Konflik Sosial Dari Sudut Pandang Agama

April 26, 2018 | Author: diann | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Debated Social Regional...

Description

BAB I

PENDAHULUAN

Permasalahan antar kelompok telah menjadi perhatian dari berbagai pihak di Indonesia. Pemerintah dan juga lembaga-lembaga tertentu yang berada di Indonesia telah melakukan berbagai usaha dalam menjawab permasalah hubungan antar kelompok di negeri Nusantara ini, yang pada dasarnya adalah wilayah yang terbungkus oleh lingkungan multikultural. Akan tetapi, dalam pandangan masyarakat awam, langkah yang ditempuh oleh pihak-pihak yang harus  bertanggung jawab tersebut, terkesan tidak memberikan hasil. Hal ini dinilai dari fakta dan realita yang ada, terutama yang diketahui dari berbagai media massa,  bahwa masalah konflik antar kelompok ini tidak pernah menemukan titik temu untuk menyatakan damai.

Salah satu masalah yang sangat sensitif, berhubungan dengan konflik antar kelompok ini, adalah permasalahan agama. Karena dianggap sebagai suatu kepercayaan yang sakral dan suci, dan berlandaskan kepada keyakinan dan moralitas agama tersebut, banyak konflik yang terjadi di masyarakat. Bahkan dalam beberapa kasus telah terjadi proses kriminalisasi terhadap kelompokkelompok minoritas oleh kelompok dominan, dengan mempermasalahkan  penodaan suatu agama dan mengganggu mengganggu ketertiban umum.

Disusunnya makalah ini didasarkan dengan beberapa alasan dan tujuan yang kemudian akan dipaparkan dalam uraian latar belakang dan permasalahan. Diharapkan dengan uraian berikut akan memberikan gambaran kepada pembaca tentang garis besar makalah ini, mengenai alasan dan tujuan yang diinginkan oleh  penyusun.

1

1.1. Latar Belakang

Di Indonesia―struktur Indonesia―struktur masyarakatnya merupakan masyarakat majemuk, terdiri dari berbagai suku bangsa, ras, kelompok, dan agama―muncul praktek praktek  praktek eksklusi sosial. Praktek eksklusi berdasar agama ini menyebabkan  pengabaian, pengasingan dan pencabutan hak atas orang atau sekelompok orang disebabkan oleh pemahaman tentang agama. Praktek eksklusi ini sering menimpa kelompok minoritas yag memiliki aliran kepercayaan dan kelompok sekte keagamaan yang berbeda dari apa yang telah ditentukan oleh negara. Pihak yang mempunyai daya untuk melakukan praktek eksklusi sosial terhadap kaum minoritas ini adalah kaum dominan (kelompok agama yang berkuasa) demi memperoleh kekuatan dan perhatian dari penguasa. Pluralitas agama di Indonesia ini di satu sisi menjadi kekayaan bangsa namun di sisi lain juga menjadi ancaman yang berbahaya karena dapat menyebabkan terjadinya disintegrasi sosial di masyarakat, bahkan disintegrasi nasional.

1.2. Permasala Permasalahan han

Di beberapa wilayah, integritas masyarakat masih tertata dengan kokoh. Kerjasama dan toleransi antar agama terjalin dengan baik, didasarkan kepada rasa solidaritas, persaudaraan, kemanusiaan, kekeluargaan dan kebangsaan. Namun hal ini hanya sebagian kecil saja karena pada kenyataannya masih banyak terjadi konflik yang disebabkan berbagai faktor yang kemudian menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat.

Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh  pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok (ke lompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh  perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat.

2

Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.

Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui  bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, 2, sudah  sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.

 Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakankebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.

Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis.

1. Apa faktor –  faktor –  faktor  faktor pemicu terjadinya konflik sosial antar kelompok dalam konteks agama ? 2. Apa akibat dari konflik sosial antar organisasi islam ?

3

1.3. Kerangka Konseptual

Dalam melihat hubungan antar agama ini, terdapat dua kerangka analisis yang dipakai oleh sosiolog, yaitu Struktural Fungsional dan Teori Konflik.



Struktural Fungsional

Pendekatan ini menitikberatkan pada fungsi agama dalam struktur yang saling kait mengait di masyarakat. Teori ini merujuk kepada pendapat Durkheim, yaitu terdapat tiga fungsi utama agama :



Sebagai perekat sosial



Sebagai kontrol sosial



Sebagai pemberi makna dan tujuan.



Teori Konflik

Analisis

ini

menggarisbawahi

peran

agama

dalam

menciptakan

ketidaksetaraan dalam masyarakat. Marx berpendapat bahwa agama hanya alat untuk menanamkan kesadaran palsu ( false ( false consciousness consciousness)) agar supaya orangorang dapat menerima permasalahan sosial di dunia ini dan berharap terus pada datangnya dunia yang lebih baik.

Agama juga dipandang sebagai alat bagi kaum elite politik untuk mempertahankan kekuasaannya (agama, kekuasaan, dan politik memiliki hubungan yang erat). Karena perebutan kekuasaan dalam suatu negara akan terus  berlangsung, agama-agama berlomba untuk semakin mendekatkan diri dengan sumber-sumber kekuasaan dari masa ke masa.

4

Dalam karya tulis ilmiah ini, penulis akan menganalisa masalah relasi (hubungan) antar agama dari sudut pandang teori konflik. Teori ini membantu menjelaskan penyebab dari pola-pola relasi yang konfliktual antar kelompok agama.

Pendekatan ini juga dapat menjelaskan dua fenomena yang bersifat  paradoks, yaitu agama yang di satu sisi merupakan perekat sosial namun di sisi lain merupakan penyebab utama terjadinya disintegrasi.

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sumber Konflik Sosial

Konflik yang terjadi pada manusia bersumber pada berbagai macam s ebab. Begitu beragamnya sumber konflik yang terjadi antar manusia, sehingga sulit itu untuk dideskripsikan secara jelas dan terperinci sumber dari konflik. Hal ini dikarenakan sesuatu yang seharusnya bisa menjadi sumber konflik, tetapi pada kelompok manusia tertentu ternyata tidak menjadi sumber konflik, demikian halnya sebaliknya. Kadang sesuatu yang sifatnya sepele bisa menjadi sumber konflik antara manusia. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Kesimpulannya sumber konflik itu sangat beragam dan kadang sifatnya tidak rasional. Oleh karena kita tidak bisa menetapkan secara tegas bahwa yang menjadi sumber konflik adalah sesuatu hal tertentu, apalagi hanya didasarkan pada hal-hal yang sifatnya rasional.

Pada umumnya penyebab munculnya konflik soial kepentingan sebagai  berikut :



Perbedaan kebutuhan, nilai, dan tujuan



Langkanya sumber daya seperti kekuatan, pengaruh, ruang, waktu, uang,  popularitas dan posisi

6



Persaingan, ketika kebutuhan, nilai dan tujuan saling bertentangan, ketika sejumlah sumber daya menjadi terbatas, dan ketika persaingan untuk suatu  penghargaan serta hak-hak istimewa muncul, konflik kepentingan akan muncul (Johnson & Johnson, 1991).

Menurut Anoraga (dalam Saputro, 2003) suatu konflik dapat terjadi karena  perbendaan pendapat, salah paham, ada pihak yang dirugikan, dan perasaan sensitif.

1. Perbedaan Pendapat Suatu konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masingmasing pihak merasa dirinya benar, tidak ada yang maumengakui kesalahan, dan apabila perbedaan pendapat tersebut amat tajam maka dapat menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan sebagainya. 2. Salah Paham Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik. Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang lain. 3. Ada pihak yang dirugikan Tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain sehingga seseorang yang dirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan membenci. 4. Perasaan sensitif Seseorang yang terlalu perasa sehingga sering menyalah artikan tindakan orang lain. Contoh, mungkin tindakan seseorang wajar, tetapi oleh pihak lain dianggap merugikan.

Baron & Byrne (dalam Kusnarwatiningsih, 2007) mengemukakan konflik disebabkan antara lain oleh perebutan sumber daya, pembalasan dendam, atribusi dan kesalahan dalam berkomunikasi.

7

Sedangkan Soetopo (2001) juga mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya konflik, antara lain :



Ciri umum dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik



Hubungan pihak-pihak yang mengalami konflik sebelum terjadi konflik



Sifat masalah yang menimbulkan konflik



Lingkungan sosial tempat konflik terjadi



Kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik



Strategi yang biasa digunakan pihak-pihak yang mengalami konflik



Konsekuensi konflik terhadap pihak yang mengalami konflik dan terhadap  pihak lain.



Tingkat kematangan pihak-pihak yang berkonflik.

Robbins, Walton & Dutton dalam Wexley & Yukl, 1988 ada enam kategori penting dari kondisi - kondisi pemula ( antecedent conditions ) yang menjadi penyebab konflik, yaitu :



Persaingan terhadap sumber-sumber ( Competition for resources )



Ketergantungan pekerjaan ( Task interdependence )



Kekaburan bidang tugas ( Jurisdictional ambiguity )



Problem status ( Status problem )



Rintangan komunikasi ( Communication barriers )



Sifat-sifat individu ( Individual traits )

Schmuck ( dalam Soetopo dan Supriyanto, 1999 ) mengemukakan bahwa kategori sumber-sumber konflik ada empat, yaitu :



Adanya perbedaan fungsi dalam organisasi



Adanya pertentangan kekuatan antar orang dan subsistem



Adanya perbedaan peranan



Adanya tekanan yang dipaksakan dari luar kepada organisasi.

8

Sedangkan, Handoko (1998) menyatakan bahwa sumber-sumber konflik adalah sebagai berikut :



Komunikasi : salah pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit dimengerti, atau informasi yang mendua dan tidak lengkap, serta gaya individu manajer yang tidak konsisten.



Struktur : pertarungan kekuasaan antar departemen dengan kepentingankepentingan atau sistem penilaian yang bertentangan, persaingan untuk memperebutkan

sumber-sumber

daya

yang

terbatas,

atau

saling

ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok kegiatan kerja untuk mencapai tujuan mereka. 

Pribadi : ketidaksesuaian tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi karyawan dengan perilaku yang diperankan pada jabatan mereka, dan perbedaan dalam nilai-nilai atau persepsi.

Berbeda pula dengan pendapat Mangkunegara (2001) bahwa penyebab konflik dalam organisasi adalah :



Koordinasi kerja yang tidak dilakukan



Ketergantungan dalam pelaksanaan tugas



Tugas yang tidak jelas ( tidak ada diskripsi jabatan j abatan )



Perbedaan dalam orientasi kerja



Perbedaan dalam memahami tujuan organisasi



Perbedaan persepsi



Sistem kompetensi intensif ( reward ), dan



Strategi permotivasian yang tidak tepat.

9

Berdasarkan beberapa pendapat tentang sumber konflik sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat ditegaskan bahwa sumber konflik dapat  berasal dari dalam dan luar diri individu. Dari dalam diri individu misalnya adanya perbedaan tujuan, nilai, kebutuhan serta perasaan yang terlalu sensitif .

Dari luar diri individu misalnya adanya tekanan dari lingkungan,  persaingan, serta langkanya sumber daya yang ada.

2.2. Faktor Penyebab Konflik

1. Perbedaan individu

Perbedaan kepribadian antar individu bisa menjadi faktor penyebab terjadinya konflik, biasanya perbedaan individu yang menjadi sumber konflik adalah perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik, artinya setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan  pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbedabeda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.

2. Perbedaan latar belakang kebudayaan

Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang  berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

10

3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok

Manusia

memiliki

perasaan,

pendirian

maupun

latar

belakang

kebudayaanyang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masingmasing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda- beda. Kadangkadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang  bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu,  pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan

konflik

sosial

di

masyarakat.

Konflik

akibat

perbedaan

kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan  budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.

4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.

Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika  perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan terse but dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak  pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.

11

 Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotong royongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis  pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan prosesproses sosial di masyarakat,  bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.

2.3. Bentuk Konflik Sosial

Sasse (1981) mengajukan istilah yang bersinonim maknanya dengan nama conflict style, yaitu cara orang bersikap ketika menghadapi pertentangan. Conflict style ini memiliki kaitan dengan kepribadian. Maka orang yang berbeda akan menggunakan conflict style yang berbeda pada saat mengalami konflik dengan orang lain. Sedangkan Rubin (dalam Farida, 1996) menyatakan bahwa konflik timbul dalam berbagai situasi sosial, baik terjadi dalam diri seseorang individu, antar individu, kelompok, organisasi maupun antar negara. Ada banyak kemungkinan menghadapi konflik yang dikenal dengan istilah manajemen konflik. Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam ragamnya,  bentuknya, dan jenisnya. Soetopo (1999) mengklasifikasikan jenis konflik, dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu:

1. Konflik Tujuan

Konflik tujuan terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan yang kontradiktif.

12

2. Konflik Peranan

Konflik peranan timbul karena manusia memiliki lebih dari satu peranan dan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang sama.

3. Konflik Nilai

Konflik nilai dapat muncul karena pada dasarnya nilai yang dimiliki setiap individu dalam organisasi tidak sama, sehingga konflik dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan organisasi.

4. Konflik Kebijakan

Konflik kebijakan dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang dikemuka- kan oleh satu pihak dan kebijakan lainnya.

2.4. Solusi Pemecahan Konflik Sosial

Usaha manusia untuk meredakan pertikaian atau konflik dalam mencapai kestabilan dinamakan “akomodasi”. Pihak -pihak -pihak yang berkonflik kemudian saling menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara bekerja sama. Bentuk bentuk akomodasi :

1. Gencatan senjata, yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka waktu tertentu, guna melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu. Misalnya : untuk melakukan perawatan bagi yang luka-luka, mengubur yang tewas, atau mengadakan perundingan perdamaian, merayakan hari suci keagamaan, dan lain-lain.

13

2. Abitrasi, yaitu suatu suatu perselisihan yang langsung dihentikan dihentikan oleh pihak pihak ketiga yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah  pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap se tiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.

3. Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat. Contoh : PBB membantu menyelesaikan  perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.

4. Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama. Misalnya : Panitia tetap  penyelesaikan perburuhan yang dibentuk Departemen Kestabilan N Tenaga Kerja. Bertugas menyelesaikan persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan buruh, hari-hari libur, dan lain-lain.

5. Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur. Sebagai contoh : adu senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang dingin.

6. Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di  pengadilan.

Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik sosial adalah :

1. Elimination, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan ucapan antara lain : kami mengalah, kami keluar, dan sebagainya.

14

2. Subjugation atau domination, yaitu orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar untuk dapat memaksa orang atau pihak lain menaatinya. Sudah  barang tentu cara ini bukan suatu cara pemecahan yang memuaskan bagi pihak pihak yang terlibat.

3. Majority rule, yaitu suara terbanyak yang ditentukan melalui voting untuk mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan argumentasi.

4. Minority consent, yaitu kemenangan kelompok mayoritas yang diterima dengan senang hati oleh kelompok minoritas. Kelompok minoritas sama sekali tidak merasa dikalahkan dan sepakat untuk melakukan kerja sama dengan kelompok mayoritas.

5. Kompromi, yaitu jalan tengah yang dicapai oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik.

6. Integrasi, yaitu mendiskusikan, menelaah, dan mempertimbangkan kembali pendapat-pendapat sampai diperoleh suatu keputusan yang memaksa semua pihak.

15

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Materi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif . deskriptif adalah salahsatu metode penelitian dengn cara observasi melalui internet dan buku-buku, yang dapat memberikan fakta secara aktual dan kontekstual. Data yang diperoleh hanya  berlaku bagi tempat , waktu, dan kondisi kondisi penelitian. Dalam melakukan penelitian ini, penulis memakai metode observasi dengan membaca, mencatat serta melihat keadaan secara langsung maupun dari  pemberitaan media elektronik selain itu penulis juga mendapatkan informasi ini melalui internet. 3.2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini metode yang akan digunakan adalah : 1) Metode Angket atau Kuesioner Yaitu sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang Ia ketahui. Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa Angket adalah suatu cara  pengumpulan informasi dengan penyampaian suatu daftar tentang hal-hal yang diteliti. 2) Metode Observasi Yaitu memperlihatkan sesuatu dengan mempergunakan mata. Atau observasi juga disebut pengamatan, meliputi kegiatan pemusatperhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh indra.

16

3.3. Teknik Analisis dan Pengumpulan Data

Data dan informasi yang telah di kumpulkan akan diolah dengan beberapa metode analisa data sebagai berikut: 1) Analisa Kualitatif yaitu mengamati.memahami, dan menafsirkan setiap data yang ada kaitannya dengan rumusan masalah. 2) Analisa Deskriptif yaitu setelah data dan informasi terkumpul maka dilanjutkan

penyusunan

dan

penghimpunan

dan

membahasnya

serta

menginterprestasikan berdasarkan logika dan teori yang relavan untuk menarik kesimpulan.

17

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Pembahasan Tentang Konflik Sosial dari Sudut Pandang Agama

Berdasarkan teori konflik Marx, yang mana dikatakan bahwa di dalam suatu masyarakat dapat dijumpai hal yang dianggap baik oleh suatu golongan atau kelompok, tetapi bersifat relatif, yang berarti kebaikan itu belum tentu baik pula di mata masyarakat lain (golongan atau kelompok lain). Manusia cenderung untuk  berusaha mendapatkan hal-hal yang dianggap baik (menurut hemat mereka sendiri) tadi. Karena itulah bisa menimbulkan persaingan antara individu satu dengan individu yang lain atau kelompok yang satu dengan kelompok lain, yang mencakup

suatu

proses

untuk

mendapatkan

kekayaan,

kekuasaan,

atau

kedudukan. Dan biasanya suatu yang dianggap baik ini adalah sesuatu yang menyangkut kepentingan kelompok yang berkuasa (atau bisa dikatakan kelompok yang dominan). Marx menganggap bahwa proses pertikaian ini adalah proses  pertentangan kelas.

Agama menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya disintegrasi. Marx mengatakan bahwa analisis konflik menggarisbawahi peran agama dalam menciptakan ketidaksetaraan dalam masyarakat. Namun, sesuai dengan ketentuan hak asasi, agama adalah sebuah kebebasan bagi pemeluknya untuk menentukan keyakinan dan kepercayaannya. Berbicara mengenai HAM, berarti membicarakan hal yang terkait dengan kebutuhan biologis (sandang, papan, pangan) dan juga terpenuhinya kebutuhan mental spiritual (rohani), yaitu kepercayaan atau agama.

Agama terkait dengan keyakinan, yang mana keyakinan ini sangat dijunjung tinggi dan dijaga oleh penganutnya. Seseorang dijadikan pemeluk agama yang sama dengan orang tuanya sejak lahir.

18

Sosialisasi terhadap agama mencakup nilai-nilai, aturan, tata cara, upacara/ritual dan sebagainya yang harus dituruti. Dalam kelompok agama tersebut, kesucian agama dipegang oleh suatu kekuasaan otoritas yang dimiliki oleh pemuka-pemuka agama (ulama atau paus), yang terkadang perkataan (fatwa) dari para pemuka agama ini tidak terbantahkan dan diikuti oleh semua  penganutnya. Selain itu adanya perkawinan anta ra agama dengan negara ne gara sehingga agama memiliki kekuasaan yang besar (contohnya pada negara-negara yang memiliki agama mayoritas, seperti Indonesia. Atau daerah yang memiliki agama mayoritas, seperti Islam di Aceh, atau Kristen di Papua).

Penanaman tentang agama ini dimulai sejak lahir dan anak-anak, melalui  jalur sistem pendidikan nasional. Norma dan aturan agama tersebut sudah menjadi hal yang lumrah dalam pola pikr masyarakat umumnya. Hal inilah kemudian yang dapat memicu konflik apabila sedikit saja ada gerakan yang menentang arus dari norma dan aturan-aturan tersebut.

Konflik ini kemudian mengarah kepada tindakan kekerasan kepada kelompok-kelompok tertentu yang dianggap menyimpang atau melanggar norma agama yang telah berlaku di suatu masyarakat. Hal itu bisa kita lihat contoh pada kasus pengusiran warga terhadap tokoh aliran Salafi di Lombok Barat, pada tanggal 12 Mei 2008, disebabkan perbedaan pandangan atau pr aktik keagamaan.

Pengaruh dominasi juga menjadi penting dalam masalah ini. Terkadang di suatu daerah yang bermayoritas memeluk agama tertentu akan menekan kelompok minoritas yang memeluk agama lain. Ketentuan perundang-undangan dan aturan serta norma dilandaskan pada ketentuan dan norma agama yang dominan di daerah itu. Contohnya di Aceh yang menerapkan hukum Islam. Kemudian, tekanan terhadap kaum minoritas ini juga mengungkung kebebasan mereka untuk menjalankan ibadah.

19

Kelompok yang memeluk agama mayoritas merasa terganggu apabila ada kelompok minoritas yang menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan mereka, apalagi berencana untuk membangun tempat ibadah. Situasi seperti ini  juga dapat menyulut tindak kekerasan, contohnya pengrusakan komlpeks Pura Sengkareng di Lombok Barat, pada tanggal 16 Januari J anuari 2008.

Kuatnya pengaruh norma agama ini juga memperngaruhi tindakan kekerasan terhadap perempuan. Banyak tindakan kekerasan kepada perempuan yang disebabkan tafsir agama dan patriarkhis dan pandangan materialis yang menempatkan tubuh perempuan sebagai objek. Mereka yang berpandangan seperti ini menganggap bahwa tubuh perempuan dapat merusak moral masyarakat karena dapat memicu syahwat. Selain itu ada juga kasus di daerah tertentu (yang kekuatan

agama

mayoritasnya

berkuasa)

yang

memaksakan

perempuan

mengenakan jilbab, seperti di di Aceh. Contoh yang cocok dengan masalah masalah ini adalah UU pornografi yang yang disyahkan pada tanggal 30 Oktober Oktober 2008. Peraturan ini kemudian menuai banyak kritikan dari berbagai pihak terkait dengan kebebasan berkespresi dan persoalan diskriminasi.

Tiga uraian di atas ( tentang perbedaan paham agama, pembangunan tempat ibadah, serta UU pornografi ) semakin menegaskan implikasi dari teori konflik, yang mengatakan bahwa agama dapat menjadi pemicu ketidaksetaraan dalam masyarakat. Di satu pihak mengatakan hal itu benar namun pihak yang lain tidak berpendapat demikian sehingga memicu konflik.

Mengenai kebebasan memeluk agama dan menjalankannya, tentu menjadi  pertanyaan kembali, apa faktor yang menyebabkan konflik tetap saja terjadi meskipun peraturan, ketentuan, serta UU tentang kebebasan beragama telah ditetapkan. Seharusnya, sesuai logika, tentu dengan adanya UU t entang kebebasan  beragama, tidak mungkin terjadinya konflik. Namun kenyataan serta data-data yang ada berkata lain.

20

Pendapat Marx, yang mengatakan bahwa agama adalah kendaraan politik kaum elite dalam mempertahankan status quonya.

Sebagai contoh, dari data Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia Tahun 2008, pada bulan Juni 2008, Menteri Agama, Menteri Dalam  Negeri dan Jaksa Agung mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang membatasi langkah gerak anggota dan pengurus Jemaat Ahamdiyah Indonesia. Masalah yang dianggap sebagai penodaan agama ini diawali oleh konflik antar masyarakat dan kemudian berlanjut ke pengadilan. Pada tingkat tertentu, sudah  jelas bahwa MUI (yang pastinya akan menegakkan hukum-hukum Islam) dan  beberapa ormas keislaman dan kelompok kepentingan memiliki andil besar untuk mendorong proses munculnya tuduhan penodaan agama Islam di tingkat masyarakat sipil. Hal ini kemudian menyebabkan sebagian kasus konflik di tingkat masyarakat (umumnya di lingkungan masyarakat yang tidak mengerti tentang masalah multi-budaya) jatuh kepada usaha penyerangan atau tindakan kekerasan kepada kelompok minoritas (Ahmadiyah) tersebut.

Selain itu bisa kita lihat contoh pada beberapa kasus lain seperti  pentingnya agama dalam menentukan siapa berhak memilih siapa dalam jabatan  publik, yang mana hal ini mengakibatkan ketegangan antar kelompok keagamaan. Seperti yang terjadi di Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar), Sumatera Barat,  puluhan aktivis organisasi Islam menolak rencana pengangkatan Viktor, S.H sebagai ketua Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Pasaman Barat, disebabkan  perbedaan agama. Menurut mereka, di negeri Minangkabau yang mayoritas  berpenduduk muslim tidak sepatutnya memiliki seorang pemimpin yang  beragama Kristen. Contoh lain adalah kasus Rudolf M. Pardede, mantan Gubernur Sumatera Utara, yang sempat menyerukan masyarakat untuk memilih calon gubernur yang seiman (Kristen).

21

Politisasi agama di dalam Pemilu juga menjadi salah satu faktor timbulnya konflik. Banyak kaum elite yang menggunakan agama untuk mendukung kepentingan mereka, atau dengan agama pemerintah dapat menentukan kebijakan. Akan tetapi penggunaan dasar agama ini tentu hanya berdasar pada satu agama tertentu saja (mayoritas) yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial. Contohnya MUI di empat propinsi di Kalimantan merekomendasikan bahwa Golput adalah tindakan yang dilarang agama. Meskipun kekritisan umat dan  pemimpin agama cukup tinggi dalam hal politisasi politisas i agama, namun usaha-usaha ke arah politisasi agama masih terus terjadi.

Dari contoh-contoh di atas, kita dapat melihat implikasi dari teori konflik Marx yang menyatakan bahwa agama menjadi kekuatan kaum elite politik atau kelompok-kelompok

tertentu

untuk

mempertahankan

pengaruhnya

(kekuasaannya) sehingga akan terjadi konflik karena kaum minoritas akan melakukan brontak untuk merebut kekuasaan (sesuai dengan teori dialektis).

Penyebab terakhir yang mungkin bisa menjadi bahan renungan adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang makna pluralisme itu sendiri. Oleh karenanya, masyarakat lebih mementingkan apa yang baik untuk agama atau golongan yang mereka anut. Di sini lah dituntut kebijakan dari pemerintah untuk mengambil langkah dalam menyelesaikan malasah ini. Seyogyanya pemerintah mengambil langkah untuk menanamkan makna pluralisme tersebut kepada masyarakat melalaui sistem pendidikan nasional dan dimulai dari usia dini.

22

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan mengenai masalah yang terjadi antara agama - agama di Indonesia ( dalam sudut pandang teori konflik ), antara lain sebagai berikut:

1. Di Indonesia masih banyak terjadi konflik yang disebabkan oleh agama itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh kurangnya toleransi antar umat beragama karena masih merasa agama yang mereka anut adalah yang paling benar. 2. Masih terdapatnya kelompok agama yang dominan di beberapa daerah di Indonesia yang dapat menyebabkan timbulnya suatu keadaan yang memarginalkan kelompok lain. 3. Banyak aturan-aturan baru dari suatu agama yang membuat rumit agama itu sendiri sehingga menimbulkan pertentangan dengan normanorma yang ada, yang mengakibatkan konflik. 4. Penyebab utama terjadinya konflik agama adalah disebabkan oleh  pengaruh kelompok agama itu sendiri yang sangat dominan di masyarakat. Selain itu agama juga menjadi alat bagi kaum elite tertentu untuk mempertahankan kekuasaannya. Dari sekian banyak kasus yang telah diuraikan, pemerintah sudah  berupaya

mengeluarkan

kebijkan-kebijakan

untuk

menangggulangi

atau

menyelesaikan konflik tersebut.

 Namun, penerapan upaya tersebut kurang maksimal karena masih banyak sifat egois dari masing-masing penganut agama yang fanatik sehingga tidak mau mengindahkan kebijakan - kebijakan tersebut.

23

5.2. Saran

Saran dari penulis dalam menghadapi masalah hubungan antar agama ini adalah kembali kepada diri individu masing-masing. Karena umat antar agama seharusnya memiliki keterbukaan dalam menanggapi dan melihat perbedaan yang ada di antara mereka. Selain itu, sangat diharapkan kebijakan dari pemerintah untuk mengambil langkah dalam menyelesaikan malasah konflik yang terjadi antar agama-agama di Indonesia. Seyogyanya pemerintah mengambil langkah untuk menanamkan makna pluralisme, multikultural, dan masyarakat yang majemuk kepada masyarakat melalui sistem pendidikan nasional dan dimulai dari usia dini.

24

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF