Konsep Desentralisasi dan Otonomi.docx

September 18, 2017 | Author: Maya Aprillia | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Konsep Desentralisasi dan Otonomi.docx...

Description

Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah Sebagai suatu negara kesatuan yang menganut azas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya, pemerintah pusat memberi keleluasaan atau kewenangan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Perubahan kedua Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan antara lain bahwa “ Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerahdaerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas daerah Kabupaten dan daerah Kota, yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang ”. Sesuai dengan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut maka sistem pemerintahan di Indonesia mengenal adanya pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pembentukan pemerintahan daerah didasari oleh kondisi wilayah negara yang sangat luas, mencakup berbagai kepulauan, masyarakatnya memiliki latar belakang budaya yang sangat beragam, dan sebagainya, yang mengakibatkan sulitnya pengelolaan pemerintahan apabila segala sesuatunya diurus oleh pemerintah pusat yang berkedudukan di Ibukota Negara. Untuk mengurus penyelenggaraan pemerintahan secara lebih efektif dan efisien ke seluruh pelosok wilayah negara maka dibentuklah pemerintahan daerah yang menyelenggarakan urusan-urusan atau fungsi-fungsi pemerintahan di daerah, khususnya yang berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat di daerah. Penyerahan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah sesuai dengan kepentingan masyarakatnya dinamakan dengan desentralisasi. Konsep desentralisasi seringkali dianggap sebagai suatu formulasi dan masalah yang mengandung suatu nilai dogmatis untuk memecahkan permasalahan hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah. Hal ini disebabkan karena sistem pemerintahan yang terdesentralisasi dipandang sebagai suatu cara atau sistem yang dapat mengembalikan kekuasaan pada bagian terbawah dari suatu sistem kemasyarakatan. Dengan demikian desentralisasi sebagai suatu sistem pemerintahan mengandung makna demokratisasi pemerintahan. Walaupun demikian pengertian desentralisasi sendiri hingga kini masih sering diperdebatkan baik secara konsepsional, kebijakan maupun implementasinya dalam penyelenggaraan pemerintahan. Perdebatan tentang makna desentralisasi tersebut tidak hanya terbatas pada tataran terminologinya saja, tetapi juga pada pengertian desentralisasi itu sendiri ( Mawhood, 1983; Rondinelli & Chema, 1983; Davey, 1989 ). Desentralisasi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membagi kekuasaan ( division of power ). Pembagian kekuasaan secara teoritis dapat dilakukan melalui dua cara, yakni capital division of power dan areal division of power. Capital division of power merupakan pembagian kekuasaan sesuai dengan ajaran trias politica dari Montesque, yakni membagi kekuasaan menjadi kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang ( kekuasaan eksekutif ), kekuasaan untuk membuat undang-undang (kekuasaan legislatif) dan kekuasaan kehakiman (kekuasaan judikatif ). Sedangkan areal division of power dapat dilakukan dengan dua cara, yakni desentralisasi dan dekonsentrasi. Desentralisasi merupakan penyerahan kekuasaan secara legal (yang dilandasi hukum) untuk melaksanakan fungsi tertentu atau fungsi yang tersisa kepada otoritas lokal yang secara formal diakui oleh konstitusi (Maddick,1963). Sedangkan

dekonsentrasi merupakan pendelegasian kekuasaan untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu kepada staf pemerintah pusat yang berada di luar kantor pusat ( Maddick, 1963 ). Pandangan lain mengenai pengertian desentralisasi dikemukakan oleh Chema dan Rondinelli (1983). Menurut mereka desentralisasi “ is the transfer or delegating of planning, decision making or management authority from the central government and its agencies to field organizations, subbordinate units of government, semi-autonomous public coorporations, area wide or regional authorities, functional authorities, or non governmental organizations “ ( Chema and Rondinelli, 1983). Tipe desentralisasi ditentukan oleh sejauh mana otoritas atau kekuasaan ditransfer dari pusat dan aransemen institusional (institutional arrangement) atau pengaturan kelembagaan apa yang digunakan untuk melakukan transfer tersebut. Dalam hal ini desentralisasi dapat berupa yang paling sederhana yakni penyerahan tugas-tugas rutin pemerintahan hingga ke pelimpahan kekuasaan (devolusi) untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu yang sebelumnya dipegang oleh pemerintah pusat. Menurut Chema dan Rondinelli ( 1983 ) selanjutnya decentralization dapat dilaksanakan dengan dua cara, yakni dengan melakukan desentralisasi fungsional ( functional decentralization ) atau dengan cara melaksanakan desentralisasi teritorial (areal decentralization). Desentralisasi fungsional merupakan suatu transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada lembaga-Iembaga tertentu yang memiliki fungsi tertentu pula. Misalnya adalah penyerahan kewenangan atau otoritas untuk mengelola suatu jalan tol dari Departemen Pekerjaan Umum kepada suatu BUMN tertentu. Sedangkan desentralisasi teritorial merupakan transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada lembaga-Iembaga publik yang beroperasi di dalam batas-batas area tertentu, seperti pelimpahan kewenangan tertentu dari pemerintah pusat kepada pemerintah Provinsi, Kabupaten atau Kota. Atas dasar kedua cara tersebut maka menurut Chema dan Rondinelli (1983) terdapat empat bentuk desentralisasi yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk melakukan transfer otoritas, baik dalam melakukan perencanaan maupun pelaksanaan otoritas tersebut, yakni deconcentration (dekonsentrasi), delegation (delegasi), devolution (devolusi), privatization (privatisasi). Dalam desentralisasi, unit-unit lokal dibentuk dengan kekuasaan tertentu yang dimilikinya dan kewenangan untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu dengan mana mereka dapat melaksanakan keputusan-keputusannya sendiri, inisiatifnya sendiri, dan mengadministrasikannya sendiri ( Maddick & Adelfer, dalam Hoessein, 2000 ). Pengertian desentralisasi menurut Maddick dan Adelfer ( Hoessein, 2000) mengandung dua elemen yang bertalian, yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang-bidang pemerintahan tertentu. Menurut Rondinelli, Nellis dan Chema ( 1983 ) desentralisasi melahirkan penguatan baik dalam bidang finansial maupun legal (dalam arti mengatur dirinya sendiri, mengambil keputusan) dari unit-unit pemerintahan daerah. Dengan desentralisasi maka aktivitas-aktivitas yang sebelumnya dilaksanakan oleh pemerintah pusat secara substansial diserahkan kepada unitunit pemerintahan daerah, dan dengan demikian berada di luar kontrol pemerintah pusat. Lebih lajut, Rondinelli, Nellis dan Chema ( 1983 ) mengatakan bahwa karakteristik utama dari desentralisasi adalah: Pertama, adanya unit-unit pemerintahan lokal yang otonom, independen dan secara jelas dipersepsikan sebagai tingkat pemerintahan yang terpisah dengan mana otoritas

yang diberikan kepadanya dengan hanya sedikit atau malah tanpa kontrol langsung dari pemerintah pusat. Kedua, pemerintah lokal yang memiliki batas-batas geografis yang jelas dalam mana mereka melaksanakan otoritas dan memberikan pelayanan publik. Ketiga, pemerintah lokal yang memiliki status sebagai korporat dan memiliki kekuasaan untuk mengelola sumber daya yang dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya. Dengan demikian desentralisasi melahirkan daerah otonom. Daerah otonom memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah berada di luar hierarkhi organisasi pemerintah pusat, bebas bertindak, tidak berada di bawah pengawasan langsung pemerintah pusat, bebas berprakarsa untuk mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat, tidak diintervensi oleh pemerintah pusat, mengandung integritas sistem,memiliki batas-batas tertentu (boundaries), serta memiliki identitas ( Hoessein,1997 ). Sedangkan menurut Smith ( 1967 ) desentralisasi akan melahirkan pemerintahan daerah ( local self government ), sedangkan dekonsentrasi akan melahirkan pemerintahan lokal ( local state government atau field administration ). Menurut Smith ( 1967 ) desentralisasi memiliki berbagai ciri seperti penyerahan wewenang untuk melaksanakan fungsi pemerintahan tertentu dari pemerintah pusat kepada daerah otonom; fungsi yang diserahkan dapat dirinci atau merupakan fungsi yang tersisa ( residual functions ); penerima wewenang adalah daerah otonom; penyerahan wewenang berarti wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan, wewenang untuk mengatur dan mengurus ( regeling en bestuur ) kepentingan yang bersifat lokal; wewenang mengatur adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang berlaku umum, atau bersifat abstrak; wewenang mengurus adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang bersifat individual, atau bersifat konkrit ( beschikking, act administratif, verwaltungsakt); keberadaan daerah otonom adalah di luar hirarki organisasi pemerintah pusat; menunjukkan pola hubungan kekuasaan antar organisasi; serta menciptakan political variety dan diversity of structure dalam sistem politik ( Hoessein, 2000 ). Dalam rangka menjalankan sistem desentralisasi pemerintahan, di daerah-daerah dibentuk pemerintah daerah ( local government) yang merupakan badan hukum yang terpisah dari pemerintah pusat ( central government ) ( Hoessein, 2000 ). Kepada pemerintah-pemerintah daerah tersebut, diserahkan sebagian dari fungsi-fungsi pemerintahan ( yang sebelumnya merupakan fungsi pemerintah pusat ) untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Disamping itu kepada daerah-daerah diserahkan pula sumber-sumber pendapatan yang dapat digunakan untuk membiayai fungsi-fungsi yang telah diserahkan. Demikian pula secara organisasi dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD ) yang anggota-anggotanya dipilih melalui suatu sistem pemilihan umum. Dengan demikian, pemerintah daerah merupakan suatu lembaga yang mempunyai kekuasaan otonomi untuk menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaannya sendiri, bagaimana menjalankan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut, serta bagaimana cara-cara untuk membiayainya. Pelaksanaan desentralisasi kemudian dapat dilihat pada berbagai aspek pada sistem pemerintahan daerah yang ada, seperti aspek keuangan, aspek pelimpahan kewenangan, aspek kepegawaian, serta sikap dan perilaku para elite di tingkat pusat maupun daerah.

1. a. Alasan dan Keuntungan Desentralisasi Secara teoritis, pemberian otonomi kepada daerah dilatar belakangi oleh tujuan politik maupun administratif yang ingin dicapai oleh pemerintah suatu negara. Menurut Maddick ( 1963 ), tujuan politik dari pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk menciptakan kesadaran terhadap masyarakat sipil ( civic conciousness ) dan kedewasaan politik ( political maturity ) masyarakat melalui pemerintah daerah. Penyebaran kedewasaan politik dapat dilakukan melalui partisipasi masyarakat dan melalui pemerintahan yang responsif yang dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat lokal ke dalam kebijakan yang diambilnya dan bertanggung jawab kepada masyarakat. Sejalan dengan itu, Lughlin ( 1981 ) mengemukakan bahwa sistem pemerintahan daerah diperlukan untuk mengakomodasikan pluralisme dalam suatu negara modern yang demokratis. Smith ( 1985 ) juga mengemukakan bahwa keberadaan pemerintah daerah diperlukan untuk mencegah munculnya kecenderungan centrifugal yang terjadi karena adanya perbedaan etnis, agama dan unsur-unsur primordial lainnya di daerah-daerah. Berdasarkan tujuan administratif, menurut Rondinelli ( 1984 ), Maddick ( 1963 ) dan Smith ( 1985 ), rasional keberadaan pemerintah daerah adalah untuk mencapai efisiensi ekonomi dalam aktivitas-aktivitas perencanaan, pengambilan keputusan, pengadaan pelayanan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan melalui desentralisasi. Tidak ada pemerintah pusat dari suatu negara yang besar yang dapat secara efektif menentukan apa yang harus dilakukan dalam semua aspek kebijakan publik. Demikian pula tidak ada pemerintah pusat yang dapat secara efektif mengimplementasikan kebijakan dan program-programnya ke seluruh daerah secara efisien ( Bowman & Hampton, 1983 ). Karena itu diperlukan unit-unit pemerintahan di tingkat lokal yang kemudian diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan urusan tertentu baik atas dasar prinsip devolusi ( di Indonesia dikenal dengan prinsip desentralisasi ) maupun atas dasar prinsip dekonsentrasi. Kedua jenis pilihan ( devolusi dan dekonsentrasi ) tersebut akan memiliki implikasi yang sangat berbeda satu sarna lain dalam penerapannya. Meskipun terdapat kecenderungan pemerintah berbagai negara di dunia untuk mengkombinasikan kedua pilihan tersebut secara seimbang, namun tetap saja terdapat kecenderungan bahwa prinsip yang satu selalu lebih besar dari prinsip yang lain. Pendulum devolusi atau dekonsentrasi akan selalu bergerak ke kedua sisi tergantung dari kebijakan politik dari elit pemerintahan suatu negara. Namun demikian, secara empirik terlihat bahwa negara dengan tingkat ekonomi dan politik yang relatif mapan cenderung untuk lebih menerapkan prinsip desentralisasi daripada dekonsentrasi ( Suwandi & Ikhsan, 1998 ). Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tidak terlepas dari kecenderungan yang terjadi di berbagai negara di dunia, meskipun tetap memiliki warna tersendiri yang berbeda. Perjalanan otonomi daerah di Indonesia setelah kemerdekaan dimulai dengan dikeluarkannya UU No. 1 tahun 1945 yang kemudian dalam perjalanan sejarah disempurnakan dengan UU No. 22 tahun 1948, UU No.1 tahun 1957, Penpres No. 6 tahun 1959, UU No. 18 tahun 1965, UU No.5 tahun 1974 dan terakhir dengan UU No.22 tahun 1999 yang disempurnakan menjadi UU No 32 tahun 2004. Dalam perjalanannya penerapan otonomi daerah di Indonesia tetap diwarnai oleh pilihan penguatan desentralisasi atau dekonsentrasi. Perubahan-perubahan peraturan perundangan mengenai pemerintahan daerah merupakan indikasi dari perubahan pilihan politik di tingkat nasional, karena nature dari politik di tingkat nasional kemudian akan mewarnai politik desentralisasi yang diterapkan ( Suwandi & Ikhsan, 1998 ).

Secara umum terdapat berbagai alasan mengapa desentralisasi merupakan suatu pilihan dalam sistem pemerintahan negara-negara di dunia ( Salomo dan Ikhsan, 1999 ). Pertama, ada anggapan bahwa desentralisasi pemerintahan mencerminkan pengelolaan aspek-aspek pemerintahan dan kehidupan sehari-hari secara lebih demokratis. Melalui desentralisasi pemerintahan, rakyat daerah diberi kesempatan yang lebih besar untuk menentukan keinginannya, karena mereka memang dianggap lebih mengetahui apa yang mereka inginkan dan keadaaan daerahnya sendiri. Dengan demikian merekalah yang dianggap paling pantas untuk menentukan kebijaksanaan pembangunan daerahnya.Pada Negara berkembang, pemerintah daerah dianggap mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam meningkatkan partisipasi masyarakat daerah dalam proses pembangunan ( Cohrane, 1983 ). Kedua, karena adanya berbagai alasan teknis yang dapat dilihat dari berbagai segi seperti segi ekonomi, geografis, etnis, budaya, dan sejarah. Panjangnya jalur birokrasi yang harus ditempuh, mulai dari perencanaan pembangunan maupun pelaksanaannya, membuat sistem pemerintahan yang terdesentralisasi dinilai jauh lebih efesien. Hal ini karena dengan desentralisasi dapat dilakukan pemotongan sejumlah jalur birokrasi yang panjang dan tidak perlu. Dengan demikian desentralisasi dapat mengurangi adanya overload (kelebihan beban ) dan congestion ( pemusatan ) administrasi dan communication ( komunikasi ) di tingkat pusat ( Rondinelli, 1983 ). Demikian pula, hamparan wilayah yang luas dari suatu negara dengan keadaan geografis yang bias sangat berbeda antara suatu daerah dengan daerah lainnya menuntut penanganan yang khusus bagi setiap daerah. Smith ( 1985 ) bahkan mengemukakan bahwa kebutuhan akan berbagai bentuk atau derajat pada sistem pemerintahan yang terdesentralisasi merupakan suatu hal yang bersifat universal. Bahkan bagi negara-negara yang sangat kecil sekalipun, pemerintahan daerah dengan tingkat otonomi tertentu tetap dibutuhkan. Etnis, budaya dan sejarah bahkan bahasa yang berbeda, yang menghasilkan sistem sosial yang berbeda antara suatu darah dengan daerah lainnya merupakan alasan lain mengapa sistem pemerintahan yang terdesentralisasi dibutuhkan dalam suatu negara. Sedangkan menurut Sidik ( 1994; 2000 ) pelaksanaan desentralisasi sistem pemerintahan memiliki beberapa keuntungan,antara lain menyebarkan pusat pengambilan keputusan ( decongestion ); kecepatan dalam pengambilan keputusan ( speed ); pengambilan keputusan yang realistis ( economic and social realism ); penghematan (economic efficiency ); keikutsertaan masyarakat lokal (local participation); serta soJidaritas nasional ( national solidarity ). Berbagai alasan lain mengenai desentralisasi sistem pernerintahan tersebut, rnernperlihatkan bahwa pelaksanaan desentralisasi berkaitan dengan berbagai faktor. Berbagai studi telah dilakukan rnengenai hal ini.Studi Bank Dunia terhadap 45 negara di dunia ketiga pada dekade 1960-an ( dalam Rondinelli, 1983; Sidik, 1994, Sidik, 2000 ) menunjukkan bahwa tingkatan desentralisasi berhubungan dengan berbagai faktor seperti: a) Umur negara, semakin tua dan semakin mapan suatu negara, semakin tinggi tingkat desentralisasinya;

b) Besarnya Produk Nasional Kotor ( PNB ), semakin besar Produk Nasional Kotor suatu negara, semakin tinggi pula tingkat desentralisasinya; c) Media massa, semakin tersebar luas media massa di suatu negara, semakin tinggi tingkat desentralisasi Negara tersebut; d) Tingkat industrialisasi, negara-negara dengan tingkat industrialisasi yang relatif tinggi merniliki tingkat desentralisasi yang tinggi pula; dan e) Jumlah pemerintah daerah, negara dengan jumlah pemerintah daerah yang banyak merniliki tingkat desentralisasi yang tinggi pula. Hasil studi yang menunjukkan hubungan positif kelima faktor tersebut, bahwa dengan desentralisasi mernperlihatkan bahwa faktor perkembangan sosial ekonomi negara mernpengaruhi tingkat desentralisasi. Sejalan dengan perkembangan sosial ekonorni negaranegara di dunia yang sedang terjadi dewasa ini maka sangat beralasan bila dikatakan bahwa pemerintahan yang terdesentralisasi akan cenderung semakin dilaksanakan pada masa-masa yang akan datang. Semakin kuat suatu negara dan semakin berhasil upaya pembangunannya, maka semakin kuat dorongan politik untuk menjangkau wilayah dan golongan yang lebih luas. Pada saat itu akan terlihat keterbatasan pemerintah pusat untuk mendukung perluasan layanan, karena semakin jauh jangkauan layanan yang ingin dicapai maka semakin bersifat lokal dan spesifik tugas-tugas yang dihadapi, sehingga bila tugas-tugas tersebut tetap dilaksanakan oleh pemerintah pusat dapat menimbulkan resiko ekonomi dan politik yang semakin tinggi. Namun demikian, satu faktor penting yang perlu diperkuat terlebih dahulu sebelum desentralisasi dapat dilaksanakan adalah kesatuan nasional yang tinggi. Setelah kesatuan nasional yang tinggi dicapai, maka desentralisasi dapat menjadi prinsip idiologis yang dihubungkan dengan tujuantujuan kemandirian, partisipasi rakyat, demokrasi, dan pertanggungjawaban pemerintah serta aparatnya kepada rakyat secara keseluruhan. Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa desentralisasi merupakan indikator dari kedewasaan dari suatu sistem politik dan sistem birokrasi yang terkandung di dalamnya. Pelaksanaan desentralisasi pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan desentralisasi tersebut menurut Rondinelli (1983) adalah: kesatu, derajat komitmen politik serta dukungan administratif yang diberikan terutama oleh pemerintah pusat dan oleh elite serta masyarakat daerah itu sendiri. Kedua, adanya sikap dan perilaku serta kondisi kultural yang mendukung atau mendorong pelaksanaan desentralisasi di daerah. Ketiga, adanya suatu rancangan organisasi yang dapat mendukung program-program desentralisasi. Keempat, tersedianya sumber keuangan, tenaga kerja serta infrastuktur yang memadai bagi penyelenggaran program-program desentralisasi. Pembahasan mengenai alasan perlunya desentralisasi secara umum terlihat sejalan dengan keadaan di negara Indonesia. Keadaan geografis dengan belasan ribu pulau yang tersebar pada suatu hamparan wilayah yang sangat luas serta latar belakang kondisi sosial ekonomi dan budaya

sudah merupakan alasan yang cukup kuat bagi Indonesia untuk menerapkan sistem pemerintahan dengan azas desentralisasi. Namun demikian selain alasan yang terkesan pragmatis tersebut, terdapat alasan lain yang lebih bersifat fundamental merupakan alasan utama mengapa Indonesia menerapkan sistem pemerintahan yang terdesentralisasi, yaitu bahwa the founding father telah memiliki kesepakatan mengenai bangun negara yang akan dibentuk, yakni kesepakatan tentang negara kesatuan dan kesepakatan tentang desentralisasi ( Hoessein, 2000 ). Oleh karena itu, kesepakatan tersebut secara konstitusional dilestarikan oleh pasal 18 UndangUndang Dasar 1945 termasuk dalam amandemen yang keempat kalinya.

Otonomi daerah dan daerah otonom ada dalam rangka desentralisasi. Menurut Livack & Sedom ( dalam Sadu Wasistiono : 2003 ; 2 ) bahwa desentralisasi adalah transfer kewnenangan dan tanggungjawab mengenai fungsi-fungsi – fungsi publik dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan sub nasional, badan semi otonom maupun lembaga non pemerintah. Otonomi daerah pada dasarnya dalam rangka kebijakan desentralisasi untuk menyelenggarakan kewnenangan urusan pemerintahan di daerah. Menurut PBB yang dikutip E. Koswara ( 2001 : 48 ) memberikan batasan bahwa ” decentralization refer to transfer of authority a way from the national capital whether by decentralization ( i.e ) to field office or by devolution to local authories or local bodies . ( Desentralisasi merujuk pada pemindahan kekuasaan dari pemerintah pusat baik melalui dekonsentrasi ( delegasi ) pada pejabat wilayah maupun melalui devolusi pada badan-badan otonom daerah. Menurut Rondinelli dan Chemma lebih luas memaparkan konsep dasar desentralisasi ( 1983 : 18 ) adalah sebagai berikut : “ decentralization is the transfer of planning, decision making or administrative authority from the central government to its field organizations, local administrative units, semi-authonomous and parastatal organization, local government or non government “. Dalam hai ini dapat dibedakan empat bentuk desentralisasi yaitu : deconsentration ( dekonsentrasi ) , delegation to semi-authonoms and parastatal agencies, devolution to local government dan non government. Desentralisasi secara luas diharapkan untuk mengurangi beban tugas dan tanggung jawab pemerintah pusat. Berbagai program didesentralisasikan dengan harapan keterlambatan, birokratisasi, dan lain-lain dalam pelayanan public dapat diminimalisir. Bahkan dengan desentralisasi akan meningkatkan daya tanggap pemerintah terhadaptuntutan dan kebutuhan masyarakat yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas dan kuantitats pelayanan pemerintah pada rakyatnya. Dalam kaitannya dengan desentralisasi dikemukakan oleh Brian C. Smith ( dalam Riyanto, 2006 : 98 ) mengatakan bahwa : “ decentralization means both reversing the consentration of administration at a single centre and conferring power of local government …… Decentralization involve the delegation of power to lower level in a territorial hierarchy, whether the hierarchy is one of governments within a state or office within a large scale organization. Desentralisasi melahirkan daerah otonom dalam rangka otonomi daerah, sehingga desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia dapat dilihat dari landasan konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai cita desentralisasi. Dalam cita desentralisasi berdasarkan

konstitusi UUD 1945 mengandung nilai dasar yang dikembangkan yaitu nilai unitaris dan nilai desentralisasi teritorial. Nilai dasar unitars diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai pemerintah lain di dalamnya yang bersifat negara. Artinya kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara RI tidak akan terbagi diantara kesatuan-kesatuan pemerintahan. Sedangkan nilai dasar desentralisasi territorial diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam bentuk otonomi daerah. Pada prinsipnya desentralisasi mempunyai tujuan yaitu mewujudkan kemandirian daerah dalam meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat Menurut I Made Sandi ( 2002 : 5 ) bahwa terdapat dua tujuan utama yang ingin dicapai dalam desentralisasi yaitu tujuan politik dan tujuan administrasi. 1) Tujuan Politik, akan memposisikan pemerintah daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat ditingkat local dan secara agrergat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mempercepat terwujudnya civil society . 2) Sedangkan tujuan administrasi, akan memposisikan pemerintah daerah sebagai unit pemerintahan di tingkat local yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif, efisien dan ekonomis. Sedangkan menurut Sadu Wasistiono ( 2001 : 3 ) secara umum tujuan desentralisasi dalam rangka otonomi daerah dikelompokkan dalam tiga tujuan yakni : 1. Tujuan politik dari desentralisasi adalah membangun infrastruktur dan suprastruktur politik tingkat lokal menjadi lebih demokratis yang meliputi : Pemilihan kepala daerah, Parpol dan DPRD ; 2. Tujuan administrasi dari desentralisasi adalah menciptakan birokrasi pemerintahan lokal yang mampu memaksimalkan nilai efektivitas, efisiensi, kesetaraan serta ekonomis yang meliputi kegiatan pembagian urusan pemerintahan, pembagian sumber keuangan, pembaharuan manajemen pemerintahan dan penataan pelayanan publik. 3. Tujuan sosial ekonomi dari desentralisasi adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan agar menjadi lebih baik dibandingkan dengan keadaan sebelumnya dengan indikator : Peningkatan IPM, Ketahanan Sosial dan Kerukunan Sosial. Kebijakan desentralisasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan kebijakan Pemerintahan Daerah yaitu pemerintahan daerah yang berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mepercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan khususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem pemerintahan NKRI.

Pemahaman Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dalam sistem penyelenggaraan Pemerintahan negara yang menganut prinsip pemencaran kekuasaan secara vertikal suatu negara dikenal beberapa azas. Hal ini sejalan dengan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 bahwa prinsip penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah digunakannya azas Desentralisasi, Dekonsentrasi dan azas Tugas Pembantuan. 1.

Azas Desentralisasi Pengertian Desentralisasi menurut Mustari penyerahan

kekuasaan

atau

wewenang

di

( 1999) adalah : Pelimpahan atau

bidang

tertentu

secara

vertikal

dari

institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi kepada institusi/lembaga/fungsionaris bawahannya sehingga yang diserahi / dilimpahi kekuasaan wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu pula . Sedangkan

menurut

Devas,

(1989),

Desentralisasi

adalah



Fungsi

Pemerintahan tertentu dengan kekuasaan mengambil keputusan tertentu yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah yang mencakup lembaga perwakilan yang dipilih “. Selanjutnya

Muslimin (dalam Mustari, 1999) menyatakan ada tiga macam

Desentralisasi yaitu : “Desentralisasi politik, pengakuan adanya hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri pada badan-badan politik di Daerah-Daerah yang dipilih oleh rakyat dalam Daerah-Daerah tertentu, Desentralisasi fungsional sebagai pengakuan adanya hak pada golongan-golongan mengurus satu macam atau golongan kepentingan dalam masyarakat, baik serikat atau tidak pada suatu Daerah tertentu. Umpama subak di bali ; dan Desentralisasi kebudayaan, yaitu mengakui adanya hak pada golongan kecil,masyarakat menyelenggarakan kebudayaan sendiri ( mengatur pendidikan, agama dan lain-lain)”. Lebih lanjut Mustari, (1999) menambahkan bahwa “ Desentralisasi menurut kepustakaan dikenal dua macam yaitu Desentralisasi jabatan (ambtelijke desentralisatie ) dan Desentralisasi kenegaraan ( staatskundige desentralisatie ).

Dalam hukum positif di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1974 disebutkan di dalam pasal 1 huruf b, bahwa Desentralisasi adalah penyerahan urusan Pemerintahan dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya. Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 1huruf e disebutkan bahwa, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia. Dari pengertian diatas, maka secara umum dapat dijelaskan bahwa Desentralisasi mengandung beberapa hal yaitu : a.

Adanya pelimpahan wewenang, penyerahan urusan dari Pemerintah pusat.

b.

Adanya Daerah-Daerah yang menerima pelimpahan wewenang dari penyerahan urusan.

c.

Daerah-Daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.

d.

Kewenangan dari urusan yang dilimpahkan adalah kewenangan dari urusan rumah tangga Daerah yang bersangkutan.

2. Azas Dekonsentrasi Pengertian Dekonsentrasi menurut Devas adalah “ Administrasi Daerah dan fungsi Pemerintahan di Daerah yang dilaksanakan oleh Pemerintah pusat “. Sedangkan Mustari, ( 1999) mendefinisikan Dekonsentrasi sebagai “ Penyerahan wewenang dari Pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya atau aparatnya di Daerah untuk melaksanakan wewenang tertentu dalam menyelenggarakan urusan Pemerintahan pusat di Daerah. Tanggung jawab pelaksanaan wewenang tersebut tetap ada pada Pemerintah pusat “. Di dalam Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1974 pasal 1 hurur f, Dekonsentrasi diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya di Daerah. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 , Dekonsentrasi diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan / atau perangkat pusat di Daerah. Dalam praktek penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, pengertian yang ada didalam ketentuan hukum positif inilah yang dianut. Kepala – kepala Daerah dianggap sebagai pejabat pusat di Daerah, sehingga semakin kuat penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah dengan mempergunakan azas Dekonsentrasi, akan semakin surut penyelenggaraan berdasarkan azas

Desentralisasi, yang berakibat kedudukan Pemerintah Daerah semakin lemah dalam hubungannya dengan Pemerintah Pusat. Dari pengertian diatas, maka secara umum dapat dijelaskan bahwa Dekonsentrasi mengandung unsur-unsur sebagai berikut : a.

Adanya pelimpahan kewenangan dari Pemerintah pusat.

b.

Adanya organ bawahan dari Pemerintah pusat di Daerah yang menerima pelimpahan tersebut.

c.

Sumber-sumber keuangan yang dilimpahkan tetap menjadi kewenangan Pemerintah pusat.

3.

Azas Tugas Pembantuan ( Medebewind ) Definisi Tugas Pembantuan ( medebewind ) menurut Danuredjo (dalam Mustari, 1999 ) adalah : “Medebewind berarti menjalankan peraturan (undang-undang atau peraturan-peraturan Pemerintah ) hak lain secara merdeka. Jadi Pemerintah pusat tidak mungkin menentukan secara imperatif cara-cara untuk menyelenggarakan peraturan-peraturan tadi, dengan kata lain medebewind berati membatu menjalankan tingkah laku taktis daripada Pemerintah Pusat dengan kemungkinan untuk mengadakan peraturan yang mengkhusukan peraturan pusat tadi, supaya ia sesuai dengan keadaan Daerah sendiri “. Pada hakekatnya Tugas Pembantuan itu merupakan kewajiban Daerah otonomi untuk melaksanakan peraturan-peraturan dari instansi atasannya. Artinya penyerahan hanya mengenai caranya menjalankan saja sedang prinsipnya ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sendiri, sehingga Mustari ( 1999) berpendapat bahwa “ Tugas Pembantuan sebenarnya masih merupakan azas Dekonsentrasi “. Dalam Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1974 pasal 1 huruf d, Tugas Pembantuan diartikan sebagai tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan Pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 1 huruf g, dinyatakan bahwa : “Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan desa dan dari Daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewjiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan”. Setelah mengetahui azas-azas yang digunakan dalam penyelenggaraan Pemerintah di Daerah, kemudian bila dikaitkan dengan penyelenggaraan otonomi Daerah dengan titik berat

pada Kabupaten/Kota, maka pelaksanaannya hanya didasarkan pada satu azas saja yaitu azas Desentralisasi. Hal ini sejalan dengan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa : Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan otonomi Daerah pada masa lampau yang menganur prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dengan penekanan hak, maka dalam undang-undang ini pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada azas Desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab . Konsep Otonomi Daerah Dalam sistem penyelenggaraan Pemerintahan negara, dikenal istilah Desentralisasi yang membagi kewenangan kepada Pemerintah Daerah bawahan dalam bentuk penyerahan kewenangan. Penerapan prinsip ini melahirkan adanya model Pemerintahan Daerah yang menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaraan. Dalam sistem ini, kekuasaan negara terbagi antara Pemerintah Pusat disatu pihak, dan Pemerintah Daerah dilain pihak. Pengertian Desentralisasi dan otonomi Daerah mempunyai tempat masing-masing . Istilah otonomi lebih cenderung pada political aspect , sedangkan Desentralisasi lebih cendrung pada administrative aspect . Namun jika dilihat dari konteks Power of Sharing, dalam prakteknya, kedua istilah tersebut mempunyai keterkaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Artinya, jika berbicara mengenai otonomi Daerah , pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah seberapa besar wewenang untuk menyelenggarakan urusan Pemerintahan yang telah diberikan sebagai wewenang dalam menyelenggarakan rumah tangga Daerah, demikian pula sebaliknya. Kewenangan otonomi Daerah di dalam suatu negara kesatuan, tidak dapat diartikan adanya kebebasan penuh dari suatu Daerah untuk menjalankan hak dan fungsi otonominya, tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan, walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk memberikan otonomi yang luas kepada Daerah. Perbedaan kepentingan antara kebebasan berotonomi dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa, selalu merupakan ajang konflik kepentingan yang sering berlarut-larut. Hal ini disebabkan adanya perbedaan dalam meninjau perspektif yang ada, sehingga masalah otonomi Daerah yang bertumpu kepada tinjauan perspektif yang berbeda ini, menjadi dilema yang tak kunjung selesai.

Sebenarnya, pemberian otonomi kepada Daerah dalam Negara Kesatuan, esensinya telah terakomodasi dalam pasal 18 undang-undang dasar 1945 yang intinya menurut Kaho ( 1988) dinyatakan bahwa : “…membagi Daerah Indonesia atas Daerah besar ( propinsi ) dan Daerah propinsi akan dibagi dalam Daerah yang lebih kecil. Daerah itu bersifat “ Otonom “ ( streek en locale rechsgemeenschappen ) dengan bentuk badan perwakilan rakyat, atau hanya berupa “ Daerah administrasi “ saja. Daerah besar dan kecil yang diberikan kewenangan otonomi Daerah seberapa luas apapun bukan merupakan “ Negara “ ( “state “ ), melainkan Daerah yang tidak terpisahkan dari dan dibentuk dalam kerangka “ Negara Kesatuan “ . Corak Daerah besar dan kecil tersebut diatur dalam suatu Undang-Undang” . Inti persoalannya, seberapa jauh keleluasan otonomi Daerah dapat diberikan kepada Daerah. Sehingga Daerah tersebut dapat berfungsi sebagai Daerah Otonom yang mandiri berdasarkan azas demokrasi dan kedaulatan rakyat, tanpa menggangu stabilitas nasional dan keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan kata lain, “ … bagaimana mencari titik keseimbangan antara kehendak politik “ centrifugal “ yang melahirkan Desentralisasi , dan yang lebih berorientasi kepada posisi “ Centripetal “ yang menelorkan corak sentralisasi ( Mustari , 1999 ). Sulit memecahkan masalah tersebut, karena hal itu akan sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik pada suatu masa tertentu. Dan hampir bisa dipastikan, bahwa setiap mencari titik keseimbangan antara kehendak politik “ centrifugal “ yang melahirkan Desentralisasi, dan yang lebih berorientasi kepada posisi “ centripetal “ yang menelorkan corak sentralisasi . Penekanan yang mendahulukan kepentingan lokal akan melahirkan Pemerintahan yang bercorak desentralistik, sedangkan yang lebih mengutamakan stabilitas nasional, akan menimbulkan Pemerintahan yang sentralistik. Sehubungan dengan hal tersebut Rust, (dalam Rasyid, 1999) menyatakan bahwa : Suatu kenyataan , pendapat umum dibanyak negara mengakui bahwa : : Pemerintahan yang sentralistik semakin kurang populer, karena ketidak mampuannya untuk memahami secara tepat nilai-nilai Daerah atau sentimen aspirasi lokal. Alasannya , warga masyarakat akan lebih aman dan tentram dengan badan Pemerintahan lokal yang lebih dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun psikologis . Dalam memberikan keleluasaan otonomi kepada Daerah dinyatakan oleh W. Buckelman (dalam Rasyid, 1999) bahwa: … diakuinya pula tidak akan menimbulkan “ disintegrasi “, dan tidak akan menurunkan derajad – kewibawaan Pemerintah nasional malah sebaliknya kan menimbulkan respek Daerah terhadap

Pemerintah pusat karena itu ada sebuah slogan yang sering dilancarkan : “ … as much autonomy as possible, as much central power as necessary “ Walaupun pelaksanaan otonomi Daerah terlihat sederhana, namun mengandung pengertian yang cukup rumit, karena di dalamnya tersimpul makna pendemokrasian dalam arti pendewasaan politik rakyat Daerah, pemberdayaan masyarakat, dan sekaligus bermakna mensejahterahkan rakyat yang berkeadilan. Sebab bagaimanapun juga tuntutan pemerataan, tuntutan keadilan yang sering dilancarkan, baik menyangkut bidang ekonomi maupun politis, pada akhirnya akan menjadi relatif dan dilematis apabila tergantung kepada tinjauan perspektif yang berbeda. Misalnya pemerataan pembangunan ekonomi ditinjau dari perspektif nasional sudah dipandang cukup merata, tetapi perspektif Daerah meninjaunya lain, yang menganggap bahwa hasil dari sumbersumber kekayaan Daerah yang ditarik ke pusat, jauh tidak seimbang dengan hasil yang dikembalikan kepada Daerah. Hasil bumi dan kekayaan alam di Daerah tidak dinikmati oleh Daerah yang bersangkutan. Mereka hanya mendapatkan beberapa persen saja dari seluruh kekayaan alamnya. Sedangkan sebagian besar ditarik ke pusat, itupun tidak jelas untuk apa dan sebagainya. Dilandasi dari pemikiran diatas, serta demi menunjang kerangka berpikir dalam memberikan kajian dan pendekatan teoritis terhadap pelaksanaan otonomi daerah serta hubungannya dengan kemandirian keuangan daerah, maka dipandang perlu dilakukan pemahaman terhadap pemberdayaan daerah dan masyarakat. Istilah pemberdayaan ( empowerment ), memiliki perspektif yang luas, hal ini ditunjukkan oleh Pearse dan stiefel ( Rochman, 2000) yang mengatakan bahwa “menghormati kebhinnekaan, kekhasan lokal, dekonsentrasi, kekuatan dan peningkatan kemandirian merupakan bentuk-bentuk pemberdayaan partisipatif”. Dalam bentuk yang lain Kartasasmita (dalam Rochman, 2000) menyatakan bahwa, “ Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses perubahan struktural yang harus muncul dari masyarakat, dilakukan oleh masyarakat dan hasilnya ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat”. Dalam perspektif lingkungan Prijono mengatakan bahwa, “ Pemberdayaan mengacu pada pengamatan akses terhadap sumber daya alami dan pengelolaannya secara berkelanjutan ( Rochman, 2000 ).

Dari kajian-kajian teori diatas, dapat diberikan suatu konklusi sementara, bahwa kunci dari perubahan struktur masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat adalah peningkatan kemampuan atau kemandirian masyarakat, yang muncul dari masyarakat oleh masyarakat serta untuk dinikmati masyarakat sebagai manifestasi dari pelaksanaan Otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Pemahaman pemberdayaan khususnya di bidang politik, bila ditinjau dari perspektif pusat, pengaturan tentang jabatan-jabatan politik di Daerah sudah dianggap cukup longgar, namun sebaliknya Daerah masih menganggap intervensi pusat terlalu jauh sehingga menghambat pelaksanaan otonomi daerah dan pengembangan demokrasi . Perbedaan perspektif ini semakin tajam dan mengarah kepada kecemburuan Daerah, akibatnya timbul tuntutan-tuntutan atau gugatan Daerah, terutama setelah beralihnya Pemerintahan Orde Baru kepada Pemerintahan Orde Reformasi, yang apabila terus berlarut-larut tidak mustahil akan menjurus kepada disintegrasi bangsa. Atas dasar itulah diundangkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan Undang-undang Nomor 05 Tahun 1974 . Dengan undangundang ini bangsa Indonesia memasuki babak baru dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pengertian Otonomi Daerah menurut Amrah Muslimin (1960) berarti “ Pemerintah sendiri ( Zelfregering), ( auto = sendiri, nomes = Pemerintahan ) “. Jadi dalam hal ini otonomi memiliki makna kemandirian, seperti yang dikemukakan oleh Manan (dalam Mustari, 1999) yang menyatakan Otonomi sebagai berikut : Kebebasan dan kemandirian ( Vrijheid dan zelfstandigheid ) satuan Pemerintah lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan Pemerintahan. Urusan Pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan Pemerintahan yang lebih rendah tersebut. Kebebasan dan kemandirian merupakan hakekat isi otonomi . Kebebasan

dan

kemandirian

yang

dimaksud

bukanlah

kemerdekaan

(onafhankelijkheid independency), akan tetapi berada dalam ikatan kesatuan yang lebih besar. Artinya otonomi sekedar sub sistem dari sistem kesatuan yang lebih besar. Bila ditinjau dari sudut pandang teori bentuk negara, otonomi adalah fenomena negara kesatuan ( unitary state ). Dengan kata lain negara kesatuan merupakan landas batas dari pengertian dan isi otonomi. Akan

tetapi adapula yang berpandangan lain bahwa otonomi bukan kekhasan dalam negara kesatuan, juga bisa dianut oleh negara serikat (federal state). Hal ini selaras dengan pandangan Muslimin (dalam Mustari, 1960) yang menyatakan “ Pengertian otonomi tidak semata-mata inheren pada negara kesatuan, tetapi otonomi dalam arti umum dan dogmatik juga terdapat dalam negara serikat, dimana otonomi itu lebih luas dari negara kesatuan “ . Selanjutnya Syarifudin (dalam Mustari , 1999 ) menyatakan bahwa “ Seluasluasnya otonomi bukan berarti mandiri secara penuh dalam segala-galanya “. Jika dikaji secara empiris Zuriah , (1988)menyatakan bahwa : Bentuk negara kesatuan ( unitary state ) cendrung tidak memberikan ruang yang cukup bagi otonomi, sedangkan bentuk federasi akan memberikan otonomi penuh pada masing-masing negara bagian atau propinsi untuk mengelola, mengatur dan membenahi wilayahnya, karena masing-masing negara bagian atau propinsi memiliki peraturan dan perundang-undangan sendiri. Untuk memahami hal tersebut, dapat ditinjau dari model yang menggambarkan, bagaimana hubungan pusat dan Daerah dilakukan. Hal ini mengandung pengertian bahwa, negara harus dapat menyelesaikan hal-hal yang berkenaan antara berbagai tingkatan Pemerintahan yang berbeda. Terdapat tiga model bagaimana hubungan antara Pemerintah pusat dan Daerah dilakukan : a.

Sistem Negara Kesatuan, yaitu hubungan Pemerintah pusat danDaerah dibangun dengan cara memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pusat ( highly centralized ).

b.

Sistem Konfederal, yaitu hubungan Pemerintah pusat dan Daerah dibangun dengan cara memberikan kewenangan yang besar kepada Daerah ( highly decentralized ), yang mana Pemerintahan pusat memiliki kewenangan yang sangat terbatas.

c.

Sistem federal, yaitu hubungan Pemerintah pusat dan Daerah dibangun didasarkan pada pembagian antara pusat dan Daerah. ( Nurjaman, 1998) Faktor-faktor yang mendukung Otonomi Daerah Esensi Otonomi Daerah adalah berkembangnya Daerah dengan kemandirian yang mampu mengatur dan menyelenggarakan urusan-urusan Pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan, sesuai dengan konsep-konsep otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Faktor-faktor yang mendukung otonomi Daerah antara lain : a.

Sumber Daya Manusia;

b.

Kemampuan Keuangan Daerah;

c.

Sarana dan Prasarana;

d.

Organisasi dan Manajemen. Hal ini sesuai dengan Kaho (1988) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi

pelaksanaan otonomi Daerah adalah : (1)

Manusia pelaksananya harus baik ;

(2)

Keuangan harus cukup dan baik ;

(3)

Peralatannya harus cukup dan baik ;

(4)

Organisasi dan Manajemen harus baik. Sedangkan kriteria keberhasilan Daerah Otonom untuk mengurus rumah tangganya sendiri menurut Samsi (dalam Daminazar, 2000), yaitu :

a.

Kemampuan Struktur organisasinya, yaitu Pemerintah Daerah menampung segala aktifitas dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggungjawabnya. Jumlah unit-unit beserta macamnya cukup mencerminkan kebutuhan pembagian tugas, wewenang dan tanggungjawab yang cukup jelas;

b.

Kemampuan aparatur Pemerintah, yaitu aparatur Pemerintah Daerah mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga Daerah, keahlian, moral disiplin dan kejujuran serta saling menunjang tercapainya tujuan;

c.

Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat, dengan struktur organisasi dan kelincahan aparatur Pemerintah tetap dituntut agar rakyat mau berperan serta dalam kegiatan pembangunan; Kemampuan keuangan Daerah, semua kegiatan untuk mencapai tujuan pasti membutuhkan biaya. Sehingga Pemerintah Daerah perlu memikirkan biaya untuk semua kegiatan sebagai pelaksanaan pengaturan rumah tangganya. Hal ini memerlukan sumber-sumber pendapatan Daerah atau sebagian mendapat subsidi dari Pemerintah atasannya.

Desentralisasi dan otonomi daerah Tujuan utama dari kebijakakan otonomi daerah adalah, pertama membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangai urusan domestik, sehingga ia berkesempatan untuk memperlajari, memahami, merespon berbagai kecenderongan global dan mengambil mamfaat dari padanya., pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Kedua dengan adanya otonomi daerah, maka pemerimtah daerah mendapat kewenangan lebih dari pemerintah pusat, maka daerah akan mengalami proses pembelajaran dan pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi berbagai masalah domistik akan semakin kuat. Istilah otonomi mempunyai arti kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan sehingga daerah otonomi itu diberi kebebasan atau kemandirian sebagai wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan. Oleh sebab itu, usaha membangun keseimbangan harus diperhatikan dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah. Artinya, daerah harus dipandang dalam 2 (dua) kedudukan, yaitu: (a) sebagai organ daerah untuk melaksanakan tugas-tugas otonomi; dan (b) sebagai agen pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan pusat di daerah. Secara teoritis, hubungan kekuasaan antara pemerintah dengan pemerintah daerah berdasarkan atas 3 (tiga) asas, yaitu: (a) asas desentralisasi; (b) asas dekonsentrasi; dan (c) asas tugas pembantuan. Dalam asas desentralisasi ada penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya baik menyangkut kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaan. Pada asas dekonsentrasi yang terjadi adalah pelimpahan wewenang kepada aparatur pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah dalam arti bahwa kebijakan, perencanaan, dan biaya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas melaksanakan. Sementra Asas pembantuan berarti keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah itu, dalam arti bahwa organisasi pemerintah daerah memperoleh tugas dan kewenangan untuk membantu melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat . Desentralisasi saat ini telah menjadi azas penyelenggaraan pemerintahan yang diterima secara universal dengan berbagai macam bentuk aplikasi di setiap negara. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan secara sentralisasi, mengingat kondisi geografis, kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan struktu sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat diklasifikasi ke dalam dua variabel penting, yaitu pertama peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan (yang merupakan pendekatan model efisiensi struktural/structural efficiency model) dan kedua peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan (yang merupakan pendekatan model partisipasi/participatory model). Setiap negara lazimnya memiliki titik berat yang berbeda dalam tujuan-tujuan desentralisasinya tergantung pada kesepakatan dalam konstitusi terhadap arah pertumbuhan (direction of growth) yang akan dicapai melalui desentralisasi .

Oleh karena itu desentralisasi merupakan simbol “trust” dari pemerintrah pusat kepada sistem yang sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi berbagai masalah, dalam sistem otonomi daerah mereka tertantang untuk secara kolektif menentukan solusi-solusi atas berbagai masalah yang dihadapi . Undang-undang no. 32 tahun 2004 pada pasal 1 butir (7) menyebutkan, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Definisi desentralisasi menuryt para pakar berbeda redaksionalnya, tapi pada dasarnya mempunyai arti yang sama. Joeinarto menyebut bahwa desentralisasi adalah meberian wewenang dari negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri. Sedangkan Muslimin, mengartikan desentralisasi adalah pelimpahan wewenang pada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya. Sementra Irawam Soejito mengartikan desentralisasi sebagai pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pihak lain untuk dilaksanakan . Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia . Desentralisasi adalah asas penyelenggaraan pemerintahan yang dipertentangkan dengan sentralisasi. Desentralisasi menghasilkan pemerintah lokal (local government), adanya pembagian kewenangan serta terjadinya ruang gerak yang ditandai untuk memaknai kewenangan yang diberikan kepada pemerintah yang lebih rendah, hal inilah yang merupakan hal terpenting perbendaan antara desentralisasi dengan sentralisasi . Desentralisasi dalam arti penyerahan urusan pemerintah hanya dilakukan oleh pemerintah kepada daerah otonom. Oleh karena itu tidak terjadi penyerahan wewenang legislasi dari lembaga legeslatif dan wewenang yudikatif dari lembaga yudikatif kepada daerah otonom. Daerah otonom hanya mempunyai wewenang untuk membentuk peraturan daerah (local ordinace), bukan undang-undang . Dilihat dari pelaksanaan fungsi dari pemerintah, desentralisasi atau otonomi daerah itu menunjukan : 1. Satuan-satuan desentralisasi lebih fleksibel dalam memenuhi sebagai perubahn yang terjadi dengan cepat; 2. Satuan-satuan desentralisasi dapat melaskanakan/ melakukan tugas dengan efektif dan efesien; 3. Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif; 4. Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif. Keberhasilan otonomi daerah tidak terlepas dari cukup tidaknya kemampuan daerah dalam bidang keuangan, karena kemampuan keuang ini merupakan salah satu indikator penting guna mengukur tingkat otonomi suatu daerah . A. Pembagian Kewenangan oleh UU no 32 tahun 2004

Di dalam UU No. 32 Tahun 2004, pembagian kewenangan dan atau urusan pemerintahan dilakukan lebih jelas antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota, dan desa dengan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan keserasian hubungan pemerintahan. Di dalam undangundang tersebut ditegaskan bahwa urusan yang menjadi kewenangan daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar, sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait dengan potensi keuanggulan dan kekhasan daerah. Sementara itu, pemerintah pusat memegang urusan utama yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan,moneter, yustisi, dan agama; serta urusan yang ditetapkan oleh suatu undang-undang menjadi urusan pusat. Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurent, artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dengan demikian, setiap urusan yang bersifat concurent selalu ada bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan propinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada kabupaten/kota. Pelaksanaan keseluruhan urusan pemerintahan tersebut masih memerlukan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk PP.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF