Konsep Dan Alokasi DAU
November 13, 2017 | Author: Efrizal Ahd | Category: N/A
Short Description
Download Konsep Dan Alokasi DAU...
Description
LAPORAN AKHIR
DISTRIBUSI DANA ALOKASI UMUM (DAU): KONSEP DAN FORMULA ALOKASI (Usulan Kepada BAKD- BAKM, Departemen Keuangan Republik Indonesia)
Oleh: Adrian T.P. Panggabean, SE, MSc., Ph.D. B. Raksaka Mahi, SE, MSc., Ph.D. Ir. Martin P.H. Panggabean, MSc., Ph.D. Bambang P.S. Brodjonegoro, SE, MSc., Ph.D.
Keempat penulis tergabung dalam Inter-University Center for Economic Research University of Indonesia (IUC-Economics-UI). Studi ini adalah kerjasama antara IUC-Economics-UI dengan Research Triangle Institute (RTI) – North Carolina, USA, dan Badan Analisa Keuangan Daerah (BAKD) Departemen Keuangan Republik Indonesia, dan dibiayai oleh CLEAN-Urban (USAID) Projects.
JAKARTA, 31 OKTOBER 1999
1
KONTEKS 1. Keinginan kuat untuk menuju desentralisasi akhirnya terwujud dengan disahkannya dua UU yang berkaitan dengan daerah, yaitu: UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (pada tanggal 4 Mei 1999), dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (pada tanggal 19 Mei 1999).1 2. Terdapat banyak hal baru yang dibawa oleh kedua UU ini. Paling tidak ada lima perbedaan fundamental yang dibawa oleh kedua UU ini. Pertama, UU No. 22/1999 memiliki perbedaan dalam prinsip pengaturan pembagian urusan/kewenangan publik antar tingkat pemerintahan. Bila dalam UU No.5/1974 pengaturan pembagian fungsi menganut prinsip ultra-vires, maka dalam UU No.22/1999 pengaturannya memakai prinsip intra-vires. Kedua, struktur hierarkhis dalam pengaturan tingkat pemerintahan digantikan dengan pembagian berdasarkan fungsi. Perbedaan dalam tingkatan pemerintahan diterangkan lewat perbedaan dalam fungsi yang diembannya. Ketiga, adalah peran DPRD yang semakin kuat. Berbeda dengan UU sebelumnya dimana format pertanggung-jawaban lebih bersifat finansial dan jenjang hirarkis, maka dalam UU yang baru bentuk pertanggung-jawabannya nyata – yaitu kepada elektoral lewat lembaga DPRD. Keempat, UU No.22/1974 memberikan peran yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam mengatur daerahnya, dan devolusi kewenangan dilakukan dalam jangka waktu yang ditetapkan. Lewat UU No.22/1999 sebagian besar kewenangan publik diserahkan ke pemerintah daerah, kecuali beberapa fungsi yang sifatnya strategis nasional (misalnya: pertahanan-keamanan, peradilan, luar negeri, fiskal-moneter, dan agama). Kelima, dengan terbitnya UU No.25/1999 maka dimulailah era hubungan fiskal pusat daerah yang sifatnya modern dan terstruktur. Ditambah dengan telah berfungsinya UU No.18/1997, maka UU No.25/1999 memberikan nuansa modern dalam pengaturan hubungan keuangan pusat daerah. Hal ini sangat berbeda dengan pengaturan sebelumnya yang bersifat ad-hoc dan diskresioner.2 3. Implikasi finansial langsung dari perbedaan pertama, kedua dan keempat diatas adalah pada peningkatan kebutuhan anggaran untuk bisa menjalankan fungsi-fungsi yang diberikan tersebut. Untuk itu, UU No.25/1999 berupaya mengatur agar dalam menjalankan program desentralisasi juga tercapai keseimbangan yang memadai antara beban fungsi dan sumberdaya finansial yang dimiliki daerah. Lewat pengaturan keseimbangan fiskal yang baru maka akan terjadi perimbangan keuangan yang baru – baik dalam dimensi vertikal (antar tingkatan pemerintahan) maupun horizontal (antar pemerintah daerah di tingkat yang sama). 4. Dalam konteks inilah maka peran dana perimbangan (khususnya Dana Alokasi Umum - DAU) menjadi sangat sentral dalam upaya menyeimbangkan perbedaan potensi dan kebutuhan antar daerah (dimensi horizontal) dan menyeimbangkan perbedaan sumberdaya dan beban fungsi antar tingkat pemerintahan (dimensi vertikal). 1) UU No.22/1999 dan UU No.25/1999 masing-masing tercatat dalam lembaran negara No.99 tahun 1999 dan No.72 tahun 1999. 2) Sebelumnya, pengaturan keuangan dilakukan lewat berbagai macam UU (termasuk beberapa UU darurat), PP, Inpres, dan Keputusan Menteri.
2
TUJUAN DAN CAKUPAN 5. Berangkat dari konteks tersebut maka studi ini memiliki tujuan fungsional untuk memberikan masukan kepada pemerintah dalam proses pembuatan Peraturan Pemerintah untuk mengoperasionalisasikan UU No. 25/1999. Tujuan akhir dari studi ini adalah untuk memberikan skenario kuantitatif mengenai besaran alokasi DAU yang akan diterima oleh setiap daerah, berdasarkan alternatif rumusan yang dibangun. 6. Untuk dapat secara efektif mencapai tujuan tersebut, studi ini perlu mengklarifikasi tujuh isu pokok dibawah ini: •
Prinsip-prinsip dan kriteria-kriteria yang harus dipakai dalam upaya mengoperasionalisasi rumusan umum dalam bagian ketiga, pasal 6-10, UU No.25/1999 (dan pengaturan paralel - dalam Bab 8, pasal 78-86, UU No.22/1999). Tinjauan perlu memasukkan beberapa pelajaran yang ditarik dari pengalaman internasional.
•
Pola dasar rumusan yang seyogianya dianut agar DAU bisa secara optimal membantu pencapaian tujuan desentralisasi sebagaimana tercantum dalam pertimbangan kedua UU.
•
Variabel relevan yang selayaknya dipakai sesuai dengan definisi yang diambil. Juga perlu ditentukan bobot untuk tiap variabel dan dasar penentuan bobotnya. Bila indikator obyektif tidak tersedia, proxy yang selayaknya dipakai dan apa yang harus dilakukan agar dalam jangka menengah indikator obyektif dimaksud bisa tersedia. Hal ini penting karena argumentasi yang solid, rasional dan empiris akan memperkecil kemungkinan munculnya debat politis.
•
Mekanisme pendistribusian DAU yang sesuai dengan prinsip transparansi, efisiensi, dan diskresi daerah.
•
Strategi untuk mengatasi situasi dimana suatu daerah menerima lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya. Dengan perkataan lain, mekanisme kompensasi seperti apa yang perlu diintrodusir dalam menghadapi kemungkinan itu. Disini ada dua alternatif skenario yang mungkin dikembangkan: (1) Dengan mengintegrasikan sebagian Dana Alokasi Khusus (DAK) kedalam DAU untuk mengkompensasi daerah yang menerima kurang dibanding tahun sebelumnya, atau (2) Dengan mengintrodusir variabel tambahan sehingga daerah-daerah yang “worse-off” dapat terkompensasi tanpa harus mengganggu porsi dana DAK. JANGKA WAKTU STUDI
7. Studi harus diselesaikan dalam tempo dua bulan, terhitung mulai tanggal 1 Agustus 1999 sampai dengan 30 September 1999.
3
PENDAHULUAN 8. Sistem hubungan keuangan pusat daerah adalah bagian dari sistem fiskal. Sebagai sebuah instrumen, sistem hubungan keuangan pusat daerah berfungsi sebagai alat untuk memberikan kepada pemerintah daerah sebagian dari penerimaan pajak nasional. Hal itu dilakukan dengan cara transfer dari anggaran pemerintah pusat ke anggaran pemerintah daerah. DAU dengan demikian merupakan bagian dari mekanisme redistribusi yang karenanya prinsip keadilan harus merupakan komponen terpenting dalam tujuan alokasi. 9. Karena DAU merupakan komponen terbesar pembentuk anggaran pemerintah daerah, maka cara perhitungan jumlah dana yang akan dialokasikan, metode distribusi, dan mekanisme administrasi menjadi sangat penting untuk diketahui secara transparan oleh pemerintah daerah. 10. Perlu diingatkan bahwa karena DAU adalah transfer dana dari satu tingkat pemerintah ke tingkat pemerintah lainnya maka pengaruh langsung DAU sebenarnya terbatas pada sektor publik. 11. Berapa jumlah yang harus diberikan ke suatu daerah? Ini adalah pertanyaan terpenting yang untuk menjawabnya kita harus mulai dengan pendekatan “pembiayaan yang mengacu pada beban fungsi” (finance follows function). Pada esensinya, prinsip ini mengatakan bahwa pendekatan kebijakan alokasi fiskal harus dimulai dari penilaian terhadap fungsi-fungsi yang dijalankan oleh daerah. Dari penilaian itu, ditemukanlah total beban anggaran yang harus dipikul oleh daerah. Dari perkiraan beban anggaran tersebut kemudian dibuat kebutuhan jumlah uang yang perlu diberikan kepada daerah (untuk menjalankan fungsi–fungsi tersebut). Tentu saja, setelah memperhitungkan sumbersumber finansial yang dimiliki oleh daerah. 12. Dalam pendekatan ini terlihat ada dua faktor utama yang menentukan besarnya transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Faktor pertama adalah faktor beban fungsi yang merupakan sisi kebutuhan daerah (needs). Faktor kedua adalah faktor kemampuan finansial daerah yang adalah kemampuan dasar dalam membiayai fungsi (revenue capacity). 13. UU No. 22/1999 dan UU No.25/1999, sebenarnya telah memberikan kerangka umum untuk menghitung nilai moneter kedua faktor tersebut. UU No.22/1999, misalnya, sudah menjelaskan secara garis besar fungsi-fungsi yang akan dikerjakan baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah. UU No.25/1999 juga telah memberikan kerangka umum untuk menghitung kemampuan finansial daerah (lihat penjelasan pasal 7 dari UU No.25/1999). UU No.18/1997, dalam hal ini, turut melengkapi informasi yang berkaitan dengan aspek kemampuan keuangan. Walaupun demikian masih terdapat beberapa masalah teknis yang perlu diklarifikasi. 14. Pertama, masalah teknis yang muncul karena kedua UU belum cukup menjelaskan luas cakupan (scope) dan tingkat kedalaman (depth) dari fungsi yang harus dijalankan oleh pemerintah daerah. Untuk sampai kepada estimasi yang baik akan kebutuhan
4
anggaran maka PP yang terkait harus menjelaskan secara rinci cakupan dan kedalaman dari fungsi–fungsi yang harus dijalankan oleh daerah. 15. Kedua, masalah yang muncul karena kedua UU (khususnya UU No.25/1999) belum memberi cara bagi dilakukannya penghitungan dan perbandingan dalam kemampuan keuangan (revenue capacity) antar daerah. 16. Ketiga, pemecahan terhadap kedua masalah teknis diatas dipersulit oleh fakta bahwa proses pembuatan PP yang terkait dengan kedua UU ini sangat terfragmentasi secara kelembagaan. Disatu pihak, UU No. 22/1999 serta draft PP-nya dibuat oleh Departemen Dalam Negeri; dilain pihak, UU No. 25/1999 serta draft PP-nya dibuat oleh Departemen Keuangan. Masing-masing belum tahu persis apa yang akan dilakukan oleh satu sama lainnya. Situasi seperti ini memunculkan masalah teknis ketiga, yaitu potensi munculnya ketidaksesuaian (mismatch) antara kebutuhan anggaran dengan jumlah DAU yang ditransfer. Artinya, ada kemungkinan bahwa uang yang diberikan ke daerah terlalu besar atau terlalu kecil ketimbang fungsi yang dijalankannya. Di Amerika Latin, misalnya, transfer yang diberikan terlalu besar ketimbang fungsi yang dijalankan oleh daerah. Akibatnya, terjadi kekurangan sumber yang sifatnya kronis pada tingkat nasional, dan terjadi pemborosan finansial pada tingkat lokal. Hal ini berbahaya karena uang yang telah masuk kedaerah (secara politis) sulit ditarik kembali. Di Indonesia, yang terjadi sampai saat ini adalah sebaliknya. Jumlah uang yang diberikan relatif terlalu kecil dibandingkan dengan fungsi yang dibebankan, sehingga pemerintah daerah mengalami kekurangan pendanaan yang sifatnya kronis. Dalam pandangan kami, kedua kasus ekstrim ini harus dihindari. 17. Keempat, masalah yang muncul sebagai konsekuensi dari tujuan pembiayaan yang sifatnya beragam. Beberapa paragraf diatas telah menjelaskan masalah yang muncul sebagai konsekuensi dari upaya pencapaian keseimbangan fiskal horizontal dan vertikal. Namun, kedua UU memiliki tujuan eksplisit lain, yaitu: mempercepat pembangunan, meningkatkan efisiensi, demokratisasi, dan juga pencapaian stabilisasi. Dan ketiga tujuan ini, menurut hemat kami, adalah tambahan fungsi yang harus dikerjakan oleh daerah. Objektif yang beragam ini menghendaki sistem alokasi DAU yang dapat membantu tercapainya tujuan ini. Untuk mengantisipasi tuntutan akan sebuah model alokasi yang komprehensif namun tetap rasional, kami menyarankan agar prinsip dasar dibawah ini dapat dimanfaatkan. PRINSIP DASAR ALOKASI DAU Kecukupan (adequacy) 18. Prinsip mendasar yang pertama adalah prinsip kecukupan. Sebagai suatu bentuk penerimaan, sistem DAU harus memberikan sejumlah dana yang cukup kepada daerah. Dalam hal ini, perkataan cukup harus diartikan dalam kaitannya dengan beban fungsi. 19. Sebagaimana diketahui, beban finansial dalam menjalankan fungsi tidaklah statis, melainkan cenderung meningkat karena satu atau berbagai faktor. Oleh karena itulah maka penerimaan pun seharusnya naik sehingga pemerintah daerah mampu membiayai
5
beban anggarannya. Bila alokasi DAU mampu berespon terhadap kenaikan beban anggaran yang relevan, maka sistem DAU dikatakan memenuhi prinsip kecukupan. Netralitas dan efisiensi (neutrality and efficiency) 20. Desain dari sistem alokasi harus netral dan efisien. Netral artinya suatu sistem alokasi harus diupayakan sedemikian rupa sehingga efeknya justru memperbaiki (bukannya menimbulkan) distorsi dalam harga relatif dalam perekonomian daerah. Efisien artinya sistem alokasi DAU tidak boleh menciptakan distorsi dalam struktur harga input. Untuk itu, sistem alokasi harus memanfaatkan berbagai jenis instrumen finansial alternatif relevan yang tersedia. Akuntabilitas (accountability) 21. Sesuai dengan namanya yaitu Dana Alokasi Umum, maka penggunaan terhadap dana fiskal ini sebaiknya dilepaskan ke daerah. 22. Karena peran daerah akan sangat dominan dalam penentuan arah alokasi, maka peran lembaga DPRD, pers dan masyarakat di daerah bersangkutan amatlah penting dalam proses penentuan prioritas anggaran yang perlu dibiayai DAU. Dalam format yang seperti ini, format akuntabilitas yang relevan adalah akuntabilitas kepada elektoral (accountability to electorates) dan bukan akuntabilitas finansial kepada pusat (financial accountability to the centre). 23. Implikasi finansial dari format akuntabilitas seperti ini adalah pada diperlukannya format anggaran yang baru, yang memungkinkan rakyat di daerah dan DPRD bisa secara transparan memonitor langsung implementasi program yang dibiayai oleh DAU. Hal ini akan mengurangi kebutuhan akan proses pertanggung-jawaban administratif yang panjang dan tidak efisien yang pada akhirnya akan membuka celah bagi terjadinya penyelewengan keuangan. Relevansi dengan tujuan (relevance) 24. Sistem alokasi DAU sejauh mungkin harus mengacu pada tujuan pemberian alokasi sebagaimana dimaksudkan dalam UU. Kami berpendapat sudah selayaknyalah alokasi DAU ditujukan untuk membiayai sebagian dari: (1) beban fungsi yang dijalankan; (2) hal-hal yang merupakan prioritas dan target-target nasional yang harus dicapai. Perlu diingat bahwa kedua UU telah mencantumkan secara eksplisit beberapa hal yang menjadi tujuan yang ingin dicapai lewat program desentralisasi. Pertama, stimulasi ekonomi daerah. Kedua, peningkatan demokrasi. Ketiga, keadilan/pemerataan. Keempat, kemampuan daerah dalam melayani masyarakat. Dengan demikian jelas terlihat bahwa sistem alokasi DAU bukanlah semata-mata ditujukan untuk pembiayaan pelayanan jasa publik. Sistem alokasi DAU bukan pula semata-mata ditujukan untuk pencapaian keadilan/pemerataan. Namun, lebih luas dari itu. Beberapa paragraf berikut definisi yang menjelaskan pandangan kami terhadap keempat tujuan tersebut. 25. Secara teoritis dan empiris, DAU yang diterima daerah mampu menstimulasi ekonomi daerah lewat tiga cara. Pertama, alokasi DAU mampu mengurangi dampak negatif dari eksternalitas negatif yang ditimbulkan oleh daerah sekitarnya. Lewat alokasi DAU, misalnya, kemampuan daerah Bekasi dalam membangun jalan akan dapat
6
ditingkatkan sehingga dampak negatif dari kemacetan lalu lintas di perbatasan JakartaBekasi dapat dikurangi. Bila ini terjadi maka DAU sebenarnya menyumbang pada penciptaan efisiensi alokasi yang pada gilirannya akan membantu stimulasi ekonomi daerah. Kedua, lewat alokasi DAU maka daerah-daerah yang kekurangan modal akan bisa terbantu. Efek DAU dengan demikian adalah membantu menciptakan kombinasi input produksi yang lebih optimal. Artinya, DAU menyumbang pada stimulasi ekonomi daerah lewat efeknya terhadap perbaikan efisiensi produksi. Ketiga, alokasi DAU bisa didesain sedemikian rupa dikaitkan dengan upaya peningkatan PAD dan Bagi Hasil sehingga upaya penerimaan pajak, retribusi dan bagi hasil menjadi semakin meningkat. Bila ini terjadi, DAU menyumbang pada mobilisasi sumberdaya keuangan. 26. Dalam konteks ini kami melihat tujuan stabilisasi dalam dua dimensi: politik dan ekonomi. Secara teoritis dan empiris alokasi DAU dapat menyumbang pada terciptanya stabilitas dalam hubungan fiskal antara pusat dan daerah. Dalam dimensi politik, tujuan stabilitas desentralisasi bisa diciptakan bila DAU membantu kepada pencapaian keseimbangan antara kewenangan dan sumber daya (resource and power), baik dalam konteks “antar daerah” maupun dalam konteks “antar tingkat pemerintahan”. Dalam tataran ekonomi, tujuan stabilisasi bisa dicapai apabila desain teknis DAU dibuat sedemikian rupa sehingga pemerintah pusat bisa tetap mengendalikan pola pengeluaran fiskal daerah tanpa harus mengurangi diskresi daerah. 27. Alokasi DAU bisa dipakai sebagai insentif untuk meningkatkan demokratisasi. Disini kami melihat aspek demokratisasi dalam pengertian kekuatan kelembagaan daerah otonom yang demokratis. Dalam hal ini DAU bisa dipandang sebagai insentif fiskal yang berfungsi sebagai “stick and carrot” bagi tercapainya tujuan desentralisasi. Pemerintah pusat dalam hal ini bisa saja menentukan target kualitatif yang harus dicapai daerah agar daerah secara cepat mampu mengelola fungsi yang diberikan kepadanya. Pencapaian terhadap target bisa diberi insentif fiskal; dan kegagalan mencapai target perlu diberi disinsentif fiskal. DAU, dalam hal ini dapat dipakai sebagai insentif untuk mengakselerasi dan menguatkan program desentralisasi. Keadilan (equity) 28. Pertanyaan terpenting yang berkaitan dengan isu pemerataan ini adalah: apa yang ingin diratakan lewat instrumen DAU? Umumnya orang berpendapat DAU harus bertujuan untuk meratakan pendapatan antar daerah (entah dalam pengertian nominal ataupun dalam pengertian perkapita). Walaupun ini adalah tujuan yang menarik, namun secara konseptual dan praktis tujuan tersebut bukanlah tujuan yang secara langsung dapat dicapai oleh instrumen DAU. Menurut hemat kami, tujuan pemerataan pendapatan antar daerah hanya baik untuk dipakai sebagai referensi ideal (atau, tujuan pemerataan yang sifatnya primer) tapi bukan tujuan yang bisa dicapai secara fungsional. 29. Mengapa? Karena bila transfer DAU ditujukan langsung untuk menyamakan pendapatan perkapita, maka implikasinya adalah bahwa desain transfer DAU harus mengacu pada perbedaan dalam tingkat pendapatan antar daerah. Maksudnya, daerah yang berpendapatan tinggi harus diberikan sedikit dana sementara daerah yang
7
berpendapatan rendah harus diberikan dana yang lebih besar.3 Tapi bila ini yang dilakukan maka itu berarti pemerintah pusat mem-penalti daerah yang berpendapatan tinggi dan memberi insentif agar daerah tetap “tertinggal”. Struktur insentif seperti ini memiliki dampak negatif terhadap stimulasi pembangunan daerah. Sehingga, alokasi yang ditujukan langsung untuk memeratakan pendapatan perkapita akan berpotensi mempenalti daerah-daerah yang telah berupaya keras untuk meningkatkan PAD-nya. Dalam hal ini, pertanyaan yang sifatnya politis juga muncul: apakah pemerataan pendapatan antar daerah lebih dipandang penting disaat kesenjangan intra daerah di Indonesia masih begitu besar? 30. Oleh karena itulah kami menganggap pendekatan yang diambil oleh UU No. 25/1999 adalah pendekatan yang tepat, baik dilihat dari kacamata politis maupun dari sudut pandang konseptual filosofis. Tujuan pemerataan yang dimaksud dalam UU ini adalah memeratakan ketersediaan sumber dana antar pemerintah daerah. Dengan perkataan lain, alokasi DAU seharusnya berupaya menciptakan kondisi dimana setiap (pemerintah) daerah memiliki dasar pijakan yang sama (to be in the same equal footing) tanpa perlu menciptakan variasi antar daerah yang besar dalam beban perpajakan. Dibalik konsep ini adalah filsafat pemerataan dalam kesempatan (equality in opportunity). Apakah pada akhirnya kesamaan dalam pijakan (equal footing) akan menghasilkan kesamaan dalam pendapatan perkapita tentu tergantung pada banyak faktor lainnya, seperti misalnya kinerja internal daerah bersangkutan. Kinerja internal daerah lebih bersifat kapasitas organisasi dan itu sudah berada diluar sistem keuangan pusat daerah. Dengan DAU, paling tidak basic endowment setiap pemerintah daerah telah diupayakan untuk disamakan. 31. Berkaitan dengan konsep ini, ada dua elemen yang perlu dipertimbangkan. Pertama, biaya penyediaan jasa layanan/biaya pembangunan infrastruktur bervariasi antar daerah. Suatu daerah mungkin memerlukan sejumlah anggaran yang lebih besar untuk membangun infrastruktur yang berkualitas sama atau untuk menyediakan jasa layanan yang sifatnya standar. Hal ini bisa terjadi karena volume pelayanan yang harus disediakan besar (misalnya jumlah penduduknya besar atau jumlah anak usia sekolah besar), atau karena biaya konstruksi infrastruktur dan biaya transportasi lebih besar karena faktor luas wilayah dan kondisi wilayah, atau karena densitas penduduk sangat kecil (penduduk terpencar dalam wilayah luas). Kedua, sumberdaya keuangan pemerintah daerah pun bervariasi antar daerah. Bila yang diinginkan adalah variasi beban perpajakan yang tidak besar (lihat paragraf dalam Pendahuluan) , maka tarif pajak dan retribusi harus kurang lebih sama. Bila itu harus terjadi maka suatu daerah mungkin memperoleh PAD yang kecil karena jumlah perkantoran, pabrik, dan aktivitas ekonomi masyarakat (atau dikenal dengan istilah basis pajak) didalam wilayah tersebut relatif kecil. Dengan struktur revenue handles yang dimiliki saat ini (lihat UU No. 18/1997 dan 3) Inipun harus disertai catatan bahwa tersedia data yang mengukur pendapatan daerah. Perlu ditambahkan, angka “pendapatan” sangat berbeda dengan angka PDRB yang adalah angka “produksi”. Jumlah pendapatan yang diterima daerah tidaklah sama dengan jumlah produksi yang dihasilkan daerah. Faktor koreksi yang harus diperhitungkan secara eksplisit bila kita ingin memakai data PDRB adalah data transfer payment antara daerah. Sampai saat ini data seperti itu belum tersedia di Indonesia.
8
PP No.19/1997), dan dengan melihat secara kasar bahwa tingkat tarif pajak dan retribusi antar daerah yang kurang lebih sama, maka perbedaan dalam PAD di Indonesia, misalnya, lebih disebabkan karena perbedaan dalam basis fiskal antar daerah. 32. Untuk mencapai tujuan pemerataan sebagaimana dimaksud dalam UU No.25/1999 maka alokasi DAU harus memasukkan kedua faktor ini dalam perhitungannya. Tanpa perlakuan yang eksplisit terhadap kedua faktor ini maka keleluasaan (diskresi) yang diberikan kepada daerah dalam penggunaan DAU akan kehilangan makna. Sebab, bila suatu daerah memiliki tingkat kebutuhan yang besar sementara potensi ekonominya kecil, daerah tersebut akan terpaksa menaikkan tarif pajak untuk mencapai standar jasa layanan yang sama dengan daerah lainnya. 33. Kami melihat ada dua implikasi dari konsep ini. Pertama, bila alokasi DAU yang dilakukan oleh pemerintah pusat telah membuat setiap pemerintah daerah memiliki “kesempatan yang sama”, dan konvergensi dalam pendapatan perkapita tidak tercapai, maka hal itu terjadi karena ada faktor-faktor lain diluar sistem alokasi DAU yang sedang bekerja. Kedua, lewat alokasi DAU maka pemerintah pusat terlihat memiliki komitmen kuat untuk menciptakan kesamaan dalam ketersediaan sumberdaya finansial di tiap pemerintah daerah yang pada gilirannya memberikan kesempatan yang sama bagi tiap daerah untuk memproduksi public capital. Ini berarti alokasi DAU telah berupaya membantu kearah tercapainya keseimbangan pembangunan antar daerah. Tapi memberikan kesempatan yang sama tidak harus berarti terciptanya hasilan (outcome) yang sama. Hasilan yang sama, sekali lagi, ditentukan oleh begitu banyak faktor diluar sistem alokasi DAU. Objektivitas dan transparansi (objectivity dan transparancy) 34. Sebuah sistem alokasi DAU yang baik harus didasarkan pada upaya untuk meminimumkan kemungkinan manipulasi. Untuk itulah maka sistem alokasi DAU harus dibuat sejelas mungkin dan formulanya pun dibuat setransparan mungkin. Prinsip transparansi akan dapat dipenuhi bila formula tersebut bisa dipahami oleh khalayak umum. 35. Dalam kaitan itulah maka indikator yang digunakan sedapat mungkin adalah indikator yang sifatnya obyektif sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang ambivalen. Kesederhanaan (simplicity) 36. Rumusan alokasi DAU harus sederhana (tidak kompleks). Rumusan tidak boleh terlampau kompleks sehingga sulit dimengerti orang, namun tidak boleh pula terlalu sederhana sehingga menimbulkan perdebatan dan kemungkinan ketidak-adilan. Rumusan sebaiknya tidak memanfaatkan sejumlah besar variabel dimana jumlah variabel yang dipakai menjadi relatif terlalu besar ketimbang jumlah dana yang ingin dialokasikan. Perlu diingat bahwa untuk tahun anggaran 2000/2001, dana yang akan dialokasikan ke lebih dari 350 pemerintah daerah, hanya sebesar Rp 45 triliun. Dengan perbandingan antara dana dan jumlah daerah yang “hanya” sedemikian, adalah lebih bijaksana untuk tidak berusaha menggunakan variabel yang jumlahnya puluhan.
9
BEBERAPA ISU POKOK: PENGALAMAN YANG ADA, DAN SOLUSI
ALTERNATIF
Isu pokok 37. Mengacu pada prinsip-prinsip dasar diatas dan juga mengacu pada UU, ada empat isu pokok penting yang perlu diklarifikasi berkaitan dengan perhitungan alokasi DAU untuk tiap daerah. Pertama, pengertian dan pengukuran potensi ekonomi. Kedua, pengertian dan pengukuran kebutuhan. Ketiga, bagaimana secara baik memasukkan elemen insentif kedalam sistem alokasi. Keempat, masalah pembobotan variabel penentu alokasi DAU. Kesemuanya akan kami bahas secara terpisah dalam paragraf-paragraf selanjutnya. 38. Referensi utama yang kami pegang dalam membuat formula dan mekanisme adalah UU No.25/1999, yang dalam hal ini telah memberikan dua kerangka penting. Pertama, DAU harus dialokasikan kepada pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Kedua, rumusan umum menjelaskan bahwa kabupaten (atau propinsi) akan memperoleh uang sesuai dengan proporsi bobot kabupaten (atau propinsi) terhadap keseluruhan kabupaten (atau propinsi). Sementara itu, yang dimaksud dengan proporsi (sesuai dengan Bab 3 pasal 7 UU No. 25/1999) adalah “bobot” daerah yang dihitung berdasarkan potensi ekonomi dan kebutuhan wilayah. Dalam penjelasan UU No.25/1999 pengertian kebutuhan maupun potensi ekonomi juga sudah dijelaskan lebih lanjut. Pengertian kebutuhan dijelaskan antara lain dengan faktor penduduk, luas wilayah, keadaan geografis dan penduduk miskin. Sementara itu, pengertian potensi dijelaskan dengan memberikan contoh, misalnya, potensi industri, potensi sumber daya alam, potensi sumber daya manusia dan tingkat produk domestik regional bruto. Namun demikian, UU belum secara jelas memberikan definisi konseptual dan petunjuk operasional mengenai penggunaan faktor “potensi ekonomi” dan “kebutuhan wilayah”. Menurut kami, ini bukanlah kelemahan dari UU karena secara normatif memang tidak mudah mendefinisikan kedua kata tersebut. 39. Referensi lainnya adalah pengalaman historis dan internasional. Dalam melakukan alokasi DAU, setiap negara menggunakan metode dan pemilihan formula alokasinya masing-masing. Untuk membantu dalam menentukan formula alokasi bantuan yang tepat bagi DAU, kami melakukan tinjauan atas beberapa model alokasi DAU yang dipakai di beberapa negara yang kami pandang relevansi ilustratif terhadap permasalahan alokasi bantuan DAU di Indonesia. Pengalaman historis: Indonesia 40. Sistem transfer di Indonesia yang dipakai saat ini adalah hasil evolusi sepanjang kurun 45 tahun (dimulai tahun 1950an). Perkembangan selanjutnya dimulai pada tahun 1969 saat pemerintah (dengan mengambil bentuk hukum Inpres) memberikan alokasi yang sifatnya umum kepada Daerah Tingkat II. Dalam perkembangannya, sistem alokasi di Indonesia menjadi amat kompleks karena setiap jenis Inpres yang ada sebenarnya merupakan respon fiskal yang sifatnya pragmatis terhadap tekanan yang muncul saat itu. 41. Dalam prakteknya, alokasi DAU yang murni belum pernah ada. Setiap alokasi fiskal ke daerah, bahkan yang sifatnya umum sekalipun, mengandung berbagai macam ketentuan. Yang menarik, ketiadaan prinsip dasar alokasi dan definisi alokasi
10
menyebabkan alokasi fiskal pemerintah pusat menghasilkan distorsi dan beban kepada anggaran pemerintah daerah. 42. Berdasarkan riset selama ini, sistem alokasi di Indonesia lebih menekankan pada upaya mengkompensasi perbedaan dalam kebutuhan (needs equalization) dan bukan pada upaya mengkompensasi perbedaan dalam potensi ekonomi (revenue capacity equalization). Sehingga akibatnya efek grants selalu cenderung bersifat lemah. Dalam konteks pemerataan, sistem alokasi Indonesia sifatnya “mildly equalizing”, dan dalam konteks stimulasi ekonomi, sistem alokasi Indonesia kurang membantu pada penciptaan efisiensi alokasi dan efisiensi produksi. Pengalaman internasional: Kanada 43. Salah satu jenis bantuan yang mirip dengan bantuan DAU adalah bantuan program untuk pemerataan (Canadian equalization program). Bantuan ini bersifat umum dan tidak mengikat (unconditional block grant) dan ditujukan untuk mendukung dicapainya suatu tingkat pelayanan publik tertentu sesuai dengan kemampuan perpajakan daerah. Dengan demikian, model alokasi dana ini memberikan penekanan atas pentingnya kapasitas fiskal suatu daerah sebagai penentu atas besarnya alokasi. 44. Untuk mengukur besarnya dana yang harus dialokasikan ke tiap daerah berdasarkan kapasitas fiskal, dibuatlah suatu formula alokasi bantuan. Beberapa karakteristik pokok dari formula alokasi tersebut adalah sebagai berikut: (1) formula tersebut menggunakan standar rata-rata (teoritis) dari kapasitas pajak di setiap propinsi, (2) Kapasitas pajak dihitung berdasarkan penerimaan per kapita yang dapat diperoleh suatu propinsi apabila propinsi bersangkutan menggunakan rata-rata tingkat pajak nasional terhadap basis pajaknya, (3) apabila perhitungan kapasitas pajak dari setiap propinsi telah diperoleh, kemudian kapasitas pajak propinsi bersangkutan dibandingkan dengan penerimaan per kapita yang akan diperoleh apabila propinsi tersebut menggunakan basis pajak rata-rata nasional. Basis pajak rata-rata nasional adalah rata-rata basis pajak untuk 5 propinsi di Kanada, (4) suatu propinsi yang memiliki basis pajak per kapita yang lebih rendah dari rata-rata basis pajak nasional akan menerima alokasi dana sebesar perbedaan antara kapasitas pajak propinsi bersangkutan dengan kapasitas pajak rata-rata nasional (standar nasional), dikalikan dengan jumlah penduduk propinsi yang bersangkutan. 45. Formula alokasi dirumuskan sebagai berikut: Eij = tj [Bsj/Ps – Bij/Pi] Pi ; dimana Eij = Besarnya alokasi di propinsi di dasarkan atas jenis penerimaan j; Bsj = basis pajak ratarata pada lima propinsi untuk jenis penerimaan j; Ps = Jumlah penduduk total untuk lima propinsi; Bij = Basis pajak propinsi i untuk jenis penerimaan j ; Pi = Jumlah penduduk di propinsi i; tj = Rata-rata tingkat pajak nasional untuk jenis penerimaan j. Sedangkan tj didefinisikan sebagai: tj = Σ i TRij / Σ i Bij., dimana TRij adalah penerimaan aktual untuk jenis penerimaan j pada propinsi i. 46. Untuk menghitung total alokasi bantuan bagi propinsi i, maka dilakukan penjumlahan alokasi yang didasarkan atas setiap jenis penerimaan, yaitu: TEi = Σ j Eij, dimana TEi adalah total alokasi bantuan DAU untuk propinsi i.
11
47. Dari deskripsi sederhana diatas, kami melihat ada dua hal penting yang dapat disimpulkan atas model alokasi DAU Kanada. Pertama, program alokasi ini terutama ditujukan untuk meningkatkan kapasitas fiskal bagi propinsi-propinsi yang kurang mampu. Dengan alokasi DAU ini diharapkan mereka dapat mencapai kapasitas fiskal yang sesuai dengan rata-rata nasional. Dengan demikian, program ini kurang memberikan perhatian kepada propinsi-propinsi yang telah memiliki kapasitas fiskal di atas rata-rata nasional. Hal ini memiliki konsekuensi dimana bantuan akan memberikan disinsentif bagi perbaikan administrasi perpajakan di tingkat propinsi. Kedua, dalam sistem DAU di Kanada ada terdapat 30 jenis penerimaan daerah yang tercakup dalam perhitungan formula. Untuk melakukan perhitungan basis pajak, Kanada menggunakan data yang langsung tersedia. Walaupun demikian, pada beberapa jenis penerimaan terdapat kesulitan dalam melakukan perkiraan besarnya basis pajak yang untuk itu dilakukan proxy (misalnya, pajak atas kepemilikan tanah dan bangunan). Pengalaman internasional: Cina 48. Di Cina, besarnya alokasi bantuan kepada suatu propinsi merupakan penjumlahan atas bantuan yang didasarkan atas faktor-faktor obyektif serta bantuan yang didasarkan atas faktor-faktor kebijakan, yang ditimbang dengan suatu koefisien insentif. Formula dasar yang digunakan bagi alokasi ke suatu propinsi adalah: Jumlah Alokasi ke Propinsi i = Σ (TFO + TFK) x (1± Koefisien Insentif). Dimana, TFO = transfer yang didasarkan atas faktor-faktor obyektif; TFK = transfer yang didasarkan atas faktor-faktor kebijakan. TFO (tranfer yang didasarkan atas faktor-faktor obyektif) dirumuskan sebagai: TFO = (tingkat pengeluaran standar – tingkat penerimaan standar) x koefisien TFO. 49. Ada beberapa konsiderans pokok yang dipakai dalam perhitungan alokasi yang didasarkan atas faktor-faktor obyektif. Pertama, tingkat pengeluaran standar suatu propinsi dihitung berdasarkan kebutuhan pengeluaran untuk pegawai, pengeluaran untuk kegiatan publik, pengeluaran untuk operasional, pengeluaran khusus untuk propinsi dan pengeluaran standar lainnya. Kedua, setiap komponen kebutuhan pengeluaran tersebut diestimasi dengan menggunakan suatu formula tersendiri, yang didasarkan atas beberapa variabel obyektif. Adapun variabel penting yang dipergunakan untuk setiap kebutuhan pengeluaran tersebut mencakup: (1) pengeluaran pegawai didasarkan atas gaji standar, jumlah pegawai standar, serta subsidi tambahan bagi daerah baru; (2) pengeluaran untuk kegiatan publik dibagi menurut 4 kategori, yaitu; kategori pengeluaran administrasi, keamanan, dan peradilan; kategori pendidikan; kategori industri, komunikasi, perdagangan dan lembaga pertanian; kategori pengeluaran lainnya. Pengeluaran untuk setiap kategori diestimasi dengan mempergunakan beberapa variabel pokok, sebagai berikut: •
Pengeluaran administrasi, keamanan, dan peradilan, diestimasi dengan mempergunakan variabel-variabel jumlah pegawai pada bidang-bidang tersebut, besarnya kemampuan penerimaan daerah per kapita, dan biaya transportasi.
•
Pengeluaran untuk pendidikan diperkirakan atas dasar besarnya variabel-variabel kemampuan penerimaan daerah per kapita, jumlah murid yang duduk pada sekolah menengah dan sekolah dasar, serta kepadatan penduduk.
12
•
Pengeluaran untuk industri, komunikasi, perdagangan dan lembaga pertanian didasarkan atas variabel kemampuan penerimaan daerah per kapita, biaya transportasi, kepadatan penduduk, produk domestik bruto daerah.
Ketiga, tingkat penerimaan standar didasarkan atas penjumlahan dari penerimaan daerah, pemotongan pajak (tax rebates) untuk daerah, serta subsidi yang secara formal telah diterima propinsi bersangkutan. Keempat, pada dasarnya, berdasarkan perhitungan atas penerimaan maupun kebutuhan pengeluaran standar tersebut, maka suatu propinsi yang memiliki hasil perhitungan negatif tidak akan menerima bantuan transfer yang didasarkan atas faktor-faktor obyektif. 50. Selain alokasi yang didasarkan atas faktor-faktor obyektif, maka terdapat pula alokasi yang didasarkan atas unsur-unsur kebijakan (policy subsidy variables). Di Cina, alokasi yang didasarkan atas unsur-unsur kebijakan ini dilakukan terutama untuk membantu wilayah yang didiami oleh etnis minoritas agar mereka dapat mandiri dan mengelola daerahnya secara otonom. 51. Dalam formula alokasi DAU untuk Cina, dikenal pula suatu variabel yang bersifat insentif. Variabel ini belum lama diperkenalkan di Cina (1996) dengan tujuan agar pemerintah daerah memiliki komitmen untuk memperbaiki penerimaan lokal mereka. Sebagai dasar untuk insentif, suatu daerah diharapkan mampu paling tidak mencapai 50% dari selisih antara pertumbuhan penerimaan rata-rata daerah dengan pertumbuhan penerimaan rata-rata nasional. Apabila suatu daerah mampu melampaui angka tersebut, maka daerah bersangkutan akan menerima tambahan alokasi dana sebagai insentif. Sementara itu, apabila daerah bersangkutan berada dibawah angka tersebut maka daerah itu akan memperoleh pemotongan jumlah alokasi bantuan. 52. Metode alokasi bantuan yang dipergunakan di Cina memerlukan data yang besar dan akurat, karena setiap komponen dalam penerimaan dan pengeluaran diestimasi menurut kategorinya. Dibandingkan dengan model Cina, maka model Kanada dirasakan lebih sederhana. Tapi perlu dicermati bahwa kedua model memiliki penekanan yang berbeda. Kanada lebih menitik beratkan tujuan pemerataan (dalam model alokasi) pada penyamaan kapasitas fiskal (revenue capacity equalization), sementara Cina, walaupun berupaya komprehensif dengan memasukkan kapasitas fiskal dan kebutuhan, tetap cenderung kearah kompensasi terhadap perbedaan antar daerah dalam tingkat kebutuhan (needs equalization). Beberapa paragraf dibawah ini akan mengetengahkan model alokasi di negara Ethiopia. Negara ini memang tidak relevan untuk Indonesia bila dilihat dari segi ukuran negara, namun model alokasinya menarik untuk disimak karena kesederhanaanya. Pengalaman internasional: Ethiopia 53. Dilatar-belakangi oleh fakta bahwa rata-rata kemampuan penerimaan daerah (di Ethiopia dalam hal ini negara bagian) hanyalah sebesar 16% dari total penerimaan daerah, maka sebagian besar kebutuhan daerah dibiayai melalui bantuan yang berasal dari pemerintah pusat. Oleh karena itu, Ethiopia menempatkan kebutuhan daerah sebagai salah satu unsur penting dalam alokasi bantuan ini. Dengan demikian, untuk alokasi
13
bantuan dari pusat ke negara bagian, model alokasi bantuan yang dikembangkan di Ethiopia lebih ditekankan pada estimasi terhadap kebutuhan daerah. 54. Alokasi bantuan yang didasarkan atas kebutuhan dalam model Ethiopia ini masih merupakan suatu alokasi bruto (gross transfer). Dalam menentukan besarnya alokasi kepada setiap daerah (atau disebut sebagai alokasi neto - net transfer), maka alokasi bruto tersebut harus dikurangi dengan besarnya kemampuan penerimaan daerah yang dianggarkan untuk tahun yang bersangkutan. Adapun penerimaan daerah terdiri atas berbagai perkiraan anggaran penerimaan yang berasal dari pajak maupun jenis penerimaan lain yang dimiliki oleh tingkat daerah. Formula alokasi bantuan bruto (gross transfer) untuk memperkirakan kebutuhan setiap daerah yang dipakai di Ethiopia (1995/6) adalah: GTRi = 1/3 x TR x [POPi/POP + (IDi/ID x POPi/POP) + SRBi/SRB]; Dimana: GTRi adalah gross transfer ke daerah i, TR adalah total pengeluaran nasional yang dialokasikan untuk semua daerah, POP adalah populasi, SRBi adalah besarnya anggaran penerimaan daerah i, dan ID adalah suatu indeks “jarak” yang dipergunakan untuk menangkap berbagai perbedaan sosial dan ekonomi antar daerah. Indeks ID ini diberi timbangan populasi. Sedangkan formulasi alokasi bantuan neto (net transfer = NTR) didefinisikan sebagai: NTRi = GTRi - SRBi ; Dimana NTRi adalah besarnya alokasi bantuan DAU neto ke daerah i. 55. Dalam formula di Ethiopia terdapat variabel indeks jarak. Indeks ini terdiri atas delapan jenis variabel, yaitu: (1) panjang jalan pedesaan; (2) rasio antara jumlah penduduk pedesaan dengan total jumlah penduduk; (3) produksi sektor industri per kapita; (4) produksi sektor pertanian pangan per kapita; (5) kepadatan penggunaan saluran telpon; (6) jumlah kantor pos; (7) rasio antara jumlah tempat tidur di rumah sakit terhadap total jumlah penduduk dan; (8) jumlah anak sekolah tingkat dasar. 56. Menurut hemat kami, formula alokasi untuk Ethiopia ini menarik untuk dipakai sebagai acuan karena formula ini tergolong sederhana (tidak memerlukan suatu proses estimasi secara ekonometris dengan metode regresi). Ada terdapat beberapa kelemahan dalam model Ethiopia, yang bila dapat diperbaiki, akan dapat menjadikan model ini sebagai referensi yang lebih menarik. 57. Kelemahan pertama, variabel yang dipergunakan dalam melakukan perhitungan kebutuhan daerah terlalu heterogen. Kerap kali proxy yang dipakai agak simplistis namun kerap agak kompleks. Sebagai contoh, variabel produksi pangan per kapita maupun sektor produksi perkapita mewakili pertumbuhan ekonomi. Proxy ini kami anggap terlalu sederhana untuk konteks Indonesia. Dilain pihak, terdapat beberapa variabel lainnya yang masih belum cukup merepresentasikan kebutuhan. Misalnya, variabel-variabel jumlah tempat tidur di rumah sakit, dan banyaknya kantor pos dipakai untuk mewakili variabel yang berhubungan dengan perkembangan tingkat pelayanan publik. Namun, ini hanyalah gambaran stok infrastruktur yang tidak menggambarkan kemampuan utilisasi. Juga, kami
14
melihat beberapa variabel yang kurang memberikan arti tertentu. Variabel rasio penduduk urban, misalnya. Disatu sisi variabel ini sebenarnya dapat dijadikan indikator terhadap pertumbuhan ekonomi (dus, pertumbuhan dalam kapasitas produksi). Disisi lain, variabel ini sebenarnya merupakan indikasi terhadap besarnya tingkat pelayanan yang diperlukan. 58. Kelemahan kedua, alokasi bantuan neto sangat tergantung pada besarnya perkiraan anggaran penerimaan daerah. Apabila pada akhirnya penerimaan aktual lebih rendah dari perkiraan yang dianggarkan, maka daerah bersangkutan akan memperoleh kesulitan keuangan. Hal ini terjadi karena besarnya alokasi bantuan DAU kurang dari yang seharusnya diperlukan oleh daerah dalam memenuhi kebutuhan fiskalnya. Perkiraan anggaran itu sendiripun masih kurang obyektif karena didalamnya sebenarnya terdapat unsur ekspektasi, keinginan dan faktor-faktor subyektif lainnya. 59. Kelemahan ketiga, sebenarnya banyak variabel-variabel lain yang lebih relevan dalam menunjukkan kebutuhan untuk negara seperti Ethiopia. Misalnya, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan. Mungkin tidak diikutsertakannya variabel itu karena masalah ketidak-tersediaan data. 60. Kelemahan keempat, adanya variabel SRBi dalam formula alokasi bruto di Ethiopia dimaksudkan untuk memberikan insentif tambahan alokasi bantuan bagi daerah yang menunjukkan suatu peningkatan atau perbaikan dalam penerimaan daerahnya. Variabel ini pada dasarnya digunakan agar daerah makin mampu memperbaiki administrasi perpajakan di daerahnya dengan bantuan alokasi dari pusat. Tetapi variabel ini juga digunakan sebagai unsur “pengurang” untuk memperoleh besarnya transfer neto ke negara bagian yang bersangkutan. Karenanya, penggunaan variabel penerimaan dalam sisi kebutuhan dan juga dalam sisi kapasitas fiskal dengan arah yang bertolak belakang ini akan menimbulkan disinsentif bagi daerah untuk memperbaiki kemampuan penerimaannya. 61. Kelemahan kelima, bobot untuk setiap variabel dianggap sama dan tetap, yaitu 1/3. Kami menganggap ini kurang realistis karena pada dasarnya keperluan daerah maupun keperluan nasional berubah secara dinamis. Oleh karenanya, bobot ini sebaiknya ditinjau setiap beberapa tahun dan bila perlu dirubah sesuai dengan kepentingan nasional maupun daerah yang ada. Sebagai contoh, apabila pemerintah pusat ingin lebih mengutamakan peningkatan pelayanan publik, maka variabel indeks “jarak” (ID) seharusnya memperoleh bobot yang lebih besar. Tetapi apabila pemerintah pusat bermaksud mendorong negara bagian untuk memperbaiki kemampuan perpajakannya sendiri, maka bobot terhadap variabel SRB-lah yang seharusnya diperbesar. 62. Kelemahan keenam, terlalu banyaknya variabel yang menjelaskan indeks “jarak” (ID) akan merepotkan dalam proses updating data setiap tahunnya. Banyak sedikitnya jumlah variabel yang dipakai terkadang tidak terlalu “signifikan” dalam menentukan perbedaan alokasi dana antar daerah. Tujuan menangkap variasi antar daerah sebenarnya dapat dilakukan tidak saja melalui penambahan variabel, tetapi juga bisa dilakukan melalui perubahan bobot dari variabel-variabel penentu yang ada. Jadi banyaknya
15
variabel yang dipakai tidak “menguntungkan” dilihat dari aspek pencapaian tujuan menangkap variasi antar daerah. Pengalaman internasional: pelajaran yang dapat ditarik 63. Berdasarkan atas tinjauan terhadap empat model alokasi bantuan blok di empat negara berbeda, ada beberapa pelajaran penting yang dapat ditarik untuk kepentingan penyusunan model alokasi DAU di Indonesia. 64. Pertama, bantuan DAU harus memiliki tujuan yang jelas dan tercermin dalam formula alokasinya. Karena sewaktu-waktu tujuan tersebut dapat berubah (karena alasan ekonomi atau politik), maka dalam formula alokasi tersebut, harus terdapat faktor-faktor yang dapat mencerminkan perubahan kondisi tersebut. Selain itu, sebagai pengambil keputusan yang memihak kepada kepentingan nasional, sebaiknya pemerintah pusat juga memiliki suatu kemampuan untuk mengintervensi dalam model alokasi bantuan tersebut dalam batas-batas tertentu. Tentunya itu dilakukan secara transparan. Hal ini mungkin dilakukan bila bobot dalam formula alokasi ini dapat dirubah sesuai dengan kepentingan nasional. Dalam masalah perubahan bobot ini, pemerintah pusat (atau dewan atau sekretariat) juga harus mengkonsultasikannya kepada DPR untuk menjelaskan tentang kepentingan nasional yang berubah. Dari pengalaman di tiga negara, paling tidak terlihat variabel-variabel yang bobotnya dapat dirubah sesuai dengan kepentingan nasional. Di Ethiopia, misalnya, bila pemerintah bermaksud meningkatkan kualitas adminstrasi perpajakan, maka bobot untuk variabel penerimaan daerah (SRB) dapat diperbesar. 65. Kedua, terdapat perbedaan mendasar antara estimasi kebutuhan anggaran dan kapasitas fiskal. Dari pengalaman di tiga negara terlihat bahwa pada dasarnya estimasi kebutuhan anggaran harus dapat mencerminkan paling tidak tiga hal: (1) kebutuhan pokok yang menjadi standar daerah; (2) perilaku daerah atas setiap kebutuhan daerah; (3) kebutuhan daerah yang sejalan dengan kebutuhan nasional. Oleh karenanya, dalam menentukan besarnya kebutuhan, strategi yang terbaik adalah dengan menentukan kebutuhan fiskal dasar bagi daerah. UU No.22/1999 telah menetapkan 11 fungsi yang harus menjadi kewajiban dasar daerah. Karenanya, menentukan perilaku dari pengeluaran daerah untuk ke 11 macam jenis kegiatan ini menjadi penting untuk diketahui. Perilaku ini tidak perlu diestimasi secara individual atau per kategori pengeluaran, tetapi dapat berupa agregasi dari semua kategori pengeluaran. 66. Untuk menentukan perilaku ini, maka dapat dipergunakan analisa regresi atas datadata terakhir yang paling relevan. Koefisien hasil estimasi dari fungsi kebutuhan fiskal tersebut mungkin tidak akan dipakai sepenuhnya dalam menentukan besarnya kebutuhan fiskal daerah, tetapi sebaiknya dipergunakan sejauh memberikan arah bagi kebutuhan fiskal daerah. Menentukan kebutuhan fiskal suatu daerah pada dasarnya tidak dapat semata-mata berdasarkan keinginan daerah, tetapi juga menyangkut kepentingan nasional dan antar daerah. Oleh karenanya, penentuan bobot variabel sebaiknya terbuka bagi dimungkinannya mengakomodasi kebijakan-kebijakan semacam ini. Di pihak lain, fiscal capacity mencerminkan apa yang betul-betul menjadi kemampuan daerah. Oleh karenanya, untuk melakukan estimasi atas fiscal capacity, dapat dipergunakan estimasi langsung yang berasal dari perilaku daerah. Berdasarkan tinjauan literatur, ada dua alternatif cara yang sering dipergunakan dalam estimasi fiscal capacity ini. Pertama,
16
dengan menggunakan metode regresi, seperti halnya Cina. Kedua, dengan melakukan perhitungan kapasitas pajak daerah secara langsung dengan memperkirakan besarnya basis pajak dan menggunakan tarif pajak efektif. 67. Ketiga, penekanan terhadap satu aspek (dan bukan kesemua aspek) bisa saja dilakukan. Terlebih lagi, nampaknya sulit untuk sebuah model untuk menyelesaikan beberapa masalah secara simultan. Kanada memilih suatu model yang ditujukan untuk menyamakan fiscal capacity saja, tetapi tidak melakukan penekanan pada kebutuhan daerah. Agaknya, ini disebabkan karena semua daerah dianggap telah memiliki suatu standar kebutuhan yang sama, dan kebutuhan ini tidak terlalu bervariasi antar satu daerah dengan daerah lain (dikarenakan oleh kondisi penduduk dan kebutuhannya yang relatif homogen). Walaupun demikian, kemampuan pembiayaan dari setiap daerah berbedabeda untuk dapat mencapai kebutuhan standar rata-rata antar daerah tersebut. Oleh karenanya, untuk kasus Kanada, yang diutamakan adalah menyamakan kemampuan fiskal suatu daerah sehingga mampu mencapai kebutuhan standar rata-rata. Seperti ditunjukkan diatas, ini berbeda dengan kasus Cina dan Ethiopia (yang lebih menitikberatkan pada elemen kebutuhan). 68. Keempat, bobot variabel merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam alokasi bantuan DAU disamping jenis dan jumlah variabelnya itu sendiri. Sebagaimana telah disampaikan di atas, peran bobot sangatlah penting, khususnya dalam penentuan besarnya kebutuhan fiskal suatu daerah. Terdapat dua hal penting sehubungan dengan isu bobot ini. Pertama, tanpa menambah jumlah variabel, maka perubahan bobot dapat menghasilkan suatu distribusi alokasi bantuan yang sama dengan bila kita menambah jumlah variabel. Kedua, peranan dan makna dari bobot variabel merupakan suatu hal yang penting untuk diperdalam dalam rangka mencapai suatu alokasi yang adil. Oleh karenanya, dalam penentuan suatu alokasi bantuan blok, apabila suatu variabel X diberi bobot sebesar 0,3 sedangkan variabel Y diberi bobot 0,6, maka ini berarti bahwa variabel Y adalah dua kali lebih penting daripada variabel X dalam menentukan alokasi bantuan blok. Untuk itu perlu diberikan suatu alasan mengapa kebijakan tersebut ditempuh. 69. Kelima, perlu berhati-hati dalam menggunakan data untuk variabel tax effort dalam estimasi kebutuhan dan kapasitas fiskal. Di satu sisi penggunaan variabel tax effort dapat mendorong peningkatan penerimaan daerah, tetapi di sisi lain dapat menimbulkan disinsentif bagi perbaikan administrasi penerimaan daerah. Sebagai contoh, dalam model alokasi DAU di Ethiopia digunakan data penerimaan daerah aktual dalam estimasi sisi kebutuhan fiskal (gross transfer). Apabila penerimaan daerah meningkat, maka alokasi DAU kepada daerah bersangkutan akan ikut meningkat, karena asumsinya kenaikan penerimaan daerah itu sebagai akibat perbaikan kinerja aparat dan administrasi penerimaan daerah. Tetapi dalam menentukan transfer bersih (net transfer) ke daerah (yaitu transfer setelah memperhitungkan kemampuan fiskal daerah), maka besarnya gross transfer itu kemudian dikurangi dengan besarnya penerimaan daerah. Sebagai akibatnya, suatu daerah yang memiliki penerimaan daerah yang besar, akan dirugikan (lihat penggunaan estimasi rencana anggaran diatas). Ini berarti, penggunaan data penerimaan daerah aktual memberikan sistem insentif dan sekaligus disinsentif. Sebagai akibatnya, tujuan untuk melakukan insentif perbaikan administrasi perpajakan (penerimaan) daerah menjadi tidak tercapai. 17
Pengertian dan pengukuran potensi ekonomi (kapasitas fiskal) 70. Ada tiga pertanyaan penting untuk diklarifikasi berkaitan dengan aspek potensi ekonomi. Pertama, bagaimana caranya mengukur potensi ekonomi? Kedua, bagaimana caranya membandingkan potensi ekonomi antar daerah? Ketiga, dengan cara apa teknik perbandingan yang dimaksud diatas bisa dioperasionalisasikan sebagai basis pengalokasian DAU? 71. Kami berpendapat bahwa kata potensi ekonomi sebaiknya didefinisikan sebagai potensi penerimaan daerah yang berasal dari sumber-sumber keuangan yang berada dalam jurisdiksi pemerintah daerah. Bila sumber-sumber keuangan tersebut kita sebut dengan istilah “revenue handles”, maka potensi ekonomi bisa kita redefinisikan sebagai potensi keuangan pemerintah daerah yang berasal dari revenue handles yang tersedia. UU No.18/1997 (tentang PDRD) dan UU No.25/1999 (tentang PKPD – khususnya yang berkaitan dengan formulasi bagi hasil) menjelaskan bahwa revenue handles setiap daerah pada dasarnya adalah sama. Dengan mengacu pada informasi umum bahwa tarif pajak dan retribusi antar daerah kurang lebih sama, maka perbedaan dalam potensi keuangan pemerintah daerah sebenarnya bisa dijelaskan lewat perbedaan dalam basis fiskalnya. Lewat definisi inilah kami berusaha mengembangkan pendekatan intuitif dalam mengukur potensi ekonomi. 72. Estimasi kapasitas penerimaan disemua kabupaten di Indonesia dilakukan dengan analisa regresi yang menggunakan data dari semua kabupaten di Indonesia secara crosssection. Untuk mempermudah estimasi dan analisa, maka penerimaan kabupaten dipecah menjadi tiga kelompok besar: pajak, retribusi, dan bagi hasil pajak. 73. Pajak dan retribusi akan diestimasi dengan behavioral equations yang menggunakan data-data ekonomi tahun 1996. Untuk bagi hasil, mengingat adanya skema baru berdasarkan UU No.25/1999, akan dilakukan simulasi untuk mengestimasi berapa besar bagi hasil yang akan diterima suatu kabupaten dengan mempertimbangkan sumber daya alam yang dimiliki kabupaten itu sendiri. Total penerimaan daerah dengan demikian adalah penjumlahan dari pajak, retribusi, dan bagi hasil pajak. Total inilah yang merepresentasikan angka kapasitas fiskal daerah. Pajak 74. Estimasi terhadap faktor-faktor yang menerangkan variasi dalam penerimaan pajak pada tingkat kabupaten dilakukan dengan melakukan analisa regresi terhadap total pajak per kabupaten tahun 1996 dan faktor-faktor yang dianggap berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan basis pajaknya. Beberapa kandidat variabel bebas yang perlu dipertimbangkan adalah PDRB kabupaten, aktivitas sektoral (misalnya, pertanian, pertambangan, industri, jasa), jumlah rumah tangga menurut sektor perekonomian, banyaknya fasilitas penunjang kegiatan ekonomi (misalnya jumlah bank, sekolah, fasilitas kesehatan, infrastruktur lainnya). Variabel bebas yang dipilih adalah variabel yang memenuhi syarat secara statistik dalam uji signifikansinya dengan variabel terikat. Untuk menjaga keakuratan dari proses estimasi maka beberapa kabupaten/kota yang dianggap outlier akan dihilangkan dari observasi.
18
75. Persamaan regresi yang diperoleh, selain akan menghasilkan perkiraan terhadap potensi pajak di tingkat kabupaten, juga akan bermanfaat untuk membentuk indeks tax effort. Indeks tersebut dibentuk dengan memanfaatkan analisa error (error analysis) yang angkanya (lewat fungsi regresi) bisa didapatkan untuk setiap observasi. Apabila nilai aktual penerimaan pajak suatu kabupaten lebih besar dari hasil estimasinya (atau nilai error-nya positif), maka kabupaten/kota tersebut dianggap “sudah mendekati potensi” penerimaan pajaknya. Kabupaten-kabupaten yang mempunyai nilai error positif tersebut lalu dikelompokkan untuk kemudian dihitung angka rata-rata error-nya. Berdasarkan rata-rata error tersebut, dibuatlah dua pengelompokan daerah: (1) kelompok di atas rata-rata dan; (2) kelompok di bawah rata-rata. Kelompok kabupaten dengan error di atas rata-rata tersebut dianggap sebagai kabupaten yang memiliki tax effort tinggi dan mendapat indeks 100. Kelompok kabupaten dengan error di bawah rata-rata dan kelompok kabupaten dengan error negatif akan mendapatkan indeks lebih rendah sesuai perbedaan antara error kabupaten tersebut dengan rata-rata error positif.4 76. Untuk mendapatkan besarnya potensi penerimaan pajak setiap kabupaten digunakanlah rumus sebagai berikut: Potensi Penerimaan Pajak = Estimasi Penerimaan Pajak (dari hasil regresi) + Koefisien Keyakinan * Standard Error dari Penerimaan Pajak.5 Dimana, potensi penerimaan pajak tersebut akan menjadi bagian dari kapasitas penerimaan kabupaten/kota. Retribusi 77. Estimasi terhadap faktor-faktor yang menentukan variasi antar daerah dalam penerimaan retribusi dilakukan dengan melakukan analisa regresi terhadap total retribusi per kabupaten tahun 1996 dan beberapa data ekonomi pada tahun yang sama yang diperkirakan berhubungan langsung atau tidak langsung dengan total retribusi tersebut. Beberapa kandidat variabel bebas yang diperkirakan akan mempengaruhi total retribusi kabupaten adalah pola konsumsi masyarakat, PDRB sektoral, jumlah fasilitas komersial. Sama halnya dengan pajak, variabel bebas yang akan dipilih adalah yang memenuhi signifikansi secara statistik. 78. Setelah didapatkan variabel-variabel bebas yang representatif, maka kemudian dihitunglah potensi estimasi retribusi suatu kabupaten. Caranya sama dengan perhitungan potensi penerimaan pajak: yaitu estimasi retribusi ditambah dengan hasil perkalian antara 1.96 dengan standard error retribusi (lihat paragraf diatas). Revenue effort index juga dapat dihitung dengan cara yang sama dengan diatas. Bagi Hasil 79. Karena adanya ketentuan baru dalam UU No.25/1999 mengenai bagi hasil sumber daya alam, maka estimasi komponen ini tidak dapat dilakukan dengan analisa regresi. Yang dapat dilakukan adalah dengan mengestimasi kemungkinan penerimaan bagi hasil
4) Lihat perumusan matematis dalam appendiks. 5) Bila tingkat keyakinan (confidence interval) yang dipilih adalah 95% maka angka Koefisien Keyakinan yang dipakai adalah 1.96. Bila confidence interval yang dipilih adalah 70% maka Koefisien Keyakinan yang dipakai adalah 1.00.
19
per kabupaten dengan mempertimbangkan produksi sumber daya alam didaerah yang bersangkutan. 80. Setelah perkiraan penerimaan dari bagi hasil diperoleh maka potensi ekonomi atau kapasitas penerimaan suatu kabupaten bisa kita peroleh. Yaitu penjumlahan dari potensi penerimaan pajak, potensi penerimaan retribusi, dan potensi penerimaan bagi hasil. Pengertian dan pengukuran kebutuhan anggaran 81. Sangat sulit untuk mendefinisikan perkataan “standar kebutuhan” yang harus dicukupi. Kesulitan itu muncul karena di Indonesia konsepsi normatif mengenai tingkat kebutuhan rakyat yang menjadi tanggung-jawab pemerintah belum eksplisit dan masih jauh dari operasional. Bahkan seandainyapun perkataan tersebut bisa didefinisikan, masih akan terdapat kesulitan dalam mengukurnya secara obyektif dan dengan presisi yang baik. Masalah ini menjadi lebih pelik karena kita tidak mengetahui secara persis besarnya variasi antar daerah dalam biaya penyediaan jasa layanan atau biaya konstruksi infrastruktur sosial-ekonomi.6 Pada tataran yang lebih konseptual, terdapat kesulitan dalam menjawab pertanyaan: standar siapa yang seharusnya dijadikan sebagai acuan “kebutuhan standar”? 82. Ketidak-mungkinan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas membuat tidak mungkin buat kita untuk mengukur (paling tidak untuk saat ini) standard spending needs. Artinya, mengukur tingkat kebutuhan dalam nilai absolut tidaklah dimungkinkan. Kami melihat, solusi terhadap problem ini adalah dengan cara menggeser perspektif pandang: dari upaya mengukur kebutuhan secara absolut menjadi menilai secara relatif faktor-faktor yang menerangkan perbedaan kebutuhan antar daerah. 83. Ketimbang mengukur kebutuhan pengeluaran yang sifatnya absolut, kami mendekatinya dengan mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan antar daerah dalam tingkat pengeluaran (yang relevan). Dalam konteks UU No.22/1999, yang dimaksud dengan kata “pengeluaran yang relevan” adalah pengeluaran daerah yang berkaitan dengan 11 fungsi yang diserahkan lewat UU. 84. Pendekatan intuitif yang kami tawarkan, dengan demikian, adalah dengan mengobservasi pola historis dari pengeluaran pemerintah daerah dan berupaya mengidentifikasi variabel-variabel penting yang dianggap menerangkan perbedaan antar daerah tersebut. Namun perlu diingat bahwa validitas pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa daerah menentukan sendiri prioritas pengeluaran didalam anggarannya dan mekanisme akuntabilitas dan pilihan publik (public choice) berlaku. Dengan perkataan lain, pendekatan ini menghendaki diberikannya kepada daerah diskresi dalam mendesain anggarannya. Bila asumsi ini tidak dipenuhi (atau keleluasaan dikurangi karena pemerintah pusat memberikan petunjuk penggunaan) maka pendekatan ini tidak boleh dipakai karena validitas penggunaan data historis dalam menerangkan perbedaan dalam biaya antar daerah sangat bergantung pada asumsi ini. 6) Ini merupakan celah yang bisa diisi oleh BPS dengan melakukan survei yang hasilnya akan bisa dipakai untk membandingkan besarnya biaya pelayanan atau biaya konstruksi untuk setiap sektor yang merupakan bagian dari pos-pos pengeluaran yang relevan.
20
85. Dalam proses pengukurannya, kami melihat bahwa variasi dalam biaya dapat ditangkap lewat variasi antar daerah dalam besarnya total anggaran. Dari pengalaman praktis kita ketahui bahwa besarnya anggaran dan tingkatan pelayanan kerap dipengaruhi oleh berbagai macam faktor (baik ekonomi maupun non-ekonomis) serta juga bermacam bentuk tekanan dan negosiasi. Sehingga sangat sulit untuk memilah komponen pengeluaran anggaran yang mencerminkan kebutuhan pencapaian standar dengan komponen pengeluaran yang sifatnya diskresioner. Untuk sementara waktu, nampaknya tidak ada alternatif yang lebih baik dibanding penggunaan data historis. 86. Sebagai variabel terikat, yaitu pola antar daerah dalam kebutuhan anggaran, diwakili oleh total pengeluaran untuk 11 urusan yang diserahkan. Sama halnya dengan model estimasi untuk potensi ekonomi, dan mengingat ketersediaan data, maka observasi yang dilakukan adalah untuk tahun 1996. Kandidat variabel bebas yang perlu diuji signifikansinya adalah: jumlah penduduk, luas wilayah, kondisi geografis, pendapatan dan distribusi pendapatan masyarakat (termasuk jumlah orang miskin), dan indeks konstruksi infrastruktur publik (lihat penjelasan pasal 7 ayat 8a, UU No.25/1999). Selain itu untuk lebih menggambarkan karakteristik suatu daerah, dibuat suatu variabel boneka yang menggambarkan perbedaan daerah pedesaan (kabupaten) dengan daerah perkotaan. Kesemua variabel bebas ini diambil bukan hanya berdasarkan apa yang tertulis dalam UU tapi juga variabel yang secara objektif sering dipakai untuk merepresentasikan kebutuhan pembangunan. Pengertian dan pemberian insentif 87. Pada prinsipnya, alokasi fiskal dapat digunakan sebagai alat pemberian insentif untuk dicapainya suatu kebijakan. Dalam teori keuangan negara, sistem alokasi DAU kerap dipakai sebagai mekanisme dimana pemerintah pusat bisa “mempengaruhi” pemerintah daerah untuk membantu tercapainya tujuan nasional. Ada dua pengertian insentif dalam hal ini. Pertama, insentif dalam pengertian ekonomis, pemberian insentif yaitu menstimulir peningkatan PAD atau untuk mempengaruhi tingkat dan pola pengeluaran pemerintah daerah. Kedua, insentif dalam pengertian kebijakan, yaitu agar kebijakan tertentu dapat dicapai. 88. Dalam perspektif ekonomis, sistem alokasi DAU diberbagai negara kerap dikaitkan dengan upaya peningkatan pendapatan PAD. Hal ini dimasukkan sebagai salah satu elemen dalam formula untuk meng-offset tendensi dimana pemerintah daerah menjadi “pasif” dan ‘bergantung” pada alokasi daerah. Sikap pasif dan ketergantungan itu kerap muncul karena alokasi DAU (dalam definisinya) memang diberikan agar pemerintah daerah tidak perlu terlalu bersusah payah untuk membiayai beban anggarannya. Alokasi DAU-pun kerap dikaitkan dengan upaya mempengaruhi tingkat dan pola pengeluaran daerah untuk tujuan makroekonomi. Secara teoritis dan praktis, tujuan ekonomi tersebut dapat dicapai dengan menggunakan instrumen “matching grants”. Di berbagai negara ada berbagai macam pengaturan longgar dalam beberapa sub-komponen DAU yang bertujuan untuk membuat beberapa sub-komponen tersebut menjadi bersifat close-ended grants. Instrumen seperti ini (sebagaimana telah terjadi pada sebagian besar komponen SDO non-pegawai) sangat efektif dalam mempengaruhi pola pengeluaran daerah untuk beberapa sektor tertentu.
21
89. Dalam perspektif kebijakan, komponen lump-sum dalam DAU-pun bisa diatur sedemikian rupa sehingga menjadi bersifat matching grants. Secara teoritis, pemerintah pusat bisa memodifikasi komponen lump-sum sedemikian rupa sehingga komponen lump-sum tersebut dipakai berfungsi sebagai insentif ataupun penalti terhadap pencapaian target demokratisasi. MEKANISME DISTRIBUSI DAN ASPEK TEKNIS TERKAIT LAINNYA 90. Disatu sisi, keberhasilan sistem alokasi DAU dalam mencapai tujuan ditentukan oleh formula alokasinya. Disisi lain, keberhasilannya juga ditentukan oleh kebaikan dalam aspek mekanisme distribusi. Kami mencatat beberapa aspek mekanisme distribusi yang perlu dicermati untuk mendukung formula yang kami sarankan. Masalah jumlah total DAU 91. Pada saat ini tidak diketahui persis, apakah porsi DAU dalam APBN (yaitu minimum 25% dari total penerimaan domestik) dapat dianggap cukup untuk membiayai fungsifungsi yang diberikan kepada daerah. Yang pasti, jumlah total DAU yang ada sekarang sesungguhnya merupakan produk “negosiasi” antara pemerintah (dalam hal ini Menteri Keuangan) dengan DPR. Artinya, angka total tersebut merupakan “kompromi” politik ketimbang hasil perhitungan obyektif terhadap kebutuhan yang mungkin muncul. Dari jumlah total itu, sebanyak 10% dialokasikan untuk pemerintah propinsi, dan 90% sisanya dialokasikan kepada pemerintah kabupaten dan kota. 92. Kalau kita lihat angka statistik APBN dalam kurun 14 tahun terakhir, kita akan memperoleh gambaran bahwa uang sejumlah 25% dari total penerimaan domestik masih lebih besar dibanding total penjumlahan INPRES dan SDO. Namun, karena luas cakupan dan kedalaman dari (kesebelas) fungsi-fungsi yang dijalankan belum diketahui maka sulit untuk mengatakan bahwa jumlah total DAU yang sebesar 25% dari total penerimaan domestik ini telah/belum memadai. Ini adalah wilayah kebijakan yang perlu mendapatkan perhatian seksama. 93. Pertanyaan lain yang relevan dengan isu ini adalah berkaitan dengan kemungkinan terjadinya pemekaran dan penciutan wilayah. Penciutan wilayah akan menyebabkan jumlah total untuk DAU bisa menjadi terlalu besar, sementara pemekaran wilayah akan menambah secara drastis jumlah total dana DAU - karena beban fungsi dasar yang harus disediakan. Dalam kasus terakhir, angka total 25% terhadap total penerimaan domestik menjadi tidak terlalu memadai. Elemen lump-sum dalam total alokasi 94. Salah satu tujuan dasar dalam pemberian alokasi DAU adalah memberikan kesempatan yang sama untuk melakukan perbaikan dalam sistem administrasi, dan mendorong secara terus menerus terciptanya demokrasi di daerah. Dalam pandangan kami, pemenuhan tujuan-tujuan tersebut antara lain dapat dilakukan lewat alokasi lumpsum dalam DAU. 95. Dalam pandangan kami, tujuan-tujuan tersebut dapat dianggap sebagai tugas yang perlu dijalankan yang untuk itu perlu diberikan kompensasi. Ada dua elemen yang
22
sebenarnya secara intrinsik berada didalam pembagian lump-sum. Elemen pertama adalah kebutuhan minimum belanja pegawai (yang merupakan kompensasi minimum dari digantinya mekanisme SDO). Elemen kedua adalah kebutuhan minimum terselenggaranya fungsi dasar yang dibebankan ke setiap daerah. Atas dasar pertimbangan itu, kami mengusulkan agar sejumlah porsi tertentu dari total DAU dialokasikan secara sama rata (lump-sum). Harus diakui, pembagian alokasi lump-sum secara merata ke setiap daerah bukanlah satu-satunya metode yang yang bisa dipergunakan. Varian dari lum-sum kerap digunakan dalam alokasi dana Inpres spesifik selama ini, sebagaimana diilustrasikan dalam contoh dibawah ini. 96. Untuk elemen pertama, kami mengambil satu contoh sebagai berikut. Bila kita memperhitungkan bahwa salah satu elemen dasar dari alokasi lump-sum itu adalah untuk mengkompensasi kebutuhan minimum belanja pegawai, maka cukup beralasan bila ada pendapat yang menyarankan agar alokasi lump-sum untuk elemen ini didasarkan pada banyaknya jumlah pegawai di suatu daerah. Bila usul ini dipakai, maka besarnya alokasi lump-sum dari elemen ini adalah sama dengan jumlah pegawai dikalikan dengan unit cost pegawai rata-rata di Indonesia. Namun ada dua kelemahan fundamental dari pendekatan ini. Pertama, adalah disinsentif ekonomis yang tercipta. Daerah seolah-olah diberikan insentif untuk memperbesar jumlah pegawai untuk menyerap dana alokasi lump-sum yang lebih besar. Disinsentif ekonomis inilah yang selama ini terjadi dalam mekanisme SDO. Hal ini jelas kontra produktif dengan tujuan pencapaian efisiensi. Bila alokasi diberikan secara lump-sum tanpa melihat jumlah pegawai, maka itu akan memaksa daerah untuk merasionalisasi kebutuhan pegawainya. 97. Untuk elemen kedua, kami mengambil contoh lain. Untuk menjalankan secara baik fungsi dasar di bidang kesehatan, misalnya, maka dibutuhkan sejumlah dana minimum (lump-sum) untuk menjalankan fungsi yang dibebankan. (Misalnya, melayani setiap penduduk, untuk memberi subsidi obat dasar per penduduk, dan untuk memelihara dan mengoperasikan setiap puskesmas yang ada). Bila kita mengalokasikan elemen lumpsum ini dengan mengacu pada model INPRES Sarana Kesehatan, maka akan muncul berbagai jenis kebutuhan minimum; dan untuk setiap jenis kebutuhan diperlukan sejumlah data obyektif dan seperangkat asumsi unit cost yang harus diberikan.7 Walaupun alokasi lump-sum cara ini diharapkan akan memberi insentif kearah pembangunan infrastruktur (dus, stimulasi pembangunan – sebagaimana yang dijadikan alasan dalam alokasi Inpres Kesehatan dan Inpres SD), namun metode tersebut sangat kompleks dan menciptakan rigiditas finansial karena terlalu banyaknya komponen dana (dalam APBD) yang dipatok (earmarked) yang pada gilirannya menciptkaan distorsi dalam anggaran daaerah (sebagaimana yang selama ini terjadi). Ada dua kelemahan mendasar lainnya dari pendekatan ini. Pertama, adalah computational cost yang terlalu tinggi padahal tujuan efisiensi dan keadilannya sub-optimal. Hal ini karena terlalu banyaknya variabel yang perlu didaftar dan asumsi unit cost yang pasti tidak didasarkan
7) Misalnya, harus ditentukan berapa: kebutuhan perkapita untuk obat dasar, kebutuhan operasi dan pemeliharaan per unit puskesmas, kebutuhan pemeliharaan per kilometer saluran irigasi, dan seterusnya. Daftar ini akan menjadi sangat panjang dan kompleks dan pada akhirnya akan membutuhkan mekanisme pelaporan yang cukup rumit.
23
pada prinsip marginal cost pricing.8 Terlebih lagi, diperlukan mekanisme yang panjang dan kompleks untuk menghitung kebutuhan. Kelemahan mendasar kedua, adalah bahwa pendekatan seperti ini akan cenderung bias kearah menguntungkan daerah-daerah Jawa dan Sumatera ketimbang daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera (karena jumlah infrastruktur dan penduduk terbesar berada di Jawa dan Sumatera). Masalah tambahan alokasi untuk daerah 98. Bila sebagai konsekuensi pemberian insentif dibutuhkan tambahan alokasi, bagaimana hal tersebut diakomodasi dalam sistem alokasi dan formula DAU? Juga, bagaimana peran DAK dalam hal ini? Kami belum berhasil memperoleh kesepakatan pilihan perspektif yang sebaiknya dipakai untuk menjawab hal ini. Departemen Keuangan berada dalam posisi yang lebih baik untuk menjawab pertanyaan ini. Penyesuaian terhadap inflasi 99. Hal ini kerap muncul ke permukaan dalam berbagai diskusi karena perbedaan dalam angka inflasi antar daerah. Menurut kami, pengaruh inflasi dalam total alokasi DAU sebenarnya telah “tertangkap” dalam APBN yang merupakan sumber dari alokasi DAU ini. Sehingga tidak perlu diberikan tambahan untuk mengakomodasi faktor inflasi di daerah. 100. Juga, karena faktor penyebab inflasi kerap berasal dari fenomena moneter, dan efisiensi internal daerah yang sifat berada dalam kontrol pemerintah, maka penyesuaian jumlah alokasi kepada suatu daerah sebagai respon terhadap inflasi akan memiliki efek ekonomi yang tidak sehat dimana pemerintah memberikan insentif untuk ketidak-beresan dalam pengelolaan ekonomi suatu daerah. Aspek stabilitas dan kepastian 101. Adalah penting untuk menjaga stabilitas dan kepastian dalam distribusi DAU. Ada tiga isu penting dalam aspek ini. Pertama, pemakaian formula dan perubahan basis data memungkinkan terjadinya fluktuasi dalam alokasi yang diterima oleh daerah. Prinsip dan teknik apa yang harus dipakai untuk menghindari fluktuasi tahunan yang besar dalam dana yang diterima oleh daerah? Kedua, dengan rencana perubahan dalam periodisisasi tahun anggaran, kapan perhitungan alokasi DAU harus dimulai dan bagaimana kaitannya dengan perencanaan anggaran di daerah? Ketiga, sebagai akibat dari kompleksitas yang muncul dari pemakaian formula, kami melihat potensi kerumitan dalam melakukan perhitungan tiap tahun. Apakah keuntungan dan kerugian dari usulan untuk menetapkan alokasi untuk dua tahun berturut-turut ketimbang menghitung kebutuhan alokasi setiap tahunnya? 102. Jawaban terhadap kesemua pertanyaan ini sifatnya administratif dan sangat bergantung pada konsep akhir tentang pengaturan baru terhadap otoritas fiskal yang saat
8) Bila referensi utamanya adalah keadilan dan efisiensi, maka penetapan unit cost harus didasarkan pada perhitungan marginal cost pricing. Unit cost yang dimaksud dengan demikian adalah persentase tertentu dari total cost yang didalamnya termasuk total marginal cost. Hal ini secara empiris tidak mungkin dilakukan untuk setiap jenis fungsi. Pada akhirnya, pemerintah akan menggunakan data average cost, yang memiliki implikasi sub-optimal terhadap pencapaian efisiensi dan keadilan.
24
ini sedang digodok. Departemen Keuangan, dalam hal ini, berada dalam posisi yang lebih baik dalam menjawab ketiga pertanyaan ini. Masalah perbedaan desa-kota 103. Masalah perbedaan kota dan desa kerap diangkat dalam diskusi di-berbagai forum akademis dan politis. Apakah memang perlu dilakukan perbedaan dalam formula alokasi untuk desa dan kota? Ataukah alokasi desa dan kota disatukan saja dalam satu rumus yang memasukkan faktor tertentu yang menerangkan perbedaan beban sebagai konsekuensi perbedaan dalam karakter daerah? 104. Kami berpendapat, dalam tahap ini, tidak perlu untuk melakukan diferensiasi antara desa dan kota. Terlebih penting lagi, perbedaan karakter wilayah tersebut secara langsung telah “ditangkap” lewat berbagai variabel yang mewakili potensi ekonomi dan kebutuhan. Dengan perkataan lain, kami berpendapat adalah lebih baik untuk tetap berpegang pada dan tidak bergeser dari prinsip-prinsip dasar alokasi DAU yang telah disebutkan diatas. Perlakuan terhadap daerah khusus dan daerah istimewa 105. Dengan perkembangan politik yang terjadi saat ini dan besarnya tekanan untuk mengembalikan karakter “istimewa” dan “khusus” di beberapa daerah, bagaimana seharusnya perlakukan terhadap daerah khusus dan istimewa? Hal ini kami sampaikan karena telah muncul berbagai pertanyaan mengenai implikasi finansial dari kekhususan wilayah. DKI Jakarta adalah daerah dengan tingkat kompleksitas sosial, ekonomi dan politik, misalnya, dianggap berbeda dengan kebanyakan daerah lainnya di Indonesia. Pengalaman di berbagai negara juga menunjukkan bahwa ke-unikan daerah nodal kerap dijadikan alat tawar-menawar politik untuk mendapatkan alokasi lebih besar. London di Inggris, dan New York serta Chicago di Amerika Serikat adalah contohnya. 106. Dalam pandangan kami, perlakuan terhadap daerah khusus dan istimewa sejauh mungkin juga didasarkan pada prinsip-prinsip yang telah kami sampaikan diatas. Bilamana dianggap perlu, maka kekhususan itu bisa dikompensasi lewat mekanisme DAK. Mengingat tingkat keragaman Indonesia yang amat kompleks, dan belum adanya konsep politis yang operasional mengenai standar kebutuhan yang menjadi tanggungjawab negara, maka adalah aman secara politis untuk tidak berupaya melakukan pengecualian-pengecualian yang tidak produktif dan tidak efisien. Langkah inipun dilakukan di Inggris dalam kaitannya dengan fenomena London. Masalah keterkaitan antara DAU dengan pinjaman daerah 107. Bagian empat (pasal 11 sampai 15) UU No.25/1999 mengatur masalah pinjaman. Pasal 12 (ayat 2), dan pasal 14, khususnya, menghendaki agar dibuat pengaturan yang lebih jelas berkaitan dengan hubungan antara DAU dan pinjaman. Ada beberapa pertanyaan penting yang perlu mendapatkan klarifikasi dalam PP. Pertama, apakah (semua) dana DAU yang diterima oleh suatu daerah boleh dimasukkan sebagai elemen perhitungan “kemampuan daerah bersangkutan untuk meminjam” (capacity to borrow)? Kedua, apakah dana DAU yang diterima dapat dipakai untuk membayar kewajiban (cicilan dan pokok) pinjaman? Ketiga, apakah pinjaman yang dimaksud mencakup semua jenis penjaman ataukah hanya pinjaman jangka panjang yang berkaitan langsung
25
dengan fungsi yang dijalankan daerah? Keempat, bila DAU dihitung sebagai elemen capacity to borrow dan untuk membayar kewajiban pinjaman, apa yang terjadi dengan alokasi DAU yang diterima suatu daerah bila daerah bersangkutan gagal membayar (defaulting)? 108. Untuk pertanyaan pertama dan kedua, kami berpendapat bahwa sebaiknya hanya 20% dari total dana DAU yang diterima suatu daerah yang dapat dipakai sebagai elemen dalam penghitungan capacity to borrow suatu daerah. Dengan mengasumsikan perbandingan dana pinjaman dan dana pendamping adalah 1:1, maka kami menganggap jumlah pinjaman yang dapat ditarik sudah cukup besar, dan pinjaman dapat dilakukan tanpa mengorbankan stabilitas neraca pembayaran nasional. Hanya porsi 20% inilah yang juga boleh dipakai oleh daerah sebagai dana pendamping pinjaman dan untuk membantu membayar sebagian dari kewajiban pinjaman. Disini kami ingin membuat catatan penting: ketentuan ini sebaiknya tidak dioperasionalisasi sekarang, melainkan dalam lima tahun mendatang mengingat seriusnya masalah hutang yang dihadapi Indonesia saat ini. 109. Untuk pertanyaan ketiga, kami berpendapat bahwa pinjaman yang dibantu jaminkan oleh dana DAU sebaiknya hanya meliputi pinjaman jangka panjang dan terkait erat dengan fungsi yang dijalankan oleh daerah. Terlebih penting lagi, infrastruktur yang dibantung tersebut harus memenuhi prinsip self-liquidating, dimana penerimaan retribusi dari infrastruktur tersebut paling tidak harus bisa mengembalikan biaya pokok pembangunannya (atau retribusi at cost). 110. Untuk pertanyaan keempat, kami berpendapat bahwa pemerintah pusat memiliki kewajiban untuk membantu daerah yang kesulitan. Untuk itu, pemerintah bisa memberikan pinjaman baru (fresh loan) kepada daerah untuk dapat membayar kewajibannya, dan memperhitungkannya dalam bentuk penalti kepada daerah sebagai akibat pengelolaan keuangan yang kurang baik. Mekanisme penalti tersebut dapat dilakukan, misalnya, dengan mengurangi total alokasi dana DAU yang seharusnya diberikan kepada daerah bersangkutan dalam tahun anggaran berikutnya. Besarnya penalti/potongan adalah sejumlah pinjaman yang dilakukan daerah untuk kepentingan tersebut (yaitu yang dilakukannya tahun anggaran lalu) plus sejumlah disinsentif yang proporsional dengan bobot (yang kami sebut sebagai) “tax effort disincentive”. Bobot penalti ini sebaiknya berkisar antara 2-5% dari total pinjaman dimaksud. Penyesuaian terhadap model dan formula alokasi 111. Kami menganggap formula perlu ditelaah ulang setiap tiga tahun untuk mencerminkan perubahan yang cukup mendasar dalam indikator-indikator obyektif yang mendasari rumusan. Kami menganggap tiga tahun (dan bukan satu atau dua tahun) sebagai periode yang cukup, karena pada umumnya indikator yang sifatnya struktural tidak berubah secara signifikan dalam hitungan satu atau dua tahun. 112. Perubahan yang kami maksudkan disini adalah perubahan dalam formula (untuk mengantisipasi dinamika sosial ekonomi), dan atau perubahan dalam pembobotan, dan atau perubahan dalam variabel penentu alokasi. Perubahan dimaksud juga harus dilakukan apabila pemerintah (lewat BPS) telah menghasilkan indikator alternatif yang lebih baik dalam menerangkan “potensi ekonomi” dan “kebutuhan”.
26
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Umum 113. Metode pembagian dana alokasi umum (DAU) yang dikembangkan dalam laporan ini memasukkan faktor potensi dan kebutuhan daerah secara bersama-sama atau dalam satu persamaan dengan pertimbangan bahwa transfer dana dari pusat ke daerah tidak dapat disederhanakan dengan hanya mencari selisih antara potensi daerah dan kebutuhan daerah. 114. Dengan memasukkan potensi dan kebutuhan daerah dalam satu persamaan maka aturan yang berlaku adalah daerah yang sudah mempunyai potensi ekonomi tinggi akan menerima kompensasi dalam jumlah yang kecil dan sebaliknya untuk yang berpotensi rendah akan menerima kompensasi dalam jumlah yang besar. Sedangkan untuk daerah yang tingkat kebutuhannya tinggi akan menerima kompensasi yang besar dan yang tingkat kebutuhannya rendah akan menerima kompensasi yang kecil. 115. Setelah menghitung potensi ekonomi semua kabupaten-kota, maka penentuan tinggi rendahnya potensi suatu daerah dilakukan dengan pembagian kelas (pengklasifikasian) dimana daerah-daerah yang berada dalam kelas yang sama dianggap mempunyai potensi yang sama, dan karenanya akan menerima kompensasi yang sama. Selain pembagian kelas berdasarkan potensi, dilakukan pula pembagian kelas menurut kebutuhan daerah. 116. Hasil pengklasifikasian menurut potensi menunjukkan bahwa sebagian besar kabupaten-kota di Indonesia mempunyai potensi ekonomi yang relatif rendah, ditunjukkan dengan kecenderungan berkumpulnya daerah-daerah pada kelas-kelas yang rendah. Sedikit sekali daerah yang dapat digolongkan mempunyai potensi ekonomi yang tinggi. 117. Karena bagi hasil sumber daya alam menjadi bagian dari potensi ekonomi, maka daerah-daerah yang kaya sumber daya alam mempunyai potensi yang relatif tinggi. 118. Hasil pembagian kelas untuk kebutuhan daerah menunjukkan bahwa daerahdaerah di Indonesia bagian barat umumnya mempunyai tingkat kebutuhan relatif lebih rendah daripada daerah-daerah di Indonesia timur. Besarnya bobot luas wilayah dan proporsi penduduk miskin terhadap total populasi dalam formulasi kebutuhan daerah adalah penyebabnya. 119. Selain kompensasi untuk potensi dan kebutuhan daerah, terdapat alokasi dalam bentuk lump-sum yang dibagi rata untuk semua kabupaten-kota. Tujuan lump-sum ini adalah sebagai kompensasi dana minimum penyelenggaraan pemerintah daerah yang selama ini diberikan dalam bentuk SDO. Dengan jumlah yang dibuat sama rata untuk semua daerah, maka pemekaran daerah harus dilakukan lebih berhati-hati karena akan mempengaruhi alokasi yang diterima daerah tersebut dan daerah lainnya. 120. Metode pembagian DAU yang melibatkan komponen lump-sum, potensi, dan kebutuhan daerah ditentukan oleh bobot dari masing-masing komponen tersebut. 27
Apabila potensi daerah dianggap paling penting, maka komponen tersebut akan menerima bobot terbesar, demikian juga apabila kebutuhan daerah yang dianggap paling penting. 121. Terdapat tiga skenario pembobotan kepentingan antara potensi dan kebutuhan daerah, yaitu: (1) bobot antara potensi dan kebutuhan dianggap sama, (2) bobot potensi diperbesar, (3) bobot kebutuhan diperbesar. Dari tiga skenario pembobotan tersebut (sama rata, fokus pada potensi, dan fokus pada kebutuhan) ternyata hasilnya memberikan kesimpulan yang tidak terlalu jauh berbeda, yaitu alokasi DAU akan lebih banyak diberikan untuk daerah-daerah di Indonesia Timur dibandingkan Indonesia barat. Sebagai contoh, 10 kabupaten yang menerima pembagian DAU terbesar kesemuanya terletak di Indonesia Timur, tepatnya di dua propinsi terbesar yaitu Irian Jaya dan Kalimantan Timur. 122. Rata-rata alokasi DAU untuk kabupaten-kota di Indonesia timur juga terlihat lebih tinggi dibandingkan di Indonesia barat, akan tetapi perbedaan alokasi antar kabupaten di Indonesia barat ternyata lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia Timur. 123. Kabupaten Jayawijaya adalah kabupaten penerima alokasi DAU terbesar, sedangkan Gorontalo adalah kota penerima yang terbesar. 124. Hasil alokasi DAU yang lebih menitik-beratkan kepada pembagian DAU yang menguntungkan untuk daerah Indonesia Timur ini sejalan dengan arah perkembangan pembangunan daerah yang diterapkan oleh pemerintah, yaitu memberi kesempatan bagi daerah Indonesia timur untuk menyusul ketertinggalannya selama ini dari daerah di Indonesia barat. Rekomendasi Umum 125. Agar pembagian alokasi DAU sejalan dengan kebijakan pembangunan daerah yang memprioritaskan pembangunan wilayah Indonesia Timur, maka pembagian dana DAU sebaiknya menggunakan metode pembagian kelas. Bila alokasi DAU dilakukan tanpa menggunakan metode pembagian kelas, akan membuat alokasi DAU masih condong ke Indonesia barat dengan masuknya propinsi-propinsi di Jawa dan Sumatra pada 20 kabupaten-kota penerima DAU terbesar. 126. Metode yang dikembangkan dalam studi ini dapat dipertahankan dalam jangka waktu tertentu (2-3 tahun) dan perubahan yang mungkin harus dilakukan adalah pembobotan pada masing-masing komponen penentu alokasi DAU. 127. Dalam penghitungan potensi ekonomi daerah, terutama untuk unsur pajak, perlu pula dilakukan penghitungan indeks tax effort untuk menunjukkan seberapa baiknya administrasi pajak suatu daerah sekaligus memberikan indikasi pentingnya usaha pengumpulan pajak yang semaksimal mungkin. Indeks tax effort yang rendah akan mengakibatkan permasalahan anggaran daerah yang cukup serius, apabila dikaitkan dengan rendahnya kompensasi dari DAU untuk daerah berpotensi tinggi tetapi penerimaan pajak aktualnya rendah.
28
128. Dalam penghitungan kebutuhan daerah, faktor luas wilayah yang sudah disesuaikan dengan indeks biaya konstruksi (Indeks Pekerjaan Umum) dan proporsi penduduk miskin tampaknya akan sangat berperan untuk mengubah orientasi alokasi DAU dari Indonesia barat yang relatif lebih padat penduduk ke Indonesia timur yang penduduknya relatif lebih jarang. 129. Keberadaan faktor lump-sum harus tetap dipertahankan untuk mencegah pemekaran daerah yang sebenarnya merupakan daerah miskin. Dengan “modal awal” yang diberikan pemerintah pusat kepada suatu daerah dalam jumlah yang relatif kecil, maka usaha pemekaran yang tergesa-gesa dan berkesan emosional dapat dicegah. 130. Variabel-variabel ekonomi yang dipakai dalam studi ini adalah variable-variabel dengan data yang di perbaharui secara teratur oleh BPS atau instansi lainnya sehingga kelangsungan metode ini relatif terjamin. Karenanya up-dating metode alokasi DAU ini sebaiknya dilakukan apabila sudah ada up-date data-datanya secara lengkap.
29
APPENDIKS 1: PERHITUNGAN POTENSI EKONOMI 131. Terdapat dua komponen pokok dalam penerimaan pemerintah daerah yang akan diteliti secara lebih mendalam. Kedua komponen tersebut adalah pajak dan retribusi. 132. Data yang dikumpulkan serta digunakan untuk penghitungan berdasarkan dari beberapa sumber. Sumber pertama adalah realisasi anggaran pemerintah Dati II untuk tahun anggaran 1996/1997. Sumber kedua dan ketiga adalah data yang berasal dari Biro Pusat Statistik berupa Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) serta Survey Potensi Desa (Podes) tahun 1996. Terakhir, data pendapatan daerah (PDRB, Produk Domestik Regional Bruto) berdasarkan sektoral yang juga diambil berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik, juga untuk tahun 1996. 133. Disini patut dicatat bahwa penggunaan tahun 1996 ini tidak dapat dihindari karena Susenas dan Podes adalah survey tiga tahunan. Ini berakibat bahwa data yang paling up-to-date dan konsisten adalah data tahun 1996. Estimasi dengan menggunakan data tahun terkini baru akan dapat dilakukan paling tidak 12 bulan kedepan. PAJAK 134. Berdasarkan UU No. 25/1999, terdapat paling tidak beberapa hal pokok yang harus dipertimbangkan dalam menghitung potensi daerah. Hal-hal tersebut adalah PDRB, potensi sumberdaya manusia, sumberdaya alam, serta aktivitas industri. Studi ini berusaha sedapat mungkin menggunakan variabel-variabel yang diusulkan dalam UU No.22/1999. 135. Selain itu, studi ini mempertimbangkan pula bahwa data yang ingin dipergunakan dalam pengambilan kebijaksanaan haruslah relatif mudah tersedia. Variabel-variabel yang dipergunakan 136. Beberapa variabel yang dianggap mempengaruhi pendapatan pajak pemerintah daerah adalah sebagai berikut: Nama Variabel
Unit
Pajak PDRB Pajak/PDRB Jumlah SMU Aktivitas Industri
Juta Rp Milyar Rp % Unit %
Observasi
Rata-rata
284 284 284 284 284
1,749.9 1,113.3 0.1 39.6 29.7
Standar Deviasi 3,692.7 1,5027 0.1 34.8 15.6
137. Yang termasuk dalam kategori pajak disini adalah semua penerimaan pemerintah daerah termasuk pajak hotel dan restoran, pajak bagi hasil, dan lain sebagainya (sesuai dengan UU No.18/1997). Seperti terlihat diatas, setiap kabupaten rata-rata hanya menerima uang sebesar Rp. 1.75 milyar per tahun.
30
138. Patut dicatat bahwa angka penerimaan pajak ini relatif kecil jika dibandingkan dengan PDRB. Pada tahun 1996, angka penerimaan pajak ini hanya kurang dari 1% PDRB kabupaten, yang rata-rata mencapai Rp1,1 trilyun per tahun. 139. Angka PDRB sendiri cukup bervariasi, dan berkisar mulai dari Rp20 Milyar per tahun sampai mencapai Rp11.5 milyar per tahun. 140. Untuk mengukur kualitas sumber daya manusia, digunakan jumlah bangunan SMU (baik negeri maupun swasta) yang berada dalam satu kabupaten / kota. Penggunaan variabel ini adalah untuk mewakili ketersediaan berbagai fasilitas pendidikan (mulai dari SD sampai SMP), guru, toko buku pelajaran, serta berbagai sarana dan prasarana lainnya. 141. Selain itu, diperkirakan terdapat perbedaan penerimaan pajak karena karakteristik daerah. Dalam hal ini, perbedaan karakteristik tersebut direpresentasikan oleh sebuah dummy variable, dimana nilai 1 adalah untuk tipe kabupaten, sedangkan nilai 0 adalah untuk tipe kota. 142. Akhirnya, aktivitas Industri dan perdagangan didekati dengan melihat rasio kedua sektor ini terhadap PDRB. Pada tahun 1996, sekitar 30% dari PDRB per kabupaten disumbang oleh sektor Industri dan Perdagangan. Hasil Regresi 143. Berdasarkan pendekatan diatas, diadakan perhitungan garis regresi. Hasil dari regresi adalah sebagai berikut: Dependent Variable: LOG(PAJAK) Method: Least Squares Included observations: 284 Excluded observations: 8 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DMYRURAL LOG(PDRB) LOG(SMU) (INDUSTRI+TRADE)/PDRB
-3.276714 -1.119444 0.634067 0.525648 1.274228
0.727450 0.123900 0.073235 0.084635 0.357540
-4.504387 -9.035069 8.657970 6.210761 3.563878
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0004
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.782401 0.779281 0.707860 139.7975 -302.3318 1.654945
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
6.385016 1.506703 2.164309 2.228551 250.7932 0.000000
144. Menurut tabel diatas, sekitar 78% variasi penerimaan pajak daerah dapat diterangkan oleh persamaan regresi. Ceteris Paribus, kabupaten akan menerima pajak 1.12% lebih kecil dibandingkan kota. Hal ini dapat diterima secara intuitif karena kota adalah wilayah perkotaan yang mempunyai area lebih kecil sehingga lebih mudah dilakukan monitoring.
31
145. Yang cukup menarik disini adalah ternyata bahwa penerimaan pajak bersifat inelastis terhadap perubahan PDRB. Kenaikan PDRB sebesar 1% hanya akan menyebabkan penerimaan pajak meningkat sebesar 0.63%. 146. Sebaliknya, penerimaan pajak mempunyai respons elastis terhadap aktifitas industri dan perdagangan. Kenaikan 1% dari nisbah industri dan pajak terhadap PDRB, akan menyebabkan penerimaan pajak naik sebesar 1.27%. Sekali lagi, hal ini mendukung hipotesa bahwa sektor modern (termasuk disini adalah aktifitas industri) akan medukung terhadap penerimaan pajak suatu daerah. 147. Akhirnya, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, seperti yang tercermin dalam jumlah SMU, juga akan mendukung penerimaan pajak suatu daerah. Kenaikan jumlah SMU sebesar 1% akan menaikkan penerimaan pajak sebesar 0.53%. Perhitungan potensi daerah 148. Berdasarkan konsep yang telah dipaparkan pada bagian utama tulisan ini, perhitungan potensi pajak akan dilakukan dengan mengacu kepada analisa residual dari regresi. 149. Secara teoritis, perhitungan potensi pajak dapat saja ditentukan oleh faktor-faktor yang sangat berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Walaupun ideal, namun pendekatan seperti ini mempunyai dua konsekuensi yang harus diterima. 150. Konsekuensi yang pertama adalah bahwa biaya penelitian akan menjadi sangat besar, dan memakan waktu yang sangat lama. Konsekuensi yang kedua adalah bahwa hasil perhitungan potensi wilayah yang medetil tersebut tidak dapat dipakai untuk kepentingan kebijaksanaan skala nasional. Hal ini karena sulitnya dibuat perbandingan alokasi yang obyektif antar wilayah, karena sangat beragamnya faktor penentu. 151. Pendekatan lain yang kerap ditempuh dalam konteks ilmu ekonomi makro adalah seperti menghitung full employment’s output / potential GDP. Hal ini tidak dapat dilakukan dalam konteks penerimaan pajak karena tidak tersedianya data. 152. Pendekatan terakhir, yang juga kerap ditempuh dalam ilmu ekonomi makro, adalah pendekatan time-series. Sekali lagi, ketidak-tersediaan data runtut-waktu dalam jangka yang panjang (30-40 tahun) menjadi kendala terbesar penggunaan metodologi time-series ini. 153. Berdasarkan berbagai pertimbangan ini, maka penelitian ini menggunakan pendekatan yang berbeda. Dalam studi ini, garis regresi berfungsi menerangkan average responses penerimaan pajak daerah terhadap aktifitas ekonomi, kualitas SDM, dan lain sebagainya. Jika demikian, maka residual dari garis regresi adalah suatu suatu deviasi dari respons yang normal. 154. Dalam batas-batas tertentu, suatu daerah dapat saja menerima pajak sedikit dibawah maupun sedikit diatas nilai harapan karena ada beberapa faktor yang berada diluar kendali. Namun demikian, patut pula dicatat bahwa hasil wawancara dengan
32
beberapa nara sumber menunjukkan bahwa memang terdapat kecenderungan bahwa realisasi penerimaan pajak ada dibawah nilai potensialnya. 155. Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa jauh jarak antara penerimaan potensial dan aktual? Untuk itulah kita ingin melihat pola dari residual regresi. Berdasarkan hasil perhitungan, ternyata simpangan baku dari residual tersebut adalah sebesar 0.71. 156. Dengan memakai angka ini maka kita dapat melakukan perhitungan sebagai berikut: Anggaplah kabupaten Aceh Selatan mempunyai data sebagai berikut: •
Penerimaan pajak pada tahun 1996 : Rp 270 juta
•
PDRB tahun 1996 : 482 Milyar
•
Tipe : Kabupaten
•
Jumlah SMU : 32 unit
•
Nisbah Industri+Perdagangan terhadap PDRB : 16.7%
157. Berdasarkan data diatas dan data hasil regresi, maka kabupaten ini secara normal (tanpa usaha-usaha khusus) diharapkan akan mendapatkan penerimaan pajak sebesar Rp 377 juta. Artinya, penerimaan aktual ada dibawah ekspektasi normal (atau kinerja relatif kabupaten yang lain). 158. Mengingat bahwa adanya kecederungan penerimaan pajak masih belum optimal, maka studi ini menyarankan agar optensi pajak didefinisikan sebagai suatu angka yang besarnya paling tidak satu kali (1 X) simpangan baku regresi. 159. Karena simpangan baku regresi adalah sebesar 0.71, maka ini berarti bahwa potensi penerimaan pajak untuk kabupaten Aceh Selatan adalah menjadi sebesar Rp. 766 juta rupiah. Secara praktis, angka ini akan menjadikan rasio pajak terhadap PDRB menjadi 0.16%, sangat dekat dengan rata-rata nasional. 160. Untuk lebih lengkapnya, hasil perhitungan potensi pajak untuk setiap kabupaten (yang mempunyai data lengkap) diberikan dalam lampiran berikut: RETRIBUSI 161. Hampir sama dengan pajak, studi ini menganggap bahwa penerimaan retribusi ditentukan oleh beberapa variabel yang dianggap relevan untuk semua sampel. Dengan demikian, maka determinan yang penting dari retribusi adalah sebagai berikut: •
Dummy Kabupaten (=1) versus Kota (=0), untuk mengontrol outliers.
•
Pendapatan domestik regional bruto (PDRB) untuk menangkap tingkat aktivitas transaksi ekonomi yang mendasari pengenaan retribusi.
33
•
162.
Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber didapatkan kesimpulan bahwa penerimaan retribusi sagat berhubungan dengan pola konsumsi masyarakat. Data Susenas membagi konsumsi masyarakat berdasarkan pola makanan versus non-makanan. Termasuk dalam konsumsi nonmakanan adalah pengeluaran perumahan dan fasilitasnya, barang dan jasa lainnya (termasuk transportasi), pengeluaran untuk alas kaki, dan pengeluaran untuk barang-barang tahan lama. Statistik ringkas untuk variabel-variabel ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Nama Variabel Retribusi PDRB Non-makanan/Total Konsumsi
Unit Juta Rp Milyar Rp Persen
Obser-vasi 293 293 293
Rata-rata 2,724.6 1,116.1 61.0
Standar Deviasi 3,916.3 1,507.0 7.7
163. Dengan demikian jelas terlihat bahwa retribusi hanyalah sebesar 0.24% dari total PDRB kabupaten. Angka ini masih diatas 50% persen lebih tinggi dari nisbah penerimaan pajak terhadap PDRB di kabupaten yang sebesar 0.16% (lihat paragraf diatas). 164. Selain itu, dengan meningkatnya perkembangan perekonomian secara nasional, maka pengeluaran penduduk untuk makanan menjadi berkurang. Tabel diatas menunjukkan bahwa 61% pengeluaran ruamhtangga adalah untuk non-makanan. Oleh karena itu, jika penerimaan retribusi adalah berbanding lurus dengan belanja masyarakat, maka variabel yang relevan adalah pengeluarannya untuk non-makanan. 165. Dengan dasar ini maka dibuat suatu perhitungan regresi, yang terlampir pada tabel berikut ini. Dependent Variable: LOG(RETRI) Method: Least Squares Included observations: 293 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DMYRURAL LOG(PDRB) NONMKN/KONSTOT
0.298406 -0.362426 0.705547 3.421333
0.666448 0.119040 0.036465 0.608551
0.447756 -3.044582 19.34875 5.622101
0.6547 0.0025 0.0000 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.668406 0.664963 0.656418 124.5256 -290.3946 1.235825
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
7.329541 1.134056 2.009520 2.059761 194.1822 0.000000
166. Berdasarkan hasil perhitungan regresi diatas, 67% dari variasi retribusi dapat diterangkan oleh garis regresi. Sedangkan tiga faktor yang dianggap berpengaruh terhadap penerimaan retribusi adalah:
34
•
Rural Dummy. Kabupaten dengan tipe kabupaten cenderung memiliki penerimaan retribusi sebesar 0.36% lebih rendah dibandingkan dengan Kotamadya. Hal ini kemungkinan disebabkan bahwa belanja dan konsumsi penduduk kabupaten dilakukan di daerah perkotaan, sehingga mengurangi penerimaan retribusi Kabupaten. (Hal yang serupa juga terjadi untuk penerimaan pajak, walaupun dengan alasan yang berbeda).
•
Aktivitas ekonomi (seperti dilambangkan oleh PDRB) berpengaruh positif terhadap PDRB, walaupun dengan efek yang inelastis. Artinya, kenaikan PDRB sebesar 1% hanya akan menaikkan penerimaan retribusi sebesar kurang dari 1%. Angka elastisitas retribusi ini (0.70) ternyata nyaris tidak berbeda dibandingkan dengan elastisitas untuk pajak (0.63).
•
Akhirnya, semakin besar pangsa belanja masyarakat suatu daerah untuk kebutuhan non-makanan, maka semakin besar pula retribusi daerah tersebut. Patut diingat bahwa yang termasuk kedalam non-makanan termasuk retribusi kesehatan, sarana transportasi, dan lain sebagainya, yang masih termasuk kedalam kategori lebih mewah dibandingkan dengan makanan.
•
Simpangan baku dari regresi adalah sebesar 0.66.
167. Berdasarkan pendekatan yang sama seperti pada kasus pajak, maka potensi retribusi pun dapat dihitung melalui pendekatan residual. Sebagai contoh perhitungan, diambil data untuk daerah yang sama dengan perhitungan pajak. •
Penerimaan pajak pada tahun 1996 : Rp 2,031 juta
•
PDRB tahun 1996 : 482 Milyar
•
Tipe : Kabupaten
•
Nisbah pengeluaran konsumsi non-makanan terhadap pengeluaran total : 29.2%
168. Berdasarkan data diatas dan data hasil regresi, maka kabupaten ini secara normal (tanpa usaha-usaha khusus) diharapkan akan mendapatkan penerimaan retribusi sebesar Rp 850 juta. Artinya, penerimaan aktual ada diatas ekspektasi normal (atau diatas kinerja relatif kabupaten yang lain). 169. Mengingat bahwa adanya kecederungan penerimaan retribusi ini masih belum optimal, maka studi ini menyarankan agar potensi retribusi didefinisikan sebagai suatu angka yang besarnya paling tidak satu kali (1 X) simpangan baku regresi. 170. Karena simpangan baku regresi adalah sebesar 0.66, maka ini berarti bahwa potensi penerimaan retribusi untuk kabupaten Aceh Selatan adalah menjadi sebesar Rp. 1,640 juta rupiah. Secara praktis, angka ini akan menjadikan rasio retribusi terhadap PDRB menjadi 0.34%, atau lebih besar dari rata-rata nasional.
35
EVALUASI TERHADAP HASIL PERHITUNGAN 171. Berdasarkan Tabel A.1 dapat diketahui bahwa terdapat sekitar 140 kabupaten yang menerima pajak dibawah nilai harapan (dengan kata lain, kinerja penerimaan pajak lebih rendah dibandingkan dengan kinerja kabupaten lainnya). Sehingga kemudian dapat dihitung bahwa setiap kabupaten ini mempunyai penerimaan pajak sebesar 94% dibawah nilai harapan (gap realisasi penerimaan dengan nilai harapan penerimaan). 172. Dengan demikian terdapat 47.8% kabupaten dengan kinerja penerimaan pajak yang dibawah harapan. Dipihka lain, mendefinisikan potensi sebagai 1 kali diatas simpangan baku menyebabkan 83.6% kabupaten berada dibawah potensi. 173. Mengingat hal ini, maka kumungkinan perlu dibuat suatu aturan penghitungan potensi yang lebih fleksibel. Disarankan agar potensi didefinisikan sebagai kondisi yang dicapai oleh 2/3 jumlah sampel. Dengan sampel sebesar 293, maka potensi didefinisikan sebagai nilai harapan ditambahkan dengan 37% dari simpangan baku. Dalam kondisi ini, rata-rata kabupaten harus meningkatkan penerimaan pajaknya sebesar 113% untuk mencapai angka potensi pajak. 174. Perhitungan terhadap Retribusi (Tabel A.2.) menunjukkan hal yang hampir sama. Terdapat 133 kabupaten yang harus meningkatkan penerimaan retribusi sekitar 100% agar mempunya kinerja sebanding dengan kabupaten yang lain. 175. Jika potensi retribusi didefinisikan sebagai retribusi yang telah dicapai oleh 2/3 kabupaten, maka maka potensi didefinisikan sebagai nilai harapan ditambahkan dengan 45% dari simpangan baku. Dalam kondisi ini, rata-rata kabupaten harus meningkatkan penerimaan retribusi sebesar 122% untuk mencapai potensi retribusi. 176. Akhirnya, dapat terjadi kondisi bahwa suatu kabupaten mempunyai kinerja pajak dibawah harapan, namun kinerja retribusi diatas harapan. Dengan sekaligus memperhitungkan pajak dan retribusi sekaligus maka diketahui bahwa terdapat 121 kabupaten/kota dengan penerimaan retribusi dan pajak dibawah angka harapan. Untuk mencapai angka harapan, maka kombinasi kedua jenis penerimaan ini harus ditingkatkan sebesar rata-rata sebesar 75%. Sementara itu, untuk mencapai angka potensi, diperlukan peningkatan penerimaan sebesar 90%.
36
APPENDIKS 2: PERHITUNGAN KEBUTUHAN 177. Unsur kebutuhan daerah pada dasarnya mencerminkan: (1) skala kebutuhan pelayanan (size of service provision); (2) biaya penyelenggaraan pelayanan (cost of service provision); (3) kebutuhan pembangunan (developmental needs). Skala kebutuhan pelayanan daerah dapat ditunjukkan oleh jumlah penduduk wilayah tersebut yang sedikit banyak mencerminkan beban tanggung jawab suatu daerah. Biaya penyelenggaraan pelayanan dapat diwakili oleh luas wilayah dan rasio antara panjang jalan dan luas wilayah (kami istilahkan sebagai road density).9 Dengan luas wilayah dimaksudkan bahwa luas yang semakin besar menggambarkan biaya pelayanan yang lebih besar. Dengan rasio luas wilayah dan panjang jalan (road density), maka bila rasio tersebut semakin besar itu menunjukkan biaya penyelenggaraan pembangunan yang lebih besar. Kebutuhan pembangunan dapat ditunjukkan oleh indikator konsumsi listrik per kapita dan jumlah penduduk miskin. Semakin tinggi jumlah penduduk miskin, semakin tinggi pula kebutuhan pembangunan daerah. Karena konsumsi listrik, secara empiris, berkorelasi baik dengan tingkat pendapatan, maka semakin rendah konsumsi listrik per kapita, semakin rendah pula tingkat pendapatan penduduk daerah dan dengan demikian semakin tinggi kebutuhan pembangunan daerah. 178. Untuk memperoleh estimasi kebutuhan setiap daerah, dilakukan pembobotan untuk setiap variabel yang disebutkan di atas. Besarnya bobot masing-masing variabel akan sangat tergantung pada faktor kebutuhan apa yang mendapatkan penekanan. Apabila kebutuhan pembangunan yang paling penting, maka bobot konsumsi listrik per kapita dan jumlah penduduk miskin haruslah yang terbesar. Setelah masing-masing variabel diberikan bobot yang dianggap sesuai, maka estimasi kebutuhan setiap daerah dapat dilakukan dengan mengalikan bobot dan nilai dari variabel bersangkutan. 179. Dengan mengasumsikan bobot kebutuhan dalam total alokasi DAU adalah sebesar 30% (lihat skenario tiga dalam apendiks 3), dan juga mengasumsikan bahwa bobot setiap dari ketiga faktor penentu needs adalah sama (lihat paragraf 160), maka rumus formula alokasi menjadi: Kebutuhan = (10% Populasi) + (5% Area + 3% Road Density + 2% Indeks Harga Konstruksi) + (5% Inverse Konsumsi Listrik + 5% Penduduk Miskin).
9) Road density berbeda dengan traffic density. Road density adalah panjang jalan terhadap luas area; sementara traffic density adalah banyaknya mobil terhadap panjang jalan.
37
APPENDIKS 3: METODE PEMBAGIAN DANA ALOKASI UMUM Skenario alokasi 180. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar yang sudah dijelaskan di atas, maka jumlah DAU yang diterima suatu kabupaten/kota terdiri dari tiga komponen yaitu komponen lump-sum, komponen kebutuhan daerah, dan komponen kompensasi untuk perbedaan dalam potensi ekonomi daerah. Besarnya bobot masing-masing unsur akan sangat bergantung pada unsur mana yang akan mendapatkan penekanan lebih besar dibanding lainnya. Kami mengusulkan tiga skenario alokasi: •
Skenario pertama adalah skenario bobot sama. Artinya, tidak ada preferensi tekanan dalam kebijakan. Dalam skenario ini, komponen lump-sum mendapat bobot 30%; komponen kebutuhan (needs) mendapat bobot 35% dan komponen potensi ekonomi (revenue capacity) mendapat 35%.
•
Skenario kedua adalah dimana pemerintah menekankan pada pentingnya mengkompensasi perbedaan dalam needs. Artinya, pemerintah lebih memandang penting aspek needs equalization ketimbang aspek revenue capacity equalization. Dalam skenario ini, komponen lump-sum mendapat bobot 20%; komponen needs mendapat bobot 50% dan komponen potensi ekonomi mendapat 30%.
•
Skenario ketiga adalah dimana pemerintah menekankan pada pentingnya mengkompensasi perbedaan dalam potensi ekonomi (revenue capacity). Artinya, berbeda dengan praktek tiga puluh tahun terakhir, pemerintah sekarang lebih memandang penting aspek revenue capacity equalization ketimbang aspek needs equalization. Dalam skenario ini, komponen lump-sum mendapat bobot 20%; komponen needs mendapat bobot 30% dan komponen potensi ekonomi mendapat 50%.
Bagaimana operasionalisasi dari pembobotan umum tersebut? 181. Sesuai dengan pasal 7 ayat 1 UU No.25/1999, DAU berasal dari sedikitnya 25% penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. Apabila penerimaan dalam negeri diasumsikan mencapai Rp 180 triliun, dan dengan mencontohkan pembagian hanya untuk kabupaten/kota (yang besarnya hanya 90% dari total DAU), maka total DAU yang akan dialokasikan untuk sejumlah (kurang lebih) 330 daerah adalah sebesar Rp. 41 triliun. Berdasarkan skenario tiga, dan dengan mencontohkan pembagian untuk kabupaten/kota, maka: (1) sejumlah Rp 8.5 triliun akan dialokasikan berdaarkan prinsip sama rata (lumpsum); (2) sejumlah Rp 12 triliun akan dialokasikan ke semua daerah untuk mengkompensasi perbedaan dalam needs; (3) sejumlah Rp 20.5 triliun akan dialokasikan ke semua daerah untuk mengkompensasi perbedaan dalam revenue capacity. 182. Dana sejumlah Rp 8.5 triliun akan dibagi secara lump-sum. Artinya, Rp 8.5 triliun akan dibagi rata untuk setiap daerah (baik besar maupun kecil).10 Ini dimaksudkan 10) Bila kita asumsikan jumlah daerah otonom (kabupaten/kota) adalah 330, maka setiap daerah akan mendapatkan alokasi merata sebesar kurang lebih Rp. 26 miliar.
38
sebagai modal dasar pemerintah daerah dalam menjalankan administrasi pemerintahannya. Sejumlah dana lump-sum pun bisa dianggap sebagai pengganti sebagian dari dana SDO yang selama ini mengalir ke daerah. Dengan skema lump-sum ini, kami melihat tiga hal positif. Pertama, bahwa pembagian sama rata untuk semua daerah akan menciptakan disinsentif untuk dibentuknya kabupaten-kabupaten baru (terutama di daerah yang relatif miskin). Kedua, skema ini mendorong daerah untuk lebih efisien dalam mengelola administrasi pemerintahannya dengan merasionalisasi jumlah pegawainya. Daerah yang sudah efisien pengelolaan pemerintahannya, akan sangat diuntungkan dengan skema ini. Ketiga, komponen lump-sum sebesar ini akan bias kearah daerah non-Jawa. 183. Dana sejumlah Rp 20.5 triliun akan dibagikan ke daerah dengan tujuan untuk mengkompensasi perbedaan dalam potensi ekonomi (revenue capacity). Lewat komponen ini, daerah dimana daerah yang potensi ekonominya tinggi akan mendapatkan DAU yang sedikit, dan sebaliknya. Angka potensi ekonomi itu sendiri, dihasilkan lewat perhitungan sebagaimana dijelaskan dalam apendiks sebelumnya, plus penerimaan dari Bagi Hasil. Dari hasil perhitungan tersebut, terlihat jelas daerah mana yang penerimaan aktualnya mendekati/masih jauh dari potensi penerimaannya. Metode alokasinya sendiri menggunakan pendekatan diskrit dengan membagi semua kabupaten/kota ke dalam (paling tidak) 15 kelas/kelompok potensi ekonomi.11 Pembentukan kelas tersebut didasarkan atas estimasi potensi ekonomi (potensi pajak + potensi retribusi + estimasi bagi hasil) dimana daerah-daerah yang mempunyai potensi ekonomi setara dengan ratarata akan menjadi anggota kelompok tengah atau kelas ke delapan. 184. Besarnya kompensasi (dalam bentuk DAU) yang diterima setiap daerah akan bergantung pada rating daerah tersebut. Kelas daerah dengan potensi tertinggi (dus, artinya, rating potensi-nya tertinggi) akan menerima kompensasi potensi ekonomi yang terendah, dan sebaliknya. 185. Awal dari perhitungan alokasi ini dimulai dengan mencari rata-rata alokasi itu sendiri: yang adalah Rp 20.5 triliun dibagi dengan jumlah kabupaten/kota di Indonesia. Nilai rata-rata tersebut dijadikan patokan kompensasi DAU untuk daerah yang rating-nya di tengah (atau kelas kedelapan – bila kita mengasumsikan ada sejumlah 15 kelas). Dengan menetapkan restriksi alokasi yang berdasarkan konsep pemerataan daerah di atas, alokasi kompensasi potensi ekonomi untuk kelas-kelas lain dapat dihitung. Prinsip yang mendasari metode perhitungan ini adalah: (1) adanya selisih yang cukup signifikan antar alokasi per kelas; (2) kabupaten/kota yang berada pada kelas yang sama akan menerima jumlah alokasi yang sama; (3) total alokasi untuk semua daerah harus sama dengan Rp 20.5 triliun. 186. Secara implisit, metoda perhitungan di atas sudah memperhatikan rewards and penalty bagi prestasi pengumpulan penerimaan daerah. Daerah yang potensi 11) Jumlah kelas bisa dibuat lebih banyak lagi untuk mencerminkan keadilan yang lebih baik. Namun, dalam pandangan kami, jumlah kelas untuk keperluan rating tidak boleh terlampau banyak karena itu hanya akan membuat perbedaan alokasi antar kelas menjadi marjinal. Tidak ada gunanya, misalnya, membuat 30 kelas rating, bila pada akhirnya beda antar kelas hanyalah berkisar pada angka Rp 500 juta.
39
penerimaannya rendah akan diberikan DAU yang besar. Sebaliknya, daerah yang berpotensi tinggi hanya akan menerima kompensasi yang kecil. Hal ini ditujukan untuk menyamakan potensi keuangan pemerintah daerah bersangkutan agar sama dengan daerah lainya yang berpotensi lebih besar. Bila daerah yang potensinya besar memiliki penerimaan aktual yang rendah (relatif terhadap angka potensinya), maka sistem alokasi seperti ini akan sekaligus mem-penalti daerah yang kinerja penerimaan daerahnya rendah. Dengan perkataan lain, faktor revenue effort incentive secara implisit sudah builtin dalam sistem alokasi ini. 187. Dalam skenario tiga, kebutuhan daerah mendapatkan bobot 30%. Artinya, total DAU yang dialokasikan untuk tujuan ini besarnya adalah Rp 12 triliun. Alokasi berdasarkan kebutuhan daerah harus membagi habis jumlah tersebut dengan memperhatikan klasifikasi kebutuhan setiap daerah. Klasifikasi kebutuhan daerah dilakukan dengan membentuk kelas-kelas seperti pada klasifikasi potensi ekonomi. Dengan memakai estimasi kebutuhan setiap daerah sebagai patokan, daerah-daerah dapat dikelompokkan menurut kebutuhannya dengan cara yang sama dengan pengelompokkan daerah menurut potensi ekonomi. Alokasi per daerah pun dilakukan dengan metode yang mirip dengan metode alokasi kompensasi potensi ekonomi (memakai sistem rating – dengan menggunakan jumlah kelas yang sama dengan rating pada komponen revenue capacity). Namun, berbeda dengan alokasi potensi ekonomi, daerah dengan kebutuhan yang besar akan mendapatkan alokasi yang besar pula. 188. Dengan metode alokasi seperti ini sangat dimungkinkan terjadi situasi dimana suatu daerah menerima sedikit dari komponen potensi ekonomi tetapi mendapat besar alokasi besar dari komponen kebutuhan, dan sebaliknya. 189. Setelah semua perhitungan selesai dilakukan, maka akan dihasilkan alokasi DAU untuk setiap daerah berdasarkan ketiga komponen. Jumlah dari semua unsur tersebut akan menjadi total dana alokasi umum yang diterima kabupaten/kota tersebut.
40
APPENDIKS 4: HASIL PERHITUNGAN ALOKASI DAU MENURUT MODEL Umum 190. Pembagian DAU kepada setiap Kabupaten/Kota dilakukan dengan cara mengelompokkan seluruh Kabupaten/Kota yang ada ke dalam kelas-kelas tertentu. Kelas pertama adalah kelas berdasarkan perhitungan Needs atau kebutuhan daerah. Kelas kedua adalah kelas berdasarkan perhitungan potensi (revenue capacity) ditambah Bagi Hasil (BH). 191. Setiap Kabupaten/Kota yang berada dalam satu kelas Kebutuhan yang sama akan mendapatkan bagian DAU yang sama besar. Namun DAU yang diterima oleh Kabupaten/Kota tersebut akan berbeda dengan DAU yang diterima oleh Kabupaten/Kota lain yang berada pada kelas Kebutuhan yang berbeda. Demikian pula dengan kelas Potensi + BH. Setiap Kabupaten/Kota yang berada dalam satu kelas Potensi + BH yang sama akan mendapatkan bagian DAU yang sama besar, namun akan berbeda dengan Kabupaten/Kota lain yang berada pada kelas yang berbeda. Untuk itu diperlukan metode pembagian kelas baik berdasarkan Kebutuhan maupun Potensi + BH. Pembagian Kelas Menurut Kebutuhan 192. Untuk menempatkan Kabupaten/Kota ke dalam kelas-kelas Kebutuhan diperlukan informasi mengenai kebutuhan daerah. Kebutuhan daerah diestimasi dengan cara mencari faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan suatu daerah. Kebutuhan daerah ditentukan oleh ukuran dari penyediaan sarana (size of service provision), biaya dari penyediaan sarana (cost of service provision) dan kebutuhan pembangunan (developmental needs). 193. Tiap faktor tersebut diwakili oleh variabel-variabel sebagai berikut: (1) penyediaan sarana (size of service provision) diwakili oleh jumlah penduduk (populasi), (2) biaya penyediaan sarana (cost of service provision) diwakili oleh variabel luas wilayah dengan memperhitungkan indeks pembangunan sarana (indeks Pekerjaan umum, PU), dan (3) persentase penduduk miskin di suatu daerah akan mewakili kebutuhan pembangunan (developmental needs). 194. Dari tiap faktor ditentukan bobot yang akan menentukan besarnya kebutuhan suatu daerah. Misalnya jika dirasakan bahwa kebutuhan daerah lebih banyak ditentukan oleh biaya dari penyediaan sarana, maka bobot faktor cost of service provision akan lebih besar dari faktor yang lain. Dalam simulasi ini, bobot tiap faktor dianggap hampir sama (equal weight). Dalam spreadsheet, bobot ini dapat diganti dengan mudah. Secara notasi aljabar menjadi: Kebutuhan = 35% (populasi) + 35% (luas*indeks PU) + 30% (miskin/populasi) 195. Contoh perhitungannya adalah misalkan kabupaten Aceh Selatan diketahui populasi sebesar 372214 jiwa. Sementara luas wilayahnya sebesar 8910 Ha, dan indeks PU sebesar 111. Sedangkan jumlah penduduk miskin sebesar 224097. Maka estimasi
41
kebutuhan kabupaten Aceh Selatan adalah sebesar 476428,58, notasi perhitungannya adalah: 476428,58 = 35%(372214) + 35%(8910*111) + 30%(224097/372214). 196. Setelah diperoleh Kebutuhan tiap Kabupaten/Kota, langkah selanjutnya adalah mengelompokkan tiap Kabupaten/Kota tersebut ke dalam kelas-kelas. Kelas Kebutuhan dibuat dengan dua pendekatan. Kedua pendekatan ini merupakan perhitungan statistik biasa. Pendekatan I adalah membuat batas bawah (lower bound) dan batas atas (upper bound) dari kelas. Kelas yang ingin dibuat adalah sebanyak 15 (lima belas) kelas. Untuk itu diperlukan informasi mengenai nilai Kebutuhan maksimum dan minimum, serta selisihnya (range class). Setelah diperoleh batas bawah dan batas atas tiap kelas, maka tiap Kabupaten/Kota dimasukkan ke dalam kelas-kelas yang sesuai. Setelah itu diperhatikan jumlah Kabupaten/Kota di tiap kelas (frequency). Jika terlihat distribusi yang sangat timpang (terdapat beberapa outliers), maka diperlukan pendekatan II. 197. Pendekatan II adalah pendekatan yang berusaha memperbaiki distribusi kelas Kebutuhan. Pendekatan ini dilakukan dengan cara mengubah nilai maksimum Kebutuhan, dimana nilai maksimum ini diperoleh dari batas atas kelas yang tidak mengandung outlier, sehingga diperoleh selisih kelas yang baru. Dengan demikian didapatkan pula batas atas dan batas bawah baru untuk tiap kelas. Setelah itu baru mengelompokkan Kabupaten/Kota ke dalam kelas yang bersesuaian. Jadi tiap Kabupaten/Kota diketahui masuk kelas berapa. 198. Dalam simulasi ini terlihat bahwa dengan pendekatan pertama hasil yang didapat cukup timpang. Untuk membentuk 15 kelas, range tiap kelas menjadi 581200,59. Dengan menggunakan range tersebut terlihat bahwa kabupaten yang berada pada kelas 7 hingga kelas 15 adalah outliers, karena dari sembilan kelas tersebut hanya diisi oleh 2 (dua) Kabupaten/Kota (lihat lampiran tabel 1.1 Pembagian Kelas Kebutuhan). Oleh karena itu diperlukan pendekatan kedua. Batas atas kelas 6 dijadikan nilai maksimum dalam penentuan range kelas. Range kelas yang baru adalah 232480,24 yang nilainya lebih kecil dari range sebelumnya. Dengan adanya penyesuaian tersebut bentuk distribusi yang baru sudah lebih baik. 199. Setelah diketahui batas bawah dan batas atas tiap kelas, tiap Kabupaten/Kota dimasukkan ke kelas yang sesuai dengan nilai estimasi Kebutuhan-nya. Misalkan terlihat di tabel berikut ini: 200.
Dalam Tabel 1 berikut ini diberikan contoh pembagian kelas menurut kebutuhan. Tabel 1. Contoh Pembagian Kelas menurut Kebutuhan
Kabupaten
Kebutuhan
Aceh Selatan Deli Serdang Manokwari
476428,58 783906,6 1802637
Kelas 2 4 8
42
Kabupaten Aceh Selatan dengan nilai Kebutuhan sebesar 476428,58 termasuk kelas 2, karena kelas 2 memiliki range 247184,9 sampai 479665,1. Sedangkan Manokwari dikelompokkan ke dalam kelas 8, karena nilai Kebutuhan-nya berada di antara 1642066,4 dan 1874546,5 yang merupakan range kelas 8. Pembagian kelas menurut potensi 201. Sama seperti pembagian kelas Kebutuhan, untuk membagi tiap Kabupaten/Kota ke dalam kelas-kelas berdasarkan potensi + BH, diperlukan informasi mengenai potensi dan bagi hasil tiap Kabupaten/Kota. Untuk menghitung potensi suatu daerah diperlukan perhitungan mengenai potensi pajak dan retribusi. Perhitungan potensi pajak dan retribusi ini telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya. Setelah nilai potensi tiap Kabupaten/Kota diketahui, kemudian dijumlahkan dengan Bagi Hasil yang didapat tiap Kabupaten/Kota. Sehingga diperoleh potensi + BH tiap Kabupaten/Kota. Informasi ini digunakan untuk membagi kelas Potensi + BH. 202. Masih sama dengan dengan metode pembagian kelas Kebutuhan, pembagian kelas Potensi + BH dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan I melihat distribusi frekuensi dan jika terdapat outlier, maka dilakukan pendekatan II. Setelah selesai pendekatan II, diperoleh informasi tiap Kabupaten/Kota termasuk kelas berapa. 203. Dari perhitungan terlihat bahwa dengan range sebesar 9455,034, Kabupaten/Kota yang berada pada kelas 7 hingga kelas 15 dapat dianggap sebagai outlier, sehingga diperlukan penyesuaian. Dengan menentukan batas atas kelas 6 sebagai nilai maksimum, diperoleh range kelas baru sebesar 3782,02 yang jauh lebih kecil dari range kelas sebelumnya. Dari hasil ini terlihat distribusi yang lebih baik (lihat lampiran tabel 1.2 Pembagian Kelas Potensi + Bagi Hasil). 204. Setelah batas bawah dan batas atas tiap kelas diketahui, maka langkah selanjutnya memasukkan tiap Kabupaten/Kota ke dalam kelas yang sesuai dengan nilai potensi + bagi hasil-nya. Dapat dilihat dari contoh dibawah ini: Tabel 2. Contoh Pembagian Kelas Menurut Potensi Kabupaten Aceh Selatan Deli Serdang Manokwari
Potensi + BH
Kelas
4995 24069 18254
2 7 5
Kabupaten Aceh Selatan termasuk kelas 2, karena nilai Potensi + BH-nya berada diantara batas bawah dan batas atas kelas 2, yaitu 3937,1 dan 7719. Sedangkan kabupaten Deli Serdang dengan nilai Potensi + BH sebesar 24069 berada diantara batas bawah dan batas atas kelas 7, yaitu 22847,1 dan 26629.
43
Perhitungan Pembagian DAU 205.
Setelah diperoleh informasi kelas Kebutuhan dan Potensi + BH, maka langkah berikutnya adalah membagi DAU berdasarkan kelas-kelas yang ada. Terdapat beberapa karakteristik dalam pengalokasian DAU ke dalam suatu kelas.
206.
Untuk Kelas Kebutuhan, semakin tinggi kelas (kelas tertinggi adalah kelas 15) akan memperoleh bagian DAU yang semakin besar pula. Perbedaan tiap kelas (dalam simulasi ini dipergunakan selisih 10%) harus cukup berarti (signifikan). Jadi bagian DAU yang diterima sebuah Kabupaten/Kota yang berada pada kelas 2 adalah 10% lebih besar dari bagian DAU yang diterima Kabupaten/Kota yang berada pada kelas 1.
207.
Untuk Kelas Potensi + BH, semakin tinggi kelas (kelas tertinggi adalah kelas 15) akan memperoleh bagian DAU yang semakin kecil, dengan perbedaan tiap kelas sebesar 10%. Jadi bagian DAU yang diterima Kabupaten/Kota yang berada pada kelas 2 adalah 10% lebih kecil dari bagian DAU yang diterima oleh Kabupaten/Kota yang berada pada kelas 1.
208.
Namun berapa besar bagian DAU yang harus dialokasikan kepada seluruh Kabupaten/Kota, tergantung kepada skenario yang digunakan. Dalam simulasi ini digunakan tiga buah skenario (dalam spreadsheet, bobot dalam sebuah skenario dapat diubah dengan mudah). Tiap skenario memiliki perbedaan dalam penentuan bagian alokasi untuk tiga faktor utama dalam pembagian DAU. Tiga faktor tersebut adalah Lumpsum, Kebutuhan dan Potensi + Bagi Hasil. Ketiga skenario tersebut adalah:
209.
Skenario 1 : DAU = 30% (Lumpsum) + 35% (Kebutuhan) + 35% (Potensi + Bagi Hasil)
210.
Skenario 2: DAU = 20% (Lumpsum) + 50% (Kebutuhan) + 30% (Potensi + Bagi Hasil)
211.
Skenario 3: DAU = 20% (Lumpsum) + 30% (Kebutuhan) + 50% (Potensi + Bagi Hasil).
212.
Jadi, misalkan total DAU yang tersedia yang siap untuk didistribusikan adalah sebesar 4,5 triliun. Untuk skenario 1, 30% dari 4,5 triliun (1,35 triliun) akan didistribusikan secara merata kepada tiap Kabupaten/Kota. Bagian DAU sebesar 1,575 triliun (35% dari 4,5 triliun) akan didistribusikan kepada tiap Kabupaten/Kota berdasarkan kelas Kebutuhan. Begitu pula dengan sisa sebesar 1,575 triliun akan didistribusikan berdasarkan kelas Potensi + BH. Berapa besar alokasi DAU untuk tiap kelas Kebutuhan dapat dilihat pada lampiran tabel 1.1.
44
Tabel 3.1. Contoh Alokasi DAU Berdasarkan Skenario 1 menurut kebutuhan daerah Kelas Kebutuhan 1 2 3
DAU yang diterima Kabupaten/Kota 44.878.933.705 49.366.827.075 54.303.509.783
213.
Setiap Kabupaten/Kota yang berada pada kelas 1 akan menerima bagian DAU masing-masing sebesar 44,879 milyar. Kabupaten/Kota yang berada pada kelas 2 akan menerima bagian DAU sebesar 49,366 milyar, yang nilainya lebih tinggi 10% dari bagian DAU yang diterima oleh Kabupaten/Kota yang berada pada kelas 1. Misalkan, kabupaten Aceh Selatan yang berada pada kelas Kebutuhan 2, maka kabupaten tersebut akan menerima bagian DAU sebesar 49,366 milyar.
214.
Contoh pembagian DAU berdasarkan kelas Potensi + BH dapat dilihat di bawah ini (untuk mengetahui alokasi tiap kelas Potensi + BH dapat dilihat pada lampiran tabel 1.2): Tabel 3.2. Contoh Alokasi DAU Berdasarkan Skenario 1 menurut Potensi Daerah Kelas Kebutuhan 1 2 3
DAU yang diterima Kabupaten/Kota 66.465.543.211 60.423.221.101 54.930.201.001
Setiap Kabupaten/Kota yang berada pada kelas 1 akan menerima bagian DAU masingmasing sebesar 66,465 milyar. Kabupaten/Kota yang berada pada kelas 2 akan menerima bagian DAU sebesar 60,423 milyar, yang nilainya lebih rendah 10% dari bagian DAU yang diterima oleh Kabupaten/Kota yang berada pada kelas 1. Dari contoh sebelumnya terlihat bahwa kabupaten Aceh Selatan berada pada kelas Potensi + BH 2. Maka Aceh Selatan akan mendapat alokasi DAU sebesar 60,423 milyar. 215. Dengan diketahuinya alokasi DAU yang diterima tiap Kabupaten/Kota berdasarkan Kebutuhan dan Potensi + BH, maka diketahui pula total DAU yang diterima oleh sebuah Kabupaten/Kota berdasarkan skenario tertentu. Perhitungan tersebut dapat dilihat melalui tabel contoh di bawah ini.
45
Tabel 3.3 Contoh Total Alokasi DAU berdasarkan Skenario 1. Kabupaten
Lumpsum (000)
Kelas Kebutu han
Kebutuhan (000)
Kelas Potensi + BH
Potensi + BH (000)
Total (000)
Aceh Selatan Deli Serdang Manokwari
45.918.367 45.918.367 45.918.367
2 4 8
49.366.827 59.733.860 87.456.345
2 7 5
60.423.221 37.518.066 45.396.860
155.708.415 143.170.294 178.771.573
Total Alokasi DAU yang diterima oleh kabupaten Aceh Selatan adalah 155,708 milyar, yang berasal dari 45,918 milyar bagian dari alokasi Lumpsum ditambah 49,366 milyar yang merupakan bagian dari alokasi berdasarkan Kebutuhan, ditambah lagi dengan 60,423 milyar yang merupakan bagian dari alokasi berdasarkan Potensi + Bagi Hasil. Begitu pula dengan total DAU yang diterima kabupaten Deli Serdang dan Manokwari. Untuk mengetahui alokasi DAU yang diterima setiap Kabupaten/Kota yang termasuk dalam simulasi ini dapat dilihat pada lampiran tabel 2.1 untuk skenario 1, tabel 3.1 untuk skenario 2. Sedangkan skenario 3 dapat dilihat pada tabel 4.1.
46
View more...
Comments