dan perang, tentang hubungan persaudaraan antara semua bangsa[19]. 13. (Cara menyajikan ajaran Kristiani) Hendaknya para Uskup menyajikan ajaran kristiani dengan cara yang menanggapi kebutuhan-kebutuhan zaman; artinya: menjawab kesulitan-kesulitan dan masalahmasalah yang sangat menekan dan menggelisahkan orang-orang. Hendaklah mereka juga menjaga ajaran itu, sambil mengajar Umat beriman untuk membela dan menyiarkannya. Dalam menyalurkan ajaran itu hendaklah para Uskup menampakkan keprihatinan Bunda gereja terhadap semua orang, entah termasuk Umat beriman entah tidak. Hendaklah mereka secara istimewa memperhatikan kaum miskin dan orang-orang tak berdaya, karena untuk mewartakan injil kepada kaum miskin itulah Tuhan mengutus mereka. Termasuk panggilan Gereja untuk berdialog dengan masyarakat manusia di lingkungannya[20]. Maka para Uskup pertama-tama bertugas untuk mengunjungi orangorang dan mengusahakan serta mengembangkan dialog dengan mereka. Supaya kebenaran berpadu dengan cinta kasih, dan pengetahuan dengan kasih sayang, dialog keselamatn itu harus menonjol karena jelasnya bahasa, karena kerendahan hati dan kelemah-lembutan; begitu pula karena kebijaksanaan sebagaimana layaknya, tetapi tergabung dengan kepercayaan, sehingga mampu menyatukan hati orang-orang, sebab memupuk persaudaraan[21]. Hendaklah mereka berusaha menyebar-luaskan ajaran kristiani dengan mengerahkan pelbagai upaya, yang tersedia pada zaman sekarang ini, yakni terutama kotbah dan pendidikan kateketis, yang memang selalu harus diutamakan; tetapi juga pelajaran agama disekolah-sekolah, di akademi-akademi, dalam konferensi-konferensi dan segala mcam pertemuan; begitu pula penyiaran ajaran melalui pernyataan umum pada kesempatan peristiwa-peristiwa tertentu, melalui media cetak dan pelbagai upaya komunikasi sosial, yang sungguh-sungguh harus dimanfaatkan untuk mewartakan Injil Kristus[22]. 17

Lih. KONSILI TRENTE, Sidang V, Dekrit tentang Pembaharuan, bab 2: MANSI 33,30; Sidang XXIV, Dekrit tentang Pembaharuan, bab 4, MANSI 33,159 (Lih. .KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 25). 18 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 25. 19 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, tgl. 11 April 1963, di berbagai tempat: AAS 55 (1963) hlm. 257-304. 20 Lih. PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964)hlm. 639. 21 Ibid., hlm. 644-645. 22 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Komunikasi Sosial.

14. (Pendidikan kateketis) Hendaknya para Uskup menjaga, supaya pendidikan kateketis, yang tujuannya ialah: supaya iman Umat diterangi melalui ajaran, dan menjadi hidup dan eksplisit serta aktif, diberikan dengan rajin dan seksama kepada anak-anak dan para remaja, kepada kaum muda maupun orang-orang dewasa; supaya dalam memberikan pendidikan itu tetap diindahkan tata-susunan yang baik dan metode yang cocok bukan hanya mengenai bahan yang diolah, melainkan juga berjkenaan dengan sifat perangai, bakat-kemampuan dan umur serta situasi hidup para pendengar; supaya pendidikan itu mengacu kepada Kitab Suci, Tradisi, Liturgi, Ajaran resmi dan kehidupan Gereja. Selain itu hendaklah para Uskup mengusahakan, supaya para katekis disiapkan dengan baik untuk tugas mereka, sehingga mereka mengenal ajaran gereja dengan jelas, begitu pula secara teoritis maupun praktis mempelajari kaidah-kaidah psikologis dan mata-pelajaran pedagogi. Hendaklah mereka mengusahakan juga, supaya pendidikan para katekumen dewasa diadakan lagi atau disesuaikan dengan lebih baik. 15. (Tugas para Uskup untuk menguduskan) Dalam menunaikan tugas pengudusan mereka hendaklah para Uskup mengingat, bahwa mereka diambil dari antara orang-orang dan diangkat demi mereka, untuk melayani halhal yang menyangkut bakti kepada Allah, untuk menyajikan persembahan dan korbankorban bagi dosa-dosa. Sebab para Uskup dikurniai kepenuhan sakramen tahbisan; dan dari para Uskup tergantunglah baik para imam maupun para diakon dalam melaksanakan kuasa mereka. Para imam pun ditahbiskan menjadi imam-imam Perjanjian Baru yang sejati, untuk menjadi rekan sekerja yang bijaksana bagi Tingkatan para Uskup; para diakon, yang ditahbiskan untuk pelayanan, dalam persekutuan dengan Uskup serta para imamnya membaktikan diri kepada Umat Allah. Maka dari itu para Uskup sendiri berperan sebagai pengurus utama rahasia-rahasia Allah, sebagai pengatur, pendukung dan penjaga seluruh kehidupan liturgis dalam Gereja yang dipercayakan kepada mereka[23]. Oleh karena itu hendaklah para Uskup tiada hentinya mengusahakan, supaya umat beriman semakin menyelami dan menghayati misteri paska melalui Ekaristi suci, sehingga berpadu seerat mungkin menjadi satu Tubuh, dalam kesatuan cinta kasih Kristus[24]. Hendaknya para Uskup “bertekun dalam doa dan pelayanan sabda” (Kis 6:4), dan mencurahkan tenaga, supaya segenap Umat beriman, yang dipercayakan kepada reksa perhatian mereka, sehati sejiwa dalam doa[25], dan supaya dengan menerima Sakramen-Sakramen mereka bertumbuh dalam rahmat dan menjadi saksi-saksi yang setia kepada Tuhan. Sebagai pembimbing pada jalan menuju kesempurnaan, hendaknya para uskup berusaha memajukan kekudusan para imamnya, para religius maupun kaum awam, masing-masing menurut panggilannya yang khas[26], seraya menyadari bahwa mereka wajib memberi teladan kesucian, dalam cinta kasih, kerendahan hati dan hidup ugahari. Hendaklah mereka menguduskan gereja-Gereja yang diserahkan kepada mereka sedemikian rupa, sehingga disitu bersinarlah sepenuhnya citarasa Gereja Kristus yang semesta. Dengan semangat itu hendaknya mereka sedapat mungkin mengembangkan panggilan imam maupun religius, sambil secara istimewa memperhatikan panggilan misioner.

23

Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi Suci. – PAULUS VI, Motu proprio Sacram Liturgiam, tgl. 25 Januari 1964: AAS 56 (1964) hlm. 139 dsl. 24 Lih. PIUS XII, Ensiklik Mediator Dei, tgl. 20 November 1947: AAS 39 (1947)). Hlm. 251 dsl. – PAULUS VI, Ensiklik Mysterium Fidei, tgl. 3 September 1965. 25 Lih. Kis 1:14 dan 2:46 26 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 44-45.

16. (Tugas penggembalaan para Uskup) Dalam menunaikan tugas mereka sebagai bapa dan gembala hendaklah para Uskup hadir ditengah Umat mereka selaku pelayan[27], sebagai gembala baik yang mengenal dombadomba mereka dan dikenal oleh para domba; sebagai bapa sejati, yang unggul karena semangat cinta kasih dan keprihatinan mereka terhadap semua orang, lagi pula kewibawaan yang mereka terima dari Allah dengan rasa penuh syukur dipatuhi oleh semua orang. Hendaklah mereka menghimpun dan membina segenap keluarga kawanan mereka sedemikian rupa, sehingga semua menyadari tugas-tugas masing-masing, dan hidup serta bekerja dalam persekutuan cinta kasih. Supaya para Uskup mampu melaksanakan itu semua secara tepat guna, mereka harus “siap sedia menjalankan setiap pekerjaan baik” (2Tim 2:21), “menanggung segalanya demi mereka yang terpilih” (2Tim 2:10), dan mengatur hidup mereka sedemikian rupa, sehingga menanggapi kebutuhan-kebutuhan zaman. Hendaknya para Uskup selalu merangkul para imam dengan kasih yang istimewa, karena mereka ikut menanggung sebagian tugas-tugas serta keprihatinan para uskup, dan dari hari ke hari menjalankannya penuh perhatian dan dengan begitu tekun. Hendaklah para Uskup memandang imam-imam sebagai putera dan sahabat[28], dan karena itu bersedia mendengarkan mereka, serta berusaha meningkatkan seluruh karya pastoral segenap keuskupan, sambil memupuk hubungan kepercayaan dengan mereka. Hendaklah para Uskup memeprhatikan sepenuhnya keadaan rohani, intelektual dan jasmani para imam, supaya mereka mampu hidup kudus dan saleh, serta menunaikan pelayanan mereka dengan setia dan subur. Oleh karena itu hendaklah para Uskup mendukung lembaga-lembaga dan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan khusus, sehingga para imam acap kali berkumpul baik untuk menjalani latihan-latihan rohani yang agak lama guna membaharui hidup mereka, maupun untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang berbagai bidang ilmu pengetahuan gerejawi, terutama Kitab suci dan teologi, masalah-masalah sosial yang sungguh penting, dan cara-cara baru menjalankan reksa pastoral. Hendaklah mereka dengan tindakan nyata menunjukkan belas kasihan mereka terhadap imam, yang entah bagaimana berada dalam bahaya atau mengalami kegagalan dalam berbagai hal. Supaya para Uskup dapat lebih tepat guna mengikhtiarkan kesejahteraan Umat beriman menurut kondisi masing-masing, hendaknya mereka sungguh berusaha memahami kebutuhan-kebutuhan Umat, dalam situasi sosial kehidupannya, dengan menggunakan upaya-upaya yang cocok untuk itu, terutama penelitian sosial. Hendaklah para Uskup menunjukkan kesungguhan perhatian mereka terhadap semua anggota Umat segala umur, keadaan ataupun bangsa, baik penduduk pribumi, maupun para pendatang dan perantau. Dalam mewujudkan keprihatianan pastoral itu hendaknya mereka mempersilahkan Umat beriman untuk menjalankan peran serta yang cocok bagi mereka dalam perkara-perkara Gereja, sambil mengakui tugas serta hak mereka juga untuk secara aktif menyumbangkan tenaga demi pembangunan Tubuh mistik Kristus. Hendaklah para Uskup menyatakan cinta kasih mereka terhadap para saudara yang terpisah, dan menganjurkan kepada Umat beriman juga untuk bersikap penuh perikemanusiaan dan cinta kasih terhadap mereka, serta mendukung pula ekumenisme menurut pengertian gereja[29]. Hendaknya mereka penuh perhatianpula terhadap orangorang yang tidak di baptis, supaya bagi mereka itu pun bercahaya lah cinta kasih Kristus Yesus, yang menjadi pokok kesaksian para uskup dihadapan semua orang. 17. (bentuk-bentuk khusus kerasulan) Hendaknya didorong berbagai cara merasul. Selain itu diseluruh keuskupan, atau di wilayah-wilayahnya yang khas, hendaklah dibawah pimpinan Uskup didukung koordinasi dan hubungan erat antara semua karya kerasulan. Dengan demikian semua 27

Lih. Luk 22:26-27. Lih. Yoh 15:15. 29 Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Ekumenisme. 28

usaha dan yayasan, dibidang katekese, misioner, amal kasih, sosial, kehidupan keluarga, persekolahan dan kegiatan lain manapun juga yang bertujuan pastoral, akan menjadi kegiatan yang laras terpadu, sehingga sekaligus kesatuan keuskupan nampak lebih jelas. Hendaknya Umat beriman sungguh-sungguh didesak, supaya menjalankan tugas kewajiban mereka merasul menurut kondisi dan kecakapan masing-masing. Hendaknya mereka dianjurkan ikut serta atau membantu pelbagai karya kerasulan awam, dan terutama “ Aksi Katolik”. Hendaknya dimajukan atau didukung pula perserikatanperserikatan, yang secara langsung atau tidak langsung bertujuan adikodrati, yakni: untuk mencapai peri-hidup yang lebih sempurna atau untuk mewartakan Injil Kristus kepada semua orang, atau juga untuk makin menyebar-luaskan ajaran kristiani atau meningkatkan perkembangan ibadat umum, atau untuk mencapai tujuan-tujuan sosial, atau untuk menjalankan karya-karya ibadat-bakti atau cinta kasih. Hendaknya bentuk-bentuk kerasulan dengan cermat disesuaikan dengan kebutuhankebutuhan zaman sekarang, sementara diperhatikan juga kondisi-kondisi rakyat, bukan saja dibidang rohani dan moral, melainkan juga dibidang sosial, kependudukan dan ekonomi. Untuk mencapai sasaran itu dengan tepat guna dan hasil baik, sangat bermanfaatlah penelitian-penelitian sosial dan keagamaan, yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga sosial pastoral, yang karena itu sangat dianjurkan. 18. (Keprihatinan khusus terhadap kelompok-kelompok Umat tertentu) Hendaklah secara istimewa diperhatikan Umat beriman, yang karena kondisi hidupnya tidak dapat dilayani secara memadai melalui reksa pastoral umum dan biasa, seperti dijalankan oleh pastor paroki, atau sama sekali tidak menerima pelayanan, misalnya para transmigran, para perantau di negeri asing dan para pengungsi, para pelaut dan penerbang, para nomad dan kelompok-kelompok lain sebagainya. Hendaknya dikembangkan metode-metode pastoral yang cocok untuk memupuk hidup rohani mereka yang dalam rangka liburan untuk sementara waktu mengunjungi daerah-daerah lain. Konferensi-konferensi para Uskup, terutama pada tingkat nasional, hendaknya dengan tekun mempelajari masalah-masalah yang lebih mendesak berkenaan dengan kelompok-kelompok tersebut, serta dengan upaya-upaya maupun lembaga-lembaga yang cocok menyelenggarakan dan menunjang reksa rohani bagi mereka, dengan kesepakatan kehendak serta daya-usaha yang terpadu, sementara mengindahkan terutama kaidahkaidah yang telah ditetapkan atau masih perlu ditetapkan oleh Takhta suci[30], dan yang dengan baik disesuaikan dengan kondisi-kondisi waktu, daerah serta pribadi-pribadi orang. 19. (Kebebasan para Uskup; hubungan mereka dengan Pemerintah) Dalam menunaikan tugas rasuli mereka, yang bertujuan keselamatan jiwa-jiwa, pada prinsipnya para Uskup mempunyai kebebasan sepenuhnya dan sempurna, dan tidak tergantung pemerintah mana pun juga. Maka tidak bolehlah pelaksanaan tugas gerejawi mereka secara langsung dihalang-halangi, atau mereka dilarang berkomunikasi secara bebas dengan Takhta suci dan dengan para penguasa gerejawi lainnya serta dengan para bawahan mereka. Tentu saja, sementara menjalankan reksa rohani terhadap kawanan mereka, para Gembala secara nyata ikut mengusahakan kemajuan serta kesejahteraan sosial masyarakat juga. Demi tujuan itu mereka secara aktif menyumbangkan usaha mereka bersama pemerintah, sesuai dengan tugas mereka, para Gembala secara nyata ikut mengusahakan kemajuan serta kesejahteraan masyarakat juga. Demi tujuan itu mereka secara aktif menyumbangkan usaha mereka bersama pemerintah, sesuai dengan tugas 30

Lih. S. PIUS X, Motu proprio lampridem, tgl. 19 maret 1914: AAS 6 (1914) hlm. 174 dsl. – PIUS XII, Konstitusi apostolik Exsul familia, tgl. 1 Agustus 1952: AAS 44 (1952) hlm. 652 dsl. Leges Operis Apostolatus Maris (Hukumhukum Karya Kerasulan Bahari), disusun atas kewibawaan Pius XII, tgl. 21 November 1957: AAS 50 (1958) hlm. 375 dsl.

mereka dan sebagaimana layaknya bagi para uskup. Mereka menganjurkan sikap patuh kepada hukum-hukum yang adil dan sikap hormat terhadap para penguasa yang diangkat secara sah. 20. (kebebasan dalam pengangkatan para uskup) Tugas rasuli para Uskup diadakan oleh Kristus Tuhan dan mengarah kepada tugas rasuli dan adikodrati. Maka Konsili suci Ekumenis menyatakan, bahwa hak untuk menunjuk dan mengangkat para Uskup merupakan hak Pimpinan gerejawi yang berwenang sendiri, yang bersifat istimewa dan pada hakekatnya eksklusif. Maka dari itu untuk melindungi kebebasan Gereja sebagaimana harusnya, dan untuk memajukan kesejahteraan Umat beriman secara lebih sesuai dan lebih lancar, Konsili suci menghendaki, supaya selanjutnya pemerintah-pemerintah tidak lagi diberi hak-hak atau privilegi-privilegi untuk memilih, menunjuk, mengusulkan atau menetapkan seseorang bagi jabatan Uskup. Adapun pemerintah-pemerintah, yang sikap kesediaannya terhadap Gereja oleh Konsili suci diakui dengan rasa syukur dan sangat dihargai, dengan sangat hormat diminta, supaya – sesudah mengadakan perundingan dengan Takhta suci – dengan sukarela bersedia melepaskan hak-hak atau privilegi-privilegi tersebut, yang sekarang ini masih ada padanya berdasarkan perjanjian atau kebiasaan. 21. (Pengunduran diri Uskup dari jabatannya) Tugas pastoral Uskup amat penting dan sanagt berbobot. Oleh karena itu, bila para Uskup diosesan dan para pejabat Gereja lainnya yang menurut hukum sederajat dengan mereka, karena beban usia yang makin lanjut atau karena alasan berat lainnya tidak begitu mampu lagi menunaikan tugas mereka, mereka dimohon dengan sangat, supaya – entah dengan sukarela entah atas anjuran Pimpinan yang berwenang – menyampaikan penyampaian permohonan pengunduran diri dari jabatan mereka. Adapun Pimpinan yang berwenang, bila mengabulkan permohonan itu, akan menjamin rejeki yang selayaknya bagi mereka yang mengundurkan diri, pun juga menjamin, agar hak-hak mereka yang khas tetap diakui.

II. PENENTUAN BATAS-BATAS KEUSKUPAN 22. (Perlunya meninjau kembali batas-batas keuskupan) Supaya tercapailah tujuan khas keuskupan, perlulah : bahwa hakekat Gereja nampak dengan jelas pada bagian Umat Allah yang termasuk keuskupan itu; bahwa Uskup mampu menjalankan tugas-tugas pastoralnya secara tepat guna dalam keuskupan; bahwa akhirnya keselamatan Umat Allah dilayani sesempurna mungkin. Tetapi hal itu menuntut atau penentuan batas-batas wilayah keuskupan-keuskupan yang cocok, atau pembagian para imam serta karya-karya yang sewajarnya dan sesuai dengan tuntutan-tuntutan kerasulan. Itu semua bermanfaat bukan saja bagi klerus maupun Umat beriman, yang memang berkepentingan secara langsung, melainkan juga bagi seluruh Gereja katolik. Maka dari itu mengenai batas-batas keuskupan-keuskupan Konsili suci menetapkan, supaya – sejauh kesejahteraan jiwa-jiwa menuntunya – selekas mungkin dan dengan bijaksana batas-batas itu mulai ditinjau kembali, dengan membagi keuskupan-keuskupan menjadi berbagai keuskupan baru atau dengan menyatukannya, atau juga dengan menggeser batas-batasnya, atau dengan menentukan tempat yang lebih sesuai menjadi ibukota keuskupan, atau akhirnya – terutama bila menyangkut keuskupan-keuskupan yang meliputi kota-kota yang agak besar, - dengan menatanya kembali menurut susunan intern yang baru.

23. (Peraturan-peraturan yang harus dipatuhi) Dalam meninjau kembali batas-batas keuskupan-keuskupan hendaklah pertama-tama dijamin kesatuan organis masing-masing keuskupan, berkenaan dengan personalia, tugas-tugas serta lembaga-lembaganya, ibarat tubuh yang serba serasi kehidupannya. Akan tetapi pada masing-masing kasus, seraya dipertimbangkan dengan cermat seluruh situasinya, hendaknya diindahkan norma-norma lebih umum berikut ini : 1. Dalam menentukan batas-batas keuskupan hendaklah sedapat mungkin diperhitungkan kemacam-ragaman unsur-unsur dalam Umat Allah, yang dapat banyak membantu untuk menjalankan reksa pastoral secara lebih kena sasaran; sekaligus hendaknya diusahakan, supaya sedapat mungkin dilestarikan perpaduan antara berbagai kelompok penduduk, beserta jawatan-jawatan sipil dan lembaga-lembaga sosial, yang mewujudkan tata-susunan organisnya. Oleh karena itu wilayah setiap keuskupan harus merupakan satu kesatuan yang utuh. Hendaknya diindahkan juga, bilamana perlu, batas-batas daerah sipil, begitu pula situasi khas penduduk maupun tempat kediaman mereka, misalnya kondisi-kondisi psikologis, ekonomis, geografis dan latar belakang sejarah mereka. 2. Pada umumnya luas wilayah keuskupan serta jumlah penghuninya hendaklah sedemikian rupa, sehingga di satu pihak Uskup sendiri, kendati dibantu juga oleh tenagatenaga lain, mampu menjalankan upacara-upacara pontifikal dan mengadakan kunjungan-kunjungan pastoral sebagaimana layaknya, memimpin dan mengkoordinasi dengan seksama semua karya kerasulan dalam keuskupannya, terutama mengenal para imanya, begitu pula para religius dan kaum awam yang berperan serta dalam usahausaha keuskupan; dilain pihak tersedialah bidang yang mencukupi dan cocok bagi Uskup maupun klerus, untuk secara berguna mencurahkan segenap tenaga mereka ke dalam pelayanan, dengan tetap mengindahkan kebutuhan-kebutuhan Gereja semesta. 3. Akhirnya, supaya pelayanan keselamatan dalam keuskupan dapat diselenggarakan secara lebih kena sasaran, hendaklah dijadikan suatu pedoman, bahwa bagi setiap keuskupan tersedialah klerus, yang menurut jumlah maupun kecakapannya setidak-tidaknya memadai untuk menggembalakan Umat Allah sebagaimana harusnya. Hendaknya jangan sampai terasa kurang pelayanan-pelayanan, lembaga-lembaga dan karya-karya, yang memang secara khas perlu ada pada Gereja setempat, dan yang lazimnya untuk memimpinnya dengan baik serta untuk kerasulannya memang ternyata sungguh dibutuhkan. Akhirnya hendaklah sumber-sumber untuk menhidupi tenagatenaga, begitu pula untuk menanggung pembiayaan serta melestarikan lembaga-lembaga, atau sudah tersedia, atau sekurang-kurangnya dengan bijaksana dapat diperkirakan akan diperoleh dengan cara lain. Untuk mencapai tujuan itu pula, bila terdapat Umat beriman yang termasuk Ritus yang berbeda-beda, hendaklah Uskup diosesan memenuhi kebutuhan-kebutuhan rohani mereka entah melalui imam-imam atau paroki-paroki yang menganut Ritus mereka mereka itu, entah melalui vikaris Episkopal yang mendapat wewenang seperlunya, dan bila dibutuhkan juga ditandai oleh meterai tahbisan Uskup, atau juga mereka itu dilayani sendiri selaku ordinaris bagi berbagai Ritus. Bila karena alasan-alasan yang istimewa itu semua menurut penilaian Takhta suci tidak dapat dilaksanakan, hendaknya ditetapkan Hirarki tersendiri bagi berbagai Ritus[31]. Begitu pula, dalam situasi yang serupa, hendaklah ada reksa rohani bagi Umar beriman yang berbeda bahasa, entah melalui para imam atau paroki-paroki yang menggunakan bahasa itu, entah melalui Vikaris Episkopal yang sungguh menguasai bahasa itu, pun juga bila diperlukan ditandai oleh meterai tahbisan Uskup, atau juga dengan cara lain yang lebih sesuai.

31

Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Gereja-Gereja Timur Katolik, art. 4.

24. (Diperlukan pendapat Konferensi Uskup) Sementara tata-tertib Gereja-Gereja Timur tetap berlaku, mengenai perubahan-perubahan atau pembaharuan-pembaharuan keuskupan-keuskupan menurut kaedah-kaedah yang tercantum dalam artikel 22-23, baiklah bahwa konferensi-konferensi uskup yang berwenang memeriksa perkara-perkara itu dengan cermat untuk kawasan masingmasing, - bila dipandang berguna juga dengan memanfaatkan jasa panitia Khusus para Uskup, tetapi selalu sesudah di dengarkan pendapat para Uskup terutama di provinsiProvinsi atau Regio-Regio yang berkepentingan. Kemudian pertimbangan-pertimbangan serta usul-usul mereka itu hendaklah mereka sampaikan kepada Takhta suci.

III. PARA REKAN SEKERJA USKUP DIOSESAN DALAM REKSA PASTORAL

1. Para Uskup Koajutor dan Auksilier 25. (Peraturan-peraturan untuk mengangkat Uskup Koajutor dan Auksilier) Dalam memimpin keuskupan tugas pastoral Uskup hendaklah diselenggarakan sedemikian rupa, sehingga kesejahteraan kawanan Tuhan selalu merupakan pedoman yang tertinggi. Supaya kesejahteraan itu diusahakan sebagaimana harusnya, tidak jarang perlu diangkat Uskup Auksilier; sebab Uskup diosesan, entah karena keuskupannya terlalu luas, atau karena jumlah penduduk terlalu besar, atau karena situasi kerasulan serba istimewa, atau karena aneka macam lasan lainnya, tidak dapat seorang diri memenuhi tugas-kewajibannya sebagai Uskup, seperti dibutuhkan demi kesejahteraan jiwa-jiwa. Bahkan ada kalanya suatu kebutuhan istimewa menuntut, supaya untuk menolong Uskup diosesan diangkat seorang Uskup Koajutor. Para Uskup Koajutor dan Auksilier harus dibekali dengan wewenang-wewenang yang selayaknya sedemikian rupa, sehingga – sementara tetap terjamin kesatuan pimpinan keuskupan, dan tanpa sedikitpun mengurangikewibaan Uskup diosesan – kegiatan mereka menjadi lebih tepat guna, dan martabat khas Uskup lebih terjamin keutuhannya. Adapun karena Uskup Koajutor dan Auksilier dipanggil untuk ikut serta menanggung beban keprihatinan Uskup diosesan, hendaknya mereka menunaikan tugas sedemikian rupa, sehingga dalam segala urusan bertindak dalam kesepakatan pandangan dengannya. Selain itu hendaklah mereka selalu menyatakan sikap patuh dan hormat terhadap Uskup diosesan. Dia sendiri hendaknya menunjukkan cinta kasih persaudaraan terhadap Uskup Koajutor atau Auksilier, serta menghargai mereka sepenuhnya. 26. (Wewenang Uskup Auksilier dan Koajutor) Bila kesejahteraan jiwa-jiwa menuntutnya, hendaklah Uskup diosesan jangan menolak untuk memohon dari pimpinan yang berwenang seorang atau beberapa Uskup Auksilier, yakni yang diangkat untuk keuskupan tanpa hak untuk menggantikan Uskup diosesan. Adapun bila dalam Surat penunjukan tidak tercantum ketentuan lain, Uskup diosesan hendaknya mengangkat Uskup atau Uskup-Uskup Auksiliernya menjadi Vikaris Jendral atau setidak-tidaknya Vikaris Episkopal, yang semata-mata tergantung dari kewenangannya. Hendaknya ia rela meminta nasehat mereka dalam mempertimbangkan perkara-perkra yang cukup penting, terutama yang bersifat pastoral. Kecuali kalau ada ketetapan lain dari pihak Pimpinan yang berwenang, bersama dengan berakhirnya tugas Uskup diosesan tidak sekaligus berakhirlah juga kuasa dan wewenang, yang berdasarkan hukum ada pada Uskup Auksilier. Diinginkan pula, supaya – bila tata keuskupan lowong – tugas memimpin keuskupan diserahkan kepada Uskup Auksilier, kecuali bila alasan-alasan yang berat menganjurkan suatu langkah yang lain.

Uskup Koajutor, yakni yang ditunjuk dengan hak untuk menggantikan Uskup diosesan, hendaklah selalu diangkat olehnya menjadi Vikaris Jendral. Dalam keadaankeadaan yang istimewa ia dapat diberi wewenang yang lebih penuh oleh Pimpinan Gereja yang berwenang. Supaya kesejahteraan keuskupan di masa sekarang dan di kemudian hari sedapat mungkin ditunjang, Uskup yang didampingi dan Uskup Koajutor hendaknya dalam hal-hal yang cukup penting selalu saling meminta pertimbangan.

2. Kuria dan Panitia-panitia Keuskupan 27. (Organisasi Kuria Keuskupan dan pembentukan Panitia Pastoral) Dalam Kuria Keuskupan fungsi utama ialah fungsi Vikaris Jendral. Tetapi bilamana diperlukan untuk memimpin keuskupan dengan tepat guna, Uskup dapat mengangkat seorang atau beberapa orang Vikaris Episkopal, yakni : yang berdasarkan hukum, dalam bagian tertentu keuskupan, atau untuk jenis urusan-urusan yang tertentu, atau terhadap Umat beriman Ritus tertentu, mempunyai kuasa, yang menurut hukum umum ada pada Vikaris Jendral. Diantara rekan-rekan sekerja Uskup dalam pimpinan keuskupan termasuk juga imamimam, yang merupakan senat atau dewannya, misalnya Kapitel katedral, Dewan para penasehat, atau panitia-panitia lain, sesuai dengan situasi atau sifat berbagai daerah. Lembaga-lembaga itu, terutama Kapitel Katedral, hendaknya sejauh perlu ditata secara baru, untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan zaman sekarang. Para imam dan awam, yang termasuk Kuria Keuskupan, hendaknya menyadari bahwa mereka menyumbangkan bantuan mereka kepada pelayanan pastoral Uskup. Kuria Keuskupan hendaknya ditata sedemikian rupa, sehingga bagi Uskup menjadi upaya yang cocok, bukan hanya untuk tata-usaha keuskupan, melainkan juga untuk menyelenggarakan karya-karya kerasulan. Sangat dianjurkan, supaya disetiap keuskupan dibentuk Dewan Pastoral yang khas, diketuai oleh Uskup diosesan sendiri. Dalam Dewan itu hendaknya berperan serta imamimam, para religius dan kaum awam, yang terpilih secara khusus. Tugas Dewan itu ialah : menyelidiki dan mempertimbangkan segala sesuatu yang berkenaan dengan karya pastoral, dan menyusun kesimpulan-kesimpulan praktis mengenainya.

3. Klerus diosesan 28. (Para imam diosesan) Memang semua imam, diosesan maupun religius, bersama dengan Uskup ikut menerima dan melaksanakan imamat Kristus yang satu, dan karena itu diangkat menjadi rekanrekan sekerja yang arif bagi Tingkatan para uskup. Tetapi dalam menjalankan reksa jiwajiwa peran utama ada pada para imam diosesan. Sebab mereka itulah yang terinkardinasi atau terikat pada Gereja khusus; merekalah yang sepenuhnya membaktikan diri untuk melayaninya, untuk menggembalakan sebagian kawanan Tuhan. Maka mereka mewujudkan satu himpunan para imam (“presbiterium”) dan satu keluarga, dengan Uskup sebagai bapanya. Untuk dapat mengatur pelayanan-pelayanan suci secara lebih sesuai dan lebih serasi diantara para imamnya, Uskup harus mempunyai kebebasan seperlunya dalam membagi-bagikan tugas-tugas dan tanda-tanda bakti gerejawi. Maka hak-hak atau privilegi-privilegi, yang entah bagaiman menguranginya kebebasan itu, harus ditiadakan. Hubungan antara para Uskup dan para imam diosesan terutama harus bertumpu pada ikatan-ikatan cinta kasih adikodrati sedemikian rupa, sehingga perpaduan kehendak para imam dengan kehendak Uskup lebih menyuburkan kegiatan pastoral mereka. Maka dari itu, supaya pelayanan kepada jiwa-jiwa makin berkembang,

hendaklah Uskup mau mengundang para imam untuk temu wicara, juga yang bersifat umum, terutama mengenai bidang pastoral, bukan saja bila ada kesempatan, melainkan sedapat mungkin juga secara berkala. Kecuali itu semua imam diosesan hendaklah bersatu, dan dengan demikian bersamasama didorong oleh keprihatianan akan kesejahteraan rohani seluruh keuskupan. Selain itu, - sementara menyadari, bahwa rezeki, yang mereka peroleh sambil menunaikan tugas gerejani, memang berkaitan dengan tugas suci, - hendaknya mereka sejauh mampu dengan murah hati memberi sumbangan guna menutup kebutuhan-kebutuhan jasmani keuskupan juga, menurut peraturan yang telah ditetapkan oleh Uskup. 29. (Para imam yang menjalankan karya antar paroki) Rekan-rekan sekerja Uskup yang lebih dekat ialah para imam juga, yang olehnya diserahi tugas pastoral atau karya kerasulan yang bersifat antarparoki, entah bagi wilayah tertentu dalam keuskupan, entah bagi kelompok-kelompok khas umat beriman, entah untuk macam kegiatan yang khusus. Bantuan kegiatan yang istimewa diberikan juga oleh para imam, yang oleh Uskup dipercayai pelbagai tugas kerasulan, entah disekolah-sekolah, atau dilembaga-lembaga atau perserikatan-perserikatan lainnya. Juga pata imam, yang terikat pada karya antar keuskupan, karena mereka menjalankan karya kerasulan yang amat penting, sudah selayaknya mendapat perhatian yang istimewa, terutama perhatian Uskup yang memimpin keuskupan tempat kediaman mereka. 30. (Para pastor paroki) Dalam arti amat khas para pastor paroki menjadi rekan sekerja Uskup. Kepada mereka selaku gembala yang sesungguhnya dipercayakan reksa jiwa-jiwa dalam bagian tertentu keuskupan dibawah kewibawaan Uskup. 1. Dalam menjalankan reksa pastoral itu hendaklah pastor paroki bersama dengan para pembantunya menunaikan tugas mengajar, menguduskan dan memimpin sedemikian rupa, sehingga Umat beriman dan jemaat-jemaat paroki sungguh menyadari diri sebagai anggota keuskupan maupun seluruh Gereja semesta. Maka dari itu hendaknya ia bekerja sama dengan para pastor paroki lainnya serta dengan para imam, yang menjalankan tugas pastoral diwilayah itu (seperti misalnya para Deken, “Vicarii Foranei”), atau bertugas dalam karya-karya antar paroki; dengan demikian reksa pastoral dalam keuskupan tetap utuh terpadu dan semakin tepat guna. Kecuali itu hendaknya reksa jiwa-jiwa selalu digerakkan oleh semangat misioner, sehingga sebagaimana harusnya meliputi semua penghuni paroki. Bila pastor paroki tidak dapat menjangkau kelompok-kelompok orang-orang tertentu, hendaklah ia mencari bantuan pada orang-orang lain, juga kaum awam, untuk menolongnya dalam hal-hal yang menyangkut kerasulan. Adapun untuk meningkatkan tepat guna reksa jiwa-jiwa, sangat dianjurkan kehidupan bersama para imam, terutama yang bertugas di paroki yang sama. Selain mendukung kegiatan merasul, kehidupan bersama itu juga menampilkan teladan cinta kasih dan kesatuan bagi umat beriman. 2. Dalam menjalankan tugas mengajar, pastor paroki bertugas: mewartakan sabda Allah kepada segenap Umat beriman, supaya mereka berakar dalam iman, harapan serta cinta kasih, dan bertumbuh dalam Kristus, dan supaya jemaat kristiani memberikan kesaksian cinta kasih menurut amanat Tuhan[32]; begitu pula melalui pendidikan katekis ia menghantar Umat beriman kepada pengertian misteri keselamatan yang sepenuhnya, dengan mengindahkan setiap kelompok umur. Adapun untuk menyelenggarakan pendidikan katekis itu hendaklah pastor paroki jangan hanya mencari bantuan pada para religius, melainkan juga mengundang para awam untuk bekerja sama, juga dengan mendirikan Perserikatan Ajaran Kristiani.

32

Bdk. Yoh 13:35.

Dalam menjalankan karya pengudusan hendaklah pastor paroki berusaha, supaya perayaan Korban Ekaristi menjadi pusat dan puncak seluruh kehidupan jemaat kristiani. Begitu pula hendaknya ia berusaha, supaya Umat beriman menerima santapan rohani dengan seringkali menerima Sakramen-Sakramen penuh khidmat, dan dengan ikut berperan secara sadar dan aktif dalam Liturgi. Hendaklah pastor ingat pula betapa sungguh banyak sakramen Tobat membantu dalam memupuk hidup kristiani. Maka hendaklah ia dengan rela menyediakan diri untuk mendengarkan pengakuan dosa Umat beriman, dan bila perlu untuk maksud itu juga mengundang imam-imam lain, yang menguasai berbagai bahasa. Dalam menunaikan tugas penggembalaan hendaklah pastor paroki pertama-tama berusaha mengenal kawanannya sendiri. Tetapi oleh karena ia menjadi pelayan semua domba, hendaklah ia menunjang pengembangan hidup kristiani baik pada masingmasing orang beriman, dalam keluarga-keluarga, maupun dalam perserikatanperserikatan, terutama yang bergerak dibidang kerasulan, begitu pula dalam segenap jemaat paroki. Maka hendaklah ia mengunjungi rumah-rumah serta sekolah-sekolah, sebagaimana diperlukan bagi reksa pastoral. Hendaklah ia dengan tekun penuh semangat memperhatikan para remaja dan kaum muda. Hendaknya ia menunjukkan cinta kasih kebapaan terhadap kaum miskin dan orang-orang sakit. Akhirnya hendaklah ia menjalankan reksa istimewa terhadap kaum buruh serta mengusahakan, supaya Umat beriman menyumbangkan tenaga kepada karya-kegiatan kerasulan. 3. Sebagai rekan sekerja pastor kepala paroki, para pastor pembantu setiap hari memberi jasa-sumbangan amat berharga dan aktif dengan menunaikan pelayanan pastoral dibawah pimpinan pastor kepala. Maka pergaulan antara pastor kepala dan para pastor pembantunya hendaklah bersifat persaudaraan; hendaknya selalu terdapat sikap saling mengasihi dan menghormati, dan mereka saling membantu dengan nasehatnasehat, pertolongan serta teladan; demikianlah mereka melayani paroki dalam kesepakatan kehendak dan jerih payah bersama 31. (Penunjukan, pemindahan, pemberhentian dan pengunduran diri Pastor paroki) Dalam menilai kecakapan imam untuk memimpin suatu paroki hendaknya Uskup jangan hanya mengindahkan ajarannya, melainkan juga kesalehannya, semangat kerasulannya, dan bakat-bakat serta sifat0sifat lainnya, yang diperlukan untuk menunaikan reksa jiwajiwa sebagaimana mustinya. Selain itu, karena reksa paroki semata-mata ditujukan kepada kesejahteraan jiwa-jiwa, maka – dengan tetap menjamin hak para religius – hendaknya ditiadakan semua hak lain untuk mencalonkan atau mengangkat pastor paroki, begitu pula wewenang khas pihak tertentu untuk mengangkatnya, pun juga – sekiranya masih ada – hukumj untuk mencalonkan diri, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat istimewa. Maksudnya supaya Uskup dapat lebih mudah dan dengan cara yang lebih tepat mengelola parokiparoki. Adapun para pastor paroki hendaknya dapat dengan tetap menunaikan tugas mereka di paroki masing-masing, sebagaimana diperlukan bagi kesejahteraan jiwa-jiwa. Maka hendaknya pembedaan antara pastor paroki yang dapat dan tidak dapat dipindahkan ditiadakan saja. Tata-laksana pemindahan dan pemberhentian pastor paroki hendaklah ditinjau kembali dan disederhanakan sedemikian rupa, sehingga – dengan tetap mengindahkan kewajaran menurut kenyataan dan menurut hukum kanonik – Uskup dapat dengan lebih memadai menanggapi kebutuhan-kebutuhan demi kesejahteraan jiwa-jiwa. Para pastor paroki, yang karena lanjut usia atau alasan berat lainnya terhalang untuk menunaikan tugas mereka sebagaimana mustinya dan dengan hasil yang baik, dimohon dengan sangat, supaya, dengan suka rela atau atas ajakan Uskup, meletakkan jabatan mereka. Hendaknya mereka yang mengundurkan diri itu oleh Uskup dijamin nafkah hidupnya yang selayaknya.

32. (Pembubaran dan pengubahan paroki) Akhirnya keselamatan jiwa-jiwa itu pulalah, yang menjadi dasar untuk menetapkan atau meninjau kembali pembentukan atau pembubaran paroki-paroki, atau perubahanperubahan lain sebagainya. Uskup dapat menjalankan itu semua atas kewibawaannya sendiri. 4. Para religius 33. (Para religius dan karya-karya kerasulan) Semua para religius, - dan dalam hal-hal berikut termasuk juga para anggota LembagaLembaga lain yang mengikrarkan nasehat-nasehat Injili, - wajib secara intensif dan dengan tekun menyumbangkan jerih-payah mereka untuk pembangunan dan pengembangan seluruh Tubuh-Mistik Kristus dan demi kesejahteraan Gereja-Gereja khusus. Adapun mereka wajib ikut mengejar tujuan-tujuan itu terutama melalui doa, amal ulah-tapa dan teladan hidup mereka sendiri. Konsili suci ini menganjurkan dengan sangat, supaya mereka tiada hentinya berkembang dalam menghargai dan mengusahakan itu semua. Namun, seraya mengindahkan sifat khas masing-masing Tarekat, hendaknya mereka secara lebih intensif melaksanakan karya-karya kerasulan keluar juga. 34. (Para religius rekan sekerja Uskup dalam karya kerasulan) Para imam religius, yang ditakdiskan untuk tugas imamat, supaya merekapun menjadi rekan-rekan sekerja yang arif bagi tingkatan para Uskup, sekarang ini, - menanggapi makin mendesaknya kebutuhan jiwa-jiwa – dapat masih lebih banyak lagi membantu para Uskup. Maka dari itu harus dikatakan, bahwa karena sesuatu alasan yang tepat mereka termasuk klerus keuskupan, sejauh mereka di bawah kewibawaan para Uskup ikut serta menjalankan reksa jiwa-jiwa dan karya-karya kerasulan. Begitu pula para anggota religius lainnya, baik pria maupun wanita, secara khas termasuk keluarga keuskupan, serat banyak membantu Hirarki suci. Dan dengan meningkatnya kebutuhan-kebutuhan kerasulan makin lama mereka dapat dan harus makin banyak menyumbangkan bantuan mereka. 35. (Azas-azas kerasulan para religius dalam keuskupan) Adapun supaya karya-karya kerasulan di masing-masing keuskupan selalu diselenggarakan berdasarkan kesepakatan, dan supaya kesatuan tata-tertib keuskupan tetap terjamin, ditetapkan azas-azas dasar berikut: 1. Hendaknya semua religius selalu menyatakan sikap patuh dan hormat-bakti mereka terhadap para Uskup selaku pengganti para Rasul. Selain itu, setiap kali mereka secara sah diundang untuk kegiatan-kegiatan merasul, mereka wajib menunaikan tugas-tugas mereka sedemikian rupa, sehingga mereka tetap tersedia sebagai rekan sekerja dan taat kepada para Uskup[33]. Bahkan para religius hendaknya siap siaga dan dengan setia memenuhi permintaan-permintaan serta keinginan-keinginan para Uskup, supaya lebih luaslah peran serta mereka dalam melayani keselamatan umat manusia, seraya mengindahkan sifat khas Lembaga dan menganut Konstitusi mereka, yang bila perlu hendaknya disesuaikan dengan tujuan itu, menurut kaedah-kaedah Dekrit Konsili ini. Memperhatikan kebutuhan jiwa-jiwa yang serba mendesak dan kurangnya jumlah imam diosesan, terutama tarekat-tarekat religius, yang tidak membaktikan diri dalam hidup kontlempatif melulu, dapat diundang oleh para Uskup, untuk menyumbangkan bantuan mereka dalam pelbagai pelayanan pastoral, namun dengan tetap mengindahkan 33

Lih. PIUS XII, Amanat tgl. 8 Desember 1950: AAS 43 (1951) hlm. 28. – Lih. Juga PAULUS VI, Amanat tgl. 23 Mei 1964: AAS 56 (1964)hlm. 571.

sifat khusus Tarekat masing-masing. Untuk memberi bantuan itu hendaknya para pemimpin sturut kemampuan mereka memberi dukungan, juga dalam menerima reksa paroki biarpun untuk sementara. 2. Hendaknya para religius, yang diutus untuk menjalankan kerasulan diluar, diresapi dengan semangat tarekat mereka sendiri, dan tetap setia mematuhi peraturan hidup mereka, setia pula menaati para Pemimpin mereka sendiri. Hendaklah para uskup sendiri jangan lupa menekankan kewajiban itu. 3. Berdasarkan eksemsi (exemptio) para religius lebih langsung terikat pada Imam Agung Tertinggi atau Pemimpin gerejawi lainnya, dan tidak termasuk lingkup yurisdiksi para Uskup. Eksemsi terutama menyangkut tata-laksana intern tarekat-tarekat; maksudnya supaya di situ segala sesuatu terpadu secara lebih serasi, dan supaya pertumbuhan dan penyempurnaan hidup religius terselenggara dengan lebih baik[34]; begitu pula supaya Imam Agung Tertinggi dapat memanfaatkan jasa mereka demi kesejahteraan Gereja semesta[35], sedangkan Pimpinan Gereja yang berwenang lainnya demi kesejahteraan Gereja-Gereja yang termasuk yurisdiksinya. Tetapi kendati eksemsi itu para religius di masing-masing keuskupan tetap berada dibawah yurisdiksi para Uskup menurut kaidah hukum, sejauh itu diperlukan untuk pelaksanaan tugas pastoral mereka dan untuk penataan reksa jiwa-jiwa sebagaimana layaknya[36]. 4. Semua religius, yang eksem maupun yang tidak eksem, berada dibawah kuasa para Ordinaris wilayah dalam hal-hal termasuk pelaksanaan ibadat ilahi resmi sementara tetap diindahkan kemacam-ragaman Ritus, reksa jiwa-jiwa, penyampaian pewartaan suci kepada Umat, pembinaan keagamaan dan Susila Umat beriman kristiani terutama anakanak, pendidikan katekese dan Liturgi, serta pantasnya perihidup dalam status rohaniwan, begitu pula dalam pelbagai karya yang menyangkut pelaksanaan kerasulan suci. Juga sekolah-sekolah katolik yang dikelola oleh para religius berada dibawah wewenang Ordinaris wilayah dalam hal penataannya secara umum dan pengawasannya, kendati tetap terjamin hak para religius untuk memimpinnya. Begitu pula para religius wajib mematuhi segala sesuatu, yang secara sah telah ditetapkan oleh Konsili-Konsili serta Konferensi-Konferensi para Uskup. 5. Hendaknya dipelihara kerja sama yang teratur antara pelbagai tarekat religius, maupun antara tarekat-tarekat religius dan klerus diosesan. Selain itu hendaklah dijalin koordinasi yang erat antara semua karya dan kegiatan kerasulan. Koordinasi itu amat tergantung dari sikap adikodrati budi maupun hati, yang akar serta dasarnya ialah cinta kasih. Merupakan wewenang Takhta suci untuk memelihara koordinasi itu bagi Gereja semesta; sedangkan para gembalalah yang berwenang mengusahakan dikeuskupan mereka masing-masing; akhirnya Sinode-Sinode patriarkal dan Konferensi-Konferensi Uskuplah yang wajib memupuknya dikawasan sendiri. Mengenai karya kegiatan kerasulan para religius hendaknya para uskup atau Konferensi Uskup di satu pihak dan para Pemimpin tarekat religius atau Konferensi para Pemimpin Tinggi dipihak lainnya bersedia mengambil tindakan-tindakan berdasarkan perundingan bersama yang mereka adakan sebelumnya. 6. Untuk memupuk kesepakatan serta tepat-gunanya hubungan timbal-balik antara para Uskup dan para Pemimpin tarekat pada saat-saat tertentu dan bilamana dipandang berguna bersedia mengadakan pertemuan guna menyelesaikan urusan-urusan, yang secara umum menyangkut kerasulan dikawasan mereka.

34

Lih. LEO XIII, Konstitusi Apostolik Romanos Pontifices, tgl. 8 Mei 1881: Acta Leonis XIII, jilid II (1882) hlm. 234. Lih. PAULUS VI, amanat tgl 23 Mei 1964: AAS 56 (1964) hlm. 570-571. 36 Lih. PIUS XII, Amanat tgl. 8 Desember: lihat di atas. 35

BAB TIGA KERJA SAMA PARA USKUP DEMI KESEJAHTERAAN UMUM BERBAGAI GEREJA I. SINODE, KONSILI, DAN KHUSUSNYA KONFERENSI USKUP 36. (Sinode dan Konsili khusus) Sejak abad-abad pertama Gereja para Uskup, yang memimpin Gereja-Gereja khusus, terdorong oleh persekutuan cinta kasih persaudaraan dan oleh semangat melangsungkan perutusan universal yang diserahkan kepada para rasul, telah memadukan tenaga serta kehendak mereka untuk meningkatkan kesejahteraan Gereja pada umumnya maupun Gereja masing-masing. Itulah alasannya, mengapa diselenggarakan Sinode-Sinode, atau Konsili-Konsili pada tingkat provinsi gerejawi, atau juga Konsili-Konsili paripurna. Di situ para Uskup menetapkan kaidah-kaidah bersama untuk dianut oleh berbagai Gereja, baik dalam mengajarkan kebenaran-kebenaran iman maupun dalam mengatur tata-tertib gerejawi. Konsili ekumenis suci ini menginginkan, supaya yayasan Sinode-Sinode maupun Konsili-Konsili yang layak dijunjung tinggi itu bertambah mantap karena kekuatan baru, sehingga – menanggapi situasi-situasi semasa – dengan cara yang lebih cocok dan tepatguna terwujudlah pengembangan iman dan lestarilah tata-tertib di pelbagai Gereja. 37. (Pentingnya Konferensi uskup) Terutama pada zaman sekarang ini para Uskup tidak jarang tidak dapat menunaikan tugas mereka dengan baik dan berhasil, tanpa bersama Uskup-Uskup lainnya menjalin kesepakatan yang semakin utuh dan mengerahkan usaha secara makin terpadu. Konferensi-Konferensi Uskup, yang telah dibentuk di berbagai bangsa, menyajikan buktibukti yang cemerlang berupa kerasulan yang lebih subur. Maka Konsili suci ini memandang sangat berguna, bahwa dimana-mana para Uskup sebangsa atau sedaerah membentuk suatu himpunan, dan pada waktu-waktu tertentu berkumpul, untuk saling berbagi buah pancaran kebijaksanaan serta pengalaman mereka. Dengan demikian pertemuan gagasan-gagasan akan menumbuhkan perpaduan tenaga demi kesejahteraan umum Gereja-Gereja. Maka tentang Konferensi-Konferensi Uskup Konsili menetapkan hal-hal berikut. 38. (Hakekat, struktur, wewenang dan kerjasama Konferensi-Konferensi) 1. Konferensi Uskup merupakan bagaikan himpunan, yang mempertemukan UskupUskup suatu bangsa atau daerah tertentu, untuk bersama-sama melaksanakan tugas pastoral mereka, guna makin meningkatkan jasa baik Gereja terhadap orang-orang, terutama dengan sungguh menyesuaikan bentuk-bentuk serta cara-cara kerasulan dengan pelbagai situasi aktual. 2. Semua Ordinaris wilayah dari ritus mana pun juga (kecuali para Vikaris Jendral), para Uskup Koajutor, Auksilier, serta Uskup tituler lainnya, begitu pula – karena tugas istimewa yang mereka jalankan di daerah yang bersangkutan – para Utusan Imam Agung di Roma, bukanlah anggota Konferensi oleh ketetapan hukum. Para ordinaris wilayah dan Uskup Koajutor mempunyai hak suara deliberatif. Kepada para Uskup Auksilier dan Uskup-Uskup lainnya yang berhak ikut serta dalam Konferensi Anggaran Dasar Konferensi dapat memberi hak suara deliberatif atau konsultatif. 3. Setiap Konferensi Uskup hendaklah menyusun anggaran dasarnya, yang harus disahkan oleh Takhta suci. Disitu hendaklah disamping upaya-upaya lain ditetapkan jabatan-jabatan, yang mempermudah Konferensi untuk dengan tepat guna mencapai

tujuannya, misalnya Dewan tetap para Uskup, Komisi-Komisi Konferensi, Sekretariat Jendral. 4. Keputusan-keputusan Konferensi uskup, - asal ditetapkan dengan sah, dan berdasarkan sekurang-kurangnya dua per tiga jumlah suara Uskup yang termasuk anggota Konferensi dengan hak suara deliberatif, lagi pula disahkan oleh Takhta suci, berkekuatan yuridis untuk mengikat, yakni hanya dalam hal-hal yang atau diwajibkan oleh hukum kanonik umum, atau telah ditetapkan atas perintah khusus Takhta suci, yang diberikan atas prakarsanya sendiri atau karena permohonan Konferensi yang bersangkutan. 5. Bila keadaan istimewa menuntutnya, Uskup-Uskup dari berbagai bangsa atas persetujuan Takhta suci dapat membentuk satu Konferensi. Kecuali itu hendaklah dipelihara hubungan-hubungan antara Konferensi-Konferensi Uskup pelbagai bangsa untuk memajukan kesejahteraan dan menjamin peningkatannya. 6. Sangat dianjurkan, supaya para pemimpin Gereja-Gereja Timur, dalam memajukan tata-tertib Gereja mereka melalui Sinode-Sinode, dan untuk lebih berhasil mendukung karya-kegiatan demi kesejahteraan agama, mengindahkan juga kesejahteraan umum seluruh wilayah yang menampung berbagai Gereja dari bermacam-macam Ritus, seturut kaidah-kaidah yang perlu ditetapkan oleh Pimpinan yang berwenang.

II. PENENTUAN BATAS PROVINSI-PROVINSI GEREJAWI DAN PENETAPAN KAWASAN-KAWASAN GEREJAWI 39. (Prinsip untuk meninjau kembali batas-batas yang telah ditetapkan) Kesejahteraan jiwa menuntut penetapan batas-batas yang memadai, bukan hanya bagi keuskupan-keuskupan, melainkan juga bagi provinsi-provinsi gerejawi; bahkan juga menyarankan supaya ditetapkan kawasan-kawasan gerejawi. Dengan demikian kebutuhan-kebutuhan kerasulan dapat dilayani dengan lebih baik menurut situasi sosial setempat. Selain itu akan menjadi lebih lancar dan lebih efektif hubungan-hubungan para Uskup antara mereka sendiri, dengan para uskup Metropolit dan Uskup-Uskup lainnya sebangsa, maupun dengan para pejabat sipil. 40. (Beberapa pedoman yang harus dipatuhi) Oleh karena itu untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut Konsili suci memutuskan untuk menetapkan pedoman-pedoman berikut: 1. Hendaknya batas-batas provinsi-provinsi gerejawi ditinjau kembali sehingga lebih cocok, dan hak-wewenang istimewa para Uskup Metropolit ditetapkan menurut kaidahkaidah baru yang sesuai. 2. Hendaklah dianggap lazim, bahwa semua keuskupan dan wilayah-wilayah teritorial lainnya, yang atas ketetapan hukum disamakan dengan keuskupan, termasuk kawasan suatu Provinsi gerejawi. Maka dari itu hendaklah keuskupan-keuskupan yang sekarang langsung terbawahkan kepada Takhta suci, dan yang tidak disatukan dengan keuskupan lainnya, atau bila mungkin dihimpun menjadi provinsi gerejawi baru, atau digabungkan dengan provinsi yang lebih dekat atau lebih cocok, dan dibawahkan kepada hukum metropolit Uskup Agung menurut kaidah hukum umum. 3. Bila dipandang berguna, hendaknya Provinsi-Provinsi gerejawi dipadukan menjadi Regio gerejawi, yang penataannya harus ditetapkan berdasarkan hukum. 41. (Perlu dimintakan pandangan Konferensi-Konferensi Uskup) Baiklah bahwa Konferensi-Konferensi Uskup yang berwenang menyelidiki soal penentuan batas-batas Provinsi-Provinsi atau pembentukan regio-Regio semacam itu, menurut kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dalam artikel 23 dan 24 tentang penentuan

batas-batas keuskupan-keuskupan, dan kemudian menyajikan pertimbangan serta keinginan-keinginannya kepada Takhta suci.

pertimbangan-

III. PARA USKUP YANG MENJALANKAN TUGAS ANTAR KEUSKUPAN 42. (Pembentukan biro-biro khusus dan kerja sama dengan para Uskup) Kebutuhan-kebutuhan pastoral semakin mendesak, supaya berbagai tugas pastoral dipimpin dan dikembangkan pelaksanaannya secara laras serasi. Maka baiklah bahwa untuk melayani semua atau berbagai keuskupan di suatu kawasan atau bangsa tertentu dibentuk beberapa biro, yang dapat juga diserahkan kepada kepemimpinan para Uskup. Adapun Konsili suci menganjurkan, supaya diantara para pemimpin atau Uskup, yang menunaikan tugas-tugas itu, dan para Uskup diosesan serta Konferensi-Konferensi Uskup selalu dapat persekutuan persaudaraan dan kesepakatan dalam perhatian pastoral, yang corak maupun cara-caranya perlu ditetapkan juga oleh hukum umum. 43. (Vikariat Angkatan Bersenjata) Mengingat kondisi hidup para prajurit yang serba khas, maka diperlukan perhatian yang amat istimewa bagi reksa rohani mereka. Oleh karena itu, sejauh tenaga-tenaga tersedia, hendaklah disetiap bangsa dibentuk suatu Vikariat Angkatan bersenjata. Baik vikaris maupun para pastor tentara hendaknya secara intensif membaktikan diri kepada karya yang sukar itu, dalam kesepakatan dan kerjasama dengan para Uskup diosesan[37]. Maka hendaklah para Uskup diosesan menyediakan bagi Vikaris Angkatan Bersenjata imam-imam yang cakap menjalankan tugas yang berat itu dalam jumlah yang memadai, lagipula mendukung usaha-usaha untuk mengembangkan kesejahteraan rohani para prajurit[38].

KETETAPAN UMUM 44. Konsili suci memutuskan, supaya dalam meninjau kembali Kitab Hukum Kanonik ditetapkan hukum-hukum yang tepat, berpedoman pada azas-azas yang ditentukan dalam Dekrit ini, sesudah sipertimbangkan pula catatan-catatan yang telah dikemukakan oleh Komisis-Komisi maupun oleh para Bapa Konsili. Selain itu Konsili suci memutuskan, supaya di susun Direktorium-Direktorium umum tentang reksa jiwa-jiwa, untuk digunakan oleh para Uskup maupun para Pastor paroki, supaya kepada mereka disajikan aturan-aturan yang pasti untuk menunaikan tugas pastoral mereka dengan lebih mudah dan lebih baik. Hendaklah disusun pula baik Direktorium khusus tentang reksa pastoral kelompokkelompok khas Umat beriman, sesuai dengan pelbagai situasi masing-masing bangsa atau wilayah, maupun Direktorium tentang pengajaran katekis Umat kristiani, yang menguraikan azas-azas dasar serta penataan pengajaran itu, dan tentang penjabaran buku-buku yang menyangkut hal itu. Adapun dalam menyusun Direktorium-

37

Lih. KONGREGASI KONSISTORI, Instruksi tentang Vikaris Angkatan Bersenjata, tgl. 2 April 1951: AAS 43 (1951) hlm. 562-565; Aturan yang harus dianut dalam menyusun laporan tentang keadaan Vikariat Angkatan Bersenjata, tgl. 20 Oktober 1956: AAS 49 (1957) hlm. 150-163; Dekrit tentang kunjungan kepada Takhta suci yang harus dijalankan oleh para Vikaris Angkatan Beresnjata, tgl. 28 Februari 1959: AAS 51 (1959) hlm. 272-274; Dekrit “Izin untuk mendengarkan pengakuan dosa para prajurit diperluas kepada para pastor tentara”, tgl. 27 November 1960: AAS (1961) hlm. 49-50. – Lih juga KONGREGASI UNTUK PARA RELIGIUS, Instruksi tentang para pastor tentara yang religius, tgl. 2 Februari 1955: AAS 47 (1955) hlm. 93-97. 38 Lih. KONGREGASI KONSISTORI, Surat kepada Yang Mulia para Kardinal dan para Uskup Agung, para Uskup dan Ordinaris lainnya diwilayah Spanyol, tgl. 21 juni 1951: AAS 43 (1951) hlm. 566.

Direktorium itu hendaknya diindahkan juga catatan-catatan, yang dikemukakan baik oleh Komisi-Komisi maupun oleh para bapa konsili.

Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili. Dan kami atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada Kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah. Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 28 bulan Oktober tahun 1965. Saya PAULUS Uskup Gereja Katolik (Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)

PAULUS USKUP

HAMBA PARA HAMBA ALLAH BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI DEMI KENANGAN ABADI

DEKRIT TENTANG PEMBAHARUAN DAN PENYESUAIAN HIDUP RELIGIUS

1. (Pendahuluan) Dalam Konstitusi yang diawali dengan kata-kata “Terang para bangsa”[1] Konsili suci telah menunjukkan, bahwa usaha menuju CINTA KASIH SEMPURNA melalui nasehatnasehat Injil bersumber pada ajaran maupun teladan Sang Guru ilahi, dan nampak bagaikan tanda cemerlang Kerajaan sorga. Namun sekarang Konsili bermaksud menguraikan perihidup dan tata-tertib tarekat-tarekat, yang para anggotanya mengikrarkan kemurnian, kemiskinan serta ketaatan, dan menanggapi kebutuhankebutuhan mereka, menurut tuntutan zaman kita sekarang. Adapun sejak awal mula Gereja terdapat pria dan wanita, yang dengan mengamalkan nasehat-nasehat Injil bermaksudmengikuti Kristus secara lebih bebas, dan meneladanNya dengan lebih setia. Dengan cara mereka masing-masing mereka menghayati hidup yang dibaktikan kepada Allah. Diantara mereka banyaklah yang atas dorongan Roh Kudus hidup menyendiri atau mendirikan keluarga-keluraga religius. Dengan kewibawaannya Gereja dengan suka hati menyambut dan menyetujui cara hidup mereka. Maka berkat rencana ilahi berkembanglah keanekaan kelompok-kelompok religius yang menakjubkan. Itu semua sangat membantu Gereja, untuk tidak hanya diperlengkapi bagi setiap amal baik (lih 2Tim 3:17) dan siap siaga menjalankan karya pelayanan untuk membangun Tubuh Kristus (lih. Ef 4:12); melainkan juga supaya berkat pelbagai kurnia para puteranya, Gereja nampak berhias, seperti pengantin berdandan bagi suaminya (lih. Why 2:2), dan melalui Gereja makin nyatalah kebijaksanaan Allah yang bermacam-ragam (lih. Ef 3:10). Tetapi dalam keaneka-ragaman kurnia-kurnia yang sekaya itu semua, yang dipanggil oleh Allah untuk mengamalkan nasehat-nasehat Injil serta dengan setia menghayatinya, secara istimewa membaktikan diri kepada Tuhan, seraya mengikuti Kristus, yang dalam keperawanan serta kemiskinan-Nya (lih. Mat 8:20; Luk 9:58) telah menebus dan menguduskan manusia dengan taat samapi di salib (lih. Flp 2:8). Demikianlah terdorong oleh cinta kasih, yang oleh Roh Kudus dicurahkan ke dalam hati mereka (lih. Rom 5:5), mereka semakin hidup bagi Kristus serta Tubuh-Nya, yakni Gereja (lih. Kol 1:24). Jadi semakin penuh mereka dihubungkan dengan Kristus karena penyerahan diri yang merangkum seluruh hidup mereka, semakin melimpah pula kehidupan Gereja dan semakin bersemangat serta subur pula kerasulannya. Tetapi supaya Gereja mendapat manfaat lebih besar dari nilai luhur hidup bakti melalui ikrar nasehat-nasehat itu pun dari perannya yang dalam situasi zaman sekarang memang perlu, Konsili suci ini menetapkan pokok-pokok berikut, yang melulu menyangkut azas-azas umum untuk dengan cara yang sesuai membaharui hidup dan tata-tertib lembaga-lembaga hidup religius, begitu pula – dengan mempertahankan 1

Dalam bahasa Latin Lumen Gentium.

coraknya sendiri – serikat-serikat hidup bersama tanpa kaul-kaul dan istitut-institut sekular. Adapun kaidah-kaidah khusus untuk menjabarkan dan menerapkannya dengan baik harus ditetapkan sesudah Konsili oleh pimpinan yang berwenang. 2. (Azas-azas umum untuk mengadakan pembaharuan yang sesuai) Pembaharuan hidup religius yang sesuai sekalihus merangkum pengacuan terus-menerus kepada sumber-sumber seluruh hidup kristiani serta inspirasi tarekat-tarekat yang mulamula dan menyesuaikannya dengan kenyataan zaman yang sudah berubah. Atas dorongan Roh Kudus dan di bawah bimbingan Gereja pembaharuan itu hendaknya dikembangkan menurut azas-azas berikut : a) Tolak ukur terakhir hidup religius ialah mengikuti Kristus menurut Injil. Maka semua tarekat hendaknya memandang itu sebagai pedoman tertinggi. b) Akan bermanfaat bagi Gereja, bila tarekat-tarekat mempunyai corak serta perannya yang khas. Maka hendaknya diakui dan dipelihara dengan setia semangat para Pendiri serta maksud-maksud mereka yang khas, begitu pula tradisi-tradisi yang sehat, yang kesemuanya merupakan pusaka warisan setiap tarekat. c) Semua tarekat hendaklah ikut serta dalam kehidupan Gereja. Maka – dengan mengindahkan coraknya sendiri – hendaklah melibatkan diri dalam prakarsa-prakarsa serta rencana-rencana Gereja dan ikut mengembangkannya menurut kemampuannya, misalnya di bidang Kitab suci, Liturgi, teologi dogmatik, patoral, ekumene, misioner dan sosial. d) Hendaknya tarekat-tarekat mengembangkan pada para anggotanya pengertian yang memadai tentang kenyataan orang-orang pada zamannya pun juga tentang kebutuhan-kebutan Gereja; maksudnya supaya dengan demikian mereka mampu menilai dalam terang iman dan dengan bijaksana kenyataan dunia zaman sekarang, dan dikobarkan oleh semangat kerasulan mampu menilai dalam terang iman dan dengan bijaksana kenyataan dunia zaman sekarang, dan di kobarkan oleh semangat kerasulan mampu membantu orang-orang secara lebih tepat guna. e) Tujuan hidup religius pertama-tama yakni: supaya para anggotanya mengikuti Kristus dan dipersatukan dengan Allah melalui pengikraran nasehat-nasehat Injil. Maka perlu dipertimbangkan dengan serius, bahwa penyesuaian-penyesuain yang sebaik mungkin dengan kebutuhan-kebutuhan zaman kita sekarang pun tidak akan memperbuahkan hasil, bila tidak dijiwai oleh pembaharuan rohani. Hendaknya pembaharuan (rohani0 itu dalam pengembangan karya-karya diluarpun selalu diutamakan. 3. (Norma-norma praktis pembaharuan yang disesuaikan) Hendaknya penataan hidup, doa dan karya dimana-mana, terutama didaerah-daerah misi, sungguh sesuai dengan keadaan fisik dan psikis para anggota zaman sekarang, begitu pula – seperti dituntut oleh corak masing-masing tarekat – selaras dengan kebutuhan-kebutuhan kerasulan, tuntutan-tuntutan kebudayaan, situasi sosial ekonomi. Maka dari itu konstitusi, direktorium, buku-buku kebiasaan, doa-doa dan upacarupacara serta buku-buku lain sebagainya hendaknya ditinjau kembali menurut pedoman tadi, dan di selaraskan dengan dokumen-dokumen Konsili suci ini, sementara peraturanperaturan yang sudah usang ditiadakan. 4. (Mereka yang harus melaksanakan pembaharuan) Pembaharuan tak mungkin sungguh berhasil, begitu pula penyesuaian tidak dapat berlangsung dengan tepat, tanpa kerja sama semua anggota tarekat. Adapun yang bertugas menentukan kaidah-kaidah pembaharuan yang disesuaikan serta menetapkan hukum-hukumnya, begitu pula membuka ruang bagi pengalaman yang memadai dan bijaksana, hanyalah para pimpinan yang berwenang, terutama kapitel umum, sejauh perlu disertai persetujuan Takhta suci atau Uskup setempat, menurut

kaidah hukum. Sedangkan para pemimpin hendaknya dalam hal-hal, yang menyangkut keadaan seluruh tarekat, dengan cara yang tepat meminta nasehat para anggota dan mendengarkan mereka. Untuk pembaharuan biara-biara para rubiah yang sesuai, saran-saran dan keputusankeputusan akan dapat diperoleh juga dari sidang-sidang persekutuan atau dari pertemuan-pertemuan lainnya yang diundang secara sah. Tetapi semua hendaknya ingat, bahwa terwujudnya pembaharuan harus lebih diharapkan dari penghayatan pedoman-pedoman serta konstitusi yang lebih sekasama dari pada penambahan hukum-hukum. 5. (Unsur-unsur yang umum pada pelbagai bentuk hidup religius) para anggota tarekat mana pun juga hendaknya mengingat, bahwa mereka pertama-tama telah menanggapi panggilan Allah dengan mengikrarkan nasehat-nasehat Injil, sehingga mereka tidak hanya mati bagi dosa (lih. Rom 6:11), melainkan dengan mengingkari dunia hidup bagi Allah semata-mata. Sebab seluruh hidup telah mereka baktikan untuk mengabdi kepada-Nya. Dan itu merupakan suatu penyucian istimewa, yang secara mendalam berakar dalam penakdisan baptis dan mengungkapkannya secara lebih utuh. Karena penyerahan diri itu telah diterima oleh Gereja, maka hendaknya mereka menyadari kewajiban mereka mengabdi kepada-Nya. Pengabdian kepada Allah itu harus kuat-kuat mendorong mereka untuk mengamalkan keutamaan-keutamaan dan mengembangkannya, terutama kerendahan hati dan ketaatan, kekuatan dan kemurnian, yang berarti keikut-sertaan mereka dalam pengosongan diri kristus (lih. 2:7-8) pun juga dalam kehidupan-Nya dalam Roh (lih. Rom 8:1-13). Jadi hendaknya para religius tetap setia kepada kaul-kaul yang mereka ikrarkan, mengiklaskan segala sesuatu demi kristus (lih. Mrk 10:28), dan mengikutinya sebagai satu-satunya yang perlu (lih. Luk 10:42; Mat 19:210), seraya mendengarkan sabda-Nya (lih. Luk 10:39) dan memusatkan perhatiannya pada perkara tuhan (lih. 1Kor 7:32). Maka dari itu para anggota setiap tarekat hendaklah mencari Allah satu-satunya dan diatas segalanya. Mereka wajib memadukan kontemplasi, yang membuat mereka berpaut pada-Nya dengan budi dan hati, dengan cinta kasih kerasulan, yang menjiwai usaha mereka menggabungkan diri pada karya Penebusan dan menyebarluaskan Kerajaan Allah. 6. (Hidup rohani harus diutamakan) Barang siapa menikrarkan nasehat-nasehat Injil, hendaklah di atas segala sesuatu mencari dan mencintai Allah, yang pertama-tama telah mencintai kita (lih. 1Yoh 4:10). Dalam segala situasi hendaknya mereka berusaha mengembangkan kehidupan yang bersama Kristus tersembunyi dalam Allah (lih. Kol 3:3), yang menjadi sumber serta dorongan untuk mencintai sesama demi keselamatan dunia dan pembangunan Gereja. Pengamalan nasehat-nasehat injil sendiri dijiwai dan dikuasai juga oleh cinta kasih itu. Maka dari itu para anggota tarekat-tarekat hendaknya memelihara semangat doa dan doa sendiri, sambil dengan tekun menimba dari sumber-sumber spriritualitas kristiani yang asli. Pertama-tama hendaklah mereka setiap hari siap mengambil Kitab suci, untuk dengan membaca kitab-kitab kudus yang lebih mulia dari segalanya” (Flp 3:8). Hendaknya mereka sesuai dengan maksud Gereja merayakan Liturgi suci dengan hati dan bibir, terutama misteri Ekaristi suci, dan dari sumber yang kaya melimpah itu memupuk hidup rohani mereka. Demikianlah, sesudah disegarkan pada meja perjamuan Hukum ilahi dan altar yang suci, hendaklah mereka mengasihi para anggota Kristus sebagai saudara, dan dengan sikap Putera menghormati serta mengasihi para gembala. Hendaklah mereka semakin hidup dan secita-rasa dengan gereja, dan membaktikan diri seutuhnya kepada perutusannya.

7. (Tarekat-tarekat yang seutuhnya terarah kepada kontemplasi) Tarekat-tarekat yang seutuhnya terarah kepada kontemplasi, sehingga para anggotanya – betapapun mendesaknya kebutuhan akan kerasulan yang aktif – dalam kesunyian dan dengan berdiam diri, dalam doa yang tekun dan ulah tapa penuh semangat mempersembahkan segenap waktu mereka kepada Allah, selalu memainkan peran yang mulia dalam Tubuh Mistik Kristus, yang “anggotanya tidak semua mempunyai tugas yang sama” (Rom 12:4). Sebab mereka mempersembahkan korban pujian yang istimewa kepada Allah, menerangi Umat Allah dengan buah-buah kesucian yang melimpah serta menggerakkannya dengan teladan mereka, lagi pula mengembangkannya dengan kesuburan kerasulan yang rahasia. Begitulah mereka menjadi seri-semarak Gereja dan pancaran rahmat sorgawi. Tetapi cara hidup mereka hendaklah ditinjau kembali menurut azas-azas serta kaidah-kaidah pembaharuan yang sesuai seperti telah disebutkan, namun dengan tetap mempertahankan penuh hormat penyendirian mereka dari dunia dan latihan-latihan khas hidup kontemplatif. 8. (Tarekat-tarekat yang bertujuan kerasulan) Dalam Gereja terdapat banyak sekali tarekat, yang beranggotakan imam-imam atau awam melulu, dan membaktikan diri dalam pelbagai karya kerasulan. Menurut rahmat yang diberikan kepada mereka, tarekat-tarekat itu dianugerahi kurnia yang bermacamragam: jika itu kurnia pengabdian, mereka melayani; bila kurnia ajaran, mereka mengajar; jika kurnia untuk menasehati, mereka memberi nasehat; siapa yang memberi, melakukannya dengan iklas; barang siapa mengamalkan belas kasihan, menjalankannya dengan gembira (lih. Rom 12:5-8). Memang “ada beraneka-macam kurnia, tetapi hanya satu Roh” (1Kor 12:4). Dalam terakat-tarekat itu hendaknya dengan hidup religius sendiri mencakup kegiatan merasul dan beramal kasih, sebagai pelayan suci dan karya cinta-kasih khusus, yang oleh Gereja di percayakan kepada mereka, dan harus dilaksanakan atas nama Gereja. Oleh karena itu seluruh hidup religius para anggota diresapi semangat merasul, sedangkan segenap kegiatan merasul dijiwai oleh semangat religius. Maka supaya para anggota terutama menanggapi panggilan mereka untuk mengikuti Kristus, dan melayani Kristus sendiri dalam para anggota-Nya, kegiatan mereka merasul harus memancar dari harus memancar dari persatuan mesra dengan-Nya, kegiatan mereka merasul harus memancar dari persatuan mesra dengan-Nya. Demikianlah didukung perkembangan cinta kasih sendiri akan Allah dan akan sesama. Maka tarekat-tarekat itu hendaknya dengan tepat menyesuaikan tata-laksana serta adat-kebiasaan mereka dengan tuntutan kerasulan, yang menjadi medan bakti mereka. Tetapi karena hidup religius yang dibaktikan kepada karya kerasulan mengenakan bentuk bermacam-ragam, maka perlulah bahwa pembaharuannya yang sesuai memperhitungkan keanekaan itu, dan bahwa pelbagai tarekat hidup para anggota demi pengabdian kepada kristus ditopang dengan upaya-upaya yang khas dan sesuai. 9. ((Kelestarian hidup monastik konventual) Lembaga hidup monastik yang patut dihormati disepanjang sejarah telah banyak sekali berjasa dalam gereja maupun masyarakat manusia. Maka hendaknya tetap dilestarikan dengan setia dan semakin cemerlang menampilkan semangatnya yang asli baik di Timur maupun di Barat. Tugas utama para Rahib ialah dalam kerendahan hati mengamalkan bakti yang mulia kepada Allah yang Maha Agung dalam lingkungan biara, entah mereka membaktikan diri sepenuhnya dalam ibadat dalam ibadat kepada Allah dalam suasana hidup menyendiri yang teduh, entah mereka dengan sah menerima beberapa karya kerasulan atau cinta-kasih kristiani. Maka dengan mempertahankan corak khas tata hidup nya hendaknya lembaga-lembaga itu membaharui tradisi-tradisi yang bermanfaat dan menyesuaikannya dengan kebutuhan jiwa-jiwa zaman sekarang, sehingga biara-biara merupakan bagaikan tempat persemaian bagi kemajuan rohani Umat kristiani.

Begitu pula tarekat-tarekat religius, yang berdasarkan pedoman hidup atau kelembagaannya erat-erat menggabungkan hidup merasul dengan tugas doa koor serta tata-laksana hidup monastik, hendaknya memadukan corak hidup mereka dengan tuntutan kerasulan yang cocok bagi mereka, yang memang termasuk kesejahteraan Gereja yang istimewa. 10. (Hidup religius kaum awam) Hidup religius yang beranggotakan awam, untuk pria maupun wanita, merupakan status pengalaman nasehat-nasehat Injil yang sudah lengkap. Maka Konsili suci sangat menghargainya, karena begitu berjasa bagi tugas pastoral Gereja melalui pendidikan kaum muda, perawatan orang-orang sakit dan pelayanan-pelayanan lainnya. Konsili meneguhkan para anggotanya dalam panggilan mereka, serta mendorong mereka untuk menyesuaikan hidup mereka dengan tuntutan-tuntutan zaman sekarang. Konsili suci menyatakan tidak keberatan, bila dalam tarekat-tarekat para bruder, dengan lestarinya corak keawamannya, atas penetapan kapitel umum, ada beberapa anggota yang menerima Tahbisan suci, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelayanan imamat dalam rumah-rumahnya. 11. (Serikat-serikat selular0 Meskipun bukan tarekat religius, namun serikat-serikat sekuler mencakup pengalaman nasehat-nasehat Injil yang sesungguhnya, lengkap dan diakui resmi oleh Gereja, ditengah masyarakat. Maka hendaknya mereka berusaha menghayati bakti mereka seutuhnya kepada Allah terutama dalam cinta-kasih yang sempurna. Serikat-serikat itu hendaknya mempertahankan coraknya yang khas dan istimewa, yakni corak sekuler, supaya dapat menunaikan kerasulannya dengan tepat guna daqn dimana-mana ditengah masyarakat dan bagaikan dari dalam masyarakat, karena memang didirikan untuk kerasulan itu. Tetapi para anggota hendaklah sungguh menyadari, bahwa tugas semulia itu hanya dapat mereka tunaikan, bila mereka mendapat pembinaan yang saksama dalam perkaraperkara ilahi maupun manusiawi, sehingga benar-benar menjadi ragi masyarakat demi peneguhan dan pengembangan Tubuh Kristus. Maka para pemimpin hendaknya sungguh-sungguh mengusahakan pembinaan para anggota terutama dalam hidup rohani, pun juga pengembangan pembinaan mereka selanjutnya. 12. (Kemurnian) Kemurnian “demi kerajaan sorga” (Mat 19:12), yang diikrarkan oleh para religius, harus dihargai sebagai kurnia rahmat yang sangat luhur. Sebab secara istimewa membebaskan hati manusia (lih. 1Kor 7:32-35), supaya ia lebih berkobar cinta-kasihnya terhadap Allah dan semua orang. Maka merupakan tanda yang amat khas harta sorgawi, dan upaya yang sangat cocok bagi para religius untuk dengan gembira hati membaktikan diri bagi pengabdian kepada Allah serta karya-karya kerasulan. Begitulah mereka mengingatkan semua orang beriman kristiani akan pernikahan mengagumkan, yang diadakan oleh Allahdan di zaman mendatang akan ditampilkan sepenuhnya, antara Gereja dan kristus Mempelainya yang tunggal. Maka para religius wajib berusaha menghayati kaul kekal mereka dengan setia. Hendaknya mereka percaya akan amanat Tuhan, bertumpu pada bantuan Allah, tidak mengandalkan kekuatan mereka sendiri, bermatiraga dan mengandalkan pancainderanya. Janganlah mereka mengabaikan pula upaya-upaya kodrati, yang mendukung kesehatan jiwa dan badan. Dengan demikian mereka takkan goyah terpengaruh ajaran-ajaran sesat, yang membayang-bayangkan seolah-olah pengendalian diri yang sempurna itu tidak mungkin atau merugikan bagi perkembangan manusia. Berdasarkan suatu naluri rohani mereka akan menolak segala sesuatu yang membahayakan kemurnian. Selain itu hendaknya semua, terutama para pemimpin, ingat, bahwa kemurnian dihayati dengan lebih aman, bila hidup bersama diliputi kasih persaudaraan antara para anggota.

Penghayatan pengendalian diri yang sempurna menyentuh kecondongankecondongan kodrat manusia secara mendalam. Maka para calon hendaknya jangan maju atau diijinkan untuk mengikrarkan kemurnian, kecuali sesudah percobaan yang sungguh memadai dan mereka ternyata memiliki kemasakan psikologis dan afektif yang selayaknya. Hendaknya mereka jangan hanya diperingatkan akan bahaya-bahaya yang mengancam kemurnian, melainkan dibina sedemikian rupa, sehingga menerima pula selibat yang dibaktikan kepada Allah sebagai keuntungan bagi pribadinya secara menyeluruh. 13. (Kemiskinan) kemiskinan sukarela untuk mengikuti Kristus merupakan tandanya, yang terutama sekarang ini sangat dihargai. Hendaknya kemiskinan itu dihayati dengan tekun oleh para religius, dan bila perlu diungkapkan juga dalam bentuk-bentuk yang baru. Dengan demikian para religius ikut serta menghayati kemiskinan Kristus, yang demi kita telah menjadi miskin sedangakan Ia kaya, supaya karena kemiskinan-Nya itu kita menjadi kaya (lih. 2Kor 8:9; Mat 8:20). Adapun mengenai kemiskinan religius, tidak cukuplah bahwa dalam menggunakan harta-benda para anggota mematuhi para pemimpin. Melainkan mereka wajib menjadi miskin harta dan miskin dalam roh, karena menaruh harta-kekayaan mereka di sorga (lih. Mat 6:20). Hendaknya dalam tugas mereka masing-masing para anggota merasa diri terikat pada keharusan umum untuk bekerja. Sambil memperoleh rejeki yang diperlukan bagi kehidupan dan karya-karya mereka, hendaknya mereka mengesampingkan segala keprihatinan yang tidak wajar, dan mempercayakan diri kepada Penyelenggaraan Bapa di sorga (lih. Mat 6:25). Berdasarkan konstitusi mereka tarekat-tarekat religius dapat mengijinkan para anggota untuk melepaskan diri melepaskan harta warisan yang telah atau masih akan mereka peroleh. Dengan mengindahkan kenanekaan situasi setempat, tarekat-tarekat sendiri hendaknya berusaha memberi kesaksian bersama tentang kemiskinan. Hendaknya mereka dengan sukarela menyumbangkan sesuatu dari harta milik mereka untuk ikut memenuhi kebutuhan-kebutuhan Gereja lainnya dan ikut menanggung keperluan hidup kaum miskin, yang layak dicintai oleh semua religius dalam hati Kristus (lih. Mat 19:21); 25:34-46; Yak 2:15-16; 1Yoh 3:17). Hendaknya provinsi-provinsi dan rumah-rumah tarekattarekat saling berbagi harta duniawi, sehingga mereka yang lebih mampu membantu mereka yang berkekurangan. Dengan tetap mematuhi pedoman-pedoman dan konstitusi-konstitusi, tarekat-tarekat berhak memiliki segala sesuatu yang diperlukan untuk kebutuhan hidup di dunia dan karya-karya. Tetapi hendaklah mereka berusaha jangan sampai memberi kesan kemewahan, keuntungan yang berlebihan dan penumpukan harta-kekayaan. 14. (ketaatan) Dengan mengikrarkan ketaatan para religius mempersembahkan bakti kehendak mereka yang sepenuhnya bagaikan korban diri kepada Allah. Maka seturut teladan yesus Kristus, yang datang untuk melaksanakan kehendak bapa (lih. Yoh 4:34; 5:30; Ibr 10:7; Mzm 39:9), “Mengenakan rupa seorang hamba” (Flp 2:7), dan melalui sengsara-Nya belajar taat (lih. Ibr 5:8), hendaknya para religius, atas dorongan Roh Kudus, dalam iman mematuhi para pemimpin yang mewakili Allah. Hendaknya melalui mereka itu para religius dituntun untuk melayani semua saudara dalam Kristus, seperti kristus sendiri demi kepatuhanNya terhadap bapa telah melayani para saudaran-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang (lih. Mat 20:28; Yoh 10:14-18). Begitulah mereka semakin erat terikat untuk melayani Gereja, dan berusaha mencapai “tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (lih. Ef 4:13).

Oleh karena itu hendaknya para anggota, dalam semangat iman dan cinta-kasih terhadap kehendak Allah, dengan rendah hati mematuhi para pemimpin mereka menurut kaidah pedoman serta konstitusi mereka. Hendaknya mereka mengerahkan daya kemampuan akal-budi dan kehendak maupun bakat-bakat alamiah serta kurnia-kurnia rahmat dalam menjalankan perintah-perintah dan menyelesaikan tugas-tugas yang diserahkan kepada mereka. Hendaknya mereka sadari, bahwa mereka sedang berkarya demi pembangunan Tubuh Kristus menurut rencana Allah. Demikianlah ketaatan religius sama sekali tidak mengurangi martabat pribadi manusia, melainkan justru membawanya kepada kematangan, karena dikembangkannya kebebasan putera-putera Allah. Adapun para pemimpin, yang akan memberi pertanggungjawaban atas jiwa-jiwa yang diserahkan kepada mereka (lih. Ibr 13:17), hendaknya dalam menunaikan tugas mereka membiarkan diri dibimbing oleh kehendak Allah. Hendaknya mereka mengamalkan kewibawaan dalam semangat pengabdian kepada para saudara, sehingga mengunkapkan cinta-kasih Allah terhadap mereka. Hendaknya mereka memimpin para bawahan sebagai putera-putera Allah, dengan menghormati pribadi manusia, seraya mengembangkan kepatuhan mereka yang sukarela. Maka khususnya hendaklah mereka memberi kebebasan sewajarnya kepada para anggota berkenaan dengan sakramen Tobat dan bimbingan suara hati. Hendaknya mereka membimbing para anggota sedemikian rupa, sehingga dalam melaksanakan tugas-tugas serta mengambil prakarsa-prakarsa mereka itu bekerja sama dalam ketaatan aktif dan penuh tanggung jawab. Maka para pemimpin hendaknya dengan suka hati mendengarkan para anggota, dan mengembangkan kerja sama mereka demi kesejahteraan tarekat dan gereja, sementara mereka tetap berwenang untuk mengambil keputusan dan memerintahkan apa yang harus dijalankan. Hendaknya kapitel-kapitel dan dewan-dewan dengan setia menunaikan tugas kepemimpinan yang diserahkan kepada mereka, serta masing-masing dengan caranya sendiri mengungkapkan keikutsertaan dan usaha semua anggota demi kesejahteraan segenap persekutuan hidup. 15. (Hidup bersama) menurut teladan Gereja perdana, ketika golongan kaum beriman hidup sehati dan sehjiwa (lih. Kis 4:32), hendaknya kehidupan bersama bertekun dalam ajaran Injil, dalam Liturgi suci dan terutama dalam perayaan Ekaristi, dalam doa sera persekutuan semangat yang sama (lih. Kis 2:42). Sebagai sesama anggota Kristus para religius hendaknya dalam pergaulan bersaing dalam saling menghormati *lih. Rom 12:10), sambil saling menanggung beban mereka (lih. Gal 6:2). Sebab berkat cinta-kasih Allah, yang karena Roh Kudus telah dicurahkan ke dalam hati mereka (lih. Rom 5:5), komunitas sebagai keluarga yang sejati, dihimpun dalam nama Tuhan, menikmati kehadiran-Nya (lih. Mat 18:20). Adapun cinta kasih itu kepenuhan hukum (lih. Rom 13:10), serta ikatan kesempurnaan (lih. Kol 3:14). Berkat cinta itulah kita tahu, bahwa kita telah dipindahkan dari maut kepada kehidupan (lih. 1Yoh 3:14). Bahkan persekutuan para saudara menunjukkan kedatangan Kristus (lih. Yoh 13:35; 17:21), dan panyalah bersumber daya kekuatan merasul yang besar. Akan tetapi, supaya ikatan persaudaraan antar anggota menjadi lebih erta, hendaknya mereka yang disebut para bruder, para rekan sekerja, atau dengan nama lain, melibatkan diri secara lebih erat dengan perihidup serta karya-karya komunitas. Kecuali bila situasi sungguh menginginkan sesuatu yang lain, hendaknya diusahakan, supaya dalam tarekattarekat wanita tercapai satu macam suster saja. Kemudian hendaknya hanya dipertahankan kemacam-ragaman pribadi-pribadi, sejauh pembedaan pelbagai karya menuntunya. Hendaknya para suster diperuntukkan bagi karya-karya itu entah berkat panggilan khas Allah, entah karena kecakapan mereka yang istimewa. Adapun biara-biara serta tarekat-tarekat pria yang tidak melulu beranggotakan awam, sesuai dengan corak mereka dan menurut kaidah konstitusi, dapat menerima rohaniwan maupun awam, pada tingkatan yang sama dan dengan hak-hak serta kewajibankewajiban yang sama pula, kecuali mengenai implikasi Tahbisan suci.

16. (Pingitan/klausura para rubiah) Hendaknya pingitan kepausan bagi para rubiah yang menghayati hidup kontemplatif melulu tetap dilestarikan, tetapi disesuaikan juga dengan situasi semasa dan setempat, dengan meniadakan adat kebiasaan yang sudah usang. Dalam melaksanakan penyesuaian itu hendaknya didengarkan usul-usul biara-biara yang bersangkutan. Tetapi para rubiah lainnya, yang berdasarkan anggaran tarekat berbakti melalui karyakarya kerasulan di luar, hendaknya di bebaskan dari pingitan kepausan, supaya mereka mampu menunaikan dengan lebih baik tugas-tugas kerasulan yang dipercayakan kepada mereka, namun dengan tetap mempertahankan pingitan menurut kaidah konstitusi. 17. (Busana religius) Hendaknya busana religius, sebagai tanda penakdisan kepada Allah, bersifat sederhana dan ugahari, miskin dan sekaligus pantas, selain itu memenuhi persyaratan kesehatan, dan selaras dengan situasi semasa dan setempat maupun dengan kebutuhan-kebutuhan akan pelayanan. Busana baik pria maupun wanita, yang tidak cocok dengan kaidahkaidah itu, hendaknya diganti. 18. (Pembinaan para anggota) Pembaharuan tarekat-tarekat yang sesuai sangat tergantung dari pembinaan para anggota. Maka dari itu para anggota bukan rohaniwan dan para suster jangan ditugaskan dalam karya-karya kerasulan langsung sesudah novisiat. Melainkan pembinaan mereka dibidang religius maupun kerasulan, begitu pula pendidikan pengetahuan maupun kejujuran, termasuk pula untuk mendapat ijazah yang diperlukan, hendaknya dilanjutkan sebagaimana mestinya dirumah-rumah yang diperlengkapi secukupnya. Tetapi penyesuaian hidup religius dengan tuntunan-tuntunan zaman kita sekarang hendaknya jangan melulu bersifat lahiriah. Jangan sampai pula mereka yang berdasarkan anggaran tarekat bertugas merasul diluar ternyata tidak mampu menunaikan tugas mereka. Untuk maksud itu hendaknya mereka – sesuai dengan bakat kecerdasan dan watak-perangai pribadi masing-masing – diberi pendidikan secukupnya tentang cara-cara hidup dan cara-cara berpandangan serat berfikir dalam masyarakat sekarang. Hendaknya diselenggarakan pembinaan melalui perpaduan unsur-unsurnya yang serasi sedemikian rupa, sehingga membantu para anggota mencapai keutuhan hidup. Hendaknya para anggota seumur hidup dengan tekun berusaha menyempurnakan kebudayaan rohani, pengetahuan serta kejuruan mereka itu. Untuk itu para pemimpin hendaknya sedapat mungkin menciptakan kemungkinan serta mengusahakan bantuan dan waktu bagi mereka. Termasuk tugas para pemimpin juga: mengusahakan supaya para moderator, para pembimbing rohani dan para dosen dipilih dengan sangat cermat dan disiapkan dengan sungguh baik. 19. (Pendirian tarekat-tarekat baru) Dalam mendirikan tarekat-tarekat baru hendaknya sungguh-sungguh dipertimbangkan betapa perlunya, atau setidak-tidaknya besarnya faedahnya, begitu pula kemungkinan perkembangannya. Dengan demikian dijaga, jangan sampai tanpa pertimbangan masak muncul tarekat-tarekat yang tidak berguna, atau yang tidak mempunyai daya-kekuatan yang seperlunya. Dalam Gereja-Gereja muda hendaknya secara khusus dikembangkan dan dikelola bentuk-bentuk hidup membiara, dengan mempertimbangkan perangai serta adat-istiadat penduduk maupun kebiasaan-kebiasaan dan situasi setempat. 20. (Bagaimana melestarikan, menyesuaikan atau meninggalkan karya-karya khusus tarekat) Hendaknya tarekat-tarekat melestarikan dan menyelenggarakan karya-karyanya yang khas dengan setia. Hendaknya karya-karya itu disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan

semasa setempat, dengan mempertimbangkan faedahnya bagi Gereja semesta serta keuskupan-keuskupan, dengan menggunakan upaya-upaya yang cocok dan baru. Hendaknya ditinggalkan saja karya-karya, yang sekarang ini sudah kurang selaras dengan semangat tarekat atau coraknya yang asli. Dalam tarekat-tarekat religius semangat misioner harus tetap dipertahankan, dan menurut coraknya masing-masing disesuaikan dengan zaman sekarang, sehingga pewartaan Injil kepada semua bangsa dapat lebih berhasi guna. 21. (Terakat-tarekat dan biara-biara yang mengalami kemerosotan) Tetapi tarekat-tarekat dan biara-biara, yang menurut para Uskup setempat yang berkepentingan, atas penilaian Takhta suci tidak memberi harapan yang wajar, bahwa selanjutnya masih akan berkembang, hendaknya dilarang untuk masih menerima novisnovis, dan sedapat mungkin digabungkan dengan tarekat lain atau biara lain yang lebih vital, dan yang tujuan maupun semangatnya tidak banyak berbeda. 22. (Perserikatan antara tarekat-tarekat religius) Bila keadaan mendukung dan atas persetujuan Takhta suci, hendaknya tarekat-tarekat dan biara-biara yang otonom mengembangkan federasi-federasi antar mereka, bila kurang lebih termasuk keluarga religius yang sama, atau perserikatan-perserikatan, bila mempunyai konstitusi maupun adat-kebiasaan yang hampir sama dan dijiwai oleh semangat yang sama, terutama bila mereka terlalu kecil, atau gabung-gabungan, bila menyelenggarakan karya-karya lahiriah atau yang serupa. 23. (Konferensi para Pemimpin tinggi) Perlu didukung konferensi-konferensi atau dewan-dewan para Pemimpin tinggi yang didirikan oleh Takhta suci, dan dapat banyak membantu supaya tujuan masing-masing tarekat tercapai secara lebih penuh, supaya ditingkatkan kerja sama yang lebih tepat guna demi kesejahteraan Gereja, supaya para pekerja Injil dikawasan tertentu dapat disebarkan secara lebih merata, dan untuk menyelenggarakan urusan-urusan bersama para religius. Mengenai pelaksanaan kerasulan hendaknya diciptakan koordinasi dan kerja sama yang baik dengan Konferensi-Konferensi para Uskup. Konferensi-konferensi semacam itu dapat didirikan juga bagi tarekat-tarekat sekular. 24. (Panggilan religius) para imam dan pendidik kristiani hendaknya sungguh-sungguh berusaha, supaya dengan adanya panggilan-panggilan religius yang dipilih dengan tepat dan saksama Gereja mengalami pertumbuhan baru yang benar-benar menjawab kebutuhan-kebutuhan. Juga dalam pewartaan yang biasa hendaknya seringkali diuraikan nasehat-nasehat Injil dan penghayatan hidup religius. Dengan mendidik anak-anak mereka dalam adat kebiasaan kristiani hendaklah para orang tua memupuk dan melindungi panggilan religius dalam hati mereka. Tarekat-tarekat diperbolehkan menyebarluaskan informasi tentang dirinya untuk memupuk panggilan-panggilan, serta mencari calon-calon, asal itu mereka jalankan dengan bijaksana sebagaimana seharusnya, dan dengan mematuhi kaidah-kaidah yang diterima dari Takhta suci dan dari Uskup setempat. Tetapi para anggota hendaknya menyadari, bahwa teladan hidup mereka sendiri merupakan rekomendasi terbaik bagi tarekat mereka dan undangan paling tepat guna untuk memeluk hidup religius. 25. (Penutup) Tarekat-tarekat, yang mau dibantu dengan penetapan kaidah-kaidah pembaharuan yang disesuaikan ini, hendaknya dengan semangat siap sedia menanggapi panggilan ilahinya dan tugasnya dalam Gereja dewasa ini. Sebab Konsili suci sangat menghargai corakl hidup mereka ditandai keperawanan, kemiskinan dan ketaatan, menurut teladan kristus

Tuhan sendiri. Konsili menaruh harapan yang teguh atas karya-karya mereka yang begitu susbur, baik yang sifatnya tersembunyi maupun yang terbuka. Oleh karena itu hendaknya semua religius, dengan keutuhan iman mereka, dengan kasih mereka terhadap Allah dan sesama, dengan cinta mereka akan salib dan harapan mereka akan kemuliaan di masa mendatang, menyebarluaskan kabar baik Kristus diseluruh dunia, supaya kesaksian mereka tampil bagi semua orang, dan Bapa kita yang ada di sorga dimuliakan (lih. Mat 5:16). Demikianlah atas permohonan Bunda Allah yang termanis Perawan Maria, “yang hidupnya merupakan suri tauladan bagi semua orang”[2], mereka dari ke hari akan makin berkembang dan memperbuahkan hasil penyelamatan yang makin melimpah. Semua itu dan setiap hal yang diungkapkan dalam Dekrit ini telah berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Adapun kami, dengankuasa kerasulan yang oleh Kristus diserahkan kepada Kami, bersama para Bapa yang terhormat, mengesahkan, menetapkan serta mengundangkannya dalam Roh Kudus. Dan kami memerintahkan, agar apa yang telah ditetapkan bersama dalam Konsili ini diumumkan demi kemuliaan Allah. Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 28 bulan Oktober tahun 1965. Saya PAULUS Uskup Gereja Katolik (Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)

2

S. AMBROSIUS, Tentang Keperawanan, kitab II, bab II n. 15.

PAULUS USKUP HAMBA PARA HAMBA ALLAH BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI DEMI KENANGAN ABADI

DEKRIT TENTANG PEMBINAAN IMAM

PENDAHULUAN

Konsili suci menyadari sepenuhnya, bahwa pembaharuan yang DIINGINKAN bagi SELURUH Gereja sebagian besar tergantung dari pelayanan para imam, yang dijiwai oleh Roh Kristus[1]. Maka Konsili secara resmi menyatakan, bahwa pembinaan imam memang penting sekali. Konsili menguraikan berbagai prinsip dasarnya, yang meneguhkan ketetapan-ketetapan yang telah diuji melalui praktek berabad-abad lamanya, dan mengintegrasikan ke dalam unsur-unsur baru, yang selaras dengan Konstitusi-Konstitusi maupun Dekrit-Dekrit Konsili ini serta dengan perubahanperubahan zaman yang aktual. Demi kesatuan imamat katolik pembinaan imam itu sungguh perlu bagi semua imam dari kedua klerus dan dari semua ritus. Oleh karena itu peraturan-peraturan berikut, yang secara langsung menyangkut klerus diosesan, dengan mempertimbangkan perlunya penyesuain-penyesuaian, berlaku bagi semua golongan imam. I. PENYUSUNAN METODE PEMBINAAN IMAM DI SETIAP NEGARA 1. Mengingat begitu bermacam-ragamnya bangsa maupun daerah, disini hanya dapat disusun ketetapan-ketetapan yang serba umum bagi semua. Maka disetiap negara dan untyuk setiap ritus hendaknya disusun “Pedoman pembinaan Iman” yang khusus. Pedoman itu harus dikukuhkan oleh Konferensi-Konferensi Uskup[2], pada saat-saat tertentu ditinjau kembali, dan disetujui oleh Takhta suci. Hendaknya menurut pedoman itu ketetapan-ketetapan umum disesuaikan dengan situasi khas setempat dan semasa, supaya pembinaan imam selalu menanggapi kebutuhankebutuhan pastoral daerah-daerah yang dilayani. 1

2

Atas kehendak Kristus sendiri perkembangan segenap Umat Allah banyak sekali tergantung dari pelayanan para imam. Itu jelas dari sabda tuhan, yang menjadikan Rasul-rasul serta para pengganti mereka beserta rekan-rekan kerja pewarta Injil, pemimpin umat baru yang terpilih, dan pelayan misteri-misteri Allah. Kenyataan itu masih dikukuhkan juga oleh ungkapan-ungkapan para Bapa Gereja dan para Kudus, begitu pula dari pelbagai ajaran para paus. Lih terutama : S> PIUS X, hlm. 236-264. – PIUS XI, Ensiklik Ad catholici Sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935: AAS 28(1936) terutama hlm. 37-52. – PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 657-702. – YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii Nostri primordia, tgl. 1 Agustus 1959: AAS 51 (1959) hlm. 545-579. – PAULUS VI, Surat apostolik, Summi Dei Verbum, tgl. 4 November 1963: AAS 55 (1963) hlm. 979-995. Seluruh pembinaan imam, yakni tata-laksana Seminari, pembinaan rohani, peraturan studi, hidup bersama para seminaris dan tata-tertib, latihan-latihan pastoral, harus disesuaikan dengan pelbagai situasi setempat. Penyesuaian itu mengenai asas-asasnya yang utama harus dijalankan menurut norma-norma umum, bagi klerus diosesan oleh Konferensi-Konferensi Uskup, dan dengan cara yang serupa bagi para imam religius oleh para Pemimpin yang berwenang. Lih. Ketetapan-ketetapan umum yang dilampirkan pada Konstitusi apostolik Sedes Sapientae, art. 19.

II. PENGEMBANGAN PANGGILAN IMAM SECARA LEBIH INTENSIF

2. Pengembangan panggilan[3] termasuk kewajiban seluruh jemaat kristen, yang harus menumbuhkannya terutama dengan perihidup kristen yang sepenuhnya. Dalam hal itu sangat besarlah sumbangan keluarga-keluarga, yang dijiwai semangat iman dan cinta kasih serta ditandai sikap bakti, menjadi bagaikan seminari pertama; begitu pula paroki-paroki, yang memungkinkan kaum remaja ikut mengalami kehidupan jemaat yang subur. Para guru, dan semua saja yang dengan suatu cara lain ikut bertanggungjawab atas pendidikan anak-anak dan kaum muda, terutama himpunan-himpunan katolik, hendaknya berusaha mendidik kaum remaja yang diserahkan kepada mereka sedemikian rupa, sehingga dapat menerima panggilan ilahi serta mengikutinya dengan sukarela. Hendaknya semua imam sedapat mungkin menunjukkan semangat kerasulan mereka dalam menumbuhkan panggilan. Hendaknya mereka menarik minat kaum remaja terhadap imamat, dengan cara hidup mereka yang memancarkan kerendahan hati, ketekunan bekerja, kegembiraan hati, dan sikap saling mengasihi serta kerja sama persaudaraan antara mereka sendiri. Termasuk tugas para Uskup mendorong kawanan mereka untuk memajukan panggilan, dan mengusahakan perpaduan erta segala tenaga maupun daya-upaya. Hendaknya mereka, sebagai bapa sejati, tanpa menghemat pengorbanan, membantu para calon, yang menurut penilaian mereka dipanggil oleh Tuhan untuk ikut melaksanakan perutusan-Nya. Kerja sama aktif segenap Umat Allah untuk mengembangkan panggilan itu menanggapi karya penyelenggaraan ilahi, yang kepada mereka yang oleh Allah dipilih untuk ikut mengemban imamat hirarkis Kristus, menganugerahkan bakatbakat yang menunjang, serta dengan rahmat-Nya menolong mereka. Penyelenggaraan Allah itu jugalah, yang mempercayakan kepada para pelayan Gereja yang sah, supaya sesudah mengetahui kecakapan para calon, memanggil mereka yang sudah teruji, dan dengan maksud yang tulus serta kebebasan sepenuhnya memohon diperkenankan mengemban tugas seluhur itu, kemudian mentakdirkan mereka dengan meterai Roh Kudus bagi ibadat kepada Allah serta pengabdian kepada Gereja[4]. Konsili terutama menganjurkan upaya-upaya bantuan kerja sama umum yang tradisional, misalnya doa yang tekun, ulah pertobatan kristen, serta pembinaan umat beriman yang makin mendalam melalui pewartaan dan katekese, pun dengan memanfaatkan pelbagai upaya komunikasi sosial, semuanya untuk menjelaskan betapa perlu panggilan imam itu, dan hakekat maupun keluhurannya. Selain itu Konsili memerintahkan, supaya karya-karya untuk panggilan, yang menurut dokumen-dokumen kepausan yang bersangkutan telah atau masih harus didirikan disetiap keuskupan, daerah atau negara, mengatur secara metodis dan serasi seluruh kegiatan pastoral untuk menumbuhkan panggilan, dan selanjutnya dengan

3

4

Diantara kesukaran-kesukaran pokok yang menimpa Gereja zaman sekarang, hampir di mana-mana yang paling penting ialah sedikitnya panggilan imam. – Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae: “… jumlah imam baik di daerah-daerah katolik, maupun di daerah-daerah misi, kebanyakan tidak mencukupi untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan yang bertubi-tubi”: AAS 42 (1950) hlm. 682. – YOHANES XXIII: “Masalah panggilan gerejawi dan religius merupakan keprihatihatinan sehari-hari bagi Paus …; itulah jeritan doanya, itu pula aspirasi jiwanya yang membara” (dari Amanat kepada Kongres Internasional I tentang panggilan hidup religius, tgl. 16 Desember 1961: L’Osservatore Romano, tgl. 17 Desember 1961). PIUS XII, Konstitusi apostolik Sedes sapientiae, tgl. 31 mei 1956: AAS 48 (1956) hlm. 357. – PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum, tgl. 4 November 1963: AAS 55 (1963) hlm. 984 dan selanjutnya.

bijaksana dan penuh semangat memajukan kegiatan itu [5]. Sementara itu hendaklah jangan diabaikan upaya-upaya pendukung, yang penuh manfaat disediakan oleh ilmu-ilmu psikologi dan sosiologi zaman sekarang. Begitu pula karya untuk mengembangkan panggilan, dijiwai hati yang lapang terbuka, harus melampaui batas-batas masing-masing keuskupan, negara, tarekat religius dan ritus, serta – sementara memperhatikan kebutuhan-kebutuhan Gereja semesta – pertama-tama membantu daerah-daerah, yang secara lebih mendesak membutuhkan pekerja-pekerja bagi kebun anggur Tuhan. 3. Di Seminari-seminari Menengah, yang didirikan untuk memupuk tunas-tunas panggilan, para seminaris hendaknya melalui pembinaan hidup rohani yang khas, terutama dengan bimbingan rohani yang cocok, disiapkan untuk mengikuti Kristus Penebus dengan semangat rela berkorban dan hati yang jernih. Hendaknya mereka, dibawah bimbingan para pemimpin yang penuh kebapaan, dengan kerja sama para orang tua yang sangat membantu, menjalani hidup yang cocok dengan usia, mentalitas dan perkembangan kaum muda, serta sesuai sepenuhnya dengan prinsipprinsip psikologi yang sehat. Sementara itu hendaklah diperhatikan juga perlunya pengalaman-pengalaman manusiawi secukupnya serta hubungan biasa dengan keluarga mereka sendiri [6]. Kecuali itu semuanya, yang selanjutnya dalam dekrit ini ditetapkan tentang Seminari Tinggi, hendaknya, - sejauh cocok untuk tujuan maupun metode pendidikan di Seminari Menengah – disesuaikan dengannya pula. Studi yang harus ditempuh oleh para seminaris harus diatur sedemikian rupa, sehingga mereka tanpa dirugikan dapat melanjutkannya dilain tempat, sekiranya kemudian memilih status hidup yang lain. Dengan tekun pula hendaknya dikembangkan tunas-tunas panggilan diantara para remaja dan kaum muda di lembaga-lembaga khusus, yang menanggapi situasi setempat emlayani tujuan Seminari-seminari Menengah, begitu pula dikalangan mereka, yang menempuh studi di sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Selain itu hendaknya dikembangkan lembaga-lembaga maupun usaha-usaha lainnya bagi mereka, yang pada usia lebih lanjut mengikuti panggilan ilahi.

III. TATA-LAKSANA SEMINARI-SEMINARI TINGGI 4. (Seluruh pembinaan harus berhubungan erat dengan tujuan pastoral) Seminari Tinggi sungguh perlu bagi pembinaan imam. Seluruh pendidikan seminaris disitu harus bertujuan: supaya seturut teladan Tuhan kita Yesus Kristus, Guru, Imam dan Gembala, mereka dibina untuk menjadi gembala jiwa-jiwa yang sejati [7]. Maka hendaknya mereka disiapkan untuk pelayanan sabda: supaya mereka makin menyelami makna sabda Allah yang telah diwahyukan, dengan merenungkannya kian diresapi olehnya, serta mengungkapkannya dengan kata-kata maupun perilaku mereka. Hendaknya mereka disiapkan bagi pelayanan ibadat dan 5

Lih. Terutama : PIUS XII, Motu Proprio Cum nobis, tentang “didirikannya Karya Kepausan untuk Panggilan Imam pada kongregasi untu Seminari dan Universitas”, tgl. 4 November 1941: AAS 33 (1941) hlm. 479; dilampiri Ketetapan-Ketetapan dan norma-norma yang diumumkan oleh Kongregasi itu pada tgl. 8 September 1943. – Motu proprio Cum supremae, tentang “Karya Kepausan untuk Panggilan Religius”, tgl. 11 februari 1955: AAS 47 (1955) hlm. 266; dilampiri Ketetapan-ketetapan dan norma-norma yang diumumkan oleh Kongregasi untuk para Religius (ibid., hlm. 298-301). – KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius, art. 24. – Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam gereja, art. 15. 6 Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 685. 7 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja art. 28.

pengudusan: supaya seraya berdoa dan melalui perayaan Liturgi suci mereka melaksanakan karya keselamatan melalui korban Ekaristi dan Sakramen-sakramen. Hendaknya mereka disiapkan pula untuk pelayanan kegembalaan: supaya mereka tahu menghadirkan Kristus bagi sesama, Dia yang tidak “datang untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:45; bdk. Yoh 13:12-17), dan dengan mengabdikan diri kepada siapa saja, memperoleh banyak orang (bdk. 1Kor 9:19). Oleh karena itu semua aspek pembinaan, rohani, intelektual dan disipliner, hendaknya secara terpadu diarahkan kepada tujuan pastoral itu. Untuk mencapai tujuan itu hendaklah semua pembimbing dan dosen bekerja sama dengan tekun, sambil dengan setia mematuhi kewibawaan Uskup. 5. (Para pembimbing Seminari hendaknya dipilih dengan seksama dan dibina secara efektif) Pendidikan para seminaris tergantung dari peraturan-peraturan yang bijaksana, dan terutama dari para pembina yang cakap. Maka dari itu hendaknya para pembimbing dan dosen Seminari dipilih dari antara pribadi-pribadi yang sungguh baik[8]. Hendaklah mereka sungguh disiapkan melalui studi yang terjamin mutunya, pengalaman pastoral yang secukupnya, dan pembinaan yang khas dibidang rohani serta pendidikan. Maka perlulah dikembangkan lembaga-lembaga untuk menacapai tujuan itu, atau sekurang-kurangnya kursus-kursus yang diprogramkan dengan cermat, begitu pula pertemuan-pertemuan para pembina Seminari, yang diselenggarakan secara berkala. Hendaknya para pembimbing dan dosen sengguh menyadari, betapa hasil pembinaan para seminaris tergantung dari cara mereka berpikir dan bertindak. Di bawah pimpinan Rektor hendaknya mereka memelihara persatuan semangat maupun perpaduan kegiatan yang erat sekali, begitu pula antara mereka sendiri dan para seminaris mewujudkan rukun kekeluargaan sesuai dengan doa Tuhan: “Hendaklah mereka bersatu” (bdk. Yoh 17:11). Hendaknya dalam hati para seminaris mereka makin menemukan kegembiraan panggilan mereka sendiri. Hendaknya Uskup tiada hentinya, dengan kasih yang istimewa, menyemangati mereka yang berkarya di Seminari, dan bagi para seminaris membawakan diri sebagai bapa yang sejati dalam kristus. Akhirnya hendaknya semua imam memandang Seminari sebagai jantung keuskupan, dan dengan sukarela menyumbangkan bantuan mereka[9]. 6. (Penyaringan dan pengujian para seminaris) Hendaknya – dengan mempertimbangkan umur maupun kemajuan masing-masing – diadakan penyelidikan yang cermat sekali tentang ketulusan maksud serta kehendak bebas para calon, tentang kesesuaian mereka untuk imamat dibidang rohani, moral dan intelektuan, tentang cukupnya kesehatan badan maupun jiwa, sementara mempertimbangkan juga disposisi-disposisi yang barangkali mereka waris dari keluarga. Begitu pula hendaknya dinilai dengan saksama kecakapan para

8

9

Lih. PIUS XI, Ensiklik Ad Catholici Sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935: AAS 28 (1936) hlm. 37: “Pertama-tama hendaklah para pembimbing serta dosen-dosen dipilih dengan saksama … Berilah kepada Seminari-Seminari anda imam-imam yang terbaik. Janganlah berkeberatan membebaskan mereka dari tugas-tugas, yang nampaknya saja memang lebih penting, tetapi sungguh tiada dapat dibandingkan dengan karya mahapenting, yang tak dapat digantikan itu”. Surat apostolik kepada Ordinaris di Brasilia, tgl. 23 April 1947, Discorsi e Radiomessagi IX, hlm. 579-580. Tentang kewajiban umum membantu Seminari-seminari lih. PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum, tgl. 4 November 1963: AAS 55 (1963)hlm. 984.

calon untuk menaggung beban hidup sebagai imam serta menunaikan tugas-tugas pastoral[10]. Dalam seluruh penyaringan dan pengujian para seminaris hendaknya selalu dipertahankan ketegasan sikap, juga kendati adanya keluh-kesah tentang kekurangan imam[11]. Sebab Allah tidak akan membiarkan Gereja-Nya tanpa pelayan-pelayan, bila mereka yang memang pantas diangkat, sedangkan mereka yang tidak cocok sebelum terlambat mendapat pengarahan penuh kebapaan untuk berganti haluan, serta dibantu, untuk menyadari panggilan kristen mereka, dan dengan gembira mulai menjalankan kerasulan awam. 7. (Seminari hendaknya diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan para seminaris) Bila berbagai keuskupan tidak mampu mengelola dengan baik sebuah Seminari untuk dirinya masing-masing, hendaknya didirikan dan dikembangkan Seminari bersama untuk pelbagai keuskupan atau untuk seluruh kawasan atau negeri, supaya secara lebih efektif diselenggarakan pembinaan para seminaris yang terjamin mutunya, dan yang dalam situasi itu pun harus dipandang sebagai norma yang tertinggi. Bila seminari itu bersifat bersifat regional atau nasional, hendaknya dikelola menurut peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh para Uskup yang berkepentingan[12] dan disetujui oleh Takhta Apostolik. Diseminari yang jumlah seminarisnya cukup besar, hendaknya sambil tetap mempertahankan kesatuan kepemimpinan serta pengajaran mereka itu secara tepat dibagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil, supaya pembinaan pribadi masing-masing lebih terjamin. IV. PEMBINAAN ROHANI YANG LEBIH INTENSIF 8. (Belajar hidup dalam persekutuan dengan Allah Tritunggal) Pembinaan rohani erat berhubungan dengan pendidikan intelektual dan pastoral. Terutama dengan bantuan pembimbing rohani [13] hendaknya pembinaan rohani diselenggarakan sedemikian rupa, sehingga para seminaris belajar hidup dalam persekutan mesar dan terus menerus dengan Bapa, melalui Puter-Nya Yesus Kristus, dalam Roh Kudus. Karena dengan ditahbiskan mereka harus menjadi secitra dengan Kristus Sang Imam, maka hendaknya juga dengan hidup dalam persekutuan akrab yang meliputi seluruh hidup mereka membiasakan diri untuk sebagai sahabat berpaut pada-Nya[14]. Hendaklah mereka menghayati misteri Paska-Nya sedemikian rupa, sehingga tahu juga mengantar umat yang akan mereka bimbing memasuki misteri itu. Hendaknya mereka diajak mencari kristus dengan setia merenungkan 10

Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 684. – Bdk. Kongregasi untuk Sakramen-Sakramen, Surat edaran Magna equidem kepada para Ordinaris, tgl. 27 Desember 1935, no. 10. – Untuk para Religius: lih. Statula Generalia (ketetapan-ketetapan umum) yang dilampirkan pada Konstitusi apostolik Sedes Sapientiae, tgl. 31 Mei 1956, art. 33. – PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum, tgl. 4 November 1963: AAS 55 (1963) hlm. 987 dan selanjutnya. 11 Lih. PIUS XI, Ensiklik Ad Catolici Sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935: AAS 28 (1936) hlm. 41. 12 Ditetapkan, supaya dalam menentukan Anggaran Dsar Seminari-Seminari regional maupun nasional semua Uskup yang berkepentingan berperan serta; dengan demikian ketentuan Kitab Hukum Kanonik kanon 1357, butir 4, ditiadakan. 13 Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 674. – KONGREGASI UNTUK SEMINARI DAN UNIVERSITAS, LA Formazione spirituale del candidato al sacerdotio (Pembinaan rohani calon imam), Citta del Vaticano 1965. 14 Lih. S. PIUS X, Amanat kepada klerus katolik Haerent animo, tgl. 4 Agustus 1908: S. Pii X Acta, IV, hlm. 242244. – PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 659-661. – YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii nostri Primordia, tgl. 1 Agustus 1959: AAS 51 (1959) hlm. 550 dan selanjutnya.

sabda Allah, dalam keakraban yang aktif dengan Misteri-misteri suci Gereja, terutama dalam Ekaristi dan ibadat harian[15]. Hendaknya Kristus itu mereka cari dalam diri Uskup yang mengutus mereka, pun juga pada sesama yang mereka hadapi, terutama kaum miskin, anak-anak, mereka yang sakit, para pendosa dan mereka yang belum beriman. Hendaknya mereka penuh kasih mesra dan kepercayaan berbakti kepada Santa Perawan Maria, yang oleh Kristus Yesus menjelang Wafat-Nya di salib diserahkan kepada murid-Nya sebagai ibu. Hendaknya latihan-latihan rohani, yang dianjurkan berdasarkan kebiasaan Gereja yang terhormat, dihayati dengan sungguh-sungguh. Tetapi hendaklah diusahakan juga, supaya pembinaan rohani jangan hanya ditaruh pada latihanlatihan itu atau melulu mengembangkan perasaan-perasaan religius. Lebih pentinglah, makin bertambah teguh dalam iman, harapan dan cinta kasih, supaya dalam mengamalkannya mereka memperoleh semangat doa[16], peneguhan serta perlindungan bagi panggilan mereka, kekuatan bagi keutamaan-keutamaanlain, dan supaya makin bertumbuhlah semangat mereka untuk memperoleh semua orang bagi Kristus. 9. (Belajar membaktikan diri dalam Gereja) Hendaknya para seminaris diresapi oleh misteri Gereja seperti diuraikan terutama oleh Konsili suci ini sedemikian rupa, sehingga mereka merasa terikat oleh cinta kasih penuh kerendahan hati terhadap Wakil Kristus yang mereka anggap bapa, sekali ditahbiskan imam berpaut kepada Uskup mereka sebagai rekan-rekan kerja yang setia, bekerja sama dengan teman-teman seimamat, dan dengan demikian memberi kesaksian akan kesatuan, yang menarik semua orang kepada Kristus[17]. Hendaknya mereka dengan hati yang lapang belajar berperanserta dalam kehidupan Gereja semesta, menurut pesan S. Agustinus: “sejauh orang mencintai Gereja Kristus, sejauh itu pulalah roh Kudus diam dihatinya”[18]. Hendaklah para seminaris jelas-jelas menyadaribahwa mereka tidak dimaksudkan untuk dikemudian hari berkuasa dan dihormati, melainkan untuk membaktikan diri sepenuhnya dalam pengabdian kepada Allah dan dalam pelayanan pastoral. Secara istimewa hendaknya mereka dibina dalam ketaatan sebagai imam, dalam semangat hidup miskin, dan dalam semangat ingkar diri sedemikian rupa[19], sehingga mereka langsung bersedia melepaskan apa saja yang sebenarnya dibolehkan, tetapi tidak ada faedahnya, dan membiasakan diri menyerupai kristus yang disalibkan. Hendaknya para seminaris diberitahu tentang beban tugas-tugas yang akan mereka terima, tanpa ada kesulitan hidup imamat yang didiamkan saja. Tetapi hendaklah mereka jangan mengkhawatirkan adanya bahaya melulu dalam jerih payah mereka dikemudian hari, melainkan lebih baik mereka dibina untuk sedapat mungkin meneguhkan hidup rohani mereka justru melalui kegiatan pastoral mereka.

15

Lih. PIUS Xii, Ensiklik Mediator Dei, tgl. 20 November 1947: AAS 39 (1947) hlm. 547 dan selanjutnya, dan 572 dan selanjutnya. – YOHANES XXIII, Anjuran apostolik Sacrae Laudis, tgl. 6 Januari 1962: AAS 54 (1962) hlm. 69. – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 16 dan 17. – KONGREGASI IBADAT, Instructio ad axecutionem Constitutionis de Sacra Liturgia recte ordinandam (Instruksi untuk mengatur pelaksanaan Konstitusi tentang Liturgi), tgl. 26 September 1964, no. 14-17: AAS 56 (1964) hlm. 880 dan selanjutnya. 16 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii Nostri primordia: AAS (1959) hlm. 550 dan selanjutnya. 17 KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 28. 18 S. AGUSTINUS, Komentar pada Injil Yohanes 32,8: PL 35, 1646. 19 Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, AAS 42 (1950) hlm. 662 dan selanjutnya, 685, 690. – YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii Nostri primordia: AAS 51 (1959) hlm. 551-553; 556 dan selanjutnya. – PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, Tgl 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 634 dan selanjutnya. – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, terutama art. 8.

10. (Belajar menghayati selibat imam) para seminaris, yang menurut ketetapan-ketetapan ritue mereka yang suci dan sudah membaku menganut tradisi terhormat selibat imam, hendaknya dengan tekun dibimbing untuk menghayati status itu. Disitulah mereka merelakan persekutuan suami-isteri demi Kerajaan sorga (bdk. Mat 19:12), menyerahkan diri kepada Tuhan dengan kasih tak terbagi[20] yang sangat sesuai dengan Perjanjian Baru, memberi kesaksian akan kebangkitan di masa mendatang (bdk. Luk 20:36)[21], dan menerima bantuan yang sungguh mencukupi untuk terus menerus mengamalkan cinta kasih sempurna, yang memungkinakan mereka menjadi segalanya bagi semua orang dalam pelayanan imam[22]. Hendaknya para seminaris menyadari secara mendalam, betapa penuh syukur status itu harus diterima, bukan melulu karena diwajibkan oleh Hukum Gereja, melainkan sebagai Kurnia Allah yang amat berharga, yang perlu dimohon dengan rendah hati, dan berkat rahmat Roh Kudus yang memabngkitkan serta menyertainya mereka tanggapi segera, dengan kerelaan dan kebesaran hati.. Hendaknya para seminaris memahami semestinya tugas-kewajiban serta martabat perkawinan kristen, yang menghadirkan cinta kasih antara Kristus dan Gereja (lih. Ef 5:32 dsl.). Hendaklah mereka menyadari keluhuran keperawanan yang dikuduskan kepada Kristus[23], sehingga atas pilihan sendiri yang dipertimbangkan mask-masak dan dengan hati yang penuh-penuh bersedia, mereka membaktikan diri kepada Tuhan dengan penyerahan jiwa-raga seutuhnya. Hendaknya mereka diperingatkan terhadap bahaya-bahaya, yang terutama dimasyarakat zaman sekarang mengancam kemurnian mereka[24]. Dibantu oleh upaya-upaya pelindung yang cocok, baik ilahi maupun manusiawi, hendaknya mereka belajar mengintegrasikan pengorbanan hidup perkawinan sedemikian rupa, sehinggahidup maupun kegiatan mereka bukan saja tidak dirugikan oleh selibat, melainkan mereka justru mencapai pengendalian jiwa raga yang lebih mendalam serta kemajuan kedewasaan yang semakin penuh, dan lebih sempurna menikmati kebahagiaan Injil. 11. (Menuju kedewasaan pribadi) Hendaknya asas-asas pendidikan kristen dipatuhidengan saksama, serta dengan cermat dilengkapi dengan penemuan-penemuan mutakhir psikologi dan pedagogi yang sehat. Melalui sistem pendidikan yang disusun dengan bijaksana dalam diri para seminaris perlu ditumbuhkan juga kedewasaan kepribadian yang semestinya, yang terutama ternyata dalam sifat kejiwaan yang stabil, dalam kemampuan mengambil keputusan yang dipertimbangkan, dan dalam cara menilai peristiwaperistiwa serta orang-orang dengan saksama. Hendaklah para seminaris membiasakan diri untuk mengatur sifat perangai mereka. Hendaknya mereka dibina untuk mencapai keteguhan jiwa, dan pada umumnya belajar menghargai keutamaan-keutamaan, yang dijunjung tinggi oleh orang-orang, serta menimbulkan penghargaan terhadap pelayan Kristus[25], misalnya: kejujuran, usaha tiada hentinya demi keadilan, kesetiaan terhadap janji-janji, sopan-santun dalam perilaku, kesederhanaan dalam berbicara yang disertai cinta kasih. Tata-tertib kehidupan di Seminari hendaklah dipandang bukan hanya sebagai pelindung yang tangguh bagi hidup bersama dan cinta kasih, melainkan sebagai 20

Lih. PIUS XII, Ensiklik Sacra Virginitas, tgl. 25 Maret 1954: AAS 46 (1954) hlm. 165 dan selanjutnya. Lih. S. SIPRIANUS, De habitu virginum (tentang sikap para perawan), 22: PL 4,475. – S. AMBROSIUS, De virginibus (tentang para perawan) I,8,52: PL 16,202 dan selanjutnya. 22 Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae: AAS 42 (1950), hlm. 663. 23 Lih. PIUS XII, Ensiklik Sacra Virginitas: AAS 46 (1954)hlm. 170-174. 24 Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae: AAS 42 (1950) hlm. 663. 25 Lih. PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum, tgl. 4 November 1963: AAS 55 (1963) hlm. 991. 21

bagian yang perlu dalam seluruh pendidikan untuk menacapai penguasaan diri, mendukung pendewasaan pribadi yang mantap, dan membentuk disposisi-disposisi jiwa lainnya, yang sangat membantu keserasian dan kesuburan kegiatan Gereja. Tata-tertib itu hendaknya dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga terbentuklah disposisi batin para seminaris untuk menerima kewibawaan para pemimpin berdasarkan keyakinan pribadi atau suara hati (lih. Rom 13:5) serta alasan-alasan adikodrati. Peraturan-peraturan tata-tertib hendaknya diterapkan sesuai dengan umur para seminaris, sehingga mereka sendiri, membiasakan diri untuk menggunakan kebebasan dengan bijaksana, bertindak secara sukarela dan penuh semangat[26], pun juga bekerja sama dengan rekan-rekan sepanggilan dan kaum awam. Seluruh corak hidup di Seminari, yang diliputi semangat kesalehan dan keheningan serta ditandai rasa terdorong untuk saling membantu, hendaklah diatur sedemikian rupa, sehingga sudah merupakan suatu permulaan kehidupan iman dikemudian hari. 12. (Waktu untuk pembinaan rohani yang lebih intensif; masa pembinaan pastoral) Supaya dasar pembinaan rohani makin bertambah mantap, dan para seminaris menekuni panggilan mereka berdasarkan pilihan yang dipertimbangkan masakmasak, termasuk kewenangan para Uskuplah menetapkan waktu tertentu bagi pembinaan rohani yang lebih intensif. Termasuk wewenang mereka pula mempertimbangkan kegunaan waktu terluang dalam proses studi, atau masa pembinaan patoral yang memadai, supaya para calon imam dapat diuji secara lebih saksama. Begitu pula, sesuai dengan situasi masing-masing daerah, termasuk wewenang para Uskup mengambil keputusan tentang pengunduran saat yang sekarang ini ditetapkan oleh Hukum Kanonik umum untuk pentahbisan; begitu pula mempertimbangkan adanya kesempatan, supaya para seminaris, seusai studi teologi, melaksanakan diakonat mereka untuk jangka waktu yang mencukupi, sebelum menerima Tahbisan imam.

V. PENINJAUAN KEMBALI STUDI GEREJAWI 13. (Studi persiapan untuk studi gerejawi) Sebelum memulai studi gerejawi yang sesungguhnya, hendaknya para seminaris dibekali dengan pendidikan humaniora dan ilmiah, yang memungkinkan kaum muda menempuh studi tingkat tinggi dalam negeri. Selain itu hendaknya mereka mengetahui pengetahuan bahasa latin, yang memungkinkan mereka memahamidan memanfaatkan sekian banyak sumber ilmu dan dokumen-dokumen Gereja[27]. Hendaklah dipandang perlu studi bahasa liturgi yang khas bagi masing-masing ritus, pun hendaknya sangat dianjurkan pengetahuan bahasa-bahasa Kitab suci dan tradisi. 14. (Studi gerejawi hendaknya lebih diserasikan) Dalam meninjau kembali studi gerejawi hendaknya yang terutama mau dicapai ialah: supaya vak-vak filsafat dan teologi disusun secara lebih serasi, dan semuanya berpadu secara laras untuk makin menyingkapkan kepada para seminaris Misteri 26 27

Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae: AAS 42 (1950) hlm. 686. Lih. PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum: AAS 55 (1963) hlm. 993.

Kristus. Misteri itu menyangkut seluruh sejarah umat manusia, tiada hentinya meresapi Gereja, dan terutama berkarya melalui pelayanan imam[28]. Supaya pandangan itu sejak awal pembinaan tersalurkan kepada para seminaris, hendaknya studi gerejawi dimulai dengan kursus pengantar dalam jangka waktu secukupnya. Pada awal studi itu Misteri Keselamatan hendaknya diuraikan sedemikian rupa, sehingga para seminaris memahami makna, tata-susunan maupun tujuan pastoral studi gerejawi, pun sekaligus dibantu untuk mendasari dan merasuki seluruh hidup mereka dengan iman, serta diteguhkan dalam menghayati panggilan mereka dengan penyerahan diri dan hati gembira. 15. (Peninjauan kembali studi filsafat) Vak-vak filsafat hendaknya diajarkan sedemikian rupa, sehingga para seminaris pertama-tama diantar untuk mendapat pengertian yang mantap dan koheren tentang manusia, dunia dan Allah, bertumpu pada pusaka filsafat yang tetap berlaku[29]. Sementara itu perlu diindahkan pula penyelidikan-penyelidikan filsafat yang aktual, terutama yang berpengaruh cukup besar dikalangan bangsa mereka sendiri begitu juga kemajuan mutakhir ilmu-pengetahuan. Demikianlah para seminaris akan menangkap dengan cermat mentalitas zaman sekarang, dan menjalani persiapan yang bermanfaat untuk menjalin dialog dengan orang-orang semasa[30]. Sejarah filsafat hendaknyadiajarkan sedemikian rupa, sehingga para seminaris menyelami asas-asas terdalam pelbagai sistem, mempertahan apa yang disitu terbukti benar, mampu menyingkapkan akar-akar anggapan-anggapan yang sesat serta menyanggahnya. Cara mengajar sendiri hendaklah membangkitkan pada diri murid cinta akan kebenaran, yang harus dicari, dikaji dan dibuktikan melulu menurut kenyataan, sementara bats-batas pengetahuan manusiawi diakui dengan jujur. Hendaknya diperhatikan dengan saksama kaitan yang erat antara filsafat dan masalah-masalah kehidupan yang nyata, begitu pula soal-soal yang sedang menangasyikkan pemikiran para seminaris. Mereka sendiri pun hendaknya ditolong untuk memahami hubungan-hubungan antara penalaran-penalaran filsafat dan misterimisteri keselamatan, yang dalam teologi ditelaah dalam terang iman yang lebih luhur. 16. (peningkatan studi teologi) Hendaknya vak-vak teologi diajarkan dalam cahaya iman, di bawah bimbingan Magisterium Gereja[31] sedemikian rupa, sehingga para seminaris dengan saksama menimba ajaran katolik dari perwahyuan ilahi, menyelaminya secara mendalam, menjadikannya bahan renungan untuk meningkatkan hidup mereka[32], serta mampu mewartakan, menguaraikan dan mempertahankannya dalam pelayanan dikemudian hari sebagai imam.

28

KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 7 dan 28. Lih. PIUS XII, Ensiklik Humani generis, tgl. 12 Agustus 1950: AAS 42 (1950) hlm. 571-575. 30 Lih. PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 637 dan selanjutnya. 31 Lih. PIUS XII, Ensiklik Humani generis, tgl. 12 Agustus 1950: AAS 42 (1950) hlm. 567-569. – Amanat Si diligis, tgl. 31 Mei 1954: AAS 46 (1954) hlm. 314 dan selanjutnya. – PAULUS VI, Amanat di Universitas Kepausan Gregoriana, tgl. 12 maret 1964: AAS 56 (1964) hlm. 364 dan selanjutnya. – KONSUILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 25. 32 Lih. S. BONAVENTURA, Itinerarium mentis in Deum (perjalanan jiwa menuju Allah), pembukaan, no. 4: “Janganlah seorangpun percaya, seakan-akan baginya sudah cukuplah bacaan tanpa pengurapan, permenungan tanpa sikap bakti, penyelidikan tanpa rasa kagum, sikap hati-hati tanpa kegembiraan, ketekunan tanpa kesalehan, pengetahuan tanpa cinta kasih, pemahaman tanpa kerendahan hati, usaha tanpa rahmat ilahi, terang tanpa kebijaksanaan yang diilhami oleh Allah”, Opera Omnia, V, Quaracchi 1891, hlm. 296. 29

Hendaklah para seminaris diajak dengan sungguh tekun mempelajari Kitab suci, yang bagaikan harus menjiwai seluruh teolog[33]. Sesudah mendapat pengantar secukupnya, hendaknya mereka dengan cermat diperkenalkan dengan metode menafsirkan Kitab suci. Hendaklah mereka mendalami tema-tema perwahyuan ilahi yang paling mendasar, dan dalam membaca serta merenungkan Kitab suci setiap hari mengalami, betapa hidup rohani mereka didorong dan diperkaya[34]. Hendaknya teologi dogmatik diuraikan secara terencana, dimulai dengan penyajian tema-tema kitabiah. Hendaklah dipaparkan kepada para seminaris apa saja yang disumbangkan oleh para Bapa Gereja Timur maupun Barat, untuk dengan setia menyalurkan dan mengulas kebenaran-kebenaran Wahyu secara rinci; begitu pula sejarah dogma selanjutnya, seraya diperhatikan hubungannya dengan sejarah umum Gereja[35]. Kemudian, untuk seutuhnya mungkin membahas misteri-misteri keselamatan, hendaklah para seminaris belajar menyelaminya secara makin mendalam melalui refleksi teologis berpaduan S. Tomas, serta memahami antar hubungannya[36]. Hendaknya mereka diajar menyadari, bahwa misteri-misteri itu senantiasa hadir dan berkarya dalam upacara-upacara Liturgi[37] dan dalam seluruh hidup Gereja. Begitu pula hendaklah mereka belajar memecahkan soal-soal manusiawi dalam terang Wahyu, menerapkan kebenaran-kebenarannya yang kekal pada situasi manusiawi yang silih-berganti, dan mewartakannya kepada sesama semasa dengan cara yang sesuai[38]. Demikian pula hendaklah vak-vak teologi lainnya diperbaharui melalui kontak yang lebih hidup dengan Misteri Kristus dan sejarah keselamatan. Secara khas hendaklah diusahakan penyempurnaan teologi moral. Hendaknya itu diuraikan secara ilmiah, lebih mengacu kepada ajaran Kitab suci, sehingga sungguh menjelaskan keluhuran panggilan umat beriman dalam Kristus serta kewajiban mereka untuk demi kehidupan dunia menghasilkan buah dalam cinta kasih. Begitu pula dalam penjelasan tentang Hukum Kanonik dan penyampaian sejarah gereja hendaknya diperhatikan hubungan dengan Misteri gereja, menurut Konstitusi dogmatis tentang Gereja, yang telah dimaklumkan oleh Konsili ini. Liturgi suci harus dipandang sebagai sumber utama yang sungguh perlu bagi semangat kristen yang sejati, dan diajarkan seturut maksud Konstitusi tentang Liturgi, artikel 15 dan 16[39]. Sementara dipertimbangkan situasi perlbagai daerah yang serba aneka, hendaknya para seminaris diajak makin mengenal Gereja-Gereja dan Jemaat-jemaat gerejawi yang terpisah dari Takhta Apostolik di Roma, supaya mereka mampu 33

Lih. LEO XIII, Ensiklik Providentissimus Deus, tgl. 18 November 1893: AAS 26 (1893-94) hlm. 283. Lih. KOMISI KITAB SUCI, Instructio de Sacra Scriptura recte docenda, tgl. 13 Mei 1950: AAS 42 (1950) hlm. 502. 35 Lih. PIUS XII, Ensiklik Humani generis, tgl. 12 Agustus 1950: AAS 42 (1950) hlm. 568 dan selanjutnya: “… karena sumber-sumber kudus dipelajari, ilmu -ilmu selalu mengalami peremajaan. Sebaliknya penalaran, yang mengabaikan penyelidikan perbendaharaan iman yang lebih mendalam menurut pengalaman menjadi mandul”. 36 Lih. PIUS XII, Amanat kepada para Seminaris, tgl. 24 Juni 1939: AAS 31 (1939) hlm. 247: “Dengan menganjurkan ajaran S. Tomas gairah … untuk mencari dan menyiarkan kebenaran tidak dikekang, melainkan justru dibangkitkan dan dituntun dengan aman”. – PAULUS VI, Amanat di Universitas Gregoriana, tgl. 12 Maret 1964: AAS 56 (1964) hlm. 365: “Hendaknya (para dosen) … penuh hormat mendengarkan suara para Pujangga Gereja, antara lain Tomas Akuino yang menduduki tempat utama. Sebab Pujangga bagaikan malaikat itu begitu unggul kecerdasannya, begitu tulus cintanya akan kebenaran, begitu menonjol kearifannya dalam menelusuri kebenaran-kebenaran yang terdalam, dalam menguraikannya dan memadukannya menjadi satu keutuhan yang serasi, sehingga ajarannya merupakan upaya yang efektif sekali, bukan hanya untuk melindungi dasar-dasar iman, melainkan juga untuk dengan banyak manfaat dan aman memetik buah-hasil kemajuan yang sehat”. – Lih. Juga Amanat pada Kongres Internasional tentang Tomisme ke VI, tgl. 10 September 1965. 37 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 7 dan 16. 38 Lih. PAULUS VI, Ensiklik Ecclesian suam, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 640 dan selanjutnya. 39 KONSILI VATIKAN II, konstitusi tentang Liturgi, art. 10, 14, 15, 16. – KONGREGASI IBADAT, Instructio ad excecutionem Constitutionis de Sacra Liturgi recte ordinandam, tgl. 26 September 1964, no. 11 dan 12: aas 56 (1964) hlm. 879 dan selanjutnya. 34

menyumbangkan jasa mereka demi semakin tercapainya pemulihan kesatuan antara semua orang kristen menurut ketetapan-ketetapan Konsili ini [40]. Begitu pula hendaknya para seminaris diajak makin memahami agama-agama lain, yang cukup tersebar dimasing-masing daerah, supaya mereka lebih mengenali kebaikan serta kebenaran, yang berkat penyelenggaraan Allah terdapat pada agamaagama itu, belajar menyanggah kesesatan-kesesatan, dan dapat menyalurkan kepenuhan cahaya kebenaran kepada mereka yang belum menikmatinya. 17. (Metode pendidikan yang cocok dalam pelbagai vak) Pendidikan intelektual janganlah melulu bertujuan menyampaikan pengetahuanpengetahuan saja, melainkan hendaknya diarahkan kepada pembinaan pada seminaris yang sejati dan mendalam. Oleh karena itu hendaknya metode-metode pendidikan ditinjau kembali, baik mengenai kuliah-kuliah, wawancara dan latihanlatihan, maupun mengenai cara menggairahkan studi para seminaris, baik pribadi maupun dalam kelompok-kelompok kecil. Hendaknya sungguh-sungguh diusahakan kesatuan dan mutu seluruh pendidikan, dengan menghindari jumlah terlampau besar vak-vak maupun kuliah-kuliah, dan mengesampingkan masalahmasalah, yang praktis tidak relevan lagi, atau yang termasuk studi akademis lebih tinggi. 18. (Studi khusus bagi mereka yang berbakat tinggi) Termasuk tugas para Uskup mengusahakan, supaya orang-orang muda, yang menilik sifat-perangai, keutamaan serta tingkat kecerdasan mereka memang cocok, diutus ke lembaga-lembaga, fakultas-fakultas atau universitas-universitas, agar diberbagai bidang teologi dan dalam ilmu pengetahuan lainnya yang dipandang sungguh berguna, disiapkan imam-imam yang dengan menempuh pendidikan ilmiah yang lebih mendalam mampu memenuhi pelbagai kebutuhan kerasulan. Tetapi hendaklah pembinaan rohani dan pastoral mereka, terutama sebelum tahbisan imam, jangan diabaikan.

IV. PEMBINAAN PASTORAL 19. (pembinaan dalam pelbagai bentuk reksa pastoral) Keprihatinan pastoral mendalam, yang harus merasuki seluruh pendidikan para seminaris[41], meminta juga supaya mereka dibina dengan tekun dalam segala sesuatu, yang secara khs menyangkut pelayanan imam, terutama katekese dan pewartaan, ibadat Liturgi dan pelayanan Sakramen-Sakramen, karya cinta kasih, tugas menhadapi mereka yang sesat dan tidak percaya, dan tugas-tugas pastoral lainnya. Hendaknya mereka dididik dengan saksama untuk memberi bimbingan rohani, supaya mereka mampu membina semua putera-puteri Gereja terutama 40 41

Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Ekumenisme, art. 1, 9, 10. Citra gembala yang sempurna dapat dijabarkan dalam dokumen-dokumen para apus terakhir, yang secara eksplisit membahas kehidupan, sifat-perangai, pembinaan imam; terutama : S. PIUS X, Anjuran kepada klerus Haerent animo: S. pii X Acta IV, hlm. 327 dan selanjutnya. – PIUS XI, Ensiklik Ad catholici Sacerdotii: AAS 28 (1936) hlm. 5 dan selanjutnya. – PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae: AAS 42 (1950) hlm. 657 dan selanjutnya. – YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotti Nostri primordia: AAS 51 (1959) hlm. 545 dan selanjutnya. – PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum: AAS 55 (1963) hlm. 979 dan selanjutnya. – Tentang pembinaan pastoral banyak pula ditemukan dalam Ensiklik Mystici Corporis (1943), Mediator Dei (1947), Evangelii Praecones (1951), Sacra Virginitas (1954), Musicae Sacrae Disciplina (1955), Princeps Pastorum (1959), dan Konstitusi apostolik Sedes Sapientiae (1956) untuk para religius. – PIUS XII, YOHANES XXIII dan PAULUS VI dalam amanat-amanat mereka kepada para seminaris dan imam-imam sering pula melukiskan citra gembala yang baik.

untuk penuh kesadaran menghayati hidup kristen berjiwakan kerasulan, dan untuk menunaikan kewajiban-kewajiban status hidup mereka. Hendaknya para seminaris belajar dengan perhatian sebesar itu juga membantu para religius pria maupun wanita, supaya mereka tetap hidup dalam rahmat panggilan mereka, dan berkembang menurut spiritualitas pelbagai Tarekat mereka[42]. Pada umumnya hendaknya dalam diri seminaris dikembangkan kecakapankecakapan yang diperlukan untuk berdialog dengan sesama, misalnya: kemampuan untuk mendengarkan orang lain, dan untuk dalam semangat cinta kasih membuka hati bagi bermacam-macam segi kebutuhan manusia[43]. 20. (Pembinaan untuk mengembangkan kerasulan) Hendaknya para seminaris juga diajar memanfaatkan sumbangan yang dapat diberikan oleh ilmu-ilmu pedagogi, psikologi dan sosiologi[44], menganut metodemetode yang tepat dan norma-norma Pimpinan Gereja. Begitu pula hendaklah mereka disiapkan dengan cermat untuk membangkitakan dan menggairahkan kerasulan awam[45], begitu pula untuk mengembangkan aneka bentuk kerasulan yang lebih efektif. Hendaknya mereka diresapi semangat katolik yang sejati, sehingga mereka membiasakan diri untuk melampaui batas-batas keuskupan, bangsa maupun ritus, dan membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan seluruh Gereja, dengan hati yang siap-sedia untuk dimana-mana mewartakan Injil[46]. 21. (Melatih diri melalui praktek pastoral) Memang perlulah para seminaris tidak hanya secara teoritis mempelajari cara merasul, melainkan melatihnya juga secar praktis, dan mampu bertindak atas tanggung jawab sendiri serta bekerja sama. Oleh karena itu sejak mereka menempuh studi, juga pada waktu liburan, hendaknya mereka diajak menjalani praktek pastoral melalui latihan-latihan yang tepat guna. Latihan-latihan itu harus dijalankan dengan mengindahkan umur para seminaris dan situasi setempat, menurut kebijakan para Uskup, secara metodis, dan dibawah bimbingan mereka yang mahir dibidang pastoral. Sementara itu hendaknya tetap disadari, bahwa upaya-upaya adikodrati masih lebih diperlukan lagi[47].

VII. PEMBINAAN SEUSAI MASA STUDI 22. Terutama mengingat situasi masyarakat akhir-akhir ini, pembinaan imam juga seusai kurikulum studi di Seminari masih perlu dilanjutkan dan disempurnakan[48].

42

Tentang pentingnya status hidup, yang didasarkan pada pengikraran nasehat-nasehat Injil: Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, bab VI; Dkerit tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius. 43 Lih. PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam Suam, tagl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) seringkali, terutama hlm. 635 dan selanjutnya, dan 640 dan selanjutnya. 44 Lih. terutama YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 401 dan selanjutnya. 45 Lih. terutama KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 33. 46 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 17. 47 Banyak sekali dokumen para Paus, yang mengingatkan akan bahaya mengabaikan tujuan adikodrati dalam kegiatan pastoral, serta setidak-tidaknya secara praktis meremehkan bantuan-bantuan adikodrati. Lih. terutama dokumen-dokumen yang tercantum dalam catatan kaki 41. 48 Dokumen-dokumen Takhta suci akhir-akhir ini mendesak, supaya para imam-imam baru diperhatikan secara istimewa. Terutama baiklah disebut: PIUS XII, Motu Proprio Quandoquidem, tgl. 2 April 1949: AAS 41 (1949) hlm. 165-167; Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950); Konstitusi apostolik (untuk para religius) Sedes Sapientiae, tgl 31 Mei 1956, dan Ktetapan-ketetapan umum yang dilampirkan; Amanat

Maka termasuk wewenang Konferensi uskup, untuk disetiap negara mengerahkan upaya-upaya yang cukup berfaedah, misalnya lembaga-lembaga pastoral yang bekerja sama dengan paroki-paroki tertentu yang dipilih dengan saksama, pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan secara berkala, dan latihan-latihan yang sesuai. Hendaknya dengan upaya-upaya itu klerus angkatan muda lambatlaun diajak menghayati imamat serta kegiatan merasul dalam dimensinya rohani, intelektul serta pastoral, dan dengan demikian makin mampu membaharui dan mengembangkannya. PENUTUP

Untuk meneruskan karya yang telah dimulai oleh Konsili Trento, para Bapa Konsili ini, - sambil penuh kepercayaan menyerahkan kepada para pembina dan para dosen di Seminari-seminari tugas untuk mendidik para calon imam Kristus dalam semangat pembaharuan yang didukung oleh Konsili ini, - dengan sangat mendorong mereka, yang menyiapkan diri untuk pelayanan imam, supaya mereka sungguh menyadari, bahwa merekalah yang menjadi tumpuan harapan gereja serta keselamatan sesama. Semoga mereka dengan rela hati menyambut pedoman-pedoman yang tercantum dalam Dekrit ini, dan memperbuahkan hasil yang lestari dan berlimpah-limpah.

Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada Kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah.

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 28 bulan Oktober tahun 1965. Saya PAULUS Uskup Gereja katolik

(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)

kepada para imam pada Pertemuan di Barcelona, tgl. 14 Juni 1957: Discorsi e Radiomesagi, XIX, hlm. 271-273. – PAULUS VI, Amanat kepada para imam tarekat Gian Matteo Giberti di keuskupan Verona, tgl. 13 Maret 1964.

PAULUS USKUP

HAMBA PARA HAMBA ALLAH BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI DEMI KENANGAN ABADI

PERNYATAAN TENTANG PENDIDIKAN KRISTEN

PENDAHULUAN

Konsili Ekumenis ini penuh perhatian mempertimbangkan SANGAT PENTINGNYA PENDIDIKAN dalam hidup manusia, serta dampak pengaruhnya yang makin besar atas perkembangan masyrakat zaman sekarang[1]. Memang benarlah, pendidikan kaum muda, bahkan juga semacam pembinaan terus-menerus kaum dewasa, dalam situasi zaman sekarang menjadi lebih mudah, tetapi sekaligus juga lebih mendesak. Sebab orang-orang makin menyadari martabat maupun kewajiban mereka sendiri, dan ingin berperan serta makin aktif dalam kehidupan sosial, terutama dibidang ekonomi dan politik[2]. Kemajuan-kemajuan yang mengagumkan di bidang teknologi dan penelitian ilmiah, begitu pula upaya-upaya komunikasi sosial yang baru, membuka peluang bagi khalayak ramai, yang acap kali mempunyai lebih banyak waktu bebas dari kesibukankesibukan, untuk dengan lebih mudah memanfaatkan harta warisan rohani dan budaya, dan untuk saling memperkaya melalui jaringan hubungan antar kelompok maupun antar bangsa yang lebih erat. Oleh karena itu dimana-mana berlangsunglah usaha-usaha untuk makin meningkatkan mutu karya pendidikan. Hak-hak asasi manusia, khususnya anak-anak serta orang tua, atas pendidikan dinyatakan dan dikukuhkan dengan dokumen-dokumen resmi[3]. Menanggapi pesatnya laju pertambahan jumlah para siswa, dimana-mana sekolah-sekolah berlipatganda dan meningkat mutu, serta diciptakan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Metode-metode pendidikan dan pengajaran dikembangkan melalui eksperimen-eksperimen baru. Usaha-usaha yang sangat berarti dijalankan untuk menyediakan segalanya bagi semua orang, sungguhpun anak-anak dan kaum muda masih banyak sekali, dan bahkan belum mendapat pendidikan dasar pun, dan masih sekian banyak orang lainnya belum menikmati pendidikan yang memadai, dan sekaligus memungkinkan usaha mencari kebenaran serta mengembangkan cinta kasih. Adapun untuk melaksanakan perintah Pendirinya yang ilahi, yakni mewartakan misteri keselamatan kepada semua orang yang membaharui segalanya dalam Kristus, Bunda Gereja yang kudus, wajib memelihara perihidup manusia seutuhnya, juga didunia ini, sejauh berhubungan 1

2

3

Di antara sekian banyak dokumen yang menguraikan pentingnya pendidikan, lihat terutama: BENEDIKTUS XV, Surat apostolik Communes litteras, tgl. 10 April 1919: AAS 11 (1919) hlm. 172. – PIUS XI, Ensiklik Divini illius Magistri, tgl. 31 Desember 1929: AAS 22 (1930) hlm. 49-86. – PIUS XII, Amanat kepada kaum muda ACI (Aksi Katolik Italia), tgl. 20 April 1946: Discorsi e Radiomessagi 8, hlm. 53-57. – IDEM, Amanat kepada para bapak keluarga dari perancis, tgl. 18 September 1951: Discorsi e Radiomessagi 13hlm. 241-245. – YOHANES XXIII, Amanat pada Ulang Tahun ke-30 Ensiklik Divini illius Magistri, tgl. 30 Desember 1959: AAS 52 (1960) hlm. 57-59. – Paulus VI, Amanat kepada para anggota Federasi Lembaga-lembaga yang Tergantung pada Pimpinan Gereja (Federazione Instituti Dipendenti dall’Autorita Ecclesiastica), tgl. 30 Desember 1963: Encicliche e Discorsi di S. S. paolo VI, I, Roma 1964, hlm. 601-603. – Lihat juga Acta et Documenta Concilio Oecumenico Vaticano II apparando, seri I, Antepraeparatoria, jilid III, hlm. 363-364, 370-371, 373-374. Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 413, 415-417, 424. – IDEM, Ensiklik Pacem in terris, tgl. 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 278 dan selanjutnya. Lih. “Deklarasi tentang Hak-Hak Manusia”, yang disahkan oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tgl. 10 Desember 1948. – Bdk. “Deklarasi tentang Hak-Hak Anak”, tgl. 20 November 1959. – protocole additionel a la convention de sauvegarde des droits de I’homme et des libertes fondamentale (Pratokol tambahan pada persetujuan untuk menjamin hak-hak manusia serta kebebasan-kebebasan dasar), Paris, tgl. 20 Maret 1952. – Mengenai “Deklarasi tentang Hak-Hak Manusia”, lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, tgl. 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 295 dan selanjutnya.

dengan panggilan sorgawinya[4]. Maka Gereja berperan serta dalam pengembangan dan perluasan pendidikan. Oleh sebab itu Konsili suci menetapkan berbagai prinsip dasar tentang pendidikan kristen, khususnya disekolah-sekolah. Prinsip-prinsip itu masih perlu dijabarkan oleh panitia khusus sesudah Konsili, dan diterapkan pada pelbagai situasi daerah-derah oleh Konferensi-Konferensi para uskup. 1. (Hak semua orang atas pendidikan) Semua orang dari suku, kondisi atau usia manapun juga, berdasarkan martabat mereka selaku pribadi mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat atas pendidikan[5], yang cocok dengan tujuan[6] maupun sifat-perangai mereka, mengindahkan perbedaan jenis, serasi dengan tradisitradisi kebudayaan serta para leluhur, sekaligus juga terbuka bagi persekutuan persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain, untuk menumbuhkan kesatuan dan damai yang sejati di dunia. Tujuan pendidikan dalam arti sesungguhnya ialah: mencapai pembinaan pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, mengingat bahwa manusia termasuk anggotanya, dan bila sudah dewasa ikut berperan menunaikan tugas kewajibannya. Maka dengan memanfaatkan kemajuan ilmu-pengetahuan psikologi, pedagogi dan didaktik, perlulah anak-anak dan kaum remaja dibantu untuk menumbuhkan secara laas-serasi bakatpembawaan fisik, moral dan intelektual mereka. Dengan demikian mereka setapak demi setapak akan mencapai kesadaran bertanggungjawab yang kian penuh, dan kesadaran itu akan tampil dalam usaha terus menerus untuk dengan saksama mengembangkan hidup mereka sendiri. Sambil mengatasi hambatan-hambatan dengan kebesaran jiwa dan ketabahan hati, mereka akan mencapai kebebasan yang sejati. Hendaklah seiring dengan bertambahnya umur mereka menerima pendidikan seksualitas yang bijaksana. Kecuali itu hendaknya mereka dibina untuk melibatkan diri dalam kehidupan sosial sedemikian rupa, sehingga dibekali upaya-upaya seperlunya yang sungguh menunjang, mereka mampu berintegrasi secara aktif dalam pelbagai kelompok rukun manusiawi, makin terbuka berkat pertukaran pandangan dengan saksama, dan dengan sukarela ikut mengusahakan peningkatan kesejahteraan umum. Begitu pula Konsili suci menyatakan, bahwa anak-anak dan kaum remaja berhak didukung, untuk belajar menghargai dengan suara hati yang lurus nuilai-nilai moral, serta dengan tulus menghayatinya secara pribadi, pun juga untuk makin sempurna mengenal serta mengasihi Allah. Maka dengan sangat Konsili meminta, supaya siapa saja yang menjabat kepemimpinan atas bangsa-bangsa atau berwewenang dibidang pendidikan, mengusahakan supaya jangan sampai generasi muda tidak terpenuhi haknya yang asasi itu. Konsili menganjurkan, supaya putera-puteri Gereja dengan jiwa yang besar menyumbangkan jerih-payah mereka diseluruh bidang pendidikan, terutama dengan maksud, agar buah hasil pendidikan dan pengajaran sebagaimana mestinya selekas mungkin terjangkau oleh siapa pun diseluruh dunia[7]. 2. (Pendidikan kristen) Berkat kelahiran kembali dari air dan Roh Kudus umat kristen telah menjadi ciptaan baru[8], serta disebut dan memang menjadi putera-puteri Allah. Maka semua orang kristen berhak menerima pendidikan kristen. Pendidikan itu tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi manusia seperti telah diuraikan, melainkan terutama hendak mencapai, supaya mereka yang telah dibabtis langkah demi langkah makin mendalami misteri keselamatan, dan dari hari ke hari makin menyadari kurnia iman yang telah mereka terima; supaya mereka belajar bersujud kepada Allah Bapa dalam Roh dan kebenaran (lih. Yoh 4:23), teutama dalam perayaan Liturgi; supaya mereka dibina untuk mengahayati hidup mereka sebagai manusia baru dalam kebenaran dan kekudusan yang sejati (Ef 4:22-24); supaya dengan demikian mereka mencapai kedewasaan penuh, serta tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (lih. Ef 4:13), dan ikut serta mengusahakan pertumbuhan Tubuh Mistik. Kecuali itu hendaklah umat beriman menyadari panggilan mereka, dan melatih diri untuk memberi kesaksian tentang harapan yang ada dalam diri mereka (lih. 1Ptr 3:15) serta 4

Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 402. – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 17. 5 PIUS XII, Amanat radio tgl. 24 Desember 1942: AAS 35 (1943) hlm. 12, 19. – YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, tgl. 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 259 dan selanjutnya. Bdk. “Deklarasi tentang Hak-Hak Manusia”, yang telah dikutip. 6 Lih. PIUS XI, Ensiklik Divini illius Magistri, tgl. 31 Desember 1929: AAS 22 (1930) hlm. 50 dan selanjutnya. 7 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 441 dan selanjutnya. 8 Lih. PIUS XI, Ensiklik Divini illius Magistri: AAS 22 (1930) hlm. 83.

mendukung perubahan dunia menurut tata-nilai kristen. Demikianlah nilai-nilai kodrati akan ditampung dalam perspektif menyeluruh manusia yang telah ditebus oleh kristus, dan merupakan sumbangan bagi kesejahteraan segenap masyarakat[9]. Oleh karena itu Konsili ini mengingatkan kepada para Gembala jiwa-jiwa akan kewajiban mereka yang amat berat untuk mengusahakan segala sesuatu, supaya seluruh umat beriman menerima pendidikan kristen, terutama amgkatan muda yang merupakan harapan Gereja[10]. 3. (Mereka yang bertanggung jawab atas pendidikan) Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, terikat kewajiban amat berat untuk mendidik anak mereka. Maka orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama [11]. Begitu pentinglah tugas mendidik itu, sehingga bila diabaikan, sangat sukar pula dapat dilengkapi. Sebab merupakan kewajiban orang tua: menciptakan lingkungan keluarga, yang diliputi semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama sedemikian rupa, sehingga menunjang keutuhan pendidikan pribadi dan sosial anak-anak mereka. Maka keluarga itulah lingkungan pendidikan pertama keutamaan-keutamaan sosial, yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat. Adapun terutama dalam keluaraga kristen, yang diperkaya dengan rahmat serta kewajiban Sakramen Perkawinan, anak-anak sudah sejak dini harus diajar mengenal Allah serta berbakti kepada-Nya dan mengasihi sesama, seturut iman yang telah mereka terima dalam Baptis. Disitulah anak-anak menemukan pengalaman pertama masyarakat manusia yang sehat serta Gereja. Melalui keluargalah akhirnya mereka lambat-laun diajak berintegrasi dalam masyarakat manusia dan umat Allah. Maka hendaklah para orang tua menyadari, betapa pentinglah keluarga yang sungguh kristen untuk kehidupan dan kemajuan umat Allah sendiri[12]. Tugas menyelenggarakan pendidikan, yang pertama-tama menjadi tanggung jawab keluarga, memerlukan bantuan seluruh masyarakat. Oleh sebab itu, disamping hak-hak orang tua serta mereka, yang oleh orangtua diserahi peranserta tugas dalam mendidik, masyarakatpun mempunyai kewajiban-kewajiban dan hak-hak tertentu, sejauh merupakan tugas wewenangnya untuk mengatur segala-sesuatu yang diperlukan bagi kesejahteraan umum di dunia ini. Termasuk tugasnya: dengan pelbagai cara memajukan pendidikan generasi muda; misalnya: melindungi kewajiban maupun hakhak para orangtua serta pihak-pihak lain, yang memainkan peranan dalam pendidikan, dan membantu mereka: sesuai dengan prinsip subsidiaritas melengkapi karya pendidikan, bila usahausaha para orangtua dan kelompok-kelompok lain tidak memadai, tetapi dengan mengindahkan keinginan-keinginan para orangtua; kecuali itu, sejauh dibutuhkan bagi kesejahteraan umum, mendirikan sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan[13]. Akhirnya secara istimewa pendidikan termasuk tugas Gereja, bukan hanya masyarakat pun harus diakui kemampuannya menyelenggarakan pendidikan, melainkan terutama karena Gereja bertugas mewartakan jalan keselamatan pada semua orang, menyalurkan kehidupan kristus kepada umat beriman, serta tiada hendtinya penuh perhatian membantu mereka, supaya mampu meraih kepenuhan kehidupan itu[14]. Jadi bagi para putera-puteri Gereja selaku Bunda wajib menyelenggarakan pendidikan, supaya seluruh hidup mereka diresapi oleh semangat Kristus. Lagi pula Gereja menyumbangkan bantuannya kepada semua bangsa, untuk mendukung penyempurnaan pribadi manusia seutuhnya, juga demi kesejahteraan masyarakat dunia, dan demi pembangunan dunia sehingga menjadi makin manusiawi[15].

9

Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 36. Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Tugas pastoral para Uskup dalam Gereja, art. 12-14. 11 Lih. PIUS XI, Ensiklik Divini illius Magistri: AAS 22 (1930) hlm. 59 dan selanjutnya. – IDEM, Ensiklik Mit brennender Sorge, tgl. 14 Maret 1937: AAS 29 (1937)hlm. 164 dan selanjutnya. PIUS XII, Amanat kepada Kongres Nasional I Perserikatan Guru-Guru Katolik di Italia (AIMC), tgl. 8 September 1946: Discorsi e Radiomessagi 8, hlm. 218. 12 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 11 dan 35. 13 Lih. PIS XI, Esniklik Divini illius Magistri: AAS 22 (1930) hlm. 63 dan selanjutnya. – PIUS XII, Amanat radio tgl. 1 Juni 1941: AAS 33 (1941) hlm. 200. – IDEM, Amanat kepada Kongres Nasional I Perserikatan Guru-Guru Katolik di Italia, tgl. 8 September 1946: Discorsi e Radiomessaggi, 8, hlm. 218. – Tentang prinsip subsidiaritas, lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, tgl. 11 April 1963: AAS 55 (1963)hlm. 294. 14 Lih. PIUS XI, Ensiklik Divini illius Magistri: AAS 22 (1930) hlm. 53 dan selanjutnya. – IDEM, Ensiklik Non abbiamo bisogno, tgl. 29 Juni 1931: AAS 23 (1931)hlm. 311 dan selanjutnya. – PIUS XII, Surat Sekretariat Negara kepada pekan Soaial Italia XXVIII, tgl. 20 September 1955: L’Osservatore Roman, tgl. 29 September 1955. 15 Gereja memuji para penguasa masyarakat, setempat, nasional maupun internasioanal, yang menyadari kebutuhankebutuhan lebih mendesak zaman sekarang , dan mengusahakan sedapat mungkin, supaya semua bangsa dapat ikut memanfaatkan pendidikan yang lebih penuh dan ikut menghayati kebudayaan. 10

4. (Aneka upaya untuk melayani pendidikan kristen) Dalam menunaikan tugasnya dibidang pendidikan, Gereja memang memperhatikan segala upaya yang mendukung, tetapi terutama mengusahakan upaya-upaya yang khas baginya. Diantaranya yang utama ialah pendidikan kateketis[16], yang menyinari dan meneguhkan iman, menyediakan santapan bagi hidup menurut semangat kristus, mengantar kepada partisipasi yang sadar dan aktif dalam Misteri Liturgi[17], dan menggairahkan kegiatan merasul. Gereja sangat menghargai dan berusaha meresapi dengan semangatnya serta mengangkat upaya-upaya lainnya juga, yang termasuk harta warisan bersama umat manusia, dan yang cukup besar maknanya untuk mengembangkan jiwa dan membina manusia, dan yang cukup besar maknanya untuk mengembangkan jiwa dan membina manusia, misalnya upaya komunikasi-komunikasi sosial[18], banyak kelompok-kelompok yang bertujuan mengembangkan badan dan jiwa, himpunan-himpunan kaum muda, dan terutama sekolah-sekolah. 5. (Pentingnya sekolah) Diantara segala upaya pendidikan sekolah mempunyai makna yang istimewa[19]. Sementara terusmenerus mengembangkan daya kemampuan akalbudi, berdasarkan misinya sekolah menumbuhkan kemampuan memberi penilaian yang cermat, memperkenalkan harta warisan budaya yang telah dihimpun oleh generasi-gerasi masa silam, meningkatkan kesadaran akan tata nilai, menyiapkan siswa untuk mengelola kejuruan tertentu, memeupuk rukun persahabatan antara para siswa yang beraneka watak-perangai maupun kondisi hidupnya, dan mengembangkan sikap saling memahami. Kecuali itu sekolah merupakan bagaikan suatu pusat kegiatan kemajuan, yang serentak harus melibatkan keluarga-keluarga, para guru, bermacam-macam perserikatan yang memajukan hidup berbudaya, kemasyarakatan dan keagamaan, masyarakat sipil dan segenap keluarga manusia. Maka sungguh indah tetapi berat jugalah panggilan mereka semua, yang untuk membantu para orang tua menunaikan kewajiban mereka sebagai wakil-wakil masyarakat, sanggup menjalankan tugas kependidikan disekolah-sekolah. Panggilan itu memerlukan bakat-bakat khas budi maupun hati, persiapan yang amat saksama, kesediaan tiada hentinya untuk membaharui dan menyesuaikan diri. 6. (Kewajiban dan hak-hak orang tua) Orangtualah yang pertama-tama mempunyai kewajiban dan hak yang pantang diganggu gugat untuk mendidik anak-anak mereka. Maka sudah seharusnyalah mereka sungguh-sungguh bebas dalam memilih sekolah-sekolah. Maka pemerintah, beserta kewajibannya melindungi dan membela kebebasan para warga negara, sambil mengindahkan keadilan dan pemerataan, wajib mengusahakan, supaya subsidi-subsidi negara dibagikan sedemikian rupa, sehingga para orang tua mampu dengan kebebasan sepenuhnya memilihkan bagi anak-anak mereka sekolah-sekolah menurut suara hati mereka[20]. Pada umumnya termasuk fungsi negara mengusahakan, supaya semua warganya berpeluang melibatkan diri dalam hidup berbudaya sebagaimana mestinya, dan menjalani persiapan selayaknya untuk menunaikan tugas-kewajiban serta menggunakan hak-hak mereka selaku warga negara. Maka negara sendiri wajib menjamin hak anak-anak atas pendidikan sekolah yang memadai, mengawasi kemampuan para guru serta menjaga mutu studi, memperhatikan kesehatan para murid, dan pada umumnya meningkatkan seluruh sitem persekolahan, sambil menerapkan prinsip subsidiaritas, dan karena itu dengan menghindari segala macam monopoli persekolahan. Sebab monopoli itu bertentangan dengan hak-hak asasi pribadi manusia, kemajuan serta pemerataan kebudayaan sendiri juga, kehidupan bersama para warganegara dalam damai, serta kemacamragaman yang sekarang ini berlaku di banyak masyarakat[21].

16

Lih. PIUS XI, Motu Proprio Orbem catholicum, tgl. 29 Juni 1923: AAS 15 (1923) hlm. 327-329. – Dekrit Provide sane, tgl. 12 Januari 1935: AAS 27 (1935) hlm. 145-152. – KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam gereja, art. 13 dan 14. 17 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 14. 18 Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Upaya-Upaya Komunikasi Sosial, art. 13 dan 14. 19 Lih. PIUS XI, Ensiklik Divini illius Magistri: AAS 22 (1930) hlm. 76. – PIUS XII, Amanat kepada Serikat Guru-Guru Katolik di Bayem, Jerman, tgl. 31 Desember 1956: Discorsi e Radiomessaggi 18, hlm. 746. 20 Lih. KONSILI PROVINSI CINCINNATI III, tahun 1861: Collatio Lacensis III kolom 1240, c/d. – PIUS XI, Ensiklik Divini illius Magistri: AAS 22 (1930) hlm. 60, 63 dan selanjutnya. 21 Lih. PIUS XI, Ensiklik Divini illius Magistri: AAS 22 (1930) hlm. 63. – IDEM, Ensiklik Non abbiamo bisogno, tgl. 29 Juni 1931: AAS 23 (1931) hlm. 305. – PIUS XII, Surat Sekretariat Negara kepada Pekan Sosial Italia XXVIII, tgl. 20

Konsili suci mendorong umat beriman, supaya rela memberi bantuan untuk menemukan metode-metode pendidikan serta sitem pengajaran yang cocok, dan untuk pembinaan guru-guru yang mampu mendidik kaum muda seperti semestinya, begitu pula untuk dengan bantuan mereka – terutama melalui perserikatan orangtua – ikut menopang seluruh peranan sekolah dan terutama penyelenggaraan pendidikan moral[22]. 7. (Pendidikan moral dan kegamaan di sekolah) Selain itu Gereja menyadari sangat beratnya kewajibannya untuk dengan tekun mengusahakan pendidikan moral dan keagamaan semua putera-puterinya. Maka Gereja harus hadir dengan kasihkeprihatinan serta bantuannya yang istimewa bagi sekian banyak siswa, yang menempuh studi di sekolah-sekolah bukan katolik. Kehadirannya itu hendaklah dinyatakan baik melalui kesaksian hidup mereka yang mengajar dan membimbing siswa-siswi itu, melalui kegiatan kerasulan sesama siswa[23], maupun terutama melalui pelayanan para imam dan kaum awam, yang menyampaikan ajaran keselamatan kepada mereka, dan yang memberi pertolongan rohani kepada mereka melalui berbagai usaha yang tepat guna dengan situasi setempat dan semasa.. Oleh Konsili para orangtua diingatkan akan kewajiban mereka yang berat, untuk menyelenggarakan atau juga menuntut apa saja yang diperlukan, supaya anak-anak mereka mendapat kemudahan-kemudahan itu, dan mengalami kemajuan dalam pembinaan kristen, yang serasi dengan pendidikan profan mereka. Kecuali itu Gereja memuji para penguasa dan masyarakat sipil, yang dengan mengindahkan kemajemukan masyarakat zaman sekarang serta menjamin kebebasan beragama sebagaimana wajarnya, menolong keluarga-keluarga, supaya pendidikan anakanak disemua sekolah dapat diselenggarakan seturut prinsip-prinsip moral dan religius yang dianut oleh keluarga-keluarga itu sendiri[24]. 8. (Sekolah-sekolah katolik) Kehadiran Gereja di dunia persekolahan secara khas nampak melalui sekolah katolik. Tidak kurang dari sekolah-sekolah lainnya, sekolah katolik pun mengejar tujuan-tujuan budaya dan menyelenggarakan pendidikan manusiawi kaum muda. Tetapi ciri khasnya ialah menciptakan lingkungan hidup bersama di sekolah, yang dijiwai oleh semangat Injil kebebasan dan cinta kasih, dan membantu kaum muda, supaya dalam mengembangkan kepribadian mereka sekaligus berkembang sebagai ciptaan baru, sebab itulah mereka, karena menerima Baptis. Termasuk ciri sekolah katolik pula, mengarahkan seluruh kebudayaan manusia akhirnya kepada pewartaan keselamatan, sehingga pengetahuan yang secara berangsur-angsur diperoleh para siswa tentang dunia, kehidupan dan manusia disinari oleh terang iman[25]. Demikianlah sekolah katolik, sementara sebagaimana harusnya membuka diri bagi kemajuan dunia modern, mendidik para siswanya untuk dengan tepat-guna mengembangkan kesejahteraan masyarakat di dunia, serta menyiapkan mereka untuk pengabdian demi meluasnya Kerajaan Allah, sehingga dengan memberi teladan hidup merasul mereka menjadi bagaikan ragi keselamatan bagi masyarakat luas. Karena sekolah katolik dapat memberi sumbangan begitu besar kepada umat Allah untuk menunaikan misinya dan menunjang dialog antara Gereja dan masyarakat yang menguntungkan kedua pihak, maka juga bagi situasi kita sekarang ini tetap penting sekali. Oleh karena itu Konsili ini sekali lagi mengulangi pernyataan, bahwa – seperti berkali-kali telah ditetapkan dalam dokumen-dokumen Magisterium[26] – Gereja berhak secara bebas mendirikan dan mengurus segala macam sekolah pada semua tingkat. Sementara itu Konsili mengingatkan juga, bahwa pelaksanaan

September 1955: L’Osservatore Romano, tgl 29 September 1955. – PAULUS VI, Amanat kepada Serikat Kristen para Buruh Italia (ACLI), tgl. 6 Oktober 1963: Encicliche e Discorsi di Paolo VI, I, Roma 1964, hlm. 230. 22 Lih. YOHANES XXIII, Amanat pada Ulang Tahun ke-30 Ensiklik Divini illius Magistri, tgl. 30 Desember 1959: AAS 52 (1960) hlm. 57. 23 Gereja menjunjung tinggi kegiatan kerasulan, yang juga disekolah-sekolah itu dapat dilaksanakan oleh para murid dan sesama siswa yang beragama katolik. 24 Lih. PIUS XII, Amanat kepada perserikatan Guru-Guru Katolik di Bayem, tgl. 31 Desember 1956: Discorsi e Radiomessagi 18, hlm. 745 dan selanjutnya. 25 Lih. KONSILI PROVINSI WESTMINSTER I, tahun 1852: Collatio Lacensis III, kolom 1334 a/b. – PIUS XI, Ensiklik Divini illius Magistri: AAS 22 (1930) hlm. 77 dan selanjutnya. – PIUS XII, Amanat kepada Serikat Guru-Guru Katolik di Bayem, tgl. 31 Desember 1956: Discorsi e Radiomessagi 18, hlm. 746. – PAULUS VI, Amanat kepada para anggota Federasi Lembaga-lembaga yang Tergantung pada Pimpinan Gereja (FIDAE), tgl. 30 Desember 1963: Encicliche e Discorsi di Paolo VI, I, Roma 1964, hlm. 602 dan selanjutnya. 26 Lihat terutama dokumen-dokumen yang telah disebutkan pada catatan kaki 1. Selain itu hak Gereja itu ditegaskan juga oleh banyak Konsili Provinsi, dan oleh Pernyataan-pernyataan banyak Konferensi Uskup akhir-akhir ini.

hak itu merupakan dukungan kuat sekali untuk melindungi kebebasan suarahati serta hak-hak para orangtua, lagi pula banyak menunjang kemajuan kebudayaan sendiri. Hendaknya para guru menyadri, bahwa terutama peranan merekalah yang menentukan bagi sekolah katolik, untuk dapat melaksanakan rencana-rencana dan usaha-usahanya[27]. Maka dari itu hendaklah mereka sungguh-sungguh disiapkan, supaya membawa bekal ilmu-pengetahuan profan maupun keagamaan yang dikukuhkan oleh ijazah-ijazah semestinya, dan mempunyai kemahiran mendidik sesuai dengan penemuan-penemuan zaman modern. Hendaklah cinta kasih menjadi ikatan mereka timbal balik dengan para siswa, dan mereka dijiwai oleh semangat merasul. Dengan demikian hendaknya mereka memberi kesaksian tentang Kristus Sang Guru satu-satunya melalui perihidup dan tugas mereka mengajar. Hendaknya mereka tahu bekerja sama, terutama dengan para orangtua. Bersama orangtua hendaklah para guru dalam seluruh pendidikan memperhatikan perbedaan jenis serta panggilan khas pria maupun wanita dalam keluarga dan masyarakat, seperti telah ditetapkan pleh Penyelenggaraan ilahi. Hendaknya mereka berusaha membangkitan pada para siswa kemampuan bertindak secara pribadi, dan juga sesudah para siswa tamat sekolah hendaklah para guru tetap mendampingi mereka dengan nasehat-nasehat, sikap bersahabat, pun melalui himpunan-himpunan yang bertujuan khusus dan bernafaskan semangat gerejawi yang sejati. Konsili menyatakan, bahwa pelayanan para guru itu sungguh-sungguh merupakan kerasulan, yang memang perlu dan benar-benar menanggapi kebutuhan zaman sekarang, sekaligus juga pengabdian yang sejati kepada masyarakat. Konsili mengingatkan para orang tua katolik akan keajiban mereka, untuk bilamana dan dimana pun mungkin menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah katolik, sekedar kemampuan mereka menanggung kelangsungannya, dan bekerja sama dengannya demi kepentingan anak-anak[28]. 9. (Berbagai macam sekolah katolik) Hendaknya semua sekolah, yang bagaimana pun bernaung pada gereja, sedapat mungkin membentuk diri menurut citra sekolah katolik itu, sungguhpun sesuai dengan berbagai situasi setempat sekolah katolik dapat mengenakan aneka bentuk pula[29]. Jelas jugalah Gereja memandang sangat berharga sekolah-sekolah katolik, terutama didaerah Gereja-Gereja yang masih muda, yang menampung siswa-siswa bukan katolik juga. Pada umumnya dalam mendirikan dan mengurus sekolah-sekolah katolik hendaknya kebutuhan-kebutuhan zaman yang makin maju sungguh ditanggapi. Oleh sebab itu memang tetap harus dikembangkan sekolah-sekolah tingkat dasar dan menengah, yang meletakkan dasar-dasar pendidikan; tetapi patut dihargai juga sekolah-sekolah, yang secara khas dibutuhkan dalam situasi sekarang, misalnya apa yang disebut sekolah-sekolah kejuruan[30] dan teknik, lembaga-lembaga bagi pembinaan kaum dewasa, pengembangan bantuan-bantuan sosial, serta penampungan para penyandang cacat yang memerlukan pelayanan istimewa, begitu pula sekolah-sekolah untuk mempersiapkan guru-guru pendidikan agama dan untuk bentuk-bentuk pendidikan lainnya. Konsili suci dengan sangat menganjurkan kepada para Gembala Gereja dan segenap umat beriman, supaya tanpa melewatkan pengorbanan manapun membantu sekolah-sekolah katolik, untuk semakin sempurna menjalankan tugasnya, dan terutama untuk menanggapi kebutuhankebutuhan mereka, yang miskin harta duniawi, atau hidup tanpa bantuan atau kasih sayang keluarga, atau masih jauh dari kurnia iman. 10. (Fakultas dan universitas katolik) Begitu pula sekolah-sekolah tingkat lebih tinggi, terutama universitas-universitas dan fakultasfakultas, dari pihak Gereja mendapat perhatian yang istimewa. Bahkan Gereja menghendaki, supaya diperguruan-perguruan yang bernaung padanya secara laras terpadu masing-masing bidang ilmu dikembangkan menurut asas-asasnya sendiri, dengan metodenya sendiri, dan dengan kebebasan penelitian ilmiah sedemikian rupa, sehingga ilmu-pengetahuan di bidang-bidang itu kian 27

Lih. PIUS XI, Ensiklik Divini illius Magistri: AAS 22 (1930) hlm. 80 dan selanjutnya. – PIUS XII, Amanat kepada Perserikatan Katolik Italia untuk Guru-Guru Sekolah Menengah (UCIIM), tgl. 5 Januari 1954: Discorsi e Radiomessagi 15, hlm. 551-556. – YOHANES XXIII, Amanat kepada Kongres Vi Perserikatan Guru-Guru Katolik di Italia (AIMC), tgl. 5 September 1959: Dicorsi, Messagii, Colloqui, I, Roma 1960, hlm. 427-431. 28 Lih. PIUS XII, Amanat kepada Perserikatan Katolik Italia untuk Guru-Guru Sekolah menengah (UICIIM), tgl. 5 Januari 1954 : Discorsi e Radiomessaggi 15, hlm. 555. 29 Lih. PAULUS VI, Amanat kepada Biro Internasional pendidikan Katolik (OIEC), tgl. 25 februari 1964: Encicliche e Discorsi di Paolo VI, II, Roma 1964, hlm. 232. 30 Lih. PAULUS VI, Amanat kepada Perserikatan Kristen Kaum Buruh di Italia (ACLI), tgl. 6 Oktober 1963: Encicliche e Discorsi di Paolo VI, I, Roma 1964, hlm. 229.

hari makin mendalam, dan – sementara diperhatikan secermat mungkin masalah-persoalan serta penyelidikan-penyelidikan aktual di zaman modern ini – hendaknya disadari secara lebih mendalam, bagaimana iman dan akalbudi berpadu mencari kebenaran yang tunggal, dan diikuti jejak-jejak para Pujangga Gereja, terutama S. Tomas Akuino [31]. Begituh hendaknya terwujudkan kehadiran visi kristen secara publik, terus-menerus dan universal, dalam seluruh usaha untuk meningkatkan mutu kebudayaan. Pun hendaknya para mahasiswa perguruan-perguruan itu dibina menjadi tokoh-tokoh yang benar-benar unggul ilmu-pengetahuannya, siap-siaga untuk menunaikan kewajiban-kewajiban yang cukup berat dalam masyarakat, dan menjadi saksi-saksi iman di dunia[32]. Di universitas-universitas katolik, yang tidak mempunyai fakultas teologi, hendaknya diadakan Lembaga atau Mimbar Teologi, yang menyelenggarakan kuliah-kuliah yang juga disesuaikan dengan kaum awam. Karena ilmu-pengetahuan mengalami kemajuan terutama berkat penelitianpenelitian khas yang bermutu ilmiah lebih tinggi, hendaknya di universitas-universitas dan fakultasfakultas katolik terutama dikembangkan lembaga-lembaga, yang pertama-tama berfungsi memajukan penelitian ilmiah. Konsili sangat menganjurkan, supaya universitas-universitas dan fakultas-fakultas katolik, yang hendaknya diselenggarakan secara cukup merata di pelbagai kawasan dunia, tetap dikembangkan, tetapi sedemikian rupa, sehingga tidak menonjol karena jumlahnya, melainkan karena mutu perkuliahannya. Hendaknya perguruan-perguruan itu mudah terbuka bagi para mahasiswa yang memberi harapan lebih besar, kendati kondisinya kurang menguntungkan, terutama bagi mereka yang berasal dari negara-negara yang masih muda. Untung-malang masyarakat dan gereja sendiri berhubungan erat sekali dengan kemajuan generasi muda yang menempuh studi tingkat lebih tinggi[33]. Maka hendaknya para Gembala Gereja jangan hanya menyediakan reksa pastoral paroki intensif bagi hidup rohani para mahasiswa universitas katolik saja. Terdorong oleh keprihatinan akan pembinaan rohani semua putera-puteri mereka, dan berdasarkan musyawarah yang seyogyanya diadakan antara para Uskup, hendaklah mereka mengusahakan, supaya juga disekitar universitas-universitas bukan katolik terdapat asramaasrama serta pusat-pusat universiter katolik; disitu hendaknya imam-imam, para religius dan kaum awam, yang dipilih dan disiapkan dengan cermat, memberi pelayanan rohani dan ilmiah yang tetap kepada generasi muda di lingkup universitas. Kaum muda yang berbakat lebih tinggi dilingkungan universitas katolik atau universitas lain, yang nampak cocok untuk menjadi dosen atau menjalankan penelitian-penelitian, hendaknya diusahakan perkembangannya secara istimewa, dan diarahkan untuk menunaikan tugas mengajar. 11. (Fakultas teologi) Gereja menaruh harapan amat besar atas kegiatan fakultas-fakultas teologi[34]. Sebab kepada fakultas-fakultas itulah Gereja mempercayakan tugas yang berat sekali, yakni menyiapkan para mahasiswanya bukan saja untuk pelayanan imam, tetapi terutama untuk mengajar dilembagalembaga studi gerejawi tingkat tinggi, untuk mengembangkan berbagai bidang ilmu atas jerihpayah mereka sendiri, dan menangani tugas-tugas kerasulan intelektual yang lebih berat. Termsuk tugas fakultas-fakultas itu sendiri: mengadakan penelitian-penelitian lebih mendalam di pelbagai bidang teologi, sehingga tercapailah pengertian yang makin mendalam tentang Perwahyuan Roh Kudus, makin penuh terbukalah pusaka kebijaksanaan kristen warisan para leluhur, makin berkembanglah dialog dengan saudara-saudari yang terpisah dan dengan umat beragama lain, dan masalah-persoalan yang timbul dari kemajuan ilmu-pengetahuan mendapat jawabannya [35]. 31

Lih. PAULUS VI, Amanat tentang Kongrea Internasional Tomisme Vi, tgl. 10 September 1965: L’Osservatore Romano, 13-14 September 1965. 32 Lih. PIUS XII, Amanat kepada para dosen dan mahasiswa Perguruan-perguruan Tinggi Katolik di Perancis, tgl. 21 September 1950: Discorsi e Radiomessaggi 18, hlm. 219-221. – IDEM, Surat kepada kongres Pax RomanaXXII, tgl. 12 Agustus 1952: Discorsi e Radiomessaggi, 14, hlm. 567-569. – YOHANES XXIII, Amanat kepada Federasi UniversitasUniversitas Katolik, tgl. 1 April 1959: Discorsi, messaggi, Colloqui, I, Roma 1960, hlm. 226-229. – PAULUS VI, Amanat kepada Senat Akademis Universitas Katolik di Milano, tgl. 5 April 1964: Encicliche e Discorsi di Paolo VI, II, Roma 1964, hlm. 438-443. 33 Lih. PIUS XII, Amanat kepada Senat Akademis dan para mahasiswa Universitas Roma, tgl. 15 Juni 1952: Discorsi e Radiomessaggi, 14, hlm. 208: “Arah perkembangan masyarakat di masa mendatang terutama terletak pada budi dan hati kerabat universitas-universitas sekarang ini”. 34 Lih. PIUS XI, Konstitusi apostolik Deus Scientiarum Dominus, tgl. 24 Mei 1931: AAS 23 (1931) hlm. 245-247. 35 Lih. PIUS XII, Ensiklik Humani Generis, tgl. 12 Agustus 1950: AAS 42 (1950) hlm. 568 dan selanjutnya, hlm. 578. – PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, bagian II, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 56 91964) hlm. 637-659. – KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Ekumenisme.

Maka hendaklah fakultas-fakultas gerejawi pada saatnya meninjau kembali Anggaran Dasarnya, secara intensif mengembangkan teologi serta ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya, dan dengan memanfaatkan metode-metode serta upaya-upaya yang mutakhir pula, membina para mahasiswanya untuk tetap melanjutkan penelitian-penelitian. 12. (Koordinasi di bidang persekolahan) Kerja sama, yang pada tingkat keuskupan, nasional maupun internasional dari hari ke hari makin mendesak dan makin tepat guna, sangat perlu juga di dunia persekolahan. Oleh sebab itu hendaklah diusahakan sedapat mungkin, supaya antara sekolah-sekolah katolik koordinasi makin dipererat, begitu pula dikembangkan kerja sama antara sekolah-sekolah katolik dan sekolah-sekolah lainnya. Kerja sama itu dibutuhkan demi kesejahteraan segenap masyarakat[36]. Berkat koordinasi dan kerja sama yang lebih erat itu, terutama dikalangan lembaga-lembaga akademis, akan diperbuahkan hasil-hasil yang lebih melimpah. Maka hendaklah disetiap universitas berbagai fakultas saling membantu, sejauh kekhususan masing-masing mengijinkannya. Universitas-universitas sendiri hendaknya berpadu maksud dan menjalin kerja sama, dengan bersama-sama menyelenggarakan kongres-kongres internasional, saling berbagi tugas dibidang penelitian ilmiah, mengadakan pertukaran hasil-hasil penelitian, mengusahakan pertukaran dosendosen untuk sementara waktu, dan mendukung usaha-usaha lain, yang dapat meningkatkan kerja sama.

PENUTUP

Konsili dengan sangat mendorong angkatan muda, supaya menyadari keluhuran tugas mendidik, dan menyediakan diri untuk dengan kebesaran jiwa menerima tugas itu, terutama didaerah-daerah, yang kekurangan guru, sehingga pendidikan kaum muda menghadapi krisis. Konsili menyatakan syukur terima kasih sebesar-besarnya kepada imam-imam, para religius pria maupun wanita, dan kaum awam, yang dengan dedikasi injili membaktikan diri dalam karya luhur pendidikan dan persekolahan di pelbagai jenis dan pada berbagai tingkat. Konsili mengajak mereka, supaya tetap bertahan dengan kebesaran jiwa dalam tugas yang mereka jalankan, lagi pula supaya dalam meresapkan semangat kristus di hati para siswa, dalam keahlian mendidik, dan dalam menekuni ilmu-pengetahuan berusaha menjadi unggul sedemikian rupa, sehingga mereka bukan melulu mendukung pembaharuan intern Gereja, melainkan mempertahankan serta meningkatkan kehadiran Gereja yang dermawan terutama didunia ilmu pengetahuan zaman sekarang. Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Pernyataan ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada Kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah. Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 28 bulan Oktober tahun 1965.

Saya PAULUS Uskup Gereja katolik

(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)

36

Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, tgl. 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 284 dan di berbagai temapt lainnya.

PAULUS USKUP HAMBA PARA HAMBA ALLAH BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI DEMI KENANGAN ABADI

PERNYATAAN TENTANG HUBUNGAN GEREJA DENGAN AGAMAAGAMA BUKAN KRISTIANI 1. (Pendahuluan) PADA ZAMAN KITA bangsa manusia semakin erat bersatu dan hubungan-hubungan antara pelbagai bangsa berkembang. Gereja mempertimbangkan dengan lebih cermat, manakh hubungannya dengan agama-agama bukan kristiani. Dalam tugasnya mengembangkan kesatuan dan cinta kasih antar manusia, bahkan antar bangsa, gereja disini terutama mempertimbangkan manakah hal-hal yang pada umumnya terdapat pada bangsa manusia, dan yang mendorong semua untuk bersama-sama menghadapi situasi sekarang. Sebab semua bangsa merupakan satu masyarakat, mempunyai satu asal, sebab Allah menghendaki segenap umat manusia mendiami seluruh muka bumi[1]. Semua juga mempunyai satu tujuan terakhir, yakni Allah, yang penyelenggaraan-Nya, bukti-bukti kebaikan-Nya dan rencana penyelamatn-Nya meliputi semua orang[2], sampai para terpilih dipersatukan dalam Kota suci, yang akan diterangi oleh kemuliaan Allah; di sana bangsa-bangsa akan berjalan dalam cahaya-Nya[3]. Dari pelbagai agama manusia mengharapkan jawaban tentang teka-teki keadaan manusiawi yang tersembunyi, yang seperti di masa silam, begitu pula sekarang menyentuh hati manusia secara mendalam: apakah manusia itu? Manakah makna dan tujuan hidup kita? Manakah yang baik dan apakah dosa itu? Dari manakah asal penderitaan dan manakh tujuannya? Manakah jalan untuk memperoleh kebahagiaan yang sejati? Apakah arti maut, pengadilan dan pembalasan sesudah mati? Akhirnya apakah Misteri terakhir dan tak terperikan itu, yang merangkum keberadaan kita, dan menjadi asal serta tujuan kita? 2. (Berbagai agama bukan kristen) Sudah sejak dahulu kala hingga sekarang ini diantara pelbagai bangsa terdapat suatu kesadaran tentang daya-kekuatan yang gaib, yang hadir pada perjalanan sejarah dan peristiwa-peristiwa hidup manusia; bahkan kadang-kadang ada pengakuan terhadap Kuasa ilahi yang tertinggi atau pun Bapa. Kesadaran dan pengakuan tadi meresapi kehidupan bangsa-bangsa itu dengan semangat religius yang mendalam. Adapun agamaagama, yang terikat pada perkembangan kebudayaan, berusaha menanggapi masalahmasalah tadi dengan faham-faham yang lebih rumit dan bahasa yang lebih terkembangkan. Demikianlah dalam hinduisme manusia menyelidiki misteri ilahi dan mengungkapkannya dengan kesuburan mitos-mitos yang melimpah serta dengan usahausaha filsafah yang mendalam. Hinduisme mencari pembebasan dari kesesakan keadaan kita entah melalui bentuk-bentuk hidup berulah-tapa atau melalui permenungan yang mendalam, atau dengan mengungsi kepada Allah penuh kasih dan kepercayaan. Buddhisme dalam pelbagai alirannya mengakui, bahwa dunia yang serba berubah ini sama sekali tidak mencukupi, dan mengajarkan kepada manusia jalan untuk dengan jiwa 1

Lih. Kis 17:26. Lih. Keb 8:1; Kis 14:17; Rom 2:6-7; 1Tim 2:4. 3 Lih. Why 21:23 dsl. 2

penuh bakti dan kepercayaan memperoleh keadaan kebebasan yang sempurna, taua – entah dengan usaha sendiri entah berkat bantuan dari atas – mencapai penerangan yang tertinggi. Demikian pula agam-agama lain, yang terdapat diseluruh dunia, dengan pelbagai cara berusaha menanggapi kegelisahan hati manusia, dengan menunjukkan berbagai jalan, yakni ajaran-ajaran serta kaidah-kaidah hidup maupun upacara-upacara suci. Gereja katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serab benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, Tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenartan dan hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya[4]. Maka Gereja mendorong para puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka. 3. (Agama Islam) Gereja juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belaskasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia. Kaum muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetetapan Allah juga yang bersifat rahasia, seperti dahulu Abraham – iman Islam dengan sukarela mengacu kepadanya – telah menyerahkan diri kepada Allah. Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah, melainkan menghormati-Nya sebagai Nabi. Mereka juga menghormati Maria Bunda-Nya yang tetap perawan, dan pada saat-saat tertentu dengan khidmat berseru kepadanya. Selain itu mereka mendambakan hari pengadilan, bila Allah akan mengganjar semua orang yang telah bangkit. Maka mereka juga menjunjung tinggi kehidupan susila, dan berbakti kepada Allah terutama dalam doa, dengan memberi sedekah dan berpuasa. Memang benar, disepanjang zaman cukup sering timbul pertikaian dan permusuhan antara umat Kristiani dan kaum Muslimin. Konsili suci mendorong mereka semua, supaya melupakan yang sudah-sudah, dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami, dan supaya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan. 4. (Agama Yahudi) Sementara menyelami Misteri gereja, Konsili suci ini mengenangkan ikatan rohani antara Umat perjanjian Baru dan keturunan Abraham. Sebab Gereja Kristus mengakui bahwa – menurut rencana ilahi penyelamtan yang bersifat rahasia – awal mula iman serta pemilihannya sudah terdapat pada para Bapa Bangsa, Musa dan para Nabi. Gereja mengakui, bahwa semua orang beriman kristiani, putera-putera abraham dalam iman[5], terangkum dalam panggilan Bapa bangsa itu, dan bahwa keselamatan Gereja dipralambangkan secara misterius dalam keluarnya bangsa yang terpilih dari tanah perbudakan. Oleh karena itu Gereja tidak dapat melupakan, bahwa ia telah menerima Wahyu Perjanjian Lama melalui bangsa itu, dan bahwa karena belas-kasihan-Nya yang tak terhingga Allah telah berkenan mengadakan Perjanjian Lama dengannya. Gereja tetap ingat, bahwa ia menerima santapannya dari akar zaitun yang baik, dan bahwa cabang-cabang zaitu yang liar, yakni kaum kafir, telah dicangkokkan 4 5

Lih. 2Kor 5:18-19. Lih. Gal 3:7.

pada pohon zaitun itu [6]. Sebab Gereja mengimani, bahwa Kristus, Damai kita, melalui salib telah mendamaikan bangsa Yahudi dan kaum Kafir dan telah menyatukan keduanya dalam diri-Nya[7]. Selalu pula Gereja mengenangkan kata-kata rasul paulus tentang sesama sukunya: “mereka telah diangkat menjadi anak, dan telah menerima kemuliaan, dan perjanjian, dan hukum Taurat dan ibadah dan janji-janji; mereka keturunan para bapa leluhur, yang menurunkan Kristus menurut daging” (Rom 9:4-5), Putera Perawan Maria. Gereja mengingat juga, bahwa dari bangsa Yahudi lahirlah para Rasul, dasar dan saka guru Gereja, begitu pula amat banyak murid pertama, yang mewartakan Injil Kristus kepada dunia. Menurut Kitab suci Yerusalem tidak mengenal saat Allah melawatnya[8], dan sebagian besar orang-orang Yahudi tidak menerima Injil; bahkan banyak juga yang menentang penyebarannya[9]. Tetapi, menurut Rasul, orang-orang Yahudi tetap masih dicintai oleh Allah demi para leluhur, sebab Allah tidak menyesalkan kurnia-kurnia serta panggilanNya[10]. Bersama dengan para nabi dan Rasul itu juga Gereja mendambakan hari yang hanya diketahui oleh Allah, saatnya semua bangsa serentak akan menyerukan Tuhan, dan “mengabdi-Nya bahu-membahu” (Zef 3:9)[11]. Maka karena sebesar itulah pusaka rohani yang diwariskan bersama oleh umat Kristiani dan bangsa Yahudi, Konsili suci ini bermaksud mendukung dan menganjurkan saling pengertian dan saling penghargaan antara keduanya, dan itu terwujud terutama melaui studi Kitab suci dan teologi serta dialog persaudaraan. Meskipun para pemuka bangsa Yahudi beserta para penganut mereka mendesak kematian Kristus[12], namun apa yang telah dijalankan selama Ia menderita sengsara tidak begitu saja dapat dibebankan sebagai kesalahan pada semua orang Yahudi yang hidup ketika itu atau kepada orang Yahudi zaman sekarang. Walaupun Gereja itu umat Allah yang baru, namun hendaknya orang-orang Yahudi jangan digambarkan seolah-olah dibuang oleh Allah atau terkutuk, seakan-akan itu dapat disimpulkan dari Kitab suci. Maka hendaknya semua berusaha, supaya dalam berkatekese dan mewartakan Sabda Allah jangan mengajarkan apa pun, yang tidak selaras dengan kebenaran Injil dan semangat Kistus. Selain itu Gereja, yang mengecam segala penganiayaan terhadap siapapun juga, mengingat pusaka warisannya bersama bangsa Yahudi. Gereja masih menyesalkan kebencian, penganiayaan, pun juga unjuk-unjuk rasa antisemitisme terhadap bangsa Yahudi, kapan pun dan oleh siapa pun itu dijalankan, terdorong bukan karena motivasimotivasi politik, melainkan karena cinta kasih keagamaan menurut Injil. Kecuali itu Kristus, seperti selalu telah dan tetap masih diyakini oleh gereja, demi dosa-dosa semua orang telah menanggung sengsara dan wafat-Nya dengan sukarela, karena cinta kasih-Nya yang tiada taranya, supya semua orang memperoleh keselamatan. Maka merupakan tugas Gereja pewarta: memberitakan salib Kristus sebagai lambang cinta kasih Allah terhadap semua orang dan sebagai sumber segala rahmat. 5. (Persaudaraan semesta tanpa diskriminasi) Tetapi kita tidak dapat menyerukan nama Allah Bapa semua orang, bila terhadap orangorang tertentu, yang diciptakan menurut citra kesamaan Allah, kita tidak mau bersikap sebagai saudara. Hubungan manusia dengan Allah Bapa dan hubungannya dengan sesama manusia saudaranya begitu erat, sehingga Alkitab berkata: “Barang siapa tidak mencintai, ia tidak mengenal Allah” (1Yoh 4:8). 6

Lih. Rom 11:17-24. Lih. Ef 2:14-16. 8 Lih. Luk 19:44. 9 Lih. Rom 11:28. 10 Lih. Rom 11:28-29. Lih. Kosntitusi dogmatis Lumen gentium tentang Gereja, art. 16. 11 Lih. Yes 66:23; Mzm 65:4; Rom 11:11-32. 12 Lih. Yoh 19:6. 7

Jadi tiadalah dasar bagi setiap teori atau praktik, yang mengadakan pembedaan mengenai martabat manusia serta hak-hak yang bersumber padanya antara manusia dan manusia, antara bangsa dan bangsa. Maka Gereja mengecam setiap dikriminasi antara orang-orang atau penganiayaan berdasarkan keturunan atau warna kulit, kondisi hidup atau agama, sebagai berlawanan dengan semangat kristus. Oleh karena itu Konsili suci, mengikuti jejak para Rasul kudus Petrus dan Paulus, meminta dengan sangat kepada Umat beriman kristiani, supaya bila ini mungkin “memelihara cara hidup yang baik diantara bangsa-bangsa bukan Yahudi” (1Ptr 2:12), dan sejauh tergantung dari mereka hidup dalam damai dengan semua orang[13], sehingga mereka sungguh-sungguh menjadi putera Bapa di sorga[14]. Semua itu dan setiap hal yang diungkapkan dalam pernyataan ini telah berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Adapun kami, dengan kuasa kerasulan yang diserahkan kristus kepada Kami, bersama para Bapa yang terhormat, mengesahkan, menetapkan serta mengundangkannya dalam roh Kudus. Dan kami memerintahkan, agar apa yang telah ditetapkan bersama dalam Konsili ini diumumkan demi kemuliaan Allah. Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 28 bulan Oktober tahun 1965.

Saya PAULUS Uskup Gereja katolik (Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)

13 14

Lih. Rom 12:18. Lih. Mat 5:45.

kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang Allah dan keselamatan manusia nampak bagi kita dalam Kristus, yang sekaligus menadi pengantara dan kepnuhan seluruh wahyu[2]. 3. (Persiapan wahyu ilahi) Allah, yang menciptakan segala sesuatu melalui sabda-Nya (lih. Yoh 1:3), serta melestarikannya, dalam makhluk-makhluk senantiasa memberikan kesaksian tentang diri-Nya kepada manusia (lih. Rom 1:19-20). Lagi pula karena Ia bermaksud membuka jalan menuju keselamatan di sorga, Ia sejak awal mula telah menampakkan Diri kepada manusia pertama. Setelah mereka jatuh, dengan menjanjikan penebusan Ia mengangkat mereka untuk mengharapkan keselamatan (lih. Kej 3:15). Tiada putus-putusnya Ia memelihara umat manusia, untuk mengurniakan hidup kekal kepada semua, yang mencari keselamatan dan bertekun melakukan apa yang baik (lih. Rom 2:6-7). Adapun pada saat yang ditentukan Ia memanggil Abraham untuk menjadikannya bangsa yang besar (lih. Kej 12:2). Sesudah para Bapa bangsa Ia membina bangsa itu dengan perantaraan Musa serta para Nabi, supaya mereka mengakui Diri-Nya sebagai satusatunya Allah yang hidup dan benar, bapa Penyelenggara dan hakim yang adil, dan supaya mereka mendambakan Penebus yang dijanjikan. Dengan demikian berabad-abad lamanya Ia menyiapkan jalan bagi Injil. 4. (Kristus kepenuhan wahyu) Setelah berulang kali dan dengan berbagai cara Allah bersabda dengan perantaraan para Nabi, “akhirnya pada zaman sekarang Ia bersabda kepada kita dalam Putera” (Ibr 1:1-2). Sebab Ia mengutus Putera-Nya, yakni sabda kekal, yang menyinari semua orang, supaya tinggal ditengah umat manusia dan menceritakan kepada mereka hidup Allah yang terdalam (lih. Yoh 1:1-18). Maka Yesus Kristus, Sabda yang menjadi daging, diutus sebagai “manusia kepada manusia”[3], “menyampaikan sabda Allah” (Yoh 3:34), dan menyelesaikan karya penyelamatan, yang diserahkan oleh Bapa kepada-Nya (lih. Yoh 5:36; 17:4). Oleh karena itu Dia – barang siapa melihat Dia, melihat Bapa juga (lih. Yoh 14:9) – dengan segenap kehadiran dan penampilan-Nya, dengan sabda maupun karya-Nya, dengan tanda-tanda serta mukjizat-mukjizatnya, namun terutama dengan wafat dan kebangkitan-Nya penuh kemuliaan dari maut, akhirnya dengan mengutus Roh Kebenaran, menyelesaikan wahyu dengan memenuhinya, dan meneguhkan dengan kesaksian ilahi, bahwa Allah menyertai kita, untuk membebaskan kita dari kegelapan dosa serta maut, dan untuk membangkitkan kita bagi hidup kekal. Adapun tata keselamatan kristiani, sebagai perjanjian baru dan tetap, tidak pernah akan lampau; dan sama sekali tidak boleh dinantikan lagi wahyu umum yang baru, sebelum Tuhan kita Yesus Kristus menampakkan Diri dalam kemuliaan-Nya (lih. 1Tim 6:14 dan Tit 2:13). 5. (Menerima wahyu dan iman) Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan “ketaatan iman” (Rom 16:26; lih. Rom 1:5; 2Cor 10:5-6). Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan “kepatuhan akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan”[4], dan dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-Nya. Supaya orang dapat beriman seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta menolong, pun juga bantuan batin Roh Kudus, yang menggerakkan hati dan membalikkannya kepada Allah, membuka mata budi, dan menimbulkan “pada semua orang rasa manis

2

Lih. Mat 11:27; Yoh 1:14 dan 17; 14:6; 17:1-3; 2Kor 3:16 dan 4:6; Ef 1:3-14. Surat kepada Diognetus, bab VII, 4: FUNK, Patres Apostolici, I, hlm. 403. 4 KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang iman katolik, bab 3 tentang iman: DENZ 1789 (3008). 3

PAULUS USKUP

HAMBA PARA HAMBA ALLAH BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI DEMI KENANGAN ABADI

KONSTITUSI DOGMATIS TENTANG WAHYU ILAHI

PENDAHULUAN

Sambil mendengarkan SABDA ALLAH dengan khidmat dan mewartakannya penuh kepercayaan, Konsili suci mematuhi amanat S. YOHANES: “Kami mewartkan kepadamu hidup kekal, yang ada pada Bapa dan telah nampak kepada kami: Yang kami lihat dan kami dengar, itulah yang kami wartakan kepadamu, supaya kamupun beroleh persekutuan kita bersama Bapa dan Putera-Nya Yesus kristus” (1Yoh 1:2-3). Maka dari itu, sambil mengikuti jejak Konsili Trente dan Konsili Vatikan I, Konsili ini bermaksud menyajikan ajaran yang asli tentang wahyu ilahi dan bagaiman itu diteruskan, supaya dengan mendengarkan pewartaan keselamatan seluruh dunia mengimaninya, dengan beriman berharap, dan dengan berharap mencintainya[1].

BAB SATU TENTANG WAHYU SENDIRI

2. (Hakekat wahyu) Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya (lih. Ef 1:9); berkat rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat ilahi (lih. Ef 2:18; 2Ptr 1:4). Maka dengan wahyu itu Allah yang tidak kelihatan (lih. Kol 1:15; 1Tim 1:17) dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya (lih. Kel 33:11; Yoh 15:14-15), dan bergaul dengan mereka (lih. Bar 3:38), untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka didalamnya. Tata perwahyuan itu terlaksana melalui perbuatan dan perkataan yang amat erat terjalin, sehingga karya, yang dilaksanakan oleh Allah dalam sejarah keselamatan, memperlihatkan dan meneguhkan ajaran serta kenyataankenyataan yang diungkapkan dengan kata-kata, sedangkan kata-kata menyirkan karyakarya dan menerangkan rahasia yang tercantum di dalamnya. Tetapi melalui wahyu itu

1

Lih. S. AGUSTINUS, Tentang mengajar agama kepada mereka yang serba tidak tahu, bab IV, 8: PL 40:316.

dalam menyetujui dan mempercayai kebenaran”[5]. Supaya semakin mendalamlah pengertian akan wahyu, Roh Kudus itu juga senantiasa menyempurnakan iman melalui kurnia-kurnia-Nya. 6. (Kebenaran-kebenaran yang diwahyukan) Dengan wahyu ilahi Allah telah mau menampakkan dan membuka diri-Nya sendiri serta keputusan kehendak-Nya yang abadi tentang keselamatan manusia, yakni “untuk mengikutsertakan manusia dalam harta-harta ilahi, yang sama sekali melampaui daya tangkap akalbudi insani”[6]. Konsili suci mengakui bahwa “Allah, awal dan tujuan segalan sesuatu, dapat diketahui dengan pasti dengan kodrati nalar manusia dari apa yang diciptakan” (lih. Rom 1:20). Tetapi Konsili mengajarkan juga bahwa berkat wahyu Allah itulah “segala, yang dalam hal-hal ilahi sebetulnya tidak mustahil diketahui oleh akalbudi manusia, dalam keadaan umat manusia sekarang dapat diketahui oleh semua dengan mudah, dengan kepastian yang teguh dan tanpa tercampuri kekeliruanmana pun juga”[7].

BAB DUA MENERUSKAN WAHYU ILAHI 7. (Para Rasul dan pengganti mereka sebagai pewarta Injil) Dalam kebaikan-Nya Allah telah menetapkan, bahwa apa yang diwahyukan-Nya demi keselamatan semua bangsa, harus tetap utuh untuk selamanya dan diteruskan kepada segala keturunannya. Maka Kristus Tuhan, yang menjadi kepenuhan seluruh wahyu Allah yang Mahatinggi (lih. 2Kor 1:30; 3:16-4:6), memerintahkan kepada para Rasul, supaya Injil, yang dahulu telah dijanjikan melalui para Nabi dan dipenuhi oleh-Nya serta dimaklumkan-Nya dengan mulut_nya sendiri, mereka wartakan pada semua orang, sebagai sumber segala kebenaran yang menyelamatkan serta sumber ajaran kesusilaan[8], dan dengan demikian dibagikan kurnia-kurnia ilahi kepada mereka. Perintah itu dilaksanakan dengan setia oleh para Rasul, yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang telah mereka terima dari mulut, pergaulan dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari. Perintah Tuhan dijalankan pula oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga telah membukukan amanat keselamatan[9]. Adapun supaya Injil senantiasa terpelihara secara utuh dan hidup dalam Gereja, para Rasul meninggalkan Uskup-uskup sebagai pengganti mereka, yang “mereka serahi kedudukan mereka untuk mengajar”[10]. Maka dari itu Tradisi suci dan Kitab suci perjanjian Lama maupun Baru bagaikan cermin bagi Gereja yang mengembara didunia, untuk memandang Allah yang menganugerahinya segala sesuatu, hingga tiba saatnya gereja dihantar untuk menghadap Allah tatap muka, sebagaimana ada-Nya (lih. 1Yoh 3:2).

5

KONSILI ORANGE II, kanon 7: DENZ. 180 (377); KONSILI VATIKAN I, dalam Konstitusi itu juga: DENZ. 1791 (3010). 6 KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatik tentang iman katolik, bab 2 tentang wahyu: DENZ. 1786 (3005). 7 KONSILI VATIKAN I, dalam bab yang sama: DENZ. 1785 dan 1786 (3004 dan 3005). 8 Lih. Mat 28:19-20 dan Mrk 16:15. KONSILI TRENTE, Sidang IV, dekrit tentang Kanon Kitab suci: DENZ 783 (1591). 9 Lih. KONSILI TRENTE, teks yang sama; KONSILI VATIKAN I, Sidang III, Konstitusi dogmatis tentang iman katolik, bab 2 tentang wahyu, DENZ. 1787 (3006). 10 S. IRENIUS, Melawan bidaah-bidaah, III,3,1: PG 7,848; HARVEY, 2, hlm. 9.

8. (Tradisi suci) Oleh karena itu pewartaan para Rasul, yang secara istimewa diungkapkan dalam kitabkitab yang diilhami, harus dilestarikan sampai kepenuhan zaman melalui penggantianpenggantian yang tiada putusnya. Maka para Rasul, seraya meneruskan apa yang telah mereka terima sendiri, mengingatkan kaum beriman, supaya mereka berpegang teguh pada ajaran-ajaran warisan, yang telah mereka terima entah secara lisan entah secara tertulis (lih. 2Tes 2:15), dan supaya mereka berjuang untuk membela iman yang sekali untuk selamanya diteruskan kepada mereka (lih. Yud 3)[11]. Adapun apa yang telah diteruskan oleh para Rasul mencakup segala sesuatu, yang membantu Umat Allah untuk menjalani hidup yang suci dan untuk berkembang dalam imannya. Demikianlah Gereja dalam ajaran, hidup serta ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua keturunan dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya. Tradisi yang berasal dari para rasul itu berkat bantuan Roh Kudus berkembang dalam Gereja[12]: sebab berkembanglah pengertian tentang kenyataan-kenyataan maupun katakata yang diturunkan, baik karena kaum beriman, yang menyimpannya dalam hati (lih. Luk 2:19 dan 51), merenungkan serta mempelajarinya, maupun karena mereka menyelami secara mendalam pengalaman-pengalaman rohani mereka, maupun juga berkat pewartaan mereka, yang sebagai pengganti dalam martabat Uskup menerima kurnia kebenaran yang pasti. Sebab dalam perkembangan sejarah gereja tiada hentinya menuju kepenuhan kebenaran ilahi, samapi terpenuhilah padanya sabda Allah. Ungkapan-ungkapan para Bapa suci memberi kesaksian akan kehadiran Tradisi itu pun Gereja mengenal kanon Kitab-kitab suci selengkapnya, dan dalam Tradisi itu Kitab suci sendiri dimengerti secara lebih mendalam dan tiada hentinya dihadirkan secara aktif. Demikianlah Allah, yang dulu telah bersabda, tiada hentinya berwawancara dengan Mempelai Putera-Nya yang terkasih. Dan Roh Kudus, yang menyebabkan suara Injil yang hidup bergema dalam Gereja, dan melalui gereja dalam dunia, menghantarkan Umat beriman menuju segala kebenaran, dan menyebabkan sabda kristus menetap dalam diri mereka secara melimpah (lih. Kol 3:16). 9. (Hubungan antara Tradisi dan Kitab suci) Jadi Tradisi suci dan Kitab suci berhubungan erat sekali dan berpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama. . Sebab Kitab suci itu pembicaraan Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh ilahi. Sedangkan oleh Tradisi suci sabda Allah, yang oleh kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia. Dengan demikian gereja menimba kepastian tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui kitab suci. Maka dari itu keduanya (baik Tradisi maupun Kitab suci) harus diterima dan dihormati dengan cita-rasa kesalehan dan hormat yang sama[13]. 10. (Hubungan keduanya dengan seluruh Gereja dan magisterium) Tradisi suci dan Kitab suci merupakan satu perbendaharaan keramat sabda Allah yang dipercayakan kepada gereja. Dengan berpegang teguh padanya seluruh Umat suci bersatu dengan para Gembala dan mereka dan tetap bertekun dalam ajaran para Rasul dan persekutuan, dalam pemecahan roti dan doa-doa (lih. Kis 2:42 yun). Dengan

11

Lih. KONSILI NISEA II: DENZ. 303 (602). KONSILI KONSTANTINOPEL IV, Sidang X, kanon 1: DENZ. 336 (650652). 12 Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang iman katolik, bab 4 tentang iman dan akalbudi: DENZ. 1800 (3020). 13 Lih. KONSILI TRENTE, Sidang IV, dalam teks yang sama: DENZ. 783 (1501).

demikian dalam mempertahankan, melaksanakan dan mengakui iman yang diturunkan itu timbullah kerukunan yang khas antara para Uskup dan kaum beriman[14]. Adapun tugas untuk menafsirkan secara otentik sabda Allah yang tertulis dan diturunkan itu [15] dipercayakan hanya kepada Wewenang Mengajar Gereja yang hidup[16], yang kewibawaannya dilaksanakan atas nama Yesus Kristus. Wewenang Mengajar itu tidak berada diatas sabda Allah, melainkan melayaninya, yakni dengan hanya mengajarkan apa yang diturunkan saja, sejauh sabda itu, karena perintah ilahi dan dengan bantuan Roh Kudus, didengarkannya dengan khidmat, dipeliharanya dengan suci dan diterangkannya dengan setia; dan itu semua diambilnya dari satu perbendaharaan iman itu, yang diajukannya untuk diimani sebagai hal-hal yang diwahyukan oleh Allah. Maka jelaslah tradisi suci, Kitab suci dan Wewenang Mengajar Gereja, menurut rencana Allah yang mahabijaksana, saling berhubungan dan berpadu sedemikian rupa, sehingga yang satu tidak dapat ada tanpa kedua lainnya, dan semuanya bersama-sama, masing-masing dengan caranya sendiri, dibawah gerakan satu Roh Kudus, membantu secara berdaya guna bagi keselamatan jiwa-jiwa.

BAB TIGA ILHAM ILAHI KITAB SUCI DAN PENAFSIRAN 11. (Fakta ilham dan kebenaran Kitab suci) Yang diwahyukan oleh Allah dan yang termuat serta tersedia dalam Kitab suci telah ditulis dengan ilham Roh Kudus. Sebab Bunda Gereja yang kudus, berdasarkan iman para Rasul, memandang Kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Baru secara keseluruhan, beserta semua bagian-bagiannya, sebagai buku-buku yang suci dan kanonik, karena ditulis dengan ilham Roh Kudus (lih. Yoh 20:31; 2Tim 3:16; 2Ptr 1:19-21; 3:15-16), dan mempunyai Allah sebagai pengarangnya, serta dalam keadaannya demikian itu diserahkan kepada Gereja[17]. Tetapi dalam mengarang kitab-kitab suci itu Allah memilih orang-orang, yang digunakan-Nya sementara mereka memakai kecakapan dan kemampuan mereka sendiri [18], supaya – sementara Dia berkarya dalam dan melalui mereka[19], - semua itu dan hanya itu yang dikehendaki-Nya sendiri dituliskan oleh mereka sebagai pengarang yang sungguh-sungguh[20]. Oleh sebab itu, karena segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang ilhami atau hagiograf (penulis suci), harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa buku-buku Alkitab mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam

14

Lih. PIUS XII, Konstitusi Apostolik Munificentissimus Deus, 1 November 1950: AAS 42 (1950) 756; bandingkan dengan ungkapan S. SIPRIANUS, Surat 66,8: HARTEL, III, B, hlm. 733: “Gereja ialah umat yang bersatu dengan Imam dan kawanan yang menganut Gembalanya”. 15 Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang iman katolik, bab 3 tentang iman: DENZ. 1792 (3011). 16 Lih. PIUS XII, Ensiklik Humani Generis, 12 Agustus 1950: AAS 42 (1950) 568-569: DENZ. 2314 (3886). 17 Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang iman katolik, bab 2 tentang wahyu: DENZ. 1787 (3006). Komisi Kitab suci, Dekrit 18 Juni 1915: DENZ. 2180 (3629); Enchiridion Biblicum 420. S.S.C.S. OFFICII (Kongregasi Ofisi), surta 22 Desember 1923: Ench. Bibl. 449. 18 Lih. PIUS XII, Ensiklik Divino afflante Spiritu, 30 September 1943: AAS 35 (1943) hlm. 314; Ench. Bibl. 556. 19 “Dalam dan melalui manusia”: lih. Ibr 1:1 dan 4:7 (“dalam”); 2Sam 23:2; Mat 1:22 dan beberapa ditempat lain (“melalui”); KONSILI VATIKAN I: Skema tentang ajaran katolik, catatan 9: Coll. Lac. VII, 522. 20 LEO XIII, Ensiklik Providentissimus Deus, 18 November 1893: DENZ. 1952 (3293); Ench. Bibl. 125.

kitab-kitab suci demi keselamatan kita[21]. Oleh karena itu “seluruh Alkitab diilhami oleh Allah dan berguna untuk mengajar, meyakinkan, menegur dan mendidik dalam kebenaran: supaya manusia (hamba) Allah menjadi sempurna, siap sedia bagi segala pekerjaan yang baik” (2Tim 3:16-17 yun). 12. (Bagaimana Kitab suci harus ditafsirkan) Adapun karena Allah dalam Kitab suci bersabda melalui manusia secara manusia[22], maka untuk menangkap apa yang oleh Allah akan disampaikan kepada kita penafsir Kitab suci harus menyelidiki dengan cermat, apa yang sebenarnya mau disampaikan oleh para penulis suci, dan apa yang mau ditampakkan oleh Allah dengan kata-kata mereka. Untuk menemukan maksud para pengarang suci antara lain perlu diperhatikan juga “jenis-jenis sastra”. Sebab dengan cara yang berbeda-beda kebenaran dikemukakan dan diungkapkan dalam nas-nas yang dengan aneka cara bersifat historis, atau profetis, atau poetis, atau dengan jenis sastra lainnya. Selanjutnya penafsiran harus mencari arti, yang hendak diungkapkan dan ternyata jadi diungkapkan oleh pengarang suci dalam keadaan tertentu, sesuai dengan situasi jamannya dan kebudayaannya, melalui jenis-jenis sastra yang ketika itu digunakan[23]. Sebab untuk mengerti dengan seksama apa yang oleh pengarang suci hendak dinyatakan dengan tulisannay, perlu benar-benar diperhatikan baik cara-cara yang lazim dipakai oleh orang-orang pada zaman pengarang itu dalam merasa, berbicara atau bercerita, maupun juga cara-cara yang pada zaman itu biasanya dipakai dalam pergaulan antar manusia[24]. Akan tetapi Kitab suci ditulis dalam Roh Kudus dan harus dibaca dan ditafsirkan Roh itu juga[25]. Maka untuk menggali dengan tepat arti nas-nas suci, perhatian yang sama besarnya harus diberikan kepada isi dan kesatuan seluruh Alkitab, dengan mengindahkan Tradisi hidup seluruh Gereja serta analogi iman. Merupakan kewajiban para ahli Kitab suci: berusaha menurut norma-norma itu untuk semakin mendalam memahami dan menerangkan arti Kitab suci, supaya seolah-oleh berkat penyelidikan yang disiapkan keputusan Gereja menjadi lebih masak. Sebab akhirnya semua yang menyangkut cara menafsirkan Alkitab itu berada dibawah keputusan Gereja, yang menunaikan tugas serta pelayanan memelihara dan menafsirkan sabda allah[26]. 13. (Turunnya Allah) Jadi dalam Kitab suci – sementara kebenaran dan kesucian Allah tetap dipertahankan – nampaklah “turunnya” Kebijaksanaan yang menakjubkan, “supaya kita mengenal kebaikan Allah yang tak terperikan, dan betapa Ia melunakkan bahasa-Nya, dengan memperhatikan serta mengindahkan kodrat kita.”[27] Sebab sabda Allah, yang diungkapkan dengan bahasa manusia, telah menyerupai pembicaraan manusiawi, seperti dulu Sabda Bapa yang kekal, dengan mengenakan daging kelemahan manusiawi, telah menjadi serupa dengan manusia.

21

Lih. S. AGUSTINUS, Gen. Ad Litt. 2,9,20: PL 34, 270-271; Surat 82,3: PL 33,277: CSEL. 34,2 hlm. 354. S. TOMAS, Tentang kebenaran, soal 12 art. 2 C. KONSILI TRENTE, Sidang IV tentang kitab-kitab kanonik: DENZ. 783 (1501). LEO XIII, Ensiklik Providentissimus Deus, Ench. Bibl. 121, 124, 126-127. PIUS XII, Ensiklik Divino afflante: Ench. Bibl. 539. 22 S. AGUSTINUS, Tentang kota Allah, XVII,6,2: PL 41,537: CSEL XL, 2,228. 23 S. AGUSTINUS, Tentang ajaran kristiani, III, 18,26: PL 34, 75-76. 24 PIUS XII, ditempat yang telah dikutib: DENZ. 2294 (3829-3830); Ench. Bibl. 557-562. 25 Lih. BENEDIKTUS XV, Ensiklik Spiritus Paraclitus, 15 September 1920: Ench. Bibl. 469. S. HIRONIMUS, Tentang Gal 5:19-21: PL 26,417A. 26 Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang iman katolik, bab 2 tentang wahyu: DENZ. 1788 (3007). 27 S. YOHANES KRISOSTOMUS, Tentang Kej 3,8 (homili 17,1): PG 53,134: “Melunakkan” dalam bahasa Yunani “synkatabasis”.

BAB EMPAT PERJANJIAN LAMA 14. (Sejarah keselamatan dalam kitab-kitab Perjanjian Lama) Allah yang mahakasih dengan penuh perhatian merencanakan dan menyiapkan keselamatan segenap umat manusia. Dalam pada itu Ia dengan penyelenggaraan yang istimewa memilih bagi diri-Nya suatu bangsa, untuk diserahi janji-janji-Nya. Sebab setelah mengadakan perjanjian dengan Abraham (lih. Kej 15:18) dan dengan bangsa Israel melalui Musa (lih. Kel 24:8), dengan sabda maupun karya-Nya Ia mewahyukan Diri kepada umat yang diperoleh-Nya sebegai satu-satunya Allah yang benar dan hidup sedemikian rupa, sehingga Israel mengalami bagaimanakah Allah bergaul dengan manusia. Dan ketika Allah bersabda melalui para Nabi, Israel semakin mendalam dan terang memahami itu, dan semakin meluas menunjukkannya diantara para bangsa (lih. Mzm 21:28-29; 95:1-3; Yes 2:1-4; Yer 3:17). Adapun tata keselamatan, yang diramalkan, diceritakan dan diterangkan oleh para pengarang suci, sebagai sabda Allah yang benar terdapat dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama. Maka dari itu kitab-kitab itu, yang diilhami oleh Allah, tetap mempunyai nilai abadi: “Sebab apapun yang tertulis, ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita karena kesabaran dan penghiburan Kitab suci mempunyai pengharapan” (Rom 15:4). 15. (Arti Perjanjian Lama untuk Umat kristiani) Tata keselamatan Perjanjian Lama terutama dimaksudkan untuk meyiapkan kedatangan Kristus Penebus seluruh dunia serta Kerjaan al Masih, mewartakannya dengan nubuatnubuat (lih. Luk 24:44; Yoh 5:39; 1Ptr 1:10), dan menandakannya dengan pelbagai lambang (lih. 1Kor 10:11). Kitab-kitab perjanjian Lama, sesuai dengan keadaan umat manusia sebelum zaman pemulihankeselamatan oleh Kristus, mengungkapkan kepada semua orang pengertian tentang Allah dan manusiaserta cara-cara Allah yang adil dan rahim bergaul dengan manusia. Meskipun juga mencantumkan hal-hal yang tidak sempurna dan bersifat sementara, kitab-kitab itu memaparkan cara pendidikan ilahi yang sejati [28]. Maka kitab-kitab itu, yang mengungkapkan kesadaran hidup akan Allah, yang mencantumkan ajaran-ajaran yang luhur tentang Allah serta kebijaksanaan yang menyelamtakan tentang perihidup manusia, pun juga perbendaharaan doa-doa yang menakjubkian, akhirnya secara terselubung mengemban keselamatan kita, kitab-kitab itu harus diterima dengan khidmat oleh Umat beriman kristiani. 16. ((Kesatuan antara kedua Perjanjian) Allah, pengilham dan pengarang kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Baru, dalam kebijaksanaan-Nya mengatur (Kitab suci) sedemikian rupa, sehingga Perjanjian Baru tersembunyi dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Lama terbuka dalam Perjanjian Baru [29]. Sebab meskipun Kristus mengadakan Perjanjian yang Baru dalam darah-Nya (lih. Luk 22:20; 1Kor 11:25), namun Kitab-kitab Perjanjian Lama seutuhnya ditampung dalam pewartaan Injil[30], dan dalam Perjanjian Baru memperoleh dan memperlihatkan maknanya yang penuh (lih. Mat 5:17; Luk 24:27; Rom 16:25-26; 2Kor 3:14-16) dan sebaliknya juga menyinari dan menjelaskan Perjanjian Baru.

28

PIUS XI, Ensiklik Mit brenneder Sorge, 14 Maret 1937: AAS 29 (1937) hlm. 151. S. AGUSTINUS, Quaest. In Hept. 2,73: PL 34,623. 30 S. IRENIUS, melawan bidaah-bidaah, III,21,3: PG 7,950; (=25,1: HARVEY 2, hlm. 115). S. SIRILUS dari Yerusalem, Katekese 4,35: PG 33,497. TEODORUS dari Mopsuesta, Tentang Zef 1:4-6: PG 66,425D-435A. 29

BAB LIMA PERJANJIAN BARU 17. (Keluhuran Perjanjian Baru) Sabda Allah, yang merupakan kekuatan Allah demi keselamatan semua orang yang beriman (lih. Rom 1:16), dalam Kitab-kitab Perjanjian Baru disajikan secara istimewa dan memperlihatkan daya kekuatannya. Sebab setelah genap waktunya (lih. Gal 4:4), Sabda yang menjadi daging dan diam di antara kita penuh rahmat dan kebenaran (lih. Yoh 1:14). Kristus mendirikan Kerajaan Allah di dunia, dengan karya dan sabda-Nya menampakkan Bapa-Nya dan Diri-Nya sendiri, dengan wafat, kebangkitan serta kenaikan-Nya penuh kemuliaan, pun dengan mengutus Roh Kudus menyelesaikan karya-Nya. Setelah ditinggikan dari bumi Ia menarik semua orang kepada diri-Nya (lih. Yoh 12:32, yun). Dialah satu-satunya, yang mempunyai sabda kehidupan kekal (lih. Yoh 6:68). Adapun rahasia itu tidak dinyatakan kepada angkatan-angkatan lain, seperti sekarang telah diwahyukan dalam Roh Kudus kepada para Rasul-Nya yang suci serta para Nabi (lih. Ef 3:4-6, yun), supaya mereka mewartakan Injil, membangkitkan iman akan Yesus Kristus dan Tuhan, dan menghimpun Gereja. Tentang peristiwa-peristiwa itu dalam kitab-kitab Perjanjian Baru terdapat kesaksian kekal dan ilahi. 18. (Asal-usul Injil dari para Rasul) Semua orang tahu, bahwa diantara semua kitab, juga yang termasuk Perjanjian Baru, Injillah yang sewajarnya menduduki tempat istimewa. Sebab Injil merupakan kesaksian utama tentang hidup dan ajaran Sabda yang menjadi daging, Penyelamat kita. Selalu dan di mana-mana Gereja mempertahankan dan tetap berpandangan, bahwa keempat Injil berasal dari para rasul. Sebab apa yang atas perintah Kristus diwartakan oleh para rasul, kemudian dengan ilham Roh ilahi diteruskan secara tertulis kepada kita oleh mereka dan orang-orang kerasulan, sebagai dasar iman, yakni Injil dalam keempat bentuknya menurut Mateus, Markus, Lukas dan Yohanes[31]. 19. (Sifat historis Injil) Bunda Gereja yang kudus dimasa lampau mempertahankan dan tetap setia berpegang taguh pada pandangan, bahwa keempat Injil tersebut, yang sifat historisnya diakui tanpa ragu-ragu, dengan setia meneruskan apa yang oleh Yesus Putera Allah selama hidupnya diantara manusia sungguh telah dikerjakan dan diajarkan demi keselamatan kekal mereka, samapai hari Ia diangkat (lih. Kis 1:1-2). Sesudah kenaikan Tuhan para Rasul meneruskan kepada para pendengar mereka apa yang dikatakan dan dijalankan oleh Yesus sendiri, dengan pengertian yang lebih penuh, yang mereka peroleh [32] karena di didik oleh peristiwa-peristiwa mulia Kristus dan oleh terang Roh kebenaran[33]. Adapun cara penilulis suci mengarang keempat Injil dan memilih berbagai dari sekian banyak hal yang telah diturunkan secara lisan atau tertulis; beberapa hal mereka susun secara agak sintetis, atau mereka uraikan dengan memperhatikan keadaan Gereja-gereja; akhirnya dengan tetap mempertahankan bentuk pewartaan, namun sedemikian rupa, sehingga mereka selalu menyampaikan kepada kita kebenaran yang murni tentang Yesus[34]. Sebab mereka menulis, entah berdasarkan ingatan dan kenangan mereka sendiri, entah berdasarkan kesaksian mereka “yang dari semula menjadi saksi mata dan pelayan sabda”, dengan maksud supaya kita mengenal “kebenaran” kata-kata yang diajarkan kepada kita (lih. Luk 1:2-4). 31

Lih. S. IRENIUS, Melawan bidaah-bidaah, III,11,8: PG 7:885; terb. SAGNARD, hlm. 194. Yoh 2:22; 12:16; lih. 14:26; 16:12-13; 7:39. 33 Lih. Yoh 14:26; 16:13. 34 Lih. Instruksi Sancta Mater Ecclesia, yang dikeluarkan oleh panitia Kepausan untuk memajukan studi Kitab suci: AAS 56 (1964) hlm. 715. 32

20. (Kitab-kitab Perjanjian Baru lainnya) Kecuali memuat keempat Injil kanon Perjanjian Baru juga mencantumkan surat-surat S. Paulus serta tulisan para Rasul lainnya yang dikarang dengan ilham Roh Kudus. Menurut rencana Allah yang bijaksana dalam tulisan-tulisan itu diteguhkan mengenai segala sesuatu mengenai Kristus Tuhan, ajaran-Nya yang sejati semakin jelas, diwartakan daya kekuatan karya ilahi Kristus yang menyelamatkan, dikisahkan awal mula Gereja dan penyebarannya yang mengagumkan, dan dinubuatkan penyelesaiannya dalam kemuliaan. Sebab Tuhan Yesus menyertai para Rasul-Nya seperti telah dijanjikan-Nya(lih. Mat 28:20), dan Ia mengutus Roh Pembantu kepada mereka, untuk membimbing mereka memasuki kepenuhan kebenaran (lih. Yoh 16:13).

BAB ENAM KITAB SUCI DALAM KEHIDUPAN GEREJA 21. (Gereja menghormati kitab-kitab suci) Kitab-kitab ilahi seperti juga Tubuh Tuhan sendiri selalu dihormati oleh Gereja, yang – terutama dalam Liturgi suci – tiada hentinya menyambut roti kehidupan dari meja sabda Allah maupun Tubuh Kristus, dan menyajikannya kepada Umat beriman. Kitab-kitab itu bersama dengan Tradisi suci selalu dipandang dan tetap dipandang sebagai norma imannya yang tinggi. Sebab kitab-kitab itu diilhami oleh Allah dan sekali untuk selamanya telah dituliskan, serta tanpa perubahan manapun menyampaikan sabda Allah sendiri, lagi pula mendengarkan suara Roh Kudus dalam sabda para Nabi dan para Rasul. Jadi semua pewartaan dalam Gereja seperti juga agama kristiani sendiri harus dipupuk dan diatur oleh Kitab suci. Sebab dalam kitab-kitab suci Bapa yang ada di sorga penuh cinta kasih menjumpai para putera-Nya dan berwawancara dengan mereka. Adapun demikian besarlah daya dan kekuatan sabda Allah, sehingga bagi Gereja merupakan tumpuan serta kekuatan, dan bagi putera-puteri Gereja menjadi kekuatan iman, santapan jiwa, sumber jernih dan kekal hidup rohani. Oleh karena itu bagi Kitab suci berlakulah secara istimewa kata-kata: “Memang sabda Allah penuh kehidupan dan kekuatan” (Ibr 4:12), “yang berkuasa membangun dan mengurniakan warisan diantara semua para kudus” (Kis 20:32; lih. 1Tes 2:13). 22. (Dianjurkan terjemahan-terjemahan yang tepat) Bagi kaum beriman kristisni jalan menuju Kitab suci harus terbuka lebar-lebar. Oleh karena itu sejak semula Gereja mengambil alih terjemahan Yunani Perjanjian Lama yang amat kuno, yang disebut “septuaginta”. Gereja selalu menghormati juga terjemahanterjemahan lain ke dalam bahasa Timur dan Latin, terutama yang disebut “Vulgata”. Tetapi karena sabda Allah harus tersedia pada segala zaman, Gereja dengan perhatian keibuannya mengusahakan, supaya dibuat terjemahan-terjemahan yang sesuai dan cermat ke dalam pelbagai bahasa, terutama berdasarkan teks asli Kitab suci. Bila terjemahan-terjemahan itu – sekiranya ada kesempatan baik dan Pimpinan Gereja menyetujuinya – diselenggarakan atas usaha bersama dengan saudara-saudari terpisah, maka terjemahan-terjemahan itu dapat digunakan oleh semua orang kristiani.

23. (Tugas kerasulan para ahli katolik) Mempelai Sabda yang menjadi daging, yakni Gereja, dengan bimbingan Roh Kudus berusaha memperoleh pengertian yang semakin mendalam tentang Kitab suci, supaya tiada hentinya menyediakan santapan sabda-sabda ilahi bagi para puteranya. Oleh karena itu Gereja dengan tepat pula memajukan usaha mempelajari para Bapa Gereja yang suci dari Timur maupun Barat serta liturgi-liturgi suci. Para ahli Kitab suci katolik dan ahli teologi lainnya dalam kerja sama yang erat harus berusaha, supaya mereka dibawah pengawasan Wewenang Mengajar yang suci dan dengan upaya-upaya yang tepat menyelidiki dan menguraikan Kitab suci sedemikan rupa, sehingga sebanyak mungkin pelayan sabda ilahi dengan hasil yang baik dapat menyajikan santapan Kitab suci kepada Umat Allah, untuk menerangi budi, meneguhkan kehendak, dan mengobarkan hati sesama untuk mengasihi Allah[35]. Konsili suci mendorong para putera Gereja, para ahli Kitab suci, supaya mereka dengan tenaga yang selalu segar dan dengan sanagt tekun meneruskan karya yang telah dimulai dengan baik, menurut kehendak gereja[36]. 24. (Pentingnya Kitab suci bagi teologi) Teologi suci bertumpu pada sabda Allah yang tertulis, bersama dengan Tradisi suci, sebagai landasan yang tetap. Disitulah teologi amat sangat diteguhkan dan selalu diremajakan, dengan menyelidiki dalam terang iman segala kebenaran yang tersimpan dalam rahasia Kristus. Adapun Kitab suci mengemban sabda Allah, dan karena diilhami memang sungguh-sungguh sabda Allah. Maka dari itu pelajaran Kitab suci hendaklah bagaikan jiwa Teologi suci[37]. Namun dengan sabda Alkitab juga pelayanan sabda, yakni pewartaan pastoral, ketekese dan semua pelajaran kristiani – diantaranya homili liturgis harus sungguh diistimewakan – mendapat bahan yang sehat dan berkembang dengan suci. 25. (Dianjurkan pembacaan Kitab suci) Oleh sebab itu semua rohaniwan, terutama para imam Kristus serta lain-lainnya, yang sebagai diakon atau katekis secara sah menunaikan pelayanan sabda, perlu berpegang teguh pada Alkitab dengan membacanya dengan asyik dan mempelajarinya dengan saksama. Maksudnya jangan samapai ada seorang pun diantara mereka yang menjadi “pewarta lahiriah dan hampa sabda Allah, tetapi tidak mendengarkannya sendiri dalam batin”[38]. Padahal ia wajib menyampaikan kepada kaum beriman yang dipercayakan kepadanya kekayaan sabda Allah yang melimpah, khususnya dalam Liturgi suci. Begitu pula Konsili suci mendesak dengan sangat dan istimewa semua orang beriman, terutama para religius, supaya dengan sering kali membaca kitab-kitab ilahi memperoleh “pengertian yang mulia akan Yesus Kristus” (Flp 3:8). “Sebab tidak mengenal Alkitab berarti tidak mengenal Kristus”[39]. Maka hendaklah mereka dengan suka hati menghadapi nas yang suci sendiri, entah melalui liturgi suci yang sarat dengan sabdasabda ilahi, entah melalui bacaan yang saleh, entah melalui lembaga-lembaga yang cocok untuk itu serta bantuan-bantuan lain, yang berkat persetujuan dan usaha para Gembala Gereja dewasa ini tersebar dimana-mana dengan amat baik. Namun hendaklah mereka ingat, bahwa doa harus menyertai pembacaan Kitab suci, supaya terwujudlah wawancara antara Allah dan manusia. Sebab “kita berbicara dengan-Nya bila berdoa; kita mendengarkan-Nya bila membaca amanat-amanat ilahi”[40]. 35

Lih. PIUS XII, Ensiklik Divino afflante: Ench. Bibl. 551, 552, 567. KOMISI KEPAUSAN UNTUK KITAB SUCI, Instruksi tentang cara yang tepat untuk mengajarkan Kitab suci di seminari-seminari bagi calon imam dan di kolesekolese para religius, 13 Mei 1950: AAS 42 (1950) hlm. 495-505. 36 Lih. PIUS XII, kutipan yang sama: Ench. Bibl. 569. 37 Lih. LEO XIII, Ensiklik Providentissimus: Ench. Bibl. 114; BENEDIKTUS XV, Ensiklik Spiritus Paraclitus: Ench. Bibl. 483. 38 S. AGUSTINUS, Kotbah 179,1: PL 38,966. 39 S. HIRONIMUS, Komentar pada Yesaya, Pendahuluan: PL 24,17. – Lih. BENEDIKTUS XV, Ensiklik Spiritus Paraclitus: Ench. Bibl. 475-480. PIUS XII, Ensiklik Divino afflante: Ench. Bibl. 544. 40 S. AMBROSIUS, Tentang tugas-tugas para pelayan I, 20,88: PL 1650.

Adalah tugas para uskup, “yang mengemban ajaran para Rasul”[41], untuk membina dengan baik Umat beriman yang dipercayakan kepada mereka, supaya dengan tepat menggunakan kitab-kitab ilahi, terutama Perjanjian Baru dan lebih khusus lagi Injil-Injil, dengan menyediakan terjemahan-terjemahan Kitab suci. Terjemahan-terjemahan itu hendaklah dilengkapi dengan keterangan-keterangan yang diperlukan dan sungguh memadai, supaya putera-puteri Gereja dengan aman dan berguna memakai Kitab suci, dan diresapi dengan semangatnya. Selain itu hendaknya diusahakan terbitan-terbitan Kitab suci, dibubuhi dengan catatan-catatan yang sesuai, supaya digunakan juga oleh mereka yang bukan kristiani, dan yang cocok dengan keadaan mereka. Hendaknya para Gembala jiwa, serta Umat kristiani dalam keadaan mana pun juga, berusaha untuk dengan pelbagai cara menyebarluaskan terbitan-terbitan itu dengan bijaksana. 26. (Akhir kata) Maka semoga dengan demikian melalui pembacaan dan studi Kitab suci “sabda Allah berjalan terus dan dimuliakan” (2Tes 3:1), perbendaharaan wahyu yang dipercayakan kepada Gereja semakin memenuhi hati orang-orang. Seperti hidup Gereja berkembang karena Umat sering dan dengan rajin menghadiri misteri Ekaristi, begitu pula boleh diharapkan dorongan baru dalam hidup rohani karena sabda Allah yang “tinggal selamalamanya” (Yes 40:8; lih. 1Ptr 1:23-2) semakin dihormati. Semua itu dan setiap hal yang dinyatakan dalam Konstitusi ini berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Adapun kami, atas kekuasaan Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada Kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah. Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 18 bulan November tahun 1965.

Saya PAULUS Uskup Gereja katolik (Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)

41

S. IRENIUS, Melawan bidaah-bidaah, IV,32,1: PG 7,1071 )= 49,2) HARVEY, 2, hlm. 255.

PAULUS USKUP

HAMBA PARA HAMBA ALLAH BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI DEMI KENANGAN ABADI

DEKRIT TENTANG KERASULAN AWAM

PENDAHULUAN

1. Dengan maksud memacu KEGIATAN MERASUL Umat Allah[1], Konsili suci penuh keprihatinan menyapa Umat beriman awam, yang perannya yang khas dan sungguh perlu dalam perutusan Gereja sudah diuraikan dilain tempat[2]. Sebab kerasulan awam, yang bersumber pada panggilan kristiani mereka sendiri, tak pernah dapat tidak ada dalam Gereja. Betapa sukarela sifat gerakan semacam itu pada awal mula Gereja, dan betapa suburnya, dipaparkan dengan jelas oleh Kitab suci sendiri (lih. Kis 11:19-21; 18:26; Rom 16:1-16; Fip 4:3). Adapun zaman kita menuntut semangat merasul kaum awam yang tidak kalah besar. Bahkan situasi sekarang ini jelas memerlukan kerasulan mereka yang lebih intensif dan lebih luas. Sebab makin bertambahnya jumlah manusia, kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi, hubungan-hubungan antar manusia yang lebih erat, bukan saja memperluas tanpa batas gelanggang kerasulan awam, yang sebagian besar hanya terbuka bagi mereka, melainkan juga menimbulkan masalah-masalah baru, yang menuntut perhatian serta usaha mereka yang cekatan. Kerasulan itu semakin mendesak, karena otonomi banyak dibidang kehidupan manusiawi, sebagaimana wajarnya, amat banyak bertambah, ada kalanya disertai suatu penyimpangan dari tata kesusilaan dan keagamaan, serta bahaya besar bagi hidup kristiani. Selain itu dibanyak daerah, yang jumlah imamnya sangat sedikit, atau – seperti ada kalanya terjadi – direbut kebebasan mereka yang sewajarnya untuk menunaikan pelayanan mereka, tanpa karya-kegiatan kaum awam Gereja nyaris tidak dapat hadir dan aktif. Suatu tanda mendesaknya kebutuhan yang bermacam-ragam yakni karya Roh Kudus, yang dewasa ini menjadikan kaum awam semakin sadar akan tanggung jawab mereka, dan di mana-mana mendorong mereka untuk membaktikan diri kepada Kristus dan Gereja[3]. Dalam Dekrit ini Konsili bermaksud menjelaskan hakekat, sifat-sifat serta keanekaan kerasulan awam, dan menguraikan asas-asas dasarnya, pun juga menyampaikan petunjuk-petunjuk pastoral untuk melaksanakannya secara lebih tepat guna. Hendaknya itu semua dipandang sebagai kaidah-kaidah dalam meninjau kembali hukum kanonik sejauh menyangkut kerasulan awam.

1

Lih. YOHANES XXIII, Konstitusi apostolik Humanae Salutis, 25 Desember 1961: AAS 54 (1962) hlm. 7-10. Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 33 dsl. – Lih. juga Konstitusi tentang Liturgi, art. 26-40. – Dekrit tentang sarana-sarana Komunikasi Sosial. – Dekrit tentang Ekumenisme. – Dekrit tentang Tugas Kegembalaan para Uskup dalam Gereja art 16, 17, 18. – Pernyataan tentang Pendidikan Kristiani, art. 3, 5, 7. 3 Lih. PIUS XII, Amanat kepada para Kardinal, tgl. 18 Februari 1946: AAS 38 (1946) hlm. 101-102. – IDEM, Kotbah kepada Pekerja Katolik muda, tgl. 25 Agustus 1957: AAS 49 hlm. 843. 2

BAB SATU PANGGILAN KAUM AWAM UNTUK MERASUL

2. (Keikut-sertaan awam dalam perutusan Gereja) Gereja diciptakan untuk menyebarluaskan kerajaan kristus di mana-mana demi kemuliaan Allah Bapa, dan dengan demikian mengikut-sertakan semua orang dalam penebusan yang membawa keselamatan[4], dan supaya melalui mereka sluruh dunia sungguh-sungguh diarahkan kepada Kristus. Semua kegiatan Tubuh Mistik, yang mengarah kepada tujuan itu, disebut kerasulan. Kerasulan itu dilaksanakan oleh Gereja melalui semua anggotanya, dengan pelbagai cara. Sebab panggilan kristiani menurut hakikatnya merupakan panggilan untuk merasul juga. Sperti dalam tata-susunan tubuh yang hidup tidak satu pun anggota berifat pasif melulu, melainkan juga beserta kehidupan tubuh juga ikut menjalankan kegiatannya, begitu pula dalam Tubuh Kristus, yakni Gereja, seluruh tubuh “menurut kadar pekerjaan masing-masing anggotanya mengembangkan tubuh” (Ef 4:16). Bahkan sedemikan rupalah dalam tubuh itu susunan serta penggabungan anggota-anggotanya (lih. Ef 4:16), sehingga anggota, yang tidak berperan menurut kadarnya demi pertumbuhan tubuh, juga harus dipandang tidak berguna bagi Gereja atau bagi dirinya sendiri. Dalam Gereja terdapat keanekaan pelayanan, tetapi kesatuan perutusan. Para Rasul serta para pengganti mereka oleh Kristus diserahi tugas mengajar, menyucikan dan memimpin atas nama dan kuasa-Nya. Sedangkan kaum awam ikut serta mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus, menunaikan bagian mereka dalam perutusan segenap Umat Allah dalam gereja dan di dunia [5]. Sesungguhnya mereka menjalankan kerasulan awam dengan kegiatan mereka untuk mewartakan Injil dan demi penyucian sesama, pun untuk meresapi dan menyempurnakan tata-dunia dengan semangat Injil, sehingga dalam tata-hidup itu kegiatan mereka merupakan kesaksian akan Kristus yang jelas, dan mengabdi kepada keselamatan umat manusia. Karena ciri khas status hidup awam yakni: hidup ditengah masyarakat dan urusan-urusan duniawi, maka mereka dipanggil oleh Allah, untuk dijiwai semangat kristiani, ibarat ragi, menunaikan kerasulan mereka di dunia. 3. (Azas-azas kerasulan awam) Kaum awam menerima tugas serta haknya untuk merasul berdasarkan persatuan mereka dengan Kristus Kepala. Sebab melalui Baptis mereka disaturagakan dalam tubuh mistik Kristus, melalui Penguatan mereka diteguhkan oleh kekuatan Roh Kudus, dan demikian oleh Tuhan sendiri ditetapkan untuk merasul. Mereka ditakdiskan menjadi imamat rajawi dan bangsa yang kudus (lih. 1Ptr 2:4-10), untuk melalui segala kegiatan mereka mempersembahkan korban rohani, dan dimana pun juga memberi kesaksian akan Kristus. Melalui sakramen-sakramen, terutama Ekaristi suci, disalurkan dan dipupuklah cinta kasih, yakni bagaikan jiwa seluruh kerasulan[6]. Kerasulan dijalankan dalam iman, harapan dan cinta kasih, yang dicurahkan oleh Roh Kudus dalam hati semua anggota Gereja. Bahkan karena perintah cinta kasih, perintah Tuhan yang utama, segenap umat beriman kristiani didesak untuk mengusahakan kemuliaan Allah melalui kedatangan kerajaan-Nya dan mengikhtiarkan kehidupan kekal bagi semua orang, supaya mereka mengenal satu-satunya Allah yang sejati dan Yesus Kristus yang diutus-Nya (lih. Yoh 17:3). Maka semua orang beriman kristiani mengemban beban mulia, yakni berjerih-payah, supaya Warta keselamatan ilahi dikenal dan diterima oleh semua orang di mana-mana. 4

Lih. PIUS XI, Ensiklik Rerum Ecclesiae: AAS 18 (1926) hlm. 65. Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 31. 6 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 33; lih. juga art. 10. 5

Untuk melaksanakan kerasulan itu Roh Kudus, yang mengerjakan penyucian Umat Allah melalui pelayanan dan sakramen-sakramen, mnganugerahkan kurnia-kurnia khusus juga kepada Umat beriman (lih. 1Kor 12:7), dan “membagikannya kepada masingmasing menurut kehendak-Nya” (1Kor 12:11), supaya “setiap orang menurut rahmat yang diterimanya, melayani sesama”, sehingga mereka pun menjadi “bagaikan pengurus yang baik bagi rahmat Allah yang beraneka” (1Ptr 4:10), demi pembangunan seluruh tubuh dalam cinta kasih (lih. Ef 4:16). Berdasarkan penerimaan karisma-karisma itu, juga yang bersifat lebih sederhana, setiap orang beriman mendapat hak dan tugas untuk mengamalkannya demi kesejahteraan sesama dan pembangunan Gereja, dalam gereja dan masyarakat, dalam kebebasan Roh Kudus, yang bertiup “seperti dikehendakinya” (Yoh 3:8), dan sekaligus dalam persekutuan dengan sesama saudara dalam Kristus, terutama dengan para gembala mereka, yang tugasnya yakni memberi penilaian tentang tulennya karisma-karisma itu dan tentang teraturnya pengamalannya, bukan untuk memadamkan Roh, melainkan untuk menguji segalanya dan mempertahankan apa yang baik (lih. 1Tes 5:12, 19, 21)[7]. 4. (Spiritualitas awam dan tata-kerasulan) Kristus yang diutus oleh Bapa menjadi sumber dan asal seluruh kerasulan Gereja. Maka jelaslah kesuburan kerasulan awam tergantung dari persatuan mereka dengan Kristus yang memang perlu untuk hidup, menurut sabda Tuhan: “Barang siapa tinggal dalam Aku dan Aku dalam dia, ia menghasilkan buah banyak, sebab tanpa Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5). Kehidupan dalam persatuan mesra dengan Kristus itu dalam Gereja dipupuk dengan bantuan-bantuan rohani, yang diperuntukkan bagi semua orang beriman, terutama dengan keikut-sertaan aktif dalam liturgi suci[8]. Upaya-upaya itu hendaknya digunakan oleh para awam sedemikian rupa, sehingga mereka sementara menunaikan dengan saksama tugas-tugas duniawi dalam keadaan hidup yang serba biasa, - tidak menceraikan persatuan dengan Kristus dari hidup mereka, melainkan sambil melaksanakan tugas menurut kehendak Allah, tetap berkembang dalam persatuan itu. Melalui jalan itu kaum awam harus maju dalam kesucian dengan hati riang gembira, sementara mereka berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan dengan bijaksana dan sabar[9]. Baik tugas-pekerjaan dalam keluarga maupun urusan-urusan keduniaan lainnya jangan sampai menjadi asing terhadap cara hidup rohani, menurut amanat Rasul: “Apa pun yang kamu lakukan dalam kata-kata maupun perbuatan, itu semua harus kamu jalankan atas nama Tuhan Yesus Kristus, sambil bersyukur kepada Allah dan Bapa kita melalui Dia” (Kol 3:17). Hidup seperti itu menuntut perwujudan iman, harapan dan cinta kasih, yang tiada hendtinya. Hanya dalam cahaya iman dan berkat renungan sabda Allah manusia dapat selalu dan di mana-mana mengenal Allah, - “kita hidup dan bergerak dan berada” dalam Dia (Kis 17:28), - dalam segala peristiwa mencari kehendak-Nya, memandang Kristus dalam semua orang, entah mereka termasuk kaum kerabat entah tidak, mempertimbangkan dengan cermat makna serta nilai hal-hal duniawi yang sesungguhnya, dalam dirinya maupun sehubungan dengan tujuan manusia. Barang siapa mempunyai iman itu, hidup dalam harapan akan penampakan puteraputera Allah, sambil mengenangkan salib dan kebangkitan Tuhan. Dalam perantauan hidup ini, tersembunyi bersama Kristus dalam Allah dan dibebaskan dari perbudakan kekayaan, sementara mencari harta yang kekal abadi, mereka dengan kebesaran jiwa membaktikan diri seutuhnya untuk meluaskan keraraan Allah dan untuk merasuki dan menyempurnakan tata-dunia ini dengan semangat kristiani. Ditengah kemalangan hidup ini mereka menemukan kekuatan dalam harapan, sementara berpandangan bahwa “penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat 7

Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 12. Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Liturgi , art. 11. 9 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 32; lih juga art. 40-41. 8

dibandingkan dengan kemuliaan di masa mendatang yang akan dinyatakan dalam diri kita” (Rom 8:18). Di dorong oleh cinta kasih yang berasal dari Allah, mereka mengamalkan kebaikan terhadap semua orang, terutama terhadap rekan-rekan seiman (lih. Gal 6:10), sementara mereka menanggalkan “segala kejahatan, segala tipu muslihat dan segala macam kemunafikan, kedengkian dan fitnah” (1Ptr 2:1), dan dengan demikian menarik sesama kepada Kristus. Sebab cinta kasih Allah, yang “dicurahkan ke dalam hati kita melalui Roh Kudus yang dikurniakan kepada kita” (Rom 5:5), menjadikan kaum awam mampu untuk sungguh-sungguh mewujudkan semangat Sabda Bahagia dalam hidup mereka. Sementara mengikuti Yesus yang miskin, mereka tidak merasa hancur karena kekurangan harta duniawi, tetapi juga tidak menjadi sombong karena kelimpahan. Sambilo mengikuti Kristus yang rendah hati, mereka tidak gila hormat (lih. Gal 5:26), melainkan berusaha berkenan kepada Allah lebih daripada kepada manusia, serta selalu siap sedia untuk meninggalkan segalanya demi Kristus (lih. Luk 14:26) dan menanggung penganiayaan demi keadilan (lih. Mat 5:10), sementara mengenangkan sabda Tuhan: “Barang siapa mau mengikuti Aku, hendaklah ia mengingkari dirinya dan memikul salbnya dan mengikuti Aku” (Mat 16:24). Mereka saling bersahabat secara kristiani dan saling membantu dalam kebutuhan manapun juga. Corak hidup rohani kaum awam itu harus memperoleh ciri khusus berdasarkan status pernikahan dan hidup berkeluarga, selibat atau hidup menjanda, dari keadaan sakit, kegiatan profesi dan sosial. Oleh karena itu janganlah mereka berhenti memupuk dengan tekun sifat-sifat dan keutamaan-keutamaan sesuai dengan keadaan-keadaan itu yang telah mereka terima, dan mengamalkan kurnia-kurnia yang telah mereka terima dari Roh Kudus. Selain itu para awam, yang mengikuti panggilan mereka telah masuk anggota salah satu perserikatan atau lembaga yang telah disahkan oleh Gereja, begitu pula berusaha mengenakan dengan setia corak hidup rohaninya yang istimewa. Hendaknya mereka menjunjung tinggi juga kemahiran kejuruan, citarasa kekeluargaan dan kewarganegaraan, maupun keutamaan-keutamaan yang termasuk hidup kemasyarakatan sehari-hari, yakni: kejujuran, semangat keadilan, ketulusan hati, peri-kemanusiaan, keteguhan jiwa, yang memang amat perlu juga bagi hidup kritiani yang sejati. Suri teladan yang sempurna bagi hidup rohani dan hidup merasul itu ialah Santa Perawan Maria, Ratu para Rasul. Selama di dunia ia menjalani hidup kebanyakn orang, penuh kesibukan keluarga, dan jerih payah, tetapi selalu mesar bersatu dengan PuteraNya dan dengan cara yang sangat istimewa ia bekerja sama dengan karya Sang Penyelamat. Tetapi sekarang ia telah diangkat ke sorga, dan “dengan cinta kasih keibuannya ia memperhatikan saudara-saudara Puteranya, yang masih dalam peziarahan dan menghadapi bahaya-bahaya serta kesukaran-kesukaran, sampai mereka mencapai tanah air yang penuh kebahagiaan”[10]. Hendaknya semua saja penuh khidmat berbakti kepadanya, dan menyerahkan hidup serta kerasulan mereka kepada perhatiannya yang penuh rasa keibuan.

10

Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 62; lihat juga art. 65.

BAB DUA TUJUAN-TUJUAN YANG HARUS DICAPAI 5. (Pendahuluan) Karya penebusan Kristus pada hakikatnya menyangkut penyelamatan umat manusia, tetapi merangkum pembaharuan seluruh tata dunia juga. Maka dari itu Gereja bukan hanya diutus untuk menyampaikam warta tentang Kristus dan menyalurkan rahmat-Nya kepada umat manusia, melainkan juga untuk merasuki dan menyempurnakan tata dunia dengan semangat Injil. Jadi dalam melaksanakan perutusan Gereja itu kaum awam menunaikan kerasulan mereka baik dalam bidang rohani maupun di bidang duniawi. Meskipun bidang-bidang itu dibedakan, namun dalam satu-satunya rencana Allah keduanya begitu berhubungan, sehingga Allah sendiri bermaksud mengangkat seluruh dunia menjadi ciptaan baru dalam Kristus, pada tahap awal di dunia ini, sepenuhnya pada hari terakhir. Di kedua bidang itu awam, yang sekaligus orang beriman dan warga masyarakat, wajib terus-menerus menganut bimbingan satu suara hati kristiani. 6. (Kerasulan dimaksudkan untuk mewartakan Injil dan menyucikan umat manusia) Perutusan Gereja menyangkut keselamatan umat manusia, yang harus diperoleh berkat iman akan Kristus dan rahmat-Nya. Maka kerasulan Gereja serta semua anggotanya pertama-tama ditujukan untuk memaparkan warta tentang Kristus kepada dunia dengan kata-kata maupun perbuatan, dan untuk menyalurkan rahmat-Nya. Itu terutama terjadi melalui pelayanan sabda dan sakramen-sakramen, yang secara khas diserahkan kepada para imam. Dalm pelayanan itu kaum awam pun herus memainkan perannya yang sangat penting, yakni sebagai “rekan pekerja demi kebenaran” (3Yoh 8). Terutama dibidang itu kerasulan awam dan pelayanan pastoral saling melengkapi. Bagi kaum awam terbukalah amat banyak kesempatan untuk melaksanakan kerasulan pewartaan Injil dan pengudusan. Kesaksian hidup kristiani sendiri beserta amal baik yang dijalankan dengan semangat adikodrati, mempunyai daya-kekuatan untuk menarik orang-orang kepada iman dan kepada Allah. Sebab Tuhan bersabda: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu di sorga” (Mat 5:16). Akan tetapi kerasulan semacam itu tidak hanya terdiri dari kesaksian hidup saja. Rasul yang sejati mencari kesempatan-kesempatan untuk mewartakan Kristus dengan kata-kata, baik kepada mereka yang tidak beriman untuk menghantar mereka kepada iman, baik kepada kaum beriman untuk mengajar serta meneguhkan mereka, dan mengajak mereka hidup dengan semangat lebih besar. “Sebab cinta kasih Kristus mendesak kita” (2Kor 5:14). Dan dihati setiap orang harus menggema kata-kata Rasul: “Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (1Kor 9:16)[11]. Tetapi pada zaman kita sekarang muncullah masalah-masalah baru, dan beredarlah kesesatan-kesesatan amat gawat, yang berusaha menghancurkan sama sekali agama, tatakesusilaan dan masyarakat manusia sendiri. Maka Konsili suci ini dengan tulus hati mengajak kaum awam, masing-masing menurut bakat-pembawaan dan pendidikan pengetahuannya, supaya mereka – menurut maksud Gereja – lebih bersungguh-sungguh lagi menjalankan peran mereka dalam menggali dan membela azas-azas kristiani, serta dalam menerapkannya dengan cermat pada soal-soal zaman sekarang. 7. (Pembaharuan tata-dunia secara kristiani) Adapun rencana Allah mengenai dunia yakni: supaya umat manusia seia-sekata membaharui dan terus-menerus menyempurnakan tata-dunia. 11

Lih. PIUS XI, Ensiklik Ubi arcano, tgl. 23 Desember 1922: AAS 14 (1922) hlm. 659. – PIUS XII, Ensiklik Summi Pontificatus, tgl. 20 Oktober 1939: AAS 31 (1939) hlm. 442-443.

Segala sesuatu yang mewujudkan tata-dunia, yakni nilai-nilai hidup dan keluarga, kebudayaan, urusan ekonomi, kesenian dan profesi, lembaga-lembaga negara, hubunganhubungan internasional dan lain sebagainya, beserta perkembangan dan kemajuannya, bukan hanya merupakan bantuan untuk mencapai tujuan akhir manusia, melainkan mempunyai nilainya sendiri juga, yang ditanam oleh Allah didalamnya, baik dipandang secara tersendiri, maupun sebagai unsur-unsur seluruh tata dunia: “Dan Allah melihat segala sesuatu yang diciptakan-Nya, dan itu semua sangat baik” (Kej 1:31). Kebaikan alamiah itu menerima martabat khusus karena hubungannya dengan pribadi manusia, sebab semuanya memang diciptakan untuk mengabdi kepadanya. Akhirnya Allah berkenan menghimpun segalanya, baik yang kodrati maupun yang adukodrati, menjadi satu dalam Kristus Yesus, “supaya dalam segala sesuatu Dialah yang terutama” (Kol 1:18). Tetapi arah-tujuan itu bukan hanya tidak menyebabkan tata dunia kehilangan otonominya, tujuan atau sasarannya, hukum-hukumnya, upaya-upayanya sendiri, makana dan nilainya bagi kesejahteraan manusia, justru malahan menyempurnakannya dalam daya kekuatan serta keunggulannya, sekaligus mengangkatnya sehingga setaraf dengan panggilan manusia seutuhnya di dunia ini. Disepanjang sejarah penggunaan hal-hal duniawi dicemarkan oleh cacat cela yang berat, karena manusia tertimpa oleh dosa asal, dan sering jatuh ke dalam amat banyak kesesatan tentang Allah sejati, kodrat manusia dan azas-azas hukum moral. Maka tingkalaku dan lembaga-lembaga manusia mengalami kemerosotan, dan pribadi manusia sendiri tidak jarang diinjak-injak. Juga pada zaman sekarang ini tidak sedikitlah, yang secara berlebihan mengandalkan kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi, dan bagaikan cenderung ke arah pemujaan hal-hal duniawi, serta lebih menjadi budaknya dari pada menjadi tuannya. Tugas seluruh Gerejalah mengusahakan, supaya manusia menjadi mampu menyusun seluruh tata dunia dengan saksama dan mengarahkannya kepada Allah melalui Kristus. Para gembala bertugas mencanangkan debfan jelas azas-azas tentang tujuan penciptaan dan penggunaan dunia, menyajikan bantuan-bantuan moral dan rohani, supaya tata dunia dibaharui dalam Kristus. Adapun kaum awam wajib menerima pembaharuan tata dunia sebagai tugasnya yang khusus, dan dibimbing oleh cahaya Injil dan maksud-maksud Gereja serta didorong oleh cinta kasih kristiani bertindak secara langsung dan terarah dalam tugas itu. Sebagai warga masyarakat mereka wajib bekerja sama dengan sesama warga dengan kemahiran khusus dan tanggung jawab mereka sendiri. Dimana-mana dan dalam segalanya mereka harus mencari keadilan kerajaan Allah. Tata dunia harus diperbaharui sedemikian rupa, sehingga – dengan tetap menjaga keutuhan hukum-hukumnya sendiri – tata dunia diselaraskan dengan azas-azas hidup kristiani yang lebih luhur, dan disesuaikan dengan pelbagai kondisi kondisi tempat, masa dan bangsa. Diantara usaha-usaha kerasulan itu yang mendapat tempat istimewa ialah kegiatan sosial umat kristiani. Konsili suci menginginkan, supaya kegiatan itu sekarang meliputi segenap bidang duniawi, termasuk kebudayaan[12]. 8. (Amal kasih, meterai kerasulan kristiani) Semua pelaksanaan kerasulan harus bersumber pada cinta kasih dan menimba kekuatan dari padanya. Tetapi beberapa kegiatan menurut hakikatnya memang sesuai untuk diubah menjadi ungkapan cinta kasih sendiri yang mempesonakan. Kristus Tuhan menghendakinya sebagai tanda perutusan-Nya sebagai Al-Masih (lih. Mat 11:4-5). Perintah utama menurut hukum ialah mengasihi Allah dengan segenap hati dan mencintai sesama seperti dirinya sendiri (lih. Mat 22:37-40). Kristus menjadikan perintah cinta kasih terhadap sesama itu menjadi hukumnya sendiri, dan memperkayanya dengan makna yang baru, ketika Ia menghendaki diri-Nya sendiri seperti juga saudara-saudan12

Lih. LEO XIII, Ensiklik Rerum Novarum: ASS 23 (1890-1891) hlm. 647. – PIUS XI, Ensiklik Quadragesimo Anno: AAS 2 (1931) hlm. 190. – PIUS XII, Amanat radio, tgl. 1 Juni 1941 : AAS 33 (1941) hlm. 207.

Nya sebagai pribadi yang harus dicintai, dan bersabda: “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang diantara saudara-Ku yang paling hina ini, kamu lakukan untuk Aku” (Mat 25:40). Sebab dengan mengenakan kodrat manusia Ia telah menghimpun segenap umat manusia dalam suatu kesetiakawanan adikodrati menjadi keluarga-Nya. Dan Ia menetapkan cinta kasih menjadi tanda para murid-Nya dengan sabda-Nya: “Semua orang akan tahu, bahwa kamu murid-muridKu, bila kamu saling mengasihi” (Yoh 13:35). Adapun Gereja suci pada awal mula menggabungkan “agape”[13] pada Perjamuan Ekaristi, dan dengan demikian menampilkan, bahwa dirinya seluruhnya dipersatukan oleh ikatan cinta kasih di sekitar Kristus. Begitu pula disepanjang masa Gereja di kenal dengan tanda cinta kasih itu, dan – sambil bergembira tentang usaha pihak-pihak lain – Gereja memandang amal cinta kasih sebagai tugas serta haknya, yang tidak dapat direbut dari padanya. Oleh karena itu belas kasihan terhadap mereka yang miskin dan lemah, maupun apa yang disebut kegiatan karitatif dan kegiatan saling membantu untuk meringankan segala macam kebutuhan manusia, amat dijunjung tinggi oleh Gereja[14]. Karena – berkat lebih lancarnya upaya-upaya komunikasi – jarak antara orang-orang dalam arti tertentu sudah diatasi dan penduduk seluruh dunia seperti sudah menjadi anggota satu keluarga, maka kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha itu sekarang ini menjadi jauh lebih mendesak dan lebih universal. Dewasa ini amal cinta kasih dapat dan harus merangkum semua orang dan menanggapi semua kebutuhan. Orang-orang yang tidak mempunyai makanan dan minuman, pakaian, rumah, obat-obatan, pekerjaan, pendidikan, sarana-sarana yang sungguh perlu untuk hidup secara layak manusiawi, mereka yang tersiksa karena kemalangan dan kondisi badan yang lemah, mereka yang menderita dalam pembuangan atau penjara, di manapun mereka berada, cinta kasih kristiani harus mencari dan menemukan mereka, dengan menerahkan usaha-usaha meringankan penderitaan mereka, dan dengan bantuan yang diberikan mengangkat mereka. Kewajiban itu pertama-tama dibebankan atas orang-orang perorangan dan bangsa-bangsa yang hidupnya sejahtera[15]. Supaya pengalaman cinta kasih itu selalu terluputkan dari segala kecaman dan menjadi nyata sebagai amal kasih, hendaklah pada diri sesama dilihat citra Allah yang menjadi pola penciptaannya, dan Kristus Tuhan – sungguh dipersembahkan kepada-Nya, apa pun yang diberikan kepada orang miskin. Hendaknya diindahkan dengan penuh perikemanusiaan kebebasan dan martabat pribadi yang menerima bantuan. Jangan samapai kejernihan maksud dicemarkan oleh nafsu mencari keuntungan pribadi atau keinginan untuk berkuasa[16]. Pertama-tama hendaknya tuntutan-tuntutan keadilan dipenuhi, supaya apa yang sudah harus diserahkan berdasarkan keadilan jangan diberikan sebagai hadiah cinta kasih. Hendaknya yang ditiadakan jangan hanya akibatakibat kemalangan, melainkan juga sabab-musababnya. Hendaklah bantuan diatur sedemikian rupa, sehingga mereka yang menerimanya lambat-laun makin bebas dari ketergantungan lahiriah dan mampu mencukupi kebutuhan mereka sendiri. Maka dari itu hendaknya kaum awam sungguh menghargai dan sekadar kemampuan menunjang amal cinta kasih serta usaha-usaha bantuan sosial yang bersifat swasta maupun umum, juga yang bersifat internasional. Sebab dengan kegiatan-kegiatan itu diberikan pertolongan yang tepat guna kepada orang-orang perorangan dan bangsabangsa yang menanggung penderitaan. Dalam hal itu hendaknya mereka bekerja sama dengan semua orang yang berkehendak baik[17].

13

“Agape” ialah perjamuan kasih. Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 402. 15 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 440-441. 16 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 442-443. 17 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 442-443. 14

BAB TIGA PELBAGAI BIDANG KERASULAN

9. (Pendahuluan) Kaum awam menunaikan kerasulan mereka yang bermacam-ragam dalam Gereja maupun masyarakat. Dalam kedua tata hidup itu terbukalah pelbagai bidang kegiatan merasul. Yang lebih penting diantaranya akan kami uraikan di sini, yakni: jemaat-jemaat gerejawi, keluarga, kaum muda, lingkungan sosial, tata nasional dan internasional. Karena zaman sekarang ini kaum wanita semakin berperan aktif dalam seluruh hidup masyarakat, maka sangat pentinglah bahwa keikut-sertaan mereka diperluas, juga dipelbagai bidang kerasulan Gereja. 10. (Jemaat-jemaat gerejawi) Karena berperan-serta dalam tugas Kristus sebagai Imam, Nabi dan Raja, kaum awam berperan aktif dalam kehidupan dan kegiatan Gereja. Di dalam jemaat-jemaat gerejawi kegiatan mereka sedemikian perlu, sehingga tanpa kegiatan itu kerasulan para gembala sendiri kebanyakan tidak dapat memperbuahkan hasil yang sepenuhnya. Sebab seperti kaum pria dan wanita, yang membantu Paulus dalam pewartaan Injil (lih. Kis 18:18-26; Rom 16:3), begitu pula para awam, yang berjiwa kerasulan sejati, melengkapi apa yang kurang pada saudara-saudara mereka, dan menyegarkan semangat para gembala maupun Umat beriman lainnya (lih. 1Kor 16:17-18). Sebab diteguhkan karena ikut serta secara aktif dalam kehidupan liturgis jemaat mereka, para awam itu penuh perhatian memainkan peran dalam kegiatan kerasulan jemaat. Orang-orang yang barang kali sedang menjau mereka hantar kembali ke Gereja. Secara intensif mereka menyumbangkan tenaga dengan menyampaikan sabda Allah, terutama melalui katekese. Berkat sumbangan kemahiran mereka –mereka menjadi reksa jiwa-jiwa dan juga tata-usaha harta-milik Gereja lebih tepat guna. Paroki memberi teladan kerasulan jemaat yang jelas, dengan menghimpun semua anggota menjadi satu , entah bagaimanapun mereka itu diwarnai perbedaan-perbedaan manusiawi, dan menyaturagakan mereka ke dalam Gereja semesta[18]. Hendaklah kaum awam membiasakan diri untuk erat bersatu dan bekerja sama dengan para imam di paroki[19]. Hendaknya mereka menyampaikan kepada jemaat gerejawi soal-soal mereka sendiri, problim-problim masyarakat dan masalah-masalah yang menyangkut keselamatan manusia, yang harus diselidiki dipecahkan melalui musyawarah. Hendaknya sekadar kemampuan mereka menyumbangkan jasa-bantuan kepada segala usaha kerasulan dan misioner keluarga gerejawi mereka. Hendaklah mereka selalu penuh perhatian terhadap keuskupan, - paroki mereka bagaikan selnya – dan senantiasa bersedia untuk memenuhi undangan Gembala mereka, serta menyumbangkan tenaga mereka kepada usaha-usaha keuskupan. Bahkan untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan kota-kota dan daerah-daerah pedesaan[20], hendaknya mereka jangan membatasi sumbangan tenaga mereka dalam batas-batas paroki atau keuskupan, melainkan berusaha memperluas ke bidang-bidang antar-paroki, antarkeuskupan, nasional atau internasional, apa lagi karena semakin meningkatnya perpindahan bangsa-bangsa, bertambahnya hubungan-hubungan timbal-balik dan 18

Lih. S. PIUS X, Surat apostolik Creationis duarum novarum paroeciarum, , tgl. 1 juni 1905: ASS 38 (1905) hlm. 65-67. – PIUS XII, Amanat kepada umat paroki S. Saba, tgl. 11 Januari 1953: Discorsie e Radiomessagi di S. S. Pio XII, 14 (1952-1953) hlm. 449-454. – YOHANES XXIII, Amanat kepada klerus dan umat pinggiran kota Albano, disampaikan di castel Gondolfo, tgl. 26 Agustus 1962: AAS 54 (1962) hlm. 656-660. 19 Lih. LEO XII, Amanat tgl. 28 Januari 1894: Acta 14 (1894) hlm. 424-425. 20 Lih. PIUS XII, Amanat kepada para pastor paroki, dan sebagainya, tgl. 6 Februari 1951: Discorsie e Radiomessagi di S. S. Pio XII, 12 (1950-1951), hlm. 437-443; tgl. 8 Maret 1952: ibid., 14 (1952-1953), hlm. 5-10; tgl. 27 Maret 1953: ibid., 15 (1953-1954) hlm. 27-35; tgl. 28 Februari 1954: ibid., hlm. 585-590.

kemudahan komunikasi sudah tidak lagi membiarkan sebagian masyarakat pun tetap terkungkung dalam dirinya. Begitulah hendaknya mereka penuh perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan Umat Allah yang tersebar diseluruh dunia. Terutama hendaknya mereka sendiri ikut serta dalam kegiatan-kegiatan misionesr dengan menyumbangkan bantuan-bantuan materiil ataupun tenaga. Sebab merupakan tugas dan kehormatan bagi Umat kristiani untuk mengembalikan kepada Allah bagian harta kekayaan, yang mereka terima dari pada-Nya. 11. (Keluarga) Pencipta alam semesta telah menetapkan persekutuan suami-isteri menjadi asal-mula dan dasar masyarakat manusia, dan berkat rahmat-Nya menjadikannya sakramen agung dalam Kristus dan dalam Gereja (lih. Ef 5:32). Maka kerasulan antara para suami-isteri dan keluarga-keluarga mempunyai makna yang istimewa bagi Gereja maupun bagi masyarakat. Para suami-isteri kristiani bekerja sama dengan rahmat dan menjadi saksi iman satu bagi yang lain. Bagi anak-anak mereka dan kaum kerabat lainnya. Bagi anak-anak mereka, mereka itulah pewarta iman dan pendidik yang pertama. Dengan kata-kata maupun teladan suami-isteri membina anak-anak untuk menghayati hidup kristiani dan kerasulan. Dengan bijaksana suami-isteri membantu mereka dalam memilih panggilan mereka, dan – sekiranya barangkali terdapat panggilan suci pada mereka, - memupuk itu dengan perhatian sepenuhnya. Selalu merupakan tugas suami-isteri, tetapi sekarang ini merupakan segi amat penting kerasulan mereka: dengan peri-kehidupan mereka menunjukkan dan membuktikan bahwa ikatan pernikahan tidak terceraikan dan suci. Adalah tugas mereka dengan tegas menyatakan bahwa hak dan tugas mendidik anak secara kristiani diserahkan kepada orang tua dan para pendidik. Tugas mereka pula membela martabat dan otonomi keluarga yang sewajarnya. Maka dari itu hendaknya mereka dan Umat beriman kristiani lainnya bekerja sama dengan mereka yang berkehendak baik, supaya dalam perundangan sipil hak-hak itu diprtahankan utuh-utuh; supaya dalam pemerintahan masyarakat diindahkan kebutuhan-kebutuhan keluarga-keluarga mengenai perumahan, pendidikan anak-anak, persyaratan kerja, keamanan sosial dan perpajakan; supaya dalam mengatur perpindahan-perpindahan hidup bersama dalam keluarga sungguh-sungguh dijamin[21]. Keluarga sendiri menerima perutusan dari Allah, untuk menjadi sel pertama dan sangat penting bagi masyarakat. Perutusan itu akan dilaksanakannya, bila melalui cinta kasih timbal balik para anggotanya dan doa mereka bersama kepada Allah, keluarga membawakan diri bagaikan ruang ibadat liturgis Gereja; akhirnya, bila keluarga secara nyata menunjukkan kerelaannya untuk menjamu, dan memajukan keadilan dan amalperbuatan baik lainnya untuk melayani semua saudara yang sedang menderita kekurangan. Diantara pelbagai karya kerasulan keluarga baiklah disebutkan yang brikut ini: memungut kanak-kanak terlantar menjadi anaknya, dengan murah hati menerima para pendatang, membantu menyelenggarakan sekolah-sekolah, mendampingi kaum muda dengan nasehat dan bantuan lainnya, membantu para calon mempelai untuk menyiapkan diri lebih baik bagi pernikahan mereka, ikut berkatekese, membantu para suami-isteri dan keluarga-keluarga yang sedang mengalami kesukaran material maupun moral, bukan saja mencukupi kebutuhan orang-orang tua, melainkan juga secara wajar menyediakan buah-buah ekonomi bagi mereka. Slalu dan di mana-mana, tetapi secara istimewa di daerah-daerah, yang baru saja menerima taburan benih Injil yang pertama, atau bila Gereja baru mengalami tahap-tahap 21

Lih. PIUS XI, Ensiklik Casti Connubii: AAS 22 (1930) hlm. 554. – PIUS XII, Amanat radio, tgl. 1 Januari 1941: AAS 33 (1941) hlm. 203. – IDEM, Amanat kepada para utusan pada Sidang Persatuan Internasional serikat-serikat untuk membela hak-hak keluarga, tgl. 20 September 1949: AAS 41 (1949) hlm. 552. – IDEM, Amanat kepada bapak-napak keluarga di Perancis yang berziarah ke Roma, tgl. 18 September 1951: AAS 43 (1951)hlm. 731. – IDEM, Amanat radio pada hari Natal 1952: AAS 45 (1953) hlm. 41. – YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 429, 439.

awalnya, atau sedang mengalami suatu krisis yang gawat, keluarga-keluarga kristiani, yang hidupnya selaras semata-mata dengan Injil dan memberi teladan pernikahan kristiani yang baik, menyampaikan kesaksian yang sangat berharga tentang Kristus kepada masyarakat[22]. Supaya keluarga-keluarga dapat lebih mudah mencapai sasaran-sasaran kerasulan mereka, dapat berguna bila mereka berhimpun dalam kelompok-kelompok[23]. 12. (Kaum muda) Kaum muda merupakan kekuatan amat penting dalam masyarakat zaman sekarang[24]. Situasi hidup, sikap-sikap batin serta hubungan-hubungan mereka dengan keluarga mereka sendiri telah amat banyak berubah. Seringkali mereka terlalu cepat beralih kepada kondisi sosial ekonomis yang baru. Dari hari ke hari peran mereka di bidang sosial dan juga politik semakin penting. Padahal agaknya mereka kurang mampu menanggung beban-beban baru dengan baik. Bertambah pentingnya peran mereka dalam masyarakat itu menuntut dari mereka kegiatan merasul yang sepadan. Sifat-sifat alamiah merekapun memang sesuai untuk menjalankan kegiatan itu. Sementara kesadaran akan kepribadian mereka bertambah masak, terdorong oleh gairah hidup dan semangat kerja yang meluap, mereka sanggup memikul tanggung jawab sendiri, dan ingin memainkan peran mereka dalamkehidupan sosial dan budaya. Bila gairah itu diresapi oleh semangat Kristus dan dijiwai sikap patuh dan cinta kasih terhadap para Gembala Gereja, maka boleh diharapkan akan memperbuahkan hasil yang melimpah. Mereka sendiri harus menjadi rasul-rasul pertama dan langsung bagi kaum muda, dengan menjalankan sendiri kerasulan dikalangan mereka, sambil mengindahkan lingkungan sosial kediaman mereka[25]. Hendaknya kaum dewasa dalam suasana persahabatan berusaha menjalin dialog dengan kaum muda, sehingga dengan mengatasi jarak umur mungkinlah kedua pihak saling mengenal, dan saling bertukar kekayaan masing-masing. Hendaknya kaum dewasa terutama dengan teladan, dan bila ada kesempatan dengan nasehat yang bijaksana serta bantuan yang tepat guna, mendorong kaum muda untuk merasul. Dipihak lain hendaknya kaum muda memupuk sikap hormat dan kepercayaan terhadap kaum dewasa. Dan meskipun secara alamiah mereka cenderung ke arah hal-hal baru, hendaknya mereka menghargai tradisi-tradisi yang terpuji sebagaimana harusnya. Anak-anak pun mempunyai kegiatan merasul mereka sendiri. Menurut kemampuan mereka, mereka sungguh menjadi saksi-saksi Kristus yang hidup diantara teman-teman. 13. (Lingkungan sosial) Kerasulan di lingkungan sosial merupakan usaha menjiwai mentalitas dan adat kebiasaan, hukum-hukum serta tata-susunan masyarakat disekitar, dengan semangat kristiani. Kerasulan itu merupakan tugas dan beban kaum awam sedemikian rupa, sehingga tak pernah dapat dijalankan oleh orang-orang lain sebagaimana mestinya. Disitulah mereka melengkapi kesaksian hidup dengan kesaksian lisan[26]. Dan disitulah mereka paling cakap untuk membantu sesama saudara, dibidang pekerjaan, kejuruan, studi, perumahan, rekreasi, atau paguyuban setempat. Kaum awam menunaikan perutusan Gereja di dunia itu terutama dengan kesesuaian hidup dengan iman, yang menjadikan mereka terang dunia; dengan ketangguhan mereka dalam urusan manapun juga, sehingga mereka menarik semua orang kepada cinta akan kebenaran dan kebaikan, 22

Lih. PIUS XII, Ensiklik Evangelii praecones, tgl. 2 Juni 1951: AAS 43 (1951) hlm. 514. Lih. PIUS XII, Amanat kepada para utusan dalam Sidang Persatuan Internasional serikat-serikat untuk membela hak-hak keluarga, tgl. 20 September 1949: AAS 41 (1949) hlm. 552. 24 Lih. S. PIUS X, Amanat kepada Perserikatan Kaum Muda Katolik tentang semangat bakti, pengetahuan dan kegiatan, 25 September 1904: ASS 37 (1904-1905) hlm. 296-300. 25 Lih. PIUS XII, Surat Dans quelques semaines kepada Uskup Agung Marianapolis, tentang pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh para pekerja kristiani muda di Kanada, tgl. 24 Mei 1947: AAS 39 (1947) hlm. 257; Amanat radio kepada J. O. C. di Brussel, tgl. 3 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 640-641. 26 Lih. PIUS XI, , Ensiklik Quadragesimo Anno, 15 Mei 1931: AAS 23 (1931) hlm. 225-226). 23

dan akhirnya kepada Kristus dan Gereja; dengan kasih persaudaraan mereka, sehingga mereka ikut menanggung kondisi-kondisi kehidupan, jerih-payah, duka-derita serta aspirasi-aspirasi sesama saudara, dan dengan demikian lambat laun menyiapkan hati semua orang bagi karya rahmat yang menyelamatkan; dengan penuhnya kesadaran akan peran-serta mereka dalam membangun masyarakat, sehingga mereka berusaha menjalankan kewajiban-kewajiban mereka dalam hidup berkeluarga, dalam masyarakat dan dibidang kejuruan mereka dengan kebesaran jiwa kristiani. Demikianlah cara bertindak mereka lambat-laun merasuki lingkungan hidup dan kerja. Kerasulan itu harus ditujukan kepada semua orang, siapa pun yang berada di lingkungan itu, dan tidak boleh mengecualikan jasa rohani maupun jasmani mana pun juga, yang dapat diberikan kepada mereka. Tetapi rasul-rasul yang sejati tidak puas dengan kegiatan itu saja. Mereka sungguh bermaksud juga untuk mewartakan kristus secara lisan kepada sesama. Sebab banyak orang hanya dapat mendengarkan Injil dan mengenal Kristus melalui para awam tetangga mereka. 14. (Bidang-bidang nasional dan internasional) Terbukalah gelanggang kerasulan yang tak terduga luasnya ditingkat nasional maupun internasional, terutama bagi kaum awam, untuk mengabdikan diri kepada kebijaksanaan kristiani. Dalam berbakti kepada bangsa dan dalam menunaikan tugas-tugas kewarganegaraan dengan setia, Umat katolik hendaknya menyadari kewajibannya untuk memajukan kesejahteraan umum yang sejati. Hendaknya mereka berusaha berpengaruh dengan bobot pandangan mereka, sehingga pemerintahan dijalankan dengan adil, dan hukum-hukum selaras dengan tuntutan-tuntutan moral serta menunjang kesejahteraan umum. Hendaknya orang-orang katolik, yang mahir dibidang politik, dan sebagaimana wajarnya berdiri teguh dalam iman serta ajaran kristiani, jangan menolak untuk menjalankan urusan-urusan umum. Sebab dengan jasa-jasa mereka yang pantas dihargai itu mereka dapat mendukung kesejahteraan umum, dan sekaligus merintis jalan bagi Injil. Hendaknya Umat katolik berusaha bekerja sama dengan semua orang yang beritikad baik, untuk memajukan apa pun yang benar, apa pun yang adil, apa pun yang suci, apa pun yang manis (Flp 4:8). Hendaklah Umat katolik berdialog dengan mereka, serta mendekati mereka dengan bijaksana dan penuh pengertian, lagi pula menyelidiki, bagaimana menyempurnakan lembaga-lembaga sosial dan umum menurut semangat Injil. Di antara tanda-tanda zaman kita yang layak mendapat perhatian istimewa yakni: semangat setia kawan antara semua bangsa, yang makin meluas dan tak terelakkan. Tugas kerasulan awamlah penuh kesungguhan memajukan solidaritas itu, dan mengubahnya menjadi kasih persaudaraan yang tulus dan sejati. Selain itu kaum awam perlu mnyadari kenyataan bidang internsional serta masalah-masalah dan pemecahanpemecahannya yang bersifat ajaran maupun langkah-langkah praktis pada taraf itu, trutama yang menyangkut bangsa-bangsa yang sedang berkembang[27]. Hendaknya mereka semua, yang bekerja ditengah bangsa-bangsa lain atau menyelenggarakan bantuan kepada mereka, mengingat bahwa hubungan-hubungan antar bangsa harus merupakan pertukaran jasa yang sungguh bersifat persaudaraan, sehingga kedua pihak sekaligus memberi dan menerima. Adapun mereka yang menempuh perjalanan untuk karya-kegiatan internasional, untuk menyelesaikan urusan atau untuk berlibur, hendaklah mengingat, bahwa dimanapun juga mereka serta-merta menjadi pewarta-pewarta Kristus yang sedang berkeliling, dan sungguh bertingkah laku menurut kenyataan itu.

27

Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 448-450.

BAB EMPAT BERBAGAI CARA MERASUL

15. (Pendahuluan) Kaum awam dapat menjalankan kerasulan mereka secara perorangan atau tergabung dalam berbagai paguyuban atau perserikatan. 16. (Pentingnya aneka bentuk kerasulan perorangan) Kerasulan, yang harus dijalankan oleh setiap orang secara pribadi dan secara melimpah mengalir dari sumber hidup kristiani yang sejati (lih. Yoh. 4:14), merupakan landasan dan syarat bagi semua kerasulan awam, juga yang bersifat kolektif, dan tidak dapat digantikan oleh apa pun juga. Meskipun mereka tidak ada kesempatan atau kemungkinan untuk bekerja sama dalam perserikatan, namun semua awam dalam keadaan mana pun juga dipanggil dan wajib menjalankan kerasulan. Kerasulan itu selalu dan di mana-mana memang berharga, tetapi dalam situasi-situasi tertentu merupakan satu-satunya yang sesuai dan mungkin. Terdapat banyak bentuk kerasulan, yang bagi kaum awam merupakan jalan untuk membangun Gereja, dan menguduskan mereka dunia serta menjiwainya dalam Kristus. Bentuk khusus kerasulan perorangan lagi pula tanda paling sesuai bagi zaman kita, yang menampilkan bahwa Kristus hidup dalam Umatnya yang beriman, ialah kesaksian seluruh hidup sebagai awam, yang bersumber pada iman, harapan dan cinta kasih. Namun melalui kerasulan secara lisan, yang dalam situasi-situasi tertentu memang sungguh perlu, para awam mewartakan Kristus, menguraikan jaran-Nya, menyebarluaskannya menurut kondisi serta kemampuan masing-masing, dan mengakuinya dengan setia. Kecuali itu, dengan menyumbangkan tenaga sebagai warga dunia ini dalam upayaupaya untuk membangun dan mengurus tata dunia sekarang, haruslah kaum awam dalam hidup berkeluarga, dibidang kejuruan, kebudayaan dan kemasyarakatan, dalam terang iman mencari motivasi-motivasi yang lebih luhur, dan bila ada kesempatan mengungkapkannya kepada sesama, karena menyadari bahwa dengan demikian mereka bekerja sama dengan Allah pencipta, Penebus dan Pengudus, serta memuliakan-Nya. Akhirnya hendaklah para awam menjiwai hidup mereka dengan cinta kasih, dan sejauh mampu mengungkapkannya dengan tindakan nyata. Hendaklah segenap umat mengingat, bahwa dengan ibadat resmi dan doa, dengan bertobat dan secara suka rela menerima jerih-payah serta kesukaran-kesukaran hidup, yang menjadikan mereka serupa dengan Kristus yang menderita sengsara (lih. 2Kor 4:10; Kol 1:24), mereka dapat menjangkau semua orang, dan membawa sumbangan bagi keselamatan seluruh dunia. 17. (Kerasulan awam dalam situasi-situasi tertentu) Kerasulan perorangan itu sangat perlu dan mendesak di daerah-daerah, tempat kebebasan Gereja menghadapi rintangan-rintangan yang berat. Dalam situasi yang amat sulit itu kaum awam sejauh mereka mampu menggantikan para imam, dengan menanggung resiko bagi kebebasan mereka sendiri dan acap kali juga bagi hidup mereka. Kepada orang-orang disekitar mereka menyampaikan ajaran kristiani; mereka membina sesama dalam hidup keagamaan dan semangat katolik; mereka mengajak sesama untuk sering menerima sakramen-sakramen, dan terutama untuk berbakti kepada Ekaristi suci[28]. Konsili suci dengan setulus hati bersyukur kepada Allah, yang juga pada zaman 28

Lih. PIUS XII, Amanat kepada Kongres I untuk mengembangkan Kerasulan Awam di segala bangsa, tgl. 15 Oktober 1951: AAS 43 (1951) hlm. 788.

kita sekarang tidak berhenti membangkitkan para awam yang berjiwa teguh bagaikan pahlawan ditengah penganiayaan, dan menyambut mereka penuh kasih kebapaan serta rasa syukur. Kerasulan perorangan menemukan gelanggang yang istimewa di mana Umat katolik hanya sedikit jumlahnya dan hidup terpencar. Di situ para awam, yang hanya merasul secara perorangan entah karena sebab-sebab tersebut diatas, entah karena alasan-alasan khas yang muncul dari kegiatan profesional mereka sendiri, seyogyanya toh mengadakan pertemuan-pertemuan dalam kelompok-kelompok kecil, tanpa bentuk kelembagaan atau organisasi yang ketat, sehingga selalu nampaklah tanda persekutuan Gereja bagi orangorang lain, sebagai kesaksian cinta kasih yang sejati. Demikianlah, melalui persahabatan dan pertukaran pengalaman, dengan saling memberi bantuan rohani, mereka diteguhkan untuk mengatasi kendala-kendala hidup serta kegiatan yang serba terpencil, dan untuk memperbuahkan hasil kerasulan yang lebih banyak. 18. (Pentingnya kerasulan yang terpadu) Umat beriman kristiani sebagai perorangan dipanggil untuk merasul di pelbagai situasi hidup mereka. Tetapi hendaknya mereka mengingat, bahwa manusia menurut kodratnya bersifat sosial, dan bahwa Allah (lih. 1Ptr 2:5-10) dan menjadi satu tubuh (lih. 1Kor 12:12). Dan oleh karena itu kerasulan yang terpadu memang sungguh menanggapi tuntutan Umat kristiani baik sebagai manusia maupun sebagai orang kristiani, dan sekaligus menyajikan tanda persekutuan dan kesatuan Gereja dalam kristus yang bersabda: “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, disitu Aku hadir di tengahtengah mereka” (Mat 18:20). Maka dari itu hendaklah Umat beriman serentak mengarahkan kerasulan mereka kepada tujuan yang sama[29]. Hendaknya mereka menjadi rasul di lingkungan keluarga mereka sendiri, di paroki maupun di keuskupan, yang semuanya mengungkapkan sifat kebersamaan kerasulan, begitu pula dalam kelompok-kelompok sukarela yang mereka bentuk atas pilihan sendiri. Kerasulan yang terpadu amat penting juga, karena dalam jemaat-jemaat Gereja maupun di pelbagai lingkungan kerasulan sering perlu dilaksanakan dalam kegiatan bersama. Sebab perserikatan-perserikatan, yang didirikan untuk kegiatan-kegiatan merasul secara bersama, mendukung para anggotanya dan membina mereka untuk merasul, lagi pula dengan cermat menyiapkan serta mengatur usaha-usaha kerasulan mereka, sehingga dari padanya boleh diharapkan hasil-hasil yang jauh lebih melimpah, daripada bila masing-masing menjalankan kegiatannya sendiri. Adapun dalam situasi sekarang sangat perlulah, bahwa dalam lingkup kegiatan kaum awam bentuk kolektif kerasulan dalam suatu organisasi dimantapkan. Sebab hanya perpaduan erat usaha-usahalah yang mampu mencapai sepenuhnya semua tujuan kerasulan zaman sekarang, dan melindungi buah-hasilnya secara tepat guna[30]. Dalam perspektif itu sungguh sangat pentinglah, bahwa kerasulan juga menjangkau alam pandangan umum dan kondisi-kondisi sosial mereka, yang mau dilayani. Sebab kalau tidak, mereka itu sering tidak akan mampu menghadapi tekanan pandangan umum atau lembaga-lembaga. 19. (Aneka bentuk kerasulan terpadu) Perserikatan kerasulan amat beraneka-ragam[31]: ada yang mempunyai tujuan umum kerasulan Gereja; ada yang secara khusus bertujuan pewartaan Injil dan pengudusan; ada yang tujuannya merasuki tata dunia ini dengan semangat kristiani; ada pula yang secara khas memberi kesaksian akan Kristus melalui amal belas kasihan dan cinta kasih. 29

Lih. PIUS XII, Pidato tersebut di atas, hlm. 787-788. Lih. PIUS XII, Ensiklik Le pelerinage de Lourdes (tentang peziarahan ke lourdes), tgl. 2 Juli 1957: AAS 49 (1957) hlm. 615. 31 Lih. PIUS XII, Amanat kepada Dewan Federasi Internasional kaum pria katolik, tgl. 8 Desember 1956: AAS 49 (1957) hlm. 26-27. 30

Diantara persekutuan-persekutuan itu yang pertama-tama layak diperhatikan ialah: yang memupuk dan menjunjung tinggi perpaduan yang lebih erat antara hidup praktis dan iman para anggotanya. Himpunan-himpunan itu bukan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri, melainkan harus mengabdi pelaksanaan perutusan Gereja terhadap dunia. Daya kerasulannya tergantung dari kesesuaiannya dengan tujuan-tujuan Gereja dan dari kesaksian kristiani serta semangat Injil masing-masing anggotanya maupun seluruh perserikatan. Namun bila dipertimbangkan struktur-struktur dan gerak perkembangn masyarakat zaman sekarang, tugas perutusan universal Gereja menuntut, supaya usaha-usaha kerasulan Umat katolik semakin menyempurnakan bentuk-bentuk organisasi pada tingkat internsional. Organisasi-organisasi katolik internasional akan lebih penuh mencapai tujuannya, bila kelompok-kelompok yang tergabung di dalamnya serta para anggotanya semakin erat bersatu dengannya. Dengan tetap memelihara hubungan dengan Pimpinan Gereja sebagaimana mestinya[32], kaum awam berhak mendirikan[33] dan memimpin perserikatan, dan masuk anggota perserikatan yang sudah ada. Tetapi hendaknya dihindari penghamburan tenaga; itu terjadi bila tanpa alasan yang cukup dipropagandakan himpunan-himpunan dan karya-karya yang baru, atau bila tetap dipertahankan perserikatan-perserikatan yang sudah tidak berguna lagi atau metode-metode yang sudah usang. Dan tidak selalu cocok, bahwa bentuk-bentuk kerasulan, yang dijalankan ditengah bangsa tertentu, begitu saja dialihkan kepada bangsa-bangsa lain[34]. 20. (“Aksi Katolik”) Sejak beberapa dasawarsa di pelbagai negeri kaum awam semakin banyak membaktikan diri dalam kerasulan. Mereka berhimpun dalam pelbagai bentuk kegiatan dan perserikatan, yang sambil memelihara hubungan cukup erat dengan Hirarki telah dan tetap masih mengejar tujuan-tujuan kerasulan yang sejati. Diantara yayasan-yasan itu atau himpunan-himpunan serupa yang sudah lebih tua, terutama layak disebutkan perserikatan-perserikatan, yang memang menganut bermacam-macam cara berkarya, namun telah memperbuahkan hasil-hasil yang amat melimpah bagi kerajaan Kristus. Persekutuan-persekutuan itu oleh para Paus dan banyak Uskup sudah selayaknya dianjurkan dan didukung perkembangannya, mereka sebut “Aksi Katolik”, dan sering sekali dilukiskan sebagai kerja sama kaum awam dalam kerasulan Hirarki[35]. Bentuk-bentuk kerasulan itu, - entah disebut “Aksi Katolik” entah tidak, - zaman sekarang ini menjalankan kerasulan yang sungguh berharga, dan mencantum perpaduan serta keseluruhan ciri-ciri berikut: a) Tujuan langsung organisasi-organisasi semacam itu ialah tujuan kerasulan Gereja, yakni: untuk mewartakan Injil kepada sesama dan menguduskan mereka, serta untuk membina suara hati mereka secara kristiani sedemikian rupa, sehingga mereka mampu merasuki pelbagai jemaat serta berbagai lingkungan dengan semangat Injil. b) Para awam bekerja sama dengan Hirarki dengan cara mereka sendiri, dan menyumbangkan pengalaman mereka serta memikul tanggung jawab dalam memimpin organisasi-organisasi itu, dalam mempertimbangkan situasi-situasi kegiatan pastoral Gereja, dan dalam menjabarkanta melaksanakan program kegiatan-kegiatan. c) Para awam bertindak secara terpadu bagaikan tubuh organis, sehingga persekutuan Gereja dilambangkan secara lebih mengena, dan kerasulan menjadi lebih subur. d) Para awam, entah mereka menyediakan diri secara sukarela, atau diundang untuk menjalankan kegiatan dan menjalin kerjasama langsung dengan kerasulan Hirarki,

32

Lih. di bawah, bab V art. 24. Lih. KONGREGASI KONSILI, Keputusan Corrienten, tgl. 13 November 1920: AAS 13 (1921)hlm. 139. 34 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Princeps Pastorum, tgl. 10 Desemb er 1959: AAS 51 (1959) hlm. 856. 35 Lih. PIUS XI, Surat Quae nobis kepada Kardinal Bertram, tgl. 13 November 1928: AAS 20 (1928) hlm. 385. – Lih. juga PIUS XII, Amanat kepada Aksi Katolik Italia, tgl. 4 September 1940: AAS 32 (1940) hlm. 362. 33

bertindak dibawah kepemimpinan lebih tinggi Hirarki, yang dapat mengesahkan kerja sama itu juga dengan suatu ketetapan eksplisit. Organisasi-organisasi, yang menurut penilaian Hirarki memang ditandai oleh keseluruhan ciri-ciri itu, harus dipandang sebagai “Aksi Katolik”, meskipun karena tuntutan berbagai temapat maupun suku bangsa bentuk-bentuk serta namanya berbedabeda. Konsili suci sangat menganjurkan lembaga-lembaga itu, yang dibanyak negeri sungguh menanggapi kebutuhan-kebutuhan kerasulan Gereja. Konsili mengajak para imam maupun awam, yang terlibat di dalamnya, untuk semakin mewujudkan ciri-ciri tersebut di atas, dan untuk selalu bekerja sama dengan semua bentuk kerasulan lainnya dalam Gereja dalam suasana persaudaraan. 21. (Penghargaan terhadap organisasi-organisasi) Semua perserikatan kerasulan hendaknya dihargai sebagaimana layaknya. Tetapi persekutuan-persekutuan, yang oleh Hirarki, menurut kebutuhan-kebutuhan masa dan daerah-daerah, dipuji atau dianjurkan, atau ditetapkan untuk didirikan karena lebih mendesak, harus paling diutamakan oleh para imam, para religius dan kaum awam, serta dikembangkan menurut cara mereka masing-masing. Tetapi yang sekarang ini termasuk diantaranya terutama organisasi-organisasi atau himpunan-himpunan internasional Umat katolik. 22. (Kaum awam secara istimewa berbakti kepada Gereja) Yang dalam Gereja layak mendapat pujian dan penghargaan istimewa yakni para awam, entah berkeluarga entah tidak, yang untuk selamanya atau untuk sementara membaktikan diri beserta kemahiran profesionalnya guna melayani lembaga-lembaga karya-karyanya . Bagi Gereja sangat menggembirakan, bahwa semakin bertambhalah jumlah para awam, yang menyumbangkan pelayanan mereka kepada perserikatanperserikatan dan karya-karya kerasulan, entah di negeri sendiri entah pada tingkat internasional, entah terutama di jemaat-jemaat katolik di daerah misi dan dalam GerejaGereja muda. Hendaknya para gembala Gereja dengan senang hati dan rasa syukur menyambut para awam itu, dan berusaha supaya kondisi-kondisi hidup mereka sedapat mungkin memenuhi tuntutan-tuntutan keadilan, kelayakan dan cinta kasih, terutama mengenai nafkah yang sepantasnya bagi mereka beserta keluarga mereka, pun juga supaya mereka menerima pembinaan, dukungan rohani serta dorongan.

BAB LIMA TATA-TERTIB YANG HARUS DIINDAHKAN 23. (Pendahuluan) Kerasulan awam, yang dijalankan oleh Umat beriman baik secara perorangan maupun secara kolektif, harus disaturagakan dengan tepat dalam kerasulan seluruh Gereja. Bahkan hubungan dengan mereka , yang oleh Roh Kudus ditetapkan untuk membimbing Gereja Allah (lih. Kis 20:28), merupakan unsur hakiki kerasulan kristiani. Tidak kurang perlulah kerja sama antara pelbagai usaha kerasulan, yang harus diatur oleh Hirarki secara selaras. Sebab semangat persatuan perlu ditingkatkan, supaya diseluruh kerasulan Gereja bersinarlah cinta kasih persaudaraan, agar tujuan-tujuan umum tercapai, dan persainganpersaingan yang berbahaya dihindarkan. Untuk maksud itu antara semua bentuk

kerasulan dalam gereja diperlukan sikap saling menghargai, dan – tanpa mengurangi sifat khas masing-masing – perpaduan yang serasi[36]. Itu terutama diperlukan, bila suatu kegiatan istimewa dalam Gereja membutuhkan keselarasan dan kerja sama kerasulan antara kedua golongan klerus, para religius dan kaum awam. 24. (Hubungan-hubungan dengan Hirarki) Hirarki wajib mendukung kerasulan awam, menggariskan prinsip-prinsipnya dan menyediakan bantuan-bantuan rohani, mengatur pelaksanaan kerasulan demi kesejahteraan Gereja, dan menjaga supaya ajaran serta tata-tertib Gereja tetap di patuhi. Adapun kerasulan awam mengenal pelbagai cara berhubungan dengan Hirarki, sesuai dengan pelbagai bentuk serta sasaran kerasulan itu. Sebab dalam gereja terdapat amat banyak usaha kerasulan, yang terwujudkan atas pilihan bebas kaum awam, dan yang kepemimpinannya berlangsung atas kebijaksanaan serta kearifan mereka. Berkat usaha-usaha itu perutusan Gereja di berbagai situasi dapat terlaksana dengan lebih baik; maka tidak jarang usaha-usaha itu di puji dan dianjurkan oleh Hirarki[37]. Tetapi suatu usaha hanya boleh menggunakan nama “katolik”, bila mendapat persetujuan pimpinan Gereja yang sah. Berbagai bentuk kerasulan awam dengan berbagai cara pula diakui secara eksplisit oleh Hirarki. Selain itu, untuk menanggapi tuntutan-tuntutan kesejahteraan Gereja, Pimpinan Gereja dapat memilih bebrapa diantara persekutuan-persekutuan dan usaha-usaha kerasulan yang secara langsung bertujuan rohani, secara istimewa mengembangkannya, dan mengambil tanggung jawab khusus terhadapnya. Begitulah Hirarki dengan aneka cara mengatur kerasulan untuk menanggapi berbagai keadaan. Bentuk-bentuk kerasulan tertentu dihubungkannya secara lebih erat dengan tugas kerasulannya sendiri. Tetapi hakekat kerasulan masing-masing serta perbedaan antara keduanya dipertahankan, dan karena itu kesempatan yang diperlukan oleh kaum awam untuk bergerak secara suka rela tidak ditiadakan. Tindakan hirarki itu dalam berbagai dokumen gereja disebut “mandat”. Kemudian Hirarki juga mempercayakan kepada kaum awam berbagai tugas, yang lebih erat berhubungan dengan tugas-tugas para gembala, misalnya dibidang pengajaran kristiani, dalam berbagai upacara liturgi, dalam reksa pastoral. Berdasarkan perutusan itu dalam pelaksanaan tugas mereka para awam wajib mematuhi sepenuhnya Pimpinan Gereja yang lebih tinggi. Berkenaan dengan usaha-usaha dan lembaga-lembaga yang menyelenggarakan usrusan-urusan duniawi, tugas Hirarki Gereja yakni mengajarkan dan menafsirkan secara otentik kaidah-kaidah moral mengenai pelaksanaan hal-hal keduniawian itu. Merupakan wewenang Hirarki juga: dengan mempertimbangkan segalanya masak-masak dan memanfaatkan bantuan para pakar, menilai seberapa jauh usaha-usaha dan lembagalembaga semacam itu sesuai dengan kaidah-kaidah moral, serta menetapkan mengenai semua apa yang diperlukan, untuk menjaga dan mengembangkan harta-kekayaan adikodrati. 25. (Bantuan para imam bagi kerasulan awam) Hendaklah para Uskup, pastor-pastor paroki dan para imam lainnya, baik diosesan maupun religius, bahwa hak serta tugas merasul sama-sama ada pada semua orang beriman baik klerus maupun awam, dan bahwa dalam pembangunan Gereja para awam pun menjalankan peran mereka sendiri [38]. Maka dari itu hendaknya mereka dalam Gereja dan demi Gereja bekerja sama secara persaudaraan dengan kaum awam, dan secara

36

Lih. PIUS XI, Ensiklik Quamvis Nostra, tgl. 30 April 1936: AAS 28 (1936) hlm. 160-161. Lih. KONGREGASI KONSILI, Keputusan Corrienten, tgl. 13 November 1920: AAS 13 (1921) hlm. 137-140. 38 Lih. PIUS XII, Amanat kepada Sidang II untuk memajukan Kerasulan Awam di antara Semua Bangsa, tgl. 5 Oktober 1957: AAS 49 (1957) hlm. 927. 37

istimewa menaruh perhatian terhadap para awam dalam karya-karya kerasulan mereka[39]. Hendaknya dipilih dengan cermat imam-imam, yang cakap dan telah disiapkan secukupnya untuk memberi bantuan dalam bentuk-bentuk khusus kerasulan awam[40]. Adapun mereka, yang atas perutusan yang diterima dari Hirarki menunaikan pelayanan itu, mewakilinya dalam kegiatan pastoral mereka. Hendaklah mereka memupuk keserasian hubungan-hubungan para awam dengan Hirarki, sambil selalu dengan setia mematuhi semangat serta ajaran Gereja. Hendaknya mereka membaktikan diri dengan memupuk hidup rohani serta semangat merasul pada persekutuan-persekutuan katolik yang dipercayakan kepada mereka. Hendaknya mereka mendampingi kegiatan kerasulan himpunan-himpunan itu dengan nasehat mereka yang bijaksana, serta mendukung usaha-usahanya. Hendaklah mereka terus menerus bertemu wicara dengan kaum awam, dan penuh perhatian menyelidiki manakah cara-cara, yang dapat makin menyuburkan kegiatan merasul. Hendaknya mereka meningkatkan semangat persatuan di dalam perserikatan itu sendiri, begitu pula antara persekutuan itu dengan persekutuanpersekutuan lainnya. Akhirnya hendaklah para religius, para bruder maupun suster, menghargai karyakarya kerasulan kaum awam. Hendaknya mereka dengan senang hati membaktikan diri untuk ikut mengembangkan kegiatan-kegiatan kaum awam menurut semangat dan kaidah-kaidah tarekat mereka[41]. Hendaknya mereka berusaha mendukung, membantu dan melengkapi tugas-tugas para imam. 26. (Upaya-upaya yang berguna bagi kerja sama) Di keuskupan-keuskupan sedapat mungkin hendaklah terdapat panitia-panitia, untuk membantu karya kerasulan Gereja, baik dibidang pewartaan Injil dan pengudusan, maupun bidang amalkasih, sosial dan lain-lain; di situ para imam dan religius hendaknya dengan cara yang tepat bekerja sama dengan para awam. Panitia-panitia itu akan dapat memantapkan koordinasi antara pelbagai persekutuan-persekutuan serta usaha-usaha para awam, tanpa mengurangi sifat-sifat serta otonomi masing-masing[42]. Bila mungkin panitia-panitia semacam itu hendaknya diadakan juga dilingkup paroki atau antar-paroki, antar keuskupan, di tingkat nasional atau internasional[43]. Kecuali itu pada Takhta suci hendaknya didirkan suatu Sekretariat khusus guna melayani dan mendorong kerasulan awam, bagaikan suatu pusat, untuk dengan upayaupaya yang sesuai menyajikan informasi-informasi tentang pelbagai usaha kerasulan awam, untuk mempelajari penelitian-penelitian tentang masalah-masalah aktual yang muncul dibidang itu, dan untuk dengan nasehat-nasehatnya mendampingi Hirarki serta kaum awam dalam karya-karya kerasulan. Dalam sekretariat itu hendaknya pelbagai gerakan serta usaha kerasulan awam diseluruh dunia berperan-serta, dan para imam serta religius pun bekerja sama dengan kaum awam. 27. (Kerja sama dengan Umat kristen dan umat beragama lain) Pusaka-warisan Injil bersama, dan berdasarkan itu tugas bersama memberi kesaksian kristiani menganjurkan dan sering pula menuntut kerja sama Umat katolik dengan Umat kristen lainnya. Kerja sama itu harus dijalankan oleh orang-perorangan maupun oleh jemaat-jemaat, dalam kegiatan-kegiatan pun juga dalam persekutuan-persekutuan, ditingkat nasional maupun internasional[44].

39

Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 37. Lih. PIUS XII, Ajakan apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 660. 41 Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Pembaharuan Hidup Religius yang disesuaikan, art. 8. 42 Lih. BENDIKTUS XIV, De Synodo Dioecesana (tentang Sinode keuskupan), buku III, bab IX, n. VII-VIII: Opera Omnia in tomos XVII distributa, jilid XI (Prato 1844), hlm. 76-77. 43 Lih. PIUS XI, Ensiklik Quamvis Nostra, tgl. 30 April 1936: AAS 28 (1939) hlm. 160-161. 44 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 456-457. – Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Ekumenisme, art. 12. 40

Nilai-nilai manusiawi bersama pun tidak jarang menuntut kerja sama yang serupa antara Umat kristiani yang mengejar tujuan-tujuan kerasulan mereka, yang tidak menyandang nama kristiani, namun mengakui nilai-nilai itu juga. Melalui kerja sama yang dinamis dan bijaksana itu [45], yang besar maknanya dalam kegiatan-kegiatan duniawi, kaum awam memberi kesaksian akan Kristus Penyelamat dunia, dan akan kesatuan keluarga manusia.

BAB ENAM PEMBINAAN UNTUK MERASUL 28. (Perlunya pembinaan untuk merasul) Kerasulan hanya dapat mencapai kesuburan yang sepenuhnya, bila ada pembinaan yang bersifat aneka dan lengkap. Pembinaan itu dituntut bukan saja supaya awam sendiri tetap harus berkembang dalam hidup rohani dan pengetahuan ajaran, melainkan juga karena usaha-usahanya harus disesuaikan dengan bermacam-macam situasi, orang-orang, dan tugas-tugas. Pembinaan untuk kerasulan itu harus dilandasi dasar-dasar, yang oleh Konsili suci ini telah dinyatakan dan diuraikan dalam dokumen-dokumen lain[46]. Selain itu pembinaan yang diperuntukkan bagi semua orang kristiani, karena keaneka-ragaman orang-orang dan keadaan-keadaan maka tidak sedikitlah bentuk-bentuk kerasulan, yang memerlukan pembinaan yang khusus juga. 29. (Dasar-dasar pembinaan awam untuk kerasulan) Kaum awam ikut serta menunaikan perutusan Gereja dengan cara mereka sendiri. Maka pembinaan mereka untuk kerasulan juga mendapat cirinya yang istimewa dari sifat sekuler (keduniaan) serta corak hidup rohani yang khas bagi status awam. Pembinaan itu kerasulan mengandaikan suatu pembinaan manusiawi yang utuh dan sesuai dengan watak-perangai serta situasi-situasi masing-masing. Sebab seorang awam, yang mengenal dunia zaman sekarang dengan baik, harus menjadi anggota yang sungguh berintegrasi dalam masyarakat serta kebudayaan sendiri. Akan tetapi seorang awam hendaknya pertama-tama belajar menjalankan perutusan Kristus dan Gereja, dengan hidup dari iman akan misteri ilahi penciptaan dan penebusan, lagi pula digerakkan oleh Roh Kudus yang menghidupkan Umat Allah, dan yang mendorong semua orang untuk mencintai Allah Bapa dan dunia serta orang-orang dalam Dia. Pembinaan itu harus dipandang sebagai dasar dan syarat setiap kerasulan yang subur. Kecuali pembinaan rohani diperlukan pendidikan pengetahuan yang tangguh, yakni dibidang teologi, etika dan filsafat, sesuai dengan usia, situasi hidpu dan bakatkemampuan yang bermcam-macam. Lagi pula janganlah diabaikan pentingnya tingkat hidup budaya yang umum beserta pendidkan praktis dan teknis. Untuk memelihara hubungan-hubungan antar-manusia yang baik perlulah nilai-nilai sungguh manusiawi dikembangkan, terutama seni bergaul dan bekerja sama secara persaudaraan, dan mengadakan dialog. Tetapi, karena pembinaan untuk kerasulan tidak dapat hanya terdiri dari pengajaran teoritis melulu, hendaknya awam setapak demi setapak dan dengan bijaksana, sejak awal pembinaannya, belajar memandang, menilai serta menjalankan segalanya dalam cahaya iman, melalui kegiatannya membina serta menyempurnakan diri bersama orang-orang 45 46

Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Ekumenisme, art. 12. – Lih. juga Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 15. Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, bab II, IV, V. – Lih. juga Dekrit tentang Ekumenisme, art. 4, 6, 7, 12. – Lih. juga di atas; art. 4.

lain, dan dengan demikian secara aktif memulai pengabdiannya kepada Gereja[47]. Pembinaan itu selalu disempurnakan, karena pribadi manusia semakin menjadi dewasa dan karena perkembangan masalah-persoalan, dan menuntut mutu pengetahuan yang semakin tinggi serta kegiatan yang menanggapi situasi. Dalam memenuhi semua persyaratan untuk pembinaan kesatuan dan keutuhan pribadi manusia harus selalu diperhatikan, sehingga keselarasan dan keseimbangannya tetap terjamin dan ditingkatkan. Demikianlah awam secara mendalam dan penuh semangat mengintegrasikan diri ke dalam kenyataan dunia sekarang, dan dengan tepat guna menerima perannya dalam mengurusi perkara-perkaranya, pun sekaligus sebagai anggota yang hidup serta saksi Gereja menghadirkan serta mengaktifkannya di pangkuan kenyataan-kenyataan dunia ini [48]. 30. (Mereka yang wajib membina sesama untuk kerasulan) Pembinaan untuk kerasulan harus mulai sejak awal anak-anak. Tetapi secara istimewa hendaknya para remaja dan kaum muda diperkenalkan dengan kerasulan, dan diresapi semangatnya. Selama hidup pembinaan itu harus disempurnakan, sejauh tugas-tugas baru yang diterima menuntutnya. Maka jelaslah bahwa mereka yang bertugas dalam pendidikan kristiani juga terikat oleh kewajiban untuk memberi pembinaan bagi kerasulan. Merupakan tugas orang tua dalam keluarga: menyiapkan hati anak-anak mereka sejak kecil untuk mengenali cinta kasih Allah terhadap semua orang, serta mengajar mereka demi sedikit, terutama dengan teladan, untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan jasmani maupun rohani sesama. Jadi seluruh keluarga dan kebersamaan hidupnya menjadi bagaikan masa persiapan untuk kerasulan. Disamping itu anak-anak hendaknya dididik, supaya melampaui lingkup keluarga, dan membuka hati bagi jemaat-jemaat gerejawi maupun masyrakat duniawi. Hendaknya mereka ditampung dalam jemaat setempat paroki sedemikian rupa, sehingga disitu mereka memperoleh kesadaran, bahwa mereka merupakan anggota yang hidup dan aktif Umat Allah. Hendaklah para imam dalam katekese dan pelayanan sabda, dalam bimbingan rohani, dan dalam pelayanan-pelayanan pastorl lainnya memperhatikan pembinaan untuk kerasulan. Begitu pula merupakan tugas mereka yang berkecimpung dalam bidang pendidikan di sekolah-sekolah, di kolese-kolese dan lembaga-lembaga katolik lainnya: memupuk semangat katolik dan kegiatan merasul di kalangan kaum muda. Bila pembinaan itu tidak ada, entah karena kaum muda tidak mengunjungi sekolah-sekolah itu, atau karena sebabsebab lain, para orangtua dan gembala jiwa, begitu pula persekutuan-persekutuan kerasulan, hendaknya semakin mengusahakan pembinaan itu. Adapun para guru dan para pendidik, yang karena panggilan serta tugas mereka menjalankan bentuk kerasulan awam yang luhur, hendaknya berbekalkan pengetahuan yang diperlukan dan kecakapan untuk mendidik, sehingga mampu memberi pembinaan itu dengan tepat-guna. Begitu juga kelompok-kelompok dan persekutuan-persekutuan awam, yang mengejar tujuan kerasulan atau tujuan-tujuan adikodrati lainnya, harus dengan sungguh-sungguh dan terus-menerus mengembangkan pembinaan untuk kerasulan sesuai dengan tujuan dan coraknya sendiri [49]. Himpunan-himpunan itu sering merupakan jalan yang biasa untuk pembinaan yang cocok bagi kerasulan. Sebab disitu diberi pembinaan pengetahuan, rohani dan praktis. Para anggotanya bersama dengan teman-teman dan sahabat-sahabat mereka dalam kelompok-kelompok kecil mempertimbangkan cara-cara dan buah hasil usaha-usaha kerasulan mereka, dan membangdingkan cara hidup mereka sehari-hari dengan Injil. 47

Lih. PIUS XII, Amanat kepada Konferensi Internasional I Kepanduan, tgl. 6 Juni 1952: AAS 44 (1952) hlm. 579-580. – YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 456. 48 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 33. 49 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 455.

Pembinaan semacam itu harus di atur sedemikian rupa, sehingga seluruh kerasulan awam ikut dipertimbangkan. Kerasulan itu harus dijalankan bukan saja diantara kelompok-kelompok dalam persekutuan-persekutuan sendiri, tetapi juga dalam segala situasi selama hidup, terutama dalam hidup profesional dan sosial. Bahkan setiap anggota harus dengan tekun menyiapkan diri untuk kerasulan, dan itu lebih mendesak pada usia dewasa. Sebab sementara umur bertambah, jiwa manusia menjadi lebih terbuka, dan dengan demikian setiap orang dapat lebih cermat mengenali bakat-bakat, yang oleh Allah dilimpahkan atas jiwanya; ia dapat dengan lebih subur mengamalkan karisma-karisma, yang oleh Roh Kudus dikurniakan kepadanya demi kesejahteraan saudara-saudaranya. 31. (Penyesuaian pembinaan dengan pelbagai bentuk kerasulan) Pelbagai bentuk kerasulan secara khusus pula menuntut pembinaan yang sesuai. a) Mengenai kerasulan untuk mewartakan Injil kepada sesama dan menguduskan mereka, para awam perlu menerima pembinaan khusus untuk mengadakan wawancara dengan orang-orang lain, entah beriman atau tidak, untuk mengungkapkan amanat kristus kepada semua orang[50]. Adapun zaman sekarang ini materialisme dalam aneka coraknya tersebar luas dimana-mana, juga dikalangan katolik, khususnya pokok-pokok yang sedang diperdebatkan . Selain itu, menghadapi bentuk materialisme mana pun juga hendaknya mereka menampilkan kesaksian hidup menurut Injil. b) Mengenai pembaharuan tata-dunia sekarang ini secara kristiani, hendaknya kaum awam diberi penyuluhan tentang makna yang sesungguhnya dan nilai-nilai duniawi, baik dalam dirinya sendiri, maupun sehubungan dengan semua tujuan pribadi manusia. Hendaklah mereka dilatih dalam menggunakan hal-hal itu dengan tepat, dan dalam mengatur lembaga-lembaga, sambil selalu mengindahkan kesejahteraan umum menurut prinsip-prinsip ajaran moral dan sosial Gereja. Terutama azas-azas ajaran sosial serta kesimpulan-kesimpulannya hendaknya oleh awam dipelajari sedemikian rupa, sehingga mereka menjadi cakap, baik untuk memberikan sumbangan mereka sendiri demi pengembangan ajaran itu, maupun untuk dengan cermat menerapkannya pada masingmasing kejadian[51]. c) Karena amal cinta kasih dan belaskasihan menampilkan kesaksian hidup kristiani yang cemerlang, pembinaan kerasulan juga harus mendorong untuk menjalankan amal kasih itu. Dengan demikian Umat beriman kristiani sejak kecil belajar berbagi duka derita dengan sesama, dan dengan kebesaran jiwa meringankan beban mereka yang menderita kekurangan[52]. 32. (Upaya-upaya yang digunakan) Bagi para awam yang membaktikan diri dalam kerasulan sudah tersedia banyak upayaupaya, yakni: sidang-sidang, kongres-kongres, rekoleksi, latihan rohani, pertemuan yang sering diadakan , konferensi-konferensi, buku-buku, komentar-komentar, untuk memperdalam pengetahuan Kitab suci dan ajaran katolik, untuk memupuk hidup rohani dan memahami situasi dunia, begitu pula untuk menemukan dan mengembangkan metode-metode yang sesuai[53]. Upaya-upaya pembinaan itu memperhitungkan pelbagai bentuk kerasulan di lingkungan-lingkungan, tempat kerasulan itu dijalankan.

50

Lih. PIUS XII, Ensiklik Sertum laetitiae, tgl. 1 November 1939: AAS 31 (1939) hlm. 635-644. – IDEM, Amanat kepada “laureati” Aksi Katolik Italia, tgl. 24 Mei 1953: AAS 45 (1953) hlm. 413-414. 51 Lih. PIUS XII, Amanat kepada Kongrea Paripurna Federasi para pemudi Katolik Sedunia, tgl. 18 April 1952: AAS 44 (1952) hlm. 414-419. – IDEM, Amanat kepada perserikatan Kristiani para Pekerja di Italia (ACLI), tgl. 1 Mei 1955: AAS 47 (1955) hlm. 403-403. 52 Lih. PIUS XII, Amanat kepada para Utusan Sidang Persekutuan-Persekutuan Cinta kasih, tgl. 27 April 1952, Hlm. 470471. 53 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 454.

Untuk tujuan itu telah didirikan pusat-pusat atau lembaga-lembaga pendidikan tinggi, yang telah memperbuahkan hasil-hasil yang amat baik. Konsili suci ini bergembira atas usaha-usaha semacam itu, yang dibeberapa daerah telah berkembang dengan subur, dan menghimbau, supaya juga di temapt-tempat lain usaha-usaha dikembangkan menurut kebutuhan. Kecuali itu segala bidang kerasulan hendaklah didirikan pusat-pusat dokemntasi dan studi bukan hanya di bidang teologi, melainkan juga di bidang antropologi, psikologi, sosiologi, dan metodologi, supaya lebih ditingkatkan lagi bakat-kemampuan kaum awam, pria maupun wanita, kaum muda maupun kaum dewasa.

AJAKAN 33. Maka kepada segenap kaum awam Konsili suci dalam Tuhan menyerukan dengan sangat, supaya mereka dengan suka rela, dengan jiwa besar, dengan hati yang siap-sedia menanggapi sapaan Kristus, yang justru sekarang ini dengan lebih mendesak mengundang mereka, dan supaya mereka mengikuti dorongan Roh Kudus. Hendaknya kaum muda menyadari, bahwa panggilan itu secara istimewa ditujukan kepada mereka, dan menyambutnya penuh kegembiraan dan dengan kebesaran jiwa. Sebab Tuhan sendiri melalui Konsili suci ini sekali lagi mengundang semua para awam, supaya mereka semakin erat bergabung dengan Diri-Nya, dan seraya mengenakan pada diri mereka sendiri cita rasa yang ada pada-Nya (lih. Flp 2:5), ikut serta menjalankan perutusan-Nya yang membawa keselamatan. Sekali lagi Tuhan mengutus mereka ke semua kota dan tempat yang akan dikunjungi-Nya sendiri (lih. Luk 10:1). Mereka diajak untuk – melalui bermacam-macam bentuk dan cara dalam satu kerasulan Gereja, yang tiada hentinya harus disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan zaman yang baru, - membawakan diri sebagai rekan-rekan sekerja-Nya, selalu giat dalam karya Tuhan (lih. 1Kor 15:58). Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan Kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagipula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah. Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 18 bulan November tahun 1965.

Saya PAULUS Uskup Gereja Katolik

(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)

PAULUS USKUP

HAMBA PARA HAMBA ALLAH BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI DEMI KENANGAN ABADI

PERNYATAAN TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA

TENTANG HAK PRIBADI DAN MASYARAKAT ATAS KEBEBASAN SOSIAL DAN SIPIL DALAM HAL KEAGAMAAN

1. MARTABAT PRIBADI MANUSIA semakin disadari oleh manusia zaman sekarang[1]. Bertambahlah juga jumlah mereka yang menuntut, supaya dalam bertindak manusia sepenuhnya menggunakan pertimbangannya sendiri serta kebebasannya yang bertanggung jawab, bukannya terdorong oleh paksaan, melainkan karena menyadari tugasnya. Begitu pula mereka menuntut supaya wewenang pemerintah dibatasi secara yuridis, supaya bats-batas kebebasan yang sewajarnya baik pribadi maupun kelompokkelompok jangan dipersempit. Dalam masyarakat manusia tuntutan kebebasan itu terutama menyangkut harta-nilai rohani manusia, dan teristimewa berkenaan dengan pengalaman agama secara bebas dalam masyarakat. Dengan saksama Konsili Vatikan ini mempertimbangkan aspirasi-aspirasi itu, dan bermaksud menyatakan betapa keinginankeinginan itu selaras dengan kebenaran dan keadilan. Maka Konsili ini meneliti Tradisi serta ajaran suci Gereja, dan dari situ menggali harta baru, yang selalu serasi dengan khazanah yang sudah lama. Oleh karena itu Konsili suci pertama-tama menyatakan, bahwa Allah sendiri telah menunjukkan jalan kepada umat manusia untuk mengabdi kepada-Nya, dan dengan demikian memperoleh keselamatan dan kebahagiaan dalam Kristus. Kita percaya, bahwa satu-satunya Agama yang benar itu berada dalam Gereja katolik dan apostolik, yang oleh Tuhan Yesus diserahi tugas untuk menyebarluaskannya kepada semua orang, ketika bersabda kepada para Rasul: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan babtislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:19-20). Adapun semua orang wajib mencari kebenaran, terutama dalam apa yang menyangkut Allah dan GerejaNya. Sesudah mereka mengenal kebenaran itu, mereka wajib memeluk dan mengamalkannya. Begitu pula Konsili suci menyatakan, bahwa tugas-tugas itu menyangkut serta mengikat suara hati, dan bahwa kebenaran itu sendiri, yang merasuki akal budi secara halus dan kuat. Adapun kebebasan beragama, yang termasuk hak manusia dalam menunaikan tugas berbakti kepada Allah, menyangkut kekebalan terhadap paksaan dalam masyarakat. Kebebasan itu sama sekali tidak mengurangi ajaran katolik tradisional tentang kewajiban moral manusia dan masyarakat terhadap agama yang benar dan satusatunya Gereja Kristus. Selain itu dalam menguraikan kebebasan beragama Konsili suci 1

Lih. YOHAHES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 279; lihat juga hlm. 265. PIUS XII, Amanat radio, 24 Desember 1944: AAS 37 (1945) hlm. 14.

bermaksud mengembangkan ajaran para paus akhir-akhir ini tentang hak-hak pribadi manusia yang tidak dapat di ganggu-gugat, pun juga tentang penataan yuridis masyarakat.

I. AJARAN UMUM TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA 2. (Objek dan dasar kebebebasan beragama) Konsili vatikan ini menyatakan, bahwa pribadi manusia berhak atas kebebasan beragama. Kebebasan itu berarti, bahwa semua orang harus kebal terhadap paksaan dari pihak orang-orang perorangan maupun kelompok-kelompok sosial atau kuasa manusiawi mana pun juga, sedemikian rupa, sehingga dalam hal keagamaan tak seorang pun dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya, atau dihalang-halangi untuk dalam batas-batas yang wajar bertindak menurut suara hatinya, baik sebagai perorangan maupun dimuka umum, baik sendiri maupun bersama dengan orang-orang lain. Selain itu Konsili menyatakan, bahwa hak menyatakan kebebasan beragama sungguh didasarkan pada martabat pribadi manusia, sebagaimana dikenal berkat sabda Allah yang diwahyukan dan dengan akal-budi[2]. Hak pribadi manusia atas kebebasan beragama harus diakui dalam tata hukum masyarakat sedemikian rupa, sehingga menjadi hak sipil. Menurut martabat mereka semua orang – justru sebagai pribadi, artinya berakalbudi dan berkehendak bebas, oleh karena itu mengemban tanggung jawab pribadi, berdasarkan kodrat mereka sendiri terdorong terdorong, dan karena kewajiban moral terikat untuk mencari kebenaran, terutama yang menyangkut Agama. Mereka wajib juga berpegang pada kebenaran yang mereka kenal, dan mengatur seluruh hidup mereka menurut tuntunan kebenaran. Tetapi manusia hanyalah dapat memenuhi kewajiban itu dengan cara yang sesuai dengan kodrat mereka, bila mereka mempunyai kebebasan psikologis pun sekaligus bebas dari paksaan dari luarr. Jadi hak atas kebebasan beragama tidak didasarkan pada keadaan subjektif seorang pribadi, melainkan pada kodratnya sendiri. Maka dari itu hak atas kebebasan itu tetap masih ada juga pada mereka, yang tidak memenuhi kewajiban mereka mencari kebenaran dan berpegang teguh padanya; dan menggunakan hak itu tidak dapat dirintangi, selama tata masyarakat tetap berdasarkan keadilan. 3. (Kebebasan beragama dan hubungan manusia dengan Allah) Itu semua menjadi lebih jelas lagi, bila dipertimbangkan bahwa tolok ukur hidup manusia yang tertinggi ialah hukum ilahi sendiri, yang bersifat kekal serta obyektif, dan berlaku bagi semua orang, yakni bahwa menurut ketetapan kebijaksanaan dan cinta kasih-Nya Allah mengatur, mengarahkan serta memerintahkan alam semesta dan perjalanan masyarakat manusia. Allah mengikutsertakan manusia dalam hukum-Nya itu, sehingga manusia, berkat penyelenggaraan ilahi yang secara halus mengatur segalanya, dapat semakin menyelami kebenaran yang tak dapat berubah. Maka dari itu setiap orang mempunyai tugas dan karena itu juga hak untuk mencari kebenaran perilah keagamaan, untuk dengan bijaksana, melalui upaya-upaya yang memadai, membentuk pendirian suara hatinya yang cermat dan benar. Adapu kebenaran harus dicari dengan cara yang sesuai dengan martabat pribadi manusia serta kodrat sosialnya, yakni melalui penyelidikan yang bebas, melalui pengajaran atau pendidikan, komunikasi dan dialog. Melalui cara-cara itu manusia menjelaskan kepada sesamanya kebenaran yang telah ditemukannya, atau yang ia telah merasa menemukan, sehingga mereka saling membantu dalam mencari kebenaran. Atas persetujuannya sendiri manusia harus berpegang teguh pada kebenaran yang dikenalnya. 2

Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 260-261. PIUS XII, Amanat radio, 24 Desember 1942: AAS 35 (1943) hlm. 19. PIUS XI, Ensiklik Mit brennender Sorge, 14 Maret 1937: AAS 29 (1937) hlm. 160. LEO XIII, Ensiklik Libertas praestantissnum, 20 Juni 1888: Acta Leonis XIII 8, 1888, hlm. 237-238.

Manusia menangkap dan mengakui ketentuan-ketentuan hukum ilahi melalui suara hatinya. Ia wajib mematuhi suara hatinya. Ia wajib mematuhi suara hati dengan setia dalam seluruh kegiatannya, untuk mencapai tujuannya yakni Allah. Jadi janganlah ia dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya. Tetapi jangan pula ia dirintangi untuk bertindak menurut suara hatinya, terutama dalam hal keagamaan. Sebab menurut sifatnya sendiri pengalaman agama pertama-tama terdiri dari tindakan-tindakan batin yang dikehendaki orang sendiri serta bersifat bebas, dan melalui tindakan-tindakan itu ia langsung mengarahkan diri kepada Allah: tindakan-tindakan seperti itu tidak dapat diperintahkan atau dihalang-halangi oleh kuasa manusiawi semata-mata[3]. Sedangkan kodrat sosial manusia sendiri menuntut, supaya ia mengungkapkan tindakan-tindakan batin keagamaannya secara lahiriah, berkomunikasi dengan sesama dalam hal keagamaan, dan menyatakan agamanya secara bersama-sama. Maka terjadilah ketidak-adilan terhadap pribadi manusia dan tata sosial yang ditetapkan oleh Allah baginya, bila ia tidak diperbolehkan mengamalkan agamanya secara bebas dalam masyarakat, padahal ketertiban umum yang adil tetap dihormatinya. Kecuali itu tindakan-tindakan keagamaan, yang dijalankan manusia untuk sebagai pribadi maupun dimuka umum mengarahkan diri kepada Allah berdasarkan keputusan pribadi, pada hakekatnya mengatasi tata duniawi yang fna. Maka dari itu pemerintah, yang bertujuan mengusahakan kesejahteraan umum di dunia ini memang wajib mengakui kehidupan beragama para warganegara dan mendukungnya. Tetapi harus dikatakan melampaui batas wewenangnya, bila memberanikan diri mengatur dan merintangi kegiatan-kegiatan religius. 4. (Kebebasan jemaat-jemaat keagamaan) Kebebasan dari paksaan dalam hal agama, yang menjadi hak setiap pribadi yang harus diakui juga bila orang-orang bertindak bersama. Sebab kodrat sosial manusia maupun hakekat sosial agama menuntut adanya jemaat-jemaat keagamaan. Maka asal tuntutan-tuntutan ketertiban umum yang adil jangan dilanggar, jemaatjemaat itu berhak atas kebebasan, untuk mengatur diri menurut kaidah-kaidah mereka sendiri, untuk menghormati Kuasa ilahi yang tertinggi dengan ibadat umum, untuk membantu para anggota mereka dalam menghayati hidup keagamaan serta mendukung mereka dengan ajaran, dan untuk mengembangkan lembaga-lembaga, tempat para anggota bekerja sama untuk mengatur hidup mereka sendiri menurut azas-azas keagamaan mereka. Begitu pula jemaat-jemaat keagamaan berhak untuk memilih, membina mengangkat dan memindahkan petugas-petugasnya sendiri, untuk berkomunikasi dengan para pemimpin dan jemaat-jemaat keagamaan, yang berada di kawasan-kawasan lain di dunia, untuk mendirikan bangunan-bangunan bagi keperluan keagamaan, dan untuk memperoleh serta mengelola harta-milik yang mereka perlukan; itu semua tanpa dihalang-halangi oleh upaya-upaya hukum atau oleh tindakan administratif kuasa sipil. Jemaat-jemaat keagamaan berhak pula untuk tidak dirintangi dalam mengajarkan iman mereka dan memberi kesaksian tentangnya di muka umum, secara lisan maupun melalui tulisan. Tetapi dalam menyebarluaskan iman dan memasukkan praktik-praktik keagamaan janganlah pernah menjalankan kegiatan mana pun juga, yang dapat menimbulkan kesan seolah-olah ada paksaan atau bujukan atau dorongan yang kurang tepat, terutama bila menghadapi rakyat yang tidak berpendidikan dan serba miskin. Cara bertindak demikian harus dipandang sebagai penyalahgunaan hak mereka seniri dan pelanggaran hak pihak-pihak lain. Selain itu kebebasan beragama berarti juga, bahwa jemaat-jemaat keagamaan tidak dilarang untuk secara bebas menunjukkan daya-kemampuan khusus ajaran mereka dalam mengatur masyarakat dan dalam menghidupkan seluruh kegiatan manusiawi. 3

Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 270. PAULUS VI, Amanat radio, 22 Desember 1964: AAS 57 (1965) hlm. 181-182.

Akhirnya pada kodrat sosila manusia dan pada sifat Agama sendiri didasarkan hak orang-orang, untuk – terdorong oleh cita rasa keagamaan mereka – mengadakan dengan bebas pertemuan-pertemuan atau mendirikan yayasan-yayasan pendidikan, kebudayaan, amal kasih dan sosial. 5. (Kebebasan beragama dan keluarga) Setiap keluarga, sebagai rukun hidup dengan hak aslinya sendiri, berhak untuk dengan bebas mengatur hidup keagamaan dalam pangkuannya sendiri dibawah bimbingan orang tua. Mereka itu berhak menentukan menurut keyakinan keagamaan mereka sendiri, pendidikan keagamaan manakah yang akan diberikan kepada anak-anak mereka. Oleh karena itu pemerintah wajib mengakui hak orang tua, untuk dengan kebebasan sepenuhnya memilih sekolah-sekolah atau upaya-upaya pendidikan lainnya. Pun janganlah karena kebebasan memilih itu mereka secara langsung atau tidak langsung diharuskan menanggung beban yang tidak adil. Kecuali itu hak orang tua dilanggar, bila anak-anak dipaksa mengikuti pelajaran-pelajaran sekolah, yang tidak cocok dengan keyakinan keagamaan orang tua mereka, atau bila hanya ada satu cara pendidikan saja yang diwajibkan, tanpa pendidikan keagamaan sama sekali. 6. (Tanggung jawab atas kebebasan beragama) Kesejahteraan umum masyarakat, yakni keseluruhan kondisi-kondisi hidup sosial, yang memungkinkan orang-orang mencapai kesempurnaan mereka secara lebih utuh dan lebih mudah, terutama terletak pada penegakan hak-hak serta tugas-tugas pribadi manusia[4]. Maka ada kewajiban menjaga hak atas kebebasan beragama pada para warganegara, pada kelompok-kelompok sosial, pada pemerintah-pemerintah, pada Gereja dan jemaat-jemaat keagamaan lainnya, demi tugas mereka memelihara kesejahteraan umum. Pada hakekatnya termasuk tugas setiap kuasa sipil: melindungi dan mengembangkan hak-hak manusia yang tak dapat di ganggu-gugat[5]. Maka kuasa sipil wajib, melalui hukum-hukum yang adil serta upaya-upaya lainnya yang sesuai, secara berhasil-guna menanggung perlindungan kebebasan beragama semua warganegara, dan menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan untuk mengembangkan hidup keagamaan. Dengan demikian para warga negara dapat sungguh-sungguh mengamalkan hak-hak serta menunaikan tugas-tugas keagamaan, dan masyarakat sendiri akan menikmati baiknya keadilan dan damai, yang muncul dari kesetiaan manusia terhadap Allah dan terhadap kehendak-Nya yang suci[6]. Bila karena keadaan istimewa bangsa-bangsa tertentu suatu jemaat keagamaan mendapat pengakuan sipil istimewa dalam tata hukum masyarakat, sungguh perlulah bahwa hak semua warganegara dan jemaat-jemaat keagamaan atas kebebasan beragama diakui dan dipatuhi. Akhirnya pemerintah wajib mengudahakan, supaya kesamaan yuridis para warganegara, yang termasuk kesejahteraan umum masyarakat, jangan pernah secara terbuka ataupun diam-diam dilanggar berdasarkan alsan-alsan agama, pun juga supaya diantara mereka jangan sampai ada diskriminasi. Oleh karena itu pemerintah sama sekali tidak boleh – melalui paksaan atau ancaman atau upaya-upaya lainnya – mengharuskan para warganegara untuk mengakui atau menolak agama mana pun juga, atau menghang-halangi siapa pun juga untuk memasuki atau meninggalkan jemaat keagamaan tertentu. Masih lebih lagi merupakan tindakan melawan kehendak Allah dan melawan hak-hak keramat pribadi serta keluarga bangsabangsa, bila dengan cara manapun digunakan kekerasan untuk menghancurkan atau

4

Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 417. IDEM, Ensiklik Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 273. 5 Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 273-274. PIUS XII, Amanat radio, 1 Juni 1941: AAS 33 (1941) hlm. 200. 6 Lih. LEO XIII, Ensiklik Immortale Dei, 1 november 1885: ASS 18 (1885) hlm. 161.

merintangi agama, entah diseluruh bangsa manusia entah dikawasan dalam kelompok tertentu.

tertentu entah

7. (batas-batas kebebasan beragama) Hak atas kebebasan beragama dilaksanakan dalam masyarakat manusia. Maka dari itu penggunaannya harus mematuhi kaidah-kaidah tertentu yang mengaturnya. Dalam penggunaan semua kebebasan harus ditaati azas moral tanggung jawab pribadi dan sosial: Dalam memakai hak-haknya setiap orang maupun kelompok sosial diwajibkan oleh hukum moral untuk memperhitungkan hak-hak orang lain, dan wajibwajibnya sendiri terhadap orang-orang lain, maupun kesejahteraan umum semua orang . Semua orang harus diperlakukan menurut keadilan dan perikemanusiaan. Selain itu, karena masyarakat sipil berhak melindungi diri terhadap penyalahgunaan yang dapat timbul atas dalih kebebasan beragama, terutama pemerintahlah yang wajib memberi perlindungan itu. Tetapi itu harus terjadi bukan sewenang-wenang, atau dengan cara tidak adil memihak pada satu golongan, melainkan menurut kaidah-kaidah hukum yang sesuai dengan tata moral yang objektif. Kaidah-kaidah itu diperlukan demi kehidupan mereka bersama secara damai; diperlukan juga untuk menjalankan usahausaha secukupnya demi ketentraman umum yang sepantasnya, yakni kehidupan bersama dan teratur dalam keadilan yang sejati; diperlukan pula untuk menjaga kesusilaan umum sebagamana harusnya. Itu semua merupakan unsur dasar kesejahteraan umum, dan termasuk tata-tertib umum. Memang dalam masyarakat pada umumnya perlu dipertahankan kebebasan seutuhnya. Itu berarti, bahwa harus diakui kebebasan manusia sepenuh mungkin; dan kebebasan itu jangan dibatasi kecuali bila dan sejauh memang perlu. 8. (Pembinaan penggunaan kebebasan) Manusia zaman sekarang menghadapi pelbagai tekanan, dan terancam bahaya kehilangan kebebsan mengikuti cara berfikirnya sendiri. Tetapi dilain pihak tidak sedikit orang yang agaknya begitu condong untuk dengan dalih mau bebas menolak setiap bentuk kepatuhan dan meremehkan ketaatan yang sewajarnya. Itulah sebabnya mengapa Konsili ini menganjurkan kepada semua, terutama mereka yang bertugas sebagai pendidik, supaya berusaha membina orang-orang, yang mematuhi tata-kesusilaan, mentaati kekuasaan yang sah, dan mencintai kebebasan sejati. Dengan kata lain: orang-orang, yang dengan pertimbangannya sendiri menilai kenyataan dalam terang kebenaran, mengatur kegiatannya dengan kesadaran bertanggungjawab, dan berusaha mencari apa pun yang benar dan adil, dengan hati yang rela untuk bekerja sama dengan orang-orang lain. Demikianlah termasuk hasil dan tujuan kebebasan beragama juga, bahwa dalam menunaikan tugas-tugasnya sendiri manusia bertindak dalam hidup memasyarakat dengan tanggung jawab yang lebih besar. II. KEBEBASAN BERAGAMA DALAM TERANG WAHYU 9. (Ajaran tentang kebebasan beragama berakar dalam wahyu) Apa yang oleh Konsili Vatikan ini dinyatakan tentang hak manusia atas kebebasan beragama, mempunyai dasarnya dalam masyarakat pribadi. Tuntutan-tuntutan martabat itu disadari semakin mendalam oleh akalbudi manusia melalui pengalaman berabadabad. Bahkan ajaran tentang kebebasan itu berakar dalam Wahyu ilahi. Oleh karena itu harus semakin dipatuhi oleh Umat kristiani. Sebab Wahyu memang tidak dengan jelas sekali mengiakan hak atas kebebasan terhadap paksaan dari luar dalam hal kegamaan. Namun memaparkan martabat pribadi manusia dalam arti yang sepenuhnya. Wahyu memperlihatkan, bagaimana Kristus mengindahkan kebebasan manusia dalam menunaikan wajibnya beriman akan sabda Allah. Wahyu mengajar kita tentang semangat, yang dalam segalanya harus diterima dan diikuti oleh para murid Sang Guru

itu. Dengan itu semua diperjelas azas-azas umum, yang mendasari ajaran Pernyataan tentang kebebasan beragama ini. Terutama kebebasan beragama dalam masyarakat selaras sepenuhnya dengan kebebasan beragama dalam masyarakat selaras dengan kebebasan faal iman kristiani. 10. (Kebebasan dan faal iman) Salah satu pokok amat penting ajaran katolik, yang tercantum dalam sabda Allah dan terus-menerus diwartakan oleh para Bapa Gereja[7], yakni: manusia wajib secara sukarela menjawab Allah dengan beriman; maka dari itu tak seoarng pun boleh dipaksa melawan kemauannya sendiri untuk memeluk iman[8]. Sebab pada hakekatnya kita menyatakan iman kita dengan kehendak yang bebas, karena manusia – yang ditebus oleh Kristus Sang Penyelamat, dan dengan perantaraan Yesus Kristus dipanggil untuk diangkat menjadi anak Allah[9], - tidak dapat mematuhi Allah yang mewahyukan Diri, seandainya Bapa tidak menariknya[10], dan ia tidak dengan bebas menyatakan kepada Allah ketaatan imannya yang menurut nalar dapat dipertanggungjawabkan. Jadi sama selaras dengan sifat iman, bahwa dalam hal keagamaan tidak boleh ada bentuk paksaan mana pun juga dari pihak manusia. Oleh karena itu ketetapan tentang adanya kebebasan beragama sangat membantu untuk memelihara kondisi hidup, yang memungkinkan manusia dengan mudah diajak menerima iman kristiani, memeluknya secara suka rela, dan secara aktif mengakuinya dengan seluruh cara hidupnya. 11. (cara bertindak Kristus dan para Rasul) Memang Allah memanggil manusia untuk mengabdi diri-Nya dalam roh dan kebenaran. Maka ia juga terikat dalam suara hati, tetapi tidak dipaksa. Sebab Allah memperhitungkan martabat pribadi manusia yang diciptakan-Nya, yang harus di tuntun oleh pemikirannya sendiri dan mempunyai kebebasan. Adapun itu nampak paling unggul dalam Kristus Yesus, yang bagi Allah menjadi Perantara untuk dengan sempurna menampakkan Diri serta jalan-jalan-Nya. Sebab Kristus, Guru dan Tuhan kita[11], yang lemah-lembut dan rendah [12], dengan sabar mengambil hati dan mengajak para muridNya[13]. Memang dengan mukjizat-mukjizat Ia mendukung dan meneguhkan pewartaanNya, untuk membangkitkan dan mengukuhkan iman para pendengar-Nya, bukan untuk memaksa mereka[14]. Memang Ia mengecam ketidak-percayaan para pendengar-Nya, tetapi sambil menyerahkan hukuman kepada Allah pada hari Pengadilan[15]. Ketika mengutus para Rasul ke dunia Ia bersabda: “Barang siapa beriman dan dibabtis akan selamat; tetapi siapa tidak percaya akan dihukum” (Mrk 16:16). Tetapi, melihat bahwa bersama gandum telah ditaburkan lalang, Ia memerintahkan supaya keduanya dibiarkan tumbuh samapi waktu menuai, yakni pada akhir zaman[16]. Yesus tidak mau menjadi 7

Lih. LAKTANSIUS, Ajaran-ajaran Ilahi, V, 19: CSEL 19, hlm. 463-464, 465; PL 6,614 dan 616 (bab 20). S. AMBROSIUS, Surat 21 kepada Kaisar Valentinianus: PL 16, 1005. S. AGUSTINUS, Melawan surat-surat Petilianus, II, 83: CSEL 52, hlm 112; PL 43, 315; lih. C.23, q.5, c.33: FRIEDBERG, kolom 939. IDEM, surat 23: PL 33,98. IDEM, surat 34: PL 33,132. IDEM, Surat 35: PL 33,135. S. GREGORIUS AGUNG, Surat kepada Uskup Virgillius dan Uskup Teodorus di Massilia, Gallia, Daftar Surat-surat I,45: MGH Ep.1 hlm. 72; PL 77,510-511 (jilid I, surat 47). IDEM, Surat kepada Yohanes Uskup Konstantinopel, Daftar Surat-surat III, 52: MGH Ep. 1, hlm. 210; PL 77,649 (jilid III, surat 53); lih. D.45, c.1: FRIEDBERG, kolom 160. KONSILI TOLEDO IV, bab 57: MANSI 10,633; lih. D.45, c.5: FRIEDBERG, kolom 161-162. KLEMENS III: X., V,6,9: FRIEDBERG, kolom 774. INOSENSIUS III, Surat kepada Uskup Agung di Arles, X., III,42,3: FRIEDBERG, kolom 646. 8 Lih. Kitab Hukum Kanonik (lama), kanon 1351. PIUS XII, Amanat kepada para Prelat auditor serta para pejabat dan petugas lainnya pada Pengadilan Rota Romana, 6 Oktober 1946: AAS 38 (1946) hlm. 394. IDEM, Ensiklik Mystici Corporis, 29 Juni 1943: AAS 35 (1943) hlm. 243. 9 Lih. Ef 1:5. 10 Lih. Yoh 6:44. 11 Lih. Yoh 13:13. 12 Lih. Mat 11:29. 13 Lih. Mat 11:28-30; Yoh 6:67-68. 14 Lih. Mat 9:28-29; Mrk 9:23-24; 6:5-6. PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 642-643. 15 Lih. Mat 11:20-24; Rom 12:19-20; 2Tes 1:8. 16 Lih. Mat 13:30 dan 40-42.

Almasih tokoh politik yang memerintah dengan kekerasan[17]. Ia lebih senang menyebut diri Putera Manusia yang datang “untuk melayani dan menyerahkan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:45). Ia membawakan Diri sebagai Hamba Allah yang sempurna[18], yang “tidak akan memutuskan buluh yang patah terkulai, dan tidak akan memadamkan sumbu yang pudar nyalanya” (Mat 12:20). Ia mengakui pemerintah serta hak-haknya, ketika menyuruh membayar pajak kepada kaisar, tetapi dengan jelas mengingatkan, bahwa hak-hak Allah yang lebih tinggi wajib di patuhi: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mat 22:21). Akhirnya Ia menyempurnakan perwahyuan_Nya ketika menyelesaikan karya penebusan-Nya di salib, untuk memperoleh keselamatan dan kebebasan sejati bagi manusia. Sebab Ia memberi kesaksian dan kebenaran[19], tetapi tidak mau memaksakannya kepada mereka yang membantahnya. Kerajaan-Nya tidak dibela dengan menghantam dengan kekerasan[20], melainkan dikukuhkan dengan memberi kesaksian akan kebenaran serta mendengarkannya. Kerajaan itu berkembang karena cinta kasih, cara Kristus yang ditinggikan di salib menarik manusia kepada diri-Nya[21]. Para Rasul belajar dari sabda dan teladan Kristus, serta menempuh jalan yang sama. Sejak masa awal Gereja para murid Kristus berusaha, supaya orang-orang bertobat dan mengakui Kristus Tuhan, bukan dengan tindakan memaksa atau dengan siasat-siasat yang tak layak bagi Injil, melainkan pertama-tama dengan kekuatan sabda Allah[22]. Dengan berani mereka mewartakan kepada semua orang rancana Allah Penyelamat, “yang menghendaki semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1Tim 2:4). Tetapi sekaligus para murid Tuhan menghormati mereka yang lemah, juga bila sedang sesat; dan dengan demikian mereka menunjukkan , bagaimana “setiap orang diantara kita akan memberi pertanggungjawaban tentang dirinya kepada Allah” (Rom 14:12)[23], dan sejauh itu wajib menganut suara hatinya sendiri. Seperti kristus, begitu pula para Rasul selalu bermaksud memberi kesaksian akan kebenaran Allah, penuh keberanian untuk di hadapan rakyat serta para penguasa mewartakan “sabda Allah dengan kepercayaan” (Kis 4:31)[24]. Dengan iman yang teguh mereka yakin, bahwa Injil sendiri benar-benar merupakan kekuatan Allah demi keselamatan setiap orang yang beriman[25]. Maka dari itu mereka meremehkan “senjata duniawi”[26], mengikuti teladan kelemah-lembutan serta keugaharian Kristus, dan mewartakan sabda Allah, dengan penuh kepercayaan akan kekuatan ilahi sabda itu untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan yang menentang Allah[27], dan untuk mengembalikan orang-orang kepada iman serta kepatuhan terhadap Kristus[28]. Seperti Sang Guru, begitu pula para Rasul mengakui pemerintahan yang sah: “setiap orang hendaklah takhluk kepada pemerintah yang diatasnya; … barang siapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah” (Rom 13:1-2)[29]. Tetapi serta merta mereka tidak takut menyanggah pemerintah yang menentang kehendak Allah yang suci: “kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kis 5:29)[30]. Jalan itu disepanjang zaman dan diseluruh dunia ditempuh juga oleh para martir dan kaum beriman yang tak terhitung jumlahnya.

17

Lih. Mat 4:8-10; Yoh 6-15. Lih. Yes 42:1-4. 19 Lih. Yoh 18:37. 20 Lih. Mat 26:51-53; Yoh 18:36. 21 Lih. Yoh 12:32. 22 Lih. 1Kor 2:3-5; 1Tes 2:3-5. 23 Lih. Rom 14:1-23; 1Kor 8:9-13; 10:23-33. 24 Lih. Ef 6:19-20. 25 Lih. Rom 1:16. 26 Lih. 2Kor 10:4; 1Tes 5:8-9. 27 Lif. Ef 6:11-17. 28 Lih. 2Kor 10:3-5. 29 Lih. 1Ptr 2:13-17. 30 Lih. Kis 4:19-20. 18

12. (Gereja menempuh jalan Kristus dan para Rasul) Maka Gereja, yang setia kepada kebenaran Injil, menempuh jalan Kristus dan para Rasul, bila mengakui dan mendukung azas kebebasan beragama sebagai prinsip yang selaras dengan martabat manusia dan wahyu Allah. Ajaran yang diterima dari Sang Guru dan dari para Rasul oleh Gereja dipelihara dan diteruskan di sepanjang masa. Sungguhpun dalam kehidupan Umat Allah, melalui silih-bergantinya kenyataan-kenyataan sejarah bangsa manusia yang sedang berziarah, ada kalanya ditempuh cara bertindak yang kurang selaras dngan semangat Injil, bahkan bertentangan dengannya, namun selalu tetaplah ajaran gereja, bahwa tak seorangpun boleh dipaksa untuk beriman. Demikianlah ragi Injil cukup lama merasuki jiwa orang-orang, dan menyumbangkan banyak, sehingga dari masa ke masa makin bertambahlah jumlah mereka yang mengakui martabat pribadinya, dan makin masaklah keyakinan bahwa dalam masyarakat kebebasannya perihal keagamaan harus tetap dipertahankan dari setiap paksaan manusia. 13. (Kebebasan gereja) Di antara hal-hal yang menyangkut kesejahteraan Gereja, bahkan kesejahteraan masyarakat dunia, dan yang di mana-mana selalu harus dipelihara serta dilindungi terhadap segala ketidakadilan, pasti yang paling utama yakni: supaya Gereja menikmati kebebasan bertindak yang secukupnya untuk mengusahakan keselamatan manusia[31]. Sebab sungguh kuduslah kebebasan, yang dikurniakan oleh Putera Tunggal Allah kepada Gereja yang diperoleh-Nya dengan darah-Nya. Kebebasan itu begitu khas bagi Gereja, sehingga barang siapa menentangnya bertindak melawan kehendak Allah. Kebebasan Gereja merupakan azas dasar dalam hubungan antara Gereja dan pemerintahpemerintah serta seluruh tata masyarakat. Dalam masyarakat manusia dan terhadap pemerintah mana pun Gereja menuntut kebebasan, sebagai kewibawaan rohani yang ditetapkan oleh Kristus Tuhan, dan yang atas perintah ilahi bertugas pergi ke seluruh dunia dan mewartakan Injil kepada semua makluk[32]Begitu pula Gereja mengutarakan haknya atas kebebasan, sebagai masyarakat manusia juga, yang berhak hidup dalam masyarakat menurut kaidah-kaidah iman kristiani [33]. Adapun hanya bila berlakulah ketetapan tentang kebebasan beragama, yang bukan saja dimaklumkan dengan kata-kata atau melulu dikukuhkan dengan undang-undang, melainkan secara jujur dipraktikkan juga, maka Gereja akan memperoleh kondisi stabil menurut hukum maupun dalam kenyataan, yakni kemerdekaan dalam menunaikan perutusan ilahinya, yang secara makin mendesak dituntut oleh para pemimpin Gereja dalam masyarakat[34]. Sekaligus Umat beriman kristiani, seperti semua orang lainnya, mempunyai hak sipil untuk tidak dirintangi dalam menghayati hidup menurut suara hati mereka. Jadi terdapat keselarasan antara kebebasan Gereja dan kebebasan keagamaan, yang oleh semua orang dan jemaat harus diakui sebagai hak dan dikukuhkan dalam perundang-undangan. 14. (Peran Gereja) Untuk mematuhi perintah ilahi: “Ajarilah semua bangsa” (Mat 28:19), Gereja katolik wajib sungguh-sungguh mengusahakan, supaya “sabda Tuhan beroleh kemajuan dan dimuliakan” (2Tes 3:1). Maka dari itu Gereja meminta dengan mendesak, supaya para putera-puterinya pertama-tama menganjungkan “permohonan-permohonan, doa-doa syfaat serta ucapan syukur bagi semua orang … Sebab itu baiklah dan berkenan kepada Allah Penyelamat 31

Lih. LEO XII, Surat Officio sanctissimo, 22 Desember 1887: ASS 20 (1887) hlm. 269. IDEM, Surat Ex litteris, 7 April 1887: ASS 19 (1886) hlm. 465. 32 Lih. Mrk. 16:15; Mat 28:18-20. PIUS XII, Ensiklik Summi Pontificatus, 20 oktober 1939: AAS 31 (1939) hlm. 445-446. 33 Lih. PIUS XI, Surat Firmissimam constantiam, 28 Maret 1937: AAS 29 (1937) hlm. 196. 34 Lih. PIUS XII, Amanat Ci riesce, 6 Desember 1953: AAS 45 (1953) hlm. 802.

kita, yang menghendaki agar semua orang diselamatkan dan mencapai pengertian tentang kebenaran” (1Tim 2:1-4). Tetapi kaum beriman kristiani dalam membentuk suara hati mereka wajib mengindahkan dengan saksama ajaran Gereja yang suci dan pasti [35]. Sebab atas kehendak Kristus Gereja Katolik adalah guru kebenaran. Tugasnya mengungkapkan dan mengajarkan secara otentik Kebenaran, yakni Kristus, pun juga menjelaskan dan mengukuhkan dengan kewibawaannya azas-azas kesusilaan, yang bersumber pada kodrat manusia sendiri. Selain itu hendaknya Umat kristiani, yang dengan kebijaksanaanya menghadapi mereka yang berada di luar, “dalam Roh Kudus, dalam cinta kasih yang tidak munafik, dalam sabda kebenaran” (2Kor 6:6-7), berusaha memancarkan cahaya kehidupan dengan penuh kepercayaan[36] dan kekuatan rasuli, hingga penumpahan daran. Sebab seorang murid terikat oleh kewajiban yang berat terhadap Kristus Sang Guru, yakni semakin mendalam menyelami kebenaran yang diterima dari pada-Nya, mewartakannya dengan setia, membelanya dengan berani, tanpa menggunakan upayaupaya yang berlawanan dengan semangat Injil. Tetapi sekaligus cinta kasih Kristus mendesaknya, untuk bertindak penuh kasih, kebijaksanaan dan kesabaran terhadap mereka, yang berada dalam keadaan sesat atau tidak tahu menahu menganai iman[37]. Maka perlu dipertimbangkan baik tugas-tugas terhadap Kristus Sabda yang menghidupkan, yang harus diwartakan, pun juga hak-hak pribadi manusia, maupun besarnya rahmat yang oleh Allah dikurniakan melalui Kristus kepada manusia, yang diundang untuk dengan suka rela menerima dan mengakui iman. 15. (Penutup) Maka jelaslah manusia zaman sekarang menghendaki untuk dengan bebas dapat mengakui agamanya baik secara perorangan maupun di muka umum. Bahkan jelas pula kebebasan beragama dalam kebanyakan Undang-Undang Dasar sudah dinyatakan sebagai hak warganegara dan dalam dokumen-dokumen internasional diakui secara resmi[38]. Akan tetapi ada pula sitem-sistem pemerintahan, yang – meskipun dalam UndangUndang Dasar kebebasan ibadat keagamaan diakui, namun pemerintah-pemerintahnya sendiri berusaha menjauhkan para warganegara dari pengakuan agama mereka, dan sangat mempersukar dan membahayakan kehidupan jemaat-jemaat keagamaan. Dengan gembira Konsili suci menyambut gejala-gejala pertama sebagai tanda-tanda zaman sekarang yang sungguh baik, sedangkan fakta-fakta lainnya yang layak disesalkan dan dikecamnya dengan sedih hati. Konsili menganjurkan Umat katolik, tetapi mengajukan permohonan mendesak kepada semua orang, supaya mereka penuh perhatian mempertimbangkan, betapa perlulah kebebasan beragama, terutama dalam keadaan keluarga manusia zaman sekarang. Sebab jelaslah, bahwa semua bangsa makin bersatu, bahwa orang-orang dari pelbagai kebudayaan dan agama saling terikat secara semakin erat, akhirnya bahwa bertambahlah kesadaran akan tanggung jawab masing-masing. Maka dari itu, supaya hubungan-hubungan damai dan kerukunan pada bangsa manusia diperbaharui dan diteguhkan, perlulah bahwa dimana-mana kebebasan beragama didukung dengan perlindungan hukum yang tepat guna, dan bahwa tugas-tugas serta hak-hak manusia yang tertinggi untuk secara bebas menghayati hidup beragama dalam masyarakat dipatuhi. Semoga Allah dan Bapa semua orang menganugerahkan, supaya keluarga manusia, berkat usaha yang tekun untuk menegakkan kebebasan beragama dalam masyarakat,

35

Lih. PIUS XII, Amanat radio, 23 Maret 1952: AAS 44 (1952) hlm. 270-278. Lih. Kis 4:29. 37 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 299-300. 38 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 295-296. 36

karena rahmat Kristus dan kekuatan Roh Kudus dihantar kepada “kebebasan kemuliaan putera-puteri Allah” (Rom 8:21) yang amat luhur dan kekal.

Semua itu dan setiap hal yang diungkapkan dalam Pernyataan ini telah berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Adapun Kami, dengan kuasa kerasulan yang diserahkan Kristus kepada Kami, bersama dengan para Bapa yang terhormat, mengesahkan, menetapkan serta mengundangkannya dalam Roh Kudus. Dan Kami memerintahkan, agar apa yang telah ditetapkan bersama dalam Konsili ini diumumkan demi kemuliaan Allah. Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 7 bulan Desember tahun 1965.

Saya PAULUS Uskup Gereja Katolik

(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)

PAULUS USKUP

HAMBA PARA HAMBA ALLAH BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI DEMI KENANGAN ABADI

DEKRIT TENTANG KEGIATAN MISIONER GEREJA 1. (Pendahuluan) KEPADA PARA BANGSA Gereja diutus oleh Allah untuk menjadi “sakramen universal keselamatan”[1]. Untuk memenuhi tuntutan-tuntutan hakiki sifat katoliknya, menaati perintah Pendirinya (lih. Mrk 16:16), Gereja sungguh-sungguh berusaha mewartakan Injil kepada semua orang. Sebab para Rasul sendiri, yang menjadi dasar bagi Gereja, mengikuti jejak Kristus, “mewartakan sabda kebenaran dan melahirkan Gereja-gereja”[2]. Adalah tugas para pengganti mereka melestarikan karya itu, supaya “sabda Allah terus maju dan dimuliakan” (2Tes 3:1), dan Kerajaan Allah diwartakan dan dibangun di manamana. Tetapi dalam situasi zaman sekarang, yang menimbulkan keadaan umat manusia yang serba baru, Gereja, garam dunia dan terang dunia (lih. Mat 5:13-14), dipanggil secara lebih mendesak untuk menyelamatkan dan membaharui semua ciptaan, supaya segala sesuatu dibaharui dalam Kristus, dan supaya dalam Dia orang-orang merupakan satu keluarga dan satu Umat Allah. Maka Konsili suci bersyukur kepada Allah atas karya-karya gemilang, buah hasil kegiatan serta kebesaran hati seluruh Gereja, dan ingin menggariskan azas-azas kegiatan misioner serta menghimpun daya segenap kaum beriman. Maksudnya supaya Allah yang menempuh jalan salib yang sempit, di mana-mana menyebarluaskan kerajaan Kristus Tuhan, yang dengan pandangan-Nya merangkum segala abad (lih. Sir 36:19), dan menyiapkan jalan bagi kedatangan-Nya.

BAB SATU AZAS-AZAS AJARAN 2. (Rencana Bapa) Pada hakekatnya Gereja peziarah bersifat misioner, sebab berasal dari perutusan Putera dan perutusan Roh Kudus mnurut rencana Allah Bapa[3]. Adapun rencana itu bersumber pada “cinta” atau “kasih asali” Allah Bapa. Dialah Asal tanpa Asal; dari pada-Nyalah Putera lahir dan Roh Kudus berasal melalui Putera. Karena kemurahan-Nya yang melimpah dan belaskasihan Bapa yang bebas menciptakan kita serta penuh kasih memanggil kita, untuk bersama dengan-Nya ikut menikmati 1

KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, art. 48. S. AGUSTINUS, Uraian tentang Mazmur 44:23: PL. 36,508; CChr 38,510. 3 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 1. 2

kehidupan dan kemuliaan-Nya. Dengan murah hati Ia melimpahkan dan tiada hentinya mencurahkan kebaikan ilahi-Nya, sehingga Dia yang menciptakan segalanya, akhirnya menjadi “semuanya dalam segalanya” (1Kor 15:28), dengan sekaligus mewujudkan kemulian-Nya dan kebahagiaan kita. Tetapi Allah berkenan memanggil orang-orang bukan hanya satu per satu, tanpa hubungan manapun satu dengan yang lain, untuk ikut serta dalam kehidupan-Nya. Melainkan Ia berkenan menghimpun mereka menjadi Umat, supaya di situ para Putera-Nya, yang semula tercerai-berai, dikumpulkan menjadi satu (lih. Yoh 11:52). 3. (Perutusan Putera) Rencana Allah untuk menyelamatkan seluruh umat manusia itu terlaksana bukan saja seolah-olah secara tersembunyi dalam jiwa manusia, ataupun melalui usaha-usaha mereka, juga yang bersifat keagamaan, untuk mencari Allah dengan pelbagai cara, kalaukalau mereka dapat menjamah atau menemukan-Nya, meskipun Ia tidak jauh dari kita masing-masing (lih. Kis 12:27). Sebab usaha-usaha itu perlu diterangi dan disembuhkan, sungguh pun, atas rencana atas semua rencana penyelenggaraan Allah yang murah hati, itu semua akhirnya dapat dipandang sebagai pendidikan menuju Allah yang benar atau sebagai persiapan Injili[4]. Namun untuk membangun perdamaian atau persekutuan dengan diri-Nya dan untuk menghimpun masyarakat persaudaraan antar manusia pendosa, Allah telah memutuskan untuk secara baru dan definitif memasuki sejarah bangsa manusia dengan mengutus Putera-Nya dalam daging kita. Allah bermaksud merebut manusia dari kuasa kegelapan dan setan (lih. Kol 1:13; Kis 10:38) melalui Dia, dan dalam Dia mendamaikan dunia dengan diri-Nya (lih. 2Kor 5:19). Maka Allah menetapkan Putera-Nya, yakni Perantara-Nya dalam menciptakan alam semesta[5], menjadi ahli waris segala-sesuatu, untuk membaharui semuanya dalam Dia (lih. Ef 1:10). Sebab Kristus Yesus diutus ke dunia sebagai Perantara sejati antara Allah dan manusia. Karena Ia Allah, maka dalam Dia berdiamlah seluruh kepenuhan keallahan secara jasmani (Kol 2:9). Tetapi menurut kodrat manusiawinya Ia Adam baru, dan ditetapkan menjadi gembala umat manusia yang diperbaharui, penuh rahmat dan kebenaran (Yoh 1:14). Maka Putera Allah menempuh jalan penjelamaan yang sejati, supaya manusia ikut serta memiliki hakekat ilahi. Demi kita Ia telah menjadi miskin sedangkan Ia kaya, supaya karena kemiskinan-Nya kita menjadi kaya (2Kor 8:9). Putera manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan menyerahkan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang, yakni bagi semua orang (lih. Mrk 10:45). Para Bapa suci selalu mewartakan, bahwa apa yang tidak dikenakan oleh Kristus, juga tidak disembuhkan[6]. Akan tetapi Ia mengenakan pada diri-Nya kodrat manusiawi seutuhnya, seperti terdapat pada kita manusia yang malang dan miskin, namun tanpa dosa (lih. Ibr 4:15; 9:28). Sebab tentang diri-nya bersabdalan Kristus, yang dikuduskan oleh Bapa dan diutus-Nya ke dunia (lih. Yoh 10:36): “Roh Tuhan ada diatas-Ku, karena Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan Warta gembira kepada kaum miskin Ia telah 4

Lih. S. IRENIUS, Melawan bidaah-bidaah, III, 18, 1: “Sabda yang berada pada Allah, melalui Dia segala-sesuatu dijadikan, Dia selalu hadir pada umat manusia …”: PG 7,932. – Dalam karya yang sama, IV, 6, 7: “Sejak semula Putera, yang hadir dalam ciptaan-Nya, mewahyukan Bapa menghendaki dan seperti Bapa menghendakinya”: PG. 7,990, Lih. dalam karya yang sama, IV, 20, 6 dan 7: PG 7, 1037. IRENIUS, Pembuktian, n. 34: PO XII, 773; Sourches chr. 62, Paris 1958, hlm. 87. KLEMENS dari Iskandaria, Proteptika 112,1 : GCS Clemens I, 79. Idem, Stromata VI, 6, 44, 1: GCS Clemens Ii, 453; 13, 106, 3 dan 4: GCS, ibid., 485. mengenai ajarannya sendiri: lih. PIUS XII, Amanat radio 31 Desember 1952; KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 16. 5 Lih. Ibr 1:2; Yoh 1:3 dan 10; 1Kor 8:6; Kol 1:16. 6 Lih. S. ATANASIUS, Surat kepada Epiktetus, 7: PG 26, 1060. – S. SIRILUS dari Yerusalem, Katekese 4,9: PG 33,465. – MARIUS VIKTORINUS, Melawan Arius 3,3: PL 8,1101. – S. BASILIUS, Surat 261,2: PG 32,969. – S. GREGORIUS dari Nazianze, Surat 101: PG 37,181. – S. GREGORIUS dari Nissa, Antirrheticus, Melawan Apolinaris, 17: PG 45,1156. – S. AMBROSIUS, Surat 48,5 : PL 16,1153. – S. AGUSTINUS, Tentang Injil Yohanes, traktar XXIII, 6: PL 35,1585; CChr. 36,236. – Selain itu, dengan penalaran ini ia membuktikan, bahwa Roh Kudus tidak menebus kita, karena Ia tidak menjelma: Tentang sakrat maut Kristus 22,24: PL 40,302. – S. SIRILUS dari Iskandaria, Melawan Nestorius I, 1: PG 76, 20. – S. FULGENSIUS, Surat 17,3, 5: PL 65,454. – IDEM, Kepada Trasimundus III, 21: PL 65,285: Tentang kesedihan dan rasa takut.

mengutus-Ku, untuk menyembuhkan mereka yang remuk-redam hatinya, untuk mewartakan pembebasan bagi para tahanan dan penglihatan bagi orang-orang buta’ (Luk 4:18). Lagi pula: “Putera Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan apa yang telah hilang” (Luk 19:10). Adapun apa yang sesekali telah diwartakan oleh Tuhan, atau terlaksana dalam Dia demi keselamatan bangsa manusia, itu harus diwartakan dan disebarluaskan samapai ke ujung bumi (Kis 1:8), mulai dari Yerusalem (lih. Luk 24:47) sedemikian rupa, sehingga apa yang sekali telah dilaksanakan demi keselamatan semua orang, di sepanjang waktu memperbuahkan hasil pada mereka semua. 4. (Perutusan Roh Kudus) Untuk melaksanakan itu Kristus mengutus Roh Kudus dari Bapa, supaya Ia mengerjakan karya penyelamatan-Nya dalam jiwa manusia, dan menggerakkan Gereja untuk memperluas diri. Pantang diragukan, bahwa Roh Kudus dulu pun sudah berkarya di dunia, sebelum Kristus dimuliakan[7]. Tetapi pada hari Pentekosta Roh turun atas para murid, untuk tinggal bersama mereka selama-lamanya (lih. 14:16); tampillah Gereja secara resmi dihadapan banyak orang; mulailah penyebaran Injil melalui pewartaan diantara para bangsa; dan akhirnya dipralambangkan persatuan bangsa-bangsa dalam sifat katolik iman, melalui Gereja perjanjian Baru, yang bersabda dengan semua bahasa, memahami dan merangkul semua bahasa dalam cinta kasih, dan dengan demikian mengatasi percerai-beraian Babel[8]. Sebab dari Pentekosta mulailah “Kisah para Rasul”, seperti berkat turunnya Roh Kudus atas Perawan Maria dikandunglah Kristus, dan berkat turunnya Roh Kudus atas Kristus ketika sedang berdoa Ia didorong untuk memulai karya pelayanan-Nya[9]. Adapun Tuhan Yesus sendiri, sebelum dengan suka rela menyerahkan hidup-Nya, sedemikian rupa mereka-yasa pelayanan rasuli dan menjanjikan akan mengutus Roh Kudus, sehingga keduanya terpadukan dalam menyuburkan karya penyelamatan dimana-mana dan senantiasa[10]. Disepanjang waktu Roh Kuduslah yang “menyatukan” segenap Gereja “dalam persektuan dan pelayanan, melengkapinya dengan pelbagai “dalam persekutuan dan pelayanan, melengkapinya dengan pelbagai kurnia hirarkis dan karismatis”[11], dengan menghidupkan lembaga-lembaga gerejawi bagaikan jiwanya[12], dan dengan meresapkan semangat misioner, yang juga mendorong Kristus sendiri, ke dalam hati Umat beriman. Ada kalanya pula Roh Kudus secara kelihatan

7

Roh Kuduslah yang telah bersabda melalui para nabi: Syahadat Konstantinopel: DS. 150. S. LEO AGUNG, Kotbah 76: PL 54,405-406: “Ketika pada hari pentekosta Roh Kudus memenuhi para murid Tuhan, itu bukan permulaan kurnia-Nya, melainkan perluasannya: sebab para bapa bangsa, para nabi, para imam, dan semua orang kudus yang hidup pada zaman sebelumnya, telah dijiwai oleh penyucian Roh itu juga … meskipun ukuran kurnia-kurnia tidak sama”. Juga Kotbah 77, 1: PL 54,412. – LEO XIII, Ensiklik Divinum illud: ASS 1897, hlm. 650-651. – juga S. YOHANES KRISOSTOMUS, meskipun menekankan sifat barunya perutusan Roh Kudus pada hari Pentekosta: Tentang Ef, bab 4, homili 10, 1: PG 62,75. 8 Para Bapa suci sering berbicara tentang Babel dan pentekosta: ORIGENES, Tentang Kejadian, bab 1: PG 12,112. – S. GREGORIUS dari Nazianze, Pidato 41, 16: PG 36,449. – S. YOHANES KRISOSTOMUS, Homili 2 pada hari Pentekosta, 2: PG 50,467. – IDEM, Tentang Kisah para Rasul: PG 60,44. – S. AGUSTINUS, Uraian tentang Mzm 54:11: PL 36,636; CChr. 39,664 dsl. – IDEM, Kotbah 271: PL 38,1245. – S. SIRILUS dari Iskandaria, Glaphyra tentang Genesis II: PG 69,79. – S. GREGORIUS Agung, Homili tentang Injil, kitab II, Homili 30, 4: PL 76,1222. – S. BEDA, Tentang Hexaemeron, kitab III: PL 91,125. – Selain itu lihat juga gambaran di ruang muka Gereja Basilik S. Markus di Venesia. – Gereja berbicara dalam semua bahasa, dan dengan demikian menghimpun semua orang dalam sifat katolik Iman: S. AGUSTINUS, Kotbah 266, 267, 268, 269: PL 38,1225-1237. – IDEM, Kotbah 175, 3: PL 38,946. – S. YOHANES KRISOSTOMUS, Tentang Surat 1Kor, Homili 35: PG 61, 296. – S. SIRILUS dari Iskandaria, Fragm. In Act.: PG 74,758. – S. FULGENSIUS, Kotbah 8, 2-3: PL 65, 743-744. – Tentang pentekosta sebagai pengudusan para Rasul untuk perutusan, bdk. J.A. CRAMER, Catena in Acta SS. Apostolorum, Oxford 1838, hlm. 24 dsl. 9 Lih. Luk 3:22; 4:1; Kis 10:38). 10 Lih. Yoh bab 14-17. – PAULUS VI, Amanat dalam Konsili tgl. 14 September 1964: AAS 56 (1964), hlm. 807. 11 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 4. 12 S. AGUSTINUS, Kotbah 267, 4: PL 38,1231: “Dalam seluruh Gereja Roh Kudus menjalankan, apa yang dilakukan jiwa dalam semua anggota badan yang satu”. – Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, art. 7 beserta catatan 8.

mendahului kegiatan merasul[13], seperti Ia tiada hentinya juga menyertai serta memimpinnya dengan pelbagai cara[14] 5. (Gereja diutus oleh Kristus) Sejak semula Tuhan Yesus “memanggil mereka yang dikehendaki-Nya serta untuk diutus-Nya mewartakan Injil” (Mrk 3:13; lih. Mat 10:1-42). Begitulah para Rasul merupakan benih-benih Israel baru, pun sekaligus awal mula Hirarki suci. Kemudia, sesudah sekali, dengan wafat serta kebangkitan-Nya, Tuhan menyelesaikan dalam diriNya rahasia-rahasia keselamatan kita serta pembaharuan segala sesuatu, menerima segala kuasa di sorga dan di buki (lih. Mat 28:18), sebelum Ia diangkat ke sorga (lih. Kis 1:11), Ia mendirikan Gereja-Nya sebagai sakramen keselamatan. Ia mengutus para Rasul ke seluruh dunia, seperti Ia sendiri telah diutus oleh Bapa (lih. Yoh 20:21), perintah-Nya kepada mereka: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku, dan babtislah mereka dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus: ajarlah mereka melakukan segalasesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:19 dsl.). “pergilah ke seluruh dunia, dan wartakanlah Injil kepada semua makluk. Barang siapa percaya dan di babtis, akan selamat; tetapi siapa tidak percaya, akan dihukum” (Mrk 16:15 dsl.). Maka dari itu Gereja mengemban tugas menyiarkan iman serta keselamatan Kristus, baik atas perintah jelas, yang oleh para Rasul telah diwariskan kepada Dewan para Uskup yang dibantu oleh para imam, bersama dengan Pengganti Petrus serta Gembala Tertinggi Gereja, maupun atas daya-kekuatan kehidupan, yang oleh Kristus disalurkan kepada para anggota-Nya; “dari pada-Nyalah seluruh tubuh, - yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan setiap anggota, menerima pertumbuhan dan membangun dirinya dalam kasih” (Ef 4:16). Oleh karena itu perutusan Gereja terlaksana dengan karya-kegiatannya. Demikianlah Gereja, mematuhi perintah Kristus dan digerakkan oleh rahmat serta cinta kasih Roh Kudus, hadir bagi semua orang dan bangsa dengan kenyataannya sepenuhnya, untuk – dengan teladan hidup maupun pewartaannya, dengan sakramen-sakramen serta upaya-upaya rahmat lainnya – menghantarkan mereka kepada iman, kebebasan dan damai Kristus, sehingga bagi mereka terbukalah jalan yang bebas dan teguh, untuk ikut serta sepenuhnya dalam misteri kristus. Perutusan itu terus berlangsung, dan disepanjang sejarah menjabarkan perutusan Kristus sendiri, yang diutus untuk mewartakan Kabar Gembira kepada kaum miskin. Atas dorongan Roh Kristus Gereja harus menempuh jalan yang sama seperti yang dilalui oleh Kristus sendiri, yakni jalan kemiskinan, ketaatan, pengabdian dan pengorbanan diri samapai mati, dan dari kematian itu muncullah Ia melalui kebangkitan-Nya sebagai Pemenang. Sebab demikianlah semua Rasul berjalan dalam harapan. Dengan mengalami banyak kemalangan dan dukaderita mereka menggenapi apa yang masih kurang pada penderitaan Kristus bagi Tubuh-Nya yakni Gereja (lih. Kol 1:24). Sering pula darah orangorang kristiani menjadi benih[15]. 6. (Kegiatan misioner) Tugas itu harus dijalankan oleh Dewan para Uskup yang diketuai Pengganti petrus, sementara seluruh Gereja berdoa dan bekerja sama. Tugas itu satu dan tetap sama, dimanapun juga dalam segala situasi, meskipun menurut kenyataan tidak dilaksanakan dengan cara yang sama. Maka dari itu perbedaan-perbedaan, yang harus diakui adanya dalam kegiatan gereja itu, bukannya muncul dari hakekat paling dalam perutusan itu sendiri, melainkan dari pelbagai situasi tempat perutusan itu berlangsung. Adapun keadaan-keadaan itu tergantung atau dari Gereja, atau juga dari berbagai masyarakat, golongan-golongan atau orang-orang, yang dilayani dalam perutusan itu. Sebab meskipun Gereja pada hakekatnya merangkum keseluruhan atau kepenuhan 13

Lih. Kis 10:44-47; 11:15; 15:8. Lih. Kis 4:8; 5:32; 8:26; 29, 39; 9:31; 10; 11:24, 28; 13:2, 4, 9; 16:6-7; 20:22-23; 21:11, dan lain-lain. 15 TERTULIANUS, Apologetika 50, 13: PL 1,534; CChr. 1,171. 14

upaya-upaya keselamatan, namun tidak selalu atau segera bertindak atau dapat bertindak memakai semua upaya itu, melainkan dalam kegiatannya mencobamelaksanakan rencana Allah mengalami tahap-tahap awal dan langkah-langkah. Bahkan ada kalanya, sesudah kemajuan awal yang menggembirakan, Gereja terpaksa menyesalkan adanya kemunduran lagi, atau setidak-tidaknya tinggal dalam suatu keadaan tanggung dan tidak mencukupi. Adapun mengenai orang-orang, golongan-golongan dan bangsa-bangsa, Gereja hanya menyentuh serta merasuki mereka secara berangsur-angsur, dan begitulah Gereja menampung mereka dalam kepenuhan katolik. Tindakan-tindakan yang khas atau sarana-sarana yang baik harus sesuai dengan setiap situasi atau keadaan. Prakarsa-prakarsa khusus, yang ditempuh oleh para pewarta Injil utusan Gereja dengan pergi keseluruh dunia untuk menunaikan tugas menyiarkan Injil dan menanamkan Gereja diantara para bangsa atau golongan-golongan yang belum beriman akan Kristus, lazimnya disebut “misi”. Misi itu dilaksanakan melalui kegiatan misioner, dan kebanyakan diselenggarakan di kawasan-kawasan tertentu yang diakui oleh Takhta suci. Tujuan khas kegiatan misioner itu mewartakan Injil dan menanamkan Gereja ditengah bangsa-bangsa atau golongan-golongan, tempat Gereja belum berakar[16]. Demikianlah dari benih sabda Allah tumbuhlah di mana-mana Gereja-gereja khusus pribumi yang cukup mantap, mempunyai daya-kekuatan mereka sendiri serta dewasa, dilengkapi secukupnya dengan Hirarki mereka sendiri dalam persatuan dengan Umat beriman, pun dengan upaya-upaya yang sesuai dengan watak-perangai mereka, untuk sepenuhnya menghayati hidup kristiani, dan untuk menyumbangkan bagian mereka demi manfaat seluruh Gereja. Upaya utama penanaman Gereja itu pewartaan Injil Yesus Kristus; untuk menyiarkannya itulah Tuhan mengutus para murid-Nya ke seluruh dunia, supaya orang-orang lahir kembali berkat sabda Allah (lih. 1Ptr 1:23), dan melalui babtis digabungkan pada Gereja, yang sebagai Tubuh Sabda yang menjelma dikembangkan dan hidup dari sabda Allah dan roti Ekaristi (lih Kis 2:42). Dalam kegiatan misioner Gereja itu ada kalanya berbagai situasi bercampur-baur: pertama situasi permulaan atau penanaman, kemudian situasi kebaharuan atau keremajaan. Tetapi sesudah itu kegiatan misioner Gereja tidak berhenti, melainkan Gereja-Gereja khusus yang sudah terbentuk bertugas melanjutkannya, dan mewartakan Injil kepada semua dan setiap orang, yang masih berada di luar. Selain itu tidak jarang golongan-golongan masyarakat, yang dihadapi Gereja, karena pelbagai sebab mengalami perubahan yang mendalam, sehingga dapat muncullah keadaan-keadaan yang sama sekali baru. Lalu Gereja wajib mempertimbangkan, benarkah situasi-situasi itu memerlukan kegiatan misioner lagi. Kecuali itu kadangkadang keadaannya sedemikian rupa, sehingga untuk sementara tidak ada kemungkinan untuk secara langsung dan segera menyiarkan Injil: dalam situasi itu para misionaris dapat dan harus dengan sabar dan bijaksana, sekaligus dengan kepercayaan besar, sekurang-kurangnya memberi kesaksian akan cinta kasih dan kemurahan hati Kristus, dan dengan demikian menyiapkan jalan bagi Tuhan serta dengan cara tertentu menghadirkan-Nya. Begitu menjadi jelaslah, bahwa kegiatan misioner bersumber pada hakekat Gereja sendiri. Kegiatan itu menyiarkan iman Gereja yang membawa keselamatan, menyempurnakan kesatuan katoliknya dengan memperluasnya, serta didukung oleh sifat 16

S. TOMAS AQUINO SUDAH BERBICARA TENTANG TUGAS KERASULAN MENANAM Gereja: lih. Sententiae, kitab 1, dist. 16, soal 1, art. 2 ad 2 dan ad 4; art. 3 pemecahan. – IDEM, Summa Theol. I, soal 43, art. 7 ad 6;III, soal 106, art. 4 ad 4. – Lih. BENEDIKTUS XV, Maximum illud, 30 November 1919: AAS 11 (1919) hlm. 445 dan 453. – PIUS XI, rerum Ecclesiae, 28 Februari 1926: AAS 18 (1926) hlm. 74. – PIUS XII, 30 April 1939, kepada para direktur Karya-karya Kepausan untuk Misi; IDEM, 24 Juni 1944, kepada para direktur Karya-karya Kepausan untuk Misi: AAS 38 (1944) hlm. 210, lagi dalam AAS 42 (1950) hlm. 727, dan 43 (1951) hlm. 508. – IDEM, 29 Juni 1948 kepada klerus pribumi: AAS 40 (1948) hlm. 374. – IDEM, Evangelii Praecones, 2 Juni 1951: AAS 43 (1951) hlm. 507. – IDEM< Fidei donum, 15 Januari 1957: AAS 49 (1957) hlm. 236. – YHANES XXIII, Princeps Pastorium, 28 November 1959: AAS 51 (1959) hlm. 835. – PAULUS VI, Homili 18 Oktober 1964: AAS 56 (1964) hlm. 911. – Baik para Paus maupun para Bapa dan Skolastik sering berbicara tentang “perluasan” Gereja: S. TOMAS, Komentar pada Mat 16:28, LEO XII, Ensiklik Sancta Dei Civitas: AAS (1880) hlm. 241. –BENEDIKTUS XV, Ensiklik Maximum illud: AAS 11 (1919) hlm. 442. – PIUS XI, Ensiklik Rerum Ecclesiae: AAS 18 (1926) hlm. 65.

kerasulannya. Kegiatan misioner memberi wujud nyata kepada semangat kolegial Hirarki, memberi kesaksian akan kekudusan Gereja, menyebarkan dan memajukan. Demikianlah kegiatan misioner di antara bangsa-bangsa berlainan dengan kegiatan pastoral terhadap Umat beriman, maupun dengan usaha-usaha yang ditempuh untuk meningkatkan kesatuan umat kristen. Tetapi dua hal terakhir itu berhubungan erat sekali dengan kegiatan misioner Gereja[17]: sebab perpecahan Umat kristen merugikan kepentingan amat suci, yakni pewartaan Injil kepada segala makhluk[18], dan bagi banyak orang menutup pintu untuk memasuki iman. Demikianlah karena misi itu sangat perlu, maka semua orang yang telah di babtis dipanggil, untuk berhimpun dalam satu kawanan, dan dengan demikian mampu serentak memberi kesaksian akan kristus Tuhan mereka dihadapan para bangsa. Bila mereka belum mampu memberi kesaksian sepenuhnya tentang satu iman, sekurang-kurangnya mereka harus dijiwai oleh sikap saling menghargai dan saling mencintai. 7. (Alasan dan perlunya kegiatan misioner) Alasan bagi kegiatan misioner itu terletak pada kehendak Allah, yang “menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan tentang kebenaran. Sebab Allah itu esa, dan esa pula Pengantara antara Allah dan manusia, yakni manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusn bagi semua orang” (1Tim 2:4-5); “dan keselamatan tidak ada dalam siapa pun juga selain dalam Dia” (Kis 4:12). Maka perlulah semua orang bertobat kepada Kristus, yang dikenal melalui pewartaan gereja, dan melalui Babtis disaturagakan ke dalam Dia dan Gereja, yakni Tubuh-Nya. Sebab Kristus sendiri “dengan jelas-jelas menegaskan perlunya iman dan babtis (lih. Mrk 16:16; Yoh 3:5), sekaligus menegaskan perlunya Gereja, yang dimasuki orang-orang melalui Babtis bagaikan pintunya. Maka dari itu andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan”[19]. Oleh karena itu, meskipun Allah melalui jalan yang diketahui-Nya dapat menghantar manusia, yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil, kepada iman yang merupakan syarat mutlak untuk berkenan kepada-Nya (Ibr 11:6), namun Gereja mempunyai keharusan (lih. 1Kor 9:16) sekaligus juga hak yang suci, untuk mewartakan Injil. Maka dari itu kegiatan misioner sekarang ini seperti selalu tetap sepenuhnya mempunyai daya-kekuatan dan sifat keharusannya. Melalui kegiatan itu Tubuh mistik Kristus tiada hentinya menghimpun dan menyusun tenaga-tenaganya demi pertumbuhannya sendiri (lih. Ef 4:11-16). Untuk melaksanakan kegiatan itulah para anggota Gereja didorong oleh cinta kasih. Dengan cinta itu mereka mengasihinya Allah, dan ingin berbagi kekayaan rohani hidup sekarang maupun di masa mendatang dengan semua orang. Akhirnya melalui kegiatan misioner itu Allah dimuliakan sepenuhnya, sementara orang-orang dengan sadar dan seutuhnya menerima karya penyelamatan-Nya, yang disempurnakan-Nya dalam kristus. Demikian melalui kegiatan misioner terpenuhilah renacana Allah, yang dilayani oleh Kristus dengan taat-patuh dan penuh kasih demi kemuliaan bapa yang mengutus-Nya[20], supaya segenap umat manusia mewujudkan satu Umat Allah, bersatu-padu menjadi satu Tubuh Kristus, serta dibangun menjadi satu kenisah Roh Kudus. Pastilah itu menjawab kerinduan yang terdalam pada semua orang, karena mencerminkan kerukunan antar saudara. Begitulah akhirnya rencana Sang 17

Sudah jelaslah, bahwa dalam faham “kegiatan misioner” itu menurut kenyataan terangkan terangkum juga bagian-bagian Amerika Latin, yang belum memiliki Hirarkinya sendiri maupun mencapai kedewasaan hidup kristiani, serta belum menerima perwartaan Injil yang memadai. Apakah wilayah-wilayah itu de facto oleh Takhta suci diakui sebagai daerah misi, tidak tergantung dari Konsili. Maka dari itu mengenai hubungan antara faham “kegiatan misioner” dan wilayahwilayah tertentu dikatakan: kegiatan itu ‘kebanyakan” dilaksanakan di daerah-daerah tertentu yang diakui oleh Takhta suci. 18 KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Ekumenisme, art. 1. 19 KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 14. 20 Lih. Yoh 7:18; 8:30 dan 44; 8:50; 17:1.

Pencipta, yang menciptakan manusia menurut cita-kesamaan-Nya, sungguh-sungguh terlaksana, bila semua saja yang mempunyai kodrat manusiawi dilahirkan kembakli dalam kristus melalui Roh Kudus, dan sementara serentak memandang kemuliaan Allah, akan dapat berseru: “Bapa kami”[21]. 8. (Kegiatan misioner dalam hidup dan sejarah umat manusia) Kegiatan misioner berhubungan erat juga dengan kodrat manusia sendiri serta aspirasiaspirasinya. Sebab dengan memperlihatkan Kristus, gereja sekaligus mengungkapkan kepada manusia kebenaran yang sesungguhnya tentang keadaannya serta kepenuhan panggilannya. Karena Kristus itu merupakan merupakan prinsip dan pola kodrat manusiawi yang diperbaharui, serta dijiwai kasih persaudaraan, kejujuran dan semangat suka damai, yang diinginkan oleh semua orang. Kristus, begitu pula Gereja yang memberi kesaksian tentang-Nya melalui pewartaan Injil, mengatasi segala keistimewaan suku maupun bangsa. Maka Kristus serta Gereja-Nya tidak dapat dianggap asing bagi siapa pun dan di mana pun[22]. Kristus sendirilah kebenaran dan jalan, yang oleh penyiaran Injil dibuka bagi semua orang, sementara pewartaan itu menyampaikan kepada mereka semua amanat Kristus sendiri: “Bertobatlah dan berimanlah akan Injil” (Mrk 1:15). Karena siapa tidak beriman sudah diadili (lih. Yoh 3:18), maka sabda Kristus itu sekaligus amanat pengadilan dan rahmat, maut dan kehidupan. Sebab hanya dengan mematikan apa yang sudah usang kita dapat mencapai kehidupan yang baru. Dan itu pertama-tama berlaku bagi pribadi-pribadi, tetapi juga bagi pelbagai harta-nilai dunia ini, yang ditandai sekaligus oleh dosa manusia dan berkat Allah: “Sebab semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah” (Rom 3:23). Tidak seorangpun mampu membebaskan diri dari dosa dan melampaui dirinya atas kekuatannya sendiri. Tak seoarngpun dibebaskan sama sekali dari kelemahannya, atau keadaannya terlantar, atau perbudakannya[23]. Tetapi semua orang membutuhkan Kristus sebagai pola-teladan, guru, pembebas, juru selamat, Dia yang menghidupkan. Sesungguhnya dalam sejarah manusia, juga dalam kurun waktu ini, Injil merupakan ragi kebebasan dan kemajuan, dan selalu menyajikan diri sebagai ragi persaudaraan, kesatuan dan damai. Maka bukannya tanpa alasan Kristus oleh kaum beriman dirayakan sebagai “harapan dan Penyelamat para bangsa”[24]. 9. (Sifat eskatologis kegiatan misioner) Maka dari itu masa kegiatan misioner berlangsung antra kedatangan Tuhan yang pertama dan yang kedua, saatnya Gereja bagaikan panenan akan dihimpun dari keempat penjuru

21

Mengenai gagasan sintetis itu lihat ajaran S, IRENEUS tentang Recapitulatio (penyatuan segala sesuatu dalam Kristus sebagai Kepala). Lih. juga HIPOLITUS, Tentang Anti-Kristus, 3: Ia “mencintai semua orang dan menghendaki keselamatan mereka semua; ia hendak menjadikan mereka semua putera-putera Allah, dan memanggil semua para kudus untuk menjadikan mereka semua satu manusia yang sempurna …”: PG 10,732; CGS Hippolyt. I, 2, hlm. 6. – IDEM, Berkat-berkat Jakub, 7: TU. 38-1, hlm. 18, baris 4 dsl. – ORIGENES, Tentang Yohanes, I, n. 16: “Sebab pada saat itu akan ada satu kegiatan menganal Allah pada mereka, yang datang kepada Allah, berkat bimbingan Sang Sabda yang ada pada Allah; sehingga semua sebagai putera dibina dengan cermat dalam pengenalan Bapa’: PG 14,49: GCS Orig. IV, 20. – S. AGUSTINUS, Tentang manat Tuhan di atas bukit, I, 41: “Marilah kita mencintai apa yang bersama kita dapat dihantarkan ke kerajaan itu, tempat tak seoarng pun berkata : Bapaku, melainkan semua menyapa Allah yang esa: Bapa kami”: PL 34,1250. – S. SIRILUS dari iskandari, Tentang Yohanes I: “Sebab kita semu a berada dalam Kristus, dan kodrat kemanusiaan kita yang umum hidup kembali dalam Dia. Sebab karena itulah Ia disebut Adam yang baru …. Karena Ia, yang menurut kodrat-Nya Putera dan Allah, tinggal diantara kita; maka dalam Roh_nya kita dalam satu kenisah, yakni yang dikenakan-Nya demi kita dan dari kita, supaya Ia merangkum semua orang dalam diri-Nya, dan mendamaikan semua dengan Bapa dalam satu Tybuh, menurut kata Paulus”: PG 73, 161-164. 22 BENEDIKTUS XV, Ensiklik Maximum illud: AAS 11 (1919) hlm. 445: “Sebab Gereja Allah bersifat katolik, dan tidak asing bagi suku atau bangsa mana pun juga ….”. – Lih YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: “Atas ketetapan ilahi Gereja meliputi semua bangsa …, sebab menyalurkan daya kekuatannya seperti ke dalam ‘pembuluh-pembuluh’ suatu bangsa; maka Gereja bukan dan tidak memandang diri sebagai suatu lembaga, yang dipaksakan dari luar terhadap bangsa itu …. Maka dari itu apa pun yang dipandangnya baik dan luhur, diteguhkan dan disempurnakan (oleh mereka yang telah lahir kembali dalam Kristus)”: AAS 53 (1961) hlm. 444. 23 Lih. S. IRENEUS, Melawan bidaah-bidaah, III, 15, 3: PG 7,919: “Mereka itu pewarta kebenaran dan rasul kebebasan”. 24 Antifon “O” pada tgl. 23 Desember.

angin ke dalam kerajaan Allah[25]. Sebab sebelum Tuhan akan datang , Injil harus diwartakan kepada semua bangsa (lih. Mrk 13:10). Kegiatan misioner tidak lain dan tidak kurang dari pada penampakan rencana Allah atau “Epiphania”, serta pelaksanaannya didunia dan dalam sejarahnya, saatnya Allah, melalui perutusan, secara terbuka menyempurnakan sejarah keselamatan. Melalui sabda pewartaan dan prayaan sakramen-sakramen, yang pusat dan puncaknya Ekaristi suci, kegiatan itu menghadirkan Kristus Sang Penyelamat. Kebenaran atau rahmat mana pun, yang sudah terdapat pada para bangsa sebagai kehadiran Allah yang serba rahasia, dibebaskannya dari penularan jahat dan dikembalikannya kepada Kristus Penyebanya, yang menumbangkan pemerintahan setan serta menangkal pelbagai kejahatan perbuatanperbuatan durhaka. Oleh karena itu apa pun baik, yang terdapat tertaburkan dalam hati dan budi orang-orang, atau dalam adat-kebiasaan serta kebudayaan-kebudayaan yang khas para bangsa, bukan hanya tidak hilang, melainkan disembuhkan, diangkat dan disempurnakan demi kemuliaan Allah, untuk mempermalukan setan dan demi kebahagiaan manusia[26]. Begitulah kegiatan misioner menuju kepada kepenuhan pada akhir zaman[27]: sebab karenanya, sampai masa dan waktu yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya (lih. Kis 1:7), diperluaslah Umat Allah, yang disapa oleh nabi: “lapangkanlah tempat kemahmu, dan bentangkanlah tenda tempat kediamanmu! Janganlah menghematnya!” (Yes 54:2)[28], berkembanglah Tubuh mistik sampai tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (lih. Ef 4:13); dan kenisah rohani, tempat Allah disembah dalam roh dan kebenaran (lih. Yoh 4:23), berkembang dan dibangun di atas landasan para Rasul dan nabi-nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru (Ef 2:20).

BAB DUA KARYA MISIONER SENDIRI 10. (Pendahuluan) Gereja, yang diutus oleh Kristus untuk memperlihatkan dan menyalurkan cinta kasih Allah kepada semua orang dan segala bangsa, menyadari bahwa karya misioner yang harus dilaksanakannya memang masih amat berat. Sebab masih ada dua miliar manusia, yang jumlahnya makin bertambah, dan yang berdasarkan hubungan-hubungan hidup budaya yang tetap, berdasarkan tradisi-tradisi keagamaan yang kuno, berdasarkan pelbagai ikatan kepentingan-kepentingan sosial yang kuat, terhimpun menjadi golongangolongan tertentu yang besar, yang belum atau hampir tidak mendengar Warta Injil. Di kalangan mereka ada yang tetap asing terhadap pengetian akan Allah sendiri, ada pula yang jelas-jelas mengingkari adanya Allah, bahkan ada kalanya menentangnya. Untuk dapat menyajikan kepada semua orang misteri keselamatan serta kehidupan yang disediakan oleh Allah, Gereja harus memasuki golongan-golongan itu dengan gerak yang sama seperti Kristus sendiri, ketia Ia dalam penjelmaan-Nya mengikatkan diri pada keadaan-keadaan sosial dan budaya tertentu, pada situasi orang-orang yang sehari-hari dijumpai-Nya. 25

Lih. Mat 24:31. Didache, 10,5: FUNK I, 32. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 17. – S. AGUSTINUS, Tentang Kota Allah, 19, 17: PL 41,646. – KONGREGASI PENYEBARAN IMAN, Instruksi: Collectanea I, n. 135, hlm. 42. 27 Menurut ORIGENES Injil harus diwartakan sebelum akhir dunia ini: Homili tentang Luk XXI: GCS Orig. IX, 136,21 dsl. – IDEM, Komentar tentang Mat., 39: GCS Orig. XI, 75,25 dsl.; 76,4 dsl. – IDEM, Homili tentang Yerem. III, 2: GCS Orig. VII, 308,29 dsl. – S. TOMAS, Summa Theol. I-II, soal 106, art. 4 ad 4. 28 S. HILARIUS dari Poiters, Tentang Mzm 14: PL 9,301. – EUSEBIUS dari Sesarea, Tentang Yesaya 54:2-3: PG 24,462463. – S. SIRILUS dari Iskandaria, Tentang Yesaya V, bab 54: 1-3: PG 70,1193. 26

ARTIKEL SATU KESAKSIAN KRISTIANI 11. (Kesaksian hidup dan dialog) Gereja harus hadir di tengah golongan-golongan manusia itu melalui putera-puteranya, yang diam di antara mereka atau diutus kepada mereka. Sebab segenap umat beriman kristiani, dimana pun mereka hidup, melalui teladan hidup serta kesaksian lisan mereka wajib menampilkan manusia baru, yang telah mereka kenakan ketika dibaptis, maupun kekuatan Roh Kudus, yang telah meneguhkan mereka melalui sakramen Krisma. Dengan demikian sesama akan memandang perbuatan-perbuatan mereka dan memuliakan Bapa (lih. Mat 5:16), dan akan lebih penuh menangkap makna sejati hidup manusia serta ikatan persekutuan semesta umat manusia. Supaya kesaksian mereka akan Kristus itu dapat memperbuahkan hasil, hendaklah mereka dengan penghargaan dan cinta kasih menggabungkan diri dengan sesama, menyadari diri sebagai anggota masyrakat di lingkungan mereka, dan ikut serta dalam kehidupan budaya dan sosial melalui aneka cara pergaulan hidup manusiawi dan pelbagai kegiatan. Hendaknya mereka sungguh mengerti tradisi-tradisi kebangsaan dan keagamaan mereka, dan dengan gembira serta penuh hormat menggali benih-benih Sabda yang terpendam di situ. Tetapi sekaligus hendaknya mereka memperhatikan proses perubahan mendalam, yang sedang berlangsung pada bangsa-bangsa itu, dan ikut mengusahakan, supaya orang-orang zaman sekarang jangan terlampau memperhatikan ilmu-pengetahuan serta teknologi dunia modern, sehingga terasingkan dari nilai-nilai ilahi, bahkan supaya mereka dibangkitkan untuk semakin intensif merindukan kebenaran dan cinta kasih yang diwahyukan oleh Allah. Kristus sendiri menyelami hati sesama-Nya dan melalui percakapan yang sungguh manusiawi menghantar mereka kepada terang ilahi. Begitu pula hendaklah para murid-Nya, yang secara mendalam diresapi oleh Roh Kristus, memahami sesama dilingkungan mereka dan bergaul dengan mereka, sehingga berkat dialog yang jujur dan sabar itu mereka makin mengetahui, harta-kekayaan manakah yang oleh Allah dalam kemurahan-Nya telah dibagikan kepada para bangsa. Serta merta hendaklah mereka berusaha menilai kekayaan itu dalam cahaya Injil, membebaskannya, dan mengembalikannya kepada kekuasaan Allah Penyelamat. 12. (Kehadiran cinta kasih) Kehadiran Umat beriman kristiani di tengah golongan-golongan manusia hendaknya dijiwai oleh cinta kasih Allah terhadap kita, sebab Allah menghendaki supaya kita saling mengasihi dengan cinta kasih yang sama (lih. 1Yoh 4:11). Sesungguhnya cinta kasih kristiani di tujukan kepada semua orang tanpa membeda-bedakan suku-bangsa, keadaan sosial atau agama; cinta kasih tidak mengharapkan keuntungan atau ungkapan terima kasih. Sebab seperti Allah telah mengasihi kita dengan cinta yang suka rela, begitu pula hendaknya kaum beriman dengan kasih mereka memperhatikan sepenuhnya manusia sendiri, dalam gerak yang sama seperti Allah mencari manusia. Maka seperti Kristus berkeliling ke semua kota dan desa sambil melenyapkan segala penyakit dan kelemahan sebagai tanda kedatangan kerajaan Allah (lih. Mat 9:35 dsl; Kis 10:38), begitu juga Gereja melalui para puteranya berhubungan dengan orang-orang dalam keadaan mana pun juga, tetapi terutama dengan mereka yang miskin dan tertimpa kemalangan, dan dengan sukarela mengorbankan diri untuk mereka (lih. 2Kor 12:15). Sebab Gereja ikut mengalami kegembiraan serta kesedihan mereka, mengerti cita-cita serta teka-teki hidup mereka, menderita bersama mereka dalam kegelisahan maut. Gereja ingin menanggapi mereka yang mencari damai dengan wawancara persaudaraan, dan membawa damai serta terang Injil kepada mereka. Hendaklah kaum beriman kristiani berusaha dan bekerja sama dengan semua orang lainnya untuk mengatur bidang-bidang wekonomi dan sosial secara tepat hendaknya mereka secara istimewa membaktikan diri bagi pendidikan anak-anak dan kaum muda

melalui pelbagai macam sekolah-sekolah, yang harus dipandang tidak hanya sebagai upaya yang unggul untuk membina dan memajukan angkatan muda kristiani, melainkan juga sebagai pengabdian yang bernilai amat tinggi kepada umat manusia, terutama kepada bangsa-bangsa yang sedang berkembang, untuk mengangkat martabat manusia dan menyiapkan kondisi-kondisi yang lebih manusiawi. Selain itu hendaknya umat kristiani ikut serta dalam usaha-usaha para bangsa, yang sedang memerangi kelaparan, kebodohan serta penyakit-penyakit, dan dengan demikian berusaha menciptakan kondisikondisi hidup yang lebih baik dan meneguhkan perdamaian di dunia. Dalam kegiatan itu hendaknya kaum beriman memilih untuk dengan bijaksana menggabungkan usaha mereka dengan usaha-usaha, yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga perorangan maupun umum, oleh pemerintah-pemerintah, oleh lembaga-lembaga internasional, oleh pelbagai jemaat kristiani maupun para penganut agama-agama bukan kristiani. Akan tetapi gereja sama sekali tidak bermaksud mencampuri pemerintahan masyarakat duniawi. Gereja tidak menghendaki kewibawaan lain bagi dirinya kecuali untuk dengan bantuan Allah, dengan cinta kasih dan dalam pengabdian yang setia, melayani umat manusia (lih. Mat 20:26; 23:11)[29] Dalam kehidupan dan kegiatan mereka para murid Kristus erat bersatu dengan sesama manusia. Mereka berharap akan memberi kesaksian yang benar tentang Kristus, dan berkarya demi keselamatan sesama, juga bila mereka tidak dapat sepenuhnya mewartakan Kristus. Sebab mereka tidak mencari kemajuan dan kesejahteraan manusia yang bersifat jasmani melulu, melainkan memajukan martabat serta persatuan persaudaraan sesama. Itu mereka usahakan sambil mengajarkan kebenaran-kebenaran keagamaan dan kesusilaan, yang oleh Kristus disinari dengan cahaya-Nya. Dengan demikian mereka lambat laun semakin lebar membuka pintu menuju Allah. Begitulah orang-orang dibantu untuk memperoleh keselamatan melalui cinta kasih terhadap Allah dan terhadap sesama. Mulai bercahayalah misteri kristus. Dalam Dia telah mulai tampillah manusia baru, yang diciptakan menurut Allah (lih. Ef 4:24), dan yang mengungkapkan cinta kasih Allah.

ARTIKEL DUA PEWARTAAN INJIL DAN PENGHIMPUNAN UMAT ALLAH 13. (Pewartaan Injil dan pertobatan) Dimanapun Allah membuka pintu pewartaan tentang misteri Kristus (lih. Kol 4:3), kepada semua orang (lih. Mrk 16:15) perlulah diwartakan (lih. 1Kor 9:16; Rom 10:14) penuh kepercayaan dan tiada hentinya (lih. Kis 4:13, 29, 31; 9:27-28; 13:46; 14:3; 19:8; 26:26; 28:31; 1Tes 2:2; 2Kor 3:12; 7:4; Plp 1:20; Ef 3:12; 6:19-20) Allah yang hidup, beserta Yesus kristus yang diutus-Nya demi keselamatan semua orang (lih. 1Tes 1:9-10; 1Kor 1:18-21; Gal 1:31; Kis 14:15-17; 17:22-31). Maksudnya supaya mereka yang bukan kristiani, berkat Roh Kudus yang membuka hati mereka (lih. Kis 16:14), menjadi beriman dan dengan sukarela bertobat kepada Tuhan, serta dengan jujur berpegang teguh pada Dia, yang merupakan “jalan, kebenaran dan kehidupan” (Yoh 14:6), dan memenuhi - bahkan tiada hingganya melampaui – semua harapan-harapan rohani mereka. Itu memang harus dimengerti sebagai pertobatan awal, tetapi bagi manusia sudah mencukup untuk menangkap, bahkan ia telah dibebaskan dari dosa dan di antar masuk ke dalam misteri cinta kasih Allah, yang memanggilnya untuk menjalin hubungan pribadi dengan diri-Nya dalam kristus. Sebab berkat rahmat Allah orang yang baru saja bertobat menempuh perjalanan rohani; di situ ia, yang karena iman sudah ikut menhayati misteri wafat dan kebangkitan, beralih dari manusia lama kepada manusia baru yang sempurna 29

Lih. PAULUS VI, Amanat pada tgl. 21 November 1964 dalam sidang Konsili: AAS 56 (1964) hlm. 1013.

dalam Kristus (lih. Kol 3:5-10; Ef 4:20-24). Peralihan itu membawa serta perubahan mentalitas serta adat kebiasaan secara berangsur-angsur, harus nampak beserta dampakdampak sosialnya, dan selama katekumenat berkembang sedikit demi sedikit. Tuhan yang diimani itu tanda yang menimbulkan perbantahan (lih. Luk 2:34; mat 10:34-39). Maka manusia yang bertobat tidak jarang mengalami perpecahan-perpecahan dan pemisahan-pemisahan, tetapi juga kegembiraan yang dikurniakan oleh Allah tanpa ukuran (lih. 1Tes 1:6). Gereja melarang keras, jangan sampai ada orang yang dipaksa atau dengan siasat yang tidak pada tempatnya dibujuk atau dipikat untuk memeluk iman. Begitu pula Gereja dengan teguh membela hak manusia untuk tidak dijauhkan dari iman melalui ganguan-gangguan yang melanggar keadilan[30]. Menurut kebiasaan Gereja yang amat kuno, hendaknya alsan-alsan untuk bertobat diselidiki, dan bila perlu dijernihkan. 14. (Katekumenat dan inisiasi kristiani) Hendaknya mereka, yang telah menerima iman akan Kristus dari Allah melalui gereja[31], diterima ke dalam katekumenat dengan upacara liturgis. Katekumenat itu bukan melulu penjelasan ajaran-ajaran Gereja dan pemerintah-pemerintah, melainkan pembinaan dalam seluruh hidup kristiani dan masa percobaan yang lamanya memadai, yang membantu para murid untuk bersatu dengan Kristus Guru mereka. Maka hendaknya para katekumen diantar sebagamana harusnya untuk memasuki rahasia keselamatan, menghayati cara hidup menurut Injil, dan ikut serta dalam upacara-upacara suci, yang harus dirayakan dari masa ke masa[32]. Hendaknya mereka diajak memulai hidup dalam iman, merayakan liturgi dan mengamalkan cinta kasih Umat Allah. Kemudian melalui sakramen-sakramen inisiasi kristiani mereka dibebaskan dari kuasa kegelapan (lih. Kol 1:13)[33]; mereka mati, dikuburkan dan dibangkitkan bersama Kristus (lih. Rom 6:4-11; Kol 2:12-13; 1ptr 3:21-22; Mrk 16:16), menerima Roh (lih. 1tes 3:5-7; Kis 8:14-17) pengangkatan menjadi putera, dan merayakan kenangan dan wafat kebangkitan Tuhan bersama segenap Umat Allah. Hendaknya liturgi masa Pra Paska dan Paska ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga menyiapkan hati para katekumen mera-yakan misteri Paska; dalam perayaam itu mereka dilahirkan bagi Kristus melalui baptis-baptis. Tetapi inisiasi kristisni dalam katekumenat itu jangan hanya diselenggarakan oleh para katekis atau para imam, melainkan hendaknya di laksanakan oleh segenap jemaat beriman, khususnya oleh bapak ibu baptis, sehingga para katekumen sejak semula merasa termasuk anggota Umat Allah. Karena hidup Gereja itu bersifat kerasulan, maka hendaknya para katekumen belajar juga dengan kesaksian hidup serta pengikraran imam mereka secara aktif memberi sumbangan mereka bagi pewartaan Injil dan pembangunan Gereja. Akhirnya status yuridis para katekumen hendaknya dalam Kitab Hukum Kanonik yang baru ditetapkan dengan jelas. Sebab mereka sudah bersatu dengan Gereja[34], sudah termasuk rumah (keluarga) Kristus[35], dan tidak jarang sudah mengghayati kehidupan iman, harapan dan cinta kasih.

30

KONSILI VATIKAN II, Pernyataan tentang Kebebasan Beragama, art. 2, 4, 10.- juga Konstitusi Pastoral tentang gereja dalam Dunia Modern, art. 21. 31 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 17. 32 Lih. KONSUILI VA TIKAN II, Konstitusi tantang Liturgi, art. 64-65. 33 Tentang pembebasan dari perbudakan setan dan kegelapan itu menurut Injil: Lih. Mat 12:28; Yoh 8:44; 12:31(bdk 1Yoh 3:8; Ef 2:1-2).- Dalam liturgi babtis: Lih. Rituale (tata-upacara) Romawi. 34 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 14. 35 Lih. S. AGUSTINUS, Traktat tentang Yohanes 11,4: PL 35,1476.

ARTIKEL TIGA PEMBINAAN JEMAAT KRISTIANI 15. (Pembinaan jemaat kristiani) Roh Kudus memanggil semua orang kepada Kristus melalui benih-benih Sabda serta pewartaan Injil, dan membangkitakan iman dalam hati mereka. Bila ia dalam bejana Baptis melahirkan mereka yang beriman akan Kristus bagi kehidupan baru, Ia menghimpun mereka jasi satu Umat Allah, yakni “bangsa terpilih, imamat rajawai, bangsa yang kudus, umat milik Allah sendiri” (1Ptr 2:9)[36]. Maka hendaknya para misionaris, yang bekerjasa sama dengana Allah (lih 1Kor 3:9), membangun jemaat-jemaat beriman sedemikian rupa, sehingga hidup mereka sebagai umat yang terpanggil berpadanan dengan panggilan itu (lih. Ef 4:1), dan mereka dengan pantas menunaikan tugas-tugas imamat, kenabian dan rajawi, yang oleh Allah dipercayakan pada mereka. Begitulah jemaat kristisni menjadi tanda kehadiran Allah di dunia. Sebab jemaat itu berkat korban Ekaristi tiada hentinya beralih kepada Bapa bersama Kristus[37], dengan tekun menerima santapan sabda Allah[38], memberi kesaksian tentang Kristus[39], akhirnya berjalan dalam cinta kasih, dan berkobar semangat kerasulannya[40]. Jemaat kristiani sejak semula harus dibina sedemikian rupa, sehingga sedapat mungkin mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Himpunan umat beriman itu, yang mengemban kekayaan-kebudayaan bangsanya sendiri, hendaknya dalam-dalam berakar di tengah rakyat: hendaknya keluarga-keluarga berkembang, diresapi oleh semangat Injil[41] dan dibantu oleh sekolah-sekolah yang bermutu; hendakanya didirikan pelbagai persekutuan dan kelompok untuk mendukung kerasulan awam, supaya mampu merasuki seluruh masyarakat dengan semangat Injil. Akhirnya hendaknya antara Umat katolik dari berbagai ritus cinta kasih bersinar cemerlang[42]. Hendaknya semangat ekumenis pun dikembangkan di antara mereka yang baru di baptis, supaya mereka betul-betul menyadari, bahwa para saudara yang beriman akan Kristus itu memang murid-murid Kristus, yang dilahirkan kembali dengan Baptis, dan ikut memiliki kekayaan Umat Allah yang melimpah. Sejauh situasi keagamaan mengizinkan, hendaknya kegiatan ekumenis dikembangkan sedemikian rupa, sehingga enyahlah setiap kesan masa bodoh dan mencampur-adukkan maupun persaingan yang tidak sehat, dan – sejauh mungkin – Umat katolik, menurut kaidah-kaidah Dekrit tentang Ekumenisme, secara persaudaraan bekerja sama dengan saudara-saudara yang terpisah, dalam pengikraran iman bersama akan Allah dan akan Yesus Kristus dihadapan para bangsa, pun juga dalam kerja sama dibidang sosial dan tehnis maupun dibidang kebudayaan dan keagamaan. Terutama hendaknya mereka menjalin kerja sama demi Kristus, Tuhan mereka bersama: Nama-Nya mengikat mereka menjadi satu! Kerja sama itu hendaknya diadakan bukan hanya diantra orang-orang perorangan, melainkan juga – menurut kebijakan Uskup setempat – antara Gereja-Gereja atau jemaat-jemaat gerejawi beserta karya-kegiatan mereka. Umat beriman kristiani, yang dihimpun dari segala bangsa dalam Gereja, “tidak terbedakan dari orang-orang lain entah karena bentuk pemerintahan, entah karena bahasa mereka, entah karena tatanan politik kehidupan”[43]. Maka hendaklah mereka dalam adat 36

Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 9. Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 10, 11, 34. 38 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Wahyu ilahi, art. 21. 39 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 12, 35. 40 Lih. Ibid, art. 23, 26. 41 Lih. Ibid, art. 11, 35, 41. 42 Lih. KONSILI VATIKAN II, Tentang Gereja-Gereja Timur, art. 30. 43 Lih. Surat kepada Dignetus, 5: PG 2,1173. – Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 38. 37

kebiasaan hidup bangsa mereka yang pantas bagi Allah dan Kristus. Sebagai warganegara yang baik hendaknya mereka dengan sungguh-sungguh dan secara nyata memupuk cinta akan tanah air; tetapi hendaklah mereka sama sekali menghindari sikap menghina terhadap suku-bangsa lain maupun nasionalisme yang berlebihan, dan memajukan cinta kasih terhadap sesama, semua dan siapa saja. Untuk mencapai itu semua kaum awam sangat penting dan selayaknya mendapat perhatian istimewa, yakni: Umat beriman kristiani, yang melalui Baptis disaturagakan dalam Kristus, dan tetap hidup ditengah masyarakat. Sebab merupakan tugas merekalah, untuk dijiwai oleh Roh Kristus, ibarat ragi menjiwai hal-hal yang fana dari dalam, dan mengaturnya supaya selalu terlaksana menurut kehendak Kristus[44]. Tetapi tidak cukuplah, bahwa Umat kristiani hadir dan mendapat tempatnya ditengah suatu bangsa; tidak cukup pula bahwa mereka mengamalkan kerasulan teladan. Umat ditempatkan di situ, hadir disitu, untuk mewartakan Kristus kepada sesama warga masyarakat yang bukan kristiani dengan sabda maupun kegiatan, dan untuk membantu mereka menerima Kristus sepenuhnya. Adapun untuk menanamkan Gereja dan demi perkembangan jemaat kristiani diperlukan pelbagai pelayanan, yang berkat panggilan ilahi tumbuh dari jemaat beriman sendiri, dan oleh semua anggota harus dipupuk dan dipelihara dengan tekun. Di antaranya terdapat tugas para imam, para diakon dan para katekis, lagi pula Aksi Katolik. Begitu pula para religius pria maupun wanita menunaikan tugas yang sangat perlu untuk mengakarkan dan meneguhkan Kerajaan Kristus di hati orang-orang, dan untuk terus menyebarluaskannya entah melalui doa, entah dengan karya-kegiatan yang aktif. 16. (Pengadaan klerus setempat) Dengan sangat gembira Gereja bersyukur atas kurnia tidak ternilai panggilan imamat, yang oleh Allah dianugerahkan kepada sekian banyak pemuda di tengah bangsa-bangsa yang akhir-akhir ini bertobat kepada kristus. Sebab Gereja berakar lebih kuat disetiap golongan manusia, bila pelbagai jemaat beriman dari kalangan anggotanya mempunyai pelayanan-pelayan keselamatannya sendiri pada tingkat Uskup, Imam dan Diakon, yang melayani para saudara mereka, sehingga Gereja-Gereja muda lambat-laun memperoleh tata-susunan keuskupan beserta klerusnya sendiri. Apa pun yang oleh Konsili ini telah ditetapkan tentang panggilan dan pembinaan imam, hendaknya dipatuhi dengan khidmat sejak Gereja mulai ditanam maupun dalam Gereja-Gereja muda. Hendaklah dianggap sangat penting apa yang dikatakan tentang perpaduan erta antara pembinaan rohani dan pendidikan ilmiah serta pastoral, tentang penghayatan hidup menurut pola Injil tanpa mempertimbangkan keuntungan sendiri atau keluarga, tentang usaha memupuk cita-rasa misteri Gereja yang mendalam. Di situ para calon imam secara mengagumkan akan belajar membaktikan diri seutuhnya untuk mengabdi kepada Tubuh Krsitus dan melaksanakan karya Injil, mematuhi Uskup mereka sebagai rekan-rekan sekerja andal, dan membantu rekan-rekan seimamat[45]. Untuk mencapai tujuan umum itu, seluruh pembinaan para siswa hendaknya disusun dalam terang rahasia keselamatan seperti terungkap dalam Kitab suci. Hendaknya mereka menemukan dan menghayati misteri Kristus serta keselamatan umat manusia dalam Liturgi[46]. Tuntutan-tuntutan umum pembinaan imam itu, juga dibidang pastoral dan praktis, menurut kaidah Konsili[47], hendaknya diserasikan dengan usaha menanggapi pola berpikir dan bertindak yang serba khas pada bangsa yang bersangkutan. Maka hati dan budi para siswa hendaknya dibuka dan diperhalus, sehingga mereka menyelami dan mampu menilai kebudayaan bangsa mereka; dalam ilmu-ilmu filsafat dan teologi hendaknya mereka memahami hubungan-hubungan antara tradisi-tradisi serta hidup 44

Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 32. – Dekrit tentang kerasulan awam. Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Pendidikan imam, art. 4, 8, 9. 46 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Liturgi, art. 17. 47 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Dekrit tentang Pendidikan imam, art. 1. 45

keagamaan bangsa mereka dan agama kristiani [48]. Begitu pula hendaknya pembinaan imam mengindahkan kebutuhan-kebutuhan pastoral daerah itu: para siswa hendaknya mempelajari sejarah, tujuan dan metode kegiatan misioner Gereja, begitu pula kondisikondisi sosial, ekonomi, budaya, yang khas bagi rakyat di situ. Hendaklah mereka dididik dalam semangat ekumenisme, dan disiapkan semestinya untuk menjalin dialog persaudaraan dengan umat bukan-kristiani [49]. Itu semua menuntut, supaya studi imamat sedapat mungkin diselenggarakan dalam hubungan dan hidup bersama yang terusmenerus dengan bangsa yang bersangkutan[50]. Akhirnya hendaknya diperhatikan juga dalam pendidikan administrasi kegerejaan yang teratur, bahkan juga dalam administrasi ekonomi. Selain itu hendaknya di pilih imam-imam yang cakap, yang – sesudah sekedar praktik pastoral – dapat menyelesaikan studi tingkat perguruan tinggi dengan baik, juga diuniversitas-universitas di luar negeri, terutama di Roma, dan di lembaga-lembaga ilmiah lainnya. Dengan demikian bagi Gereja-Gereja muda tersedialah dari klerus setempat imam-imam, yang berbekalkan ilmu serta kemahiran yang sesuai untuk menunaikan tugas-tugas gerejawi yang lebih berat. Bila konferensi-konferensi Uskup memandangnya baik, hendaknya diadakan lagi tingkat diakonat sebagai status hidup yang tetap, menurut kaidah Konstitusi “tentang Gereja”[51]. Sebab memang berguna bahwa ada orang-orang, yang sungguh-sungguh menjalankan pelayanan diakon, entah dengan mewartakan sabda Allah sebagai katekis, entah dengan memimpin jemaat-jemaat kristiani yang terpencil atas nama pastor paroki dan Uskup, atau dengan mengamalkan cinta kasih dalam karya-kegiatan sosial atau amal-kasih. Hendaklah mereka itu diteguhkan dengan penumpangan tangan yang diwaris dari para Rasul, dan dihubungkan lebih erat dengan altar, sehingga mereka secara lebih tepat-guna menunaikan pelayanan mereka berkat rahmat sakramental diakonat. 17. (Pendidikan para katekis) Demikian pula pantas dipujilah barisan, yang berjasa begitu besar dalam karya misioner diantara para bangsa, yakni barisan para katekis baik pria maupun wanita, yang dijiwai semangat merasul, dengan banyak jerih payah memberi bantuan yang istimewa dan sungguh-sungguh perlu demi penyebarluasan iman dan Gereja. Pada zaman kita ini hanya sedikitlah jumlah klerus untuk mewartakan Injil kepada masa yang begitu besar, dan untuk menjalankan pelayanan pastoral. Maka tugas para katekis sangat penting. Oleh karena itu pendidikan mereka harus dilaksanakan dan disesuaikan dengan kemajuan kebudayaan sedemikian rupa, sehingga mereka menjadi rekan sekerja yang tangguh bagi para imam, dan mampu menunaikan sebaik mungkin tugas mereka, yang makin bertambah sulit karena beban-beban baru yang lebih berat. Maka dari itu hendaknya jumlah sekolah-sekolah tingkat keuskupan maupun regio diperbanyak, untuk menampung para calon katekis, yang mendalami ajaran katolik, terutama perihal kKtab suci dan liturgi, maupun mengembangkan metode katekese dan praktik pastoral; selain itu membina diri menurut adat-perilaku kristiani [52], dan tiada hentinya berusaha mengembangkan keutamaan serta kesucian hidup. Kecuali itu hendaklah diselenggarakan pertemuan-pertemuan atau kursus-kursus, untuk pada masamasa tertentu membantu para katekis menyegarkan diri dalam ilmu-ilmu dan ketrampilan-ketrampilan yang berguna bagi pelayanan mereka, serta memupuk dan meneguhkan hidup rohani mereka. Selain itu, hendaknya mereka, yang membaktikan diri

48

Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Princeps Pastorum: AAS 51 (1959) hlm. 834-844. Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Ekumenisme, art. 4. 50 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Princeps Pastorum: AAS 51 (1959) hlm. 842. 51 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 29. 52 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Princeps Pastorum: AAS 51 (1959) hlm. 855. 49

sepenuhnya dalam kegiatan itu, diberi status hidup yang sepantasnya dan jaminan sosial dalam bentuk balas jasa yang adil[53]. Diharapkan, agar bagi pendidikan dan rezeki hidup para katekis disediakan dana bantuan khusus yang selayaknya oleh Kongregasi Penyebaran Iman. Bila akan nampak perlu dan seyogyanya, hendaknya didirkan “Karya untuk para Katekis”[54]. Kecuali itu Gereja-Gereja dengan rasa syukur akan menghargai jerih-payah para katekis bantu, yang berkarya dengan murah hati, dan yang pertolongannya akan tetap dibutuhkan. Mereka dalam jemaat-jemaat mereka memimpin doa-doa dan memberi pelajaran. Pendidikan mereka perihal ajaran danhidup rohani hendaknya diusahakan semestinya. Selain itu dihimbau , agar – bila dipandang cocok – kepada para katekis, yang telah menempuh pendidikan sebagaimana seharusnya, diberikan perutusan gerejani secara resmi, dalam suatu ibadat liturgis yang dirayakan di muka umum, supaya dalam pengabdia kepada iman mereka lebih berwibawa terhadap Umat. 18. (Pengembangan hidup religius) Hendaknya sejak masa penanaman Gereja sungguh-sungguh diusahakan pengembangan hidup religius, yang bukan hanya memberi bantuan yang berharga dan sangat diperlukan bagi kegiatan misioner, melainkan melalui pentakdisan yang lebih mendalam kepada Allah dalam Gereja juga menunjukkan dan melambangkan dengan jelas inti hakekat panggilan kristiani [55]. Hendaknya lembaga-lembaga religius, yang ikut berjerih payah menanam Gereja, dan secara mendalam diresapi kekayaan mistik, yang menandai tradisi religius Gereja, berusaha mengungkapkan dan menurunkan kekayaan itu sesuai dengan bakatpembawaan dan watak perangai masing-masing bangsa. Hendaknya dipertimbangkan dengan saksama, bagaimana tradisi-tradisi ulah-tapa serta kontemplasi, yang benihbenihnya acap kali sebelum pewartaan Injil sudah ditanam oleh Allah dalam kebudayaankebudayaan kuno, dapat ditampung ke dalam hidup religius kristiani. Dalam Gereja-Gereja muda hendaknya dikembangkan pelbagai bentuk hidup religius, untuk memperlihatkan pelbagai segi perutusan Kristus dan kehidupan Gereja, dan untuk membaktikan diri melalui pelbagai bentuk karya pastoral serta menyiapkan para anggotanya dengan baik untuk melaksanakan kegiatan itu. Akan tetapi para Uskup dalam Konferensi hendaknya memperhatikan, jangan samapai jumlah Tarekat, yang bertujuan kerasulan yang sama, diperbanyak sehingga merugikan hidup religius maupun kerasulan. Layak disebutkan secara khusus pelbagai usaha untuk mengakarkan hidup kontemplatif. Ada yang sementara mempertahankan unsur-unsur hakiki lembaga monastik berusaha menanamkan tradisi Tarekat mereka yang amat kaya. Namun ada pula yang kembali ke bentuk-bentuk lebih sederhana hidup monastik di jaman kuno. Akan tetapi hendaknya semuanya berusaha mencari penyesuaian yang sesungguhnya dengan kondisi-kondisi setempat. Karena hidup kontemplatif termasuk keahdiran Gereja yang sepenuhnya, maka hendaknya diadakan di mana-mana dalam Gereja-Gereja muda.

53

Yang dimaksudkan disini para “katekis purnawaktu” atau “fulltime” Dalam bahasa latin: Opus pro Catechistis. 55 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 31, 44. 54

BAB TIGA GEREJA-GEREJA KHUSUS 19. (Kemajuan Gereja-Gereja muda) Dalam art I tertentu karya penanaman Gereja pada golongan manusia tertentu mencapai sasarannya, bila jemaat beriman telah berakar dalam hidup masyarakat, sudah agak menyesuaikan diri dengan kebudayaan setemapt, dan keadaannya sudah agak stabil dan kuat; artinya: mempunyai sejumlah imam, religius maupun awam pribumi, meskipun belum mencukupi, dan dilengkapi dengan pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga, yang dibutuhkan untuk hidup sebagai Umat Allah di bawah bimbingan Uskupnya sendiri dan mengembangkan diri. Dalam Gereja-Gereja muda itu kehidupan Umat Allah harus menjadi dewasa di segala bidang hidup kristiani yang perlu diperbaharui menurut kaidah-kaidah Konsili ini: kelompok-kelompok Umat beragama semakin sadar menjadi jemaat-jemaat yang hidup karena iman, ibadat dan cinta kasihnya; kaum awam melalui kegiatan kemasyarakatan dan kerasulan berusaha menciptakan tatanan cinta kasih dan keadilan dalam masyarakat; upaya-upaya komunikasi sosial digunakan secara tepat dan bijaksana; keluarga-keluarga dengan hidup mereka yang sungguh kristiani menjasi persemaian kerasulan awam maupun panggilan-panggilan imam dan religius. Akhirnya iman diwartakan melalui katekese yang sesuai, dirayakan dalam liturgi yang selaras dengan sifat perangai rakyat, serta dengan adanya perundangan Gereja yang cocok memasuki lembaga-lembaga yang terpandang dan merasuki adat-kebiasaan setempat. Adapun para Uskup, masing-masing dengan para imamnya, hendaknya makin diresapi oleh cita-rasa Kristus dan Gereja, dan menjadi seperasaan dan sekehidupan dengan Gereja semesta. Hendaklah Gereja-Gereja muda tetap memelihara persekutuan yang erat dengan seluruh Gereja, yang unsur-unsur tradisinya hendaknya dipadukan dengan kebudayaan sendiri, untuk mengembangkan kehidupan Tubuh Mistik dengan suatu pertukaran timbal-balik[56]. Oleh karena itu hendaknya dikelola unsur-unsur teologis, psikologis dan manusiawi, yang dapat memberi sumbangan untuk memupuk semangat persekutuan dengan Gereja semesta. Tetapi Gereja-Gereja muda itu, yang sering sekali terletak di kawasan-kawasan dunia yang lebih miskin, kebanyakan masih sangat kekurangan iamam dan upaya-upaya jasmani. Maka kebutuhan mereka yang amat mendesakyakni: supaya kegiatan misioner seluruh Gereja yang tiada hentinya menyampaikan bantuan-bantuan, yang terutama akan mendukung perkembangan Gereja setempat dan pendewasaan hidup kristiani. Kegiatan misioner itu hendaklah membantu Gereja-Gereja yang sudah lama didirkan juga, tetapi sedang mengalami suatu kemunduran atau kelemahan. Akan tetapi hendaklah Gereja-Gereja itu bersama-sama membaharui semangat pastoral serta menyesuaikan kegiatan-kegiatan mereka, supaya dengan demikian panggilan-panggilan imam diosesan dan hidup religius bertambah jumlahnya, dapat dipertimbangkan dengan lebih cermat, dan di pupuk secara lebih tepat-guna[57], sehingga lambat-laun Gereja-Gereja mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri pun juga membantu Gereja-Gereja lain. 20. (Kegiatan misioner Gereja-Gereja khusus) Gereja khusus wajib menghadirkan Gereja semesta sesempurna mungkin. Maka hendaklah sungguh menyadari, bahwa ia juga diutus kepada mereka yang belum beriman akan Kristus dan bersama dengannya menghuni daerah yang sama, sehingga 56 57

Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Princeps Pastorum: AAS 51 (1959) hlm. 838. Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang pelayanan dan hidup para imam, art. 11. – Juga : Dekrit tentang pendidikan imamat, art. 2.

melalui kesaksian hidup masing-masing anggotanya seluruh jemaatnya menjadi tanda yang menunjukkan Kristus kepada mereka. Selain itu diperlukan sabda, supaya Injil mencapai semua orang. Uskup pertama-tama wajib menjadi pewarta iman, yang menghantarkan murid-murid baru kepada Kristus[58]. Supaya ia menunaikan tugas mulia itu sebagaimana mestinya, hendaklah ia sungguh menyelami baik situasi dan kondisi kawanannya, maupun pandangan-pandangan tentang Allah yang sesungguhnya terdapat pada sesama warga masyarakat. Hendaklah ia dengan seksama mempertimbangkan juga perubahan-perubahan, yang disebabkan oleh apa yang disebut “urbanisasi”, perpindahan penduduk, dan sikap tak acuh di bidang keagamaan. Para imam pribumi dalam Gereja-Gereja muda hendaknya penuh semangat menangani karya pewartaan Injil, dengan menjalin kerja sama dengan para misionaris luar negeri, yang bersama mereka merupakan satu himpunan imam, bersatu dibawah kewibawaan Uskup, bukan saja untuk menggembalakan Umat beriman dan merayakan ibadat ilahi, melainkan juga untuk mewartakan Injil kepada mereka yang berada di luar. Hendaknya mereka siap sedia, dan bila ada kesempatan dengan gembira menawarkan diri kepada Uskup mereka, untuk memulai karya misioner di daerah-daerah yang terpencil dan terbelakang di keuskupan mereka sendiri atau di keuskupan-keuskupan lain. Hendaknya para religius pria maupun wanita, begitu pula kaum awam, dijiwai oleh semangat yang sama terhadap sesama warga msyarakat, terutama terhadap mereka yang lebih miskin. Hendaknya Konferensi-Konferensi Uskup mengusahakan, supaya pada waktu-waktu tertentu diselenggarakan kursus-kursus penyegaran di bidang Kitab suci, teologi, hidup rohani dan pastoral, dengan maksud supaya ditengah kemajemukan dan perubahanperubahan situasi klerus memperoleh pengertian yang lebih penuh tentang ilmu teologi dan metode-metode pastoral. Pada umumnya, hendaklah dipatuhi dengan saksama apa yang telah ditetapkan oleh Konsili ini, terutama dalam Dekrit tentang Pelayanan dan Hidup para Imam. Supaya karya misioner Gereja khusus itu dapat terlaksana, diperlukan pelayanpelayan yang cakap, yang perlu disiapkan pada waktunya dengan cara yang sesuai dengan situasi masing-masing Gereja. Tetapi karena orang-orang semakin mengelompok membentuk golongan-golongan tertentu, maka adalah semestinya, bahwa KonferensiKonferensi Uskup mengadakan pertukaran pandangan tentang bagaimana menjalin dialog dengan golongan-golongan itu. Akan tetapi bila diberbagai wilayah terdapat kelompok-kelompok, yang terhalang untuk memeluk iman katolik, karena mereka tidak mampu menyesuaikan diri dengan bentuk khusus, yang menandai Gereja di situ, lalu diharapkan, supaya situasi yang istimewa itu ditanggapi secara khusus[59], sampai semua orang kristiani dapat berhimpun menjadi satu jemaat. Adapun masing-masing Uskup hendaknya mengundang para misionaris ke keuskupannya, - bila Takhta suci menyediakan sejumlah mereka untuk maksud itu, - atau dengan senang hati menerima mereka, dan secara tepat-guna ikut mengembangkan usaha-usaha mereka. Supaya di antara saudara-saudara setanah air semangat misioner itu mulai mekar, sudah sepantasnyalah bahwa Gereja-Gereja muda selekas mungkin ikut serta secara nyata dalam perutusan Gereja semesta, dengan mengutus misionaris-misionaris mereka sendiri untuk mewartakan Injil di mana-mana, meskipun mereka sendiri masih kekurangan imam. Sebab persekutuan dengan Gereja semesta dengan cara tertentu akan terlaksana, bila Gereja-Gereja muda itu pun secara aktif ikut menjalankan kegiatan misioner di tengah bangsa-bangsa lain. 58 59

Lih. KONSILI VA TIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 25. Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang pelayanan dan hidup para imam, art. 10. Di situ – untuk memperlancar kegiatan-kegiatan pastoral khusus bagi pelbagai golongan sosial – dibuka kemungkinan mendirikan Praelatura personalis (lingkup kepemimpinan Gereja untuk pribadi-pribadi/kelompok tertentu), sejauh itu memang diperlukan demi kepentingan kerasulan.

21. (Pengembangan kerasulan awam) Gereja tidak sungguh-sungguh didirikan, tidak hidup sepenuhnya, dan bukan tanda Kristus yang sempurna di tengah masyarakat, selama bersama Hirarki tidak ada dan tidak berkarya kaum awam yang sejati. Sebab Injil tidak dapat meresapi sifat-perangai, kehidupan dan jerih-payah suatu bangsa secara mendalam tanpa kehadiran aktif kaum awam. Oleh karena itu sejak suatu Gereja didirikan perhatian amat besar harus diberikan kepada pembentukan kaum awam kristiani yang dewasa. Sebab Umat beriman awam sepenuhnya termasuk Umat Allah pun sekaligus masyarakat. Mereka termasuk bangsa yang menjadi pangkuan kelahiran mereka. Melalui pendidikan mereka mulai ikut menikmati kekayaan kebudayaannya. Mereka terikat pada kehidupannya melalui aneka ikatan sosial. Atas usaha sendiri mereka ikut menyumbang bagi kemajuannya melalui kejuruan mereka. Masalah-masalahnya mereka rasakan sebagai persoalan mereka sendiri, dan mereka berusaha memecahkannya. Tetapi mereka juga menjadi milik Kristus, karena dilahirkan kembali dalam Gereja melalui iman dan Baptis, supaya berkat barunya hidup dan karya mereka, mereka menjadi milik Kristus (lih. 1Kor 15:23), supaya dalam Kristus segala-sesuatu tunduk kepada Allah, dan akhirnya Allah menjadi semuanya dalam segalanya (lih. 1Kor 15:28). Tugas utama para awam baik pria maupun wanita yakni: memberi kesaksian akan Kristus. Mereka wajib bersaksi dengan kehidupan dan kata-kata dalam keluarga, dikalangan sosial mereka, dilingkungan profesi mereka. Sebab pada diri mereka harus nampak manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah dalam kebenaran dan kekudusan yang sejati (lih. Ef 4:24). Adapun sifat baru kehidupan itu wajib mereka ungkapkan di lingkup masyrakat dan kebudayaan pribumi, menurut adat-kebiasaan bangsa mereka. Mereka harus mengenal kebudayaan itu, menyehatkan serta melestarikannya, mengembangkannya sesuai dengan kondisi-kondisi mutakhir, dan akhirnya menyempurnakannya dalam Kristus, supaya iman akan Kristus dan kehidupan Gereja jangan asing lagi bagi masyarakat di sekitar, melainkan mulai meresapi dan mengubahnya. Hendaknya mereka bersatu dengan sesama anggota masyarakat dalam cinta kasih yang tulus, supaya dalam pergaulan mereka nampaklah ikatan baru kesatuan dan solidaritas semesta, yang bersumber pada misteri Kristus. Hendaklah mereka juga menyiarkan iman akan Kristus diantara sesama, yang sekehidupan dan seprofesi dengan mereka. Kewajiban itu semakin mendesak, karena kebanyakan orang hanya dapat mendengarkan Injil dan mengenal Kristus melalui para awam tetangga mereka. Bahkan bila mungkin hendaknya para awam bersedia bekerja sama lebih langsung dengan Hirarki, melaksanakan perutusan istimewa untuk mewartakan Injil serta menyalurkan ajaran kristiani, supaya Gereja yang baru lahir dikukuhkan. Adapun para pelayan Gereja hendaknya sungguh menghargai kerasulan para awam yang cukup berat. Hendaklah mereka membina para awam, supaya mereka selaku anggota-anggota Kristus menyadari tanggung jawab mereka atas semua orang. Hendaknya kaum awam menyanmpaikan rahasia Kristus secara mendalam kepada mereka, dan memperkenalkan metode-metode praktis kepada mereka, serta mendampingi mereka bila muncul kesulitan-kesulitan, sehaluan dengan Konstitusi “Lumen Gentium” dan Dekrit tentang “ Kegiatan Merasul”. Maka dengan mempertahankan tugas-tugas maupun tanggung jawab khusus para gembala dan kaum awam, hendaklah Gereja muda secara menyeluruh serentak memberi kesaksian yang hidup dan teguh tentang Kristus, supaya menjadi lambang cemerlang keselamatan, yang telah samapai kepada kita dalam kristus. 22. (Kemacam-ragaman dalam kesatuan) Benih, yakni sabda Allah, yang tumbuh dari tanah yang subur berkat percikan embun ilahi, menyerap zat-zat cair, mengubah serta menghisapnya, sehingga akhirnya berbuah banyak. Memang menurut tata penjelmaan (Sabda), Gereja-Gereja muda, yang berakar

dalam Kristus dan dibangun atas landasan para Rasul, menampung untuk suatu pertukaran yang mengagumkan semua kekayaan para bangsa, yang telah diserahkan kepada Kristus menjadi warisan-Nya (lih. Mzm 2:8). Gereja-Gereja itu meminjam dari adat-istiadat dan tradisi-tradisi para bangsanya, dari kebijaksanaan dan ajaran mereka, dari kesenian dan ilmu-pengetahuan mereka, segala sesuatu, yang dapat merupakan sumbangan untuk mengakui kemuliaan Sang Pencipta, untuk memperjelas rahmat Sang Penenbus, dan untuk mengatur hidup kristiani dengan saksama[60]. Untuk mencapai maksud itu perlulah, bahwa disetiap kawasan sosio-budaya yang luas, seperti dikatakan, didoronglah refleksi teologis, untuk – dalam terang Tradisi Gereja semesta – meneliti secara baru peristiwa-peristiwa maupun amanat sabda yang telah diwahyukan oleh Allah, dicantumkan dalam Kitab suci, dan diuraikan oleh para Bapa serta Wewenang Mengajar Gereja. Demikianlah akan dimengerti lebih jelas, bagaimana iman – dengan mengindahkan filsafah serta kebijaksanaan para bangsa – dapat mencari pengertian, dan bagaimana adat kebiasaan, cita rasa kehidupan dan tertib sosial dapat diserasikan dengan tata-susila yang kita terima berkat perwahyuan ilahi. Begitulah akan terbuka jalan menuju penyesuaian lebih mendalam diseluruh lingkup hidup kristiani. Dengan cara beritindak demikian segala kesan sinkritisme (pencampuradukan) dan partikularisme yang keliru akan dielakkan, hidup kristiani akan makin sesuai dengan watak perangai serta sifat-sifat setiap kebudayaan[61], dan tradisi-tradisi khusus beserta bakat-bawaan setiap keluarga bangsa-bangsa, berkat cahaya Injil, akan ditampung dalam kesatuan katolik. Akhirnya Gereja-Gereja khusus baru, disemarakkan dengan tradisitradisi mereka, akan mendapat tempat mereka dalam persekutuan gerejawi, sementara tetap utuhlah tempat utama Takhta Petrus, yang mengetahui segenap paguyuban cinta kasih[62]. Maka diharapkan, bahkan memang sepantasnyalah Konferensi-Konferensi Uskup dalam batas-batas kawasan sosio-budaya mereka masing-masing berhimpun sedemikian rupa, sehingga sehati sejiwa dan melalui pertukaran pandangan-pandangan mampu mengusahakan terwujudnya rencana penyesuaian itu.

BAB EMPAT PARA MISIONARIS 23. (Panggilan misioner) Meskipun setiap murid Kristus mengemban beban untuk menyiarkan iman sekadar kemampuannya[63], Kritus Tuhan dari antara murid-murid-Nya selalu memanggil mereka yang dikehendaki-Nya, untuk tinggal bersama dengan-Nya, dan untuk diutus mewartakan Injil kepada para bangsa (lih. Mrk 3:13 dsl.). Maka melalui Roh Kudus, yang membagikan kurnia-kurnia seperti yang dikehendaki-Nya demi manfaatnya bagi jemaat (1Kor 12:11), Tuhan menumbuhkan panggilan misioner dihati masing-masing, sekaligus juga membangkitkan Lembaga-Lembaga[64] dalam Gereja, yang menerima tugas mewartakan Injil, yang menjadi tanggung jawab seluruh Gereja, sebagai tugas mereka sendiri. 60

Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 13. Lih. PAULUS VI, Amanat pada upacara kanonisasi para Martir di Uganda: AAS 56 (1964) hlm. 908. 62 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 13. 63 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 17. 64 Yang dimaksudkan dengan “lembaga-Lembaga” yakni Ordo-Ordo, Kogregasi-Kongregasi, Lembaga-Lembaga maupun Serikat-Serikat, yang berkarya di daerah-daerah Misi. 61

Sebab panggilan istimewa menandai mereka, yang sifat perangai alamiahnya memang cocok, dan cakap berkat kurnia-kurnia serta bakat pembawaan mereka, lagi pula siap sedia untuk mengemban karya misioner[65], entah mereka itu pribumi entah dari luar negeri: imam-imam, kaum religius, awam. Mereka diutus oleh Wewenang yang sah, dan karena iman serta ketaatan mengunjungi orang-orang yang jauh dari Kristus. Mereka dikhususkan untuk melaksanakan karya yang telah ditetapkan bagi mereka (lih. Kis 13:2) sebagai pelayan Injil, “supaya para bangsa bukan-Yahudi dapat diterima oleh Allah sebagai persembahan yang berkenan kepada-Nya, dan disucikan dalam Roh Kudus” (Rom 15:16). 24. (Spiritualitas misioner) Tetapi manusia harus menanggapi Allah sejati yang memanggil sedemikian rupa, sehingga tanpa meminta pertimbangan daging maupun darah (lih. Gal 1:16) ia mengikat diri sepenuhnya pada karya Injil. Jawaban itu tidak dapat diberikan tanpa dorongan dan peneguhan oleh Roh Kudus. Sebab orang yang diutus memasuki kehidupan dan perutusan Dia, yang “mengosongkan diri dan mengenakan rupa seoarang hamba” (Flp 2:7). Oleh karena itu ia harus bersedia untuk seumur hidup bertahan dalam panggilannya, merelakan dirinya dan segala sesuatu yang samapai kini dimilikinya, dan “menjadikan diri segala-galanya bagi semua orang” (1Kor 9:22). Sementara mewartakan Injil kepada para bangsa, hendaklah ia dengan percaya memperkenalkan rahasia Kristus yang dilayaninya sebagai utusan, sehingga dalam Dia ia berani berbicara sebagaimana harusnya (lih. Ef 6:19 dsl; Kis 4:31), tanpa merasa malu karena salib yang menjadi batu sandungan. Mengikuti jejak Gurunya, yang lemah lembut dan rendah hati, hendaknya ia memperlihatkan bahwa kuk-Nya enak dan beban-Nya ringan (Mat 11:29 dsl.). Dengan hidupnya yang sungguh bersifat Injili[66], dalam bertahan dengan penuh kesadaran dalam penderitaan, dalam kelapangan jiwa dan kemurahan hati, dalam kasih yang tidak munafik (lih. 2Kor 6:4 dsl.), hendaklah ia memberi kesaksian akan Tuhannya, bila perlu hingga menumpahkan darahnya. Ia akan memperoleh keberanian dan kekuatan dari Allah, dan untuk mengalami bahwa dalam pencobaan duka derita yang berat serta kemelaratan yang amat mencekam terdapat kelimpahan kegembiaraan (lih. 2Kor 8:2). Hendaklah ia menginsyafi, bahwa ketaatan merupakan keutamaan istimewa pelayan Kristus, yang dengan ketaan-Nya telah menebus umat manusia. Supaya para pewarta Injil jangan mengabaikan rahmat yang ada pada mereka, hendaknya dari hari ke hari mereka dibaharui dalam roh dan budi (lih. 1Tim 4:14; Ef 4:23; 2Kor 4:16). Adapun para Uskup dan Pembesar hendaklah pada saat-saat yang telah ditetapkan mengumpulkan para misionaris, supaya mereka diteguhkan dalam harapan panggilan mereka serta diperbaharui dalam pelayanan kerasulan. Untuk maksud itu dapat diatur pula rumah-rumah yang cocok. 25. (Pembinaan rohani dan moral) Untuk menangani karya seluhur itu calon misionaris perlu disiapkan dengan pembinaan rohani dan moral yang khusus[67]. Sebab ia harus siap sedia untuk mengadakan prakarsaprakarsa, dengan tekun menjalankan karya-kegiatannya, dengan tabah menghadapi kesukaran-kesukaran. Ia diharapkan dengan sabar dengan teguh menanggung kesunyian, rasa lelah, dan jerih-payah yang tak berhasil. Ia akan menjumpai sesama dengan budi yang terbuka dan hati yang lapang. Ia akan menerima dnegan senang hati tugas-tugas yang diserahkan kepadanya. Dengan murah hati juga ia akan menyesuaikan diri dengan 65

Lih. PIUS XI, Ensiklik rerum Ecclesiae: AAS 18 (1926) hlm. 69-71. – PIUS XII, Ensiklik Saeculo exeunte: AAS 32 (1940) hlm. 256. – IDEM, Ensiklik Evangelii praecones: AAS 43 (1951) hlm. 506. 66 Lih. BENEDIKTUS XV, Ensiklik Maximum illud: AAS 11 (1919) hlm. 449-450. 67 Lih. BENEDIKTUS XV, Ensiklik Maximum illud: AAS 11 (1919) hlm. 448-449. – PIUS XII, Ensiklik Evangelii praecones: AAS 43 (1951) hlm. 507. – Dalam pembinaan para imam misionaris perlu diperhatikan juga apa yang ditetapkan dalam Dekrit KONSILI VATIKAN II tentang Pendidikan Imam.

adat-kebiasaan para bangsa yang serba asing dan dengan situasi yang berbeda-beda. Dengan bersehati dan dalam suasana saling mengasihi ia akan menyumbangkan usahanya kepada rekan-rekan dan siapa saja yang berbakti dalam karya yang sama, sehingga sementara menganut teladan jemaat pada zaman para Rasul, ia sehati dan sejiwa dengan Umat beriman (lih. Kis 2:42; 4:32). Sikap-sikap batin itu hendaknya pada masa pembinaan sudah mulai diamalkan dan dikembangkan dengan tekun, dan diangkat serta dipupuk dalam hidup rohani. Hendaklah misionaris, diresapi oleh iman yang hidup dan harapan yang takkan memudar, menjadi manusia doa. Hendaknya ia bernyala karena semangat yang tangguh dan cinta kasih serta sifat ugaharinya (lih. 2Tim 1:7). Hendaklah ia belajar mencukupi diri di segala keadaan (lih. Flp 4:11). Hendaknya dengan semangat berkorban ia mengemban kematian Yesus dalam dirinya, supaya kehidupan Yesus berkarya pada mereka yang dilayaninya dalam perutusannya (lih. 2Kor 4:10 dsl.). Karena semangat berjerih payah demi keselamatan sesama hendaknya ia sukarela mengorbankan segalanya, bahkan mengorbankan diri sendiri demi jiwa-jiwa (lih. 2Kor 12:15 dsl.). Sehingga “dengan menunaikan tugas harian mereka, mereka berkembang dalam cinta kasih akan Allah dan sesama”[68]. Demikianlah, dalam kepatuhan terhadap kehendak Bapa bersma Kristus, ia akan melangsungkan perutusan-Nya dibawah kewibawaan Hirarki Gereja, dan menyumbangkan tenaganya kepada rahasia keselamatan. 26. (Pembinaan dalam ajaran kerasulan) Adapun mereka yang akan diutus ke pelbagai bangsa, hendaknya sebagai pelayanpelayan Kristus yang baik menimba kekuatan dari “sabda-sabda iman dan ajaran yang sehat” (1Tim 4:6), yang terutama mereka gali dari Kitab suci, sambil menyelami Rahasia Kristus, yang akan mereka bawakan dalam pewartaan dan kesaksian mereka. Oleh karena itu semua misionaris – imam, bruder, suster, awam – perlu disiapkan dan dibina menurut keadaan masing-masing, supaya mereka jangan ternyata tidak sanggup menghadapi tuntutan-tuntutan karya di kemudia hari [69]. Hendaknya sudah sejak semula pembinaan mereka dalam ajaran diselenggarakan sedemikian rupa, sehingga merangkum baik sifat universal Gereja maupun kemacam-ragaman para bangsa. Itu berlaku bagi semua mata-pelajaran, yang menyiapkan mereka untuk menunaikan pelayanan mereka, maupun bagi ilmu pengetahuan lainnya, yang berguna untuk mereka pelajari, supaya mereka dibekali pengetahuan umum tentang bangsa-bangsa, kebudayaan-kebudayaan, dan agama-agama; itu pun bukan saja menyangkut masa silam, melainkan juga masa sekarang. Memang barang siapa mau mengunjungi bangsa lain, hendaknya sungguh menghargai pusaka warisannya, bahasa-bahasa serta adat-istiadatnya. Bagi calon misionaris sangat perlulah menekuni studi Misiologi; artinya memahami ajaran maupun kaidah-kaidah Gereja mengenai kegiatan misioner, mengetahui jalan-jalan manakah yang disepanjang masa telah ditempuh oleh para pewarta Injil, begitu pula situasi misi-misi zaman sekarang, pun juga metode-metode, yang sekarang dipandang lebih tepat-guna[70]. Tetapi meskipun pembinaan itu seluruhnya perlu dijiwai keprihatinan pastoral, hendaklah diselenggarakan pembinaan kerasulan yang khusus dan teraratur, melalui kursus-kursus maupun latihan-latihan praktis[71]. Hendaknya sebanyak mungkin bruder dan suster sungguh-sungguh mempelajari seni berkatekese, dan disiapkan supaya mereka mampu bekerja sama lebih erat lagi dalam kerasulan. 68

Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 41. Lih. BENEDIKTUS XV, Ensiklik Maximum illud: AAS 11 (1919) hlm. 440. PIUS XII Ensiklik Evangelii praecones: AAS 43 (1951) hlm. 507. 70 Lih. BENEDIKTUS XV, Ensiklik Maximum illud: AAS 11 (1919) hlm. 448. – KONGREGASI SUCI UNTUK PENYEBARAN IMAN, dekrit tanggal 20 Mei 1923: AAS 15 (1923) hlm. 269-370. – PIUS XII, Ensiklik Saeculo Exeunte: AAS 32 (1940) hlm. 256. – IDEM, Ensiklik Evangelii praecones: AAS 43 (1951) hlm. 507. – YOHANES XXIII, Ensiklik Princeps Pastorium: AAS 51 (91959) hlm. 843-844. 71 Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Pendidikan imam, art. 19-21.- Konstitusi apostolik Sedes Sapientiae beserta Anggaran Dasar Umum. 69

Juga mereka, yang hanya untuk sementara berperan dalam kegiatan misioner, perlulah mendapat pembinaan yang memadai bagi situasi mereka. Tetapi berbagai macam pembinaan itu hendaklah di daerah-daerah perutusan mereka dilengkapi sedemikian rupa, sehingga para misionaris mendapat pengertian lebih luas tentang sejarah, tata-susunan masyarakat serta adat istiadat para bangsa, dan memahami tata-kesusilaan serta perintah-perintah keagamaan maupun gagasan-gagasan mendalam, yang telah mereka bentuk menurut tradisi-tradisi suci mereka tentang Allah, tentang dunia dan tentang manusia[72]. Hendaknya mereka mempelajari bahasa-bahasa sedemikian baik, sehingga mampu menggunakannya dengan lancar dan halus, dan dengan demikian lebih mudah menyapa budi maupun hati orang-orang[73]. Selain itu hendaklah mereka diperkenalkan dengan kebutuhan-kebutuhan pastoral yang khusus sebagaimana mestinya. Hendaknya ada beberapa pula yang secara lebih mendalam di siapkan pada LembagaLembaga Misiologi atau di fakultas-fakultas atau universitas-universitas lain, supay lebih tepat guna menunaikan tugas-tugas yang khusus[74], dan dengan kemahiran mereka mampu yang terutama pada zaman kita sekarang menimbulkan sekian banyak kesulitan dan membuka kesempatan-kesempatan baru. Kecuali itu sangat diharapkan, agar bagi Konferensi-Konferensi Regional para Uskup tersedialah sejumlah pakar-pakar semacam itu. Hendaklah konferensi secara efektif memanfaatkan ilmu-pengetahuan serta pengalaman mereka untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan tugas mereka. Hendaklah ada pula, yang betul-betul mampu menggunakan upaya-upaya tehnis serta komunikasi sosial, yang hendaknya sangat dihargai perlunya oleh semua. 27. (Lembaga-Lembaga yang berkarya di daerah-daerah misi) Meskipun bagi setiap orang yang diutus kepada bangsa-bangsa itu semua sungguh perlu, menurut kenyataannya hampir tidak tercapai oleh orang perorangan. Lagi pula, karena menurut pengalaman karya misioner sendiri tidak dapat dilaksanakan oleh pribadi masing-masing, maka panggilan bersama menghimpun mereka semua ke dalam Lembaga-Lembaga, supaya di situ, berkat kerja sama, mereka menerima pembinaan yang memadai, dan melaksanakan karya itu atas nama Gereja dan atas isyarat Hirarki yang berwibawa. Lembaga-Lembaga itu sudah berabad-abad lamanya menanggung beban sehari-harian dan panas terik, entah mereka itu membaktikan diri sepenuhnya kepada karya misioner, entah hanya sebagian saja. Sering kali oleh Takhta suci mereka diserahi pewartaan Injil di daerah-daerah yang luas. Disitulah mereka menghimpun Umat yang baru bagi Allah, yakni Gereja setempat yang mematuhi para gembalanya sendiri. GerejaGereja yang telah didirikan berkat cucuran keringat, bahkan dengan tumpahan darah akan mereka layani dengan semangat maupun pengalaman, dengan kerja sama persaudaraan, entah dengan menjalankan reksa jiwa-jiwa, ataupun dengan menunaikan tugas-tugas khusu demi kesejahteraan umum. Ada kalanya untuk seluruh lingkup daerah tertentu mereka sanggup menanggung jerih payah karya yang lebih mendesak; misalnya: pewartaan Injil kepada golongangolongan atau bangsa-bangsa, yang barangkali karena sebab-sebab yang istimewa belum menerima pewartaan Injil atau samapi sekarang menolaknya[75]. Bila perlu, mereka yang sementara membaktikan diri kepada kegiatan misioner, hendaknya siap sedia untuk memberi pembinaan dan bantuan berdasarkan pengalaman mereka. Oleh karena itu, pun juga mengingat masih banyaknya bangsa-bangsa yang perlu dihantar menuju Kristus, Lembaga-Lembaga tetap masih sangat perlu. 72

Lih. PIUS XII, Ensiklik Evangelii praecones: AAS 43 (1951) hlm. 523-524. Lih. BENEDIKTUS XV, Ensiklik Maximum illud: AAS 11 (1919) hlm. 448. - PIUS XII Ensiklik Evangelii praecones: AAS 43 (1951) hlm. 507. 74 Lih. PIUS XII, Ensiklik Fidei donum: AAS 49 (1957) hlm. 234. 75 Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang pelayanan dan kehidupan para Imam, n. 10; di situ dibicarakan diosis -diosis dan prelatur-prelatur dan sebagainya. 73

BAB LIMA PENGATURAN KEGIATAN MISIONER 28. (Pendahuluan) Karena Umat beriman kristiani mempunyai kurnia-kurnia yang berbeda-beda (lih. Rom 12:6), mereka wajib menyumbangkan tenaga bagi Injil, masing-masing menurut kesempatannya, upaya yang tersedia, karisma dan pelayanannya (lih. 1Kor 3:10). Maka mereka semua harus bersatu (lih. 1Kor 3:8), yang menabur dan yang menuai (lih. Yoh 4:37), yang menanam dan yang mengairi, supaya, “sambil dengan bebas dan teratur bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama”[76], mereka sejiwa sehati mencurahkan tenaga demi pembangunan Gereja. Maka dari itu jerih payah para pewarta Injil dan bantuan Umat kristiani lainnya hendaklah diarahkan dan dipadukan sedemikaian rupa, sehingga di segala bidang kegiatan dan kerja sama misioner “segala sesuatu berlangsung secara teratur” (1Kor 14:40). 28. (Organisasi umum) Karena keprihatinan untuk mewartakan Injil di mana-mana terutama termasuk tugas Dewan para Uskup[77], maka hendaknya Sinode para Uskup atau “Musyawarah tetap para Uskup untuk Gereja semesta”[78], diantara urusan-urusan demi kepentingan umum[79], secara istimewa memperhatikan kegiatan misioner, tugas Gereja yang paling agung dan suci[80]. Untuk semua (daerah) Misi dan untuk seluruh kegiatan misioner hanya boleh ada satu Kongregasi yang berwewenang, yakni Kongregasi untuk “Penyebaran Iman”, yang memimpin dan menyelaraskan di mana-mana baik karya misioner sendiri maupun kerja sama misioner, sedangkan Gereja-Gereja Timur tetap menganut hukum mereka[81]. Dengan pelbagai cara Roh Kudus membangkitkan semangat misioner dalam Gereja Allah, dan tidak jarang mendahului tindakan mereka yang wajib membimbing kehidupan Gereja. Namun dari pihaknya hendaklah Kongregasi untuk “Penyebaran Iman” mengembangkan panggilan serta spiritualitas (corak hidup rohani) misioner, memajukan semangat merasul dan doa untuk Misi, dan mengenai itu semua menerbitkan berita-berita yang asli dan memadai. Hendaknya oleh Kongregasi itu disediakan misionaris-misionaris dan di bagi-bagikan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan daerahdaerah yang lebih mendesak. Oleh Kongregasi itulah hendaknya disusun rencana kerja yang teratur, ditetapkan kaidah-kaidah sebagai pedoman serta azas-azas ynag sesuai untuk mewartakan Injil, dan dilancarkan dorongan-dorongan. Olehnya hendaknya disemangati dan dikoordinasikan pengumpulan bantuan-bantuan yang tepat guna, yang dibagikan dengan mempertimbangkan kebutuhan atau kegunaannya maupun luas daerah-daerah, jumlah kaum beriman dan tak beriman, karya-karya dan lembagalembaga, para pelayan dan misionaris. Hendaknya Kongregasi untuk “Penyebaran Iman” bersama Sekretariat untuk “Pengembangan Persatuan Umat Kristiani” mencari jalan serta upaya-upaya untuk mengusahakan dan mengatur kerja sama serta paguyuban persaudaraan dengan usaha76

Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 18. Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 23. 78 Lih. Motu proprio Apostolica Sollicitudo, 15 September 1965. 79 Lih. PAULUS VI, Amanat dalam Sidang Konsili pada tgl. 21 November 1964: AAS 56 (1964). 80 Lih. BENEDIKTUS XV, Ensiklik Maximum illud: AAS 11 (1919) hlm. 39-40. 81 Sekiranya ada daerah-daerah Misi yang karena alasan-alasan khusus untuk sementara masih berada di abwah pimpinan Kongregasi-Kongregasi lain, seyogyanyalah kongregasi-Kongregasi itu menjalin hubungan dengan Kongregasi untuk Penyebaran Iman, supaya pengaturan dan pembimbingan semua daerah misi dapat di dasarkan pada pemikiran dan kaidah-kaidah yang sungguh tetap dan seragam. 77

usaha misioner jemaat-jemaat kristiani lainnya, supaya sedapat mungkin dihilangkan sandungan akibat perpecahan. Maka dari itu perlulah bahwa Kongregasi itu menjadi sarana administratif maupun badan pengarah yang dinamis, yang menggunakan metode-metode ilmiah dan upayaupaya yang sesuai dengan keadaan dewasa ini, yakni dengan mengindahkan penyelidikan teologis, metodologis dan pastoral misioner zaman sekarang. Dalam kepengurusan Kongregasi itu hendaknya para wakil terpilih dari mereka semua yang bekerja sama dalam karya misioner ikut serta secara aktif dan mempunyai hak suara yang ikut menentukan : Uskup-Uskup dari seluruh dunia, atas pertimbangan Konfersni-Konferensi Uskup, begitu pula para pemimpin Lembaga-Lembaga serta KaryaKarya Kepausan, menurut cara-cara serta pedoman-pedoman yang perlu ditetapkan oleh Paus. Hendaknya mereka semua pada waktu-waktu tertentu bersidang, dan sebagai instansi tertinggi di bawah kewibawaan Paus mengatur seluruh karya misioner. Hendaknya Kongregasi itu didampingi oleh Dewan Penasehat tetap, terdiri dari pakar-pakar yang sudah teruji ilmu-pengetahuan maupun pengalamannya. Antara lain mereka akan bertugas mengumpulkan informasi-informasi yang berguna tentang situasi setempat pelbagai golongan manusia, maupun tentang metode-metode pewartaan Injil yang harus digunakan, begitu pula mengajukan kesimpulan-kesimpulan yang dipertanggung jawabkan secara ilmiah bagi karya dan kerja sama misioner. Hendaklah Tarekat-tarekat para Suster, karya-karya regional untuk Misi dan oraganisasi-organisasi awam, terutama yang bersifat internasional, diwakili sebagaimana layaknya. 29. (Oraganisasi setempat di daerah Misi) Supaya dalam pelaksanaan karya misioner sandiri tujuan-tujuan serta hasil-hasil dapat dicapai, hendaknya semua tenaga misioner “sehati dan sejiwa” (Kis 4:32). Uskup selaku pemimpin dan pusat kesatuan dalam kerasulan keuskupan, bertugas memajukan, memimpin dan mengkoordinasi kegiatan misioner, tetapi sedemikian rupa, sehingga kegiatan spontan mereka yang ikut berkarya tetap dipertahankan dan di dukung. Semua misionaris, juga para religius yang eksem, wajib mematuhi kuasa yang sama di pelbagai karya, yang menyangkut pelaksanaan kerasulan suci[82]. Supaya koordinasi lebih baik, hendaklah Uskup sedapat mungkin mendirikan Dewan pastoral. Dalam Dewan itu hendaknya para imam, religius dan awam berperan serta melalui wakil-wakil yang terpilih. Kecuali itu hendaknya Uskup mengusahakan, janganlah kegiatan merasul terbatas pada mereka yang termasuk anggota Gereja melulu, melainkan hendaknya sebagaimana layaknya sebagian para tenaga dan bantuan-bantuan diperuntukkan bagi pewartaan Injil di antara umat bukan-kristiani. 30. (Koordinasi pada tingkat Regio) Hendaknya Konferensi-Konferensi Uskup dalam musyawarah bersama mebahasa soalsoal yang cukup berat dan masalah-masalah yang mendesak, tetapi tanpa mengabaikan perbedaan-perbedaan setempat[83]. Supaya jumlah tenaga maupun bantuan-bantuan yang sudah tidak mencukupi jangan dihamburkan, dan prakarsa-prakarsa jangan diperbanyak tanpa perlu, di anjurkan agar karya-karya yang mengabdi kesejahteraan semuanya diselenggarakan dengan berpadu tenaga, misalnya: seminari-seminari, sekolah-sekolah tinggi dan sekolah-sekolah teknik, pusat-pusat pastoral, katekese, liturgi serta media komunikasi sosial. Bila ada kesempatan, hendaknya kerja sama semacam itu diadakan juga antra berbagai Konferensi Uskup.

82 83

Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang tugas kegembalaan Uskup dalam Gereja, art. 35, 4. Lih. Dekrit yang sama, art. 36-38.

31. (Organisasi kegiatan Lembaga-Lembaga) Berguna pula mengkoordinasi kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh lembagaLembaga atau Serikat-Serikat Gerejawi. Itu semua, entah macam apa, dalam segalanya yang menyangkut kegiatan misioner sendiri, hendaknya mematuhi Ordinaruis setempat. Maka akan banyak berguna mengadakan perjanjian-perjanjian khusus untuk mengatur hubungan-hubungan antara Ordinaris setempat dan Pemimpin Lembaga. Bila Lembaga tertentu diserahi suatu daerah, Pemimpin Gerejawi maupun Lembaga itu akan memperhatikan untuk mengarahkan segalanya kepada tujuan ini: supaya jemaat kristiani yang baru bertumbuh menjadi Gereja setempat, yang pada waktunya akan dibimbing oleh Gembalanya sendiri beserta para imamnya. Bila penyerahan daerah itu berakhir, muncullah situasi baru. Pada waktu itu hendaknya Konferensi-Konferensi Uskup dan Lembaga-Lembaga melalui musyawarah bersama menetapkan kaidah-kaidah, untuk mengatur hubungan-hubungan antar para Ordinaris setempat dan Lembaga-Lembaga[84]. Tetapi Takhta sucilah yang akan berwenang menggariskan azas-azas umum, untuk menentukan cara-cara mengadakan perjanjian-perjanjian regional atau pun yang bersifat khusus. Meskipun Lembaga-Lembagaakan siap sedia melanjutkan karya yang telah dimulai, dengan menyumbangkan tenaga dalam pelayanan biasa berupa reksa jiwa-jiwa, namun dengan bertambahknya klerus setempat, akan perlu diusahakan agar Lembaga-Lembaga, sejauh cocok dengan tujuannya, tetap setia kepada keuskupan yang bersangkutan, dengan bermurah hati menangani karya-karya istimewa atau melayani suatu daerah di keuskupan itu. 32. (Koordinasi antara Lembaga-Lembaga) Adapun Lembaga-Lembaga, yang menjalankan kegiatan misioner di daerah yang sama, harus menemukan cara-cara mengkoordinasi karya-karya mereka. Maka sangat besarlah manfaat Konferensi-Konferensi para Religius pria dan Perserikatan-Perserikatan para Suster, yang beranggotakan semua Lembaga di negeri atau kawasan yang sama. Konferensi-Konferensi itu hendaknya menyelidiki, manakh usaha-usaha yang dapat dijalankan bersama, dan menjalin hubungan yang erat dengan Konferensi-Konferensi Uskup. Adalah semestinya, bahwa berdasarkan pertimbangan yang sama itu semua dapat diperluas ke arah kerja sama Lembaga-Lembaga misionaris di tanah-tanah asal mereka, sehingga masalah-persolan dan prakarsa-prakarsa bersama dapat diselesaikan lebih mudah dan dengan biaya yang lebih ringan.; misalnya: pendidikan para calon misionaris, hubungan-hubungan dengan pemerintah-pemerintah atau dengan badan-badan internasional maupun supranasional. 33. (Koordinasi antara lembaga-lembaga ilmiah) Pelaksanaan kegiatan misioner yang tepat dan teratur mununtut, supaya para pewarta Injil disiapkan secara ilmiah untuk tugas-tugas mereka, terutama untuk berdialog dengan agama-agama serta kebudayaan-kebudayaan bukan kristiani, dan supaya mereka dibantu secara tepat guna dalam pelaksanaannya sendiri. Maka diharapkan, supaya demi kepentingan daerah-daerah Misi dijalin kerja sama secara persaudaraan dan leluasa antara Lembaga-Lembaga ilmiah manapun juga. Yang mengembangkan misiologi dan bidang-bidang ilmu lain atau ketrampilan-ketrampilan yang bermanfaat bagi daerahdaerah Misi, misalnya: etnologi dan linguistik (ilmu bahasa), sejarah dan ilmu agamaagama, sosiologi, ketrampilan-ketrampilan pastoral dan sebagainya.

84

Lih. Dekrit yang sama, art. 35, 5-6.

BAB ENAM KERJA SAMA 35. (Pendahuluan) Seluruh gereja bersifat misioner , dan karya mewartakan Injil merupakan tugas Umat Allah yang mendasar. Maka Konsili suci mengundang semua anggota umat untuk mengadakan pembaharuan batin yang mendalam, supaya mereka mempunyai kesadaran yang hidup tentang tanggung jawab mereka dalam penyebaran Injil, dan menjalankan peran mereka dalam karya misioner di antara bangsa-bangsa. 36. (Kewajiban misioner segenap Umat Allah) Sebagai anggota Kristus yang hidup, semua orang beriman, yang melalui Baptis, Penguatan serta Ekaristi disaturagakan dan diserupakan dengan Dia, terikat kewajiban untuk menyumbangkan tenaga demi perluasan dan pengembangan Tubuh-Nya, untuk menghantarkan selekas mungkin kepada kepenuhan-Nya (Ef 4:13). Maka hendaknya semua putera Gereja mempunyai kesadaran yang hidup akan tanggung jawab mereka terhadap dunia, memupuk semangat katolik sejati dalam diri mereka, dan mencurahkan tenaga mereka demi karya mewartakan Injil. Akan tetapi hendaknya semua memahami, bahwa kewajiban mereka yang pertama dan utama untuk menyiarkan iman yakni: menghayati hidup kristiani secara mendalam. Sebab semangat mereka dalam pengabdian kepada Allah dan cinta kasih mereka terhadap sesama akan mendatangkan ilham dorongan rohani yang baru bagi selurug Gereja, yang akan tampil sebagai tanda yang menjulang di antara bangsa-bangsa (lih. Yes 11:12), “terang dunia” (Mat 5:14) dan “garam dunia” (Mat 5:13). Kesaksian perihidup itu akan lebih mudah berhasil, bila dibawakan bersama dengan kelompok-kelompok kristiani lainnya, menurut kaidah-kaidah Dekrit tentang Ekumenisme[85]. Dalam semangat yang dibaharui itu doa-doa dan ulah pertobatan akan dengan sukarela dipersembahkan kepada allah, supaya Ia menyuburkan karya para misionaris dengan rahmat-Nya; panggilan-panggilan misioner akan tumbuh, dan bantuan-bantuan yang diperlukan di daerah-daerah Misi akan mengalir. Tetapi supaya semua dan masing-masing orang beriman kristiani sungguh smengenal situasi Gereja di dunia sekarang, dan mendengarkan suara rakyat banyak yang berseru: “Tolonglah kami” (lih. Kis 16:9), hendaknya juga dengan menggunakan sarana-sarana komunikasi sosial yang modern disajikan berita-berita tentang Misi sedemikian rupa, sehingga mereka menyadari bahwa kegiatan misioner itu kegiatan mereka, membuka hati bagi kebutuhan-kebutuhansesama yang begitu besar dan mendalam, dan mampu membantu mereka. Perlulah juga koordinasi pemberitaan dan kerja sama dengan badan-badan nasional dan internasional. 37. (Kewajiban misioner jemaat-jemaat kristiani) Adapun Umat Allah hidup dalam jemaat-jemaat, terutama dalam keuskupan-keuskupan dan paroki-paroki, serta dengan cara tertentu kelihatan disitu. Maka jemaat-jemaat itu pun wajib memberi kesaksian akan Kristus di hadapan para bangsa. Di jemaat-jemaat rahmat pembaharuan tidak dapat berkembang, bila jemaat masingmasing tidak memperluas tidak memperluas gelanggang cinta kasihnya sampai ke ujungujung bumi, dan menyatakan perhatian yang sama terhadap mereka yang jauh dan mereka yang termasuk anggotanya sendiri.

85

Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Ekumenisme, art. 12.

Begitulah seluruh jemaat berdoa, menyumbangkan tenaga dan melaksanakan kegiatan di antara bangsa-bangsa melalui para puteranya, yang dipilih oleh Allah untuk tugas yang amat luhur itu. Asal saja karya misioner di selluruh dunia tidak diabaikan, akan sangat berguna melestarikan hubungan dengan para misionaris yang berasal dari jemaat sendiri, atau dengan suatu paroki atau keuskupan di daerah Misi, supaya persekutuan antar jemaat menjadi nyata, dan dengan demikian jemaat-jemaat saling membangun. 38. (Kewajiban misioner para Uskup) Semua Uskup, sebagai anggota badan para Uskup yang menggantikan Dewan para Rasul, ditahbiskan bukan hanya bagi satu keuskupan, melainkan demi keselamatan seluruh dunia. Perintah Kristus untuk mewartakan Injil kepada segenap makluk (Mrk 16:15) pertama-tama dan secara langsung menyangkut mereka, bersama Petrus dan di bawah Petrus. Dari situlah muncul persekutuan dan kerhja sama antar Gereja, yang sekarang ini begitu perlu untuk melaksanakan karya mewartakan Injil. Berdasarkan persekutuan itu masing-masing Gereja mengemban keprihatinan akan semua Gereja-Gereja lain. Mereka saling menyatakan kebutuhan-kebutuhan mereka, dan saling memberitahukan hal-ikhwal mereka, sebab perluasan Tubuh Kristus merupakan tugas seluruh Dewan para Uskup[86]. Dalam keuskupannya, yang menyatu dengannya, Uskup membangkitkan, memajukan dan membimbing karya misioner. Demikianlah Ia menghadirkan dan bagaikan menampilkan semangat misioner Umat Allah yang berkobar-kobar, sehingga seluruh keuskupan menjadi misioner. Adalah tugas Uskup membangkitkan di tengah Umatnya, terutama diantara mereka yang lemah dan tertimpa kemalangan, jiwa-jiwa yang mempersembahkan doa-doa dan amal pertobatan kepada Allah dengan hati yang terbuka bagi pewartaan Injil di dunia. Uskuplah yang semestinya dengan suka hati mengembangkan panggilan-panggilan kaum muda dan klerus untuk Lembaga-Lembaga misioner, dan menerimanya dengan arsa syukur, bila Allah memilih beberapa di antara mereka, untuk menggabungkan diri pada kegiatan misioner Gereja. Uskuplah yang hendaknya mendorong Kongregasi-Kongregasi diosesan dan membantu mereka, untuk ikut memainkan perannya di daerah-daerah Misi. Uskup pula, yang seyogyanya memajukan karya-karya Lembaga-Lembaga misioner dia natara Umat berimannya, terutama Karya-Karya Misioner Kepausan. Sebab sudah seharunyalah Karya-Karya itu di beri tempat utama, karena merupakan upaya-upaya, baik untuk menanam pada Umat katolik sejak masih kecil semangat yang sungguh universal dan misioner, maupun untuk menggairahkan pengumpulan bantuan-bantuan yang tepat-guna demi kesejahteraan semua Misi menurut kebutuhan masing-masing[87]. Akan tetapi karena semakin besarlah kebutuhan akan pekerja di kebuan anggur Tuhan, dan para imam diosesan pun ingin berperan serta semakin intensif dalam evangelisasi dunia, Konsili suci menghimabu supaya para Uskup mempertimbangkan kekurangan yang amat parah akan imam-imam, yang merintangi pewartaan Injil di banyak daerah. Mereka dihimbau supaya mengutus kepada keuskupan-keuskupan, yang miskin imambeberapa imam mereka yang tergolong lebih baik, dan telah menawarkan diri untuk karya misioner, sudah mempersiapkan diri sebagaimana mestinya. Di keuskupan-keuskupan itu sekurang-kurangnya untuk sementara para imam itu akan melaksanakan pelayanan misioner dengan semangat pengabdian[88]. Supaya kegiatan misioner para Uskup dapat dilaksanakan secara lebih tepat-guna demi kesejahteraan seluruh Gereja, seyogyanya Konferensi-Konferensi Uskup memimpin urusan-urusan, yang menyangkut teraturnya kerja sama dikwasannya.

86

Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 23-24. Lih. BENEDIKTUS XV, Ensiklik Maximum illud: AAS 11 (1919) hlm. 543-544. – PIUS XII, Ensiklik Rerum Ecclesiae: AAS 18 (1926) hlm. 71-73. – PIUS XII, Ensiklik Evangelii Praecones: AAS 43 (1951) hlm. 525-526. – IDEM, Ensiklik Fidei donum: AAS 49 (1957) hlm. 241. 88 Lih. PIUS XII, Ensiklik Fidei donum: AAS 49 (1957) hlm. 245-246. 87

Hendaknya dalam Konferensi-Konferensi mereka para Uskup berunding tangtang imam diosesan yang seyogyanya diperuntukkan bagi evangelisasi para bangsa; tentang iuran tertentu, yang setiap keuskupan setiap tahun wajib menyumbang untuk karya Misi serasi dengan pendapatannya[89]; tentang tugas memimpin dan mengatur cara-cara serta upaya-upaya untuk secara langsung membantu dan – bila perlu – mendirikan LembagaLembaga misoner dan seminari-seminari klerus diosesan untuk daerah-daerah Misi; tentang cara mempererat hubungan-hubungan antara Lembaga-Lembaga itu dan keuskupan-keuskupan. Begitu pula termasuk tugas Konferensi-Konferensi Uskup untuk menyelenggarakn dan mamjukan karya-karya, yang maksudnya supaya mereka yang karena pekerjaan dan studi berpindah masuk dari daerah-daerah Misi ditampung secara persaudaraan dan dibantu dengan reksa pastoral yang memadai. Sebab melalui mereka bangsa-bangsa yang jauh dengan cara tertentumenjadi dekat, dan jemaat-jemaat kristiani yang sudah tua memperoleh kesempatan amat baik, untuk berwawancara dengan bangsa-bangsa yang belum menerima pewartaan Injil, dan menunjukkan kepada mereka wajah Kristus yang sejati melalui pelayanan cinta kasih dan bantuan yang diberikan[90]. 39. (Kewajiban misioner para imam) Para imam membawakan pribadi Kristus dan menjadi rekan-rekan sekerja bagi Dewan para Uskup dalam tugas suci rangkap tiga, yang menurut hakekatnya menyangkut perutusan Gereja[91]. Maka dari itu hendaklah mereka menyadari sedalam-dalamnya, bahwa hidup mereka telah ditakdiskan demi pelayanan Misa juga. Melalui pelayanan mereka sendiri – yang terutama terletak pada Ekaristi yang membentuk Gereja – mereka berada dalam persekutuan dengan Kristus Kepala, dan menghantar sesama kepada persekutuan itu. Maka tidak mungkin mereka tidak menyadari, masih betapa jauh kepenuhan Tubuh belum tercapai, dan karena itu betapa banyak masih harus dilakukan, supaya Tubuh itu semakin berkembang. Oleh sebab itu hendaknya mereka mengatur reksa pastoral sedemikian rupa, sehingga bermanfaat bagi penyebaran Injil di antara umat bukan kristiani. Dalam reksa pastoral para imam akan membangkitkan dan melestarikan semangat untuk evangelisasi dunia di antara Umat beriman, dengan memperkenalkan kepada mereka – melalui katekese dan pewartaan – tugas Gereja menyiarkan Kristus kepada bangsa-bangsa; dengan mengajarkan kepada keluarga-keluarga kristiani, betapa perlu dan mulianya memupuk panggilan-panggilan misioner pada putera-puteri mereka; dengan mengembangkan semangat misioner pada kaum muda yang masih bersekolah dan termasuk perserikatan-perserikatan katolik sedemikian rupa, sehingga dari antra mereka muncul calon-calon pewarta Injil. Hendaknya para imam mengajak Umat beriman untuk mendoakan Misi, dan janganlah mereka malu meminta derma dari mereka, bagaikan pengemis bagi Kristus demi keselamatan jiwa-jiwa[92]. Para diosesan Seminari dan Universitas akan memperkenalkan kepada kaum muda situasi dunia dan Gereja yang sesungguhnya, supaya perlunya pewartaan Injil yang lebih intensif kepada umat bukan kristiani menjadi jelas bagi mereka dan menghidupkan semangat misioner mereka. Dalam menyampaikan vak-vak dogma, Kitab suci, moral dan sejarah hendaknya mereka jelaskan segi-segi misioner yang tercantum dalamnya sedemikian rupa, sehingga dengan demikian kesadaran misioner dibina pada para calon imam. 40. (Kewajiban misioner tarekat-tarekat religius) Tarekat-tarekat religius hidup kontemplatif maupun aktif hingga sekarang telah dan tetap masih memainkan peran amat penting dalam evangelisasi dunia. Dengan suka hati Konsili suci mengakui jasa-jasa mereka dan bersyukur kepada Allah atas sekian banyak 89

Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang tugas kegembalaan para Uskup, art. 6. Lih. PIUS XII, Ensiklik Fidei donum: AAS 49 (1957) hlm. 245. 91 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 28. 92 Lih. PIUS XII, Ensiklik Rerum Ecclesiae: AAS 18 (1926) hlm. 72. 90

pengorbanan yang ditanggung demi kemuliaan Allah dan pengabdian kepada jiwa-jiwa. Konsili mengajak tarekat-tarekat, supaya tanpa kenal lelah melanjutkan karya yang telah dimulai, atas kesadaran bahwa keutamaan cinta kasih, yang berdasarkan panggilan mereka wajib mereka amalkan secara lebih sempurna, mendorong serta mengikat mereka untuk mewujudkan semangat dan menangani karya yang sungguh bersifat katolik[93]. Tarekat-tarekat hidup kontemplatif melalui doa-doa, ulah-pertobatan dan duka-derita mereka, amat penting maknanya bagi pertobatan jiwa-jiwa, karena Allah-lah, yang bila dimohon mengutus pekerja-pekerja ke dalam panenan-Nya (lih. Mat 9:38), membuka hati umat bukan kristiani untuk mendengarkan Injil (lih. Kis 14:16), dan menyuburkan sabda keselamatan dalam hati mereka (lih. 1Kor 3:7). Bahkan tarekat-tarekat itu diminta mendirikan biara-biara di daerah-daerah Misi, seperti memang cukup banyak yang telah menjalankannya. Maksudnya supaya di situ tarekat-tarekat itu – dengan cara yang sesuai dengan tradisi-tradisi keagamaan asli para bangsa – dengan menghayati hidup, memberi kesaksian sungguh mulia ditengah umat bukan kristiani tentang kedaulatan dan cinta kasih Allah, dan tentang persatuan dalam Kristus. Adapun tarekat-tarekat hidup aktif, entah bertujuan melalui misioner entah tidak, hendaknya dengan jujur bertanya diri dihadapan Allah, dapatkah mereka memperluas kegiatan mereka demi perluasan Kerajaan Allah di antara bangsa-bangsa; dapatkah mereka menyerahkan beberapa pelayanan kepada tarekat-tarekat lain, sehingga mampu mencurahkan daya-tenaga mereka untuk daerah-daerah Misi; dapatkah mereka memulai kegiatan di daerah-daerah Misi, bila perlu dengan menyesuaikan Konstitusi mereka, tetapi menurut maksud Pendiri; benarkah para anggota mereka menurut kemampuan ikut serta dalam kegiatan misioner; benarkah kebiasaan hidup mereka merupakan kesaksian akan Injil yang disesuaikan dengan sifat perangai dan situasi bangsa. Tetapi karena atas dorongan Roh Kudus dalam Gereja Institut-Institut sekular makin berkembang, karya-kegiatan mereka di daerah-daerah Misi, dibawah kewibawaan Uskup, dengan pelbagai cara dapat menajdi subur, sebagai tanda penyerahan diri sepenuhnya demi evangelisasi dunia. 41. (Kewajiban misioner kaum awam) Para awam menyumbangkan tenaga demi karya Gereja mewartakan Injil, dan sebagai saksi-saksi pun sekaligus sarana-sarana hidup ikut serta dalam perutusannya yang membawa keselamatan[94], terutama bila mereka dipanggil oleh Allah dan oleh para Uskup diperuntukkan bagi karya itu. Di daerah-daerah yang sudah kristiani para awam menyumbangkan tenaga untuk karya mewartakan Injil, dengan mengembangkan pengertian dan cinta kasih terhadap Misi pada dirinya maupun pada sesama, dengan membangkitkan panggilan-panggilan dalam keluarga mereka sendir, dalam perserikatan-perserikatan katolik dan di sekolahsekolah, dengan menyumbangkan segala macam bantuan, supaya kurnia iman, yang telah mereka terima dengan Cuma-Cuma, dapat disalurkan kepada sesama. Sedangkan di daerah-daerah Misi kaum awam, entah pendatang entah pribumi, hendaknya mengajar di sekolah-sekolah, menangani urusan-urusan duniawi, ikut berperan dalam kegiatan kegiatan paroki dan keuskupan, menyelenggarakan dan mengembangkan pelbagai bentuk kerasulan awam, supaya umat beriman dalam GerejaGereja muda selekas mungkin mampu memainkan peran mereka dalam kehidupan Gereja[95]. Akhirnya hendaklah kaum awam dengan suka rela mengadakan kerja sama sosial ekonomi dengan bangsa-bangsa yang sedang berkembang. Kerja sama itu semakin layak di puji, semakin menyangkut usaha mendirikan lembaga-lembaga, yang menyentuh tata

93

Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 44. Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 33, 35. 95 Lih. PIUS XII, Ensiklik Evangelii Praecones: AAS 43 (1951) hlm. 510-514. – YOHANES XXIII, Ensiklik Princeps Pastorium: AAS 51 (1959) hlm. 851-852. 94

susunan hidup kemasyarakatan yang mendasar, atau tertujukan kepada pendidikan mereka, yang mengemban tanggung jawab atas masyarakat. Yang layak mendapat pujian istimewa yakni para awam, yang di UniversitasUniversitas atau Lembaga-Lembaga ilmiah mengembangkan pengetahuan tentang bangsa-bangsa dan agama-agama melalui penelitian-penelitian mereka dibidang sejarah atau ilmu-pengetahuan agam, sambil membantu para pewarta Injil dan menyiapkan dialog dengan umat bukan kristiani. Hendaklah para awam dalam semangat persaudaraan bekerja sama dengan umat kristiani lainnya, dengan umat bukan kristiani, khususnya dengan para anggota perserikatan-perserikatan internasional, sementara selalu mengarah kepada tujuan, supaya “pembangunan masyrakat duniawi selalu bertumpu pada Tuhan dan diarahkan kepada-Nya”[96]. Untuk menunaikan semua tugas itu, para awam membutuhkan persiapan tehnis dan rohani seperlunya, yang harus diberikan pada Lembaga-Lembaga yang dimaksudkan untuk itu, supaya hidup mereka merupakan kesaksian tentang Kristus di tengah umat bukan-kristiani, manurut amanat Rasul : “Janganlah kamu menimbulkan syak dalam hati orang-orang Yahudi dan Yunani, maupun jemaat Allah. Sama seperti aku juga berusaha menyenangkan semua orang dalam segalanya, bukan untuk kepentingan diriku, melainkan untuk kepentingan orang banyak, supaya mereka diselamatkan” (1Kor 10:3233). PENUTUP

42. Para Bapa Konsili bersama dengan Imam Agung di Roma, yang menyadari bahwa tugas menyebarluaskan Kerajaan Allah di mana-mana itu mahaberat, menyampaikan salam penuh kasih, kepada semua pewarta Injil, terutama kepada mereka yang demi nama Kristus menanggung penganiayaan, dan menggabungkan diri sebagai rekan dalam duka-derita mereka[97]. Juga mereka berkobar karena cinta yang sama, seperti Kristus bernyala kasih-Nya terhadap umat manusia. Sementara menyadari, bahwa Allahlah yang berkarya supaya Kerajaan-Nya datang di dunia, mereka memanjatkan doa-doa bersama segenap Umat beriman kristiani, supaya berkat perantaraan Perawan Maria Ratu para Rasul, para bangsa selekas mungkin dihantar untuk mengenali kebenaran (1Tim 2:4), dan cahaya Allah, yang bersinar pada wajah Kristus Yesus, melalui Roh Kudus menerangi semua orang (2Kor 4:6). Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan Kami, atas kuasa Rasuli yang oleh kristus diserahkan kepada Kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah. Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 7 bulan Desember tahun 1965. Saya PAULUS Uskup Gereja katolik (Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili) 96 97

Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 46. Lih. PIUS XII, Ensiklik Evangelii praecones: AAS 43 (1951) hlm. 527. – YOHANES XIII, Ensiklik Princeps Pastorium: AAS 51 (1959) hlm. 864.

PAULUS USKUP

HAMBA PARA HAMBA ALLAH BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI DEMI KENANGAN ABADI

DEKRIT TENTANG PELAYANAN DAN KEHIDUPAN PARA IMAM PENDAHULUAN 1. Keluhuran TINGKAT PARA IMAM dalam Gereja sudah sering kali oleh Konsili suci ini diingatkan kepada segenap umat beriman[1]. Akan tetapi karena dalam pembaharuan Gereja Kristus kepada Tingkat itu diserahkan peranan yang penting sekali dan semakin sulit, maka pada hemat kami berguna sekali untuk secara lebih luas dan lebih mendalam berbicara tentang para imam. Apa yang dikemukakan disini berlaku bagi semua imam, khususnya mereka yang melayani reksa pastoral, tetapi – dengan penyesuaianpenyesuaian yang diperlukan – juga bagi para imam religius. Sebab para imam, berkat tahbisan dan perutusan yang mereka terima dari para Uskup, diangkat untuk melayani Kristus Guru, Imam dan Raja. Mereka ikut menunaikan pelayanan-Nya, yang bagi Gereja merupakan upaya untuk tiada hentinya dibangun dunia ini menjadi umat Allah, Tubuh Kristus dan Kenisah Roh Kudus. Oleh karena itu, supaya dalam situasi pastoral dan manusiawi sering sekali mengalami perubahan begitu mendalam, pelayanan mereka tetap berlangsung secara lebih efektif, dan kehidupan mereka lebih terpelihara, Konsili suci menyatakan dan memutuskan hal-hal berikut.

BAB SATU IMAMAT DALAM PERUTUSAN GEREJA 2. (Hakekat imamat) Tuhan Yesus, “yang oleh Bapa dikuduskan dan diutus ke dunia” (Yoh 10:36), mengikut sertakan seluruh Tubuh mistik-Nya dalam pengurapan Roh yang telah diterimanya sendiri [2]. Sebab dalam Dia semua orang berimanmenjadi Imamat kudus dan rajawi, mempersembahkan korban-korban rohani kepada Allah melalui Yesus Kristus, dan mewartakan kekuatan Dia, yang memanggil mereka dari kegelapan ke dalam cahaya-Nya yang mengagumkan[3]. Maka tidak ada anggota, yang tidak berperan serta dalam perutusan seluruh Tubuh. Melainkan setiap anggota wajib menguduskan Yesus dalam hatinya[4], dan dengan semangat kenabian memberi kesaksian tentang Yesus[5]. 1

KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi. – Konstitusi dogmatis tentang Gereja. – Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam gereja. – Dekrit tentang Pendidikan Imam. 2 Lih. Mat 3:16; Luk 4:18; Kis 4:27; 10:38. 3 Lih. 1ptr 2:5 dan 9. 4 Lih. 1Ptr 3:15. 5 Lih. Why 19:10. – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 35.

Tetapi, supaya umat beriman makin berpadu menjadi satu Tubuh, - “di dalamnya tidak semua anggota mempunyai tugas yang sama” (Rom 12:4), - Tuhan itu juga mengankat ditengah mereka beberapa anggota menjadi pelayan, yang dalam persekutuan umat beriman mempunyai Kuasa Tahbisan suci untuk mempersembahkan Korban dan mengampuni dosa-dosa[6], dan demi nama Kristus secara resmi menunaikan tugas imamat bagi orang-orang. Maka dari itu, sesudah mengutus para Rasul seperti Ia sendiri telah diutus oleh Bapa[7], Kristus, melalui para Rasul itu, mengikutsertakan para pengganti mereka, yakni para Uskup, dalam pentakdisan serta perutusan-Nya[8]. Tugas pelayanan Uskup, pada tingkat yang terbawah kepadanya, diserahkan kepada para imam[9], supaya mereka, sesudah ditahbiskan imam, menjadi rekan-rekan kerja bagi Tingkat para Uskup, untuk sebagaimana mestinya melaksanakan misi kerasulan yang mereka terima dari Kristus[10]. Karena fungsi para imam tergabungkan pada Tingkat para Uskup, fungsi itu ikut menyandang kewibawaan Kristus sendiri, untuk membangun, menguduskan dan membimbing Tubuh-Nya. Oleh karena itu, imamat para imam biasa memang mengandaikan Sakramen-sakramen inisiasi kristiani, tetapi secara khas diterimakan melalui Sakramen, yang melambangkan, bahwa para imam, berkat pengurapan Roh Kudus, ditandai dengan meterai istimewa, dan dengan demikian dijadikan serupa dengan Kristus Sang Imam, sehingga mereka mampu bertindak dalam pribadi Kristus Kepala[11]. Karena para imam dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas para Rasul, mereka dikurniai rahmat oleh Allah, untuk menjadi pelayan Kristus Yesus di tengah para bangsa, dengan menunaikan tugas Injil yang suci, supaya persembahan para bangsa, yang disucikan dalam Roh Kudus, berkenan kepada Allah[12]. Sebab melalui Warta Rasuli tentang Injil Umat Allah dipanggil dan dihimpun, sehingga semua orang yang termasuk umat itukarena dikuduskan dalam Roh, mempersembahkan diri sebagai “persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah” (Rom 12:1). Melalui pelayanan para imam korban rohani kaum beriman mencapai kepenuhannya dalam persatuan dengan koraban Kristus Pengantara tunggal, yang melalui tangan para imam, atas nama seluruh Gereja, dipersembahkan secara tak berdarah dan sakramental dalam Ekaristi, sampai kedatangan Tuhan sendiri [13]. Itulah arah-tujuan pelayanan para imam; disitulah pelayanan itu mencapai kepenuhannya. Sebab pelayanan mereka, yang berawalmula dari Warta Injil, menerima daya-kekuatannya dari Korban Kristus, dan tujuannya ialah, supaya “seluruh kota yang telah ditebus, yakni persekutuan dan himpunan para kudus, dipersembahkan sebagai korban universal kepada Allah melalui Sang Imam Agung, yang dalam Kesengsaraan-Nya telah mempersembahkan Diri-Nya juga bagi kita, supaya kita menjadi Tubuh Kepala yang seagung itu”[14]. Maka tujuan yang mau dicapai oleh para imam melalui pelayanan maupun hidup mereka yakni kemuliaan Allah Bapa dalam Kristus. Kemuliaan itu tercapai, bila orangorang secara sadar, bebas dan penuh syukur menerima karya Allah yang terlaksana dalam Kristus, dan menampakkan itu melalui seluruh hidup mereka. Maka bila para imam meluangkan waktu bagi doa dan sembah sujud, atau mewartakan sabda atau mempersembahkan Korban Ekaristi dan menerimakan Sakramen-sakramen lainnya, atau menjalankan pelayanan-pelayanan lain bagi sesam, mereka ikut menambah kemuliaan Allah dan membantu sesama berkembang dalam kehidupan ilahi. Itu semua bersumber 6

KONSILI TRENTO, Sidang 23, bab 1 dan kanon 1: DENZ. 957 dan 961 (1764 dan 1771). Lih. Yoh 20:21. – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 18. 8 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 28. 9 Lih. Dalam artikel yang sama. 10 Lih. Pontificale Romanum, De Ordinatione Presbytery (tentang tahbisan Imam), Prefasi. Kata-kata itu sudah terdapat dalam Sacramentarium Veronense (MOHLBERG, Roma 1956, hlm. 122); begitu juga dalam Missale Francorum (MOHLBERG, Roma 1957, hlm. 9); juga dalam Liber Sacramentum Romanae Ecclesiae (MOHLBERG, Roma 1960, hlm. 25); begitu pula dalam Pontificale Romanum-Germanicum (VOGEL-ELZE, Citta del vaticano 1963, jilid I hlm. 34). 11 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 10. 12 Bdk. Rom 15:16 Yunani. 13 Lih. 1Kor 11:26. 14 S. AGUSTINUS, Tentang Kota Allah, 10, 6: PL 41, 284. 7

pada Paska Kristus, dan akan mencapai kepenuhannya pada kedatangan Tuhan penuh kemuliaan-Nya, bila Ia menyerahkan Kerajaan kepada Allah dan Bapa[15]. 3. (Situasi para imam di sunia) Para imam, yang dipilih dari antara manusia dan ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah, untuk mempersembahkan persembahan dan korban bagi dosa-dosa[16], bergaul dengan orang-orang lain bagaikan dengan saudara-saudari mereka. Begitu pulalah Tuhan Yesus, Putera Allah, manusia yang oleh Bapa diutus kepada sesama manusia, tinggal di antara kita, dan dalam segalanya hendak menyerupai saudara-saudari-Nya, kecuali dalam hal dosa[17]. Para Rasul kudus sudah mengikuti teladan-Nya; dan bersaksilah Santo Paulus, Guru para bangsa, yang “disendirikan untuk Injil Allah” (Rom 1:1), bahwa ia telah menjadi segalanya bagi semua orang, untuk menyelamtakan semua orang[18]. Karena panggilan dan tahbisan mereka para imam Perjanjian Baru dalam arti tertentu disendirikan dalam pengakuan umat Allah, tetapi bukan untuk dipisahkan dari umat atau dari sesama manapun juga, melainkan supaya sepenuhnya ditakdiskan bagi karya, yakni tujuan, mengapa Tuhan memanggil mereka[19]. Mereka tidak akan mampu menjadi pelayan Kristus, seandainya mereka tidak menjadi saksi dan pembagi kehidupan lain dari pada hidup di dunia ini. Tetapi mereka juga tidak akan mampu melayani sesama, seandainya mereka tetap asing terhadap kehidupan serta situasi sesama[20]. Pelayanan mereka sendiri karena alasan khas meminta, supaya mereka jangan menyesuaikan diri dengan dunia ini [21]; tetapi sekaligus meminta juga, supaya di dunia ini mereka hidup di tengah masyarakat, dan sebagai gembala-gembala yang baik mengenal domba-domba mereka, dan berusaha mengajak domba-domba juga, yang tidak termasuk kawanan, supaya merekapun mendengarkan suara Kristus, dan terjadilah satu kawanan dan satu Gembala[22]. Untuk dapat mencapai tujuan itu pentinglah peranan keutamaan-keutamaan, yang dalam perseklutuan antar manusia memang sudah selayaknya dihargai; misalnya kebaikan hati, kejujuran, keteguhan hati dan ketabahan, semangat mengusahakan keadilan, sopan santun dan lain-lain, yang dianjurkan oleh Rasul Paulus dengan pesannya : “… Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap di dengar, semua yang disebut kebajikan dan patut di puji, pikirkanlah semuanya itu” (Flp 4:8)[23]. 15

Lih. 1Kor 15:24. Lih. Ibr 5:1 17 Lih. Ibr 2:17; 4:15. 18 Lih. 1Kor 9:19-23 Vulgat. 19 Lih. Kis 13:2. 20 “Usaha menuju kesempurnaan religius dan moril itu semakin di rangsang juga karena situasi lahiriah kehidupan Gereja. Sebab Gereja tidak dapat tetap tak berubah dan tidak acuh terhadap pergolakan masyarakat disekitarnya, yang mempunyai bermacam-macam situasi. Pasti sudah jelas pula, bahwa Gereja tisak terceraikan dari masyarakat manusia, melainkan hidup ditengahnya; maka dari itu putera-puteri Gereja digerakkan dan diarahkan oleh masyarakat itu, diresapi oleh kebudayaannya, mematuhi hukum-hukumnya, mengenakan adat-istiadatnya. Tetapi kontak Gereja dengan masyarakat manusia itu tiada hentinya menimbulkan masalah-persoalan yang rumit juga, yang terutama sekarang ini memang berat sekali … (…). Beginilah Rasul para bangsa mengingatkan umat kristen pada zamannya: ‘Janganlah kalian merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan mereka yang tidak beriman. Sebab persamaan manakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? … Apakah bagian bersama mereka yang beriman dengan mereka yang tidak beriman?’ (2Kor 6:14-15). Oleh karena itu sungguh perlulah mereka, yang sekarang ini menjadi pembina dan guru dalam Gereja, mengingatkan angkatan muda katolik akan situasinya yang istimewa, serta akan kewajiban yang timbul dari padanya, yakni: hidup di dunia ini, tetapi bukan menurut semangat dunia ini, sesuai dengan doa permohonan yang oleh Kristus Yesus dipanjatkan bagi para murid-Nya: ‘Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka terhadap yang jahat. Mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia’ (Yoh 17:15-16). Dan Gereja menjadikan doa itu permohonannya sendiri. Akan tetapi pembedaan dari dubia itu tidak berarti perceraian; bukan pula sikap tak acuh, rasa takut, atau sikap menghina. Sebab bila Gereja membedakan diri dari umat manusia, Gereja tidak mempertentangkan diri terhadapnya, sebaliknya malahan menyatukan diri dengannya” (PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 627 dan 638). 21 Lih. Rom 12:2. 22 Lih. Yoh. 10:14-16. 23 Lih. S. POLIKARPUS, Surat kepada umat di Filipi, VI, 1: “Hendaknya para imam cenderung untuk ikut merasakan penderitaan, berbelaskasihan terhadap semua orang, mengembalikan siapa saja yang sesat , mengunjungi semua orang 16

BAB DUA PELAYANAN PARA IMAM

I. FUNGSI PARA IMAM 4. (Para imam, pelayan Sabda Allah) Umat Allah pertama-tama dihimpun oleh sabda Allah yang hidup[24], yang karena itu juga sudah selayaknya diharapkan dari mulut para imam[25]. Sebab karena tidak seorang pun dapat di selamatkan, kalau ia tidak beriman[26], para imam sebagai rekan-rekan kerja para Uskup, pertama-tama wajib mewartakan Injil Allah kepada semua orang[27]. Demikianlah, dengan melaksanakan perintah Tuhan: “Pergilah ke seluruh dunia, wartakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk 16:15)[28], mereka membentuk dan mengembangkan Umat Allah. Sebab oleh Sabda penyelamat iman dibangkitkan dalam hati mereka yang tidak percaya, dan dipupuk dalam hati mereka yang percaya. Dengan demikian mulai serta tumbuhlah persekutuan kaum beriman, menurut amanat rausl: “Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh sabda Kristus” (Rom 10:17). Jadi para imam mempunyai kewajiban terhadap semua orang, untuk menyampaikan kebenaran Injil kepada mereka[29], sehingga mereka bergembira dalam Tuhan. Entah para imam mempunyai cara hidup yang baik di tengah bangsa-bangsa, dan mengajak mereka memuliakan Allah[30], atau dengan pewartaan yang terbuka menyiarkan misteri Kristus kepada kaum beriman, atau memberikan katekese kristiani atau menguraikan ajaran Gereja, atau mereka berusaha mengkaji masalah-masalah aktual dalam terang Kristus, selalu merupakan tugas mereka: mengajar bukan kebijaksanaan mereka sendiri, melainkan Sabda Allah, dan tiada jemunya mengundang semua orang untuk bertobat dan menuju kesucian[31]. Supaya pewartaan iman, yang dalam situasi dunia zaman sekarang tidak jarang memang sukar sekali, secara lebih mengena menggerakkan hati para pendengar, hendaknya jangan menguraikan sabda Allah secara umum dan abstrak saja, melainkan dengan menerapkan kebenaran Injil yang kekal pada situasi hidup yang konkrit. sakit, jangan mengabaikan janda, atau yatim-piatu atau si miskin; hendaknya mereka senantiasa memikirkan bagaimana berbuat baik dihadapan Allah dan sesama; jangan pernah marah-marah, melulu mau menjaga gengsi, menjatuhkan penilaian yang tidak adil; hendaklah mereka menjauhkan diri dari segala keserakahan; jangan dengan gegabah mempercayai sesuatu melawan orang lain; jangan terlalu keras dalam menilai; dan selalu menyadari, bahwa kita ini semua ikut tersangkut dalam dosa”, FUNK I, hlm 303. 24 Lih. 1Ptr 1:23; Kiss 6:7; 12:24. “(Para Rasul) mewartakan Sabda kebenaran dan melahirkan Gereja-Gereja” (S. AGUSTINUS, tentang Mzm 44:23: PL 36, 508. 25 Lih. Mal 2:7; 1Tim 4:11-13; 2Tim 4:5; Tit 1:9. 26 Lih. Mrk 16:16. 27 Lih. 2Kor 11:7. Tentang para Imam sebagai rekan-rekan kerja para Uskup berl aku pula apa yang dikatakan tentang para Uskup. – Lih. Statuta Ecclessia Antiqua (Peraturan-peraturan Gereja kuno), bab 3 (CH. MUNIER, Paris 1960, hlm. 79). – Decretum Gratiani (Dekrit Gratianum), C.6, D.88 (FRIEDBERG, I,307). – KONSILI TRENTO, Dekrit tentang Pembaharuan, Sidang 5, bab 2, no. 9 (Conciliorum Oecumenicorum Decreta, ed. Herder, Roma 1963, hlm. 645); Sidang 24, bab 4 (hlm. 739). – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja art. 25. 28 Lih. Constitutiones Apostolorum (Ketetapan-ketetapan para Rasul), II, 26,7: “Hendaknya (para Imam) menjadi guru pengetahuan ilahi, karena Tuhan sendiri pun memerintahkan kepada kami: pergilah, ajarlah, dan seterusnya” (FUNK, Didascalia et Constitutiones Apostolorum, I, Paderborn 1905). – Sacramentarium Leonianum dan buku-buku Upacara Sakramen lainnya hingga Pontificale Romanum, Prefasi pada Tahbisan Imam: “Karena penyelenggaraan-Mu, ya Tuhan, Engkau telah menggabungkan pada para Rasul Putera-Mu pengajar-pengajar iman sebagai rekan; dengan para pewarta tingkat kedua itu mereka telah memenuhi seluruh dunia”. – Liber Ordinum Liturgiae Mozarabicae (Kitab Tahbisan menurut Mozarabia), Prefasi pada tahbisan Imam: “sebagai pengajar rakyat danh pemimpin para bawahan, hendaknya ia dengan tertib berpegang teguh pada iman katolik, serta mewartakan keselamatan sejati kepada semua orang”: (M. FEROTIN, Paris 1904, kolom 55). 29 Lih. Gal 2:5. 30 Lih. 1Ptr 2:12. 31 Bdk. Upacara Tahbisan Imam di Gereja Iskandaria umat Yakobit: “… Kumpulkanlah umatmu untuk sabda pengajaran, seperti inang yang mengasuh anak-anaknya” (H. DENZINGER, Ritus Orientalium II, Wurzburg 1863 hlm. 14).

Demikianlah pewartaan sabda dilaksanakan dengan aneka cara, menanggapi pelbagai kebutuhan para pendengar dan menurut karisma para pewarta. Di daerah-daerah atau dalam kelompok-kelompok bukan kristen hendaknya orang-orang dengan pewartaan Injil diantar kepada iman dan Sakramen-Sakramen keselamatan[32]. Sedangkan dalam jemaat kristen sendiri, terutama bagi mereka yang agaknya kurang mengimani apa yang sering mereka terima, diperlukan pewartaan sabda untuk pelayanan Sakramen-Sakramen, sebab itu merupakan Sakramen-Sakramen iman, yang timbul dari sabda dan dipupuk dengannya[33]. Terutama bila berlaku Liturgi Sabda dalam perayaan Ekaristi, sebab disitu berpadulah secara tak terpisah pewartaan wafat dan kebangkitan Tuhan, jawaban umat yang mendengarkannya, dan persembahan sendiri, saat Kristus mengukuhkan Perjanjian Baru dalam Darah-Nya, serta keikut-sertaan umat beriman dalam persembahan itu, melalui kerinduan mereka dan penerimaan Sakramen[34]. 5. (Para imam, pelayan Sakramen-sakramen dan Ekaristi) Allah, satu-satunya yang Kudus dan menguduskan, berkenan mengikut-sertakan manusia sebagai rekan serta pembantu-Nya, untuk dengan rendah hati melayani karya pengudusan. Maka para imam, dengan pelayanan Uskup, ditakdiskan oleh Allah, supaya mereka secara istimewa ikut menghayati Imamat Kristus, dan dalam merayakan Ekaristi bertindak sebagai pelayan Dia, yang dalam Liturgi tiada hentinya melaksanakan tugas Imamat-Nya melalui Roh-Nya demi keselamatan kita[35]. Dengan Baptis para imam mengantar orang-orang masuk menjadi anggota umat Allah. Dengan Sakramen Tobat mereka mendamaikan para pendosa dengan Allah dan dengan Gereja. Dengan Minyak orang sakit mereka meringankan para penderita penyakit. Terutama dengan merayakan Misa mereka mempersembahkan Korban Kristus secara sakramental. Dalam melaksanakan semua Sakramen, - seperti pada zaman Gereja purba telah dicanangkan oleh S. Ignatius Martir[36], - para imam dengan pelbagai cara tergabunglah secara hirarkis dengan Uskup, dan dengan demikian menghadirkannya secara tertentu dalam masingmasing jemaat umat beriman[37]. Sakramen-sakramen lainnya, begitu pula semua pelayanan gerejawi serta karya kerasulan, berhubungan erat dengan Ekaristi suci dan terarahkan kepadanya[38]. Sebab dalam Ekaristi suci tercakuplah seluruh kekayaan rohani Gereja[39], yakni Kristus sendiri, Paska kita dan Roti hidup, yang karena Daging-Nya yang dihidupkan oleh Roh Kudus dan menjadi sumber kehidupan mengurniakan kehidupan kepada manusia. Begitulah manusia diundang dan diantar untuk mempersembahkan diri, jerih-payahnya dan segenap ciptaan bersama dengan-Nya. Oleh karena Injil, sementara pada ktekumin langkah demi langkah diantar untuk menyambut Ekaristi, dan umat beriman, yang sudah ditandai dengan Baptis suci dan Penguatan, melalui penyambutan sepenuhnya disaturagakan dalam Tubuh Kristus.

32

Lih. Mat 28:19; Mrk 16:16. – TERTULIANUS, De babtismo (tentang baptis), 14,2 (Corpus Christionarum, seri latin I, hlm. 289, 11-13). – S. ATANASIUS, Adv. Arianos (melawan kaum Arian), 2, 42 (PG 26,237). – S. HIERONIMUS, Komentar pada Mat 28:19 (PL 26,218 BC): “Pertama-tama mereka mengajar semua bangsa, kemudia membaptis mereka yang menerima ajaran itu. Sebab tidak mungkin badan menerima Sakramen Baptis, kalau jiwa tidak sebelumnya menerima kebenaran iman”. – S. TOMAS, Expositio primae Decetalis, par. 1: “Ketika Penyelamat kita mengutus para murid untuk mewartakan Injil, Ia memerintahkan tiga hal kepada mereka. Pertama supaya mereka mengajarkan iman; kedua supaya mereka terimakan Sakramen-Sakramen kepada barang siapa beriman” (ed. Marietti, Opuscula Theologica, Taurani, Roma 1954, 1138). 33 Lih. KONSIL VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 35,2. 34 Lih. KONSIL VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 33, 35, 48, 52. 35 Lih. KONSIL VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 7. – PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis, tgl. 29 Juni 1943: AAS 35 (1943) hlm. 230. 36 S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Smirna, 8,1-2 (FUNK, hlm. 282, 6-15). – Constitutiones Apostolorum (Ketetapan-ketetapan para Rasul), VIII,12,3 (FUNK, hlm. 496); VIII,29,2 (hlm. 532). 37 Lih. KONSIL VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, art. 28. 38 “Ekaristi bagaikan pemenuhan hidup rohani, dan tujuan semua Sakramen” (S. TOMAS, Summa Theol. III, soal 73, art. 3 c); bdk. III, soal 6 art. 3. 39 Lih. S. TOMAS, Summa Theol. III, soal 65 art. 3, ad 1; soal 79, art.1, c, dan ad 1.

Jadi perjamuan Ekaristi merupakan pusat jemaat beriman, yang dipimpin oleh imam. Maka para imam mengajar umat untuk dalam Korban Ekaristi mempersembahkan Korban ilahi kepada Allah Bapa, dan bersama dengan-Nya mengorbankan hidup mereka sendiri. Dengan semangat Sang Gembala para imam mengajar mereka untuk dengan hati remuk-redam, dalam Sakramen Tobat, menghadapakan dosa-dosa mereka kepada Gereja, sehingga dari hari ke hari mereka semakin berbalik kepada Tuhan, sambil mengingat amanat-Nya: “Bertobatlah, sebab sudah dekatlah Kerajaan Sorga” (Mat 4:17(. Para imam mengajar umat untuk berperanserta dalam perayaan Liturgi suci sedemikian rupa, sehingga di situ pun umat mencapai doa yang tulus. Para imam menutun mereka, untuk seumur hidup menghayati semangat doa secara makin sempurna, sesuai dengan rahmat serta kebutuhan mereka masing-masing, lagi pula mengajak semua untuk melaksanakan tugas-kewajiban status hidup mereka, serta mengundang mereka yang sudah lebih maju, untuk menghayati nasehat-nasehat Injil, masing-masing menurut caranya sendiri. Selanjutnya para imam mengajar umat beriman, untuk sepenuh hati bernyanyi bagi Tuhan dengan kidung-kidung serta lagu-lagu rohani, sambil senantiasa mengucapkan syukur kepada Allah Bapa atas segala sesuatu demi nama Tuhan kita Yesus Kristus[40]. Para imam sendiri meluas-ratakan puji-pujian serta ucapan syukur yang mereka lambungkan dalam perayaan Ekaristi dengan mendoakan Ibadat Harian pada jam-jam tertentu. Dengan ibadat itu mereka memanjatkan doa-doa kepada Allah atas nama Gereja, bagi segenap jemaat yang dipercayakan kepada mereka, bahkan bagi seluruh dunia. Rumah ibadat, tempat Ekaristi suci di rayakan dan di semayamkan, umat beriman berkumpul, serta kehadiran Putera Allah Penyelamat kita, yang dikorbankan di atas altar bagi kita, dihormati dengan sembah-sujud demi bantuan serta penghiburan umat beriman, harus rapi teratur dan sungguh cocok untuk upacar-upacara ibadat[41]. Disitu para Gembala dan umat beriman diundang, untuk dengan hati penuh syukur menanggapi anugerah Dia, yang melalui kemanusiaan-Nya tiada hentinya mencurahkan kehidupan ilahi ke dalam anggota-anggota Tubuh-Nya[42]. Hendaknya para imam berusaha mengembangkan dengan tepat pengetahuan dan kesenian Liturgi, supaya berkat pelayanan liturgis mereka, oleh jemaat-jemaat kristiani yang dipercayakan kepada mereka, dipersembahkan pujian yang semakin sempurna kepada Allah, Bapa dan Putera dan Roh Kudus. 6. (para imam, pemimpin umat Allah) Sementara para imam, sesuai dengan tingkat partisipasi mereka dalam kewibawaan, menunaikan tugas Kristus sebagai Kepala dan Gembala, mereka atas nama uskup menghimpun keluarga Allah sebagai rukun persaudaraan yang sehati sejiwa, dan melalui Kristus mengantarnya dalam Roh menghadap Allah Bapa[43]. Untuk menjalankan pelayanan itu, seperti juga untuk tugas-tugas imam lainnya, dikurniakan kuasa rohani, yang diberikan untuk membangun umat[44]. Seturut teladan Tuhan, dalam membangun Gereja para imam harus bergaul dengan semua orang penuh perikemanusiaan. Janganlah mereka bertindak terhadap mereka mengikuti selera orang-orang[45], melainkan menurut tuntutan-tuntutan ajarn dan hidup kristen, dengan mengajar serta memperingatkan

40

Lih. Ef 5:19-20. Lih. S. HIERONIMUS, Surat, 114,2: “… piala-piala suci, dan kain-kain suci, dan semua lainnya yang digunakan untuk mengenangkan sengsara Tuhan … karena bersentuhan dengan Tubuh dan Darah Tuhan, harus dihormati dengan penghormatan yang sama seperti Tubuh dan Drah-Nya” (PL 22,934). – Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 122-127. 42 “Selain itu hendaknya umat beriman jangan lupa pada waktu siang hari mengunjungi Sakramen Mahakudus, yang menurut peraturan-peraturan Liturgi harus di semayamkan di gereja-gereja, di temapt yang paling layak dan sehormat mungkin. Sebab kunjungan itu merupakan bukti hati yang penuh syukur, tanda cinta kasih, dan kewajiban sembah-sujud yang seharusnya terhadap Kristus Tuhan, yang hadir di situ” (PAULUS VI, Ensiklik Mysterium Fidei, tgl. 3 September 1965: AAS 57 (1965) hlm. 771. 43 Lih. KONSIL VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, art. 28. 44 Lih. 2Kor 10:8; 13:10. 45 Lih. Gal 1:10. 41

mereka juga sebagai peutera-puteri yang terkasih[46], menurut pesan Rasul: Siap-sedialah, entah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegurlah dan nasehatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran” (2Tim 4:2)[47]. Maka termasuk tugas para imam sebagai pembina imanlah, mengusahakan entah secara langsung atau melalui orang-orang lain, supaya mereka yang beriman masingmasing dibimbing dalam Roh Kudus untuk menghayati panggilannya sendiri menurut Injil, untuk secara aktif mengamalkan cinta kasih yang jujur, dan untuk hidup dalam kebebasan yang dikurniakan oleh Kristus kepada kita[48]. Hanya sedikit sajalah manfaat upacara-upacara betapa pun indahnya, atau himpunan-himpunan betapa pun suburnya bila itu semua tidak diarahkan untuk membina orang-orang menuju kedewasaan kristiani [49]. Untuk memupuk kedewasaan itu mereka dibantu oleh para imam, supaya dalam peristiwa-peristiwa besar maupun kecil mampu menangkap apakah yang dituntut oleh situasi, dimanakah letak kehendak Allah. Hendaknya umat kristen dibina juga, supaya jangan hanya hidup untuk diri sendiri, melainkan – menanggapi tuntutan perintah baru tentang cinta kasih – supaya mereka saling berbagi rahmat, sesuai dengan kasih kurnia yang diterima oleh masing-masing[50], dan dengan demikian semua melaksanakan tugas-tugas mereka secara kristiani dalam masyarakat. Sungguh pun para imam mempunyai kewajiban terhadap semua orang, hendaknya mereka secara istimewa bertanggung jawab atas kaum miskin dan lemah. Sebab Tuhan sendiri menunjukkan, betapa Ia menyatu dengan mereka[51], dan pewartaan Injil kepada mereka merupakan tanda karya Almasih[52]. Hendaknya secara khas pula mereka perhatikan generasi muda, begitu juga para suami-isteri dan orangtua; dihimbau agar mereka berkumpul dalam rukun-rukun persaudaraan, untuk saling membantu, supaya dalam hidup yang sering penuh kesukaran mereka lebih mudah lebih penuh bertindak secara kristiani. Hendaknya para imam menyadari, bahwa semua religius pria maupun wanita merupakan bagian yang istimewa di rumah Tuhan, dan karena itu layak mendapat pelayanan yang khas demi kemajuan rohani mereka, demi kesejahteraan seluruh Gereja. Akhirnya hendaknya mereka penuh keprihatinan terhadap mereka yang sakit dan menjelang ajalnya, mengunjungi mereka, dan meneguhkan mereka dalam Tuhan[53]. Tugas Gembala tidak terbatas pada reksa pastoral terhadap kaum beriman secara perorangan, melainkan sudah sewajarnya diperluas pula untuk membina jemaat kristen yang sejati. Adapun untuk sebagaimana mestinya memupuk semangat menjemaat, semangat itu jangan hanya mencakup Gereja setempat, melainkan harus pula ,eliputi Gereja semesta. Jemaat setempat hanya mengembangkan reksa pastoral umat berimannya sendiri, melainkan digerakkan oleh semangat misioner wajib pula merintis jalan menuju Kristus bagi semua orang. Tetapi jemaat hendaknya secara khas merasa bertanggung jawab atas para katekumen dan baptisan baru, yang langkah demi langkah harus dibina untuk makin mengenal dan menghayati hidup kristen. Tiada jemaat kristen dibangun tanpa berakar dan berporos pada perayaan Eakaristi suci. Maka disitulah harus dimulai segala pembinaan semangat menjemaat[54]. Supaya 46

Lih. 1Kor 4:14. Lih. Didascalia, II,34,3; II,46,6; II,47,1; Constitutiones Apostolorum, II,47,1: FUNK, Didascalia et Constitutiones, I, 116, 142 dan 143. 48 Lih. Gal 4:3; 5:1 dan 13. 49 Lih. S. HIERONIMUS, Surat 58,7: “Apakah gunanya dinding gemerlapan dengan butir-butir mutiara, kalau Kritus mati dalam diri orang miskin?” (PL 22,584). 50 Lih. 1Ptr 4:10 dan selanjutnya. 51 Lih. Mat 25:34-45. 52 Lih. Luk 4:18. 53 Dapat pula di sebutkan kelompok-kelompok lain, misalnya para emigran, kaum nomad, dan sebagainya. Tentang mereka itu lihat Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam Gereja, art. 18. 54 Lih. Didascalia II,59, 1-3: “Bila mengajar, perintahkan dan anjurkanlah, supaya umat sering kali menghadiri pertemuan, dan jangan pernah membolos; tetapi umat harus setiap kali berkumpul dan tidak boleh membatasi pertemuan, dengan meloloskan diri, dan mengurangi anggota Tubuh Kristus … Jadi, karena kalian itu anggota-anggota Kristus, janganlah menceraikan diri dri pertemuan, dengan tidak ikut berkumpul. Sebab kalian mempunyai Kristus sebagai Kepala, dan 47

perayaan itu sungguh tulus dan mencapai kepenuhannya, harus mendorong umat ke arah pelbagai karya cinta kasih, usaha saling membantu, kebiatan misioner, dan aneka bentuk kesaksian kristiani. Selain itu, melalui cinta kasih, doa, teladan dan ulah pertobatan, jemaat gerejawi menunjukkan keibuannya yang sejati dengan mengantar jiwa-jiwa kepada Kristus. Sebab jemaat merupakan upaya yang efektif, untuk memperlihatkan kepada mereka yang belum beriman atau merintiskan bagi mereka jalan menuju Kristus serta Gereja-Nya, dan untuk membangkitan semangat kaum beriman, memelihara kehidupan mereka, dan meneguhkan mereka bagi perjuangan rohani. Dalam membangun jemaat kristen para imam tidak pernah bekerja demi suatu ideologi atau bagi suatu partai; melainkan mereka berkarya sebagai pewarta Injil dan gembala Gereja, untuk mendukung pertumbuhan rohani Tubuh Kristus.

II. HUBUNGAN PARA IMAM DENGAN SESAMA 7. (Hubungan para Uskup dan para imam) Semua imam bersama para Uskup berperanserta menghayati satu imamat dan satu pelayanan Kristus sedemikian rupa, sehingga kesatuan pentakdisan dan perutusan itu sendiri menuntut persekutuan hirarkis mereka dengan Dewan para Uskup[55]. Persekutuan itu kadang-kadang dengan jelas sekali mereka tampilkan dalam konselebrasi Liturgi; di situ sekaligus mereka ungkapkan, bahwa mereka merayakan Perjamuan Ekaristi dalam persatuan dengan para Uskup[56]. Maka para Uskup, berdasarkan kurnia Roh Kudus yang dalam Tahbisan suci dianugerhakan kepada para imam, memandang mereka sebagai pembangtu dan penasehat yang sungguh dibutuhkan dalam pelayanan dan tugas mengajar, menguduskan dan menggembalakan umat Allah[57]. Sudah sejak zaman kuno itu di makulmkan oleh dokumen-dokumen liturgi Gereja, yakni bila secara resmi Allah dimohon untuk mencurahkan atas diri imam yang ditahbiskan “roh rahmat dan nasehat, supaya ia membantu dan membimbing umat dengan hati yang bersih”[58], seperti dulu di padang gurun roh Musa telah disalurkan ke dalam hati tujuh puluh pria yang bijaksana[59], “yang dipekerjakan oleh Musa sebagai pembantunya, sehingga ia dengan mudah memimpin umat yang tak terbilang jumlahnya”[60]. Maka karena persekutuan dalam satu imamat dan satu pelayanan itu, menepati janji-Nya, Ia hadir dan bergaul dengan kalian. Maka janganlah kalian melalaikan diri atau menjauhkan Sang Penyelamat dari anggota-anggota-Nya, atau memecah-belah atau mencerai-beraikan Tubuh-Nya …”: FUNK I, 170. – PAULUS VI, Amanat kepada para Klerus Italia, yang menghadiri Sidang Sepekan XIII di Orvieto tentang “pembaharuan pastoral”. Tgl. 6 September 1963 AAS 55 (1963) hlm. 750 dan selanjutnya. 55 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, art. 28. 56 Lihat apa yang disebut Constitutio Ecclesiatica Apostolorum (Ketetapan gerejawi para Rasul), XVIII: para imam itu sama-sama dilibatkan dalam misteri (symmystai) dan dalam perjuangan (synepimachoi) dengan para Uskup (TH. SCHERMANN, Die allgemeine kirchenordnung, I, Paderborn 1914, hlm. 26; A. HARNACK, T. u. U., II,4, hlm. 13, no. 18 dan 19). – PSEUDO-HIERONIMUS, De septem Ordinibus Ecclesiae tentang tujuh tingkat tahbisan Gereja): “… dalam pemberkatan (para imam) bersama para Uskup itu menghayati misteri-misteri” (A. W. KALFF, Wurzburg 1937, hlm. 45). – S. ISIDORUS dari Sevilla, De Ecclesiasticis Officiis (tentang jabatan-jabatan gerejawi), bab VII: “Sebab (para imam) memimpin Gereja Kristus dan dalam konsekrasi Tubuh dan Darah bertindak bersama para Uskup, begitu pula dalam mengajar para bangsa dan dalam tugas pewartaan” (PL 83,787). 57 Lih. Didascalia, II, 28,4: FUNK, 108. – Constitutiones Apostolorum, II,28,4; II,34,3: ibidem, hlm. 109 dan 117. 58 Const.Apost., VIII,16,4 (FUNK I, 522, 13). – Bdk. Epitome Const. Apost. (ikhtisar Ketetapan-ketetapan para Rasul), VI, (FUNK II, hlm. 80,3-4). – Testamentum Domini (Pusaka Tuhan): “… berilah ia Roh rahmat, nasehat dan kebesaran jiwa, semangat imam … untuk ikut membantu dan membimbing umat-Mu dalam karya, dalam rasa takut kepada Allah, dalam hati yang bersih” (terj. I. E. RAHMANI, Mainz 1899, hlm. 69). – Begitu pula dalam Trad. Apost. (B. BOTTE, La Tradition Apostolique, Munster i.W. 1963, hlm. 20). 59 Lih. Bil 11:16-25. 60 “Pontificale Romanum” De Ordinatione Presbyteri (tentang tahbisan imam), prefasi. Rumus itu sudah Sacramentarium Leonianum, Sacramentarium Gelasianum dan Sacramentarium Gregorianum. Rumus yang serupa terdapat dalam LiturgiLiturgi Timur; bdk. Trad. Apost.: “… pandanglah hamba-Mu ini, dan kurniailah ia roh rahmat dan nasehat, untuk

hendaknya para Uskup memandang para imam sebagai saudara dan sahabat mereka[61], serta sedapat mungkin memperhatikan kesejahteraan mereka baik jasmani maupun terutama rohani. Sebab terutama merekalah yang menanggung beban tanggung jawab yang cukup berat atas kesucian para imam mereka[62]. Maka hendaknya mereka usahakan sedapat mungkin pembinaan terus-menerus para imam[63]. Hendaknya para Uskup dengan senang hati mendengarkan para imam, bahkan meminta nasehat mereka, dan merundingkan dengan mereka hal-hal, yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan karya pastoral dan kesejahteraan keuskupan. Agar supaya itu sungguh dilaksanakan, hendaknya dengan cara yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan-kebutuhan zaman sekarang[64], menutut bentuk dan norma-norma yang ditetapkan oleh hukum, dibentuk dewan atau senat para imam[65], yang mewakili semua imam, untuk dengan nasehatnasehatnya membantu Uskup secara efektif dalam memimpin keuskupannya. Adapun para imam hendaknya memandang kepenuhan Sakramen Imamat yang ada pada para Uskup, dan dalam diri mereka menghormati kewibawaan Kristus Gembala Tertinggi. Hendaknya mereka berpaut pada Uskup mereka dengan cinta kasih yang tulus dan sikap patuh-taat[66]. Kepatuhan para imam itu, yang diresapi semangat kerja sama, berdasarkan partisipasi mereka dalam pelayanan Uskup, yang diberikan kepada para imam melalui Sakramen Tahbisan dan perutusan kanonik[67]. Zaman kita sekarang persatuan para imam dengan para Uskup semakin dibutuhkan. Sebab sekarang ini, karena pelbagai faktor, usaha-usaha kerasulan tidak hanya perlu mengenakan bermacam-macam bentuk, tetapi juga melampaui batas-batas satu paroki atau keuskupan. Maka tidak seorang imam pun mampu menunaikan tugas perutusannya secara memadai, bila ia bertindak secara tersendiri dan sebagai perorangan. Imam hanya mampu melaksanakan misinya, bila ia berpadu tenaga dengan para imam lainnya, di bawah bimbingan mereka, yang memimpin Gereja. membantu para imam, dan memimpin umat-Mu dengan hati yang bersih, seperti dulu Engkau telah memandang umat pilhan-Mu, dan memerintahkan Musa untu memilih para penatua, yang Kau penuhi dari Roh-Mu, yang Kau anugerahkan kepada hamba-Mu” (dari terjemahan latin kuno di Verona, edisi B. BOTTE, La Tradition apostolique de S. Hippolyte. Essai de reconstruction, Munster i.W. 1963, hlm. 20. – Const.Apost., VIII,16,4: FUNK I,522,16-17. – Epitome Const.Apost. 6: FUNK II,20,5-7. – Testamentum Domini: terj. I. E. RAHMANI, Mainz 1899, hlm. 69. – Euchologion Serapionis, XXVII: FUNK, Didascalia et Constitutiones, II, hlm. 190, baris 1-7. – Ritus Ordiationis in ritu Maronitarum (upacara tahbisan dalam rite Maronit): trj. H. DENZINGER, Ritus Orientalium, II, Wurzburg 1863, hkm. 161. Diantara para Bapa Gereja dapat di kutip: TEODORETUS MOPS., komentar pada 1Tim 3:8: SWETE, II, 119-121. – TEODOROTUS, Quaest. In Numeros (soal-soal tentang kitab Bilangan), XVIII: PG 80,372b. 61 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, art. 28. 62 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii Nostri primordia, tgl. 1 Agustus 1959: AAS 51 (1959) hlm. 576. – S. PIUS X, Anjuran kepada klerus Haerent animo, tgl. 4 Agustus 1908: S.PII X Acta, jilid iv (1908) hlm. 237 dan selanjutnya. 63 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Tugas Penggembalaan para Uskup dalam Gereja, art. 15 dan 16. 64 Dlam Kitab Hukum Kanonik (lama) sudah ada Kapitel Katedral (Capitulum Cathedrale), sebagai “senat dan dewan penasehat” (senatus et consilium) Uskup (CIC, kanon 391), atau, kalau tidak ada, Dewan para konsultor keuskupan (bdk. CIC, kanon 423-428). Tetapi dihimbau, supaya lembaga-lembaga semacam itu ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga lebih menanggapi situasi dan kebutuhan-kebutuhan zaman sekarang. Jelas pula, bahwa Dewan para Imam seperti itu berbeda dengan Dewan Pastoral menurut Dekrit tentang Tugas Patoral para Uskup dalam gereja, art. 27. Sebab dalam Dewan pastoral itu juga ada saudara-saudara awam, dan tugas Dewan hanyalah menyelidiki hal-ikhwal yang menyangkut reksa pastoral. Tentang para imam sebagai penasehat para Uskup dapat dibaca juga: “Didascalia”, II,28,4: FUNK I, 108. – Const. Apost, II, 28,4: FUNK I,109. – S. IGNASIUS Martir, Surat kepada jemaat di Magnesia, 6,1: FUNK 234,10-16; kepada jemaat di Tralles, 3,1: FUNK 244,10-12. – ORIGENES, “Melawan Celsus”, 3:30: para imam merupakan penasehat-penasehat atau “bouleutai”: PG 11,957 d – 960 a. 65 S. IGNASIUS Martir, Surat kepada jemaat di Magnesia 6,1: “Kuanjurkan, supaya kalian berusaha menjalankan segalanya dalam kerukunan Allah, dibawah Uskup yang memimpin sebagai wakil Allah serta para imam sebagai ganti dewan rasuli, dan para diakon yang amat ku kasihi dan dipercayai pelayanan Yesus Kristus, yang sebelum segala abad berada di hadirat Bapa, dan pada zaman akhir telah menampakkan Diri” (FUNK 234, 10-13). – S. IGNASIUS Martir, Surat kepada jemaat di tralles 3,1: “Begitu pula hendaknya semua menghormati para diakon sebagai Yesus kristus, seperti juga Uskup yang menjadi citra Bapa, serta para imam sebagai senat Allah dan dewan para Rasul. Tanpa mereka orang tak dapat berbicara tentang Gereja” (FUNK, hlm. 244, 10-12). – S. HIERONIMUS, komentar pada Yesaya, II,3 (PL 24,61A): “Kita pun mempunyai dalam gereja dewan kita, yakni kelompok para imam”. 66 Lih. PULUS VI, Amanat kepada para imam dan para pengkotbah untuk masa Prapaska di Roma, di kapel “Sixtina”, tgl. 1Maret 1965: AAS 57 (1965) hlm. 326. 67 Lih. Const.Apost., VIII,47,39: “Para imam … hendaknya jangan berbuat sesuatu tanpa persetujuan Uskup. Sebab Uskuplah yang diserahi umat Tuhan, dan daripadanya akan diminta pertanggungjawaban atas jiwa-jiwa umat” (FUNK, 577).

8. (Persatuan persaudaraan dan kerja sama antara para imam) Berkat Tahbisan, yang menempatkan mereka pada Tingkat imamat biasa, semua imam bersatu dalam persaudaraan sakramental yang erat sekali. Khususnya dalam keuskupan, yang mereka layani di bawah uskupnya sendiri, mereka merupakan satu presbiterium. Sebab walaupun para imam menjalankan bermacam-macam tugas, mereka hanya mengamban satu imamat demi pengabdian kepada sesama. Sebab semua imam diutus untuk bekrja sama demi hanya satu karya, entah mereka melayani atau menjalankan pelayanan yang melampaui batas-batas paroki, atau mencurahkan tenaga untuk penelitian ilmiah atau untuk menyalurkan ilmu, atau juga menjalankan pekerjaan tangan sambil ikut mengalami nasib para pekerja, bila atas persetujuan Kuasa gerejawi yang berwenang itu dipandang berguna, atau akhirnya menjalankan karya-karya kerasulan lainnya atau kegiatan-kegiatan yang mendukung kerasulan. Semua imam bekerja sama hanya demi satu tujuan, yakni pembangunan Tubuh Kristus, yang khususnya pada zaman sekarang meliputi bermacam-macam tugas serta meminta penyesuaianpenyesuaian baru. Oleh karena itu pentinglah bahwa semua imam, baik diosesan maupun religius, saling membantu, supaya mereka selalu mengerjakan karya bersama demi kebenaran[68]. Jadi setiap imam berhubungan dengan para anggota presbiterium lainnya karena ikatan-ikatan khas cinta kasih rasuli, pelayanan dan persaudaraan. Sudah sejak kuno itu dilambangkan dalam Liturgi, bila imam-imam yang hadir diundang untuk bersama dengan skup pentahbis menumpangkan tangan atas calon tahbisan, dan bila mereka bersma, sehati sejiwa, mempersembahkan Ekaristi suci. Maka masing-masing imam dipersatukan dengan rekan-rekannya seimamat karena ikatan cinta kasih, doa dan aneka macam kerja sama; dan demikian tampillah kesatuan, yang seturut kehendak Kristus dengan sempurna menghimpun para murid-Nya, supaya dunia mengetahui Putera diutus oleh Bapa[69]. Maka dari itu hendaknya para imam yang sudah lebih lanjut usia sungguh menerima mereka yang lebih muda sebagai saudara, serta memberi bantuan dalam karya-kegiatan dan kesulitan-kesulitan di masa awal pelayanan mereka, begitu pula mencoba memahami cara berfikir mereka meskipun itu berlainan dengan visi mereka sendiri, serta penuh simpati mengikuti kegiatan-kegiatan yang mereka prakarsai. Begitu pula imam-imam muda hendaknya menghormati usia serta pengalaman para imam yang lebih tua, meminta nasehat mereka tentang hal-hal yang menyangkut reksa pastoral, dan dengan senang hati bekerja sama dengan mereka. Hendaknya para imam, dijiwai semangat persaudaraan, jangan melalaikan keramahan menjamu[70], memupuk kemurahan hati dan berbagi harta-milik mereka[71], pun terutama menunjukkan sikap prihatin terhadap mereka yang sakit, tertimpa kesedihan, tertekan oleh beban kerja yang terlampau berat, merasa kesepian, merantau jauh dari tanah air, dan mengalami penganiayaan[72]. Hendaknya mereka dengan senang hati dan gembira berkumpul juga untuk menyegarkan jiwa, seraya mengenangkan sabda undangan Tuhan sendiri kepada Rasul yang sudah lelah: “Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah sejenak!” (Mrk 6:31). Kecuali itu, supaya para imam dapat saling membantu mengembangkan hidup rohani dan intelektual, supaya mereka mampu bekerja sama semakin baik dalam pelayanan, serta terhindarkan dari bahaya-bahaya kesepian yang barangkali muncul, hendaknya dikembangkan kehidupan bersama atau rukun hidup antara mereka. Kebersamaan hidup itu dapat mempunyai berbagai bentuk, menurut beranekanya kebutuhan-kebutuhan pribadi maupun pastoral; misalnya: bersama-sama tinggal serumah bila itu mungkin, atau makan bersama, atau setidaktidaknya seringkali atau secara berkala mengadakan pertemuan. Hendaknya sungguh 68

Lih. 3Yoh 8. Lih. Yoh 17:23. 70 Lih. Ibr 13:1-2. 71 Lih. Ibr 13:16. 72 Lih. Mat 5:10. 69

dihargai dan dikembangkan dengan tekun pula perserikatan-perserikatan, dikukuhkan dengan anggaran dasar atas persetujuan Kuasa gerejawi yang berwenang, dengan maksud mendorong para imam menuju kesucian melalui praktek pelayanan mereka, dan dengan demikian melayani seluruh jajaran para imam, melalui tata hidup yang sesuai dan disetujui bersama maupun bantuan timbal balik secara persaudaraan. Akhirnya, berdasarkan persekutuan dalam imamat, hendaknya para imam menyadari, bahwa mereka mempunyai kewajiban-kewajiban istimewa terhadap mereka yang sedang mengalami kesukaran-kesukaran. Hendaknya mereka itu di tolong pada waktunya, bila perlu juga melalui peringatan yang bijaksana. Mereka yang jatuh dalam kesalahankesalahan tertentu hendaknya selalu ditampung dengan cinta kasih persaudaraan dan kebesaran jiwa. Para imam hendaknya secara intensif memanjatkan doa kepada Allah bagi mereka itu, serta selalu menghadapi mereka sebagai saudara dan sahabat. 9. (Hubungan para imam dengan kaum awam) Karena Sakramen Tahbisa para imam Perjanjian Baru menunaikan tugas sebagai bapa dan guru, yang amat luhur dan penting sekali dalam dan bagi umat Allah. Akan tetapi bersama sekalian orang beriman mereka sekaligus menjadi murid-murid Tuhan, yang berkat rahmat panggilan Allah diikutsertakan dalam kerajaan-Nya[73]. Sebab bersama siapa saja yang telah lahir kembali karena Baptis, para imam menjadi sesama saudar[74], sebagai anggota satu Tubuh Kristus yang sama, yang pembangunannya diserahkan kepada semua anggota[75]. Oleh karena itu para imam harus memimpin umat sedemikian rupa, sehingga mereka tidak mencari kepentingan sendiri, melainkan kepentingan Yesus Kristus[76], bekerja sama dengan umat beriman awam, dan ditengah mereka membawakan diri menurut teladan Sang Guru, yang diantara sesama “tidak datang untuk dilayani, melainkan untuk melayani, dan menyerahkan nyawa-Nya demi penebusan banyak orang” (Mat 20:28). Hendaknya para imam dengan tulus mengakui dan mendukung martabat kaum awam beserta bagian perutusan Gereja yang diperuntukkan bagi mereka. Hendaknya para imam sungguh-sungguh menghormati pula kebebasan sewajarnya, yang menjadi hak semua orang di dunia ini. Hendakanya mereka dengan senang hati mendengarkan kaum awam, secara persaudaraan mempertimbangkan keinginan-keinginan mereka, dan mengakui nilai pengalaman maupun kecakapan mereka di pelbagai bidang kegiatan manusia, supaya mereka mampu mengenali tanda-tanda zaman. Sementara menguji rohroh apakah memang berasal dari Allah[77], hendaknya imam-imam dalam cita-rasa iman menemukan sekian banyak karisma kaum awam, yang bersifat lebih sederhana maupun yang lebih tinggi, mengakuinya dengan gembira, serta dengan seksama mendukung pengembangannya. Diantara anugerah-anugerah Allah alinnya, yang terdapat melimpah dikalangan umat beriman, layak dipelihara secara khas kurnia-kurnia, yang menyebabkan tidak sedikit diantara mereka merasa tertarik ke arah hidup rohani yang lebih mendalam. Begitu pula hendaknya para imam penuh kepercayaan menyerahkan kepada kaum awam tugas-tugas pengabdian kepada Gereja, sambil memberi mereka kebebasan serta ruang gerak, bahkan mengundang mereka juga, untuk atas kerelaan sendiri memanfaatkan peluang yang baik dengan memulai kegiatan-kegiatan[78]. Selanjutnya para imam ditempatkan di tengah kaum awam, untuk mengantarkan semua kepada kesatuan cinta kasih, “sambil saling mengasihi sebagai saudara, dan saling mendahului dalam memberi hormat” (Rom 12:10). Jadi termasuk tugas merekalah 73

Lih. 1Tes 2:12; Kol 1:13. Lih. Mat 23:8. – “Perlulah, supaya karena kami ingin menjadi gembala, bapa dan guru bagi semua orang, kami justru bertindak selaku saudara mereka” (PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 58 (1964) hlm. 657). 75 Lih. Ef 4:7 dan 16. – Const.Apost. VIII,1,20: “Bahkan Uskup pun janganlah meninggikan diri terhadap para diakon atau imam-imam, atau para imam terhadap umat; sebab tata susunan jemaat mencakup keduanya” (FUNK I, 467). 76 Lih. Flp 2:21. 77 Lih. 1Yoh 4:1. 78 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, art. 37. 74

memperpadukan berbagai mentalitas sedemikian rupa, sehingga dalam jemaat beriman tidak seoarng pun merasa diri terasing. Para imam menjadi pembela kesejahteraan umum, yang atas nama Uskup harus mereka usahakan, pun serta merta pendukung kebenaran yang gigih, supaya umat beriman jangan diombang-ambingkan oleh bermacam-macam angin pengajar[79]. Kepada keprihatinan mereka yang istimewa dipercayakan pula mereka, yang telah meninggalkan penerimaan Sakramen-sakramen, bahkan barangkali iman mereka juga. Hendaknya selaku gembala yang baik para imam jangan lupa mengunjungi mereka. Seraya mengindahkan peraturan-peraturan tentang [80] ekumenisme , hendaknya para imam jangan melupakan saudara-saudari, yang belum berada dalam persekutuan gerejawi sepenuhnya dengan kita. Akhirnya, hendaknya para imam menyadari tanggung jawab mereka pula atas mereka semua, yang tidak mengenal Kristus sebagai Penyelamat mereka. Adapun umat beriman hendaknya menyadari, bahwa mereka mempunyai kewajibankewajiban terhadap para imam mereka, dan karena itu penuh kasih menghadapi mereka sebagai gembala-gembala serta bapa-bapanya. Begitu pula, sementara ikut merasakan keprihatinan para imam, hendaknya umat sedapat mungkin membantu mereka dengan doa maupun kegiatan, supay mereka mampu mengatasi kesukaran-kesukaran mereka dengan lebih lancar, dan lebih berhasi juga dalam menjalankan tugas-tugas mereka[81].

III. PENYEBARAN PARA IMAM DAN PANGGILAN-PANGGILAN IMAM 10. (Penyebaran para imam) Kurnia rohani, yang oleh para imam telah diterima pada pentahbisan mereka, tidak menyiapkan mereka untuk suatu perutusan yang terbatas dan dipersempit, melainkan untuk misi keselamatan yang luas sekali dan universal “sampai ke ujung bumi” (Kis 1:8). Sebab pelayanan imam manapun juga ikut memiliki jangkauan luas dan universal perutusan, yang oleh Kristus dipercayakan kepada para Rasul. Sebab Imamat Kristus, yang sungguh-sungguh ikut dihayati oleh para imam, tidak dapat lain kecuali ditujukan kepada semua bangsa di segala xzaman, dan tak mungkin dipersempit oleh batas-batas suku, bangsa atau kurun waktu, seperti secara gaib dipralambangkan dalam pribadi Melkisedekh[82]. Maka hendaknya para imam menyadari, bahwa mereka wajib mengindahkan keprihatinan semua jemaat. Oleh karena itu para imam keuskupankeuskupan, yang lebih kaya panggilan, hendaknya dengan sukarela menyediakan diri, seijin atau atas anjuran Ordinaris mereka, untuk melaksanakan pelayanan mereka di kawasan-kawasan, daerah-daerah misi, atau dalam karya-karya, yang serba kekurangan imam. Selain itu hendaknya norma-norma tentang inkardinasi dan ekskardinasi ditinjau kembali sedemikan rupa, sehingga unsur kelembagaan yang sudah kuno itu, kendati tetap lestari, toh lebih kena menanggapi kebutuhan-kebutuhan pastoral zaman sekarang. Tetapi di mana pun kondisi kerasulan membutuhkannya, hendaknya dipermudah saja bukan hanya penyebaran para imam untuk sungguh menanggapi situasi, melainkan juga karya-karya pastoral yang khas untuk bermacam-macam kelompok sosial, yang perlu dilaksanakan di kawasan atau negara tertentu, atau di daerah manapun juga. Dapat berguna pula mendirikan beberapa seminari internasional, diosis-diosis atau prelaturaprelatura personal yang khusus, atau lembaga-lembaga semacam itu. Dengan cara-cara yang perlu ditetapkan bagi masing-masing usaha, dan tanpa pernah mengurangi hak-hak

79

Lih. Ef 4:14. Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Ekumenisme. 81 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, art. 37. 82 Lih. Ibr 7:3. 80

para ordinaris setempat, imam-imam dapat bergabung atau diinkardinasi pada lembagalembaga itu demi kesejahteraan Gereja semesta. Akan tetapi, ke daerah baru, terutama bila bahasa maupun adat istiadatnya belum dikenal dengan baik, hendaknya para imam sedapat mungkin dapat di utus seorang demi seorang, melainkan seturut teladan para murid Kristus[83], sekurang-kurangnya berdua atau bertiga, supaya dengan demikian mereka saling membantu. Begitu pula cukup pentinglah bahwa hidup rohani mereka sungguh-sungguh dipelihara, pun juga kesehatan jiwa raga mereka. Selain itu, sejauh mungkin hendaknya bagi mereka masing-masing. Penting sekali jugalah, bahwa mereka yang melawat ke bangsa yang baru, berusaha mengenal dengan baik bukan saja bahasa daerah itu, melainkan juga sifat perangai psikologis maupun sosial yang khas bagi bangsa itu. Kalau memang mereka bermaksud melayaninya dengan kerendahan hati, mereka harus dapat berkomunikasi sesempurna mungkin dengannya, menganut teladan rasul Paulus yang menyatakan tentang dirinya: “Sungguh pun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba bagi semua orang, supaya aku boleh memperoleh mereka sebanyak mungkin. Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memperoleh orangorang Yahudi …” (1Kor 9:19-20). 11. (Usaha para imam untuk mendapat penggilan-panggilan imam) Sang Gembala dan Pemelihara jiwa-jiwa[84] sedemikian rupa mendirikan Gereja-Nya, sehingga umat yang telah di pilih dan diperoleh-Nya dengan Darah-Nya[85] senantiasa dan hingga akhir zaman harus memiliki imam-imamnya, supaya jangan pernahlah umat kristen bagaikan domba tanpa gembala[86]. Memahami kehendak Kristus itu, para Rasul, atas dorongan Roh Kudus, emamndang sebagai kewajiban mereka memilih pelayanpelayan, “yang akan cakap juga untuk mengajar orang-orang lain” (2Tim 2:2). Kewajiban itu pasti termasuk perutusan imamat juga. Karena misi itu lah pula imam ikut serta merasakan keprihatinan Gereja semesta, supaya jangan pernah umat Allah di dunia kekurangan pekerja-pekerja. Akan tetapi, karena “pengemudi kapal dan para penumpangnya … mempunyai kepentingan bersama”[87], maka hendaknya segenap umat kristen diajak memahami kewajibannya untuk dengan aneka cara menyumbangkan usahanya, dengan berdoa-terus-menerus, begitu pula melalui upaya-upaya lain yang tersedia bagi mereka[88], supaya Gereja selalu mempunyai imam-imam, yang sungguh diperlukan untuk menjalankan misinya yang ilahi. Pertama-tama hendaknya para imam memperhatikan sepenuhnya, supaya melalui pelayanan sabda maupun kesaksian hidup mereka sendiri, yang jelas menampilkan semangat pengabdian dan kegembiraan Paska yang sejati, mereka mengajak umat beriman menyadari keluhuran serta mutlak perlunya imamat. Dan bila ada pemuda-pemuda atau mereka yang sudah lebih dewasa, yang – menurut penilaian para imam yang cermat-bijaksana – memang cakap untuk pelayanan seagung itu, hendaknya mereka, - tanpa menghemat usaha atau memperhitungkan jerihpayah – membantu para pemuda itu, supaya menyiapkan diri dengan baik, dan kemudian suatu ketika , tanpa mengurangi kebebasan mereka sepenuhnya lahir maupun batin, dapat dipanggil oleh para Uskup. Guna mencapai tujuan itu bermanfaat sekalilah bimbingan rohani yang tekun dan bijaksana. Para orangtua dan guru-guru, serta siapa saja yang dengan suatu cara atai lain berkecimpung dalam pendidikan anak-anak dan kaum muda, hendaknya mendidik mereka sedemikian rupa, sehingga mereka memahami keprihatinan Tuhan terhadap kawanan-Nya, memikirkan kebutuhan-kebutuhan Gereja, dan siap sedia untuk dengan kebesaran jiwa menjawab Tuhan yang memanggil mereka, bersama nabi: “Lihatlah aku, utuslah aku” (Yes 6:8). Akan tetapi jangan sekali-kali 83

Lih. Luk 10:1. Lih. 1Ptr 2:25. 85 Lih. Kis 20:28. 86 Lih. Mat 9:36. 87 Pontificale Romanum, De Ordinatione Presbyteri(tentang pentahbisan imam). 88 Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tanteng Pendidikan Imam, art. 2. 84

diharapkan, seolah-olah sabda panggilan Tuhan itu menyapa hati si calon imam dengan cara yang luar biasa. Sebab sabda itu harus ditangkap serta dipertimbangkan berdasarkan isyarat-isyarat, yang setiap hari memperkenalkan kehendak Allah kepada orang-orang kristen bijaksana. Dan tanda-tanda itu hendaknya dipertimbangkan dengan saksama oleh para imam[89]. Oleh karena itu kepada mereka sangat dianjurkan Karya-karya panggilan, pada tingkat keuskupan maupun pada tingkat nasional[90]. Dalam kotbah-kotbah, dalam katekese, melalui majalah-majalah, perlu diuraikan dengan jelas kebutuhan-kebutuhan Gereja setempat maupun Gereja semesta. Arti maupun keluhuran pelayanan imam hendaknya dipaparkan sejelas-jelasnya. Sebab dalam pelayanan itulah beban-beban yang amat berat berpadu dengan kegembiraan yang meluap; dan dalam pelayanan itu – menurut ajaran Bapa Gereja – terutama dapat diberikan kepada Kristus kesaksian cinta kasih yang sungguh agung[91].

BAB TIGA KEHIDUPAN PARA IMAM

I. PANGGILAN PARA IMAM UNTUK KESEMPURNAAN 12. (Panggilan para imam untuk kesucian) Karena Sakramen Tahbisan para imam dijadikan secitra dengan Kristus Sang Imam, sebagai pelayan Sang Kepala, untuk membentuk dan membangun seluruh Tubuh-Nya, yakni Gereja, sebagai rekan-rekan kerja Tingkat para Uskup.Sudah pada pentakdisan Babtis mereka, seperti semua orang beriman, menerima tanda serta kurnia panggilan dan rahmat seagung itu, sehingga ditengah kelemahan manusiawi pun[92], mereka mampu dan harus menuju kesempurnaan, menurut amanat Tuhan: “Hendaknya kalian menjadi sempurna, seperti Bapamu di sorga adalah sempurna” (Mat 5:48). Para imam wajib mencapai kesempurnaan itu berdasarkan alasan yang khas, yakni: karena dengan menerima Tahbisan mereka secara baru ditakdiskan kepada Allah. Mereka menjadi sarana yang hidup bagi kristus Sang Imam Abadi, untuk dapat melangsungkan di sepanjang masa karya-Nya yang mengagumkan, yang dengan kekuatan adikodrati telah mengembalikan keutuhan segenap umat manusia[93]. Maka karena setiap imam dengan caranya sendiri membawakan pribadi Kristus sendiri, maka ia diperkaya juga dengan rahmat istimewa, agar supaya dengan melayani jemaat yang diserahkan kepadanya serta segenap umat Allah, ia lebih mampu menuju kesempurnaan Dia, yang peranan-Nya 89

“Suara Allah yang memanggil mengungkapkan diri dengan dua cara yang berbeda, mengagumkan dan sehaluan; cara pertama bersifat batiniah melampaui kata-kata, yang berasal dari “suara” Tuhan “tanpa kta-kata” tetapi penuh kekuatan, dan menyapa lubuk hati manusia yang tak terduga; dan kedua: cara lahiriah, manusiawi, indrawi, sosial, yuridis, konkrit, cara pelayan yang ditandai oleh Sabda Allah, cara Rasul, cara hirarki, sarana yang mutlak perlu, diadakan dan dikehendaki oleh kristus, ibarat kendaraan, yang ditugaskan untuk menterjemahkan dalam bahasa pengalaman amanat Sabda dan perintah ilahi. Demikianlah ajaran katolik mengajar bersama S. Paulus: ‘bagaimanakah mereka mendengarkan tanpa ada pewarta … Iman berasal dari pendengaran’ (Rom 10:14 dan 17) (PAULUS VI, Amanat tgl. 5 Mei 1965, diterjemahkan dari L’Osservatore Romano, 6-V-65, hlm. 1). 90 Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Pendidikan Imam, art. 2. 91 Itulah yang diajarkan oleh para Bapa Gereja, bila mereka menjelaskan sabda kristus kepada Petrus: “Benarkah engkau mencintai Aku? … Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yoh21:17). Misalnya: S. YOHANES KRISOSTOMUS, Tentang Imamat, II,1-2: PG 47-48, 644. – S. GREGORIUS AGUNG, Reg. Past. Liber (Kitab Pedoman Pastoral), Bagian I bb 5: PL 77,19a. 92 Lih. 2Kor 12:9. 93 Lih. PIUS XI, Ensiklik Ad catholoci sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935 1935: AAS 28 (1936) hlm. 10.

dihadirkan olehnya, dan supaya kelemahan manusia daging disembuhkan oleh kesucian Dia, yang bagi kita telah menjadi Imam Agung, “kudus, tidak mengenal dosa, tanpa noda, terpisahkan dari kaum pendosa” (Ibr 7:26). Kristus, yang oleh Bapa telah disucikan atau ditakdiskan dan diutus ke dunia[94], “telah menyerahkan Diri bagi kita, untuk menebus kita dari segala kejahatan, dan untuk menguduskan badi Dirinya suatu umat milik-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik” Itit 2:14); demikianlah melalui kesengsaraan-Nya Kristus telah memasuki kemuliaan-Nya[95]. Begitu pula para imam, yang ditakdiskan dengan pengurapan Roh Kudus dan diutus oleh Kristus, mematikan dalam diri mereka perbuatan daging, dan membaktikan diri seutuhnya dalam pengabdian kepada sesama, dan dengan demikian mampu melangkah maju dalam kesucian, yang telah mereka terima dalam Kristus, menuju kedewasaan penuh[96]. Oleh karena itu, sambil menunaikan pelayanan Roh dan keadilan, para imam, asal membiarkan diri dibimbing oleh Roh Kristus yang menghidupkan dan menuntun mereka, makin diteguhkan dalam kehidupan roh. Sebab melalui kegiatan Liturgi setiap hari, begitu pula melalui seluruh pelayanan mereka, yang mereka jalankan dalam persekutuan dengan Uskup maupun rekan-rekan imam, mereka sendiri menuju kesempurnaan hidup.kekudusan para imam besar sekali artinya untuk dengan subur menjalankan pelayanan mereka. Sebab, sungguh pun rahmat Allah juga melalui pelayanpelayan yang tak pantas mampu melaksanakan karya keselamatan, tetapi lazimnya Allah memilih menampilkan karya-karya agung-Nya melalui mereka, yang lebih terbuka bagi dorongan dan bimbingan Roh Kudus, dan karena persatuan mereka yang mesra dengan kristus serta kekudusan perihidup, bersama Rasul dapat menyatakan: “Aku hidup, bukan lagi aku, melainkan Kristuslah yang hidup dalam diriku” (Gal 2:20). Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan-tujuan pastoralnya, yakni pembaharuan Gereja ke dalam, penyebaran Injil ke seluruh dunia, lagi pula dialog dengan dunia zaman sekarang, Konsili ini sungguh-sungguh mengajak semua imam: hendaknya mereka dengan memanfaatkan upaya-upaya yang cocok seperti telah dianjurkan oleh gereja[97], selalu berusaha menuju kekudusan yang semakin luhur, sehingga dari hari ke hari mereka menjadi sarana yang makin sesuai dalam pengabdian kepada segenap umat Allah. 13. (Pelaksanaan ketiga fungsi imamat menuntut dan sekaligus mendukung kesucian) Pada hakekatnya para imam akan mencapai kesucian dan menunaikan tugas-tugas mereka dalam Roh Kristus, secara tulus dan tanpa mengenal lelah. Sebab karena mereka itu pelayan sabda Allah, maka setiap hari mereka membaca dan mendengarkan sabda Allah, yang wajib mereka sampaikan pada sesama. Bila mereka sekaligus berusaha meresapkannya dalam hati, mereka akan menjadi murid-murid Tuhan yang kian sempurna, seturut pesan Rasul paulus kepada Timoteus: “Renungkanlah semuanya itu, hiduplah di dalamnya, supaya kemajuanmu nyata bagi semua orang. Awasilah dirimu sendiri dan ajaranmu; bertekunlah dalam semuanya itu. Sebab dengan bernuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan mereka yang mendengar engkau” (1Tim 4:15-16). Karena seraya mencari bagaimana dapat menyalurkan lebih baik kepada sesama apa yang telah mereka renungkan[98], maka akan secara lebih mendalam menikmati “kekayaan kristus yang tidak terselami” (Ef 3:8) dan pelbagai ragam hikmat

94

Lih. Yoh 10:36. Lih. Luk 24:26. 96 Lih. Ef 4:13. 97 Lih. Antara lain: S. PIUS X, Pesan kepada klerus Haerent animo, tgl. 4 Agustus 1908: S. Pii X Acta, jilid IV (1908) hlm. 237 dan selanjutnya. – PIUS XI, Ensiklik Ad catholici sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935: AAS 28 (1936) hlm. 5 dan selanjutnya. – PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 657 dan selanjutnya. – YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii nostri primordia, tgl. 1 Agustus 1959: AAS 51 (1959) hlm. 545 dan selanjutnya. 98 Lih. S. TOMAS, Summa Theol, II-II, soal 188, art. 7. 95

Allah[99]. Sementara tetap menyadari, bahwa Tuhanlah yang membuka hati orangorang[100], dan keluhuran sabda tidak berasal dari mereka sendiri, melainkan dari kekuatan Allah[101], dalam kegiatan menyalurkan sabda sendiri mereka akan lebih erat bersatu dengan Kristus Sang Guru dan dibimbing oleh Roh-Nya. Bila demikian mereka bergaul dengan Kristus, mereka ikut serta mengalami cinta kasih Allah, yang misteri-Nya yang tersembunyi sejak kekal[102] telah diwahyukan dalam Kristus. Sebagai pelayan Liturgi, terutama dalam korban Ekaristi, para imam secara khas membawakan Pribadi Kristus, yang telah menyerahkan diri sebagai korban demi pengudusan manusia. Itulah sebabnya, mengapa mereka di undang, untuk ikut ikut menghayati apa yang mereka laksanakan: sementara merayakan misteri wafat Tuhan, hendaknya mereka berusaha mematikan anggota-anggota tubuh mereka dari cacat-cela dan nafsu-nafsu[103]. Dalam misteri korban Ekaristi, saat para imam melaksanakan tugas utama mereka, karya penebusan kita terus-menerus diwujudkan[104]. Maka dari itu sangat dianjurkan, supaya Ekaristi dirayakan setiap hari, yang meskipun tidak dihadiri oleh umat beriman, tetapi tetap merupakan tindakan Kristus dan Gereja[105]. Begitulah, sementara para imam menggabungkan diri dengan tindakan Kristus Sang Imam, mereka setiap hari mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah, dan seraya menyambut Tubuh Kristus, mereka dengan ketulusan hati ikut mengalami cinta kasih Dia, yang mengurniakan Diri sebagai santapan kepada umat beriman. Begitu pula dalam melayani Sakramen-sakramen mereka menyatukan diri dengan maksud dan cinta kasih Kristus. Secara khusus itu mereka jalankan, bila mereka nampak bersedia sepenuhnya dan selalu untuk melayani Sakramen Tobat, setiap kali itu secara wajar diminta oleh umat beriman. Dalam mendoakan ibadat harian mereka menyuarakan maksud Gereja, yang atas nama seluruh umat manusia bertabah dalam doa, dalam persatuan dengan Kristus, yang “senantiasa hidup untuk menjadi pengantara kita” (Ibr 7:25). Sambil membimbing dan menggembalakan umat Allah, para imam didororng oleh Sang Gembala Baik, untuk menyerahkan nyawa mereka demi domba-domba mereka[106], pun siap sedia juga untuk pengorbanan yang paling luhur, mengikuti teladan para imam, yang pada zaman sekarang pun tidak menolak untuk mengorbankan hidupnya. Sebagai pembina imam mereka sendiri “penuh keberanian untuk memasuki tempat yang kudus dalam Darah Kristus” (Ibr 10:19), dan menghadap Allah “dengan hati yang tulus ikhlas dalam kepenuhan iman” (Ibr 10:22). Mereka mempunyai harapan yang teguh bagi jemaat beriman mereka[107], untuk dapat menghibur siapa saja yang mengalami bermacammacam tekanan, dengan hiburan-hiburan, seperti mereka sendiri juga dihibur oleh Allah[108]. Selaku pemimpin jemaat mereka menjalankan askese yang khas bagi gembala jiwa-jiwa, dengan mengesampingkan keuntungan-keuntungan pribadi, tanpa mencari apa yang berfaedah bagi diri mereka, melainkan dengan mengusahakan apa yang bermanfaat untuk banyak orang, supaya mereka diselamatkan[109]. Mereka tetap 99

Lih. Ef 3:9-10. Lih. Kis 16:14. 101 Lih. 2Kor 4:7. 102 Lih. Ef 3:9. 103 Lih. Pontificale Romanum, De Ordinatione Presbyteri (tentang Pentahbisan imam). 104 Lih. Missale Romanum, Doa atas persembahan pada hari minggu IX sesudah Pentekosta. 105 “Sebab setiap Misa, meskipun dirayakan oleh imam seoarang diri, tidak bersifat privat, melainkan merupakan tindakan Kristus dan Gereja. Dalam korban yang dipersembahkan Gereja belajar mempersembahkan diri sebagai korban untuk semua orang, dan mengenakan kekuatan korban Salib yang menyelamatkan, bersifat tunggal dan bernilai tiada harganya, pada duni semesta demi keselamatannya. Sebab setiap Misa yang dirayakan tidak hanya dipersembhakan untuk keselamatan beberapa orang saja, melainkan demi keselamatan seluruh dunia juga (…) Maka secara kebapaan kami sangat menganjurkan kepada para imam, yang dalam Tuhan merupakan kegembiraan yang terbesar dan mahkota bagi kami, agar … setiap hari merayakan Misa secara pantas dan penuh khidmat” (PAULUS VI, Ensiklik Mysterium Fidei, tgl. 13 September 1965: AAS 57 (1965) hlm. 761-762). – Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 26 dan 27. 106 Lih. Yoh 10:11. 107 Lih. 2Kor 1:7. 108 Lih. 2Kor 1:4. 109 Lih. 1Kor 10:33. 100

melangkah maju untuk menunaikan reksa pastoral secara lebih sempurna, dan bila diperlukan, bersedia menempuh cara-cara berpastoral yang baru, dibawah bimbingan Roh cinta kasih, yang “bertiup ke mana Ia berkenan”[110]. 14. (Keutuhan dan keselarasan kehidupan para imam) Di dunia zaman sekarang banyak sekali tugas yang harus dijalankan, dan sangat beranekalah masalah-persoalan yang mencemaskan orang-orang serta sering kali perlu segera mereka pecahkan, sehingga tidak jarang mereka terancam bahaya terombangambingkan kian-kemari. Para imam sendiri, yang terlibat dalam tugas-kewajiban yang bertubi-tubi dan terbagi-bagi perhatiannya, dengan cemas dapat bertanya-tanya, bagaimana mereka mampu memperpadukan kehidupan batin dengan kegiatan lahiriah mereka. Keutuhan hidup itu tidak tercapai melulu dengan mengatur secara lahiriah karya-karya pelayanan, pun tidak melalui praktek latihan-latihan rohani semata-mata, betapa pun itu semua ikut mendukung keselarasan hidup. Tetapi para imam mampu mewujudkan keutuhan itu, bila dalam menjalankan pelayanan mereka mengikuti teladan Kristus Tuhan, yang makanan-Nya ialah: menjalankan kehendak Bapa, yang mengutusNya untuk menyelesaikan karya-Nya[111]. Memang benarlah, untuk tiada hentinya menjalankan kehendak Bapa itu di dunia melalui Gereja, Kristus berkarya dengan pengantara para pelayan-Nya. Oleh karena itu Ia tetep menjadi dasar dan sumber keutuhan hidup mereka, bila mereka menyatukan diri dengan kristus dalam mengenal kehendak Bapa, maupun dalam penyerahan diri mereka bagi kawanan yang menjadi tanggung jawab mereka[112]. Demikianlah, dengan menjalankan peranan Sang Gembala Baik, mereka akan menemukan dalam pengalaman cinta kasih kegembalaan itu sendiri ikatan kesempurnaan imamat, yang akan menyatukan kehidupan serta kegiatan mereka. Cinta kasih kegembalaan itu [113] terutama bersumber pada korban Ekaristi, yang karena itu menjadi pusat dan dasar akar seluruh kehidupan imam, sehingga semangat imamat berusaha meresapkan dalam dirinya apa yang berlangsung di atas altar pengorbanan. Dan itu hanyalah tercapai, bila para imam sendiri melalui doa kian mendalam menyelami misteri kristus. Untuk dapat mewujudkan keutuhan hidup mereka secara konkrit juga, hendaknya para imam mempertimbangkan segala usaha mereka dengan menilai, di manakah letak kehendak Allah[114], artinya: manakah kesesuaian antara kegiatan-kegiatan itu dengan kaidah-kaidah perutusan Gereja menurut Injil. Sebab kesetiaan terhadap Kristus tidak terceraikan dari kesetiaan terhadap Gerejan-Nya. Maka cinta kasih kegembalaan meminta, supaya para imam selalu berkarya dalam ikatan persekutuan dengan para Uskup serta saudara-saudara seimamat lainnya, supaya mereka jangan percuma saja menjalankan kegiatan mereka[115]. Dengan bertindak begitu para imam akan menemukan keutuhan hidup mereka sendiri justru dalam kesatuan perutusan Gereja. Begitulah mereka akan dipersatukan dengan Tuhan mereka, dan melalui Dia dengan Bapa, dalam Roh Kudus, sehingga dapat menikmati hiburan rohani serta kegembiraan yang meluap[116].

110

Lih. Yoh 3:8. Lih. Yoh 4:34. 112 Lih. 1Yoh 3:16. 113 “Hendaklah menjadi tugas cinta kasih menggembalakan kawanan Tuhan” (S. AGUSTINUS, Tract. In Lo. (ulasan tentang Injil Yohanes), 123,5: PL 35,1967). 114 Lih. Rom 12:2. 115 Lih. Gal 2:2. 116 Lih. 2Kor 7:4. 111

II. TUNTUTAN-TUNTUTAN ROHANI YANG KHAS DALAM KEHIDUPAN IMAM 15. (Kerendahan hati dan ketaatan) Diantara keutamaan-keutamaan yang perlu sekali bagi pelayanan para imam layaklah disebutkan sikap hati yang selalu bersedia bukan untuk mencari kehendak sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus mereka[117]. Sebab karya ilahi – untuk melaksanakan itu mereka telah dikhususkan oleh Roh Kudus[118] – melampaui semua kekuatan manusiawi. “Apa yang lemah bagi dunia, dipilih oleh Allah, untuk memalukan yang kuta” (1Kor 1:27). Maka menyadari kelemahannya sendiri, pelayan Kristus yang sejati bekerja dengan rendah hati, mempertimbangkan apa yang berkenan kepada Allah[119], dan, bagaikan tawanan Roh[120]dalam segalanya dibimbing oleh kehendak Dia, yang menghendaki keselamatan semua orang. Kehendak itu dapat ditemukan dan dilaksanakannya dalam situasi sehari-hari, dengan melayani dalam kerendahan hati mereka semua, yang oleh Allah dipercayakan kepadanya, dalam tugas yang menjadi tanggungannya dan dalam bermacam-macam peristiwa hidupnya. Karena pelayanan imamat itu pelayanan Gereja sendiri, maka hanya dapat dilaksanakan dalam persekutuan hirarkis seluruh Tubuh. Maka cinta kasih kegembalaan mendesak para imam, untuk dalam rangka persekutuan itu melalui ketaatan membaktikan kehendak mereka sendiri dalam pengabdian kepada Allah dan sesama, sambil menerima dan menjalankan dalam semangat iman apa yang diperintahkan atau dianjurkan oleh Paus dan oleh Uskup mereka sendiri serta oleh para pemimpin lainnya; sambil dengan sukarela mengorbankan kemampuan dan bahkan diri mereka sendiri [121], dalam tugas manapun yang dipercayakan kepada mereka, juga dalam tugas yang agak rendah dan tidak terpandang. Sebab dengan demikian mereka melestarikan dan memantapkan kesatuan yang diperlukan dengan rekan-rekan mereka sepelayanan, terutama dengan mereka, yang oleh Tuhan ditetapkan sebagai pemimpinpemimpinGereja-Nya yang kelihatan; dan mereka berkarya demi pembangunan Tubuh Kristus, yang bertumbuh “melalui segala sendi-sendi pelayanan”[122]. Ketaatan itu, yang mengantar kepada kebebasan yang lebih dewasa putera-putera Allah, pada hakekatnya supaya para imam – sementara dalam menunaikan tugas mereka, terdorong oleh cinta kasih, mereka dengan bijaksana merintis jalan-jalan baru untuk meningkatkan kesejahteraan Gereja, - penuh kepercayaan mengemukakan prakarsa-prakarsa mereka, serta menekankan kebutuhan-kebutuhan jemaat yang diserahkan kepada mereka, tetapi selalu bersedia pula mematuhi keputusan mereka, yang menjalankan fungsi utama dalam kepemimpinan Gereja Allah. Melalui kerendahan hati serta ketaatan yang sukarela dan penuh tanggung jawab itu para imam menjadi secitra dengan kristus, penuh citarasa seperti terdapat pada Kristus Yesus, yang “mengosongkan Diri dengan menganakan penampilan seorang hamba … menjadi taat sampai mati” (Flp 2:7-9); Dia, yang dengan ketaatan-Nya itu telah mengalahkan dan menebus ketidak-taatan Adam, menurut sabda paulus: “Karena ketidak-taatan satu orang banyak orang telah menjadi pendosa; begitu pula karena ketaatan satu orang banyak orang menjadi benar” (Rom 5:19). 16. (Selibat: diterima dan dihargai sebagai kurnia) Pantang sempurna dan seumur hidup demi Kerajaan Sorga telah dianjurkan oleh kristus Tuhan[123], dan di sepanjang masa, juga zaman sekarang ini, oleh banyak orang kriten 117

Lih. Yoh 4:34; 5:30; 6:38. Lih. Kis 13:2. 119 Lih. Ef 5:10. 120 Lih. Kis 20:22. 121 Lih. 2Kor 12:15. 122 Lih. Ef 4:11-16. 123 Lih. Mat 19:12. 118

telah diterimakan dengan sukarela dan dihayati secara terpuji. Pantang itu oleh Gereja selalu sangat dijunjung tinggi bagi kehidupan imam. Sebab merupakan lambang dan sekaligus dorongan cinta kasih kegembalaan, serta sumber istimewa kesuburan rohani di dunia[124]. Memang pantang itu tidak dituntut oleh imamat berdasarkan hakekatnya, seperti ternyata juga dari praktek Gereja Purba[125] dan dari tradisi Gereja-Gereja Timur. Di situ, kecuali mereka, yang bersama semua Uskup berkat kurnia rahmat memilih menghayati selibat, terdapat juga imam-imam beristeri yang besar sekali jasanya. Sememntara menganjurkan selibat gerejawi, Konsili ini sama sekali tidak bermaksud merubah tata tertib yang berbeda, yang berlaku secara sah di Gereja-Gereja Timur. Konsili penuh kasih mendorong mereka semua, yang telah menerima imamat dalam perkawinan, supaya mereka tabah dalam panggilan suci, dan tetap harus membaktikan hidup mereka sepenuhnya serta dengan tulus ikhlas kepada kawanan yang diserahkan kepada mereka[126]. Tetapi ditinjau dari pelbagai sudut selibat mempunyai kesesuaian dengan imamat. Sebab perutusan imam seutuhnya dibaktikan dalam pengabdian kepada kemanusiaan baru, yang oleh Kristus yang jaya atas maut melalui Roh-Nya dibangkitkan di dunia, dan berasal “bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah” (Yoh 1:13). Dengan menghayati keperawanan atau selibat demi Kerajaan Sorga[127], para imam secara baru dan luhur dikuduskan bagi kristus. Mereka lebih mudah berpaut pada-Nya dengan hati tak terbagi[128], lebih bebas dalam kristus dan melalui Dia membaktikan diri dalam pengabdian kepada Allah dan sesama, lebih lancar melayani kerajaan-Nya serta karya kelahiran kembali adikodrtai, dan dengan demikian menjadi lebih cakap untuk menerima secara lebih luas kebapaan dalam kristus. Jadi dengan demikian mereka menyatakan dihadapan umum, bahwa mereka bermaksud seutuhnya membaktikan diri kepada tugas yang dipercayakan kepada mereka, yakni mempertunangkan umat beriman dengan satu Pria, dan menghadapkan mereka sebagai perawan murni kepada Kristus[129]. Demikianlah mereka membangkitkan kesadaran akan perkawinan penuh rahasia, yang telah diciptakan oleh Allah dan di masa depan akan ditampilkan sepenuhnya, yakni bahwa Gereja hanya mempunyai Kristus sebagai Mempelai satu-satunya[130]. Kecuali itu mereka menjadi lambang hidup dunia yang akan datang, tetapi sekarang sudah hadir melalui iman dan cinta kasih: di situ puteri-puteri kebangkitan tidak akan menikah dan dinikahkan[131]. Karena alasan-alasan yang di dasarkan pada misteri Kristus serta perutusannya itulah, maka selibat, yang semula dianjurkan kepada para imam, kemudian dalam Gereja Latin di wajibkan berdasarkan hukum bagi siapa saja, yang akan menerima Tahbisan suci. Mengenai mereka yang dipruntukkan bagi iamamt, ketetapan hukum itu oleh Konsili suci ini sekali lagi disetujui dan dikukuhkan. Konsili percaya, bahwa kurnia selibat, yang begitu cocok bagi imamat Perjanjian Baru, dalam Roh akan dikurniakan penuh kemurahan oleh Bapa, dan yang begitu jelas dipuji oleh Tuhan[132], serta tetap menyadari misteri-misteri agung, yang dilambangkan dan diwujudkan olehnya. Semakin pantang di dunia masa kini oleh banyak orang dianggap mustahil, semakin para imam dengan tabah dan rendah hati akan memohon bersama dengan Gereja rahmat kesetiaan, yang selalu akan dikurniakan kepada mereka yang memohonnya.Sementara itu hendaknya mereka memanfaatkan segala bantuan adikodrati maupun kodrati, yang tersedia bagi semua 124

Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitus Dogmatis tentang Gereja, art. 42. Lih. 1Tim 3:2-5; Tit 1:6. 126 Lih. PIUS XI, Ensiklik Ad catholici sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935: AAS 28 (1936) hlm. 28. 127 Lih. Mat 19:12. 128 Lih. 1Kor 7:32-34. 129 Lih. 2Kor 11:2. 130 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 42 dan 44. – Dekrit tentang Pembaharuan Hidup Religius yang Disesuaikan, art. 12. 131 Lih. Luk 20:35-36. – PIUS XI, Ensiklik Ad catholici sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935: AAS 28 (1936) hlm. 24-28. – PIUS XII, Ensiklik Sacra Virginitas, tgl. 25 Maret 1954: AAS 46 (1954) hlm. 169-172. 132 Lih. Mat 19:11. 125

orang. Terutama pedoman-pedoman askese, yang sudah teruji berkat pengalaman Gereja, dan yang di dunia sekarang tetap dibutuhkan, hendaknya tetap mereka laksanakan. Oleh Karena itu Konsili suci ini meminta bukan saja kepada para imam, melainkan kepada segenap umat beriman, supaya mereka tetap menjunjung tinggi anugerah selibat imam yang begitu berharga, dan supaya mereka semua memohon kepada Allah, supaya Ia selalu menganugerhakan kurnia itu secara melimpah kepada gereja-Nya. 17. (Sikap terhadap dunia dan harta duniawi. – Kemiskinan sukarela) Melalui pergaulan persahabatan dan persaudaraan antar mereka sendiri dan dengan orang-orang lain, para imam dapat belajar mengembangkan nilai-nilai manusiawi dan menghargai ciptaan-ciptaan sebagai kurnia Allah. Tetapi selama hidup di dunia hendaknya mereka selalu menyadari bahwa seturut sabda Tuhan Guru kita mereka bukanlah dari dunia[133]. Maka sambil menggunakan hal-hal duniawi seolah-olah tidak menggunakannya[134], mereka akan mencapai kebebasan dari segala kesibukan yang tak teratur, dan akan lebih terbuka untuk mendengarkan sabda ilahi dalam hidup sehari-hari. Dari kebebasan dan sikap terbuka itu tumbuhlah sikap penegasan rohani, yang membantu mereka menemukan sikap yang tepat terhadap dunia dan harta duniawi. Bagi para imam sikap itu penting sekali, sebab perutusan Gereja memang berlangsung di tengah dunia, lagi pula hal-hal tercipta memang sungguh dibutuhkan bagi perkembangan pribadi manusia. Maka hendaknya mereka penuh rasa syukur atas segala sesuatu, yang mereka terima dari Bapa di Sorga untuk hidup secara layak. Akan tetapi mereka perlu mempertimbangkan dalam cahaya iman segala sesuatu yang mereka alami, supaya mereka menemukan cara yang tepat untuk menggunakan hal-hal duniawi sesuai dengan kehendak Allah, dan menolak segala sesuatu yang merugikan perutusan mereka. Sebaba para imam Tuhan sendirilah “bagian dan milik pusaka” (Bil 18:20). Maka mereka harus menggunakan hal-hal duniawi hanya demi tujuan-tujuan yang sungguh halal menurut ajaran Kristus Tuhan dan peraturan Gereja. Mengenai harta milik yang sungguh bersifat gerejawi: hendaklah para imam sebagamana mestinya mengurusi harta itu menurut katentuan hukum kanonik, sedapat mungkin dengan bantuan para awam yang ahli. Hendaknya milik itu selalu mereka peruntukkan bagi tujuan-tujuan, yang memang boleh diusahakan oleh Gereja, dan menghalalkan harta-milik itu baginya, yakni: untuk mengatur pelaksanaan ibadat kepada Allah, untuk menyediakan rezeki hidup secukupnya bagi klerus, begitu pula untuk melaksanakan karya-karya kerasulan dan cinta kasih, terutama terhadap kaum miskin[135]. Sedangkan harta, yang mereka peroleh selama menunaikan suatu jabatan gerejawi, hendaknya – dengan tetap mengindahkan hukum khusus[136] – digunakan oleh para imam maupun para Uskup pertama-tama untuk dapat hidup secara layak, dan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban status hidup mereka. Apa yang masih tersisakan, hendaknya mereka peruntukkan bagi kesejahteraan Gereja atau karya-karya cinta kasih. Maka dari itu hendaknya jabatan gerejawi jangan dijadikan kesempatan untuk memperkaya diri; jangan pula penghasilan yang di peroleh daripadanya digunakan untuk memperluas milik kaum kerabat sendiri [137]. Oleh karena itu janganlah para imam menaruh hati pada harta-kekayaan[138]. Hendaknya mereka selalu menghindari segala keserakahan, dan sungguh-sungguh menghindari segala kesan mau berdagang. Bahkan para imam di undang untuk hidup dalam kemiskinan sukarela. Dengan begitu mereka secara lebih nyata menyerupai Kristus, dan lebih siap-sedia untuk pelayanan suci. Sebab demi kita Kristus telah menjadi miskin, padahal Ia kaya, supaya karena 133

Lih. Yoh 17:14-16. Lih. 1Kor 7:31. 135 Lih. KONSILI ANTIOKIA, kanon 25: MANSI 2,1328. – Decretum Gratiani, bab 23, C. 12, soal 1: FRIEDBERG, I, 684-685. 136 Ketentuan ini terutama dimaksudkan bagi hukum-hukum serta adat-kebiasaan yang berlaku di Gereja-Gereja Timur. 137 KONSILI di PARIS, tahun 829, kanon 15: MGH, Sectio III, Concilia, jilid 2, bag. 6,622. – KONSILI TRENTO, Sidang 25 tentang Pembaharuan, bab 1. 138 Lih. Mzm 62:11 (Vulg. 61). 134

kemiskinan-Nya kitalah yang menjadi kaya[139]. Melalui teladan para Rasul telah memberi kesaksian, bahwa kurnia Allah yang Cuma-Cuma harus disalurkan dengan Cuma-Cuma pula[140], dan bahwa mereka tahu menderita kekurangan dan mengalami kelimpahan[141]. Tetapi juga semacam penggunaan bersama barang-barang, seperti persekutuan hartamilik yang sanagt dihargai dalam sejarah Gereja Purba[142], dapat membuka jalan lapang sekali bagi cinta kasih kegembalaan. Dengan corak hidup itu para imam secara terpuji dapat mempraktekkan semangat kemiskinan, yang dianjurkan oleh Kristus. Maka dibimbing oleh Roh tuhan, yang mengurapi Sang penyelamat dan mengutusNya mewartakan Injil kepada kaum miskin[143], hendaknya para imam maupun para Uskup menghindari segala sesuatu, yang entah bagaimana dapat menjauhakan kaum miskin. Hendaknya mereka, lebih lagi dari para murid Kristus lainnya, menyingkirkan segala kesan kesia-kesiaan pada milik kepunyaan mereka. Rumah kediaman hendaknya mereka atur sedemikian rupa, sehingga nampak terbuka bagi siapa saja, dan tidak seorang pun, juga yang paling hina, merasa takut mengunjunginya.

III. UPAYA-UPAYA YANG MENDUKUNG KEHIDUPAN PARA IMAM 18. (Upaya-upaya untuk mengembangkan hidup rohani) Supaya dapat menghayati persatuan dengan Kristus dalam segala situsi hidup mereka, selain melalui pelaksanaan pelayanan mereka penuh kesadaran, bagi para imam tersedia juga berbagai upaya bersama maupun khusus, baru maupun mlam, yang tiada hendtinya disiapkan oleh Roh Kudus dan umat Allah, dan yang dianjurkan, bahkan ada kalanya juga diwajibkan oleh Gereja demi pengudusan para anggotanya[144]. Yang lebih luhur dari segala bantuan rohani ialah tindakan-tindakan, yang bagi umat beriman menyediakan santapan Sabda Allah pada kedua meja, yakni Kitab suci dan Ekaristi [145]. Bagi siapa pun jelaslah, betapa penting bagi pengudusan para imam untuk terus menerus memanfaatkannya. Para pelayan rahmat sakramental dipersatukan mesra dengan Kristus Sang Penyelamat dan gembala melalui penerimaan Sakramen-Sakramen yang memperbuahkan rahmat, khususnya dengan sering menerima Sakramen Tobat, yang bila disipakan melalui pemeriksaan batin harian, sungguh merupakan dukungan kuat bagi pertobatan hati yang memang perlu kepada cinta kasih Bapa yang penuh belas kasihan. Dalam terang iman yang dikembangkan melalui bacaan Kitab suci, para imam dapat dengan tekun menyelidiki isyarat-isyarat kehendak Allah maupun dorongan-dorongan rahmat-Nya dalam pelbagai peristiwa hidup. Demikianlah mereka dapat makin bertambah peka terhadap perutusan yang mereka terima dalam Roh Kudus. Bagi sikap peka-terbuka itu para imam senantiasa menemukan contoh yang mengagumkan pada diri Santa Perawan Maria, yang dibimbing oleg Roh Kudus membaktikan diri sepenuhnya kepada misteri penenbusan umat manusia[146]. Hendaknya para imam dengan sikap bakti dan ibadat penuh kasih menghormati serta mencintai Maria sebagai Bunda Sang Imam Agung yang kekal dan Ratu para Rasul, serta sebagai pelindung pelayanan mereka.

139

Lih. 2Kor 8:9. Lih. Kis 8:18-25. 141 Lih. Flp 4:12. 142 Lih. Kis 2:42-47. 143 Lih. luk 4:18. 144 Lih. Kitab Hukum Kanonik (lama), kanon 125 dan selanjutnya. 145 Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Pembaharuan Hidup Religius yang Disesuaikan, art. 6. – Konstitusi dogmatis tentang Wahyu Ilahi, art. 21. 146 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 65. 140

Untuk menjalankan pelayanan mereka dengan setia, hendaknya mereka memperhatikan wawancara harian dengan kristus Tuhan, dalam kunjungan serta ibadat pribadi terhadap Ekaristi suci. Hendaknya mereka dengan senang hati meluangkan waktu bagi retret rohani, yang sungguh menghargai bimbingan rohani. Dengan pelbagai cara, khususnya melalui doa batin yang teruji serta berbagai bentuk doa lainnya, yang secara bebas dapat mereka pilih sendiri, para imam mencari dan bersungguh-sungguh memohon kepada Allah semangat sembah-sujud yang sejati, upaya mereka untuk bersama dengan jemaat yang mereka bimbing bersatu mesara dengan Kristus Pengantara Perjanjian Baru, dan dengan demikian sebagai putera-puteri angkat dapat berseru: “Abba, Pater” (Rom 8:15). 19. (Studi dan ilmu pastoral) Dalam upacara Tahbisan para imam diperingatkan oleh Uskup: “hendaknya mereka masak dalam pengetahuan”, dan ajaran mereka menjadi “usada rohani bagi umat Allah”[147]. Ilmu pengetahuan pelayan kudus harus kudus juga, karena digali dari sumber yang kudus dan mengarahkan kepada tujuan yang kudus pula. Oleh karena itu pertamatama ditimba dari pembacaan dan renungan Kitab suci[148], tetapi dikembangkan juga dengan mempelajari para Bapa dan Pujangga Gereja serta pusaka-pusaka Tradisi lainnya. Selain itu, untuk dengan tepatmengena menjawab masalah-persoalan, yang ramai dibicarakan oleh orang-orang zaman sekarang, para imam harus mengenal dengan baik dokumen-dokumen Magisterium dan terutama Konsili-Konsili serta para Paus; begitu pula hendaknya mereka menimba ilmu dari karya tulis para pengarang ilmu teologi yang terbaik dan dapat diandalkan. Tetapi karena sekarang ini kebudayaan dan ilmu-ilmu kudus menempuh langakahlangkah perkembangan yang baru, para imam diundang, untuk secara tepat dan terus menerus menyempurnakan ilmu-pengetahuan mereka tentang hal-hal ilahi maupun manusiawi, dan dengan demikian menyiapkan diri untuk menjalin dialog yang lebih aktual dengan sesama yang semasa. Supaya para imam lebih mudah belajar dengan tekun, dan lebih efektif mempelajari berbagai cara mewartakan Injil dan merasul, hendaknya dikerahkan segala usaha untuk menyediakan bagi mereka upaya-upaya yang sungguh membantu, misalnya – menurut situasi masing-masing wilayah – diselenggarakan kursus-kursus atau pertemuanpertemuan, didirikan pusat-pusat untuk studi pastoral, disediakan perpustakaan, dan dimungkinkan bimbingan studi oleh pribadi-pribadi yang cakap. Kecuali itu hendaknya para Uskup masing-masing atau bersama-sama mempertimbangkan cara yang lebih baik untuk mengusahakan, supaya semua para imam mereka, pada masa-masa tertentu, tetapi terutema selang beberapa tahun sesudah pentahbisan mereka[149], dapat mengikuti kursus, yang membuka kesempatan bagi mereka memperoleh pengetahuan lebih luas tentang metode-metode pastoral dan ilmu teologi, untuk memantapkan hidup rohani, dan untuk betukar pengalaman kerasulan dengan rekan-rekan imam[150]. Dengan upayaupaya itu dan bantuan-bantuan lainnya yang sesuai hendaknya secara khas ditolong juga para pastor kepala paroki yang baru dan mereka yang diserahi karya pastoral yang baru, pun juga mereka yang di utus ke keuskupan atau bangsa lain. Akhirnya hendaknya para Uskup sungguh berusaha, supaya ada beberapa yang menekuni studi ilmiah lebih mendalam dibidang teologi, supaya selalu tersedia dosendosen yang cakap untuk pendidikan imam, supaya para imam lainnya dan umat beriman dibantu untuk dapat pengajaran yang mereka butuhkan, dan supaya perkembangan sehat dibidang-bidang teologi, yang memang sungguh perlu bagi gereja, mendapatkan dukungan. 147

“Pontificale Romanum”, De Ordinatione Presbyteri. Lih. KONAILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Wahyu Ilahi, art. 25. 149 Usaha pembinaan itu berlainan dengan pendidikan pastoral langsung sesudah pentahbisan, yang disebutkan oleh Dekrit tentang Pendidikan Imam, art. 22. 150 Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam Gereja, art. 16. 148

20. (balas jasa yang wajar bagi para imam) Sedah selayaknyalah para imam, yang menghambakan diri kepada Allah dengan menunaikan fungsi yang diserahkan kepada mereka, menerima balas jasa yang sewajarnya, sebab “pantaslah pekerja mendapat upahnya” (Luk 10:7)[151]. Lagi pula “Tuhan telah menetapkan, bahwa mereka yang memberitakan Injil, harus hidup dari pemberitaan Injil itu” (1Kor 9:14). Maka dari itu, sejauh dari pihak lain tidak disediakan balas jasa yang wajar bagi para imam, umat beriman sendiri, yang kesejahteraannya dilayani oleh para imam, terikat kewajiban yang sesungguhnya untuk mengusahakan, supaya bagi mereka disediakan sumbang-bantuan seperlunya untuk hidup secara layak dan sebagaimana mestinya. Para Uskup harus mengingatkan umat beriman akan kewajiban mereka itu serta mengusahakan, - entah masing-masing untuk keuskupannya sendiri, atau lebih baik beberapa Uskup sekaligus untuk wilayah mereka bersama, supaya ditetapkan peraturan-peraturan, yang seperti harusnya menjamin rezeki hidup yang sepatutnya bagi mereka, yang menjalankan atau pernah menjalankan suatu tugas pengabdian kepada umat Allah. Adapun balas jasa, yang harus diterima masing-masing, dengan memperhitungkan sifat tugasnya dan mempertimbangkan kondisi-kondisi setempat maupun semasa, pada dasarnya hendaklah sama bagi semua imam yang berada dalam situasi yang sama. Hendaknya balas jasa itu sesuai dengan kondisi mereka, pun sekaligus memungkinkan mereka, untuk tidak hanya memberi upah selayaknya kepada mereka yang melayani para imam, melainkan juga memberi sekedar bantuan kepada kaum miskin. Kecuali itu balas jasa hendaklah sedemikian rupa, sehingga memungkinkan para imam untuk setiap tahun menikmati liburan yang sewajarnya dan mencukupi. Para Uskup harus mengusahakan, supaya imam-imam sempat berliber. Akan tetapi fungsi yang dijalankan oleh para imamlah, yang harus harus diutamakan. Maka dari itu apa yang disebut sistim “beneficium” hendaknya ditinggalkan, atau setidak-tidaknya dirombak sedemikian rupa, sehingga unsur “beneficium”, atau hak atas penghasilan berdasarkan harta bawaan yang terkait dengan jabatan, dipandang sekunder. Sedangkan yang menurut hukum diutamakan hendaknya jabatan gerejawi sendiri, yang selanjutnya harus diartikan: tugas mana pun juga yang diberikan secara tetap, dan dilaksanakan untuk tujuan rohani. 21. (Pembentukan kas umum, dan pengadaan jaminan sosial bagi para imam) Hendaknya selalu dikenangkan teladan umat beriman dalam Gereja purba di Yerusalem: disitu “segala sesuatu merupakan milik mereka bersama” (Kis 4:32); “dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya” (Kis 4:35). Maka sangat pada tempatnyalah, bahwa sekurang-kurangnya di wilayah-wilayah, temapt rezeki hidup klerus sepenuhnya atau sebagian besar tergantung dari persembahan-persembahan umat beriman, - harta milik yang dipersembahkan untuk maksud itu dengan Uskup, didampingi oleh imam-imam utusan dan – bila dianggap berguna – oleh saudara-saudara awam juga yang mempunyai keahlian di bidang ekonomi. Dianjurkan pula, supaya selain itu sedapat mungkin disetiap keuskupan atau daerah dibentuk suatu kas umum, yang memungkinkan para Uskup untuk memenuhi kewajiban-kewajiban lainnya terhadap pribadi-pribadi yang berjasa bagi Gereja, dan mencukupi pelbagai hal kebutuhan keuskupan; pun juga yang memungkinkan keuskupan-keuskupan yang lebih kaya membantu yang lebih miskin, supaya kelimpahan pihak pertama melengkapi kekurangan pihak kedua[152]. Kas umum itu terutama harus dibentuk dari harta hasil persembahan umat beriman, tetapi juga dari sumber-sumber lain, yang perlu ditetapkan menurut hukum. Selain itu di negeri-negeri, tempat jaminan sosial bagi klerus belum diatur dengan baik, hendaknya Konferensi-Konferensi Uskup mengusahakan, supaya – selalu sambil 151 152

Lih. Mat 10:10; 1Kor 9:7; 1 Tim 5:18. Lih. 2Kor 8:14.

mengindahkan hukum-hukum gerejawi maupun sipil – didirikan yayasan-yayasan keuskupan, juga yang bergabung menjadi federasi, atau yayasan-yayasan bersama untuk berbagai keuskupan, atau suatu perserikatan untuk seluruh kawasan, yang dibawah pengawasan hirarki dilengakapi secukupnya baik dengan apa yang disebut upaya-upaya pemeliharaan kesehatan dan bantuan medis yang memadai, maupun dengan upayaupaya yang memadai untuk mencukupi kebutuhan hidup para imam yang menderita sakit, sudah invalid atau lanjut usia. Para imam hendaknya membantu yayasan yang telah didirikan itu, terdorong oleh semangat solidaritas terhadap rekan-rekan imam, ikut merasakan penderitaan mereka[153]. Sementara itu hendaknya mereka renungkan, bahwa dengan demikian mereka sendiri, tanapa rasa cemas menghadapi masa depan, dapat menghayati kemiskinan menurut Injil dengan gembira, serta membaktikan diri sepenuhnya bagi keselamatan jiwa-jiwa. Hendaknya mereka yang bertanggung jawab mengusahakan, supaya yayasan-yayasan pada tingkat nasional saling berhubungan, sehingga bersama-sama menjadi lebih kuat dan berkembang meluas.

KATA PENUTUP DAN AJAKAN 22. Sambil menyadari kegembiraan hidup imamat, Konsili suci ini juga tidak dapat menanggapi sepi kesukaran-kesukaran, yang dalam kenyataan hidup zaman sekarang dihadapi oleh para imam. Konsili memahami juga, betapa situasi sosial ekonomi, bahkan adat kebiasaan orang, telah berubah, dan betapa tata nilai-nilai dalam pandangan mereka telah berbeda dari semula. Maka para pelayan Gereja, bahkan sejumlah umat beriman juga, didunia ini merasa bagaikan sudah terasing dari padanya. Dengan cemas mereka bertanya-tanya: upaya-upaya dan bahasa manakah yang cocok untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Sebab halangan-halangan baru yang menghambat iman, jerih-payah mereka yang nampak sia-sia, begitu pula rasa kesepian yang mencekam mereka, dapat menjerumuskan mereka ke dalam bahaya kemurungan. Akan tetapi dunia, seperti sekarang ini dipercayakan kepada cinta kasih dan pelayanan para Gembala Gereja, begitu dikasihi oleh Allah, sehingga Ia menyerahkan Puetra Tunggal-Nya demi keselamatannya[154]. Dan memang benarlah dunia itu terbelenggu karena banyaknya dosa; tetapi juga dilimpahi banyak kemungkinankemungkinan. Dunia itulah yang menyediakan bagi Gereja batu-batu hidup[155], untuk dibangun menjadi kediaman Allah dalam Roh[156]. Roh Kudus itu jugalah, yang mendorong Gereja untuk membuka jalan-jalan baru memasuki dunia zaman sekarang, dan menyerahkan serta mendukung penyesuaian-penyesuaian pelayanan imam yang relevan baginya. Hendaknya para imam menyadari, bahwa dalam berkarya mereka tidak pernah seorang diri, melainkan bertumpu pada kekuatan Allah yang mahakuasa. Hendaklah mereka penuh iman akan Kristus, yang telah memanggil mereka untuk ikut menghayati Imamat-Nya, dengan segala kepercayaan membaktikan diri melalui pelayanan mereka, dalam keyakinan bahwa Allah berkuasa untuk makin menumbuhkan cinta kasih mereka[157]. Hendaknya mereka sadari pula, bahwa saudara-saudara seimamat, bahkan umat beriman di seluruh dunia, menjadi rekan-rekan mereka. Sebab semua imam bekerja sama dalam melaksanakan rencana keselamatan Allah, yakni misteri kristus atau rahasia yang sejak kekal tersembunyi dalam Allah[158], yang hanya lambat-laun diwujudkansecara nyata, berkat berpadunya pelbagai pelayanan demi pembangunan Tubuh Kristus, hingga 153

Lih. Flp 4:14. Lih. Yoh 3:16. 155 Lih. 1Ptr 2:5. 156 Lih. Ef 2:22. 157 Lih. Pontificale Romanum, De Ordinatione Presbyteri. 158 Lih. Ef 3:9. 154

terpenuhilah kurun waktunya. Karena itu semua bersama Kristus tersembunyi dalam Allah[159], maka hanya dapat diterima dalam iman. Sebab dalam imanlah para pemimpin umat Allah harus menempuh perjalanan, mengikuti teladan Abraham yang setia, yang penuh iman “taat untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat tanpa mengetahui tempat yang ditujunya” (Ibr 11:8). Memanglah pengurus misteri-misteri Allah dapat diibaratkan orang yang menabur benih di ladang. Tentang dia Tuhan bersabda: “Pada malam hari ia tidur dan pada siang hari ia bangun, dan benih itu mengeluarkan tunas, dan tunas itu makin tinggi. Bagaimana itu terjadi? Tidak diketahui oleh orang itu” (Mrk 4:27). Selanjutnya Tuhan Yesus, yang bersabda: “Percayalah, Aku telah mengalahkan dunia” (Yoh 16:33), dengan kata-kata itu tidak menjanjikan kepada Gereja kejayaan sempurna di dunia ini. Tetapi Konsili suci bergembira, bahwa tanah, yang ditaburi benih Injil, sekarang di banyak tempat menghasilakn buah dibawah bimbingan Roh Tuhan, yang memenuhi dunia, dan yang dalam hati banyak imam serta umat beriman telah membangkitkan semangat misioner yang sejati. Atas semuanya itu Konsili suci penuh cinta menyampaikan terima kasih kepada para imam di seluruh dunia: “Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari apa yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja dalam diri kita, bagi Dialah kemuliaan dalam jemaat dan dalam Kristus Yesus turun temurun sampai selama-lamanya. Amin” (Ef 3:20-21).

Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan Kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagipula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah. Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 7 bulan Desember tahun 1965.

Saya PAULUS Uskup Gereja Katolik

(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)

159

Lih. Kol 3:3.

PAULUS USKUP

HAMBA PARA HAMBA ALLAH BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI DEMI KENANGAN ABADI

KONSTITUSI PASTORAL TENTANG GEREJA DI DUNIA DEWASA INI[1] PENDAHULUAN 1. (Hubungan erat antara Gereja dan segenap keluarga bangsa-bangsa) KEGEMBIRAAN DAN HARAPAN, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya. 2. (Kepada siapa amanat Konsili ditujukan?) Maka, sesudah menjajagi misteri Gereja secara lebih mendalam, Konsili Vatikan Kedua tanpa ragu-ragu mengarahkan amantanya bukan lagi hanya kepada putera-putera Gereja dan sekalian orang yang menyerukan nama Kristus, melainkan kepada semua orang. Kepada mereka semua Konsili bermaksud menguraikan, bagaimana memandang kehadiran serta kegiatan Gereja di masa kini. Jadi Konsili mau menghadapi dunia manusia, dengan kata lain segenap keluarga manusia beserta kenyataan semesta yang menajdi lingkungan hidupnya.; dunia yang mementaskan sejarah umat manusia, dan duitandai oleh jerih-payahnya, kekalahan serta kejayaannya; dunia, yang menurut iman Umat kristiani diciptakan dan dilestarikan oleh cinta kasih Sang Pencipta; dunia, yang memang berada dalam perbudakan dosa, tetapi telah dibebaskan oleh Kristus yang disalibkan dan bangkit, sesudah kuasa si Jahat dihancurkan, supaya menurut rencana Allah mengalami perombakan dan mencapai kepenuhannya. 3. (Pengabdian kepada manusia) Adapun zaman sekarang umat manusia terpukau oleh rasa kagum akan penemuanpenemuan serta kekuasaannya sendiri. Tetapi sering pula manusia dengan gelisah 1

Konstitusi Pastoral tentang “Gereja di dunia dewasa ini” terdiri dari dua bagian, yang merupakan suatu kesatuan. Konstitusi disebut “pastoral”, karena bermaksud menguraikan hubungan Gereja dengan dunia dan umat manusia zaman sekarang berdasarkan azas-azas ajaran. Maka bagian pertama tidak terlepas dari maksud pastoral, seperti bagian kedua pun tidak terlepas dari maksud mengajar. Dalam bagian pertama Gereja memaparkan ajarannya tentang manusia, tentang dunia yang didiaminya, dan tentang hubungannya dengan keduanya. Dalam bagian kedua ditelaah secara lebih cermat pelbagai segi kehidupan serta masyarakat manusia zaman sekarang; khususnya disoroti soal-soal dan masalah-masalah, yang dewasa ini nampak lebih mendesak. Oleh karena itu dalam bagian kedua ini bahan ulasan, berpedoman pada kaidahkaidah ajaran, bukan hanya mencantumkan unsur-unsur yang serba tetap, melainkan juga menyajikan hal-hal yang silih berganti. Maka hendaknya Konstitusi ini ditafsirkan menurut kaidah-kaidah umum penafsiran teologis; khususnya dalam bagian kedua hendaknya diperhitungkan keadaan-keadaan yang dapat berubah, dan pada hakekatnya tidak terpisahkan dari pokok-pokok yang diuraikan.

bertanya-tanya tentang perkembangan dunia dewasa ini, tentang tempat dan tugasnya di alam semesta, tentang makna jerih-payahnya perorangan maupun usahanya bersama, akhirnya tentang tujuan terakhir segala sesuatu dan manusia sendiri. Oleh karena itu Konsili menyampaikan kesaksian dan penjelasan tentang iman segenap Umat Allah yang dihimpun oleh Kristus. Konsili tidak dapat menunjukkan secara lebih jelas-mengana kesetiakawanan, penghargaan serta cinta kasih Umat itu terhadap seluruh keluarga manusia yang mencakupnya, dari pada dengan menjalin temuwicara dengannya tentang pelbagai masalah itu. Konsili menerangi soal-soal itu dengan cahaya Injil, serta menyediakan bagi bangsa manusia daya-kekuatan pembawa keselamatan, yang oleh gereja, dibawah bimbingan Roh Kudus, diterima dari pendirinya. Sebab memang pribadi manusia harus diselamatkan, dan masyarakatnay diperbaharui. Maka mnusia, ditinjau dalam kesatuan dan keutuhannya, beserta jiwa maupun raganya, dengan hati serta nuraninya, dengan budi dan kehendaknya, akan merupakan poros seluruh uraian kami. Maka Konsili suci mengakui, bahwa amat luhurlah panggilan manusia, dan menyatakan bahwa suatu benih ilahi telah ditanam dalam dirinya. Konsili menwarkan kepada umat manusiakerja sama Gereja yang tulus, untuk membangun persaudaraan semua orang, yang menanggapi panggilan itu. Gereja tidak sedikit pun tergerak oleh ambisi duniawi; melainkan hanya satulah maksudnya: yakni, dengan bimbingan Roh Penghibur melangsungkan karya Kristus sendiri, yang datang ke dunia untuk memberi kesaksian akan kebenaran; untuk menyelamatkan, bukan untuk mengadili; untuk melayani, bukan untuk dilayani [2].

PENJELASAN PENDAHULUAN KENYATAAN MANUSIA DI DUNIA MASA KINI 4. (Harapan dan kegelisahan) Untuk menunaikan tugas seperti itu, Gereja selalu wajib menyelidiki tanda-tanda zaman dan menafsirkannya dalam cahaya Injil. Demikianlah Gereja – dengan cara yang sesuai dengan setiap angkatan – akan dapat menanggapi pertanyaan-pertanyaan, yang disegala zaman diajukan oleh orang-orang tentang makna hidup sekarang dan di masa mendatang, serta hubungan timbal balik antara keduanya. Maka perlulah di kenal dan difahami dunia kediaman kita beserta harapan-harapan, aspirasi-aspirasi dan sifatsifatnya yang sering dramatis. Adapun beberapa ciri utama dunia sekarang dapat digariskan sebagai berikut. Dewasa ini umat manusia berada dalam periode baru sejarahnya, masa perubahanperubahan yang mendalam dan pesat berangsur-angsur meluas ke seluruh dunia. Perubahan-perubahan itu timbul dari kecerdasan dan usaha kreatif manusia, dan kembali mempengaruhi manusia sendiri, cara-cara menilai serta keinginan-keinginannya yang berifat perorangan maupun kolektif, cara berfikir dan bertindak terhadap benda-benda maupun sesama manusia. Demikianlah kita sudah dapat berbicara tentang perombakan sosial dan budaya yang sesungguhnya, serta berdampak juga atas hidup keagamaan. Seperti terjadi pada krisis pertumbuhan manapun juga, perombakan itu membawa serta kesukaran-kesukaran yang tak ringan. Demikianlah, sementara manusia begitu memperluas kekuasaannya, ia toh tidak selalu mampu mengabdikannya kepada dirinya. Ia berusaha menyelami secara makin mendalam rahasia batin jiwanya sendiri, namun acap kali nampak kurang pasti tentang dirinya. Lambat laun ia makin jelas menemukan hukum-hukum hidup kemasyarakatan, tetapi sering ragu-ragu tentang bagaimana mengarahkannya. 2

Lih. Yoh 3:17; Mat 20:28; Mrk 10:45.

Tidak pernah bangsa manusia begitu berlimpah harta-kekayaan, kemungkinankemungkinan serta kekuatan ekonominya; akan tetapi sebagian masih sangat besar penghuni dunia tersiksa karena kelaparan dan kekurangan, dan tak terhitunglah jumlah mereka yang sama sekali buta huruf. Tidak pernah manusia mempunyai rasa kebebasan setajam sekarang ini; namun sementara itu muncullah jenis-jenis baru perbudakan sosial dan psikis. Dunia begitu mendalam merasakan kesatuannya serta saling tergantungnya semua orang dalam solidaritas yang memang mesti ada; tetapi sementara itu tertimpa oleh perpecahan yang amat gawat akibat kekuatan-kekuatan yang saling bermusuhan; sebab masih tetap berlangsunglah pertentangan-pertentangan yang sengit di bidang politik, sosial, ekonomi, “kesukusan” dan ideologi; dan tetap berkecamuk bahaya perang yang akan menggempur habis-habisan segala sesuatu. Sementara bertambah intensiflah pertukaran pandangan-pandangan, istilah-istilah sendiri, yang mengungkapkan fahamfaham sangat penting, dalam keanekaan ideologi menyandang arti cukup berlain-lainan. Akhirnya dengan tekun juga diusahakan terwujudnya tata-dunia sekarang yang lebih sempurna, tetapi perkembangan rohani tidak mengalami kemajuan yang serasi. Karena terkena oleh sekian banyak situasi yang serba komplkes, banyak sekali sesama kita sekarang ini, yang terhalang untuk sungguh mengenali nilai-nilai yang lestari, pun untuk memadukannya dengan penemuan-penemuan baru sebagaimana mestinya. Maka dari itu mereka terombang-ambingkan antara harapan dan kecemasan, bertanya-tanya saja tentang perkembangan dunia sekarang, dan tertekan oleh kegelisahan. Perkembangan itu menantang, bahkan memaksa manusia untuk menanggapinya. 5. (Perubahan situasi yang mendalam) Kegoncangan rohani dewasa ini dan peubahan kondisi-kondisi hidup berhubungan dengan pergantian keadaan yang lebih luas. Karena peralihan itu maka dalam pembinaan akal-budi ilmu matematika serta pengetahuan alam , pun ilmu tentang manusia sendiri semakin diutamakan, begitu pula dibidang kegiatan ketrampilan-ketrampilan tehnik yang bersumber pada ilmu-ilmu itu. Mentalis ilmiah itu dengan cara yang berlainan dengan di masa lampau membentuk peri-budaya dengan cara-cara berpikir. Ketrampilanketrampilan tehnik sedemikian maju, sehingga mengubah muka bumi dan kini sudah berusaha menaklukkan ruang angkasa. Dengan cara tertentu akal budi manusia juga memperluas kedaulatannya atas kurun waktu: atas masa silam melalui pengetahuan sejarah, atas masa depan melalui prognose kemudian hari dan pelbagai perencanaan. Ilmu-ilmu biologi, psikologi dan sosial, yang serentak maju pula, bukan hanya membantu manusia untuk makin mengenal diri, melainkan untuk menolongnya juga untuk memakai tehnik-tehnik yang tepat secara langsung mempengaruhi kehidupan masyarakat. Sekaligus juga umat manusia makin banyak memikirkan cara-cara memprakirakan dan mengatur perkembangan demografis(kependudukan)-nya. Sejarah sendiri makin melaju cepat sedemikian rupa, sehingga setiap orang hanya dengan susah-payah mampu mengikutinya. Nasib persekutuan manusia telah menyatu, dan tidak lagi bagaikan menempuh jalur-jalur sejarah yang berbeda-beda. Begitulah bangsa manusia beralih dari pengertian tata-dunia yang lebih statis kepada visi yang lebih dinamis dan bercorak evolusi. Maka muncullah problematik baru yang amat besar, dan mengundang analisa-analisa serta sintesa-sintesa baru pula. 6. (Perubahan-perubahan dalam tata-masyarakat) Dengan sendirinya komunitas-komunitas setempat, misalnya keluarga-keluarga patriarkal, kelompok-kelompok kekerabatan, suku-suku, desa-desa, pelbagai kelompok dan rukun hidup sosial lainnya, dari hari ke hari mengalami perubahan-perubahan makin menyeluruh. Pola masyarakat industri lambat laun makin menyebar, mengantar berbagai bangsa kepada kekayaan ekonomi, serta secara mendalam mengubah pengertian-pengertian dan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan yang dulu bertahan berabad-abad lamanya.

Begitu pula berkembanglah praktek hidup di kota dan proses urbanisasi, entah karena bertambahnya kota-kota beserta penduduknya, atau karena gerak pertumbuhan, yang memperluas kehidupan kota di daerah pedesaan. Alat-alat komunikasi sosial yang baru dan lebih canggih menunjang pemberitaan peristiwa-peristiwa maupun penyebaran cara-cara berpikir dan berperasaan secepat dan seluas mungkin, sambil menimbulkan pelbagai reaksi beruntun. Lagipula janganlah diabaikan: betapa banyak orang karena pelbagai alasan terdorong untuk berpindah kediaman, dan mengubah cara hidup mereka. Begitulah hubungan-hubungan manusia dengan sesamanya tiada hentinya berlipatganda; dan serta-merta proses “sosialisasi” sendiri menimbulkan relasi-relasi baru, tanpa selalu mendukung pendewasaan pribadi yang serasi dan mempererat hubungan-hubungan pribadi yang sesungguhnya (“personalisasi”). Perkembangan seperti itu memang lebih jelas nampak pada bangsa-bangsa yang sudah menikmati keuntungan-keuntungan kemajuan ekonomi dan tehnik. Tetapi juga menggerakkan bangsa-bangsa yang sedang mengusahakan perkembangannya, dan untuk daerahnya masing-masing ingin mengenyam manfaat-manfaat industrialisasi dan urbanusasi. Bangsa-bangsa itu, terutama yang menjunjung tinggi tradisi-tradisi lebih kuno, sekaligus merasa di dorong untuk menggunakan kebebasan mereka secara lebih masak dan lebih pribadi. 7. (Perubahan-perubahan psikologis, moral dan keagamaan) Perubahan mentalitas dan struktur-stuktur sering menimbulkan perbedaan pandangan tentang nilai-nilai yang diwariskan, terutama pada kaum muda, yang acap kali kehilangan kesabaran, bahkan memberontak karena gelisah. Mereka menyadari pentingnya jasa mereka dalam kehidupan masyarakat, dan ingin lebih didni berperan serta di dalamnya. Oleh karena itu dalam menunaikan tugas mereka para orang tua dan kaum pendidik tidak jarang mengalami kesulitan yang semakin besar. Adapun lembaga-lembaga, hukum-hukum serta cara berpikir dan berperasaan yang diwariskan oleh para leluhur agaknya memang tidak selalu betul-betul cocok dengan situasi masa kini. Maka terasalah kekacauan yang besar menganai cara-cara maupun kaidah-kaidah bertindak. Akhirnya hidup keagamaan sendiri terpengaruh oleh keadaan-keadaan baru. Di satu pihak kemampuan mempertimbangkan secara lebih kritis menjernihkannya dari pandangan dunia yang bercorak magis dan dari takhayul-takhayul yang masih cukup luas tersebar, serta semakin menuntut kepatuhan pribadi dan aktif terhadap iman. Dengan demikian tidak sedikitlah orang yang lebih hidup kesadarannya akan kehadiran Allah. Tetapi dipihak lain banyaklah kelompok cukup besar, yang menjauhkan diri dari pengalaman agama. Berbeda dengan masa lampau, ingkar terhadap Allah serta agama, atau tidak lagi mempedulikannya, bukan lagi merupakan kekecualian atau soal peroarangan saja. Sebab dewasa ini tidak jaranglah sikap-sikap itu diperlihatkan sebagai tuntutan kemajuan ilmiah atau suatu humanisme baru. Itu semua di pelbagai daerah bukan hanya diungkapkan dalam kaidah-kaidah para filsuf, melainkan secara sangat luas menyangkut duni sastra dan alam kesenian, pun juga penfsiran arti ilmu-ilmu manusia da sejarah, serta hukum-hukum sipil sendiri, sehingga banyak orang karena itu mengalami kekacauan batin. 8. (Berbagai ketidak-seimbangan dalam dunia sekarang) Perubahan sepesat itu, yang sering berlangsung secara tidak teratur, bahkan juga kesadaran semakin tajam akan perbedaan-perbedaan yang terdapat di dunia, menimbulkan atau malahan menambah pertentanga-pertentangan dan ketidakseimbangan. Dalam pribadi manusia sendiri cukup sering timbul ketidak-seimbangan antara akal budi modern yang bersifat praktis dan cara berpikir teoritis, yang tidak mampu menguasai keseluruhan ilmu pengetahuannya atau menyusunnya dalam sintesa-sintesa

yang serasi. Begitu pula muncullah ketidak-seimbangan antara pemusatan perhatian pada kedayagunaan praktis dan tuntutan-tuntutan moral suara hati, lagi pula sering kali antara syarat-syarat kehidupan bersama dan tuntutan pemikiran pribadi, bahkan juga kontemplasi. Akhirnya muncullah ketidak-seimbangan antara specialisasi kegiatan manusia dan visi menyeluruh tentang kenyataan. Adapun dalam kenyataan keluarga muncullah berbagai ketidak-serasian, baik karena kondisi-kondisi kependudukan, ekonomim dan sosial, yang serba mendesak, amupun karena kesulitan-kesulitan yang timbul antra angkatan-angkatan yang beruntun, ataupun juga karena hubungan-hubungan sosial yang baru antara pria dan wanita. Muncullah pula peetentangan-pertentangan yang sengit antara suku-suku, bahkan antara pelbagai lapisan masyarakat; antara bangsa-bangsa yang kaya dan yang kurang mampu serta serba kekurangan; akhirnya, antara lembaga-lembaga internasional yang terbentuk atas keinginan para bangsa akan perdamaian, dan ambisi mempropagandakan ideologinya sendiri serta aspirasi-aspirasi kolektif yang terdapat pada bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok lain. Itu semua membangkitkan sikap saling tidak percaya dalam bermusuhan, konflikkonflik dan kesengsaraan, yang sebabnya dan sekaligus korbannya ialah manusia sendiri. 9. (Aspirasi-aspirasi umat manusia yang makin universal) Sementara itu bertumbuhlah keyakinan, bahwa umat manusia bukan hanya mampu dan harus semakin mengukuhkan kedaulatannya atas alam tercipta, melainkan juga bertugas untuk membentuk tata kenegaraan, kemasyarakatan dan ekonomi, yang semakin baik mengabdi manusia, dan membantu masing-masing perorangan maupun setiap kelompok, untuk menegaskan serta mengembangkan martabatnya sendiri. Maka amat banyaklah dengan sangat mendesak menuntut harta, yang mereka nilai dan mereka sadari sepenuhnya tidak tersedia bagi mereka akibat ketiad-adilan atau pembagian yang tidak sewajarnya. Bangsa-bangsa yang sedang berkembang, seperti yang akhir-akhir ini meraih kemerdekaan, ingin ikut memiliki harta peradaban zaman sekarang bukan hanya dibidang politik melainkan juga dibidang ekonomi, dan ingin secara bebas memainkan peran mereka di dunia. Padahal makin lama mereka makin ketinggalan, sering sekali juga ekonomi mereka makin tergantung dari bangsa-bangsa lebih kaya, yang lebih pesat pula kemajuannya. Bangsa-bangsa yang tertekan karena kelaparan meminta bantuan kepada bangsa-bangsa yang lebih kaya. Kaum wanita menuntut kesamaan dengan kaum pria berdasarkan hukum maupun dalam kenyataan, bila kesamaan itu belum mereka peroleh. Kaum buruh dan petani bukan saja hendak mendapat nafkah yang mereka perlukan, melainkan dengan bekerja hendak mengembangkan bakat-bakat pribadi mereka juga, bahkan berperan serta dalam menata kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya. Sekarang ini untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia semua bangsa sudah yakin, bahwa harta kekayaan budaya dapat dan harus secara sungguh merata dinikmati oleh semua. Adapun di balik semua tuntutan itu tersembunyi suatu dambaan yang lebih mendalam dan lebih umum, yakni: pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok haus akan kehidupan yang sepenuhnya, bersifat bebas, dan layak bagi manusia, dengan dapat memanfaatkan segala sesuatu yang secara begitu berlimpah dapat disajikan oleh dunia zaman sekarang. Selain itu bangsa-bangsa berusaha semakin keras untuk mencapai suatu masyarakat semesta. Dengan demikian dunia masa kini nampak sekaligus penuh kekuatan dan kelemahan, mampu menjalankan yang paling baik maupun yang paling buruk. Baginya terbuka jalan menuju kebebasan atau perbudakan, kemajuan atau kemunduran, persaudaraan atau kebencian. Kecuali itu manusia menyadari kewajibannya mengemudikan dengan cermat kekuatan-kekuatan yang dibangkitakannya sendiri, dan yang dapat menindas atau melayaninya. Maka ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada dirinya.

10. (Pertanyaan-pertanyaan mendalam umat manusia) Memang benarlah ketidak-seimbangan yang melanda dunia dewasa ini berhubungan dengan ketidak-seimbangan lebih mendasar, yang bearkar dalam hati manusia. Sebab dalam diri manusia sendiri pelbagai unsur sering berlawanan. Sebab di satu pihak, sebagai makhluk, ia mengalami keterbatasan dalam banyak hal; tetapi dilain pihak ia merasa diri tidak terbatas dalam keinginan-keinginannya, dan dipanggil untuk kehidupan yang lebih luhur. Menghadapi banyak hal yang serba menarik, ia terus menerus terpaksa memilih diantaranya dan melepaskan beberapa hal lainnya. Bahkan sebagai manusia lemah dan pendosa, ia tidak jarang melakukan apa yang tidak di kehendakinya, dan tidak menjalankan apa yang sebenarnya ingin dilakukannya[3]. Maka ia menderita perpecahan dalam dirinya, dan itulah yang juga menimbulkan sekian banyak pertentangan yang cukup berat dalam masyarakat. Memang banyak sekali juga, yang hidupnya diwarnai materialisme praktis, dan terhalang untuk menyadari dengan jelas keadaan mereka yang dramatis itu; atau sekurang-kurangnya tertindas oleh dukaderita, sehingga terhalang untuk masih memperhatikan keadaan itu. Banyak pula yang merasa dapat tengan-tenang saja menghadapi bermacam-macam tafsiran terhadap kenyataan-kenyataan. Ada pula, yang mengharapkan pembebasan umat manusia yang sejati dan sepenuhnya melulu dari usaha manusia, serta merasa yakin bahwa kedaulatan manusia atas dunia dimasa mendatang akan memenuhi semua keinginan hatinya. Pun ada juga, yang sudah putus asa memikirkan makna hidup, serta memuji keberanian mereka, yang menganggap hidup manusia sudah kehilangan semua artinya sendiri, tetapi toh berusaha memberinya seluruh arti berdasarkan akal budinya semata-mata. Namun menghadapi perkembangan dunia dewasa ini, semakin banyaklah mereka, yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan sangat mendasar, atau merasakannya lagi dengan tajam: apakah manusia itu? Manakah arti penderitaan, kejahatan, maut, yang toh tetap masih ada, kendati tercapai kemajuan sebesar itu? Untuk apakah kemenangankemenangan, yang dibayar semahal itu? Apakah yang dapat disumbangkan manusia kepada masyarakat? Apakah yang dapat diharapkan manusia dari padanya? Apakah yang akan menyusul kehidupan di dunia ini? Adapun Gereja mengimani, bahwa Kristus telah wafat dan bangkit bagi semua orang[4]. Ia mengurniakan kepada manusia terang dan kekuatan melalui Roh-Nya, supaya manusia mampu menanggapi panggilannya yang amat luhur. Dan dibawah langit tidak diberikan kepada manusia nama lain, yang bagi mereka harus menjadi pokok keselamatan[5]. Begitu pula Gereja percaya, bahwa kunci, pusat dan tujuan seluruh sejarah manusia terdapat pada Tuhan dan Gurunya. Selain itu Gereja menyatakan, bahwa dibalik segala perubahan ada banyak hal yang tidak berubah, dan yang mempunyai dasarnya yang terdalam pada diri Kristus, Dia yang tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya[6]. Jadi di bawah cahaya Kristus, Gambar Allah yang tidak kelihatan, Yang Sulung diantara segala ciptaan[7] itulah, Konsili bermaksud menyapa semua orang, untuk menyinari misteri manusia, dan untuk bekerja sama dalam menemukan pemecahan soal-soal yang paling penting pada zaman sekarang.

3

Lih. Rom 7:14 dsl. Lih. 2Kor 5:15. 5 Lih. Kis 4:12. 6 Lih. Ibr 13:8. 7 Lih. Kol 1:15. 4

BAGIAN PERTAMA

GEREJA DAN PANGGILAN MANUSIA 11. (Menanggapi dorongan Roh Kudus) Umat Allah, terodorng oleh iman, bahwa mereka dibimbing oleh Roh Tuhan yang memenuhi seluruh bumi, berusaha mengenali dalam peristiwa-peristiwa, tuntutantuntutan serta aspirasi-aspirasi yang mereka rasakan bersama dengan sesama lainnya pada zaman sekarang ini, mana sajakah dalam itu semua isyarat-isyarat sejati kehadiran atau rencana Allah. Sebab iman menyinari segala sesuatu dengan cahaya baru, dan memaparkan rencana ilahi tentang keseluruhan panggilan manusia; oleh karena itu membimbing akal budi manusia kearah cara-cara memecahkan soal yang sangat manusiawi. Konsili terutama bermaksud mempertimbangkan dalam cahaya itu nilai-nilai, yang dewasa ini sangat dijunjung tinggi, serta menghubungkannya dengan Sumbernya yang ilahi. Sebab nilai-nilai itu, sejauh berasal dari kodrat manusia yang dikurniakan oleh Allah, memang amat baik. Tetapi akibat kemerosotan hati manusia nilai-nilai itu tidak jarang dibelokkan dari arah yang seharusnya, sehingga perlu dijernihkan. Bagaimanakah pandangan Gereja tentang manusia? Apa sajakah yang agaknya perlu dianjurkan untuk membangun masyrakat zaman sekarang? Manakah arti terdalam kegiatan manusia di seluruh dunia? Pertanyaan-pertanyaan itu menantikan jawaban. Dari situ akan nampak lebih jelas, bahwa Umat Allah dan bangsa manusia yang mencakupnya saling melayani, sehingga nyatalah perutusan Gereja sebagai misi yang bersifat religius dan justru karena itu juga sangat manusiawi.

BAB SATU MARTABAT PRIBADI MANUSIA 12. (Manusia diciptakan menurut gambar Allah) Kaum beriman maupun tak beriman hampir sependapat, bahwa segala sesuatu di dunia ini harus diarahkan kepada manusia sebagai pusat dan puncaknya. Apakah manusia itu? Di masa silam dan sekarang pun ia mengemukakan banyak pandangan tentang dirinya, pendapat-pendapat yang beraneka pun juga bertentangan: seringkali ia menyanjung-nyanjung dirinya sebagai tolok ukur yang mutlak, atau merendahkan diri hingga putus asa; maka ia seraba bimbang dan gelisah. Gereja ikut merasakan kesulitan-kesulitan itu secara mendalam. Diterangi oleh Allah yang mewahyukan Diri, Gereja mampu menjawab kesukaran-kesukaran itu, untuk melukiskan keadaan manusia yang sesungguhnya, menjelaskan kelemahan-kelemahannya, sehingga serta merta martabat dan panggilannya dapat dikenali dengan cermat. Adapun kitab suci mengajarkan bahwa manusia diciptakan “menurut gambar Allah”; ia mampu mengenal dan mengasihi Penciptanya; oleh Allah manusia ditetapkan sebagai tuan atas semua makhluk di dunia ini [8], untuk menguasainya dan menggunkannya sambil meluhurkan Allah[9]. “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya 8 9

Lih. Kej 1:26; Keb 2:23. Lih. Sir 17:3-10.

hampir sama seperti Allah, dan memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau menjadikannya berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya” (Mzm 8:5-7). Tetapi Allah tidak menciptakan manusia seoarng diri: sebab sejak awal mula “Ia menciptakan mereka pria dan wanita” (Kej 1;27). Rukun hidup mereka merupakan bentuk pertama persekutuan antar pribadi. Sebab dari kodratnya yang terdalam manusia bersifat sosial; dan tanpa berhubungan dengan sesama ia tidak dapat hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannnya. Maka, seperti kita baca pula dalam Kitab suci, Aalah melihat “segala sesuatu yang telah dibuat-Nya, dan itu semua amat baiklah adanya” (Kej 1:31). 13. (Doa manusia) Akan tetapi manusia, yang diciptakan oleh Allah dalam kebenaran, sejak awal mula sejarah, atas bujukan si Jahat, telah menyalahgunakan kebebasannya. Ia memberontak melawan Allah, dan ingin mencapai tujuannya di luar Allah. Meskipun orang-orang mengenal Allah, mereka tidak memuliakan-Nya sebagai Allah; melainkan hati mereka yang bodoh diliputi kegelapan, dan mereka memilih mengabdi makhluk dari pada Sang Pencipta[10]. Apa yang kita ketahui berkat Perwahyuan itu memang cocok dengan pengalaman sendiri. Sebab bila memeriksa batinnya sendiri manusia memang menemukan juga, bahwa ia cenderung untuk berbuat jahat, dan tenggelam dalam banyak hal-hal buruk, yang tidak mungkin berasal dari Penciptanya yang baik. Sering ia menolak mengakui Allah sebagai dasar hidupnya. Dengan demikian ia merusak keterarahannya yang sejati kepada tujuan yang terakhir, begitu pula seluruh hubungannya yang sesungguhnya dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dan dengan segenap ciptaan. Oleh karena itu dalam batinnya manusia mengalami perpecahan. Itulah sebabnya, mengapa seluruh hidup manusia, ditinjau secara perorangan maupun secara kolektif, nampak sebagai perjuangan, itu pun perjuangan yang dramatis, antara kebaikan dan kejahatan, antara terang dan kegelapan. Bahkan manusia mendapatkan dirinya tidak mampu untuk atas kuasanya sendiri memerangi serangan-serangan kejahatan secara efektif, sehingga setiap orang merasa diri ibarat terbelenggu dengan rantai. Akan tetapi datanglah Tuhan sendiri untuk membebaskan dan meneguhkan manusia, dengan membaharuinya dari dalam, dan dengan melemparkan keluar penguasa dunia ini (lih. Yoh 12:31), yang menahan manusia dalam perbudakan dosa[11]. Adapun dosa yang merongrong manusia sendiri dengan menghalang-halanginya untuk mencapai kepenuhannya. Dalam terang Perwahyuan itulah baik panggilan luhur maupun kemalangan mendalam, yang dialami oleh manusia, menemukan penjelasannya yang terdalam. 14. (Kodrat manusia) Manusia, yang satu jiwa raganya, melalui kondisi badaniahnnya sendiri menghimpun unsur-unsur dunia jasmani dalam dirinya, sehingga melalui unsur-unsur itu mencapai tarafnya tertinggi, dan melambungkan suaranya untuk dengan bebas memuliakan Sang Pencipta[12]. Oleh karena itu manusia tidak boleh meremehkan hidup jasmaninya; melainkan sebaliknya, ia wajib memandang baik serta layak dihormati badannya sendiri, yang diciptakan oleh Allah dan harus dibangkitkan pada hari terakhir. Tetapi karena manusia terlukai oleh dosa, ia mengalami pemberontakan pada badannya. Maka dari itu martabat manusia sendiri menuntut, supaya ia meluhurkan Allah dalam badannya[13], dan jangan membiarkan badan itu melayani kecondongan-kecondongan hatinya yang baik. 10

Lih. Rom 1:21-25. Lih. Yoh 8:34. 12 Lih. Dan 3:57-90. 13 Lih. 1Kor 6:13-20. 11

Akan tetapi manusia tidak salah, bila ia menyadari keunggulannya terhadap hal-hal jasmani, dan tidak sekedar memandang dirinya sebagai sebagian kecil saja dalam alam tercipta, atau sebagai unsur tak bernama dalam masyarakat manusia. Sebab dengan hidup batinnya ia melampaui semesta alam. Ia kembali kepada hidup batinnya yang mendalam itu, bila ia berbalik kepada hatinya; disitulah Allah yang menyelami lubuk hati [14] menantikannya; di situ pula ia mengambil keputusan tentang nasibnya sendiri di bawah pandangan Allah. Maka dari itu, dengan menyadari bahwa jiwa dalam dirinya bersifat rohani dan kekal abadi, ia tidak tertipu oleh khayalan yang menyesatkan dan timbul dari kondisi-kondis fisik atau sosial semata-mata, melainkan sebaliknya ia justru menjangkau kebenaran yang terdalam. 15. (Martabat akalbudi, kebenaran dan kebijaksanaan) Sungguh tepatlah pandangan manusia yang ikut menerima pandangan Budi ilahi, bahwa dengan akalbudinya ia melampaui seluruh alam. Memang, dengan mengerahkan tanpa kenal lelah kecerdasan nalarnya di sepanjang zaman, ia telah mencapai kemajuan dalam ilmu pengetahuan empiris, dalam ketrampilan teknis dan dalam ilmu-ilmu kerohanian. Tetapi pada zaman sekarang ini ia telah mencapai hasil-hasil yang gemilang terutama dengan menyelidiki alam bendawi serta menakhlukkannya kepada dirinya. Tetapi ia terus mencari dan menemukan kebenaran yang semakin mendalam. Sebab pemahamannya tidak terbatas pada gejala-gejala melulu, melainkan mampu menangkap dengan sungguh pasti kenyataan yang terbuka bagi budi manusia, meskipun akibat dosa akal budi itu sebagian telah menjadi kabur dan lemah. Akhirnya kodrat nalariah pribadi manusia disempurnakan melalui kebijaksanaan, yang dengan cara yang menyenangkan menarik budi manusia untuk mencari dan mencintai apa yang serba benar dan baik. Dengan kebijaksanaan itu manusia diantar melalui alam yang kelihatan kepada kenyataan yang tidak kelihatan. Adapun zaman kita sekarang, lebih dari abad-abad sebelum ini, membutuhkan kebijaksanaan itu, supaya apa saja yang ditemukan baru oleh manusia menjadi lebih manusiawi. Sebab bila tidak bangkit orang-orang yang lebih bijaksana, nasib dunia di kemudian hari terancam bahaya. Kecuali itu perlu diperhatikan, bahwa pelbagai bangsa, yang memang lebih miskin harta ekonominya, tetapi lebih kaya kebijaksanaan, dapat menyumbangkan jasanya yang sungguh besar kepada bangsa-bangsa lain. Berkat kurnia Roh Kudus, manusia dalam iman makin mendekat untuk berkontemplasi tentang misteri Rencana ilahi serta menikmatinya[15]. 16. (Martabat hati nurani) Di lubuk hatinya manusia menemukan hukum, yang tidak di terimanya dari dirinya sendiri, melainkan harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu menggema dalam lubuk hatinya: jalankanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu, dan menurut hukum itu pula ia akan diadili[16]. Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya[17]. Berkat hati nurani dikenallah secara ajaib hukum, yang dilaksanakan dalam cinta kasih terhadap Allah dan terhadap sesama[18]. Atas kesetiaan terhadap hati nurani Umat kristiani bergabung dengan sesama lainnya untuk mencari kebenaran, dan untuk dalam kebenaran itu memecahkan sekian banyak persoalan moral, yang timbul baik dalam hidup perorangan maupun dalam 14

Lih. 1Raj 16:7; Yer 17:10. Lih. Sir 17:7-8. 16 Lih. Rom 2:14-16. 17 Lih. PIUS XII, amanat radio “tentang cara yang tepat untuk membina hati nurani pada kaum muda”, tgl. 23 Maret 1952: AAS 44 (1952), hlm. 271. 18 Lih. Mat 22:37-40; Gal 5:14. 15

hidup kemasyarakatan. Oleh karena itu semakin besar pengaruh hati nurani yang cermat, semakin jauh pula pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok menghindar dari kemauan yang membabi-buta, dan semakin mereka berusaha untuk mematuhi normanorma kesusilaan yang objektif. Akan tetapi tidak jaranglah terjadi bahwa hati nurani tersesat karena ketidaktahuan yang tak teratasi, tanpa kehilangan martabatnya. Tetapi itu tidak dapat dikatakan tentang orang, yang tidak peduli untuk mencari apa yang benar serta baik, dan karena kebiasaan berdosa hati nuraninya lambat laun hampir menjadi buta. 17. (Keluhuran kebebasan) Adapun manusia hanya dapat berpaling kepada kebaikan bila ia bebas. Kebebasan itu oleh orang-orang zaman sekarang sangat dihargai serta dicari penuh semangat, dan memang tepatlah begitu. Tetapi sering pula orang-orang mendukung kebebasan dengan cara yang salah, dan mengartikannya sebagai kesewenang-wenanganuntuk berbuat apa pun sesuka hatinya, juga kejahatan. Sedangkan kebebasan yang sejati merupakan tanda yang mulia gambar Allah dalam diri manusia. Sebab Allah bermaksud menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri [19], supaya ia dengan sekarela mencari Penciptanya, dan dengan mengabdi kepada-Nya secara bebas mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang membahagiakan. Maka martabat manusia menuntut, supaya ia bertindak menurut pilihannya yang sadar dan bebas, artinya: digerakkan dan di dorong secara pribadi dari dalam, dan bukan karena rangsangan hati yang buta, atau sematamata paksaan dari luar. Adapun manusia mencapai martabat itu, bila ia membebaskan diri dari segala penawanan nafsu-nafsu, mengejar tujuannya dengan secara bebas memilih apa yang baik, serta dengan tepat-guna dan jerih-payah yang tekun mengusahakan sarana-sarananya yang memadai. Kebebasan manusia terluka oleh dosa; maka hanya berkat bantuan rahmat Allah mampu mewujudkan secara konkrit nyata arah-gerak hatinya kepada Allah. Adapun setiap orang harus mempertanggungjawabkan perihidupnya sendiri di hadapan takhta pengadilan Allah, sesuai dengan perbuatannya yang baik maupun yang jahat[20]. 18. (Rahasia maut) Di hadapan mautlah teka-teki kenyataan manusia mencapai puncaknya. Manusia sungguh menderita bukan hanya karena rasa sakit dan semakin rusaknya badan, melainkan juga, bahkan lebih lagi, karena rasa takut akan kehancuran yang definitif. Memang wajarlah perasaan berdasarkan naluri hatinya, bila ia mengelakkan dan menolak kehancuran total dan tamatnya riwayat pridadinya untuk selamanya. Tetapi benih keabadian yang dibawanya serta tidak dapat dikembalikan kepada kejasmanian belaka, maka memberontak melawan maut. Segala upaya keahlian tehnis, kendati sangat berguna, tidak mampu meredakan kegelisahan manusia. Sebab lanjutnya usia yang diperpanjang secara biologis pun tidak dapat memuaskan kerinduannya akan hidup di akhirat, yang berurat akar dalam hatinya dan pantang hancur. Sementara kenyataan maut sama sekali tidak terbayangkan, Gereja yang diterangi oleh perwahyuan ilahi menyatakan, bahwa manusia diciptakan oleh Allah untuk tujuan penuh kebahagiaan, melampaui batas-batas kemalangan di dunia. Kecuali itu kematian badan, yang dapat di hindari seandainya manusia tidak berdosa[21], menurut iman kristiani akan dikalahkan, karena manusia akan dipulihkan oleh Sang Penyelamat yang mahakuasa dan penuh belas kasihan kepada keselamatan, yang telah hilang karena kesalannya. Sebab Allah telah dan tetap memanggil manusia, untuk dengan seutuh kodratnya bersatu dengan Allah dalam persekutuan kekal-abadi kehidupan ilahi yang tak kenal binasa. Kejayaannya itu di rebut oleh Kristus, yang dengan wafat-Nya membebaskan manusia 19

Lih. Sir 15:14. Lih. 2Kor 5:10. 21 Lih. Keb 1:13; 2:23-24; Rom 5:21; 6:23; Yak 1:15. 20

dari maut, dan telah bangkit untuk kehidupan[22]. Maka kepada setiap orang, yang dalam kecemasannya tentang nasibnya dikemudian hari merenungkan semua itu, iman yang di sajikan dengan dasar-dasar pemikiran yang tangguh menyampaikan jawaban. Sekaligus iman membuka kemungkinan baginya untuk dalam Kristus berkomunikasi dengan saudara-saudaranya terkasih yang sudah direnggut oleh maut, seraya menumbuhkan harapan, bahwa mereka telah menerima kehidupan sejati di hadirat Allah. 19. (Bentuk-bentuk dan akar-akar ateisme) Makna paling luhur martabat manusia terletak pada panggilannya untuk memasuki persekutuan dengan Allah. Sudah sejak asal mulanya manusia diundang untuk berwawancara dengan Allah. Sebab manusia hanyalah hidup, karena ia diciptakan oleh Allah dalam cinta kasih-Nya, dan lestari hidup berkat cinta kasih-Nya. Dan manusia tidak sepenuhnya hidup menurut kebenaran, bila ia tidak dengan sukarela mengakui cinta kasih itu, serta menyerahkan diri kepada Penciptanya. Akan tetapi banyak diantara orang-orang zaman sekarang sama sekali tidak menyadari hubungan kehidupan yang mesra dengan Allah itu atau tegas-tandas menolaknya, sehingga sekarang ini ateisme memang termasuk kenyataan yang paling gawat, dan perlu di selidiki dengan lebih cermat. Istilah “ateisme” menunjuk kepada gejala-gejala yang sangat berbeda satu dengan lainnya. Sebab ada sekelompok orang yang jelas-jelas mengingkari Allah; ada juga yang beranggapan bahwa manusia sama sekali tidak dapat mengatakan apa-apa tentang Dia; ada pila yang menyelidiki persoalan tentang Allah dengan metode sedemikian rupa, sehingga masalah itu nampak kehilangan makna. Banyak orang secara tidak wajar melampaui batas-batas ilmu positif, lalu atau berusaha keras untuk menjelaskan segala sesuatu dengan cara yang melulu ilmiah itu, atau sebaliknya sudah sama sekali tidak menerima adanya kebenaran yang mutlak lagi. Ada yang menjunjung tinggi manusia sedemikian rupa, sehingga iman akan Allah seolah-olah lemah tak berdaya; Agaknya mereka lebih cenderung untuk mengukuhkan kedudukan manusia dari pada untuk mengingkari Allah. Ada juga yang menggambarkan Allah sedemikian rupa, sehingga hasil khayalan yang mereka tolak itu memang sama sekali bukan Allah menurut Injil. Orang-orang lain bahkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang Allah pun tidak, sebab rupa-rupanya mereka tidak mengalami kegoncangan keagamaan, atau juga tidak menangkap mengapa masih perlu mempedulikan agama. Selain itu ateisme tidak jarang timbul atau dari sikap memprotes keras kejahatan yang berkecamuk di dunia, atau karena secara tidak masuk akalklaim sifat mutlak dikenakan pada nilai manusiawi tertentu, sehingga nilai-nilai itu sudah dianggap menggantikan Allah. Peradaban zaman sekarang pun, bukannya dari diri sendiri, melainkan karena terlalu erat terjalin dengan hal-hal duniawi, acap kali dapat lebih mempersulit orang untuk mendekati Allah. Memang, mereka yang dengan sengaja berusaha menjauhkan Allah dari hatinya serta menghindari soal-soal keagamaan, tidak mengikuti suara hati nurani mereka, maka bukannya tanpa kesalahan. Akan tetapi kaum beriman sendiripun sering memikul tanggung jawab atas kenyataan itu. Sebab ateisme, dipandang secara keseluruhan, bukanlah sesuatu yang asli, melainkan lebih tepat dikatakan timbul karena pelbagai sebab, antara lain juga karena reaksi kritis terhadap agama-agama, itu pun di berbagai daerah terhadap agama kristiani. Oleh karena itu dalam timbulnya ateisme itu Umat beriman dapat juga tidak kecil peran sertanya, yakni: sejauh mereka – dengan melalaikan pembinaan iman, atau dengan cara memaparkan ajaran yang sesat, atau juga karena cacat-cela mereka dalam kehidupan keagamaan, moral dan kemasyarakatan – harus dikatakan lebih menyelebungi dari pada menyingkapkan wajah Allah yang sejati maupun agama yang sesungguhnya.

22

Lih. 1Kor 15:56-57.

20. (Ateisme sistematis) Sering pula ateisme modern mengenakan bentuk sistematis. Terlepas dari sebab musabab lainnya, ateisme sistematis itu mendorong hasrat manusia akan otonomi sedemikian jauh, sehingga menimbulkan kesulitan terhadap sikap tergantung dari Allah yang manapun juga. Mereka yang menyatakan diri penganut ateisme semacam itu mempertahankan, bahwa kebebasan berarti: manusia menjadi tujuan bagi dirinya sendiri; ialah satu-satunya perancang dan pelaksana riwayatnya sendiri. Menurut anggapan mereka itu tidak dapat diselaraskan dengan pengakuan Tuhan sebagai Pencipta dan tujuan segala sesuatu; atau setidak-tidaknya pernyataan semacam itu percuma saja. Ajaran itu di dukung oleh perasaan berkuasa, yang ditanam pada manusia oleh kemajuan teknologi zaman sekarang. Di antara bentuk-bentuk ateisme zaman sekarang janganlah dilewatkan bentuk, yang mendambakan pembebasan manusia terutama dari pembebasannya di bidang ekonomi dan sosial. Bentuk ateisme itu mempertahankan, bahwa agama dan hakekatnya merintangi kebebasan itu, sejauh menimbulkan pada manusia harapan akan kehidupan di masa mendatang yang semu saja, dan mengalkkannya dari pembangunan masyarakat dunia. Maka dari itu para pendukung ajaran semacam itu, bila memegang pemerintahan negara, dengan sengitnya menentang agama; mereka menyebarluaskan ateisme, juga dengan menggunakan upaya-upaya untuk menekan, yang ada ditangan pemerintah, terutama dalam pendidikan kaum muda. 21. (Sikap Gereja menghadapi ateisme) Dalam kesetiaannya terhadap Allah dan terhadap manusia Gereja tidak dapat lain kecuali tiada hentinya, dengan sedih tetapi juga dengan amat tegas, mengecam ajaran-ajaran maupun tindakan-tindakan yang berbahaya itu, yang bertentangan dengan akal budi dan pengalaman umum manusiawi, dan meruntuhkan manusia dari keluhurannya menurut asalnya, sebagaimana sebelum ini Gereja telah mengecamnya[23]. Tetapi Gereja berusaha menggali sebab musababnya yang terselubung, mengapa dalam pemikiran kaum ateis Allah diingkari. Karena menyadari menyadari beratnya masalah-persoalan yang ditimbulakan oleh ateisme, dan karena terdorong oleh cinta kasih terhadap semua orang, Gereja berpandangan, bahwa soal-soal itu perlu di selidiki secara serius dan lebih mendalam. Gereja berpendirian, bahwa pengakuan terhadap Allah sama sekali tidak beralawanan dengan martabat manusia, sebab martabat itu di dasarkan pada Allah sendiri dan di sempurnakan di dalam-Nya. Sebab oleh Allah Pencipta manusia ditempatakan dalam masyarakat sebagai ciptaan yang berakalbudi dan berkehendak bebas. Tetapi terutama manusia dipanggilsebagai putera untuk hidup dalam persekutuan dengan Allah dan ikutserta menikmati kebahagiaan-Nya. Selain itu Gereja mengajarkan, bahwa karena harapan akan zaman terakhir tugas-tugas duniawi bukannya berkurang pentingnya; melainkan penunaiannya justru diteguhkan dengan motivasi-motivasi yang baru. Sebaliknya, bila tidak ada dasar ilahi dan harapan akan hidup kekal, martabat manusia menanggung luka-luka amat berat, seperti sekarang ini ternyata; lagi pula teka-teki kehidupan dan kematian, kesalahan maupun penderitaan, tetap tidak terpecahkan, sehingga tidak jarang orang-orang terjerumus ke dalam rasa putus asa. Sementara itu setiap orang bagi dirinya sendri tetap menjadi masalah yang tidak terselesaikan, ditangkap samar-samar. Sebab pada saat-saat tertentu, terutama pada peristiwa-peristiwa hidup yang agak penting, tidak seoarang pun mampu menghindari sama sekali pernyataan tersebut di atas. Persoalan itu hanya Allah-lah yang dapat menjawab sepenuhnya dan dengan sepasti-pastinya, Dia yang memanggil manusia ke arah pemikiran yang lebih mendalam dan penyelidikan yang lebih rendah hati. 23

Lih. PIUS XI, Ensiklik Divini Redemptori, tgl. 19 Maret 1937: AAS 29 (1937) hlm. 65-106. – PIUS XII, Ensiklik Ad Apostolorum Principis, tgl. 29 Juni 1958: AAS 50 (1958) hlm. 601-614. – YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 451-452. – PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 651-653.

Adapun penawar bagi ateisme harus diharapkan dari ajaran yang di paparkan dengan baik, maupun dari perihidup Gereja serta para anggotanya secara menyeluruh. Sebab panggilan Gerejalah menghadirkan dan seperti mengejawantahkan Allah Bapa beserta Putera-Nya yang menjelma, dengan terus menerus membaharui dan membersihkan diri di bawah bimbingan Roh Kudus[24]. Itu terutama terlaksana melalui kesaksian iman yang hidup dan dewasa, artinya telah dibina untuk mampu menangkap dengan jelas kesulitankesulitan yang muncul dan mengatasinya. Kesaksian iman yang gemilang itu di masa silam dan sekarang ini disampaikan oleh amat banyak saksi iman. Iman itu harus menampakkan kesuburannya dengan merasuki seluruh hidup kaum beriman, juga hidup mereka yang profan, dan dengan menggerakkan mereka untuk menegakkan keadilan dan mengamalkan cinta kasih, terutama terhadap kaum miskin. Akhirnya untuk menampilkan kehadiran Allah sangat mendukunglah kasih persaudaraan Umat beriman, yang sehati sejiwa berjuang demi iman yang bersumber pada Injil[25], serta membawakan diri sebagai tanda kesatuan. Akan tetapi Gereja, sungguh pun sama sekali menolak ateisme, dengan tulus hati menyatakan, bahwa semua orang, beriman maupun tidak, harus menyumbangkan jasa untuk membangun dengan baik dunia ini, yang merupakan temapt kediaman mereka bersama. Tentu saja itu tidak dapat terlaksana tanpa perundingan yang tulus dan bijaksana. Maka Gereja juga menyesalkan diskrimanasi antara kaum beriman dan kaum tak beriman, yang secara tidak adil diberlakukan oleh beberapa pemimpin negara, yang tidak mengakui hak-hak asasi pribadi manusia. Adapun bagi Umat beriman Gereja sungguh-sungguh menghendaki kebebasan yang efektif, supaya mereka diizinkan juga untuk mendirikan kenisah Allah di dunia ini. Dengan tulus hati Gereja mengundang kaum ateis, untuk mempertimbangkan Injil Kristus dengan hati terbuka. Sebab bila Gereja mengembalikan harapan kepada mereka, yang karena putus asa sudah tidak berpikir lagi tentang perbaikan mutu hidup mereka, dan dengan demikian membela martabat panggilan manusia, Gereja sungguh yakin, bahwa amanatnya menaggapi dambaan-dambaan hati manusia yang paling rahasia. Pesan itu bukannya mengurangi harkat manusia, melainkan melimpahkan terang, kehidupan dan kebebasan demi kemajuannya; dan selain itu tiada sesuatu pun yang dapat memuaskan hati manusia: “Engkau telah menciptakan kami untuk Dikau”, ya Tuhan, “dan gelisahlah hati kami, sebelum beristirahat dalam Dikau[26]. 22. (Kristus Manusia Baru) Sesungguhnya hanya dalam misteri Sabda yang menjelamalah misteri manusia benarbenar menjadi jelas. Sebab Adam, manusia pertama, menggambarkan Dia yang akan datang[27], yakni Kristus Tuhan. Kristus, Adam yang Baru, dalam perwahyuan misteri Bapa serta cinta kasih-Nya sendiri, sepenuhnya menampilkan manusia bagi manusia, dan membeberkan kepadanya penggilannya yang amat luhur. Maka tidak mengherankan pula, bahwa dalam Dia kebenaran-kebenaran yang diuraikan diatas mendapatkan sumbernya dan mencapai puncaknya. Dialah “gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kol 1:15)[28]. Dia pulalah manusia sempurna, yang menggembalikan kepada anak-anak Adam citra ilahi, yang telah ternodai sejak dosa pertama. Dan karena dalam Dia kodrat manusia disambut, bukannya dienyahkan[29], maka dalam diri kita pun kodrat itu diangkat mencapai martabat yang

24

Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 8. Lih. Flp 1:27. 26 Lih. S. AGUSTINUS, Pengakuan, I, 1: PL 32,661. 27 Lih. Rom 5:14. – Bdk. TERTULIANUS, Tentang kebangkitan daging, 6: “Sebab apa yang diungkapkan oleh tanah liat, melambangkan manusia yang akan datang, yakni Kristus”: PL 2,802(848); CSEL, 47, hlm. 33, 12-13. 28 Lih. 2Kor 4:4. 29 KONSILI KONSTANTINOPEL II, kanon 7: “Allah Sabda tidak diubah menjadi kodrat daging, begitu pula daging tidak beralih menjadi kodrat Sabda”: DENZ. 219 (428). – Bdk. Juga KONSILI KONSTANTINOPEL III: “Sebab seperti daging-Nya yang manat suci, tidak bercela dan berjiwa, tidak dienyahkan karena diilahikan, melainkan tetap bertahan 25

amat luhur. Sebab Dia, Putera Allah, dalam penjelmaan-Nya dengan cara tertentu telah menyatukan diri dengan setiap orang. Ia telah bekerja memakai tangan manusiawi, Ia berpikir memakai akalbudi manusiawi, Ia bertindak atas kehendak manusiawi [30], Ia mengasihi dengan hati manusiawi. Ia telah lahir dari Perawan Maria, sungguh menjadi salah seorang diantara kita, dalam segalanya sama seperti kita, kecuali dalam hal dosa[31]. Dengan menumpahkan darah-Nya secara sukarela Anakdomba yang tak bersalah telah berpahala, memperoleh kehidupan bagi kita; dan dalam Dia Allah telah mendamaikan kita dengan Dirinya dan antara kita sendiri [32]; dan Ia telah merebut kita dari perbudakan setan dan dosa, sehingga kita masing-masing dapat berkata bersama Rasul: Putera Allah “telah mengasihi aku, dan menyerahkan Diri bagiku” (Gal 2:20). Dengan menanggung penderitaan bagi kita Ia bukan hanya memberi teladan supaya kita mengikuti jejak-Nya[33]; melainkan Ia juga memulihkan jalan; sementara jalan itu kita tempuh, hidup dan maut disucikan dan menerima makna yang baru. Adapun orang kristiani yang telah menyerupai citra Putera, yakni yang Sulung diantara banyak saudara[34]; ia telah menerima “kurnia sulung Roh” (Rom 8:23), dan karena itu menjadi mampu melaksanakan hukum baru cinta kasih[35]. Melalui Roh itu, “jaminan warisan kita” (Ef 1:14), manusia seutuhnya diperbaharui batinnya, hingga “penebusan badannya” (Rom 8:23): “Bila Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, tinggal dalam kamu, maka Dia yang telah membangkitkan Yesus Kristus dari antara orang mati, maka membangkitkan badanmu yang fana itu juga, demi Roh-Nya yang diam dalam kamu” (Rom 8:11)[36]. Pastilah kebutuhan dan tugas mendesak orang kristiani untuk melalui banyak duka derita berjuang melawan kejahatan dan menanggung maut; akan tetapi ia tergabung dengan misteri Paska, menyerupai wafat Kristus, dan diteguhkan oleh harapan akan melaju menuju kebangkitan[37]. Itu bukan hanya berlaku bagi kaum beriman kristiani, melainkan bagi semua orang yang berkehendak baik, yang hatinya menjadi kancah kegiatan rahmat yang tidak kelihatan[38]. Sebab karena Kristus telah wafat bagi semua orang[39], dan panggilan terakhir manusia benar-benar hanya satu, yakni bersifat ilahi, kita harus berpegang teguh, bahwa Roh Kudus membuka kemungkinan bagi semua orang, untuk dengan cara yang diketahui oleh Allah digabungkan dengan misteri Paska itu. Seperti itu dan seagung itulah misteri manusia, yang berkat perwahyuan kritiani dan dalam Kristus disinarilah teka-teki penderitaan maut, yang diluar Injil-Nya melanda kita. Kristus telah bangkit; dengan wafat-Nya Ia menghancrukan maut. Dan Ia telah mengurniakan kehidupan kepada kita[40], supaya sebagai putera-puteri dalam Sang Putera, kita berseru dalam Roh: “Abba, ya Bapa!”[41].

dalam keadaan serta caranya berbeda …”: DENZ. 291 (556). – Bdk. KONSILI KALSEDON: “… harus diakui dalam dua kodrat secara tidak berbaur, tidak berubah, tidak terbagi, tidak terceraikan”: DENZ. 148 (302). 30 Lih. KONSILI KONSTANTINOPEL III: “Begitulah kehendak manusiawinya yang diilahikan pun tidak dienyahkan”: Denz. 291 (556). 31 Lih. Ibr 4:15. 32 Lih. 2Kor 5:18-19; Kol 1:20-22. 33 Lih. 1Ptr 2:21; Mat 16:24; Luk 14:27. 34 Lih. Rom 8:29; Kol 1:18. 35 Lih. Rom 8:1-11. 36 Lih. 2Kor 4:14. 37 Lih. Flp 3:10; Rom 8:17. 38 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 16. 39 Lih. Rom 8:32. 40 Bdk. Liturgi Paska menurut ritus Bizatin. 41 Lih. Rom 8:15 dan Gal 4:6; lih. juga Yoh 1:12 dan 1Yoh 3:1-2.

BAB DUA MASYARAKAT MANUSIA 23. (Maksud Konsili) Di antara segi-segi dunia zaman sekarang termasuk berlipatgandanya hubunganhubungan timbal-balik antra manusia. Kemajuan tehnik dewasa ini amat banyak berjasa bagi perkembangan itu. Akan tetapi dialog persaudaraan antar manusia tidak mencapai kesempurnaannya dalam kemajuan itu, melainkan secara lebih mendalam kesempurnaan itu tercapai dalam kebersamaan pribadi-pribadi, yang menuntut sikap saling menghormati terhadap martabat rohani mereka yang sepenuhnya. Ada pun untuk memajukan persekutuan antar pribadi itu Perwahyuan kristiani sangat membantu, sekaligus mengantar kita kepada pengertian hukum-hukum kehidupan sosial, yang oleh Sang Pencipta telah ditulis dalam kodrat rohani dan susila manusia. Karena akhir-akhir ini dokumen-dokumen Magisterium Gereja telah menyampaikan uraian yang lebih luas mengenai ajaran kristiani tentang masyarakat manusia[42], maka Konsili hanya mengingatkan beberapa kebenaran yang lebih penting saja, dan menjelaskan dasar-dasarnya dalam terang Perwahyuan. Kemudian akan menggarisbawahi beberapa konsekwensi, yang pada zaman kita sekarang cukup penting. 24. (Sifat kebersamaan panggilan manusia dalam rencana Allah) Allah, yang sebagai Bapa memelihara semua orang, menhendaki agar mereka semua merupakan satu keluarga, dan saling menghadapi dengan sikap persaudaraan. Sebab mereka semua diciptakan menurut gambar Allah, yang “menghendaki segenap bangsa manusia dari satu asal mendiami seluruh muka bumi” (Kis 17:26). Mereka semua dipanggil untuk satu tujuan yang sama, yakni Allah sendiri. Oleh karena itu cinta kasih terhadap Allah dan sesama merupakan perintah yang pertama dan terbesar. Kita belajar dari Kitab suci, bahwa kasih terhadap Allah tidak terpisahkan dari kasih terhadap sesama: “… sekiranya ada perintah lain, itu tercakup dalam amanat ini: Hendaknya engkau mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri … jadi kepenuhan hukum ialah cinta kasih” (Rom 13:9-10; lih. 1Yoh 4:20). Menjadi makin jelaslah, bahwa itu sangat penting bagi orang-orang yang semakin saling tergantung dan bagi dunia yang semakin bersatu. Bahakan ketika Tuhan Yesus berdoa kepada Bapa, supaya “semua orang menjadi satu …, seperti kita pun satu” (Yoh 17:21-22), dan membuka cakrawala yang tidak terjangkau oleh akalbudi manusiawi, ia mengisyaratkan kemiripan antara persatuan Pribadi-Pribadi ilahi dan persatuan putera-puteri Allah dalam kebenaran dan cinta kasih. Keserupaan itu menampakkan, bahwa manusia, yang di dunia ini merupakan satu-satunya makhluk yang oleh Allah dikehendaki demi dirinya sendiri, tidak dapat menemukan diri sepenuhnya tanpa dengan tulus hati memberikandirinya[43]. 25. (Pribadi manusia dan masyarakat manusia saling tergantung) Dari sifat sosial manusia nampaklah, bahwa pertumbuhan pribadi manusia dan perkembangan masyarakat sendiri saling tergantung. Sebab asas, subjek dan tujuan semua lembaga sosial ialah dan memang seharusnyalah pribadi manusia; berdasarkan kodratnya ia sungguh-sungguh memerlukan hidup kemasyarakatan[44]. Maka karena bagi manusia hidup kemasyrakatan itu bukanlah suatu tambahan melulu, oleh karena itu melalui pergaulan dengan sesama, dengan saling berjasa, melalui dialog dengan sesama 42

Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 257-307. – PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 609-659. 43 Lih. Luk 17:33. 44 Lih. S. TOMAS, Etika I, pelajaran 1.

saudara, manusia berkembang dalam segala bakat-pembawaannya, dan mampu menanggapi panggilannya. Diantara ikatan-ikatan sosial, yang diperlukan bagi pertumbuhan manusia, ada, seperti keluarga dan masyarakat politik, yang lebih langsung selaras dengan kodratnya sedalam-dalamnya; ada pula ikatan-ikatan yang lebih bersumber pada kehendak bebasnya. Pada zaman kita sekarang, karena pelbagai sebab, hubungan-hubungan timbalbalik dan saling katergantungan semakin berlipatganda. Karena itulah muncul pelbagai perserikatan dan lembaga, entah yang bersifat umum entah swasta. Kenyataan yang disebut sosialisasi itu memang bukannya tanpa bahaya; tetapi juga membawa banyak keuntungan, untuk memantapkan dan mengembangkan sifat-sifat pribadi manusia dan membela hak-haknya[45]. Tetapi kalau pribadi-pribadi manusia untuk memenuhi panggilannya, juga perihal agama, menerima banyak dari hidup kemasyarakatan itu, dilain pihak tidak dapat diingkari, bahwa – karena kondisi-kondisi sosial yang dialaminya dan karena sejak kecil ia tenggelam di dalamnya, - sering pula orang-orang menjauh dari amal-perbuatan baik dan terdorong ke arah yang tidak baik. Sudah jelaslah bahwa, gangguan-gangguan yang begitu sering timbul di bidang kemasyarakatan, sebagian bersumber pada ketegangan dalam struktur-struktur ekonomi, politik dan sosial sendiri. Tetapi secara lebih mendalam kekeruhan itu timbul dari cinta diri dan kesombongan orang-orang, dan sekaligus merusak lingkungan sosial. Bila tata-tertib tercemarkan oleh akibat-akibat dosa, manusia, yang dari semula condong ke arah kejahatan, kemudian menghadapi rangsanganrangsangan baru untuk berdosa. Dorongan-dorongan itu tidak dapat diatasi tanpa usahausaha yang tangkas berkat bantuan rahmat. 26. (Memajukan kesejahteraan umum) Karena saling ketergantungan itu semakin meningkat dan lambat-laun meluas ke seluruh dunia, maka kesejahteraan umum sekarang ini juga semakin bersifat universal, dan oleh karena itu mencakup hak-hak maupun kewajiban-kewajiban, yang menyangkut sekluruh umat manusia. Yang dimaksudkan dengan kesejahteraan umum ialah: keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri. Setiap kelompok harus memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan serta aspirasi-aspirasi kelompok-kelompok lain yang wajar, bahkan kesejahteraan umum segenap keluarga manusia[46]. Tetapi serta-merta berkembanglah kesadaran dan unggulnya martabat pribadi manusia, karena melampaui segala sesuatu, lagi pula hak-hak maupun kewajibankewajibannya bersifat universal dan tidak dapat diganggu-gugat. Maka sudah seharusnyalah, bahwa bagi manusia disediakan segala sesuatu, yang dibutuhkannya untuk hidup secara sungguh manusiawi, misalnya nafkah, pakaian, perumahan, hak untuk dengan bebas memilih status hidupnya dan untuk membentuk keluarga, hak atas pendidikan, pekerjaan, nama baik, kehormatan, informasi yang semestinya, hak untuk bertindak menurut norma hati nuraninya yang benar, hak atas perlindungan hidup perorangan, dan atas kebebasan yang wajar, juga perihal agama. Jadi tata-masyarakat serta kemajuannya harus tiada hentinya menunjang kesejahteraan pribadi-pribadi; sebab penataan hal-hal harus dibawahkan kepada tingkatan pribadi-pribadi, dan jangan sebaliknyamenurut yang diisyaratkan oleh Tuhan sendiri ketika bersabda bahwa hari Sabbat itu ditetapkan demi manusia, dan bukan manusia demi hari Sabbat[47]. Tata dunia itu harus semakin dikembangkan, didasarkan pada kebenaran, dibangun dalam keadilan, dihidupkan dengan cinta kasih, harus

45

Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 418. Lihat juga PIUS XI, Ensiklik Quadragesimo Anno, tgl. 15 Mei 1931: AAS 23 (1931) hlm. 222 dsl. 46 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 417. 47 Lih. Mrk 2:27.

menemukan keseimbangannya yang semakin manusiawi dalam kebebasan[48]. Supaya itu semua terwujudkan perlulah diadakan pembaharuan mentalitas dan peubahanperubahan sosial secara besar-besaran. Roh Allah, yang dengan penyelenggaraan-Nya yang mengagumkan mengarahkan peredaran zaman dan membaharui muka bumi, hadir ditengah perkembangan itu. Adapun ragi Injil telah dan masih membangkitkan dalam hati manusia tuntutan tak terkendali akan martabatnya. 27. (Sikap hormat terhadap pribadi manusia) Beranjak kepada konsekuensi-konsekuensi praktis yang cukup mendesak, Konsili menekankan sikap hormat terhadap manusia, sehingga setiap orang wajib memandang sesamanya, tak seorang pun terkecualikan, sebagai “dirinya yang lain”, terutama mengindahkan perihidup mereka beserta upaya-upaya yang mereka butuhkan untuk hidup secara layak[49], supaya jangan meniru orang kaya, yang sama sekali tidak mempedulikan Lazarus yang miskin itu [50]. Terutama pada zaman kita sekarang ini mendesak kewajiban menjadikan diri kita sendiri sesama bagi setiap orang, siapa pun dia itu, dan bila ia datang melayaninya secara aktif, entah ia itu orang lanjut usia yang sebatang kara, entah tenaga kerja asing yang dihina tanpa alasan, entah seorang perantau, atau anak yang lahir dari hubungan haram dan tidak sepatutnya menderita karena dosa yang tidak dilakukannya,atau orang lapar yang menyapa hatinurani kita seraya mengingatkan sabda Tuhan: “Apa pun yang kamu jalankan terhadap salah seorang saudara-Ku yang hina ini, kamu perbuat terhadap Aku” (Mat 25:40). Selain itu apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, misalnya bentuk pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan suku, pengguguran, eutanasia atau bunuh diri yang disengaja; apa pun yang melanggar keutuahn pribadi manusia, seperti pemenggalan anggota badan, siksaan yang ditimpakan pada jiwa maupun raga, usahausaha paksaan psikologis; apa pun yang melukai martabat manusia, seperti kondisikondisi hidup yang tidak layak manusiawi, pemenjaraan yang sewenang-wenang, pembuangan orang-orang, perbudakan, pelacuran, perdagangan wanita dan anak-anak muda; begitu pula kondisi-kondisi kerja yang memalukan, sehingga kaum buruh diperalat semata-mata untuk menarik keuntungan, dan tidak diperlakukan sebagai pribadi-pribadi yang bebas dan bertanggung jawab: itu semua dan hal-hal lainyang seruapa memang perbuatan yang keji. Dan sementara mencoreng peradaban manusiawi, perbuatan-perbuatan itu lebih mencemarkan mereka yang melakukannya, dari pada mereka yang menanggung ketidak-adilan, lagi pula sangat berlawanan dengan kemuliaan Sang Pencipta. 28. (Sikap hormat dan cinta kasih terhadap lawan) Sikap hormat dan cinta kasih harus diperluas untuk manampung mereka pula, yang dibidang sosial, politik atau pun keagamaan berpandangan atau bertindak berbeda dengan kita. Sebab semakin mendalam kita dengan sikap ramah dan cinta kasih menyelami cara-cara mereka berpandangan, semakin mudah pula kita akan dapat menjalin dialogdengan mereka. Tentu saja cinta kasih dan kebaikan hati itu janglah sekali-kali menjadikan kita acuh tak acuh terhadap kebenaran dan kebaikan. Bahkan cinta kasih sendiri mendesak para murid Kristus untuk menyiarkan kebenaran yang membawa keselamatan kepada semua orang. Tetapi perlu dibedakan antara kesesatan yang selalu harus ditolak, dan orangnya yang sesat, yang tetap harus memiliki martabat pribadi, juga bila ia ternodai oleh pandangan-pandangan keagamaan yang salah atau kurang cermat[51]. Allah sendirilah 48

Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, tgl. 15 Mei 1961: AAS 55 (1963) hlm. 266. Lih. Yak 2:15-16. 50 Lih. Luk 16:19-31. 51 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, tgl. 15 Mei 1961: AAS 55 (1963) hlm.299 dan 300. 49

satu-satunya yang mengadili dan menyelami hati; maka Ia melarang kita supaya jangan menjatuhkan pengadilan atas kesalahan batin siapa pun[52]. Ajaran Kristus meminta supaya kita mengampuni perlakuan-perlakuan yang tak adil[53], dan memperluas perintah cinta kasih kepada semua musuh-musuh; itulah perintah Perjanjian Baru: “Kamu mendengar bahwa dikatakan: Kasihilah sesamamu, dan bencilah musuhmu. Akan tetapi Aku berpesan kepada kamu: Cintailah musuh-musuhmy, dan berbuatlah baik kepada mereka yang membenci kamu; serta berdoalah bagi mereka yang menganiaya dan memfitnah kamu” (Mat 5:43-44). 29. (Kesamaan hakiki antara semua orang dan keadilan sosial) Semua orang mempunyai jiwa yang berbudi dan diciptakan menurut gambar Allah, dengan demikian mempunyai kodrat serta asalmula yang sama. Mereka semua ditebus oleh Kristus, dan mengamban panggilan serta tujuan ilahi yang sama pula. Maka harus semakin diakuilah kesamaan dasariah antara semua orang. Memang karena pelbagai kemampuan fisik maupun kemacam-ragaman daya kekuatan intelektual dan moral tidak dapat semua orang disamakan. Tetapi setiap cara diskriminasi dalam hak-hak asasi pribadi , entah bersifat sosial entah budaya, berdasarkan jenis kelamin, suku, warna kulit, kondisi sosial, bahasa atau agama, harus diatasi dan disingkirkan, karena bertentangan dengan maksud Allah. Sebab sungguh layak disesalkan, bahwa hak-hak asasi pribadi itu belum dimana-mana dipertahankan secar utuh dan aman. Seperti bila seorang wanita tidak diakui wewenangnya untuk dengan bebas memilih suaminya dan menempuh status hidupnya, atau untuk menempuh pendidikan dan meraih kebudayaan yang sama seperti dipandang wajar bagi pria. Kecuali itu, sungguhpun antara orang-orang terdapat perbedaan-perbedaan yang wajar, tetapi kesamaan martabat pribadi menuntut, agar dicapailah kondisi hidup yang lebuh manusiawi dan adil. Sebab perbedaan-perbedaan yang keterlaluan antara sesama anggota dan bangsa dalam satu keluarga manusia dibidang ekonomi maupun sosial menimbulkan batu sandungan, lagi pula berlawanan dengan keadilan sosial, kesamarataan, mertabat pribadi manusia, pun juga merintangi kedamaian sosial dan international. Adapun lembaga-lembaga manusiawi, baik swasta maupun umum, hendaknya berusaha melayani martabat serta tujuan manusia, seraya sekaligus berjuang dengan gigih melawan setiap perbudakan sosial maupun politik, serta mengabdi kepada hak-hak asasi manusia di bawah setiap pemerintahan. Bahkan lembaga-lembaga semacam itu lambat-laun harus menanggapi kenyataan-kenyataan rohani, yang melampaui segalagalanya, juga kalau ada kalanya diperlukan waktu cukup lama untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan. 30. (Etika individualis harus diatasi) Mendalam serta pesatnya perubahan lebih mendesak lagi, supaya janganlah seorang pun, karena mengabaikan perkembangan zaman atau lamban tak berdaya, mengikuti etika yang individualis semata-mata. Tugas keadilan dan cinta kasih semakin dipenuhi, bila setiap orang menurut kemampuannya sendiri dan menanggapi kebutuhan-kebutuhan sesama memberikan sumbangannya kepada kesejahteraan umum, serta memajukan dan membantu lembaga-lembaga umum maupun swasta, yang melayani peningkatan kondisi-kondisi hidup orang-orang. Ada saja yang kendati menyarakan pandanganpandangan yang luas dan bernada kebesaran jiwa, tetapi menurut kenyataannya selalu hidup sedemikian rupa, seolah-olah sama sekali tidak mempedulikan kebutuhankebutuhan masyarakat. Malahan di pelbagai daerah tidak sedikit pula, yang meremehkan hukum-hukum dan peraturan-peraturan sosial. Tidak sedikit juga, yang dengan bermacam-macam tipu muslihat berani mengelakkan pajak-pajak yang wajar maupun 52 53

Lih. Luk 6:37-38; Mat 7:1-2; Rom 2:1-11; 14:10-12. Lih. Mat 5:43-47.

hal-hal lain yang termasuk hak masyarakat. Orang-orang lain menganggap sepele beberapa peraturan hidup sosial, misalnya, untuk menjaga kesehatan, atau untuk mengatur lalu lintas, tanpa mempedulikan, bahwa dengan kelalaian semacam itu mereka membahayakan hidup mereka sendiri dan sesama. Hendaknya bagi semua merupakan kewajiban suci: memandang hubungan-hubungan sosial sebagai tugas utama manusia zaman sekarang, serta mematuhinya. Sebab semakin dunia bersatu, semakin jelas pulalah tugas-tugas orang-orang melampaui kepentingan kelompok-kelompok khusus, dan lama-kelamaan meluas ke dunia semesta. Itu hanyalah mungkin bila masing-masing perorangan dan kelompok mengembangkan keutamaankeutamaan moral dan sosial dalam diri mereka sendiri, dan menyebarkannya dalam masyarakat. Dengan demikian memang sesungguhnya – berkat bantuan rahmat ilahi yang memang diperlukan – akan bangkitlah manusia-manusia baru, yang memabngun kemanusiaan yang baru pula. 31. (Tanggung jawab dan keikut-sertaan) Supaya setiap orang lebih saksama menunaikan tugas hatinuraninya baik terhadap dirinya maupun terhadap pelbagai kelompok yang diikutinya, ia harus dengan tekun menjalani pembinaan menuju kebudayaan rohani yang lebih luas, dengan memanfaatkan bantuan-bantuan besar, yang sekarang ini tersedia bagi bangsa manusia. Terutama pendidikan kaum muda dari lapisan sosial mana pun juga hendaknya di selenggarakan sedemikian rupa, sehingga bangkitalah kaum pria maupun wanita, yang bukan saja berpendidikan tinggi, melainkan juga berjiwa besar, karena memang mereka itulah yang sangat diperlukan untuk zaman sekarang. Akan tetapi praktis orang hanya mencapai kesadaran bertanggung jawab itu, bila kondisi-kondisi hidup memungkinkannya, untuk menyadari martabatnya, dan untuk menanggapi panggilannya dengan membaktikan diri kepada Allah dan sesama. Adapun kebebasan manusia seringkali melemah, bila ia jatuh ke dalam kemelaratan yang amat parah; begitu pula kebebasan itu merosot, bila orang menuruti saja kemudahankemudahan hidup yang berlebihan, dan mengurung diri bagaikan dalam menara gading. Sebaliknya kebebasan itu diteguhkan, bila orang menrima kebutuhan-kebutuhan hidup sosial yang tak terelakkan, menyanggupi bermacam-macam tuntutan solidaritas antar manusia, dan mengikat diri untuk mengabdi masyarakat. Oleh karena itu semua orang perlu di dorong kemauan untuk melibatkan diri dalam usaha-usaha bersama. Memang layak dipujilah pola bertindak bangsa, bila sebanyak mungkin warganya dalam kebebasan sejati melibatkan diri dalam urusanurusankenegaraan umum. Tetapi perlu diperhitungkan juga keadaan nyata setiap bangsa, begitu pula perlunya pemerintahan yang cukup kuat. Adapun supaya semua warganegara bergairah untuk melibatkan diri dalam kehidupan pelbagai kelompok, yang seluruhnya membentuk tubuh masyarakat, perlulah bahwa dalam kelompok-kelompok itu mereka temukan nilai-nilai, yang menarik bagi mereka, dan membangkitkan kesediaan mereka untuk melayani sesama. Memang wajarlah pandangan lita, bahwa nasib bangsa di kemudian hari terletak di tangan mereka, yang mampu mewariskan kepada generasi-generasi mendatang dasar-dasar untuk hidup dan berharap. 32. (Sabda yang menjelama dan solidaritas manusia) Allah menciptakan orang-orang bukan untuk hidup sendiri-sendiri, melainkan untuk membentuk persatuan sosial. Begitu pula Ia “bermaksud menguduskan dan menyelamatkan orang-orang bukannya satu per satu, tanpa hubungan satu dengan lainnya. Tetapi Ia hendak membentuk mereka menjadi umat, yang mengakui-Nya dalam kebenaranh dan mengabdi kepada-Nya dengan suci[54]. Sejak awalmula sejarah keselamatan Ia memilih orang-orang bukan melulu sebagai perorangan, melainkan sebagai anggota suatu masyarakat. Sebab seraya mewahyukan Rencana-Nya Allah 54

Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 9.

menyebut mereka yang terpilih itu “Umat-Nya” (Kel 3:7-12); kemudian di Sinai Ia mengikat perjanjian dengan Umat itu [55]. Sifat kebersamaan itu berkat karya Yesus Kristus disempurnakan dan dipenuhkan. Sebab Sabda yang menjelma sendiri telah menghendaki menjadi anggota rukun hidup manusiawi. Ia menghadiri pesta perkawinan di Kana, berkenan berkunjung ke rumah Zakeus, dan makan bersama dengan pemungut cukai dan orang-orang pendosa. Ia mewahyukan cinta kasih Bapa serta panggilan manusia yang luhur, dengan menunjukkan kepada kenyataan-kenyataan sosial yang sangat lazim dan menggunakan peribahasa serta lambang-lambang hidup sehari-hari saja. Ia menguduskan hubungan-hubungan antar manusia, terutama hubungan keluarga, sumber kehidupan sosial. Dengan sukarela Ia mematuhi hukum-hukum tanah air-Nya. Ia menghendaki hidup sebagai buruh pada zaman-Nya dan di daerah-Nya sendiri. Dalam pewartaan-Nya Ia memerintahkan dengan jelas kepada putera-puteri Allah, supaya mereka bertingkah laku sebagai saudara satu terhadap lainnya. Dalam doa-Nya Ia meminta, supaya semua murid-Nya menjadi “satu”. Malahan Ia sendiri hingga wafat-Nya mengorbankan Diri bagi semua orang, menjadi Penebus mereka semua. “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seseorang yang memberikan nyawanya bagi sahabatsahabatnya” (Yoh 15:13). Adapaun para Rasul di perintahkan-Nya untuk mewartakan kepada semua bangsa warta Injil, supaya bangsa manusia menjadi keluarga Allah, yang kepenuhan hukumnya ialah cinta kasih. Sesudah wafat dan kebangkitan-Nya, sebagai Putera Sulung diantara banyak saudara, Ia membentuk dengan kurnia Roh Kudus-Nya suatu persekutuan persaudaraan di antara mereka semua yang menerima-Nya dengan iman dan cinta kasih, yakni dalam TubuhNya, ialah Gereja. Di situ semua orang saling menjadi anggota, dan sesuai dengan pelbagai kurnia yang mereka terima, saling melayani. Solidaritas itu harus selalu dikembangkan, hingga harinya akan mencapai kepenuhannya, bila mereka diselamatkan berkat rahmat, sebagai keluarga yan dicintai oleh Allah dan oleh Kristus Saudaranya, akan melambungkan kemuliaan sempurna kepada Allah.

BAB TIGA KEGIATAN MANUSIA DI SELURUH DUNIA 33. (Masalah-persoalannya) Manusia selalu telah berusaha mengembangkan hidupnya dengan jerih-payah dan berkat-pembawaannnya. Tetapi zaman sekarang ini, terutama berkat ilmu pengetahuan dan teknologi, ia telah dan tetap masih memperluas kedaulatannya hampir atas alam semesta. Pertama-tama berkat bantuan upaya-upaya aneka macam pertukaran (komunikasi) antar bangsa yang meningkat, keluarga manusia lambat-laun makin mengakui dan membentuk diri sebagai satu masyarakat di seluruh dunia. Dengan demikian banyak harta-nilai, yang dulu oleh manusia terutama diharapkan dari kekuatan-kekuatan atas-duniawi, sekarang sudah diusahakannya melalui kegiatannya sendiri. Menghadapi usaha besar-besaran, yang sudah merasuki seluruh bangsa manusia itu, banyak muncul pertanyaan-pertanyaan dalam masyarakat. Manakah arti dan nilai jerihpayah itu? Bagamana semua itu harus dimanfaatkan? Tujuan manakah yang mau dicapai melalui usaha-usaha baik perorangan maupuk kelompok-kelompok? Adapun Gereja, 55

Lih. Kel 24:1-8.

yang menjaga khazanah sabda Allah, yakni sumber kaidah-kaidah di bidang religius dan kesusilaan, memang tidak selalu siap menjawab pertanyaan-pertanyaan itu masingmasing. Tetapi ingin memperpadukan cahaya perwahyuan dengan keahlian semua orang, supaya menjadi teranglah jalan yang belum lama ini mulai ditempuh oleh masyarakat manusia. 34. (Nilai kegiatan manusia) Bagi kaum beriman ini merupakan keyakinan: kegiatan manusia baik perorangan maupun kolektif, atau usaha besar-besaran itu sendiri, yang dari zaman ke zaman di kerahkan oleh banyak orang untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup mereka, memang sesuai dengan rencana Allah. Sebab manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, menerima titah-Nya, supaya menakhulkkan bumi beserta segala sesuatu yang terdapat padanya, serta menguasai dunia dalam keadilan dan kesucian[56]; ia mengemban perintah untuk mengakui Allah sebagai Pencipta segala-galanya, dan mengarahkan diri beserta seluruh alam kepada-Nya, sehingga dengan terbawahnya segala sesuatu kepada manusia nama Allah sendiri di kagumi di seluruh bumi[57]. Itu berlaku juga bagi pekerjaan sehari-hari yang biasa sekali. Sebab pria maupun wanita, yang – sementara mencari nafkah bagi diri maupun keluarga mereka – melakukan pekerjaan mereka sedemikian rupa sehingga sekaligus berjasa bakti bagi masyarakat, memang dengan tepat dapat berpandangan, bahwa dengan jerh-payah itu mereka mengembangkan karya Sang Pencipta, ikut memenuhi kepentingan sesama saudara, dan menyumbangkan kegiatan mereka pribadi demi terlaksananya rencana ilahi dalam sejarah[58]. Oleh karena itu umat kristiani tidak beranggapan seolah-olah karya-kegiatan, yang dihasilakan oleh bakat-pembawaan serta daya-kekuatan manusia, berlawanan dengan kuasa Allah, seakan-akan ciptaan yang berakalbudi menyaingi Penciptanya. Mereka malahan yakin bahwa kemenangan-kemenangan bangsa manusia justru menandakan keagungan Allah dan merupakan buah rencana-Nya yang tidak terperikan. Adapun semakin kekuasaan manusia bertambah, semakin luas pula jangkauan tanggung jawabnya, baik itu tanggung jawab perorangan maupun tanggung jawab bersama. Maka jelaslah pewartaan kristiani tidak menjauhkan orang-orang dari usaha membangun dunia, pun tidak mendorong mereka untuk mengabaikan kesejahteraan sesama; melainkan justru semakin terikat tugas untuk melaksanakan itu [59]. 35. (Norma kegiatan manusia) Adapun seperti kegaitan insani berasal dari manusia, begitu pula kegiatan itu terarahkan kepada manusia. Sebab bila manusia bekerja, ia bukan hanya mengubah hal-hal tertentu dalam masyarakat, melainkan menyempurnakan dirinya sendiri juga. Ia belaja banyak, mengembangkan bakat-kemampuannya, beranjak keluar dari dirinya dan melampauidirinya. Pengembangan diri itu, bila diartikan dengan tepat, lebih bernilai dari harta kekayaan lahiriah yang dapat dikumpulkan. Manusia lebih bernilai karena kenyataan dirinya sendiri dari pada karena apa yang dimilikinya[60]. Begitu pula segala sesuatu, yang diperbuat untuk orang memperoleh keadilan yang penuh, persaudaraan yang lebih luas. Tata-cara yang manusiawi dalam hubungan-hubungan sosial, lebih berharga dari pada kemajuan-kemajuan di bidang teknologi. Sebab kemajuan-kemajuan itu memang dapat menyediakan semacam bahan bagi pengembangan manusiawi, tetapi dipandang begitu saja sama sekali tidak mewujudkan pengembangan itu sendiri.

56

Lih. Kej 1:26-27; 9:2-3; Keb 9:2-3. Lih. Mzm 8:7, 10. 58 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, tgl. 15 Mei 1961: AAS 55 (1963) hlm.297. 59 Lih. “Amanat para Bapa Konsili kepada semua orang pada awal Konsili Vatikan II”, Oktober 1962: AAS 54 (1962) hlm. 823. 60 Lih. PAULUS VI, Amanat kepada Corps Diplomatik, tgl. 7 Januari 1965: AAS 57 (1965) hlm. 232. 57

Oleh karena inilah tolok ukur kegiatan manusiawi: supaya kegiatan itu menurut rencana dan kehendak Allah selaras dengan kesejahteraan sejati umat manusia, lagi pula memungkinkan manusia sebagai perorangan maupun warga masyarakat untuk mengembangkan dan mewujudkan sepenuhnya panggilannya seutuhnya. 36. (Otonomi hal-hal duniawi yang sewajarnya) Akan tetapi agaknya banyak orang zaman sekarang mengkhawatirkan, bahwa makhlukmakhluk dan masyarakat sendiri mempunyai hukum-hukum serta nilai-nilainya sendiri, yang demi sedikit harus dikenal, dimanfaatkan dan makiin diatur oleh manusia, maka memang sangat pantaslah menuntut otonomi itu. Dan bukan hanya dituntut oleh orangorang zaman sekarang, melainkan selaras juga dengan kehendak Sang Pencipta. Sebab berdasarkan kenyataannya sebagai ciptaan segala sesuatu dikurniai kemandirian, kebenaran dan kebaikannya sendiri, lagi pula menganut hukum-hukum dan mempunyai tata-susunannya sendiri. Dan manusia wajib menghormati itu semua, dengan mengakui metode-metode yang khas bagi setiap ilmu pengetahuan dan bidang tehnik. Maka dari itu penyelidikan metodis di semua bidang ilmu, bila dijalankan secara sungguh ilmiah dan menurut kaidah-kaidah kesusilaan, tidak pernah akan sungguh bertentangan dengan iman, karena hal-hal profan dan pokok-pokok iman berasal dari Allah yang sama[61]. Bahkan barang siapa dengan rendah hati dan dengan tabah berusaha menyelidiki rahasiarahasia alam, kendati tanpa di sadari pun ia bagaikan di tuntun oleh tangan Allah, yang melestarikan segala sesuatu dan menjadikannya sebagaimana adanya. Oleh karena itu bolehlah kiranya disesalkan sikap-sikap tertentu, yang kadang-kadang terdapat juga dikalangan Umat kristiani sendiri, sebab mereka kurang memahami otonomi ilmupengetahuan yang sewajarnya. Karena dari situ timbul pertengkaran dan perdebatan, sikap-sikap itu mendorong cukup banyak orang, untuk beranggapan seolah-olah iman dan ilmu-penetahuan itu saling bertentangan[62]. Akan tetapi bila “otonomi hal-hal duniawi” diartikan: seolah-olah ciptaan tidak tergantung dari Allah, dan manusia dapat menggunakannya sedemikian rupa, sehingga tidak lagi menghubungkannya dengan Sang Pencipta, maka siapa pun yang mengakui Allah pasti merasa juga, betapa sesatnya anggapan-anggapan semacam itu. Sebab tanpa Sang Pencipta makhluk lenyap hilang. Selain itu semua orang beriman, termasuk agama manapun juga, selalu mendengarkan suara serta perwahyuan-Nya dalam bahasa makhluk-makhluk. Malahan kalau Allah di lupakan, ciptaan sendiri diliputi kegelapan. 37. (Kegiatan manusia di rusak karena dosa) Adapun Kitab suci, senada dengan pengalaman dari zaman ke zaman, mengajarkan kepada keluarga manusia, bahwa kemajuan, yang bagi manusia memang besar nilainya, dilain pihak membawa godaan yang gawat juga. Sebab bila tata-nilai dikacaukan dan kejahatan di campur-adukkan dengan kebaikan, masing-masing orang dan kelompok hanyalah memperhatikan kepentingannya sendiri, bukan kepentingan sesama. Demikianlah dunia bukan wahana persaudaraan yang sejati lagi, sedangkan kemampuan manusia yang meningkat mengancam manusia sendiri dengan kepunahannya. Sebab seluruh sejarah manusia sarat dengan perjuangan sengit melawan kekuasaan kegelapan. Pergulatan iyu mulai sejak awal dunia, dan menurut amanat Tuhan[63] akan tetap berlangsung hingga hari kiamat. Terjebak dalam pergumulan itu, manusia tiada hentinya harus berjuang untuk tetap berpegang pada yang baik. Dan hanya melalui banyak jerih-payah, berkat bantuan rahmat Allah, ia mampu mencapai kesatuan dalam dirinya. Oleh sebab itu, seraya mengakui bahwa kemajuan manusiawi memang dapat menunjang kebahagiaan manusia yang sejati, Gereja Kristus percaya akan rencana Sang Pencipta, toh tidak dapat lain kecuali menggemakan pesan Rasul: “Janganlah kamu 61

Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang Iman Katolik, bab III: DENZ. 1785-1786 (3004-3005). Lih. PIUS PASCHINI, Vita e opera di Galileo Galilei (hidup dan karya Galileo Galilei), dua jilid, Vatikan 1964. 63 Lih. Mat 24:13; 13:24-30, 36-43. 62

menjadi serupa dengan dunia ini” (Rom 12:2), artinya: dengan semangat kesia-siaan dan kejahatan, yang mengubah kegiatan insani – sebenarnya dimaksudkan untuk mengabdi kepada Allah dan manusia – menjadi alat dosa. Jadi kalau ada yang bertanya bagaimana malapetaka itu dapat diatasi, Umat kristiani menyatakan, bahwa semua kegiatan manusia, yang karena kesombongan dan cinta diri yang tidak teratur setiap hari terancam bahaya, harus dimurnikan dan disempurnakan berkat Salip dan kebangkitan Kristus. Sebab manusia, yang ditebus oleh Kristus dan dalam Roh Kudus dijadikan ciptaan baru, dapat dan wajib juga mencintai semua ciptaan Allah. Ia menerima segalanya itu dari Allah, dan memandangnya serta menghormatinya bagaikan mengalir dari tangan Allah. Atas semua itu manusia mengucap syukur kepada Sang Pemberi kurnia; dalam kemiskinan dan kebebasan rohani ia menggunakan alam ciptaan dan memetik hasilnya; dan demikianlah ia diantar untuk memiliki dunia secara sejati, seakan-akan tidak mempunyai apa-apa, tetapi Roh memiliki segalanya[64]. “Sebab semua itu milikmu; adapun kamu milik Kristus, dan Kristus milik Allah” (1Kor 3:22-23). 38. (Dalam misteri Paska kegiatan manusia mencapai kesempurnaannya) Sebab Sabda Allah sendiri, Pengantara dalam penciptaan segala sesuatu, telah menjadi daging dan tinggal di bumi manusia[65]; sebagai manusia sempurna ia memasuki sejarah dunia, seraya menampung dan merangkumnya dalam Dirinya[66]. Sang Sabda mewahyukan kepada kita, “bahwa Allah itu cinta kasih” (1Yoh 4:8), sekaligus mengajarkan kepada kita, bahwa hukum asasi kesempurnaan manusiawi dan karena itu juga perombakan dunia ialah perintah baru cinta kasih. Maka ia meyakinkan semua, yang percaya akan kasih-sayang ilahi, bahwa jalan cinta ksih terbuka bagi semua orang, dan bahwa usaha untuk membangun persaudaraan universal tidak akan percuma. Sekaligus Ia mengingatkan, bahwa cinta ksih itu jangan hanya dikejar dalam hal-hal besar, melainkan pertama-tama dalam situasi hidup yang serba biasa. Bagi kita semua yang pendosa ini Ia menanggung maut[67]; dengan teladan-Nya Ia mengajarkan kepada kita pula, bahwa kita pun harus mengangkat salib, yang oleh daging dan dunia dibebankan atas bahu mereka yang mengejar perdamaian dan keadilan. Kristus, yang karena kebangkitan-Nya ditetapkan menjadi Tuhan, dan yang diserahi segala kuasa di langit dan di bumi[68], sudah berkarya dihati manusia karena kekuatan Roh-Nya, bukan saja dengan membangkitkan kerinduan akan zaman yang akan datang, melainkan demikian pula dengan menjiwai, memurnikan serta meneguhkan aspirasi-aspirasi yang bersumber pada kebesaran jiwa, dan menggerakkan usaha-usaha keluarga manusia untuk menjadikan hidupnya lebih manusiawi, dan untuk membawahkan seluruh bumi kepada tujuan itu. Adapun bermacam-ragamlah kurnia Roh: ada yang di panggil-Nya untuk memberi kesaksian jelas tentang kerinduan akan kediaman sorgawi, dan untuk tetap menghidupkan dambaan itu dalam keluarga manusia; ada pula yang dipanggil-Nya untuk membaktikan diri kepada pelayanan sesama di dunia, dan untuk dengan pengabdian itu menyiapkan landasan bagi kerajaan sorgawi. Tetapi semua orang dibebaskan-Nya untuk mengingkari cinta diri, dan menampung segala kekuatan dunia ini ke dalam hidup manusiawi, dan dengan demikian melajuke masa depoan, saatnya bangsa manusia sendiri menjadi persembahan yang berkenan kepada Allah[69]. Jaminan harapan itu dan bekal untuk perjalanan oleh Tuhan ditinggalkan kepada para murid-Nya dalam Sakramen iman, saatnya unsur-unsur alamiah, yang dikelola oleh manusia, di ubah menjadi Tubuh dan Darah mulia, yakni perjamuan persekutuan persaudaraan, antipasi perjamuan sorgawi.

64

Lih. 2Kor 6:10. Lih. Yoh 1:3, 14. 66 Lih. Ef 1:10. 67 Lih. Yoh 3:16; Rom 5:8-10. 68 Lih. Kis 2:36; Mat 28:18. 69 Lih. Rom 15:16. 65

39. (Bumi baru dan langit baru) Kau tidak mengetahui, bilamana dunia dan umat manusia akan mencapai kesudahannya[70]; tidak tahu pula, bagaimana alam semesta akan diubah. Dunia seperti yang kita kenal sekarang, dan telah rusak akibat dosa, akan berlalu[71]. Tetapi kita terima ajaran, bahwa Allah menyiapkan tempat tinggal baru, kediaman keadilan[72], yang kebahagiaannnya akan memenuhi dan melampaui segala kerinduan akan kedamaian, yang timbul dalam hati manusia[73]. Dan pada saat itu maut akan dikalahkan, puteraputeri Allah akan dibangkitkan dalam Kristus, dan benih yang telah ditaburkan dalam kelemahan dan kebinasaan, akan mengenakan yang tidak dapat binasa[74]. Cinta kasih beserta karya-Nya akan lestari [75], dan segenap alam tercipta, yang oleh Allah telah diciptakan demi manusia, akan dibebaskan dari perbudakan kepada kesia-siaan[76]. Kita memang diperingatkan, bahwa bagi manusia tiada gunanya, kalau ia memperoleh seluruh dunia, tetapi membinasakan dirinya[77]. Akan tetapi janganlah karena mendambakan dunia baru orang lalu menjadi lemah perhatiannya untuk mengolah dunia ini. Justru harus tumbuhlah perhatian itu, sehingga berkembanglah Tubuh keluarga manusia yang baru, yang sudah mampu memberi suatu bayangan tentang zaman baru. Maka dari itu, sungguh pun kemajuan duniawi harus dengan cermat dibedakan dari pertumbuhan kerajaan Kristus, tetapi kemajuan itu sangat penting bagi Kerajaan Allah, sejauh dapat membantu untuk mengatur masyarakat manusia secara lebih baik[78]. Sebab nilai-nilai martabat manusia, persekutuan persaudaraan dan kebebasan, dengan kata lain: semua buah hasil yang baik, yang bersumber pada kodrat maupun usaha kita, sesudah kita sebarluaskan di dunia dalam Roh Tuhan dan menurut perintahNyakemudian akan kita temukan kembali, tetapi dalam keadaan dibersihkan dari segala cacat-cela, diterang dan diubah, bila Kristus mengembalikan kepada Bapa kerajaan abadi dan universal: “kerajaan kebenaran dan kehidupan, kerajaan kesucian dan rahmat, kerajaan keadilan, cinta kasih dan kedamaian”[79]. Di dunia ini kerajaan itu sudah hadir dalam mister; tetapi akan mencapai kepenuhannya bila Tuhan datang.

BAB EMPAT PERANAN GEREJA DALAM DUNIA ZAMAN SEKARANG 40. (Hubungan timbal-balik antara Gereja dan Dunia) Segala sesuatu yang telah kami uraikan tentang martabat pribadi manusia, tentang masyarakat manusia, dan tentang art mendalam kegiatan manusia, merupakan dasar bagi hubungan Gereja dan dunia, dan landasan bagi dialog timbal-balik antara keduanya[80]. Maka sekarang dalam bab ini, dengan mengandaikan semuanya yang oleh Konsiliini telah dipaparkan tentang misteri Gereja, yang merupakan bahan refleksi yakni Gereja sejauh hadir di dunia, hidup bersamanya dan bertindak di dalamnya. 70

Lih. Kis 1:7. Lih. 1Kor 7:31. – S. IRENEUS, Melawan bidaah-bidaah, V, 36, 1: PG 7, 1222. 72 Lih. 2Kor 5:2; 2Ptr 3:13. 73 Lih. 1Kor 2:9; Why 21:4-5. 74 Lih. 1Kor 15:42, 53. 75 Lih. 1Kor 13:8; 13:14. 76 Lih. Rom 8:19-21. 77 Lih. Luk 9:25. 78 Lih. PIUS XI, Ensiklik Quadragesimo anno: AAS 23 (1931) hlm. 207. 79 Prefasi Hari Raya Kristus Raja. 80 Lih. PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, III: AAS 56 (1964) hlm. 637-659. 71

Gereja berasal dari cinta kasih Bapa yang kekal[81], didirikan oleh Kristus Penebus dalam kurun waktu, dan di himpun dalam Roh Kudus[82]. Gereja itu mempunyai tujuan penyelamatan dan eskatologis, yang hanya dapat tercapai sepenuhnya di zaman yang akan datang. Ada pun Gereja yang sudah hadir di dunia ini, terhimpun dari orang-orang yang termasuk warga masyarakat dunia. Mereka itu di panggil, supaya sudah sejak dalam sejarah umat manusia ini sudah membentuk keluarga putera-puteri Allah, yang terus menerus harus berkembang hingga kedatangan Tuhan. Keluaraga itu terhimpun demi harta-harta sorgawi, dan diperkaya dengannya. Keluarga itu oleh Kristus “disusun dan di atur di dunia ini sebagai serikat”[83], dan “dilengkapi dengan sarana-sarana yang tepat untuk mewujudkan persatuan yang nampak dan bersifat sosial[84]. Begitulah Gereja, sekaligus kelompok yang nampak dan persekutuan rohani”[85], menempuh perjalanan bersama dengan seluruh umat manusia, dan bersama dengan dunia mengalami nasib keduniaan yang sama. Gereja hadir ibarat ragi dan bagaikan penjiwa masyarakat manusia[86], yang harus diperbaharui dalam Kristus dan diubah menjadi keluarga Allah. Adapun bahwa masyarakat duniawi dan sorgawi itu saling merasuki, hanyalah dapat di tangkap dalam iman, bahkan tetap merupakan misteri sejarah manusia, yang hingga perwahyuan sepenuhnya kemuliaan putera-puteri Allah dikeruhkan oleh dosa. Seraya mengejar keselamatan sebagai tujuannya sendiri, Gereja bukan hanya menyalurkan kehidupan ilahi kepada manusia, melainkan dengan cara tertentu juga memancarkan pantulan cahaya-Nya ke seluruh dunia, terutama dengan menyembuhkan dan mengangkat martabat pribadi manusia, dengan meneguhkan keseluruhan masyarakat manusia. Dan dengan memberi makna serta arti yang lebih mendalam kepada kegiatan manusia. Segenap persekyuannya, merasa mampu berjasa banyak, untuk lebih memanusiawikan keluarga manusia beserta sejarahnya. Kecuali itu Gereja katolik dengan senang hati menyatakan penghargaannya yang tertinggi terhadap apa saja yang untuk menunaikan tugas yang sama telah dan tetap masih dijalankan serentak oleh Gereja-Gereja kristen atau jemaat-jemaat gerejawi lainnya. Sekaligus Gereja merasa sungguh yakin, bahwa dalam banyak hal dan dengan pelbaga cara ia dapat membantu dunia, baik setiap orang perorangan maupun oleh masyarakat manusia, berkat bakat-kemampuan maupun kegiatan mereka, untuk merintis jalan bagi Injil. Di sini diuraikan beberapa asas umum untuk secara tepat mengintensifkan pertukaran serta bantuan timbal-balik di bidang-bidang, yang dengan cara tertentu dihadapi bersama oleh Gereja dan dunia. 41. (Bantuan yang oleh Gereja mau diberikan kepada setiap orang) Manusia zaman sekarang sedang berusaha mengembangkan kepribadiannya secara lebih penuh dan semakin mengenal serta mau menegakkan hak-haknya. Adapun kepada Gereja dipercayakan untuk menyiarkan misteri Allah, yang merupakan tujuan terakhir manusia. Maka Gereja sekaligus menyingkapkan kepada manusia makna keberadaannya sendiri, dengan kata lain, kebenaran yang paling mendalam tentang manusia. Sesungguhnya Gereja menyadari, bahwa hanya Allah yang diabdinyalah, yang dapat memenuhi keinginan-keinginan hati manusia yang terdalam, dan tidak akan pernah mencapai kepuasan sepenuhnya dengan apa saja yang disajikan oleh dunia. Selain itu Gereja menyadari, bahwa manusia tiada hentinya di dorong oleh Roh Allah, dan karena itu tidak akan pernah acuh tak acuh belaka terhadap masalah keagamaan. Itu memang terbukti juga bukan saja oleh pengalaman abad-abad yang silam, melainkan juga oleh aneka macam kesaksian zaman sekarang. Sebab manusia selalu akan ingin mengetahui, 81

Lih. Tit 3:4: Filantropia = kasih (Allah) terhadap manusia. Lih. Ef 1:3, 5-6, 13-14, 23. 83 KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 8. 84 KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 9; bdk. Art. 8. 85 KONSILI VATIKAN II, art. 8. 86 KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 38 beserta catatan 120. 82

setidak-tidaknya secara samar-samar, manakah arti hidupnya, kegiatannya dan kematiannya. Kehadiran Gereja sendiri mengingatkan akan masalah-masalah itu. Akan tetapi hanya Allah, yang menciptakan manusia menurut gambar-Nya, dan menebusnya dari dosalah, yang memberi jawaban paripurna kepada soal-soal itu, yakni melalui perwahyuan dalam Kristus Putera-Nya yang telah menjadi manusia. Barang siapa mengikuti Kristus Manusia sempurna, juga akan menjadi manusia yang lebih utuh. Bertumpu pada iman itu Gereja dapat mengamankan martabat kodrat manusia terhadap semua kegoncangan pendapat-pendapat, misalnya yang terlalu meremehkan tubuh manusia atau menyanjung-nyanjungnya secara berlebihan. Oleh hukum manusiawi mana pun juga martabat pribadi dan kebebasan manusia tidak dapat dijamin keutuhannya sedemikian baik seperti oleh Injil Kristus, yang dipercayakan kepada gereja. Sebab Injil itu memakhlumkan dan mewartakan kebebasan putera-puteri Allah, menolak setiap perbudakan yang pada dasarnya bersumber pada dosa[87], menghormati dengan sungguh-sungguh martabat suara hati beserta keputusannya yang bebas, tiada hentinya mengingatkan, bahwa semua bakat manusia harus disuburkan demi pengabdian kepada Allah dan sesama, dan akhirnya mempercayakan siapa saja kepada cinta kasih semua orang[88]. Itu memang sesuai dengan hukum dasar tata-kristiani. Sebab memang Allah yang sama itu sekaligus Penyelamat dan Pencipta, lagi pula hanya ada satu Tuhan bagi sejarah manusia dan sejarah keselamatan. Tetapi dalam tata-ilahiitu juga otonomi yang sewajarnya bagi makhluk, dan terutama bagi manusia tidak dihapus, justru malahan dikembalikan kepada martabatnya, dan dikukuhkan dalamnya. Oleh karena itu, berdasarkan Injil yang dipercayakan kepadanya, Gereja mewartakan hak-hak manusia, dan mengakui serta menjunjung tinggi dinamisme zaman sekarang, yang di mana-mana mendukung hak-hak itu. Tetapi gerakan itu perlu dijiwai oleh semangat Injil dan dilindungi terhadap setiap bentuk otonomi yang palsu. Sebab kita dapat tergoda untuk beranggapan, seolah-olah hak-hak pribadi kita hanya terjamin sepenuhnya, bila kita dibebaskan dari setiap norma Hukum ilahi. Tetapi dengan cara itu martabat pribadi manusia takkan diselamatkan, justru malahan akan runtuh. 42. (Bantuan yang diusahakan oleh Gereja untuk diberikan kepada masyarakat manusia) Persatuan keluarga manusia amat diteguhkan dan dilengkapi oleh kesatuan keluarga putera-puteri Allah yang didasarkan pada Kristus[89]. Adapun misi khusus, yang oleh kristus telah dipercayakan kepada Gereja-Nya, tidak terletak di bidang politik, ekonomi atau sosial; sebab tujuan yang telah di tetapkan-Nya untuk Gereja bersifat keagamaan[90]. Tentu saja dari misi keagamaan itu sendiri muncullah tugas, terang dan daya-kekuatan, yang dapat melayani pembentukan dan peneguhan masayarakat manusia menurut Hukum ilahi. Begitu pula bilamana diperlukan menurut situasi semasa dan setempat, misis itu dapat, bahkan wajib juga membangkitkan kegiatan untuk melayani semua orang, terutama karya-karya bagi mereka yang sangat mebutuhkannya, misalnya amal belas kasihan, dan sebagainya. Selain itu Gereja mengakui apa pun yang serba baik dalam gerak pembangunan masyarakat zaman sekarang: terutama perkembangan menuju kesatuan, kemajuan sosialisasi yang sehat dan solidaritas kewarganegaraan dan ekonomi. Sebab pengembangan kesatuan selaras dengan misi Gereja yang paling dalam, karena Gereja itu “dalam Kristus bagaikan Sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan 87

Lih. Rom 8:14-17. Lih. Mat 22:39. 89 KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 9. 90 Lih. PIUS XII, amanat kepada para ahli sejarah dan seniman, tgl. 9 Maret 1956: AAS 48 (1956) hlm. 212 (“Sang Pendiri ilahi, yakni Yesus Kristus, tidak memberi kepada Gereja perintah atau menetapkan tujuan mana pun juga di bidang kebudayaan. Tujuan yang di tetapkan oleh Kristus baginya bersifat keagamaan semata-mata (…). Gereja wajib mengantar manusia kepada Allah, supaya ia menyerahkan diri kepada-Nya tanpa syarat (…). Gereja tidak pernah dapat mengabaikan tujuan yang melulu keagamaan, adkodrati itu. Makna semua kegiatannya, samapai pasal terakhir Hukum Kanoniknya pun, hanya dapat menunjangnya secara langsung atau tidak langsung”). 88

Allah dan kesatuan seluruh umat manusia[91]. Begitulah Gereja mnunjukkan kepada dunia, bahwa kesatuan sosial lahiriah yang sejati bersumber pada persatuan budi dan hati, artinya pada iman dan cinta kasih, yang dalam Roh Kudus secara tak terceraikan mendasari kesatuan Gereja. Sebab kekuatan yang Gereja mampu resapkan ke dalam masyarakat manusia zaman sekarang, berupa iman dan cinta kasih, yang dihayati secara efektif, bukan berdasarkan suatu kekuasaan lahiriah yang dijalankan melalui upayaupaya manusiawi melulu. Kecuali itu berdasarkan misi dan hekekatnya Gereja tidak terikat pada bentuk Khas kebudayaan manusiawi atau sistem politik, ekonomi atau sosial manapun juga. Maka berdasarkan sifat universalnya itu Gereja dapat menjadi tali pengikat yang erat sekali antara pelbagai masyarakat dan bangsa manusia, asal mereka mempercayai Gereja, dan sungguh-sungguh mengakui kebebasannya yang sejati untuk menunaikan misinya itu. Oleh karena itu Gereja mengingatkan putera-puterinya, tetapi juga semua orang, supaya mereka dalam semangat kekeluargaan putera-puteri Allah mengatasi segala perselisihan antar bangsa maupun antar suku, dan meneguhkan dari dalam persekutuan-persekutuan manusiawi. Jadi apa pun yang serba benar, baik dan adil dalam bermacam ragam lembaga, yang telah dan tiada hentinya dibentuk oleh bangsa manusia, itu semua sangat dihormati oleh Konsili. Selain itu dinyatakannya juga, bahwa Gereja hendak membantu dan memajukan semua lembaga semacam itu, sejauh itu tergantung padanya dan dapat digabungkan dengan misinya. Yang paling diinginkan oleh Gereja yakni untuk mengabdi kepada kesejahteraan semua orang, dan dapat mengembangkan diri dengan bebas di bawah pemerintahan mana pun, yang mengakui hak-hak asasi pribadi dan keluarga serta kebutuhan-kebutuhan akan kesejahteraan umum. 43. (Bantuan yang diusahakan oleh Gereja melalui umat kristen bagi kegiatan manusiawi) Konsili mendorong umat kristiani, warga negara kedua pemukiman, supaya dijiwai oleh semangat Injil mereka berusaha menunaikan dengan setia tugas-kewajiban mereka di dunia. Menyimpanglah dari kebenaran mereka, yang tahu bahwa di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, melainkan mencari pemukiman yang akan datang[92], dan karena itu mengira dapat melalaikan tugas-kewajiban mereka di dunia, tanpa mengindahkan, bahwa justru karena iman sendiri mereka lebih terikat kewajiban untuk menjalankan tugas-tugas itu, menurut panggilan mereka masing-masing[93]. Akan tetapi tidak kalah sesatlah mereka, yang sebaliknya beranggapan, bahwa mereka dapat sejauh itu membenamkan diri ke dalam urusan-urusan duniawi, seolah-olah itu semua terceraikan sama sekali dari hidup keagamaan, berdasarkan anggapan seakan-akan agama itu melulu berarti melakukan kegiatan peribadatan serta sejumlah kewajiban moral semata-mata. Perceraian antara iman yang diikrarkan dan hidup sehari-hari banyak orang harus dipandang sebagai sesuatu yang cukup gawat pada zaman sekarang ini. Batu sandungan itu dalam Perjanjian Lama sudah ditentang dengan sengitnya oleh para Nabi[94]; apalagi dalam Perjanjian Baru Yesus Kristus sendiri mengancamnya dengan siksaan-siksaan yang berat[95]. Oleh karena itu janganlah secara salah kegiatan kejuruan dan sosial di satu pihak dipertentangkan terhadap hidup keagamaan di pihak lain. Dengan mengabaikan tugas-kewajibannya di dunia ini orang kristiani melalaikan tugaskewajibannya terhadap sesama, bahkan mengabaikan Allah sendiri, dan membahayakan keselamatan kekalnya. Lebih tepat hendaklah umat kristiani bergembira, bahwa mereka mengikuti teladan Kristus yang hidup bertukang, dan dapat menjalankan segala kegiatan duniawi, sambil memperpadukan semua usaha manusiawi, kerumah-tanggaan, 91

KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 1. Lih. Ibr 13:14. 93 Lih. 2Tes 3:6-13; Ef 4:28. 94 Bdk. Yes 58:1-12. 95 Bdk. Mat 23:3-33; Mrk 7:10-13. 92

kejuruan, usaha dibidang ilmu pengetahuan maupun tehnik dalam suatu sintesa yang hidup-hidup dengan nilai-nilai keagamaan, yang menjadi norma tertinggi untuk mengarahkan segala sesuatu kepada kemuliaan Allah. Secara khas – meskipun tidak eksklusif – tugas kewajiban maupun kegiatan keduniaan (sekular) termasuk kewenangan kaum awam. Maka bila mereka secara perorangan maupun kolektif, bertindak sebagai warga dunia ini, hendaknya mereka jangan hanya mematuhi hukum-hukum yang khas bagi masing-masing bidang kerja, melainkan hendaknya berusaha juga meraih kemahiran yang sungguh bermutu dibidang itu. Hendaklah mereka dengan sukarela bekerja sama dengan sesama yang mengejar tujuantujuan yang sama. Hendaknya mereka mengakui tuntutan-tuntutan iman serta dikuatkan olehnya, dan tanpa ragu-ragu – bila diperlukan – merekayasa usaha-usaha baru dan mewujudkannya. Termasuk kewajiban bagi suarahati mereka yang sudah terbentuk dengan baik, untuk mengusahakan supaya hukum ilahi tertanamkan dalam kehidupan kota duniawi ini. Adapun dari para imam kaum awam hendaknya mengharapkan penyuluhan dan kekuatan rohani. Tetapi janganlah mereka menyangka, seolah-olah para gembala mereka selalu sedemikian ahli, sehingga – bila muncul soal manapun, juga yang cukup berat sekalipun, - para gembala itu mampu langsung memberikan pemecahannya yang konkrit, atau seakan-akan para imam diutus untuk itu. Lebih tepat hendaklah kaum awam dalam terang kebijaksanaan kristiani dan seraya mengindahkan dengan cermat ajaran Magisterium[96], sanggup memainkan peranan mereka sendiri. Acap kali dalam situasi tertentu pandangan kristiani sendiri akan menjuruskan mereka ke arah pemecahan tertentu pula. Tetapi orang-orang beriman lainnya, dengan hati yang tak kalah tulus, seperti cukup sering terjadi dan memang sewajarnya juga, akan mempunyai pandangan yang berbeda tentang hal yang sama. Bila pemecahan-pemecahan yang diajukan oleh pihak satu dan lainnya, juga tanpa disengaja oleh pihak-pihak itu, oleh banyak orang dengan mudah dikaitkan dengan warta Injil, mereka harus ingat bahwa dalam hal-hal itu tak seorang pun boleh secara eksklusif meng-claim kewibawaan Gereja bagi pandangannya sendiri. Melainkan hendaknya mereka selalu berusaha saling memberi penjelasan melalui musyawarah yang tulus, sambil tetap saling mengasihi dan terutama mengindahkan kesejahteraan umum. Ada pun kaum awam, yang dalam seluruh kehidupan Gereja harua memainkan peranan aktif, tidak hanya wajib meresapi dunia dengan semangat kristiani, melainkan dipanggil juga untuk dalam segalanya menjadi saksi Kristus ditengah masyarakat manusia. Sedangkan para Uskup, yang dipercayai untuk tugas memimpin Gereja Allah, bersama imam-imam mereka hendaknya menyiarkan warta Kristus sedemikian rupa, sehingga semua kegiatan umat beriman didunia di limpahi cahaya Injil. Selain itu hendaklah semua gembala menyadari, bahwa dengan perilaku serta kesibukan-kesibukan mereka sehari-hari [97] mereka menampilkan kepada dunia citra Gereja tertentu, yang bagai chalayak ramai menjadi pedoman untuk menilai kekuatan dan kebenaran warta kristiani. Hendaknya, melalui perihidup maupun kata-kata, mereka bersama kaum religius serta umat beriman mereka, memperlihatkan bahwa Gereja dengan kehadirannya saja, beserta semua kurnia yang ada padanya, merupakan sumber yang tak kunjung mengering bagi keutamaan-keutamaan, yang sangat dibutuhkan oleh dunia zaman sekarang. Hendaklah mereka dengan tekun belajar meraih kecakapan sedemikian rupa, sehingga mampu memainkan peranan mereka dalam menjalin dialog dengan dunia serta orang-orang yang berpandangan bermacam-ragam. Tetapi terutama hendaklah mereka memperhatikan pesan Konsili ini: “Karena sekarang ini umat manusia merupakan semakin merupakan kesatuan di bidang kenegaraan, ekonomi dan sosial, maka makin perlu pulalah para imam bersatu padu dalam segala usaha dan karya dibawah bimbingan 96

Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, IV: AAS 53 (1961) hlm. 456-457; bdk. I: AAS, dalam jilid itu juga, hlm. 407, 410-411. 97 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 28.

para Uskup dan Imam Agung Tertinggi. Hendaklah mereka menyingkirkan apa saja yang menimbulkan perpecahan, supaya segenap umat manusia dibawa kedalam kesatuan keluarga Allah[98]. Sungguh pun Gereja berkat kekuatan Roh Kudus telah tetap menjadi mempelai yang setia terhadap Tuhannya, dan tak pernah berhenti menjadi tanda keselamatan di dunia, tetapi sungguh di sadari pula, bahwa diantara para anggotanya[99], klerus maupun awam, dari abad-ke abad ada saja yang tidak setia kepada Roh Allah. Juga pada zaman kita sekarang gereja mengetahui, betapa besar kesenjangan antara warta yang disirkannya dan kelemahan manusiawi mereka yang diserahi Injil. Entah bagaimana pun sejarah menilai ketidak-setiaan itu, kita harus menyadarinya dan dengan gigih memeranginya, supaya jangan merugikan penyiaran Injil. Begitu pula Gereja mengetahui, betapa ia dalam memupuk hubungannya dengan dunia, harus terus-menerus bertambah masak berkat pengalamannya dari zaman ke zaman. Di bimbing oleh Roh Kudus, Bunda Gereja tiada hentinya “mendorong para puteranya untuk memurnikan dan membaharui diri, supaya tanda Kristus dengan lebih cemerlang bersinar pada wajah Gereja”[100]. 44. (Bantuan yang diperoleh Gereja dari dunia zaman sekarang) Adapun seperti bagi dunia pentinglah mengakui Gereja sebagai suatu kenyataan sosial dalam sejarah dan sebagai raginya, begitu pula Gereja sendiri menyadari, betapa banyak telah diterimanya dari sejarah dan perkembangan umat manusia. Pengalaman berabad-abad silam, kemajuan ilmu-pengetahuan, harta-kekayaan yang tersembunyi dalam pelbagai bentuk kebudayaan manusia, - hal-hal yang secara lebih penuh menyingkapkan hakekat manusia dan merintis jalan-jalan beru menuju kebenaran, - itu semua berfaedah juga bagi Gereja. Sebab sejak awal sejarahnya Gereja telah belajar mengungkapkan warta Kristus melalui pengertian-pengertian maupun bahasa-bahasa pelbagai bangsa, dan selain itu berusaha menjelaskannya dengan kebijaksaan para filsuf: maksudnya ialah untuk menyesuaikan Injil dengan daya tangkap semua orang dan dengan tuntutan-tuntutan kaum arif-bijaksana, sebagaimana wajarnya. Adapun cara yang sesuai untuk mewartakan sabda yang diwahyukan harus tetap menjadi patokan bagi setiap penyiaran Injil. Sebab dengan demikian pada setiap bangsa ditumbuhkan kemampuan untuk mengungkapkan warta tentang Kristus dengan caranya sendiri, sekaligus dikembangkan pertukaran yang hidup antara Gereja dan pelbagai kebudayaan bangsa-bangsa[101]. Terutama pada masa sekarang, zaman perubahan-perubahan yang amat pesat dan kemacam-ragaman cara berpikir, Gereja untuk meningkatkan pertukaran itu secara istimewa memerlukan bantuan mereka yang hidup di dunia, benar-benar mengenal pelbagai bidang dan cabang pengetahuan, serta sungguh menyelami inti mentalitasnya, entah menyangkut mereka yang beriman entah kaum tak beriman. Sudah sewajarnyalah segenap Umat Allah, terutama para gembala dan teolog, mendengarkan, membeda-bedakan serta menafsirkan pelbagai corak bahasa zaman sekarang, dan mempertimbangkannya dalam terang sabda ilahi, supaya kebenaran yang diwahyukan dapat ditangkap selalu makin mendalam, difahami semakin baik dn disajikan dengan cara yang makin sesuai. Karena Gereja mempunyai tata-sususnan kemasyarakatan yang nampak dan yang melambangkan kesatuannya dalam Kristus, maka Gereja dapat diperkaya dan memang diperkaya juga berkat perkembangan hidup sosial manusia; bukan seolah-olah ada sesuatu yang kurang pada tata-susunan yang diterimanya dari Kristus, melainkan untuk mengenalnya secara lebih mendalam, untuk mengungkapkannya secara lebih cermat, dan untuk dengan lebih mudah menyesuaiakannya dengan zaman sekarang. Dengan penuh syukur Gereja menyadari bahwa selaku jemaat seperti juga dalam putera-puterinya masing-masing ia menerima aneka macam bantuan masyarakat dari setiap lapisan 98

Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 28. Lih. S. AMBROSIUS, tentang Keperawanan, VIII, 48: PL 16,278. 100 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 15. 101 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 13. 99

maupun kondisi hidup. Sebab barang siapa menurut rencana Allah mengembangkan masyarakat dalam tata hidup berkeluarga, kebudayaan, hidup ekonomi maupun sosial, begitu pula hidup berpolitik tingkat nasional maupun internasional, menyumbangkan bantuannya yang bukan kecil juga kepada jemaat Gereja, sejauh itu tergantung dari halhal lahiriah. Bahkan Gereja mengakui, bahwa di masa lampau maupun sekarang ia banyak berkembang berkat tentangan mereka yang melawan atau menganiayanya[102]. 45. (Kristus, Alfa dan Omega) Sementara Gereja membantu dunia dan menerima banyak dari dunia, yang dimaksudkannya hanyalah: supaya datanglah Kerajaan Allah dan terwujudlah keselamatan segenap bangsa manusia. Adapun segala sesuatu yang baik, yang oleh umat Allah selama masa ziarahnya didunia dapat di sajikan kepada keluarga manusia, bersumber pada kenyataan, bahwa Gereja ialah “sakramen keselamatan bagi semua orang”[103], yang menampilkan dan sekaligus mewujudkan misteri cinta kasih Allah terhadap manusia. Sebab Sabda Allah sendiri – karena-Nya segala sesuatu dijadikan – telah menjadi daging, supaya Ia sebagai manusia yang sempurna menyelamatkan semua orang dan merangkum segalanya dalam Dirinya. Tuhanlah tujuan sejarah manusia, titik-sasaran dambaan-dambaan sejarah maupun peradaban, pusat umat manusia, kegembiraan hati semua orang dan pemenuhan aspirasi-aspirasi mereka[104]. Dialah yang oleh Bapa dibangkitkan dari kematian, ditinggikan dan ditempatkan disisi kanan-Nya; Dialah yang ditetapkan-Nya menjadi hakim bagi mereka yang hidup maupun yang mati. Kita, yang dihidupkan dan dihimpun dalam Roh-Nya, sedang berziarah menuju pemenuhan sejarah manusia, yang sepenuhnya sesuai dengan rencana cinta kasih-Nya: “Mempersatukan dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi” (Ef 1:10). Bersabdalah Tuhan sendiri: “Sesungguhnya aku datang segera, dan Aku membawa upah-Ku untuk membalaskan kepada setiap orang menurut perbuatannya. Akulah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir” (Why 22:12-13).

102

Lih. YUSTINUS, Dialog dengan Trifo, 110: PG 6,729; terb. OTTO 1897, hlm. 391-393: “… tetapi semakin kita/kami mengalami penganiayaan semacam itu, semakin bertambah pula jumlah mereka yang berkat nama Yesus menjadi beriman dan saleh”. – Lih. TERTULIANUS, Apologetik , bab 50,13: CORPUS CHRIST., seri Latin I, hlm. 171: “Kami bahkan bertambah banyak, setiap kali kami anda tuai (=anda aniaya): darah umat kristiani justru menjadi benih!”. – Lih. Kosntitusi dogmatis tentang Gereja, art. 9. 103 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 48. 104 Lih. PAULUS VI, Amanat pada tgl. 3 Februari 1965.

BAGIAN KEDUA

BEBERAPA MASALAH YANG AMAT MENDESAK PENDAHULUAN 46. Sesudah menguraikan mertabat pribadi manusia, dan untuk menunaikan tugas manakah, baik perorangan maupun kemasyarakatan, ia dipanggil di seluruh dunia, Konsili sekarang bermaksud untuk – dalam terang Injil dan pengalaman manusia – mengarahkan perhatian semua orang kepada berbagai kebutuhan zaman sekarang yang cukup mendesak dan sangat membebani umat manusia. Di antara sekian banyak hal, yang sekarang ini menimbulkan keprihatianan semua orang, terutama pokok-pokok berikutlah yang seyogyanya diindahkan: perkawinan dan keluarga, kebudayaan manusiawi, kehidupan sosial-ekonomi dan politik, perserikatan keluarga besar para bangsa dan perdamaian. Semoga mengenai masing-masing bidang itu menjadi jelaslah asas-asas pembawa terang yang bersumber pada Kristus, sehingga umat beriman kristen dibimbing olehnya, dan semua orang diterangi dalam mencari pemecahan bagi sekian banyak masalah yang rumit.

BAB SATU MARTABAT PERKAWINAN DALAM KELUARGA 47. (perkawinan dan keluarga dalam dunia zaman sekarang) Keselamatan pribadi maupun masyarakat manusiawi dan kristiani eart berhubungan dengan kesejahteraan rukun perkawinan dan keluarga. Maka umat kristiani, bersama dengan siapa saja yang menjunjung tinggi rukun hidup itu, dengan tulus hati bergembira tentang pelbagai upaya, yang sekarang ini membantu orang-orang untuk makin mengembangkan rukun cinta kasih itu dan menghayatinya secara nyata, dan menolong para suami-isteri serta orang tua dalam menjalankan tugas mereka yang luhur. Lagi pula mereka memang mengharapkan manfaat yang lebih besar lagi dari padanya, dan berusaha meningkatkannya. Akan tetapi tidak di mana-mana martabat lembaga itu sama-sama berseri semarak, sebab disuramkan oleh poligami, malapetaka perceraian, apa yang disebut percintaan bebas, dan cacat-cedera lainnya. Selain itu cinta perkawinan cukup sering dicemarkan oleh cinta diri, gila kenikmatan dan ulah-cara yang tidak halal melawan timbulnya keturunan. Kecuali itu situasi ekonomis, sosio-psikologis dan kemasyarakatan dewasa ini menimbulkan gangguan-gangguan yang tak ringan terhadap keluarga. Akhirnya diwilayah-wilayah tertentu dunia ini dengan cukup prihatin disaksikan munculnya masalah persoalan akibat pertambahan penduduk. Itu semua serba menggelisahkan suara hati. Tetapi gairah kekuatan lembaga perkawinan dan keluarga nampak juga dari kenyataan, bahwa perubahan-perubahan masyarakat yang mendalam sekarang ini, kendati kendala-kendala yang bermunculan dari padanya, seringkali toh dengan pelbagai cara menampilkan hakekat sejati lembaga itu. Oleh karena itu Konsili bermaksud menjelaskan berbagai pokok ajaran Gereja, dan dengan demikian menerangi serta meneguhkan umat kristiani dan semua orang, yang

berusaha membela dan mengembangkan martabat asli maupun nilai luhur dan kesucian status perkawinan. 48. (Kesucian perkawinan dan keluarga) Persekutuan hidup dan kasih suami-isteri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat di tarik kembali. Demikianlah karena tidakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan isteri, timbullah suatu lembaga yang mendapat keteguhannya, juga bagi masyarakat, berdasarkan ketetapan ilahi. Ikatan suci demi kesejahteraan suami-isteri dan anak maupun masyarakat itu, tidak tergantung dari manusiawi semata-mata. Allah sendirilah Pencipta perkawinan, yang mencakup berbagai niali dan tujuan[105]. Itu semua penting sekali bagi kelangsungan umat manusia, bagi pertumbuhan pribadi serta tujuan kekal masing-masing anggota keluarga, bagi martabat, kelestarian, damai dan kesejahteraan keluarga sendiri maupun seluruh masyarakat manusia. Menurut sifat kodratinya lembaga perkawinan sendiri dan cinta kasih suani-isteri tertujukan kepada lahirnya keturunan serta pendidikannya, dan sebagai puncaknya bagaikan dimahkotai olehnya. Maka dari itu pria dan wanita, yang karena janji perkawinan “bukan lagi dua, melainkan satu daging” (Mat 19:6), saling membantu dan melayani berdasarkan ikatan mesra antra pribadi dan kerja sama; mereka mengalami dan dari hari ke hari makin memperdalam rasa kesatuan mereka. Persatuan mesar itu, sebagai saling serah diri antara dua pribadi, begitu pula kesejahteraan anak-anak, menuntut kesetiaan suami isteri yang sepenuhnya, dan menjadikan tidak terceraikannya kesatuan mereka mutlak perlu[106]. Kristus Tuhan melimpahkan berkat-Nya atas cinta kasih yang beraneka ragam itu, yang berasal dari sumber ilahi cinta ksih, dan terbentuk menurut pola persatuan-Nya dengan Gereja. Sebab seperti dulu Allah menghampiri bangsa-Nya dengan perjanjian kasih dan kesetiaan[107], begitu pula sekarang Penyelamat umat manusia dan Mempelai Gereja[108], melalui sakramen perkawinan menyambut suami-isteri kristiani. Selanjutnya Ia tinggal berserta mereka supaya seperti Ia sendiri mengasihi Gereja dan menyerahkan Diri untuknya[109], begitu pula suami-isteri dengan saling menyerahkan diri saling mengasihi dengan kesetiaan tank kunjung henti. Kasih sejati suami-isteri ditampung dalam cinta ilahi, dan dibimbing serta diperkaya berkat daya penebusan Kristus serta kegiatan Gereja yang menyelamatkan, supaya suami-isteri secara nyata diantar menuju Allah, lagi pula dibantu dan diteguhkan dalam tugas mereka yang luhur sebagai ayah dan ibu[110]. Oleh karena itu suami-isteri kristiani dikuatkan dan bagaikan dikuduskan untuk tugaskewajiban maupun martabat status hidup mereka dengan sakramen yang khas[111]. Berkat kekuatannyalah mereka menunaikan tugas mereka sebagai suami-isteri dalam keluarga; mereka dijiwai semangat Kristus, yang meresapi seluruh hidup mereka dengan iman, harapan dan cinta kasih; mereka makin mendekati kesempurnaan mereka dan makin saling menguduskan, dan dengan demikian bersama-sama makin memuliakan Allah. Maka dari itu, mengikuti teladan orang tua dan berkat doa keluarga, anak-anak, bahkan semua yang hidup dilingkungan keluarga, akan lebih mudah menemukan jalan perikemanusiaan, keselamatan dan kesucian. Suami-isteri yang mengemban martabat serta tugas kebapaan dan keibuan, akan melaksanakan dengan tekun kewajiban memberi pendidikan terutama dibidang keagamaan, yang memang pertama-tama termasuk tugas mereka. 105

Lih. S. AGUSTINUS, De bono coniug. (tentang nilai perkawinan): PL 40,375-376,394. – S. TOMAS, Summa Theol., Supl. Soal 49, art.3 ad 1. – Dekrit untuk Umat Armenia: DENZ. 702 (1327). – PIUS XI, Ensiklik Casti Connubii: AAS 22 (1930) hlm. 543-555; DENZ. 2227-2238 (3703-3714). 106 Lih. PIUS XI, Ensiklik Casti Connubii: AAS 22 (1930) hlm. 546-547; DENZ. 2231 (3706). 107 Lih. Hos 2; Yer 3:6-13; Yeh 16 dan 23; Ye s 54. 108 Lih. Mat 9:15; Mrk 2:19-20; Luk 5:34-35; Yoh 3:29; 2Kor 11:2; Ef 5:27; Why 19:7-8; 21:2, 9. 109 Lih. Ef 5:25. 110 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 11, 35, 41. 111 Lih. PIUS XI, Ensiklik Casti Connubii: AAS 22 (1930) hlm. 583.

Anak-anak, selaku anggota keluarga yang hidup, dengan cara mereka sendiri ikut serta menguduskan orang tua mereka. Sebab mereka akan membalas budi kepada orangtua dengan rasa syukur terima kasih, cinta mesra serta kepercayaan mereka, dan seperti layaknya bagi anak-anak akan membantu orang tua di saat-saat kesukaran dan dalam kesunyian usia lanjt. Status janda, yang sebagai kelangsungan panggilan berkeluarga ditanggung dengan keteguhan hati, hendaknya dihormati oleh semua orang[112]. Hendaknya keluarga dengan kebesaran jiwa berbagi kekayaan rohani juga dengan keluarga-keluarga lain. Maka dari itu keluarga kristiani, karena berasal dari pernikahan, yang merupakan gambar dan partisipasi perjanjian cinta kasih antara Kristus dan Gereja[113], akan menampakkan kepada semua orang kehadiaran Sang Penyelamat yang sungguh nyata di dunia dan hakekat Gereja yang sesungguhnya, baik melalui kasih suami-isteri, melalui kesuburan yang dijiwai semangat berkorban, melalui kesatuan dan kesetiaan, maupun melalui kerja sama yang penuh kasih antara semua anggotanya. 49. (Cinta kasih suami-isteri) Sering kali para mempelai dan suami-isteri diundang oleh sabda ilahi, untuk memelihara dan memupuk janji setia mereka dengan cinta yang murni dan perkawinan mereka dengan kasih yang tak terbagi[114]. Cukup banyak orang zaman sekarang amat mengahrgai pula cinta kasih sejati antara suami dan isteri, yang diungkapkan menurut adat-istiadat para bangsa dan kebiasaan zaman yang terhormat. Cinta kasih itu, karena sifatnya sungguh sangat manusiawi, dan atas gairah kehendak dari pribadi menuju kepada pribadi, mencakup kesejahteraan seluruh pribadi; maka mampu juga memperkaya ungkapan-ungkapan jiwa maupun raga dengan keluhuran yang khas, serta mempermuliakannya dengan unsur dan tanda-tanda istimewa persahabatan suami-isteri. Tuhan telah berkenan menyehatkan, menyempurnakan dan mengangkat cinta kasihitu dengan kurnia istimewa rahmat dan kasih sayang. Cinta seperti itu memadukan segi manusiawi dan ilahi, mengantar suami-isteri kepada serah diri bebas dan timbal balik, yang dibuktikan dengan perasaan dan tindakan mesra, serta meresapi seluruh hidup mereka[115]. Bahkan cinta itu makin sempurna dan berkembang karena kemurahan hati yang rela berjerih payah. Oleh karena itu jauh lebih unggul dari rasa tertarik yang erotis melulu, yang ditumbuhkan dalam cinta diri, dan menghilang dengan cepat dan amat menyedihkan. Cinta kasih itu secara istimewa diungkapkan dan disempurnakan dengan tindakan yang khas bagi perkawinan. Maka dari itu tindakan-tindakan, yang secara mesra dan murni menyatukan suami-isteri, harus dipandang luhur dan terhormat; bila dijalankan secara sungguh manusiawi, tindakan-tindakan itu menandakan serta memupuk penyerahan diri timbal balik, cara mereka saling memperkaya dengan hati gembira dan rasa syukur. Cinta kasih itu, yang dikukuhkan dengan bakti timbal-balik, dan terutama dikuduskan berkat sakramen Kristus, dalam suka maupun duka, dengan jiwa maupun raga, tetap setia tak terpisahkan; oleh karena itu tetap terhindarkan dari setiap perzinahan dan perceraian. Lagi pula, karena kesamaan martabat pribadi antara suami dan isteri, yang harus tampil dalam kasih sayang timbal-balik dan penuh-purna, jelas sekali nampaklah kesatuan perkawinan yang dikukuhkan oleh Tuhan. Untuk tetap lestari menunaikan tugas-tugas yang tercantum dalam panggilan kristiani itu, diperlukan tingkat keutamaan yang tinggi. Oleh karena itu suami-isteri, diteguhkan oleh rahmat untuk perihidup yang suci, hendaknya dengan tekun mengembangkan kebesaran jiwa dan semangat berkorban, serta memohonnya dalam doa. Cinta kasih suami-isteri yang sejati akan dijunjung lebih tinggi, pun juga akan terbentuk pandangan umum yang sehat tentangnya, bila suami-isteri kristiani sungguh menonjol karena kesaksian kesetiaan dan keserasian dalam cinta itu, dan karena 112

Lih. 1Tim 5:3. Lih. Ef 5:32. 114 Lih. Kej 2:22-24; Ams 5:18-20; 31:10-31; Tob 8:4-8; Kid 1:1-3; 2:16; 7:8-11; 1Kor 7:3-6; Ef 5:25-33. 115 Lih. PIUS XI, Ensiklik Casti Connubii: AAS 22 (1930) hlm547 dan 548: DENZ. 2232 (3707). 113

penuhnya perhatian mereka dalam mendidik anak-anak. Pasti cinta itu memainkan peranannya juga dalam pembaharuan budaya, psikologis dan sosial, yang memang dibutuhkan bagi perkawinan dan hidup berkeluarga. Hendaknya kaum muda pada saatnya menerima penyuluhan yang sesuai tentang martabat cinta kasih suami-isteri, tentang peranan dan pelaksanaannya, paling baik dalam pangkuan keluarga sendiri, supaya mereka, berkat pembinaan dalam kemurnian, pada saat yang tepat dapat beralih dari masa pertunangan yang dilewati secara terhormat kepada pernikahan. 50. (kesuburan perkawinan) Menurut hakekatnya perkawinan dan cinta kasih suami-isteri tertujuakan kepada adanya keturunan serta pendidikannya. Memang anak-anak merupakan kurnia perkawinan yang paling luhur, dan besar sekali artinya bagi kesejahteraan orang tua sendiri. Allah sendiri bersabda: “tidak baiklah manusia hidup seorang diri” (Kej 2:18); lagi: “Dia … yang sejak semula menciptakan manusia pria dan wanita” (Mat 19:4). Ia bermaksud mengizinkan manusia, untuk secara khusus ikut serta dalam karya penciptaan-Nya sendiri, dan memberkati pria maupun wanita sambil berfirman: “Beranak-cucu dan bertambah banyaklah” (Kej 1:28). Oleh karena itu pengembangan kasih suami-isteri yang sejati, begitu pula seluruh tata-hidup berkeluarga yang bertumpu padanya, - tanpa memandang kalah penting tujuan-tujuan perkawinan lainnya, - bertujuan supaya suami-isteri bersedia dengan penuh keberanian bekerja sama dengan cinta kasih Sang Pencipta dan Penyelamat, yang melalui mereka makin memperluas dan memperkaya keluarga-Nya. Dalam tugas menyalurkan hidup manusiawi serta mendidiknya, yang harus dipandang sebagai perutusan mereka yang khas, suami isteri menyadari diri sebagai mitra kerja cinta kasih Allah pencipta dan bagaikan penterjemah-Nya. Maka dari itu hendaknya mereka menunaikan tugas mereka penuh tanggung jawab manusiawi serta kristiani. Hendaknya mereka penuh hormat dan patuh-taat kepada allah, sehati sejiwa dan dalam kerja sama, membentuk pendirian yang sehat, sambil mengindahkan baik kesejahteraan mereka sendiri maupun kesejahteraan anak-anak, baik yang sudah lahir maupun yang mereka perkirakan masih akan ada; sementara itu hendaknya mereka mempertimbangkan juha kondisi-kondisi zaman dan status hidup mereka yang bersifat jasmani maupun rohani; akhirnya hendaknya mereka memperhitungkan kesejahteraan rukun keluarga, masyarakat di dunia, serta Gereja sendiri. Penilaian itu pada dasarnya suami-isterilah yang wajib mengadakan di hadapan Allah. Hendaknya suami-isteri kristiani dalam cara mereka bertindak menyadari, bahwa mereka tidak dapat mengambil langkah-langkah semaunya sendiri saja; tetapi harus selalu dituntun oleh suara hati, yang harus disesuaikan dengan hukum ilahi sendiri; mereka harus menganut bimbingan Wewenang Mengajar Gereja, yang dalam terang Injil memberi tafsiran otentik kepada hukum itu. Hukum ilahi itu menunjukkan makna sepenuhnya cinta kasih suami-isteri, melindunginya, serta mendorong ke arah penyempurnaan yang sungguh manusiawi. Begitulah suami-isteri kristiani, penuh kepercayaan akan penyelenggaraan ilahi dan sambil mengembangkan semangat berkorban[116], meluhurkan Sang Pencipta dan menuju kesempurnaan dalam Kristus bila mereka atas tanggung jawab manusiawi maupun kristiani yang diwarnai kebesaran jiwa menunaikan tugas mereka mengadakan keuturnan. Diantara suami-isteri, yang secara demikian memenuhi tugas yang diserahkan oleh Allah kepada mereka, secara khas layak dikenangkan mereka, yang berdasarkan pertimbangan bersama yang bijaksana, dengan jiwa yang besar sanggup menerima keturunan untuk dididik sebagaimana seharusnya, jika dalam jumlah yang besar[117]. Akan tetapi perkawinan bukan hanya diadakan demi adanya keturunan saja. Melainkan hakekat janji antar pribadi yang tak dapat di batalkan, begitu pula kesejahteraan anak, menuntut supaya cinta kasih timbal-balik antara suami isteri diwujudkan secara tepat, makin berkembang dan menjadi masak. Maka dari itu, juga bila 116 117

Lih. 1Kor 7:5 Lih. PIUS XII, Amanat Tra le visite (“Diantara kunjungan-kunjungan), tgl. 20 Januari 1958: AAS 50 (1958) hlm. 91.

keturunan, yang sering begitu diinginkan, tidak kunjung datang, perkawinan tetap bertahan sebagai rukun hidup yang lestari serta persekutuan hidup, dan tetap mempunyai nilainya serta tidak dapat dibatalkan. 51. (Penyelarasan cinta kasih suami-isteri dengan sikap hormat terhadap hidup manusia) Konsili memahami, bahwa dalam mengatur hidup perkawinan secara laras-serasi suamiisteri sering dihambat oleh berbagai situasi hidup zaman sekarang, dan dapat mengalami kenyataan-kenyataan, yang tidak mengijinkan jumlah anak, setidak-tidaknya untuk sementara; begitu pula kesetiaan cinta kasih dan penuhnya persekutuan hidup sering tidak mudah dipertahankan. Padahal, bila kemesraan hidup bekeluarga terputus, tidak jarang nilai kesetiaan terancam dan kesejahteraan anak dihancurkan. Sebab dalam situasi itu pendidikan anak-anak, begitu pula keberanian untuk masih menerima tambahan anak, dibahayakan. Ada yang memberianikan diri memecahkan soal-soal itu dengan cara yang tidak pantas, bahkan tidak merasa enggan untuk menjalankan pembunuhan. Tetapi Gereja mengingatkan, bahwa tidak mungkin ada pertentangan yang sesungguhnya antara hukum-hukum ilahi tentang penyaluran hidup dan usaha dan memupuk cinta kasih suami-isteri yang sejati. Sebab Allah, Tuhan kehidupan, telah mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat cermat. Pengguguran dan pembunuhan anak merupakan tindak kejahatan yang durhaka. Seksualitas yang ada pada manusia, begitu pula kemampuan manusiawi untuk melahirkan keturunan, secara mengagumkan mengatasi apa saja yang terdapat pada taraf-taraf kehidupan yang lebih rendah. Oleh karena itu tindakan yang khas bagi hidup perkawinan sendiri, yang diatur sesuai dengan martabat manusiawi yang sejati, wajib di hadapi dengan sikap hormat yang sungguh mendalam. Maka, bila soalnya bagaimana menyelaraskan cinta kasih suami-isteri dengan penyaluran kehidupan secara bertanggung jawab, moralitas cara bertindak tidak hanya tergantung dari maksud yang tulus atau penilaian alsan-alasannya saja. Moralitas itu harus ditentukan berdasarkan norma-norma yang objektif, dan dijabarkan dari hakekat pribadi serta tindakan-tindakannya; dan norma-norma itu menghormati arti sepenuhnya yang ada pada saling penyerahan diri dan pada keturunan manusiawi, dalam konteks cinta kasih yang sejati. Itu semua tidak mungkin, kalau keutamaan kemurnian dalam perkawinan tidak diamalkan dengan tulus hati. Puteraputeri Gereja, yang berpegang teguh pada azas-azas itu, dalam mengatur keturunan tidak boleh menempuh cara-cara, yang ditolak oleh Wewenang Mengajar Gereja dalam menuraikan hukum ilahi [118]. Hendaknya semua saja menyadari, bahwa hidup manusia dan tugas menyalurkannya tidak terbatas pada dunia ini melulu, pun tidak dapat diukur dan dimengerti hanya dengan itu saja, melainkan selalu menyangkut tujuan kekal manusia. 52. (Pengembangan perkawinan dan keluarga merupakan tugas semua orang) Keluarga merupakan suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan. Supaya keluarga mampu mencapai kepenuhan hidup dan misinya, diperlukan komunikasi hati penuh kebaikan, kesepakatan suami-isteri, dan kerja sama orang tua yang tekun dalam pendidikan anak-anak. Kehadiran aktif ayah sangat membantu pembinaan mereka tetapi 118

Lih. PIUS XI, Ensiklik Casti Connubii: AAS 22 (1930) hlm. 559-561; DENZ. 2239-2241 (3716-3718). – PIUS XII, Amanat kepada Pertemuan Perserikatan para Bidan di Italia, tgl. 29 Oktober 1951: AAS 43 (1951) hlm. 835-854. – PAULUS VI, Amanat kepada para Bapak Kardinal, tgl. 23 Juni 1964: AAS 56 (1964) hlm. 581-589. Atas perintah Paus, beberapa masalah yang memerlukan penyelidikan yang baru dan lebih cermat, telah diserahkan kepada Komisi untuk mempelajari masalah kependudukan, keluarga dan kelahiran, supaya sesudah tugas itu selesai dijalankan, Paus sendiri yang mengambil keputusan. Demikianlah, sementara ajaran Magisterium tetap berlaku, Konsili tidak bermaksud menyajikan secara langsung pemecahan-pemecahan konkrit.

juga pengurusan rumah tangga oleh ibu, yang terutama dibutuhkan oleh anak-anak yang masih muda, perlu dijamin, tanpa maksud supaya pengembangan peranan sosial wanita yang sewajarnya dikesampingkan. Melalui pendidikan hendaknya anak-anak dibina sedemikian rupa, sehingga nanti bila sudah dewasa mereka mampu penuh tanggung jawab mengikuti panggilan mereka, juga panggilan religius, serta memilih status hidup mereka. Maksudnya juga, supaya bila kemudian mereka mengikat diri dalam pernikahan, mereka mampu membangun keluarga sendiri dalam kondisi-kondisi moril, sosial dan ekonomis yang menguntungkan. Merupakan kewajiban orang tua atau para pengasuh, membimbing mereka yang lebih muda dalam membentuk keluarga dengan nasehat bijaksana, yang dapat mereka terima dengan senang hati; tetapi hendaknya para pendidik itu menjaga, jangan samapai mendorong mereka melalui paksaan langsung atau tidak langsung, untuk mengikat pernikahan atau memilih orang tertentu menjadi jodoh mereka. Demikianlah keluarga, lingkup berbagai generasi bertemu dan saling membantu untuk meraih kebijaksanaan yang lebih penuh, dan untuk memperpadukan hak-hak pribadi-pribadi dengan tuntutan-tuntutan hidup sosial lainnya, merupakan dasar bagi masyarakat. Maka dari itu siapa saja, yang mampu mempengaruhi persekutuanpersekutuan dan kelompok-kelompok sosial, wajib memberi sumbangan yang efektif untuk mengembangkan perkawinan dan hidup berkeluarga. Hendaknya pemerintah memandang sebagai kewajibannya yang suci: mengakui, membela dan menumbuhkan jati diri perkawinan dan keluarga, melindungi tata susila umum dan mendukung kesejahteraan rumah tangga, Hak orang tua untuk melahirkan keturunan dan medidikanya dalam pangkuan keluarga harus dilindungi. Hendaknya melalui perundang-undangan yang bijaksana serta pelbagai usaha lainnya juga mereka yang malang, karena tidak mengalami kehidupan keluarga, dilindungi dan diringankan beban mereka dengan bantuan yang mereka perlukan. Hendaknya umat beriman kristiani, sambil menggunakan waktu yang ada[119] dan membeda-bedakan yang kekal dari bentuk-bentuk yang dapat berubah, dengan tekun mengembangkan nilai-nilai perkawinan dan keluarga, baik melalui kesaksian hidup mereka sendiri maupun melalui kerja sama dengan sesama yang berkehendak baik. Dengan demikian mereka mencegah kesukaran-kesukaran, dan mencukupi kebutuhankebutuhan keluarga serta menyediakan keuntungan-keuntungan baginya sesuai dengan tuntutan zaman sekarang. Untuk mencapai tujuan itu semangat kristiani umat beriman, suara hati moril manusia, begitu pula kebijaksanaan serta kemahiran mereka yang menekuni ilmu-ilmu suci, akan banyak membantu. Para pakar ilmu-pengetahuan, terutama dibidang biologi, kedokteran, sosial dan psikologi, dapat berjasa banyak bagi kesejahteraan perkawinan dan keluarga serta bagi ketenangan suara hati, bila – dengan memadukan hasil studi mereka – mereka berusaha menjelaskan secara makin mendalam pelbagai kondisi yang mendukung pengaturan kelahiran manusia yang dapat di pertanggung jawabkan. Termasuk tugas para imam, untuk – berbekalkan pengetahuan yang memadai tentang hidup berkeluarga – mendukung panggilan suami-isteri dengan pelbagai upaya pastoral, pewartaan sabda Allah, ibadat liturgis maupun bantuan-bantuan rohani lainnya dalam hidup perkawinan dan keluarga mereka. Tugas para imam pula, untuk dengan kebaikan hatidan dengan sabar meneguhkan mereka ditengah kesukaran-kesukaran, serta menguatkan mereka dalam cinta kasih, supaya terbentuklah keluarga-keluargayang sungguh-sungguh berpengaruh baik. Pelbagai karya, terutama himpunan-himpunan keluarga, hendaknya berusaha meneguhkan kaum muda dan para suami-isteri sendiri, terutama yang baru menikah, dengan ajaran maupun kegiatan, hidup kemasyarakatan dan kerasulan. Akhirnya hendaknya para suami-isteri sendiri, yang diciptakan menurut gambar Allag yang hidup dan ditempatkan dalam tata-hubungan antar pribadi yang otentik, 119

Lih. Ef 5:16; Kol 4:5.

bersatu dalam cinta kasih yang sama, bersatu pula dalam usaha saling menguduskan[120], supaya mereka, - dengan mengikuti Kristus sumber kehidupan[121], di saat-saat gembira maupun pengorbanan dalam panggilan mereka, karena cinta kasih mereka yang setai, menjadi saksi-saksi misteri cinta kasih, yang oleh Tuhan diwahyukan kepada dunia dalam wafat dan kebangkitan-Nya[122].

BAB DUA PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN

53. (Pendahuluan) Termasuk ciri pribadi manusia, bahwa ia hanya dapat menuju kepenuhan kemanusiaannya yang sejati melalui kebudayaan, yakni dengan memelihara apa yang serba baik dan bernilai pada kodratnya. Maka dimanapun dibicarakan hidup manusia, kodrat dan kebudayaan erat sekali. Pada umumnya dengan istilah “kebudayaan” dimaksudkan segala sarana dan upaya manusia untuk menyempurnakan dan mengembangkan pelbagai bakat-pembawaan jiwaraganya. Ia berusaha menguasai alam semesta dengan pengetahuan maupun jerih payahnya. Ia menjadikan kehidupan sosial, dalam keluarga maupun dalam seluruh masyarakat, lebih manusiawi melaluikemajuan tata susila dan lembaga-lembaga. Akhirnya di sepanjang masa ia mengungkapkan, menyalurkan dan melestarikan pengalaman-pengalaman rohani serta aspirasi-aspirasinya yang besar melalui karyakaryanya, supaya berfaedah bagi kemajuan banyak orang, bahkan segenap umat manusia. Oleh karena itu mau tak mau kebudayaan manusia mencakup dimensi historis dan sosial, dan istilah “kebudayaan” seringkali mengandung arti sosiologis dan etnologis. Dalam arti itulah orang berbicara tentang kemacam-ragaman kebudayaan. Sebab dari pelbagai cara menggunakan bermacam-macam hal, menjalankan pekerjaan dan mengungkapkan diri, menghayati agama dan membina tata susila, menetapkan undangundang dan membentuk lembaga-lembaga hukum, memajukan ilmu-pengetahuan serta kesenian, dan mengelola keindahan, muncullah pelbagai kondisi hidup yang umum serta pelbagai cara menata nilai-nilai kehidupan. Begitulah dari tata hidup yang diwariskan muncullah pusaka nilai-nilai yang khas bagi setiap masyarakat manusia. Begitu pula terwujudlah lingkungan hidup tertentu dengan corak historisnya sendiri, yang menampung manusia dari berbagai zaman manapun, dan yang menjadi sumber nilainilai untuk mengembangkan kebudayaan manusia serta masyarakat.

120

Lih. Sacramentarium Gregorianum (kumpulan upacara-upacara Gregorian): PL 78,262. Lih. Rom 5:15 dan 18; 6:5-11; Gal 2:20. 122 Lih. Ef 5:25-27. 121

ARTIKEL SATU SITUASI KEBUDAYAAN PADA ZAMAN SEKARANG 54. (Pola-pola hidup baru) Ditinjau dari sudut sosial dan budaya kondisi-kondisi hidup manusia modern telah berubah secara mendalam sedemikian rupa, sehingga orang dapat berbicara tentang zaman baru sejarah manusia[123]. Maka untuk mengembangkan dan menyebarluaskan kebudayaan terbukalah cara-cara baru. Cara-cara itu tersediakan berkat perkembangan luar biasa ilmu-pengetahuan alam dan manusia, juga ilmu-ilmu sosial, perkembangan teknologi, begitu pula kemajuan dalam pengembangan serta penataan penggunaan upaya-upaya komunikasi antar manusia. Karena itulah kebudayaan modern ditandai ciriciri khas: ilmu-ilmu yang disebut “eksakta”sangat mengembangkan penilaian kritis; penelitian-penelitian di bidang psikologis akhir-akhir ini memberi penjelasan lebih mendalam tentang kegiatan manusiawi; ilmu-ilmu sejarah besar jasanya untuk menelaah kenyataan-kenyataan dari segi perubahan serta perkembangannya; kebiasaan-kebiasaan hidup serta adat-istiadatmenjadi semakin seragam; industrialisasi, urbanisasi, dan sebabsebab lain, yang meningkatkan kebersamaan hidup, menciptakan pola-pola budaya baru (“mass culture”, “kebudayaan massa”), yang menimbulkan cara-cara baru menyangkut perasaan, tindakan dan penggunaan waktu terluang; serta merta meningkatkan pertukaran antara pelbagai bangsa dan golongan-golongan masyarakat semakin lebar membuka khazanah pelbagai bentuk kebudayaan bagi semua dan setiap orang, dan dengan demikian lambat-laun disiapkan pola kebudayaan yang lebih umum, lagi pula semakin mempererat dan mengungkapakan kesatuan umat manusia, bila makin dihormati ciri-ciri khas pelbagai kebudayaan. 55. (Manusia pencipta kebudayaan) Semakin besarlah jumlah pria maupun wanita dari golongan serta bangsa mana pun juga, yang menyadari bahwa merekalah ahli-ahli serta pencipta-pencipta kebudayaan masyarakat mereka. Di seluruh dunia makin meningkatlah kesadaran akan otonomi dan tanggung jawab; dan itu penting sekali bagi kemasakan rohani maupun moril umat manusia. Itu semakin jelas, bila kita sadari proses menyatunya dunia serta tugas panggilan kita, untuk membangun dunia yang lebih baik dalam kebenaran dan keadilan. Maka demikianlah kita menjadi saksi lahirnya humanisme baru; di situlah manusia pertama-tama ditandai oleh tanggung jawabnya atas sesamanya maupun sejarahnya. 56. (Kesukaran-kesukaran dan tugas-tugas) Dalam situasi itu tidak mengherankanlah, bahwa manusia, yang menyadari tanggung jawabnya atas kemajuan kebudayaan, memupuk harapan yang lebih luhur, tetapi dengan hati yang cemas pula menyaksikan adanya banyak pertentangan-pertentangan yang masih harus diatasinya. Apakah yang perlu diusahakan, supaya pertukaran kebudayaan yang lebih intensif, yang sebenarnya harus mendorong pelbagai golongan dan bangsa ke arah dialog yang sejati dan subur, jangan justru mengacaukan kehidupan masyarakat, atau menumbangkan kebijaksanaan para leluhur, atau membahayakan watak-pearangai bangsa-bangsa yang khas? Bagaimanakah dinamisme dan meluas-ratanya kebudayaan baru harus didukung, tanpa menyebabkan musnahnya kesetiaan yang hidup terhadap pusaka tradisi-tradisi? Hal itu secara khas terasa mendesak, bila kebudayaan, yang lahir dari pesatnya kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi, perlu dipadukan dengan kebudayaan, yang pengembangannya bertumpu pada studi klasik menurut pelbagai tradisi. 123

Lihat “Penjelasan pendahuluan” Konstitusi ini, art. 4-10.

Bagaimana penyebaran ilmu-ilmu khusus, yang begitu cepat dan terus meningkat, dapat diserasikan dengan keharusan mewujudkan sintesa atau perpaduannya, begitu pula dengan keharusan melestarikan pada manusia kemampuan untuk kontemplasi dan rasa kagum yang mengantar kepada kebijaksanaan? Apakah yang harus diusahakan, supaya semua orang ikut memanfaatkan nilai-nilai budaya di dunia, sedangkan sekaligus kebudayaan mereka yang lebih ahli selalu menjadi makin unggul dan kompleks? Akhirnya bagaimanakah harus dipandang wajar otonomi yang di “claim” oleh kebudayaan, tanpa merosot menjadi humanisme yang duniawi melulu, bahkan melawan agama sendiri? Di tengah pertentangan-pertentangan itu kebudayaan zaman sekarang harus ditumbuhkan sedemikian rupa, sehingga mengembangkan pribadi manusia seutuhnya secara seimbang, dan membantunya dalam tugas-tugas, yang pelaksanaannya merupakan panggilan semua orang terutama umat beriman kristen, yang bersatu sebagai saudarasaudari dalam kesatuan keluarga manusia.

ARTIKEL DUA

BERBAGAI KAIDAH UNTUK DENGAN TEPAT MENGEMBANGKAN KEBUDAYAAN 57. (Iman dan kebudayaan) Dalam ziarah mereka menuju Kota Sorgawi umat beriman kristen harus mencari dan memikirkan perkara-perkara yang diatas[124]. Dengan demikian tidak berkuranglah, melainkan justru semakin pentinglah tugas mereka untuk bersama dengan semua orang berusaha membangun dunia secara lebih manusiawi. Sesungguhnyalah mister iman kristen memberi mereka dorongan dan bantuan yang amat berharga untuk secara lebih intensif menunaikan tugas itu, dan terutama untuk menemukan makna sepenuhnya jerihpayah mereka itu, sehingga kebudayaan mendapat tempatnya yang luhur dalam keseluruhan panggilan manusia. Sebab bila manusia dengan karya tangannya maupun melalui teknologi mengelola alam, supaya menghasilakn buah dan menjadi kediaman yang layak bagi segenap keluarga manusia, dan bila ia dengan sadar memainkan peranannya dalam kehidupan kelompok-kelompok sosial, ia melaksanakan rencana Allah yang dimaklumkan pada awal mula, yakni menaklukkan dunia[125] serta menyempurnakan alam ciptaan, dan mengembangkan dirinya. Sekaligus ia mematuhi perintah Kristus yang mulia untuk mengabdikan diri kepada sesama. Selain itu, bila manusia menekuni pelbagai ilmu filsafat, sejarah serta ilmu matematika dan fisika, serta mengembangkan kesenian, ia dapat berjasa sungguh besar, sehingga keluarga manusia terangkat kepada nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan serta kepada suatu visi yang bernilai universal, dan dengan demikian lebih terang di sinari oleh kebijaksanaan yang mengagumkan, yang sejak kekal ada pada Allah, menghimpun segala sesuatu bersama dengan-Nya, bermain di muka bumi, dan menikmati kehadiran-Nya bersama anak-anak manusia[126]. Dengan sendirinya jiwa manusia makin dibebaskan dari perbudakan harta-benda, dan dapat lebih leluasa mengangkat diri untuk beribadat kepada Sang Pencipta dan 124

Lih. Kol 3:1-2. Lih. Kej 1:28. 126 Lih. Ams 8:30-31. 125

berkontemplasi. Bahkan atas dorongan rahmat ia menjadi siap untuk mengenal Sabda Allah, yang sebelum menjadi daging untuk menyelamatkan dan merangkum segala sesuatu dalam Dirinya sebagai Kepala, sudah berada di dunia, sebagai “Terang sejati, yang menyinari setiap orang” (Yoh 1:9)[127]. Memang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi zaman sekarang, yang dengan metodenya tidak mampu menyelami hakekat kenyataan yang sedalam-dalamnya, dapat membuka peluang bagi fenomenisme dan agnostitisme, bila metode penelitian, yang digunakan ilmu-ilmu itu, disalah-artkan sebagai norma tertinggi untuk menemukan seluruh kebenaran. Bahkan ada bahaya, jangan-jangan manusia karena terlampau mengandalkan penemuan-penemuan zaman sekarang, merasa sudah memenuhi kebutuhannya sendiri, dan tidak lagi mendambakan nilai-nilai yang lebih luhur. Akan tetapi konsekuensi-konsekuensi yang malang itu tidak dengan sendirinya timbul dari kebudayaan zaman sekarang; tidak boleh pula menjerumuskan kita ke dalam godaan, untuk tidak mengakui nilai-nilai positifnya. Di antaranya yang dapat disebutkan: usaha mengembangkan ilmu-pengetahuan dan kesetiaan yang cermat terhadap kebenaran dalam penelitian-penelitian ilmiah, keharusan bekerja sama dengan rekanrekan dalam kelompok-kelompok teknik, semangat solidaritas internasional, kesadaran semakin hidup para pakar akan tanggung jawab mereka untuk membantu dan bahkan melindungi sesama, kemauan untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup bagi semua orang, terutama bagi mereka yang dirampas tanggung jawabnya atau tertekan akibat kemiskinan budaya. Itu semua dapat menimbulkan suatu disposisi untuk menerima amanat Injil, dan kesiapan itu dapat dijiwai dengan cinta kasih ilahi oleh Dia yang telah datang untuk menyelamatkan dunia. 58. (Hubungan antara Warta Gembira tentang Kristus dan kebudayaan manusia) Ada bermacam-macam hubungan antara Warta Keselamatan dan kebudayaan. Sebab Allah, yang mewahyukan Dirinya sepenuhnya dalam Putera-Nya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman. Begitu pula Gereja, yang di sepanjang zaman hidup dalam pelbagai situasi, telah memanfaatkan sumber-sumber aneka budaya, untuk melalui pewartaannya menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan Kristus kepada semua bangsa, untuk menggali dan makin menyelaminya, serta untuk mengungkapkannya secara lebih baik dalam perayaan liturgi dan dalam kehidupan jemaat beriman yang beranekaragam. Tetapi sekaligus juga Gereja, yang diutus kepada semua bangsa dari segala zaman dan di daerah mana pun, tidak terikat secara eksklusif tak terceraikan kepada suku atau bangsa mana pun, kepada corak hidup yang khas mana pun, kepada adat istiadat entah yang lama entah yang baru. Seraya berpegang teguh pada tradisinya sendiri, pun sekaligus menyadari perutusannya yang universal, Gereja mampu menjalin persekutuan dengan pelbagai pola kebudayaan. Dengan demikian baik Gereja sendiri maupun pelbagai kebudayaan diperkaya. Kabar baik tentang Kristus tiada hentinya membaharui perihidup dan kebudayaan manusia yang jatuh berdosa, dan melawan serta memberantas kesesatan-kesesatan dan kemalangan, yang bersumber pada bujukan doa yang tak kunjung henti merupakan ancaman. Warta itu terus-menerus menjernihkan dan mengangkat adat-istiadat para bangsa. Warta itu bagaikan dari dalam menyuburkan harta semarak jiwa serta bakatpembawaan setiap bangsa dan setiap masa dengan kekayaan adikodrati, meneguhkannya, melengkapinya, dan membaharuinya dalam Kristus[128]. Begitulah Gereja, dengan menunaikan tugasnya sendiri [129], sudah dengan sendirinya menjalankan

127

Lih. S. IRENEUS, Melawan bidaah-bidaah, III,11,8: SAGNARD, Sources chr., hlm. 200; bdk. Di situ juga, 16,6: hlm. 290-292; 21,10-22: hlm. 370-372; 22,3: hlm 378, dan lain-lain. 128 Lih. Ef 1:10. 129 Bdk. Amanat PIUS XI kepada RP..M. D. Roland-Gosselin: Semaines sociales de France (“Pekan-pekan sosial di Perancis”), Versailes, 1936, hlm. 461-462.

peransertanya, dan mendorong ke arah kebudayaan manusia dan masyarakat, serta melalui kegiatannya, juga dibidang liturgi, mendidik manusia untuk kebebbasan batin. 59. (Mewujudkan keserasian berbagai nilai dalam pola-pola kebudayaan) Berdasarkan alasan-alasan tadi Gereja mengingatkan kepada siapa saja, bahwa kebudayaan harus diarahkan kepada kesempurnaan pribadi manusia seutuhnya, kesejahteraan paguyuban dan segenap masyarakat manusia. Oleh karena itu perlulah pembinaan jiwa sedemikian rupa, sehingga berkembanglah kemampuan untuk merasa kagum, menyelami sesuatu, merenungkannya, membentuk pendirian pribadi, dan memupuk semangat keagamaan, kesusilaan dan sosial. Sebab kebudayaan, yang langsung berakar dalam sifat rasional dan sosial manusia, tiada hentinya memerlukan kebebasan yang sewajarnya untuk mengmbangkan diri, serta membutuhkan kemampuan yang wajar pula untuk bertindak secara mandiri dan menurut prinsip-prinsipnya sendiri. Maka sudah selayaknya kebudayaan menunutsupaya dihormati, dan arti tertentu tidak dapat diganggu-gugat, tentu saja tanpa merongrong hak-hak pribadi mapun persekutuan, baik yang khas maupun umum, dalam lingkup kesejahteraan masyarakat. Konsili sekarang ini, mengenangkan apa yang diajarkan oleh Konsili Vatikan Pertama, menyatakan: “ada dua taraf pengetahuan” yang berbeda, yakni iman dan akal-budi; sudah tentu Gereja tidak melarang, bahwa “alam budaya kesenian dan ilmu-penegtahuan manusia … masing-masing dalam lingkupnya menggunakan asas-asas maupun metodenya sendiri”; maka “sambil mengakui kebebasan yang wajar itu”, Konsili menyatakan otonomi kebudayaan, terutama ilmu-pengetahuan, yang sewajarnya[130]. Itu semua meminta juga, supaya manusia, seraya mengindahkan tata nilai moril serta kepentingan masyarakat, dapat dengan leluasa menyelidiki kebenaran dan menyatakan serta menyiarkan pendapatnya, dan mengembangkan kesenian mana pun; akhirnya diisyaratkan pula, bahwa manusia mendapat informasi tentang peristiwa-peristiwa umum dengan kebenaran[131]. Termasuk tugas pemerintah, bukan untuk menetapkan sifat khas bentuk-bentuk kebudayaan, melainkan untuk memupuk kondisi-kondisi dan sumbang-bantuan guna mengembangkan perihidup budaya diantara semua orang, juga diantara kelompokkelompok minoritas suatu bangsa[132]. Oleh karena itu terutama perlu ditekankan, supaya kebudayaan jangan dialihkan dari tujuannya, pun juga jangan di paksa untuk mengabdi kekuasaan-kekuasaan politik maupun ekonomi.

130

KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang Iman Katolik, bab IV; DENZ. 1795, 1799 (3015,3019). – Bdk. PIUS XI, Ensiklik Quadrasimo Anno: AAS 23 (1931) hlm. 190. 131 Lih. YOHANES XXIII, Wnsiklik Pacem in terris: AAS 55 (1963) hlm. 620. 132 Lih. YOHANES XXIII, Wnsiklik Pacem in terris: AAS 55 (1963) hlm. 283. – PIUS XII, Amanat radio tgl. 24 Desember 1941: AAS 34 (1942) hlm 16-17.

ARTIKEL TIGA BEBERAPA TUGAS UMAT KRISTEN YANG CUKUP MENDESAK TENTANG KEBUDAYAAN 60. (Hak atas buah-hasil kebudayaan hendaknya diakui oleh semua dan diwujudkan secara nyata) Karena sekarang ini terbuka peluang untuk membebaskan jumlah orang yang amat besar dari bencana kebodohan, maka merupakan kewajiban yang cocok sekali dengan zaman sekarang, terutama bagi umat kristen, untuk dengan tekun berdaya-upaya, supaya dibidang ekonomi maupun politik, pada tingkat nasional maupun internasional, diambil keputusan-keputusan fundamental, agar dimanapun juga diakui dan diwujudkan secara nyata hak semua orang atas kebudayaan manusiawi dan sosial, selaras dengan martabat pribadi, tanpa membeda-bedakan suku, pria atau wanita, bangsa, agama atau kondisi sosial. Maka perlu di sesdiakan kekayaan budaya yang mencukupi bagi semua orang, terutama yang tergolong pada harta budaya yang dianggap “mendasar”, supaya jangan banyak orang lagi – karena buta aksara atau tidak mampu berperabserta secara tanggungjawab – terhalang dari kerja sama yang sungguh manusiawi demi kesejahteraan umum. Oleh karena itu perlu diperjuangkan, supaya mereka yang cukup cerdas dapat menempuh studi yang lebih tinggi; sedemikian rupa, sehingga dalam masyarakat mereka sedapat mungkin menunaikan tugas-tugas, jabatan-jabatan atau jasa pelayanan, yang sesuai dengan keahlian maupun kemahiran yang telah mereka peroleh[133]. Begitulah setiap orang dan kelompok-kelompok sosial setiap bangsa akan mampu mencapai pemekaran perihidup budaya yang sepenuhnya, serasi dengan bakat-kemampuan serta tradisi-tradisi mereka. Kecuali itu perlu diusahakan dengan sungguh-sungguh, supaya semua orang menyadari baik haknya atas kebudayaan, maupun kewajibannya yang mengikat, untuk mengembangkan diri dan membantu pengembangan diri sesama. Sebab kadang-kadang ada situasi hidup dan kerja, yang menghambat usaha-usaha manusia di bidang kebudayaan dan menghancurkan seleranya untuk kebudayaan. Hal itu secara khas berlaku bagi para petani dan kaum buruh; bagi mereka itu seharusnya diciptakan kondisi-kondisi kerja sedemikian rupa, sehingga tidak menghambat melainkan justru mendukung pengambangan diri mereka sebagai manusia. Kaum wanita memang sudah berperan serta dalam hampir segala bidang kehidupan. Tetapi seyogyanya mereka mampu menjalankan peranan mereka sepenuhnya menurut sifat kewanitaan mereka. Hendaknya siapa saja berusaha, supaya keterlibatan khas kaum wanita yang diperlukan bagi perihidup budaya diakui dan dikembangkan. 61. (Pendidikan untuk kebudayaan manusia seutuhnya) Zaman sekarang ini meyusun sintesa pelbagai cabang ilmu-pengetahuan dan kesenian masih sangat sukar dari pada dahulu. Sebab sementara bertambahlah banyak serta beranekanya unsur-unsur yang membentuk kebudayaan, sekaligus berkuranglah kemungkinan bagi setiap orang untuk menangkap dan memadukan itu semua secara organis, sehingga citra “manusia yang universal” semakin menghilang. Akan tetapi setiap orang wajib mempertahankan keutuhan pribadi manusia, yang ditandai nilai-nilai luhur akal budi, kehendak, suara hati dan persaudaraan, yang semuanya di dasarkan pada Allah Pencipta, yang seraya mengagumkan telah disehatkan dan diangkat dalam Kristus. Terutama keluarga merupakan bagaikan ibu dan pengasuh pendidikan yang menyeluruh. Sebab di situ anak-anak dalam dukungan kasih mesra lebih mudah belajar 133

Lih. YOHANES XXIII, Wnsiklik Pacem in terris: AAS 55 (1963) hlm. 260.

mengenal tata-susunan nilai-nilai, sedangkan bentuk-bentuk kebudayaan yang teruji seperti dengan sendirinya merasuki jiwa para remaja sementara mereka bertambah umur. Untuk pendidikan itu masyarakat zaman sekarang menyajikan berbagai peluang, terutama berkat makin menyebarnya kepustakaan dan upaya-upaya komunikasi yang baru di bidang kebudayaan dan sosial, yang dapat mendukung kebudayaan secara keseluruhan. Sebab dengan berkurangnya waktu kerja dimana-mana makin bertambahlah keuntungan-keuntungan bagi banyak orang. Waktu terluang untuk menyegarkan jiwa dan memantapkan kesehatan jiwa-raga hendaknya dimanfaatkan dengan baik, dengan kegiatan-kegiatan dan studi sesuka sendiri, dengan wisata ke daerah-daerah lain (turisme), yang membantu manusia mengembangkan bakat-kemampuannya. Tetapi orang-orang diperkaya juga dengan saling mengenal, dengan latihan-latihan dan perlombaan olah raga, yang membantu untuk menjaga keseimbangan jiwa, juga dalam hidup bersama, begitu pula untuk menjalin hubungan-hubungan persaudaraan antara orang-orang dari segala lapisan dan bangsa serta dari berbagai suku. Oleh karena itu umat beriman kristen hendaknya bekerja sama, supaya ungkapan-ungkapan kebudayaan dan kegiatan-kegiatan kolektif, yang menandai zaman kita sekarang, diresapi oleh semangat manusiawi dan kristiani. Akan tetapi semua faktor yang menguntungkan itu tidak mampu mewujudkan pendidikan budaya manusia yang seutuhnya, bila sementara itu pertanyaan mendalam tentang makna kebudayaan dan ilmu-pengetahuan bagi pribadi manusia diabaikan. 62. (Menyelaraskan kebudayaan manusia dan masyarakat dengan pendidikan kristen) Sungguh pun sumbangan Gereja bagi kemajuan kebudayaan sungguh besar, dari pengalaman ternyatalah bahwa – karena sebab-musabab yang sewaktu-waktu mucul – perpaduan kebudayaan dengan pendidikan kristiani tidak selalu berlangsung mulus tanpa kesulitan. Kesukaran-kesukaran itu tidak dengan sendirinya pasti merugikan kehidupan iman; bahkan dapat merangsang budi untuk mencari pengertian iman yang lebih cermat dan lebih mendalam. Sebab usaha-usaha mengembangkan ilmu-pengetahuan, pengertian tentang sejarah dan filsafat, begitu pula penemuan-penemuan akhir-akhir ini, menimbulkan persoalan-persoalan baru, yang mempunyai konsekuensi-konsekuensinya juga bagi hidup manusia, dan juga mengundang penyelidikan baru oleh para teolog. Kecuali itu mereka, dengan tetap menggunakan metode-metode serta memenuhi tuntutan-tuntutan yang khas bagi ilmu teologi, diajak untuk terus-menerus mencari cara menyajikan ajaran, yang lebih mengena bagi masyarakat sezaman. Sebab lainlah chazanah iman atau kebenaran-kebenaran sendiri, lain lagi cara mengungkapkannya, asal makna maupun artinya tetap sama[134]. Dalam reksa pastoral hendaknya janganhanya asas-asas teologi, melainkan penemuan-penemuan ilmu-pengetahuan profan jugalah, terutama psikologi dan sosiologi, yang diakui dan digunakan secukupnya, sehingga umat beriman pun diantar kepada kehidupan iman yang lebih murni dan lebih dewasa. Dengan caranya sendiri pula kesusastraan dan kesenian cukup panting bagi kehidupan Gereja. Sebab keduanya berusaha menyelami kodrat khas manusia, masalahpersoalannya maupun pengalamannya dalam upaya-upayanya mengenal serta menyempurnakan dirinya maupun dunia. Keduanya mencoba menyingkapkan situasi manusia dalam sejarah dan di seluruh dunia, menggambarkan duka-derita maupun kegembiraannya, kebutuhan-kebutuhan maupun daya kekuatannya, serta membayangkan kondisi hidup manusia yang lebih baik. Begitulah keduanya mampu mengangkat hidup manusia, yang terungkapkan dalam pelbagai corak-ragamnya sesuai dengan zaman dan daerah kediamannya. Oleh karena itu perlu diusahakan, supaya para seniman-seniwati merasa, bahwa mereka dihargai oleh Gereja dalam kejuruan mereka sendiri, lagi pula supaya dengan menikmati kebebasan yang sewajarnya mereka lebih mudah mengadakan pertukaran 134

Lih. YOHANES XXIII, Amanat pada tgl. 11 Oktober 1962, pada pembukaan Konsili: AAS 54 (1962) hlm. 792.

dengan jemaat kristen. Juga bentuk-bentuk baru kesenian, yang menanggapi selera masyarakat sekarang menurut perangai pelbagai bangsa dan sifat khas daerah-daerah, dihargai oleh Gereja. Hendaknya itu semua mendapat tempat juga di temapt ibadat, bila dengan cara pengungkapan yang disesuaikan, dan selaras dengan tuntutan-tuntutan liturgi, mengangkat hati umat kepada Allah[135]. Demikianlah kemuliaan Allah akan tampil makin cemerlang, dan pewartaan Injil makin jelas bagi daya tangkap manusia, serta nampak bagaikan tumbuh dari dalam kenyataan hidupnya. Oleh karena itu hendaknya umat beriman dalam pergaulan erat dengan sesama mereka yang semasa, dan berusaha menyelami dengan saksama corak-corak mereka berpikir dan berperasaan, yang terungkapkan melalui kebudayaan. Hendaknya mereka mempertemukan pengetahuan tentang ilmu-ilmu serta teori-teori yang baru, begitu pula penemuan-penemuan yang mutakhir, dengan tata susila kristen maupun cara menyampaikan ajaran kristen , supaya penghayatan agama dan keutuhan moril mereka berjalan sederap dengan ilmu-penegtahuan dan teknologi yang terus maju. Dengan demikian mereka sendiri mampu mempertimbangkan dan menafsirkan segala sesuatu dengan semangat kristen yang utuh. Mereka yang di Seminari-Seminari dan Universitas-Universitas menekuni ilmu-ilmu teologi hendaknya berusaha bekerja sama dengan para pakar-ilmu pengetahuan lainnya, dengan memperpadukan tenaga maupun pandangn-pandangan mereka. Hendaknya penyelidikan teologis sekaligus berusaha mencapai pengertian yang mendalam tentang kebenaran yang diwahyukan, tanpa kehilangan kontak dengan zamannya, supaya dapat mendampingi para pakar pelbagai ilmu dalam mengembangkan pengetahuan mereka tentang iman. Kerja sama itu akan sangat berfaedah bagi pendidikan para calon imam. Sebab mereka akan lebih mampu menguraikan ajaran Gereja tentang Allah, tentang manusia dan tentang dunia kepada orang-orang zaman sekarang, sehingga mereka juga lebih rela dan terbuka menerima pewartaan itu [136]. Bahkan dihimbau, agar lebih banyak lagi kaum awam yang menerima pendidikan yang memadai dalam ilmu-ilmu gerejawi, dan supaya jangan sedikit pula di antara mereka, yang dengan dedikasi sepenuhnya menempuh dan terus memperdalam studi itu. Adapun supaya umat beriman, baik klerus maupun awam, mampu menunaikan tugas mereka, hendaknya mereka diberi kebebasan yang sewajarnya untuk mengadakan penyelidikan, mengembangkan pemikiran, serta dibidang-bidang keahlian mereka mengutarakan pandangan mereka dengan rendah hati dan dengan tegas[137].

BAB TIGA KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI 63. (Beberapa segi kehidupan ekonomi) Juga dalam kehidupan sosial ekonomi martabat manusia pribadi serta panggilannya seutuhnya, begitu pula kesejahteraan seluruh masyarakat, harus dihormati dan dikembangkan. Sebab manusialah yang menjadi pencipta, pusat dan tujuan seluruh kehidupan sosial ekonomi.

135

Lih. Konstitusi tentang Liturgi, art. 23. – PAULUS VI, Amanat kepada seniman-seniwati di Roma, tgl. 7 Mei 1964: AAS 56 (1964) hlm. 439-442. 136 Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Pendidikan Imam dan Pendidikan Kristiani. 137 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 37.

Ekonomi zaman sekarang, seperti juga bidang-bidang kehidupan sosial lainnya, ditandai oleh berkembangnya kedaulatan manusia atas alam tercipta; oleh berlipatganda dan makin intensifnya hubungan-hubungan serta ketergantungan timbal-balik, antara warga masyarakat, kelompok-kelompok dan bangsa-bangsa, pun diwarnai juga oleh makin kerapnya campurtangan kekuasaan politik. Sementara itu kemajuan-kemajuan dalam cara berproduksi dan pertukaran harta-benda maupun jasa-jasa, telah menjadikan ekonomi suatu upaya yang cocok, untuk dapat lebih efektif memenuhi kebutuhankebutuhan keluarga manusia yang semakin bertambah. Akan tetapi ada juga faktor-faktor yang menimbulkan kegelisahan. Tidak sedikitlah orang, terutama di wilayah-wilayah yang maju perekonomiannya, yang agaknya seperti dikuasai oleh soal ekonomi. Akibatnya ialah, bahwa hampir seluruh hidup mereka secara pribadi dan sebagai anggota masyarakat diresapi oleh semangat “ekonomisme”, baik pada bangsa-bangsa yang mendukung kolektivisme ekonomi, maupun pada bangsabangsa lain. Pada saat pertumbuhan perekonomian, asal saja diarahkan dan dikoordinasi secara rasional dan manusiawi, sebenarnya dapat memperlunak ketimpanganketimpangan sosial kaum lemah dan perlakuan yang merendahkan kaum miskin. Sementara sebagian amat besar rakyat masih serba kekurangan hal-hal yang mutlak mereka butuhkan, ada sekelompok, juga di daerah-daerah terbelakang, yang hidup serba mewah dan menghambur-hamburkan kekayaannya. Kemewahan berdampingan dengan keadaan yang menyedihkan. Sementara sekelompok kecil mempunyai kekuasaan amat besar untuk mengambik keputusan-keputusan, banyaklah orang yang praktis tidak mempunyai kemungkinan sedikit pun untuk bertindak atas prakarsa dan tanggung jawab sendiri, dan yang sering pula tertekan oleh kondisi-kondisi hidup dan kerja yang tidak pantas bagi pribadi manusia. Ketimpangan-ketimpangan sosial ekonomi yang serupa terdapat juga antara pertanian, industri dan jasa, begitu juga antara berbagai daerah dalam satu negeri. Pertentangan antara bangsa-bangsa yang lebih maju perekonomiannya dan bangsabangsa lainnya semakin meruncing, sehingga dapat membahayakan perdamaian dunia sendiri. Masyarakat zaman sekarang makin jelas menyadari perbedaan-perbedaan itu, justru karena sungguh-sungguh yakin, bahwa kemungkinan-kemungkinan lebih luas di bidang tehnik dan ekonomi, yang tersedia di dunia sekarang ini, sebenarnya dapat dan memang harus memperbaiki situasi yang malang itu. Maka diperlukan banyak perombakanperombakan dalam kehidupan sosial ekonomi. Siapa saja membutuhkan perubahan mentalitas dan sikap-sikap. Untuk maksud itulah di sepanjang zaman Gereja dibawah terang Injil telah menggariskan asas-asas keadilan dan kewajaran, sesuai pula dengan tuntutan akal sehat, bagi hidup perorangan maupun sosial, pun juga bagi kehidupan internasional. Prinsip-prinsip itu telah dikemukakannya terutama akhir-akhir ini. Menanggapi situasi zaman sekarang, dan terutama mengindahkan tuntutan-tuntutan kemajuan ekonomi, Konsili bermaksud meneguhkan asas-asas itu, dan mengutarakan beberapa pedoman[138].

138

Lih. PIUS XII, Amanat tgl. 23 Maret 1952: AAS 44 (1952) hlm. 273. – YOHANES XXIII, Amanat kepada ACLI, tgl. 1 Mei 1959, hlm. 358.

ARTIKEL SATU PERKEMBANGAN EKONOMI 64. (Perkembangan ekonomi melayani manusia) Untuk menanggapi pertambahan penduduk dan memenuhi aspirasi-aspirasi umat manusia yang makin meningkat, pada zaman sekarang ini, lebih dari sebelumnya, memang tepatlah diusahakan peningkatan produksi di bidang pertanian dan industri sering penyelenggaraan jasa-jasa. Maka perlu di dukung kemajuan tehnik, semangat pembaharuan, pengadaan dan perluasan usaha-usaha wiraswasta, penyesuaian metodemetode produksi, dan giatnya daya-upaya siapa saja yang terlibat dalam proses produksi: dengan kata lain, semua faktor yang menunjang perkembangan itu. Makna-tujuan yang paling inti produksi itu bukanlah semata-mata bertambahnya hasil produksi, bukan pula keuntungan atau kekuasaan, melainkan pelayanan kepada manusia, yakni manusia seutuhnya, dengan mengindahkan tata urutan kebutuhan-kebutuhan jasmaninya maupun tuntutan-tuntutan hidupnya di bidang intelektual, moral, rohani, rohani dan keagamaan; katakanlah: manusia siapa saja, kelompok manusia mana pun juga, dari setiap suku dan wilayah dunia. Oleh karena itu kegiatan ekonomi harus dilaksanakan menurut metodemetode dan kaidah-kaidahnya sendiri, dalam batas-batas moraritas[139], sehingga terpenuhilah rencana Allah tentang manusia[140]. 65. (Kemajuan ekonomi dikendalikan oleh manusia) Perkembangan ekonomi harus tetap dikendalikan oleh manusia. Perkembangan itu jangan pula dipercayakan saja kepada kesewenang-wenangan sekelompok kecil, atau kelompok-kelompok yang terlampau berkuasa dibidang ekonomi, atau negara melulu, atau beberapa bangsa yang lebih berkuasa. Akan tetapi disetiap lapisan masyarakat sebanyak mungkin orang, dan – bila menyangkut hubungan-hubungan internasional – semua bangsa seharusnya melibatkan diri secara aktif dalam mengendalikan perekonomian. Begitu pula perlulah prakarsa-prakarsa swasta perorangan maupun kelompok-kelompok bebas dikoordinasi serta digabungkan secara laras dan serasi dengan usaha-usaha pemerintah. Perkembangan jangan pula diserahkan melulu kepada proses hampir otomatis kegiatan ekonomi perorangan atau hanya kepada kekuasaan pemerintah. Maka dari itu harus dikecam sebagai kekeliruan baik teori-teori yang berdalih kebebasan palsu menentang perombakan-perombakan yang sungguh perlu, maupun teori-teori yang mengorbankan hak-hak asasi perorangan serta kelompok-kelompok demi organisasi kolektif peneyelenggara produksi[141]. Maka hendaknya para warganegara menyadari, bahwa termasuk hak maupun kewajiban mereka (yang harus diakui oleh kekuasaan sipil): sedapat mungkin menyumbangkan jasa mereka demi perkembangan masyarakat mereka yang sejati. Terutama di wilayah-wilayah yang belum maju perekonomiannya, - karena disitu mendesak sekali bahwa segala upaya dikerahkan, - kesejahteraan umum sangat dibahayakan oleh mereka, yang membiarkan harta kekayaan mereka sia-sia tak terpakai, atau pun juga oleh mereka, yang tanpa mengurangi hak pribadi untuk beremigrasi –

139

Lih. PIUS XI, Ensiklik Qudrasimo Anno: AAS 23 (1931) hlm. 190 dan selanjutnya. – PIUS XII, Amanat, tgl. 23 Maret 1952: AAS 44 (1952) hlm. 276 dan selanjutnya. – YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 450. – KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Alat-Alat Komunikasi Sosial, art. 6. 140 Lih. Mat 16:26; Luk 16:1-31; Kol 3:17. 141 Lih. LEO XIII, Ensiklik Libertas praestantissimum, tgal. 20 Juni 1888: AAS 20 (1887-1888) hlm. 597 dan selanjutnya. PIUS XI, Ensiklik Qudrasimo Anno: AAS 23 (1931) hlm. 191 dan selanjutnya. – IDEM, Divini Redemptoris: AAS 29 (1937) hlm. 65 dan selanjutnya. – PIUS XII, Amanat Natal 194: AAS 34 (1942) hlm. 10 dan selanjutnya. – YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 401-464.

membiarkan masyarakat mereka terbengkelai tanpa upaya-upaya jasmani maupun rohani yang justru di butuhkannya. 66. (Perbedaan-perbedaan besar di bidang sosial ekonomi perlu disingkirkan) Supaya tuntutan-tuntutan keadilan dan kewajaran terpenuhi, harus diusahakan dengan sungguh-sungguh, agar – tanpa mengurangi hak-hak pribadi dan kekhususan tiap bangsa – ketimpangan-ketimpangan besar di bidang ekonomi, yang disertai deskriminasi perorangan maupun kolektif, yang sekarang masih ada dan sering masih bertambah parah, secepat mungkin di singkirkan. Begitu pula dibanyak daerah, mengingat kesulitankesuliatan khusus di bidang pertanian untuk memproduksi maupun memasarkan hasil bumi, kaum petani memerlukan bantuan baik untuk meningkatkan produksi maupun memasarkan hasilnya, maupun untuk mewujudkan perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan yang dibutuhkan, begitu pula untuk mendapat penghasilan yang wajar, supaya – seperti sering terjadi – mereka jangan tetap termasuk golongan masyarakat yang lebih rendah. Kaum petani sendiri, terutama angkatan muda, hendaknya dengan cekatan berusaha meningkatkan keahlian profesional mereka, yang mutlak perlu bagi perkembangan pertanian[142]. Begitu pula keadilan dan kewajaran menuntut, supaya mobilitas[143], yang mau tak mau menyertai perkembangan ekonomi, diatur dengan baik, suapay kediaman orangorang perorangan beserta keluarga mereka jangan kehilangan kepastiannya dan jangan menjadi tidak menentu. Terhadap kaum buruh, yang berasal dari bangsa atau daerah lain, dan yang menymbangkan kerja mereka bagi pertumbuhan ekonomi bangsa atau daerah tertentu, hendaknya sungguh-sungguh dihindari setiap diskriminasi mengenai pembayaran upah maupun kondisi kerja. Selain itu semua saja, terutama para pejabat pemerintah, janganlah memandang para pekerja pendatang itu sebagai upaya-upaya produksi melulu, melainkan sebagai pribadi-pribadi, yang harus dibantu untuk mendatangkan keluarga mereka, untuk mengusahakan kediaman yang layak, dan untuk berintegrasi dalam kehidupan sosial bangsa serta daerah yang menampung mereka. Akan tetapi sedapat mungkin hendaklah di daerah-daerah mereka sendiri dicptakan lapangan kerja. Dalam dunia ekonomi yang sekarang ini mengalami perubahan-perubahan, seperti dalam pola-pola baru masyarakat industri, yang misalnya saja ditandai oleh berkembangnya “otomatisme”, perlu diusahakan, supaya bagi setiap orang tersedialah pekerjaan yang cukup dan cocok, begitu pula peluang bagi pendidikan kejuruan dan profesional yang sesuai, dan supaya tetap terjaminlah nafkah hidup serta keluhuran martabat manusia, terutama bagi mereka yang menghadapi kesukaran-kesukaran cukup besar, karena menderita penyakit atau sudah lanjut usia.

142

Menganai soal-soal pertanian, lihat terutama YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 341 dan selanjutnya. 143 Mobilitasgerak lalu-lalang pekerja atau buruh antara tempat kediaman dan tempat kerjanya.

ARTIKEL DUA BEBERAPA PRINSIP YANG MENGATUR SELURUH KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI 67. (Kerja, persyaratan kerja, istirahat) Kerja manusia, yang dilaksanakan untuk produksi dan pertukaran barang-barang dan untuk menyediakan jasa-jasa di bidang ekonomi, lebih penting dari pada unsur-unsur kehidupan ekonomi lainnya, yang bernilai melulu sebagai sarana-sarana. Sebab kerja itu, entah dijalankan atas kemauan sendiri atau berdasarkan kontrak dengan majikan, langsung bersumber pada pribadi, yang seperti menaruh meterainya atas hal-hal di dunia ini, dan menundukkannya kepada kehendaknya. Biasanya melalui kerjanya manusia mencari nsfkah bagi dirinya dan bagi mereka yang menjadi tanggungannya; ia menjalin ikatan dengan saudara-saudarinya serta melayani mereka; ia dapat mengamalkan cinta kasih yang sejati, dan menyumbangkan kegiatannya demi penyempurnaan ciptaan yang ilahi. Bahkan menurut keyakinan kita melalui kerja, yang dipersembahkan kepada Allahmanusia digabungkan dengan karya penebusan Yesus Kristus sendiri, yang – ketika Ia di Nazareth bekerja dengan tangan-Nya sendiri – memberi martabat yang luhur kepada kerja. Di situ timbullah bagi setiap orang kewajiban untuk bekerja dengan setia, tetapi juga hak atas kerja. Termasuk tugas masyarakatlah: sesuai dengan situasinya yang khas, membantu para anggotanya menemukan lapangan kerja yang memadai. Akhirnya kerja harus mendapat imbalannya sedemikian rupa, sehingga bagi manusia tersedialah kemungkinan untuk secara layak mengembangkan bagi dirinya maupun kaum kerabatnya kehidupan jasmani, sosial, budaya dan rohani, dengan mempertimbangkan tugas serta produktivitasnya masing-masing, pun juga situasi perusahaan dan kesejahteraan umum[144]. Karena kebanyakan kegiatan ekonomi berlangsung berkat kerja sama sekelompok orang, maka tidak adil dan tidak manusiawilah menggalang dan mengatur kegiatan itu sedemikian rupa, sehingga merugikan siapa saja yang bekerja. Tetapi cukup sering terjadi, juga zaman sekarang ini, bahwa mereka yang menjalankan pekerjaan dalam arti tertentu menjadi budak pekerjaannnya sendiri. Tidak pernah dapat dibenarkan oleh apa yang disebut hukum-hukum ekonomi. Oleh karena itu seluruh proses kerja yang rpoduktif harus disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan pribadi dan dengan kewajibankewajibannya yang lain; terutama dengan kehidupan rumah tangganya, khususnya bila menyangkut para ibu rumah tangga, selalu dengan mengindahkan usia, dan apakah menyangkut pria atau wanita. Kecuali itu bagi para pekerja hendaknya disediakan kesempatan untuk melalui kerja mereka sendiri mengambangkan bakat-kemampuan serta pribadi mereka. Walaupun untuk bekerja mereka dengan tanggung jawab semestinya menggunakan waktu maupun tenaga mereka, hendaknya mereka semua toh mendapat istirahat dan mempunyai waktu terluang secukupnya, untuk menghayati kehidupan keluarga, budaya, sosial dan keagamaan. Bahkan hendaknya mereka mendapat peluang juga, untuk secara bebas mengembangkan daya-kemampuan mereka, yang barang kali kurang dapat mereka tumbuhkan dalam kerja profesional mereka.

144

Lih. LEO XIII, Ensiklik Rerum Novarum: AAS 23 (1890-91) hlm. 649, 662. – PIUS XI, Qudrasimo Anno: AAS 23 (1931) hlm. 200-201. - IDEM, Divini Redemptoris: AAS 29 (1937) hlm. 92. – PIUS XII, Amanat radio pada malam menjelang Natal 1942: AAS 35 (1943) hlm. 20. – IDEM, Amanat tgl. 13 Juni 1943: AAS 35 (1943) hlm. 172. – IDEM, Amanat radio ditujukan kepada kaum pekerja di Spanyol, tgl. 11 Maret 1951: AAS 43 (1951) hlm. 215. – YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 35 (1961) hlm. 419.

68. (Peranserta dalam tanggung jawab atas perusahaan dan seluruh pengaturan ekonomi; konflik-konflik mengenai kerja) Dalam kegiatan-kegiatan ekonomi bergabunglah pribadi-pribadi, yang bebas dan otonom, diciptakan menurut citra Allah. Oleh karena itu, sementara diperhatikan tugas-tugas masing-masing, entah para pemilik atau majikan, entah para pemimpin perusahaan atau buruh, tanpa melemahkan kesatuan kepemimpinan perusahaan yang tetap diperlukan, hendaknya dengan cara yang harus ditentukan dengan cermat dikembangkan peranserta aktif semua anggota dalam kebijaksanaan perusahaan[145]. Tetapi karena sering kali keputusan-keputusan tentang kondisi-kondisi sosial ekonomi diambil tidak lagi oleh perusahaan sendiri, melainkan pada lembaga-lembaga pada tingkat yang lebih tinggi, padahal dari keputusan-keputusan itu tergantung masa depan para pekerja maupun anak-anak mereka, - maka hendaknya mereka sendiri berperanserta dalam proses pengambilan keputusan, entah secara langsung, entah melalui wakil-wakil yang mereka pilih dengan bebas. Di antara hak-hak pribadi manusia yang paling dasar perlu di sebutkan hak kaum buruh untuk secara bebas membentuk serikat-serikat, mengatur kehidupan ekonomi dengan saksama, selain itu hak untuk secara bebas ikut serta dalam kegiatan serikatserikat itu tanpa resiko dikenai sangsi. Melalui partisipasi yang diatur seperti itu, disertai dengan pembinaan sosial ekonomi yang makin maju, akan makin berkembanglah pada semua kesadaran akan tugas maupun kewajiban masing-masing. Dengan demikian mereka akan dibantu untuk merasa diri terlibat, masing-masing menurut kemampuan serta kecakapannya sendiri, dalam seluruh usaha pengembangan sosial ekonomi dan dalam usaha mewujudkan kesejahteraan umum. Tetapi bila timbul konflik-konflik sosial ekonomi, perlu diusahakan supaya dicapai pemecahannya secara damai. Meskipun selalu pertama-tama harus diusahakan musyawarah yang jujur antara pihak-pihak yang berkepentingan, tetapi pemogokan, juga dalam situasi zaman sekarang, tetap dapat merupakan upaya yang sungguh perlu, kendati upaya terakhir, untuk memperjuangkan hak-haknya sendiri dan supaya terpenuhilah tuntutan-tuntutan para buruh yang wajar. Tetapi hendaknya secepat mungkin diusahakan untuk kembali mengadakan perundingan dan dialog guna mencapai mufakat. 69. (Harta-benda bumi diperuntukkan bagi semua orang) Allah menghendaki, supaya bumi beserta segala isinya digunakan oleh semua orang dan sekalian bangsa, sehingga harta benda yang tercipta dengan cara yang wajar harus mencapai semua orang, berpedoman pada keadilan, diiringi dengan cinta kasih[146]. Bagaimanapun bentuk-bentuk pemilikan, sesuai dengan ketetapan-ketetapan hukum bangsa-bangsa, pun menurut situasi yang serba berbeda dan berubah-ubah, selalu harus diindahkan bahwa harta-benda bumi diperuntukkan bagi semua orang. Oleh karena itu manusia, sementara menggunakannya, harus memandang hal-hal lahiriah yang dimilikinya secara sah bukan hanya sebagai miliknya sendiri, melainkan juga sebagai milik umum, dalam arti bahwa hal-hal itu dapat berguna tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi sesamanya[147]. Tetapi semua orang berhak memiliki sebagian hartabenda sehingga mencukupi bagi dirinya maupun kaum kerabatnya. Begitulah pandangan para Bapa dan Pujangga Gereja, yang mengajarkan, bahwa manusia wajib meringankan 145

146

147

Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 408, 424, 427; istilah curatio (kebijakan) diambil dari teks latin Ensiklik Quadrasimo Anno: AAS 23 (1931) hlm. 199. – Mengenai perkembangan persoalan, lih. juga PIUS XII, Amanat tgl. 3 Juni 1950: AAS 42 (1950) hlm. 485-488. – PAULUS VI, Amanat tgl. 8 Juni 1964: AAS 56 (1964) hlm. 574-579. Lih. PIUS XII, Ensiklik Sertum laetitiae: AAS 31 (1939) hlm. 642. – YOHANES XXIII, Amanat konsistorial: AAS 52 (1960) hlm. 5-11. – IDEM, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 411. Lih. S. TOMAS, Summa Theol, II-II, soal 32, art. 5 ad 2; juga soal 66, art. 2; bdk, penjelasan dalam LEO XIII, Ensiklik Rerum Novarum: AAS 23 (1890-91) hlm. 561. – Lih. juga PIUS XII, Amanat 1 Juni 1941: AAS 33 (1941) hlm. 199. – IDEM, Amanat radio, Natal 1954: AAS 47 (1955) hlm. 27.

beban kaum miskin, itu pun bukan hanya dari kelebihan miliknya[148]. Mereka yang menghadapi kebutuhan darurat, berhak untuk mengambil dari kekayaan orang-orang lain apa yang sungguh dibutuhkannya[149]. Karena di dunia ini begitu banyaklah orang yang kelaparan, Konsili mendesak semua orang, masing-masing secara perorangan, maupun mereka yang berwenang supaya mengenangkan pernyataan para Bapa: “Berilah makan kepada orang yang akan mati kelaparan; sebab bila engkau tidak memberinya makan, engkau membunuhnya”[150], dan sesuai dengan kemampuan masing-masing, sungguh membagikan dan menggunakan harta-benda mereka, terutama dengan menyediakan bagi orang-orang perorangan maupun bangs-bangsa upaya-upaya, yang memungkinkan mereka itu untuk menolong diri dan mengembangkan diri. Dalam masyarakat-masyarakat, yang perekonomiannya belum maju, tidak jarang asa, bahwa harta benda diperuntukkan bagi semua orang, sebagian terwujudnya berdasarkan adat-istiadat dan tradisi-tradisi yang khas bagi masyarakat tertentu; yakni: masingmasing anggotanya menerima apa yang sungguh-sungguh dibutuhkannya. Tetapi perlu dihindari, jangan samapi kebiasaan-kebiasaan tertentu dianggap sama sekali tidak berubah, kalau ternyata sudah tidak menanggapi tuntutan-tuntutan baru zaman sekarang lagi. Di lain pihak, hendaknya orang jangan secara tidak bijaksana bertindak melawan kebiasaan-kebiasaan yang terhormat, yang asal saja disesuaikan dengan situasi zaman sekarang, tetap masih sangat bermanfaat. Begitu pula pada bangsa-bangsa yang perekonomiannya sudah sangat maju, suatu jaringan lembaga-lembaga sosialuntuk asuransi dan jaminan sosial dari pihaknya dapat mempraktekkan prinsip, bahwa hartabenda diperuntukkan bagi semua orang. Selanjutnya perlu dikembangkan jasa-pelayanan keluarga dan sosial, terutama yang bertujuan pembinaan jiwa dan pendidikan. Tetapi dalam menyelenggarakan itu semua toh harus di jaga, supaya para warga jangan sampai secara pasif melulu menyerahkan segalanya kepada masyarakat, atau menolak beban tugas yang sudah disanggupi dan tidak sanggup menjalankan pelayanan. 70. (Penanaman modal dan masalah moneter) Penanaman modal harus diarahkan kepada lapangan kerja dan penghasilan yang mencukupi bagi masyarakat sekarang maupun di masa mendatang. Barang siapa mengambil keputusan-keputusan tentang investasi-investasi itu dan tentang penataan perekonomian, - entah perorangan, enath kelompok-kelompokatau pejabat-pejabat pemerintah, - wajib memperhatikan tujuan-tujuan itu. Mereka harus pula memandang sebagai kewajiban yang beratL di satu pihak menjaga, supaya diusahakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk hidup secara layak manusiawi, baik bagi warga perorangan maupun bagi seluruh masyarakat; di lain pihak memperhitungkan masa depan, dan menetapkan keseimbangan yang sewajarnya antara kebutuhan-kebutuhan penggunaan masa sekarang, baik perorangan maupun kolektif, dan tuntutan-tuntutan investasi bagi generasi mendatang. Hendaknya selalu diperhitungkan juga kebutuhan-kebutuhan yang 148

149

150

Lih. S. BASILIUS, Homili pada ayat Lukas “Aku akan membongkar lumbung-lumbungku”, n. 2: PG 31,263. – LAKTANSIUS, “Pelajaran-pelajaran Ilahi”, kitab V, tentang keadilan: PL 6,565B. – S. AGUSTINUS, Komentar pada Injil Yohanes, uraian 50, n. 6: PL 35,1760. – IDEM, Ulasan tentang Mzm 147:12: PL 37,1922. – S. GREGORIUS AGUNG, Homili tentang Injil, homili 20: PL 76,1165. – IDEM, kitab “Pedoman Pastoral”, bag. III, bab 21: PL 77,87. – S. BONAVENTURA, komentar pada kitab III Sententiae, dist. 33, soal 1: QUARACCHI III, 728. – IDEM, Komentar pada kitab IV Sententiae, dist. 15, bag. II, art. 2, soal 1: edisi tersebut IV, 371b; soal tentang kelebihan milik: ms. Assisi, Bibl. Umum, 186 dsl., 112a-113a. – S. ALBERTUS AGUNG, komentar pada kitab III Sententiae, dist. 33, art. 3, pemecahan 1: edisi BORGNET XXVIII,611. – IDEM, komentar pada kitab IV Sententiae, dist. 15 dan 16: edisi tsb. XXIX, 494-497. – Tentang art “kelebihan milik” untuk zaman sekarang, lih. YOHANES XXIII, Amanat radiotelevisi tgl. 11 September 1962: AAS 54 (1962) hlm. 682: “Merupakan kewajiban setiap orang, kewajiban yang mendesak bagi orang kristen, untuk menilai kelebihan milik dengan ukuran kebutuhan sesama, dan untuk menjaga sungguh-sungguh, supaya pengurusan dan pembagian harta-benda yang tercipta menguntungkan bagi semua orang”. Dalam hal itu berlaku kaidah kuno: “dalam kebutuhan darurat segala sesuatu menjadi milik umum, artinya harus dibagikan”. Di lain pihak mengenai lingkup serta cara menerapkan prinsip dalam teks tersebut, kecuali para pengarang modern yang andal, lihatlah juga S. TOMAS, Summa Theol. II-II, soal 66, art. 7. Jelaslah, bahwa untuk dengan cermat menerapkan prinsip itu semua persyaratan yang secara moril dituntut harus terpenuhi. Lih. GRASIANUS, Dekrit, bab 21, dist. LXXXXVI: FRIEDBERG I, 302. Pepatah itu sudah tercantum dalam PL 54,591A dan PL 56,1132B: bdk. Antonianum 27 (1952) hlm. 349-366.

serba mendesak diantara bangsa-bangsa dan daerah-daerah yang belum maju perekonomiannya. Di bidang moneter hendaknya di usahakan, jangan samapi kesejahteraan bangsa sendiri serta bangsa-bangsa lain dirugikan. Kecuali itu hendaknya diupayakan, agar kaum ekonomi lemah jangan samapi menderita kerugian yang tidak adil akibat perubahan nilai mata uang. 71. (Soal memperoleh harta-milik dan milik perorangan; masalah tuan tanah) Harta-milik dan bentuk-bentuk lain pemilikan peroarangan atas harta-benda lahiriah berperanserta dalam pengungkapan pribadi. Selain itu membuka peluang baginya untuk menunaikan tugasnya dalam masyarakat dan di bidang ekonomi. Maka amat pentinglah, bahwa tetap terbuka kemungkinan memperoleh suatu hak milik atas hal-hal lahiriah. Milik perorangan atau suatu peguasaan atas harta-benda lahiriah memberi setiap orang ruang yang sungguh perlu untuk mengembangkan otonomi pribadi maupun keluarganya, dan harus dipandang bagaikan perluasan kebebasan manusiawi. Selanjutnya, karena ikut mendorong pelaksanaan tugas-kewajiban, merupakan suatu syarat bagi kebebasan warga masyarakat[151]. Bentuk-bentuk penguasaan atau pemilikan semacam itu sekarang ini bermacammacam dan makin lama makin beraneka. Tetapi kesemuanya, - di samping jaminanjaminan sosial, perundang-undangan dan jasa pelayanan yang disediakan oleh masyarakat, - tetap merupakan sumber keamanan yang tidak dapat diabaikan. Itu berlaku bukan hanya tentang harta-milik jasmani, melainkan juga tentang kekayaan rohani, seperti kemampuan-kemampuan profesional. Adapun hak atas milik perorangan tidak bertentangan pada hak yang ada pada pelbagai bentuk milik negara. Perpindahan harta menjadi milik negara hanya dapat dilaksanakan oleh kewibawaan yang berwenang, sesuai dengan tuntutan-tuntutan kesejahteraan umum dan di dalam batas-batasnya, dengan diberikannya ganti rugi yang sungguh wajar. Selain itu termasuk tugas pemerintah: mencegah, jangan samapai ada yang menyalahgunakan milik perorangan melawan kesejahteraan umum[152]. Tetapi milik perorangan sendiri pun menurut hakekatnya mempunyai sifat sosial juga, yang di dasarkan pada prinsip: harta-benda diperuntukkan bagi semua orang[153]. Bila sifat sosial itu diabaikan, harta milik sering sekali membuka peluang bagi keserakahan dan kekacauan yang parah, sehingga para penentang menemukan dalih untuk melawan hak atas milik perorangan. Di banyak daerah yang belum maju perekonomiannya terdapat bidang-bidang tanah luas, bahkan sangat luas, yang hanya setengah dikerjakan, atau demi keuntungan dibiarkan tidak dikerjakan sama sekali, sedangkan mayoritas rakyat atau tidak mempunyai tanah, atau hanya memiliki ladang yang sangat sempit sekali. Padahal di lain pihak sangat jelas, betapa sungguh mendesak ladang-ladang ditingkatkan buah-hasilnya. Tidak jarang kaum buruh yang dipekerjakan oleh tuan-tuan tanah, atau yang mengelola sebagian tanah sebagai tanah sewaan saja, hanya menerima upah atau mendapat bagi hasil yang benar-benar tidak layak manusiawi, tidak mempunyai rumah pantas, dan dihisap oleh petugas-petugas penengah. Mereka sedikitpun tidak mendapat jaminan keamanan, dan hidup dalam perhambaan pribadi sedemikian rupa, sehingga kemampuan untuk bertindak atas kehendak sendiri dan bertanggung jawab praktis dirampas dari mereka, dan setiap kemajuan di bidang budaya serta setiap peran serta dalamkehidupan sosial dan politik bagi mereka tidak terjangkau. Maka untuk menanggapi pelbagai situasi itu amat perlulah perombakan-perombakan: penghasilan 151

152 153

Lih. LEO XIII, ensiklik Rerum Novarum: AAS 23 (1890-91) hlm. 643-646. - PIUS XI, Qudrasimo Anno: AAS 23 (1931) hlm. 191. - PIUS XII, Amanat 1 Juni 1941: AAS 33 (1941) hlm. 199. – IDEM, Amanat radio pada malam menjelang Natal 1942: AAS 35 (1943) hlm. 17. – IDEM, Amanat radio tgl. 1 September 1944: AAS 36 (1944) hlm. 253. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 428-429. Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 214. - YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm.429. Lih. PIUS XII, Amanat radio, Pentekosta 1941: AAS 33 (1941) hlm. 199. - YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm.430.

perlu dinaikkan, kondisi-kondisi kerja harus diperbaiki, dalam mempekerjakan buruh dibutuhkan kepastian sosial, dan diperlukan dorongan untuk bekerja atas kemauan sendiri; bahkan tanah yang kurang dikerjakan harus dibagikan kepada mereka, yang mampu menjadikannya tanah subur. Dalam situasi ini perlu disediakan sarana-sarana dan upaya-upaya yang dibutuhkan, terutama bantuan pendidikan dan kesempatan untuk membentuk badan koperasi yang teratur. Tetapi setiap kali kesejahteraan umum meminta pengambilalihan harta-milik, harus ditetapkan ganti rugi berdasarkan keadilan, dan mempertimbangkan seluruh situasi. 72. (Kegiatan sosial ekonomi dan Kerajaan Kristus) Umat kristen, yang secara aktif melibatkan diri dalam perkembangan sosial ekonomi zaman sekarang, serta membela keadilan dan cinta kasih, hendaknya menyadari, bahwa mereka dapat berjasa besar bagi kesejahteraan umat manusia dan perdamaian dunia. Dalam kegiatan-kegiatan itu hendaknya mereka masing-masing maupun sbagai kelompok memberi teladan yang cemerlang. Dengan kemahiran serta pengalamanyang mereka peroleh dan memang sungguh dibutuhkan, hendaknya mereka mempertahankan tata-nilai yang sebenarnya ditengah kegiatan mereka di dunia, serta tetap setia kepada Kristus dan Injil-Nya, sehingga seluruh hidup mereka, sebagai perorangan maupun anggota masyarakat, diresapi oleh semangat Sabda Bahagia, khususnya semangat kemiskinan. Barang siapa patuh taat kepada Kristus, dan pertama-tama mencari Kerajaan Allah, akan menimba dari padanya cinta kasih yang lebih kuat dan lebih jernih, untuk membantu semua saudara-saudarinya, dan untuk berjiwakan cinta kasih melaksanakan karya keadilan[154].

BAB EMPAT HIDUP BERNEGARA 73. (Kehidupan umum zaman sekarang) Zaman sekarang ini ternyata berlangsung perubahan-perubahan yang mendalam, juga dalam struktur kemasyarakatan dan lembaga-lembaga bangsa-bangsa, yang disebabkan oleh perkembangan mereka di bidang budaya, ekonomi dan sosial. Perubahan-perubahan itu berpengaruh besar atas hidup bernegara, terutama mengenali hak-hak dan kewajibankeajiban semua orang dalam mengamalkan kebebasan mereka sebagai warganegara dan dalam mengusahakan kesejahteraan umum, pun juga mengenai cara mengatur hubungan antar warganegara maupun hubungan mereka dengan pemerintah. Kesadaran akan martabat manusia semakin mendalam. Maka di pelbagai kawasan dunia ini muncullah usaha untuk membaharui tata politik berdasarkan hukum, supaya hak-hak pribadi dalam kehidupan umum lebih dilindungi, misalanya hak untuk dengan bebas mengadakan pertemuan dan mendirikan organisasi; hak untuk mengungkapkan pendapat-pendapatnya sendiri, dan untuk mengamalkan agama sebagai perorangan maupun di muka umum. Sebab terjaminnya hak-hak pribadi merupakan syarat mutlak, supaya para warganegara, masing-masing mempunyai kolektif, dapat bereperanserta secara aktif dalam kehidupan dan pemerintahan negara. 154

Tentang penggunaan harta-benda yang tepat menurut ajaran Perjanjian Baru, lih. Luk. 3:11; 10:30 dan selanjutnya; 11:41; 1Ptr 5:3; Mrk 8:36; 12:29-31; Yak 5:1-6; 1Tim 6:8; Ef 4:28; 2Kor 8:13 dan selanjutnay; 1Yoh 3:17-18.

Seiring dengan kemajuan di bidang budaya, ekonomi dan sosial, pada banyak orang makin kuatlah kemauan untuk memainkan peranan lebih besar dalam mengatur hidup bernegara. Dalam kesadaran banyak orang makin mendesaklah hasrat, supaya hak-hak kelompok-kelompok minoritas suatu bangsa dipertahankan, tanpa mengabaikan kewajiban-kewajiban mereka terhadap negara. Kecuali itu makin kuatlah sikap hormat terhadap orang-orang yang berpandangan lain atau yang menganut agama lain. Serta makin meluaslah kerja sama, supaya semua warga negara, dan bukan hanya beberapa orang saja yang mempunayai hak istimewa, benar-benar dapat memanfaatkan hak-hak pribadi mereka. Di lain pihak ada sikap menolak terhadap semua sistem politik, yang masih berlaku di berbagai kawasan, dan yang merintangi kebebasan kewarganegaraan dan keagamaan, menimbulkan jauh lebih banyak ambisi dan kejahatan politik, serta menggunakan kewibawaan mereka bukan demi kesejahteraan umum, melainkan demi keuntungan suatu partai atau para pemimpin sendiri. Untuk membangun kehidupan politik yang sungguh manusiawi, tidak ada yang lebih baik dari pada menumbuhkan semangat batin keadilan dan kebaikan hati serta pengabdian demi kesejahteraan umum, lagi pula memantapkan keyakinan-keyakinan dasar tentang hakekat sejati negara, dan tentang tujuan, tepatnya pelaksanaan dan batasbatas wewenang pemerintah. 74. (Hakekat dan tujuan negara) Orang-orang, keluarga-keluarga dan pelbagai kelompok, yang bersama-sama membentuk masyarakat sipil, menyadari kurangnya kemampuan mereka untuk mewujudkan kehidupan yang sungguh manusiawi. Mereka memahami perlunya rukun hidup bersama yang lebih luas, yang memberi ruang kepada semua anggotanya, untuk dari hari ke hari menyumbangkan tenaga mereka sendiri demi semakin terwujudnya kesejahteraan umum[155]. Oleh sebab itu mereka membentuk negara menurut pelbagai pola. Maka negara ada demi kesejahteraan umum, menemukan dasar keberadaannya sepenuhnya serta maknanya dalam kesejahteraan itu, dan mendasarkan hak kemandiriannya yang otentik padanya. Kesejahteraan umum mencakup keseluruhan kondisi-kondisi kehidupan sosial, yang memungkinkan orang-orang, keluarga-keluarga dan perhimpunanperhimpunan mencapai kesempurnaan mereka secara lebih penuh dan lebih mudah[156]. Memang banyak dan bermacam-macamlah orang-orang, yang berhimpun mewujudkan negara, dan dapat secara wajar merasa condong kepada pelbagai pendapat. Maka supaya jangan sampai, karena masing-masing mengikuti pandangannya sendiri, negara itu terpecah belah, diperlukan kewibawaan yang mengarahkan daya kemampuan semua warganya kepada kesejahteraan umum, tidak secara mekanis atau otoriter, melainkan terutama sebagai kekuatan moril, yang bertumpu pada kebebasan dan kesadaran akan kewajiban serta beban yang telah mereka terima sendiri. Dengan demikian jelaslah negara dan pemerintah mempunyai dasarnya pada kodrat manusia, dan karena itu termasuk tatanan yang ditetapkan oleh Allah. Sedangkan penentuan sistim pemerintahan dan penunjukan para pejabat pemerintah hendaknya diserahkan kepada kebebasan kehendak para warganegara[157]. Kesimpulannya pula ialah, bahwa pelaksanaan kekuasaan politik, baik dalam masyarakat sendiri, maupun di lembaga-lembaga yang mewakili negara, selalu harus berlangsung dalam batas-batas tata moral, untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang diartikan secara dinamis, menurut tata perundang-undangan yang telah dan harus ditetapkan secara sah. Maka para warganegara wajib patuh-taat berdasarkan hati nurani mereka[158]. Dari situ jelas jugalah tanggung jawab, martabat dan kewibawaan para penguasa. 155

Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm.417. Lih. IDEM, ibidem. 157 Lih. Rom 13:1-5. 158 Lih. Rom 13:5 156

Tetapi, bila para warganegara mengalami tekanan dari pihak pemerintah yang melampaui batas wewenangnya, hendaknya mereka jangan menolak apapun, yang secara objektif memang dituntut demi kesejahteraan umum. Tetapi boleh saja mereka memperjuangkan hak-hak mereka serta sesama warganegara melawan penyalahgunaan kekuasaan itu, dengan tetap mengindahkan batas-batas, yang digariskan oleh hukum kodrati dan Injil. Pola-pola konkrit, yang bagi negara menjadi pedoman untuk mengatur tata susunannya sendiri dan berfungsinya pemerintahan, dapat bermacam-ragam sesuai dengan sifat-perangai bangsa-bangsa dan perjalanan sejarah. Tetapi selalu harus mengabdi kepada pembinaan manusia yang berbudaya, cinta damai dan berbaik hati terhadap siapa saja, demi keuntungan segenap keluarga manusia. 75. (Kerja sama semua orang dalam kehidupan umum) Sama sekali sesuailah dengan kodrat manusia menemukan struktur-struktur politik berdasarkan hukum, yang selalu semakin baik dan tanpa deskriminasi membuka kesempatan efektif bagi semua warga negara, untuk secara bebas dan aktif berperanserta baik dalam menetapkan dasar-dasar hukum bagi negara, dalam nmenentukan sistim pemerintahan negara, dan bidang-bidang serta sasaran pelbagai lembaganya, maupun dalam pemilihan pejabat pemerintah[159]. Maka hendaknya semua warganegara menyadari hak maupun kewajibannya untuk secara bebas menggunakan hak suara mereka guna meningkatkan kesejahteraan umum. Gereja memandang layak di puji dan dihormati kegiatan mereka, yang demi pengabdian kepada sesama membaktikan kepada kesejahteraan negara dan sanggup memikul beban kewajiban mereka. Supaya kerja sama para warganegara, dijiwai kesadaran akan kewajiban mereka, dalam kehidupan sehari-hari negara berhasil dengan baik, dibutuhkan tata hukum positif, yang mencantumkan pembagian tugas-tugas serta lembaga-lembaga pemerintah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, pun juga perlindungan hak-hak efektif dan tidak merugikan siapa pun. Hendaknya diakui, dipatuhi dan didukung semua hak-hak pribadi, keluarga-keluarga dan kelompok-kelompok beserta pelaksanaannya[160], begitu pula kewajiban-kewajiban yang mengikat semua warganegara. Diantaranya perlu disebutkan kewajiban untuk menunaikan pelayanan-pelayanan materiil maupun personal bagi negara, yang diperlukan demi kesejahteraan umum. Hendaknya para penguasa jangan menghalang-halangi kelompok-kelompok keluarga, sosial atau budaya, instansi-instansi atau lembaga-lembaga pengantara. Jangan pul mencabut ruang kegiatan mereka yang sah dan efektif. Melainkan hendaknya para penguasa berusaha mengembangkan dengan sukarela dan secara teratur kegiatan-kegiatan itu. Di pihak lain hendaknya para warganegara, baik sebagai perorangan maupun secara kolektif, jangan menyerahkan kekuasaan terlampau besar kepada pemerintah. Mereka jangan pula menuntut keuntungan-keuntungan serta kemudahan-kemudahan yang berlebihan dan tidak pada tempatnya dari pemerintah, sehingga mengurangi beban perorangan, keluarga-keluarga maupun kelompok-kelompok sosial. Karena situasi zaman sekarang yang cukup rumit pemerintah sering terpaksa bercampurtangan dalam soal-soal sosial, ekonomi dan budaya, untuk menciptakan kondisi-kondisi yang lebih menguntungkan, sehingga para warganegara maupun kelompok-kelompok dibantu secara lebih efektif untuk secara sukarela mengusahakan kesejahteraan manusia seutuhnya. Sesuai dengan kemajemukan wilayah-wilayah dan perkembangan bangsa-bangsa, hubungan-hubungan antara sosialisasi[161] dan otonomi serta perkembangan pribadi dapat diberi arti bermacam-macam. Tetapi bila demi kesejahteraan umum pelaksanaan hak-hak untuk sementara dapat dibatasi, hendaknya 159

Lih. PIUS XII, Amanat radio, tgl. 24 Desember 1942: AAS 35 (1943) hlm. 9-24; tgl. 24 Desember 1944: AAS 37 (1945) hlm. 11-17. – YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris: AAS 55 (1963) hlm. 263, 271, 277 dan 278. 160 Lih. PIUS XII, Amanat radio tgl. 1 Juni 1941: AAS 33 (1941) hlm. 200. – YOHANES XXIII, YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 415-418. 161 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm.415-418.

kebebasan selekas mungkin di kembalikan kalau keadaan sudah berubah. Tetapi adalah bertentang dengan kemanusiaan, bila kekuasaan politik jatuh ke dalam bentuk-bentuk totaliter atau diktatorial, sehingga melanggar hak-hak pribadi maupun kelompokkelompok sosial. Hendaknya para warganegara dengan kebesaran jiwa dan kesetiaan memupuk cinta tanah air, tetapi tanpa berpandangan picik, sehingga serantak tetap memperhatikan kesejahteraan segenap keluarga manusia, yang terhimpun melalui pelbagai ikatan antar suku, antar bangsa dan antar negara. Hendaknya segenap umat kristen menyadari panggilan mereka yang kas dalam negara. Di situlah harus di pancarkan teladan mereka, yang terikat oleh kesadaran akan kewajiban mereka mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum yang memang perlu ditingkatkan. Dengan demikian mereka menunjukkan dengan tindakan yang nyata pula, bagaimana kewajiban dapat diselaraskan dengan kebebasan, prakarsa perorangan dengan keterikatan pada struktur-struktur seluruh tubuh kemasyarakatan, kesatuan yang diinginkan dengan kemajemukan yang menguntungkan. Hendaknya mereka mengakui adanya pandangan-pandangan yang kendati berbeda satu dengan lainnya, toh beralasan juga mengenai cara mengatur hal ikhwal duniawi, dan tetap menghormati sesama warga negara yang dengan tulus membela pendapat-pendapat itu, juga sebagai anggota partai. Partai-partai politik wajib mendukung segala sesuatu, yang menurut pandangan mereka dibutuhkan bagi kesejahteraan umum. Tetapi tidak pernah keuntungan pribadi boleh didahulukan terhadap kesejahteraan umum. Hendaknya secara intensif diusahakan pembinaan kewarganegaraan dan politik, yang sekarang ini perlu sekali bagi masyarakat dan terutama bagi generasi muda, supaya semua warganegara mampu memainkan peranannya dalam hidup bernegara. Mereka yang cakap atau berbakat hendaknya menyiapkan diri untuk mencapai keahlian politik, yang sukar dan sekaligus amat luhur[162], dan berusaha mengamalkannya, tanpa memperhitungkan kepentingan pribadi atau keuntungan materiil. Hendaknya mereka dengan keutuhan kepribadiannya dan kebijaksanaan menentang ketidakadilan dan penindasan, kekuasaan sewenang-wenang dan sikap tidak bertenggang rasa satu orang atau satu politik. Hendaknya mereka secara jujur dan wajar, malahan dengan cinta kasih dan ketegasan politik, membaktikan diri bagi kesejahteraan semua orang. 76. (Negara dan Gereja) Terutama dalam masyarakat yang bersifat majemuk, sangat pentinglah bahwa orangorang mempunyai pandangan yang tepat tentang hubungan antara negara dan Gereja, dan bahwa ada pembedaan yang jelas antara apa yang dijalankan oleh umat kristen, entah sebagai perorangan entah secara kolektif, atas nama mereka sendiri selaku warganegara di bawah bimbingan suara hati kristiani, dan dipihak lain apa yang mereka jalankan atas nama Gereja bersama para gembala mereka. Berdasarkan tugas maupun wewenangnya Gereja sama sekali tidak dapat di campur adukkan dengan negara, dan tidak terikat pada sitem politik manapun juga. Sekaligus Gereja itu menjadi tanda dalam perlindungan transendesi pribadi manusia. Di bidang masing-masing negara dan Gereja bersifat otonom tidak saling tergantung. Tetapi keduanya, kendati atas dasar yang berbeda, melayani panggilan pribadi dan sosial orang-orang yang sama. Pelaksanaan itu akan semakin efektif dijalankan oleh keduanya demi kesejahteraan umum, semakin baik keduanya menjalin kerja sama yang sehat, dengan mengindahkan situasi setempat dan sesama. Sebab manusia tidak terkungkung dalam tata duniawi melulu, melainkan sementara mengarungi sejarah manusiawi ia sepenuhnya mengabdi kepada panggilannya untuk kehidupan kekal. Gereja, yang bertumpu pada cinta kasih Sang Penebus, menyumbangkan bantuannya, supaya di dalam kawasan bangsa sendiri dan antara bangsa-bangsa makin meluaslah keadilan dan cinta 162

Lih. PIUS XI, Amnat: Ai dirigenti della Federzaione Universitaria Cattolica (kepada para pengurus Perserikatan Universitas katolik): Discorsi di Pio XI: ed. Bertetto, Torino, jilid I (1960) hlm. 743.

kasih. Dengan mewartakan kebenaran Injil, dan dengan menyinari semua bidang manusiawi melalui ajaran-Nya dan melalui kesaksian umat kristen, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warganegara. Para Rasul dan para pengganti mereka beserta rekan-rekan sekerja mereka diutus untuk mewartakan Kristus Penebus dunia kepada masyarakat. Dalam menjalankan kerasulan mereka mengandalkan kekuasaan Allah, yang sering sekali justru dalam kelemahan para saksi menampilkan kekuatan Injil. Sebab barang siapa membaktikan diri kepada pelayan sabda Allah, harus menggunakan cara-cara serta bantuan-bantuan yang kas bagi Inijl, yang dalam banyak hal berlainan dengan sumber-sumber daya masyarakat duniawi. Hal-hal duniawi dan perkara-perkara, yang dalam kondisi hidup manusia melampaui dunia ini, berhubungan erat sekali; dan Gereja memanfaatkan hal-hal duniawi sejauh dibutuhkan oleh perutusannya. Tetapi Gereja tidak menaruh harapannya atas hak-hak istimewa yang ditawarkan oleh pemerintah. Bahkan akan melepaskan penggunaan hakhak tertentu yang diperolehnya secara sah, bila karena penggunaan ketulusan kesaksiaannya ternyata disangsikan, atau bila kondisi-kondisi kehidupan yang baru memerlukan pengaturan yang baru. Tetapi selalu dan di mana-mana hendaknya ia diperbolehkan dengan kebebasan yang sejati mewartakan iman, menyampaikan ajaran sosialnya, menunaikan tugasnya dalam masyarakat tanpa di halang-halangi, dan menyampaikan penilaian morilnya, juga tentang hal-hal yang menyangkut tata politik, bila itu di tuntut oleh hak-hak asasi manusia atau oleh keselamatan jiwa-jiwa, dengan menggunakan semua dan hanya bantuan-bantuan yang sesuai dengan Injil serta kesejahteraan-kesejahteraan semua orang, menanggapi zaman maupun situasi yang berbeda-beda. Sementara Gereja dengan setia berpaut pada Injil, dan menunaikan perutusannya di dunia, Gereja, yang dipanggil untuk memelihara serta memupuk apapun yang serba besar, baik dan indah dalam masyarakat manusia[163], memantapkan perdamaian diantara manusia demi kemuliaan Allah[164].

BAB LIMA USAHA DEMI PERDAMAIAN DAN PEMBENTUKAN PERSEKUTUAN BANGSABANGSA 77. (Pendahuluan) Beberapa tahun ini ditandai oleh kesengsaraan dan kesukaran-kesukaran akibat perang yang sedang berkecamuk atau karena ancaman perang. Penderitaan dan kesulitankesulitan itu masih tetap berlangsung dan sangat membebani masyarakat. Segenap keluarga manusia telah mencapai saat yang sangat kritis dalam proses pendewasaannya. Umat manusia, yang lambat laun telah berhimpun dan di mana-mana sudah menyadari kesatuannya, menghadapi tugas, yakni membangun dunia yang sungguh-sungguh lebih manusiawi bagi semua orang dimana pun juga. Tugas itu hanya dapat dilaksanakan, bila semua orang dengan semangat baru mengarahkan diri kepada perdamaian yang sejati. Karena itulah amanat Injil, yang menghadapi usaha-usaha dan aspirasi-aspirasi umat manusia yang luhur, zaman sekarang ini memancarkan cahaya baru, sambil menyatakan para pembawa damai bahagia, “karena mereka akan di sebut anak-anak Allah” (Mat 5:9). 163 164

Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 13. Lih. Luk 2:14.

Oleh karena itu Konsili, sambil menjelaskan makna perdamaian yang otentik dan amat luhur, serta mengecam keganasan perang, bermaksud menyerukan penuh semangat kepada umat kristen, supaya dengan bantuan Kristus Pencipta damai bekerja sama dengan semua orang untuk menggalang perdamaian dalam keadilan dan cinta kasih diantara mereka, dan untuk menyediakan upaya-upaya perdamaian. 78. (Hakekat perdamaian) Damai tidak melulu berarti tidak ada perang, tidak pula dapat diartikan sekedar menjaga keseimbangan saja kekuatan-kekuatan yang berlawanan. Damai juga tidak terwujud akibat kekuasaan diktatorial. Melainkan dengan tepat dan cermat disebut “hasil karya keadilan” (Yes 32:17). Damai merupakan buah hasil tata tertib, yang oleh Sang Pencipta ilahi ditanamkan dalam masyarakat manusia, dan harus diwujudkan secara nyata oleh mereka yang haus akan keadilan yang makin sempurna. Sebab kesejahteraan umum bangsa manusia dalam kenyataan yang paling mendasar berada di bawah hukum yang kekal. Tetapi mengenai tuntutannya yang konkrit perdamaian tergantung dari perubahan-perubahan yang silih berganti di sepanjang masa. Maka tidak pernah tercapai sekali untuk seterusnya, melainkan harus terus menerus dibangun. Kesuali itu, karena kehendak manusia mudah goncang, terlukai oleh dosa, usaha menciptakan perdamaian menuntut, supaya setiap orang tiada hentinya mengendalikan nafsu-nafsunya, dan memerlukan kewaspadaan pihak penguasa yang berwenang. Akan tetapi itu tidak cukup. Perdamaian itu di dunia tidak dapat di capai, kalau kesejahteraan pribadi-pribadi tidak di jamin, atau orang-orang tidak penuh kepercayaan dan dengan rela hati saling berbagi kekayaan jiwa maupun daya cipta mereka. Kehendak yang kuat untuk menghormati sesama dan bangsa-bangsa lain serta martabat mereka begitu pula kesungguhan menghayati persaudaraan secara nyata mutlak untuk mewujudkan perdamaian. Demikianlah perdamaian merupakan buah cinta kasih juga, yang masih melampaui apa yang dapat di capai melalui keadilan. Damai di dunia ini, lahir dari cinta kasih terhadap sesama, merupakan cermin dan buah damai Kristus, yang berasal dari Allah Bapa. Sebab Putera sendiri yang menjelma, Pangeran damai, melalui salib-Nya telah mendamaikan semua orang dengan Allah. Sambil mengembalikan kesatuan semua orang dalam satu bangsa dan satu Tubuh, Ia telah membunuh kebencian dalam Daging-Nya sendiri [165], dan sesudah di muliakan dalam kebangkitan-Nya Ia telah mencurahkan Roh cinta kasih ke dalam hati orang-orang. Oleh karena itu segenap umat kristen dipanggil. Dengan mendesak, supaya “sambil melaksanakan kebenaran dalam cinta kasih” (Ef 4:15), menggabungkan diri dengan mereka yang sungguh cinta damai, untuk memohon dan mewujudkan perdamaian. Digerakkan oleh semangat itu juga, kami merasa wajib memuji mereka, yang dapat memperjuangkan hak-hak manusia menolak untuk menggunakan kekerasan, dan menempuh upaya-upaya pembelaan, yang tersedia pula bagi mereka yang tergolong lemah, asal itu dapat terlaksana tanpa melanggar hak-hak serta kewajiban-kewajiban sesama maupun masyarakat. Karena manusia itu pendosa, maka selalu terancam, dan hingga kedatangan Kristus tetap akan terancam bahaya perang. Tetapi sejauh orang-orang terhimpun oleh cinta kasih mengalahkan dosa, juga tindakan-tindakan kekerasan akan diatasi, hingga terpenuhilah Sabda: “Mereka akan menempa pedang-pedang mereka menjadi mata bajak, dan tombaktombak mereka menjadi pisau pemangkas. Bangsa tidak akan lagi mengankat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang” (Yes 2:4).

165

Lih. Ef 2:16; Kol 1:20-22.

ARTIKEL SATU MENGHINDARI PERANG 79. (Keganasan perang harus dikendalikan) Sungguhpun perang-perang terakhir bagi dunia telah mendatangkan kerugian besar sekali di bidang materiil maupun moril, dari hari ke hari pun dikawasan tertentu dunia perang masih tetap menimbulkan pengrusakan-pengrusakan. Bahkan, sementara dalam perang dikerahkan segala macam senjata tehnologi tinggi, keganasannya sangat dikawatirkan akan membawa mereka yang bertempur kepada kebiadapan, yang jauh melampaui kekejaman di masa lampau. Selanjutnya kompleksnya situasi zaman sekarang dan rumitnya hubungan-hubungan internasional memungkinkan, bahwa dengan caracara baru yang bersifat subfersive dan penuh tipu muslihat, perang dingin tetap berlarutlarut. Dalam banyak situasi penggunaan metode-metode teror dipandang sebagai cara baru berperang. Menyaksikan keadaan umat manusia yang separah itu, Konsili Pertama bermaksud mengingatkan akan tetap masih berlakunya hukum kodrati bangsa-bangsa serta asasasasnya yang bersifat universal. Kesadaran umat manusia sendiri semakin lantang menyiarkan asas-asas itu. Maka tindakan-tindakan yang secara sengaja menentangnya, dan perintah-perintah yang mengharuskan tindakan-tindakan itu di ambil, bersifat durhaka, dan kepatuhan buta pun tidak dapat membenarkan mereka yang menaatinya. Di antaranya terutama pantas di sebutkan tindakan-tindakan, yang berdasarkan dalih atau dengan cara tertentu mengakibatkan binasanya suku atau bangsa secara keseluruhan atau suatu suku yang merupakan minoritas. Tindakan-tindakan itu harus dikecam dengan tajam sebagai kejahatan yang mengerikan. Dan terutama layak sekali dipuji semangat mereka, yang tidak takut-takut melawan oknum yang memerintahkannya secara terbuka. Mengenai masalah perang terdapat berbagai perjanjian internasional, yang di dukung oleh cukup banyak bangsa, untuk mengusahakan supaya kegiatan-kegiatan militer beserta akibat-akibatnya berkurang kekejamannya. Misalnya: perjanjian-perjanjian menyangkut nasib serdadu-serdadu yang luka atau di tahan, pelbagai ketentuan yang serupa. Perjanjian-perjanjian itu hendaknya dipatuhi. Bahkan semua saja, terutama pemerintah-pemerintah dan para pakar di bidang itu, wajib mengusahakan sedapat mungkin, supaya persetujuan-persetujuan itu disempurnakan, dan dengan demikian lebih baik dan tepat guna memperbuahkan pengendalian keganasan perang. Kecuali itu kiranya sudah sewajarnya, bahwa perundang-undangan berdasarkan perikemanusiaan mencantumkan kebijaksanaan tentang mereka, yang berdasakan suara hati menolak untuk mengangkat senjata, sedangkan mereka sanggup berbakti kepada masyarakat dengan cara lain. Memang perang belum enyah dari hidup manusia. Tetapi, selama akan ada bahaya perang, dan tidak ada kewibawaan internasional yang berwenang dan dilengkapi upayaupaya memadai, selama itu – bila semua upaya perlindungan damai sudah digunakan – pemerintah-pemerintah tidak dapat diingkari haknya atas pembelaan negara mereka yang sah. Maka para negarawan dan siapa saja yang ikut memikul tanggung jawab atas negara, harus memandang perkara-perkara seserius secara serius pula, dan bertugas memperjuangkan keselamatan rakyat yang percaya kepada mereka. Tetapi memang lainlah menjalankan kegiatan militer untuk membela rakyat sebagaimana harusnya, berbeda lagi maksud untuk menaklukkan bangsa-bangsa lain. Dan adanya kekuatan perang tidak menghalalkan setiap penggunaannnya demi kepentingan militer atau politik. Dan bila – sayang – perang sudah pecah, tidak dengan sendirinya segala sesuatu diperbolehkan antara pihak-pihak yang sedang bertikai.

Mereka sendiri, yang untuk mengabdi tanah air termasuk angkatan bersenjata, hendaknya memandang diri sebagai pelayan-pelayan keamanan dan kebebasan rakyat, lagi pula, selama menunaikan tugas itu dengan baik, benar-benar berjasa untuk mempertahankan kedamaian. 80. (Perang total) Kengerian dan kejahatan perang meningkat luar biasa akibat bertambahnya senjatasenjata teknologi tinggi. Sebab dengan mengerahkan senjata-senjata itu perang mampu menimbulkan kehancuran yang dasyat dan menimpa siapa pun juga. Maka penggempuran itu sudah jauh melampaui batas-batas bela diri yang sewajarnya. Bahkan bila upaya-upaya itu, yang sudah tersedia dalam persenjataan bangsa-bangsa yang besar, digunakan sepenuhnya, akan timbul pembantaian hampir total dan timbal balik antara kedua pihak yang bertempur, tidak terhitung banyaknya kehancuran di dunia serta akibat-akibat fatal yang timbul dari penggunaan senjata-senjata itu. Itu semua mendesak kita untuk menilai perang dengan pandangan yang baru sama sekali[166]. Hendaknya orang-orang jaman sekarang, bahwa akan harus memberi pertanggungjawaban yang berat atas kegiatan-kegiatan perangnya. Sebab dari keputusankeputusan mereka sekarang ini akan banyak tergantunglah kelangsungan masa depan. Memperhatikan itu semua Konsili ini memulai kecaman-kecaman terhadap perang total yang telah di lontarakan oleh Paus-Paus terakhir[167], dan menyatakan : Semua kegiatan perang, yang menimbulkan penghancuran kota-kota seluruhnya atau daerah-daerah luas beserta semua penduduknya, merupakan tindak kejahatan melawan Allah dan manusia sendiri, yang harus di kecam dengan keras dan tanpa ragu-ragu. Bahay istimewa perang zaman sekarang yakni: bagi mereka, yang memiliki senjata teknologi tinggi mutakhir, terbuka kesempatan menjalankan tindak-tindak kejahatan semacam itu; lagi pula, karena suatu reaksi beruntun, perang itu dapat mendorong manusia ke arah keputusan-keputusan yang paling mengerikan. Supaya itu di masa depan jangan pernah lagi terjadi, para Uskup seluruh dunia yang sedang bersidang dengan sangat memohon siapa saja, terutama para negarawan serta para panglima angkatan bersenjata, supaya tiada hentinya merenungkan sungguh-sungguh tanggung jawab besar itu di hadirat Allah dan di hadapan semua manusia. 81. (Perlombaan senjata) Senjata teknologi tinggi bukan hanya ditimbun untuk digunakan dalam perang. Sebab, karena kekuatan pertahan masing-masing pihak dianggap tergantung dari kemampuan untuk dengan cepat menghalau lawan, penimbunan senjata itu, yang dari tahun ke tahun terus meningkat, secara paradoksal dimaksudkan untuk menakut-nakuti musuh-musuh yang mungkin muncul. Oleh banyak orang itu dipandang sebagai upaya yang paling efektif untuk sekarang ini melestarikan semacam “perdamaian” internasional. Apa pun mau dikatakan tentang metode menakut-nakuti itu, hendaknya semua orang menyadari, bahwa perlombaan senjata, yang kini sudah ditempuh oleh cukup banyak negara, bukan merupakan jalan yang aman untuk dengan mantap melestarikan perdamaian, dan bahwa apa yang disebut “keseimbangan” yang dihasilkannya bukanlah perdamaian yang pasti dan sejati. Karenanya sebab-musabab perang bukannya disingkirkan, justru malahan lambat laun merupakan ancaman yang paling berat. Sementara untuk menyiapkan senjata yang selalu baru dibelanjakan harta-kekayaan yang berlimpah-ruah, sekian banyak malapetaka diseluruh dunia sekarang toh tidak dapat di 166

167

Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, tgl. 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 291: “Oleh karena itu pada zaman sekarang ini, yang mengembangkan kekuatan atom, sama sekali sudah tidak berlaku lagi, bahwa perang masih merupakan upaya yang cocok, untuk memulihkan hak-hak yang telah di langgar”. Lih. PIUS XII, Amanat tgl. 30 September 1954: AAS 46 (1954) hlm. 589; , Amanat radio, tgl. 24 Desember 1942: AAS 35 (1943) hlm. 15 dan selanjutnya; YOHANES XXIII, Ensiklik Pcem in terris, tgl. 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 286-291. – PAULUS VI, Amanat kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, tgl. 4 Oktober 1965: AAS 57 (1965) hlm. 877885.

sembuhkan sebagaimana harusnya. Olehnya pertikaian-pertikaian internasional tidak dapat sungguh diatasi secara mendasar, malahan bagian-bagian dunia lainnya ikut tertimpa. Maka perlulah di pilih cara-cara baru, yang berawal mula pada semangat yang diperbaharui, untuk menyingkirkan batu sandungan itu, pun supaya perdamaian yang sejati dapat dikembalikan kepada dunia, yang di bebaskan dari kegelisahan yang menekannya. Oleh karena itu sekali lagi perlu ditegaskan: perlombaan senjata merupakan bencana yang paling mengerikan bagi umat manusia, dan melukai kaum miskin dengan cara yang mungkin dibiarkan begitu saja. Sangat di khawatirkan, jangan-jangan kalau perlombaan itu terus berlangsung, suatu ketika akan mendatangkan segala bencana yang fatal, yang upaya-upayanya kini sedang di sediakan. Di peringatkan oleh bencana-bencana, yang sekarang ini telah dimungkinkan oleh manusia sendiri, marilah kita memanfaatkan jangka waktu yang masih tersedia bagi kita, untuk lebih menyadari tanggung jawab kita, serta menetukan cara-cara untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan kita melalui jalan yang lebih layak bagi manusia. Dengan mendesak penyelenggaraan ilahi meminta kita, supaya membebaskan diri dari perbudakan lama kepada perang. Sekiranya kita tidak bersedia menjalankan usaha-usaha itu, kita sudah tidak tahu lagi, akan sampai di manakah kita ini melalui jalan sesat yang terlajur kita tempuh itu. 82. (Larangan mutlak terhadap perang, dan kegiatan internasional untuk mencegah perang) Jelaslah kita wajib berusaha, untuk sekuat tenaga menyiapkan masaknya perang mana pun juga atas persetujuan internasional dapat dilarang sama sekali. Tentu syaratnya ialah: supaya didirikan lembaga kewibawaan universal-universal, yang diakui oleh semua pihak, dan mempunyai kekuasaan efektif, agar supaya terjaminlah bagi semua orang keamanan, pelaksanaan keadilan, dan sikap menghormati hak-hak manusiawi. Akan tetapi, sebelum lembaga kewibawaan itu dapat didirikan, perlulah lembaga-lembaga internasional tertinggi yang ada sekarang mengadakan studi intensif tentang upayaupaya yang efektif untuk mewujudkan situasi semesta yang aman. Perdamaian pertamatama harus diciptakan berdasarkan kepercayaan timbal balik antara bangsa-bangsa, tidak dipaksakan kepada negara-negara melalui persenjataan yang menakutkan. Maka semua pihak wajib mengusahakan, supaya perlombaan senjata akhirnya dihentikan; supaya pengurangan sejata sungguh di mulai, tidak sepihak melulu, melainkan hendaknya dijalankan serentak oleh semua pihak berdasarkan perjanjian, di sertai jaminan-jaminan yang kuat dan efektif[168]. Sementara itu hendaknya jangan diremehkan usaha-usaha yang sudah dan sedang dijalankan, untuk menangkal bahaya perang. Seyogyanya di dukunglah kehendak baik sekian banyak orang, yang karena jabatan tinggi mereka menanggung beban berat keprihatinan yang mendalam, tetapi terdorong oleh besarnya tanggung jawab mereka, berusaha mencegah perang yang begitu mereka khawatirkan, kendati tidak mungkin mengalihkan perhatian dari rumitnya permasalahan seperti adanya sekarang. Perlulah Allah di mohon dengan sungguh, supaya berkenan mengurniai mereka kekuatan untuk dengan tabah memulai dan dengan tekun melanjutkan karya kasih mulia terhadap sesama itu, yakni dengan gagah perkasa membangun perdamaian. Sudah pasti sekarang itu menuntut, agar mereka memperluas cakarawala hati dan budi melampaui batas negara mereka sendiri, menanggalkan egoismenasional dan ambisi menguasai bangsabangsa lain, serta memupuk sikap hormat yang mendalam terhadap seluruh umat manusia, yang dengan banyak jerih payah sudah melangkah maju ke arah kesatuan semakin erat.

168

Lih. Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, yang membicarakan pengurangan senjata: AAS 55 (1963) hlm. 287.

Tentang masalah perdamaian dan perlucutan senjata telah diadakan dengan giat penelitian-penelitian yang tetap dilanjutkan dengan tekun, begitu pula kongres-kongres internsional, yang membahasanya sebagai langkah-langkah pertama menuju pemecahan soal-soal seberat itu. Usaha-usaha itu di masa mendatang perlu dikembangkan secara lebih intensif untuk mencapai hasil-hasil yang praktis. Kendati begitu hendaknya masyarakat menjaga, supaya jangan melulu mengandalakan usaha-usaha beberapa pihak saja, tanpa menghiraukan sikap mental mereka sendiri. Sebab para negarawan yang bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa mereka sendiri dan sekaligus ikut memajukan kesejahteraan seluruh dunia, sangat tergantung dari pandangan-pandangan dan sikap mental khalayak ramai. Tidak ada gunanya mereka bersusah payah membangun perdamaian, selama permusuhan, penghinaan, sikap curiga, kebencian “rasial” dan ideologi-ideologi yang tegar memecah belah rakyat dan menimbulkan pertentangan. Maka mendesak sekalilah kebutuhan akan pendidikan sikap mental yang diperbaharui dan akan inspirasi baru terhadap pandangan umum. Mereka yang membaktikan diri dalam karya pendidikan, terutama pembinaan generasi muda, atau berusaha membentuka pandangan umum, hendaknya menganggap sebagai kewajiban yang berat sekali membangkitkan pada semua orang mentalitas baru yang ditandai cinta damai. Kita semua pun perlu merombak sikap hati kita, mengarahkan pandangan ke seluruh dunia dan memperhatikan tugas-tugas, yang dapat kita jalankan bersama, untuk menjalankan kesejahteraan umat manusia. Jangan pula harapan semua mengelabui kita. Sebab kalau permusuhan dan kebencian tidak di singkirkan, dan di masa mendatang tidak di adakan perjanjian-perjanjian yang andal dan jujur tentang perdamaian semesta, barangkali umat manusia, yang kini sudah berada dalam bahaya besar, kendati berbekalkan ilmu pengetahuan yang mengagumkan, akan hanyut ke arah yang fatal, yakni saatnya tidak ada kedamaian lain lagi yang dialaminya, kecuali kedamaian maut yang mengerikan. Akan tetapi, sementara mengemukakan itu semua, Gereja Kristus, yang berada ditengah kecemasan zaman sekarang, tiada hentinya berpengharapan sangat teguh. Gereja bermaksud setiap kali, entah amanatnya diterima atau tidak, mengulang-ulangi pesan Rasul: “lihat, sekarang inilah waktu yang berkenan kepada Allah” untuk pertobatan hati, “sekarang inilah hari penyelamatan”[169].

ARTIKEL DUA

PEMBANGUNAN MASYARAKAT INTERNASIONAL 83. (Sebab-musabab perpecahan dan cara mengatasinya) Untuk membangun perdamaian pertama-tama diisyaratkan, supaya dicabutlah sebabmusabab perpecahan antar manusia, yang menimbulkan perang, terutama tindakantindakan melawan keadilan. Tidak sedikit antaranya bersumber pada ketimpanganketimpangan ekonomi yang sudah keterlaluan, pun juga pada terlambatnya usaha yang dibutuhkan untuk mengatasinya. Ada pula yang timbul dari nafsu untuk menguasai dan sikap menghina sesama, dan – kalau kita cari sabab-musababnya yang lebih dalam – dari iri hati, sikap curiga, kesombongan, dan nafsu-nafsu egois lainnya. Karena manusia tidak tahan menanggung sekian banyak kekacauan, maka akibatnya ialah, bahwa – meskipun sedang tidak ada perang – dunia terus-menerus ditimpa oleh persaingan-persaingan antar 169

Lih. 2Kor 6:2.

manusia dan oleh tindakan-tindakan kekerasan. Selain itu, karena kekacauan itu terdapat juga dalam hubungan-hubungan internasional, maka mutlak perlulah, bahwa untuk mengatasi atau mencegahnya, dan untuk mengendalikan tindakan-tindakan kekerasan yang tidak terkekang, lembaga-lembaga internasional bekerja sama dan dikoordinasi secara lebih baik dan lebih mantap, pun juga tiada jemunya di dorong pembentukan lembaga-lembaga, yang memajukan perdamaian. 84. (Persekutuan bangsa-bangsa dan lembaga-lembaga internasional) Zaman sekarang ini makin meningkat dan kian eratlah hubungan-hubungan timbal balik antara semua warga negara dan sekalian bangsa di dunia. Maka, supaya kesejahteraan umum bagi seluruh dunia diusahakan dengan upaya-upaya yang memadai dan tercapai secara lebih efektif, sudah perlulah persekutuan bangsa-bangsa membentuk suatu struktur, yang cocok untuk tugas-tugas masa kini, terutama sehubungan dengan daerahdaerah luas sekali, yang masih menderita kemiskinan, yang tak boleh dibiarkan berlarutlarut. Untuk mencapai tujuan itu lembaga-lembaga masyarakat internasional harus berusaha memenuhi pelbagai kebutuhan umat manusia menurut fungsi masing-masing, baik di bidang-bidang kehidupan sosial, termasuk nafkah hidup, kesehatan, pendidikan, dan kerja, maupun dalam pelbagai situasi khusus, yang dapat timbul entah di mana, misalnya kebutuhan umum negara-negara yang sedang berkembang untuk meningkatkan pembangunan, kebutuhan untuk meringankan beban penderitaan kaum pengungsi yang tersebar di seluruh dunia, pun juga untuk membantu kaum emigran beserta keluargakeluarga mereka. Lembaga-lembaga internasional, untuk seluruh dunia maupun yang bersifat regional, yang sudah ada sekarang, jelaslah berjasa besar bagi umat manusia. Lembaga-lembaga itu tampil sebagai usaha-usaha pertama untuk meletakkan dasar-dasar internasional bagi segenap masyarakat manusia, guna memecahkan masalah-masalah amat berat zaman sekarang, yakni: mendukung kemajuan seluruh dunia, dan mencegah perang dalam bentuk mana pun juga. Di segala bidang itu Gereja bergembira tentang mekarnya semangat persaudaraan yang sejati antara umat kristen dan umat bukan kristen, yang kesemuanya mengusahakan, agar dijalankan usaha-usaha semakin intensif untuk meringankan penderitaan yang tiada hingganya. 85. (Kerja sama internasional di bidang ekonomi) Solidaritas umat manusia sekarang ini juga menurut penggalangan kerja sama internsional yang lebih erat di bidang ekonomi. Sebab, meskipun hampir semua bangsa sudah merdeka, mereka jauh belum terluputkan dari ketimpangan-ketimpangan yang keterlaluan dan dari segala bentuk ketergantungan yang tidak wajar, dan jauh belum terhindarkan dari segala bahaya persoalan-persoalan intern yang berat. Perkembangan suatu bangsa tergantung dari sumber-sumber manusiawi dan keuangan. Para warganegara setiap bangsa perlu disiapkan melalui pendidikan dan pembinaan kejuruan untuk menjalankan pelbagai tugas dibidang ekonomi dan sosial. Untuk itu diperlukan bantuan pakar-pakar mancanegara, yang sementara memberi pertolongan tidak berlagak menguasai, melainkan bertindak sebagai penolong dan rekan sekerja. Bantuan materiil tidak akan berguna bagi bangsa-bangsa yang sedang berkembang, kalau aturan-aturan permainan dalam perdagangan di dunia zaman sekarang tidak di ubah dengan secara mendalam. Kecuali itu harus diberikan bantuanbantuan lain oleh bangsa-bangsa yang sudah maju berupa hibah-hibah, pinjamanpinjaman atau investasi-investasi. Hendaknya di satu pihak itu semua diberikan dengan kebesaran hati dan tanpa pamrih, dan di lain pihak diterima secara terhormat. Untuk mewujudkan tata ekonomi yang sejati bagi seluruh dunia perlu dikesampingkan usaha-usaha yang berlebihan untuk mendapatkan keuntungan, ambisiambisi nasional, aspirasi akan dominasi politik, perhitungan-perhitungan militarisme, lagi pula tipu muslihat untuk menyiarkan dan memaksakan ideologi-ideologi. Disajikan

banyak sistim ekonomi dan sosial. Di himbau supaya di bidang itu para pakar menemukan dasar-dasar umum bagi perdagangan dunia yang sehat. Itu akan lebih mudah tercapai, bila masing-masing pihak menanggalkan prasangka-prasangkanya, dan siap-sedia untuk menjalin dialog yang jujur. 86. (Beberapa pedoman yang sesuai untuk zaman sekarang) Untuk meningkatkan kerja sama itu kiranya pedoman-pedoman berikut akan berguna: a) Hendaknya bangsa-bangsa yang sedang berkembang sungguh memperhatikan, supaya secara jelas dan tegas mereka canangkan sebagai tujuan pembangunan ialah : penyempurnaan manusiawi yang seutuhnya bagi para warganegara. Hendaknya mereka sadari, bahwa sumber serta dinamisme pembangunan terutama terletak pada jerih-payah dan bakat-kemampuan bangsa sendiri; sebab pembangunan tidak boleh hanya mengandalkan sumber-sumber dari luar saja, melainkan pertama-tama harus di dasarkan pada pembangunan sepenuhnya sumber-sumber milik sendiri dan pada pemekaran kebudayaan serta tradisi mereka sendiri. Dalam hal itu, yang berpengaruh cukup besar terhadap sesama, seharusnya menjadi panutan. b) Bagi bangsa-bangsa yang sudah maju merupakan kewajiban sangat berat: membantu bangsa-bangsa yang sedang berkembang untuk menunaikan tugas-tugas yang tadi di sebutkan. Maka dari itu hendaknya mereka menyesuiakan diri di bidang mental dan materiil, seperti memang dibutuhkan untuk mewujudkan kerja sama universal itu Demikianlah dalam perdagangan dengan negara-negara yang lebih lemah dan lebih miskin hendaknya sungguh diperhatikan kesejahteraan mereka itu. Sebab mereka membutuhkan penghasilan, yang mereka peroleh dengan memasarkan hasil produksi mereka sendiri, untuk menanggung kehidupan mereka. c) Merupakan tugas masyarakat internasional: mengkoordinasi dan mendorong pembangunan sedemikian rupa, sehingga sumber-sumber yang dipruntukkan baginya dimanfaatkan seefektif mungkin dan secara merata sewajar mungkin. Masyarakat internasional bertugas juga, tentu dengan mengindahkan asas solidaritas, mengatur jaringan ekonomi dunia, sehingga berkembang menurut prinsip keadilan. Hendaknya dibentuk lembaga-lembaga yang berfungsi dengan baik, untuk memajukan dan mengurusi perdagangan interasional, terutama dengan bangsa-bangsa yang belum begitu berkembang, dan untuk mengganti kerugian-kerugian, yang bersumber pada ketidak-seimbangan kekuatan yang terlampau mengguncangkan antara bangsa-bangsa. Pengaturan itu, disertai bantuan-bantuan di bidang teknologi, kebudayaan dan finansial, yang harus menyediakan bantuan-bantuan yang sungguh dibutuhkan bagi bangsa-bangsa yang sedang berkembang, supaya mereka mampu mewujudkan secara harmonis pembangunan mereka di bidang ekonomi. d) Dalam banyak situasi mendesaklah kebutuhan meninjau kembali strukturstruktur sosial ekonomi. Tetapi jangan diajukan pemecahan-pemecahan teknis yang belum masak, terutama yang memang menyediakan keuntungan-keuntungan materiil, akan tetapi bertentangan dengan kodrat rohani manusia serta perkembangannya. Sebab “manusia hidup bukan dari roti saja, melainkan dari setiap sabda yang keluar dari mulut Allah” (Mat 4:4). Setiap bagian keluarga manusia dalam dirinya dan tradisi-tradisinya yang terbaik membawa serta sebagian kekayaan rohani, yang oleh Allah dipercayakan kepada umat manusia, sungguh pun banyak orang tidak tahu-menahu tentang sumbernya. 87. (Kerja sama internasional sehubungan dengan pertambahan penduduk) Sungguh perlu sekalilah kerja sama internasional berkenaan dengan bangsa-bangsa, yang zaman sekarang ini, di samping menghadapi sekian banyak kesukaran lainnya, cukup sering dan teristimewa dibebani oleh kesulitan yang timbul dari pesatnya laju pertambahan penduduk. Sungguh mendesaklah kebutuhan, untuk melalui kerja sama sepenuhnya dan intensif antara semua bangsa, terutama bangsa-bangsa yang lebih kaya, diadakan penjajagan, bagaimana semuanya, yang diperlukan bagi kehidupan dan

pendidikan masyrakat yang semestinya, dapat disediakan dan dibagikan dengan segenap masyarakat manusia. Beberapa bangsa sebenarnya mampu menciptakan kondisi-kondisi hidup yang jauh lebih baik, seandainya berbekalkan pendidikan yang selayaknya, beralih dari metode-metode bercocok-tanam yang kuno kepada tehnik-tehnik yang baru, dengan menerapkannya pada situasi mereka dengan kearifan seperti semestinya, sementara selain itu tata sosial diperbaiki, dan pembagian pemilikan tanah di atur secara lebih adil. Pemerintah mempunyai hak-hak maupun kewajiban-kewajibannya mengenai masalah kependudukan dalam negaranya, dalam batas-batas kewenangannya; misalnya: mengenai perundang-undangan sosial, juga yang menyangkut hidup berkeluarga, mengenai perpindahan penduduk desa ke kota-kota, mengenai penyuluhan tentang keadaan dan kebutuhan-kebutuhan bangsa. Karena sekarang ini pemikiran orang begitu banyak berkisar masalah itu, maka dihimabu juga, supaya tentang kesemuanya iti para pakar katolik pun, terutama dikalangan universitas, dengan segala keahlian mereka mengadakan studi dan usaha-usaha serta makin mengembangkannya. Banyak orang berpandangan, bahwa pertambahan penduduk dunia, atau setidaktidaknya di negara-negara tertentu, sungguh perlu dikurangi secara radikal melalui segala upaya dan segala macam campur tangan pemerintah. Menanggapi arus itu, Konsili menyerukan kepada semua orang, supaya jangan menempuh cara-cara pemecahan, yang secara umum atau oleh pihak-pihak tertentu dianjurkan atau kadang-kadang diharuskan, dan yang bertentangan dengan hukum moral. Sebab menurut hak manusia yang tak dapat di ganggu-gugat atas perkawinan dan pengadaan keturunan, pertimbangan tentang jumlah anak tergantung dari keputusan orang tua yang benar, dan sama sekali tidak dapat di serahkan kepada keputusan pemerintah. Tetapi karena keputusan orang tua mengandaikan suara hati yang terbentuk dengan tepat, maka penting sekalilah, bahwa bagi semua orang terbuka kesempatan untuk mengembangkan kesadaran bertanggung jawab yang cermat dan sungguh manusiawi, serta mengindahkan hukum ilahi, sambil mempertimbangkan situasi setempat dan semasa. Hal itu menuntut, agar di mana-mana kondisi-kondisi pendidikan dan sosial diperbaiki, dan terutama agar pembinaan keagamaan atau sekurang-kurangnya pengajaran di bidang moral diberikan seutuhnya. Selanjtnya hendaklah orang-orang dengan bijaksana diberi penyuluhan tentang kemajuan-kemajuan ilmiah dalam meneliti metode-metode yang dapat membantu suami-isteri dalam mengatur jumalh keturunan, dan yang keandalannya cukup teruji, lagi pula keselarasannya dengan tata moral sudah dipastikan. 88. (Peranan umat kristen dalam pemberian bantuan) Untuk membangun tata msyarakat internasional, yang ditandai oleh penghargaan ynag nyata terhadap pokok-pokok kebebasan yang wajar serta persaudaraan akrab semua warganya, hendaknya umat kristen dengan sukarela dan seutuh hati menyumbangkan kerja samanya. Itu nampak semakin mendesak, karena sebagian besar sedunia masih menderita kemelaratan begitu parah, sehingga dalam diri kaum miskin Kristus sendiri seolah-olah dengan suara lantang mengundang para murid-Nya untuk mengamalkan cinta kasih. Maka dari itu jangan samapai orang-orang terbentur pada batu sandungan, yakni: bahwa beberapa negara, yang sering mayoritas penduduknya beragama kristen, melimpah harta kekayaannya, sedangkan negara-negara lain tidak mendapat apa yang sungguh mereka butuhkan untuk hidup, dan tersiksa oleh penyakit-penyakit serta segala macam penderitaan. Sebab semangat kemiskinan dan cinta kasih merupakan kemuliaan dan kesaksian Gereja Kristus. Maka layak di puji dan di dukunglah ornag-orang kristen, terutama kaum muda, yang dengan sukarela menyediakan diri untuk menolong sesama dan bangsa-bangsa lain. Bahkan merupakan panggilan segenap Umat Allah, untuk mengikuti pesan maupun teladan para Uskup, sekedar kemampuan mereka meringankan penderitaan zaman sekarang, itupun – menurut kebiasaan kuno dalam Gereja – bukan saja kelebihan dari milik mereka, melainkan juga dari apa yang sungguh masih mereka butuhkan sendiri.

Hendaknya cara mengumpulkan dan membagikan bantuan, tanpa diurus dengan kaku dan seragam, toh diatur dengan cermat di keuskupan-keuskupan, di negara-negara dan seluruh dunia, dan – di mana pun itu dianggap baik – secara terpadu antara kegiatan umat katolik dan saudara-saudara kristen lainnya. Sebab Roh cinta kasih tidak melarang pelaksanaan kegiatan sosial dan karikatif yang bijaksana dan teratur, justru malahan mewajibkannya. Oleh karena itu perlulah mereka, yang bermaksud membaktikan diri untuk melayani negara-negara yang sedang berkembang, mengalami pembinaan yang cocok juga dalam lembaga-lembaga yang mengkhususkan diri bagi pengabdian itu. 89. (Kehadiran Gereja yang efektif dalam masyarakat internasional) Berdasarkan perutusan ilahinya Gereja mewartakan Injil serta menyalurkan kekayaan rahmat kepada semua orang. Di mana-mana Gereja berperan serta mengukuhkan perdamaian dan meletakkan dasar yang tangguh bagi persekutuan persaudaraan antar manusia dan antar bangsa, yakni: pengertian akan hukum ilahi dan kodrati. Oleh karena itu dalam masyarakat bangsa-bangsa Gereja sungguh-sungguh harus hadir, untuk mendukung dan membangkitkan kerja sama antar manusia. Itu terjadi melalui lembagalembaganya yang bersifat umum, maupun melalui kerja sama segenap umat kristen yang sepenuhnya dan dengan tulus hati, dan diilhami melulu oleh keinginan untu melayani semua orang. Maksud itu akan tercapai secara lebih efektif, bila umat beriman sendiri, penuh kesadaran akan tanggung jawab mereka sebagai manusia dan orang kristen, dalam lingkungan hidup mereka sendiri berusaha membangkitkan kemauan untuk siap-siaga bekerja sama dengan masyarakat internasional. Dalam hal itu hendaknya perhatian istimewa dicurahkan kepada pembinaan kaum muda, dalam pendidikan agama maupun kewarganegaraan. 90. (Peranan orang-orang kristen dalam lembaga-lembaga internasional) Bagi orang-orang kristen suatu bentuk kegiatan internasional yang berharga sekali sudah barang tentu ialah sumbangan tenaga, yang entah sebagai perorangan entah secara kolektif. Mereka memberikan dalam lembaga-lemabga, yang sudah atau masih perlu didirikan untuk meningkatkan kerja sama internasional. Kecuali itu dalam pembangunan persekutuan bangsa-bangsa, yang di tandai perdamaian dan persaudaraan, pelayanan melalui pelbagai cara dapat diberikan oleh pelbagai perserikatan katolik internasional, yang perlu makin di mantapkan, dengan ditambahkannya jumlah rekan-rekan kerja yang dibina dengan baik, bantuan yang mereka butuhkan, dan koordinasi tenaga-tenaga yang selaras. Sebab zaman sekarang ini baik efektifnya kegiatan-kegiatan maupun kebutuhan akan musyawarah memerlukan usaha-usaha bersama. Lagi pula perserikatanperserikatan semacam itu bukannya sedikit sumbangannya untuk memupuk minatperhatian yang terbuka bagi seluruh umat manusia, yang pasti tidak asing bagi umat katolik, pun juga membina kesadaran akan solidaritas serta tanggung jawab yang sungguh bersifat universal. Akhirnya dihimbau, supaya orang-orang katolik, untuk menunaikan tugas mereka dalam masyarakat internasional sebagaimana mestinya, berusaha bekerja sama secara aktif dan positif, baik dengan saudara-saudari terpisah, yang bersama mereka bermaksud menghayati cinta kasih Injil, maupun dengan sekalian orang yang mendambakan perdamaian sejati. Adapun Konsili, seraya mengindahkan penderitaan-penderitaan tiada hingganya, yang sekarang pun masih menyikasa mayoritas umat manusia, lagi pula untuk di manamana memupuk keadilah maupun cinta kasih Kristus terhadap kaum miskin, memandang sangat pada tempatnya mendirikan suatu lembaga universal Gereja, yang misinya ialah mendorong persekutuan umat katolik, supaya kemajuan daerah-daerah yang miskin serta keadilan internasional ditingkatkan.

PENUTUP 91. (Tugas setiap orang beriman dan Gereja-Gereja khusus) Apa saja, yang oleh Konsili ini di hidangkan dari khazanah ajaran Gereja, dimaksudkan untuk membantu orang zaman sekarang, entah mereka beriman akan Allah, entah tidak mengakui-Nya secara eksplisit. Tujuannya: supaya mereka lebih jelas memahami panggilan mereka seutuhnya, lebih menyelaraskan dunia dengan martabat manusia yang amat luhur, menghendaki persaudaraan universal dengan dasar yang lebih mendalam, dan atas dorongan cinta kasih, melalui usaha terpadu terdorong oleh kebesaran jiwa, menanggapi tuntutan-tuntutan masa kini yang memang mendesak. Benarlah, menghadapi kemacam-ragaman situasi maupun pola kebudayaan dunia, penyajian ini dalam cukup banyak bagiannya sengaja menampilkan sifat serba umum, bahkan, meskipun sekedar menguraikan ajaran yang sudah diterima dalam Gereja, tetapi, karena yang dibahas ialah hal-hal yang terus menerus mengalami perkembanga, ajaran itu masih akan perlu diteruskan dan diperluas. Tetapi kami percaya, bahwa banyak hal, yang kami utarakan bertumpu pada sabda Allah dan semangat Injil, dapat merupakan bantuan yang andal bagi semua orang, terutama sesudah penerapannya pada masingmasing bangsa dan pola berpandangan dijalankan oleh umat kristen di bawah bimbingan para Gembala. 92. (Dialog antara semua orang) Berdasarkan misinya menyinari seluruh dunia dengan amanat Injil, serta menghimpun semua orang dari segala bangsa, suku dan kebudayaan ke dalam satu Roh, Gereja menjadi lambang persaudaraan, yang memungkinkan serta mengukuhkan dialog dari ketulusan hati. Itu menyaratkan, supaya pertama-tama dalam Gereja sendiri kita mengembangkan sikap saling menghargai dan menghormati serta kerukunan, dengan mengakui segala kemacam-ragaman yang wajar, untuk menjalin dialog yang makin subur antara semua anggota yang merupakan satu Umat Allah, baik para gembala maupun umat beriman lainnya. Sebab lebih kuatlah unsur-unsur yang mempersatukan umat beriman daripada yang menggolong-golongkan mereka. Hendakanya dalam apa yang sungguh perlu ada kesatuan, dalam apa yang diragukan kebebasan, dalam segala sesuatu cinta kasih[170]. Tetapi hati sekaligus merangkul saudara-saudari, yang belum hidup dalam persekutuan sepenuhnya bersama kita, beserta jemaat-jemaat mereka, sedangkan kita sudah bersatu dengan mereka karena pengakuan iman kita akan Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan karena ikatan cinta kasih, sementara kita mengingat juga bahwa kesatuan umat kristen sekarang ini juga diharapkan dan diinginkan oleh banyak orang yang tidak beriman akan Kristus. Sebab semakin kesatuan itu, berkat besarnya kekuatan Roh Kudus, akan bertumbuh dalam kebenaran dan cinta kasih, semakin akan menjadi pralambang pula bagi kesatuan dan perdamaian bagi seluruh dunia. Maka dengan berpadu tenaga, dan dalam bentuk-bentuk yang kian memadai untuk sekarang ini secara efektif mewujudkan tujuan yang mulia itu, marilah kita berusaha supaya, sementara dari hari ke hari makin hidup menurut Injil, kita bekerja sama secara persaudaraan, untuk mengabdikan diri kepada keluarga manusia, yang dalam Kristus Yesus dipanggil menjadi keluarga anak-anak Allah. Hati kita selanjutnya kita arahkan juga kepada semua orang yang mengakui Allah, dan dalam tradisi-tradisi mereka melestarikan unsur-unsur religius dan manusiawi. Yang kita harapkan ialah, semoga dialog yang terbuka mengajak kita sekalian, untuk dengan setia menyambut dorongan-dorongan Roh, serta mematuhinya dengan gembira. Kerinduan akan dialog seperti itu, yang hanya dibimbing oleh cinta akan kebenaran, tentu sementara tetap berlangsung pula dalam kebijaksanaan sebagaimana mestinya, dari pihak kita tidak mengecualikan siapa pun, termasuk mereka, yang mengembangkan nilai170

Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Ad Petri Cathedram, tgl. 29 Juni 1959: AAS 51 (1959)hlm. 513.

nilai luhur jiwa manusia, tetapi belum mengenal Penciptanya, begitu pula mereka, yang menentang Gereja dan dengan aneka cara menghambatnya. Karena Allah Bapa itu sumber segala sesuatu, kita semua dipanggil untuk menjadi saudara. Maka dari itu karena mengemban panggilan manusiawi dan ilahi yang sama itu, kita dapat dan memang wajib juga bekerja sama tanpa kekerasan, tanpa tipu muslihat, untuk membangun dunia dalam damai yang sejati. 93. (Membangun dunia dan mengarahkannya kepada tujuannya) Sambil mengenangkan sabda Tuhan: “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kalian itu murid-murid-Ku, yakni bila kalian saling mengasihi” (Yoh 13:35), umat kristen tidak dapat menginginkan apa pun lebih sungguh-sungguh, dari pada untuk mengabdikan diri secara makin penuh dan efektif kepada sesama di dunia masa kini. Maka dari itu, sambil dengan setia bertumpu pada Injil dan bersandar pada kekuatannya, dan bersama dengan semua orang yang mencintai dan melaksanakan keadilan, mereka telah menyatakan bersedia untuk menjalankan karya agung di dunia ini, yang harus mereka pertanggung jawabkan terhadap Dia, yang pada hari terakhir akan mengadili semua orang. Tidak semua orang yang berseru “Tuhan, Tuhan!” akan memasuki Kerajaan Sorga, tetapi hanya merekalah, yang melaksanakan kehendak Bapa[171], dan dengan giat menyingsingkan lengan baju, Bapa menghendaki, agar dalam semua orang kita mengenali dan mencintai secara nyata Kristus Saudara kita, dengan kata-kata maupun tindakan, dan dengan demikian memberi kesaksian akan kebenaran, serta menyiarkan kepada sesama misteri cinta kasih bapa di Sorga. Dengan begitu semua orang di seluruh duniaakan dibangkitkan untuk menaruh harapan hidup, yang merupakan kurnia Roh Kudus, supaya akhirnya ditampung dalam damai dan kebahagiaan yang mulia, di tanah air yang bercahaya gemilang berkat kemuliaan Tuhan. “Bagi Dailah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja dalam kita, bagi Dialah kemuliaan di dalam jemaat dan dalam Kristus Yesus turun-temurun sampai selamalamanya. Amin” (Ef 3:20-21).

Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Konstitusi ini berkenan kepada para Bapa Konsili. Dan Kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagipula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah. Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 7 bulan Desember tahun 1965.

Saya PAULUS Uskup Gereja Katolik

(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)

171

Lih. Mat 7:21.

INDEKS ANALITIS DAFTAR SINGKATAN: AA AG CD DH DV GE GS IM LG NA

= = = = = = = = = =

Apostolicam Actuositatem: Dekrit tentang Kerasulan Awam Ad Gentes: Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja Christus Dominus: Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam Gereja Dignitatis Humanae: Pernyataan tentang Kebebasan Beragama Dei Verbum: Konstitusi dogmatis tentang Wahyu Ilahi Gravissium Educations: Pernyataan tentang Pendidikan Kristen Gaudium et Spes: Konstitusi Pastoral Gereja dalam Dunia Modern Inter Mirifica: Dekrit tentang Upaya-Upaya Komunikasi Sosial Lumen Gentium: Konstitusi dogmatis tentang Gereja Nostra Aetate: Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristen Orientalium Ecclesiarum: Dekrit tentang Gereja-Gereja Timur Katolik Optatam Totius: Dekrit tentang Pembinaan Iman Perfectae Caritatis: Dekrit tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius Presbyterorum Ordinis: Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan para Imam Sacrosanctum Concilium: Konstitusi tentang Liturgi Suci Unitatis Redintegratio: Dekrit tentang Ekumenisme.

OE OT PC PO SC UN

= = = = = =

NB:

Angka sesudah singkatan menunjuk kepada artikel dalam dokumen.

Dalam perspektif mendalami secara teologis ajaran Konsili Vatikan II tentang Gereja dan misinya pada zaman sekarang, tanpa bermaksud menyajikan suatu daftar yang serba lengkap, indeksanalitis ini kami susun secara sitematis, yakni sekitar tema-tema pokok berikut: I. Allah Tritunggal II. Yesus Kristus III. Roh Kudus IV. Gereja Kristus V. Gereja-Gereja khusus dan setempat VI. Perutusan Gereja : mewartakan Injil VII. Ekumenisme dan dialog antar umat beragama VIII. Gereja di tengah masyarakat Untuk menyusun indeks ini digunakan: “Concile Oecumenique Vatican II. Constitutions, Decrets, Declatations, Messages”, textes Francais et latin; tables biblique et analytique et index des sources, Paris: Centurion 1967, hlm. 748-989[1].

I. ALLAH TRITUNGGAL Allah Tunggal dan sejati : LG 16, 60; DV 3, 14; SC 9; AG 7. Itu diakui juga oleh orang-orang bukan kristen: LG 16; NA 3. – Allah yang hidup: DV 3, 14; tak kelihatan: DV 2, GS 22. Kristus citra Allah yang tak kelihatan: LG 2, 7. Keagungan Allah LG 50.

1

Untuk mempelajari ajaran Konsili vatikan II antara lain dapat digunakan juga: Adolf Heuken SJ, Katekismus Konsili Vatikan II, Jakarta: Cipta Loka Caraka 1987.

Allah Pencipta: LG 16; GS 2, 12, 13, 17, 18, 34, 36, 37, 41, AG 2, 7. Ia menciptakan dan melesatrikan manusia karena cinta-Nya: GS 19. Umat bukan kristen percaya akan Sang Pencipta: LG 16; NA 3. Allah menciptakan segalanya dengan sabda-Nya: DV 2. Ia mengagumkan dalam karya-Nya: UR 4. Ia asalmula segalanya: DV 6; GS 13, 34, 36, 41, 92; DH 7. Allah Mahapenyelenggara: LG 16, 23, 61; DV 3; DH 3. Ia Mahamurah GS 37. Tuhan sejarah dan sejarah keselamatan: GS 41. Allah Mahabijaksana: LG 2; GS 57; PO 13; DH 3. Bapa semua orang: DV 3; AA 29; DH; NA 2, 5; GE 2. Dekat dengan semua: LG 16; tidak jauh dari siapa saja yang mencari-Nya: LG 16; menyertai kita: DV 4. Hadir di tengah bangsabangsa: UR 1. Allah Mahakasih: DV 14; GS 2, 24, 38, 45; cinta-Nya mengatasi segala pengertian: LG 6. Ia penuh belaskasihan: LG 16, 56; DV 13, 15; penuh kesabaran: UR 1. Allah Penyelamat: LG 2, 9, 16; GS 41; DV 3. Satu-satunya yang kudus dan menguduskan: PO 5. Gembala: LG 6. Allah Hakim: LG 16; DV 3; GS 16, 17, 39. Satu-satunya yang menyelami hati manusia GS 28. Semua dalam segalanya: SC 48; AG 2. Allah Tritunggal : Allah Tritunggal: LG 49, 50; UR 1, 2, 12. Kesatuan Bapa, Putera dan Roh Kudus: LG 4; Kesatuan tiga pribadi GS 24; Tritunggal yang dalam Kristus menjadi sumber kesucian: LG 47; Bapa, yang melahirkan Putera, yang mengutus Roh Kudus: AG 2. Dogma Tritunggal: UR 4. menyerukan Bapa, Putera dan Roh Kudus: GS 92. Menuju Bapa melalui Putera dalam Roh Kudus: LG 4; UR 15. persekutuan dengan tritunggal: UR 15. Persatuan dengan Bapa melalui Putera dalam Roh: OT 8; PO 14. Persekutuan dengan Bapa, Sabda dan Roh Kudus UR 7. Baptis demi nama Bapa, Putera dan Roh Kudus: LG 17; AG 5; DH 1. Sembah-sujud kepada Bapa, Putera dan Roh Kudus: LG 66; PO 5. Kemuliaan kepada Allah tunggal, Bapa, Putera dan Roh Kudus UR 20. Tritunggal diimani oleh umat kristen bukan katolik: LG 15; GS 92; UR 1, 12, 20. Semua yang menyerukan Allah Tritunggal ikut serta dalam gerakan ekumenisme: UR 1. Harapan akan kesatuan penuh di dasarkan pada Tritunggal: UR 24. Sembah-sujud kepada Tritunggal: LG 51, 67, tidak dikurangi oleh devosi kepada para kudus LG 51. Sembah-sujud itu berlangsung dalam seluruh Liturgi, khusunya Ekaristi: LG 59, SC 6, PO 5, UR 15. Dalam kemuliaan memandang Allah dalam tiga pribadi: LG 49. Kitab sucidibaca dalam terang Roh Kudus, untuk mengenal Bapa, yang bersabda melalui Kristus: UR 21. Para imam harus hidup dalam persatuan dengan tritunggal: PO 14. Para seminaris diajak menghayati persatuan itu: OT 8.

Ada kemiripan antara persatuan Pribadi-Pribadi ilahi dan persatuan putera-puteri Allah dalam kebenaran dan cinta kasih: GS 24. Makin mesra persekutuan umat kristen dengan Tritunggal, makin mesra dan mudah pula kasih persaudaraan : UR 7. Rencana Keselamatan Allah : Allah ialah Tuhan sejarah dan sejarah keselamatan: GS 41; menuntun sejarah kepada keselamatan: Ag 9. Rencana keselamatan-Nya merupakan misteri: LG 2, 3, dan mengangkat manusia kepada persekutuan hidup ilahi: LG 2; DV 2; AG 2, menjadi putera-puteri-Nya: LG 3. Ia menyapa semua orang: LG 16, 39, 40, 41, 42; AG 2; NA 1. Rencananya menyangkut kenyataan-kenyataan duniawi juga: AA 7. Rencana Allah bersumber pada cinta kasih Bapa, yang melahirkan Putera, yang mengutus Roh-Nya : AG 2. Rencana keselamatan diwujudkan atas inisiatif dan kegiatan Bapa yang menciptakan, mengampuni, mengutus Puter-Nya: LG 2, 3, 4; DV 3, 4; SC 6; AG 2; UR 2. Rencana keselamatan diwujudkan melalui perutusan Putera, yang diutus oleh Bapa dan diurapi dengan Roh: LG 3; DV 4; SC 5, 6; CD 1; PO 2, 3; AA 4; AG 3; untuk menghimpun semua orang, LG 13, UR 2, dalam Dia dan dalam Gereja: LG 3, 8; untuk mewahyukan rahasia-rahasia Allah: DV 2, 4; untuk menyamapaikan Warta Gembira: LG 8; untuk menjadi Pengantara Perjanjian yang sempurna: LG 9, 41, 49: DV 2, 16; SC 48; AG 3; UR 20. Ia mencurahkan Roh yang dijanjikan-Nya: DV 4; UR 2. Rencana keselamatan diwujudkan karena karya Roh Kudus, yang ditutus oleh Bapa sebagai Roh Putera: LG 13. Ia dijanjikan dan dianugerahkan oleh Putera: LG 19; DV 4; CD 1; UR 2. Roh menghimpun Gereja, tubuh Kristus: LG 7; AG 4; UR 2. Ia sumber semangat misioner: AG 4, dan menguduskan Gereja: LG 4, 39. Gereja lahir dari cinta Bapa yang kekal, didirikan oleh Kristus Penebus, dan dihimpun dalam Roh Kudus, GS 40. Gereja ialah Umat Allah, Tubuh Kristus, kenisah Roh: LG 17; PO 1. Perutusan Gereja melangsungkan misi Kristus, yang diutus oleh Bapa; diperintahkan oleh Kristus, dijiwai oleh Roh: LG 4; AG 2, 7. para Rasul diutus untuk membabtis demi nama Tritunggal: LG 17; AG 5; DH 1. para imam mengumpulkan keluarga Allah, dan melalui Kristus serta dalam Roh, para imam membimbing mereka kepada Allah Bapa: PO 6. Allah Tritunggal menjadi sumber dan pola kesatuan Gereja: LG 4; GS 24; UR 2, 7. Semakin erat umat kristen bersatu dengan Bapa, Sabda dan Roh, semakin mudah bagi mereka saling mengasihi: UR 7. Harapan akan kesatuan Gereja di dasarkan pada Tritunggal: UR 24. Gereja tetap hidup berkat rahmat Allah: LG 2. Dari pada-Nya Gereja menerima kekuatan yang menyelamatkan : GS 3, perutusan untuk menampakkan misteri Allah: GS 41; mewartakan dan membawa keselamatan: LG 17; AA 2, 6; membina keluarga Allah: GS 40, menyatukan semua orang dalam satu Roh: GS 92. Gereja ialah Kerajaan Allah, yang telah mulai hadir secara misteri: LG 3, Sakaramen keselamatan untuk semua orang: LG 1, 48; AG 5; upaya bagi penebusan semua orang: LG 9. Allah menampakkan diri. Ia mengagumkan dalam karya-Nya: UR 4; menyatakan diri dalam penciptaan: DV 3; GS 36, sejak awal hingga Ibrahim, Musa dan para nabi: DV 3-4, akhirnya melalui Putera-Nya: DV 4. Ia sendiri menyatakan kehendak-Nya: DV 6. Allah bersabda melalui suarahati: GS 14, 16.

Pengetahuan tentang Allah: mungkin melalui kesaksian-Nya tentang Dirinya dalam ciptaan: DV 3, 6; GS 36, melalui manusia citra-Nya: GS 12, 24, 34, 41; AG 7. Allah bersabda kepada kita juga melalui para kudus-Nya: LG 50. pengetahuan tentang Allah melalui akalbudi: DV 6, menjadi lebih mudah dan mantap berkat perwahyuan: DV 6, seperti ternyata dari Perjanjian Lama: DV 15, dan terutama dalam Perjanjian Baru: DV 17. Dalam perantauannya di dunia Gereja memandang Allah dalam cermin Kitab suci dan tradisi, hingga akhirnya bertatap muka dengan-Nya: DV 7. Gereja diutus untuk menampakkan misteri Allah: GS 41. pengetahuan tentang Allah, dambaan manusia yang terdalam: GS 41mungkin juga bagi umat bukan kristen: LG 16; GS 12, 16. Pengetahuan tentang Allah bermuara dalam kebahagiaan memandang Allah dalam kehidupan kekal: LG 49, 51, DV 7. Peranan kesusasteraan, kesenian dan ilmu pengetahuan: GS 62; peranan kaum awam: GS 62.

Suara hati, tempat manusia bertemu seorang diri dengan Allah dan mendengarkan suaraNya: GS 16. Allah menunggunya di batinnya dan menyelami hatinya: GS 14. Penolakan manusia terhadap Allah, khususnya pada zaman sekarang: GS 7. Manusia menukarkan kebenaran Allah dengan dusta, lebih mengabdi cipataan dari pada Pencipta: LG 16. Manusia berdosa dengan menolak untuk mengakui Allah sebagai asalnya: GS 13. Kerajaan Allah: Kristus mewartakan kedatangan Kerajaan Allah: LG 5, dengan menyembuhkan orang-orang sakit: AG 12. Dalam Dirinya mulailah Kerajaan itu: DV 17. Gereja ialah Kerajaan Allah yang sudah hadir sebagai misteri: LG 3. Apakah membantu dunia atau diperkaya olehnya, Gereja hanya mempunyai satu tujuan: supaya datanglah Kerajaan Allah: GS 45. – Hidup religius secara khas memperlihatkan, bagamana Kerajaan Allah lebih jujur dari hal-lkhwal serta kebutuhan-kebutuhan duniawi betapa pun besarnya: LG 44. Selibat demi Kerajaan Allah: LG 42, 44. Tarekat-tarekat hidup aktif harud bertanya diri: masih mampukah mereka memperluas kegiatan mereka demi Kerajaan Allah di antara kaum tak beragama: AG 40. Semua orang beriman, AG 1, semua orang kristen, AA 3, kaum awam, harus mencurahkan tenaga mereka demi Kerajaan Allah: AA 4.

II. YESUS KRISTUS

Teks-teks Kristologi yang penting: LG 3, 7; DV 4, 17; SC 5-7, 151-154; GS 10, 22, 32, 38, 45; AG 3; UR 2. Hubungan Kristus dengan Allah Bapa: Sabda , Putera bapa: AG 2. Dengan perantaraanNya Allah menciptakan segalanya: DV 3; GS 38; AG 3. Ia diutus oleh Bapa ke dunia: LG 3, 4, 8, 13, 17, 18, 20, 28, 46, 52; Sc 5, 6; DV 4; CD 1; PO 2, 8, 12; AA 4; AG 3, 5, 7, 13; UR 2. – Kristus ditakdiskan oleh Allag Bapa: LG 28; PO 2, 12; AG 3. – Diberikan oleh Bapa kepada dunia: PO 22. – Taat kepada kehendak Bapa: LG 3, 36, 44, 46; PO 14; PC 14; AG 25. – Kristus mewahyukan Bpa serta rencana keselamatan-Nya: DV 2, 4, 17; GS 22, 58; DH 11.

Kristus dan Kerajaan Allah Bapa: LG 5, 10, 35, 36; DV 17; SC 6; GS 39; PO 2. Kristus berdoa kepada Bapa untuk kesatuan: UR 2. – Ia dibangkitkan dan dimuliakan oleh Bapa: LG 5; GS 22, 45. Ia duduk di kanan Bapa: LG 6, 21, 48; SC 8. Dalam Kristus Bapa mengerjakan keselamatan dan mempersatukan segenap ciptaan: LG 3, 4, 13, 17, 66; GS 22; AA 5, 7; AG 3. Dalam Kristus manusia menuju Bapa dalam Roh: LG 4; DV 2; PO 14. Hubungan Kristus dengan Roh Kudus: Roh Kudus berasal dari Bapa melalui putera: AG 2. Kristus di kandung dari Roh Kudus: LG 52, 65; AG 4. Ia diurapi oleh Roh Kudus: AG 3; SC 5; PO 2; dalam pelayanan-Nya didorong oleh Roh, AG 4. Kristus dan perutusan Roh Kudus: LG 4, 7, 19, 21, 24, 39, 40, 48; DV 4, 20; GS 10; CD 1; AG 4; UR 2. Kristus berkarya atas kekuatan Roh dalam diri orang-orang: GS 38. Kristus dan kesatuan-Nya dengan Bapa dan Roh Kudus: Kesatuan Bapa, Putera dan Roh menjadi dasar Gereja: LG 4; UR 2. Kristus satu-satunya yang Kudus bersama Bapa dan Roh Kudus: LG 39. Tritunggal sumber kekudusan dalam Kristus dan melalui Dia: LG 47. Gereja bersujud kepada Allah melalui Kristus dalam Roh-Nya: LG 51. Manusia menuju pada Bapa melalui Kristus dalam Roh Kudus: LG 4; DV 2; PO 14.

Hubungan Kristus dengan Gereja: Kristus mendirikan Gereja: Ia mendirikan dan mengutus Gereja ke dunia untuk melaluinya menunaikan misi penyelamatan-Nya: LG 5, 48; AG 5; UR 2. – Ia menumbuhkan Gereja melalui pewartaan Kerajaan dan pelayanan-Nya: LG 5; dngan wafat di salib: LG 3; SC 5; dengan mengutus Roh Kudus sesudah kebangkitan-Nya: LG 5, 48; PO 46; AG 4; UR 2; dengan memilih dan mengutus para Rasul: LG 5, 17, 19, 21; CD 1; AG 5; UR 2. – Melalui karya penebusan-Nya kristus menjadikan Gereja Mempelai dan Tubuh-Nya: LG 7, 9, 39, 48; Membentuk umat Allah yang baru: LG 9; PO 12; menumbuhkan umat manusia yang baru: PO 16. – Kristus telah mengadakan dalam Gereja pelbagai pelayanan: LG 18; dengan memadukan pelayanan rasuli dengan perutusan Roh-Nya: AG 4; Ia memilih keduabelas Rasul: LG 19; AG 5; UR 2; dan melalui mereka para Uskup: LG 20, 23, 24, 28; AA 2; para imam: PO 2, 11. – Pada perjamuan terakhir Ia mengadakan Ekaristi: SC 47. – Ia memberinya kurnia tak dapat sesat: LG 23. Kristus mengutus Gereja ke dunia: seperti Dia sendiri diutus, untuk mewartakan Injil keselamatan kepada semua bangsa: LG 5, 9, 17; SC 6; CD 1, 2; PO 2, 4; DH 1. – Ia menghendaki kesatuan Gereja yang nampak: PO 8; UR 2. Kristus prinsip kehidupan, kesatuan dan kegiatan Gereja: terutama LG 6-7. – Kristus Kepala Gereja, yang menyatukan dan menghidupakan para amggota: LG 7, 30, 33, 52; SC 7; sumber segala rahmat: LG 50. Ia kepala umat Mesianis: LG 9, 13; Batu Penjuru: LG 6, 19; AG 9; UR 2, 18. Ia satu-satunya pintu, Gembala yang mebimbing dan menghidupkan, pokok anggur: LG 7. Kristus menciptakan dan melestarikan Gereja-Nya sebagai suatu keseluruhan yang nampak: LG 8. – Ia menjadi sumber dan asal mula semua kerasulan: AA 4; tiada sesuatu pun tanpa Dia: SC 86. Ia mengikutsertakan umat Allah dalam fungsi imamat-Nya: LG 10, 31, 34; PO 2; AG 2, 10; dalam fungsi kenabian-Nya: LG 12, 31; AA 2, 10; dalam fungsi rajawi-Nya: LG 36; AA 10. Kristus hadir dalam Gereja-Nya: LG 14, dalam persekutuan para Gembala: LG 21; dalam jemaat Ekaristis: LG 26; dalam Liturgi: SC 7; AG 9; dalam misteri penyelamatan-Nya: SC 102; dalam Ekaristi: PO 5. Ia hadir bagi mempelai kristen: GS 48.

Kristus Guru dan pola kehidupan bagi Gereja: dalam kekudusan-Nya: LG 39, 40, 42; dalam kemiskinan, kerendahan hati dan penderitaan-Nya: LG 8, 41, 42, 46; PO 17; PC 1; AG 3; AA 4; UR 4; dalam kemurnian-Nya: LG 46; PC 1; dalam ketaatan-Nya: LG 3, 37, 42, 46; PC 1, 14; PO 15; dalam keadaan-Nya sebagai Hamba: LG 5, 8, 27, 32, 42; GS 3; OT 4; PC 14; AG 3; UR 7, 12, DH 11. Kristus ialah Pembina iman: LG 8; AG 3, 11, 24; DH 11. Teladan para Gembala: LG 27; PO 3; dalam cinta kasih-Nya: LG 9, 42; AA 8. Kristus Penyelamat dan Terang dunia melalui Gereja-Nya: Ia mengerjakan keselamatan dalam Gereja: LG 54; melalui Gereja Ia menumbukan kebenaran dan rahmat bagi semua orang: LG 8; melaksanakan kehendak Bapa dalam gereja: PO 14; memancarkan terang-Nya dalam Gereja: LG 1; Gereja menajdi upaya karya penebusan-Nya: AG 5; LG 9. Kristus Mempelai Gereja: LG 6, 7, 9, 11, 41, 44; SC 7, 48, 84, 85, 102; GS 48; PO 16. Kristus dan Maria: terutama LG 52-59. – Putera maria: LG 63; SC 103; GS 22; PO 18; AA 4; DH 11. Hubungan Kristus, Sabda yang menjelama, dengan umat manusia dan dunia: Kristus manusia: Penjelmaan Sabda: GS 38. Manusia sempurna, hidup sebagai manusia: GS 22. Kristus mengenakan kodrat manusiawi seutuhnya, tanpa dosa: AG 3. – Penjelmaan Sabda, misteri keselamatan: LG 7; kodrat kemanusiaan-Nya, sarana hidup keselamatan: LG 8; SC 5; keselamatan dan penyatuan segalanya dalam Kristus, tujuan penjelmaan-Nya: GS 2, 45, 57; CD 1; UR 2; damai dan persaudaraan antar manusia: AG 3; partisipasi manusia dalam Kodrat ilahi: AG 3; manusia diangkat menjadi putera Allah: LG 52; GS 22. Kristus dan misteri manusia: Penyelamat manusia: LG 7. Kristus menjadikan manusia mampu menjawab panggilannya: GS 10; mengungkapakan manusia kepada dirinya: GS 22. Dengan menderita Ia telah menebus, mendamaikan, membebaskan setiap orang: GS 22. Kristus dan misteri penderitaan serta wafat-Nya: GS 18, 22. Kristus solider dengan masyarakat manusia: terutema GS 32. – Ia diambil dari antara manusia: LG 10, 27; OP 3; sungguh salah-seorang manusia: GS 22. – Dalam penjelmaanNya Ia telah menyambut dalam Dirinya semua orang, dunia dan sejarahnya GS 38; Ia menyatukan Diri dengan segenap umat manusia dalam solidaritas adikodrati, yang menghimpunnya menjadi satu keluarga: AA 8, meyatukan diri dengan setiap orang: GS 22. – Ia terikat pada kondisi sosial-budaya pada zaman-Nya di masyarakat, bekerja seperti sesama-Nya: GS 32. Kristus dan nilai-nilai masyarakat di dunia: Kristus dan persaudaraan manusiawi: GS 32, 98; AG 3, 8; AA 4; - dan perdamaian: LG 9; GS 78; AG 3, 8; - dan penyembuhan kegiatan manusia: GS 37; - dan nilai-nilai perkawinan serta hidup berkeluarga: LG 11; GS 48, 49; AA 11; - manusia untuk merombak dunia: GS 38; - dan kerja manusia: GS 32, 67; - dan hidup kaum awam di masyarakat: AG 15, 21; - dan pemerintah: DH 11; - dan kebebasan beragama: DH 9,11; - universalisme Kristus AG 8. – Kristus dan kaum miskin, pewartaan Injil kepada mereka: LG 8; PO 17; AG 3, 5. Ia hadir dalam diri orang miskin: GS 88; PO 6; AA 8. Kristus Penyelamat dan Pemersatu umat manusia dan dunia: terutama GS 45; juga LG 1, 3, 7, 9, 13, 17, 32, 48; DV 15; GS 32, 45, 57; AG 8; UR 2. Kristus dalam misteri-misteri keselamatan hidup-Nya di dunia dan dalam kemuliaan-Nya: kesaksian Kitab suci Perjanjian Baru tentang Kristus dan riwayat hidup-Nya: DV 18-20.

Dalam misteri-misteri hidup-Nya Kristus melaksanakan perwahyuan: DV 4. Misterimisteri hidup kristus dipaparkan dalam tahun Liturgi: SC 102, 106. – Kristus di nubuatkan dalam perjanjian Lama: LG 55; DV 15. Ia muncul dari Isarel menurut daging: LG 16. Kristus dalam hidup-Nya tersembunyi: dikandung, dilahirkan, hidup sebagai kanakkanak:LG 52, 56, 57; di kandung dari Roh Kudus dan dilahirkan oleh S. Perawan Maria: LG 65; AG 45; bekerja di Nazareth: GS 32, 67. Kristus dalam hidup-Nya di muka umum: ditakdiskan oleh Roh Kudus menjadi Duta Warta Gembira kepada kaum miskin: SC 5; PO 2, 17; AG 3. Pada awal palayanan-Nya Ia memilih duabelas murid: AG 5. Kristus menjelajahi desa-desa dan kota-kota sambil menyembuhkan orang-orang sakit: AG 12. Mikzizat-mukzizat-Nya menunjukkan kedatangan Kerajaan Allah: LG 5; DH 11. Perjamuan Yesus, di Kana: LG 58, GS 32; di rumah Zakeus dan para pendosa: GS 32. Kondisi hidup-Nya selama pelayanan-Nya: LG 8. – Doa Kristus, sebelum mengangkat Dua belas Rasul: LG 19; untuk kesatuan: GS 24, 32; UR 2. – Kristus dalam hidup-Nya di muka umum menjadi teladan para religius: LG 46. Kristus dalam misteri paska-Nya: Perjamuan terakhir: SC 47. Korban salib, saat Kristus Pasaka dikurbankan: LG 3. Perjanjian Baru dalam Darah-Nya: LG 9. Pengososngan Diri Kristus: LG 42. Kristus di salib dan Maria Bunda-Nya: LG 58. Kristus yang disalibkan menjadi teladan mereka, yang memperjuangkan keadilan dan perdamaian: GS 38. Dengan seukarela Ia menyerahkan Diri untuk menderita demi keselamatan umat manusia: NA 4. Gereja lahir dari Kristus yang disalibkan: LG 3; SC 5. Kristus menebus Gereja dengan darah-Nya: LG 9; Ia menyerahkan Diri untuk menguduskannya: LG 39. Wafat Kristus dan cinta kasih_nya: LG 42; GS 32, dan cinta kasih Allah: NA 4. Kristus ditinggikan dari bumi, dan menarik segalanya kepada Dirinya: LG 3, 48; DV 17; DH 11. Ia wafat dan dibangkitkan untuk semua orang: GS 10; Ia mewahyukan melalui wafat dan kebangkitan-Nya: DV 17; SC 5; AG 5. Kristus Penebus, Pembebas dan Pendamai melalui wafat dan kebangkitan-Nya: LG 7; SC 6; GS 2, 18, 22. Ia mengalahkan dosa dan maut: LG 7, 59; pangeran Damai dan Pemberi Roh cinta kasih: GS 78. Kristus ditetapkan sebagai Tuhan dalam kebangkitan-Nya: GS 38; tampil sebagai Tuhan, Kristus dan Imam: LG 5; Imam Agung Po 5; Hakim atas mereka yang hidup dan yang mati: GS 45. – kristus yang telah bangkit mengutus Roh Kudus, kekuatan Tuhan yang bangkit, kekuatan gereja: LG 8. Persatuan umat kristen dengan Kristus dalam misteri wafat dan kebangkitan-Nya: LG 7; melalui Babtis dan Ekaristi: LG 7; Ag 14; Po 5; pengurapan orang sakit: LG 11. Kristus dalam misteri Paska-Nya menjadi teladan bagi para imam: PO 12, 15; usaha memperdalam pengertian tentang misteri Paska Kristus oleh umat beriman menjadi tugas para Uskup: CD 15. Kedatangan Kristus pada akhir zaman: LG 6, 9, 48, 49, 51; DV 4; SC 8; GS 39, 45; PO 2; Ag 9; kebangkitan dalam Kristus: GS 39; perkawinan Kristus dengan Gereja: PO 16; LG 6.

Kerajaan Kristus: Perjanjian Lama dimaksudkan untuk menyiapkan kedatangan kristus dan Kerajaan Mesias-Nya: DV 15. Kerajaan Kristus ialah kerajaan kebenaran, kehidupan, kekudusan, rahmat, keadilan, cinta kasih dan damai: LG 36; GS 39; dalam Kerajaan itu alam tercipta akan dibebaskan dari perbudakan kebinasaan, untuk mengenal kebebasan mulia putera-puteri Allah: LG 36. Kemajuan duniawi harus dibedakan dari bertumbuhnya Kerajaan Kristus, tetapi cukup penting juga bagi kerjaan Allah: GS 39. Di mana-mana umat Allah wajib menyiarkan melalui kaum awam: LG 36; mereka semua harus

bekerja sama demi perkembangan Kerajaan itu: LG 35. para religius menunaikan tugas sangat penting untuk mengakarkan Kerajaan Kristus dalam hati sesama: LG 4; AG 15.

III. ROH KUDUS Asal: Roh Kudus berasal dari Bapa melalui Putera: AG 2.

Peranan Roh Kudus dalam Rencana Keselamatan: Roh Kudus dan Bapa: dijanjikan oleh Bapa: LG 5; membuka kemungkinan menuju Bapa: LG 4; menyebabkan manusia berseru “ Abba, Bapa!” SC 6; GS 22. Roh Kudus dan Putera: Kristus megurniakan, mengutus, mencurahkan Roh: LG 5, 7, 21, 39, 40; DV 4, 17; AG 4; UR 2. Roh Kudus berkarya sebelum Kristus dimuliakan: DV 17; menyertai Kristus: AG 3. Kristus diurapi oleh Roh: Sc 5. Roh memberi pengertian penuh tentang mister-misteri kristus: PO 18; Ia memanggil semua orang kepada Kristus: AG 15; Ia menyalurkan kekuatan keselamatan yang diterima dari kristus: GS 3. Selanjutnya Kristus berkarya dalam hati manusia dengan kekuatan Roh-Nya: GS 38. Roh Kudus dan manusia: Roh Kudus mengantar manusia memasuki kepenuhan kebenaran: DV 20; membuatnya menikmati misteri kehendak ilahi: GS 15, dengan menyingkapkan misteri itu: DV 17. – Oleh beberapa bapa Gereja kegiatan Roh Kudus diibaratkan fungsi jiwa sebagai prinsip kehidupan dalam tubuh manusia: LG 7. Roh Kudus mecurahkan cinta kasih dalam hati manusia: LG 42, begitu pula buah-buah rahmat: LG 39. Demikianlah Ia menjadi prinsip kelahira baru: LG 7; AG 7; Ia mengubah manusia menjadi ciptaan baru: GS 37; melahirkannya untuk hidup baru: AG 15. Roh Kudus dan Perwahyuan: Ia mengilhami Kitab suci: DV 11, 18, 20, 21; Ia diutus oleh kristus untuk melengkapi perwahyuan: DV 4, untuk menyingkapkan misteri keselamatan: DV 17; Ia menyebabkan suara Injil bergema: DV 8. Roh Kuduslah terang untuk memahami Kitab suci: DV 12, 23, dan mendalami perwahyuan, dengan menyempurnakan iman: DV 5. Ia menyerahkan magisterium dalam membaca Kitab suci: DV 10. KepadaNya berserulah umat bukan katolik untuk mencari Allah dalam membaca Kitab suci, sebagai Dia yang menyapa mereka dengan perantaraan Kristus: UR 21. Roh Kudus dan Gereja: setiap orang memiliki Roh Kudus, sejauh ia mengasihi Gereja (S. Agustinus): OT 9. – Gereja ditampilkan berkat pencurahan Roh Kudus: LG 22. Gereja ialah kenisah Roh: PO 1; AG 7; kediaman Allah dalam Roh: LG 6; SC 2; PO 22. Sebagai sekelompok umat Gereja melayani Roh Kudus: LG 8. Roh dan Mempelai: LG 4. Kegiatan Roh Kudus dalam Gereja: Roh Kusus mengandung putera-puteri yang dilahirkan oleh Gereja: LG 64. Ia menghidupkan Tubuh mistik: LG 7; AG 15; memenuhi Gereja: LG 7, 39. Kurnia-kurnia-Nya terutama menanggapi kebutuhan-kebutuhan Gereja: LG 12. Ia mengubah Gereja menjadi persekutuan persaudaraan: GS 32; LG 4; UR 2; Ia mendorong Gereja untuk berkembang: Ag 4; untuk membaharui diri: LG; GS 21; untuk menguduskan diri: LG 4; untuk mengikuti perkembangan zaman: LG 21; untuk meremajakan diri: LG 4; untuk belajar menggunakan bahasa yang aktual: LG 25. Dengan mengajaknya mendalami Kitab suci: DV 23, untuk mewartakan Injil: LG 17. roh Kudus membantu Gereja untuk

tetap setia terhadap Mempelainya, terhadap perutusannya: GS 3, 43. Ia membimbing Gereja dalam ziarahnya menuju Kerajaan Bapa: GS 1. Roh Kudus dan Gereja sebagai lembaga: Roh Kudus melestarikan kelembagaan yang diadakan oleh Kristus: LG 27; mengukuhkan dan menghidupkannya: LG 22. Ia membantu Magisterium demi pengudusan umat Allah: LG 12, 14. – para Rasul dipenuhi oleh Roh: SC 6, untuk menjadi guru iman yang sejati dan otentik: CD 2. Roh Kudus mengajar mereka: DV 7, dengan mengurniakan pengertian mendalam tentang misteri Kristus: DV 19, 20; dan mendorong mereka untuk memilih pembantu-pembantu: PO 11. – Kurnia “infallibilitas” (tidak dapat sesat) paus bersumber pada Roh: LG 25. – Roh Kudus secara khas dicurahkan kepada para Uskup: LG 21. Berkat Roh mereka menjadi guru iman yang sejati dan otentik, iman dan gembala: CD 2. – Magisterium di dampingi oleh Roh: DV 8. – para imam dipanggil oleh Roh untuk karya ilahi: PO 15; mereka bersedia menunaikan perutusan yang mereka sanggupi dalam Roh: PO 18, terikat oleh Roh: PO 15, ditakdiskan karena pengurapan Roh: PO 12; seperti para Uskup mereka menerima kurnia Roh: PO 7, meterai-Nya: OT 2. – Kepada kaum awam Kristus menyalurkan kehidupan berkat karya Roh: LG 34; mereka menerima pengurapan Roh: LG 34; mereka wajib menghayati semua kegiatan mereka dalam Roh Allah: LG 34. Roh Kudus mendorong mereka untuk mengasihi Allah sebagai Bapa, dan dalam Dia mencintai semua orang: AA 29. Roh Kuduslah yang makin menyadarkan mereka akan tanggung jawab mereka, dan menggerakkan mereka untuk dimana-mana mengabdi Kristus dan Gereja, AA 1. Para mempelai kristen dirasuki oleh Roh Kristus: GS 48. – Roh Kuduslah sumber hidup religius: PC 1; Ialah yang memungkinkan para religius untuk hidup menurut nasehat Injili: LG 39, seperti misalnya ketaatan: PC 14, dan kehidupan bersama dalam cinta kasih: PC 15; Roh Kudus menumbuhkan institut-institut sekular: AG 40. – Didorong oleh karya Roh, para katekumen memohon disaturagakan dalam gereja: LG 14. Roh Kudus dan misi Gereja: Roh Kudus membangkitkan panggilan dan semangat misioner: PO 18; AG 4, 22, 29, pada perorangan maupun lembaga-lembaga misioner: AG 23. Roh mengurniakan kekuatan untuk menjawab panggilan, AG 24, mendorong umat kristen untuk memancarkan terang kehidupan: DH 14; mendahului kegiatan merasul; AG 4. Ia memenuhi bumi: PO 22, membaharuinya, dan hadir pada perkembangan itu: GS 41, 26. Ia membangkitkan dalam diri manusia masalah keagamaan: GS 41, memberi kebebasan kemuliaan putera-puteri Allah: DH 15, mengantar manusia menuju Allah: DV2; membuka kemungkinan bagi semua orang untuk ikut menghayati misteri Paska: GS 22, mengurniakan kepenuhan penghiburan-Nya: OE 30. Roh Kudus dan Sakramen-Sakramen: Ia bertindak melalui sakramen-Sakramen dan pelayanan: LG 50; AA 3. Melalui itu semua Ia menguduskan umat Allah: LG 12; AA 3. – Kita dibabtis dalam Roh: LG 7, 9, 10. – Melalui Krisma Roh menyempurnakan ikatan dengan Gereja, dan memberi kekuatan khas: LG 11; AA 3; AG 11. – Umat berkumpul untuk membaca Kitab suci, merayakan Ekaristi, dan mengucap syukur kepada Allah, dalam Kristus dan atas kekuatan Roh Kudus: SC 6. – Imamat melambangkan pencurahan Roh yang istimewa: LG 21. Roh Kudus dan kesatuan Gereja: Ia prinsip kesatuan: LG 7. Dalam satu Roh Gereja menghimpun semua orang: GS 92. Roh Kuduslah yang menyatukan Gereja: GS 40; AG 4, 15; UR 2. ia membangkitakan keinginan dan prakarsa-prakarsa yang mengarah kepada persatuan semua orang: LG 15; UR 4. Kurnia-kurnia-Nya terdapat juga diluar batas-batas kelihatan Gereja katolik: UR 3. Ia diserukan kepada pembacaan Kitab suci: UR 21. Ia menggunakan Gereja-gereja yang terpisah sebagai upaya keselamatan: UR 3, dan bagi umat katolik sebagai upaya uantuk membangunnya: UR 4. Roh Kudus hadir juga dalam hati umat bukan kristen: AG 13.

Kurnia-kurnia Roh: Roh Kudus sebagai kurnia: LG 12, 39, 59; GS 15. Jaminan Roh: LG 48; GS 22. Buah-buah Roh: LG 12, 40. Kurnia-kurnia-Nya serba kaya dan bermacam-ragam: LG 4, 7, 13, 39; GS 38; AA 3; AG 4, 23. Kurnia-kurnia itu dilimpahkan kepada semua anggota Gereja: LG 14. para Rasul menerima rahmat lebih luhur: LG 7, 13, yakni kurniakurnia kepemimpinan dan karismatis untuk membimbing Gereja: LG 4; AG 4. kepada kaum awam diberikan kebijaksanaan: GS 35, kepada para imam Roh penasehat: PO 7. Semua kurnia itu menyempurnakan iman: DV 5. Keutamaan-keutamaan: buah-buah Roh: Iman: DV 5; GS 25; AA 3; AG 13, 15. Harapan : GS 93; AA 3. Cinta kasih: LG 7,40; GS 37; AA 3, 4, 29; AG 5; UR 24. Pengurapan Roh Kudus: atas Diri Kristus: SC 5; PO 2; AG 3; atas semua orang beriman untuk menerima imamat: LG 10, 12; atas kaum awam: LG 34; atas para imam: PO 2, 12; atas para Rasul: CD 1, atas para Uskup: CD 2.

Roh Kudus dan Liturgi: Dalam Liturgi umat menerima kekuatan Roh melalui lambanglambang sakramental: LG 50. Liturgi membangun kediaman Allah dalam Roh: SC 2. Pembaharuan liturgis merupakan rahmat Roh Kudus: SC 43.

IV. GEREJA KRISTUS

I. GEREJA – KENYATAAN ROHANI Misteri Gereja: teks-teks utama: LG 1-8; AG 1-6; UR 2-4; referensi-referensi selain itu: LG 44, 63; OT 16; UR 20; NA 4. Gereja merupakan manifestasi dan aktualisasi misteri cinta kasih Allah terhadap manusia: GS 45. Gereja dan Tritunggal: teks-teks utama: LG 2-5, 17; GS 40; AG 2-5. Gereja dan Allah Bapa: Gereja dikehendaki oleh Bapa sebagai pelaksanaan rencana-Nya. Ia muncul sebagai tanggapan terhadap panggilan Allah di sepanjang sejarah: LG 2, 3, 9; GS 32; AG 2; UR 2-3. Gereja lahir dari cinta kasih Bapa: GS 40; hidup berkat kuasa Allah: LG 3; didukung oleh rahmat Allah: LG 9. Gereja berhubungan dengan Bapa melalui Sakramen-Sakramen: LG 11. Gereja ialah himpunan umat disekitar Bapa: LG 2; dipanggil untuk menampakkan misteri Allah: GS 41; misteri kasih Allah terhadap manusia: GS 45, 21. Gereja dan Kristus: lihat: hubungan Kristus dengan Gereja. Gereja dan Roh Kudus: lihat: Roh Kudus dan gereja. Gereja dalam Rencana Keselamatan Allah: LG 2-9, 14, 17, 18; DV 17; GS 3, 11, 40, 43, 45, 92; AG 2-5, 9; UR 1, 6, 18, 24.

Gereja dan perwahyuan: LG 20, 64; DV 7-10, 21, 26; GS 33, 44, 91; PO 2; DH 12.

Definisi-definisi dan lambang-lambang: Gereja: Sakramen keselamatan: LG 1, 9, 48; SC 5, 26; GS 42, 45; AG 1, 5. – Umat Allah, Tubuh Kristus. – Mempelai kristus: LG 4, 6, 7, 9, 11, 39, 41, 44, 46, 64, 65; DV 8, 23; SC 7, 47, 84, 85, 102; GS 43, 48; PO 16, PC 1, 12. – Ibu: LG 6, 14, 15, 41, 42, 63, 64; DV 11, 19, 22; SC 4, 60, 85, 122; GS 43; CD 13; IM 1-2; GE Pend., 3. Lambang-lambang lain: Kawanan: Gereja semesta: LG 6, 9, 15, 22, 45; AG 6; UR 2; gerejaGereja setempat (antara lain): LG 25, 27, 28; SC 41; AG 20; CD seringkali. – Kebun Allah: LG 6. – Kediaman Allah dalam Roh: LG 6; SC 2; PO 22. – Keluarga Allah: LG 6, 28, 50; GS 32, 40, 92; AG 1. – Kenisah Kudus: LG 6; sc 2. kenisah rohani: AG 9. – Perawan: LG 63-64. Tunangan: LG 6. – Yerusalem dari atas: LG 6. – Israel baru: LG 9. – Garam dan Terang dunia: AG 1, 36. Ragi masyarakat: GS 40, 44. Tanda yang diangkat ditengah bangsabangsa: SC 2; GS 43; UR 2. Tiang dan dasar kebenaran: LG 8. – Kepenuhan kristus: LG 7. Gereja dan persekutuan: Gereja sebagai persekutuan: LG 4, 7, 8, 9, 13, 14, 15, 23, 50; DV 1; AG 18, 19, 22, 38; UR 2, 3, 4, 13, 15, 17, 18, 19; OE 4, 30. – Persekutuan hirarkis: LG 8, 21, 25, catatan penjelasan pendahuluan; CD 4, 5; PO 7. – Persekutuan rasuli: LG 24. – persekutuan-persekutuan gerejawi: UR 1, 4, 13. Persekutuan aglikan: UR 13. – Tiada persekutuan penuh antara Gereja-gereja: GS 92; PO 9; UR 3, 4, 14. – Persekutuan persaudaraan: LG 13; DV 10; GS 32; PC 15; AA 3; UR 14.

Gereja yang satu: Kristus mendirikan satu Gereja yang tunggal, dan hidup dalam kesatuan: LG 4, 8, 9, 13, 15, 18, 22-23, 26, 28, 32, 50, 51; CD 6, 11; PO 8; AG 1, 6, 7; UR 1-4, 16, 21-22, 24; oe 2; dh 1. – satu Tubuh: LG 7, 26; PO 2; OR 3. Roh kudus prinsip kesatuan: LG 7; AG 4, 15; UR 2. – Tritunggal, pola dan prinsip kesatuan Gereja: LG 4; UR 2; lihat juga GS 24. Paus, prinsip dan dasar kesatuan: LG 23, UR 2. Uskup, prinsip dan dasar kesatuan pada tingkat Gereja khusus: LG 23. Kesatuan ditandakan oleh Ekaristi: LG 11, 26; SC 47; UR 2. Kesatuan katolik: LG 8, 13; AG 22; OE 25. – Gereja benih dan Sakramen kesatuan: LG 8; GS 42, 92. – kesaksian yang nampak dan bersifat kemasyarakatan: LG 8; UR 1. Kesatuan Gereja di Sorga dan di dunia: LG 49, 50. – Kesatuan perlu dikembangkan: UR 1. Gereja yang kudus: LG 5, 8-9, 26, 32, 39-42, 47-48, 49; sc 4, 41; cd 11. Perlu pembersihan diri: LG 8, 15; GS 43; UR 4, 6. Kesaksian hidup religius: LG 39, 42, 44. Gereja katolik: LG 8, 13, 23, 26; CD 10, 11; AG 1, 4; UR 3-4, 9-10; DH 1. Gereja semesta: LG 2, 4, 13, 19, 22-23, 28; GS 42; CD 9-10, 15; AA 10; AG 5, 8, 20, 22, 26; UR 1. Injil yang diwartakan pada semua orang merupakan kesaksian universal: LG 10, 19, 28;

DV 7; PO 4, 10; AG 1, 5, 6, 9, 13, 38; UR 1; DH 1. Semua orang dipanggil untuk membentuk Gereja: LG 3, 13. Universalitas tidak terwujudkan: LG 9; UR 4. Gereja apostolik: LG 8, 26; CD 11; AG 6; UR 4, 17; DH 1.

Gereja peziarah dan eskatologis: LG 2-9, 28, 44, 48-51, 68; DV 7; SC 2, 8; GS 21, 39, 40, 45; PO 2, 22; AG 5, 9; UR 2, 3, 4; DH 12. Gereja dan Kerajaan Allah: LG 3, 5, 31, 35; GS 1, 45; PC 5; AA 3, 4, 7; UR 4. Kerajaan Allah sudah hadir: LG 3, 5, 9; GS 39; sedang dalam perkembangan: LG 3, 5; GS 39; UR 4; mendambakan kepenuhannya: LG 5. Kerajaan Allah merupakan tujuan gereja: LG 9; GS 1. Kepenuhan itu diterima dari Allah: LG 9. – Gereja dan Kerajaan Kristus: LG 5, 35-36, 44; GS 39; AA 2; AG 1; DH 11. – Kerajaan Sorga dimulai di dunia: LG 3. – Kerajaan Sorgawi: LG 13. temapat kaum awam dalam kedatangan Kerajaan Allah: LG 31, 35; AA 3, 4, 7.

II. GEREJA – KENYATAAN YANG KELIHATAN Gereja: suatu masyarakat: (yang kelihatan) LG 8, 14, 20, 22, 28, 32, 48; SC 2; GS 40, 42, 44; AG 37; UR 3; DH 13; GE 3. Gereja dan para Rasul: Petrus: LG 18-20, 22; catatan penjelasan I; UR 2, 3. – Para Rasul: LG 18-20, 22; catatan penjelasan; DV 7, 17; GS 32; CD 1, 2; PO 2, 10, 11; AG 1, 5, 9, 22, 38; UR 2, 3; DH 12; NA 4.

Para anggota Gereja: Paus: LG 13, 18, 20, 22, 23, 24, 25, catatan penjelasan; CD 2; AG 5, 22, 38; UR 2; OE 3. Para uskup: LG 15, 18, 20-27, 45, catatan penjelasan; DV 7; GS 43; CD 2-3, 6, 13, 36; AG 5, 38; UR 2, 15. Para imam: LG 28; CD 28-32; PO 1-9; OT sering; AG 20. Para diakon: LG 29; AG 16. Kaum awam: LG 30-38; GS 44; CD 10, 16; PO 9; AA khususnya 1-5; AG 21, 41. Para religius: LG 43-47; PC 1. Gereja dan Sakramen-Sakramen: Tempat Liturgi dalam kehidupan Gereja: SC 2-10. – Sakramen-Sakramen: LG 7, 11, 14, 21, 26, 31, 35, 50; SC 2, 6-7, 10; CD 15, 30; PO 2, 5, 13; AA 3; AG 5-7, 9, 14, 39; UR 2-3; OE 2.

Baptis: LG 7, 11, 14, 26, 31; SC 6, 10; PO 5; AA 3; AG 6, 7; UR 3. – Krisma: LG 11; AA 3. – Ekaristi: LG 7, 26, 50; sc 2, 6-7, 10, 41-42; CD 15, 30; PO 5, 13; AA 3; AG 9, 39; UR 2. – Tobat: LG 11; CD 30; PO 2, 5. – Perkawinan: LG 11. – Tahbisan: LG 11, 28; PO 2. – Pengurapan Orang Sakit: LG 11; PO 5.

Gereja dan Maria: Maria, anggota yang luhur dalam Gereja: LG 53, 54. Pola Gereja: LG 53, 63-65; Bunda para anggota Tubuh Kristus: LG 53. – Bakti kepada S. Perawan dalam gereja: LG 53, 66-67. – Maria, tanda harapan yang terjamin dan penghiburan bagi umat Allah dalam ziarahnya: LG 68.

III. GEREJA DALAM DUNIA Perutusan gereja: Gereja diutus: GS 58, oleh Allah: AG 1, oleh Kristus: LG 5, 9, 17,; SC 6; CD 1, 2; PO 2, 4; AG 5, 10; DH 1. Demi keselamatan umat manusia: pewartaan LG 17; SC 9; GE pendahuluan, 3; sumber: LG 16; terwujudnya keselamatan: LG 33; GS 3, 45; AA 6; AG 4; IM 3. Penyampaian keselamatan: LG 8. – partisipasi dalam keselamatan: AA 2; dalam misteri Kristus: AG 5. – Pewartaan tentang keselamatan: AG 5. – Misi penyelamatan: LG 30, 33, 43. Untuk mewartakan Injil kepada segala makhluk: LG 1, 16, 17, 35; GS 32, 58, 92; AA 6; AG 1, 5, 6, 7, 23, 29; OE 3; IM 3; DH 1, 13, 14; NA 2. – Perutusan universal: LG 1; GS 58; CD 36; AA 19; IM 3. Mulainya Kerajaan Allah di segala bangsa: LG5; GS 45; AA 2. Pewartaan Injil dan pengudusan: AA 5, 19, 20. Untuk menyatakan Allah dan manusia di dunia: Perutusan Gereja bersifat keagamaan dan manusiawi: GS 11, 42. – Menampilkan misteri Allah: GS 41; menampilkan dan menyalurkan cinta kasih Allah kepada semua orang: AG 10. Perutusan ilahi: GS 89. Pewartaan kerajaan kristus dan Allah: LG 5. – Menyingkapkan misteri manusia: GS 41. Pelayanan: GS 3. – Kesaksian akan kebenaran: GS 3; DH 14. – Perutusan gereja terlaksana di tengah dunia: PO 17; demi kehidupan dunia: LG 37. Meresapi dan menyempurnakan tata dunia: AA 5. Perutusan Gereja berdamapak meningkatkan peradaban: GS 58. memajukan kesatuan dunia: GS 42; membaharui segala sesuatu dalam kristus: AA 2; GE pendahuluan; menghimpun semua orang dalam satu Roh: GS 92. Semua anggota berperan serta dalam misi Gereja: PO 2. Perutusan apostolis: PO 2, imani, kenabian dan rajawi: AA 2. Penggunaan lain ungkapan: “misi Gereja” : LG 33, 36; GS 76; PO 14; AA 1, 2, 8, 19, 29. Gereja dan manusia: Manusia: poros “Gaudium et Spes”: GS 3. Gereja bermaksud menguraikan misteri manusia dan membantu umat manusia: GS 10. Manusialah yang harus diselamatkan: GS 3. Panggilan manusia dikukuhkan: GS 3, 21. – Kesetiaan Gereja terhadap manusia: GS 21. Amanat Injil selaras dengan lubuk hati manusia: GS 21, 41. – Gereja memperlihatkan makna hidup manusia: GS 41. Gereja melambangkan dan menjamin keunggulan pribadi manusia: GS 76. Keselamatan manusia: GS 41; AG 8; mengabdi manusia menurut teladan Kristus: GS 3; mengasihi manusia: AA 8; mengabdi manusia menurut teladan Kristus: GS 3; mengasihi manusia: AA 8; AG 12; mengembangkan umat manusia: GE 3; penuh perhatian terhadap keutuhan hidup

manusia: GE pendahuluan. Peranan Gereja dalam pendidikan manusia: GE. Menghormati kebebasan beragama: DH. Tuntutan iman dan kejernihan hidup menghadapi kaum ateis: GS 21.

Gereja dan masyarakat: Solidaritas Gereja dengan masyarakat: Gereja menempuh perjalanan bersama umat manusia: GS 1, 40. Dialog antara Gereja dan masyarakat: GS 40; AG 11. pelayanan timbal-balik: GS 11. Kehadiran dan keterlibatan Gereja dalam masyarakat: AG 11. – Gereja merupakan persekutuan persaudaraan yang baru, perwujudan solidaritas manusiawi: GS 32; AA 8; AG 7. – Terjalinnya “kota duniawi” dan “kota surgawi” merupakan misteri sejarah manusia: GS 40. masyarakat, lahan bagi Gereja: PO 22. Sumbangan Gereja kepada masyarakat: Kesatuan: GS 42. Terang untuk membentuk dan meneguhkan masyarakat: GS 42. Gereja berkarya bagi semua orang, khususnya bagi kaum miskin: LG 8; GS 42; AA 8; AG 12. Iman dan cinta kasih Gereja: GS 42, 76. Posisi Gereja sebagai jembatan antara berbagai masyarakat: GS 42. Dukungan bagi semua lembaga yang baik dan adil: GS 42. Pelaksanaan tugas umat kristen di dunia: GS 43. Sumbangan masyarakat kepada Gereja: kekayaan pelbagai kebudayaan: LG 13; GS 44. Berlangsungnya hidup sosial; perkembangan masyarakat di bidang berkeluarga, kebudayaan, ekonomi, sosial, politik: GS 44. Tentangan sendiri: GS 44. Orientasi dasar Gereja dan masyarakat: Kesatuan dalam Kristus. Kristus, titik akhir sejarah manusia, titik konvergensi dambaab-dambaan sejarah dan peradaban, pusat umat manusia: GS 45. Allah merencanakan untuk menghimpun segala sesuatu dalam Kristus: LG 3, 13, 17,; AA 7; UR 2. – Pendamaian dunia dengan Allah dalam kristus: GS 45, 57. Segenap umat manusia dihimpun di bawah Kristus sebagai Kepala, dalam kesatuan RohNya: LG 13. – Segala-galanya disempurnakan dalam Kristus: LG 48; AG 1, 3. – Allah hendak merangkum seluruh dunia untuk menjadikannya ciptaan baru, serta memberinya kepenuhannya pada hari kiamat: AA 5. – Kesatuan semua orang dalam Kristus: LG 1; AG 1. Gereja mengarahkan seluruh dunia kepada Kristus: AA 2; GE pendahuluan. Gereja dan nilai-nilai manusiawi: Gereja berperanserta untuk memanusiawikan keluarga manusia beserta sejarahnya: GS 40; menerima apa saja yang baik pada umat manusia: LG 13. – Gereja dan solidaritas manusiawi: GS 32; dan persaudaraan semesta: LG 32; GS 3, 32, 92; AG 12, 38; NA 5; dan perdamaian: LG 13; GS 76-90, 92; AG 12; dan nilai-nilai perkawinan serta hidup berkeluarga: LG 11, 35; GS 47-52; AA 11; dan kebudayaan: LG 17, 36; GS 44, 53-62; AG 11, 22; GE 8; dan kegiatan manusia di dunia: LG 36; GS 34-39; dan kerja manusia: LG 36; GS 67-68. Gereja dan Negara: Gereja jangan dicampuradukkan dengan negara: GS 76. Misi Gereja tidak terletak di bidang politik, ekonomi atau sosial: GS 42. Gereja tidak terikat pada sistem politik mana pun juga: GS 42, 76. Gereja tidak mencampuri pemerintahan negara: Ag 12. – Gereja menghargai mereka yang memperjuangkan kesejahteraan umum: GS 75. Gereja dan negara harus melayani panggilan manusia: GS 76. Diperlukan kerja sama yang sehat: GS 76. Sumbangan Gereja kepada negara: GS 76. – Gereja memanfaatkan upayaupaya duniawi sambil mempertahankan keutuhan kesaksian Injili: GS 76. – Kebebasan bertindak bagi Gereja untuk menunaikan misinya: GS 42; DH 13; untuk menunjuk UskupUskup: CD 20; kebebasan bertindak bagi para Uskup: CD 19.

Gereja dan masalah-masalah dunia: Gereja dan kehidupan sosial ekonomi: GS 63-72; AG 12; dan pembangunan: GS 64-66; AA 8; AG 12; dan kemiskinan: LG 8; GS 88; AA 8; AG 12; dan perdamaian: LG 13; GS 76-90; AG 12; dan perang: GS 79-82; dan pembentukan masyarakat internasional: GS 83-90. Para anggota Gereja dan kehadiran mereka dalam masyarakat: Kaum awam: kehadiran: LG 31, 34-36; AA, di pelbagai artikel, terutama 2, 5, 7, 29. – Para Uskup: tugas mengajar: CD 12, dan dialog dengan semua orang: CD 13; kebebasan terhadap pemerintah: CD 19. – Para imam: tempat mereka dalam masyarakat, sikap pastoral: PO 3, 17. – Para religius: informasi tentang situasi masyarakat: PC 2, 18. – Pembinaan calon imam, mengenal masyarakat: OT 16, 19; menanggapi tuntutan perkembangan masyarakat modern: OT 22. Gereja dan daerah-daerah misi: sifat misioner Gereja: LG 17; AG di banyak artikel, khususnya, 1-2, 5-9. Perhatian misioner hirarki: LG 23; CD 6; perspektif misioner bagi para seminaris: OT 20.

Gereja dan agama-agama bukan kristen: sikap Gereja, menyelidiki usaha bersama: NA 1; penghargaan yang jujur: NA 2; dialog GS 92; NA 2; kerja sama di bidang sosial ekonomi: AG 12; persaudaraan semesta: NA 5. – Gereja bergembira tentang persaudaraan yang telah terjalin: GS 84. – Perhatian para Uskup: CD 16, para imam: PO 9. Penyuluhan bagi para seminaris: OT 16. Gereja dan misteri Israel: LG 9, 16; NA 4; Gereja dan Islam: LG 16; NA 3; Gereja dan Hinduisme: NA 2; Gereja dan Buddhisme: NA 2.

IV. UMAT ALLAH LG 4, 9-18, 23, 28, 30-33, 44-45, 50, 68-69; DV 8, 10, 23; SC 14, 26, 41; GS 3, 11, 32, 45, 88, 92; CD 11, 15, 22-23; PO 1-5, 7, 9, 11-13, 18-20, 22; OT 2; AA 1-3, 18, 29, 30; AG 1, 2, 7, 9, 14-15, 19, 21, 35, 37-38; UR 2-3; DH 12; NA 4; GE 3, 8.

V. TUBUH KRISTUS Gereja, Tubuh Kristus: LG 7, 14, 17, 30, 33, 39, 43, 48, 52; SC 7; GS 32; PO 1-2, 5, 6, 8, 15, 22; PC 1; AA 2; AG 5, 7, 16, 38, 39; UR 2. – Tubuh Sang Sabda yang menjelma: AG 6; Tubuh mistik Kristus: LG 7, 8, 23, 50; SC 7, 99; PO 2; PC 7; AA 2, 3; AG 7, 9, 19;OE 2; GE 2. – Kristus Kepala: LG 7, 30, 33. Bdk. Hubungan Krsitus dengan Gereja. – Roh Kudus prinsip kesatuan Tubuh; bdk. Roh Kudus dan Gereja: LG 4, 7, 9; GS 45; AG 4. Kesatuan: Satu Tubuh: LG 3, 32, 33; GS 78; CD 15; PO 2, 9; AA 18; AG 7; UR 3, 24. – Kesatuan Tubuh mistik: LG 26, 32. – Persekutuan para anggota di dalam Tubuh: LG 7, 50; GS 32; AA 2. Gereja: masyarakat yang tersususn secara hirarkis dan Tubuh mistik, satu kenyataan: LG 8.

Kehidupan: Pembangunan Tubuh: LG 45; PO 22; PC 1; AA 3; UR 2; oleh semua anggota: LG 32; GE 2; CD 16; PO 9; AA 2; AG 36; melalui pelayanan-pelayanan: LG 7, 18, 21, 28; PO 6, 8, 12, 15; AG 38, 39; oleh para religius: LG 43, 45; melalui Sakramen-Sakramen: LG 7, 21; SC 59; AG 36; Baptis: LG 7; AA 2; AG 6, 7, 36; Ekaristi: LG 3, 7, 17, 26; CD 15; PO 5; AG 6. Pengungkapan dalam Liturgi: SC 7. Tempat khusus para kontemplatif: PC 7. – Pembangunan Tubuh melalui sabda Allah: AG 6. Pertumbuhan Tubuh: LG 8: 30; AA 2, 7, 9; UR 29; GE 2; melalui pertukaran timbal-balik dengan tradisi-tradisi para bangsa: AG 19. Para anggota dipanggil untuk menyerupai Kristus Kepala: LG 7. – Semua anggota ikut serta mengemban misi seluruh Tubuh: PO 2; AA 2. Persekutuan persaudaraan baru: GS 32. Kemacam-ragaman para anggota serta fungsi-fungsi: LG 7, 30, 32, 43; GS 32; PO 2; PC 7; AA 2, 3; UR 2.

V. GEREJA-GEREJA KHUSUS DAN SETEMPAT

Dalam Gereja terdapat Gereja-Gereja khusus: LG 13, bagian-bagian Gereja Kristus yang tunggal: CD 6. Gereja katolik terdiri dari umat beriman, yang terhimpun secara organis dalam Roh Kudus berkat iman yang sama, Sakramen-Sakramen yang sama dan kepemimpinan yang sama: OE 2. Gereja Kristus yang satu dan tunggal berada di dalam dan terdiri dari Gereja-Gereja khusus: LG 23. Jemaat-jemaat paroki menghadirkan Gereja semesta: LG 28; AG 20. Gereja Kristus hadir dalam kelompok-kelompok umat beriman setempat, yang bersatu dengan para Gembala mereka, dan disebut Gereja dalam Perjanjian Baru: LG 26. Pelbagai Gereja, yang didirikan oleh para Rasul, disepanjang sejarah bergabung dalam berbagai kelompok yang merupakan kesatuan-kesatuan organis, beserta tata-laksana, tata-liturgi, dan pusaka rohani dan teologis mereka sendiri, tanpa mengurangi kesatuan iman dan kesatuan Gereja semesta: LG 23. Gereja-Gereja khas Timur dan Barat berbeda karena Ritus mereka (Liturgi, tata-laksana gerejawi, pusaka rohani), tetapi semuanya dipercayakan kepada kepemimpinan pastoral Paus: OE 3. Kemacam-ragaman Gereja-Gereja setempat, yang berpadu dalam kesatuan, memperlihatkan katolisitas Gereja yang satu: LG 23. Gereja katolik bermaksud melestarikan tradisi-tradisi setiap Gereja khusus dan Ritus: OE 2. Pembentukan dan perkembangan gereja-Gereja khusus: Tiada satu jemaat kristen pun dapat membangun diri tanpa berakar dalam serta berpusat pada perayaan Ekaristi: PO 6; Gereja-Gereja khusus terhimpun karena Injil dan Ekaristi: CD 11. Gereja khusus, yang wajib menghadirkan Gereja semesta, harus bersifat misioner: AG 20. Jemaat setempat jangan hanya memperhatikan umatnya sendiri, melainkan harus dijiwai semangat misioner, melampaui Gereja setempat untuk merangkul Gereja semesta: PO 6. Prakarsa-prakarsa kerasulan harus melewati batas-batas paroki dan keuskupan: PO 7. Gereja khas wajib melanjutkan kegiatan misioner: AG 6. Aspek universal dan misioner

imamat: PO 10; kesediaan para imam untuk berkarya di daerah-daerah dan dalam kegiatan-kegiatan yang kekurangan imam: CD 10; untuk melampaui batas-batas keuskupan mereka sendiri, dan untuk membantu menanggapi kebutuhan-kebutuhan Gereja seluruhnya: OT 20. Pembagian lebih sesuai para imam dan kegiatan-kegiatan pastoral khusus untuk berbagai lingkup sosial, pada tingkat daerah, negara dan benua: PQ 10. Karya misioner Gereja khusus memerlukan pelayan-pelayan yang cakap: AG 20. Dalam Liturgi: Gereja mengambangkan kekayaan budaya pelbagai bangsa: SC 36, 38. Pimpinan Gereja setempat hendaknya mempertimbangkan, apa yang dari tradisi-tradisi masyarakat dapat ditampung untuk menyemarakkan Liturgi: SC 40, menyiapkan tataupacara khas, yang sesuai dengan kebutuhan setiap daerah, termasuk bahasa: SC 63, menetapkan penggunaan bahasa, bila perlu dengan merundingkannya dengan UskupUskup di diosis-diosis yang berbatasan: SC 36. Pengaturan Liturgi juga termasuk wewenang Konferensi atau kelompok Uskup yang bersangkutan: SC 25. Hendaknya jangan ada perbedaan-perbedaan upacara yang mencolok antara daerah-daerah yang saling berbatasan: SC 23. Melestarikan adat-istiadat dan upacara-upacara dalam peryaan pernikahan: SC 17. Menghargai tradisi musik, khususnya di daerah-daerah misi: SC 119. Kebebasan perihal kesenian zaman sekarang: SC 123. Paus bertugas memelihara kesejahteraan Gereja semesta dan kesejahteraan masing-masing Gereja, mempunyai primat kuasa jabatan atas semua Gereja: CD 3. Diosis merupakan sebagian umat Allah, yang dipercayakan kepada Uskup, untuk digembalakan olehnya dengan bantuan para imamnya. Diosis merupakan Gereja khusus, dan di situ hadir dan berkaryalah Gereja Kristus yang satu, kudus, katolik dan apostolik: CD 11. Untuk melayani diosis-diosis di wilayah atau negara tertentu, sebaikanya dibentuk sejumlah lembaga pelayanan, yang pengurusannya dapat dipercayakan juga kepada Uskup-Uskup tertentu: CD 42. Para Uskup merupakan prinsip dasar kesatuan dalam Gereja khas mereka: LG 23. Mereka, yang masing-masing diserahi reksa Gereja khas, membimbing umatnya di bawah pimpinan Paus: CD 3, 11; LG 45. Para Uskup menjalankan reksa pastoral terhadap Gereja semesta, tergabung dalam satu Dewan, dalam perskutuan dengan Paus dan di bawah bimbingannya: CD 3. Mereka masing-masing mempunyai hubungan timbal-balik dengan Gereja-Gereja khusus dan Gereja semesata: LG 23. Sejak abad-abad pertama Uskup-Uskup telah bergabung untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan menanggapi kebutuhan-kebutuhan umum Gereja secara keseluruhan dan masing-masing Gereja: CD 3, 36. Konferensi Uskup wajib mengkaji masalah-masalah yang berat dan mendesak, tanpa mengabaikan kondisi-kondisi khusus setempat: AG 31. Para Uskup, yang menjadi anggota departemen kuria Romawi, hendaknya menyampaikan secara lengkap kepada Paus alam pandangan, aspirasi-aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan semua Gereja: CD 10. Para Imam – di bawah kewibawaan Uskup- membimbing bagian kawanan Tuhan yang diserahkan kepada mereka, dan menampilkan Gereja semesta dilingkup karya mereka; mereka ikut membangun seluruh Tubuh Kristus: LG 28. Paroki-paroki didirikan untuk mengembangkan Gereja-Gereja khusus: OE 4, dibimbing oleh pastor yang mewakili Uskup, dan secara tertentu menghadirkan Gereja semesta: SC 42. Setiap kali para imam

merayakan Sakramen, mereka dengan berbagai cara terikat secara hirarkis pada Uskup, dan dengan demikian menghadirkannya di jemaat-jemaat: PO 5. Semua religius berkarya demi kesejahteraan Gereja khusus: CD 33; dan menghormati serta mematuhi kewibawaan pastoral uskup atas Gereja khusus: LG 45.

Gereja-Gereja muda: Penanaman Gereja: AG 6, 15-16, 18, 19, 22. Gereja-Gereja pribumi lahir dari sabda Allah, dan harus berkembang di mana-mana: AG 6. Gereja-Gereja khusus yang baru diperkaya oleh tradisi-tradisinya, mendapat tempatnya dalam persekutuan gerejawi: AG 22, dan wajib membawa sumbangannya bagi kesejahteraan seluruh Gereja: AG 6. Persekutuan antara Gereja-Gereja muda dan Gereja seluruhnya: AG 19. Pembentukan: AG 15-18, dan perkembangan Gereja-gereja muda: AG 19. Pewartaan Injil merupakan upaya utama bagi tumbuhnya Gereja: AG 6. Roh Kudus melahirkan manusia untuk hidup baru, dan menyatukan mereka yang percaya akan Kristus menjadi satu umat Allah: AG 15. Gereja mengutus para misionaris samapai Gereja Gereja muda terbentuk penuh: LG 17. Mereka menghimpun bagi Allah umat yang baru: AG 27. Tujuan lembaga karya misioner: supaya jemaat kristen baru berkembang menjadi Gereja setempat: AG 32. – Persekutuan umat baru diperkaya dengan harta budaya bangsa sendiri: AG 15, menampung nilai-nilai budaya setempat: AG 22, mempunyai upayaupayanya sendiri untuk menghayati hidup kristen sepenuhnya: AG 6; berakar mendalam dalam bangsanya, dan menjadi tanda kehadiran allah di dunia: AG 15. Perlu ditumbuhkan struktur-struktur pemikiran untuk menemukan cara mewartakan Injil yang cocok dengan hidup sosial budaya setempat: AG 22. Tradidi musik lokal supaya mendapat temaptnya dalam Liturgi: SC 19. Jemaat kristen dari semula harus diarahkan untuk memnuhi kebutuhannya sendiri: AG 15, menggunakan sumber-sumber dayanya sendiri: AG 6, pada saat dibimbing oleh Gembala dan klerusnya sendiri: AG 32, mempunyai hirarki yang menyatu dengan umatnya: AG 6, demi sedikit membangun diosesan dengan Uskup, imam-imam dan para diakonnya sendiri: AG 16. Dibutuhkan bermacam-macam pelayanan: AG 15-16; ada klerus setempat dan pembinaannya: AG 15-16, 20, 32; pemulihan diakonat: AG 15-16. Tugas dan pendidikan para katekis: AG 1, 17, yang dapat menerima perutusan kanonik: AG 17. – Gereja belum terbentuk sepenuhnya, selama belum ada kaum awam yang bertanggung jawab: AG 21, aksi katolik AG 15. Organisasi dan pengembangan kerasulan awam: AG 15, 21, 41. – Pengembangan hidup religius: PC 19; AG 18, khususnya yang bersifat kontemplatif: AG 18, 40. – Peranan keluarga dan sekolah: AG 15. Dalam Gereja-Gereja muda umat Allah harus mencapai kedewasaan di segala bidang hidup kristen: AG 6, 19. – Semangat dan kerja sama ekumenisme: AG 15. Kegiatan misisoner Gereja-Gereja muda: AG 20. Gereja muda harus serantak memberi kesaksian tentang Kristus, supaya menjadi tanda keselamatan: AG 21. Tanggung jawab Uskup; AG 20, Konferensi Uskup: AG 20. Di perlukan pelayan-pelayan yang cakap dan disiapkan dengan baik: AG 20. Pewartaan Injil harus dilaksanakan oleh klerus setempat bersama para misionaris: AG 20. Semangat kerasulan para religius pria maupun wanita: AG 20. Inisiatif para misionaris: AG 20, yang membaktikan diri bagi Gereja yang mereka dirikan: AG 27, 32. Peranan kaum awam: AG 21, yang oleh pelayan Gereja harus dihormati dan dibina: AG 21, dan yang harus mewujudkan kehidupan baru dilingkungan

sosial budaya mereka: AG 21. Dialog dengan kelompok-kelompok dalam masyarakat, yang pengolahan soal-soal penyesuaian Gereja khusus: AG 20. Gereja-Gereja muda wajib berperan serta dalam misi unuversal Gereja semesta, dan akhirnya misionaris-misionaris juga: AG 20.

VI. PERUTUSAN GEREJA : MEWARTAKAN INJIL I. PERUTUSAN GEREJA Perutusan para rasul: mereka diutus oleh Kristus, seperti Kristus diutus oleh Bapa: LG 17, 18, 19; SC 6; dari Kristus diterima perutusan ilahi: LG 20; PO 10; partisipasi perutusan Kristus: PO 2; diteguhkan pada hari pentekosta: LG 19. Perutusan Gereja: Perutusan Gereja itu bersifat ilahi: GS 89; PO 11. Perutusan Mesianis Kristus: AA 8. Asal perutusan Gereja ialah perutusan Putera dan Roh Kudus menurut rencana Bapa: AG 2-6. Dalam Konsili Gereja menjabarkan perutusannya yang universal: LG 1. Gereja menerima peutusan ilahi yang dipercayakan kepada para Rasul: LG 20, untuk mewartakan Kerajaan Kristus serta misteri Allah, dan untuk menyinari dunia dengan amanat Injil: LG 5; GS 41, 92; Untuk menampakkan dan menyalurkan cinta kasih Allah terhadap semua orang dan segala bangsa: AG 10. perutusan rasuli: LG 65, Injili Po 14, pembawa keselamatan: LG 30, 33; AA 6, terutama melalui pelayanandan SakramenSakramen: AA 6, bersifat universal: AG 6, 10; di bidang rohani, dan bukan politik, ekonomi atau sosial: GS 42; pun tidak terikat pada kebudayaan atau sitem politik mana pun juga: GS 42, 58; mengatasi segala partikularisme suku maupun bangsa: AG 8. Kesatuan misi Gereja: PO 14; AA 2; AG 6. Perutusan Gereja berlangsung di tengah dunia, dan harus menanggapi situasi khas dunia zaman sekarang: LG 33, 36; PO 17; AG 6. Misi Gereja bersifat keagamaan dan manusiawi, dan menyangkut keselamatan rohani maupun jasmani: GS 11, 42, 89; AA 5-6; GE pendahuluan. Penyatuan alam semesta, dan misis untuk membangun dunia yang lebih baik dalam kebenaran dan keadilan: GS 55, 58. Untuk menjalankan misinya Gereja menggunakan sarana-sarana dan upaya-upaya jasmani: LG 8; GS 76. Sekolah katolik dan misi Gereja: GE 8. Gereja-Gereja muda ikut mengemban misi universal Gereja: AG 20.

II. INJIL Hakekat Injil: Pelaksanaan perwahyuan: DV 2, 4, 7; sumber segala kebenaran pembawa keselamatan, dan segala pedoman moral: DV 7; disiapkan oleh Perjanjian Lama: DV 3, 7; SC 5; pewartaan kehidupan, ajaran dan misteri Kristus: DV 7, 18, 20. – Termaktub dalam dokumen-dokumen historis yang disebut “Injil”: DV 19, ditulis atas ilham Roh Kudus: DV 18. – Kekuatan Allah bagi semua orang beriman: DV 17; GS 93; UR 21; DH 11. Injil meminta kepatuhan sukarela AG 13; DH 10, dan tidak dapat dipaksakan: AG 13. Injil dan Roh Kudus: Roh memungkinkan manusia untuk menerima Injil: AG 13, 15, 40, dan mendalaminya: DV 8; menghimpun menjadi satu bangsa mereka yang menerimanya: GS 32; CD 11; PO 2, 4. Roh, yang telah mengilhami penulisannya: DV 7, 11, memantulkan suaranya dalam Gereja: DV 7, 8.

III. PEWARTAAN INJIL Injil dipercayakan pada Gereja: DV 10; Gereja harus menyuburkannya: PO 22, dan meremajakan diri karenanya: LG 4. Pewartaan rasuli Injil mengundang dan menghimpun umat Allah: PO 2, 4. Injil diwartakan oleh para Rasul: LG 19; DV 7, 17; SC 6; GS 76; AG 1, 4, 5; UR 2. – Oleh segenap gereja: di Timur maupun di Barat: OE 3. Secara prisnsipil: LG 20, atas kehendak yang menuntut kesetiaan: GS 76, merupakan misinyalah, mewartakan Injil kepada dunia: LG 17; GS 3, 89, 92; AA 6; AG 1, 4, 6, 7, 20, 35-36; UR 1; IM 3; DH 13, 14; dengan memecahkan soalsoal zaman sekarang dalam terang Injil: GS 3, 4, 43, 46, 63, 91; PO 4; AA 7; dengan menggunakan upaya-upaya yang khas baginya: GS 76; AG 5; DH 14, atau yang selaras dengan semangatnya: CD 13; GS 76; media komunikasi sosial: IM 3; kesenian: GS 62; dengan menimba semangat dari Injil: GS 91; dengan meminta kebebasan yang menjadi haknya: GS 21, 76; DH 13; sambil menghormati kebebasan beragama: DH 10-13, kebebasan pribadipribadi: GS 92, ciri-ciri khas setempat: GS 92; AG 6, 22, tradisi-tradisi khusus setiap bangsa: GS 44; AG 11, 15, 18, 21; dengan memperhatikan pertunbuhan oragnisasi jemaat yang baru: AG 6; dengan menolak kompromi dengan pemerintah: GS 76. Khususnya oleh para Uskup pengganti para Rasul: LG 20, 21, 23, 24; DV 7, 17; GS 32, 43, 76; CD 12; AG 1, 5, 6, 20, 29, 38; UR 2; dengan mengutamakan kaum miskin: CD 13; tanpa mengabaikan mereka yang tidak mengenalnya atau telah meninggalkannya: CD 11. Injil dan Konsili: Konsili bermaksud mewartakan kepada semua makhluk Warta Gembira: LG 1; PO 12; AG 1. Injil dan keselamatan: Untuk diselamatkan, manusia harus menerima dalam iman Injil keselamatan, juga meskipun Allah dapat mengantar kepada iman mereka, yang tanpa bersalah, tidak mengenal Injil: AG 7. Injil dan pelayanan sabda: Mereka yang menjalankan pelayanan Sabda, harus menimba kekuatan dari Injil: DV 25; AG 24; khususnya para imam, yang tugas utamanya ialah mewartakan Injil: LG 28; PO 2, 4, 6, 13; AG 20, 39, dan yang dalam hal ini berhak mendapat bantuan umat beriman: PO 20. Klerus harus membiasakan diri utnuk hidup dari Injil: OT 8, menikmati kebahagiaan yang terdapat padanya: OT 10. Injil dan hidup religius: DV 25; GS 43; PC 2; AG 18, 20, 40. Injil dan kaum awam: mengikuti teladan para kudus: LG 50, kaum awam harus menggali kekuatan dari Injil: DV 25; AA 30, mewartakannya: AA 10; AG 35; DH 14; menghayatinya: GS 21; AA 11; meresapi dengan Injil kegiatan profesional dan sosial mereka: GS 43; CD 12; AA 13; AG 21, 41; merasuki dengannya tata masyarakat: AA 7; AG 15; sambil menyadari betapa pentingnya bagi tugas-tugas tertentu: AA 10, 13, 30, 31; AG 21. Injil dan kondisi manusia: Injil mendung martabat manusia: GS 76; AG 8; DH 11; kebebasannya: GS 38, 41; DH 12; kegiatannya: Gs 38, 41, 43, 76; meneguhkan pengalamannya: Gs 46. Injil dan kesuburan perkawinan: GS 50. Injil dan Ekumenisme: Kepatuhan terhadap Injil yang sama memperlancar hubunganhubungan dengan saudara-saudari yang terpisah: UR 7, 12, 21, 23. Sungguh mendesaklah mengusahakan kesatuan, sebab sandungan perpecahan merugikan pewartaan Injil: GS 92; AG 6; UR 1, seperti juga kelamahan-kelemahan Gereja lainnya: GS 43.

Injil dan umat manusia: Injil meneguhkan persekutuan manusia: GS 43, 32, 63, 76, 89, 91, 92, 93; AG 8, 12; mengembangkan kebudayaan: AG 12; GS 58; AG 9. Masayarakat dapat memperlancar tugas Gereja dalam mewartakan Injil: GS 44.

VI. EKUMENISME DAN DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA

I. EKUMENISME Rahmat ekumenisme pada masa akhir ini: UR 1. Semangat ekumenisme berkembang: UR 19; umat katolik makin intensif melibatkan diri: UR 4. Pembaharuan Gereja menandakan kemajuan ekumenisme: UR 6. Konsili mengundang umat katolik untuk ikut serta dalam usaha-usaha aktual: doa, kata-kata dan kegiatan: UR 4, 24. Salah satu tujuan utama Konsili ialah memulihkan kesatuan: UR 1. Konsili menyajikan bantuan, pengarahan dan upayaupaya untuk ekumenisme: UR 1. Gerakan: Partisipasi orang-orang perorangan dan jemaat-jemaat: UR 1. Prakarsa-prakarsa dan usaha-usaha demi kesatuan: UR 4. Usaha untuk mengatasi perbedaan-perbedaan: UR 3. Ekumenisme belum dimana-mana maju: UR 19. Prinsip-prinsip katolik: Misteri kesatuan Gereja dalam Kristus dan oleh kristus, atas karya Roh Kudus, hidup dari Ekaristi dan Sakramen-Sakramen lainnya, menjamin pewartaan Injil, dilengkapi dengan pelayanan-pelayanan apostolis, dan di dasarkan pada Petrus: UR 2, 3. Kesatuan terdapat dalam Gereja katolik: UR 4. Perpecahan kadang-kadang diakibatkan oleh kesalahan salah satu pihak, tetapi mereka yang lahir dalam jemaat-jemaat yang terpisah tidak dapat dipersalahkan: UR 3. Unsur-unsur dan harta kekayaan Gereja di luar batas-batas Gereja katolik yang kelihatan: UR 3. Makna Gereja-Gereja dan jemaat-jemaat yang terpisah dalam misteri keselamatan: UR 3. Kepenuhan upaya-upaya keselamatan hanya terdapat dalam Gereja katolik. Kegiatan ekumenisme untuk mengatasi hambatan-hambatan, yang menghalangi-halangi persekutuan gerejawi yang sempurna: UR 4. Perlu ditumbuhkan kesadaran tentang apa yang perlu diperbaharui tentang Gereja katolik: UR 4. Kesatuan dalam apa yang sungguh perlu, dan kebebasan mengenai pelbagai bentuk hidup rohani, tatalaksana gerejawi, Liturgi: UR 4. Penghargaan terhadap nilai-nilai kristen bersama, yang dapat menunjang kemajuan umat katolik: UR 4. Pelaksanaan ekumenisme: Kesetiaan dan pembaharuan Gereja: UR 6. Pertobatan hati dan kekudusan hidup: UR 7, merupakan jiwa seluruh gerakan ekumenisme, dan dapat di sebut “ekumenisme rohani”: UR 8. Teladan hidup: OE 24; doa: UR 4, 18; OE 24, bersama: UR 8. Perayaan Sakramen-Sakramen secara bersama (“communicatio in sacris”): upaya yang harus digunakan dengan bijaksana: UR 8; dalam situasi-situasi tertentu dapat dianjurkan, bersama Gereja-Gereja Timur: UR 15; OE 26-29. Sabda: UR 4. Pengertian persaudaraan timbal-balik dan sikap saling menghargai, dicapai melalui studi dan dialog: OT 16; AG 5; UR 4, 9-10, 12; OE 6, 24. Pertemuan campur: UR 4, 9. Pengampunan kesalahan: UR 7. Penjelasan ajaran memakai bahasa yang dapat dimengerti, dan dengan mengindahkan hirarki kebenarankebenaran: UR 11. Studi teologi: OT 16; UR 5, 11; GE 11. Kesetiaan terhadap Tradis-Tradisi di

Timur: OE 24. Kegiatan: UR 4, 13, 24. IkrarSsyahadat Iman bersama dan kesaksian akan harapan: AG 15; UR 12. Bersama-sama memberi kesaksian hidup: AG 36. Kerja sama persaudaraan: UR 4, 18; kerja sama misioner: AG 6, 29; UR 12; disegala bidang: AG 15; khususnya di bidang sosial: AA 27; AG 12; UR 12, untuk mengabdi kepada umat manusia: GS 92; di dunia internasional: GS 88; dalam mengusahakan perdamaian yang sejati: GS 90. Ekumenisme menyangkut seluruh Gereja, baik umat maupun para Gembala: UR 5. Ekumenisme katolik sejati: UR 24; maju serentak bersama usaha saudara-sausari yang terpisah: UR 24. Perjalanan menuju kesatuan melampaui kekuatan manusiawi: UR 24. Sekretariat untuk kesatuan dan kerja sama ekumenis di daerah-daerah misi: AG 29. Sikap para Uskup terhadap saudara-saudari yang terpisah: CD 16. Kewaspadaan para Gembala: UR 4. Keprihatinan para imam: PO 9, dan pembinaan ekumenis mereka: OT 16; UR 10; para misionaris: UR 10; para religius: PC 2; kaum awam: GS 90; AA 27. Peranan fakultas teologi: GE 11; studi teologi: OT 16; UR 5, 10, 11. Dialog ekumeni: GS 92; UR 4, 9, 18. Kesulitan-kesulitannya: UR 19; dalam cinta kasih, kwebenaran, kerendahan hati, sambil memperhatikan hirarki kebenaran-kebenaran: UR 11; di bawah pengawasan para gembala: UR 4; dengan bijaksana dan sabar: UR 4; tanpa menjadi gegabah atau bersemangat tanpa kebijaksanaan: UR 24; tanpa irenisme palsu: UR 1; tanpa sikap tak acuh, tanpa kebingungan, tanpa persaingan: AG 15.

II. DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA Agama-agama bukan kristen: Agama-agama primitif: NA 2; agama-agama besar: AG 10; Hinduisme: NA 2, Buddisme: NA 2; Islam: LG 16; NA 3; agama-agama lain: NA 2. Masyarakat terikat pada tradisi-tradisi keagamaan: AG 10. Mereka yang mengakui Allah, dan yang tradisi-tradisinya menyingkapkan unsu-unsur keagamaan dan manusiawi yang berharga: GS 92. Agama-agama berusaha menanggapi masalah-masalah dasar manusia: NA 2. Umat beriman dalam semua agama senantiasa mendengarkan suara Allah, dan menangkap penampakan-Nya dalam bahasa alam tercipta: GS 36. Rencana Allah untuk menyelamatkan dunia terwujud melalui inisiatif-inisiatif, yang menampilkan bahwa orang-orang mencari Allah dengan berbagai cara; tetapi usaha-usaha itu perlu diluruskan arahnya, dijernihkan, dan dapat menjadi persiapan bagi Injil: AG 3. Benih-benih kebaikan dalam hati orang-orang, dalam upacara-upacara serta peradabanperadaban, dan pengembangannya berkat kegiatan misisoner: LG 16; AG 9. Allah tidak jauh dari mereka yang mencari-Nya: LG 16. Sinar kebenaran, yang menyinari semua orang, terdapat dalam agama-agama bukan kristen: NA 2. Sikap Gereja: lihat terutama NA 1-5. Pada masa umat manusia makin menyatu, Gereja secara lebih cermat mempertimbangkan hubungan-hubungannya dengan agama-agama bukan kristen: NA 1. Gereja tidak menolak apa pun yang benar dan kudus dalam agama-agama itu; menghormati ajaran-ajarannya yang dalam banyak hal berbeda dengan ajaran Gereja sendiri, tetapi sering pula memancarkan sinar kebenaran, yang menyinari setiap orang: NA 2. Umat kristen harus mengakui, melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai rohani, moral dan sosio-budaya umat bergama lain: NA 2; melalui dialog dengan mereka menampung harta-

kekayaan, yang oleh Kristus dibagikan kepada bangsa-bangsa, menjelaskan serta menjernihkannya dalam terang Injil: AG 11; menggali apa yang serba benar dan baik dalam agama-agama itu, dan menolak kesesatan-kesesatan: OT 16. Umat kristen harus mengenal dengan baik tradisi-tradisi keagamaan setempat: AG 11. Dialog: GS 92; AG 11, 16, 34; NA 2. – Kerja sama: AA 27; AG 12; NA 2, untuk membangun dunia dalam perdamaian: GS 92. Saling pengertian dan kerja sama dengan umat Islam: NA 3. Para Uskup harus memperhatikan mereka yang tidak/belum dibabtis: CD 16. Penerbitan Kitab suci untuk mereka yang tidak memeluk agama kristen: DV 25. Persiapan ilmiah para misionaris untuk dialog dengan agama-agama dan kebudayaankebudayaan buka kristen: AG 34. mereka harus berusaha memahami tata kesusilaan, peraturan-peraturan keagamaan, dan pengertian bangsa-bangsa itu tentang Allah, dunia dan manusia: AG 26. Kerja sama antar lembaga penyelidikan untuk makin mengenal agamaagama dan kebudayaan-kebudayaan bukan kristen: AG 34. Para seminaris di daerah-daerah misi hendaknya menggali sebab-musabab terjadinya perbedaan-perbedaan pandangan antara tradisi-tradisi dan agama-agama setempat di satu pihak, dan agam kristen di pihak lainnya; mereka hendaklah menyiapkan diri untuk dialog persaudaraan dengan umat bukan kristen: AG 16. Para seminaris oerlu diajak mengenal agama-agama lain: OT 16.

VIII. GEREJA DI TENGAH MASYARAKAT Allah menempatkan manusia dalam masyarakat: GS 13, 21, 32. Orang-orang perorangan, keluarga-keluarga dan kelompok-kelompok membentuk masyatakat dan negara yang bertujuan kesejahteraan umum: GS 74. Dengan berperanserta dalam kehidupan kelompok-kelompok sosial, manusia mewujudkan rencana Allah: GS 57. Perdamaian merupakan buah-hasil tata moral, yang ditanam dalam masyarakat oleh Penciptanya: GS 78. Sifat paguyuban terwujud dalam karya Kristus, yang memasuki solidaritas manusia dan menciptakan persekutuan persaudaraan baru, yang harus berkembang samapai kepenuhannya: GS 32. Kristus menyinari seluruh masyarakat dengan terang-Nya, yang membawa keselamatan melalui kegiatan para anggota Gereja: LG 36. Melalui perubahan masyarakat menurut asas-asas kristen nilai-nilai kodrati di tampung dan di integrasikan dalam perspektif manusia yang ditebus oleh Kristus, dan merupakan sumbangan bagi kesejahteraan seluruh masyarakat: GE 3. Perkembangan Kerajaan Allah dapat memperbaiki tata masyarakat: GS 39. Pembangunan masyarakat duniawi selalu harus di dasarkan pada Tuhan, dan diarahkan kepada-Nya: LG 47; AG 41. pribadi-pribadi menerima banyak dari masyarakat, juga untuk memenuhi panggilan mereka yang bersifat keagamaan: GS 25. Jangan mengadakan pertentangan buatan antara perbuatan atau kegiatan-kegiatan profesi dan sosial di satu pihak, dan hidup keagamaan di puhak lainnya: GS 43. Ditilak ajaran, yang berlagak mau mebentuk masyarakat tanpa mengindahkan agama: LG 36. Tentang otonomi masyarakat yang sewajarnya: GS 36. Perubahan-perubahan aktual: pandangan menyeluruh: GS 4-9, 54, 57; di bidang sosial dan budaya: GS 54. Kesejahteraan umum: GS 26, 68. Upaya-upaya kultural: GS 61. Di bidang ekonomi: GS 63; struktur-struktur dan lembaga-lembaga: GS 73; AA 19; tata-nilai: PO 22.

Perubahan-perubahan masyarakat, kendati munculnya kendala-kendala, menampilkan kodrat perkawinan dan keluarga: GS 47. Masyarakat majemuk: GS 76; GE 6. Berlipatgandanya hubungan-hubungan, pertukaran-pertukaran, dan sifat saling tergantung: GS 23, 25, 26, 33, 54, 56; IM 5. Upaya-upaya kominikasi: GS 6; AA 10; peradaban kota: GS 6, 54. Suatu pola masyarakat industrial makin meluas, dan secara radikal mengubah pandangan-pandangan serta kondisi-kondisi hidup: GS 6, 54, 66. Makna sosial kaum muda: GS 7; AA 12; GE 10. Pendidikan makin mempengaruhi perkembangan masyarakat: GE; pendahuluan. Kaum pekerja, buruh dan petani ingin berperanan dalam kehidupan sosial: GS 9. Ketimpangan-ketimpangan di bidang sosial, ekonomi, kebudayaan. Ketidak-seimbangan antara kondisi-kondisi kolektif kehidupan dan pemikiran perorangan: GS 8. Kesesatan-kesesatan amat serius, yang mengancam masyarakat: AA 6. Beberapa pengarahan untuk membangun masyarakat masayarakat zaman sekarang: GS 11. Gereja memandang penuh simpati dinamisme sosial sekarang: GS 42. Semakin tumbuh keyakinan, bahwa dapat dan harus disusun tata politik, sosial dan ekonomi, yang memberi pelayanan lebih baik kepada manusia: GS 9. Manusia dalam masyarakat: ikatan-ikatan sosial perlu bagi manusia: GS 25. Ketergantungan timbal-balik antara kemajuan manusia dan perkembangan masyarakat: GS 25. Dengan ikut berperanan dalam kehidupan kelompok-kelompok sosial, manusia mewujudkan rencana Allah: GS 57. Persekutuan pria dan wanita: ungkapan pertama persekutuan antarpribadi: GS 12. Panggilan khas pria dan wanita dalam masyarakat, manusia harus dapat mengembangkan diri melalui kegiatannya: GS 35. Sumbangan manusia kepada masyarakat: GS 10. Dengan kegiatannya manusia mengubah kenyataan-kenyataan dan masyarakat, serta menyempurnakan dirinya: GS 35. Orang-orang tidak dapat mewujudkan sendiri kehidupan manusiawi yang sepenuhnya; mereka berjumlah amat besar, dan seraba berlain-lainan dalam negara: GS 74. Makana kerja bagi masyarakat: LG 41; GS 34, 67. Kewajiban semua orang terhadap kesejahteraan umum: GS 30. Ikut serta dalam paguyuban-paguyuban sosial: GS 31. Sumbangan kepada kebudayaan: GS 57. Hartamilik membuka ruang gerak bagi manusia untuk mengamalkan tanggung jawabnya dalam masyarakat: GS 71. Di butuhkan waktu terluang untuk melibatkan diri dalam kehidupan sosial dan budaya: GS 67. Semakin besar kekuasaan manusia, semakin luas pula bidang tanggung jawab perorangan maupun bersama: GS 34. Apa yang dikerjakan orang-orang, supaya persaudaraan dan keadilan makin meluas pengaruhnya, dan untuk memperjuangkan tata masyarakat yang lebuh manusiawi dalam hubungan-hubungan sosial, lebih unggul nilainya dari kemajuan teknologi: GS 35. Tata masyarakat yang mengabdi manusia: Manusialah yang harus diselamatkan, masyarakat yang harus diperbaharui: GS 3. Pribadi manusia harus menjadi prinsip, subjek dan tujuan semua lembaga sosial: GS 25. Lembaga-lembaga swasta maupun pemerintah harus melayani martabat serta tujuan hidup manusia, dan menanggapi kenyataan-kenyataan rohani: GS 29. Kesejahteraan masyarakat ialah keseluruhan kondisi-kondisi hidup sosial, yang memungkinkan manusia mencapai kesempurnaannya, dan pertama-tama berarti terjaminnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban pribadi: GS 26; DH 6, dan sekarang makin meluas jangkauannya: GS 26.

Makin meluaslah keyakinan, bahwa umat manusia dapat dan harus menyusun tata politik, sosial dan ekonomi, yang semakin mengabdi kepada manusia, dan memungkinkan setiap orang dan setiap kelompok untuk menegaskan dan mengembangkan kepribadiannya: GS 9. Tata masyarakat dan kemajuannya harus selalu menguntungkan orang-orang, dikembangkan berdasarkan kebenaran dan keadilan, dihidupkan oleh cinta kasih, menemukan dalam kebebasan keseimbangan yang makin manusiawi, dan memerlukan perubahan mentalitas serta perombakan-perombakan sosial: GS 26. Harus ada kebebasan dalam masyarakat, khususnya dalam hidup keagamaan: DH 1, 2, 3, 6-7, 15. Dalam mengamalkan kebebasan harus dipatuhi prinsip tanggung jawab pribadi dan sosial, diperhitungkan hak-hak sesama, kewajiban-kewajiban terhadap mereka, dan kesejahteraan umum: DH 7. Sementara diindahkan kemajemukan masyarakat modern, kebebasan beragama harus tetap ditegakkan: GE 7. Masyarakat berhak melindungi diri terhadap penyalahgunaan yang terjadi dengan dalih kebebasan beragama: DH 7. Mengatasi etika individualis, mendukung lembaga-lembaga yang memperbaiki kondisikondisi hidup, mematuhi hukum-hukum sosial, peraturan-peraturan hidup memasyarakat, memperhatikan paguyuban-paguyuban sosial: GS 30, mengembangkan nilai-nilai sosial dan moral: GS 36. Memperjuangkan kondisi-kondisi hidup yang lebih adil dan lebih manusiawi: GS 29, 30, 34, 38, 57; DH 6; dan menyingkirkan segala diskriminasi: GS 29, 66, 75. Penataan masayarakat politik atau negara, struktur-struktur serta kekuasaan-kekuasaan, harus menunjang pembinaan manusia yang berbudaya, cinta damai dan berbaik hati terhadap semua orang, sehingga menguntungkan segenap keluarga manusia: GS 74. Pembentukan tata politik yuridis, yang memberi perlindungan kepada hak-hak pribadi: GS 73. Peningkatan partisipasi semua orang dalam hidup bernegara: GS 73, 74, 75. Pelaksanaan pemerintahan yang sah dan batas-batas wewenangnya: GS 59, 73, 74, 75; DH 3, 6, 7; GE 3, 6. Termasuk kewajiban negara mengurus apa yang dibutuhkan untuk kesejahteraan umum: GE 3. Pengelolaan lembaga-lembaga untuk menjamin. Supaya harta-benda bumi tetap dipruntukkan bagi semua orang, tetapi sedemikian rupa, sehingga warga masyarakat tidak bersifat pasif, tidak bertanggung jawab, atau menolak untuk mengabdikan diri: GS 69. Hakhak dan jasa-jasa yang harus dijamin oleh masyarakat: GS 71. Sifat sosial hak milik: GS 71. Perdamaian merupakan buah-hasil tata moral, yang ditanam dalam masyarakat oleh Penciptanya: GS 78. Mendukung pembangunan masyarakat internasional: GS 86. Pengembangan jasa-jasa bagi masyarakat dan hidup berkeluarga, terutama di bidang kebudayaan dan pendidikan: GS 69. Kemajuan kebudayaan demi pengembangan integral pribadi dan kesejahteraan masyarakat: GS 56, 59, 60; GE 6. Pentingnya sekolah: AG 12; EG 5. Peranan masyarakat meningkatkan pendidikan: GE 3, 6, 8. Untung-malang masyarakat dan Gereja berhubungan erat dengan kemajuan generasi muda dalam studi tingkat tinggi: GE 10. Masyarakat berhak atas informasi: IM 5, yang dibutuhkannya untuk maju: IM 12. Manusia pencipta, pusat dan tujuan seluruh kehidupan sosial ekonomi: GS 63, yang harus mengabdi kepada manusia: GS 64, dan tetap berada dibawah pengawasannaya: GS 65. Peningkatan martabat pribadi dan kesejahteraan seluruh masayarakat di bidang sosial ekonomi, dengan menyingkarkan kondisi-kondisi ketidak-adilan: GS 63, 66. Diperlukan dukungan bagi perkembangan ekonomi untuk kepentingan manusia: GS 64, 67, 72; partisipasi dalam kehidupan ekonomi: GS 68. Kerja harus menjamin tersedianya sumbersumber, yang memungkinkan manusia beserta keluarganya untuk hidup secara layak dibidang jasmani, sosial, budaya dan rohani: GS 67. Partisipasi kaum pekerja, buruh dan petani dalam kehidupan sosial: GS 9. Kesesatan organisasi kolektif produksi, yang meremehkan hak-hak pribadi maupun kelompok: GS 65.

Perombakan struktur-struktur sosial ekonomi demi pengembangan ekonomi semua bangsa, melalui cara-cara yang tidak merugikan aspek rohani dan pengembangan manusia: GS 86. Mencari dasar-dasar umum bagi perdagangan dunia yang sehat: GS 85. Bangsa-bangsa yang berkembang harus memandang sebagai tujuan pembangunan: pengembangan manusiawi sepenuhnya bagi semua warga msyarakat: GS 86. Kelompok-kelompok sosial: Orang-orang makin bergabung membentuk kelompokkelompok: AG 20. Perubahan-perubahan dalam kelompok-kelompok sosial: GS 6; ketidakseimbangan antara pelbagai kategori sosial: GS 8; tetapi pribadi-pribadi maupun kelompokkelompok merindukan perihidup yang lebih bebas dan pantas, yang menyediakan bagi mereka kemungkinan-kemungkinan modern: GS 9. Kesejahteraan umum dan kehidupan kelompok-kelompok beserta para anggotanya: GS 26. Masyarakat terdiri dari pelbagai kelompok, yang menemukan tempatnya dalam negara menurut pelbagai tipe kelembagaan: GS 74. Mengakui dan menghargai hak-hak kelompokkelompok dalam kehidupan umum: GS 75. Secara perorangan atau dalam kelompok para warga masyarakat harus mengusahakan, agar mengusahakan, agar jangan menyerahkan kekuasaan terlampau besar kepada pemerintah, jangan pula cepat-cepat meminta bantuan, dengan risiko mengurangi tangung jawab kelompok-kelompok: GS 75. Campurtangan pemerintah untuk menyiapkan kondisi-kondisi yang memungkinkan kelompok-kelompok untuk megusahakan kesejahteraan: GS 75. Kelompok-kelompok wajib memupuk dan menyebarluaskan nilai-nilai moral dan sosial: GS 30.

Mendukung perkembangan budaya, supaya setiap orang mampu menghadapi tanggung jawabnya terhadap berbagai kelompok yang dianutnya: GS 31. Setiap orang termasuk paguyuban manusia yang khas, lingkungan tertentu, yang mengemban pusaka budayanya: GS 53. Kebudyaan dan perkembangan kelompok-kelompok: GS 60. Mendukung kelompok-kelompok untuk mendapat kekuasaan tertentu atas harta-benda atau milik: GS 71. Produksi melayani manusia dan seluruh masyarakat: GS 64. Kesesatan teori-teori, yang mengorbankan hak-hak asasi pribadi maupun kelompok demi organisasi kolektif produksi: GS 65. Sasaran yang harus dikejar oleh kelompok-kelompok, yang mengambil keputusankeputusan tentang investasi: GS 70. Pengendalian perekonomian tidak boleh diserahkan kepada kelompok-kelompok yang terlampau besar kekuasaannya: GS 65. Hukum moral mewajibkan setiap kelompok sosial untuk – dalam menjalankan hak-haknya – juga menghormati hak-hak sesama, mengindahkan kewajiban-kewajibannya terhadap sesama, dan memperhatikan kesejahteraan umum: DH 7. Lingkup kewajiban manusia melampaui kelompok-kelompok khusus, untuk meliputi seluruh alam semesta: GS 30. Tanggung jawab kelompok-kelompok sosial terhadap kebebasan beragama: DH 6. Setiap orang harus luput dari tekanan kelompok-kelompok sosial dalam hal keagamaan: DH 2. Kelompok-kelompok keagamaan diperlukan berdasarkan hakekat sosial manusia dan agama: DH 4. Mereka berhak atas kebebasan beragama: DH 4. Masyarakat dan keluarga: Persekutuan pria dan wanita merupakan ungkapan utama persekutuan antar pribadi: GS 12. Keluarga menjadi dasar masyarakat: GS 52; AA 11; sel utama

masyarakat: AA 11; lembaga yang lahir dari tindakan sepasang mempelai, yang saling menyerahkan diri: GS 48; sekolah pertama keutamaan-keutamaan yang penting bagi masyarakat: GE 3; sebagai persekutuan mempunyai hak primordial: GE 5. Dalam keluarga anak-anak mendapat pengalaman pertama tentang hidup dalam masyarakat: GE 3. Kesehatan pribadi dan masyarakat manusiawi maupun kristen tergantung dari kesejahteraan keluarga: GS 47, 48. Perubahan-perubahan masyarakat, kendati munculnya kendala-kendala, menampilkan kodrat perkawinan dan keluarga: GS 47. pembaharuan sosial demi kepentingan perkawinan dan keluarga: GS 49. Dalam tugas mengadakan keturunan hendaknya suami-isteri mempertimbangkan juga kebutuhan-kebutuhan masyarakat: GS 50. Umat kristen hendaknya bekerja sama dengan semua semua orang, supaya pemerintah masyarakat mengindahkan kebutuhan-kebutuhan keluarga: AA 11. Pentingnya kerasulan keluarga bagi masyarakat: AA 11. Setiap keluarga, sebagai rukun hidup beserta hak-haknya sendiri, mempunyai hak mengatur hidup keagamaannya: DH 5. Masyarakat dan Gereja: Gereja tersusun secara hirarkis: LG 8, 20; GS 40; oleh Kristus dilengkapi dengan upaya-upaya untuk menjamin kesatuannya yang nampak: LG 9; GS 40; kenyataan sosial dalam sejarah: GS 41; tidak terikat pada sistim sosial mana pun juga: GS 42. gereja bagaikan ragi, atau jiwa, masyarakat: GS 40; sambil mengejar tujuan keselamatannya Gereja meneguhkan solidaritas masyarakat, dengan memberi makna kepada kegiatan manusia: GS 40. Gereja mencari orientasi-orientasi, yang mau disajikan untuk membangun masyarakat: GS 11. Bantuan yang akan di berikan oleh Gereja kepada masyarakat: GS 42, melalui amal-karya cinta kasih dan lain-lain: GS 42; dengan meniupkan ke dalam masyarakat modern yang menghendaki kesatuan daya-kekuatan, yang bersumber pada iman dan cinta kasih: GS 42; dengan menjadi penghubung antara persekutuan-persekutuan, serta meneguhkannya dengan sikap universalnya: GS 42; dengan menunjang peningkatan lembaga-lembaga manusiawi: GS 42. – Gereja menawarkan kerja samanya dengan semua orang, untuk memperjuangkan kesejahteraan umum dan pembentukan dunia yang semakin manusiawi: GE 3. – Pendidikan kristen mendukung kesejahteraan masyarakat: GE 2. Karya-kegiatan Gereja di bidang media komunikasi sosial dimaksudkan untuk meresapkan semangat kristen ke dalam masyarakat: IM 17. – Bersama semua orang umat kristen harus mencari pemecahan masalah-masalah moral, yang menyangkt kehidupan perorangan maupun bersama: GS 16. Nilai-nilai korati di tampung dan diintegrasikan dalam perspektif manusia yang di tebus oleh Kristus, dan merupakan sumbangan bagi kesejahteraan seluruh masyarakat: GE 3. kekudusan mendukung peningkatan perikemanusiaan: LG 40. Gereja sendiri dapat diperkaya karena berlangsungnya kehidupan sosial: GS 42. Terutama dalam masyarakat yang majemuk pentinglah mempunyai visi yang cermat tentang hubungan antara Gereja dan negara: GS 76. Dalam masyarakat Gereja memperjuangkan kebebasannya sebagai instansi rohani, yang berwenang mewartakan Injil di mana-mana, pun sebagai persekutuan yang mempunyai hak hidup di masyarakat: DH 13. gereja membela kebebasannya untuk menyiarkan ajarannya tentang masyarakat: GS 76; kebebasannay untuk mengembangkan diri demi kepentingan seluruh masyarakat: GS 42. kewajiban masyarakat terhadap agama yang sejati dan Gereja Kristus yang tunggal: DH 1. Ajaran Gereja tentang masyarakat: GS 76, diungkapkan oleh dokumen-dokumen Magisterium masa akhir ini, dan kebenaran-kebenaran pokok yang diutarakan oleh Konsili; dasar-dasar ajaran itu diuraikan dalam terang Wahyu: GS 23. Ajaran tentang masyarakat sipil: CD 12;

ajaran moral dan sosial: AA 31. Di sepanjang zaman Gereja telah menandaskan dalam terang Injil prinsip-prinsip keadilan, sesuai dengan tuntutan akal-budi yang tepat-seksama, bagi hidup perorangan dan sosial, maupun bagi masyarakat internasional: GS 63. Ajaran apara Paus terakhir tentang tata yuridis masyarakat: DH 1. Termasuk kewajiban Gereja menjalin dialog dengan masyarakat setempat: CD 13; itu terutama termasuk tugas para Uskup: CD 13; mereka itu hendaklah mengajarkan: bagaimana mengahargai masyarakat sipil: CD 12. Musyawarah para Uskup tentang dialog yang perlu diadakan dengan kelompok-kelompok tertentu: AG 20. – Pendalaman masalah-masalah sosial oleh para imam: CD 16. Daerah-daerah misi dan pewartaan Injil kepada kelompok-kelompok AG 6, 11, 19. Melalui para anggota Gereja Kristus akan makin menyinari seluruh masyarakat dengan terang-Nya yang menyelamatkan: LG 36. Gereja hadir bagi masyarakat melalui puteraputerinya: AG 11. Hidup perorangan maupun sosial umat kristen harus dijiwai dengan semangat Sabda Bahagia: GS 72. Umat beriman harus membedakan antara hak-hak dan kewajiban mereka sebagai anggota Gereja, dan sebagai anggota masyarakat: GS 36. Jangan mengadakan pertentangan buatan antara kegiatan-kegiatan profesi dan sosial di satu pihak, dan hidup keagamaan di pihak lainnya: GS 43. Kaum awam termasuk umat Allah dan sekaligus masyarakat sipil: AG 21. Mereka itu, baik pria maupun wanita, mempunyai kewajiban pokok: memberi kesaksian tentang kristus, dalam keluarga, dalam kelompok sosial, di lingkungan kerja mereka. Mereka wajib mengungkapkan kehidupan baru dalam masyarakat sekirta, supaya iman akan Kristus jangan asing lagi terhadap masyarakat, melainkan meresapi dan megubahnya: AG 21. Kerasulan di lingkungan sosial: AA 13; dimensi nasional maupun internasionalnya: AA 14. Peranan kegiatan sosial: AA 3, 9. Kaum awam hendaklah menyelami arti kehidupan keluarga, profesional dan sosial, dalam terang iman: AA 16, berintegrasi dengan baik dalam kelompok sosial mereka: AA 29; penuh perhatian terhadap ajaran moral dan sosial gereja: AA 31. Kerja sama kaum awam di bidang sosial-ekonomi dengan bangsa-bangsa yang berkembang, dan pembentukan lembaga-lembaga yang dapat mempengaruhi strukturstruktur dasar kehidupan masyarakat: AG 41. Situasi masyarakat modern dan pembinaan terus menerus para imam: OT 22. Para pendidik kristen wajib mengindahkan panggilan khas pria maupun wanita dalam masyarakat: GE 8. Pada saudara-saudari kita yang terpisah di dunia Barat iman akan Kristus telah membangkitkan kegiatan-kegiatan untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial kehidupan: UR 23. Kerja sama segenap umat kristen dalam kegiatan sosial, dan untuk pengembangan sosial negara-negara yang berkembang: UR 12. Kegiatan sosial dan ekumenisme: UR 6.

BEBERAPA PERISTIWA PENTING SELAMA KONSILI VATIKAN II 25 Januari 1959: Di Gereja Basilika S. Paulus di luar Baluwarti Paus Yohanes XXIII secara resmi menyatakan hendak mengundang Konsili. 5 Juni 1960: Paus Yohanes XXIII dengan Motu Proprio “Superno Dei Nutu” mendirikan komisiskomisi dan sekretariat-sekretariat persiapan Konsili. 25 Desember 1961: Paus Yohanes XXIII dengan Konstitusi apostolik “Humanae Salutis” mengundang Konsili. 20 Juli 1962: Disampaikan undangan kepada Gereja-Gereja dan jemaat-Jemaat kristen yang terpisah, untuk mengutus pengamat-pengamat Konsili. 5 September 1962: Ditetapkan Tata-laksana Konsili dalam Motu proprio “Appropinquante Concilio”. 11 oktober 1962: Konsili Vatikan II dibuka secara resmi di Gereja basilika S. Petrus. 12 Oktober 1962: Konsili menyiapkan diri untuk memilih sendiri para anggota komisi-komisi, dan tidak menyetujui anggota-anggota yang sudah disiapkan dalam daftar. 20 Oktober 1962: Konsili menyampaikan “Amanat kepada Seluruh Umat Manusia”. 8 Desember 1962: Periode sidang I Konsili ditutup tanpa menghasilkan dokumen yang sudah selesai. 3 Juni 1963: Paus Yohanes XXIII wafat. 21 Juni 1963: Paus Paulus VI di pilih dan memaklumkan maksud beliau untuk melanjutkan Konsili. 29 September 1963: Periode sidang II Konsili di buka. 30 Oktober 1963: Dipungut suara untuk mendapat pengarahan; para Bapa Konsili mendukung sifat sakramental konsekrasi Uskup dan kolegialitas para Uskup, adanya “ketetapan ilahi” (“ius divinum”) tentang Dewan para skup, pemulihan diakonat sebagai tahbisan tersendiri dan permanen (tetap). 4 Desember 1963: Periode sidang II Konsili ditutup secara resmi. Diumumkan Konstitusi tentang Liturgi dan Dekrit tantang Upaya-Upaya Komunikasi Sosial. 4-6 Januari 1964: Paus Paulus VI mengadakan perlawatan ekumenis ke Tanah suci dan menjumpai Patriark Atenagoras. 17 Mei 1964: Didirkan Sekretariat untuk Agama-Agama Bukan Kristen. 14 September 1964: Periode Sidang III Konsili dibuka secara resmi. 21 November 1964: Periode Sidang III Konsili ditutup, sesudah di maklumkan secara resmi Konstitusi dogmatis tentang Gereja, Dekrit tentang Ekumenisme, dan Dekrit tentang Gereja-Gereja Timur Katolik. Paus Paulus VI mengumumkan gelar “Maria Bunda Gereja”. 14 September 1965: Periode sidang IV dan terakhir Konsili di buka secara resmi.

15 September 1965: Paus Paulus VI dalam Konstitusi apostolik “Apostolica Sollicitudo” menetapkan Tatalaksana tentang Sinode para Uskup. 4-5 Oktober 1965: paus Paulus VI mengadakan perlawatan ke New York untuk menyamapaikan Amanat kepada Sidang Umum Perserikatang Bangsa-Bangsa, dan melaporkan perlawatan beliau kepada Konsili. 28 Oktober 1965: Dimaklumkan dokumen-dokumen berikut: Dekrit tentang Tugas Pastoral para uskup dalam Gereja, Dekrit tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius, Dekrit tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius, Dekrit tentang pembinaan Imam, Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristen. 18 November 1965: Dimaklumkan Konstitusi dogmatis tentang Wahyu Ilahi dan Dekrit tentang Kerasulan Awam. Paus Paulus VI juga mengumumkan permulaan pembaharuan Kuria Romawi, permulaan proses beatifikasi Paus Pius XII dan Paus Yohanes XXIII, periode Yubelium, dan diundangkannya Sinode para Uskup selambat-lambatnya pada tahun 1967. 4 Desember 1965: Di Gereja Basilika S. paulus di luar Baluwarti, tempat paus Yohanes XXIII mengumumkan akan diadakannya Konsili, diselenggarakan “Ibadat untuk Meningkatkan Kesatuan Umat Kristen”, yang dihadiri oleh Paus Paulus VI beserta para Bapa Konsili, para pengamat dan pera undangan untuk Konsili. 7 Desember 1965: Dimaklumkan: Pernyataan tentang Kebebasan Beragama, Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan para Imam, Dekrit tentang kegiatan Misioner Gereja, dan Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern. Di Istanbul dan di Vatikan, secara resmi dimaklumkan Pernyataan Bersama Gereja katolik Roma dan Gereja di Istanbul 8 Desember 1965: Konsili Vatikan II ditutup secara resmi di Lapangan S. Petrus.

KONSILI-KONSILI EKUMENIS 1. Nikaia I 2. Konstantinopel 3. Efesus 4. Khalkedon 5. Konstantinopel 6. Konstantinopel 7. Nikaia II 8. Konstantinopel 9. Lateran I 10. Lateran II 11. Lateran III 12. Lateran IV 13. Lyon I 14. Lyon II 15. Vienne 16. Konstanz 17. Firenze 18. Lateran V 19. Trento 20. Vatikan I 21. Vatikan II

I II III IV

Silvester I S. Damasus I Selestinus I S. Leo Agung Vigilius S. Agato; Leo II Hadrian I Nikolas I; Hadrian II Kalistus II Inosensius II Aleksander III Inosensius III Inosensius IV Gregorius X Klemens V Martnus V Eugenius IV Yulius II; Leo X Paulus III; Pius IV Pius IX Yohanes XXIII; Paulus VI

Mei - Juni 325. Mei – Juli 381. Juni – Juli 431. Okt. – Nov. 451. Mei – Juni 553. Nov. 680 – Sept. 681. Sept. – Okt. 787. Okt. 869 – Febr. 870. Maret – April 1123. April 1139. Maret 1179. November 1215. Juni – Juli 1245. Mei – Juli 1274. Okt. 1311 – Mei 1312. Nov. 1414 – Agt. 1418. Des. 1431 - Agt. 1445?. Mei 1512 – Maret 1517. Des. 1545 – Des. 1563. Des. 1869 – Juli 1870. Okt. 1962 – Des. 1965.

* Lihat: H. Jedin, Sejarah Konsili, Yogyakarta: Kanisius 1973, 138 halaman

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF